MAKALAH Pak Hadi
MAKALAH Pak Hadi
OLEH
Nama : HAIRURRIF’AH
NIM : P07120421021N
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas seluruh kurunia-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan sebuah makalah dengan tema “Asuhan Keperawatan Pada
Klien Guillain-Barré Syndrome dengan dengan Tindakan Keperawatan
Latihan Fisik Untuk Mengoptimalkan Mobilitas Fisik ”. Makalah yang
menurut kami benar. Kami telah berusaha sebaik mungkin untuk
menyempurnakannya. Namun, kami menyadari masih dalam proses belajar
sehingga masih banyak yang harus diperbaiki.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
BAB I. PENDAHULUAN
A. Sejarah.............................................................................................. 6
B. Konsep Teori.................................................................................... 6
9. Diagnosis Banding....................................................................... 31
10. Tingkatan Klinis Guillain-Barré Syndrome............................... 33
1. Anamnesis................................................................................... 48
2. Keluhan Utama............................................................................ 48
3. Riwayat Penyakit Sekarang......................................................... 48
4. Riwayat penyakit dahulu............................................................. 49
5. Pengkajian Psikososiospiritual.................................................... 49
6. Pemeriksaan Fisik........................................................................ 49
7. Pemeriksaan Diagnostik.............................................................. 51
8. Pengkajian Penatalaksanaan Medis............................................. 52
9. Komplikasi.................................................................................. 53
10. Pemeriksaan Penunjang............................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 73
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Tujuan
D. Manfaat
1. Teoritis
Hasil makalah ini diharapkan dapat menambah referensi dan wawasan
mengenai asuhan keperawatan pada klien Gullian Barre Syndrome
dengan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik
2. Praktik
a. Perawat
Hasil makalah ini diharapkan berupa latihan fisik Range Of
Montion (ROM) dapat menjadi salah satu pilihan dalam
perencanaan keperawatan non farmakologi pada klien dengan
Guillain Barre Syndrome dalam upaya mengatasi masalah
keperawatan hambatan mobilitas fisik.
b. Rumah Sakit
Hasil makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan
bagi pengembangan praktik keperawatan terutama pada klien
dengan Guillain Barre Syndrome dengan masalah keperawatan
hambatan mobilitas fisik.
c. Institusi Pendidikan
Hasil makalah ini diharapkan dapat meberikan informasi ilmiah
yang dapat bermanfaat dan menambah kepustakaan serta bacaan
bagi mahasiswa/I untuk melakukan asuhan keperawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SEJARAH
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry
pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending
paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya
hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain,
Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa
peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian
jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB
dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder
mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG
dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan
hantar saraf pada EMG.
B. Konsep Teori
1. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Sistem Saraf Perifer
Neuron merupakan unit fungsional dasar susunan saraf.
Neuron terdiri dari badan sel saraf dan prosesus-prosesusnya. Prosesus
(serabut saraf) sel neuron terbagi menjadi dendrit-dendrit dan sebuah
akson. Serabut saraf ini mengirimkan impuls listrik, yang
memungkinkan otak untuk tetap berhubungan dengan semua aspek
fungsi tubuh. Serabut saraf sensorik mengirim pesan dari struktur
perifer, seperti kulit, persendian, dan tulang, ke otak. Serabut motorik
mengirim pesan dari otak ke otot. Pesan ini dikirim dalam bentuk
impuls listrik. Setiap serabut saraf terdiri dari kabel listrik yang
dikenal sebagai akson, dan selubung isolasi dikenal sebagai myelin
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 (Satoto dan Span-Kar,
2013; Parry and Steinberg, 2007).
Myelin adalah campuran dari lipid dan protein. Pada susunan
saraf perifer, selubung myelin diproduksi oleh sel Schwann dan hanya
terdapat satu sel Schwann untuk setiap segmen serabut saraf.
Ketebalan myelin bergantung pada jumlah spiral membrane sel
Schwann. Selubung myelin bukan struktur berkelanjutan, tetapi terdiri
dari beberapa segmen myelin, masing-masing dipisahkan oleh celah
singkat yang dikenal sebagai nodus Ranvier. Nodus ini memainkan
peranan penting dalam perkembangan efek rangsangan dari reseptor
ke medulla spinalis atau sebaliknya, dengan mengadakan konduksi
cepat impuls melalui konduksi saltatori dari potensial aksi. Makin
tebal selubung myelin makin cepat konduksi sel saraf (Satoto dan
Span-Kar, 2013; Parry and Steinberg, 2007).
Terapi Kausatif
Terapi spesifik untuk pengobatan GBS adalah dengan terapi
imunomodulator seperti Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
atau Plasma Exchange (PE). Terapi IVIG ini mampu
menetralisir neuromuscular dengan memblok antibodi di GBS
dengan tergantung dosis, mekanisme mediasi antibodi.
Sedangkan PE yaitu membuang immunoglobulin dan antibodi
dari serum dengan cara memindahkan darah tubuh dan
mengantinya dengan Fresh Frozen Plasma, albumin atau salin.
Keputusan untuk menggunakan terapi imunomodulator adalah
berdasarkan pada derajat keparahan penyakit, progresifitas dan
lamanya waktu antara gejala pertama dengan manifestasi
klinisnya (Dewanto et al., 2007).
Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
IVIg bekerja dengan cara menghambat efek toksik dari CD8
killer T-Cell pada myelin di saraf dan CD4 CD45RO+ T
Cell, dan mereduksi jumlah total limfosit B. Selain itu IVIg
kemungkinan mempengaruhi produksi antibodi dan
mengurangi inflamasi pada sel. IVIg juga memblok ikatan
reseptor Fc (gamma), sehingga mencegah bahaya
fagositosis oleh makrofag. Dosis terapi yang diberikan
adalah 400 mg/kg BB per hari selama 5 hari (total dosis 2,0
g/Kg BB) melalui infus, pemberian dilakukan secara
kontinyu dalam jangka waktu 5 hari (Pangesti, 2015).
Kontraindikasi IVIg meliputi: reaksi anafilaksis sebelumnya
untuk IVIg dan IgA defisiensi (terkait dengan reaksi
anafilaksis untuk produk darah). Efek samping dari IVIg
mungkin ringan atau berat dan termasuk mual, sakit kepala,
gangguan dermatologis termasuk eritroderma, kelebihan
cairan, tes fungsi hati, tromboemboli vena, gagal ginjal akut
dan anafilaksis (Tandel et al., 2016).
Sediaan IVIG yaitu Gammaras 5%, Sandoglobulin NF
liquid – CSL Bioplasma, mengandung Ig G steril tanpa
larutan yang terdiri dari 6gram/50ml dan 12gram/100ml,
Octagam-Octapharma bebas larutan dari Imunoglobulin G
60 mg/ml yang diambil dari banyak donor, yang tersedia
dalam kemasan 1 gram/20 ml vial dan 2,5 gram/50 ml, 5
gram/100ml dan 10 gram/200 ml.
Plasma Exchange (PE)
Plasma Exchange (PE) atau pertukaran plasma adalah
sebuah prosedur terapi di mana darah dari pasien
dilewatkan melalui perangkat medis yang memisahkan
plasma dari komponen lain dari darah. Plasma akan dibuang
dan diganti dengan larutan pengganti seperti larutan koloid
misalnya, albumin atau plasma atau kombinasi dari
kristaloid / larutan koloid (Schwartz et al., 2016). Dalam
penjelasan lain berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
No 91 tahun 2015, PE adalah tindakan mengeluarkan
plasma pasien yang merupakan penyebab penyakit dan
diganti dengan Albumin 5%, Fresh Frozen Plasma (FFP),
koloid atau kristaloid (Permenkes No. 91, 2015). Pada
pengobatan dengan plasma exchange dilakukan penggantian
autoantibodi, alloantobodi dan kompleks imun, protein
monoclonal dari sirkulasi darah. Aplikasi prosedur Plasma
Exchange yang direkomendasikan adalah sekitar 5 kali/sesi
dalam sehari dengan peggantian volume total plasma 1 –
1,5 kali untuk setiap sesi. Untuk prosedur PE yang umum
dilakukan adalah ± 200 – 250 ml plasma/ kg BB dalam 5
sesi (40 – 50 ml/kg per sesi) dalam waktu 7 – 14 hari.
Cairan pengganti yang digunakan umumnya adalah 20%
albumin 100 ml dalam Normal Saline 1000 mL dan 1000
mL FFP (Dewanto et al., 2007,Pangesti, 2015, Bahrudin,
2013).
Komplikasi yang berkaitan dengan prosedur PE antara lain
reaksi alergi, gejala hypokalemia, hipotensi dan komplikasi
pengambilan kateter sedangkan komplikasi yang lebih
parah termasuk emboli paru, sepsis, dan syok anafilaksis
juga telah dilaporkan yang dirangkum dalam Tabel II.3
(Sederholm, 2010; Pangesti, 2015).
Strategi Terapi Antibiotika pada Infeksi Nosokomial (Jain & Singh, 2007)
Monotherapy Conventional Alternatives
Combinations
Gram-negative organisms
Escherichia coli Ceftazidime or aztreonam Cefotaxime + amikacin: Imipenem alone
or cefpirome/cefepime: piperacillin + tazobactam: Imipenem +
amoxicillin-clavulanic cefoxitin or aztreonam + aminoglycoside
acid: aminoglycoside imipenem +
fluoroquinolone (in UTI) fluoroquinolone
Klebsiella spp: Ceftazidime or : Piperacillin + tazobactam: Imipenem alone
quinolones, Rifampicin + +
cotrimoxaz + aminoglycoside:
ole vancomycin +
fluoroquinolone
5. Pengkajian Psikososiospiritual
Meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat
untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi,
kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya. Kaji apakah ada dampak yang timbul pada
klien yaitu seperti ketakutan akan kecacatan, cemas,
ketidakmampuanuntuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah.
6. Pemeriksaan Fisik
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi nafas berhubungan
dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada
sistempernafasan serta akumulasi sekret akibat insufisiensi
pernafasan. Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau
tekanan darah meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
a. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas dan
peningkatan frekuensi pernafasan karena infeksi saluran
pernafasan dan yang paling sering ditemukan pada klien
GBS adalah penurunan frekuensi pernafasan karena
melemahnya fungsi otot-otot pernafasan. Palpasi biasanya
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi
napas tambahan seperti ronkhi padaklien dengan Sindrom
Guillain-Barre berhubungan akumulasi secret dari infeksi
saluran napas.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien Sindrom
Guillain-Barre menunjukkan bradikardia akibat penurunan
perfusi perifer. Tekanan darah didapatkan ortostatik
hipotensi atan tekanan darah meningkat (hipertensi transien)
akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
c. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan
lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Pada klien Sindro
Guillain Barre biasanya kesadaran klien komposmentis.
Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran
makan penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memonitoring
pemberian asuhan.
Pengkajian Fungsi Serebral. Status mental: observasi
penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekpresi wajah,
dan aktifitas motorik klien. Pada klien Sindrom Guillain
Barre tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Pengkajian Saraf Kranial. Pengkajian saraf cranial
meliputi pengkajian saraf cranial I- XII.
Saraf I. Biasanya pada klien Sindrom Guillain Barre
tidak ada kelainan dan fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka
dan menutup kelopak mata, paralisis okular.
Saraf V. pada klien Sindrom Guillain Barre didapatkan
paralisis wajah sehingga mengganggu proses
mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal,
wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan
tuli persepsi.
Saraf IX dan X. paralisis otot orofaring, kesulitan
berbicara, mengunyah, dan menelan. Kemampuan
menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan
nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun,
control keseimbangan dan koordinasi pada Sindrom
Guillain Barre tahap lanjut mengalami perubahan. Klien
mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
mengganggu mobilitas fisik.
Pengkajian Refleks. Pemeriksaan reflex propunda,
pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum
derajat reflex pada respons normal. Gerakan involunter :
tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic dan distonia.
Pengkajian Sistem Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas)
dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke
ektremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba,
nyeri, dan suhu.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien
meningitis menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-
otot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
f. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu
oleh orang lain.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangan gejala- gejala klinik dan tidak ada satu pemeriksaan
pun yang dapat memastikan GBS; pemeriksaan tersebut hanya
menyingkirkan dugaan gangguan.
Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan
spinal memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein
dengan menghitung jumlah sel normal.
Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls
sepanjang serabut saraf. Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan
dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody
baik terhadap sitomegalovirus atau viru Epstein-Barr. Telah
ditunjukkan bahwa suatu perubahan respons imun pada antigen saraf
perifer dapat menunjang perkembangan gangguan.
8. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dapat merawat klien dengan GBS adalah untuk
memberikan pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat
mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan
komplikasi imobilitas, serta memberikan dukungan psikologis untuk
klien dan keluarga.
Sindrom Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan
medis dank lien diatasi di unit perawatan intensif. Klien mengalami
masalah pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang untuk
periode yang lama. Plasmaferesis (perubahan plasma) yang
menyebabkan reduksi antibiotic ke dalam sirkulasi sementara, yang
dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan
yang memperburuk pada klien dan demielinasi. Diperlukan
pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan adanya perubahan
kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung dihubungkan dengan
keadaan abnormal autono yang diobati dengan propanolol untuk
mencegah takikardi dan hipertensi. Atropine dapat diberikan untuk
menghindari episode bradikardia selama pengisapan endotrakeal dan
terapi fisik.
9. Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat
kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen
% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan
hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di
ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna
atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun
sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai
sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih
serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10%
diantaranya beresiko mengalami relaps.
Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern,
komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis
jangka panjang, antara lain sebagai berikut:
a. Paralisis otot persisten
b. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
c. Aspirasi
d. Retensi urin
e. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
f. Nefropati, pada penderita anak
g. Hipo ataupun hipertensi
h. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
i. Aritmia jantung
j. Ileus
Komplikasi-komplikasi
Gagal pernafasan
Komplikasi yang paling berat dari SGB adalah gagal nafas.
Melemahnya otot pernafasan membuat pasien dengan gangguan ini
berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernafasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada respirasi.
Mungkin terdapat komplikasi yang sama tentang imobilitas seperti
yang terdapat pada korban stroke.
Penyimpangan Kardiovaskuler
Mungkin terjadi gangguan sistem saraf otonom pada pasien
SGB yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan
drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
Komplikasi Plasmaferesis
Pasien dengan SGB yang menerima plasmaferesi, berisiko
terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi
mungkin terjadi pada tempat akses vaskuler. Hipovolemia dapat
mengakibatkan hipotensi. Takikardia, pening, dan diaphoresis.
Hipokalemia dan hipokalsemia dapat mengarah pada disritmia
jantung. Pasien dapat mengalami sirkumolar temporer dan paresis
ekstremitas distal, kedutan otot dan mual serta muntah yang
berhubungan dengan pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan
cermat pengkajian penting untuk mencegah masalah-masalah ini.
1. Identitas
2. Pola-pola pengkajian
B. DIAGNOSA
1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan
progresif cepat otot – otot pernapasan, dan ancaman gagal napas.
2. Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
perubahan frekuensi jantung ritme dan irama bradikardia.
3. Resiko perubahan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
yang berhubungan dengan asupan yang tidak adekuat.
4. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
5. Ansietas yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit dan
perubahan kesehatan.
C. INTERVENSI
Tujuan Dan
Diagnosa Intervensi Rasional
Kriteria
Hasil
Pola napas tidak Dalam waktu 1) Kaji fungsi 1) Menjadi bahan parameter
efektif yang 3x24 jam paru, adanya monitoring serangan gagal
berhubungan setelah bunyi napas napas dan
dengan diberikan tambahan, menjadi data dasar
kelemahan tindakan pola perubahan intervensi selanjutnya.
progresif cepat napas kembali irama dan 2) Tanda dan gejala
otot-otot efektif. kedalaman, meliputi adanya kesulitan
pernapasan, dan Kriteria: penggunaan bernapas saat berbicara,
ancaman gagal secara otot pernapasan dangkal
napas. subjektif sesak – otot aksesori. dan irregular,
napas (-), 2) Evaluasi mengguanakanotot –otot
frekuensi keluhan aksesoris, takikardia
napas 16-20 sesak napas, dan perubahan pola napas.
baik secara 3) Ventilasi
verbal dan mekanik digunakan jika
non verbal. pengkajian sesuai kapasitas
3) Beri ventilasi vital, klien
mekanik. memperlihatkan
4) Lakukan perkembangan kearah
pemeriksaan kemunduran, yang
kapasitas mengindikasi
vital ke arah
pernapasan. memburuknya kekuatan
5) Kolaborasi: otot- otot pernapasan.
Pemberian 4) Kapasitas vital klien di
humidifikasi pantau lebih sering dan
oksigen 3 dengan interval yang
liter/menit. teratur dalam penambahan
kecepatan
D. IMPLEMENTASI
implementasi akan mengidentifikasi, mengapa sesuatu terjadi, apa yang terjadi, kapan, bagaimana
E. EVALUASI
Evaluasi adalah membandingkan suatu hasil/ perbuatan dengan standar untuk tujuan
pengambilan keputusan yang tepat sejauh mana tujuan tercapai. Evaluasi keperwatan :
membandingkan efek/hasil suatu tindakan keperawatan dengan norma atau kriteria tujuan yang
BAB IV
PEMBAHASAN
A. REVIEW
Tujuan Dan
Diagnosa Intervensi Rasional
Kriteria
Hasil
48
Hambatan Dalam waktu 1) Kaji 1) Merupakan data dasar
mobilitas fisik 3x24 jam tingkat untuk melakukan intervensi
yang setelah kemampuan selanjutnya.
berhubungan diberikan klien 2) Bila pemulihan mulai
dengan tindakan dalam untuk dilakukan, klien dapat
kerusakan mobilitas klien melakukan mengalami hipotensi
neuromuskular meningkat mobilitas ortostatik (dari disfungsi
, penurunan atau fisik. otonom) dan
kekuatan otot, teradaptasi. 2) Dekatkan kemungkinan
dan penurunan Kriteria : alat dan membutuhkan meja
kesadaran. peningkatan sarana yang tempat
kemampuan dibutuhkan tidur untuk menolong
dan tidak klien dalam mereka mengambil posisi
terjadi pemenuhan duduk tegak.
thrombosis aktvitas 3) Individu
vena provunda sehari – hari. paralisis mempunyai
dan 3) Hindari kemungkinan mengalami
emboli paru faktor yang kompresi neuropati, paling
merupakan memungkink sering saraf ulnar
ancaman klien an terjadi dan perineal.
paralisis, yang trauma pada Bantalan dapat di
tidak mampu saat klien tempatkan di siku dan
menggerakkan melakukan kepala fibula untuk
ekstremitas. mobilisasi. mencegah terjadinya
Dekubitus tidak 4) Sokong masalah ini.
terjadi. ekstremitas 4) Ekstremitas paralisis
yang disokong dengan
mengalami posisi fungsional dan
paralisis. memberikan latihan rentang
5) Monitor gerak secara
komplikasi pasif paling sedikit dua kali
hambatan sehari.
mobilitas fisik. 5) Deteksi dini thrombosis
6) Kolaborasi vena profunda sehingga
dengan dengan penemuan yang
tim cepat, penanganan lebih
fisioterapis. mudah dilaksanankan.
Pada makalah ini, akan berfokus pada asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
mobilitas fisik yaitu dengan diagnosa hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular, penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran.
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari
satu atau lebih ekstremitas secara mandiri, misalnya pada seseorang yang
mengalami gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, kerusakan
integritas struktur tulang, kekakuan sendi, dan penurunan kekuatan otot (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Adanya gangguan tersebut mengakibatkan terjadinya keterbatasan lingkup gerak sendi dan
49
mengakibatkan terjadinya gangguan pada fleksibilitas sendi. Apabila mobilisasi tidak dilakukan maka
berdampak pada sistem tubuh, seperti perubahan pada metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal,
perubahan sistem pernafasan, perubahan kardiovaskular, perubahan sistem
muskuloskeletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan
kecil), dan perubahan perilaku (Widuri, 2010).
Upaya pengembalian bentuk tulang yang mengalami hambatan atau gangguan adalah tindakan
operasi. Operasi akan menimbulkan permasalahan pada kapasitas fisik dan kemampuan fungsional.
Perawatan rehabilitasi pada pasien gangguan mobilitas mencakup terapi fisik, yang terdiri dari berbagai
macam tipe latihan fisik ; latihan isometrik otot dan latihan ROM (Range Of Motion) aktif dan pasif. ROM
adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. ROM aktif
adalah latihan gerak yang dilakukan dengan
menggerakkan masing-masing persendian sesuai dengan rentang gerak normal
dari kepala sampai kaki secara aktif. ROM pasif adalah latihan pergerakan
perawat atau petugas lain yang menggerakkan persendian pasien sesuai
dengan rentang geraknya. Tujuan ROM adalah dapat mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot, mempertahankan fungsi
kardiorespiratori, mencegah kontraktur dan kekakuan pada persendian
(Damping, 2012). Menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018), perencanaan
masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik salah satunya adalah dukungan
mobilisasi, dalam dukungan mobilisasi terdapat berbagai macam intervensi
diantaranya adalah fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, anjurkan melakukan
mobilisasi dini, dan ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(misalnya duduk di tempat tidur, duduk disisi tempat tidur, pindah dari tempat
tidur ke kursi)
Hal ini seperti terungkap dalam jurnal Sonja E. Leonhard, dkk (2019) dengan judul Diagnosis and
management of Guillain–Barré syndrome in ten steps yaitu pasien dengan GBS mengalami gagal
napas dan membutuhkan ventilasi mekanis, jantung aritmia dan tekanan darah tidak stabil dapat
terjadi karena keterlibatan para otonom sistem saraf. Selain Studi terbaru 1-9 1-10 memberikan bukti
teoretis bahwa penghilangan antibodi anti-GQ1b masuk akal dan bermanfaat. Beberapa pasien dengan
ensefalitis batang otak Bickerstaff dan Guillian Barre Syndrome merespon baik terhadap plasmapheresis
dan IVIg. 1-11 1-12 Kami merekomendasikan bahwa tidak ada steroid, melainkan IVIg (atau
plasmapheresis), digunakan untuk mengobati ensefalitis batang otak Bickerstaff dan Guillian Barre
Syndrome. Uji klinis terkontrol diperlukan untuk menetapkan kemanjuran prosedur ini sebagai terapi
untuk penyakit ini.
Dalam Jurnal tersebut menjelaskan terkait perencanaan rehabiliyasi yaitu Pasien dengan GBS dapat
mengalami berbagai masalah residual jangka panjang, termasuk pemulihan fungsi motorik dan sensorik
50
yang tidak lengkap , serta
kelelahan,nyeri, dan tekananpsikologis. Sebelum para pasien yang dipulangkan,efek jangka panjang yang
mungkin dari GBS harus dipertimbangkan dan dikelola melalui :
1. Fungsi fisik
stasioner bersepeda, dan berjalan dan kekuatan pelatihan, telah telah ditunjuk untuk meningkatkan kebu
garanfisik, berjalan kemampuan dan kemandirian
dalam kegiatan seharihari hidup. Namun, para intensitas dari latihan harus erat dipantau sebagai
kerja paksa dapat menyebabkan kelelahan.
2. Kelelahan
Kelelahan tidak terkait dengan defisit motor residual, ditemukan dalam 60-80% pasien dengan GBS.
Penyebab lain harus dipertimbangkan sebelum menyimpulkan kelelajan yang ada pada pasien adalah
salah satu hasil dari GBS. Seperti dengan pemulihan dari fungsi fisik, dinilai program latihan diawasi
telah ditunjukkan untuk menjadi berguna dalam mengurangi kelelahan.
3. Rasa sakit
Parah nyeri yang dilaporkan setidaknya sepertiga dari pasien dengan GBS 1 tahun setelah penyakit
onset dan bertahan untuk > 10 tahun. Kronis nyeri GBS ditandai dengan otot nyeri didalam bawah
punggung dan anggota badan, nyeri aesthesias, arthalgia dan radikuler nyeri. Meskipun patogenesis
dari rasa sakit ini tidak sepenuhnya dipahami, otot nyeri mungkin menyebabkan imobilitas, dan
neuropatik nyeri disebabkan kerusakan saraf kecil. Strategi manajemen termasuk mendorong
mobilisasi dan pemberian obat untuk nyeri neuropatik atau nosiseptif.
4. Tekanan Psikologis
Hilangnya fungsi fisik dapat membuat individu sangat traumatis dan dapat menyebabkan kecemasan
atau depresi. Awal pengakuan dan manajemen tekanan psikologis kaena status mental dapat
mempengaruhi pemulihan fisik sehingga diperlukan untuk melalukan rujukan ke psikolog yang
bermanfaat bagi pasien juga memberiikan informasi yang akirat terhadap resiko dan kekambuhan
penyakit sehingga mengurangi kekhawatiran dan meningkatkan motifasi dalam melakukan aktifitas
fisik sehingga menurunkan kelemahan dalam mobilitas fisik.
BAB V
51
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
GBS merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi;
dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Terjadi kelemahan otot, kehilangan
reflex, dan kebas pada lengan, tungkai, wajah, dan bagian tubuh lain. Kasus ini terjadi secara akut
dan berhubungan dengan proses autoimun. Fokus utama asuhan keperawatan pada penyakit ini
adalah mempertahankan pernapasan, mencegah komplikasi, memberi dukungan emosional,
mengedalikan nyeri, dan memberikan informasi prognosis penyakit.
Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah demielinasi polineuropati akut yang pertama kali
dijelaskan pada tahun 1859 (Tandel et al., 2016). GBS merupakan suatu kerusakan sistem imun
tubuh yang menyerang bagian dari sistem saraf perifer (Satoto dan Span-Kar, 2013).
B. SARAN
Nutrisi, hygiene, dan istirahat yang cukup dapat membantu meningkatkan system imun dari
tubuh penderita yang mengalami masalah pada bagian system imun.
DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal AN, Gupta D, Lal V, Behera D, Jindal SK, and Prabhakar S. 2003. Ventilatory Management of
Respiratory Failure in Patients with Severe Guillain-Barré Syndrome. Neurology India, Vol. 51.
American Thoracic Society and the Infectious Diseases Society of America, 2005. Guidelines for the
Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated
Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med Vol 171. pp 388–416, DOI: 10.1164/rccm.200405- 644ST
Bahrudin, Moch. 2013. Neurologi Klinis. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Breathnach, Aodhán S. 2013. Nosocomial infections and infection control. Elsevier Ltd.
52
Burns, Ted M., 2008. Guillain-Barré Syndrome. Seminars in Neurology, Vol. 28 No. 2.
Chambers, H. F.Eds. 2010. Farmakologi Dasar & Klinik, 10th Ed. Jakarta : EGC, p. 748-795.
Denys, Gerald A. and Relich, Ryan F. 2014. Antibiotic Resistance in Nosocomial Respiratory Infections.
Elsevier Inc.
Dewanto, George, Suwono, Wita J., Riytanto, Budi, Turana, Yuda. 2007. Panduan Praktis Diagnosis dan
Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Dhar, Rajat., Stitt, Larry., Hahn, Angelika F. 2008. The Morbidity And Outcome Of Patients With
Guillain–Barré Syndrome Admitted To The Intensive Care Unit. Neurological Sciences.
doi:10.1016/j.jns.2007.08.005.
Dimachkie, Mazen M., M.D and Barohn, Richard J., MD. 2013. Guillain-Barré Syndrome and
Variants. NIH Public Access. doi:10.1016/j.ncl.2013.01.005.
DiPiro, Joseph T., DiPiro, Cecily V., Wells, Barbara G., Schwinghammer, Terry
El-Bayoumi, Mohammed A, El-Refaey Ahmed M, Abdelkader, Alaa M, Mohamed MA, Alwakeel, Angi A
and El-Tahan,Hanem M. 2011. Comparison Of Intravenous Immunoglobulin And Plasma Exchange
In Treatment Of Mechanically Ventilated Children With Guillain Barré Syndrome: A Randomized
Study. Critical Care. doi:10.1186/cc10305.
Esposito, Silvano., De Simone, Giuseppe., Boccia, Giovanni., De Caro, Francesco., Pagliano, Pasquale.,
2017. Sepsis And Septic Shock: New Definitions, New Diagnostic And Therapeutic Approaches.
Elsevier Ltd. http://dx.doi.org/10.1016/j.jgar.2017.06.013.
E. Sonja Leonhard, dkk.2019. Diagnosis and management of Guillain–Barré syndrome in ten steps.
https://doi.org/10.1038/ s41582-019-0250-9
Fish, Mark and Llewelyn, Gareth, 2008. The Guillain-Barré Syndrome. ACNR, Vol. 8 No. 4.
Fletcher, S., 2005. Catheter-Related Bloodstream Infection. Continuing Education in Anaesthesia, Critical
Care & Pain, Vol. 5 No. 2, p. 49-51.
Ginsberg, Lionel., 2005. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan.Jakarta; Penerbit Erlangga.
Gleckman, RA., Borrego, F., Adverse Reactions to Antibiotics: Clues for Recoginizing, Understanding, and
Avoid Them, Postgrad Med, 2007, 101: 4.
53
González P, García X, Guerra A, Arango JC, Delgado H, Uribe CS, et al. 2014. Experiencia del síndrome
deGuillain-Barré en una Unidad de Cuidados Intensivos neurológicos. Neurología. doi.
org/10.1016/j.nrl.2014.09.004.
Guglielmo, BJ., 2001, Infectious Disease, dalam Koda Kimble and Young, L.,Y., (eds): Applied
Therapeutics, the Clinical Use of Drugs, Lippineot Williams & Wilkins, Philadelphia. Pp.S4.
Gunawan, SG., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elysabeth. Eds. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5, hal. 664-
731. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
Ikawati Z., 2006, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan, Laboratorium farmakologi dan farmasi klinik
bagian farmakologi dan farmasi klinik Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.
Jain, Atul and Singh, Kanwardeep. 2007. Recent Advances in the Management of Nosocomial Infections.
JK Science, Vol. 9, No. 1, p. 3-8.
Jasti, Anil K., Selmi,Carlo., Juan C. Sarmiento-Monroy, Daniel A. Vega, Juan- Manuel Anaya & M. Eric
Gershwin .2016. Guillain-Barré syndrome: causes, immunopathogenic mechanisms and treatment,
Expert Review of Clinical Immunology, DOI: 10.1080/1744666X.2016.1193006.
Karnatovskaia, L. V., Festic, E. 2012. Sepsis: A Review for The Neurohospitalist. The Neurohospitalist
2(4) : 144-153.
Katzung, Betram G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik, Ed 8. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Rsud Dr. Saiful Anwar Malang, 2016. Panduan
Umum Penggunaan Antimikroba.
Meena, A. K., Khadilkar, S. V., and Murthy J. M. K. 2011. Treatment guidelines for Guillain–Barré
Syndrome. Annals of Indian Academy of Neurology. doi: 10.4103/0972-2327.83087
Mikail,B. 2012. Penderita Guillain Barre Syndrome (GBS) meningkat di Kalangan Usia Produktif.
Munir, dr. Badrul Munir Sp.S., 2015. Neurologi Dasar. Jakarta: Sagung Seto. Mycek, Mary J., Harvey,
Richard A., Champe, Pamela C. 2001. Farmakologi
Nelson, Laura, Gormley, Robert, Riddle, Mark S., Tribble, David R., and Porter, Chad K., 2009. The
Epidemiology of Guillain-Barré Syndrome in U.S. Military Personnel: A Case-control Study.
BioMed Central Research Notes, Vol. 2.
Nugroho, Dr. Agung Endro. 2014. Farmakologi Obat-obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan
Dunia Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
54
Nyati, Kishan Kumar and Nyati, Roopanshi. 2013. Review Article Role of Campylobacter jejuni Infection
in the Pathogenesis of Guillain-Barré Syndrome: An Update. Hindawi Publishing Corporation
BioMed Research International Volume 2013, Article ID 852195, 13 pages
http://dx.doi.org/10.1155/2013/852195.
Othman Abdelrazik Ahmed and Abdelazim, Salah Mohsen. 2017. Ventilator- Associated Pneumonia In
Adult Intensive Care Unit Prevalence And
Complications.EgyptJCritCareMed,doi.org/10.1016/j.ejccm.2017.06.001
Parry, Gareth J., and Steinberg, Joel S., 2007. Guillain-Barré Syndrome: From Diagnosis to Recovery. New
York: Demos Medical Publishing.
Peake, Deirdre, Whitehouse, William P., and Philip, Sunny. 2004. The Management of Guillain-Barré
Syndrome. Current Paediatrics, Vol. 14.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 91., 2015. Standar Pelayanan Transfusi Darah.
Jakarta; Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Nosokomial, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Puspitasari, Aldita Cahyani. 2014. Studi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Guillain-Barré Syndrome
(GBS) Dengan Infeksi. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Putra, A. E., 2005. Kolonisasi Mikroorganisme pada Pemasangan Kateter Intravena dan Faktor yang
Mempengaruhinya. Majalah Kedokteran Andalas, Vol. 29 No. 2, p. 55-63.
Putri H, Yessica. 2014. Faktor Risiko Sepsis Pada Pasien Dewasa. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
Rady HI, Attala H (2014) Assessment of New Strategies in the Management of Guillain Barre Syndrome:
Cairo University. J Pediatr Neonatal Care 1(4): 00027. DOI: 10.15406/jpnc.2014.01.00027
Satoto, Prof.Darto dan. Dr. SpAn-KAR., 2013. Saraf Perifer Masalah dan Penanganannya. Jakarta: Penerbit
PT. Indeks.
Schwartz, Joseph, Padmanabhan, Anand, Aqui Nicole, Balogun, Rasheed A., Connelly-Smith, Laura,
Delaney , Meghan, Dunbar , Nancy M., Witt, Volker, Wu, Yanyun, and Shaz , Beth H. 2016.
Journal of Clinical Apheresis: Special Issue Clinical Applications of Therapeutic Apheresis:
An Evidence Based Approach. 7th Edition. American Society for Apheresis. Vol. 31. No. 3.
55
Sebastian, Sherly. 2012. A Case of Guillan-Barre Syndrome in a Primary care Setting. American Collage of
Nurse Practitioners. Vol. 8.
Siswandono, Dr., Soekardjo, Bambang Dr. H. 2008. Kimia Medisinal, Ed. 2 Cet.2. Surabaya: Airlangga
University Press.
Sukandar, E., 2006. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Indonesia, hal. 553-7.
Tandel, Hemal, Vanza, Jigar., Pandya, Nilima, and Jani, Parva. 2016. Guillain- Barré Syndrome (GBS): A
Review. European Journal Of Pharmaceutical And Medical Research. ISSN 3294-3211.
Tenke, Peter., Mezei, Tünde., Böde, Imre., Köves, Béla., 2016. Catheter- associated Urinary Tract
Infections. Elsevier B.V. on behalf of European Association of Urology.
Tjay, T.H dan Rahardja, K., 2007, Obat – Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, Dan Efek- Efek
Sampingnya. Edisi ke VI. Cetakan I, Hal. 263, 270, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Trubiano JA and Padiglione AA, 2015. Nosocomial Infections In The Intensive Care Unit, Anaesthesia and
intensive care medicine. Elsevier Ltd. http://dx.doi.org/10.1016/j.mpaic.2015.09.010.
Van Doorn, Pieter A., Ruts, Liselotte, and Jacobs, Bart C, 2008. Clinical Features, Pathogenesis, and
Treatment of Guillain-Barré Syndrome. Lancet Neurology, Vol.8 No. 7.
Vucic S., Kiernan M. C., Cornblath D.R. Guillain Barré syndrome: an update. J Clin Neurosci, 2009.
16:733-741.
Wakerley, Benjamin R and Nobuhiro Yuki. 2013. Infectious And Noninfectious Triggers In Guillain–Barré
Syndrome. Expert Rev. Clin. Immunol. 9(7), 627–639 Informa UK Ltd. ISSN 1744-666X.
Waridiarto, Dimas Susilo. 2015. Kualitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Bedah Orthopedi. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Willison, Hugh J., Jacobs Bart C, and Van Doorn, Pieter A. 2016. Guillain-Barré Syndrome. Lancet. Vol
388.
World Health Organization. 2002. Prevention of Hospital-acquired Infections, A Practical Guide, 2nd
edition. Malta: World Health Organization.
Wulandari, Deasy Nur. 2016. Efektivitas Penggunaan Antibiotik Ceftriaxone Pada Pasien Pneumonia
Dewasa Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2014 – 2015. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta
56
Yuki, Nobuhiro and Hartung, Hans-Peter. 2012. Medical Progress: Guillain-Barré Syndrome. The New
England Journal of Medicine, Vol. 366.
Zhang, Gang, Lehmann, Helmar C., Bogdanova, Nataliia, Gao, Tong, Zhang, Jiangyang, and Sheikh,
Kazim A. 2011. Erythropoietin Enhances Nerve Repair in Anti-Ganglioside Antibody-Mediated
Models of Immune Neuropathy. PLoS ONE Vol. 6 No. 10 e27067. doi:10.1371/journal.pone.
0027067.
Zhong, Min and Cai, Fang-Cheng, 2007. Current Perspectives on Guillain-Barré Syndrome. World Journal
of Pediatrics, Vol. 3 No. 3