Anda di halaman 1dari 83

MAKALAH

Asuhan Keperawatan Pada Klien GUILLAIN-BARRÉ SYNDROME dengan


Tindakan Keperawatan Latihan Fisik Untuk Mengoptimalkan Mobilitas
Fisik

Dosen Penanggung Jawab : Hadi Kusuma Atmaja, SST., M.Kes

OLEH

Nama : HAIRURRIF’AH
NIM : P07120421021N

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas seluruh kurunia-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan sebuah makalah dengan tema “Asuhan Keperawatan Pada
Klien Guillain-Barré Syndrome dengan dengan Tindakan Keperawatan
Latihan Fisik Untuk Mengoptimalkan Mobilitas Fisik ”. Makalah yang
menurut kami benar. Kami telah berusaha sebaik mungkin untuk
menyempurnakannya. Namun, kami menyadari masih dalam proses belajar
sehingga masih banyak yang harus diperbaiki.

Oleh sebab itu, bimbingan dan arahan dari dosen, kami


harapkan agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Kami
mempersembahkan karya ini untuk semua teman kami, untuk kedua
orangtua kami, untuk dosen kami, dan untuk kepentingan bersama
dalam menciptakan tenaga-tenaga perawat profesional ke depannya.

Berhubungangan dengan hal tersebut, semoga makalah yang


sederhana ini dapat dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran
keperawatan kedepannya.

Kritik dan Saran senantiasa dinantikan agar makalah ini


menjadi lebih baik dimasa mendatang amin.

Mataram, Agustus 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................... 4
C. Tujuan ............................................................................................ 4
D. Manfaat ........................................................................................... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah.............................................................................................. 6
B. Konsep Teori.................................................................................... 6

1. Anatomi Fisiologi ........................................................................ 6

2. Definisi Guillain-Barré Syndrome............................................... 10

3. Epidemiologi Guillain-Barré Syndrome...................................... 11

4. Etiologi Guillain-Barré Syndrome............................................... 12

5. Manifestasi Klinis Guillain-Barré Syndrome.............................. 14

6. Klasifikasi Guillain-Barré Syndrome.......................................... 15

7. Patofisiologis Guillsin-Barre Syndrome...................................... 19

8. Diagnosis Guillain-Barré Syndrome............................................ 25

9. Diagnosis Banding....................................................................... 31
10. Tingkatan Klinis Guillain-Barré Syndrome............................... 33

11. Tingkatan Klinis Guillain-Barré Syndrome............................... 34

12. Komplikasi Guillain-Barré Syndrome....................................... 36

13. Antibiotika ................................................................................. 42

14. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotika.................... 44

C. Konsep Asuhan Keperawatan.......................................................... 48

1. Anamnesis................................................................................... 48
2. Keluhan Utama............................................................................ 48
3. Riwayat Penyakit Sekarang......................................................... 48
4. Riwayat penyakit dahulu............................................................. 49
5. Pengkajian Psikososiospiritual.................................................... 49
6. Pemeriksaan Fisik........................................................................ 49
7. Pemeriksaan Diagnostik.............................................................. 51
8. Pengkajian Penatalaksanaan Medis............................................. 52
9. Komplikasi.................................................................................. 53
10. Pemeriksaan Penunjang............................................................ 54

BAB III. ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian....................................................................................... 60
B. Diagnosa........................................................................................... 62
C. Intervensi.......................................................................................... 63
D. Implementasi.................................................................................... 67
E. Evaluasi............................................................................................ 67

BAB IV. PEMBAHASAN


A. Review Jurnal ............................................................................... 69

BAB V. SARAN DAN KESIMPULAN


A. Kesimpulan..................................................................................... 72
B. Saran ............................................................................................. 72

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 73
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan sekumpulan sindrom


yang termanifestasikan sebagai inflamasi akut poliradikuloneuropati
sebagai hasil dari kelemahan dan penurunan refleks dengan berbagai
variasi klinis yang ditemukan (Andary, 2017). GBS mengambil nama dari
dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca: Gilan) dan Barré (baca: Barre),
yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap
kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis.
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012),
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini
terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum
belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf
tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.
SGB merupakan poliradikuloneuropati dari sifat autoimun yang
akut dan sering menjadi parah (Willison, Jacobs, & Doorn, 2015).
Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah penyakit pada sistem saraf tepi
yang insidensinya langka. Berdasarkan ringkasan dari American Academy
of Neurology (AAN) guideline on Guillain-Barré syndrome, GBS terjadi
pada 1 sampai 4 penderita per 100.000 populasi di seluruh dunia per
tahunnya, menyebabkan 25% penderita gagal napas sehingga
membutuhkan ventilator, 4%-15% kematian, 20% kecacatan, dan
kelemahan persisten pada 67% penderita. GBS dapat diderita baik pria
maupun wanita, berbagai usia, dan tidak dipengaruhi oleh ras. Penyakit ini
terdapat di seluruh dunia pada setiap musim dan dapat menyerang semua
umur. Angka kejadian tahunan keseluruhan GBS di Amerika Serikat
adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-laki-
dan wanita 3 : 2. Beberapa infeksi terlibat dalam perkembangan GBS.
Sekitar dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala
gastrointestinal telah dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya
gejala GBS. Bukti yang paling kuat adalah pada infeksi Campylobacter
jejuni, namun GBS juga dilaporkan pada infeksi berikut yaitu
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, cytomegalovirus, dan
Epstein-Barr.
Kasus SGB sering menjadi kondisi akut yang bahkan dapat masuk
pada kondisi kegawatan. SGB pertama kali ditemukan oleh Guillain dan
rekan di mana mereka menemukan gejala neuropati akut, paralisis, dan
radikuloneuritis setelah Perang Dunia ke-1 sekitar tahun 1916. Kasus yang
ditemukan oleh Guillain, Bare, dan Strohl dalam tulisan tahun 1916
dinyatakan bahwa pada kasus dua tentara pada perang dunia ke-1 di
Perancis mengalami kelumpuhan. Pada kasus dua tentara tersebut terjadi
peningkatan protein dalam cairan serebrospinalnya tanpa disertai
peningkatan jumlah sel darah putih, padahal kasus infeksi Tuberkulosa dan
Sifilis saat itu sedang meningkat. Tahun 1927 disebutkan sebagai Sindrom
Guillain-Barre pertama kali dalam presentasi ilmiah (Evers dan Hughes,
1998). Sekumpulan gejala paralisis tungkai, infeksi atau demam, dan
paralisis otot-otot pernapasan dan berakibat asfiksia penurunan sensasi
tersebut pun dikenal dengan nama Sindrom Guillain-Barré.
Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-
40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan
berkembang tidak nampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria
dibandingkan wanita. Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
menunjukkan pada akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam
satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012
berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Anonim, 2012
; Mikail, 2012). Setiap orang bisa terkena GBS tetapi pada umumya lebih
banyak terjadi pada orang tua. Orang berumur 50 tahun keatas merupakan
golongan paling tinggi risikonya untuk mengalami GBS (CDC, 2012).
Namun, menurut ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI) dr. Darma Imran, Sp S(K) mengatakan bahwa GBS dapat
dialami semua usia mulai anak-anak sampai orang tua, tapi puncaknya
adalah pada pasien usia produktif ( Mikail, 2013).
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry
pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry
ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan
terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun
1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan
khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai
peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi
sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian.
Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan
diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga
adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan
diagnosa.
Diagnosa GBS ditegakkan berdasarkan riwayat dan hasil tes
kesehatan baik secara fisik maupun laboratorium. Berdasarkan riwayat
penyakit didapatkan data tentang obat- obatan yang biasa diminum,
apakah ada riwayat konsumsi alkohol, infeksi-infeksi yang pernah diderita
sebelumnya, riwayat vaksinasi dan pembedahan yang dilakukan pada
orang tersebut sebelumnya, maka dokter akan menyimpulkan apakah
pasien menderita penyakit GBS. Tidak lupa juga riwayat penyakit yang
pernah diderita pasien maupun keluarga pasien misalnya diabetes mellitus,
diet yang dilakukan, semuanya akan diteliti dengan seksama hingga dokter
bisa menarik kesimpulan apakah orang terkena GBS atau penyakit lainnya.
Gejala awal antara lain adalah rasa seperti ditusuk-tusuk jarum di
ujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki
terasa berat dan kaku mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan
tidak bisa mengenggam erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka
kunci, buka kaleng dan lain-lain). Gejala awal ini bisa hilang dalam tempo
waktu beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan
atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan
lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa. Gejala
tahap berikutnya pada saat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya : kaki
sudah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter
menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsinya (Anonim, 2006).
Pada penderita GBS yang akut, kesemutan tidak hanya pada tangan tetapi
bisa menjalar ke kaki hingga ke perut. Itulah sebabnya penyakit GBS ini
bisa menyebabkan kelumpuhan, bahkan bisa juga menyebabkan kematian
apabila Perusakan saraf pernafasan sudah mencapai akar saraf di leher
sehingga pasien kesulitasn bernafas dan menyebabkan kematian
mendadak.
Data epidemiologi untuk kasus SGB sebagai penyakit gangguan
sistem saraf memang menunjukkan angka kejadian yang kurang signifikan
secara global maupun nasional. Di sisi lain, faktor pemicu SGB yaitu
infeksi yang masih banyak terjadi di negara tropik seperti Indonesia
memerlukan perhatian dari tenaga kesehatan terkait penanganan SGB.
Selain itu, SGB yang memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk
menghindari kegawatan (kegagalan otot pernapasan) dan disabilitas pasca
serangan akut.
Makalah ini dibuat untuk mempelajari aspek klinis dan asuhan
keperawatan pada pasien GBS sehingga dapat memberikan wawasan bagi
pembaca dan penulis.
B. Rumusan masalah

1. Bagaimanakah konsep teori penyakit Sindrom Guillain-Barre ?


2. Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Pasien dengan Sindrom Guillain-
Barre ?

C. Tujuan

Setelah mempelajari makalah ini, mahasiswa diharapkan mampu untuk :

1. Memahami konsep teori penyakit Sindrom Guillain-Barre


2. Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Pasien dengan Sindrom Guillain-
Barre

D. Manfaat
1. Teoritis
Hasil makalah ini diharapkan dapat menambah referensi dan wawasan
mengenai asuhan keperawatan pada klien Gullian Barre Syndrome
dengan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik
2. Praktik
a. Perawat
Hasil makalah ini diharapkan berupa latihan fisik Range Of
Montion (ROM) dapat menjadi salah satu pilihan dalam
perencanaan keperawatan non farmakologi pada klien dengan
Guillain Barre Syndrome dalam upaya mengatasi masalah
keperawatan hambatan mobilitas fisik.
b. Rumah Sakit
Hasil makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan
bagi pengembangan praktik keperawatan terutama pada klien
dengan Guillain Barre Syndrome dengan masalah keperawatan
hambatan mobilitas fisik.
c. Institusi Pendidikan
Hasil makalah ini diharapkan dapat meberikan informasi ilmiah
yang dapat bermanfaat dan menambah kepustakaan serta bacaan
bagi mahasiswa/I untuk melakukan asuhan keperawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SEJARAH
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry
pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending
paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya
hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain,
Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa
peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian
jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB
dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder
mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG
dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan
hantar saraf pada EMG.
B. Konsep Teori
1. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Sistem Saraf Perifer
Neuron merupakan unit fungsional dasar susunan saraf.
Neuron terdiri dari badan sel saraf dan prosesus-prosesusnya. Prosesus
(serabut saraf) sel neuron terbagi menjadi dendrit-dendrit dan sebuah
akson. Serabut saraf ini mengirimkan impuls listrik, yang
memungkinkan otak untuk tetap berhubungan dengan semua aspek
fungsi tubuh. Serabut saraf sensorik mengirim pesan dari struktur
perifer, seperti kulit, persendian, dan tulang, ke otak. Serabut motorik
mengirim pesan dari otak ke otot. Pesan ini dikirim dalam bentuk
impuls listrik. Setiap serabut saraf terdiri dari kabel listrik yang
dikenal sebagai akson, dan selubung isolasi dikenal sebagai myelin
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 (Satoto dan Span-Kar,
2013; Parry and Steinberg, 2007).
Myelin adalah campuran dari lipid dan protein. Pada susunan
saraf perifer, selubung myelin diproduksi oleh sel Schwann dan hanya
terdapat satu sel Schwann untuk setiap segmen serabut saraf.
Ketebalan myelin bergantung pada jumlah spiral membrane sel
Schwann. Selubung myelin bukan struktur berkelanjutan, tetapi terdiri
dari beberapa segmen myelin, masing-masing dipisahkan oleh celah
singkat yang dikenal sebagai nodus Ranvier. Nodus ini memainkan
peranan penting dalam perkembangan efek rangsangan dari reseptor
ke medulla spinalis atau sebaliknya, dengan mengadakan konduksi
cepat impuls melalui konduksi saltatori dari potensial aksi. Makin
tebal selubung myelin makin cepat konduksi sel saraf (Satoto dan
Span-Kar, 2013; Parry and Steinberg, 2007).

Gambar 2.1 Struktur Neuron (Satoto dan Span-Kar, 2013)


b. Fisiologi Saraf Perifer
Sebuah potensial aksi dimulai oleh sebuah stimulus yang
adekuat pada permukaan neuron pada segmen inisial akson yang
merupakan bagian akson yang paling peka. Stimulus mengubah
permeabilitas membrane terhadap ion Na sehingga ion Na masuk ke
akson dengan cepat. Ion-ion positif diluar aksolema berkurang dengan
cepat hingga mencapai nol disebut dengan depolarisasi. Meningkatnya
ion Na di dalam otot akan menimbulkan depolarisasi yang kemudian
meluas ke seluruh otot dan terjadilah kontaksi otot. Kecepatan
konduksi serabut saraf sebanding dengan daerah penampang
melintang akson, serabut saraf yang lebih tebal menghantarkan saraf
lebih cepat daripada yang berdiameter lebih kecil. Serabut saraf
motorik besar dapat mencapai kecepatan 70-120 meter per detik. Pada
serabut saraf yang bermielin, selubung myelin berfungsi sebagai
insulator. Akibatnya serabut saraf bermielin hanya dapat distimulasi
pada nodus ranvier tempat akson terbuka dan potensial aksi melompat
dari satu nodus ke nodus berikutnya (salutatory conduction).
Mekanisme ini lebih cepat daripada mekanisme konduksi pada saraf
yang tidak bermielin (Satoto dan Span-Kar, 2013).
c. Cedera Saraf Perifer
Neuropati perifer merupakan istilah umum yang
mengindikasikan adanya kerusakan pada sistem saraf perifer.
Neuropati perifer dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk yaitu
mononeuropati dan polineuropati. Pada mononeuropati merupakan
gangguan saraf perifer tunggal akibat trauma, khusunya akibat
tekanan, atau gangguan suplai darah. Sedangkan polineuropati
merupakan gangguan beberapa saraf perifer yang sering diakibatkan
oleh proses peradangan, metabolik atau toksik yang menyebabkan
kerusakan dengan pola difus, distal, dan simetris yang biasanya
mengenai ektremitas bawah sebelum ekstremitas atas. Secara
patofisiologis, polineuropati dapat dibagi menjadi subdivisi lagi
tergantung apakah lokasi penyakit pada selubung myelin atau sarafnya
sendiri (neuropati aksonal dan neuropati demielinasi). Neuropati
aksonal dihasilkan dari degenerasi akson sedangkan neuropati
demielinasi merupakan hasil neuropati dari degenerasi myelin
(Ginsberg, 2005; Parry and Steinberg, 2007; Satoto dan Span-Kar,
2013). Polineuropati terdapat dua subtipe yaitu akut dan kronis. Pada
Gambar 2.2 Guillain-Barré Syndrome (GBS) merupakan contoh
polineuropati akut yang terjadi tiba-tiba dan berkembang secara cepat
(Parry and Steinberg, 2007)
Gambar 2.2 Perbandingan Serabut Saraf (Parry and Steinberg, 2007)
Gambar 2.2.A menunjukkan saraf motorik myelin secara
normal. Bagian utama dari sel, badan sel, terletak di sumsum tulang
belakang atau di batang otak dari saraf kranial. Akson meluas dari
badan sel ke otot, yang dapat terletak di lengan, kaki, atau di tempat
lain. Akson normal yang dimielinasi berarti ditutupi dengan lapisan
isolasi dari myelin untuk mencegah kebocoran arus listrik yang
mengalir turun akson dari badan sel ke otot. Sedangkan pada Gambar
2.2.B menggambarkan apa yang terjadi pada pasien dengan selubung
myelin rusak (demielinasi) pada kondisi Guillain-Barré Syndrome
(GBS). Beberapa segmen dari myelin merosot dan dilucuti dari akson
yang mendasari, menghilangkan isolasi dan mengarah ke "hubungan
pendek." Akson tetap utuh, tetapi kebocoran saat keluar dan pesan
gagal untuk mencapai otot mengakibatkan kelemahan (Parry and
Steinberg, 2007).
2. Definisi Guillain-Barré Syndrome
Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah demielinasi polineuropati
akut yang pertama kali dijelaskan pada tahun 1859 (Tandel et al., 2016).
GBS merupakan suatu kerusakan sistem imun tubuh yang menyerang
bagian dari sistem saraf perifer (Satoto dan Span-Kar, 2013).

Gambar 2.3 Kerusakan Saraf (Demielinasi) (Tandel et al., 2016)

Jean-Baptiste Oktaf Landry pada tahun 1859 pertama kali


menjelaskan sebuah kasus “formikasi” distal sensorik dan kelemahan yang
naik (Ascending paralysis) setelah demam prodromal, malaise dan nyeri
yang berkembang menjadi kelumpuhan selama 3 minggu dan meninggal
karena gagal napas (Dimachkie and Barohn, 2013). Oleh sebab itu ada
beberapa ahli yang menyebutkan Guillain- Barré Syndrome (GBS) dengan
nama Landry Ascending paralysis atau Landry
3. Epidemiologi Guillain-Barré Syndrome
Insiden di seluruh dunia GBS berkisar 0,6-4,0 / 100.000 orang
dimana dalam sebuah tinjauan literatur sistematis epidemiologi GBS
ditemukan kejadian keseluruhan GBS menjadi 1,1-1,8 / 100.000 dan
kejadian tersebut lebih rendah pada anak-anak di 0,34-1,34 / 100.000
berbanding dengan kejadian GBS yang meningkat setelah usia 50 tahun
dari 1,7 / 100.000 menjadi 3,3 / 100.000 (Dimachkie and Barohn, 2013).
Insiden kejadian ini dengan tingkat lebih tinggi pada laki-laki daripada
perempuan (Tandel et al., 2016).
Kejadian tahunan di negara-negara barat bervariasi 1,1-1,8 /
100.000 penduduk per tahun dengan kejadian tahunan lebih rendah dari
0,66 / 100.000 penduduk per tahun di setiap Taiwan dan Cina (El-
Bayoumi et al., 2011). Pada fase akut GBS, sekitar 3% dari pasien
mungkin meninggal karena komplikasi akut dan sampai 20% memiliki
gejala sisa, permanen, cacat berat dengan defisit ambulasi atau
memerlukan bantuan ventilator sampai 12 bulan kemudian (Sebastian,
2012). Gejala GBS biasanya memakan waktu 6 sampai 18 bulan untuk
sepenuhnya teratasi, meskipun sebagian kecil mungkin memerlukan
rawat inap atau perawatan berkepanjangan (Nelson et al., 2009).
Tingkat insiden subtipe GBS berbeda di berbagai dunia. Di
Eropa dan Amerika Utara AIDP berkontribusi dominan dengan 90%
dari kasus, di Cina dan Jepang AMAN menjadi subtipe yang paling
umum kemudian di India kejadian AIDP dan AMAN yang hampir sama
meskipun AMAN lebih sering terjadi pada pasien yang lebih muda
(Meena et al., 2011).
Agen infeksi yang paling sering diidentifikasi terkait dengan
perkembangan selanjutnya GBS adalah Campylobacter jejuni, 30%
infeksi yang disebabkan C. jejuni sedangkan cytomegalovirus (CMV)
telah diidentifikasi hingga 10% dimana insiden GBS 0,25-0,65 per 1000
kasus infeksi C. jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus infeksi
cytomegalovirus primer (Yuki and Hartung, 2012).Beban keuangan
tahunan dari GBS diperkirakan $ 1,7 miliar, termasuk 10,2 miliar (14%)
dalam biaya medis langsung dan $ 1.5 milyar (86%) dalam biaya tidak
langsung dari produktivitas yang hilang atau kematian dini. (Sebastian,
2012).
Guillain Barre Syndrome. Pada tahun 1916, tiga ahli saraf
Perancis yaitu Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan Andre
Strohl melaporkan dua kasus dengan disosiasi sitologi albumin pada
pengujian cairan serebrospinal (CSF) dan membedakan sindrom GBS
ini dari poliomyelitis yang berimbas kelumpuhan (Dimachkie and
Barohn, 2013).
4. Etiologi Guillain-Barré Syndrome
Etiologi GBS belum diketahui secara pasti namun GBS dapat
dipicu oleh infeksi pencetus pada 2/3 kasus, yang pada umumnya infeksi
gastrointestinal dan pernafasan.
a. Infeksi Pencetus
 Campylobacter jejuni (C. jejuni )
jejuni adalah bakteri Gram negatif berbentuk spiral yang
merupakan salah satu penyebab utama diare telah diakui di seluruh
dunia sebagai patogen yang paling sering untuk GBS (Zhong and
Cai, 2007). C. jejuni secara konsisten diidentifikasi sebagai infeksi
pencetus yang paling sering terjadi di GBS, muncul pada sekitar
seperempat pasien (Jasti et al., 2016). Hampir 25 - 40% dari pasien
GBS di seluruh dunia menderita penyakit infeksi C. jejuni 1-3
minggu sebelumnya (Nyati and Nyati, 2013). Diperkirakan sekitar
satu dari 1000 pasien dengan C. jejuni berkembang menjadi GBS.
Dalam sebuah penelitian epidemiologi yang besar terhadap 100
pasien dengan GBS yang terjangkit C. jejuni, interval waktu rata-
rata dari onset diare dan perkembangan gejala neurologis adalah 10
hari dan interval terpendek adalah 3 hari (Wakerley and Yuki,
2013).
 M. pneumonia
Agen bakteri kedua yang paling sering ditemui untuk
dikaitkan dengan GBS adalah M. pneumoniae, yang menyebabkan
pneumonia atipikal. M. pneumoniae pada pasien GBS berkisar
secara signifikan (1-25%) namun tidak jarang terjadi pada kontrol.
Dalam satu penelitian cross-sectional terhadap 57 pasien GBS
pediatrik, sekitar 20% pasien memiliki bukti baru-baru ini
mengenai infeksi yang didefinisikan oleh adanya antibodi IgM
terhadap M. pneumoniae dibandingkan dengan 14% kontrol
(Wakerley and Yuki, 2013).
 Cytomegalovirus (CMV)
CMV adalah pemicu virus yang paling umum dari GBS,
dengan prevalensi berkisar antara 10% sampai 22% dalam
beberapa penelitian pada pasien GBS dimana CMV terkait GBS
ditandai dengan keterlibatan yang menonjol dari tengkorak dan
sensorik saraf (Zhong and Cai, 2007). CMV adalah contoh
mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pernafasan dan
kemudian dapat memicu GBS (Parry and Steinberg, 2007).
 Agen Infeksi Lainnya
Ada banyak laporan dari GBS sebelumnya patogen infeksi
termasuk Epstein-Barr Virus (EBV), Mycoplasma pneumonia, H.
influenza, virus varicella-zoster, virus influenza, adenovirus,
parainfluenza 1 virus, virus herpes simpleks, HIV, dan lain-lain
pada multivariat analisis menunjukkan bahwa pada pasien GBS,
infeksi EBV (10%) dan Mycoplasma pneumonia (5%) lebih
sering daripada kelompok control (Zhong and Cai, 2007).
b. Vaksinasi
Kecuali vaksin rabies dini, pengembangan GBS setelah
vaksinasi sangat jarang terjadi, menunjukkan bahwa faktor spesifik
host lainnya, termasuk genetik kemungkinan penting. Risiko
pengembangan GBS setelah imunisasi dengan vaksin polio oral,
vaksin konjugasi meningokokus, vaksin tetanus, vaksin gondok-
campak dan rubella, virus hepatitis B, H. influenzae tipe b mungkin
sangat rendah (Wakerley and Yuki, 2013). Dalam hal ini pembuktian
masih belum akurat karena manfaat vaksinasi lebih besar daripada
menjadi pemicu GBS.
c. Peristiwa Pencetus Lainnya
Beberapa GBS terkait peristiwa sebelumnya langka lainnya
telah dilaporkan seperti pembedahan, kanker, kehamilan, penyakit
autoimun, penggunaan obat-obatan, anestesi spinal, sengatan
serangga, epidural-anestesi umum, bedah untuk obesitas dan operasi
transplantasi (Zhong and Cai, 2007).
d. Riwayat Host Immunogenetic
Beberapa temuan menunjukkan kerentanan korban mungkin
menjadi penentu untuk terjadinya GBS dimana banyak penelitian telah
berusaha untuk mengidentifikasi hubungan antara terjadinya GBS dan
jenis HLA tertentu namun tidak ada kesimpulan pasti yang belum
tercapai mengenai faktor immunogenetic bertanggung jawab untuk
pengembangan GBS (Zhong and Cai, 2007).
5. Manifestasi Klinis Guillain-Barré Syndrome
a. Tanda
Pada pemeriksaan klinis kelumpuhan layuh areflexia
ditemukan dimana pengecilan otot biasanya terjadi dalam waktu dua
minggu dari timbulnya gejala dan dapat parah serta pada umumnya
disfungsi otonom yang dapat menyebabkan aritmia, ayunan tekanan
darah, retensi urin, ileus paralitik dan hyperhydriasis (Tandel et al.,
2016).
b. Gejala
Gejala klinis yang terdapat pada GBS antara lain :
 Paralisis motorik akut dan cepat.
 Ascending paralysis (lemah dari kaki naik ke atas)
 Glove stocking (sensasi kesemutan pada ekstrimitas)
 Reflex fisiologis menurun atau menghilang (arefleksia)
 Setelah terjadi gangguan motoris, keluhan nyeri
berkurang/menghilang.
 Bila mengenai saraf autonom (fluktuasi tekanan darah yang
tinggi, hipotensi
 postural, dan distrimia jantung).
 Pada 15% kasus terdapat gangguan otot pernafasan sehingga
terjadi hipoventilasi (gagal nafas yang merupakan kegawatan
penyakit GBS) (Bahrudin, 2013; Munir, 2015).
Kelemahan dan gangguan sensorik adalah gejala yang muncul
paling umum (Tandel et al., 2016). GBS biasanya dimulai secara tiba-
tiba dengan distal, onset paraesthesia relatif simetris dan segera diikuti
oleh kelemahan ekstremitas progresif. Perkembangan cepat, dengan
50% dari pasien mencapai titik nadir klinis oleh 2 minggu dan lebih
dari 90% dengan 4 minggu (Meena et al., 2011). Umumnya ada
kelemahan progresif motorik naik dimulai pada tungkai bawah mulai
dari kesulitan dalam berjalan kelumpuhan kemudian kelemahan dapat
naik melibatkan otot-otot pernapasan dan menyebabkan kegagalan
pernafasan serta kelumpuhan saraf wajah yang umum dan ada
kemungkinan terkait kelemahan bulbar dan oftalmoplegia (Tandel et
al., 2016). Sekitar 80% -90% pasien dengan GBS menjadi tidak
berdaya selama sakit serta pasien GBS yang dirawat di rumah sakit
membutuhkan ventilasi mekanis karena kelemahan otot pernapasan
atau orofaringeal (Meena et al., 2011).
Gejala sensorik termasuk nyeri, mati rasa dan parestesia
dimana nyeri biasanya mempengaruhi punggung bawah dan bisa berat
sedangkan mati rasa dan parestesia mulai distal dan naik dengan cara
yang sama dengan kelemahan motorik pada 80% pasien (Tandel et al.,
2016).
6. Klasifikasi Guillain-Barré Syndrome
Kerusakan saraf perifer GBS ini dapat diklasifikasikan menjadi dua
jenis utama: demielinasi dan degenerasi aksonal dimana serabut saraf
motorik yang lebih rentan terhadap penyakit daripada yang sensorik
(Zhong and Cai, 2007). Lainnya klasifikasi juga berdasarkan segi klinis;
rangkaian waktu, dominasi keterlibatan sensorik atau motorik, dan
keterlibatan saraf kranial. Konduksi saraf biasanya membedakan antara
demielinasi dan degenerasi aksonal primer (Fish and Llewelyn, 2008).
a. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP)
adalah subtipe GBS yang paling umum di Amerika Serikat dan Eropa,
terhitung lebih dari 80% kasus, di mana penyebab utamanya adalah
respons inflamasi terhadap mielin. Sebagian besar pasien pada
awalnya menggambarkan gejala sensorik distal ringan, yang dapat
mencakup mati rasa, parestesia, dan / atau disestesi. Pasien kemudian
mengembangkan kelemahan bilateral dan simetris progresif, klasik
melibatkan semua ekstremitas. Sebagian besar pasien mengalami
penurunan atau tidak adanya refleks. Dalam satu rangkaian besar
hampir 500 pasien, semua pasien mengalami kelemahan anggota
badan secara bilateral. Pada 6%, kelemahan itu terbatas pada kaki, dan
pada 1% kelemahan terbatas pada lengan. Saat presentasi, 90%
mengalami refleks menurun atau tidak ada tapi akhirnya hal ini dicatat
pada semua pasien. Gejala memuncak dalam 2 minggu dalam 80%,
dan dalam waktu 4 minggu di hampir semua pasien (97%) (Pasanen,
2015).
b. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) seluruhnya
merupakan motorik neuropati, paling banyak terjadi di China dan
Jepang (50 - 60% kasus), namun ditemukan di negara-negara barat
dengan frekuensi yang jauh lebih rendah (10 - 20% kasus). AMAN
ditandai dengan degenerasi aksonal dimana akson tampaknya menjadi
target utama serangan kekebalan dan biasanya terjadi dalam 1-2
minggu setelah infeksi terdahulu (Zhong and Cai, 2007)
Gambar 2.4 AIDP dan AMAN (Willison et al., 2016)
c. Acute Motor And Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Acute Motor And Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
adalah kelainan aksonal yang mirip dengan AMAN dengan
pengecualian bahwa saraf sensorik juga terlibat. Subtipe ini sangat
sedikit (kurang dari 10% kasus AMAN) dan pola patologinya sangat
mirip dengan AMAN, termasuk kerusakan dan degenerasi akson,
kecuali saraf sensorik yang terpengaruh secara bersamaan. AMSAN
biasanya berhubungan dengan jalur yang lebih parah dan prognosis
yang lebih buruk. Tingkat cedera akson seringkali lebih parah,
sehingga menghasilkan presentasi klinis yang lebih maju dan cepat
(Zhong and Cai, 2007; Pasanen, 2015).
d. Miller Fisher Syndrome (MFS)
Miller Fisher Syndrome (MFS) ditandai dengan ataksia,
arefleksia dan oftalmoplegia. 25% dari pasien mungkin mengalami
kelemahan anggota gerak (Tandel et al., 2016). MFS adalah varian
jarang GBS (sekitar 5%). Keterlibatan saraf kranial sangat berbeda
pada sindrom ini, dan saraf motor okulomotor, trokat, dan abducens
biasanya terpengaruh dan menghasilkan triad klinis khas
ophthalmoplegia, ataksia, dan areflexia (Zhong and Cai, 2007).
Meskipun jarang terjadi di Amerika Utara dan Eropa (~5%), MFS
menghasilkan sebanyak 20% sampai 25% kasus GBS di Asia
(Pasanen, 2015).
Bentuk kronis GBS dikenal sebagai polineuropati demielinasi
inflamasi kronis (CIDP). AIDP memiliki waktu puncak 4 minggu
setelah gejala awal danjika berkembang hingga 8 bulan disebut CIDP
(Satoto dan Span-Kar, 2013). Gambaran klinis yang mirip dengan
AIDP tetapi memiliki kursus progresif lambat atau kambuh (Tandel et
al., 2016).
Klasifikasi varian GBS berdasarkan profil antibodi daripada
gambaran klinis dan neurofisiologi telah diusulkan (Fish and
Llewelyn, 2008).

Gambar 2.5 Klasifikasi Klinik GBS terhadap Antibodi (Fish and


Llewelyn, 2008)
7. Patofisiologis Guillain-Barré Syndrome
Temuan patologis klasik di polineuropati demielinasi inflamasi akut
adalah inflamasi infiltrat (terutama terdiri dari sel-sel T dan makrofag) dan
bidang demielinasi segmental, sering dikaitkan dengan tanda-tanda
degenerasi aksonal sekunder, yang dapat dideteksi pada akar spinal, serta
di saraf motorik dan sensorik. Ada bukti aktivasi komplemen awal, yang
didasarkan pada antibodi yang mengikat ke permukaan luar dari sel
Schwann dan deposisi komponen komplemen diaktifkan; aktivasi
komplemen tersebut muncul untuk memulai vesikulasi myelin seperti yang
dapat kita cermati pada Gambar 2.6. Invasi makrofag diamati dalam
waktu 1 minggu setelah kerusakan komplemen myelin termediasi terjadi
(Yuki and Hartung, 2012).

Gambar 2.6 AMAN akibat C. jejuni (Tandel et al., 2016)


Gambar 2.7 Kemungkinan Imunopatogenesis GBS (Yuki and Hartung, 2012)
Pada Gambar 2.7. Panel A menunjukkan imunopatogenesis
polineuropati demielinasi inflamasi akut. Meskipun autoantigen belum
diidentifikasi secara tegas, autoantibodi dapat mengikat pada antigen
myelin dan mengaktifkan komplemen. Ini diikuti dengan pembentukan
membrane attack complex (MAC) pada permukaan luar dari sel Schwann
dan inisiasi degenerasi vesikular. Makrofag kemudian menyerang myelin
dan bertindak sebagai pemakan untuk menghilangkan debris myelin.
Sedangkan pada Panel B menunjukkan imunopatogenesis neuropati
motorik aksonal akut. Akson myelin dibagi menjadi empat wilayah
fungsional: Ranvier nodes, paranodes, juxtaparanodes, dan internodes.
Gangliosida GM1 dan GD1a yang sangat terlihat pada node dari Ranvier,
di mana saluran tegangan sodium (Nav) terlokalisir. Contactinassociated
protein (Caspr) dan saluran tegangan kalium (Kv) masing-masing hadir
pada paranodes dan juxtaparanodes. IgG anti-GM1 atau anti-GD1a
autoantibodi berikatan dengan aksolema nodal, yang mengarah ke
pembentukan MAC. Hal ini menyebabkan hilangnya cluster Nav dan
detasemen myelin paranodal, yang dapat menyebabkan kegagalan saraf-
konduksi dan kelemahan otot. Degenerasi aksonal dapat mengikuti pada
tahap berikutnya. Makrofag kemudian menyerang dari node ke dalam
ruang periaxonal, mencari akson yang terluka (Yuki and Hartung, 2012).
Studi lain pada pasien dan hewan uji coba telah memberikan bukti yang
meyakinkan bahwa GBS, setidaknya dalam beberapa kasus, disebabkan
oleh respon imun yang menyimpang infeksi yang disebabkan yang
merusak sarafperifer. Empat faktor utama telah diidentifikasi yang
mengontrol proses ini ditunjukkan pada Gambar 2.8 (Van Doorn et al.,
2008).

Gambar 2.8 Imunobiologi GBS (Van Doorn et al., 2008)


a. Antiganglioside Antibodies
Gangliosida, yang terdiri dari ceramide melekat pada satu atau
lebih gula (heksosa) dan mengandung asam sialat (asam N-
acetylneuraminic) terkait dengan inti oligosakarida, adalah komponen
penting dari saraf perifer. Empat gangliosida - GM1, GD1a, GT1a,
dan GQ1b - berbeda berkaitan dengan jumlah dan posisi asam sialat ,
di mana M, D, T, dan Q mewakili mono-, kelompok di-, tri-, dan
quadri-sialosyl ( Gambar 2.9). Autoantibodi IgG pada GM1 dan GD1a
berhubungan dengan AMAN dan AMSAN dan konduksi motorik
akut-memblok saraf masing-masing, tapi tidak dengan AIDP.
Sarafmotorik dan sensorik menunjukkan jumlah yang sama terhadap
GM1 dan GD1a, tapi perwujudan hal tersebut dalam berbagai jaringan
dapat berbeda. Ini bisa menjelaskan cedera motorik aksonal
preferensial terlihat pada AMAN (Yuki and Hartung, 2012).

Gambar 2. 9 Spektrum Gangguan GBS & Keterkaitan Antibodi


Antigangliosida (Yuki and Hartung, 2012)
Pada sekitar setengah pasien GBS, antibodi serum telah
ditemukan di berbagai gangliosida pada saraf perifer, termasuk LM1,
GM1, GM1b, GM2, GD1a, GalNAc-GD1a, GD1b, GD2, GD3, GT1a,
dan GQ1b. Gangliosida- gangliosida ini memiliki jaringan distribusi
yang ada di saraf perifer dan berperan dalam pemeliharaan struktur
membran sel. Kenyataannya, sebagian besar antibodi ini spesifik
untuk menetapkan subkelompok GBS. Antibodi untuk GM1, GM1b,
GD1a, dan GalNAc-GD1a berhubungan dengan motorik murni atau
varian aksonal GBS, sedangkan antibodi untuk GD3, GT1a, dan
GQ1b terkait dengan oftalmoplegia dan MFS (Yuki and Hartung,
2012).
Meskipun ada hubungan antara kehadiran antibodi ini dan gejala
klinis serta keparahan GBS, patologis secara signifikan dari beberapa
antibodi ini belum ditetapkan. Antibodi pada glikolipid lainnya, dan
sel T pada protein saraf perifer juga telah ditemukan pada pasien GBS
(Van Doorn et al., 2008).

Gambar 2. 10 Relasi Antara Infeksi Antibody Antigangliosida


Dan Klinis GBS (Van Doorn et al., 2008)

b. Peniruan Molekuler dan Kereaktifan Silang


C jejuni yang diisolat dari pasien menyatakan lipo-oligosakarida
(LOS) yang meniru karbohidrat dari gangliosida. Lipooligosakarida
adalah komponen utama dari membran luar C. jejuni. Sebuah
kumpulan gen teridentifikasi yang memungkinkan beberapa isolate C
jejuni untuk mensintesis struktur ini. varian gen tertentu dalam
kumpulan ini dikaitkan dengan C jejuni isolat dari pasien GBS dan
sangat penting untuk penampakan gangliosida mirip LOS. Jenis
gangliosida menipu pada C jejuni terlihat menentukan spesifisitas
antibodi antiganglioside dan varian GBS. C jejuni isolat dari pasien
dengan motorik murni atau aksonal GBS sering menunujukkan GM1
dan GD1a mirip LOS, sedangkan yang diisolasi dari pasien dengan
optalmoplegia atau MFS biasanya menunujkkan GD3, GT1a, atau
GD1c mirip LOS. Antibodi pada pasien ini biasanya reaksi silang
(cross-reactive) dan mengenali LOS sebagai gangliosida atau
kompleks ganglioside. IgG autoantibodi ke GQ1b, yang bereaksi
silang dengan GT1a, sangat terkait dengan sindrom Miller Fisher yang
bentuknya tidak lengkap (ophthalmoparesis akut dan neuropati ataxia
akut). Pasien dengan faring-serviks-brachial kelemahan lebih mungkin
untuk memiliki IgG antibodi anti-GT1a, yang mungkin reaksi silang
dengan GQ1b; mereka juga cenderung tidak memiliki IgG antibodi
anti-GD1a, yang menunjukkan hubungan aksonal pada GBS (Van
Doorn et al., 2008).
Dalam model kelinci dari GBS, imunisasi dengan GM1 mirip
LOS diinduksi produksi antibodi antiGM1 dan bermanifestasi klinis
sebagai neuropati aksonal, mirip dengan yang ditemukan pada pasien
GBS yang mana C jejuni diisolasi. Atas dasar hasil ini, GBS,
setidaknya dalam kasus terkait GM1 Campylobacter terkait, dianggap
kasus yang benar dari penyakit terkait peniruan molekul. Peniruan
molekuler dan reaksi silang respon imun juga telah diidentifikasi
setelah beberapa jenis infeksi sebelumnya, termasuk H influenzae.
studi lain, sebuah H. influenzae diisolasi dari pasien dengan sindrom
Miller Fisher juga membawa GQ1b meniru LOS (Van Doorn et al.,
2008; Fish Llewelyn, 2008).
c. Aktivasi Komplemen
Studi post-mortem menunjukkan bahwa aktivasi komplemen
lokal terjadi di lokasi kerusakan saraf, seperti axolemma pada pasien
dengan AMAN dan membran sel Schwann pada pasien dengan AIDP.
Dengan demikian, model tikus GBS menunjukkan bahwa beberapa
antibodi antiganglioside sangat beracun bagi saraf perifer. Sebuah
mirip efek α-latrotoxin dapat diinduksi pada tikus, yang ditandai
dengan melepaskan asetilkolin, mengakibatkan penipisan
neurotransmitter ini di terminal saraf, dan memblokade akhir transmisi
saraf dan kelumpuhan persiapan saraf-otot. Terminal saraf dan sel
Schwann perisynaptic juga hancur. Antibodi pada GM1
mempengaruhi saluran natrium pada node dari Ranvier kelinci saraf
perifer. Semua efek ini terlihat tergantung pada aktivasi komplemen
dan pembentukan kompleks serangan membran. Efek neurotoksik
antibodi tersebut dihambat oleh imunoglobulin dan eculizumab
pelengkap inhibitor (Burns, 2008; Van Doorn et al., 2008).
d. Host Factor
Kurang dari 1 dalam 1.000 pasien dengan infeksi C jejuni akan
berkembang menjadi GBS. Host factor dapat mempengaruhi
kerentanan menjadi GBS, ataupun berkepanjangan pada kerusakan
saraf dan prognosisnya (Van Doorn et al., 2008).
Onset GBS umumnya muncul 1-4 minggu setelah penyakit
infeksius muncul. Banyak organisme infeksius yang dianggap
menginduksi produksi antibodi yang bereaksi silang dengan gangliosis
dan glikolipid, seperti GM1 dan GD1b, yang tersebar luas di
sepanjang mielin pada sistem saraf perifer. Rekasi silang ini disebut
molecular mimicry. Ditemukannya sel inflamasi dan makrofag pada
saraf penderita GBS, yang diikuti dengan destruksi mielin akibat
aktivitas sitokin. Inflamasi dan degenerasi mielin menyebabkan
kebocoran protein dari darah ke cairan serebrospinalis, menyebabkan
peningkatan konsentrasi protein cairan serebrospinalis. Tanda ini
merupakan ciri khas pada GBS. Sel Schwann yang memiliki
kemampuan membentuk serabut mielin biasanya tidak mengalami
destruksi, sehingga menjelaskan bagaimana pasien GBS bisa sembuh
total (Munir, 2015).
8. Diagnosis Guillain-Barré Syndrome
Diagnosis GBS terutama ditegakkan dari temuan klinis dan
pemeriksaan penunjang. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3
fase, yakni:
a. Fase Progresif
Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua sampai
tiga minggu sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap yang
dikenal sebagai “titik nadir”. Pada fase ini timbul nyeri, kelemahan
bersifat progresif dan gangguan sensorik. Derajat keparahan gejala
bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang muncul pada
penderita. Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi
menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik
yang permanen.
b. Fase Plateau
Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana
tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan
telah berhenti namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
berikutnya, yaitu fase penyembuhan. Pada pasien biasanya didapati
nyeri hebat akibat peradangan saraf serta kekakuan otot dan sendi.
Keadaan umum penderita sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi. Terapi ditujukan terutama dalam
memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang
masih ada. Pengawasan terhadap tekanan darah, irama jantung,
pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis perlu
dilakukan dengan rutin. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Lama
fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai
fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin
bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya
fase penyembuhan.
c. Fase Penyembuhan
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti
memproduksi antibodi yang menghancurkan mielin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi.
Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan
otot yang normal dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang
berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga
bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu
bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat
kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Selain daripada manifestasi klinis dan diagnosis berdasarkan
fase, kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of
Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS)
menjadi patokan untuk diagnosis GBS; meliputi gejala utama, gejala
tambahan, pemeriksaan CSS, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan
gejala yang menyingkirkan diagnosis.
 Gejala utama
 Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih
ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataksia
 Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
 Gejala tambahan
 Progresivitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, 90% dalam 4 minggu.
 Biasanya simetris
 Adanya gejala sensoris yang ringan
 Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot bulbar,kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
 Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi
postural, hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis
 Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah
progresivitas berhenti. penyembuhan umumnya fungsionil
dapat kembali
 Pemeriksaan CSS
 Peningkatan protein
 Sel MN < 10 /µl
 Pemeriksaan elektrodiagnostik
 Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi
impuls saraf
 Gejala yang menyingkirkan diagnosis
 Kelemahan yang sifatnya asimetri
 Disfungsi vesika urinaria yang sifatnya persisten
 Sel PMN atau MN di dalam CSS > 50/ul
 Gejala sensoris yang nyata
Pada GBS, kelemahan bilateral progresif cepat adalah gejala yang
utama pada sebagian besar pasien. Kelemahan secara sederhana dapat
digambarkan ascending (naik), dan biasanya dimulai pada ekstremitas bawah
distal, tapi dapat mulai lebih proksimal di kaki atau lengan (Willison et al.,
2016). Kelemahan dapat saling mempengaruhi semua otot tungkai, atau
didominasi otot distal atau proksimal di lengan atau kaki. Pasien GBS
mengalami penurunan atau tidak ada refleks tendon bagian dalam, sedikitnya
pada tungkai yang terkena (Van Doorn et al., 2008). Menurut berbagai kriteria
diagnostik untuk GBS, pasien dapat memiliki perkembangan kelemahan dalam
waktu 4 minggu. Kebanyakan pasien mencapai titik nadir dalam waktu 2
minggu. Perkembangan dapat bertahan hingga 6 minggu setelah onset (GBS
subakut) dalam beberapa kasus yang jarang terjadi (Willison et al., 2016).
Beberapa anamnesis yang membantu menegakkan diagnosis GBS di
antaranya:
 Gangguan muncul pada kedua sisi tubuh.
 Kelemahan otot terjadi dalam beberapa hari atau minggu, bahkan
berbulan-
 bulan.
 Kelemahan pada awalnya muncul di tungkai yang kemudian
menjalar ke atas
 hingga dapat mengenai otot pernafasan dan otot-otot lengan.
 Ditemukan riwayat infeksi saluran nafas atau pencernaan sebelum
awitan.
 Adanya faktor pencetus seperti riwayat vaksinasi,
kehamilan, operasi sebelumnya, dan lain-lain.
 Refleks tendon menghilang akibat terlambatnya penyampaian impuls
saraf karena kerusakan myelin (Dewanto et al., 2007).
Terdapat pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa penyakit GBS
diantaranya :
 Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap,
glukosa darah, dan elektrolit untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain.
 Pada pemeriksaan CSS yang didapatkan dari pungsi lumbal
ditemukan peningkatan konsentrasi protein pada beberapa pasien
setelah 2 sampai 3 minggu. Fraksi ϒ- globulin biasanya meningkat.
Sel-sel, terutama monosit, ditemukan pada 20% kasus, tetapi yang
khas adalah peningkatan salah satu fraksi protein tanpa peningkatan
jumlah sel (disosiasi sitoalbuminik). Normalnya protein pada CSS
yang didapatkan dari pemeriksaan pungsi lumbal adalah 0,1-0,4 g/L.
Teknik pungsi lumbal yaitu pasien berbaring pada sisi kiri dengan
tulang belakang fleksi maksimal dan punggung tegak lurus terhadap
tempat tidur. Suatu garis vertical yang melalui krista iliaka,
menunjukkan rongga L3/4 (paling sering digunakan). Setelah
membersihkan serta melakukan anastesi kulit dan jaringan subkutan
dengan obat anastesi local, masukkan jarum pungsi dengan sudut
sedikit mengarah ke kepala pasien. Rongga subaraknoid dikenali dari
sedikit tahanan jaringan saat jarum dimasukkan. Kemudian tarik
stilet dalam jarum, sehingga tekanan cairan serebrospinal dapat
diukur dengan manometer, dan sampel dapat diambil (biasanya
dalam tiga botol dan satu tabung fluoride untuk pengukuran
glukosa).
Gambaran Normal Cairan Serebrospinal (Ginsberg, 2005)
Tekanan : 80-180 mm CSS
Leukosit : < 5/ μL
Protein : 0,1 – 0,4 g/L
Glukosa : ≥ 50% nilai serum (biasanya 2,8-4,7 mM)

Gambar 2.11 Teknik Pungsi Lumbal (Ginsberg, 2005)

 Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (Nerve Conduction Velocity)


untuk menilai potensial aksi yang dikeluarkan oleh akson. Gambaran
pada pasien GBS adalah melambatnya kecepatan hantar sensorik dan
motorik, memanjangnya latensi motorik distal, serta kecepatan
hantaran gelombang F melambat yang menggambarkan adanya
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Melambatnya
konduksi saraf merupakan gejala yang muncul pada akhir perjalanan
penyakit. NCV juga berfungsi mengukur tingkat kerusakan pada
serabut saraf yang lebih besar dan membedakan apakah gejala
tersebut disebabkan oleh degenerasi selubung myelin atau akson.
Selama pemeriksaan ini, sebuah probe elekktrik akan merangsang
serat saraf sehingga dengan sendirinya dapat menghasilkan impuls
listrik. Selanjutnya sebuah elektroda akan ditempatkan sepanjang
jalur saraf untuk mengukur kecepatan transmisi impuls saraf
sepanjang akson. Laju transmisi yang lambat dan penyumbatan
impuls cenderung menunjukkan adanya kerusakan pada selubung
myelin, sedangkan penurunan kekuatan impuls merupakan tanda
degenerasi akson.

 Pemeriksaan EMG (Electromyography) untuk menilai aksi potensial


otot. EMG membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis pada kasus
klnis sulit seperti pada pasien yang mengalami nyeri yang ekstrim
dan terutama dibutuhkan untuk mengklasifikasi GBS ke dalam
subtipe AMAN dan AIDP. EMdievaluasi dengan memasukkan
jarum halus ke dalam otot untuk membandingkan jumlah aktivitas
listrik yang ada pada saat otot mengalami istirahat dengan saat
terjadi kontraksi. Pemeriksaan EMG dapat membedakan antara
kerusakan otot dan saraf. (Dewanto et al., 2007; Munir, 2015; Satoto
dan Span-Kar, 2013; Van Doorn et al., 2008; Ginsberg, 2005).
9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang sering mirip GBS, dapat dibedakan dengan:
a. Miastenia gravis akut: Tidak muncul sebagai paralisis asendens,
meskipun terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula
penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada miastenia, otot mandibula
akan melemah setelah beraktivitas serta tidak didapati defisit sensorik
ataupun arefleksia.
b. Thrombosis arteri basilaris: Dapat dibedakan dari GBS dimana pada
GBS, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas
gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks
serta refleks patologis Babinski.
c. Paralisis periodik: Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa
keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia. Pada GBS,
terdapat paralisis umum yang mendadak dan boleh menyebabkan
paralisis otot respirasi.
d. Botulisme: Didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan
kaleng yang terinfeksi, dimana gejala dimulai dengan diplopia,
disertai dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya
bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien GBS.
e. Tick paralysis: Terjadi paralisis flasid tanpa keterlibatan otot
pernafasan; umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu
yang menempel pada kulit.
f. Porfiria intermiten akut: Terdapat paralisis respiratorik akut dan
mendadak, namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan
peningkatan serum asam aminolevulinik delta. Pada GBS, terdapat
keterlibatan paralisis otot respirasi, namun hasil pemeriksaan urin
dalam batas normal.
g. Neuropati akibat logam berat: Umumnya terjadi pada pekerja industri
dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat
daripada GBS.
h. Cedera medula spinalis: Ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah
tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hampir sama yakni pada fase
syok spinal, dimana refleks tendon akan menghilang.
i. Poliomielitis: Didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala
meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
j. Mielopati servikalis: Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan
pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau
kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan
hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam
melawan gaya gravitasi.
10. Tingkatan Klinis Guillain-Barré Syndrome
Perjalanan klinis GBS mengikuti pola khas yang dapat dengan mudah
dibagi menjadi fase dan komponen penyusunnya seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.12 (Willison et al., 2016).

Gambar 2.12 Gambaran Klinis GBS (Willison et al., 2016)

Onset GBS biasanya bertahap selama beberapa hari atau, kurang


sering, tiba-tiba (lebih dari 12-24 jam), dan kelumpuhan kadang-kadang
ekstrim, membutuhkan dibantu ventilasi (20-30%). Kerusakan dapat
menjadi akut dan dapat terjadi terutama dalam tiga tahap pertama:
 Tahap 1: 24 jam awal terjadinya penyakit
 Tahap 2: perkembangan penyakit;
 Tahap 3: fase plateau;
 Tahap 4: pemulihan awal;
 Tahap 5: pemulihan jangka panjang (Peake et al., 2004).
Disabilitas persisten terlihat dalam 20 sampai 30% dari pasien GBS
dewasa tapi jauh kurang umum pada anak-anak. Disabilitas jangka panjang
pada orang dewasa lebih umum dengan akson GBS dan GBS parah,
misalnya, pada pasien dengan ventilasi mekanik. Selain karakteristik
elektrofisiologi, usia, perkembangan yang cepat, dan kecacatan di titik
nadir berhubungan dengan prognosis jangka panjang. Sebuah sistem
penilaian prognosis klinis (the Erasmus GBS Outcome Score [EGOS])
baru-baru ini telah diusulkan. Angka ini memperhitungkan angka
disabilitas GBS seperti yang ditunjukkan pada Tabel II.2 (Burns, 2008).
Angka Disabilitas GBS (Burns, 2008)
0 = Keadaan sehat
1 = Gejala minor dan mampu berlari
2 = Mampu berjalan 10 m atau lebih tanpa bantuan tetapi tidak
dapat berlari 3 = Mampu berjalan 10 m di ruang terbuka dengan
bantuan
4 = Terbaring di tempat tidur atau kursi
5 = Membutuhkan bantuan ventilasi setidaknya setengah hari
6 = Kematian
11. Komplikasi Guillain-Barré Syndrome
Kematian dikarenakan GBS adalah karena masalah terkait penyakit
atau komplikasi sekunder yang berkembang di rumah sakit karena
penyakit yang berkepanjangan (Meena et al., 2011).
a. Kegagalan Pernafasan
Salah satu komplikasi yang paling parah pada pasien dengan GBS
adalah kegagalan pernafasan neuromuskular, dengan 15% sampai
30% pasien memerlukan ventilasi mekanis. Waktu dari onset menuju
awal masuk kurang dari 1 minggu, kelemahan wajah,
ketidakmampuan untuk batuk, ketidakmampuan untuk mengangkat
kepala dari bantal, dan atelektasis pada rontgen dada adalah faktor-
faktor lain yang terkait dengan kegagalan pernafasan dan perlu untuk
ventilasi mekanik. Pasien GBS yang membutuhkan ventilasi mekanis
beresiko tinggi mengembangkan komplikasi yang signifikan seperti
pneumonia, tracheobronchitis, emboli paru, atau bakteremia (Pasanen,
2015; Burns, 2008).
b. Disfungsi Sistem Saraf Otonom
Disfungsi otonom dapat terjadi pada sebanyak 70% pasien.
Pemantauan EKG, tekanan darah dan keseimbangan cairan sangat
dianjurkan. Disfungsi otonom akut berkembang di mayoritas pasien
GBS dan merupakan penyebab signifikan kematian pada pasien.
Gangguan jantung dan hemodinamik adalah komplikasi yang paling
serius dan sering, tetapi pasien GBS juga sering mengalami
dysautonomia fungsi usus dan kandung kemih. Gangguan jantung dan
hemodinamik diwujudkan sebagai hipertensi, hipotensi postural, dan
takikardia terjadi pada sebagian besar pasien GBS. Pemantauan
kardiovaskular harus terus dilakukan sampai pasien sudah mulai pada
perbaikan klinis atau jika pasien diperlukan ventilasi, sampai
dukungan ventilasi telah dihentikan. Gangguan denyut jantung dan
tekanan darah tidak harus selalu diasumsikan sekunder untuk
neuropathy otonom, terutama jika berkelanjutan atau jika pasien GBS
dinyatakan tidak parah atau dekat nadir klinis (Willison et al., 2016;
Pasanen, 2015; Burns, 2008).
Retensi urin dapat terjadi hingga sepertiga dari pasien GBS.
Disfungsi kandung kemih sangat umum pada pasien GBS yang tidak
berdaya dan memerlukan ventilasi mekanis. Retensi urin
kemungkinan sekunder pada saraf parasimpatik sakral dan disfungsi
saraf motorik pudendal, dan dapat dikelola dengan steril, tertutup
sistem drainase urin (Burns, 2008).
c. Deep Vein Thrombosis
Imobilisasi yang disebabkan oleh GBS merupakan faktor risiko
untuk pengembangan DVT dan emboli paru. Subkutan fractionated or
unfractionated heparin dan dukungan stoking direkomendasikan untuk
pasien GBS yang tidak berdaya sampai mereka bisa berjalan secara
mandiri. Rekomendasi ini didasarkan pada bukti bahwa heparin
subkutan (5000 U setiap 12 jam) atau enoxaparin (40 mg setiap hari)
mengurangi kejadian DVT pada pasien medis akut dan pada pasien
bedah ortopedi dan urologi, dan bukti yang mendukung stoking juga
mengurangi risiko DVT (Meena et al., 2011; Burns, 2008).
d. Nyeri
Nyeri adalah gejala yang umum terjadi pada pasien GBS, terjadi
hingga 50% dari semua pasien GBS, dan harus didiagnosis dan diobati
segera. Nyeri dilaporkan di sebagian besar pasien GBS dan harus
ditangani secara agresif. Dalam satu studi prospektif pasien GBS, 47%
melaporkan nyeri yang menyedihkan, mengerikan, atau menyiksa.
Jenis nyeri yang paling umum adalah dalam, sakit punggung dan nyeri
tungkai bawah dan nyeri ekstremitas. Intensitas nyeri berkorelasi
buruk dengan derajat kecacatan (Jasti el al., 2016; Burns, 2008).
12. Penatalaksanaan Terapi Guillain-Barré Syndrome
Penatalaksanaan GBS biasanya terapi jangka panjang diikuti dengan
periode bertahap lambat untuk pemulihannya. Pengobatan GBS
merupakan upaya multidisiplin. Terapi umum dengan kelemahan otot
termasuk pemantauan berkala pada fungsi paru dan kardiovaskular untuk
kemungkinan keterlibatan otot pernapasan dan neuropati otonom masing-
masing, pencegahan infeksi dan trombosis vena dalam, manajemen nyeri,
fisioterapi awal, rehabilitasi awal setelah peningkatan kekuatan otot
dimulai dan dukungan psikososial bagi pasien yang terkena dampak dan
keluarga mereka (El-Bayoumi et al., 2011). Penatalaksanaan GBS yang
diberikan pada pasien GBS antara lain :
a. Terapi Penunjang
 Perawatan Intensive Care Unit (ICU) dan Mechanical
Ventilation
Idealnya, semua pasien harus tetap di bawah pengamatan rumah
sakit sampai telah ditetapkan bahwa tidak ada bukti dari
pengembangan klinis. Pasien harus dirawat di Intensive Care
Unit (ICU), di mana sumber daya yang memadai tersedia untuk
memantau jantung terus menerus dan pemantauan pernapasan.
Pasien dengan kelemahan yang sangat ringan dan kemampuan
untuk berjalan secara independen tidak memerlukan perawatan
apapun di luar perawatan suportif (El-Bayoumi et al., 2011;
Yuki and Hartung, 2012). Bahkan tanpa adanya gangguan
pernapasan klinis, ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada
pasien dengan setidaknya satu kriteria utama atau dua kriteria
minor. Kriteria utama adalah hiperkarbia (tekanan parsial
karbon dioksida arteri,> 6.4 kPa [48 mm Hg]), hipoksemia
(tekanan parsial oksigen arteri ketika pasien sedang menghirup
udara ambien, <7,5 kPa [56 mm Hg]), dan kapasitas vital kurang
dari 15 ml per kilogram berat badan, dan kriteria minor yang
batuk tidak efisien, gangguan menelan, dan atelektasis.
Penilaian awal menelan akan mengidentifikasi pasien pada
risiko aspirasi, memerlukan penempatan tabung nasogastrik.
dekontaminasi selektif dari saluran pencernaan mengurangi
waktu bahwa pasien tetap pada ventilator (Yuki and Hartung,
2012).
 Terapi Simptomatis
 Analgesik
Dalam penelitian 75% dari pasien GBS diperlukan
analgesik opioid oral atau parenteral dan 30% dirawat
dengan infus morfin intravena (kisaran, 1-7 mg / h).
Narkotika dapat memperburuk dismotilitas gastrointestinal
dan distensi kandung kemih sehingga dokter harus hati-hati
memantau efek samping tersebut (Burns, 2008).
Sepuluh persen dari pasien menerima antidepresan trisiklik
dan 10% menerima carbamazepine sebagai terapi adjuvant
untuk nyeri neuropatik selama fase akhir dari penyakit.
Carbamazepine dan gabapentin dapat juga efektif dalam
manajemen nyeri, dan infus epidural morfin dapat
membantu dalam mengendalikan rasa sakit yang parah dan
berat (Zhong and Cai, 2007). Gabapentin (mis, 15 mg / kg /
d) dan carbamazepine (misalnya, 300 mg sehari) yang
dilaporkan efektif untuk pengurangan nyeri pada pasien
dengan GBS. terapi adjuvan lainnya (misalnya, mexiletine,
tramadol, obat antidepresan trisiklik) mungkin juga
membantu dalam pengelolaan jangka pendek dan jangka
panjang dari nyeri neuropatik. Acetaminophen atau agen
anti-inflamasi nonsteroid juga bisa dicoba sebagai
pengobatan lini pertama, tetapi sering tidak sangat efektif
(Meena et al., 2011; Burns, 2008).
 Anti Koagulan
Pasien tidak bergerak beresiko sangat tinggi DVT dan
emboli paru. Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
kombinasi baik dengan perangkat kompresi pneumatik atau
stoking anti emboli, dianjurkan sampai pasien dapat
berjalan tanpa bantuan (Tandel et al., 2016). Kemudian
terdapat rekomendasi yangdidasarkan pada bukti bahwa
heparin subkutan (5000 U setiap 12 jam) atau enoxaparin
(40 mg setiap hari) mengurangi kejadian DVT pada pasien
medis akut dan pada pasien bedah ortopedi dan urologi, dan
bukti yang mendukung stoking juga mengurangi risiko
DVT (Burns, 2008).

 Terapi Kausatif
Terapi spesifik untuk pengobatan GBS adalah dengan terapi
imunomodulator seperti Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
atau Plasma Exchange (PE). Terapi IVIG ini mampu
menetralisir neuromuscular dengan memblok antibodi di GBS
dengan tergantung dosis, mekanisme mediasi antibodi.
Sedangkan PE yaitu membuang immunoglobulin dan antibodi
dari serum dengan cara memindahkan darah tubuh dan
mengantinya dengan Fresh Frozen Plasma, albumin atau salin.
Keputusan untuk menggunakan terapi imunomodulator adalah
berdasarkan pada derajat keparahan penyakit, progresifitas dan
lamanya waktu antara gejala pertama dengan manifestasi
klinisnya (Dewanto et al., 2007).
 Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
IVIg bekerja dengan cara menghambat efek toksik dari CD8
killer T-Cell pada myelin di saraf dan CD4 CD45RO+ T
Cell, dan mereduksi jumlah total limfosit B. Selain itu IVIg
kemungkinan mempengaruhi produksi antibodi dan
mengurangi inflamasi pada sel. IVIg juga memblok ikatan
reseptor Fc (gamma), sehingga mencegah bahaya
fagositosis oleh makrofag. Dosis terapi yang diberikan
adalah 400 mg/kg BB per hari selama 5 hari (total dosis 2,0
g/Kg BB) melalui infus, pemberian dilakukan secara
kontinyu dalam jangka waktu 5 hari (Pangesti, 2015).
Kontraindikasi IVIg meliputi: reaksi anafilaksis sebelumnya
untuk IVIg dan IgA defisiensi (terkait dengan reaksi
anafilaksis untuk produk darah). Efek samping dari IVIg
mungkin ringan atau berat dan termasuk mual, sakit kepala,
gangguan dermatologis termasuk eritroderma, kelebihan
cairan, tes fungsi hati, tromboemboli vena, gagal ginjal akut
dan anafilaksis (Tandel et al., 2016).
Sediaan IVIG yaitu Gammaras 5%, Sandoglobulin NF
liquid – CSL Bioplasma, mengandung Ig G steril tanpa
larutan yang terdiri dari 6gram/50ml dan 12gram/100ml,
Octagam-Octapharma bebas larutan dari Imunoglobulin G
60 mg/ml yang diambil dari banyak donor, yang tersedia
dalam kemasan 1 gram/20 ml vial dan 2,5 gram/50 ml, 5
gram/100ml dan 10 gram/200 ml.
 Plasma Exchange (PE)
Plasma Exchange (PE) atau pertukaran plasma adalah
sebuah prosedur terapi di mana darah dari pasien
dilewatkan melalui perangkat medis yang memisahkan
plasma dari komponen lain dari darah. Plasma akan dibuang
dan diganti dengan larutan pengganti seperti larutan koloid
misalnya, albumin atau plasma atau kombinasi dari
kristaloid / larutan koloid (Schwartz et al., 2016). Dalam
penjelasan lain berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
No 91 tahun 2015, PE adalah tindakan mengeluarkan
plasma pasien yang merupakan penyebab penyakit dan
diganti dengan Albumin 5%, Fresh Frozen Plasma (FFP),
koloid atau kristaloid (Permenkes No. 91, 2015). Pada
pengobatan dengan plasma exchange dilakukan penggantian
autoantibodi, alloantobodi dan kompleks imun, protein
monoclonal dari sirkulasi darah. Aplikasi prosedur Plasma
Exchange yang direkomendasikan adalah sekitar 5 kali/sesi
dalam sehari dengan peggantian volume total plasma 1 –
1,5 kali untuk setiap sesi. Untuk prosedur PE yang umum
dilakukan adalah ± 200 – 250 ml plasma/ kg BB dalam 5
sesi (40 – 50 ml/kg per sesi) dalam waktu 7 – 14 hari.
Cairan pengganti yang digunakan umumnya adalah 20%
albumin 100 ml dalam Normal Saline 1000 mL dan 1000
mL FFP (Dewanto et al., 2007,Pangesti, 2015, Bahrudin,
2013).
Komplikasi yang berkaitan dengan prosedur PE antara lain
reaksi alergi, gejala hypokalemia, hipotensi dan komplikasi
pengambilan kateter sedangkan komplikasi yang lebih
parah termasuk emboli paru, sepsis, dan syok anafilaksis
juga telah dilaporkan yang dirangkum dalam Tabel II.3
(Sederholm, 2010; Pangesti, 2015).

Efek Samping dan Komplikasi PE Pada GBS (Sederholm,


2010)
Regimen Efek Samping Komplikasi Parah
Intervensi Umum
Plasma Hypotension, Pneumothorax,
Exchange 5 arrhythmias, hemorrhagic,
treatments over infection, malaise, complications,
7 to 14 days fever, flushing, sepsis,
dizziness, thromboembolism,
hypocalcemia anaphylaxis

Selain terapi spesifik imunodulator (IVIG dan PE) terdapat


terapi lain yang diberikan untuk menunjang pengobatan
GBS, yaitu kortikosteroid dan neuroprotektan.
 Kortikosteroid
Kortikosteroid secara luas digunakan untuk
mengobati berbagai gangguan autoimun dan sekali
diharapkan efektif untuk GBS. Namun, sebagian besar
percobaan menunjukkan tidak ada manfaat dari
kortikosteroid. Sebuah uji coba Belanda menyarankan
kombinasi metilprednisolon intravena diikuti oleh IVIG
mempercepat pemulihan pasien GBS sedikit lebih dari IVIG
saja. Ada laporan lain menunjukkan bahwa kortikosteroid
mungkin efektif terhadap rasa sakit dari GBS. Karena
kurangnya temuan yang lebih yang mendukung khasiat
kortikosteroid dalam GBS, kortikosteroid tidak dianjurkan
atau setidaknya tidak boleh digunakan sendiri dalam
pengobatan GBS (Zhong and Cai, 2007).
 Neuroprotektan dan Neurotropik
Pasien GBS dengan gejala sisa neurologis dan cacat
yang signifikan hampir selalu memiliki cedera aksonal,
sehingga pemulihannya membutuhkan regenerasi dari situs
lintang aksonal. Neuroprotective agent yang dapat
membatasi jumlah cedera saraf selama fase penyakit dan
meningkatkan regenerasi perbaikan saraf / akson selama
fase pemulihan GBS sangat dibutuhkan karena dapat
membatasi gejala sisa neurologis permanen pada pasien
GBS (Zhang et al., 2011). Terapi neuroprotective dan
neurotrophic lebih dapat menghasilkan manfaat di GBS
untuk alasan berikut: a) tanggapan autoimun menyimpang
menyebabkan cedera saraf adalah self-terbatas di GBS; b)
saraf perifer memiliki kemampuan melekat untuk regenerasi
dan memperbaiki diri setelah cedera; c) ada kerusakan
sawar darah-saraf di saraf yang terluka, dan obat-obatan
saraf diberikan selama fase akut dari penyakit ini cenderung
mencapai serabut saraf yang terluka; dan d) saraf dan
intervensi neurotropik akan untuk jangka waktu terbatas
(karena sifat monophasic GBS) dan dengan demikian
cenderung menyebabkan tak diinginkan efek samping yang
berpotensi dapat muncul dengan penggunaan jangka
panjang obat-obatan tersebut (Zhang et al., 2011; Aggarwal
et al., 2013). Dalam hal ini vitamin B1, B6, dan B12
masuk dalam klasifikasi neuroprotective agent. Vitamin
B1 bertindak dalam penghasil energy untuk jaringan
saraf dengan memetabolisme glukosa, vitamin ini
memodulasi kinerja kognitif, terutama pada populasi lanjut
usia. Vitamin B6 dan B12 terlibat langsung dalam sintesis
beberapa neurotransmitter. Methylcobalamin
(Mecobalamin) adalah bentuk vitamin B12 dan berbeda dari
sianokobalamin dalam sianida diganti oleh kelompok metal
dimana digunakan dalam pengobatan neuropati perifer
(Jain, 2011).
13. Antibiotika
Pemberian antibiotika dapat diberikan pada awal penyakit GBS untuk
mengatasi infeksi pencetus yang terjadi dalam beberapa kasus GBS. Selain
itu, penggunaan antibiotika juga dapat untuk mengatasi infeksi nosokomial
yang dapat terjadi pada pasien GBS seperti hospital-acquired pneumoniae
(HAP), ventilator-associated pneumoniae (VAP), infeksi saluran kencing,
infeksi pada akses intravena ataupun sepsis. Adapun antibiotika yang
sering digunakan antara lain antibiotika golongan beta-laktam (Penisilin,
Ampisilin, Ampicilin sulbactam), sefalosporin (ceftriaxone, cefepime,
ceftazadime), beta-laktam lain seperti karbapenem , Aminoglikosida
(amikasin, gentamisin, atau tobramycin), kuinolon (levofloxacin,
moxifloxacin, atau ciprofloxacin) (Denys and Relich, 2014). Berikut
adalah strategi terapi antibiotika pada infeksi nosokomial yang dapat
dilihat pada Tabel di bawah ini :

Strategi Terapi Antibiotika pada Infeksi Nosokomial (Jain & Singh, 2007)
Monotherapy Conventional Alternatives
Combinations
Gram-negative organisms
Escherichia coli Ceftazidime or aztreonam Cefotaxime + amikacin: Imipenem alone
or cefpirome/cefepime: piperacillin + tazobactam: Imipenem +
amoxicillin-clavulanic cefoxitin or aztreonam + aminoglycoside
acid: aminoglycoside imipenem +
fluoroquinolone (in UTI) fluoroquinolone
Klebsiella spp: Ceftazidime or : Piperacillin + tazobactam: Imipenem alone

SBL - cefoperazone or ticarcillin + clavulanic acid: Imipenem +


cefepime/cefpirome cefotaxime + aminoglycoside aminoglycoside :
amoxicillin- imipenem +
clavulanic acid fluoroquinolone
ESBL+ Imipenem or cefepime: Imipenem + aminoglycoside: Imipenem +
fluroquinolone (in UT) piperacillin + tazobactam + ciprofloxacin
amikacin
Enterobacter spp. Imipenem or meropenem: Third generation Imipenem +
cefpirome/cefepime: cephalosporin + fluoroqulnolone:
piperacillin + tazobactam aminoglycoside: aztreonam + aminoglycoside +
amikacin ciprofloxacin
Pseudomonas Penicillins (ticarcillin, Ticarcillin aztreonam or Antipseudomonal
Aeruginosa piperacillin, azlocillin). ceftazidime + sulbactam + penicillin +
Cephalosporins tobramycin or amikacin: fluoroquinolone:
(ceftazidime, ceftazidime + fluoroquinolone aztreonam +
cefpirome/cefepime) amikacin:
Imlpenem, meropenem aminoglycoside +
ciprofloxacin:
fosfomycin +
ciprofloxacin
Gram-Positive organisms

Staphy (methicillin- Penicillins, cloxacillin: meropenem: fusidic


lococc susceptible) cefazolin cefalothin: Second acid
us generation cephalosporin:
aureus MRSA cefotaxime aminoglycosides
: (methicillin- Vancomycin: imipenem-
MSSA resistat) cilastatin
Penicillin + Fluoroquinolone +

Same aminoglycoside fusidic acid: fosfomycin

indications (oxacillin + gentamicin): + L- lactam: +

as for tetracycline + fusidic acid + cloxacillin

MRSA, aminoglycoside: Imipenem + vancomycin:

with higher amoxicillin + clavulanic fusidic acid + fosfomycin:

resistance acid: ampicillin + fusidic acid +

rates to : sulbactam glycopeptide: fusidic acid

quinolones, Rifampicin + +

aminoglyco vancomycin: rifampicin: Imipenem +

sides,clinda fusidic acid + fosfomycin:

mycin, glycopeptide: fosfomycin aminoglycoside

cotrimoxaz + aminoglycoside:

ole vancomycin +
fluoroquinolone

Same indications as for


MRSA, with higher
resistance rates to :
quinolones,
aminoglycosides,
clindamycin,
cotrimoxazole
14. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotika
Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik
antibiotika sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis
antibiotika secara tepat. Agar dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai
bakterisida ataupun bakteriostatik, antibiotika harus memiliki beberapa
sifat berikut ini:
a. Aktivitas mikrobiologi. Antibiotika harus terikat pada tempat
ikatan spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penicillin pada
protein).
b. Kadar antibiotika pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin
tinggi kadar antibiotika semakin banyak tempat ikatannya pada sel
bakteri.
c. Antibiotika harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu
yang cukup memadai agar diperoleh efek yang adekuat.
d. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal
obat yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri
(KPRA RSSA, 2016)
Secara umum terdapat dua kelompok antibiotika berdasarkan
sifat farmakokinetiknya, yaitu;
a. Time Dependent Killing
Lamanya antibiotic berada dalam darah dalam kadar diatas kadar
hambat minimum (KHM) sangat penting untuk memperkirakan
outcome klinik ataupun kesembuhan. Pada kelompok ini kadar
antibiotika dalam darah di atas KHM paling tidak selama 50%
interval dosis. Contoh antibiotika yang tergolong time dependent
killing antara lain penicillin, cephalosporin, dan macrolide.
b. Concentration Dependent
Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darah melampaui
KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadap bakteri.
Untuk kelompok ini diperlukan rasio kadar/KHM sekitar 10. Ini
mengandung arti bahwa rejimen dosis yang dipilih haruslah
memiliki kadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih tinggi dari
KHM. Jika gagal mencapai kadar ini di tempat infeksi atau
jaringan akan mengakibatkan kegagalan terapi. Situasi inilah yang
selanjutnya menjadi salah satu penyebab timbulnya resistensi.
Contohnya adalah Aminoglikosida (gentamisin, amikasin,
tobramisin), Daptomisin, Fluoroquinolones, Ketolides (KPRA
RSSA, 2016)
C. Konsep asuhan Keperawatan
1. Anamnesis
Pengkajian terhadap komplikasi Sindrom Guillain-Barre
meliputi pemantauan terus- menerus terhadap ancaman gangguan
gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain
mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG
dan mengobservasi klienterhadap tanda trombosis vena profunda dan
emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan
paralisis.
2. Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara
umum maupun lokal seperti melemahnya otot-otot pernafasan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk
menunjang keluhan utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala
yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah
buruk. Pada pengkajian klien Guillain-Bare Syndrome (GBS)
biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan proses
demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala-gejala neurologis
diawali dengan parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki,
yang dapat berkembang ke ekstrimitas atas, batang tubuh, dan otot
wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis
yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien GBS
adalah gagal nafas. Melemahnya otot pernafasan membuat klien
dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan
infeksi pernafasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah
pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstrimitas atas dan bawah hampir
sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan
lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskuler, yang
memungkinkan terjadinya gangguan sistem saraf otonom pada klien
GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan
drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkunkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan
sekarang meliputi pernahakah klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis
antibiotik dan reaksinya (untuk menilai retensi pemakaian antibiotik)
dapat menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.

5. Pengkajian Psikososiospiritual
Meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat
untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi,
kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya. Kaji apakah ada dampak yang timbul pada
klien yaitu seperti ketakutan akan kecacatan, cemas,
ketidakmampuanuntuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah.

6. Pemeriksaan Fisik
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi nafas berhubungan
dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada
sistempernafasan serta akumulasi sekret akibat insufisiensi
pernafasan. Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau
tekanan darah meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
a. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas dan
peningkatan frekuensi pernafasan karena infeksi saluran
pernafasan dan yang paling sering ditemukan pada klien
GBS adalah penurunan frekuensi pernafasan karena
melemahnya fungsi otot-otot pernafasan. Palpasi biasanya
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi
napas tambahan seperti ronkhi padaklien dengan Sindrom
Guillain-Barre berhubungan akumulasi secret dari infeksi
saluran napas.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien Sindrom
Guillain-Barre menunjukkan bradikardia akibat penurunan
perfusi perifer. Tekanan darah didapatkan ortostatik
hipotensi atan tekanan darah meningkat (hipertensi transien)
akibat penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
c. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan
lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Pada klien Sindro
Guillain Barre biasanya kesadaran klien komposmentis.
Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran
makan penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memonitoring
pemberian asuhan.
Pengkajian Fungsi Serebral. Status mental: observasi
penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekpresi wajah,
dan aktifitas motorik klien. Pada klien Sindrom Guillain
Barre tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Pengkajian Saraf Kranial. Pengkajian saraf cranial
meliputi pengkajian saraf cranial I- XII.
 Saraf I. Biasanya pada klien Sindrom Guillain Barre
tidak ada kelainan dan fungsi penciuman.
 Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
 Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka
dan menutup kelopak mata, paralisis okular.
 Saraf V. pada klien Sindrom Guillain Barre didapatkan
paralisis wajah sehingga mengganggu proses
mengunyah.
 Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal,
wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan
tuli persepsi.
 Saraf IX dan X. paralisis otot orofaring, kesulitan
berbicara, mengunyah, dan menelan. Kemampuan
menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan
nutrisi via oral.
 Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
 Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi
dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun,
control keseimbangan dan koordinasi pada Sindrom
Guillain Barre tahap lanjut mengalami perubahan. Klien
mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga
mengganggu mobilitas fisik.
Pengkajian Refleks. Pemeriksaan reflex propunda,
pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum
derajat reflex pada respons normal. Gerakan involunter :
tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic dan distonia.
Pengkajian Sistem Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas)
dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke
ektremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba,
nyeri, dan suhu.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan
produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien
meningitis menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-
otot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
f. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu
oleh orang lain.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangan gejala- gejala klinik dan tidak ada satu pemeriksaan
pun yang dapat memastikan GBS; pemeriksaan tersebut hanya
menyingkirkan dugaan gangguan.
Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan
spinal memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein
dengan menghitung jumlah sel normal.
Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls
sepanjang serabut saraf. Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan
dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody
baik terhadap sitomegalovirus atau viru Epstein-Barr. Telah
ditunjukkan bahwa suatu perubahan respons imun pada antigen saraf
perifer dapat menunjang perkembangan gangguan.
8. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dapat merawat klien dengan GBS adalah untuk
memberikan pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat
mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan
komplikasi imobilitas, serta memberikan dukungan psikologis untuk
klien dan keluarga.
Sindrom Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan
medis dank lien diatasi di unit perawatan intensif. Klien mengalami
masalah pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang untuk
periode yang lama. Plasmaferesis (perubahan plasma) yang
menyebabkan reduksi antibiotic ke dalam sirkulasi sementara, yang
dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan
yang memperburuk pada klien dan demielinasi. Diperlukan
pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan adanya perubahan
kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung dihubungkan dengan
keadaan abnormal autono yang diobati dengan propanolol untuk
mencegah takikardi dan hipertensi. Atropine dapat diberikan untuk
menghindari episode bradikardia selama pengisapan endotrakeal dan
terapi fisik.
9. Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat
kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen
% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan
hidup, sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di
ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna
atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun
sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai
sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih
serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10%
diantaranya beresiko mengalami relaps.
Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern,
komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis
jangka panjang, antara lain sebagai berikut:
a. Paralisis otot persisten
b. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
c. Aspirasi
d. Retensi urin
e. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
f. Nefropati, pada penderita anak
g. Hipo ataupun hipertensi
h. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
i. Aritmia jantung
j. Ileus

Komplikasi-komplikasi
 Gagal pernafasan
Komplikasi yang paling berat dari SGB adalah gagal nafas.
Melemahnya otot pernafasan membuat pasien dengan gangguan ini
berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernafasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada respirasi.
Mungkin terdapat komplikasi yang sama tentang imobilitas seperti
yang terdapat pada korban stroke.
 Penyimpangan Kardiovaskuler
Mungkin terjadi gangguan sistem saraf otonom pada pasien
SGB yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan
drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
 Komplikasi Plasmaferesis
Pasien dengan SGB yang menerima plasmaferesi, berisiko
terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi
mungkin terjadi pada tempat akses vaskuler. Hipovolemia dapat
mengakibatkan hipotensi. Takikardia, pening, dan diaphoresis.
Hipokalemia dan hipokalsemia dapat mengarah pada disritmia
jantung. Pasien dapat mengalami sirkumolar temporer dan paresis
ekstremitas distal, kedutan otot dan mual serta muntah yang
berhubungan dengan pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan
cermat pengkajian penting untuk mencegah masalah-masalah ini.

10. Pemeriksaan penunjang


a. Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni
meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai
adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan
kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah
beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di
saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan
menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah
onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya
protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
b. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi
(EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik
distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau
absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian
proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya
KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS
kurang dari 60% normal.
c. EMG
Menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4
minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan
SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah
terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta
disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase
penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna,
dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3
minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
d. Pemeriksaan darah pada darah tepi
Didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah
selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat
terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah
dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia
bukanlah salah satu gejala.
e. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat
Ditandain dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan
IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus,
menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang
berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri,
namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
f. Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus
takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada
leadlateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun
tidak sering.
g. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Akan menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang
berjalan (impending).
h. Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni
adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta
demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang
dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi
segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf
perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga
ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat
bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf
kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear
lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa,
jantung, dan organ lainnya.

Kriteria Diagnostik untuk Sindroma Guillain-Barre


1. Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis
a. Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih
b. Arefleksia
2. Temuan klinis yang mendukung diagnosis :
Gejala atau tanda sensorik ringan
Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial lainnya
Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti
Disfungsi otonom
Tidak adanya demam saat onset
Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu
Adanya tanda yang relatif simetris
Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:
Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/μl
Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau
terbloknya hantaran saraf
1. Discharge Planning
a. Peningkatan asupan nutrisi yang memadai.
b. Istirahat yang cukup.
c. Penjagaan terhadap hygiene , sanitasi lingkungan.
d. Lakukan check-up ketika timbul gejala yang sama.
e. Teratur konsumsi obat pemulihan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN

1. Identitas

2. Pola-pola pengkajian

a. Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan


1) Keadaan sebelum sakit
Tanyakan mengenai vaksinasi yang di dapatkan pasien, lingkungan,
kebiasaan merokok, pernah melakukan check up klinis sebelumnya,
dan upaya yang dilakukan mempertahankann
hygiene.
2) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan utama: Kelemahan otot, nyeri, kesulitan bernapas, serta
kelumpuhan otot.
3) Riwayat Penyakit Yang pernah dialami
Tanyakan pada pasien apakah sering mengalami flu atau penyakit lain
berhubung dengan saluran napas, cerna, atau penyakit lain seperti
HIV, hepatitis dll.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada keluarga pasien mengidap penyakit serupa.
3. Pola Nutrisi dan Metabolik
Gejala : Kesulitan dalam menguyah dan menelan.
Tanda : Gangguan pada reflex menelan.
4. Pola Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal (anus)
atau berkemih dan reflex sfingter.
5. Pola Aktivitas dan Latihan
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya
dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang
dengan cepat ke arah atas. Kesulitan dalam bernapas, napas pendek
menyebabkan sulit beraktivitas. Perubahan tekanan darah
(hipertensi/hipotensi) menganggu latihan.
Tanda : Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris), cara berjalan tidak
mantap. Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, tampak
sianosis/pucat. Takikardi/bradikardi, distrimia.
6. Pola Persepsi Kognitif
Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan
selanjutnya terus naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi,
sensasi nyeri, sensasi suhu, dan perubahan dalam ketajaman
penglihatan.
Tanda : Hilangnya/menurunnya reflex tendon dalam, hilangnya tonus
otot, adanya masalah dengan keseimbangan. Lalu, adanya kelemahan
pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata. Kehilangan
kemampuan untuk berbicara.
7. Pola Peran dan Hubungan Dengan Sesama
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi.
8. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang
dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan bingung.

B. DIAGNOSA
1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan
progresif cepat otot – otot pernapasan, dan ancaman gagal napas.
2. Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
perubahan frekuensi jantung ritme dan irama bradikardia.
3. Resiko perubahan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
yang berhubungan dengan asupan yang tidak adekuat.
4. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.
5. Ansietas yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit dan
perubahan kesehatan.

C. INTERVENSI
Tujuan Dan
Diagnosa Intervensi Rasional
Kriteria
Hasil
Pola napas tidak Dalam waktu 1) Kaji fungsi 1) Menjadi bahan parameter
efektif yang 3x24 jam paru, adanya monitoring serangan gagal
berhubungan setelah bunyi napas napas dan
dengan diberikan tambahan, menjadi data dasar
kelemahan tindakan pola perubahan intervensi selanjutnya.
progresif cepat napas kembali irama dan 2) Tanda dan gejala
otot-otot efektif. kedalaman, meliputi adanya kesulitan
pernapasan, dan Kriteria: penggunaan bernapas saat berbicara,
ancaman gagal secara otot pernapasan dangkal
napas. subjektif sesak – otot aksesori. dan irregular,
napas (-), 2) Evaluasi mengguanakanotot –otot
frekuensi keluhan aksesoris, takikardia
napas 16-20 sesak napas, dan perubahan pola napas.
baik secara 3) Ventilasi
verbal dan mekanik digunakan jika
non verbal. pengkajian sesuai kapasitas
3) Beri ventilasi vital, klien
mekanik. memperlihatkan
4) Lakukan perkembangan kearah
pemeriksaan kemunduran, yang
kapasitas mengindikasi
vital ke arah
pernapasan. memburuknya kekuatan
5) Kolaborasi: otot- otot pernapasan.
Pemberian 4) Kapasitas vital klien di
humidifikasi pantau lebih sering dan
oksigen 3 dengan interval yang
liter/menit. teratur dalam penambahan
kecepatan

2) 2. Resikotinggi Setelah 1) Auskultasi 1) Hipotensi dapat terjadi


penurunan dilakukan Tekanan s/d disfungsi ventrikel,
curah jantung perawatan darah. hipertensi juga fenomena
yang selama 2x24 Bandingkan umum s/d nyeri cemas
berhubungan jam, kedua lengan, pengeluaran
dengan diharapkan ukur katekolamin.
perubahan penurunan 2) Penurunan curah
frekuensi, irama, curah jantung dalam keadaan jantung mengakibatkan
dan konduksi berbaring, menurunnya kekuatan
elektrikel. tidak terjadi. duduk, nadi
atau 3) Menunjukkan gangguan
Dengan berdiri bila aliran darah
kriteria : memungkinkan. dalam jantung (kelainan
Stabilitas 2) Evaluasi katup, kerusakn septum,
hemodinamik kualitas dan atau
baik(tekanan kesamaan nadi. vibrasi otot papilar)
Darah dalam 3) Catat murmur. 4) Perubahan
BataS normal, 4) Pantau dan irama jantung
Curah frekuensi
jantung jantung dan
kembali irama.
meningkat,
input dan
output sesuai,
tidak
menunjukkan
tanda-tanda
disritmia)
46
4) Dalam waktu 3x24 1) Kaji tingkat 1) Merupakan data dasar
Hambatan jam setelah kemampuan klien untuk melakukan
mobilitas diberikan tindakan dalam intervensi selanjutnya.
fisik yang mobilitas klien melakukan 2) Bila pemulihan mulai
berhubungan meningkat atau mobilitas fisik. untuk
dengan teradaptasi. 2) Dekatkan alat dilakukan, klien dapat
kerusakan Kriteria : dan sarana yang mengalami hipotensi
neuromuskul peningkatan dibutuhkan klien ortostatik (dari disfungsi
ar kemampuan dan dalam pemenuhan otonom) dan
, penurunan tidak terjadi aktvitas sehari – kemungkinan
kekuatan thrombosis vena hari. membutuhkan meja
otot, dan provunda dan 3) Hindari faktor tempat
penurunan emboli paru yang tidur untuk
kesadaran. merupakan memungkinkan menolong mereka
ancaman klien terjadi trauma mengambil posisi
paralisis, yang pada saat klien duduk tegak.
tidak mampu melakukan 3) Individu
menggerakkan mobilisasi. paralisis mempunyai
ekstremitas. 4) Sokong kemungkinan mengalami
Dekubitus tidak ekstremitas yang kompresi neuropati,
terjadi. mengalami paling sering saraf
paralisis. ulnar dan perineal.
5) Monitor komplikasi Bantalan dapat di
hambatan mobilitas tempatkan di siku dan
fisik. kepala fibula untuk
6) Kolaborasi dengan mencegah terjadinya
tim fisioterapis. masalah ini.
4) Ekstremitas paralisis
disokong dengan
posisi fungsional dan
memberikan latihan
rentang gerak secara
pasif paling sedikit dua
kali sehari.
5) Deteksi dini thrombosis
vena profunda
5) Ansietas Setelah 1) Bantu klien 1) Ansietas
sehingga dengan
yang dilakukan mengekspresikan berkelanjutan
penemuan yang cepat,
berhubung tindakan perasaan marah, memberikan
penanganan lebih mudah
an dengan keperawatan kehilangan dan takut. dampak serangan
dilaksanankan.
ancaman, selama 2x24 2) Kaji tanda verbal dan jantung
kondisi jam, nonverbal ansietas, selanjutnya.
6) Kolaborasi dengan ahli
sakit dan diharapkan damping klien dan 2) Reaksi fisik
terapi verbal untuk
atau
perubahan ansietas lakukan tindakan nonverbal
mencegah dapat
deformitas
kesehatan. hilang dan bila menunjukan menunjukan dengan
kontraktur rasa
berkurang. perilaku merusak. agitasi,
menggunakan
Dengan 3) Hindari konfrontasi. marah posisi
pengubahan dan yang
kriteria hasil 4) Mulai melakukan gelisah.
hati-hati dan latihan
: mengenal tindakan untuk 3) Konfrontasi
rentang gerak. dapat
perasaannya mengurangi meningkatkan rasa
, dapat kecemasan. Beri marah, menurunkan
mengidentif lingkungan yang kerja sama dan
kasi tenang dan mungkin
penyebab suasana penuh memperlambat
atau istirahat. penyembuhan.
faktoryang 5) Tingkatkan control 4) Mengurangi
memenuhiny sensasi klien. rangsangan
a dan 6) Orientasi klien eksternal yang
menyatakan terhadap prosedur tidak perlu.
ansietas rutin dan aktivitas 5) Kontrol sensasi klien
berkurang/h yang diharapkan. dengan cara
ilan g. memberikan
informasi tentang
keadaan
47

D. IMPLEMENTASI

Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat pada kebutuhan keperawatan, strategi

implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Kozier et al, 1995). Pelaksanaan

implementasi akan mengidentifikasi, mengapa sesuatu terjadi, apa yang terjadi, kapan, bagaimana

dan siapa yang melakukan intervensi (Deden Dermawan, 2012)

E. EVALUASI

Evaluasi adalah membandingkan suatu hasil/ perbuatan dengan standar untuk tujuan

pengambilan keputusan yang tepat sejauh mana tujuan tercapai. Evaluasi keperwatan :

membandingkan efek/hasil suatu tindakan keperawatan dengan norma atau kriteria tujuan yang

sudah dibuat. (Deden dermawan, 2012)

BAB IV

PEMBAHASAN

A. REVIEW

Tujuan Dan
Diagnosa Intervensi Rasional
Kriteria
Hasil
48
Hambatan Dalam waktu 1) Kaji 1) Merupakan data dasar
mobilitas fisik 3x24 jam tingkat untuk melakukan intervensi
yang setelah kemampuan selanjutnya.
berhubungan diberikan klien 2) Bila pemulihan mulai
dengan tindakan dalam untuk dilakukan, klien dapat
kerusakan mobilitas klien melakukan mengalami hipotensi
neuromuskular meningkat mobilitas ortostatik (dari disfungsi
, penurunan atau fisik. otonom) dan
kekuatan otot, teradaptasi. 2) Dekatkan kemungkinan
dan penurunan Kriteria : alat dan membutuhkan meja
kesadaran. peningkatan sarana yang tempat
kemampuan dibutuhkan tidur untuk menolong
dan tidak klien dalam mereka mengambil posisi
terjadi pemenuhan duduk tegak.
thrombosis aktvitas 3) Individu
vena provunda sehari – hari. paralisis mempunyai
dan 3) Hindari kemungkinan mengalami
emboli paru faktor yang kompresi neuropati, paling
merupakan memungkink sering saraf ulnar
ancaman klien an terjadi dan perineal.
paralisis, yang trauma pada Bantalan dapat di
tidak mampu saat klien tempatkan di siku dan
menggerakkan melakukan kepala fibula untuk
ekstremitas. mobilisasi. mencegah terjadinya
Dekubitus tidak 4) Sokong masalah ini.
terjadi. ekstremitas 4) Ekstremitas paralisis
yang disokong dengan
mengalami posisi fungsional dan
paralisis. memberikan latihan rentang
5) Monitor gerak secara
komplikasi pasif paling sedikit dua kali
hambatan sehari.
mobilitas fisik. 5) Deteksi dini thrombosis
6) Kolaborasi vena profunda sehingga
dengan dengan penemuan yang
tim cepat, penanganan lebih
fisioterapis. mudah dilaksanankan.

6) Kolaborasi dengan ahli


terapi fisik untuk
mencegah deformitas
kontraktur dengan
menggunakan pengubahan
posisi yang hati-hati dan
latihan rentang gerak.

Pada makalah ini, akan berfokus pada asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
mobilitas fisik yaitu dengan diagnosa hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular, penurunan kekuatan otot dan penurunan kesadaran.
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari
satu atau lebih ekstremitas secara mandiri, misalnya pada seseorang yang
mengalami gangguan muskuloskeletal, gangguan neuromuskular, kerusakan
integritas struktur tulang, kekakuan sendi, dan penurunan kekuatan otot (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Adanya gangguan tersebut mengakibatkan terjadinya keterbatasan lingkup gerak sendi dan
49
mengakibatkan terjadinya gangguan pada fleksibilitas sendi. Apabila mobilisasi tidak dilakukan maka
berdampak pada sistem tubuh, seperti perubahan pada metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal,
perubahan sistem pernafasan, perubahan kardiovaskular, perubahan sistem
muskuloskeletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan
kecil), dan perubahan perilaku (Widuri, 2010).
Upaya pengembalian bentuk tulang yang mengalami hambatan atau gangguan adalah tindakan
operasi. Operasi akan menimbulkan permasalahan pada kapasitas fisik dan kemampuan fungsional.
Perawatan rehabilitasi pada pasien gangguan mobilitas mencakup terapi fisik, yang terdiri dari berbagai
macam tipe latihan fisik ; latihan isometrik otot dan latihan ROM (Range Of Motion) aktif dan pasif. ROM
adalah gerakan yang dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. ROM aktif
adalah latihan gerak yang dilakukan dengan
menggerakkan masing-masing persendian sesuai dengan rentang gerak normal
dari kepala sampai kaki secara aktif. ROM pasif adalah latihan pergerakan
perawat atau petugas lain yang menggerakkan persendian pasien sesuai
dengan rentang geraknya. Tujuan ROM adalah dapat mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot, mempertahankan fungsi
kardiorespiratori, mencegah kontraktur dan kekakuan pada persendian
(Damping, 2012). Menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018), perencanaan
masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik salah satunya adalah dukungan
mobilisasi, dalam dukungan mobilisasi terdapat berbagai macam intervensi
diantaranya adalah fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, anjurkan melakukan
mobilisasi dini, dan ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(misalnya duduk di tempat tidur, duduk disisi tempat tidur, pindah dari tempat
tidur ke kursi)
Hal ini seperti terungkap dalam jurnal Sonja E. Leonhard, dkk (2019) dengan judul Diagnosis and
management of Guillain–Barré syndrome in ten steps yaitu pasien dengan GBS mengalami gagal
napas dan membutuhkan ventilasi mekanis, jantung aritmia dan tekanan darah tidak stabil dapat
terjadi karena keterlibatan para otonom sistem saraf. Selain Studi terbaru 1-9 1-10 memberikan bukti
teoretis bahwa penghilangan antibodi anti-GQ1b masuk akal dan bermanfaat. Beberapa pasien dengan
ensefalitis batang otak Bickerstaff dan Guillian Barre Syndrome merespon baik terhadap plasmapheresis
dan IVIg. 1-11 1-12 Kami merekomendasikan bahwa tidak ada steroid, melainkan IVIg (atau
plasmapheresis), digunakan untuk mengobati ensefalitis batang otak Bickerstaff dan Guillian Barre
Syndrome. Uji klinis terkontrol diperlukan untuk menetapkan kemanjuran prosedur ini sebagai terapi
untuk penyakit ini.

  Dalam Jurnal tersebut menjelaskan terkait perencanaan rehabiliyasi yaitu Pasien dengan GBS dapat
mengalami berbagai masalah residual jangka panjang, termasuk pemulihan fungsi motorik dan sensorik
50
yang tidak lengkap , serta
kelelahan,nyeri, dan tekananpsikologis. Sebelum para pasien yang dipulangkan,efek jangka panjang yang
mungkin dari GBS harus dipertimbangkan dan dikelola melalui :

1. Fungsi fisik

Mengatur sebuah rehabilitasi Program dengan sebuah rehabilitasi spesialis, fisioterpis dan kerja thera-


pist sangat penting dalam masa pemulihan. Program harus bertujuan untuk mengurangi kecacatan dalam
tahap awal pemulihan kemudian untuk mengembalikkan motorik dan sensorik fungsi dan kondisi fisik.
Latihan program untuk pasien dengan GBS, yang meliputi gerakan latihan, 

stasioner bersepeda, dan berjalan dan kekuatan pelatihan, telah telah ditunjuk untuk meningkatkan kebu
garanfisik, berjalan kemampuan dan kemandirian 
dalam kegiatan seharihari hidup. Namun, para intensitas dari latihan harus  erat dipantau sebagai
kerja paksa dapat menyebabkan kelelahan.
2. Kelelahan
Kelelahan tidak terkait dengan defisit motor residual, ditemukan dalam 60-80% pasien dengan GBS.
Penyebab lain harus dipertimbangkan sebelum menyimpulkan kelelajan yang ada pada pasien adalah
salah satu hasil dari GBS. Seperti dengan pemulihan dari fungsi fisik, dinilai program latihan diawasi
telah ditunjukkan untuk menjadi berguna dalam mengurangi kelelahan.
3. Rasa sakit
Parah nyeri yang dilaporkan setidaknya sepertiga dari pasien dengan GBS 1 tahun setelah penyakit
onset dan bertahan untuk > 10 tahun. Kronis nyeri GBS ditandai dengan otot nyeri didalam bawah
punggung dan anggota badan, nyeri aesthesias, arthalgia dan radikuler nyeri. Meskipun patogenesis
dari rasa sakit ini tidak sepenuhnya dipahami, otot nyeri mungkin menyebabkan imobilitas, dan
neuropatik nyeri disebabkan kerusakan saraf kecil. Strategi manajemen termasuk mendorong
mobilisasi dan pemberian obat untuk nyeri neuropatik atau nosiseptif.
4. Tekanan Psikologis
Hilangnya fungsi fisik dapat membuat individu sangat traumatis dan dapat menyebabkan kecemasan
atau depresi. Awal pengakuan dan manajemen tekanan psikologis kaena status mental dapat
mempengaruhi pemulihan fisik sehingga diperlukan untuk melalukan rujukan ke psikolog yang
bermanfaat bagi pasien juga memberiikan informasi yang akirat terhadap resiko dan kekambuhan
penyakit sehingga mengurangi kekhawatiran dan meningkatkan motifasi dalam melakukan aktifitas
fisik sehingga menurunkan kelemahan dalam mobilitas fisik.

BAB V
51
KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
GBS merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi;
dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Terjadi kelemahan otot, kehilangan
reflex, dan kebas pada lengan, tungkai, wajah, dan bagian tubuh lain. Kasus ini terjadi secara akut
dan berhubungan dengan proses autoimun. Fokus utama asuhan keperawatan pada penyakit ini
adalah mempertahankan pernapasan, mencegah komplikasi, memberi dukungan emosional,
mengedalikan nyeri, dan memberikan informasi prognosis penyakit.
Guillain-Barré Syndrome (GBS) adalah demielinasi polineuropati akut yang pertama kali
dijelaskan pada tahun 1859 (Tandel et al., 2016). GBS merupakan suatu kerusakan sistem imun
tubuh yang menyerang bagian dari sistem saraf perifer (Satoto dan Span-Kar, 2013).

B. SARAN
Nutrisi, hygiene, dan istirahat yang cukup dapat membantu meningkatkan system imun dari
tubuh penderita yang mengalami masalah pada bagian system imun.

DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal AN, Gupta D, Lal V, Behera D, Jindal SK, and Prabhakar S. 2003. Ventilatory Management of
Respiratory Failure in Patients with Severe Guillain-Barré Syndrome. Neurology India, Vol. 51.

American Thoracic Society and the Infectious Diseases Society of America, 2005. Guidelines for the
Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated
Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med Vol 171. pp 388–416, DOI: 10.1164/rccm.200405- 644ST

Bahrudin, Moch. 2013. Neurologi Klinis. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.

Breathnach, Aodhán S. 2013. Nosocomial infections and infection control. Elsevier Ltd.
52
Burns, Ted M., 2008. Guillain-Barré Syndrome. Seminars in Neurology, Vol. 28 No. 2.

Chambers, H. F.Eds. 2010. Farmakologi Dasar & Klinik, 10th Ed. Jakarta : EGC, p. 748-795.

Darmadi, dr. 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya.

Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Denys, Gerald A. and Relich, Ryan F. 2014. Antibiotic Resistance in Nosocomial Respiratory Infections.
Elsevier Inc.

Dewanto, George, Suwono, Wita J., Riytanto, Budi, Turana, Yuda. 2007. Panduan Praktis Diagnosis dan
Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dhar, Rajat., Stitt, Larry., Hahn, Angelika F. 2008. The Morbidity And Outcome Of Patients With
Guillain–Barré Syndrome Admitted To The Intensive Care Unit. Neurological Sciences.
doi:10.1016/j.jns.2007.08.005.

Dimachkie, Mazen M., M.D and Barohn, Richard J., MD. 2013. Guillain-Barré Syndrome and
Variants. NIH Public Access. doi:10.1016/j.ncl.2013.01.005.

DiPiro, Joseph T., DiPiro, Cecily V., Wells, Barbara G., Schwinghammer, Terry

L. 2015. Pharmacotherapy Handbook, 9th Ed. Mc Graw Hill.

El-Bayoumi, Mohammed A, El-Refaey Ahmed M, Abdelkader, Alaa M, Mohamed MA, Alwakeel, Angi A
and El-Tahan,Hanem M. 2011. Comparison Of Intravenous Immunoglobulin And Plasma Exchange
In Treatment Of Mechanically Ventilated Children With Guillain Barré Syndrome: A Randomized
Study. Critical Care. doi:10.1186/cc10305.

Esposito, Silvano., De Simone, Giuseppe., Boccia, Giovanni., De Caro, Francesco., Pagliano, Pasquale.,
2017. Sepsis And Septic Shock: New Definitions, New Diagnostic And Therapeutic Approaches.
Elsevier Ltd. http://dx.doi.org/10.1016/j.jgar.2017.06.013.

E. Sonja Leonhard, dkk.2019. Diagnosis and management of Guillain–Barré syndrome in ten steps.
https://doi.org/10.1038/ s41582-019-0250-9

Fish, Mark and Llewelyn, Gareth, 2008. The Guillain-Barré Syndrome. ACNR, Vol. 8 No. 4.

Fletcher, S., 2005. Catheter-Related Bloodstream Infection. Continuing Education in Anaesthesia, Critical
Care & Pain, Vol. 5 No. 2, p. 49-51.

Ginsberg, Lionel., 2005. Lecture Notes Neurologi Edisi Kedelapan.Jakarta; Penerbit Erlangga.

Gleckman, RA., Borrego, F., Adverse Reactions to Antibiotics: Clues for Recoginizing, Understanding, and
Avoid Them, Postgrad Med, 2007, 101: 4.
53
González P, García X, Guerra A, Arango JC, Delgado H, Uribe CS, et al. 2014. Experiencia del síndrome
deGuillain-Barré en una Unidad de Cuidados Intensivos neurológicos. Neurología. doi.
org/10.1016/j.nrl.2014.09.004.

Guglielmo, BJ., 2001, Infectious Disease, dalam Koda Kimble and Young, L.,Y., (eds): Applied
Therapeutics, the Clinical Use of Drugs, Lippineot Williams & Wilkins, Philadelphia. Pp.S4.

Gunawan, SG., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elysabeth. Eds. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5, hal. 664-
731. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Ikawati Z., 2006, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan, Laboratorium farmakologi dan farmasi klinik
bagian farmakologi dan farmasi klinik Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta.

Jain, Atul and Singh, Kanwardeep. 2007. Recent Advances in the Management of Nosocomial Infections.
JK Science, Vol. 9, No. 1, p. 3-8.

Jain, Kewal K. 2011. The Handbook of Neuroprotection. Springer: Humana Press.

Jasti, Anil K., Selmi,Carlo., Juan C. Sarmiento-Monroy, Daniel A. Vega, Juan- Manuel Anaya & M. Eric
Gershwin .2016. Guillain-Barré syndrome: causes, immunopathogenic mechanisms and treatment,
Expert Review of Clinical Immunology, DOI: 10.1080/1744666X.2016.1193006.

Karnatovskaia, L. V., Festic, E. 2012. Sepsis: A Review for The Neurohospitalist. The Neurohospitalist
2(4) : 144-153.

Katzung, Betram G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik, Ed 8. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Rsud Dr. Saiful Anwar Malang, 2016. Panduan
Umum Penggunaan Antimikroba.

Meena, A. K., Khadilkar, S. V., and Murthy J. M. K. 2011. Treatment guidelines for Guillain–Barré
Syndrome. Annals of Indian Academy of Neurology. doi: 10.4103/0972-2327.83087

Mikail,B. 2012. Penderita Guillain Barre Syndrome (GBS) meningkat di Kalangan Usia Produktif.

Munir, dr. Badrul Munir Sp.S., 2015. Neurologi Dasar. Jakarta: Sagung Seto. Mycek, Mary J., Harvey,
Richard A., Champe, Pamela C. 2001. Farmakologi

Ulasan Begambar Edisi 2. Jakarta: Penerbit Widya Medika.

Nelson, Laura, Gormley, Robert, Riddle, Mark S., Tribble, David R., and Porter, Chad K., 2009. The
Epidemiology of Guillain-Barré Syndrome in U.S. Military Personnel: A Case-control Study.
BioMed Central Research Notes, Vol. 2.

Nugroho, Dr. Agung Endro. 2014. Farmakologi Obat-obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan
Dunia Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
54
Nyati, Kishan Kumar and Nyati, Roopanshi. 2013. Review Article Role of Campylobacter jejuni Infection
in the Pathogenesis of Guillain-Barré Syndrome: An Update. Hindawi Publishing Corporation
BioMed Research International Volume 2013, Article ID 852195, 13 pages
http://dx.doi.org/10.1155/2013/852195.

Othman Abdelrazik Ahmed and Abdelazim, Salah Mohsen. 2017. Ventilator- Associated Pneumonia In
Adult Intensive Care Unit Prevalence And
Complications.EgyptJCritCareMed,doi.org/10.1016/j.ejccm.2017.06.001

Parry, Gareth J., and Steinberg, Joel S., 2007. Guillain-Barré Syndrome: From Diagnosis to Recovery. New
York: Demos Medical Publishing.

Pasanen, Mark E. MD. Guillain-Barre´ Syndrome. 2015. Elsevier Inc.


http://dx.doi.org/10.1016/j.ehmc.2014.12.005.

Peake, Deirdre, Whitehouse, William P., and Philip, Sunny. 2004. The Management of Guillain-Barré
Syndrome. Current Paediatrics, Vol. 14.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 91., 2015. Standar Pelayanan Transfusi Darah.
Jakarta; Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Nosokomial, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Puspitasari, Aldita Cahyani. 2014. Studi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Guillain-Barré Syndrome
(GBS) Dengan Infeksi. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

Putra, A. E., 2005. Kolonisasi Mikroorganisme pada Pemasangan Kateter Intravena dan Faktor yang
Mempengaruhinya. Majalah Kedokteran Andalas, Vol. 29 No. 2, p. 55-63.

Putri H, Yessica. 2014. Faktor Risiko Sepsis Pada Pasien Dewasa. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.

Rady HI, Attala H (2014) Assessment of New Strategies in the Management of Guillain Barre Syndrome:
Cairo University. J Pediatr Neonatal Care 1(4): 00027. DOI: 10.15406/jpnc.2014.01.00027

Satoto, Prof.Darto dan. Dr. SpAn-KAR., 2013. Saraf Perifer Masalah dan Penanganannya. Jakarta: Penerbit
PT. Indeks.

Schwartz, Joseph, Padmanabhan, Anand, Aqui Nicole, Balogun, Rasheed A., Connelly-Smith, Laura,
Delaney , Meghan, Dunbar , Nancy M., Witt, Volker, Wu, Yanyun, and Shaz , Beth H. 2016.
Journal of Clinical Apheresis: Special Issue Clinical Applications of Therapeutic Apheresis:

An Evidence Based Approach. 7th Edition. American Society for Apheresis. Vol. 31. No. 3.
55
Sebastian, Sherly. 2012. A Case of Guillan-Barre Syndrome in a Primary care Setting. American Collage of
Nurse Practitioners. Vol. 8.

Sederholm, Benson H. 2010. Treatment of Acute Immune-mediated Neuropathies: Guillain-Barré


Syndrome and Clinical Variants. Seminars in Neurology, Vol. 30, No. 4.

Siswandono, Dr., Soekardjo, Bambang Dr. H. 2008. Kimia Medisinal, Ed. 2 Cet.2. Surabaya: Airlangga
University Press.

Sukandar, E., 2006. Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Indonesia, hal. 553-7.

Tandel, Hemal, Vanza, Jigar., Pandya, Nilima, and Jani, Parva. 2016. Guillain- Barré Syndrome (GBS): A
Review. European Journal Of Pharmaceutical And Medical Research. ISSN 3294-3211.

Tenke, Peter., Mezei, Tünde., Böde, Imre., Köves, Béla., 2016. Catheter- associated Urinary Tract
Infections. Elsevier B.V. on behalf of European Association of Urology.

Tjay, T.H dan Rahardja, K., 2007, Obat – Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, Dan Efek- Efek
Sampingnya. Edisi ke VI. Cetakan I, Hal. 263, 270, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Trubiano JA and Padiglione AA, 2015. Nosocomial Infections In The Intensive Care Unit, Anaesthesia and
intensive care medicine. Elsevier Ltd. http://dx.doi.org/10.1016/j.mpaic.2015.09.010.

Van Doorn, Pieter A., Ruts, Liselotte, and Jacobs, Bart C, 2008. Clinical Features, Pathogenesis, and
Treatment of Guillain-Barré Syndrome. Lancet Neurology, Vol.8 No. 7.

Vucic S., Kiernan M. C., Cornblath D.R. Guillain Barré syndrome: an update. J Clin Neurosci, 2009.
16:733-741.

Wakerley, Benjamin R and Nobuhiro Yuki. 2013. Infectious And Noninfectious Triggers In Guillain–Barré
Syndrome. Expert Rev. Clin. Immunol. 9(7), 627–639 Informa UK Ltd. ISSN 1744-666X.

Waridiarto, Dimas Susilo. 2015. Kualitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Bedah Orthopedi. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.

Willison, Hugh J., Jacobs Bart C, and Van Doorn, Pieter A. 2016. Guillain-Barré Syndrome. Lancet. Vol
388.

World Health Organization. 2002. Prevention of Hospital-acquired Infections, A Practical Guide, 2nd
edition. Malta: World Health Organization.

Wulandari, Deasy Nur. 2016. Efektivitas Penggunaan Antibiotik Ceftriaxone Pada Pasien Pneumonia
Dewasa Di Instalasi Rawat Inap Rsud Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2014 – 2015. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta
56
Yuki, Nobuhiro and Hartung, Hans-Peter. 2012. Medical Progress: Guillain-Barré Syndrome. The New
England Journal of Medicine, Vol. 366.

Zhang, Gang, Lehmann, Helmar C., Bogdanova, Nataliia, Gao, Tong, Zhang, Jiangyang, and Sheikh,
Kazim A. 2011. Erythropoietin Enhances Nerve Repair in Anti-Ganglioside Antibody-Mediated
Models of Immune Neuropathy. PLoS ONE Vol. 6 No. 10 e27067. doi:10.1371/journal.pone.
0027067.

Zhong, Min and Cai, Fang-Cheng, 2007. Current Perspectives on Guillain-Barré Syndrome. World Journal
of Pediatrics, Vol. 3 No. 3

Anda mungkin juga menyukai