Anda di halaman 1dari 29

Referat

MORFEA

Oleh:
Ratu Rizki Ana, S.Ked
04084821719211

Pembimbing:
Dr.dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Referat
MORFEA

Oleh
Ratu Rizki Ana, S.Ked
04084821719211
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Dermatologi dan Venereologi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 22
Oktober – 26 November 2018

Palembang, November 2018


Pembimbing,

Dr.dr. Rusmawardiana, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

2
MORFEA
Ratu Rizki Ana, S.Ked
Pembimbing: Dr.dr.Rusmawardiana, SpKK(K), FINSDV, FAADV
Departemen Dermatologi dan Venereologi
FK UNSRI/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
2018

PENDAHULUAN
Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized
scleroderma), adalah suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang berlebihan
yang menyebabkan penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya.1 Pada morfea
terjadi sklerosis kulit yang bersifat terlokalisir dan ditandai dengan penebalan dan indurasi
pada kulit tanpa keterlibatan sistemik.2 Morfea adalah Sklerosis kulit terlokalisasi dan terbatas
dicirikan oleh awal nya berwarna ungu, kemudian berwarna gading, dan kulit yang
mengeras.3
Morfea atau skleroderma lokal adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sklerosis
kulit dan, dalam beberapa kasus, jaringan subkutan. Ini terjadi pada anak-anak dan orang
dewasa. Ini berbeda dari sklerosis sistemik, tetapi tetap berhubungan dengan gangguan
fungsional dan kosmetik yang signifikan. Morphea memiliki beberapa subtipe yang berbeda,
termasuk sirkumskrip, linier, dan umum, yang semuanya dapat terjadi dalam bentuk yang
dangkal dan dalam. Subtipe linear lebih sering terjadi pada anak-anak, dan dibatasi lebih
umum pada orang dewasa. Evaluasi bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan subtipe
klinis, menilai tahap aktivitas, dan menentukan potensi untuk / atau adanya morbiditas. Terapi
termasuk topi-cal, fototerapi, atau perawatan sistemik dan bertujuan untuk menghentikan
perkembangan, mencegah morbiditas, dan mempercepat pengampunan. 4
Morfea adalah penyakit langka dengan kejadian sekitar 0,3 hingga 3 kasus per
100.000 penduduk / tahun. Hal ini lebih sering terjadi pada wanita Kaukasia, dengan rasio 2-4
wanita hingga 1 pria. Prevalensi sama pada anak-anak dan orang dewasa. Insiden puncak
terjadi pada dekade kelima kehidupan pada orang dewasa, sedangkan 90% anak-anak
didiagnosis antara 2 dan 14 tahun usia.5
Rasio laki-laki-perempuan adalah 1:3 atau wanita terkena penyakit ini kira-kira 3 kali
lebih sering dari pria untuk segala bentuk morfea kecuali subtipe linear, laki-laki dan
perempuan sama.3 Morfea dapat terjadi pada segala ras, tetapi penyakit ini lebih umum
ditemukan pada bangsa Kaukasian dan Asia dibanding Afrika Amerikan. Semua varian
muncul pada dewasa dan anak-anak dan dapat muncul pada usia apapun. Jenis linear
3
scleroderma lebih umum ditemukan pada anak-anak dan remaja dan dapat terjadi pada usia
dekade pertama dan kedua, dengan dua per tiga dari kasus ditemukan sebelum usia 18 tahun.
Sedangkan generalized morphea lebih umum pada dewasa dan biasanya muncul pada
pertengahan usia.2
Morfea sendiri adalah suatu penyakit yang jinak dan self-limited. Namun dapat
menyebabkan morbiditas khususnya pada anak-anak di masa pertumbuhan. Mulai dari
kontraktur sendi, manifestasi neurologi dan oftalmologi, sampai depresi dan ansietas dapat
terjadi akibat penyakit ini.1 Maka mengingat segala komplikasi yang dapat terjadi dan
kurangnya pengetahuan dokter akan penyakit ini, penulis merasa perlu membuat referat
tentang morfea untuk mengetahui gambaran umum, cara menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaannya.

ETIOLOGI
Etiologi dan penyebab langsung dari morfea tidak diketahui. Setidaknya beberapa
pasien (Terutama di Eropa) dengan morfea klasik menderita sklerosis karena infeksi Borrelia
burgdorferi. Morphea terjadi setelah x-iradiasi untuk kanker payudara. Morphea tidak terkait
dengan skleroderma sistemik.3
Pemicu lain yang diperkirakan adalah trauma, vaksinasi basil Calmette-Guerin (BCG)
dan tetanus, injeksi vitamin B dan K, terapi radiasi, penicillamine, dan bromocriptine.2,6 Baru-
baru ini, trauma pembedahan telah dilaporkan sebagai stimulus dari perkembangan lesi
setelah proses arteriovenous fistula formation dan rhinoplasty. Faktor hormonal mungkin
berpengaruh terhadap penyakit: morfea mungkin berkembang selama, atau di eksaserbasi
oleh, kehamilan, namun pengaruh menopause masih kurang jelas. 6
Infeksi dengan organisme Borrelial dikaitkan pada etiologi morfea, beberapa pusat studi
Eropa berpendapat adanya hubungan antara morfea dan akrodermatitis konika atropikan,
suatu penyakit karena terinfeksi Borrelia burgdorferi. Studi ini menemukan peningkatan
kadar antibodi terhadap oganisme ini pada pasien dengan morfea dibanding dengan kontrol,
dan menggambarkan adanya organisme viable pada biopsi dari lesi morfea. DNA Borrelia
juga ditemukan di biopsi kulit dari pasien dengan morfea yang diperiksa menggunakan
polymerase chain reaction. Namun studi lain menunjukkan ketidakadaan antibodi Borrelia
atau DNA pada morfea dari pasien Skandinavia, Jerman, Spanyol atau Amerika. Tinjauan
terbaru berpendapat bahwa alasan penemuan yang kontradiktori ini adalah infeksi Borrelia

4
bukanlah penyebab morfea atau suatu morfea disebabkan oleh spesies khusus dari Borrelia
yang ada di beberapa bagian Eropa dan Asia tapi tidak di AS atau bagian lain Eropa. 6
Pengaruh genetik pada morfea masih belum jelas. Sebuah insiden familial diperiksa,
dan skleroderma lokal dan sistemik tercatat terjadi pada kembar monozigot. Beberapa kasus
tipe frontal muncul dengan dasar genetik, tapi tidak terdapat hubungan HLA yang signifikan.
Terdapat peningkatan insiden dari autoantibodi organ spesifik pada pasien dan kerabat. 6
Morfea juga dihubungkan dengan fenilketonuria, dan kemajuan terapi muncul dengan
diet rendah fenilalanin, namun ekskresi fenilalanin dan o-hydroxyphenylacetic acid pada 9
anak dengan morfea adalah normal.6
Morfea juga telah dilaporkan setelah terapi dengan sejumlah obat. Morphoea-like
plaques muncul pada pasien dengan terapi penicillamine dan teremisi dalam setahun
pemberhentian pengobatan. Lesi kutaneus juga dilaporkan muncul setelah terapi dengan
bromokriptin, hydroxytryptophan dan carbidopa, pentazocine, docetaxel, leomycin dan
setelah melphalan limb perfusion.6

PATOGENESIS
Penyebab tidak diketahui, meskipun penyakit ini dikaitkan dengan aktivasi abnormal
sistem imun dan jejas mikrovaskular dan bukan karena suatu gangguan intrinsik fibroblas atau
sintesis kolagen. Interaksi anrtara sel T, jejas endotel, dan aktivasi fibroblas. 16
Dinyatakan bahwa sel CD4+ yang memberikan respon terhadap antigen yang hingga
saat ini belum teridentifikasi, berakumulasi dalam kulit dan melepaskan sitokin yang
mengaktifkan sel mast dan makorfag; kemudian sel ini akan melepaskan sitokin fibrinogenik,
seperti IL-1, TNF, PDGF, TGF- β, dan faktor pertumbuhan fibroblas.16
Banyak studi berpendapat adanya peran patogenik dalam transforming growth faktor-
β (TGF-β). TGF-β menstimulasi fibroblas untuk menghasilkan peningkatan jumlah dari
glikosaminoglikan, fibronektin, dan kolagen; mengurangi kerusakan matriks ekstraseluler;
dan hal ini mengurangi kerentanan fibroblas untuk di apoptosis. TGF-β telah ditemukan
meningkat di lesi morfea seperti di kulit dan paru fibrotik dari pasien dengan sklerosis
sistemik. Beberapa berpendapat bahwa setidaknya di sklerosis sistemik, ekspresi reseptor
TGF-β di fibroblas dermal meningkat. Juga terdapat data yang mendukung kemungkinan
bahwa perubahan jalur protein Smad, yang penting dalam transduksi sinyal TGF-β, dapat
memegang peran pada overproduksi kolagen.2

5
Kultur fibroblas dari sklerosis sistemik dan skleroderma lokalisata menghasilkan
peningkatan jumlah dari komponen jaringan penghubung, termasuk tipe I kolagen in vitro.
Biopsi kulit menunjukkan kapasitas yang lebih besar untuk overproduksi kolagen dan
subpopulasi dari fibroblas dengan aktivasi ekspresi kolagen tipe I; fibroblas-fibroblas ini satu
lokasi dengan sel-sel mononukleus peradangan yang mengekspresikan TGF-β. Biopsi lesi
sklerotik juga menunjukkan ekspresi dari isoform TGF-β yang berbeda, seperti tissue
metalloproteinase-3 (TIMP-3) di subpopulasi dari fibroblas yang dikultur dari lesi
skleroderma lokalisata. TGF-β meningkatkan ekspresi TIMP-3, dan TIMP-3 menghambat
kerusakan kolagen. Harus diperhatikan bahwa tiga isoform yang berbeda dari TGF-β (1, 2,
dan 3) terdapat di manusia; TGF-β1 adalah yang terbaik yang telah dipelajari. Beberapa bukti
berpendapat bahwa respon fibrotik mungkin predominan berasal dari sel CD4+. Sel plasma
dan histiosit mungkin berkontribusi dalam stimulasi fibroblas dermis. Sel peradangan
ditemukan di dermis lesi skleroderma yang terutama adalah limfosit T dan yang sebagian
besar adalah sel T helper. Juga terdapat peningkatan produksi interleukin 2 (IL-2) dan IL-4.
Setidaknya pada bentuk sistemik skleroderma, faktor pertumbuhan jaringan penghubung juga
terlibat. Sebuah peran patogenik pada dendrosit dermis juga telah diusulkan. Kehadiran
CD34+ dan faktor XIIIa dendrosit dermis berhubungan dengan peradangan aktif dan sklerosis
pada morfea. Peran patogenik dari sel mast pada skleroderma lokalisata belum dikemukakan
secara jelas, namun sel mast mungkin merupakan komponen dari kulit sklerodermatous,
khususnya saat peradangan dan fase awal. Granul sel mast mengandung mediator kimia dan
enzim proteolitik yang dapat menstimulasi fibroblas dan bahkan mengaktivasi sitokin fibrotik,
(cth, TGF-β); histamin juga dapat menstimulasi poduksi kolagen.2
Morphea secara karakteristik terjadi dalam tiga tahap: inflamasi, sklerotik, dan atrofi.
Fase Inflamasi atau fase aktif ditandai dengan perkembangan lesi dalam ukuran, kedalaman,
dan jumlah dan biasanya dikaitkan dengan bukti klinis peradangan pada lesi kulit (Gambar
1.1, 1.2, dan 1.3).4
Fase sklerotik ditandai dengan sklerosis stabil dengan berbagai perubahan pigmen.
Lesi pada fase ini tidak membesar (Gambar 1.4 dan 1.5). Fase atrofi ditandai dengan
perubahan permanen yang bervariasi dalam tingkat keparahan tergantung pada luas dan
subtipe penyakit (Gambar 1.6, 1.7, 1.8, dan 1.9). Dalam beberapa kasus, morfea yang
sebelumnya tidak aktif dapat diaktifkan kembali bertahun-tahun setelah presentasi awal.
Dalam beberapa kasus morphea dapat dikaitkan dengan temuan sistemik arthritis, perubahan

6
okular, dan manifestasi neurologis, tetapi tidak memiliki keterlibatan sistemik yang terlihat
pada SSC.4

Gambar. 1.1 Pasien ini memiliki plak dengan sklerosis sentral (daerah kuning coklat sentral) yang dikelilingi
oleh eritema perifer pada lipatan abdomen dan inframammae. Ini adalah karakteristik lesi aktif. Dengan
pengobatan yang berhasil, eritema cepat sembuh dan digantikan oleh hiperpigmentasi pasca inflamasi. Sklerosis
sentral lebih persisten, secara bertahap melunak selama beberapa bulan. 4

Gambar. 1.2, Inflamasi morfea linear dengan keterlibatan jaringan subkutan dibuktikan oleh hilangnya kontur
normal pinggul (panah hitam). Ini merupakan indikasi untuk pengobatan sistemik karena perawatan yang
diarahkan dari luar tidak akan menembus ke area patologi (methotrexate dan prednisone oral). 4

Gambar 1.3, Morfea inflamasi dini ditandai dengan indurasi minimal dan plak eritematosa retikulata yang
batasnya tidak tegas. Perawatan agresif pada tahap ini menghasilkan resolusi lesi hampir sempurna, terutama
fototerapi seperti UVA1.4
7
Gambar. 1.4, Hiper dan hipopigmentasi pada abdomen pada pasien dengan morfea sirkumskripta. Jika ada
komponen sklerotik, pasien dapat merespon terapi topikal atau intralesi secara moderat, tetapi bentuk morfea ini
sebagian besar tidak berubah oleh intervensi terapeutik.4

Gambar. 1.5 Anak dengan lesi linear ganda pada badan. Lesi ini bertransisi dari fase aktif ke sklerotik dengan
sklerosis sentral dan campuran hiperpigmentasi perifer dan eritema. Lesi ini cocok untuk pengobatan dengan
fototerapi atau methotrexate. Dalam pengalaman penulis, glukokortikoid sistemik mungkin tidak diperlukan
pada lesi ini jika progresi nya lambat.4

8
Gambar. 1.6 Fase atrofi morfea linear dari abdomen dengan hiperpigmentasi dan atrofi kulit. Hal ini berbeda
dengan atrofi subkutan di mana kontur tubuh normal. Sklerosis dan hiperpigmentasi bisa membaik seiring
berjalannya waktu, tetapi terapi medis tidak diindikasikan. 4

Gambar 1.7 Hiperpigmentasi pada pasien dengan stadium atrofi (dermal atrofi). Lesi lunak saat palpasi. Fase
morfea ini tidak merespon dengan perawatan medis, meskipun dispigmentasi dapat berangsur-angsur membaik
seiring berjalannya waktu.4

9
Gambar. 1.8 Morfea linear fase atrofik mendalam pada kaki seorang anak dengan perbedaan panjang tungkai
dan perbedaan ketebalan tungkai. Ada atrofi jaringan subkutan dengan hilangnya bantalan lemak patela, tetapi
sklerosis telah teratasi. Sayangnya, lesi ini tidak aktif dan tidak membaik dengan imunosupresif. Ketika penyakit
jenis ini aktif, terapi agresif dengan steroid selama 3 bulan dan pemeliharaan dengan metotreksat diindikasikan
untuk mencegah morbiditas. Terapi fisik juga untuk mempertahankan ROM pada persendian.4

Gambar 1.9 Morphea linear pada punggung bagian atas dan bahu pada pasien dewasa dengan dispigmentasi,
rambut rontok, dan atrofi kulit dengan peningkatan keunggulan vaskular bahu posterior yang konsisten dengan
kerusakan tetapi tidak ada bukti aktivitas penyakit. Morfea linear paling sering melibatkan ekstremitas dan
kepala. Keterlibatan badan dan satu atau kedua tungkai pada sisi ipsilateral tidak jarang, tetapi keterlibatan
kepala secara bersamaan jarang terjadi. Lesi linear pada badan mungkin sulit dibedakan dengan morfea
sirkumkripta, tetapi penghentian lesi mendadak di garis tengah adalah petunjuk diagnostik. Pengobatan morfea
linear aktif tergantung pada kedalaman penyakit, tetapi umumnya melibatkan terapi imunosupresif sistemik. 4

10
KLASIFIKASI

Klasifikasi yang paling banyak digunakan dalam literature adalah Klasifikasi Mayo
Clinic (dalam bentuk yang sederhana), karena objektivitas dan komprehensifnya. Menurut
klasifikasi ini, ada lima kelompok morfea yaitu:
1. Morfea plakat,
2. Morfea bullous,
3. Deep Morfera
4. Morfea generalisata,
5. Linear scleroderma - termasuk subtipe yang melibatkan kepala dan wajah, Linear
Scleroderma 'en coup de saber’ (LScs) dan Progressive Facial Hemiatrophy (PFH),
6. Pansklerotik

Tabel 1. Perbedaan Manifestasi Klinis Skleroderma Lokal


CHART 1: Description of the different manifestations of localized scleroderma

Classification Subtypes Features of lesions Tissue involvement Main location

Plaque morphea Superficial Oval lesions Limited to epidermis and dermis Trunk

Deep Deep induration

Dermis and SC tissue

Variable - fascia and muscle

Linear morphea Trunk and limbs Linear induration Dermis and SC tissue (may affect Trunk and limbs

bone and muscle)

Head (LScs) Frontoparietal dermis (muscle, bone Face and scalp

and CNS)

PFH Dermis, SC tissue, muscle, cartilage

and bone

Generalized morphea 4 or more indurated Limited to the dermis and rare Diffuse (not on the

plaques > 3 cm in the SC tissue face or hands)

Mixed morphea Combination of 2 or more subtypes

SC: subcutaneous; CNS: Central Nervous System

11
1. Morfea Plakat (Plaque Morfea)

Bentuk yang paling sering dari morfea pada orang dewasa adalah morfea
plakat, yang dibatasi dengan baik dan biasanya terbatas pada dermis. Ini adalah
dengan karakteristik terdapatnya area berbentuk bulat atau oval, berbatas tegas, kulit
yang keras dan berkilau, dan mempengaruhi satu atau lebih daerah anatomi, paling
sering batang tubuh dan ekstremitas proksimal (Gambar 2). Pada fase-fase paling
awal, terdapat gambaran halo violet sekitar plakat ("cincin ungu"); ini sesuai dengan
fase inflamasi morfea.

Gambar 2: Lesi Morfea Plakat pada trunkus6

2. Morfea Bullosa

Morfea bullous adalah bentuk langka morphea yang dirusak oleh munculnya
bula atau erosi pada morfea plak.6,10

3. Deep Morfea

Deep morfea biasanya memanifestasikan dirinya sebagai lesi tunggal pada


trunkus superior, dekat tulang belakang. Kulit atasnya mungkin memiliki penampilan
normal, penampilan atrofi atau mengeras, dan hampir selalu tertekan atau melekat
pada bidang yang dalam. Biasanya asimtomatik dan tidak berhubungan dengan
keterlibatan visceral. Deep Morfea biasanya tidak didahului oleh bukti klinis
peradangan, perubahan warna kulit atau sklerosis (Gambar 3).6 Beberapa kasus deep
morfea berkaitan dengan vaksinasi dan injeksi intramuskular vitamin K. 11

12
Gambar 3. Pasien dengan Deep Morfea yang melibatkan ekstremitas kanan bawah. 6

4. Morfea Generalisata
Morfea generalisata didefinisikan sebagai morfea plak yang melibatkan lebih
dari 2 situs tubuh. Lebih sering pada wanita, dan latihan fisik telah disebut sebagai
faktor pemicu. Plak sedikit meradang, berpigmen, tidak jelas, menebal, melekat pada
bidang yang dalam, fasia dan otot, dan paling umum pada batang dan ekstremitas.
Onset sklerosis berlangsung bertahap dan relatif cepat selama beberapa bulan. Tanda-
tanda peradangan akut seperti edema dan eritema juga dapat hilang.6
Tinjauan literatur yang komprehensif memungkinkan untuk memverifikasi
bahwa gambaran klinis yang mirip dengan kondisi klinis antara morfea umum dan
deep morfea. Kedua istilah digunakan untuk menggambarkan situasi klinis yang sama
di mana proses sklerotik pada dasarnya mempengaruhi dermis dalam dan jaringan
adiposa, tetapi juga fasia dan otot superfisial secara luas. Istilah 'morfea generalisata'
mengacu pada perluasan yang dapat mencapai fibrosis, sedangkan istilah ‘deep
morfea' dimaksudkan untuk menggambarkan temuan histologis otot superfisial, fasia,
jaringan adiposa, dan keterlibatan deep dermis dengan cara klinis lokal.6
Morfea generalisatan berbeda dari SSC. Pasien dapat mengalami sklerosis pada
jari-jari, tetapi biasanya tidak menimbulkan ulserasi, resorpsi phalanx, perubahan
kapiler pada lipatan kuku atau fenomena Raynaud, yang mana hal tersebut terjadi pada
SSC. Wajahnya biasanya terhindar. Selain itu, adanya kontraktur fleksi sendi dan
13
manifestasi otot-sendi yang umum. Anomali paru, esofagus, ginjal, atau jantung
kadang-kadang didokumentasikan.6

5. Morfea Linear
Linear scleroderma dicirikan oleh satu atau lebih garis linier dari indurasi kulit
yang mungkin melibatkan dermis, jaringan subkutan, otot dan tulang di bawahnya.
Skleroderma linear sering diamati pada anak-anak dan remaja, dan merupakan bentuk
skleroderma yang paling sering pada masa kanak-kanak, mempengaruhi 40-70% dari
anak-anak yang diteliti. Sekitar 67% pasien dengan skleroderma linier didiagnosis
sebelum usia 18 tahun. Biasanya lesi unilateral tunggal dari distribusi linear dan
melibatkan ekstremitas, wajah atau kulit kepala. Lesi sering mengikuti garis Blaschko
(Gambar 4).6
Skleroderma linier dapat mempengaruhi otot dan tulang di bawahnya,
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan ankilosis. Anak-anak lebih sering terkena
daripada orang dewasa, tetapi kedua jenis kelamin berpengaruh sama. Sekitar 50%
pasien dengan skleroderma linier memiliki skleroderma terkait plak. Bentuk
“campuran” seperti skleroderma lokal dari wajah atau Localized Scleroderma of the
Face (LoSF) yang terkait dengan morfea plak atau skleroderma linier di area lain
(paling sering pada batang tubuh) adalah bentuk aneh yang ditemukan pada anak-anak
dan jarang terlihat pada orang dewasa. Durasi dari penyakit ini dua kali lebih lama
ketika LoS memiliki onset pada masa kanak-kanak, dan relaps dan aktivitas penyakit
kronis lebih sering dilaporkan dalam kasus-kasus ini. 6
LSF tidak sering terjadi. Jablonska dkk. melakukan penelitian selama 20 tahun
terhadap pasien di National Institute of Mexico City dan menemukan 30 pasien yang
digolongkan dengan LSsc dan 9 dengan Ketika lokasi lesi berada di kulit kepala, itu
menyebabkan plak distribusi linear. Plak sering atrophic dan sedikit depresi, dan
kulitnya halus, mengkilap, keras dan kadang-kadang berpigmen. Biasanya unilateral,
mempengaruhi daerah parietal, dan cenderung merusak tulang, menyebabkan lesi
depresi digambarkan sebagai LSsc. Ini dapat meluas ke daerah malar dan hidung, dan
ke bibir atas. 6
Ketika gangguan benar-benar mempengaruhi setengah wajah, hal tersebut
diklasifikasikan sebagai PFH atau Parry-Romberg syndrome. Proses ini menyebabkan
atrofi seluruh jaringan adiposa, dan otot dan tulang cacat, tanpa perubahan yang jelas

14
dalam kulit. Onset penyakit biasanya terjadi pada usia rata-rata 11 tahun. Perjalanan
penyakit ini terjadi dalam beberapa tahun dan kemudian diikuti oleh stabilisasi. Ada
pra-dominasi yang lebih tinggi pada wanita (2-3: 1). Tingkat keparahan yang tinggi
didefinisikan sebagai presentasi dengan morfea pansclerotic atau generalisata, LoSF
dan subtipe dengan bukti morbiditas yang tinggi (misalnya: keterlibatan sistem ner-
vous sentral, pemendekan ekstremitas, kontraktur sendi). Tingkat keparahan moderat
didefinisikan sebagai morfea dalam atau skleroderma linear dari trunkus atau
ekstremitas tanpa bukti adanya morbiditas tinggi. Pasien dengan tingkat keparahan
rendah adalah mereka dengan morfea sirkumkripta (lesi plak) superfisial.6

Gambar 4. A. Pasien dengan Skleroderma linier (trilinier) pada dahi. B. Skema Blaschko’s lines. 6

Gambar 5. Morfea Linear

15
Skeleroderma Linear “en coup de sebre” (LScs)
LScs adalah bentuk Skleroderma lokal yang langka dan menarik, yang pertama kali
dijelaskan oleh Addison pada 1854. Skleroderma jenis ini progresif lambat dan umumnya
terbatas pada hemifasial. Lesi LSC sering mulai dengan kontraksi dan kekakuan daerah yang
terkena, membentuk alur depresi pada daerah parietal dan meluas ke kulit kepala, dan
kemudian berkembang menjadi alopesia areata linier (Gambar 5). Alur dapat meluas ke
daerah hidung, bibir atas, dan kadang-kadang ke gingiva. Lidah ipsilateral mungkin atrofik
dan jarak dan arah gigi dapat berubah. Rahang mungkin terlibat dan tulang tengkorak
mungkin terpengaruh. Dalam kasus deformitas rahang, dapat menyebabkan oklusi gigi yang
buruk, implantasi gigi yang buruk, atrofi akar gigi dan penampilan gigi yang tertunda.6
Jenis Skleroderma terutama menyerang anak-anak dan lebih dominan pada wanita dari
pada pria (3: 1). Insiden yang lebih tinggi terjadi saat menarche. Rata-rata onset usia adalah
sekitar 13 tahun dan fase aktif lesi kulit biasanya berlangsung 2-5 tahun. Sangat sedikit yang
diketahui tentang patogenesisnya. Konsekuensinya, terapi yang efektif untuk skleroderma
jenis ini belum ditemukan.6
LScs jarang dikaitkan dengan gejala neurologis dan oftalmologi. Namun, populasi
pediatri menyajikan lebih banyak perubahan ekstrakutan (terutama ortopedi, okular dan
neurologis) daripada populasi orang dewasa. LScs biasanya unilateral, tetapi kasus bilateral
yang jarang telah dilaporkan.6

Gambar 6. Pasien dengan LScs6

Parry-Romberg Syndrome atau Progressive facial hemiatrophy (PFH)


Progresif hemiatrofi wajah (PFH), juga dikenal sebagai Parry-Romberg syndrome
(PRS), pertama kali dijelaskan oleh Parry pada tahun 1825 dan Romberg pada tahun 1846. Ini
adalah gangguan langka yang penyebabnya tidak diketahui yang biasanya berkembang antara
dekade pertama dan kedua kehidupan. Penyakit ini memiliki perkembangan yang lambat, dan
16
biasanya berlangsung selama 2 hingga 20 tahun sampai menjadi stasioner. Hal ini ditandai
dengan atrofi unilateral kulit, jaringan subkutan, otot dan struktur tulang yang mendasari,
paling sering mempengaruhi dermatom dari satu atau beberapa cabang saraf trigeminal. Atrofi
dapat didahului oleh indurasi kulit dan perubahan warna kulit yang terkena, seperti
depigmentasi atau hiperpigmentasi dan alopecia cicatricial dapat diamati di daerah yang
terkena kulit kepala. Keterlibatan daerah di bawah daerah mata lebih sering (Gambar 6).6

PFH mungkin secara klinis sangat mirip dengan LSsc, dan mereka dapat hidup
berdampingan dalam sekitar 20-37% pasien, yang membuatnya sulit untuk membedakannya.
Beberapa penulis telah menggambarkan pasien dengan Lssc yang berubah seiring waktu
menjadi PFH. Umur pada saat diagnosis adalah signifikan ketika diagnosis adalah LSsc atau
PFH. Banyak penulis menganggap LSsc dan PFH sebagai spektrum penyakit yang sama.
Wartenberg mendeskripsikan LSsc sebagai bentuk gagal PFH, sedangkan Wolf dan Ehrenclou
percaya bahwa PFH bukanlah penyakit yang berbeda tetapi sindrom yang dapat hidup
berdampingan dengan skleroderma linier atau terjadi sebagai sequela berbagai kondisi.
Kriteria histopatologis untuk membedakan kedua bentuk tidak ada. Baik LSsc dan PFH dapat
mempengaruhi jaringan subkutan (paling sering pada wajah) atau mempengaruhi kulit
pertama dan kemudian jaringan dalam lainnya. 6

Gambar 7. Pasien dengan PFH6

17
Tabel 2. Perbandingan antara PPH dan LSsc
CHART 2: Comparison of PFH and LSsc

Findings PFH Scleroderma “en coup de sabre”

Face Unilateral atrophy Unilateral, frontoparietal sclerotic band

Minimal or absent induration or previous


inflammation Usually preceded by skin induration

Cutaneous atrophy (normal hair and absent


sclerosis) Usually does not extend below the eyebrow

Associated with dysplasia of the underlying Important, depressed, hyperpigmented, shiny


bone, tongue, gingiva and unilateral palate cutaneous sclerosis involving the scalp

6. Morfea Pansklerotik
Jenis ini mempengaruhi semua lapisan kulit termasuk fasia dan bahkan otot. Kulit
berkilau, hiperpigmentasi, dan keras seperti kayu. Jelas bahwa morfea pansklerotik
mengarah ke gangguan fungsional yang cukup besar. Jika lesi ini terjadi pada trunkus
superior, dan dapat menimbulkan destruksi pada bagian dada sehingga dapat
mengakibatkan gangguan bernapas. 3

Gambar 8. Morfea Pansklerotik3

Komplikasi
Atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur sendi paling sering ditemukan
pada skleroderma linier, generalisata, dan subkutaneus (profunda), dan dapat menyebabkan
gangguan mobilitas. Kontraktur sering terlihat pada skleroderma linier meliputi ekstremitas

18
dan garis sendi berlawanan. Anak-anak sering terkena skleroderma linier dibanding dewasa.
Pada kasus yang berat dan jarang, morfea pansklerotik membutuhkan amputasi pada
ekstremitas yang terlibat karena pertumbuhan yang terganggu. Pasien dengan keterlibatan
kraniofasial linier, seperti en coup de sabre dan hemiatropi fasial, dapat memiliki
abnormalitas neurologik, oftalmologik, dan oral. Kasus berat morfea dikarakterisasi dengan
hiper atau hipopigmentasi, kontraktur, dan atropi jaringan yang mendasari dapat menjadi
hancur. Komplikasi ini menyebabkan gangguan fungsional, kosmetik, dan psikologikal. 2,7

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratoium dapat ditemukan:
- Adanya serum autoantibodi. Serum autoantibodi ditemukan dengan frekuensi
bervariasi pada pasien morfea. Autoantibodi yang paling umum ditemukan
adalah antinuclear antibody (ANA) yaitu sebesar 46%-80% dari seluruh pasien,
biasanya dengan susunan homogenous immunofluorescence. Bila meluas,
36%-53% kasus memiliki anti-single stranded DNA dan/atau antibody
antihiston. Umumnya, pasien dengan morfea generalisata memiliki antibodi
positif dengan frekuensi yang lebih tinggi dibanding jenis morfea lainnya, dan
autoantibodi berhubungan dengan presentasi klinis yang lebih berat, jumlah
lesi yang lebih banyak, lesi yang lebih sklerotik, dan durasi klinis yang lebih
lama2.
- Abnormalitas serum lainnya. Eosinofilia darah ditemukan pada 6%-50%
pasien morfea. Kadar eosinofilia berhubungan dengan aktivitas penyakit.
Penurunan kadar eosinofilia dapat bersamaaan dengan penurunan aktivitas dari
lesi kutaneus. Imunoglobulin yang meningkat, khususnya kadar serum
imunoglobulin G, dihubungkan dengan penyakit yang aktif dan lebih luas dan
kontraktur sendi. Faktor rheumatoid positif ditemukan pada 26% pasien, dan
rasio sedimentasi eritrosit meningkat 25% 2

b. Pemeriksaan Histopatologi
Pada lesi dini tidak memiliki perubahan histologi yang spesifik. Terdapat
vakuolisasi dan penghancuran sel endothelial dengan reduplikasi lamina basalis,
khususnya pada lesi dengan indurasi yang terlihat sebagai tepi persegi (squared-off
edge) pada spesimen biopsi. Infiltrat peradangan superfisial dan dalam kadang-

19
kadang dapat terlihat. Pada lesi yang sangat dini terdapat infiltrat peradangan di
dermis dalam dan jaringan subkutaneus. Juga dapat terlihat limfosit, makrofag, sel
plasma, eosinofil, dan sel mast. Deposit glikosaminoglikan dapat terdeteksi di
stadium awal morfea, khususnya bila proses pembuatan preparat histologis
dilakukan dengan hati-hati untuk menjaga komponen matriks ini.2
Epidermis tampak normal sampai atrofi dengan hilangnya rete ridges. Dermis
edematosa dengan kolagen homogen dan eosinofilik. Sedikit infiltrasi,
perivaskular atau difus; limfosit, sel plasma, makrofag. Kemudian, dermis menebal
dengan beberapa fibroblas dan kolagen padat; infiltrasi inflamasi di persimpangan
dermal-subkutis; pelengkap kulit menghilang secara progresif. Histopatologi
berbeda dari lichen sclerosus et atrophicus. 3

Gambar 9. Histopatologi morfea. Perhatikan squared-off edge dari spesimen biopsi dengan infiltrat
peradangan ringan dan serat kolagen padat, yang terletak paralel epidermis.2

c. Pemeriksaan Serologi
Tes serologi digunakan untuk menemukan bukti infeksi B. Burgdorferi. 3

Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis morfea biasanya ditegakkan berdasakan gejala klinis dan
dikonfimasi dengan biopsi kulit. Pada klinis morfea dideskripsikan sebagai plak yang
terlokalisir, berindurasi dan sedikit rambut atau plak ungu. Pada pemeriksaan fisik,
kulit pasien terasa “tight”, “hard”, atau “grooved”. Morfea dapat muncul sebagai plak
yang soliter, linier atau generalisata. Lesi biasanya berdistribusi pada batang tubuh,
namun juga bisa pada ekstremitas, wajah, atau kepala. Walau beberapa pasien
mengeluh gatal, namun plak itu sendiri asimptomatik.8

20
Diagnosis dapat dilihat dari perkembangan plak berinduasi dan band di kulit,
dengan atau tanpa hemiatropi karena tidak mungkin ada di kondisi lain. Jika terdapat
batas dengan lilac-coloured, diagnosis makin mudah. Lesi reticulat ungu dengan
minimal indurasi dapat mirip dengan poliartritis nodosa kutaneus. Lesi dapat dimulai
dengan vascular blush, dan dapat dianggap macular vascular naevus. Pada fase akut,
harus dibedakan dari scleoderma of Buschke, tapi pada keadaan ini onsetnya lebih
akut, dan lesi dapat diikuti dengan episode infeksius. Lesi atrophic pigmented mirip
dengan lesi dari atrophy of Pierini and Pasini, muncul pada 47% pasien dalam satu
seri. Plak atophic morphoeic dapat disebabkan oleh injeksi vitamin K intramuscular
atau injeksi kortikosteroid subkutaneus.8
Pada anak-anak, klinis yang biasanya terlihat adalah kontraktur ekstremitas
yang asimetris, yang berhubungan dengan penebalan fasia dan kulit di dasarnya, dan
masalah vaskuler distal yang dieksaserbasi oleh pembedahan ortopedi, termasuk
angioma dan malformasi atriovena. Hal ini menunjukkan bahwa distibusi lesi
mewakili sklerotom, atau area tubuh yang disuplai oleh nervus sensorik spinal, dan
bahwa keterlibatan kulit dan otot muncul pada dermatom dan miotom yang relevan.8
Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan biopsi kulit. Pada biopsi kulit, di
stadium awal peradangan, terlihat degenerasi fibril kolagen dan edema yang
ditemukan di dermis. Infiltrat perivaskuler atau difus predominan terdiri dari limfosit
walau dapat juga terdapat sel plasma dan makrofag. Pada stadium sklerotik, dermis
menebal dengan kolagen yang padat dan beberapa fibroblas dengan infiltrat
peradangan pada dermis dan subcutis junction. Saat penyakit berkembang, fibril
kolagen dermis ini bercampur dengan pola homogen dan eosinofilik.9
Diagnosis banding morfea dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Diagnosis banding morfea2


Paling mendekati Dipertimbangkan Selalu disingkirkan

- Sklerosis - Liken sklerosus - Lyme disease, acrodermatitis


sistemik chronic atrophicans
- Lupus profundus
- Eosinophilic - Fenilketonuria
fasciitis - Connective tissue nevi
- Porphyria cutanea tarda
- Morpheaform basal cell
carcinoma - POEMS syndrome (POEMS:
polyneuropathy, organomegaly,
- Toxic oil syndrome endocrinopathy, M protein, and

21
- Chronic graft-versus-host skin changes.)

- Lipodermatosclerosis

Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Umum (KIE)9
- Memberitahu pasien bahwa morfea adalah penyakit yang tidak berbahaya pada
kebanyakan kasus. Perjalanan penyakitnya dapat progresif lambat; namun biasanya
terjadi remisi spontan.
- Menjelaskan pada pasien bahwa lesi morfea pada persendian yang membatasi range of
motion (ROM) pasien dapat dipulihkan dengan rehabilitasi.
- Memberitahu pasien bahwa perhatian khusus diberikan pada lesi morfea pada
ekstremitas bawah karena pada pasien pediatrik dapat menyebabkan diskrepansi
panjang kaki. Keterlibatan fasial dan konstriksi ekstremitas yang meluas juga
membutuhkan follow-up yang lebih.

b. Penatalaksanaan Khusus2
Manajemen morfea masih belum memuaskan. Modalitas terapi yang berbeda
telah disarankan, termasuk penggunaan obat topikal, agen farmakologis
imunosupresif, terapi fisik dan fototerapi. Perawatan harus dimulai pada tahap awal
sebelum komplikasi terjadi karena tingginya tingkat morbiditas dari skleroderma
lokal, yang menyebabkan keterbatasan gerak dan kelainan bentuk. Untuk memulai
atau menunjukkan satu modalitas pengobatan, kita harus mempertimbangkan adanya
atau tidaknya aktivitas penyakit.6
Kriteria aktivitas penyakit meliputi:6
- Munculnya lesi baru dalam 3 bulan terakhir (didokumentasikan oleh dokter);
- Perluasan lesi yang sudah ada dalam tiga bulan terakhir (didokumentasikan
oleh dokter);
- Lesi eritema atau kulit yang sedang atau parah dengan batas erythematous;
- Lesi Violaceous atau tepi lesi;
- Dokumentasi aktivitas penyakit atau perkembangan ke jaringan dalam oleh
dokter (dengan fotografi, MRI atau ultrasonografi (AS);
- Peningkatan indurasi tepi lesi;
- Rambut rontok yang semakin parah pada kulit kepala, alis atau bulu mata
(didokumentasikan oleh dokter);
22
- Peningkatan creatine kinase (CK) walaupun tidak ada perubahan secara klinis;
- Biopsi kulit menunjukkan penyakit aktif.

Parameter berikut menunjukkan kerusakan klinis:


- Atrofi dermis;
- Atrofi jaringan subkutan;
- Hiperpigmentasi atau hipopigmentasi lesi;
- Pusat lesi dengan peningkatan ketebalan kulit.

Beberapa pilihan terapi diusulkan untuk pengobatan morfea seperti D-


penicillamine, vitamin D topikal atau oral fotokemoterapi psoralen-UVA, fenitoin,
kortikosteroid, methotrexate, cyclosporine dan interferon.11
Beberapa pilihan tersedia untuk pengobatan topikal, yang harus dibatasi pada
bentuk morfea yang lebih superfisial dan terbatas, seperti morphea plak. Pada tahap
awal, lebih inflamasi, penggunaan kortikosteroid topikal potensi tinggi
direkomendasikan. Namun, tidak ada penelitian yang menunjukkan keampuhan nyata
dari perawatan ini.6
Dalam sebuah penelitian yang tidak terkontrol, diamati bahwa skleroderma
pada anak-anao dapat berhasil diobati dengan calcipotriol topikal dan dosis rendah
UVA fototerapi.12 Li et al. menetapkan rencana perawatan konsensus (CTPs) untuk 12
bulan pertama aktivitas morfea sedang hingga berat. Berdasarkan bukti ilmiah,
rencana tersebut hanya menentukan penggunaan MTX atau kortikosteroid yang
diberikan IV atau secara oral. Mycophenolate mofetil (MMF) disarankan sebagai
pilihan untuk pasien intoleran terhadap MTX atau yang gagal menanggapi MTX.129
Konsensus ini didasarkan pada indeks aktivitas, kerusakan dan kemanjuran
pengobatan, dan dipandu oleh anggota CARRA (Childhood Arthritis dan Aliansi
Penelitian Rheumatologi). Skema diperlihatkan pada bagan 1. 12,13 Dengan demikian,
MTX dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan kortikoterapi oral atau
injeksi.13,14
Dosis yang dianjurkan adalah 1mg / kg / minggu, di bawah kulit, dan dosis
maksimum yang disarankan adalah 25mg / minggu. 0,4-1 mg / hari atau 5mg / minggu
asam folat harus ditambahkan ke makanan.15

23
Sebagian besar penelitian melaporkan tingkat perbaikan 80% dengan regimen
terapeutik ini. Hasil adalah serupa pada pasien yang diobati dengan kortikosteroid dan
MTX, jika dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan MTX saja. Penggunaan
kortikosteroid saja efektif, tetapi risiko kambuh lebih tinggi. Tingkat kekambuhan
berkisar 28-44% dalam 16-20 bulan setelah penghentian MTX. Pada orang dewasa
dengan onset pada masa kanak-kanak, tingkat kekambuhan ini adalah sekitar 59%.6,13

Berdasarkan penggunaannya dalam pengobatan LoS, imunosupresan lain


digunakan dalam pengobatan morfea, seperti D-penicillamine, yang sedikit disarankan
karena profil keamanannya yang buruk.6
Bagan 1. Perbandingan PPH dan LSsc6

Pilihan terapeutik lainnya adalah penggunaan teknik operasi plastik dan


fisioterapi. Terapi fisik digunakan pada pasien dengan gejala sisa dari morfea
(mobilitas ekstremitas terbatas dan kontraktur sendi).6 Namun, penanganan atrofi
wajah cukup menantang. Bedah rekonstruksi paliatif berpotensi bermanfaat bagi
pasien dengan atrofi wajah yang tidak berfungsi. Penggunaan gambar tiga dimensi
mungkin berguna dalam periode pra operasi bedah rekonstruksi tulang. 6
Radiasi ultraviolet adalah pilihan yang dapat dipertimbangkan untuk
pengobatan morfea. Pilihan yang mungkin adalah: broadband ultraviolet light A (UVA
digabungkan atau tidak dengan psoralen, narrowband UVA1 dan UVB. Perbaikan

24
klinis 80% pada pasien yang diobati telah dilaporkan. Beberapa penulis berpendapat
bahwa pengobatan dengan PUVA (psoralen topikal dan sinar UVA) mungkin berguna
pada tahap inflamasi awal morfea.6

Bagan 2. Algoritma terapeutik untuk morfea3,4

Prognosis
Walau ditemukan autoantibodi serum, morfea dicirikan dengan tidak
melibatkan sistemik, walaupun kadang tumpang tindih dengan penyakit jaringan
penghubung lainnya yang pernah dilaporkan. Kebanyakan kasus adalah self-limited,
dengan aktifitas klinik yang nyata untuk umur rata-rata 3-5 tahun. Beberapa pasien
dapat memiliki reaktivasi dari lesi inaktif secara nyata. Dalam 13% pasien dengan
skleroderma linier, satu terlihat berreaktivasi setelah beberapa tahun remisi. En coup
de sabre dapat tidak terdeteksi selama beberapa dekade. Hal ini mungkin karena
morfea menjadi proses kronik dengan kadar rendah dari aktivitas selama beberapa
tahun. Sedikit atropi dengan atau tanpa hiperpigmentasi dapat menjadi satu-satunya
gejala penyakit yang persisten.2

25
Ringkasan
Morfea, yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized
scleroderma), adalah suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang
berlebihan yang menyebabkan penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya
tanpa keterlibatan sistemik2. Wanita terkena penyakit ini kira-kira 3 kali lebih sering
dari pria dan lebih umum terlihat pada bangsa kaukasian dan asia.
Etiologi dan penyebab langsung dari morfea tidak diketahui tetapi terdapat
laporan tentang morfea setelah infeksi dengan measles, varicella, dan Borrelia
burgdorferi. Pemicu lain yang diperkirakan adalah trauma, vaksinasi basil Calmette-
Guerin (BCG) dan tetanus, injeksi vitamin B dan K, terapi radiasi, penicillamine, dan
bromocriptine serta faktor hormonal. Patogenesis penyakit ini belum diketahui secara
pasti namun banyak studi berpendapat adanya peran patogenik dalam transforming
growth faktor-β (TGF-β). TGF-β telah ditemukan meningkat di lesi morfea.
Terdapat tiga varian utama dari sklerodema lokalisata yaitu morfea, morfea
genealisata, dan morfea linier. Morfea ditandai dengan satu atau beberapa patch atau
plak berindurasi dan berbatas umumnya dengan hipo atau hiperpigmentasi dan
berwarna keunguan (violaceous) dan kemudian berkembang menjadi keputihan atau
kuning, khususnya di sentral. Morfea generalisata merupakan bentuk yang lebih berat
yang ditandai dengan lesi multiple, sering konfluen dan meliputi luas tubuh yang besar
dan lesi berupa warna ungu disekeliling indurasi ivory-white shiny. Morfea linear
ditandai dengan indurasi kulit band-like dan seringnya dengan perubahan pigmen,
yang dapat melewati garis sendi dan kadang menyebabkan kontraktur. Komplikasi
atropi jaringan subkutaneus dan otot dan kontaktur sendi paling sering ditemukan pada
skleroderma linier, generalisata, dan subkutaneus (profunda), dan dapat menyebabkan
gangguan mobilitas.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium yaitu pemeriksaan serum antibodi dimana autoantibodi yang paling
umum ditemukan adalah ANA serta ditemukan penurunan kadar eosinofilia
bersamaaan dengan penurunan aktivitas dari lesi kutaneus. Pemeriksaan penunjang
lainnya adalah histopatologi yaitu ditemukan pada lesi indurasi yang lebih lanjut,
terlihat squared-off edge pada spesimen biopsy, infiltrate peadangan, limfosit,
makrofag, sel plasma, eosinofil, dan sel mast serta deposit glikosaminoglikan dapat

26
terdeteksi di stadium awal morfea. Selain itu dapat dilakukan tes serologi digunakan
untuk menemukan bukti infeksi B. Burgdorferi.
Diagnosis morfea biasanya ditegakkan berdasakan gejala klinis dan
dikonfimasi dengan biopsi kulit. Pada klinis morfea dideskipsikan sebagai plak yang
terlokalisir, berindurasi dan hairless atau plak ungu. Pada pemeriksaan fisik, kulit
pasien terasa “tight”, “hard”, atau “grooved”. Pada biopsi kulit, pada lesi dini dapat
tidak memiliki perubahan histologi yang spesifik namun di stadium awal peradangan,
terlihat degenerasi fibril kolagen dan edema yang ditemukan di dermis.
Penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan yaitu meng-komunikasi,
infomasi dan edukasi pasien tentang penyakit morfea ini. Dan pada penatalaksanaan
khusus dapat diberikan steroid topikal dan sistemik, analog vitamin D oral dan topikal,
methotrexate, cyclophosphamide, azathioprine, hydroxychloroquine, intralesional
interferon-, penicillin dan D-penicillamine. Fototerapi juga dapat digunakan untuk
pengobatan yaitu dengan psoralen dan sinar ultraviolet A, broad band ultraviolet A
(UVA), atau fototerapi UVAI.
Walau ditemukan autoantibodi serum, morfea dicirikan dengan tidak
melibatkan sistemik, dan kebanyakan kasus adalah self-limited maka prognosis pasien
ini adalah baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Jennife VN, Victoria PW. Morphea. [internet] [cited 2018 November 03]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1065782-overview
2. Vincent F, Christina EK. Morphea. In: Klause W, Lowell AG, Stephen IK, Barbara
th
AG, Amy SP, David JS, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.7
Ed. New York: Mc Graw Hill Medical. 2008. p.543-6.
3. Wolf, Klaus et.al. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis of Clinical Dermatology
Sevent Edition. US. Mc Graw Hill Education. 2013. p351-355.
4. Bangert, Calorin et.al. Localized Skeleroderma. USA. Departement of Dermatology
UT Houston. 2014. p5-21
5. MJD Goodfield, SK Jones. Connective Tissue Disease. In: Tony B, Stephen B, Neil C,
th
Christopher, editor. Rook’s textbook of dermatology. 7 Ed. Massachusetts:
Blackwell Publishing; 2004. p.2768-81.
6. Careta, Mariana and Romiti, Ricardo. Localized scleroderma: clinical spectrum
therapeutic update. Anais Brasileiros de Dermatologia. 2015. p1-9
7. Richard W, John H, John S. Connective Tissue Disorder. In: Clinical Dermatology.
Canada : Sauders Elsevier ; 2006. p.181.
8. James WD, Timothy GB, and Dirk ME. Connective Tissue Disease. In: Andrew’s
Disease of The Skin clinical Dermatology. Massachusetts: Blackwell Publishing ;
2008. p.171.
9. Julie EG, Lawrence AS. Localized Scleroderma or Morphea. [internet] [cited 2018
November 2]. Available from: http://www.bnet.com/
10. Fett N, Werth VP (2011) Update on morphea: part I. Epidemiology, clinical
presentation, and pathogenesis. J Am Acad Dermatol 64: 217-228.
11. Zulian F, Martini G, Vallongo C, Vittadello F, Falcini F, Patrizi A, Alessio M, Torre
FL, Podda RA, Gerloni V, Cutrone M, Belloni-Fortina A, Paradisi M, Martino S,
Perilongo G. Methotrexate treatment in juvenile localized scleroderma: a randomized,
double-blind, placebo-controlled trial. Arthritis Rheum. 2011;63(7):1998–2006.
12. Kreuter A, Gambichler T, Avermaete A, Jansen T, Hoffmann M, Hoffmann K, et al.
Combined treatment with calcipotriol ointment and low-dose ultravioleta A I pho-
totherapy in childhood morphea. Pediatr Dermatol. 2001;18:241-5

28
13. Zwischenberger BA, Jacobe HT. A systematic review of morphea treatments and
therapeutic algorithm. J Am Acad Dermatol. 2011;65(5):925–41.
14. Weibel L, Sampaio MC, Visentin MT, Howell KJ, Woo P, Harper JI. Evaluation of
methotrexate and corticosteroids for the treatment of localized scleroderma (morp-hea)
in children. Br J Dermatol. 2006;155:1013-20.
15. Li SC, Feldman BM, Higgins GC, Haines KA, Punaro MG, O'Neil KM. Treatment of
pediatric localized scleroderma: results of a survey of North American pediatric
rheumatologists. J Rheumatol. 2010;37:175-81.
16. N. Mitchell Richard, Kumar Vinay. Penyakit Imunitas didalam Buku Ajar Patologi
Robbins Edisi 7 Volume 1. EGC.2007. p156-157.

29

Anda mungkin juga menyukai