Anda di halaman 1dari 7

Morphea liniear

Evi Mustikawati Arifin,1 M Mahmud Ansori2


1
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Penyakit Kelamin, RSUD AM Parikesit, Kutai Kartanegara
2
Internship RSUD AM Parikesit, Kutai Kartanegara
Email: anshorimahmud@gmail.com

Latar Belakang :
Morfea linear yang ditandai dengan penebalan dan indurasi pada kulit (epidermis, jaringan
subkutan, atau keduanya) akibat deposit kolagen yang berlebihan tanpa keterlibatan
sistemik.Insiden terjadinya morfea dilaporkan sebanyak 2,7 per 100.000 penduduk dengan
rasio insiden laki-laki dan wanita 1:2-3. Morfea lebih banyak terjadi pada ras Kaukasia dan
Asia dibandingkan Afrika dan Amerika. Semua variasi bentuk morfea dapat terjadi pada
anak-anak maupun dewasa pada semua umur. Manifestasi klinis ditandai Skleroderma linier
yang terdapat pada wajah dapat berupa lapisan coklat keunguan atau putih, pita atropi
berjalan vertikal di dahi, umumnya dikenal dengan ”en coup de sabre”. Perubahan meliputi
seluruh kulit kepala biasa ditemukan. Diagnosis banding morphea linear dapat berupa Liken
sklerosus,Lupus profundus. Hal ini harus di perhatikan secara khusus untuk penegakan
diagnosa secara tepat, agar tidak terjadi misdiagnosa. sehingga dapat di lakukan terapi
terhadap pasien lebih tepat sesuai diagnosa.

Kasus :
Dilaporkan Tn.I Laki-Laki usia 54 tahundatang ke RSUD dengan mulut tidak bisa membuka
sejak + 3 hari SMRS, keluhan ini dirasakan sejak 15 tahun dan awalnya hanya kaku
dirasakan dari dagu sehingga menjalar ke belakang telinga menyebabkanpasien sulit untuk
bicara disertai kulit mengeras dipipi .Pada kulit pasien ditemukan Plak sklerotik eritem di
maxilla sinistra disertai dengan atrofi dan en coup de sabre di maxilla dekstra .Pasien di
terapi dilakukan eksisi, dan dilakukan perawatan serta kontrol ke poli klinik. Setelah di terapi
pasien sembuh tanpa komplikasi.

Diskusi:
Tn.I dengan morphea linear mendapatkan terapi antibiotic quinolon memberikan perbaikan
yang signifikan. Quinolon mempunyai pada gerakan leukosit, fungsi leukosit, dan faktor-
faktor humoral dan sitokin lainnya.sehingga TGF-β menstimulasi fibroblas untuk
menghasilkan peningkatan jumlah dari glikosaminoglikan, fibronektin, dan kolagen
berkurang

Kata Kunci : Morphea linear, progressive facial hemiatrophy

PENDAHULUAN
Morfea atau lebih dikenal dengan istilah skleroderma lokalisata adalah sklerosis kulit
terlokalisir yang ditandai dengan penebalan dan indurasi pada kulit (epidermis, jaringan
subkutan, atau keduanya) akibat deposit kolagen yang berlebihan tanpa keterlibatan
sistemik.1Insiden terjadinya morfea dilaporkan sebanyak 2,7 per 100.000 penduduk dengan
rasio insiden laki-laki dan wanita 1:2-3. Morfea lebih banyak terjadi pada ras Kaukasia dan
Asia dibandingkan Afrika dan Amerika. Semua variasi bentuk morfea dapat terjadi pada
anak-anak maupun dewasa pada semua umur. 1 Penyakit ini menyerang kurang lebih
300.000 penduduk Amerika atau sebesar 1 per 1.000 (0,001% dari 310 juta populasi AS)
dan diperkirakan sekitar 27 kasus baru/1 juta populasi/tahun. Walaupun insidennya jarang,
studi epidemiologi memberi kesan bahwa 0,9-5,7% pasien dengan morfea berkembang
menjadi skleroderma sistemik.2 Terdapat tiga varian utama dari sklerodema lokalisata yaitu
morfea, morfea genealisata, dan morfea linier. Jenis morfea linier lebih umum ditemukan
pada anak-anak dan remaja dan dapat terjadi pada usia dekade pertama dan kedua, dengan
dua per tiga dari kasus ditemukan sebelum usia 18 tahun. Sedangkan morfea generalisata
lebih umum pada dewasa dan biasanya muncul pada pertengahan usia. 1 Etiologi morfea
sampai saat ini masih belum diketahui, diduga morfea terjadi setelah infeksi measles,
varicella, dan Borrelia burgdorferi serta faktor-faktor lain: trauma, vaksinasi Basil Calmette-
Guerin (BCG) dan tetanus, injeksi vitamin B dan K, terapi radiasi, penicillamine, dan
bromocriptine serta faktor hormonal.1,3

Morfea sendiri adalah suatu penyakit yang jinak dan self-limited. Namun dapat
menyebabkan morbiditas khususnya pada anak-anak di masa pertumbuhan. Mulai dari
kontraktur sendi, manifestasi neurologi dan oftalmologi, sampai depresi dan ansietas dapat
terjadi akibat penyakit ini.2 Maka mengingat segala komplikasi yang dapat terjadi dan
kurangnya pengetahuan dokter akan penyakit ini, penulis merasa perlu membuat refrat
tentang morfea untuk mengetahui gambaran umum, cara menegakkan diagnosis dan
penatalaksanaannya.

Manifestasi klinis yang terdapat pada wajah dapat berupa lapisan coklat keunguan atau

putih, pita atropi berjalan vertikal di dahi, umumnya dikenal dengan ”en coup de sabre”.
Perubahan meliputi seluruh kulit kepala biasa ditemukan. Jika hanya jaringan subkutaneus,
otot, dan tulang terkena, bentuk ipsilateral ini dikenal sebagai progressive facial
hemiatrophy atau Parry-Romberg syndrome. Perluasan yang meliputi kulit dan
perkembangan hemiatropi wajah tidak selalu berhubungan secara langsung. Pasien terkena
lesi wajah dan Parry-Romberg syndrome datang dengan keadaan yang sangat berat. Pasien
yang bergejala ringan dapat ditandai hanya dengan single linea atrophic band. Pasien yang
bergejala berat dapat memiliki hemiatropi wajah dengan hilangnya jaringan subkutaneus,
otot, dan tulang serta atropi lidah dan kelenjar ludah pada sisi yang sama. Pasien bergejala
berat ini juga dapat memiliki gangguan sistem saraf meningen sehingga berpotensial kejang,
sakit kepala, dan perubahan penglihatan.1

Diagnosis yang tepat dapat memperbaiki prognosis pada morphea linear. Diagnosis
banding pada Pemfigus vulgaris adalah Liken sklerosus,Lupus profundus.Hal ini harus di
perhatikan secara khusus untuk penegakan diagnosa secara tepat, agar tidak terjadi
missdiagnosa. Sehingga dapat di lakukan terapi terhadap pasien yang lebih tepat.

LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki berusia 54 tahun datang sendiri ke poliklinik kulit dan kelamin
RSUD A.M Parikesit pada tanggal 13 Maret 2017.. Status pria sudah menikah. Keluhan
utama pasien Dilaporkan Tn.I Laki-Laki usia 54 tahundatang ke RSUD dengan mulut tidak
bisa membuka sejak + 3 hari SMRS, keluhan ini dirasakan sejak 15 tahun dan awalnya
hanya kaku dirasakan dari dagu sehingga menjalar ke belakang telinga menyebabkanpasien
sulit untuk bicara disertai kulit mengeras dipipi. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
oleh pasien. Pasien tidak memliki riwayat penyakit hipertensi namun memiliki penyakit
diabetes melitus. Dalam keluarga tidak ada yang mengalami atau memiliki keluhan yang
sama seperti pasien.
Dalam pemeriksaan fisik dilakukan penilaian status internus dan status dermatologi.
Pasien dengan vital sign berupa tekanan darah 130/90 mmHg, suhu 36,7 oC, RR 22 kali/menit
dan nadi 86 kali/menit. Status internus pasien masih dalam batas normal. Tidak ditemukan
tanda anemia dan ikterus pada mata. Keadaan telinga hidung tenggorok (THT) dalam
keadaan normal tanpa adanya hiperemia dan gangguan pendengaran. Pada thorax
ditemukan suara jantung S1 dan S2 tunggal dan tidak ada murmur, suara paru vesikuler,
tidak terdapat wheezing dan ronki. Suara bising usus dalam keadaan normal dan distensi
abdomen negatif. Ekstremitas tidak ada edema dan suhu akral hangat.
Status dermatologi berupa lokalisasi berupa bintik merah kemudian berubah
menjadi mengeras. Pertama kali timbul di dagu dan kemudian menyebar ke daerahbelakang
telinga. Bentuk kelainan kulit (efloresensi) yang terdapat Plak sklerotik eritem di maxilla
sinistra disertai dengan atrofi dan en coup de sabre di maxilla dekstra.
Gambar 1 en coup de sabre pada pasien
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang,
diagnosa kerja pada pasien ini yaitu morphea linear. Penatalaksanaan Farmakologis yang
Diberikan yaitu ciproflocacin 2 x 500 mg dan asam mefenamat 3 x 500 mg. Pasien di rawat
selama 2 hari dilakukan punch biopsi dan eksisi. Komunikasi informasi edukasi yang
diberikan ke pasien berupa informasi mengenai penyakit, penyebab, dan pengobatan
selanjutnya yaitu kontrol kembali ke poliklinik untuk dilakukan pemantauan lebih lanjut
mengenai perkembangan penyakit tersebut.
DISKUSI
Morfea atau lebih dikenal dengan istilah skleroderma lokalisata adalah sklerosis kulit
terlokalisir yang ditandai dengan penebalan dan indurasi pada kulit akibat deposit kolagen
yang berlebihan tanpa keterlibatan sistemik. Gambaran klinis morfea sangat bervariasi,
sehingga terkadang sulit untuk mendiagnosis morfea karena mempunyai gambaran klinis
yang tidak seperti biasanya.1

Infeksi terhadap organisme Borrelial juga dikaitkan dengan etiologi morfea, beberapa
pusat studi Eropa berpendapat adanya hubungan antara morfea dan akrodermatitis kronika
atropikan, suatu penyakit karena terinfeksi Borrelia burgdorferi. DNA Borrelia juga ditemukan
di biopsi kulit dari pasien dengan morfea yang diperiksa dengan menggunakan PCR. Namun
pada studi-studi lain tidak ditemukan antibodi Borrelia atau DNA pada morfea dari pasien
Skandinavia, Jerman, Spanyol atau Amerika.3

Peran genetik pada morfea masih belum jelas. Insiden familial tercatat skleroderma
lokal dan sistemik terjadi pada kembar monozigot. Morfea juga dihubungkan dengan
fenilketonuria, dan perbaikan terjadi dengan diet rendah fenilalanin. Morfea juga dilaporkan
terjadi setelah terapi dengan sejumlah obat. Morphoea-like plaques muncul pada pasien
dengan terapi penicillamine dan teremisi dalam setahun pemberhentian pengobatan. Lesi
kutaneus juga dilaporkan muncul setelah terapi dengan bromokriptin, hydroxytryptophan dan
carbidopa, pentazocine, docetaxel, bleomycin.3

Morfea linier ditandai dengan indurasi kulit band-like dan seringnya dengan
perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi dan kadang menyebabkan kontraktur.
Bentuk morfea lebih sering terjadi pada anak-anak dan pada ekstremitas. Proses fibrotik
sering meluas ke jaringan subkutaneus, termasuk fasia dan otot. Kontraktur dapat menjadi
penyebab morbiditas dan deformitas. Pada anak yang sangat muda, dapat mempengaruhi
pertumbuhan tulang dan pertumbuhan jaringan. Proses pansklerotik yang meliputi seluruh
ekstremitas terlihat pada kasus yang sangat berat. Morfea sklerotik pada anak dihubungkan
dengan dengan resiko yang meningkat dari karsinoma sel squamous kutaneus, khususnya
pada area yang berulkus dari kulit yang terkena.1
Morfea yang juga dikenal sebagai skleroderma lokalisata (localized scleroderma) adalah
suatu penyakit yang ditandai dengan deposit kolagen yang berlebihan yang menyebabkan
penebalan epidermis, jaringan subkutan, atau keduanya tanpa keterlibatan sistemik. Wanita
terkena penyakit ini kira-kira 3 kali lebih sering dari pria dan lebih umum terlihat pada bangsa
kaukasian dan asia.

Etiologi morfea sampai saat ini masih belum diketahui, diduga morfea terjadi setelah
infeksi measles, varicella, dan Borrelia burgdorferi. Faktor lain yang berperan adalah trauma,
vaksinasi basil Calmette-Guerin (BCG) dan tetanus, injeksi vitamin B dan K, terapi radiasi,
penicillamine, dan bromocriptine serta faktor hormonal. Patogenesis penyakit ini belum
diketahui secara pasti namun banyak studi berpendapat adanya peran patogenik dalam
transforming growth faktor-β (TGF-β). TGF-β telah ditemukan meningkat pada lesi morfea.

Terdapat tiga varian utama dari sklerodema lokalisata yaitu morfea, morfea
genealisata, dan morfea linier. Morfea ditandai dengan satu atau beberapa patch atau plak
berindurasi dan berbatas umumnya dengan hipo atau hiperpigmentasi dan berwarna
keunguan (violaceous) dan kemudian berkembang menjadi keputihan atau kuning,
khususnya di sentral. Morfea generalisata merupakan bentuk yang lebih berat yang ditandai
dengan lesi multiple, sering konfluen dan meliputi luas tubuh yang besar dan lesi berupa
warna ungu disekeliling indurasi ivory-white shiny. Morfea linear ditandai dengan indurasi
kulit band-like dan seringnya dengan perubahan pigmen, yang dapat melewati garis sendi
dan kadang menyebabkan kontraktur. Komplikasi atropi jaringan subkutaneus dan otot dan
kontaktur sendi paling sering ditemukan pada skleroderma linier, generalisata, dan
subkutaneus (profunda), dan dapat menyebabkan gangguan mobilitas.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan


laboratorium, histopatologi, pemeriksaan ultrasonografi dan MRI, pemeriksaan dengan
Computerized Skin Score (CSS). Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan autoantibodi
antinuclear antibody (ANA) serta ditemukan penurunan kadar eosinofilia bersamaaan dengan
penurunan aktivitas dari lesi kutaneus. Pada pemeriksaan histopatologi terlihat squared-off
edge pada spesimen biopsy, infiltrate peadangan, limfosit, makrofag, sel plasma, eosinofil,
dan sel mast serta deposit glikosaminoglikan dapat terdeteksi di stadium awal morfea. Pada
pemeriksaan ultrasonografi dan MRI dapat menunjukkan morfopatologi kulit yang dapat
membantu klinisi memperkirakan perjalanan morfea, misalnya kedalaman infiltrasi dan
aktivitas penyakit. Lalu, pada pemeriksaan dengan Computerized Skin Score (CSS) dapat
menilai perkembangan lesi morfea. CSS merupakan metode yang cukup baik untuk menilai
lesi kulit pada pasien dengan morfea.

Diagnosis morfea biasanya ditegakkan berdasakan gejala klinis dan dikonfimasi


dengan biopsi kulit. Pada klinis morfea dideskipsikan sebagai plak yang terlokalisir,
berindurasi dan hairless atau plak ungu. Pada pemeriksaan fisik, kulit pasien terasa “tight”,
“hard”, atau “grooved”. Pada biopsi kulit, pada lesi dini dapat tidak memiliki perubahan
histologi yang spesifik namun di stadium awal peradangan, terlihat degenerasi fibril kolagen
dan edema yang ditemukan di dermis.

Penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan yaitu mengkomunikasikan,


menginfomasikan dan memberi edukasi kepada pasien tentang penyakit morfea ini. Pada
penatalaksanaan khusus dapat diberikan steroid topikal dan sistemik, analog vitamin D oral
dan topikal, methotrexate, cyclophosphamide, azathioprine, hydroxychloroquine, intralesional
interferon-, penicillin dan D-penicillamine. Fototerapi juga dapat digunakan untuk
pengobatan yaitu dengan psoralen dan sinar ultraviolet A, broad band ultraviolet A (UVA),
atau fototerapi UVAI. Kebanyakan kasus morfea adalah self-limited maka prognosis pasien
ini adalah baik.

RINGKASAN
Dilaporkan kasus morphea linear pada seorang pria berusia 54 tahun dengan gambaran
efloresensi yang berupa Plak sklerotik eritem di maxilla sinistra disertai dengan atrofi dan en
coup de sabre di maxilla dekstra .Telah dilakukan punch biopsi dan eksisi dan hasil mendukung
diagnosis. Terapi pada pasien ini adalah ciproflocacin 2 x 8 mg,. Pasien di rawat selama 2 hari.
Selanjutnya pasien kontrol ke Poliklinik Kulit dan Kelamin dan mengalami perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mohammed A. Omair,and Sindhu R. Johnson,Inflammatory Arthritis, Sacroiliitis, and


Morphea:Evidence of a Systemic Inflammatory Disease 2013. Dibuka di website:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc (diakses 12 Maret 2017).

2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol. 2
Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006

3. Goldsmith AG, Stephen IK, Barbara AG, Ami SP, David JL & Klaus Wolff.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th Ed. Vol. 2. McGraw Hill. New
York. 2012.
4. Mariana Figueiroa Careta,,Localized scleroderma: clinical spectrum and therapeutic update .
2015 . Dibuka di website: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc (diakses 12 Maret 2017).

5. International Scleroderma Network. Localized Scleroderma: Morphea. .


Dibuka di website: http://sclero.org/medical/about-sd/a-to-z.html (diakses 12
Maret 2017).

Anda mungkin juga menyukai