Diajukan Oleh :
Nama : dr. Muhammad Mahmud Ansori
Dipresentasikan
Tanggal : 17 Januari 2016
Pembimbing I Pembimbing,
Pembimbing II,
1
BORANG PORTOFOLIO
No ID dan Nama Peserta : Muhammad Mahmud Ansori
Pendamping :
Obyektif Presentasi
Deskripsi
Pasien Tn.A usia 56 tahun datang dengan keluahan sesak nafas dan nyeri dada.
Tujuan
Bahan Masalah
Cara Membahas
2
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Tanggal masuk : 16 Desember 2016
3
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya, pasien memiliki riwayat
hipertensi sebelumnya namun pasien pernah ke dirawat dirumah sakit 4 bulan yang lalu
dengan stroke, pasien tidak memiliki riwayat asthma, penyakit paru, darah tinggi, dan
kencing manis. Riwayat alergi obat disangkal oleh pasien.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Hematologi Rutin
a. WBC : 4.500 /mm3 (5000-10000)
b. HGB : 14.7 g/dl (11 - 17 g/dl)
c. HCT : 43 vol% (35 - 55%)
d. PLT : 259.000 (150 – 400 103 /μL)
e. Hitung jenis :
Basofil : 0.3
Eusinofil : 1.1
Batang : 84.6
5
Segmen
Limfosit :15.9
Monosit : 8.9
Elektrolit
Fungsi Ginjal
Hematologi
Serologi
PT : 12.3 detik
EKG
6
Hasil EKG
Irama : Sinus
Frekuensi : 102x/m
Aksis : Normoaksis
Nilai gelombang P : Normal
PR Interval : normal
Nilai gelombang Q : Normal
QRS Kompleks : Normal
Nilai ST Segmen : Normal
Nilai Gelombang T : inverted
Kesan : OMI anterior
RO Thorax
CTR > 50 %
7
Kesan kardiomegali
Echocardiografi
Hasil
Terdapat LVH eksentral
E. Diagnosa
1. Acute Decompensata Heart Failure
2. Stroke non hemorhagic
F. Diagnosa Banding
G. Penatalaksanaan
8
H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gagal jantung akut dapat didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis dimana pasien
memiliki beberapa gambaran antara lain gejala khas gagal jantung (sesak napas saat aktifitas fisik
atau saat istirahat, kelelahan, keletihan, pembengkakan pada tungkai) dan tanda khas gagal jantung
(takikardia, takipnea, pulmonary rales, efusi pleura, peningkatan jugular venous pressure, edema
perifer, hepatomegali) dan temuan objektif pada abnormalitas struktur dan fungsi jantung saat
istirahat (kardiomegali, bunyi jantung ketiga, cardiac murmur, abnormalitas pada
elektrokardiogram, penigkatan konsentrasi natriuretic peptide).
9
2.2 Etiologi
Penyebab yang paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan atau
hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan vaskuler dengan hipertensi,
atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab gagal jantung pada 70% dari pasien
gagal jantung. Penyakit katup sekitar 10% dan kardiomiopati sebanyak 10%. Kardiomiopati
merupakan gangguan pada miokard dimana otot jantung secara struktur dan fungsionalnya menjadi
abnormal.
Tabel 1. Penyebab umum gagal jantung oleh karena penyakit otot jantung (penyakit
miokardial)
Diagnosis kerja yang ditegakkan dari kasus adalah Acute Decompensata Heart Failure.
Dengan dasar anamnesis sesak nafas yang khas dan gambaran Rotgen dada yang mengambarkan
pembesaran jantung.
10
Anamnesis
o Sesak napas (Dispneu) adalah pernapasan yang disadari dan abnormal dengan ciri
napas tidak menyenangkan, sukar bernapas. Sesak napas ini merupakan keluhan
dari:
11
berat, intensitas latihan yang menyebabkan dispneu yang tidak terjadi
sebelumnya. DOE pada gagal jantung kiri merupakan akibat dari desaturasi
arteri, hipertensi vena pulmonalis, dan stiff lung.
Pemeriksaan Fisis
Sebagia.n besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat,seringkali ekstremitas pucat dan
edema. Kombinasi sesak nafas dan nyeri dada yang hilang timbul dicurigai kuat adanya ADHF
EKG
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan sesak nafas atau
keluhan yang dicurigai gagal jantung .Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan ini merupakan landasan dalam menentukan keputusan
terapi.
2.3 Patofisiologi
Ketidakmampuan dan kegagalan jantung memompa darah secara langsung menciptakan suatu
keadaan hipovolemik relatif yang lebih dikenal dengan arterial underfilling. Selain itu respon
terhadap faktor – faktor neurohormonal (seperti sistem saraf simpatis, renin – angiotensin –
aldosterone system, arginine vasopressin dan endotelin – 1) menjadi teraktivasi untuk
mempertahankan euvolemia yang menyebabkan retensi cairan, vasokonstriksi, atau keduanya.
Aktivasi neurohormonal juga menstimulasi aktivasi sitokin proinflamasi dan mediator – mediator
apoptosis miosit.
12
Gambar 1. Dampak dari mediator secara patofisiologi pada hemodinamik pada pasien dengan gagal
jantung. PCWP = pulmonary capillary wedge pressure; SNS = sympathetic nervous system; SVR =
systemic vascular resistance.
13
2.4 Gejala Klinis
Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan yang sering tidak spesifik
untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga dapat disebabkan pleh kondisi lain yang
mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini.
variasi bentuk penyakit pulmonal termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal,
mungkin sangat sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal jantung.
14
hepatomegaly,
kongesti usus.
Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute Decompensated Heart Failure
tahun 2006, manifestasi klinis acute decompensated heart failure antara lain tertera dalam tabel
berikut.
15
gastrointestinal (GI). Kongesti pada hepar dan spleen atau keduanya menyebabkan
Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegaly. Pasien juga menunjukan adanya
peningkatan tekanan vena jugular dengan atau tanpa peningkatan reflex hepatojugular. Asites dan
edema perifer juga muncul akibat akumulasi cairan pada kavitas peritoneum dan perifer.
Gagal jantung dengan hipoperfusi sulit untuk didiagonosis karena kebanyakan gejala dan tanda
tidak spesifik . Hipotensi dan perburukan fungsi ginjal merupakan tolok ukur objektif terhadap
hipoperfusi.Kesulitan mendiagnosis gagal jantung berdasarkan gejala dan tanda memicu
berkembangnya usaha untuk mengidentifikasikan biomarker terhadap penyakit ini. Pemeriksaan
dengan katerisasi jantung kanan dengan menggunakan Swan Ganz Catheter yang merupakan gold
standart untuk pengukuran tekanan intrakardiak dan cardiac output, sayangnya katerisasi jantung
merupkan prosedur invasif yang mungkin menimbulkan komlokasi nantinya. Namun pemeriksaan
biomarker terhadap gagal jantung seperti B – Type Natriuretic Peptide (BNP), yaitu suatu
neurohormonal yang dilepaskan dari ventrikel jantung (miokardium) sebagai respon terhadap
overload cairan dan peningkatan ketegangan dinding (misalnya perenggangan), merupakan
penunjang dignostik untuk ADHF dan merupakan prediksi terhadap keparahan dan mortalitas yang
dikaitkan dengan gagal jantung. Jantung selain berfungsi sebagai pompa juga berfungsi sebagai
organ endokrin yang berfunsi bersama dengan sistem fisiologi lainnya untuk mengatur volume
cairan. Miokardium dalam hal ini menghasilkan natriuretic peptide, salah satunya B – Type
Natriuretic Peptide , suatu hormone diuretik, natriuretic dan bekerja menrelaksasi otot polos
vascular.
Pengukuran level B – Type Natriuretic Peptide (BNP) memiliki kaitan terhadap kondisi klinis
tertentu antara lain yaitu :
Tabel 5. Kegunaan klinis terhadap level BNP serum
Serum BNP < 100
- Normal atau gagal jantung terkompensasi baik
Serum BNP 100 – 200
- Gagal jantung terkompensasi baik
- Normal (Usia lanjut, Wanita, Pengunaan Beta Blocker)
- Cor pulmonal (gagal jantung kanan)
- Hipertensi, disfungsi diastolic
- Penyakit jantung iskemik
Serum BNP 200 – 400
- Gagal jantung dekompensasi ringan sedang
- Gagal jantung kronik terkompensasi
Serum BNP > 400
16
- Gagal jantung kongetif yang berat (hipervolemia)
2.5 Penatalaksanaan
Terapi untuk pasien acute decompensated heart failure tidak berubah secara signifikan selama
30 tahun. Algoritma terhadap acute decompensated heart failure yang digunakan untuk
mengevaluasi diagnostik dan prognostik pasien dengan ADHF antara lain yaitu :
17
Gambar 2. Algoritma untuk stabilisasi awal pada ADHF
Terapi reperfusi
18
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat
dicapai dalam 90 menit ( Antman et al, 2008).
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2
jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan
menurunkan angka kematian.
Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to
needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah
merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat
fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase
(TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi
plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.
19
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala kualitatif
sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)
grading system :
1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena
infark.
2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi
tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh
pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan
laju mortalitas, selain itu, waktu merupakan faktor yang menentukan dalam reperfusi,
fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita. Keuntungan ini lebih nyata bila
streptokinase diberikan dalam 6 jam pertama setelah timbulnya gejala, dengan
anjuran pemberian streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang
semaksimal mungkin
Obat Fibrinolitik :
1. Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup
harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah. Tissue
Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies to Open
Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari
sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun,
tPA harganya lebih mahal.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo Aru W. et all. Infark Miocard dengan Elevasi ST. Idrus Alwi (eds). Buku Ajar
IPD. Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu penyakit dalam Fakultas kedokteran universitas
Indonesia; 2009.h.1741-54
2. Gleadel. Jonathan. AT Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Penerbit
Erlangga; 2007.h166;170;112-3
3. Dharman Surya. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG.EGC: Jakarta; 2009
4. Isselbacher, et all. Harrison Prinsip – prinsip Ilmu Penyakit Dalam (ed 13). Volume 3
Jakarta: EGC;2008H.1201-44
5. Prince Wilson. Patophysiology.Clinical Concepts of Disease Proccesses. Ed 6. Elsevier
Science 2002.
6. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in the Management
of acute decompensated heart failure. [monograph on the internet]. California : 41st ASHP
Midyear Clinical Meeting; 2006 Diakses 4 januari 2017.Available from
www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf.
7. Lindenfeld J. Evaluation and Management of Patients with Acute Decompensated Heart Failure.
Journal of Cardiac Failure [serial on the internet]. 2010 Jun Diakses 4 januari 2017.16 (6): [about
23 p]. Available from
http://www.heartfailureguideline.org/_assets/document/2010_heart_failure_guideline_sec_12.pdf
.
8. Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al. ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European
Journal of Heart Failure [serial on the internet]. 2008 Aug Diakses 4 januari 2017.Available from
http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf #page= 1&view=FitH.
9. McBride BF, White M. Acute Decompensated Heart Failure: Pathophysiology. Journal of
Medicine [serial on the internet]. 2010 Diakses 4 januari 2017.Available from
http://www.medscape.com/viewarticle/459179_3
10. Hollander JE. Current Diagnosis of Patients With Acute Decompensated Heart Failure.
[monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of
Pennsylvania; 2001 [cited 2011 Apr 10]. Available from www.emcreg.org.
11. Tallaj JA, Bourge RC. The Management of Acute Decompensated Heart Failure. [monograph on
the internet]. Birmingham : University of Alabama; 2003 Diakses 4 januari 2017.Available from
21
http://www.fac.org.ar/tcvc/llave/c038/bourge.PDF
12. Kirk JD. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To Cclassification Aand
Treatment. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine
University of Pennsylvania; 2004 Diakses 4 januari 2017. Available from www.emcreg.org.
22