Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus

TERAPI CAIRAN PADA SYOK HEMORAGIK


GRADE 2

Disusun Oleh:
Muthia Adhana Y., S.Ked 04054822022001

Pembimbing :
dr. Ferriansyah Gunawan, Sp. An

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
TERAPI CAIRAN PADA SYOK HEMORAGIK GRADE 2

Oleh:
Muthia Adhana Yusri 04054822022001

Dosen Pembimbing:
dr. Ferriansyah Gunawan, Sp. An

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin
Palembang periode 24 Mei – 9 Juni 2021.

Palembang, Juni 2021


Pembimbing,

dr. Ferriansyah Gunawan, Sp. An

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Terapi
Cairan pada Syok Hemoragik Grade 2” sebagai salah satu syarat mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
Terima kasih penulis ucapkan dr. Ferriansyah Gunawan, Sp. An selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini sehingga laporan kasus ini dapat selesai dengan baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran membangun dari berbagai pihak untuk perbaikan
di masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Palembang, Juni 2021

Muthia Adhana Y.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................II
KATA PENGANTAR.........................................................................................III
DAFTAR ISI........................................................................................................IV
BAB I.......................................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................3
2.1 IDENTITAS.......................................................................................................3
2.2 ANAMNESIS....................................................................................................3
2.3 PEMERIKSAAN FISIK.......................................................................................5
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................................6
2.6 DIAGNOSIS......................................................................................................9
2.7 RENCANA TINDAKAN.....................................................................................9
2.8 RENCANA ANESTESI.......................................................................................9
2.9 OPERASI..........................................................................................................9
2.10 PEMULIHAN ATAU POST-ANESTESI............................................................14
2.11 MANAJEMEN PASCA OPERATIF..................................................................14
BAB III..................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................36

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Syok adalah kondisi yang mengancam jiwa dalam bentuk kegagalan


peredaran darah akut keadaan di mana sirkulasi tidak dapat memberikan oksigen
yang cukup untuk memenuhi tuntutan jaringan. 3 Syok menyebabkan hipoperfusi
jaringan secara global dan berhubungan dengan penurunan kadar oksigen pada
darah yang lama-kelamaan akan menjadi asidosis metabolik.9
Berdasarkan etiologi, syok diklasifikasikan menjadi 4 kategori yaitu syok
hipovolemik, syok kardiogenik, syok distributif dan syok obstruktif. 9 Diagnosis
syok ditegakkan berdasarkan klinis, hemodinamik dan tanda biokimia yang dapat
dilihat dari 3 komponen. Pertama, hipotensi sistemik arterial yang dilihat melalui
tekanan arteri sistolik < 90 mmHg atau MAP< 70 mmHg dengan takikardi.
Kedua, tanda klinis dari hipoperfusi jaringan yaitu kulit ( dingin, sianosis), ginjal (
urine output < 0,5 ml/ kgBB/ jam) dan neurologik ( penurunan status mental).8
Hemoragik merupakan salah satu penyebab syok setelah cedera. Syok
hemoragik adalah kondisi akut hilangnya volume darah sirkulasi yang
menyebabkan penghantaran oksigen inadekuat pada tingkat sel.1 Berdasarkan
epidemiologi, kematian akibat syok hemoragik sekitar 1,9 juta/ tahun di dunia dan
1,5 juta disebabkan karena trauma fisik.6 Sekitar 40% kasus trauma mengenai
kaum muda pada rentang usia 20-39 tahun.5
Selain trauma, kasus syok hemoragik juga dijumpai pada operasi
kardiovaskular, perawatan kritis, ginekologi dan bedah umum (Hooper &
Armstrong, 2018). Sumber yang berpotensi dalam pendarahan yaitu dada,
abdomen, pelvis, retroperitoneum, ekstremitas dan pendarahan luar harus segera
diketahui melalui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1 Manajemen
yang penting dalam syok hemoragik yaitu mengetahui lokasi pendarahan dan
kontrol sumber pendarahan.5 Ketika pendarahan tidak dapat terkontrol maka,
klinisi harus mampu mempertahankan delivery oksigen untuk mengurangi
hipoksia jaringan, inflamasi dan disfungsi organ melalui resusitasi.2

1
Resusitasi cairan merupakan intervensi terapeutik pertama pada syok
hemoragik. Idealnya, kehilangan darah harus diganti dengan kristaloid atau koloid
yang cukup untuk menjaga normovolemia. Pada saat terjadi kehilangan darah
lebih banyak cairan dapat diganti dengan transfusi PRC untuk menjaga
konsentrasi hemoglobin (atau hematokrit) pada tingkat yang dapat diterima.
Transfusi darah bukanlah suatu hal yang wajib namun dilakukan jika manfaat
transfusi melebihi risikonya.4

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas
Nama : Ny. HM
No. RM : 1205382
Umur : 60 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB/TB : 56 kg/ 160 cm
Suku : Palembang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kemang Manis, Ilir Barat 2, Palembang
Tanggal MRS : 4 Mei 2021 pukul 13.20
Status Fisik : ASA 2

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis pre-operatif dilakukan pada tanggal 27 Mei 2021.
2.2.1 Keluhan Utama
Perdarahan dari kemaluan, mau operasi.
2.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 2 bulan yang lalu pasien mengeluh perdarahan dari
kemaluan, banyaknya 1x ganti pembalut, riwayat perdarahan dari kemaluan
sebelumnya disangkal, nafsu makan seperti biasa, penurunan berat badan
disangkal, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien berobat ke RSMH pada
tanggal 4 Mei dan dijadwalkan operasi pada tanggal 27 Mei. Pasien merupakan
rujukan dari RS Rika Amelia dengan kanker di organ reproduksi.

3
2.2.3 Status Reproduksi
Menopause tahun 2012, status persalinan P3A1, Riwayat
penggunaan KB suntik 4 tahun.

2.2.4 Riwayat Pengobatan


Riwayat Kuretase Endometrium untuk dilakukan pemeriksaan PA tanggal
27 April 2021 di RS Rika Amelia.
Kesan: Endometrioid Carcinoma

2.2.5 Riwayat Kebiasaan


Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.

2.2.6 Riwayat Penyakit Keluarga:


- Riwayat hipertensi, diabetes melitus, sakit ginjal, sakit jantung, sakit
tiroid, TB, asma/alergi dalam keluarga disangkal.
- Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

2.2.7 AMPLE
Alergi tidak ada
Medikasi: Riwayat Kuretase endometrium tanggal 27 April 2021.
Past Illness:
- Riwayat hipertensi disangkal.
- Riwayat diabetes melitus disangkal.
- Riwayat sakit ginjal disangkal.
- Riwayat sakit jantung disangkal.
- Riwayat sakit tiroid disangkal.
- Riwayat TB disangkal.
- Riwayat asma disangkal.
Last Meal: puasa dari jam 21.00 (> 6 jam)
Event: Perdarahan dari kemaluan banyaknya 1x ganti pembalut sejak 2 bulan lalu.

4
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Status Generalis
- Sensorium : GCS E4M6V5 (Compos Mentis)
- Tekanan Darah : 115/74 mmHg
- Nadi : 80x/ menit
- RR : 18x/ menit
- SpO2 : 99%
- Suhu : 36,50C

2.3.2 Pemeriksaan Fisik Spesifik


- Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
- Leher : Massa (-), JVP 5-2 cmH2O
- Thorax : Simetris, vesikuler normal, wheezing dan ronkhi
tidak ada.
- Cor :
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak teraba
P : Redup batas jantung
A : BJ I/II normal. Murmur dan gallop tidak ada.

-Pulmo :
I : Simetris (+/+)
P : Sonor (+/+)
P : Krepitasi (-/-)
A : Vesikuler (+/+)

-Abdomen:
I : Cembung, lemas.
P : Nyeri tekan tidak ada

5
P : Tympani, tanda cairan bebas tidak ada.
A : Bising usus (+)

-Ekstremitas: edema pretibia tidak ada


- Genitalia dan anus : pemeriksaan VT dan inspekulo tidak dilakukan.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 26 Mei 2021
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 13.8 g/dl 11.4 – 15.0 g/dl
RBC 4.48 x 106/ mm3 4x106/ mm3- 5.7x 106/
mm3
3 3
WBC 8.04 x 10 / mm 4.73x 103/ mm3-
10.89x103/ mm3
Hematokrit 42 % 35-45 %
Trombosit 269000/µL 189000/µL- 436000/µL
Faal Hemostasis
INR 13.7 12-18
PT 33.2 27-42
Fibrinogen 375.0 200-400
D-Dimer 0.2 <0.3
Hati
SGOT 17 U/L 0-32 U/L
SGPT 15 U/L 0-31 U/L
Ginjal
Ureum 21 mg/dl 16.6-48.5 mg/dl
Kreatinin 0.86 mg/dl 0.50-0.90 mg/dl
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa sewaktu 95 mg/dl <200 mg/dl
Elektrolit
Na+ 148 mEq/L 135-155 mEq/L
Cl 97 mmol/L 96-106 mmol/L
K+ 4.0 mEq/L 3.5-5.5 mEq/L

2.5 Pemeriksaan Tambahan


1. Rontgen thorax: normal

6
2. USG

abdomen:

7
Kesan: Massa Malignansi pada endometrium yang terbatas pada cavum uteri

8
3. Hasil pemeriksaan Rapid Tes Antibody SARS-CoV-2 IgG/IgM pada tanggal 6
Mei 2021.
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Rapid Tes antibody SARS-CoV-2
IgG/IgM
 Anti SARS CoV-2 IgG Non Reaktif Non Reaktif
 Anti SARS CoV-2 IgM Non Reaktif Non Reaktif

2.6 Diagnosis
Karsinoma Endometrium stadium I A

2.7 Rencana Tindakan


Laparotomi histerektomi total + Vries Coupe (VC) dengan anestesi umum

2.8 Rencana Anestesi


1. Puasa 6 jam pre-operasi
2. Rencana tindakan GA intubasi
3. Sedia darah intraoperatif yaitu 2 kantong PRC.

2.9 Operasi
Evaluasi Pre Induksi (Pukul 10.30)
Kesadaran : E4M6V5, compos mentis
Respirasi : 20x/ menit, spontan
SpO2 : 99%

9
Tekanan Darah : 123/70 mmHg
Nadi : 81 x/mnt, regular
Status Fisik : ASA II

Jenis Anestesi
Anestesi Umum
Induksi Anestesi umum : Propofol (200 mg)
Fentanyl (400 mcg)
Rucornium bromide (30 mg)
Sevoflurane 2 vol%
Teknik Anestesi Umum : closed
Pengaturan nafas : controlled
Monitoring : EKG lead, SpO2, NIBP, kateter urin.

Keadaan Selama Operasi


Posisi : Supine
Ventilasi : Intubasi menggunakan single lumen ETT
ukuran 7.0 dengan balon.
Laporan saat operasi
1. Operasi dimulai pukul 10.50 WIB.
2. Pasien dalam posisi supine dengan general anestesi.
3. Dilakukan tindakan septik antiseptik pada daerah abdomen dan sekitarnya
dengan povidone iodine 10%.
4. Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril
5. Dilakukan insisi mediana dari 1 jari diatas simfisis sampai 1 jari diatas
umbilicus.
6. Diputuskan untuk dilakukan histerektomi total.
7. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum rotundum sinistra.
8. Menjepit, memotong dan mengikat ligamentum rotundum dextra.
9. Menyusuri plika vesikouterina, kemudian plika vesikouterina disisihkan
kebawah dan lateral.

10
10. Membuat window, menjepit memotong dan mengikat ligamentum
infundibulopelvicum sinistra.
11. Menjepit, memotong dan mengikat a. uterina dextra dan sinistra dengan
PGA no. 0.
12. Memotong bladder pillar.
13. Insisi berbentuk huruf V dangkal pada serviks dari sisi anterior diatas
batas pengikatan arteri uterina.
14. Tunggul vagina dijahit secara jelujur dengan PGA 2.0
15. Dilakukan eksplorasi ulang, didapatkan pendarahan dirawat sebagaimana
mestinya.
16. Dilakukan pencucian kavum abdomen dengan Nacl 0,9% lalu dipasang
stab wound drain.
17. Setelah diyakini tidak ada pendarahan, dinding abdomen dijahit lapis demi
lapis dengan cara :
- Peritoneum dan fascia dijahit secara jelujur dengan polyglycolic
acid no.1
- Subkutis dijahit secara interrupted dengan polyglycolic acid no. 1
- Kulit dijahit secara jelujur subkutikuler dengan polyglycolic acid
no.3.0
18. Luka operasi ditutup dengan opsite.
19. Operasi selesai pukul 14.00 WIB.

11
Tabel 2. Tabel Monitoring Intraoperative
Jam TD Nadi RR SpO Udara Keterangan
O2 N2O Air Volatil
(WIB (mmHg (x/mnt (x/mnt 2
(L/m (L/m (Vol%)
) ) ) ) (%)
) )
10.50 120/75 85 20 100 8 - - 2 - Persiapan pasien
-Intubasi dengan
ETT 7 cuff
-Pemasangan
kateter urin
Induksi :
-Fentanyl 200 mcg
-Propofol 200 mg
-Rocurnium
bromide 30 mg
-sevoflurane 2 Vol
%
Input Cairan
-Ringer Laktat 500
cc
11.05 120/75 83 20 100 8 - - 2 Operasi dimulai,
pasien dalam
keadaan supine.

11.20 110/60 85 12 100 2 - 2 2 -Fentanyl 200 mcg


11.35 90/60 88 14 100 2 - 2 2 Obat-obatan:

12
- Ketorolac 30 mg
- Dexametason 10
mg
- Paracetamol 1000
mg
11.50 90/60 90 14 100 2 - 2 2
12.05 90/60 100 14 100 2 - 2 2 Output Cairan:
- Perdarahan 800 cc
- Urin 200 cc
Input Cairan
-Ringer Laktat
1000 cc
12.20 90/60 110 14 100 2 - 2 2
12.35 90/55 110 14 100 2 - 2 2
12.50 90/60 100 14 100 2 - 2 2
13.05 90/60 100 14 100 2 - 2 2 Output Cairan:
- Urin 100 cc
13.20 90/60 100 14 100 2 - 2 2
13. 35 90/60 100 14 100 2 - 2 2
13.50 90/60 100 14 100 2 - 2 2 Input Cairan
-Ringer Laktat 500
cc
Output Cairan:
- Urin 200 cc
14.05 90/60 100 14 100 2 - 2 2 Operasi Selesai

Cairan
Total asupan cairan
1. Ringer Laktat 2000 cc
Jumlah Input : 2000 cc
Total keluar cairan
Darah : 800 cc
Urine : 500 cc
Jumlah output : 1300 cc

13
2.10 Pemulihan atau Post-Anestesi
Monitoring Pasca Operasi
Pasien pindah ke Ruang pemulihan pukul 14.30.
Kesadaran : E4M6V5
Tekanan Darah : 120/80
HR : 102
RR : 16
SpO2 : 100

Pukul TD Nadi RR SpO2 Aldrete Skala


(mmHg) (x/menit) (x/menit) (%) score nyeri
(NRS)
14.30 120/80 80 20 99 9 1
15.00 120/80 78 22 99 9 1
15.30 120/80 78 20 99 9 1

2.11 Manajemen Pasca Operatif


- Pantau hemodinamik serta tanda-tanda gagal napas dan pendarahan.
- Perawatan post operasi di GICU.
- Infus IVFD RL 20 gtt/menit. + oksitosin 20 IU
- Injeksi asam traneksamat 500 mg/ 8 jam IV
- Injeksi Ketorolac 30 mg/ 8 jam IV
- Pemeriksaan Laboratorium post operatif.
- Pemeriksaan PA

BAB III

14
ANALISIS KASUS

Pada tanggal 4 Mei 2021, pasien Ny. H, 60 tahun, datang ke rumah sakit
Mohammad Hoesin Palembang mengeluh perdarahan pada kemaluan sejak 3
minggu lalu, BAK dan BAB normal. Pasien dijadwalkan operasi laparotomi pada
tanggal 26 Mei 2021 jam 11.00 WIB. Pasien diposisikan supinasi kemudian
diinduksi dengan general anestesi 10.25 WIB. Pada saat operasi diputuskan
dilakukan histerektomi total. Pada saat operasi didapatkan total pendarahan
sebanyak 800 cc. Selama operasi terjadi peningkatan Nadi menjadi 110. Pasien
mengalami syok hemoragik grade II.
Syok adalah kondisi yang mengancam jiwa akibat terganggunya sistem
sirkulasi darah yang menyebabkan perfusi dan oksigenasi jaringan tidak adekuat. 3
Berdasarkan ATLS 2018, Syok dibagi menjadi 2 yaitu syok hemoragik syok non-
hemoragik. Syok non hemoragik terdiri dari syok kardiogenik, syok distributif,
syok hipovolemik dan syok obstruktif.1.9
Syok hemoragik disebabkan oleh berkurangnya volume intravaskular melalui
kehilangan darah hingga tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen pada jaringan.
Respon tubuh terhadap kehilangan darah yaitu pertama terjadi vasokonstriksi
pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah ke otak, jantung dan hati. Kedua,
terjadi takikardia untuk mencukupi cardiac output dan lepasnya katekolamin
endogen untuk meningkatkan resistensi vascular yang akan meningkatkan tekanan
darah. Ketiga, pada tingkat sel terjadi kurang adekuat perfusi oksigen ke dalam sel
sehingga mitokondria tidak lagi dapat mempertahankan metabolisme aerobik
untuk produksi oksigen dan beralih ke metabolisme anaerobik yang kurang efisien
untuk memenuhi permintaan seluler untuk trifosfat adenosin. Dalam proses
terakhir, piruvat diproduksi dan dikonversi menjadi asam laktat untuk
meregenerasi nikotinamide adenine dinucleotide (NAD+) untuk mempertahankan
respirasi sel tanpa oksigen.1 Jika syok yang lama akan menyebabkan kerusakan
organ tingkat akhir dan disfungsi multipel organ, sehingga penanganan syok
hemoragik awal sangat penting.

15
Penanganan syok harus berfokus pada menghentikan pendarahan yang
berlangsung dan menyediakan oksigen yang adekuat, ventilasi yang cukup dan
resusitasi cairan melalui intravena.1 Total cairan tubuh pada manusia mengalami
penurunan seiring pertambahan usia mulai dari saat lahir, kandungan air pada
tubuh manusia mendekati 75% berat badan, usia 1 bulan menurun menjadi 65%
dan pada dewasa pria yaitu 60% berat badan, sedangkan pada dewasa wanita yaitu
60% berat badan. Cairan di tubuh didistribusikan ke dalam 2 kompartemen yaitu
cairan intraseluler (CIS) dan cairan ekstraseluler (CES). CES terdiri dari cairan
interstitial dan cairan intravascular.7
Pada pasien ini terjadi pendarahan intraoperasi dengan total 800 mL disertai
penurunan tekanan darah dan peningkatan denyut nadi. Berdasarkan gejala klinik,
pasien ini termasuk syok hemoragik grade II dengan tanda- tanda pendarahan 750
- 1500 mL atau 15% - 30% dan peningkatan denyut nadi menjadi 110x/ menit.
Berdasarkan pedoman ATLS, pada syok hemoragik grade II dapat dilakukan
penggantian cairan dengan jenis Kristaloid.1
Tabel 4. Estimasi Kehilangan Darah berdasarkan Presentasi Klinis Awal Pasien.1
Kelas 1 Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Hingga 750 750-1500 1500-2000 >2000
darah (ml)
Kehilangan Hingga 15% 15-30% 30-40% >40%
darah (%)
Denyut nadi <100 100-120 120-140 >140
Tekanan Normal Normal Menurun Menurun
Darah
Sistolik
Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun
meningkat
Frekuensi 14-20 20-30 30-40 >35
napas
Output urine >30 20-30 5-15 Tidak ada
(ml/jam)
SSP/ Status Agak gelisah Cukup Sangat Bingung/
Mental Gelisah Gelisah letargi
Resusitasi Kristaloid Kristaloid Kristaloid& Kristaloid&

16
cairan inisial Darah Darah

Sebelum operasi, pasien harus dipuasakan terlebih dahulu dengan minimal > 6
jam sehingga akan terjadi penurunan sedikit jumlah cairan ekstraseluler dan
volume intravascular yang tidak berubah. Puasa prabedah saat ini memungkinkan
clear liquid boleh diminum hingga 2 jam sebelum anestesi. Pada saat intraoperasi,
strategi pemberian cairan pengganti sangat penting dan harus mempertimbangkan
prinsip-prinsip berikut 7:
1. Tidak melakukan pemberian cairan intravena secara berlebihan pada awal
kasus.
2. Tidak melakukan pemberian cairan pengganti pada “third space” atau
berdasarkan urine output.
3. Pengganti darah yang hilang akibat prosedur bedah sebanyak 1:1 dengan
koloid.
4. Penggunaan koloid secara terbatas pada kasus hypovolemia.
5. Membatasi volume kristaloid yang diberikan intrabedah.
6. Lebih mengutamakan larutan garam seimbang dibandingkan salin normal.
7. Restriksi cairan pascabedah dan penggunaan diuretic jika dijumpai kenaikan
berat badan pascabedah lebih dari 1 kg.
Pemilihan jenis cairan bergantung pada prosedur operasi dan expected blood
loss. Pada laporan kasus ini, pasien dilakukan operasi laparotomi dan berdasarkan
buku Jaffe, expected blood loss pada operasi laparotomi ini sebesar 100-400 ml. 10
Pada pasien ini terjadi kehilangan darah sebesar 800 ml. Idealnya, kehilangan
darah diganti dengan cairan kristaloid yang cukup untuk menjaga normovolemia.
Transfusi dapat ditentukan sebelum operasi dari hematokrit dan dengan
memperkirakan volume darah kemudian didasarkan dengan kondisi medis pasien
dan prosedur pembedahan yang dikerjakan. Pasien dengan hematokrit normal
umumnya harus ditransfusikan hanya setelah kehilangan lebih dari 10-20%
volume darah. Jika hematokrit turun hingga 30%, jumlah kehilangan darah yang
diperlukan dapat dihitung sebagai berikut.11
1. Perkiraan volume darah (EBV)

17
Gambar 3. Volume darah rata-rata sesuai usia11

Pada Ny. H, memiliki berat badan 56 kg dengan tinggi badan 160 cm, dengan
pendarahan 800 ml dengan persentase kehilangan darah 15-30%. Jadi, pasien Ny.
H mengalami syok hemoragik grade II.
BMI = 56/(1,6)2
= 21,875 (normal)
EBV = 65 ml/kg x 56 kg
= 3640 ml

Perkiraan volume sel darah merah (RBCV) pada hematokrit pre-operatif


Hematokrit preop= 42%
RBCV = 3640 x 42%
= 1528 ml
Perkiraan RBCV pada hematokrit 30% (RBCV30%), untuk menjaga volume
darah normal.
RBCV30% = 3640 x 30%
= 1092 ml
Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika hematokrit 30%
RBCVlost = RBCVpreop -RBCV30%
= 1165 ml – 1092 ml
= 73 ml
Perkiraan jumlah darah yang hilang
Allowable blood loss = RBCVlost x 3

18
= 73 ml x 3
= 219 ml
Transfusi harus dipertimbangkan hanya jika kehilangan darah pasien melebihi
219 ml. Transfusi tidak dianjurkan sampai hematokrit menurun menjadi 24% atau
lebih rendah (hemoglobin < 8 g/dl), tetapi harus tetap memperhitungkan tingkat
kehilangan darah, klinis pasien dan kondisi komorbiditas. Satu unit sel darah
merah akan meningkatkan hemoglobin g/dl dan hematokrit 2-3% (pada orang
dewasa) dan transfusi sel darah merah 10 ml/kg akan meningkatkan konsentrasi
hemoglobin 3 g/dl dan hematokrit 10%.11
Selama operasi, terjadi kehilangan cairan redistribusi dan evaporasi
dihubungkan dengan ukuran luka, tingkat manipulasi dan pembedahan, dapat
digolongkan menurut derajat trauma jaringan.11

Tabel 5. Derajat Trauma Jaringan


Derajat trauma jaringan Penambahan cairan
Minimal (contoh hernioraphy) 0-2 ml/Kg
Sedang (contoh cholecystectomy) 2-4 ml/Kg
Berat (contoh reseksi usus) 4-8 ml/Kg
Pada Ny. H yang mengalami operasi Laparotomi histerektomi termasuk trauma
jaringan derajat berat sehingga penambahan cairan sebagai berikut.
Penambahan cairan = 4-8 ml/kgbb x 56 kg
=224-448 ml
Perhitungan diatas hanyalah sebagai petunjuk dan kebutuhan yang sebeneranya
bervariasi pada masing-masing pasien. Prinsip dasar penanganan syok hipovolemi
adalah untuk menghentikan pendarahan dan mengganti cairan yang hilang.

1. Pertahankan jalan napas yang paten dan pernapasan yang adekuat.


2. Berikan suplementasi oksigen untuk mempertahankan saturasi O2 >95%.
3. Lakukan pemasangan akses intravena 2 IV line, ambil sampel darah untuk
dilakukan crossmatch dan lakukan resusitasi cairan. Cairan resusitasi awal
pada syok hipovolemik adalah cairan isotonis (misalnya Ringer Laktat).
Bila terdapat kehilangan darah dalam jumlah yang besar (kelas III dan
kelas IV) akibat perdarahan, maka berikan transfusi darah.

19
4. Bila penyebab syok dicurigai akibat perdarahan, cari adanya sumber
perdarahan dan hentikan perdarahan yang sedang berlangsung. Jika
penyebab syok dicurigai akibat non hemoragik, maka lakukan tatalaksana
penyakit dasar.
5. Pada keadaan yang berat dan hypovolemia berkepanjangan meskipun telah
diberikan resusitasi cairan, dukungan inotropic dengan dopamine, atau
dobutamine dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel
yang cukup setelah volume darah dicukupi terlebih dahulu.1
Terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu pertama, resusitasi cairan
bertujuan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh dan ekspansi cepat
dari cairan intravaskuler dan memperbaiki perfusi jaringan. Cairan resusitasi
terdiri dari kristaloid dan koloid. Kedua, terapi rumatan bertujuan untuk
memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi yang diperlukan tubuh. Cairan
rumatan terdiri dari elektrolit dan nutrisi. 1,7,11
Jenis-jenis cairan dan indikasinya sebagai berikut.
a. Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan untuk resusitasi awal pada pasien
trauma atau pasien dengan syok hemoragik dan septik syok. Cairan kristaloid
yang paling banyak digunakan yaitu normal saline dan ringer laktat. Kristaloid
sering digunakan karena cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan
ekstraseluler, harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan,
tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi ataupun syok
anafilaktik. Namun, Kekurangan cairan kristaloid yaitu rendahnya
kemampuan mengantarkan oksigen, rendahnya kemampuan koagulasi, dan
keterbatasan half-life di intravaskuler. Cairan kristaloid akan berpindah dari
intravascular menuju ruang interstitial dan hanya 1/3 yang tersisa di
intravascular. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-
30 menit.7,11
Kristaloid dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan tonisitasnya sebagai
berikut.
1. Hipertonik

20
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih
terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik,
konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan
tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular. Larutan salin
hipertonik digunakan terbatas untuk kebutuhan tertentu saja, seperti
pengendalian tekanan darah intrakranial atau kebutuhan resusitasi
intravaskuler cepat. Efek larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan
curah jantung bukan hanya karena perbaikan preload, tetapi peningkatan curah
jantung tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik positif pada miokard
dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral.
Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Efek
samping dari pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan
hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½
Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan
Dextrose 5% dalam RL.7,11,12,13
2. Hipotonik
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan
kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik,
konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan
berpindah dari intravascular ke sel. Pemberian cairan hipotonik ini
diindikasikan pada keadaan sel yang mengalami dehidrasi, misalnya pasien
dialysis dalam terapi diuretic dan pasien hiperglikemia dengan ketoasidosis
diabetic. Contoh larutan kristaloid hipotonis: NaCl 45% dam Dekstrosa
2,5%.7,11,12,13
3. Isotonik
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia
memiliki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama;
tonik, konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi
perpindahan yang signifikan antara cairan di dalam intravascular dan sel.
Dengan demikian, hampir tidak ada atau minimal osmosis. Larutan ringer
laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua.

21
Walupun NaCl fisiologis merupakan pengganti yang baik namun cair ini
memiliki potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini
bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang baik.7,12
Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai
bolus. Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada
anak. Respons penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan
keputusan pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut akan
tergantung pada respons ini (American College of Surgeons. Committee on
Trauma., 2018). Efek samping yang perlu diperhatikan adalah terjadinya
edema perifer dan edema paru pada jumlah pemberian yang besar. Contoh
larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan
Dextrose 5% in ¼ NS.11,12,13
Tabel 6. Komposisi cairan kristaloid11
Jenis Glukosa Natrium Klorida Kalium Kalsium Laktat mOsmol/L
Cairan (mg/dl) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L) (mEq/L)
D5 5000 - - - - - 253
D5 ½ 5000 77 77 - - - 406
NS
D5 NS 5000 154 154 - - - 561
NaCl - 154 154 - - - 308
0,9%
Ringer - 130 109 4.0 3.0 28 273
Laktat
D5 RL 5000 130 109 4.0 3.0 28 525
NaCl - 855 855 - - - 1171
5%

b. Cairan Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat
zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)

22
dalam ruang intravaskuler. Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara
lebih efektif dan efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid
mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan daripada larutan
kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan
hanya ¼ bagian yang tinggal dalam plasma pada akhir infus.7,11
Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansi ruang intravaskular,
namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar dari plasma akan
menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander
plasma, sebab mengekspansi volume plasma lebih daripada volume yang
diberikan. Walaupun waktu paruh dari cairan kristaloid dalam intravasular 20-30
menit, kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh dalam intravascular 3-6
jam. Biasanya indikasi pemakaian cairan koloid adalah:11
1. Resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan intravaskular yang berat
(misal: syok hemoragik ) sampai transfusi darah tersedia.
2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau keadaan dimana kehilangan
protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Pada pasien luka bakar, koloid
diberikan jika luka bakar >30% dari luas permukaan tubuh atau jika > 3-4 L
larutan kristaloid telah diberikan lebih dari 18-24 jam setelah trauma.
Beberapa klinis menggunakan cairan koloid yang dikombinasi dengan
kristaloid bila dibutuhkan cairan pengganti lebih dari 3-4 L untuk transfusi. Jenis
koloid yang sering digunakan yaitu albumin, dekstran, gelatin, starch.

Tabel 7. Jenis Koloid 11,14


Jenis Koloid Keterangan Contoh
Albumin Larutan koloid murni yang berasal dari Albapure, Albumin-
plasma manusia. Waktu paruh albumin dalam Human 20%,
plasma adalak sekitar 16 jam, dengan sekitar Albuminar-25,
90% tetap bertahan dalam intravascular 2 jam Octalbin, Plasbumin-
setelah pemberian. 20, plasbumin-25,
Kontraindikasi : riwayat hipersensitif plasbumin-5, robumin
terhadap albumin, riwayat gagal ginjal dan

23
gagal jantung akut.
Dosis dewasa : 25 gram dengan kecepatan
infus 5 ml/menit ( untuk larutan plasbumin
5%) atau 1-2 ml/ menit ( untuk larutan 20%).
Dextran  Dextran 70 digunakan pada syok Dextran 70 (Macrodex)
hipovolemik dan untuk profilaksis dan dextran 40
tromboembolisme dan mempunyai (Rheomacrodex) yang
waktu paruh intravascular sekitar 6 dicampur NaCl,
jam. Pemakaian dextran untuk dekstosa atau ringer
mengganti volume darah atau plasma laktat
hendaknya dibatasi sampai 1 liter (1,5
gr/kgBB) karena risiko terjadi
pendarahan abnormal. Batas dosis
dextran yaitu 20 ml/kgbb/hari
 Dextran 40 tidak dapat dipakai pada
syok hipovolemik karena dapat
menyumbat tubulus ginjal dan
mengakibatkan gagal ginjal akut.
Gelatin Gelatin diindikasikan untuk penggantian Gelofusal, Gelofusine,
volume primer pada hypovolemia, stabilisasi Haemaccel
sirkulasi perioperative. Pemberian gelatin ini
sering menimbulkan reaksi alergik daripada
koloid yang lain. Reaksi yang timbul berkisar
dari kemerahan kulit dan pireksia sampai
reaksi anafilaksis.
Kontraindikasi gelatin : infark miokard
yang masih baru terjadi, gagal jantung
kongestif dan syok normovolemik.
Dosis pertama gelofusin: 20-30 mL harus
diinfuskan perlahan dan diawasi ketat.
Dosis stabilisasi perioperative gelofusin :

24
500-1000 ml diinfuskan selama 1-3 jam
Dosis situasi syok/darurat gelofusin: 500
ml diberikan selama 5-10 menit, selanjutnya
diikuti dosis sesuai kehilangan darah.

HES HES diindikasikan untuk terapi dan Sanbe Hest 200, Wida
(Hydroxylethy profilaksis defisiensi volume ( hypovolemia) Hes, Tetra Hes, Fima-
l Starch) dan syok ( terapi penggantian volume) Hes.
berkaitan dengan pembedahan ( syok
hemoragik), cedera ( syok traumatic), infeksi
( syok septik), kombustio.
Kontraindikasi HES: gagal jantung
kongestif berat, gagal ginjal (Cr serum >
2mg/dl dan >177 mikromol/L), gangguan
koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang
mengancam nyawa).
Dosis dewasa : 50 m/kg IV

Tabel 8. Perbandingan kristaloid dan koloid15


Sifat-sifat Kristaloid Koloid
Berat molekul Lebih kecil Lebih besar
Distribusi Lebih cepat Lebih lama berada
dalam sirkulasi
Faal hemostatis Tidak ada pengaruh Menganggu faal
hemostatis
Penggunaan Penggantian cairan Pada pendarahan masif
pada dehidrasi&
pendarahan
Untuk koreksi pendarahan Diberikan 2-3x dari Diberikan sesuai dengan
jumlah pendarahan jumlah pendarahan

Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ

25
Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang
digunakan untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons
penderita. Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi
merupakan tanda positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke
normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberikan informasi
tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem saraf sentral dan peredaran
kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi kualitasnya sukar
ditentukan.1
Tabel 9. Jenis Respons Penderita terhadap Resusitasi Cairan Awal1
RESPONS RESPONS TANPA
CEPAT SEMENTARA RESPONS
Tanda vital Kembali ke Perbaikan sementara, Tetap abnormal
normal tensi dan nadi
kembali turun
Dugaan Minimal Sedang, masih ada Berat
kehilangan darah (10 - 20%) (20 - 40%) (> 40%)
Kebutuhan Sedikit Banyak Banyak
kristaloid
Kebutuhan darah Sedikit Sedang-banyak Segera
Persiapan darah Specific type dan Specific type Emergensi
crossmatch
Operasi Mungkin Sangat mungkin Hampir pasti
Kehadiran dini Perlu Perlu Perlu
ahli bedah
Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk
perfusi ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran
darah ginjal yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik.
Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin
sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan
2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin
turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan
resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya penggantian
volume dan usaha diagnostik.1

26
Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk
menentukan terapi berikutnya. Dengan melakukan observasi terhadap respons
penderita pada resusitasi awal dapat diketahui penderita yang kehilangan
darahnya lebih besar dari yang diperkirakan, dan perdarahan yang berlanjut dan
memerlukan pengendalian perdarahan internal melalui operasi. Pola respons yang
potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok: respons cepat, respons sementara,
respons minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.1
a. Respons cepat
Penderita kelompok ini cepat memberi respons kepada bolus cairan awal
dan tetap hemodinamik normal setelah bolus cairan awal selesai dan cairan
kemudian diperlambat sampai kecepatan rumatan/maintenance. Penderita seperti
ini biasanya kehilangan volume darah minimum. Untuk kelompok ini tidak ada
indikasi bolus cairan tambahan atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya
dan crossmatch nya tetap dikerjakan. Konsultasi dan evaluasi pembedahan
diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena intervensi operatif mungkin
masih diperlukan.1

b. Respons sementara
Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespons terhadap
pemberian cairan, namun bila tetesan diperlambat hemodinamik penderita
menurun kembali karena kehilangan darah yang masih berlangsung, atau
resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan darah pada kelompok ini adalah
antara 20 - 40% volume darah. Pemberian cairan pada kelompok ini harus
diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respons terhadap pemberian darah
menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera.1
c. Respons minimal atau tanpa respons
Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, kondisi hemodinamik
pasien tetap buruk dengan respons minimal atau tanpa respons, ini menandakan
perlunya operasi segera. Walaupun sangat jarang, namun harus tetap diwaspadai
kemungkinan syok non-hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio

27
miokard. Kemungkinan adanya syok non-hemoragik harus selalu diingat pada
kelompok ini.1

Transfusi Darah
Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah
dari seseorang (donor) ke orang lain (resipien). Setiap transfusi darah harus
dilakukan atas indikasi, pemilihan dan jenis volume darah atau komponen darah,
serta waktu transfuse yang tepat. Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada
saat perioperatif dengan tujuan untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen
dan volume intravaskular. Kalau hanya menaikkan volume intravaskular saja
cukup dengan koloid atau kristaloid. Indikasi transfusi darah antara lain:11,16
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua,
kelainan paru, kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.

Monitoring kehilangan darah sangat diperlukan terutama penilaian visual


pembedahan secara berkala untuk menilai adanya mikrovaskular perdarahan yang
berlebihan contohnya pada koagulopati sedangkan monitoring sistem perfusi
oksigenasi jaringan antara lain tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, urin output,
EKG serta gas darah. Pada pasien perdarahan, platelet harus diberikan ketika
jumlahnya di bawah 50.000 sel/ mm3, FFP (fresh frozen plasma) harus diberikan
ketika international normalized ratio (INR) > 2 atau protrombin time (PT) lebih
dari 1,5 kali atau activated partial thromboplastin time (aPTT) naik lebih dari 2
kali normal dan kriopresipitat harus diberikan ketika konsentrasi fibrinogen
kurang dari 80 mg/ dl. Penilaian visual dan monitoring koagulopati seperti cek
suction canisters, surgical sponges, dan surgical drains, 24 monitor Laboratorium
untuk koagulopati mencakup platelet count, prothrombin time (PT) atau INR, dan
aPTT, fibrinogen, penilaian fungsi platelet, thromboelastogram, d-dimers, dan
thrombin time.17

Beberapa jenis transfusi darah dan penggunaanya dalam klinis:11,15,16

28
a. Darah (whole blood)
1unit darah (250-450 ml) dengan antikoagulan sebanyak 15
ml/100ml darah. Dilihat dari masa penyimpanannya maka darah lengkap
dibagi menjadi 2 yaitu fresh blood ( darah yang disimpan < 6 jam, masih
lengkap mengandung trombosit dan faktor pembeku) dan stored blood
( darah yang disimpan >6 jam). Darah dapat disimpan sampai dengan 35
hari namun kandungan trombosit dan faktor pembeku sudah menurun
jumlahnya. Indikasi penggunaan whole blood :
- Pengganti sel darah merah pada keadaan pendarahan akut/ massif yang
disertai hypovolemia.
- Transfusi tukar
- Pasien yang membutuhkan transfuse PRC, tetapi ditempat rersebut tidak
tersedia PRC.
Dosis whole blood :
 Pada anak : transfusi masif 15-20 ml/kgBB bergantung keadaan
umum saat itu. Pemberian WB 8 ml/kg akan meningkatkan kadar
Hb sekitar 1 g/dl.
 Darah harus mulai ditransfusikan dalam waktu paling lama 30
menit setelah dikeluarkan dari suhu optimal.
 Pada dewasa, 1 unit WB (450 ml) akan meningkatkan kadar Hb
sekitar 1 g/dl atau hematokrit sekitar 3-4%..

b. Packed Red cells (PRC)


Darah dipekatkan sehingga mencapai hematokrit 70-80% yang
berarti menghilangkan 125-150 ml plasma dari satu unitnya. PRC
merupakan pilihan untama untuk anemia kronik karena volumenya yang
lebih kecil dibandingkan dengan whole blood. Pasien bedah membutuhkan
volume serta sel darah merah, dan kristaloid atau koloid dapat diinfuskan
secara bersamaan melalui jalur intravena kedua untuk penggantian
volume.11

29
Sebelum transfusi, setiap unit harus diperiksa dengan cermat
terhadap slip bank darah dan gelang identitas penerima. Tabung transfusi
harus berisi filter 170 µm untuk menangkap gumpalan atau kotoran. Darah
untuk transfusi intraoperatif harus dihangatkan sampai 37 ° C selama
infus, terutama bila lebih dari 2-3 unit akan ditransfusikan; kegagalan
untuk melakukannya dapat menyebabkan hipotermia yang parah. Sebelum
transfuse PRC dilakuka, dapat diberikan larutan NaCl 0,9% sebanyak 50-
100 ml untuk memperlancar aliran. Indikasi penggunaan PRC:
- Transfusi sel darah merah hampIr selalu diindikasikan pada kadar Hb<
7 g/dl terutama pada anemia akut.
- Transfusi tidak dilakukan pada kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada
indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas
transport oksigen lebih tinggi ( contoh : penyakit paru obstruktif
kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat)
- Transfusi dapat ditunda pada pasien asimptomatik dan/atau
penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang
lebih rendah dapat diterima.
Dosis :
- Pada anak :
 Jika Hb >6 g/dl diberikan 15 ml/kgBB/hari
 Jika Hb <5 g/dl, diberikan 1 jam pertama 5 ml/kgBB,
kemudian sisa darah yang masih ada pada kantong darah
tersebut dihabiskan dalam 3 jam berikutnya.
 Pemberian PRC 8-10 ml/kg akan meningkatkan kadar Hb
sekitar 2 g/dl atau hematokrit sekitar 6%.
- Pada neonatus : 20 ml/kgBB memakai kantong pediatrik 50 ml.
- Pada dewasa : sesuai kebutuhan klinis, 1 unit PRC akan
meningkatkan kadar Hb 1 g/dl atau hematokrit sekitar 3%

c. Fresh Frozen Plasma

30
Fresh frozen plasma (FFP) mengandung semua protein plasma,
termasuk sebagian besar faktor pembekuan labil ( faktor V dan faktor
VIII). Preparat ini dibuat dari donor tunggal sehingga resiko penularan
hepatitis rendah.
Indikasi :
- Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor
koagulasi baik yang idapat atau bawaan bila tidak tersedia
konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.
- Netralisasi hemostatis setelah terapi heparin bila terdapat
pendarahan yang mengancam
- Adanya pendarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal
setelah transfuse masif atau operasi pintas jantung paru atau pada
pasien dengan penyakit hati.
- Penurunan faktor pembekuan karena pemberian transfuse dalam
volume besar.
Setiap unit FFP umumnya meningkatkan tingkat setiap faktor
pembekuan sebesar 2–3% pada orang dewasa. Dosis terapeutik awal
biasanya 10–15 mL / kg, sedangkan dosis anak dan neonatus 10-20
ml/kgbb/hari. Tujuannya adalah untuk mencapai 30% dari konsentrasi
faktor koagulasi normal. Seperti halnya sel darah merah, FFP umumnya
harus dihangatkan hingga 37 ° C sebelum transfusi.
d. Trombosit
Transfusi trombosit harus diberikan kepada pasien dengan
trombositopenia berat, misalnya pada leukemia akut, anemia aplastic atau
ITP. Transfusi trombosit profilaksis juga diindikasikan pada :
- Pasien dengan jumlah trombosit di bawah 10.000-20.000 × 10 9 / L
karena peningkatan risiko perdarahan spontan.
- Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50000/µL pada pasien
yang akan menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah
transfuse masif.

31
- Penecegahan perdarahan akibat trombositopenia, seperti yang
terjadi pada kegagalan pada sumsum tulang.
Dosis :
- 1 kantong TC/ 10 kgBB, biasnaya 5-7 kantong untuk pasien
dewasa
- Anak dan neonatus: 10-20ml/kgbb/hari
1 kantong pada pasien dengan berat badan 70 kg akan meningkatkan
jumlah trombosit 5000/µL. Peningkatan trombosit akan lebih rendah dari
yang diperkirakan pada pasien dengan splenomegaly, DIC, septikemia. 1
kantong TC harus ditransfusikan dalam waktu 20 menit.
e. Kriopresipitat
Kriopresipitat mengandung faktor VIII (80-100 unit), fakto von
Willebrand, F. XIII, fibronectin dan fibrinogen. Untuk menjaga stabilitas
faktor labil, kriopresipitat harus segera ditransfusikan segera setelah
dicairkan. Kriopresipitat biasanya digunakan untuk hemofilia A, penyakit
von Willebrand, sumber fibrinogen pada acute defribination syndrome.
Kontraindikasi: tidak boleh digunakan untik mengobati pasien dengan
kekurangan faktor pembekuan selain fibrinogen dan faktor XII. Satu unit
kantong kriopresipitat berasal dari 1 katong WB triple bag dengan volume
350 ml diharapkan menghasilkan 40 ml plasma berisi ±15 ml
kriopresipitat. Dosis pemberian kriopresipitat sebanyak 10 unit/kgBB
dapat menaikkan faktor VIII sebanyak 30%. Setiap kantong kriopresipitat
dapat meningkatkan kadar fibrinogen 5-10 mg/dl.
f. Transfusi Granulosit
Transfusi granulosit, yang dibuat dengan leukaferesis, dapat
diindikasikan pada pasien neutropenik dengan infeksi bakteri yang tidak
merespons antibiotik. Granulosit yang ditransfusi memiliki masa hidup
peredaran darah yang sangat pendek, sehingga biasanya diperlukan
granulosit transfusi harian. Iradiasi unit-unit ini menurunkan insiden reaksi
graft-berlawanan arah, kerusakan endotel paru, dan masalah lain yang
terkait dengan transfusi leukosit (lihat di bawah), tetapi dapat

32
mempengaruhi fungsi granulosit secara merugikan. Ketersediaan faktor
penstimulasi koloni granulosit (G-CSF) dan faktor penstimulasi koloni
granulosit makrofag (CSF GM) telah sangat mengurangi penggunaan
transfusi granulosit. 11
g. Indikasi untuk Prokoagulan
Transfusi produk darah dapat disalahgunakan dalam pengaturan
bedah. Penggunaan algoritme transfusi, terutama untuk komponen seperti
plasma, trombosit, dan kriopresipitat, dan khususnya jika algoritme
tersebut dipandu oleh pengujian laboratorium yang sesuai, akan
mengurangi transfusi yang tidak perlu dari sumber daya berharga (tetapi
berbahaya) ini. Berasal dari pengalaman militer, ada kecenderungan dalam
perawatan trauma besar menuju transfusi produk darah dalam rasio yang
sama di awal resusitasi untuk mencegah atau mengoreksi koagulopati yang
diinduksi oleh trauma. Pendekatan seimbang untuk transfusi produk darah,
1: 1: 1 (satu unit FFP dan satu unit trombosit dengan setiap unit PRBC)
disebut resusitasi pengendalian kerusakan.
Tabel 10. Analisis input cairan pada kasus
Input cairan Rekomendasi Interpretasi
Ringer laktat 2 L Kecepatan pemberian 20- Sesuai indikasi bertujuan
30ml/kgbb/jam. Prinsip pemberian 1 : 3. untuk mengganti cairan yang
Dosis maksimum 4-5 Liter dapat hilang pada saat operasi dan
menimbulkan edema jaringan. mempertahankan volume
intersisial.

Pasien syok hemoragik harus dipantau status hemodinamik dan resusitasi


cairan yang diberikan. Resusitasi cairan yang terlalu masif diberikan dapat
menyebabkan overload cairan yang ditandai dengan edema pada jaringan. Edema
jaringan akan meningkatkan jarak difusi, sehingga menganggu proses difusi
oksigen dan metabolit. Berdasarkan kriteria ATLS, Cairan resusitasi dikatakan
berhasil jika:1,6

33
a) Status mental normal. Pasien mulai sadar dan ini menandakan perfusi ke
cerebral membaik. Pada kasus, setelah di follow up, pasien ada di GCS 15
(compos mentis).
b) Tekanan darah dan heart rate pasien kembali normal dan kulit tidak pucat
dan tidak dingin yang menandakan perfusi adekuat.
Pada kasus setelah dilakukan resusitasi, tekanan darah Ny. H menjadi
110/60, heart rate 100 x/menit, dan RR 16.
c) Volume urin output menjadi indikator utama resusitasi dan respon pasien
dimana mengambarkan aliran darah ginjal dan perfusi ke organ ginjal
baik. Normalnya, urin output ≥ 0,5 ml/KgBB/Jam.
Pada kasus, Ny. H memiliki urin output yang normal yaitu 500 cc.
d) Mean arterial pressure ≥ 65 mmHg, pada perdarahan akut tanpa gangguan
neurologis yang nyata dengan tujuan untuk mengurangi kehilangan darah
dan koagulopati sampai perdarahan dapat dikontrol.
Pada kasus setelah dilakukan resusitasi, MAP Ny. H yaitu 70 mmHg
(normal).
e) Oxygen saturation ≥ 95% merupakan prioritas utama dalam manajemen
resusitasi yang menyediakan ventilasi dan oksigen yang cukup.
f) Keseimbangan asam basa
Penderita syok hipovolemik dini akan mengalami alkalosis pernafasan
karena takipneu. Alkalosis respiratorik seringkali disusul dengan asidosis
metabolik ringan dalam tahap syok dini dan tidak perlu diterapi. Asidosis
metabolik yang berat dapat terjadi pada syok yang sudah lama, atau akibat syok
berat. Asidosis metabolik terjadi karena metabolisme anaerobik akibat perfusi
jaringan yang kurang dan produksi asam laktat. Asidosis yang persisten biasanya
akibat resusitasi yang tidak adekuat atau kehilangan darah terus menerus dan pada
penderita syok normotermik harus diobati dengan cairan, darah, dan
dipertimbangkan intervensi operasi untuk mengendalikan perdarahan. Defisit basa
yang diperoleh dari analisa gas darah arteri dapat berguna dalam memperkirakan
beratnya defisit perfusi yang akut.1,11

34
Pada pasien trauma berat dan syok hemoragik, pemeriksaan hemostatis
penting dalam satu jam pertama khususnya pada pasien dengan riwayat gangguan
koagulasi. Pada trauma berat juga akan terjadi peningkatan konsumsi faktor
koagulasi dan pada kasus ini 30% dari pasien cedera berat yang masuk rumah
sakit. Resusitasi cairan masif akan menyebabkan dilusi trombosit dan faktor
pembekuan dan hipotermi yang akan menimbulkan agregasi platelet dan kaskade
pembekuan berujung kepada koagulopati.1 Pada pasien ini, pemeriksaan
hemostatis normal sehingga tidak ditemukan gangguan koagulasi. Secara umum,
pasien ini memiliki prognosis dubia. Namun, monitoring pasien dengan riwayat
syok hemoragik penting sehingga pasien di pindahkan ke ruang ICU setelah dari
ruang operasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons. Committee on Trauma. (2018). Advanced


Trauma Life Support®, ATLS®. Student Course Manual. In Anaesthesia.
2. Bougié, A., Harrois, A., & Duranteau, J. (2013). Resuscitative strategies in
traumatic hemorrhagic shock. In Annals of Intensive Care.

35
https://doi.org/10.1186/2110-5820-3-1
3. Cecconi, M., De Backer, D., Antonelli, M., Beale, R., Bakker, J., Hofer,
C., Jaeschke, R., Mebazaa, A., Pinsky, M. R., Teboul, J. L., Vincent, J. L.,
& Rhodes, A. (2014). Consensus on circulatory shock and hemodynamic
monitoring. Task force of the European Society of Intensive Care
Medicine. Intensive Care Medicine, 40(12), 1795–1815.
https://doi.org/10.1007/s00134-014-3525-z
4. Flynn, B. (2014). Marino’s The ICU Book. In Critical Care Medicine
(Vol. 42, Issue 8). https://doi.org/10.1097/ccm.0000000000000451
5. Hooper, N., & Armstrong, T. J. (2018). Shock, Hemorrhagic. In
StatPearls.
6. Jeremy W. Cannon, M. D. (2018). Hemorragic shock. Th e New England
Journal o f Medicine.
7. Rehatta, N. M., Hanindito, E., & Tantri, A. R. (2019). Anestesiologi Dan
Terapi Intensif: Buku Teks KATI-PERDATIN. In Gramedia Pustaka
Utama.
8. Soong, J. T. Y., & Soni, N. (2013). Circulatory shock. Medicine (United
Kingdom), 41(2), 64–69. https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2012.11.012
9. Taha, M., & . A. (2017). Pathophysiology and management of different
types of shock. Narayana Medical Journal.
https://doi.org/10.5455/nmj./00000120
10. Bertha Chen, Eva D. Littman, Amin A. Milki, Lynn M. Westphal, Brooke
E. Friedman, Clifford A. Schmiesing (2014). [DNLM: 1. Anesthesia—
methods. 2. Surgical Procedures, Operative. WO 235]. In Wolter Kluwer.
11. Butterworth, J. F., Mackey, D. C., & Wasnick, J. D. (2018). Morgan and
Mikhail’s Clinical Anesthesiology. In Clinical Anesthesiology.
12. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and
Electrolytes. Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in
Anesthetic Practice 3rd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015; 17
: h. 341 – 49
13. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the

36
Perioperative Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 :
h. 1 – 10.
14. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia.
2010. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. PP IDSAI, 108-
142.
15. Mangku G, Senapathi TGA. (2017). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks.
16. Bakta, I Made. (2006). Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : ECG.
17. Latief, Said A. Petunjuk praktis anestesiologi. 2nd ed. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1102.
18. Kemenkes RI. (2015). Standar Pelayanan Transfusi Darah. Jakarta
:Kementrian Kesehatan

37

Anda mungkin juga menyukai