Disusun oleh:
Aqdam Fauqo Al’Adli
030.14.019
Pembimbing:
dr. Eko Budi Prasetyo, Sp.An
1
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga referat dengan judul
“Rapid Sequence Intubation” dapat selesai pada waktunya.
Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan di bagian Ilmu
Anestesi Rumah Sakit TNI AL dr. Mintohardjo. Penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Eko Budi Prasetyo, Sp.An, dokter pembimbing yang telah
memberikan saran dan koreksi dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan dan masih
jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis memohon maaf kepada para pembaca
atas kekurangan yang ada. Atas semua keterbatasan yang dimiliki, maka semua
kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan lapang hati agar ke
depannya menjadi lebih baik.
Akhir kata, demikian yang penulis dapat sampaikan. Semoga referat ini
bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya bidang ilmu anestesi.
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN
REFERAT
Judul:
..................................................
Pembimbing,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
DAFTAR ISI …................................................................................................... iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Rapid Sequence Intubation and Induction (RSII) di bidang keilmuan
anestesi merupakan sebuah teknik yang dirancang untuk meminimalisir
kemungkinan aspirasi paru pada pasien yang berisiko tinggi. Biasanya, nonrapid
sequence of inductiona nd intubation di bidang keilmuan anestesi terdiri dari
pemberian agen induksi, kemampuan untuk memberikan ventilasi, pemberian
agen penghambat neuromuskuler atau neuromuscular blocking agent (NMBA),
dan intubasi endotrakeal setelah kelumpuhan yang ditargetkan telah dicapai, yaitu
sekitar tiga menit setelah induksi. Karena induksi anestesi menyebabkan
hilangnya refleks protektif jalan nafas, aspirasi paru adalah risiko yang dapat
ditemukan selama interval antara hilangnya kesadaran dan inflasi manset tabung
endotrakeal. Meskipun RSII adalah turunan dari praktik biasa induksi anestesi,
metode yang setara untuk kontrol jalan napas cepat, sering disebut "rapid
sequence intubation" (RSI), adalah metode yang paling umum digunakan untuk
mengendalikan jalan napas di ruang gawat darurat.1
Rapid sequence intubation (RSI) adalah teknik manajemen jalan nafas
yang menghasilkan penginduksian segera yang tidak responsif (agen induksi) dan
relaksasi otot (agen penghambat neuromuskuler) dan merupakan cara tercepat dan
paling efektif untuk mengendalikan jalan napas darurat, dimana penghentian
ventilasi spontan melibatkan risiko yang cukup besar jika penyedia tidak
melakukan intubasi atau ventilasi pasien secara tepat waktu. RSI sangat berguna
pada pasien dengan refleks gag yang utuh, perut "penuh", dan cedera atau
penyakit yang mengancam jiwa yang membutuhkan kontrol jalan napas segera.2
Sebagian besar sepakat bahwa RSI yang dimodifikasi menawarkan insiden
komplikasi yang lebih rendah daripada induksi intravena reguler pada pasien yang
berisiko untuk aspirasi.3
2
2.2 Kajian pra-tindakan
Sebelum tindakan untuk mengintubasi akan dilakukan, diperlukan
beberapa hal fundamental yang perlu dikaji untuk memasatikan keamanan selama
prosedur berlangsung, yaitu (1) apakah adanya kegagalan dalam memeprtahankan
atau melindungi jalan nafas, (2) apakah adanya kegagalan ventilasi atau
oksigenasi, dan (3) hal apa saja yang perlu diantisipasi selama tindakan
berlangsung. Setelah memutuskan untuk mengintubasi pasien, operator yang
melakukan prosedur akan menilai kondisi pasien untuk mempersiapkan antisipasi
terhadap kejadian yang mungkin terjadi. Selama kajian berlangsung, persiapan
untuk melakukan prosedur tindakan dapat dimulai. Sebuah kelompok dibentuk
untuk menjalani peranan masing-masing. Selama RSI berlangsung, sebuah tim
yang terbentuk memiliki tugas secara spesifik, yaitu:4
Asisten jalan nafas
Persiapan obat
Asisten dan monitoring sirkulasi
Pemberi obat: obat anestesi dan emergensi
Cricoid pressure
Intubator
In-line mobilisation jika diperlukan
2.3 Indikasi
RSI adalah landasan manajemen jalan napas darurat dan merupakan teknik
pilihan saat intubasi darurat diindikasikan, dan pasien tidak memiliki keadaan
dimana jalan nafas merupakan kontraindikasi penggunaan NMBA.5 Berikut
adalah indikasi dilakukannya RSI:6
GCS < 8, cepat menurun atau ketiadaan proteksi jalan nafas.
Trauma, spesifik pada wajah dan kontrol ajlan nafas yang buruk.
Luka bakar dengan suspek cedera pada jalan nafas.
Gagal nafas (contoh: gagal jantung kongestif, chronic obstructive
pulmonary disease, asma)
3
Hipoksia.
Transport, jika penurunan kondisi klinis terjadi selama masa
transportasi berlangsung.
Sepsis berat (dapat mengurangi asidosis dengan menurunkan upaya
sistem respiratorik).
2.4 Kontraindikasi
Ketika didapatkan adanya kontraindikasi terhadap suksinilkolin,
rocuronium direkomendasikan sebagai NMBA, beberapa praktisi menghindari
penggunaan suksinilkolin dan secara rutin menggunakan rocuronium untuk semua
intubasi. Kondisi ini merupakan masalah preferensi dikarenakan adanya pro dan
kontra untuk pendekatan ini.5
2.5 Prosedur
Terdapat serangkaian langkah dalam melaksanakan prosedur RSI yang
dikemas agar lebih mudah dipahami, yakni dikenal secara umum sebagai “seven
Ps” atau “7 P”. Rangkaian tersebut diperankan oleh masing-masing individu di
dalam sebuah tim.4
4
Gambar 1. Seven Ps.4
2.5.1 Preparation
Persiapan sangat penting, baik peralatan dan anggota tim -
terutama jika tim tidak terbiasa dengan lingkungan atau kolega mereka.
Antisipasi jalan napas yang sulit dan membuat rencana oksigenasi sebelum
melakukan RSI sangat penting. Banyak organisasi menganjurkan
penggunaan daftar periksa untuk memastikan bahwa semua peralatan
tersedia dan dalam urutan kerja, dan bahwa urutan acara yang
direncanakan dibagikan dengan semua anggota tim.7
5
jika terjadi kegagalan intubasi dan peralatan yang diperlukan perlu
dipersiapkan sedari awal. Pasien berada di area gawat darurat yang diatur
dan dilengkapi untuk resusitasi. Pemantauan jantung, pemantauan BP, dan
oksimetri nadi harus digunakan dalam semua kasus. Kapnografi
berkelanjutan memberikan pemantauan tambahan, terutama setelah
intubasi. Pasien memiliki setidaknya satu, dan lebih disukai dua jalur
intravena (IV) yang aman dan berfungsi dengan baik.5
Peralatan tanda vital perlu diuji terlebih dahulu. Jika laringoskop
video atau fiberoptik digunakan, maka aktivasi dan kualitas gambar perlu
diverifikasi. Jika laringoskop langsung digunakan, bilah pilihan
ditempelkan pada pegangan laringoskop dan diklik ke posisi "on" untuk
memastikan fungsi cahaya dan tingkat kecerahan dalam batas normal dan
dapat berfungsi dengan baik. Tabung endotrakeal (ETT) dengan ukuran
yang diinginkan disiapkan, serta manset diuji kebocoran. Jika intubasi
yang sulit diantisipasi, tabung 0,5 mm lebih sedikit di internal diameter
(ID) juga harus disiapkan.5
6
Tabel 3. Persiapan Alat.7
7
2.5.2 Preoxygenation
Tahap ini adalah upaya penyediaan oksigen konsentrasi tinggi
untuk pasien, dimana idealnya dimulai 5 menit sebelum prosedur dimulai.
Tahap ini bertujuan untuk membangun reservoir oksigen di paru-paru
untuk memungkinkan terjadinya periode apnea selama RSI. Jika tidak
memungkinkan untuk dilakukan pemberian oksigen selama 5 menit, maka
delapan napas kapasitas vital (nafas terbesar yang bisa diambil pasien)
harus diberikan. Upaya ini mendukung pasien dengan paru-paru normal
untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 90% selama beberapa
menit, seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini:4
8
misalnya edema paru atau jika konsumsi oksigen meningkat pada kondisi
trauma atau luka bakar.4
2.5.3 Pre-treatment
Pretreatment atau premedikasi adalah pemberian obat untuk
mengurangi efek buruk yang terkait dengan intubasi atau komorbiditas
yang mendasari pasien. Efek samping ini termasuk bronkospastik
reaktivitas saluran udara ke ETT pada pasien dengan penyakit saluran
nafas reaktif, tekanan intrakranial (TIK) yang berespon terhadap
manipulasi jalan nafas pada pasien dengan peningkatan TIK, dan sistemik
pelepasan amina adrenergik simpatis (respons simpatis refleks terhadap
laringoskopi [RSRL]).
Karena ada tiga kelas pasien yang diindikasikan premedikasi,
mnemonik "ABC" dapat digunakan: Asthma atau Asma (mewakili
9
penyakit saluran udara reaktif), Brain atau Otak (mewakili peningkatan
TIK), dan Cardiovascular atau Kardiovaskular (mewakili mereka yang
berisiko dari RSRL; yaitu, pasien dengan penyakit jantung iskemik,
penyakit pembuluh darah [terutama penyakit serebrovaskular], hipertensi,
dan kejadian vaskular, seperti diseksi aorta, perdarahan intrakranial, dll).
Dua obat: fentanyl dan lidocaine, dan hubungan mereka dengan kondisi
ABC dapat diwakili dalam Venn diagram. Agen premedikasi, bila
diindikasikan, diberikan 3 menit sebelum induksi dan agen penghambat
neuromuskuler.5
10
induksi atau pendekatan titrasi hingga tetes terakhir. Obat penenang dan
dosis dipilih dengan maksud pemberian intravena obat dapat diberikan dan
bekerja dengan segera dan cepat. Meskipun pemberian yang cepat dari
agen induksi dapat meningkatkan kemungkinan dan tingkat keparahan
efek samping, terutama hipotensi, seluruh teknik didasarkan pada
kehilangan kesadaran yang cepat, blokade neuromuskuler yang cepat, dan
periode apnea singkat tanpa ventilasi bantuan sela sebelum intubasi. Oleh
karena itu, agen induksi diberikan dengan dorongan cepat diikuti segera
oleh dorongan cepat dari NMBA. Dalam beberapa detik dari pemberian
agen induksi dan NMBA, pasien akan mulai kehilangan kesadaran,
respirasi akan menurun, dan kemudian berhenti.5
11
responsif, penerapan manuver Sellick dapat meminimalkan volume gas
melewati kerongkongan ke perut, dan dapat mengurangi kemungkinan
regurgitasi.5
12
diperlukan. Penggunaan skala sedasi, seperti Richmond Agitation Sedation
Scale, bermangaat untuk mengoptimalkan kenyamanan pasien dan
membantu dalam memandu pengambilan keputusan mengenai perlunya
blokade neuromuskuler.5
Sedasi dan analgesia diberikan untuk mencapai tingkat yang
diinginkan, dan blokade neuromuskuler hanya digunakan jika pasien
memerlukannya. Penggunaan skala sedasi mencegah penggunaan blokade
neuromuskuler yang dimaksudkan untuk mengkontrol pasien ketika
penyebab agitasi pasien adalah sedasi yang tidak memadai. Pemeliharaan
intubasi dan ventilasi mekanik membutuhkan sedasi dan analgesia, dan ini
dapat dititrasi untuk respons pasien. Titik awal sedasi yang masuk akal
adalah lorazepam 0,05 mg per kg atau midazolam 0,1-0,2 mg per kg,
dikombinasikan dengan analgesik seperti fentanyl 2 μg per kg, morfin 0,2
mg per kg, atau hydromorphone (Dilaudid) 0,03 mg per kg. Fentanil lebih
disukai karena hemodinamik superiornya lebih memiliki potensi stabilitas
yang baik. Ketika NMBA diperlukan, dosis paralitik lengkap harus
digunakan (mis., Vecuronium 0,1 mg per kg). Sedasi dan analgesia sulit
dititrasi ketika pasien lumpuh, dan dosis "topping up" harus diberikan
secara teratur, sebelum stres fisiologis (hipertensi dan takikardia) terbukti.
Untuk pasien yang membutuhkan pemeriksaan serial, terutama pasien
dengan kondisi neurologis, propofol melalui infus lebih disukai karena
dapat dihentikan atau menurun dengan pemulihan kesadaran yang cepat.
Propofol infus dapat dimulai pada 25 hingga 50 μg / kg / menit dan
dititrasi. Bolus awal 0,5-1 mg per kg dapat diberikan jika sedasi cepat
diinginkan. Dibutuhkan analgesia, seperti di atas, karena propofol bukan
analgesik.5
13
Tabel 6. Richmond Agitation Sedation Scale.5
14
Gambar 4. Protokol Post-Intubation Berdasarkan RASS.5
15
Tabel 7. Waktu Prosedur RSI.5
16
Meskipun secara rutin dilakukan di banyak bagian dunia - terutama
Inggris, Amerika Utara, dan Australia, tekanan krikoid tidak dilakukan di tempat
lain dikarenakan masih bersifat kontroversial. Hal ini bukan praktik umum di
Eropa, serta beberapa organisasi pra-rumah sakit tidak mendukung
penggunaannya. Hal ini juga mungkin tidak digunakan di wilayah dunia di mana
kurangnya personel yang berdedikasi untuk membantu ahli anestesi.
Kekhawatiran yang dimaksud meliputi:
Penurunan kualitas laringoskopi,
Kurangnya bukti efektivitas dalam mencegah refluks dan aspirasi,
Mengurangi tonus sfingter esofagus yang lebih rendah dan karenanya
meningkatkan risiko refluks,
Memburuknya cedera laring atau tulang servikal leher yang tidak
terdeteksi,
Lokasi, arah, dan tingkat kekuatan yang sangat tidak terukur dan
kemungkinan sangat bervariasi yang diterapkan oleh operator,8
Ketidaknyamanan pasien, tersedak atau batuk, dan
Meningkatnya beban kerja fisik dan kognitif untuk operator.
Tinjauan sistematis terbaru tidak menemukan data dari uji coba random
yang memberikan hasil klinis yang relevan dari tindakan ini.9 Terlepas dari
kontroversi yang sedang berlangsung, penggunaan dianggap sebagai standar
perawatan di banyak rangkaian. Dianjurkan untuk mencari bimbingan dari
masing-masing lembaga tentang harapan dan pedoman mereka.7
17
BAB III
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19