Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

RAPID SEQUENCE INTUBATION

Disusun oleh:
Aqdam Fauqo Al’Adli
030.14.019

Pembimbing:
dr. Eko Budi Prasetyo, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 5 NOVEMBER 2018 – 8 DESEMBER 2018
JAKARTA

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga referat dengan judul
“Rapid Sequence Intubation” dapat selesai pada waktunya.
Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan di bagian Ilmu
Anestesi Rumah Sakit TNI AL dr. Mintohardjo. Penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Eko Budi Prasetyo, Sp.An, dokter pembimbing yang telah
memberikan saran dan koreksi dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan dan masih
jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis memohon maaf kepada para pembaca
atas kekurangan yang ada. Atas semua keterbatasan yang dimiliki, maka semua
kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan lapang hati agar ke
depannya menjadi lebih baik.
Akhir kata, demikian yang penulis dapat sampaikan. Semoga referat ini
bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya bidang ilmu anestesi.

Jakarta, 26 Juni 2019

Aqdam Fauqo Al’Adli

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

REFERAT

Judul:

RAPID SEQUENCE INTUBATION

Nama: Aqdam Fauqo Al’Adli


NIM: 030.14.019

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada

..................................................

Pembimbing,

dr. Eko Budi Prasetyo, Sp.An

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
DAFTAR ISI …................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2


2.1 Definisi .......................................................................................... 2
2.2 Kajian pra-tindakan....................................................................... 3
2.3 Indikasi ......................................................................................... 3
2.4 Kontraindikasi ............................................................................. 4
2.5 Prosedur ....................................................................................... 4
2.5.1 Preparation ......................................................................... 5
2.5.2 Preoxygenation .................................................................... 8
2.5.3 Pre-treatment ....................................................................... 9
2.5.4 Paralysis and induction ..................................................... 10
2.5.5 Protection and positioning ................................................ 11
2.5.6 Placement with proof ......................................................... 12
2.5.7 Post-intubation management ............................................. 12
2.7 Tekanan krikoid ......................................................................... 16

BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Rapid Sequence Intubation and Induction (RSII) di bidang keilmuan


anestesi merupakan sebuah teknik yang dirancang untuk meminimalisir
kemungkinan aspirasi paru pada pasien yang berisiko tinggi. Biasanya, nonrapid
sequence of inductiona nd intubation di bidang keilmuan anestesi terdiri dari
pemberian agen induksi, kemampuan untuk memberikan ventilasi, pemberian
agen penghambat neuromuskuler atau neuromuscular blocking agent (NMBA),
dan intubasi endotrakeal setelah kelumpuhan yang ditargetkan telah dicapai, yaitu
sekitar tiga menit setelah induksi. Karena induksi anestesi menyebabkan
hilangnya refleks protektif jalan nafas, aspirasi paru adalah risiko yang dapat
ditemukan selama interval antara hilangnya kesadaran dan inflasi manset tabung
endotrakeal.1
Komponen RSII dirancang untuk melindungi jalan nafas dengan pipa
endotrakeal yang ditahan secepat mungkin setelah induksi, sambil mengurangi
kemungkinan regurgitasi pasif atau aktif. Tujuan penting dari RSII adalah
pencapaian kedalaman anestesi yang memadai, dan, paling sering, kelumpuhan,
untuk laringoskopi, untuk mencegah batuk, mengejan, dan muntah aktif dengan
manipulasi jalan napas.1
Meskipun RSII adalah turunan dari praktik biasa induksi anestesi, metode
yang setara untuk kontrol jalan napas cepat, sering disebut "rapid sequence
intubation" (RSI), adalah metode yang paling umum digunakan untuk
mengendalikan jalan napas di ruang gawat darurat.1 Di dalam pembahasan ini,
teknik mengenai rapid sequence intubation akan dibahas secara lengkap lebih
lanjut untuk meningkatkan pemahaman dalam praktik teknik rapid sequence
intubation di dalam keseharian bidang anestesi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Rapid Sequence Intubation and Induction (RSII) di bidang keilmuan
anestesi merupakan sebuah teknik yang dirancang untuk meminimalisir
kemungkinan aspirasi paru pada pasien yang berisiko tinggi. Biasanya, nonrapid
sequence of inductiona nd intubation di bidang keilmuan anestesi terdiri dari
pemberian agen induksi, kemampuan untuk memberikan ventilasi, pemberian
agen penghambat neuromuskuler atau neuromuscular blocking agent (NMBA),
dan intubasi endotrakeal setelah kelumpuhan yang ditargetkan telah dicapai, yaitu
sekitar tiga menit setelah induksi. Karena induksi anestesi menyebabkan
hilangnya refleks protektif jalan nafas, aspirasi paru adalah risiko yang dapat
ditemukan selama interval antara hilangnya kesadaran dan inflasi manset tabung
endotrakeal. Meskipun RSII adalah turunan dari praktik biasa induksi anestesi,
metode yang setara untuk kontrol jalan napas cepat, sering disebut "rapid
sequence intubation" (RSI), adalah metode yang paling umum digunakan untuk
mengendalikan jalan napas di ruang gawat darurat.1
Rapid sequence intubation (RSI) adalah teknik manajemen jalan nafas
yang menghasilkan penginduksian segera yang tidak responsif (agen induksi) dan
relaksasi otot (agen penghambat neuromuskuler) dan merupakan cara tercepat dan
paling efektif untuk mengendalikan jalan napas darurat, dimana penghentian
ventilasi spontan melibatkan risiko yang cukup besar jika penyedia tidak
melakukan intubasi atau ventilasi pasien secara tepat waktu. RSI sangat berguna
pada pasien dengan refleks gag yang utuh, perut "penuh", dan cedera atau
penyakit yang mengancam jiwa yang membutuhkan kontrol jalan napas segera.2
Sebagian besar sepakat bahwa RSI yang dimodifikasi menawarkan insiden
komplikasi yang lebih rendah daripada induksi intravena reguler pada pasien yang
berisiko untuk aspirasi.3

2
2.2 Kajian pra-tindakan
Sebelum tindakan untuk mengintubasi akan dilakukan, diperlukan
beberapa hal fundamental yang perlu dikaji untuk memasatikan keamanan selama
prosedur berlangsung, yaitu (1) apakah adanya kegagalan dalam memeprtahankan
atau melindungi jalan nafas, (2) apakah adanya kegagalan ventilasi atau
oksigenasi, dan (3) hal apa saja yang perlu diantisipasi selama tindakan
berlangsung. Setelah memutuskan untuk mengintubasi pasien, operator yang
melakukan prosedur akan menilai kondisi pasien untuk mempersiapkan antisipasi
terhadap kejadian yang mungkin terjadi. Selama kajian berlangsung, persiapan
untuk melakukan prosedur tindakan dapat dimulai. Sebuah kelompok dibentuk
untuk menjalani peranan masing-masing. Selama RSI berlangsung, sebuah tim
yang terbentuk memiliki tugas secara spesifik, yaitu:4
 Asisten jalan nafas
 Persiapan obat
 Asisten dan monitoring sirkulasi
 Pemberi obat: obat anestesi dan emergensi
 Cricoid pressure
 Intubator
 In-line mobilisation jika diperlukan

2.3 Indikasi
RSI adalah landasan manajemen jalan napas darurat dan merupakan teknik
pilihan saat intubasi darurat diindikasikan, dan pasien tidak memiliki keadaan
dimana jalan nafas merupakan kontraindikasi penggunaan NMBA.5 Berikut
adalah indikasi dilakukannya RSI:6
 GCS < 8, cepat menurun atau ketiadaan proteksi jalan nafas.
 Trauma, spesifik pada wajah dan kontrol ajlan nafas yang buruk.
 Luka bakar dengan suspek cedera pada jalan nafas.
 Gagal nafas (contoh: gagal jantung kongestif, chronic obstructive
pulmonary disease, asma)

3
 Hipoksia.
 Transport, jika penurunan kondisi klinis terjadi selama masa
transportasi berlangsung.
 Sepsis berat (dapat mengurangi asidosis dengan menurunkan upaya
sistem respiratorik).

Tabel 1. Indikasi RSI


Menurut World Federation of Societies of Anaesthesiologist.7

2.4 Kontraindikasi
Ketika didapatkan adanya kontraindikasi terhadap suksinilkolin,
rocuronium direkomendasikan sebagai NMBA, beberapa praktisi menghindari
penggunaan suksinilkolin dan secara rutin menggunakan rocuronium untuk semua
intubasi. Kondisi ini merupakan masalah preferensi dikarenakan adanya pro dan
kontra untuk pendekatan ini.5

2.5 Prosedur
Terdapat serangkaian langkah dalam melaksanakan prosedur RSI yang
dikemas agar lebih mudah dipahami, yakni dikenal secara umum sebagai “seven
Ps” atau “7 P”. Rangkaian tersebut diperankan oleh masing-masing individu di
dalam sebuah tim.4

4
Gambar 1. Seven Ps.4

2.5.1 Preparation
Persiapan sangat penting, baik peralatan dan anggota tim -
terutama jika tim tidak terbiasa dengan lingkungan atau kolega mereka.
Antisipasi jalan napas yang sulit dan membuat rencana oksigenasi sebelum
melakukan RSI sangat penting. Banyak organisasi menganjurkan
penggunaan daftar periksa untuk memastikan bahwa semua peralatan
tersedia dan dalam urutan kerja, dan bahwa urutan acara yang
direncanakan dibagikan dengan semua anggota tim.7

Tabel 2. Persiapan RSI.7

Sebelum memulai urutan, pasien diperiksa secara menyeluruh untuk


menilai tingkat kesulitan dalam melakukan intubasi. Rencana cadangan

5
jika terjadi kegagalan intubasi dan peralatan yang diperlukan perlu
dipersiapkan sedari awal. Pasien berada di area gawat darurat yang diatur
dan dilengkapi untuk resusitasi. Pemantauan jantung, pemantauan BP, dan
oksimetri nadi harus digunakan dalam semua kasus. Kapnografi
berkelanjutan memberikan pemantauan tambahan, terutama setelah
intubasi. Pasien memiliki setidaknya satu, dan lebih disukai dua jalur
intravena (IV) yang aman dan berfungsi dengan baik.5
Peralatan tanda vital perlu diuji terlebih dahulu. Jika laringoskop
video atau fiberoptik digunakan, maka aktivasi dan kualitas gambar perlu
diverifikasi. Jika laringoskop langsung digunakan, bilah pilihan
ditempelkan pada pegangan laringoskop dan diklik ke posisi "on" untuk
memastikan fungsi cahaya dan tingkat kecerahan dalam batas normal dan
dapat berfungsi dengan baik. Tabung endotrakeal (ETT) dengan ukuran
yang diinginkan disiapkan, serta manset diuji kebocoran. Jika intubasi
yang sulit diantisipasi, tabung 0,5 mm lebih sedikit di internal diameter
(ID) juga harus disiapkan.5

6
Tabel 3. Persiapan Alat.7

Tabel 4. Persiapan Obat.7

7
2.5.2 Preoxygenation
Tahap ini adalah upaya penyediaan oksigen konsentrasi tinggi
untuk pasien, dimana idealnya dimulai 5 menit sebelum prosedur dimulai.
Tahap ini bertujuan untuk membangun reservoir oksigen di paru-paru
untuk memungkinkan terjadinya periode apnea selama RSI. Jika tidak
memungkinkan untuk dilakukan pemberian oksigen selama 5 menit, maka
delapan napas kapasitas vital (nafas terbesar yang bisa diambil pasien)
harus diberikan. Upaya ini mendukung pasien dengan paru-paru normal
untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 90% selama beberapa
menit, seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini:4

Tabel 5. Preoksigenasi Berdasarkan Tipe Pasien.4

Pasien obesitas sebaiknya preoksigenasi ketika ditempatkan kira-


kira 25º sampai 30º tegak lurus, dan desaturasi oksihemoglobin tertunda
secara signifikan jika oksigen terus diberikan 5 L per menit dengan kanula
hidung sepanjang urutan intubasi. Pada pasien non-obesitas, desaturasi
juga dapat ditunda dan dikurangi dengan pemberian oksigen terus menerus
pada 5 L per menit selama apnea.5
Waktu untuk mencapai desaturasi berbeda-beda pada setiap
individu.5 Namun, waktu yang dibutuhkan untuk desaturasi dari 90% ke
0% sangat singkat. Pada orang dewasa yang sehat, waktu yang dibutuhkan
adalah sekitar 120 detik, sedangkan pada anak-anak hanya sekitar 45 detik.
Desaturasi jauh lebih cepat terjadi jika fungsi paru-paru abnormal,

8
misalnya edema paru atau jika konsumsi oksigen meningkat pada kondisi
trauma atau luka bakar.4

Gambar 2. Grafik Waktu Mencapai Desaturasi.5

2.5.3 Pre-treatment
Pretreatment atau premedikasi adalah pemberian obat untuk
mengurangi efek buruk yang terkait dengan intubasi atau komorbiditas
yang mendasari pasien. Efek samping ini termasuk bronkospastik
reaktivitas saluran udara ke ETT pada pasien dengan penyakit saluran
nafas reaktif, tekanan intrakranial (TIK) yang berespon terhadap
manipulasi jalan nafas pada pasien dengan peningkatan TIK, dan sistemik
pelepasan amina adrenergik simpatis (respons simpatis refleks terhadap
laringoskopi [RSRL]).
Karena ada tiga kelas pasien yang diindikasikan premedikasi,
mnemonik "ABC" dapat digunakan: Asthma atau Asma (mewakili

9
penyakit saluran udara reaktif), Brain atau Otak (mewakili peningkatan
TIK), dan Cardiovascular atau Kardiovaskular (mewakili mereka yang
berisiko dari RSRL; yaitu, pasien dengan penyakit jantung iskemik,
penyakit pembuluh darah [terutama penyakit serebrovaskular], hipertensi,
dan kejadian vaskular, seperti diseksi aorta, perdarahan intrakranial, dll).
Dua obat: fentanyl dan lidocaine, dan hubungan mereka dengan kondisi
ABC dapat diwakili dalam Venn diagram. Agen premedikasi, bila
diindikasikan, diberikan 3 menit sebelum induksi dan agen penghambat
neuromuskuler.5

Gambar 3. Diagram Venn dalam Hubungan Obat Premedikasi.5

2.5.4 Paralysis and induction


Dalam fase ini, agen induksi yang bertindak cepat diberikan dalam
dosis yang memadai untuk menghasilkan kehilangan kesadaran.
Administrasi agen induksi segera diikuti oleh NMBA, biasanya
suksinilkolin. Jika suksinilkolin adalah sebuah kontraindikasi, maka
rocuronium digunakan. Baik agen induksi dan NMBA diberikan secara
intravena. RSI tidak melibatkan pemberian obat yang lambat dari agen

10
induksi atau pendekatan titrasi hingga tetes terakhir. Obat penenang dan
dosis dipilih dengan maksud pemberian intravena obat dapat diberikan dan
bekerja dengan segera dan cepat. Meskipun pemberian yang cepat dari
agen induksi dapat meningkatkan kemungkinan dan tingkat keparahan
efek samping, terutama hipotensi, seluruh teknik didasarkan pada
kehilangan kesadaran yang cepat, blokade neuromuskuler yang cepat, dan
periode apnea singkat tanpa ventilasi bantuan sela sebelum intubasi. Oleh
karena itu, agen induksi diberikan dengan dorongan cepat diikuti segera
oleh dorongan cepat dari NMBA. Dalam beberapa detik dari pemberian
agen induksi dan NMBA, pasien akan mulai kehilangan kesadaran,
respirasi akan menurun, dan kemudian berhenti.5

2.5.5 Protection and positioning


Setelah 20 hingga 30 detik, pasien menjadi apnea dan menjadi
lemas. Jika suksinilkolin telah digunakan sebagai NMBA, fasikulasi akan
dapat diamati selama fase ini berlangsung. Masker oksigen yang
digunakan untuk preoksigenasi harus tetap terpasang agar mencegah
pasien dari mendapatkan napas parsial udara ruangan. Pada titik ini, pasien
diposisikan secara optimal untuk intubasi, dengan pertimbangan untuk
imobilisasi tulang belakang leher dalam trauma. Beberapa pasien akan
cukup diposisikan sesederhana dan semudah mungkin, dikarenakan
mereka membutuhkan ventilasi bantuan hampir terus-menerus sepanjang
rangkaian prosedur berlangsung untuk menjaga saturasi oksigen lebih dari
90%.5
Beberapa pasien, terutama mereka yang mengalami hipoksemia
berat, diberi ventilasi dengan bag dan masker setiap saat, kecuali saat
laringoskopi terjadi. Pasien obesitas yang tidak sehat akan
mempertahankan saturasi oksigen yang tinggi lebih lama jika mereka
menerima oksigen pada 5 L per menit melalui kanula hidung selama
laringoskopi terpasang. Manfaat ini juga kemungkinan berlaku untuk
pasien lain. Ketika ventilasi bag-mask dilakukan pada pasien yang tidak

11
responsif, penerapan manuver Sellick dapat meminimalkan volume gas
melewati kerongkongan ke perut, dan dapat mengurangi kemungkinan
regurgitasi.5

2.5.6 Placement with proof


Pada waktu 45 detik setelah pemberian suksinilkolin, atau 60 detik
jika rocuronium digunakan, uji rahang pasien untuk mengetahui flaksiditas
dan hasil akhir intubasi. Karena preoksigenasi memberi sebagian besar
pasien waktu aman apnea selama beberapa menit, intubasi dapat dilakukan
dengan lembut dan hati-hati dan berbagai upaya, jika perlu, seringkali
dimungkinkan tanpa perlu memberikan oksigenasi tambahan dengan bag
dan masker. Penempatan tube dikroeksi kembali untuk memastikan posisi
sudah benar. Deteksi endoksida karbon dioksida (ETCO2) wajib
dilakukan. Kapnometer, seperti kolorimetri detektor ETCO2, sudah cukup
untuk mengetahui hasil ini. Kapnografi berkelanjutan memberikan
tambahan dan informasi yang berkelanjutan.5

2.5.7 Post-intubation management


Setelah palcement sudah diposisikan dengan tepat, ETT diamankan
di tempatnya. Ventilasi mekanis harus dimulai. Rontgen dada harus
diperoleh untuk menilai status paru. Hipotensi sering terjadi pada periode
postintubasi dan sering disebabkan oleh berkurangnya aliran darah vena
sebagai akibat dari peningkatan tekanan intrathoracic yang dapat
menyebabkan ventilasi mekanis, diperburuk oleh efek hemodinamik dari
agen induksi. Meskipun bentuk hipotensi ini sering sembuh sendiri dan
berespons terhadap cairan intravena, penyebab yang lebih tidak diduga
harus dicari lebih dalam. Tekanan darah harus diukur, dan jika hipotensi
timbul secara signifikan, maka langkah dalam mengatasi hipotensi post-
intubation harus dipertimbangkan.5
Sedasi jangka panjang hampir selalu diindikasikan. Kelumpuhan
jangka panjang, bagaimanapun juga, umumnya dihindari, kecuali bila

12
diperlukan. Penggunaan skala sedasi, seperti Richmond Agitation Sedation
Scale, bermangaat untuk mengoptimalkan kenyamanan pasien dan
membantu dalam memandu pengambilan keputusan mengenai perlunya
blokade neuromuskuler.5
Sedasi dan analgesia diberikan untuk mencapai tingkat yang
diinginkan, dan blokade neuromuskuler hanya digunakan jika pasien
memerlukannya. Penggunaan skala sedasi mencegah penggunaan blokade
neuromuskuler yang dimaksudkan untuk mengkontrol pasien ketika
penyebab agitasi pasien adalah sedasi yang tidak memadai. Pemeliharaan
intubasi dan ventilasi mekanik membutuhkan sedasi dan analgesia, dan ini
dapat dititrasi untuk respons pasien. Titik awal sedasi yang masuk akal
adalah lorazepam 0,05 mg per kg atau midazolam 0,1-0,2 mg per kg,
dikombinasikan dengan analgesik seperti fentanyl 2 μg per kg, morfin 0,2
mg per kg, atau hydromorphone (Dilaudid) 0,03 mg per kg. Fentanil lebih
disukai karena hemodinamik superiornya lebih memiliki potensi stabilitas
yang baik. Ketika NMBA diperlukan, dosis paralitik lengkap harus
digunakan (mis., Vecuronium 0,1 mg per kg). Sedasi dan analgesia sulit
dititrasi ketika pasien lumpuh, dan dosis "topping up" harus diberikan
secara teratur, sebelum stres fisiologis (hipertensi dan takikardia) terbukti.
Untuk pasien yang membutuhkan pemeriksaan serial, terutama pasien
dengan kondisi neurologis, propofol melalui infus lebih disukai karena
dapat dihentikan atau menurun dengan pemulihan kesadaran yang cepat.
Propofol infus dapat dimulai pada 25 hingga 50 μg / kg / menit dan
dititrasi. Bolus awal 0,5-1 mg per kg dapat diberikan jika sedasi cepat
diinginkan. Dibutuhkan analgesia, seperti di atas, karena propofol bukan
analgesik.5

13
Tabel 6. Richmond Agitation Sedation Scale.5

14
Gambar 4. Protokol Post-Intubation Berdasarkan RASS.5

15
Tabel 7. Waktu Prosedur RSI.5

2.6 Tekanan krikoid


Tekanan krikoid adalah penerapan kekuatan pada kartilago krikoid pasien
dengan alasannya bahwa bagian atas kerongkongan tersumbat akibat kompresi
antara trakea dan vertebra serviks, mencegah refluks pasif dari isi lambung dan
perkembangan selanjutnya dari pneumonitis aspirasi. Tekanan sebesar 10 Newton
diterapkan oleh ibu jari dan jari telunjuk akan meningkat menjadi 30 Newton
ketika kesadaran hilang.7
Tekanan ini dipertahankan sampai penempatan tabung endotrakeal
dikonfirmasi. Tekanan krikoid harus dikurangi atau dilepaskan jika laringoskopi
sulit, atau jika muntah terjadi (untuk mengurangi kemungkinan pecah esofagus
akibat muntah aktif).7

Gambar 5. Anatomi Krikoid.7

16
Meskipun secara rutin dilakukan di banyak bagian dunia - terutama
Inggris, Amerika Utara, dan Australia, tekanan krikoid tidak dilakukan di tempat
lain dikarenakan masih bersifat kontroversial. Hal ini bukan praktik umum di
Eropa, serta beberapa organisasi pra-rumah sakit tidak mendukung
penggunaannya. Hal ini juga mungkin tidak digunakan di wilayah dunia di mana
kurangnya personel yang berdedikasi untuk membantu ahli anestesi.
Kekhawatiran yang dimaksud meliputi:
 Penurunan kualitas laringoskopi,
 Kurangnya bukti efektivitas dalam mencegah refluks dan aspirasi,
 Mengurangi tonus sfingter esofagus yang lebih rendah dan karenanya
meningkatkan risiko refluks,
 Memburuknya cedera laring atau tulang servikal leher yang tidak
terdeteksi,
 Lokasi, arah, dan tingkat kekuatan yang sangat tidak terukur dan
kemungkinan sangat bervariasi yang diterapkan oleh operator,8
 Ketidaknyamanan pasien, tersedak atau batuk, dan
 Meningkatnya beban kerja fisik dan kognitif untuk operator.

Tinjauan sistematis terbaru tidak menemukan data dari uji coba random
yang memberikan hasil klinis yang relevan dari tindakan ini.9 Terlepas dari
kontroversi yang sedang berlangsung, penggunaan dianggap sebagai standar
perawatan di banyak rangkaian. Dianjurkan untuk mencari bimbingan dari
masing-masing lembaga tentang harapan dan pedoman mereka.7

17
BAB III
KESIMPULAN

Rapid Sequence Intubation and Induction (RSII) di bidang keilmuan


anestesi merupakan sebuah teknik yang dirancang untuk meminimalisir
kemungkinan aspirasi paru pada pasien yang berisiko tinggi. Biasanya, nonrapid
sequence of inductiona nd intubation di bidang keilmuan anestesi terdiri dari
pemberian agen induksi, kemampuan untuk memberikan ventilasi, pemberian
agen penghambat neuromuskuler atau neuromuscular blocking agent (NMBA),
dan intubasi endotrakeal setelah kelumpuhan yang ditargetkan telah dicapai, yaitu
sekitar tiga menit setelah induksi. Karena induksi anestesi menyebabkan
hilangnya refleks protektif jalan nafas, aspirasi paru adalah risiko yang dapat
ditemukan selama interval antara hilangnya kesadaran dan inflasi manset tabung
endotrakeal.1
Komponen RSII dirancang untuk melindungi jalan nafas dengan pipa
endotrakeal yang ditahan secepat mungkin setelah induksi, sambil mengurangi
kemungkinan regurgitasi pasif atau aktif. Tujuan penting dari RSII adalah
pencapaian kedalaman anestesi yang memadai, dan, paling sering, kelumpuhan,
untuk laringoskopi, untuk mencegah batuk, mengejan, dan muntah aktif dengan
manipulasi jalan napas.1
Meskipun RSII adalah turunan dari praktik biasa induksi anestesi, metode
yang setara untuk kontrol jalan napas cepat, sering disebut "rapid sequence
intubation" (RSI), adalah metode yang paling umum digunakan untuk
mengendalikan jalan napas di ruang gawat darurat.1 Selain itu, tinjauan sistematis
terbaru tidak menemukan data dari uji coba random yang memberikan hasil klinis
yang relevan dari tindakan ini.9 Terlepas dari kontroversi yang sedang
berlangsung, penggunaan dianggap sebagai standar perawatan di banyak
rangkaian. Dianjurkan untuk mencari bimbingan dari masing-masing lembaga
tentang harapan dan pedoman mereka.7

18
DAFTAR PUSTAKA

1. UpToDate. Rapid sequence induction and intubation. Available at:


https://www.uptodate.com/contents/rapid-sequence-induction-and-intubation-
rsii-for-anesthesia. Accessed on June 25th, 2019.
2. Life in The Fastlane. Rapid Sequence Intubation (RSI). Available at:
https://litfl.com/rapid-sequence-intubation-rsi/. Accessed on June 25th, 2019.
3. Tobias JD. Rapid sequence intubation: What does it mean? Does it really
matter? Saudi J Anaesh 2014; 8(2):153-4.
4. NHS Education for Scotland. A Guide for Assistants: Rapid Sequence
Intubation. United Kingdom: University of Edinburgh. 2005. p.1-10.
5. Walls RM. Rapid Sequence Intubation. Semantic Scholar. 2017. p.221-31.
6. CBHSSJB Pharmaco Committee, CMDP Executive Committee. Rapid
Sequence Intubation Guide – Adult. Cree Board of Health and Social Service
of James Bay. 2012.
7. Ross W, Ellard L. Baitch L. Rapid Sequence Induction. World Federation of
Societies of Anaesthesiologist. 2016. p.1-8.
8. Walton S, Pearce A. Auditing the application of cricoid pressure. Anaesthesia
2000;55:1028
9. Algie CM, Mahar RK, Tan HB, et al. Effectiveness and risks of cricoid
pressure during rapid sequence induction for endotracheal intubation.
Cochrane Database Syst Rev 2015, Issue 11.

19

Anda mungkin juga menyukai