Anda di halaman 1dari 63

USULAN PENELITIAN

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS SWALLOWING MANEUVER DENGAN


OROMOTOR EXERCISE TERHADAP PERBAIKAN KUALITAS HIDUP PASIEN
DISFAGIA NEUROLOGIS AKIBAT STROKE DI RSUP DR. WAHIDIN
SUDIROHUSODO

Oleh:

dr. RAJA PAHLEVI

PEMBIMBING

Dr. dr. Muhammad Amsyar Akil, Sp. T.H.T.K.L (K)

Dr. dr. Azmi Mir’ah Zakiah, Sp.T.H.T.K.L (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 (SP-1)


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG....................................................................1
1.2 TUJUAN.........................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................4
2.1 ANATOMI......................................................................................4
2.2 FISIOLOGI MENELAN...............................................................16
2.3 NEUROFISIOLOGI......................................................................20
2.4 DEFINISI.......................................................................................23
2.5 EPIDEMIOLOGI...........................................................................25
2.6 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS...............................................26
2.7 DIAGNOSIS..................................................................................33
2.8 PENATALAKSANAAN...............................................................40
2.9 KERANGKA TEORI....................................................................41
2.10 KERANGKA KONSEP................................................................42
BAB 3 METODE PENELITIAN..............................................................40
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................44

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Proses menelan adalah suatu aktivitas neuromuskuler yang kompleks yang meliputi
koordinasi yang cepat dari struktur – struktur dalam kavum oris, faring , laring dan esofagus.
Pada waktu proses menelan, bolus makanan atau cairan akan berjalan dari mulut ke lambung
melalui faring dan esofagus. Untuk proses ini dibutuhkan sekitar 40 pasang otot dan 5 saraf
kranialis. Proses menelan secara normal meliputi tiga fase yaitu fase oral, faringeal, esofagus.
Perubahan tiap fase terkait dengan fungsi bibir, lidah, palatum, dinding faring, plika vokalis,
sfingter esofagus, perpindahan anterior-superior dari tulang hyoid dan laring.[1]
Kesulitan makan akibat gangguan dalam proses menelan disebut disfagia. Disfagia
merupakan gejala dari berbagai penyakit yang berbeda. Disfagia berasal dari bahasa Yunani
yaitu dys yang artinya sulit dan phagein yang artinya memakan. Disfagia memiliki banyak
definisi tetapi yang sering digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari
mulut ke dalam lambung . Disfagia dapat dianggap sebagai sindrom geriatri dan seringkali
merupakan konsekuensi dari stroke. Masalah ini diketahui terjadi pada dua pertiga dari
pasien stroke dan berdampak atas pneumonia aspirasi, dehidrasi dan malnutrisi. Serta
memiliki peranan yang besar terhadap hasil klinis, mortalitas. Kejadian ini akan menurunkan
kepercayaan diri dan kualitas hidup pasien . [2]
Diperkirakan setiap tahun di Kanada ada 21.000 pasien lansia mengidap stroke
dengan disfagia sedangkan di Amerika sebanyak 200.000 pasien. Prevalensi disfagia paling
sering ditemukan pada dewasa usia diatas 50 tahun yaitu sekitar 7-22% populasi. [3] Di
Indonesia stroke menempati peringkat ke-97 dunia untuk jumlah pasien stroke terbanyak
dengan jumlah angka kematian mencapai 138.268 orang atau 9,70% dari total kematian yang
terjadi pada tahun 2011, dan pada tahun 2013 telah terjadi peningkatan prevalensi stroke di
Indonesia menjadi 12,1 per 1.000 penduduk. Dan khususnya Sulawesi Selatan menempati
posisi tertingio dengan prevalensi 17,9 per 1.000 penduduk. [4,5]
Disfagia terjadi pada 55% pasien dengan stroke diantaranya 11% hingga 13%
mengalami disfagia menetap setelah 6 bulan dan 33% pasien dengan demensia .Untuk pasien
dengan disfagia pasca stroke, pneumonia aspirasi terjadi pada 43% -50% pasien selama tahun
pertama, dengan mortalitas hingga 45%. Beberapa pasien dengan disfagia yang berat
1
membutuhkan selang makanan perkutan untuk makanan non oral untuk mempertahankan
nutrisi yang cukup dan asupan air. [6]
Disfagia dapat mengacu pada kesulitan menelan atau yang sering disebut dengan
oropharyngeal dysphagia dan kesulitan transfer makanan dan minuman dari esofagus ke
lambung atau yang biasa disebut dengan esophageal dysphagia . Sebagian besar pasien
dengan keluhan disfagia mengeluhkan kesulitan menelan terutama pada fase orofaring.
Disfagia orofaring pada dewasa dapat disebabkan karena kelainan neurologis (pasca-stroke,
kelainan saraf tepi daerah laring,faring, lidah dan rahang, miastenia gravis, serta miopati),
kelainan anatomi kepala dan leher (kanker, perubahan pascaoperasi, kemoterapi atau terapi
radiasi, pascatrauma,iatrogenik, kelainan kongenital) dan penyebab lainnya (infeksi, refluks
laringofaring, kelainan sistemik, efek samping obat, dan psikogenik. Umumnya disfagia
orofaring bersifat neurogenik. Onset yang mendadak seringkali dihubungkan dengan adannya
tanda dan gejala neurologis seperti stroke, disfungsi otot bulbar atau kelainan neurologis
lainnya. Onset yang perlahan progresif dihubungkan dengan adanya tanda dan gejala primer
atau akibat metastasis keganasan ke saraf intrakranial. Beberapa inti motorik dan sensorik
saraf kranialis berpengaruh dalam proses menelan. Inti sensorik antara lain trigeminus (n.V),
fasialis (n.VII), glossofaringeus (n.IX), dan vagus (n.X). Sedangkan inti motorik yang
menginervasi otot penelanan antara lain trigeminus (n.V), fasialis (n.VII), ambigous (nn.IX,
X, XI) dan hipoglosus (XII). [7]
Dikutip dari Gonzales-Fernandez, Ekberg menemukan bahwa disfagia berdampak
buruk terhadap kualitas hidup. Didapatkan 45% pasien dengan disfagia dapat menikmati
makanan dengan enak, dan 41% pasien lainnya mengalami kecemasan atau panik selama
pkarena keluhan disfagia yang dialaminya. Penilaian kualitas hidup memungkinkan untuk
menjelaskan persepsi pasien tentang keluhan disfagia yang dirasakan sebelum, selama dan
sesudah latihan menelan [8]
Manajemen disfagia mencakup penggabungan strategi kompensasi untuk mengatasi
kesulitan menelan yang segera (misalnya aspirasi) dan efisiensi (misalnya residu) dengan
mengubah dimensi faring, meningkatkan tekanan, dan/atau mengarahkan aliran bolus.
Latihan, disamping strategi kompensasi, dapat meningkatkan fungsi motorik pada pasien
yang mengalami disfagia. Terdapat 2 terapi menelan yang umumnya digunakan sebagai
strategi kompensasi umum untuk disfagia neurologis yaitu Oromotor Exercise dan

2
Swallowing Manuver. Oromotor Exercise bertujuan untuk meningkatkan tekanan menelan
orofaringeal dan menambah gerakan posterior dasar lidah. Sedangkan Swallowing Manuver
yang secara sengaja menahan laring ketika laring terangkat, sehingga aktivasi otot-otot
suprahyoid terinduksi, bertujuan untuk mengurangi pembukaan UES dan residu sinus
pyriform. Swallowing maneuver awalnya dirancang sebagai teknik kompensasi tetapi
sekarang juga dianggap sebagai latihan penguatan ketika dilakukan di luar waktu makan.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Mc Cullough & Kim (2013), didapatkan 18 pasien stroke
dengan disfagia dilakukan latihan menelan dengan swallowing maneuver jenis Manuver
Mendelsohn. Semua pasien mengalami peningkatan status menelan setelah di lakukan latihan
menelan selama 1-2 minggu. Penelitian yang dilakukan oleh Hathaya Jongprastitkul dan
Wasuwat Kitisomprayayoonkul (2017) dari 57 pasien stroke dengan disfagia mengikuti terapi
menelan dari Januari 2017-Juni 2017 3 kali seminggu dengan durasi 50 menit per hari.
Hasilnya didapatkan perbaikan terhadap kemampuan menelan, pencegahan aspirasi
pneumonia dan 42 % pasien terjadi perubahan ketergantungan terhadap pemakaian selang
makan (nasogastric tube) [9,10]
Penelitian juga dilakukan terhadap orang normal sebanyak 25 orang oleh Hegland dan
Rosenbak (2008) yaitu membandingkan pengaruh swallowing maneuver antara manuver
yang satu dengan yamg lain. Penilaian fungsi menelan dilakukan dengan video fluoroskopi
dan electromyographic surface dengan hasil peningkatan kekuatan otot menelan minimal satu
setengah kali lipat bila dibandingkan dengan teknik menelan orang normal. Hal yang sama
juga dilakukan oleh peneliti dari berbagai disiplin ilmu yaitu Achmad, Nuraeni, Arifin (2016)
menggunakan teknik kompensatori postural (oromotor exercise) di RSUD dr. Hardjono
Kabupaten Ponorogo. Dari 16 responden yang diteliti terjadi peningkatan efektivitas terapi
menelan dan tidak ditemukan perbedaan signifikan saat diterapkan pada berbagai
karakteristik demografi responden yang meliputi usia, jenis kelamin maupun jenis stroke.
Dalam penelitian ini akan melihat perbandingan efektivitas Swallowing Maneuver
dengan Oromotor Exercise pada perbaikan kualitas hidup pasien disfagia neurologis pasca
stroke di RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo.

3
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui perbandingan efektivitas Swallowing Maneuver dengan Oromotor
Exercise terhadap perbaikan kualitas hidup pasien disfagia neurologis pasca stroke di
RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi kualitas hidup penderita disfagia neurologis akibat stroke
sebelum pemberian intervensi di RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo
b. Mengetahui distribusi kualitas hidup penderita disfagia neurologis akibat stroke
setelah pemberian intervensi di RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo
c. Mengetahui hasil pemeriksaan swallowing manuver pada pasien disfagia
neurologis akibat stroke di RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo
d. Mengetahui perbandingan kualitas hidup penderita disfagia neurologis akibat
stroke sebelum dan setelah pemberian intervensi di RSUP Dr. Wahidin
Sudirhusodo
e. Mengetahui hasil pemeriksaan oromotor exercise pasien disfagia neurologis
akibat stroke di RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo
f. Mengetahui perbandingan efektivitas Swallowing Maneuver dengan Oromotor
Exercise terhadap perbaikan kualitas hidup pasien disfagia neurologis pasca stroke
di RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo

C. Manfaat Penelitian
1. Bidang Keilmuan
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai disfagia
neurologis akibat stroke dan berbagai komplikasi yang ditimbulkan serta
pengaruhnya terhadap kualitas hidup pasien di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
b) Dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya untuk mengetahui
penatalaksanaan yang tepat terhadap penanganan disfagia neurologis akibat stroke
di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
2. Bidang Medis
a. Mengetahui penatalaksanaan yang lebih mudah dan cepat dalam penanganan
disfagia akibat stroke di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
4
b. Dengan mengetahui perbandingan efektivitas Swallowing Maneuver dengan
Oromotor Exercise pada perbaikan kualitas hidup pasien disfagia neurologis pasca
stroke diharapkan sebagai acuan utama dalam penatalaksaan disfagia neurologis
akibat stroke di RSUP Dr. Wahidin Sudirhusodo

D. Hipotesis
 Kualitas hidup pasien disfagia neurologis pasca stroke setelah intervensi lebih
baik dibandingkan sebelum intervensi
 Terdapat perbandingan efektivitas metode Swallowing Maneuver dengan
Oromotor Exercise terhadap perbaikan kualitas hidup pasien disfagia
neurologis akibat stroke

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 ANATOMI

II.1.1 Anatomi Mulut


A. Cavitas Oral
Mulut terdiri dari ruang depan mulut, ruang antara gigi dan bibir atau pipi,
dan rongga mulut bagian dalam dari gigi dan gusi. Rongga mulut terdiri dari
palatum (keras dan lunak), gigi, gusi (gingiva), lidah, dan kelenjar ludah (lihat
Gambar 1). Mukosa Palatum durum, pipi, lidah, dan bibir mengandung banyak
kelenjar ludah minor yang keluar langsung ke dalam rongga mulut. Kumpulan
jaringan limfoid berpasangan yang disebut tonsil palatina terletak di antara lipatan
palatoglosus dan palatofaringeal (yang berisi otot rangka kecil dengan nama yang
sama) dan "menjaga" jalan masuk ke orofaring (Gbr. 2). Kecuali tonsil palatina
telah diangkat melalui pembedahan, mereka biasanya mengalami atrofi secara
signifikan seiring bertambahnya usia.[11]

GAMBAR. 1 Lidah dan Otot Ekstrinsik [11]

6
GAMBAR. 2 Dorsum Lidah [11]

B. Otot Lidah
Lidah adalah organ otot yang kuat yang terdiri dari otot rangka intrinsik
yang tersusun dalam empat bidang berbeda, semuanya dipersarafi oleh saraf
hipoglosus, CN XII: [11]
• Serabut otot longitudinal superior
• Serabut otot longitudinal inferior
• Serat otot transversal
• Serat otot vertikal
Selain itu, tiga otot rangka ekstrinsik berasal dari luar lidah dan masuk ke
dalamnya (Gambar 1 & 2). Otot genioglossus menekan dan menjulurkan lidah.
Otot hypoglossus dan styloglossus menarik lidah selama menelan, mendorong
bolus makanan ke atas Palatum saat didorong ke posterior ke orofaring (lihat
Gambar 10). Otot palatoglossus (mengangkat lidah) dapat dianggap sebagai otot
lidah dan otot palatum. Karena dipersarafi oleh saraf vagus daripada saraf
hipoglosus, palatoglosus dapat dikelompokkan dengan otot palatum. [11]

7
Lidah menerima suplai darahnya sebagian besar oleh arteri lingual (dari
arteri karotis eksterna) dan dipersarafi oleh lima saraf kranial berikut ini (Gbr 3):1
• Mandibula: melalui saraf lingual; memberikan sensasi umum pada dua
pertiga anterior lidah.
• Wajah: melalui saraf korda timpani, yang bergabung dengan saraf lingual;
memberikan rasa pada dua pertiga anterior lidah.
• Glossopharyngeal: sensasi dan rasa umum pada sepertiga posterior lidah.
• Vagus: melalui cabang internal saraf laring superior, untuk sensasi dan rasa
umum di dasar lidah di regio epiglotis.
• Hipoglosus: motorik ke otot lidah intrinsik dan ekstrinsik, kecuali otot
palatoglosus, yang dianggap sebagai otot palatum (dan dipersarafi oleh saraf
vagus [CN X]).

GAMBAR. 3 Persarafan Sensorik Lidah. [11]

C. Palatum
Palatum membentuk dasar rongga hidung dan atap rongga mulut. Palatum
dibagi sebagai berikut (Gambar 4 dan 5): [11]
• Paltum durum: dua pertiga tulang anterior palatum; dibentuk oleh proses
palatal dari rahang atas dan proses horizontal tulang palatine (Gbr. 4);

8
ditutupi oleh mukosa tebal yang menutupi banyak kelenjar palatal yang
mengeluarkan mucus.
• Paltum Mole: sepertiga posterior palatum; terdiri dari kelenjar palatal yang
mengeluarkan mukosa dan lendir, dengan lima otot yang berkontribusi pada
palatum lunak dan gerakannya; menutup nasofaring saat menelan.

GAMBAR. 4 Rongga Mulut Dengan Diseksi Parsial Palatum. [11]

GAMBAR. 5 Tampak Posterior Otot Palatum Molle. [11]

9
Persarafan sensorik palatum durum sebagian besar melalui nasopalatina
dan saraf palatina mayor (CN V2), sedangkan persarafan sensorik palatum molle
sebagian besar melalui saraf palatina minor (CN V2).

II.1.2 Anatomi Leher

Leher dibagi secara deskriptif menjadi dua segitiga utama. Setiap segitiga
berisi struktur kunci yang digunakan sebagai penanda oleh ahli anatomi dan
dokter yang beroperasi di area ini. Leher adalah saluran vertikal untuk struktur
yang masuk atau keluar dari kepala. Itu terikat erat di beberapa lapisan fasia yang
membagi leher menjadi kompartemen deskriptif. Dua segitiga utama leher adalah
sebagai berikut (Gbr.6): [11]
• Segitiga Posterior: dibatasi oleh batas posterior otot sternokleidomastoid
(SCM), batas anterior otot trapezius, dan sepertiga tengah klavikula.
• Segitiga Anterior: dibatasi oleh batas anterior SCM, batas inferior mandibula,
dan garis tengah leher; juga dibagi menjadi segitiga berikut:
• Submandibular.
• Karotis.
• Otot.
• Submental.

GAMBAR. 6 Segitiga Leher. [11]


10
Leher dikelilingi oleh selubung fasia serviks superfisial yang terletak jauh
di dalam kulit dan menginvestasikan otot platysma (otot ekspresi wajah). Lengan
kedua dari fasia serviks dalam dengan erat menginvestasikan struktur leher dan
dibagi menjadi tiga lapisan berikut (Gbr. 6): [11]
• Selubung superfisial: mengelilingi leher dan menginvestasikan otot trapezius
dan SCM (fasia merah, Gambar 6).
• Pretrakeal (visceral): terbatas pada leher anterior; menginvestasikan otot
infrahyoid, kelenjar tiroid, trakea, dan esofagus; posterior disebut fasia
buccopharyngeal karena menutupi otot buccinator dan konstriktor faring
(fasia ungu, biru, dan hijau, Gambar 6). Di bagian inferior, fasia
buccopharyngeal memisahkan faring dan esofagus dari lapisan prevertebralis.
• Prevertebralis: selubung tubular yang menginfeksi otot prevertebralis dan
kolom vertebralis; termasuk fasia alar anterior

GAMBAR. 7 Lapisan dan Ruang Fasia Serviks.. [11]

11
Selubung karotis menyatu dengan ketiga lapisan fasia ini tetapi
berbeda dan mengandung arteri karotis komunis, vena jugularis interna,
dan saraf vagus (selubung fasia biru-hijau tua pada Gambar 7, gambar
penampang atas). [11]
Fasia yang menginvestasikan tidak terbatas pada leher tetapi meluas
ke superior ke tulang hyoid dan menyelimuti kelenjar ludah submandibular.
Karena mengalir di sepanjang margin inferior mandibula, fasia investasi
juga menyelimuti kelenjar ludah parotis dan kemudian meluas ke proses
mastoid dan lengkungan zygomatik.

II.1.3 Anatomi Faring

Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut


dengan kerongkongan (osefagus), panjangnya ± 12 cm. Letaknya setinggi
vertebra servikalis IV ke bawah setinggi tulang rawan krikoidea. Faring di
bentuk oleh jaringan yang kuat dan jaringan otot melingkar, kantung
fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas
dan sempit di bagian bawah. Di dalam faring terdapat tonsil (amandel)
yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit untuk
mempertahankan tubuh terhadap infeksi, menyaring dan mematikan bakteri
/ mikroorganisme yang masuk melalui jalan pencernaan dan pernafasan.
Faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium, sedangkan
dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus pharyngeus, dan ke
bawah berhubungan esofagus. Faring berlanjut ke oseofagus untuk
pencernaan makanan. [11]
Faring (tenggorokan), tabung fibromuskular, menghubungkan
rongga hidung dan mulut kepala dengan laring dan kerongkongan di leher
(Gbr. 8). Ini meluas dari dasar tengkorak ke tulang rawan krikoid, di mana

12
ia bersambung dengan kerongkongan. Faring dibagi lagi sebagai berikut:
[11]

• Nasofaring: terletak di posterior rongga hidung di atas palatum lunak.


• Orofaring: memanjang dari palatum lunak ke ujung superior
epiglotis; itu adalah daerah yang terletak di posterior rongga mulut.
• Laringofaring: meluas dari ujung epiglotis ke aspek inferior
kartilago krikoid; juga dikenal secara klinis sebagai hipofaring.

GAMBAR. 8 ANATOMI FARING DAN ESOFAGUS [11]

A. Anatomi Orofaring
Batas-batas orofaring adalah ujung bawah dari palatum mole dan
superior tulang hyoid inferior. Batas anterior dibentuk oleh inlet
orofaringeal dan pangkal lidah, dan perbatasan posterior dibentuk oleh
otot-otot konstriktor superior dan media dan mukosa faring.
Orofaring berhubungan dengan rongga mulut melalui saluran
masuk orofaringeal, yang menerima bolus makanan. Inlet orofaringeal
terbuat dari lipatan palatoglossal lateral, tepat di anterior tonsil palatina.

13
Lipatan itu sendiri. terbuat dari otot palatoglossus, yang berasal dari
palatum mole itu sendiri dan mukosa diatasnya.
Di inferior, terdapat sepertiga posterior lidah, atau pangkal lidah,
meneruskan perbatasan anterior orofaring. Valekula, yang merupakan
ruang antara pangkal lidah dan epiglotis, membentuk perbatasan inferior
dari orofaring. Ini biasanya setara dengan tulang hyoid.
Pada dinding-dinding lateral orofaring terdapat sepasang tonsil
palatina di fosa anterior yang dipisahkan oleh lipatan palatoglossal dan
posterior oleh lipatan palatopharyngeal. Tonsil adalah massa jaringan
limfoid yang terlibat dalam respon imun lokal untuk patogen oral.
Otot-otot yang membentuk dinding posterior orofaring adalah otot
konstriktor faring superior dan menengah dan membran mukosa diatasnya
yang saling tumpang tindih. Saraf glossopharingeus dan otot faring
stylopharyngeus memasuki faring pada perbatasan antara konstriktor
superior dan tengah. [12]

B. Anatomi Hipofaring
Perbatasan hipofaring adalah di bagian superior terdapat tulang
hyoid dan sfingter esofagus atas (Upper Esophagus Sphincter/UES), dan
otot krikofaringeus di bagian inferior.
Batas anterior hipofaring sebagian besar terdiri dari inlet laring,
yang meliputi epiglotis dan kedua lipatan aryepiglottic dan tulang rawan
arytenoid. Permukaan posterior dari kartilago arytenoid dan pelat posterior
kartilago krikoid merupakan perbatasan anteroinferior dari hipofaring.
Lateral kartilago arytenoid, hipofaring terdiri dari kedua sinus Piriformis,
yang dibatasi oleh tulang rawan lateral tiroid.
Dinding posterior faring terdiri dari otot konstriktor tengah dan
inferior dan selaput lendir diatasnya. Di bawahnya, sejajar dengan kartilago
krikoid, otot cricopharyngeus membentuk UES. Otot ini kontraksi tonik

14
selama istirahat dan relaksasi saat menelan untuk memungkinkan bolus
makanan masuk ke esofagus.[12]

II.1.3 Anatomi Esofagus

Esofagus adalah tabung muskular yang menghubungkan faring


dengan lambung. Esophagus berukuran panjang sekitar 8 inci dan dilapisi
oleh jaringan merah muda yang lembab disebut mukosa. Esophagus
berjalan di belakang trakea dan jantung, dan di depan tulang belakang.
Tepat sebelum memasuki lambung, esofagus melewati diafragma.
Sfingter esofagus bagian atas (UES) adalah sekumpulan muskulus
GAMBAR.
di bagian atas esofagus. 9 ANATOMI
Otot-otot UES ESOFAGUS [13] kendali sadar
berada di bawah
(involunter), digunakan ketika bernapas, makan, bersendawa, dan muntah.
Sfingter esophagus bagian bawah (Lower esophageal
sphincter/LES) adalah sekumpulan otot pada akhir bawah dari esofagus,
yang mana berbatasan langsung dengan gaster. Ketika LES ditutup, dapat
mencegah asam dan isi gaster naik kembali ke esofagus. Otot-otot LES
tidak berada di bawah kontrol volunter.[13]

15
II.1.3 Vaskularisasi - Persarafan Faring dan Esofagus
A. Faring
Pasokan arteri ke faring berasal dari 4 cabang dari arteri karotis
eksternal. Kontribusi utama adalah dari arteri faring asenden, yang berasal
dari arteri karotis eksternal yang tepat berada diatas bifurkasio
(percabangan) karotis dan melewati posterior selubung karotis,
memberikan cabang ke faring dan tonsil. Cabang arteri palatina memasuki
faring tepat diatas dari muskulus konstriktor faring superior. Arteri fasialis
juga bercabang menjadi arteri palatina asenden dan arteri tonsilaris, yang
membantu pasokan untuk muskulus konstriktor faring superior dan
palatum. Arteri maksilaris bercabang menjadi arteri palatina mayor dan
cabang pterygoideus, dan arteri lingualis dorsalis berasal dari arteri lingual
memberi sedikit kontribusi. Darah mengalir dari faring melalui pleksus
submukosa interna dan pleksus faring eksterna yang terkandung dalam
fasia buccopharyngeal terluar. Pleksus mengalir ke vena jugularis interna
dan, sesekali, vena fasialis anterior. Hubungan yang luas terjadi antara vena
yang terdapat di tenggorokan dan vena-vena pada lidah, esofagus, dan
laring. [10]
Pleksus saraf faring memberi pasokan saraf eferen dan aferen faring
dan dibentuk oleh cabang dari nervus glossopharingeus (saraf kranial IX),
nervus vagus (saraf kranial X), dan serat simpatis dari rantai servikal.
Selain muskulus stylopharyngeus, yang dipersarafi oleh saraf
glossopharingeus, semua otot-otot faring dipersarafi oleh nervus vagus.
Semua otot-otot intrinsik laring dipersarafi oleh nervus laringeus, cabang
nervus vagus, kecuali untuk otot krikotiroid, yang menerima persarafan
dari cabang eksternal dari nervus laringeus superior, juga dari cabang
nervus vagus. Pleksus faring menerima cabang-cabang nervus vagus dan
glossopharingeus untuk persarafan sensorik faring. Sepertiga lidah
posterior, di orofaring, menerima baik sensasi rasa dan sensasi somatik dari
nervus glossopharingeus. Otot krikofaringeus (UES) menerima persarafan

16
parasimpatis untuk relaksasi dari nervus vagus dan persarafan simpatis
untuk kontraksi dari serabut post ganglionik dari ganglion servikalis
superior. [12]

B. Esofagus
Esofagus mendapat perdarahan dari arteri secara segmental.
Cabang- cabang dari arteri tiroid inferior memberikan pasokan darah ke
sfingter esophagus atas dan esofagus servikal. Kedua arteri aorta esofagus
atau cabang-cabang terminal dari arteri bronkial memperdarahi es ofagus
bagian toraks. Arteri gaster sinistra dan cabang dari arteri frenikus sinistra
memperdarahi sfingter esophagus bagian bawah dan segmen yang paling
distal dari esofagus. Arteri yang memperdarahi akhir esofagus dalam
jaringan sangat luas dan padat di submucosa tersebut. Suplai darah
berlebihan dan jaringan pembuluh darah yang berpotensi membentuk
anastomosis dapat menjelaskan kelangkaan dari infark esofagus.
Vaskularisasi vena juga mengalir secara segmental. Dari pleksus vena
submukosa yang padat darah mengalir ke vena cava superior. Vena
esophagus proksimal dan distal mengalir ke dalam sistem azygos. Kolateral
dari vena gaster sinistra, cabang dari vena portal, menerima drainase vena
dari mid-esofagus. Hubungan submukosa antara sistem portal dan sistem
vena sistemik di distal esofagus membentuk varises esofagus pada
hipertensi portal. Varises submucosa ini yang merupakan sumber
perdarahan GI utama dalam kondisi seperti sirosis.[13]
Persarafan motor esophagus didominasi melalui nervus vagus.
Esophagus menerima persarafan parasimpatis dari nucleus ambiguus dan
inti motorik dorsal nervus vagus dan memberikan persarafan motor ke
mantel otot esofagus dan persarafan secretomotor ke kelenjar. Persarafan
simpatis berasal dari servikal dan rantai simpatis torakalis yang mengatur
penyempitan pembuluh darah, kontraksi sfingter esofagus, relaksasi
dinding otot, dan meningkatkan aktivitas kelenjar dan peristaltik.4 Pleksus

17
Auerbach, yaitu ganglia yang terletak antara lapisan longitudinal dan
melingkar dari tunika muskularis myenteric bekerja mengatur kontraksi
lapisan otot luar. Pleksus Meissner, yaitu ganglia yang terletak dalam
submucosa bekerja mengatur sekresi dan kontraksi peristaltik dari mukosa
muskularis. [13]

II. 2 FISIOLOGI MENELAN


Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu fase oral, fase faringeal dan
fase esofagal. Fase oral dapat dibagi lagi menjadi fase persiapan dan fase transit. Fase
oral berada di bawah kendali sukarela sedangkan fase faring dan esofagus tidak
disengaja. Diperkirakan bahwa manusia biasanya menghasilkan sekitar 500 ml air liur
per hari dan meskipun menelan dianggap sebagai fungsi aktif yang berkaitan dengan
makan dan minum, perlu dicatat bahwa sebagian besar aktivitas ini terjadi tanpa
stimulasi atau kesadaran aktif. [14,15]

A. Fase Oral
1. Fase persiapan oral
Fase ini berkaitan dengan pembentukan bolus dari bahan yang
ditempatkan ke dalam rongga mulut. Ini tidak berlaku untuk cairan,
karena ini tidak memerlukan sediaan oral. Ciri-ciri utama dari tahap ini
adalah gerakan lidah, rahang bawah, dan otot bibir / bukal yang
GAMBAR. 10 FISIOLOGI MENELAN [14]

18
terkoordinasi dan terarah dan penutupan simultan dari sfingter esofagus
atas (UOS) untuk mencegah keluarnya makanan secara dini; gerakan ini
terkoordinasi di otak kecil. [15]
2. Fase transit oral
Gerakan lidah adalah fitur terpenting dari tahap ini, seperti pada
tahap persiapan. Bentuk dan gerakan lidah berfungsi untuk menyegel
bolus makanan ke langit-langit; aspek lateral lidah berada di sepanjang
punggung alveolar setiap sisi, menstabilkan lidah dan dengan demikian
memungkinkan bagian tengah untuk mendorong bolus ke posterior. Fase
ini berlangsung sekitar 1 detik dan diperpanjang dengan meningkatnya
viskositas bolus dan dengan bertambahnya usia. Fase transit dan
persiapan dapat dilewati dengan menyemprotkan cairan ke bagian
belakang mulut untuk memulai fase faring.[15]
Fase oral dikendalikan oleh tiga saraf kranial: saraf trigeminal
(saraf kranial (CN) V), yang mengontrol mengunyah, saraf wajah (CN
VII), yang mengontrol otot bukal dan bibir untuk membantu
memposisikan makanan di dalam mulut, dan saraf hipoglosus (CN XII),
yang mengontrol gerakan lidah.[15]
3. Refleks menelan
Menelan adalah tindakan yang kompleks; Inisiasi menelan secara
sukarela dimediasi di korteks, tetapi menelan juga dapat dipicu sebagai
respons refleks terhadap makanan / cairan yang bersentuhan dengan area
tertentu di rongga mulut atau orofaring, atau hanya dengan akumulasi air
liur. Ini dimediasi di medula, yang menerima impuls aferen dari nukleus
traktus solitarius dan nukleus trigeminal tulang belakang. Impuls eferen
dari medula melewati nukleus ambiguus, nukleus hipoglosus, dan inti
motorik dari saraf trigeminal dan wajah, yang mengarah ke aksi yang
terlibat dalam fase faring.[15]

4. Refleks muntah

19
Refleks muntah dimediasi oleh saraf yang sama dengan refleks
menelan, perbedaannya adalah stimulus awal. Refleks muntah dipicu
oleh adanya rangsangan di orofaring di luar aktivitas menelan sukarela
normal dan kontraksi otot selanjutnya menyebabkan tersedak, muntah
atau bahkan muntah (Gambar 11). [15]

GAMBAR. 11 Saraf refleks menelan dan muntah [15]

20
B. Fase faringeal
Tahap faring menelan secara fisiologis penting karena perlindungan
jalan napas terjadi selama fase ini saat menelan secara normal. Tahap
persiapan oral dan oral menelan dapat dilewati dengan mengurangi
konsistensi makanan menjadi cair, dengan menyemprotkan makanan ke
bagian belakang mulut, atau dengan memposisikan kepala ke belakang
sehingga gravitasi membawa makanan ke dalam faring. [16]
Sejumlah respons fisiologis terjadi sebagai akibat dari pemicuan
menelan faring:
1. Peningkatan dan retraksi velum dan penutupan velofaringeal lengkap
untuk mencegah regurgitasi hidung dan mempertahankan tekanan
interbolus;
2. Retraksi pangkal lidah untuk menyentuh dinding faring posterior
(PPW);
3. Kontraksi progresif superior-inferior otot konstriktor faring yang
menciptakan kekuatan pendorong atau tekanan pada bolus;
4. Peningkatan dan pergerakan anterior hyoid dan laring memfasilitasi
perkiraan hyoid dengan kartilago arytenoid yang miring ke anterior,
dan defleksi epiglotis, dikombinasikan dengan
5. Penutupan laring pada pita suara asli dan pita suara palsu mencegah
penetrasi saluran napas dan aspirasi selama menelan; dan akhirnya,
6. Relaksasi sfingter esofagus bagian atas (UES) untuk memungkinkan
bolus lewat dari faring ke esofagus. Dalam fungsi menelan normal, fase
faring terjadi dalam 1 hingga 1,5 detik tergantung pada volume dan
viskositas bolus. [16]

21
22
GAMBAR. 12. (A–E) Tampak lateral kepala dan leher
menggambarkan perkembangan bolus melalui faring [16]
C. Fase Esofagal

Fase esofagal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke


lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertututp. Dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi
relaksasi m. krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus
makanan masuk ke dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka
sfingter akan berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada
waktu istirahat sehingga makanan tidak akan kembali ke faring dengan
demikian refluks dapat dihindari.
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya
bolus makanan akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus.
Dalam keadaan istirahat, sfingter esofagus bagian bawah selalu
tertutup dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam
lambung, sehingga tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung.
Pada akhir fase esofagal, sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke
distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan
menutup kembali. [15]

II. 3 NEUROFISIOLOGI

23
Menelan adalah peristiwa sensorimotor kompleks yang melibatkan
banyak peristiwa terkoordinasi erat yang memerlukan integritas sistem saraf
tepi, sistem saraf pusat (SSP), dan otot yang dipasangkan. Studi asli dari abad
ke-20 telah memberikan wawasan tentang fakta bahwa menelan faring dapat
dimulai dari berbagai wilayah SSP, termasuk area korteks dan situs
subkortikal dalam seperti amigdala dan hipotalamus, dan dari batang otak.
Studi awal menunjukkan bahwa jalur sentral yang mengendalikan menelan
dapat terus menimbulkan respons bahkan jika umpan balik perifer dari saraf
perifer tertentu terganggu oleh denervasi. Pekerjaan Robert Doty, dan rekan,
menunjukkan bahwa jalur menelan pusat dimulai oleh pola input saraf tepi
yang dipilih. Juga terlihat bahwa urutan motorik akan terjadi meskipun ada
perubahan umpan balik sensorik atau bahkan menghilangkan kontraksi otot.
Doty mengusulkan bahwa jalur menelan adalah generator pola sentral.
Generator pola pusat didefinisikan sebagai sekelompok interneuron di dalam
SSP yang dapat mengontrol respons motor yang kompleks tanpa umpan balik
eksternal. Setelah dipicu, neuron motorik akan aktif dalam urutan tertentu dan
berlanjut hingga selesai.[17]
Studi menunjukkan bahwa pusat kendali ini adalah area formasi
retikuler di dalam batang otak. Ini terdiri dari inti ambigu (batang otak
ventral) dan inti dari traktus solitarius (batang otak dorsal). Hal ini juga
didukung bahwa jalur menelan memiliki representasi bilateral di wilayah
batang otak. Bagian dorsal, ketika diaktifkan, memulai proses menelan
dengan urutan sinyal waktunya yang kemudian secara sinaptis menggerakkan
interneuron di daerah ventral, yang mengaktifkan kumpulan neuron motorik
berbeda yang aktif baik dalam menelan faring dan esofagus. [17]
Impuls sensorik dari faring berfungsi untuk mengatur frekuensi dan
intensitas kontraksi otot-otot faring dan mengarahkan refleks pelindung dari
sfingter laring. Demikian pula, impuls sensorik dari rongga mulut memberi
SSPinformasi mengenai sentuhan, tekanan, tekstur, bentuk, suhu, bahan

24
kimia, dan rasa, yang memungkinkan penyesuaian otomatis dan gerakan
sukarela untuk membantu mempersiapkan bolus sebelum menelan. [17]
Saraf kranial multipel (SSP) terlibat dalam proses menelan, termasuk
CN V, VII, IX, X, dan XII. Kerusakan pada SSP ini dapat berdampak
signifikan pada menelan. Saraf trigeminal (CN V) membantu menyediakan
inervasi sensorik dan motorik ke otot pengunyahan. Divisi mandibula penting
untuk sensasi pada dua pertiga anterior lidah, langit-langit lunak, pipi, dasar
mulut, gigi dan gusi bawah, sendi temporomandibular, dan kulit rahang dan
bibir bawah. Pembelahan rahang atas melalui cabang pterigopalatina
memberikan sensasi ke selaput lendir nasofaring, langit-langit lunak, langit-
langit keras, dan gigi dan gusi atas. Divisi ketiga dari saraf trigeminal
memasok persarafan sensorik ke lidah (saraf lingual), alveolus inferior,
mukosa bukal, dan bibir bawah (saraf alveolar inferior). Ini juga memasok
persarafan motorik ke otot pengunyahan. [17]
Nervus fasialis (CN VII) memberikan sensasi rasa pada dua pertiga
anterior lidah melalui chorda tympani. Serat aferen berakhir di nukleus traktus
solitarius (NTS). Serat ini bergabung dengan serat aferen dari sepertiga
posterior lidah (CN IX) dan epiglotis (CN X). Mereka naik di inti
posteromedial ventral (VPM) talamus melewati kapsul internal untuk berakhir
di gyrus postcentral.
Nervus glossopharyngeal (CN IX) menyediakan persarafan sensorik
ke orofaring dan dasar lidah dan mendukung serabut pengecap di sepertiga
posterior lidah. Ini juga terlibat dalam persarafan motorik otot
stylopharyngeus. Serat aferen dikirim ke NTS, dan kemudian sebagian
dikirim ke formasi retikuler.
CN X, atau Nervus vagus, menyediakan persarafan motorik dan
sensorik ke langit-langit, faring, esofagus, lambung, dan saluran pernapasan.
Ini mengirimkan informasi tentang rasa dan sensasi umum. Saraf laring
superior, cabang dari saraf vagus, memiliki dua divisi: Divisi eksternal
menginervasi krikotiroid, yang menarik sisi krikoid posterior dari lamina

25
tiroid, menegangkan pita suara dan memperpanjang dimensi glotis anterior ke
posterior dan dengan demikian mengubah nada vokal. Cabang internal
memberikan sentuhan mukosa dan masukan sensorik proprioseptif dari laring
supraglottic, sendi krikoaritenoid, aspek posterior laring, dan mukosa faring di
sinus piriform. [17]
Nervus laringeal recurrent, cabang lain dari vagus, menginervasi
semua otot laring kecuali krikotiroid dan bertanggung jawab untuk menutup
glotis selama menelan. [17]
Saraf hipoglosus (CN XII) terlibat dalam gerakan lidah sukarela. Ini
adalah saraf ke semua otot intrinsik dan ekstrinsik lidah. Hal ini juga mungkin
terlibat dalam transmisi informasi proprioseptif dari spindel otot. Serat dari
inti sensorik CN V dan NTS memasuki inti hipoglosus dan mengaktifkan
tindakan refleksif seperti menghisap, mengunyah, dan menelan. Otot
geniohyoid dan tirohyoid juga dipersarafi oleh CN XII. [17]

GAMBAR. 13 Sifat multidimensi kompleks dari neurofisiologi menelan. Input dari


perifer dan pusat otak yang lebih tinggi bertemu dengan interneuron di pusat
menelan batang otak. Generator pola pusat kemudian mengatur eksitasi sekuensial
neuron motorik yang mengendalikan otot-otot menelan melalui nukleus bulbar [18]

26
II. 4 DEFINISI DISFAGIA
Keluhan kesulitan menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan
atau penyakit di orofaring dan esophagus. Keluhan ini timbul bila terdapat gangguan
gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke
lambung. Disfagia merupakan gejala dari berbagai penyakit yang berbeda. Disfagia
berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang artinya sulit dan phagein yang artinya
memakan. Disfagia memiliki banyak definisi tetapi yang sering digunakan adalah
kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut ke dalam lambung . Disfagia
dapat dianggap sebagai sindrom geriatri dan seringkali merupakan konsekuensi dari
stroke. Masalah ini diketahui terjadi pada dua pertiga dari pasien stroke dan
berdampak atas pneumonia aspirasi, dehidrasi dan malnutrisi. Serta memiliki peranan
yang besar terhadap hasil klinis, mortalitas. Kejadian ini akan menurunkan
kepercayaan diri dan kualitas hidup pasien . [1,19]
Keluhan disfagia pada fase orofaringeal berupa keluhan adanya regurgitasi ke
hidung, batuk ketika berusaha menelan atau sulit untuk mulai menelan. Sedangkan
disfagia fase esofageal, pasien mampu menelan tetapi terasa bahwa yang ditelan
terasa tetap mengganjal atau tidak mau turun serta sering disertai nyeri retrosternal.
Disfagia yang pada awalnya terutama terjadi pada waktu menelan makanan padat dan
secara progresif kemudian terjadi pula pada makanan cair, diperkirakan bahwa
penyebabnya adalah kelainan mekanik atau struktural. Sedangkan bila gabungan
makanan padat dan cair diperkirakan penyebabnya adalah gangguan neuro muskular.
Bila keluhan bersifat progresif bertambah berat,sangat dicurigai adanya proses
keganasan. [20]
Disfagia dapat mengacu pada kesulitan menelan atau yang sering disebut
dengan oropharyngeal dysphagia dan kesulitan transfer makanan dan minuman dari
esofagus ke lambung atau yang biasa disebut dengan esophageal dysphagia .
Sebagian besar pasien dengan keluhan disfagia mengeluhkan kesulitan menelan
terutama pada fase orofaring. Disfagia orofaring pada dewasa dapat disebabkan
karena kelainan neurologis (pasca-stroke, kelainan saraf tepi daerah laring,faring,
lidah dan rahang, miastenia gravis, serta miopati), kelainan anatomi kepala dan leher

27
(kanker, perubahan pascaoperasi, kemoterapi atau terapi radiasi,
pascatrauma,iatrogenik, kelainan kongenital) dan penyebab lainnya (infeksi, refluks
laringofaring, kelainan sistemik, efek samping obat, dan psikogenik. Umumnya
disfagia orofaring bersifat neurogenik. Onset yang mendadak seringkali dihubungkan
dengan adannya tanda dan gejala neurologis seperti stroke, disfungsi otot bulbar atau
kelainan neurologis lainnya. Onset yang perlahan progresif dihubungkan dengan
adanya tanda dan gejala primer atau akibat metastasis keganasan ke saraf intrakranial.
Beberapa inti motorik dan sensorik saraf kranialis berpengaruh dalam proses
menelan. Inti sensorik antara lain trigeminus (n.V), fasialis (n.VII), glossofaringeus
(n.IX), dan vagus (n.X). Sedangkan inti motorik yang menginervasi otot penelanan
antara lain trigeminus (n.V), fasialis (n.VII), ambigous (nn.IX, X, XI) dan hipoglosus
(XII). [7]

II. 5 EPIDEMIOLOGI
Estimasi prevalensi disfagia dengan usia ≥65 tahun berkisar antara 14 hingga
33 persen . Di rumah sakit, prevalensi disfagia bisa mencapai 40 persen. Sekitar 70
persen dari menunjukkan tanda-tanda disfagia (misalnya, asupan oral yang buruk),
yang sering dikaitkan dengan disfagia orofaring. Sementara sekitar sepertiga dari
pasien dengan penyakit Parkinson mengeluh disfagia, hampir 80 persen dari pasien
ini memiliki bukti obyektif tentang kelainan menelan. [21].
Diperkirakan setiap tahun di Kanada ada 21.000 pasien lansia mengidap
stroke dengan disfagia sedangkan di Amerika sebanyak 200.000 pasien. Prevalensi
disfagia paling sering ditemukan pada dewasa usia diatas 50 tahun yaitu sekitar 7-
22% populasi. [3] Di Indonesia stroke menempati peringkat ke-97 dunia untuk jumlah
pasien stroke terbanyak dengan jumlah angka kematian mencapai 138.268 orang atau
9,70% dari total kematian yang terjadi pada tahun 2011, dan pada tahun 2013 telah
terjadi peningkatan prevalensi stroke di Indonesia menjadi 12,1 per 1.000 penduduk.

28
Dan khususnya Sulawesi Selatan menempati posisi tertingio dengan prevalensi 17,9
per 1.000 penduduk. [4,5]
Disfagia neurologis yang merupakan penyebab utamanya adalah stroke.
Sekitar 51-73% pasien dengan stroke mengalami disfagia, yang merupakan faktor
resiko bermakna berkembangnya pneumonia. Oleh karenanya, deteksi dini dan
pengobatan disfagia pada pasien yang telah mengalami stroke adalah sangat penting.
[22]
Disfagia terjadi pada 55% pasien dengan stroke diantaranya 11% hingga 13%
mengalami disfagia menetap setelah 6 bulan dan 33% pasien dengan demensia .Untuk
pasien dengan disfagia pasca stroke, pneumonia aspirasi terjadi pada 43% -50%
pasien selama tahun pertama, dengan mortalitas hingga 45%. Beberapa pasien dengan
disfagia yang berat membutuhkan selang makanan perkutan untuk makanan non oral
untuk mempertahankan nutrisi yang cukup dan asupan air. [6]

II. 6 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Masalah dapat terjadi dengan salah satu dari tiga tahap menelan: oral,
faring atau esofagus. Penyebab oral dan faring dapat dikelompokkan dalam
disfagia transfer dan masalah esofagus dapat disebut sebagai disfagia

29
transportasi. Bagian makanan mungkin terhalang oleh penghalang fisik,
seperti tumor, atau gangguan koordinasi otot, seperti defisit neurologis. [23]

Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi menjadi : [24]

1. Disfagia mekanik, timbul bila terjadi penyempitan lumen esofagus.


Penyebab : Kelainan struktur dapat terjadi baik di dalam maupun di
sekitar mulut, faring, dan kerongkongan, dapat mengganggu proses
menelan secara mekanis, meskipun sistem saraf dan muskuloskeletal
berfungsi dengan baik (Tabel 2). Sumbatan lumen esofagus oleh massa
tumor dan benda asing, peradangan mukosa esofagus, striktur lumen
esofagus, penekanan esofagus dari luar (pembesaran kelenjar timus,
kelenjar tiroid, kelenjar getah bening dimediastinum, pembesaran jantung
dan elongasi aorta), dan letak a.subklavia
yang abnormal (disfagia Lusoria). [25]
GAMBAR. 12. Investigasi Disfagia [23]
Disfagia mekanik
Oral Amyloidosis, abnormalitas kongenital ,
intraoral tumor, injury pada
bibir(terbakar,trauma), makroglosia,
scleroderma, disfungsi sendi
temporomandibular, xerostamia, sindrom
sjorgen
Faringeal Osteofit anterior servical, infeksi
(difteri), thyromegali,
abses retrofaringeal,
tumor
faringeal, diverticulum zenker
Esophageal Kelainan pada arteri subclavikula kanan,
akibat injury , karsinoma

30
esofageal,diverticulum esophageal, infeksi
esophageal (candida albicans,
simpleks virus,

Tabel 1 : Disfagia mekanik [25]


[23]

2. Disfagia Neuromuskular, timbul bila terjadi kelainan neuromuskular yang


berperan dalam proses menelan ( N.V, N.VII, N.IX, N.X, dan N.XII ).
Penyebab : Berbagai proses penyakit neuromuskuler dari berbagai etiologi
dapat melibatkan otot orofaring dan esofagus dan menghasilkan disfagia
sebagai bagian dari gambaran klinis neuromuskuler yang lebih luas (Tabel 2).
Akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring, dan skleroderma
esofagus. [25]
Disfagia neuromuscular
Orofaringeal Inflammatory myopathies:
 Dermatomyositis
 Inclusion-body myositis
 Polymyositis
Mitochondrial myopathies:
 Kearns–Sayre syndrome
 MNGIE Muscular
dystrophies:
 Duchenne
 Facio-scapulohumeral
 Limb girdle
 Myotonic
 Oculopharyngeal
Neuromuscular junction disorders:
 Botulism
 Lambert–Eaton syndrome
 Myasthenia gravis
 Tetanus
Scleroderma

31
Stiff man syndrome
Esophageal Amyloidosis Inflammatory
myopathies:
 Dermatomyositis
 Polymyositis Scleroderma
MNGIE , Mitochondrial neurogastro-intestinal encephalomyopathy.

3. Disfagia oleh gangguan emosi atau tekanan jiwa yang berat dikenal sebagai
globus histerikus.

Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari


fase menelan yang dipengaruhinya. [14,19]
Keberhasilan mekanisme menelan tergantung dari beberapa faktor, yaitu :

1. Ukuran bolus makanan


2. Diameter lumen esofagus yang dilalui (normalnya 4 cm bila kurang dari 2,5cm
maka akan terjadi disfagia)
3. Kontraksi peristaltik esofagus
4. Fungsi sfingter esofagus atas dan bawah
5. Kerja otot – otot rongga mulut dan lidah

A. Fase Oral

Gangguan pada fase Oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan


fase pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian
lidah. Pasien mungkin
Tabel 2memiliki kesulitan
: Disfagia dalam mengunyah
Neuromuskular [25] makanan padat
[23]
dan permulaan menelan. Ketika meminum cairan, psien mungki kesulitan

32
dalam menampung cairan dalam rongga mulut sebelum menelan. Sebagai
akibatnya, cairan tumpah terlalu cepat kadalam faring yang belum siap,
seringkali menyebabkan aspirasi. [14,19]
Adapun mekanisme yang ditimbulkan akibat dari beberapa penyakit
yang menganggu fase oral sebegai berikut : [19,26]
- Gigi yang buruk dapat menyebabkan pengunyahan bolus yang tidak
adekuat [27]
- Penurunan aliran saliva dapat terjadi pada penyakit seperti sindrom
Sjögren, setelah radiasi ke kepala dan leher, atau dari obat-obatan
yang mengurangi aliran saliva (misalnya, antikolinergik,
antihistamin, dan agen antihipertensi)
- Setelah insiden serebrovaskular, pasien mungkin mengalami disfagia
karena berkurangnya kontrol lingual disamping refleks menelan yang
tidak ada / tertunda, dan otot-otot laringofaring yang melemah.
- Pasien dengan penyakit Parkinson mungkin mengeluhkan disfagia
orofaring selama perkembangan penyakit. Disfagia terjadi akibat
gerakan lidah bolak-balik nonpropulsive yang mencegah bolus
meninggalkan rongga mulut. [28]
- Gangguan pada mukosa orofaring akibat mukositis, ulkus aphthous,
lesi herpes, atau trauma dapat menghambat proses normal bolus.

B. Fase Faringeal

Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah, pasien mungkin


tidak akan mampu menelan makanan dan minuman yang cukup untuk
mempertahankan hidup. Pada orang tanpa dysphasia, sejumlah kecil
makanan biasanya tertahan pada valleculae atau sinus pyriform setelah
menelan. Dalam kasus kelemahan atau kurangnya koordinasi dari otot-otot
faringeal, atau pembukaan yang buruk dari sphincter esofageal atas, pasien
mungkin menahan sejumlah besar makanan pada faring dan mengalami
aspirasi aliran berlebih setelah menelan. [14,19]

33
Bebebrapa gangguan fungsional dan struktural dapat menimbulkan
tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal sebagai berikut:[19,26]
- Gangguan neurologis yang melibatkan sistem saraf pusat (stroke dan
penyakit saraf motorik seperti sklerosis lateral amiotrofik), atau sistem
saraf tepi (misalnya, myastheniagravis) dapat menyebabkan disfagia
orofaring dengan mengganggu koordinasi neuromuskuler yang diperlukan
selama fase faring menelan. Distrofi otot seperti distrofi
otookulofaringeal dapat menyebabkan disfagia orofaring selain ptosis
palpebra karena kelemahan otot yang progresif. Pada pasien dengan
penyakit Parkinson, keterlambatan respon menelan dan kontraksi faring
yang lemah mengakibatkan pengumpulan sisa makanan di sinus
vallecular dan pyriform setelah menelan. [29]
- Aktivitas UES (Upper Esopagheal Spinchter) yang buruk menyebabkan
relaksasi tidak sempurna selama menelan menimbulkan disfagia
 Pasien dengan penyakit Parkinson biasanya memiliki relaksasi tidak
sempurna dari UES (Upper Esopagheal Spinchter). [30]
 Pasien dengan disfungsi krikofaring primer, gangguan fungsional
yang kurang, memiliki kontraksi faring yang tidak adekuat,
kurangnya koordinasi antara faring dan UES, dan / atau relaksasi
UES yang tidak sempurna / penurunan kontraksi otot.
- Obstruksi di orofaring paling sering disebabkan oleh keganasan. Lesi
jinak yang menyebabkan disfagia orofaring akibat obstruksi termasuk
cincin atau serviks. Osteofit serviks juga dapat menyebabkan disfagia
obstruktif dengan menggeser hipofaring ke anterior dan menghambat
transit bolus makanan. Demikian pula, massa di parapharyngeal dan
retropharyngeal dapat menyebabkan efek massa yang serupa

C. Fase Esophageal

Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan

34
dan minuman didalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat
disebabkan oleh obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan
pembukaan Sphincter esophageal bawah. [14,19]
Penyebab umum dari disfagia esofagus meliputi [19,26] :

- Akalasia. Hal ini terjadi ketika otot esophagus bawah (sfingter) tidak
benar-benar rileks untuk membiarkan makanan masuk ke lambung.
Otot-otot di dinding esofagus sering lemah juga. Hal ini dapat
menyebabkan regurgitasi makanan belum tercampur dengan isi perut,
kadang-kadang menyebabkan untuk membawa makanan kembali ke
dalam tenggorokan.

- Proses penuaan. Dengan usia, kerongkongan cenderung kehilangan


beberapa kekuatan otot dan koordinasi yang diperlukan untuk
mendorong makanan ke dalam perut.

- Spasme difus. Kondisi ini menghasilkan beberapa, tekanan tinggi,


kontraksi kurang terkoordinasi kerongkongan biasanya setelah menelan.
Spasme difus pada esofagus adalah gangguan langka yang
mempengaruhi otot polos di dinding esofagus bawah secara involunter.
Kontraksi sering terjadi sesekali, dan mungkin menjadi lebih parah
selama periode tahun.

- Striktur esofagus. Penyempitan kerongkongan (striktur) menyebabkan


potongan besar makanan tidak dapat lewat. Persempitan lumen ini
mungkin akibat dari pembentukan jaringan parut, sering disebabkan oleh
penyakit gastroesophageal reflux (GERD), atau dari tumor.

- Tumor. Kesulitan menelan cenderung untuk mendapatkan semakin


buruk ketika terdapat tumor esofagus.

- Benda asing. Terkadang, makanan, seperti sepotong besar daging, atau


objek lain dapat menjadi tersangkut di tenggorokan atau kerongkongan.

35
Orang dewasa dengan gigi palsu dan orang-orang yang mengalami
kesulitan mengunyah makanan mereka dengan baik mungkin lebih
cenderung memiliki gangguan pada tenggorokan atau kerongkongan.
Anak-anak mungkin akan menelan benda-benda kecil, seperti peniti,
koin atau potongan mainan, yang dapat menjadi terjebak.

- Cincin esofagus. Pada daerah ini terdapat penyempitan di esofagus


bagian bawah yang dapat menyebabkan kesulitan menelan makanan
padat.

- Gastroesophageal reflux disease (GERD). Kerusakan jaringan esofagus


dari asam lambung yang naik (refluks) ke dalam kerongkongan dapat
menyebabkan spasme atau jaringan parut dan penyempitan
kerongkongan bawah membuat sulit menelan.

- Eosinofilik esofagitis. Kondisi ini, disebabkan oleh kelebihan populasi


sel yang disebut eosinofil di kerongkongan, dapat menyebabkan
kesulitan menelan. Ini mungkin terkait dengan alergi makanan, tetapi
sering tidak ada penyebab yang ditemukan.

- Scleroderma. Penyakit ini ditandai oleh perkembangan bekas luka-


seperti jaringan, menyebabkan kekakuan dan pengerasan jaringan. Hal
ini dapat melemahkan lower esophageal sphincter, sehingga asam
lambung dapat refluks ke kerongkongan dan menyebabkan gejala dan
komplikasi mirip dengan GERD.

- Terapi radiasi. Hal ini pengobatan kanker dapat menyebabkan


peradangan dan jaringan parut pada kerongkongan, yang dapat
menyebabkan kesulitan menelan.

II. 7 DIAGNOSIS

36
II.6.1 Anamnesis

Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesa yang cermat


untuk menentukan diagnosis kelainan atau penyakit yang menyebabkan
timbulnya disfagia. Jenis makanan yang menyebabkan disfagia dapat
memberikan informasi kelainan yang terjadi. [24]
Beberapa riwayat yang berasosiasi dengan gejala dan faktor risiko
dari disfagia orofaringeal dapat membantu untuk mengetahui penyebabnya
seperti : [31]
- Disfagia orofaringeal pada pasien yang lebih tua, terutama dengan
riwayat gangguan alkoholik, merokok, , atau penurunan berat badan
yang signifikan, harus menimbulkan kekhawatiran tentang penyebab
keganasan. Nyeri alih, seperti otalgia (sakit telinga), dapat
mengindikasikan lesi hipofaring atau kanker laring, faring, dan pangkal
lidah
- Riwayat mulut atau mata kering mungkin menunjukkan produksi saliva
yang tidak adekuat. Dalam kasus seperti itu, sangat penting untuk
mendapatkan riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat mengurangi
saliva (misalnya, antikolinergik, antihistamin, agen antihipertensi),
riwayat terapi radiasi pada kepala dan leher, atau sindrom Sjögren.
- Perubahan bicara menunjukkan adanya disfungsi neuromuskuler. Suara
serak atau batuk yang lemah menunjukkan kelumpuhan pita suara.
Bicara cadel dapat menunjukkan kelemahan atau inkoordinasi otot yang
terlibat dalam artikulasi dan menelan. Disartria (artikulasi abnormal),
dan bicara nasal atau regurgitasi makanan ke dalam hidung mungkin
merupakan kelemahan dari palatum molle atau konstriktor faring.
Kombinasi suara serak, disfonia (kesulitan atau rasa sakit saat
berbicara), dan disfagia yang menyertai ucapan nasal dikaitkan dengan
distrofi otot.
- Regurgitasi makanan, halitosis, sensasi kenyang di leher, atau riwayat

37
pneumonia yang menyertai disfagia mungkin disebabkan oleh
divertikulum Zenker, yang mungkin terkait dengan sfingter esofagus
bagian atas yang tidak adekuat atau hipertensi [14]. Selain itu, pasien
dengan divertikulum Zenker kadang-kadang melaporkan batuk beberapa
menit sampai beberapa jam setelah menelan, yang terjadi selama
pengosongan divertikulum. Pasien dengan disfungsi intrinsik sfingter
esofagus bagian atas (UES), yang terdiri dari otot cricopharyngeus,
konstriktor faring inferior, dan kerongkongan serviks, mungkin juga
datang dengan seringnya impaksi makanan atau aspirasi.
- Nyeri saat menelan (odinofagia) dapat terjadi akibat peradangan,
infeksi, keganasan, atau neoplasma.
- Disfagia yang berkembang saat terlambat makan mungkin menunjukkan
miastenia gravis.
- Disfagia orofaring sering terjadi setelah intubasi, terutama pada pasien
dengan riwayat intubasi berkepanjangan.[32]

II.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan daerah leher dilakukan untuk melihat dan meraba


adanya massa tumor atau pembesaran kelenjar limfa yang dapat menekan
esofagus. Daerah rongga mulut perlu diteliti, apakah ada tanda-tanda
peradangan orofaring dan tonsil selain adanya massa tumor yang dapat
mengganggu proses menelan. Selain itu diteliti adanya kelumpuhan otot-
otot lidah dan arkus faring yang disebabkan oleh gangguan di pusat
menelan maupun pada saraf otak N.V, N.VII, N.IX, N.X dan N.XII.
Pembesaram jantung sebelah kiri, elongasi aorta, tumor bronkus kiri dan
pembesaran kelenjar limfa mediastinum, dapat menyebabkan keluhan
disfagia. [24]

II.6.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Alat Skrining

38
• Burke Dysphagia Screening Test
• Standardized Swallowing Assessment
• Timed tests of Hinds and Wiles
• Bedside Swallow Assessment
• Toronto Bed side Swallowing Screening Test (TOS-BSST)
• Clinical Examination
• Modified Mann Assessment of Swallowing Ability
• Eating Assesment Tool (EAT-10)
• Swallowing Functional Scoring System (SFSS) dan Functional Oral
Intake Scale (FOIS)
Tes skrining dianggap positif jika ada salah satu dari yang berikut ini:

• Disfonia
• Disartria
• Muntah yang tidak normal
• Batuk karena keinginan yang tidak normal
• Batuk setelah tertelan
• Perubahan suara setelah menelan

Meskipun protokol skrining di samping tempat tidur biasanya


digunakan, tinjauan sistemik dari tujuh basis data termasuk Medline,
Embase, dan Scopus menyimpulkan bahwa tidak ada protokol skrining di
samping tempat tidur yang memberikan nilai prediksi yang memadai
untuk kehadiran aspirasi. [32]

2. Radiologi
Pemeriksaan penunjang, foto polos esofagus dan yang memakai zat
kontras, dapat membantu menegakkan diagnosis kelainan esofagus.
Pemeriksaan ini tidak invasif. Dengan pemeriksaan fluoroskopi, dapat
dilihat kelenturan dinding esofagus, adanya gangguan peristaltik,
penekanan lumen esofagus dari luar, isi lumen esofagus dan kadang-
kadang kelainan mukosa esofagus. Pemeriksaan kontras ganda dapat

39
memperlihatkan karsinoma stadium dini. Akhir- akhir ini pemeriksaan
radiologi esofagus lebih maju lagi. Untuk memperlihatkan adanya
gangguan motilitas esofagus dibuat cine-film atau video tapenya.
Tomogram dan CT scan dapat mengevaluasi bentuk esofagus dan jaringan
disekitarnya. MRI (magnetic resonance imaging) dapat membantu melihat
kelainan di otak yang menyebabkan disfagia motorik. [31]

3. Esofagoskopi

Tujuan tindakan esofagoskopi adalah untuk melihat langsung isi


lumen esofagus dan keadaan mukosanya. Diperlukan alat esofagoskop
yang kaku (rigid esophagoscope) atau yang lentur (flexible fiberoptic
esophagoscope). Karena pemeriksaan ini berisfat invasif, maka perlu
persiapan yang baik. Dapat dilakukan dengan analgesia (lokal atau
anastesia umum). Untuk menghindari komplikasi yang mungkin timbul
perlu diperhatikan indikasi dan kontraindikasi tindakan. Persiapan pasien,
operator peralatan dan ruang pemeriksaan perlu dilakukan. Risiko dari
tindakan, seperti perdarahan dan perforasi pasca biopsi harus
dipertimbangkan. [31,33]

4. Pemeriksaan Manometrik

Pemeriksaan manometrik bertujuan untuk menilai fungsi motorik


esofagus. Dengan mengukur tekanan dalam lumen esofagus dan tekanan
sfingter esofagus dapat dinilai gerakan peristaltik secara kualitatif dan
kuantitatif.
Manometri memberikan ukuran tekanan dan dapat memberikan
informasi tentang amplitudo dan waktu kejadian tekanan dalam rongga
faring dan sfingter esofagus bagian atas (UES) untuk evaluasi disfagia
diagnostik. Meskipun teknik ini tidak memberikan visualisasi langsung
dari peristiwa menelan. Kelainan UES dapat dicurigai jika didapatkan
gelombang faring tidak terjadi dalam periode relaksasi UES. Disfungsi

40
UES dapat secara luas dibagi menjadi perubahan dalam nada istirahat atau
relaksasinya. Masalah subjektivitas dan keandalan selanjutnya
diminimalkan melalui penyediaan ukuran kuantitatif biomekanik menelan.
Lebih lanjut, teknik ini dapat memberikan klarifikasi dan kuantifikasi fitur
diagnostik yang diidentifikasi melalui teknik lain. Ini telah digunakan
selama lebih dari 20 tahun untuk mengevaluasi berbagai parameter
fisiologi menelan pada berbagai populasi individu dengan disfagia,
termasuk stroke. Manometri juga dapat digunakan sebagai modalitas
biofeedback selama rehabilitasi [31]

5. Videofluoroskopi Swallow Assessment (VFSS)

Pemeriksaan ini dikenal sebagai Modified Barium Swallow (MBS)


adalah pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mengevaluasi disfagia
dan aspirasi. Pasien dengan riwayat penyakit neuromuskular, VFSS adalah
pemeriksaan yang direkomendasikan.
Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan fisiologi menelan
pada rongga mulut, faring, laring dan esofagus bagian atas. Pemeriksaan
dilakukan dengan menggunakan bolus kecil dengan berbagai konsistensi
yang dicampur dengan barium. VFSS dapat untuk panduan dalam terapi
menelan dengan memberikan bermacam bentuk makanan pada berbagai
posisi kepala dan melakukan beberapa manuver untuk mencegah aspirasi
untuk memperoleh kondisi optimal dalam proses menelan. [34,37]

41
GAMBAR. 12. Aspirasi terlihat pada Modifikasi Barium Swallow
(MBS). Lapisan tipis barium (panah) di dinding anterior trakea [33]
6. FEES (Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing)

Pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan


nasofaringoskop serat optik lentur. Pasien diberikan berbagai jenis
konsistensi makanan dari jenis makanan cair sampai padat dan dinilai
kemampuan pasien dalam proses menelan. [35,36]
Tahap pemeriksaan dibagi dalam 3 tahap:
1) Pemeriksaan sebelum pasien menelan (preswallowing assessment)
untuk menilai fungsi muskular dari oromotor dan mengetahui kelainan
fase oral.
2) Pemeriksaan langsung dengan memberikan berbagai konsistensi
makanan, dinilai kemampuan pasien dan diketahui konsistensi apa
yang paling aman untuk pasien,
3) Pemeriksaan terapi dengan mengapplikasikan berbagai manuver dan
posisi kepala untuk menilai apakah terdapat peningkatan kemampuan
menelan.

Pemeriksaan FEES dapat menilai 5 proses fisiologi dasar, yaitu:

- Sensitivitas pada daerah orofaring dan hipofaring yang sangat


berperan terjadinya aspirasi.
- Spillage (preswallowing leakage) : masuknya makanan ke dalam
hipofaring sebelum refleks menelan dimulai sehingga mudah
terjadi aspirasi.
- Residu : menumpuknya sisa makanan pada daerah valekula, sinus
piriformis kanan dan kiri, poskrikoid dan dinding faring posterior

42
sehingga makanan tersebut akan mudah masuk ke jalan napas
pada saat proses menelan terjadi ataupun sesudah proses menelan.
- Penetrasi : masuknya makanan ke vestibulum laring tetapi belum
melewati pita suara. Sehingga menyebabkan mudah masuknya
makanan ke jalan napas saat inhalasi.
- Aspirasi : masuknya makanan ke jalan napas melewati pita suara
yang sangat berperan dalam terjadi komplikasi paru.

43
GAMBAR. 12. Residu sinus piriform. Sekresi di orofaring sangat
menunjukkan disfungsi menelan. Pengumpulan air liur terlihat
sebelum menyusui (panel kiri). Residu sinus piriform terkumpul
selama evaluasi menelan secara endoskopi fleksibel [33]

II. 8 PENATALAKSANAAN

Terdapat pengobatan yang berbeda untuk berbagai jenis dysphagia.


Pertama dokter dan speech-language pathologists yang menguji dan
menangani gangguan menelan menggunakan berbagai pengujian yang
memungkinkan untuk melihat bergagai fungsi menelan. salah satu
pengujian disebut dengan, laryngoscopy serat optik, yang memungkinkan
dokter untuk melihat kedalam tenggorokan. Pemeriksaan lain, termasuk
video fluoroscopy, yang mengambil video rekaman pasien dalam menelan
dan ultrasound, yang menghasikan gambaran organ dalam tubuh, dapat
secara bebas nyeri memperlihakab tahapan- tahapan dalam menelan.

44
Setelah penyebab disfagia ditemukan, pembedahan atau obat-
obatan dapat diberikan. Jika dengan mengobati penyebab dysphagia tidak
membantu, dokter mungkin akan mengirim pasien kepada ahli patologi
hologist yang terlatih dalam mengatasi dan mengobati masalah gangguan
menelan.
Pengobatan dapat melibatkan latihan otot ntuk memperkuat otot-
otot facial atau untuk meninkatkan koordinasi. Untuk lainnya, pengobatan
dapat melibatkan pelatihan menelan dengan cara khusus. Sebagai contoh,
beberapa orang harus makan denan posisi kepala menengok ke salah satu
sisi atau melihat lurus ke depan. Meniapkan makanan sedemikian rupa
atau menghindari makanan tertentu dapat menolong orang lain. Sebagai
contoh, mereka yang tidak dapat menelan minuman mungkin
memerlukan pengental khusus untukminumannya. Orang lain mungkin
garus menghindari makanan atau minuman yang panan ataupun dingin.
Untuk beberapa orang untuk mengkonsumsi makanan dan
minuman lewat mulut sudah tidak mungkin lagi. Mereka harus
menggunakan metode lain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Biasanya
ini memerlukan suatu sistem pemberian makanan, seperti suatu selang
makanan (nasogastric tube/NGT), yang memotong bagian menelan yang
tidak mampu bekerja normal.
Berbagai pengobatan telah diajukan unutk pengobatan disfagia
orofaringeal pada dewasa. Pendekatan langsung dan tidak langsung
disfagia telah digambarkan. Pendekatan langsung biasnya melibatkan
makanan, pendekatan tidak langsung biasanya tanpa bolus makanan. [38]

A. Swallowing Maneuver
Manuver menelan dirancang untuk menempatkan bagian tertentu dari
proses menelan normal dibawah kontrol volunter yang meliputi: [7,26]

- Effortful swallow: bertujuan mem- perbaiki gerakan dasar lidah ke arah


posterior selama fase faringeal. Penderita diminta untuk menelan dengan

45
menggerakan lidah ke arah posterior secara kuat untuk membantu
perjalanan bolus melewati rongga faring.

- Supraglotic swallow: bertujuan menutup pita suara sebelum dan selama


proses menelan sehingga melindungi trakea dari aspirasi. Makanan atau
minuman di tempatkan dalam mulut, penderita diminta untuk menarik
napas dalam kemudian ditahan, lalu penderita menelan 1-2 kali sambil
tetap menahan napas, dan batuk dengan segera setelah menelan.

- Super-supraglotic swallow: dirancang untuk menutup pintu masuk jalan


napas secara volunter dengan mengangkat kartilago aritenoid ke anterior,
ke bagian dasar dari epiglotis sebelum dan selama proses menelan serta
menutup erat pita suara palsu.

- Mendelshon maneuever: penderita diminta untuk merasakan adanya


sesuatu bergerak pada bagian dalam lehernya saat menelan, kemudian
melakukan proses menelan kembali (menggunakan dry swallow atau
dengan 1 ml air) tetapi diminta untuk menahan gerakan tadi selama 3-5
detik, kemudian menelan dan rileks.

B Oromotor Exercise
Bertujuan meningkatkan kemampuan otot-otot menelan tanpa
mengubah fisiologi menelan secara langsung. Teknik ini termasuk mengubah
posisi kepala, posisi badan, mengubah metode pemberian makan dan
memodifikasi konsistensi makanan atau cairan yang akan dikonsumsi.
Metode tambahan lain adalah thermal tactile stimulation dan sensory
enhancement.

C Modifikasi Diet
Merupakan komponen kunci dalam program pengobatan umum
disfagia. Suatu diet makanan yang berupa bubur direkomendasikan pada
pasien dengan kesulitan pada fase oral, atau bagi mereka yang memiliki
retensi faringeal untuk mengunyah makanan padat. Jika fungsi menelan

46
sudah membaik, diet dapat diubah menjadi makanan lunak atau semi-
padat sampai konsistensi normal. [39]
D Suplai Nutrisi

Efek disfagia pada status gizi pasien adalah buruk. Disfagia dapat
menyebabkan malnutrisi. Banyak produk komersial yang tersedia untuk
memberikan bantuan nutrisi. Bahan-bahan pengental, minuman yang
diperkuat, bubur instan yang diperkuat, suplemen cair oral. Jika asupan
nutrisi oral tidak adekuat, pikirkan pemberian parenteral. [40]

E Hidrasi
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi. Pemeriksaan berkala
keadaan hidrasi pasien sangat penting dan cairan intravena diberikan jika
terdapat dehidrasi.[41]

F Pembedahan

- Pembedahan gastrostomy

Pemasangan secara operasi suatu selang gastrostomy memerlukan


laparotomy dengan anestesi umum ataupun lokal.
- Cricofaringeal myotomy

Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah prosedur yang dilakukan


unutk mengurangi tekanan pada sphicter faringoesophageal (PES)
dengan mengincisi komponen otot utama dari PES. Injeksi botulinum
toxin kedalam PES telah diperkenalkan sebagai ganti dari CPM. [25]

47
KERANGKA TEORI

II. 1 KOMPLIKAS
II. 2 DISFAGIA
I:
NEUROLOGI
 MALNUTRISI
 DEHIDRASI
 ASPIRASI KELEMAHAN OTOT-
 INFEKSI PARU
OTOT MENELAN

SKRINING
EAT-10
DISFAGIA

FEES

LATIHAN MENELAN

 SWALLOWING
MANEUVER

 OROMOTOR EXERCISE

STATUS FUNGSI
FEES
MENELAN MEMBAIK
KERANGKA KONSEP

48
II. 3 KELOMPOK PERLAKUAN
(PASIEN LATIHAN
MENELAN DENGAN
METODE SWALLOWING
MANEUVER DAN
PASIEN STROKE
PERBAIKAN KUALITAS
DENGAN DISFAGIA
HIDUP PASIEN
NEUROLOGIS

KELOMPOK KONTROL

FAKTOR PENGACAU
 USIA
 JENIS
Variabel terikat : Perbaikan kualitas KELAMIN
hidup
 JENIS STROKE
Variabel bebas : Swallowing maneuver
 FREKUENSI STROKE
Oromotor exercise

BAB III
METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang bersifat


analitik observasional.

Tempat dan Waktu Penelitian

49
`Penelitian dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo dan Poliklinik Neurologi RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo periode waktu April 2021 sampai sampel
terpenuhi.

Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah penderita disfagia neurologis
akibat stroke yang datang berobat di Poliklinik THT-KL RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo dan pasien rawat inap hingga sampel
terpenuhi.

Sampel dan Cara Pengambilan Sampel


Sampel penelitian ini adalah penderita disfagia neurologis
akibat stroke. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive
sampling, yaitu semua subjek yang datang secara bersamaan dan
berurutan yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam
penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi. Teknik
pengambilan sampel dilakukan melalui skrining awal disfagia
neurologis di Poliklinik Neurologi dan Poliklinik THT-KL RSUP
Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Perkiraan Besar Sampel

Penentuan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditetapkan

berdasarkan penentuan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini

berdasarkan teknik sampling penelitian sebagai berikut :

50
s
n = 2 ( Zα+ Zβ )2 ⌊ ⌋2
m 1−m 2

Dimana :

S : Perkiraan standar deviasi variabel

m1-m2 : Perkiraan perbedaan mean

Zα : Nilai standar deviasi Alpha (1,96)

Zβ : Nilai standar deviasi Beta

Catatan :

n = Besar sampel untuk satu kelompok

Besar sampel penelitian direncanakan berdasarkan nilai standard deviasi

normal (1,96) dan tingkat ketelitian (0,05) maka diperoleh jumlah sebanyak 20

sampel penelitian.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi

a. Pasien dengan disfagia neurologis akibat stroke berdasarkan skrining

dan pemeriksaan penunjang dari departemen THT-KL dan departemen

Neurologi FK UNHAS, tidak terbatas pada pasien rawat jalan maupun

rawat inap.

51
b. Usia 18 tahun keatas

c. Bersedia menjalani terapi menelan yang ditentukan pada tiap masing-

masing kelompok perlakuan

d. Bersedia ikut dalam penelitian dan memberikan persetujuan secara

tertulis (Informed Consent) dan menandatangani surat persetujuan

tindakan medis

e. Tidak dibatasi ras, suku, dan jenis kelamin

Kriteria Eksklusi

a. Pasien Immunodefisiensi Sindrom yang mengakibatkan gangguan

fungsi menelan

b. Pasien dengan diagnosa Karsinoma kepala-leher yang mengakibatkan

gangguan fungsi menelan

c. Kasus trauma maksilofasial dan trauma esofagus

d. Pasien stroke dengan perburukan GCS

e. Kasus tumor pada otak yang mengakibatkan penekanan/kerusakan pada

sistem menelan

f. Tidak bersedia menjadi partisipan penelitian

Izin Penelitian dan Ethical Clearance

Dalam pelaksanaan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan atas izin dan

sepengetahuan pasien yang dijadikan partisipan penelitian melalui lembar

52
informed consent dan dinyatakan memenuhi persyaratan etik untuk dilaksanakan

dari Komisi Etik Penelitian Rumah Sakit Umum Pusat

Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Cara Kerja

Alokasi Sampel

Penelitian dilakukan pada semua orang dewasa yang memenuhi kriteria

inklusi dan bersedia menjalani pemeriksaan fisik pada saat baru masuk dan selama

dirawat di rumah sakit.

Cara Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan beberapa tahap sebagai berikut:

a. Melakukan pencatatan identitas pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan

memberikan penjelasan lengkap mengenai tujuan dan manfaat penelitian.

b. Pasien/wali mengisi dan menandatangani informed consent sebagai tanda

persetujuan.

c. Dilakukan skrining pada pasien disfagia akibat stroke dengan metode Eating

Assesmet Tool (EAT-10) kemudian direncakan untuk FEES ((Flexible

Endoscopy Evaluation of Swallowing)

d. Semua pasien yang telah dilakukan FEES kemudian dilakukan latihan

menelan berupa Swallowing Maneuver dan Oromotor Exercise

e. Kemudian setelah dilakukan latihan selama 12 kali dilakukan penilaian

kembali dengan metode Eating Assesmet Tool (EAT-10)

53
Alat dan Bahan Penelitian

a. Alat

1) Alat tulis atau media elektronik untuk mencatat hasil pemeriksaan

2) Alat diagnostik pemeriksaan THT-KL

3) Instrumen skrining Eating Assesmet Tool (EAT-10)

4) Fiberoptic laryngoscope

b. Bahan

Bahan persiapan FEES (Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing)

Berupa air, susu, bubur saring, bubur tepung, bubur biasa, pewarna makanan

(hijau), biskuit.

Definisi Operasional

a. Disfagia adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut ke

dalam lambung. Disfagia dibagi atas 2 bagian besar yaitu disfagia tipe

mekanik dan disfagia tipe neuromuskular

b. FEES (Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing) adalah pemeriksaan

evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan nasofaringoskop serat optik

lentur. Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi makanan dari jenis

makanan cair sampai padat dan dinilai kemampuan pasien dalam proses

menelan.

54
c. Eating Eating Assesmet Tool (EAT-10) adalah instrumen yang digunakan

untuk mengevaluasi gejala disfagia yang dirasakan oleh pasien untuk

memperkirakan tingkat keparahan awal dan memantau perubahan gejala

disfagia sebagai respon terhadap beberapa kali latihan menelan. Instrumen

ini memiliki 10 pertanyaan sederhana dan menyediakan informasi tentang

fungsi, dampak emosional dan gejala fisik yang ditimbulkan oleh masalah

menelan untuk kehidupan individu.

d. Swallowing Manuver adalah terapi menelan secara langsung mengubah

fisiologi menelan dan dibutuhkan partisipasi dari pasien. Metode ini

membutuhkan keterlibatan pasien secara aktif bertujuan meningkatkan

kempuan otot menelan, meningkatkan durasi pergerakan hioid ke atas,

meningkatkan durasi membukanya sfingkter esofagus atas serta

meningkatkan amplitudo aktivasi otot menelan. Termasuk metode ini antara

lain mendelsohn maneuver, effortfull swallow, supraglotic swallow, super-

supraglotic swallow.

e. Oromotor Exercise adalah terapi menelan secara tidak langsung dengan

tanpa mengubah secara langsung fisiologi menelan dengan cara mengubah

posisi kepala, posisi badan, memodifikasi konsistensi makanan ataupun

cairan serta menubah metode pemberian makanan.metode ini berupa

gabungan dari compensatory postural, thermal tactile stimulation dan

sensory enhancemet yang bertujuan mengurangi aspirasi makanan/cairan,

memperkuat otot faring, meningkatkan stimulasi kesadaran menelan serta

memperkuat input sensorik ke pusat menelan dari batang otak.

55
f. Kualitas hidup menurut CDC (center for disease control and prevention)

mendefinisikan fokus pada persepsi individu terhadap kondisi kesehatan

fisik dan mental serta hubungannya dengan risiko dan kondisi kesehatan,

status fungsional, dukungan sosial dan status ekonomi

Metode Analisis

Analisis statistik dilakukan dengan IBM SPSS Statistik versi 22 untuk

Windows. Untuk data dan skala nominal digunakan uji Chi-Squared , sedangkan

untuk data skala interval atau rasio digunakan independent-t test atau Mann-

Whitney. Hasil uji dinyatakan bermakna jika p<0,05.

Biaya Penelitian

Biaya penelitian dan pemeriksaan ditanggung oleh peneliti sendiri dan

tidak dibebankan kepada pasien/penderita.

56
Alur Penelitian

PASIEN DISFAGIA
NEUROLOGIS AKIBAT
STROKE

SKRINING
DISFAGIA (EAT-10)

FEES

PERBANDINGAN TERAPI MENELAN

 SWALLOWING MANEUVER
 OROMOTOR EXERCISE 57
FEES

PERBAIKAN FUNGSI MENELAN


DAFTAR PUSTAKA
BERDASARKAN EAT-10

1. Smith LJ. Upper digestive tract anatomy and physiology. In: Johnson JT, Rosen
CA, editors. Bailey's head and neck surgery otolaryngology. Fifth ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins 2014. p. 817-24. (8746)
2. Fred F. Ferri MD. Ferri's Clinical Advisor: Dysphagia. 2021, 491-492.e1
3. Martino, R & Martin, R.E & Black, S. (2012). Dysphagia after stroke and its
Management, Canadian medical association. DOI: 10.1503/cmaj.101659
4. World Health Organization. The World Medicine Situation 2011 3ed. Rational
Use of Medicine. Geneva, 2011.
5. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2013). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013
6. Castagna, A., Ferrara, L., Asnaghi, E., Colombo, V., Rega, V., & Fiorini, G.
Post-stroke dysphagia rehabilitation in the old and oldest old : outcome
and relevance for discharge home. International Journal of Rehabilitation
Research, XXX(XXX), 2019 P. 1–7.
7. Lazarus CL. Management of dysphagia. In: Byron J. Bailey & Jonas T, editors.
Jonhson Head & Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia:
Lippincot William & Wilkins, 2006.
8. Gonzales-Fernandes M, Ottenstein I, Atanelov I, Christian AB. Dhyspagia
After Stroke : an Overview. Curr Phys Med Rahabil Rep. 2013
9. McCullough, G & Kim, Y. Effect of the Mendelsohn Maneuver on Extent of
Hyoid Movement and UES Opening Post-Stroke1.NIH Public Access.Vol.
28.No. 4. 2013
10. Johnson, D. N., Herring, H. J., & Daniels, S. K. (2014). Dysphagia
Management in Stroke Rehabilitation. Curr Phys Med Rehabil Rep, 2014(2),
207–218

58
11. Netter, Frank H. ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25th Edition. Jakarta:
EGC,. 2014.
12. Digestive Disorders Health Center: Human Anatomy. Diunduh Available at
http://www.webmd.com/digestive-disorders/picture-of-the-esophagus .
Accessed March. 1 , 2021
13. Esophagus - anatomy and development. Available at
http://www.nature.com/gimo/contents/pt1/full/gimo6.html. Accessed
March.1,2021
14. Anthony S. Fauci. Harrison Internal Medicine, 17th edition. USA, McGraw-Hill.
2008. p.239-42.
15. Jenny Walton, Priyamal Silva. Physiology of swallowing. Surgery, 2018-10-
01, Volume 36, Issue 10, Pages 529-534
16. Barbara P. Messing. Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery,2020,
1466-1473.e3
17. Denise Ambrosi, Yong-Tae Lee.2021. Braddom's Physical Medicine and
Rehabilitation, 3, 53-67.E2
18. Satish Mistry PhD, Shaheen Hamdy PhD, FRCP. 2008. Physical Medicine and
Rehabilitation Clinics of North America: Neural Control of Feeding and
Swallowing. Elsevier
19. Lembo,AJ. Oropharyngeal dysphagia: Etiology and pathogenesis. Wolters
Kluwer,UpToDate. 2020
20. Fass, R. Approach to the evaluation of dysphagia in adults – UpToDate.
Wolters Kluwer,UpToDate. 2020.
21. Peñalva-Arigita A, Prats R, Lecha M, et al. Prevalence of dysphagia in a
regional hospitalsetting: Acute care hospital and a geriatric sociosanitary care
hospital: A cross-sectionalstudy. Clin Nutr ESPEN 2019; 33:86
22. Dysphagia. National Institute on Deafness and Other Communication
Disorders. Available at http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/dysph.asp.
Accessed March,1. 2021
23. Ralston, S. H., Penman, I. D., Strachan, M. W., & Hobson, R. (Eds.). (2018).
Davidson's Principles and Practice of Medicine E-Book. Elsevier Health
Sciences.
24. Soepardi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher Edisi 7. 2012. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.

59
25. Daroff, R. B. (2015). Bradley's neurology in clinical practice e-book. Elsevier
Health Sciences
26. Logemann,JA. Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing. Pro-
Ed. 1993.
27. Pu D, Murry T, Wong MCM, et al. Indicators of Dysphagia in Aged Care
Facilities. J SpeechLang Hear Res 2017
28. Pflug C, Bihler M, Emich K, et al. Critical Dysphagia is Common in Parkinson
Disease andOccurs Even in Early Stages: A Prospective Cohort Study.
Dysphagia 2018
29. Ruoppolo G, Schettino I, Frasca V, et al. Dysphagia in amyotrophic lateral
sclerosis:prevalence and clinical findings. Acta Neurol Scand 2013.
30. Suttrup I, Warnecke T. Dysphagia in Parkinson's Disease. Dysphagia 2016
31. Lembo,AJ. Oropharyngeal dysphagia : Clinical features, diagnosis, and
management. Wolters Kluwer,UpToDate. 2020
32. O’Horo, J. C., Rogus-Pulia, N., Garcia-Arguello, L., Robbins, J., &
Safdar, N. (2015). Bedside diagnosis of dysphagia: A systematic
review. Journal of Hospital Medicine, 10(4), 256–265.
doi:10.1002/jhm.2313
33. Chhetri DK, Dewan K. Dysphagia Evaluation and Management in
Otolaryngology. St. Louis, MO: Elsevier; 2019
34. Skoretz SA, Flowers HL, Martino R. The incidence of dysphagia following
endotracheal intubation: asystematic review. Chest 2010
35. Martin-Harris B, Canon CL, Bonilha HS, et al. Best Practices in Modified
Barium Swallow Studies. Am JSpeech Lang Pathol. 2020
36. Giraldo-Cadavid LF, Leal-Leaño LR, Leon-Basantes GA, et al. Accuracy of
endoscopic andvideofluoroscopic evaluations of swallowing for oropharyngeal
dysphagia. Laryngoscope 2017
37. Kelly AM, Drinnan MJ, Leslie P. Assessing penetration and aspiration: how do
videofluoroscopy andfiberoptic endoscopic evaluation of swallowing compare?
Laryngoscope. 2007
38. Mendelson MH. Esophageal emergencies, gastroesophageal reflux disease, and
swallowed foreign bodies. In: Tintinall JE, et al., eds. Tintinalli's Emergency
Medicine: A Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York, N.Y.: The
McGraw-Hill Medical Companies; 2011

60
39. Hirano I, et al. Dysphagia. In: Longo DL, et al., eds. Harrison's Principles of
Internal Medicine. 18th ed. New York, N.Y.: The McGraw-Hill Medical
Companies; 2012.
40. Hayes C. Peter, dkk. Segi Praktis Gastroenterologi dan Hepatologi. Binarupa
Aksara : Jakarta. 1988.
41. Mary Courtney Moore. Buku Pedoman Terapi Diet dan Nutrisi Edisi II. 2001

61

Anda mungkin juga menyukai