Anda di halaman 1dari 2

PATOFISIOLOGI ANEMIA

Faktor penyebab : penurunan kinerja sumsum tulang dalam memproduksi sel darah
merah, penyakit kronis, penurunan sintesis eritropoietin di ginjal, faktor autoimun
(keturunan), kurangnya asupan nutrisi dan perdarahan

Kadar Hb, eritrosit (sel darah merah), Ht menurun

Anemia

diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi/ penyebabnya


dengan melihat indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)

Mikrositik hipokromik Normositik Makrositik hiperkromik


jika nilai semua turun/ normokromik jika jika nilai semua meningkat/
kurang dari normal nilai semua normal lebih dari normal

Defisiensi besi, Gangguan sumsum


Thalassemia, penyakit tulang, anemia Anemia megaloblastic
kronik, anemia hemolitik (defisiensi asam folat, vit.
sideroblastik B12), anemia non
megaloblastik

Patofisiologi Anemia (Masrizal, 2007)


Anemia terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti penurunan kinerja sumsum
tulang dalam memproduksi sel darah merah, penyakit kronis, penurunan sintesis eritropoietin
di ginjal, faktor autoimun (keturunan), kurangnya asupan nutrisi dan perdarahan. Faktor
tersebut akan mempengaruhi penurunan jumlah sel darah merah (eritrosit), Hemoglobin,
hematokrit yang menjadi penanda pada penyakit anemia. Anemia adalah kondisi di mana
seseorang memiliki jumlah hemoglobin pada sel darah merah turun di bawah normal. Hal ini
yang menyebabkan tubuh tidak mendapatkan cukup oksigen. Hemoglobin adalah zat besi
yang kaya protein yang memberi warna merah pada darah dan memungkinkan sel darah
merah mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Apabila jumlah sel darah merah
atau
hemoglobin rendah, maka dapat menyebabkan pula rendahnya kadar zat besi dalam darah
(National Hematologic Diseases Information Service, 2009).
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi/ penyebabnya yang
dapat dilihat dari ukuran dan kandungan haemoglobin di dalam darah. Berdasarkan
klasifikasinya, anemia dibedakan menjadi :
a. Anemia mikrositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari
normal dan hipokromik karena mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang
dari normal (Indeks eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %).
Penyebab anemia mikrositik hipokromik yaitu berkurangnya zat besi (anemia
defisiensi besi), thalassemia, penyakit kronik dan anemia sideroblastik.
b. Anemia normositik normokromik ditandai dengan ukuran eritrosit yang normal dan
tidak terjadi perubahan konsentrasi haemoglobin (Indeks eritrosit normal yaitu nilai
MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg, MCHC 26 – 35 %). Biasanya disebabkan karena
perdarahan akut, hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada
sumsum tulang.
c. Anemia makrositik hiperkromik ditandai dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari
normal dan hiperkromik karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal (Indeks
eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Biasanya
ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat), serta
anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati dan myelodisplasia)
(Masrizal, 2007).
Dilihat dari pemeriksaan nilai MCV, MCH dan MCHC yang menurun pada pasien,
maka dapat diklasifikasikan dalam anemia mikrositik hipokromik. Salah satu penyebab
anemia mikrositik hipokromik yaitu biasanya disebabkan karena defisien besi, penyakit
kronik, perdarahan, thalassemia. Pasien memiliki riwayat penyakit kronik Sirosis hepatik
dimana menurut Amalina, H.A. dan Kriswiastiny, R. (2015), penyakit sirosis hepatis dapat
menyebabkan perdarahan mulai dari yang paling ringan, seperti perdarahan gusi, sampai
dengan perdarahan berat, misalnya, hematemesis melena karena darah pada pasien sirosis
hepatis biasanya tidak membeku. Pasien juga sudah mengalami hematemesis melena yang
ditandai dengan muntah darah dan BAB berdarah sehingga akan menyebabkan pasien
kelihangan banyak darah akibat perdarahan tersebut. Faktor penyakit sirosis hepatis dan
perdarahan tersebut dapat memicu terjadi penyakit anemia pada pasien. Pedarahan juga
biasanya diserta dengan pengeluaran zat besi dalam darah sehingga biasanya pasien juga
mengalami defisiensi zat besi. Akan tetapi pada data laboratorium pasien tidak ada kadar
serum ferritin dalam darah sehingga belum bias memastikan bahwa pasien juga mengalami
defisiensi zat besi (Amalina, H.A. dan Kriswiastiny, R., 2015).

Anda mungkin juga menyukai