Anda di halaman 1dari 12

KEGIATAN BELAJAR 1 :

ALQURAN DAN METODE MEMAHAMINYA

INDIKATOR KOPETENSI

INDIKATOR KOMPETENSI
1. Menjelaskan definisi Alquran, ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, konsep tafsir
takwil dan terjemah.
2. Menganalisis penerapan tafsir, takwil dan terjemah.

URAIAN MATERI
1. Alquran
Secara harfiah, Alquran berarti bacaan yang sempurna. Jumlah kosakata yang
terdapat di dalamnya sebanyak 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh
sembilan) kata yang tersusun dari 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas)
huruf. Uniknya, seluruh kosakatanya memiliki jumlah yang seimbang antara sinonim
dan antonimnya. Di antaranya kata akhirat terulang sejumlah 115 kali sebanyak kata
dunya; kata hayat seimbang dengan kata maut yang disebutkan sebanyak 145 kali;
kata malaikat berjumlah sama dengan penyebutan kata syaithan sebanyak 88 kali;
dan kata thuma’ninah (ketenangan) terulang dalam jumlah yang sama dengan kata
dhiyq (kecemasan) sebanyak 13 kali. (Shihab, 2007: 4)
Adapun secara istilah, Alquran adalah firman Allah yang bersifat mukjizat yang
diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir melalui perantara malaikat Jibril, ditulis
dalam berbagai mushaf, ditransimisikan kepada kita secara mutawattir, bernilai
ibadah bagi pembacanya dan diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat al-Nas. (al-Shabuni, 2003: 8). Definisi ini adalah definisi yang juga disampaikan
mayoritas ulama, karena dianggap komprehensif dan mengandung seluruh unsur
yang dapat menjelaskan Alquran.
Dalam fungsinya sebagai hudan li al-muttaqin (petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa), Alquran memuat berbagai regulasi untuk mengatur kehidupan manusia.
Hanya saja, pesan dan aturan yang disampaikan di dalam Alquran ada yang berupa

1
pernyataan tegas dan adapula yang bersifat samar yang membutuhkan pemikiran
mendalam. Dua bentuk pernyataan ini dalam terminologi ‘Ulum al-Quran disebut
dengan ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat.
1.1. Ayat-ayat Muhkamat
Kata muhkam sebagai bentuk tunggal dari muhkamat, secara etimologi
berasal dari akar kata hakama-yahkamu-hukman berarti menetapkan,
memutuskan atau memisahkan. Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi
ahkama-yuhkimu-ihkam yang berarti mencegah. Al-Hukmu artinya memisahkan
antara dua hal. Jika seseorang dikatakan hakim maka karena ia mencegah
kezaliman dan memisahkan antara dua orang yang berselisih serta membedakan
antara yang benar dan salah.
Menurut Manna’ Al-Qaththan, secara terminologi muhkam adalah ayat
yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna dan dapat diketahui
secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. (Al-Qaththan, 1995: 207).
Jadi, ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang mengandung makna yang
kokoh, jelas dan fasih. Pengertian muhkam ini menjadi sifat Alquran yang
disebutkan dalam surat Hud ayat 1:

ٰ‫َٰ كٰۡلدُ كحٰۡ تۡ تِك كٰ َّٰ تَ تِ كٰر‬ ‫ا ٓلرٰٰۚ تِكٌٰٰا ح كۡ تِك تَ كٰۡاٰتٰحُٰٗ ح د َُّٰح ت ل‬
‫َِّت كۡ ت‬
Artinya:
“Alif Lam Ra. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Tuhan yang
Mahabijaksana dan Mahatahu.”

1.2. Ayat-ayat Mutasyabihat


Secara harfiah, mutasyabih yang merupakan bentuk tunggal dari
mutasyabihat berasal dari kata syabaha yang berarti serupa. Syubhah -bentuk
nomina dari syabaha- adalah keadaan tentang satu dari dua hal yang tidak dapat
dibedakan dari lainnya karena ada kemiripan di antara keduanya secara konkret
atau abstrak. Makna ini sejalan dengan sifat kedua Alquran yaitu kitaban
mutasyabihan sebagaimana disebut dalam surat az-Zumar ayat 23:

2
‫َٰ كنٗحٰ حَُح كُۡحٰالدِ كتٰۡت ٰٰت كَش كتۡۡت ت‬ ‫ىٰٰٰ ت كۡ ت‬ ‫ّللَاحٰن دتز تلٰا ت كۡ ت ك‬
َّٰ ٰ‫ٰرِٰد حه ك‬ ‫ش تِ ُّر ت‬ ‫سۡت ٰال تُۡ كتٰثتٰ تِكًِٰاٰ َُّٰتشتا تِ ًهاٰ دَُتا تن ت‬ ‫ته‬
ٰۡ‫ٰۡ تَ ك‬ ‫ّٰللَاتٰ تٰهك تُ ك ِٰتٗ ٰ تَ كۡ ٰٰد ت‬
ٰ‫شا ٓ حٰءٰؕ ت‬ ‫ه‬ ٰ‫ٰۡقحَح كِۡح حه ك َّ ٰاتلىِٰ كتِك تر ه‬
ُ‫ّٰللَاتٰؕ ِٰ ٰ تل تَ ٰ حه ت‬ ‫ُ ح د َّ ٰٰ ت تَ كٰ حۡ ٰ حَُح كۡ حُ حه ك َّ ت‬
ُٰ‫َٰ كٰۡهتا‬
‫ّٰللَاحٰ تُ تَاٰلتٗ ت‬ ‫ٰ ك‬
‫ُّض تَ تل ه‬
Artinya:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Alquran yang
serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-
orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati
mereka ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dibiarkan
sesat oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memberi petunjuk.”

Dengan demikian, ayat-ayat mutayabihat adalah ayat-ayat yang


maknanya tidak atau belum jelas dan untuk memastikannya tidak ditemukan
dalil yang kuat. Dari itu, para ulama menyebut ayat-ayat mutasyabihat secara
ringkas dengan ungkapan hanya Allah yang mengetahui maknanya.
Tentang keberadaan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, Alquran
sendiri menyampaikan dalam surat Ali ‘Imran (QS 3:7):

ٰٰۖۡ‫ٰۡأحَ حترٰ حَٰتشتا تِ تها‬ ‫ٌ ت‬‫ٰال تِكٰتا ت‬ ْ َّ ُّ ‫َٰ ْنٗحٰآ تٰاٰۡ حَ ْۡ تِك تَاٰۡ حه دٰۡأ ح‬
‫اٌ ت‬ ْ َْ‫عَتٰ ت‬
‫ٰال تِكٰت ت‬ ‫حه تٰۡالدِتيٰأ ت ْنزت تلٰ ت‬
ٰ‫ٰۡا ِْ تٰغتا تءٰٰتأ ْ تٰۡ تَ تٰٰٰٗۗ تۡ تَا‬ ْ ‫َٰ ْنٗحٰا ِْٰتغتا تء‬
‫ٰال تفْٰنت تة ت‬ ‫ُتأ ت دَاٰالدِتٰۡت ُٰتيٰقحَحۡ تِ ته ْ َّٰزت ْٰغُٰت تٰٰ د تِِحۡۡت ٰ تَاٰٰتشتا تِٗت ت‬
ٰ‫ٰۗۡ تَٰا‬
ٰ‫ٰر تِلنتاٰ ت‬ ‫يٰال تِ َْ ت َّ ٰٰتۡحۡلحۡۡت ٰآ تَنداٰ تِ تٗ ٰ حِك ٌّل ت‬
‫َٰ ْۡ ٰ تع ْن تُ ت‬ ْ ‫الرا تس حَۡۡت ُٰت‬
‫ٰۗۡ د‬ ‫ٰت َِْت ح َّ ٰٰتأ ْ تَٰۡتٗحٰ تإ دَّل د‬
‫ّٰللَاحٰ ت‬
ْ ‫ٰتِد دِك حرٰ تإ دَّلٰأحۡلح‬
ٰ‫ٰۡاْل ت ْلِتا ت‬
ٌ
Artinya:
“Dialah yang menurunkan al-Kitab (Alquran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Alquran dan yang lain (ayat-
ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang

3
mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Kemudian, berkenaan dengan kategorisasi ayat-ayat muhkamat dan


ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat dalam menentukannya.
Bisa jadi satu ayat dikategorikan sebagai ayat muhkamat oleh sebagian ulama,
sementara mutasyabihat oleh ulama lain, seperti ayat tentang Jannah dan Nar,
mayoritas menggolongkannya ke dalam ayat muhkamat, sementara bagi
kelompok bathiniyyun mengategorikannya ke dalam mutasyabihat karena narasi
tentang surga dan neraka adalah bentuk metafora.
Perbedaan pandangan tersebut tentu didasari atas perbedaan tentang
definisi dan kriteria ayat muhkamat dan mutasyabihat. Al-Zamakhsyari
menggariskan kriteria ayat-ayat yang tergolong muhkamat adalah ayat-ayat yang
berhubungan erat dengan hakikat (realitas); sedangkan mutasyabihat adalah
ayat-ayat yang membutuhkan penelitan (tahqiqat).
Secara lebih spesifik, al-Raghib al-Ashfahani membuat kriteria bagi ayat-
ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak diketahui hakikat maknanya,
seperti ayat seputar kiamat; dan ayat-ayat yang hanya bisa diketahui maknanya
dengan bantuan ayat muhkamat, hadis sahih atau disiplin ilmu lain, seperti ayat
yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup. Sementara ayat-ayat
muhkamat menurutnya adalah ayat-ayat yang tidak termasuk ke dalam kategori
mutasyabihat.
Sekalipun terdapat ayat yang telah terang maknanya dan di saat yang
bersamaan masih terdapat yang samar maksudnya, tetapi bisa dipastikan bahwa
kebenaran Alquran bersifat absolut atau mutlak. Kemutlakan ini akan berubah
menjadi relatif ketika sudah menjadi pemahaman manusia. Dari itu, perlu
diketahui bahwa upaya memahami kandungan Alquran terdapat beberapa
metode, yaitu tafsir, takwil dan terjemah. Walaupun terjemah bukan merupakan
metode memahami Alquran karena hanya sebatas pengalihbahasaan, tetapi
terjemah dianggap sebagai salah satu upaya untuk mengantarkan pemahaman

4
dasar dari Alquran bagi orang awam.

2. Tafsir
Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsir yang
berarti menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermakna al-idhah
(menjelaskan), al-bayan (menerangkan) dan al-kasyf (menyingkapkan). Sedangkan
secara terminologi terdapat beberapa pendapat, salah satunya menurut Shubhi al-
Shalih yang mendefinisikan tafsir sebagai berikut :

ٰٗ‫اٰۡ تَ تِانتٰ ت‬
‫هللاٰعَٰٰٗۡسَ َّٰۡ تِٰت ت‬
‫ت‬ ٰ‫َىٰنت تِ تٰل تٰٗ حَ تۡ دََُِّٰى‬
‫ع ت‬‫ٌٰهللاتٰال حَن دتز تلٰ ت‬ ‫تع َْ َّٰٰح ِْ تر ح‬
‫فٰ تِ تٰٗ ُت ْه ح َّٰ تِكٰا ت‬
ٰ ٰٗ‫ٰۡ تۡ تِك تَ ت‬ ْ ‫تۡا ْسٰت َْ تراجت‬
‫ٰأۡ تِك ت‬
‫اَ تٗ ت‬
Artinya:
Sebuah disiplin yang digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada
Nabi Saw dan menerangkan makna-maknanya serta menggali hukum-hukum dan
hikmah-hikmahnya.

Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh ‘Ali al-Shabuni bahwa tafsir adalah
ilmu yang membahas tentang Alquran dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah
sesuai dengan kemampuan manusia. Pendapat senada disampaikan oleh al-Kilabi
bahwa tafsir adalah menjelaskan Alquran, menerangkan maknanya dan menjelaskan
apa yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.
Demikian juga menurut Syekh al-Jazairi, tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan
lafaz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafaz sinonimnya
atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah
lafaz tersebut.
Berdasarkan definisi di atas, menafsirkan Alquran berarti upaya mengungkap
maksud dari Alquran baik ayat perayat, surat persurat maupun tema pertema yang
dapat digali dari susunan bahasanya dan lafaz-lafaz yang digunakannya serta seluk
beluk yang berhubungan dengannya. Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan
‘Ulum al-Quran, yang meliputi asbab al-nuzul, makiyyah dan madaniyyah, ilmu qiraat,

5
nasikh wa mansukh, dan seterusnya.
Asbab al-nuzul yang merupakan latarbelakang turunnya ayat menjadi salah
satu komponen yang sangat penting dalam memahami pesan Alquran. Al-Syathibi
menegaskan bahwa seorang tidak diperkenankan memahami Alquran hanya dari sisi
teksnya saja tanpa memperhatikan konteks ketika ayat turun. Namun demikian, perlu
diketahui bahwa tidak seluruh ayat Alquran memiliki riwayat asbab al-nuzul.
Selain Asbab al-nuzul, memahami makiyyah dan madaniyyah juga patut
dikuasai dalam memahami Alquran. Makiyyah dapat dipahami sebagai ayat-ayat yang
turun di Makkah atau turun sebelum hijrah. Sementara Madaniyyah adalah ayat-ayat
yang turun di Madinah atau turun setelah hijrah. Terdapat beberapa manfaat
penguasaan atas makiyyah dan madaniyyah dalam memahami ayat Alquran, yakni: a)
Dapat membantu mempermudah dalam menjelaskan ayat Alquran, dikarenakan
makiyyah dan madaniyyah terkait dengan situasi dan kondisi masyarakat saat itu
ketika ayat-ayat Alquran diturunkan. b) Melalui gaya bahasa yang berbeda pada ayat
makiyyah dan madaniyyah akan membatu dalam memahami ayat Alquran, sekaligus
memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat. c) Dengan memahami
makiyyah dan madaniyyah akan lebih mudah mengkaitkan dengan aspek sejarah
hidup Nabi Muhammad Saw. sebagai salah satu referensi penafsiran.
Selanjutnya, hal yang penting dikuasai dalam menafsirkan Alquran adalah ilmu
qiraat. Perbedaan qiraat telah terjadi sejak masa sahabat. Hadis sahih riwayat al-
Bukhari dan Muslim sebagaimana dikutip ‘Ali al-Shabuni menceritakan bahwa suatu
ketika di masa hidup Rasulullah saw, Umar bin Khattab salat menjadi makmum dan
mendengar bacaan Hisyam bin Hakim saat membaca Surat al-Furqan dengan bacaan
qira’ah yang bermacam-macam yang tidak sama dengan bacaannya yang diajarkan
Rasulullah Saw. Sehingga, hampir saja Umar menyeretnya ketika dia sedang salat.
Namun, Umar berusaha bersabar menunggunya hingga selesai salam. Setelah Hisyam
selesai salat, Umar menarik selendangnya seraya berkata padanya, siapa yang
membacakan surat kepadamu dengan bacaan seperti itu, kata Umar. Dia menjawab:
Rasulullah Saw yang membacakan kepadaku seperti itu. Bohong kamu, kata Umar.
Sungguh Rasulullah Saw membacakan padaku tidak seperti apa yang kamu baca.

6
Kemudian Umar membawanya untuk menghadap Rasul. Setelah keduanya diperintah
membaca surat al-Furqan, kemudian Rasulullah Saw membenarkan bacaan keduanya,
sambil bersabda: “Seperti itulah bacaan Alquran diturunkan.” Kemudian Rasulpun
mengatakan, “sesungguhnya Alquran diturunkan dalam tujuh huruf (qiraat), maka
bacalah dengan yang memudahkan bagimu” (Al-Shabuni, 2003: 210)
Qiraat sebenarnya tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan Alquran dari
segi dialek saja. Namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qira’at yang
mempengaruhi terhadap perbedaan makna lafaz, sehingga menjadi penting
memahaminya bagi seorang mufassir. Di antara manfaat memahami perbedaan
qira’at yang mempengaruhi terhadap makna adalah: a) Dapat mengetahui adanya dua
hukum yang berbeda. Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222.
ْ ‫تۡ تَّلٰٰ ت ْۡ ترِحۡ حه دٰۡ تٰۡدىٰٰت‬
ٰ‫ط حه ْرۡت‬
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”

َّ ْ
Ayat ini oleh beberapa imam qira’at dibaca َ‫ يط َّه ْرن‬. Kata َ‫ يط ُه ْرن‬berarti wanita
َّ
haid boleh didekati apabila berhenti haidnya. Sedangkan bacaan َ‫ يط َّه ْرن‬menunjukkan
makna bahwa wanita haid baru boleh didekati setelah mereka mandi. Dari dua qira’at
ini dapat dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya dan
telah mandi.
Demikian juga dalam memahami qira’at yang memiliki dua wajah seperti pada
surat al-Maidah ayat 6 dalam kaitannya dengan wudhu:
ْ ‫ٰۡأ ت ْر حَُت حِك ْ َّٰ تإلت‬
ٰۚ ْۡ‫ىٰٱل تِك ِْ تِٰ ت‬ ۟ ۡ‫س ح‬
‫ۡاِٰت حر حءۡ تس حِك ْ َّ ت‬ ‫ٰۡ ْٱَ ت‬
‫ق ت‬ ْ ‫ٰۡأ ت ْٰ تُٰت حِك ْ َّٰ تإلت‬
‫ىٰٱل تَ تراُت ت‬ ‫ٰۡ حُۡ ته حِك ْ َّ ت‬ ۟ ‫ُتٱ ْغ تسَح‬
‫ۡا ح‬
Artinya:
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu
dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”

ُ َ َ
Kata َ ‫( وأ ْر ُجلك ْم‬wa arjulakum) yang dibaca fathah lamnya. Sementara sebagian
ُ َ
imam lain membaca dengan mengasrah lam ‫م‬ َ ْ ‫( وأ ْر ُج ِلك‬wa arjulikum). Dari dua qira’at ini
dapat dipahami bahwa salah satu rukun wudhu adalah membasuh kaki. Tetapi

7
membasuh kaki dapat diubah dengan mengusapnya bagi orang yang memakai khuffah
(semacam sepatu pada zaman dahulu) bagi orang yang berperjalanan.
Pengetahuan seperti ini, tidak mungkin diketahui oleh seseorang yang tidak
mengenal tentang ilmu qira’at. Karena itu, pengetahuan ilmu qira’at dan ilmu-ilmu lain
dari Ulum al-Quran selain ilmu Bahasa Arab dan yang lainnya menjadi kemampuan
dasar bagi seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat Alquran agar di dalam
penafsirannya dapat terhindar dari kemungkinan terjadi kesalahan.

3. Takwil
Ta’wil yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi takwil
menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuauwilu-ta’wil yang memiliki makna
al-ruju’ atau al-’aud yang berarti kembali. Berkaitan dengan kata ini Alquran
beberapa kali menggunakan kata ta’wil dalam menjelaskan maksud dari sebuah
peristiwa atau kisah. Misalnya, pada kisah Nabi Yusuf as ayat 100 saat menjelaskan
peristiwa tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepada Yusuf dinyatakan
dengan kalimat hadza ta’wilu ru’yaya min qabl qad ja’ala rabbi haqqan (Ini adalah
takwil mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah menjadikan mimpiku menjadi
kenyataan). Demikian juga pada surat al-Kahfi ayat 78 tentang kisah seorang
hamba Allah yang diberi ilmu dari sisi-Nya mengatakan kepada Nabi Musa as
dengan kalimat sa’unabbi’uka bita’wili malam tastathi‘ alaihi sabran (Aku akan
menjelaskan takwil sesuatu yang engkau tidak dapat bersikap sabar terhadapnya).
Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam Alquran, maka secara
terminologi al-Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya memberikan definisi takwil
sebagai berikut:

ٰ‫ٰإلى ٰ تَ ِْنًىٰٰت ْٰۡ ت تََحٗحٰإ تِاِٰكاۡت ٰال حَٰۡت تَ حل ٰالتِٰتيٰٰتراهٰ حَ تۡاُتًۡا‬ ‫ف ٰالَد ْف تظ ٰ ت‬
‫ع ْۡ ٰ تَ ِْنتاهح ٰالظا ته تر ت‬ ‫ِّ ْر ح‬
‫ت‬
‫سندة‬
ُّ ‫ٌٰۡال‬
‫ِال تِكٰا ت‬

Mengalihkan lafaz dari maknanya yang tampak kepada makna tersembunyi yang
dikandung olehnya selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan

8
Alquran dan al-sunnah (Al-Jurjani, 2004: 46).

Takwil berbeda dengan tafsir sekalipun keduanya menjelaskan maksud dari


sebuah pernyataan dalam Alquran. Tafsir pada praktiknya menjelaskan makna zahir
sementara takwil mengungkap makna batin. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam
memahami kalimat ‫( يخرج الحي من الميت‬mengeluarkan kehidupan dari yang mati).
Penggalan ayat 19 dari surat al-Rum bisa dipahami dalam makna mengeluarkan seekor
ayam yang menetas dari telur. Makna tersebut adalah tafsir. Tetapi, jika dipahami
dengan takwil, maka bisa bermakna mengeluarkan seorang Mukmin dari kekafiran
atau mengeluarkan yang pandai dari kebodohan (Al-Jurjani, 2004: 46).
Dari contoh di atas terlihat jelas bahwa pada hakikatnya takwil dilakukan dalam
rangka memahami ayat yang berarti juga melakukan kegiatan tafsir. Maka, takwil pada
fungsinya sebagai tafsir yang dapat memudahkan dalam mencerna dan mengamalkan
ajaran Alquran sesuai dengan perkembangan zaman sekarang dan akan datang, juga
tafsir pada praktiknya sebagai penjelas, keduanya adalah metode penting yang perlu
dilakukan dalam memahami makna Alquran.
Namun, apakah seluruh ayat-ayat mutasyabihat boleh atau harus ditakwil,
Quraish Shihab menunjukkan bahwa QS. Ali Imran (3) ayat 7 yang telah disampaikan
sebelumnya menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh tidaknya takwil atas
ayat-ayat mutasyabihat (Shihab, 1995: 91). Sebagian pendapat menyatakan bahwa
semua ayat mutasyabihat bisa ditakwil seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat
bahwa sebagian saja yang boleh ditakwil, itupun bila memenuhi persyaratan takwil
termasuk siapa saja yang berhak melakukannya. Oleh karena takwil merupakan
pekerjaan yang sulit, maka diperlukan syarat keahlian tertentu, antara lain
pengetahuan mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah bahasa Arab
karena takwil tidak berdasar ra’yu (pendapat/akal) saja.
Selanjutnya, terkait perbedaan cakupan antara tafsir dan takwil, Al-Raghib al-
Ashfahani dalam kitab Mufradat Alfadzi al-Qur’an mengemukakan bahwa tafsir lebih
umum dari pada takwil (Al-Ashfahani, 2009: 636). Tafsir lebih banyak digunakan dalam
kata dan kosa katanya. Sedang takwil banyak digunakan dalam makna dan susunan

9
kalimatnya. Takwil lebih banyak digunakan dalam Alquran, sedang tafsir tidak saja
digunakan dalam Alquran tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya (Shihab, 1995: 91).
Penakwilan terhadap ayat Alquran dilakukan secara ketat berdasarkan kaidah
dan dasar-dasar keilmuan. Jika kita menyetujui bahwa semua ayat-ayat mutasyabihat
boleh ditakwil, maka ayat-ayat yang ditakwil tidak hanya teks-teks ayat yang pernah
ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu, melainkan dapat berkembang selama makna
yang digagas tidak keluar dari akar kata redaksi bahasa ayat itu.
Sebagai contoh, Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami
kata Thayran (‫ )طيرا‬pada surat al-Fiil (QS 105:3) yang berarti burung yang terambil dari
kata thara–yathiru (terbang) dengan sejenis virus atau bakteri yang beterbangan. Hal
ini sah karena tidak keluar dari makna dasar kata tersebut.
Contoh penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya yang dilakukan
M. Quraish Shihab dalam menafsirkan kata kursi pada Q.S. Al-Baqarah ayat 255. Ia
menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi sebagaimana Al-
Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan menakwilkannya dengan kedudukan Ilahiyah
untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah memiliki makna
ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Karena itu makna kursi pada ayat tersebut adalah
kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit dan bumi beserta isinya. Juga
mengisyaratkan bahwa semua benda itu terkontrol dengan baik. Demikian juga makna
keluasan yang dimaksud bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit
dan bumi.
Namun berbeda dengan ayat yang berbicara tentang zat Allah yang tercantum
pada surat al-Nur ‫( هللا نورالسماوات واالرض‬Allah adalah cahaya langit dan bumi). Dimaknai
demikian dengan tujuan agar zat Allah itu bisa diketahui. Pemahaman seperti ini
merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai dengan ayat: ‫ليس كمثله شيئ‬... (tidak
ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya). (QS. Asy-Syura [42]: 11)
Takwil yang hanya berdasarkan akal saja tanpa mempertimbangkan aspek
kebahasaan hukumnya terlarang, karena memungkinkan maksud yang digagas keluar
dari makna dasarnya. Dari itu, ulama salaf lebih memilih bersikap tafwidh yakni
menyerahkan sepenuhnya maknanya kepada Allah saat memaknai ayat-ayat

10
mutasyabihat dengan ungkapan wallahu a’lam bi muradi bih (Allah lebih tahu
maksudnya).

4. Terjemah
Terjemah bukan termasuk metode memahami Alquran seperti halnya tafsir
dan takwil, ia hanya bentuk pengalihbahasaan. Secara etimologi, terjemah diambil
dari bahasa Arab dari kata tarjamah. Bahasa Arab sendiri menyerap kata tersebut
dari bahasa Armenia yaitu turjuman (Didawi, 1992: 37). Kata turjuman sebentuk
dengan kata tarjaman dan tarjuman yang berarti mengalihkan tuturan dari satu
bahasa ke bahasa lain (Manzhur: 66). Terjemah menurut bahasa juga berarti salinan
dari satu bahasa ke bahasa lain, atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari
suatu bahasa ke bahasa lain. Selain itu, berarti pula memindahkan lafal dari suatu
bahasa ke dalam bahasa lain.
Adapun secara terminologi, terjemah didefinisikan sebagai berikut:

‫يع َمعَا ِني ِه‬


ِ ‫اء ِب َج ِم‬ َ ‫َلم ا َخ ٍر ِم ْن لُغَ ٍة ا ُ ْخ َرى َم َع‬
ِ َ‫الوف‬ ٍ ‫نى َك ََل ٍم ِفى لُغَ ٍة ِب َك‬
َ ‫ع ْن َم ْع‬
َ ‫ير‬ ُ ‫الت َ ْع ِب‬
‫قاص ِده‬
ِ ‫َو َم‬
Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan
memenuhi seluruh makna dan maksud tuturan tersebut.

Al-Shabuni mendefinisikan terjemah Alquran adalah memindahkan bahasa


Alquran ke bahasa lain yang bukan bahasa Arab kemudian mencetak terjemah ini ke
beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab, sehingga
dapat memahami pesan dasar dari kitab Allah SWT.
Penerjemahan dibagi menjadi dua, yaitu terjemah harfiyyah dan terjemah
tafsiriyyah. Terjemah harfiyyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke
dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan
tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Terjemah
tafsiriyah atau terjemah ma’nawiyyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan
bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan
susunan kalimatnya.

11
Membaca terjemah sebuah ayat Alquran dapat membantu pembaca untuk
memahami ayat tersebut. Namun demikian, membaca terjemah saja tanpa memahami
seluk beluk bahasa Alquran seringkali menjadikan pemahaman terhadap ayat tersebut
kurang sempurna, atau bahkan dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman.
Kesalahpahaman terhadap pembacaan Alquran terjemah secara umum dapat
disebabkan beberapa hal, di antaranya:
a. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemahkan secara tepat atau
utuh ke dalam bahasa lain, termasuk Alquran. Ini dikarenakan setiap bahasa
memiliki batas-batas makna masing-masing. Contoh kata; anta dan anti
(mudzakkar dan muannats) dengan terjemah kamu, anda atau engkau tidak
dapat mewakili secara utuh makna dari teks. Demikian juga misalnya kata
insanun dan basyarun tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata
manusia.
b. Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang tepat
dan dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan.
c. Latarbelakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan membentuk
karakteristik bahasa yang berbeda.
Karena itu, apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka dalam
penerjemahan Alquran belum dapat dikatakan mampu mewakili seluruh maksud ayat-
ayatnya. Apalagi bahwa Alquran itu adalah kalamullah yang memiliki keagungan dalam
bahasa dan kandungannya, maka dapat dipastikan sebuah terjemahan Alquran tidak
mampu menggambarkan secara utuh maksud-maksudnya. Namun demikian, bukan
berarti terjemah Alquran tidak penting, karena dengan adanya terjemah Alquran dapat
membantu untuk melakukan tadabbur (renungan) atau paling tidak mengetahui pesan
dasar Alquran khususnya bagi bangsa ‘ajam (non-Arab) yang tidak memiliki
kemampuan bahasa Arab secara baik.

12

Anda mungkin juga menyukai