Anda di halaman 1dari 7

REVIEW BAB I BUKU BIROKRASI DAN POLITIK

Penulis : Rina Martini


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Birokrasi Pemerintahan Indonesia

Dosen Pengampu:
Dr. Dra. Dede Sri Kartini, M.Si.

Oleh:
Novia Agustin Asqolani 170410180100

KELAS B
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJAJARAN

Identitas buku:
Penulis : Rina Martini
Tahun terbit : 2012
Judul buku : Birokrasi dan Politik (cetakan 1)
Tempat diterbitkan : Semarang
Penerbit : UPT UNDIP Press

Review Bab I Definisi dan Mazab Birokrasi

Buku yang memiliki judul "Birokrasi dan Politik" yang ditulis oleh Rina Martini ini
merupakan salah satu buku yang termasuk kedalam jenis buku ajar. Di dalamnya dijelaskan
jika buku ini memiliki fokus yang membahas Birokrasi dan Politik yang menjadi salah satu
mata kuliah semester 5 mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Karena buku ini merupakan buku ajar, maka tidak heran jika dalam penyampaian materinya
penulis menjelaskannya secara detail dan dimulai secara mendasar sehingga bagi pembaca
(mahasiswa, yang dikhususkan di sini) dapat dengan mudah memahaminya.
Di dalam bab 1 buku ini membahas materi dasar dari birokrasi itu sendiri yakni
Definisi dan Mazab Birokrasi. Penulis memulainya dengan menyebutkan secara singkat
dengan memberikan definisi singkatnya mengenai birokrasi. Hal itu diharapkan oleh penulis
agar mahasiswa dapat menyimpulkan atau menarik benang merah mengenai apa itu birokrasi
mengingat terdapat banyak sekali pengertian dari birokrasi itu sendiri. Karena, dengan seperti
itu mahasiswa dapat memahami serta menyimpulkan sendiri apa esensi atau pengertian
birokrasi setelah mengetahui benang merahnya. Penulis juga terlebih dahulu mengaitkan
relevansi terkait mengapa menjadi penting bagi mahasiswa Ilmu Pemerintahan untuk
mempelajari serta memahami definisi dari birokrasi. Dijelaskan oleh penulis jika sebagai
mahasiswa Ilmu Pemerintahan harus memiliki pengetahuan awal atau dasar untuk dapat
memahami birokrasi di Indonesia. Hal ini sangat penting mengingat masalah birokrasi di
Indonesia akan memiliki hubungan yang erat dengan mahasiswa Ilmu Pemerintahan
nantinya. Selanjutnya hal ini juga dimaksudkan agar para mahasiswa dapat membedakan
mana saja kelompok-kelompok yang termasuk ke dalam birokrasi serta agar para mahasiswa
dapat memiliki pandangan yang luas terkait birokrasi itu sendiri. Tidak hanya dari satu sisi
saja, melainkan dari berbagai sudut pandang. Dengan seperti itu, lebih lanjutnya mahasiswa
diharapkan dapat mengetahui serta membedakan birokrasi yang bermakna positif, negatif,
serta birokrasi yang bermakna netral.
Sudah menjadi rahasia umum jika kata “birokrasi” memiliki citra yang kurang baik
atau cenderung negatif dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan dalam memahami “birokrasi”
masyarakat akan menggunakan pengalaman-pengalaman pribadinya dalam memaknai apa
birokrasi itu sendiri. Pengalaman buruk yang didapat oleh masyarakat dari penyelenggaraan
birokrasi pemerintahan secara langsung akan membentuk pola pikir masyarakat jika birokrasi
itu merupakan suatu hal yang bersifat negatif. Seperti diantaranya adalah alur birokrasi yang
berbelit-belit, para birokratnya yang tidak ramah, ketidakadilan, penyelenggaraan birokrasi
yang bersifat tidak transparan, kesulitan dalam mendapatkan pelayanan, semua itulah yang
kemudian mendorong terbentuknya stereotip negatif birokrasi dalam masyarakat. Lantas
apakah memang seperti itu esensi dari birokrasi? Dan apakah hingga saat ini pemerintah
masih juga belum mampu untuk menghapuskan citra negatif tersebut? Segala pertanyaan itu
dapat kita ketahui jawabannya dengan mengetahui terlebih dahulu apa sebenarnya makna,
definisi, dan esensi dari birokrasi itu sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri Birokrasi memiliki arti sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki
dan jenjang jabatan, dan merupakan cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban,
serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Adapun pengertian birokrasi menurut para ahli salah satunya disebutkan oleh Hegel yang
mencitrakan birokrasi sebagai mediating agent, penjembatan antara kepentingan-kepentingan
masyarakat dengan kepentingan pemerintah. Dan melihat fungsi birokrasi sebagai
penghubung antara negara dan civil society. Negara mengejawantahkan kepentingan umum,
sedang civil society merepresentasikan kepentingan khusus yang ada di dalam masyarakat.
Karena tugasnya sebagai alat pemerintah ini maka birokrasi justru harus punya kemandirian.
Berbeda dengan Hegel yang dalam pengertian yang disebutkannya cenderung menilai
birokrasi sebagai sesuatu yang bersifat positif, Karl Marx dalam sudut pandangnya justru
menyatakan hal yang berlawanan. Karl Marx mendefinisikan birokrasi sebagai alat kelas
yang berkuasa, yaitu kaum borjuis dan kapitalis untuk mengeksploitasi kaum proletar.
Birokrasi adalah parasit yang eksistensinya menempel pada kelas yang berkuasa dan
dipergunakan untuk menhisap kelas proletar. Sampai sini kita dapat memahami apa yang
sebelumnya telah disinggung oleh penulis di awal mengenai birokrasi yang bermakna positif
dan juga negatif.
Dalam segi keilmuannya, dijelaskan dalam literatur Ilmu Administrasi Negara atau
Ilmu Politik bahwasannya birokrasi memiliki terminologi yang diantaranya adalah berarti
organisasi yang rasional, berarti ketidakefisienan organisasi, berarti Pemerintahan oleh para
pejabat, berarti administrasi negara, berarti administrasi oleh para pejabat, serta sebagai
suatu bentuk organisasi dengan ciri tertentu yang ditandai dengan adanya hirarki dan
peraturan. Dalam Pemerintahan Indonesia sendiri, birokrasi dapat diartikan secara umum
sebagai suatu organisasi pemerintah yang didalamnya memiliki tugas untuk menjalankan
segala kepentingan negara. Birokrasi dijalankan dalam berbagai unit organisasi pemerintah
dibawah Departemen dan Lembaga-lembaga Non Departemen, baik di tingkat pusat maupun
di daerah. Adapun birokrat adalah orang-orang yang bertugas untuk menjalankan
penyelenggaraan birokrasi tersebut. Birokrat terdiri atas pimpinan serta pihak-pihak yang
menjabat di dalam organisasi pemerintahan tersebut. Setelah memaparkan berbagai definisi
mengenai birokrasi baik dari pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, terminologi
birokrasi, serta gambaran birokrasi dengan melihat contoh konkretnya berdasarkan
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, penulis memberikan pemahamannya mengenai
benang merah dari pengertian birokrasi itu sendiri. Penulis menyimpulkan jika benang merah
yang dapat kita tarik untuk memaknai birokrasi adalah suatu tata kerja pemerintahan agar
tujuan negara bisa tercapai secara efektif dan efisien. Kata kunci tersebut sangatlah
membantu kita untuk dapat memahami makna birokrasi sehingga mampu untuk
menyampaikan kembali apa itu pengertian birokrasi dengan cara mengembangkannya
berdasarkan materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Setelah mengetahui definisi serta makna dari birokrasi yang cukup bervariatif, satu
hal yang dapat kita temukan adalah bahwa selanjutnya akan terdapat banyak makna dari
birokrasi tersebut. Perbedaan sudut pandang adalah hal yang membuatnya menjadi demikian.
Seseorang mungkin saja melihat birokrasi sebagai sesuatu yang memiliki makna yang positif,
namun tentu saja akan ada juga orang yang melihatnya sebagai makna negatif, dan bahkan
juga netral. Birokrasi akan bermakna positif ketika seseorang melihatnya sebagai suatu
organisasi legal-rasional yang bekerja secara efisien dan efektif. Birokrasi diciptakan untuk
dapat memenuhi kebutuhan negara serta masyarakat yakni sebagai penghubung diantara
keduanya. Artinya birokrasi sama-sama dibutuhkan oleh kedua pihak tersebut. Birokrasi
bermakna negatif ketika seseorang melihatnya sebuah organisasi pemerintahan yang
didalamnya dipenuhi oleh penyakit, melakukan borosan, tidak melakukan tugasnya secara
efektif dan efisien, menjadi sarang korupsi, serta merupakan alat penindas bagi kaum yang
lemah serta hanya memiliki keberpihakan terhadap suatu golongan tertentu saja (golongan
yang berkuasa). Adapun yang terakhir adalah birokrasi akan bermakna netral apabila
seseorang mengartikannya hanya sebagai suatu keseluruhan pejabat negara pada cabang
eksekutif atau bisa juga diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar. Akan seperti
apa maknanya, semua itu ditentukan oleh bagaimana kita akan memandangnya, dengan
menggunakan kacamata apa kita akan melihatnya.
Dalam sub bab selanjutnya, penulis memaparkan materi mengenai aliran pemikiran
tentang birokrasi. Sama seperti yang dilakukannya pada sub bab sebelumnya, penulis terlebih
dahulu juga menjelaskan terlebih dahulu mengenai definisi singkat serta relevansi pentingnya
mahasiswa Ilmu Pemerintahan untuk memahami hal tersebut. Menurutnya, hal ini penting
untuk dipelajari sebagai salah satu pengetahuan awal kita untuk dapat memahami aliran-
aliran pemikiran apa saja yang terdapat dalam memahami birokrasi ini. Sehingga selanjutnya
kita dapat membedakan serta mengelompokkannya berdasarkan jenis alirannya. Dengan
seperti itu maka pemikiran kita mengenai pandangan-pandangan tersebut akan terbuka secara
luas. Hal itu tentu saja merupakan bekal yang harus kita miliki sebagai calon sarjana Ilmu
Pemerintahan yang nantinya akan berkaitan erat dengan birokrasi pemerintahan. Adanya
berbagai aliran mengenai birokrasi disebabkan karena untuk mempelajari ilmu sosial kita
tidak hanya berpacu pada satu perspektif atau pemikiran saja. Hal itulah yang kemudian
menyebabkan munculnya berbagai aliran pemikiran yang didasarkan atas berbagai perbedaan
yang melatarbelakanginya. Berbagai aliran pemikiran mengenai birokrasi atau yang
selanjutnya kemudian disebut dengan istilah teori itu diantaranya adalah:
1. Teori rational-administrative model (dikembangkan oleh Max Weber)
Dalam teori ini dinyatakan jika model birokrasi yang ideal adalah birokrasi yang
berdasarkan pada sistem peraturan yang rasional, dan tidak berdasarkan pada
paternalisme kekuasaan dan kharisma. Birokrasi dituntut untuk menjadi sebuah
organisasi pemerintahan yang dapat diandalkan, terukur, terstruktur dan bekerja
secara efektif dan efisien. Biasanya model birokrasi yang seperti ini diterapkan pada
negara-negara dengan tipe kepemimpinan yang dominan.
2. Teori power block model (dikembangkan oleh Ralp Miliband dan Trotsky)
Teori berdasar pada pemikiran yang menyatakan bahwa birokrasi adalah sebuah
penghalang bagi rakyat dalam melaksanakan kekuasaan. Teori ini melihat birokrasi
sebagai alat pembendung kekuasaan rakyat (yang diwakili oleh politisi) serta
memiliki kaitan yang erat dengan ideologi Marxisme. Marx memandang bahwa
birokrasi merupakan sebuah wujud mekanisme pertahanan dan organ dari kaum
bourgeois (borjuis) untuk mempertahankan kekuasaan dalam sistem kapital. Karena
hal tersebutlah kemudian para pemikir teori ini mengusulkan diadakannya suatu
perubahan berupa revolusi politik. Birokrasi harus dirubah menjadi alat rakyat kaum
proletariat yang dapat dikomandoi oleh para politisi, dan dijauhkan dari keintiman
hubungan dengan para pengusaha/ pemilik kapital.
3. Teori bureaucratic oversupply model (dikembangkan oleh Niskanen dan Anthony
Down)
Merupakan teori yang berlandaskan pada pemikiran ideologi liberalisme. Teori
ini muncul sebagai respon dari teori birokrasi Weber maupun Karl Max. Teori ini
menilai jika kapasitas organisasi birokrasi terlalu besar, bersifat terlalu mencampuri
urusan rakyat, dan terlalu banyak menguras sumber daya, sehingga terlalu banyak
menyerap anggaran. Oleh sebab itu, para pemikir teori ini menuntut agar kapasitas
birokrasi diperkecil dengan cara mengurangi jumlah aparaturnya serta peranannya
sebaiknya didelegasikan kepada sektor swasta.
4. Teori new public service (dikembangkan oleh Denhardt & Denhardt)
Teori ini merupakan antitesis dari teori bureaucratic oversupply model yang
mana menyatakan bahwa peranan birokrasi sebaiknya diserahkan kepada mekanisme
pasar. Dalam teori ini dijelaskan bahwa bagaimanapun birokrasi merupakan
organisasi yang memiliki peranan dan corak kerja yang berbeda dengan sektor swasta
sehingga peranannya tidak mungkin digantikan dengan organisasi swasta. Teori ini
juga menekankan bahwasannya baik buruknya suatu birokrasi tidak terletak pada
apakah mereka memenuhi standar nilai-nilai pasar atau tidak, akan tetapi terletak pada
persoalan apakah mereka mampu untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk
rakyat ataukah tidak. Sehingga peranan birokrasi justru harus dikembalikan kepada
fitrahnya yaitu sebagai pelayan publik. Birokrasi hanyalah sebuah alat bagi rakyat
belaka sehingga sudah sepatutnya tunduk terhadap apapun suara rakyat.
Dalam menutup bab ini, penulis memberikan materi mengenai mazab-mazab
birokrasi sebagai sub bab terakhirnya. Masih dengan gaya penulisan yang sama, penulis
terlebih dahulu memberikan definisi singkat terkait mazab-mazab birokrasi serta relevansinya
mengapa mahasiswa Ilmu Pemerintahan penting untuk memahami hal tersebut. Dalam
paradigma pemikiran tentang bagaimana birokrasi lahir, para ahli sosial politik berpendapat
bahwa pada umumnya terdapat dua mainstream pemikiran (Budi Setiyono, 2004: 14-16).
● Pertama, birokrasi lahir sebagai alat kekuasaan, yang kemudian memunculkan Mazab
Kekuasaan. Mainstream pemikiran pertama menyebutkan bahwa penguasa yang kuat
harus dilayani oleh para pembantu (aparat) yang cerdas dan dapat dipercaya (loyal).
Dengan demikian birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk
mengimplementasikan kekuasaan dan kepentingan mereka dalam mengatur
kehidupan negara. Dalam mazhab ini para birokrat bertanggung jawab terhadap
pemerintah atau raja, bukan terhadap rakyat.
● kedua, birokrasi lahir dan dibentuk karena kebutuhan masyarakat untuk dilayani, yang
kemudian memunculkan Mazab Kebutuhan Rakyat. Mainstream pemikiran kedua
menyatakan, bahwa birokrasi ada karena memang rakyat menghendaki eksistensi
mereka untuk membantu masyarakat mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah
ditetapkan bersama.

Menurut saya buku ini bagus dan sangat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin
mempelajari birokrasi pemerintahan (mahasiswa khususnya). Terlebih buku ini memang
didesain untuk dijadikan sebagai buku ajar yang diperuntukan untuk menunjang literatur bagi
mata kuliah Birokrasi dan Politik mahasiswa Ilmu Pemerintah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Buku ini juga dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pihak-pihak yang ini melakukan
penelitian di bidang birokrasi sebagai bekal pengetahuan awalnya. Sebagai sebuah buku ajar,
buku ini sangat mudah untuk dimengerti serta dipahami karena gaya pemaparan penulis yang
sangat baik. Dimulai secara bertahap mulai dari hal yang sangat mendasarnya. Di setiap awal
pembahasan, penulis selalu memberikan terlebih dahulu fokus pembahasannya, relevansi
mengapa penting bagi pembaca untuk mempelajarinya, serta menjelaskan standar
kompetensinya sehingga pembaca secara langsung telah terarahkan. Selain itu, dalam setiap
pembahasan dalam sub materinya penulis melengkapinya dengan latihan soal sebagai bentuk
evaluasi sudah sejauh mana mahasiswa memahami materinya. Tak lupa pula penulis juga
mencantumkan senarai agar pembaca dapat memahami istilah-istilah yang terdapat di
dalamnya. Kemudian, di akhir setiap sub pembahasan penulis menyertakan rangkuman, hal
ini sangat membantu agar kita dapat mengingat kembali garis besar dari materi tersebut. Hal-
hal tersebut kemudian membuat pembaca dapat dengan mudah memahami apa yang ingin
penulis sampaikan dalam bukunya.

Anda mungkin juga menyukai