Anda di halaman 1dari 6

Minggu, 26 Juni 2011

Bengkel Demokrasi Itu Bernama Teater O oleh Didik L.


Pambudi
Meskipun banyak yang tidak mengenal Teater O tetapi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (FS-
USU) identik dengan teater O. Lembaga mahasiswa yang kerap memberikan prestasi kepada FS-USU
serta tak lekang di panas tak lapuk di hujan hingga hampir 19 tahun pendiriannya (sejak 1 Oktober 1991)
adalah Teater O.

Ribuan anggotanya sudah tersebar di seluruh tanah air. Menariknya, anggota-anggota awal masih
banyak yang terus membesarkan teater ini. Misalnya, Yusrianto (alumnus Sastra Melayu angkatan 1986;
kini pegawai RRI) yang memberikan nama “O”. Ia masih terus menyutradai beberapa naskah yang
dianggap penting. Lalu Mukhlise (kawanku satu angkatan di Sastra Indonesia 1991) bahkan lebih gila
karena rela keluar dari editor berita sebuah harian bisnis di Medan karena ingin total berkesenian di
kampus (suatu hari USU, minimal FS-USU harus membangun patungnya).

Kini sedikit kuceritakan masa awal pendirian Teater O hingga aku merasa menjelma menjadi manusia
baru.

Cerita bermula ketika pada tahun 1991, sebelum aku masuk kuliah di FS-USU, terjadi pertengkaran
antar-sesama anggota Teatar Ladang yang merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di
USU. Cerita itu kuketahui beradarkan penuturan pendiri Teater O diantaranya Sastra Maulud, Yusrianto,
Ibrahim Sembiring…. Apa penyebab pertengkaran, aku tak ingin menceritakannya.

Pertengkaran menyebabkan Teater Ladang (saat itu bermarkas di Pendopo USU) terpecah dua.
Sebagian besar memilih keluar dari Teater Ladang dan berniat mendirikan teater baru di FS-USU.
Begitupun ada beberapa pekerja seni, diantaranya Thompson Hutasoit (biasa menyingkat marganya
dengan Hs) memilih bertahan di Teater Ladang.

Saat itu Thompson adalah mahasiswa senior dari Sastra Indonesia angkatan 1987. Ia lelaki yang kupikir
dikirim dari surga karena hampir seluruh pembicaraannya tak pernah kumengerti walau selalu
dibuktikannya. Yah mirip lagu Ebiet G Ade “Lelaki dari Surga”. Kukutipkan sedikit liriknya: …kata-katanya
tak bisa dimengerti namun selalu saja akhirnya terbukti. Dia lelaki gagah perkasa; dia lelaki ilham dari
surga…

Demikianlah. Sosok Thompson telah menyihirku. 

Pada masa perkenalan mahasiswa baru dengan para senior, Thompson bertanya padaku dan rekan-
rekanku, apakah kami suka berteater dan ingin menjadi anggota teater. Kami yang masih hijau raya-raya
tentu mengatakan suka dengan teater. Biasalah, lagi kemaruk (kupikir, ini diksi yang pas untuk euphoria)
jadi mahasiswa. Apa saja yang dianggap “melambangkan mahasiswa” pasti dijajal.
Ketika Senat Mahasiswa (Sema) FS-USU membuka pendaftaran bagi anggota teater, aku, Yulhasni (kini
dosen di Medan), Agus Mulia (kini staf balai bahasa di Medan), Mukhlise Win Ariyoga, Rahmat Efendi
Siregar (kudengar ia aktif berpolitik di Tapanuli Selatan), Hermansyah Putra (pernah jadi karyawan di
Taman Ria Medan sebelum gedungnya dipindahkan dari pusat kota untuk dijadikan hotel), Ali Sidiqin (kini
kepala sekolah), Saiful Bahri Lubis (kini guru di Palembang), Rosliani (kini staf balai bahasa di Medan)
yang semuanya mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 1991 segera mendaftar. Menyusul kemudian
Andry F. Isra (mahasiswa Sastra Inggris angkatan 1991, kini kapten TNI AU di Kupang) serta almarhum
Alfian (Sastra Melayu angkatan 1991, meninggal dalam pelatihan masuk Resimen Mahasiswa USU —
kabarnya karena sakit jantung—setelah keluar dari Teater O).

Aku, awalnya, tak tahu bahwa teater yang dibuka senat mahasiswa bukanlah Teater Ladang. Artinya,
tanpa kusadari, kelak aku justru berkompetitor dengan salah satu seniman yang kusukai, Thompson Hs.
Masuk teater memang bikin ketagihan. Meski, dalam hitungan hari, aku tahu teater milik senat
mahasiswa justru tandingan Teater Ladang tapi masa hari ini masih bicara perbedaan? Yang penting
berteater. Titik.

Aku pun masabodo dengan segala macam intrik di teater. Yang jelas, aku di teater untuk latihan dan
mengolah fisik serta mental plus spiritual.

Dan ternyata teater memang mantap, sehat menggemaskan, berkualitas, kompak, dan ini dia puncaknya:
demokratis.

Gank yang kudirikan waktu SMP pun kekompakannya kalah jauh.

Aku masuk teater karena punya masalah dengan kepercayaan diri. Bayangkan saja aku lulus dari SMA
sebagai peringkat ke-39 dari 40 siswa sekelas di SMAN 1 Binjai jurusan IPS 3. Peringkat ke-40 tidak
lulus. Artinya aku siswa dengan peringkat terakhir yang lulus. Kelasku IPS 3 juga bukan kelas bermutu.
Anak-anal sosial yang dianggap berbakat sosial tentulah sudah memenuhi kelas IPS 1 dan IPS 2.
Buruknya lagi, di ijazah, nilai matematikaku diganjar angka empat. Satu-satunya lulusan SMAN 1 Binjai
yang punya angka empat di ijazahnya. Klop sudah. Aku betul-betul merasa menjadi manusia terdungu. 
Lantaran pengetahuan teramat minim, aku lebih banyak main tebak saja ketika uji masuk USU dilakukan.
Saat tes matematika, aku bahkan hampir tak membaca soal yang diajukan. Tetapi ilmu tebak-tebakanku
berhasil. Aku diterima di USU. 

Mengapa aku masuk Sastra Indonesia ada juga hubungannya dengan kegemaranku membaca. Aku
membaca mulai karya Chin Yung dan Khu Lung (aku kurang suka Khopingho) hingga Arjuna Sasrabahu
sampai Pandawa Seda. Dulu aku hafal mati kisah kelahiran Bhisma (leluhur Pandawa-Kurawa) hingga
diangkatnya Parikesit sebagai raja sepeninggalan Pandawa. Tetapi yang betul-betul menohokku adalah
Gola Gong. Aku betul-betul merasa ditampar karena Gege (panggilan Gola Gong) yang cuma punya satu
tangan itu bisa menulis banyak buku. Egoku merasa luka, kenapa orang sehat seperti aku tidak bisa
seperti Gege? Padahal Gege juga bukan pelajar teladan semasa sekolah.

Begitu masuk teater, aku segera terkenang saat masuk sasana tinju ketika masih kelas 2 SMP. Fisikku
betul-betul dibantai. Bedanya jika di sasana aku dilarang memukul sansak apalagi sparing partner
lantaran pelatih menganggapku masih terlalu muda maka di teater aku seperti dipaksa menjadi atlet
profesional. Lari, push up dengan tangan terkepal, dan sit up di lantai semen jadi makanan hampir setiap
hari. Sastra Maulud, seniorku (mahasiswa bahasa Arab angkatan 1986, kini karyawan di PD Pasar
Medan) betul-betul membuat kami seperti berada di kamp militer. Anehnya, aku sangat menikmati.
Sebulan latihan teater, kami mulai merasa ada perbaikan. Aku mulai banyak makan dan mengurangi
rokok. Lalu datanglah hari yang ditunggu-tunggu. Memberikan nama bagi teater kami pada 1 Oktober
1991.

Sebagai basa-basi politik para senior kampus meminta kami untuk mengusulkan nama yang dianggap
bagus. Aku dan Agus Mulia mengusulkan nama Rajawali karena ada lagu Iwan Fals yang judulnya
Rajawali. Menurutku, Rajawali itu nama yang pas karena lambang negara kita pun rajawali (cuma diberi
nama garuda agar lebih bernilai sastra). Tetapi nama itu ditolak beramai-ramai oleh hampir seluruh
anggota teater. Kalah suara, kami segera berkoalisi dengan Rahmat Efendi Siregar yang menawarkan
nama Gita Nyali artinya tembang keberanian. Nama itu pun ditolak. Alasannya, itu sudah jadi judul
kumpulan puisi Gitanjali-nya Rabindranath Tagore (sastrawan pemenang Nobel). Ternyata alasan itu
memang mereka cari-cari saja. Kelompok senior sudah menyiapkan sebuah nama yakni “O”. Tentu saja
kami memerotes nama itu. Lambang “O” bukanlah lambang yang mudah ditafsirkan. Belum lagi secara
visual ”O” akan terlihat konyol karena meski bisa diartikan “baru mengetahui sesuatu” tetapi bisa juga
dibaca “0” (baca: nol) alias kosong. Nol berarti nihil atau tidak berarti sama sekali.

“Biar saja. Biar masyarakat yang menilai kita bakal seperti apa. Apakah mereka akan mengatakan ‘o’
karena ‘tahu maksudnya’ atau malah menganggap ‘0’ (baca: nol). Biarkan mereka yang menilai Aku
memang ingin agar teater kita ditafsirkan beragam. Biarkan mereka menilai kita. Tugas kita hanya
bermain teater sebaik-baiknya,” kata Yusrianto.
Lantas meski tetap tak puas dengan nama yang kupikir tolol itu, tetap saja aku menyetujuinya karena
dalam pemungutan suara kami kalah telak. Rajawali hanya didukung dua suara: aku dan Agus.
Sementara Gita Nyali hanya didukung sekitar lima suara, meski kami sudah berkoalisi.

Para penggagas pendirian Teater O diantaranya Agus Bambang Hermanto (kini staf balai bahasa di
Medan), Sastra Maulud, Ibrahim Sembiring (kini staf Balai Bahasa di Aceh), Yos Rizal (kini dosen FS
USU)… ternyata tidak main-main dengan Teater O. Mereka menggandeng salah satu teaterwan Sumut
yang paling cerdas, almarhum Buoy Hardjo (meninggal karena sakit di Malaysia, 2002). 

Buoy adalah anak Taguan Hardjo pelukis sekaligus pengarang komik Musang Berjanggut. Buoy
dibesarkan dalam lingkungan dan sangat mencintai kesenian. Saat itu ia tercatat sebagai redaktur
budaya di Harian Analisa, Medan. 

Berdasarkan catatan D Rifai Harahap, Buoy merupakan salah satu anggota Teater Nasional. Teater yang
pernah jadi terbaik di Sumatera Utara itu didirikan Burhan Piliang, Sori Siregar, Mazwad Azham, Isqak S,
dan Rusli Maha di kediaman Taguan Hardjo, tahun 1963.

Buoy pernah cerita, ia lama berguru pada dedengkot teater Arifin C Noor. Ia pun pernah mendirikan
teater bersama Dorman Borisman di Jakarta. Pulang ke Medan, ia menjadi wartawan dan beraktifitas di
Teater Nasional. Sayang, Teater Nasional lama vakum hingga Buoy fokus pada dunia jurnalistik. Tentu
semangatnya untuk berteater tak pernah hilang hingga ia menyambut sangat gembira ketika diminta
melatih kami, mahasiswa baru yang tak pernah kenal teater. 

Pembagian tugas antara para senior di kampus dengan Buoy Hardjo jelas. Para senior menggembleng
fisik kami habis-habisan sementara tugas Bouy adalah menempa psikis kami hingga kami benar-benar
mampu menjadi teaterwan terutama aktor yang baik. Gilanya, Buoy tidak meminta imbalan apa pun untuk
tugas mahaberat itu. Baginya, merupakan kebanggaan diminta menyalurkan ilmu kepada para
mahasiswa.

Mengenal Buoy seperti mengenal kehidupan. Ia melatih tiga kali seminggu. Ia guru yang baik. Setiap
melatih, ia betul-betul membuat kami dicerahkan. Ia tidak sedang menciptakan aktor tetapi membuat
kami menjelma. Jika ada yang berperan sebagai orang gila maka orang itu harus gila dalam arti
sebenarnya bukan pura-pura gila. Tentu saja semula arahannya kami anggap gila hingga kemudian kami
paham Deddy Mizwar bukanlah aktor tetapi mantan pencopet yang jadi jenderal dalam Naga Bonar
(belakangan aku tahu, tokoh Naga Bonar adalah almarhum Kolonel Bejo yang terkenal dalam
pertempuran Medan Area akhir 1945), sementara Ray Sahetapy adalah petinju dalam Opera Jakarta
(Ray berlatih tinju sekitar setengah tahun sebelum berperan). 

Di sisi lain, Buoy juga mengajarkan tentang dunia penulisan, demokrasi, hingga perpolitikan di tanah air
Ia sering bercerita tentang esensi kemanusiaan. Ia pernah lama cerita panjang kepadaku tentang
ayahnya yang membuat sebuah komik bergambar bertema “roda”. Komik itu berlatarbelakang usai
perang dunia ketiga. Manusia-manusia yang selamat dari perang—belajar dari pengalaman—tak mau
lagi mengenal teknologi. Buku suci dibuat agar manusia tidak boleh lagi berpikir. Demikian berlangsung
berabad-abad. Hingga seorang pemuda membuat sebuah roda. Para tetua adat kemudian memutuskan
menghukum mati lelaki itu dan memusnahkan roda temuannya. Mereka beranggapan, roda yang
ditemukan pemuda itu adalah awal teknologi yang akan membuat generasi penerus kembali melakukan
kanibalisasi seperti perang dunia ketiga yang dikisahkan dalam buku suci.

Sebagai seorang realis, Buoy mengatakan naskah itu terlalu mengada-ada tetapi ia suka dengan
temanya dan berencana mengadaptasinya menjadi sebuah naskah drama. 

Buoy membuatku takjub dengan sebuah imajinasi luar biasa mengenai manusia. Dihancurkan teknologi
kemudian menjadi antipati pada pikiran. Manusia yang tak ingin sebuah kehancuran terulang, anehnnya
malah menghancurkan kehidupan seorang manusia yang terlahir memiliki otak untuk berpikir. Lewat
komiknya, seorang seniman (dalam hal ini Taguan Hardjo) ternyata begitu liar menghantam kiri kanan.
Sejak saat itu, aku belajar menulis.
Akhir 1991, Teater O menggelar sebuah pertunjukan di kampus yang diberi nama “jamuan Jembalang”.
Jembalang dalam bahasa Melayu berarti roh para leluhur. Konsep pertunjukan “teater jalanan”. Artinya
dipentaskan tanpa panggung dan mengikutsertakan sebanyak mungkin penonton. Pertunjukan murni
improvisasi. Hanya dibikin garis besar, seorang mahasiswa (kebetulan aku yang diminta memerankan)
kesurupan jembalang. Para mahasiswa (yang bukan anggota teater) diminta ikut berdoa agar aku pulih
dari kesurupan. Sementara anggota Teater “O” lainnya menggelar jamuan dengan terus membakar dupa
dan menabur bebungaan.

Pertunjukan digelar saat dupa dibakar. Ketika asap semakin tebal, kami pun menari sesuka hati. Lantas
aku (pura-pura) terjatuh dan kejang-kejang. Kawan-kawan kemudian mengangkatku, menyiramkan air,
bertanya macam-macam, dan aku pun terus mengerang dalam kekejangan. Anggota teater kemudian
membawaku berkeliling kampus; masuk dari satu lokal ke lokal lain minta pertolongan. Ketika bebungaan
semakin banyak ditaburkan, aku dibawa ke panggung terbuka di tengah fakultas. Lantas pelan-pelan
tersadar.

Aku tak pernah tahu, bahwa pertunjukan yang kuanggap main-main ternyata menyihir begitu banyak
mahasiswa. Seorang mahasiswa bernama Imelda bahkan tidak tahu itu semua hanya drama hingga ia
menikah denganku, hampir sembilan tahun kemudian.

Usai pertunjukan jembalang-jembalangan itu, para anggota teater yang senior mulai unjuk gigi dengan
membacakan puisi. Ada yang santai; ada yang kalem; tetapi ada juga yang menjerit-jerit. Mukhlise dan
Agus pun mulai pamer diri. Aku juga ingin tampil. Tetapi membacakan puisi siapa? Seluruh kawanku
membacakan puisi mereka sendiri.

Hujan mulai turun. Kawan-kawan makin bersemangat. Bahkan mulai banyak yang membuka baju agar
penampilan terlihat makin liar saat badan kekar dan rambut panjang tersibak angin dan basah dihantam
hujan. Aku masih diam.

Akhirnya, gemuruh dadaku tak tahan lagi meminta kemerdekaan. Aku pun melepas baju lantas
(mencoba) bersajak.

Inilah bunyinya:

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! (baca: ucapkan kelamin dalam berbagai bahasa daerah)


Berbedabeda tetapi itu-itu juga
Ini sajak bhineka tunggal ika

Lantas aku melihat kebebasan dan kemerdekaan itu. Para seniorku tertawa; kawan-kawanku terbahak;
para mahasiswa (terutama perempuan) yang berlalu-lalang cengar-cengir menahan geli. Tidak seorang
pun yang memakiku; tidak seorang pun yang menghujatku. 

Sejak saat itu aku tahu, Teater O telah menempaku menjadi manusia baru. 
Sejak saat itu aku tahu, Teater O adalah sebuah bengkel demokrasi yang tak pernah mati. 

Ditulis sebagai penghormatan untuk Teater O USU sekaligus menyambut Hari Teater Sedunia yang jatuh
setiap 27 Maret

Mahasiswa, Teater dan Dunia Kesastraan di USU oleh Yulhasni


(Sebuah  Ironi Panggung Realis Kampus Sastra USU) 

Dalam benak kita hari ini tentu akan terlintas bayang-bayang masa lalu tentang kegemilangan
pertunjukan teater di Sumut, meski saya kadang menganggap bayang-bayang itu hanyalah kamuflase
sejarah kebenaran. Kegemilangan itu hanya dikenang oleh orang-orang yang merasa berjasa meletakkan
dasar perteateran Sumatera Utara. Selanjutnya, inilah yang kini kita tonton di panggung-panggung teater
Sumut kegairahan yang semu. Itu bisa dilihat dari betapa banyaknya pagelaran teater yang digiring ke
panggung-panggung kesenian di Medan ini, tapi berapa banyak pula yang menyatakan gagal meski
hanya dengan berkata : lumayanlah!Nah, kegagalan itu sudah dimulai di kampus-kampus, tidak
terkecuali Fakultas Sastra USU, ketika sebagian besar mahasiswa sastra (Sastra Indonesia, Sastra
Daerah dan Sastra Inggris), berpaling dari dunia teater. Berpaling dalam artian tidak hanya sekedar tidak
bergabung, tapi sama sekali kegairahan untuk mendalami dunia teater, nyaris tidak terdengar.

Sebagai bahan perenungan, di awal 90-an, terutama tahun 1991, panggung teater kampus sastra USU
adalah milik anak-anak sastra Indonesia. Nah di periode itu pula, sejarah teater, aktor teater, aliran teater
sampai praktik teater kemudian menjadi kehidupan keseharian anak-anak sastra Indonesia. Kegairahan
itu bertahan hingga di tahun 1995. Setelah itu, anak-anak sastra Indonesia pun hilang dari kancah
perteateran kampus. ðKeredupan itu pun seiring dengan ketidakpedulian institusi (dosen dan pengambil
kebijakan di jurusan) untuk memperhatikan nasib kesastraan di tingkat mahasiswanya. Dalam kondisi
seperti itu, mungkin pertanyaan yang paling mendasar sekarang adalah : apakah mahasiswa
sastra Indonesia mengetahui sejarah perkembangan teater di Indonesia, terutama di tahun 90-an, selain
hanya mengkonsumsi sejumlah literatur klasik karangan Jakob Sumardjo, Saini KM atau Boen S
Omardjati. Atau lebih ekstrimnya, apakah mahasiswa Sastra Indonesia mengetahui perkembangan teater
di Sumatera Utara, minimal kota Medan. Pertanyaan mendasar ini akan menjawab, sudah sejauh mana
mata kuliah Kajian Drama Indonesia (KDI) yang 4 SKS itu menuntaskan pengetahuan teater mahasiswa
sastra Indonesia. Saya tidak akan bicara sejarah perteateran secara nasional, karena itu sudah begitu
gamblang dicata oleh Jako Sumardjo dalam bukunya Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama
Indonesia terbitan Citra Aditya Bakti, 1992.Kita hanya perlu sedikit mengetahui bahwa teater di Sumut
berada antara pentas kesenian di pelbagai rumah kaca sudah begitu booming dengan realita bahwa
masih ada orang yang percaya dengan dunia panggung ini. Padahal dalam kondisi demikian, apalagi
yang bisa diadu? Adu aktor dan aktris pendukung, panggung teater jelas kalah segalanya. Adu naskah,
bisalah perbandingannya 50:50. Adu penonton, tidak bisa kita ukur. Adu iklan, tidak akan pernah teater
mencapainya.Teater hanya bisa memajang spanduk ucapan selamat mentas Realita itu adalah bagian
terkecil yang sebenarnya juga tidak layak kita perbandingkan. Tapi kondisi itu bisa saja kemudian
direnungkan untuk mencari celah paling kecil ke masyarakat penonton agar teater bisa diterima.Tapi
upaya itu juga tidak bisa mencapai hasil maksimal karena panggung teater yang dipahami hanyalah pada
batasan lampu, kostum, make up, dan naskah. Teater tidak diartikan dalam spectrum yang luas dimana
masyarakat bisa menemukan keinginan mereka di panggung teater. Semestinya teater menyediakan
banyak ruang untuk apresiasi kehidupan social. Hanya saja, wajah teater kita di daerah ini dari waktu ke
waktu tetap tidak pernah mau menyentuh realitas sosial masyarakat yang sesungguhnya. Pekerja teater
kita malu-malu untuk menjadi martir bagi perubahan sosial ada lingkup yang paling kecil sekalipun.

Dalam kondisi itulah keberadaan teater kampus menjadi tumpuan. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi
seperti yang kita saksikan sekarang, terutama di komunitas Teater ‘O’. Di lembaga ini, praktis hanya
berhimpun mahasiswa yang senang teater, tanpa memiliki pengetahuan dasar tentang dunia teater itu
sendiri. Mereka memperoleh pengetahuan dasar teater tanpa bisa menjelaskan sejarah, aktor, dan
pelbagai elemen teater itu sendiri. Tapi perjalanan waktulah yang akhirnya membuat mereka lambat laun
juga memperoleh pengetahuan dasar teater. Interaksi dengan pelbagai grup teater, diskusi rutin hingga
‘ngomong-ngomong kedai kopi’ kadang menambah wawasan tentang dunia teater. Alhasil, mahasiswa
ekonomi, politik hingga seorang guru sekolah taman kanak-kanak (TK) sedikit banyaknya mengetahui
sejarah perkembangan teater modern Indonesia.

Bagaimana dengan mahasiswa sastra yang waktunya habis menguliti dunia sastra? Mahasiswa sastra
yang setiap haris berhadapan dengan disiplin ilmu kesastraan, nyaris hanya jadi penonton setia dari
hangar-bingar panggung teater yang digarap kawan-kawan di kampus Sastra USU. Ironi inilah yang
sebenarnya jadi panggung terater realis kampus sastra USU. Bukan hanya panggung teater, kegiatan
kesastraan yang menjadi cermin aplikasi mahasiswa sastra terhadap ilmu yang mereka pelajari, sampai
sekarang nyaris tidak terdengar. Mahasiswa Sastra Indonesia tidak lagi mampu menulis puisi, cerpen,
esai sastra ke pelbagai suratkabar yang ada di Medan ini. Padahal di tahun 80-an hingga 90-an, bicara
soal sastra tanpa melibatkan anak-anak sastra FS USU sama artinya ‘bicara ngawur’.
Mahasiswa memang tidak disiapkan untuk jadi aktor panggung yang brilian. Mahasiswa pun tidak
disiapkan untuk jadi penyair, novelis, cerpenis ataupun gelar-gelar bangsawan dalam disiplin ilmu sastra
lainnya. Akan tetapi, mahasiswa tidak bisa begitu saja mengelak pertanggungjawaban bahwa di pundak
merekalah maju mundurnya dunia kesusastraan ini bergantung.  Maka ketika mahasiswa sastra
(Indonesia) hanya mengandalkan teks-teks yang setiap hari diajarkan oleh para dictator (dosen yang
mengandalkan diktat), maka pengetahuan mereka tentang sastra pun terhenti sampai di situ. Karena
sejalan dengan perkembangan kebudayaan, maka sastra pun mengikutinya, tidak terkecuali dunia
panggung teater.

Teks-teks dalam diktat dosen sepanjang sejarah saya kuliah, tidak akan mau berinteraksi dengan
informasi aktual dari perkembangan sastra. Maka tidak heran jika dalam satu kesempatan ketika saya
mengikuti ujian akhir sarjana dengan mengusung ide postmodernisme dalam sastra, salah seorang
dosen senior Sastra Indonesia tidak mengetahuinya sama sekali. Ini sebuah ironi yang hingga sekarang
masih menjadi catatan tersendiri bagi saya. Dosen selalu bergantung kepada buku-buku sastra ‘kuno’
karena enggan dan mungkin juga malas membeli buku-buku terbaru sastra itu sendiri.

Realita itulah yang sekarang dihadapi mahasiswa Sastra Indonesia. Di tengah kondisi itu, tidak ada jalan
lain selain belajar secara otodidak. Mencari informasi perkembangan kesastraan di pelbagai buku,
majalah dan koran, mau tidak mau harus disentuh mahasiswa Sastra Indonesia, jika tidak mau disebut
katak di bawah tempurung.

Tulisan ini dibuat untuk Diskusi Mingguan KBSI Fakultas Sastra USU, Kamis 12 Mei 2005

Anda mungkin juga menyukai