Anda di halaman 1dari 22

MATERI 7

PEMBAGIAN SELISIH HASIL USAHA

TIM WIDYAISWARA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT


DINAS KOPERASI DAN USAHA KECIL
UPTD. BALAI PENDIDIKAN PELATIHAN PERKOPERASIAN DAN WIRAUSAHA
Jalan Soekarno-Hatta No.708 Gedebage Bandung Telp. 022-7807541, Fax. 022-7805742

1
SELISIH HASIL USAHA (SHU)
Tim Widyaiswara BP3W

I. KONSEP, DEFINISI DAN PENGERTIAN

Koperasi tidak menggunakan istilah laba atau keuntungan untuk menunjukkan

selisih antara penghasilan yang diterima selama periode tertentu dengan

pengorbanan yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan itu. Selisih ini,

didalam koperasi disebut dengan Sisa Hasil Usaha (SHU). SHU ini setelah dikurangi

dengan biaya-biaya tertentu akan dibagikan kepada para anggota sesuai dengan

perimbangan jasanya masing-masing. Jasa anggota diukur berdasarkan jumlah

kontribusi masing-masing terhadap pembentukan SHU ini. Ukuran kontribusi yang

digunakan adalah jumlah transaksi anggota dengan koperasi selama periode

tertentu. Dalam Undang-Undang nomor 25 Tahun 1992 (pasal 45 ayat (1))

disebutkan bahwa Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi merupakan pendapatan koperasi

yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan dan

kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan. Sisa Hasil

Usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding

dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi,

serta digunakan untuk keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan lain dari

koperasi, sesuai dengan keputusan Rapat Anggota (pasal 45 ayat (2). Pada ayat ke

2
(3) disebutkan bahwa besarnya pemupukan dana cadangan ditetapkan dalam Rapat

Anggota.

Secara teoritis atau keilmuan baik di Indonesia maupun dibelahan dunia lain

pada perusahaan koperasi tidak terdapat istilah Sisa Hasil Usaha (SHU), yang ada

istilahnya yaitu Surplus, istilah ini mengikuti kecenderungan dari berbagai lembaga

internasional seperti International Cooperative Alliance (ICA), Internasional Labour

Organization (ILO) dan lain-lain yang menggunakan istilah Surplus untuk kelebihan

pendapatan koperasi diatas biayanya. Didalam pengertian sebaliknya, berlaku istilah

defisit. Terminologi surplus dan defisit lebih sesuai digunakan di dalam koperasi dari

pada terminologi laba/rugi, karena koperasi tidak berorientasi kepada laba. Istilah

SHU memberikan kesan cenderung bernilai positif, padahal SHU sangat

dimungkinkan bernilai negatif (yang dalam perusahaan kapitalistik disebut sebagai

rugi). Penggunaan istilah surplus/defisit di dalam koperasi dilandasi oleh pemikiran

bahwa tujuan koperasi adalah untuk mempromosikan anggota dan karena itu Roy

(1981) menyatakan koperasi bekerja atas dasar operasional at cost (bekerja pada

tingkat biaya). Walaupun secara teoritis bahwa istilah SHU tidak ada, tetapi didalam

Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku di Indonesia menyebutkan istilah

kelebihan antara pendapatan dan biaya yang dikeluarkan oleh koperasi disebut

dengan Sisa Hasil Usaha (SHU), maka dalam pengertian ini yang kita pakai adalah

yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 yaitu dengan sebutan

Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi.

3
II. SURPLUS KOPERASI

Timbulnya surplus atau defisit koperasi berkaitan dengan penggunaan seluruh

partisipasi neto anggota untuk menutupi biaya-biaya riil overhead pelayanan dan

organisasi koperasi. Tetapi di dalam sistem akuntansi, dituntut pencatatan terhadap

sesuatu transaksi keuangan dan karena itu perhitungan surplus harus ditelusuri dari

seluruh komponen transaksi. Untuk memudahkan penjelasannya, digunakan

pendekatan praktis didalam bentuk contoh hiptetik.

Diasumsikan koperasi melayani pengadaan input X untuk memenuhi

kebutuhan proses pada rumah tangga anggota, sebanyak Q unit sesuai dengan

program Kerjanya. Harga beli input sebesar Rp 1.000, dan kopersasi mengambil

marjin harga sebesar Rp 100 Per unit. Sehingga anggota harus membayar harga

input kepada koperasi sebesar Rp 1.100 per unit. Berdasarkan contoh tersebut, maka

partisipasi bruto dan neto anggota dapat dihitung sebagai berikut :

Partisipasi bruto anggota :Q (Rp 1.100)


Harga pokok input :Q (Rp 1.000) (-)
Partisipasi neto anggota :Q (Rp 100)

Partisipasi neto anggota sebesar Q(Rp 100) biasanya disebut sebagai

pendapat koperasi dan digunakan untuk menutupi biaya-biaya overhead pelayanan

dan organisasi koperasi. Katakanlah, pada periode tutup buku tercatat biaya riil

untuk overhead pelayanan sebesar Q(Rp 60) dan biaya organisasi sebesar Q(Rp 15).

4
Karena pendapatan sebesar Q(Rp 15) disebut sebagai sisa partisipasi anggota.

Perhitungannya sebagai berikut :

Partisipasi bruto anggota :Q (Rp 1.100)


Harga pokok input :Q (Rp 1.000) (-)
Partisipasi neto anggota :Q (Rp 100)
Biaya overhead pelayanan :Q (Rp 60)
Biaya organisasi :Q (Rp 25) (+)
Biaya-biaya :Q (Rp 85) (-)
Sisa partisipasi anggota :Q (Rp 15)

Sisa partisipasi anggota sebesar Q (Rp 15) disebut sebagai surplus koperasi

(di Indonesia digunakan istilah Sisa Hasil Usaha), bilamana kegiatan koperasi hanya

melayani anggota saja. Hal ini perlu ditegaskan, mengingat didalam praktek banyak

pula dijumpai koperasi yang melayani bukan anggota. Sebenarnya, pelayanan

koperasi terhadap bukan anggota merupakan bisnis murni, karena koperasi tidak

terikat oleh tugas mempromosikan bukan anggota. Karena sifatnya bisnis murni,

maka hasil bisnis dengan bukan anggota disesuaikan berdasarkan pendekatan

laba/rugi.

Karena disebut sebagai sisa partisipasi anggota, maka nilai surplus sebesar

Q(Rp 15) dikembalikan kepada anggota yang berhak. Prinsip koperasi yang universal

menyebutkan bahwa surplus koperasi (sisa hasil usaha) dibagikan kepada anggota

menurut jasa masing-masing anggota. Jasa anggota dimaksudkan di sini adalah jasa

anggota di dalam membiayai organisasi koperasi, yaitu sebesar partisipasi neto

5
masing-masing anggota. Apabila anggota ke 1, 2, 3 dan seterusnya telah

memanfaatkan pelayanan koperasi masing-masing sebanyak q 1, q2, q3 dan

seterusnya, berarti : Q=q1+q2+q3 …………qn. Dengan demikian, anggota akan

menerima pembagian surplus masing-masing sebesar:

q1
Anggota ke 1 :
()
Q
.Q( Rp.15 )

q2
Anggota ke 2 :
()
Q
.Q( Rp .15 )
dan seterusnya

Dengan demikian, pengertian surplus koperasi adalah kelebihan partisipasi

neto anggota di atas biaya overhead riil koperasi. Kelebihan ini dikembalikan kepada

anggota sesuai dengan besar-kecilnya partisipasi neto masing-masing anggota.

Berdasarkan logika tersebut maka yang disebut dengan jasa anggota adalah identik

dengan partisipasi neto anggota. Partisipasi neto anggota adalah kewajiban anggota

untuk ikut serta mengangggung biaya organisasi koperasi, karena itu berlaku prinsip

anggota membiayai koperasi. Pada sisi lain, anggota juga diwajibkan untuk menyetor

penyertaan modal sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh koperasi. Karena itu

pengertian anggota memodali koperasi dan anggota membiayai koperasi adalah dua

pengertian yang berbeda.

6
III. DEFISIT KOPERASI

Katakanlah, disertai dengan berbagai alasan yang dapat diterima, maka

manejemen koperasi melaporkan bahwa sisa partisipasi anggota bernilai minus.

Sebaiknya tidak dikatakan bahwa koperasi merugi, melainkan koperasi mengalami

defisit. Defisit koperasi mengindikasikan bahwa partisipasi bruto dan atau partisipasi

neto anggota terhadap koperasi tidak mencukupi untuk menutup semua beban

pengeluaran koperasi. Karena itu setiap anggota yang telah menggunakan pelayanan

koperasi harus menambah partisipasi finansialnya masing-masing untuk menutupi

defisit kopersai tersebut. Sama halnya seperti mendistribusikan surplus, maka defisit

koperasi dibagikan sesuai dengan besarnya jasa masing-masing anggota. Misalnya

defisit koperasi sebesar Q(Rp. 5), maka: beban tambahan yang harus disetorkan

oleh anggota ke 1 sebesar:

q1
()Q
.Q( Rp.5)

Beban tambahan yang harus disetorkan oleh anggota ke 2 sebesar :

q2
()Q
.Q( Rp .5)
dan seterusnya

Defisit koperasi mengindikasikan bahwa kewajiban anggota untuk membiayai

koperasi sebesar partisipasi netonya tidak mencukupi untuk menutup semua beban

overhead organisasi koperasi dan karena anggota harus menutupnya dengan

menyetor sejumlah kekurangannya. Dalam hal ini tetap berlaku prinsip pembagian

7
menurut jasa masing-masing anggota. Artinya, pada saat koperasi memiliki surplus

maka angggota menerima pembagian surplus sesuai dengan bobot jasa atau

partisipasi netonya. Sebaliknya, pada saat koperasi mengalami defisit, maka setiap

anggota terkena beban tambahan sebesar jasa masing-masing pula. Berdasarkan

prinsip ini, maka tidak ada persoalan tentang untung atau rugi di dalam koperasi,

melainkan yang ada adalah persoalan ada tidaknya dampak manfaat koperasi

terhadap rumahtangga anggota. Timbulnya surplus atau defisit, bukan untung atau

rugi, sejauh dapat dipertanggung jawabkan akan didistribusikan kepada seluruh

anggota.

Masalahnya, bahwa ketika terjadi defisit di dalam koperasi, biasanya sulit

untuk menarik tambahan partisipasi finansial dari anggota, apalagi bila jumlah

anggota sedemikian banyaknya dan berada pada lokasi yang tersebar. Karena itu,

pada saat koperasi memperoleh surplus, maka surplus tersebut tidak seluruhnya

dikembalikan/didistribusikan kepada anggota, melainkan sebagian (biasanya dalam

prosentase tertentu menurut ketentuan) disisihkan terlebih dahulu sebagai dana

cadangan. Fungsi utama dana cadangan adalah untuk menutup defisit koperasi

bilamana terjadi. Dengan demikian, penyelesaian defisit koperasi menjadi lebih

mudah dan anggota terhindar dari beben tambahan, yang bila terjadi dapat menjadi

sumber permasalahan bagi manajemen koperasi. Selama defisit belum terjadi, dana

cadangan dapat diputar sebagai modal koperasi dengan status sebagai modal

sendiri.

8
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa koperasi tidak

memiliki laba dan rugi, sebab hal manapun yang terjadi akan jatuh ke tangan

anggota juga. Sebagian besar pelaku usaha kapitalistik berpendapat bahwa pola

kerja seperti koperasi adalah hal yang niscaya. Sampai kapanpun koperasi tidak

mungkin maju dan menjadi besar. Kaum kapitalis meyakini bahwa satu-satunya

faktor pendorong memajukan usaha adalah dicapainya laba secara optimum. Mereka

belum menyadari bahwa mati-hidupnya koperasi atau maju-mundurnya koperasi

tidak bersumber pada laba melainkan pada partisipasi anggota. Bila diinginkan agar

koperasi sebagai suatu institusi ekonomi menjadi lebih besar dan lebih maju, maka

anggota harus bersedia berpartisipasi lebih besar lagi. Misalnya, koperasi perlu

melakukan investasi guna memperbesar peranannya, maka anggota dapat

memutuskan untuk meningkatkan partisipasi netonya dan atau sisa partisipasi

mereka tidak didistribusikan melainkan dijadikan modal investasi. Keputusan koperasi

untuk membentuk dana cadangan merupakan keputusan strategis di dalam

memperkuat modal koperasi. Dana cadangan yang secara terus menerus dipupuk

dapat dijadikan sebagai sumber modal investasi sehingga koperasi menjadi

berkembang sesuai dengan tuntunan anggotanya. Dana cadangan tersebut tidak lain

merupakan wujud dari partisipasi anggota karena merupakan sisa partisipasi neto

anggota yang tidak didistribusikan. Karena itu dana cadangan adalah milik seluruh

anggota dan bila dana cadangan diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk aset

9
koperasi, maka aset-aset tersebut juga dimiliki oleh seluruh anggota. Artinya,

anggota sebagai pemilik koperasi memiliki klaim terhadap seluruh aset koperasi.

IV. BISNIS KOPERASI DENGAN BUKAN ANGGOTA

Yang dimaksud dengan bisnis koperasi dengan bukan anggota adalah bahwa

selain koperasi melayani barang/jasa kepada anggota, koperasi juga melaakukan

transaksi jual-beli dengan bukan anggota di dalam komoditas yang sama. Misalnya,

koperasi berfungsi di dalam pengadaan input produksi untuk memenuhi kebutuhan

anggota, maka koperasi juga menjual input yang sama kepada bukan anggota. Atau,

koperasi berfungsi menampung produk-produk yang dihasilkan oleh anggota untuk

dipasarkan ke konsumen dan koperasi juga menampung/ membeli produk yang

sama dari bukan anggota. Apabila hal ini terjadi begitu saja tanpa landasan

kebijakan yang jelas maka cenderung koperasi bergeser menjadi market lingkage

cooperative dan dapat berakibat menjauhkan koperasi dari tugas pokoknya untuk

mempromosikan anggota (hanel;1992)

Karena itu, bila bisnis koperasi dengan bukan anggota perlu dilakukan oleh

koperasi maka seharusnya masih tetap di dalam kerangka misi koperasi untuk

mempromosikan anggota. Hal ini terjadi berhubung dengan kapasitas gabungan dari

seluruh anggota ke dalam koperasi mengikuti konsep skala ekonomi. Tetapi

kapasitas gabungan tersebut masih belum mencapai MES (Margin Economic Scale) di

koperasi.

10
Gambar grafik dibawah menggambarkan kondisi biaya persatuan produk pada

rumah tangga anggota. Kapasitas optimum individual berada pada jumlah produksi

sebesar OQi = 1.000 unit tingkat biaya OC i. Apabila hasil produksi seluruh individu

digabungkan ke dalam koperasi, dicapai jumlah produksi total sebesar OQ a =70.000

unit, dan biaya produksi di tingkat rumah tangga anggota berhasil diturunkan sampai

sebesar OCa. Tetapi pada kapasitas OQa itu koperasi belum bekerja secara optimum,

sebab MES dicapai pada kapasitas OQ k = 100.000 unit. Apabila koperasi bekerja

pada skala mencapai MES, maka biaya produksi pada rumah tangga anggota dapat

diturunkan lebihrendah lagi menjadi sebesar OC k. Dalam hal ini menejemen harus

memutuskan kepada kapasitas maka hendak dicapai di dalam kegiatannya. Sesuai

dengan tujuan koperasi untuk mempromosikan anggota, maka keputusan yanglogis

adalah koperasi bekerja pada kapasitas optimum mencapai MES, dengan

konsekuensi terdapat kelebihan kapasitas sebanyak Q aQk = 30.000 unit. Kelebihan

kapasitas koperasi tersebut ditawarkan ke pasar bukan anggota masih didalam

kerangka koperasi untuk memproduksi manfaat bagi anggota agar menjadi lebih

besar lagi, yaitu untuk mencapai tingkat biaya yang paling efisien.

Rp (a) keadaan individu AC Rp (b) keadaan di koperasi

11
AC AC
C MES
C
C
Non
Anggota

Q Q
0 Q1 0 Q1 Q2
1.000 70.000 100.000

Gambar grafik : Apabila kegiatan individual digabungkan kedalam koperasi,

maka koperasi bekerja pada kapasitas Q a =70.000 unit, sedangkan MES di koperasi

dapat dicapai pada kapasitas Qk =100.000 unit. Kelebihan kapasitas sebesar 30.000

unit dipergunakan oleh koperasi untuk berbisnis dengan bukan anggota.

Terhadap bukan anggota, koperasi tidak terikat oleh kewajiban untuk

mempromosikan mereka. Terhadap bukan anggota, semua nilai, norma dan prinsip-

prinsip koperasi menjadi tidak berlaku. Terhadap bukan anggota, koperasi

melakukan bisnis murni seperti layaknya perusahaan kapasitalistik yang mengejar

laba. Tidak ada istilah sisa partisipasi bukan anggota, melaikan yang ada adalah laba

atau rugi dan ditampilkan dalam bentuk laporan laba/rugi seperti halnya dilakukan

oleh perusahaan kapitalistik. Karena itu, pelayanan koperasi terhadap anggota dan

bisnis koperasi dengan bukan anggota, harus dicatat dan diadministrasikan secar

terpisah, sebab terhadap ke duanya ada perlakuan dan pelaporan yang berbeda.

12
Proporsi aktivitas koperasi, antara volume pelayanan terhadap anggota dan

volume bisnis dengan bukan anggota, dapat dijadikan sebagai salah satu indikator

mengenai arah orientasi kegiatan koperasi. Sangat mungkin terjadi di dalam praktek

bahwa koperasi bekerja 100% untuk berbisnis dengan pasar bebas, dengan alasan

bahwa surplus yang diperoleh dapat dipergunakan untuk meningkatkan

kesejahteraan anggota. Koperasi di arahkan untuk mengejar laba dan laba koperasi

dijadikan sumber untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Keputusan seperti itu

adalah keliru, sebab yang didirikan seharusnya adalah perusahaan kapilalistik, bukan

berbentuk koperasi.

V. SURPLUS, DEFISIT DAN DISTRIBUSINYA

Laba/rugi koperasi yang diperoleh dari bisnis koperasi dengan bukan anggota

distribusikan dengan cara yang sama seperti halnya mendistribusikan sisa partisipasi

anggota, atau dengan cara yang berbeda diputuskan oleh koperasi di dalam rapat

anggota atau diatur menurut aturan baku. Di dalam banyak kasus terjadi bahwa

kekuatan modal koperasi bersumber dari dana cadangan yang disisihkan dari surplus

secara terus menerus. Dana cadangan adalah surplus koperasi yang tidak dibagikan,

sedangkan surplus itu adalah sisa partisipasi anggota. Kesimpulannya, dana

cadangan adalah milik anggota juga, berasal dari sisa partisipasi anggota yang tidak

dikembalikan kepada anggota. Partisipasi neto anggota diberikan kepada koperasi

pada saat anggota memanfaatan pelayanan koperasi. Artinya besar kecilnya

partisipasi neto anggota tergantung pada besar kecilnya partisipasi anggota sebagai

13
pelanggan. Berdasarkan alur logika seperti ini, maka terdapat kontribusi anggota

terhadap dana cadangan yang besar kecilnya ditentukan oleh partisipasi anggota

sebagai pelanggan. Dengan demikian, distribusi laba/rugi koperasi atas bisnisnya

dengan bukan anggota antara lain dapat dilakukan dengan memperhitungkan jasa

anggota di dalam posisinya sebagai pelanggan koperasi, yang berarti

menggambarkan juga partisipasi anggota terhadap perbentukan dana cadangan. Bila

laba/rugi koperasi didistribusikan dengan cara yang sama seperti mendistribusikan

sisa partisipasi anggota, maka surplus atau defisit koperasi dibentuk oleh dua unsur,

yaitu sisa partisipasi anggota ditambah dengan laba/rugi koperasi, atau:

SURPLUS/DEFISIT KOPERASI = SISA PARTISIPASI ANGGOTA + LABA/RUGI KOPERASI

Formula perhitungan di atas dapat dijadikan alat evaluasi, misalnya untuk

melihat komponen mana yang dominan di dalam membentuk surplus/defisit

koperasi. Apabila surplus defisit koperasi didominasi oleh sisa partisipasi anggota,

maka munculnya laba/rugi koperasi mungkin di dalam rangka memanfaatkan

kapasitas lebih saja. Apabila terjadi sebaliknya dapat disimpulkan bahwa koperasi

cenderung meninggalkan tugasnya sebagai lembaga promosi anggota dan lebih

mengarah kepada bentuk perusahaan kapitalitas. Munkner (dalam jatidiri koperasi;

2001) menyatakan bahwa bisnis koperasi dengan bukan anggota hendaknya tidak

lebih 40% dari volume total kegiatan koperasi. Batasan tersebut dimaksudkan agar

koperasi tetap berada pada tugas pokoknya dan tidak bergeser menjadi perusahaan

kapitalistik. Dengan memasukkan perhitungan laba/rugi koperasi kedalam

14
surplus/defisit koperasi, maka perhitungan surplus/defisit koperasi disusun sebagai

berikut:

a). Pelayanan terhadap anggota (Q1)


Partisipasi bruto anggota : Q1 (Rp 1.100)
Harga pokok input : Q1 (Rp 1.000) (-)
Partisipasi neto anggota : Q1 (Rp 100)
Biaya overhead pelayanan : Q1 (Rp 60)
Biaya organisasi : Q1 (Rp 25) (+)
Biaya-biaya : Q1 (Rp 85) (-)
Sisa partisipasi anggota : Q1 (Rp 15)

b). Bisnis koperasi dengan non anggota (Q2)


Penjualan : Q2 (Rp 1.200)
Harga pokok barang/jasa : Q2 (Rp 1.000) (-)
Laba Kotor : Q2 (Rp 200)
Biaya usaha : Q2 (Rp 120) (-)
Laba bersih : Q2 (Rp 80) (+)
Surplus (SHU) koperasi (Q1+Q2) : (Rp. 95)

Surplus koperasi sebesar Q1 (Rp 15) + Q2 (Rp 80) didistribusikan kepada anggota

dan disisihkan untuk dana-dana sesuai dengan kepentingan koperasi.

15
VI. PEMBAGIAN/DISTRIBUSI SISA HASIL USAHA (SHU)

Menurut UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 45 ayat 1, Sisa

Hasil Usaha Koperasi merupakan pendapatan Koperasi yang diperoleh dalam satu

tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan dan kewajiban lainnya termasuk

pajak dalam tahun buku yang bersangkutan. Kemudian dijabarkan dalam Pernyataan

Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 27, pada pernyataan 33, 76 dan 77 yang

menghendaki bahwa SHU merupakan gabungan dari sisa partisipasi anggota dan

laba/rugi koperasi, maka didalam perhitungan hasil usaha perlu ditampilakan adanya

pemisahan antara sisa partisipasi anggota dan laba/rugi koperasi tersebut. Dengan

demikian dalam laporan PHU, perlu adanya penyesuaian antara lain:

1. Formula perhitungan atau rumus menghitung SHU yaitu SHU=S p+L/R;

2. Ada pemisahan antara partisipasi anggota dengan pendapatan dari non

anggota;

3. Beban usaha perlu dialokasikan kepada transaksi dengan anggota dan transaksi

dengan non anggota;

4. Beban perkoperasian menjadi beban transaksi koperasi dengan anggotanya saja

dan tidak dibebankan kepada transaksi dengan non anggota;

5. Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan gabungan dari sisa hasil partisipasi anggota

dan laba/rugi koperasi.

Pasal 45 ayat 2 UU No. 25 tahun 1992 menyebutkan SHU setelah dikurangi

dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang

16
dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi, serta digunakan untuk

keperluan pendidikan perkoperasian dan keperluan lain dari koperasi, sesuai dengan

keputusan Rapat Anggota.

a) Misalkan Koperasi Sejahtera Selalu dalam AD/ART atau RAT memutuskan


bahwa pembagian SHU sbb:

NO SISA HASIL USAHA DIBAGI UNTUK PERSENTASE

1. CADANGAN 30 %
2. BAGIAN ANGGOTA:
 JASA TRANSAKSI 25 %
 JASA MODAL 10 %
3. DANA PENGURUS 10 %
4. DANA PEGAWAI 5%
5. DANA PENDIDIKAN 10 %
6. DANA PEMBANGUNAN 5%
7. DANA SOSIAL 5%
JUMLAH 100 %

b) Diketahui SHU selama Tahun 2005 Rp. 110.000.000;

17
c) Data simpanan dan jasa transaksi anggota sebagai berikut:

Simpanan Simpanan Simpanan 


No Nama Anggota Transaksi
Pokok Wajib Lainnya Simpanan
1. AMAT 10.000 2.500.000 10.000.000 12.510.000 8.000.000
2. AMIR 10.000 3.000.000 5.000.000 8.010.000 25.000.000
3. ADAM 10.000 2.000.000 1.000.000 3.010.000 36.000.000

n BUDI 10.000 10.000.000 10.000.000 20.010.000 24.000.000


Jumlah 20.000.000 70.000.000 400.000.000 490.000.000 800.000.000
d) Pembagian SHU sesuai dengan RAT atau AD/ART:

Sisa Hasil Usaha


No Persentase Jumlah
dibagi Untuk
1. Cadangan 30 % 33.000.000
2. Bagian Anggota:
 Jasa Transaksi 25 % 27.500.000
 Jasa Modal 10 % 11.000.000
3. Dana Pengurus 10 % 11.000.000
4. Dana Pegawai 5 % 5.500.000
5. Dana Pendidikan 10 % 11.000.000
6. Dana Pembangunan 5 % 5.500.000
7. Dana Sosial 5 % 5.500.000
Jumlah 100 % 110.000.000

e) Perhitungan Indeks Pembagian SHU untuk Anggota:


Indeks atas Jasa Transaksi Anggota:

Bagian SHU Jasa Transkasi


Indeks (%) Jasa Transaksi Anggota = X 100 %
Total Transaksi Anggota

27.500.000
X 100 % = 3,438 %
800.000.000
Maka bagian SHU Amat = 3,438 % x 8.000.000 = 275.000
Atau
SHU bagian Amat atas Jasa Transakasi Amat SHU bagian Anggota atas Jasa
= X
Transaksi Total Transaksi Anggota Transaksi

8.000.000
= X 27.500.000 = 275.000
800.000.000

Indeks atas Jasa Modal Anggota:

Bagian SHU Jasa Modal


Indeks (%) Jasa Modal Anggota = X 100 %
Total Simpanan (SP+SW+SL)

11.000.000
X 100 % = 2,245 %
490.000.000

Maka bagian SHU Amat atas Jasa Modal:

2,245 % x (10.000 + 2.500.000 + 10.000.000) =28.022 atau

SHU bagian Amat atas Jasa Total Simpanan Amat SHU bagian Anggota atas
= X
Modal Total Simpanan Seluruh Anggota Jasa Modal

12.510.000
= X 11.000.000 = 280.837
490.000.000

Jadi SHU bagian Amat =


Bagian SHU atas Jasa Transaksi + Bagian SHU atas Jasa Modal = 275.000 + 280.837 = 555.837
b. Laporan Pembagian SHU bagian Anggota:

Nama  Simpanan/Modal Anggota  Pembagian SHU Anggota


No
Angg Transaksi
SP SW SL Jumlah Modal Transaksi Jumlah
1. AMAT 10.000 2.500.000 10.000.000 12.510.000 8.000.000 280.837 275.000 555.837
2. AMIR 10.000 3.000.000 5.000.000 8.010.000 25.000.000 179.825 859.500 877.482
3. ADAM 10.000 2.000.000 1.000.000 3.010.000 36.000.000 67.575 1.237.680 1.305.255
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
.

n. BUDI 10.000 10.000.000 10.000.000 20.010.000 24.000.000 449.225 825.120 1.274.345

Jumlah 20.000.000 70.000.000 400.000.000 490.000.000 800.000.000 11.000.000 27.500.000 38.500.000


VII. DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, 1996, Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992, tentang Perkoperasian, Jakarta;
2. Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, 1998, Pedoman Tehnis
Pembukuan dan Pembuatan Laporan Keuangan KSP dan USP, Direktorat
Jenderal Pembinaan Koperasi Perkotaan, Jakarta;
3. Kementerian Koperasi dan UKM, 2002, Himpunan Kebijakan Koperasi dan UKM di
Bidang Akuntabilitas, Deputi Bidang Kelembagaan, Jakarta;
4. Kementerian Koperasi dan UKM, 2002, Pedoman Akuntansi Koperasi, Deputi
Bidang Kelembagaan, Jakarta;
5. Kementerian Koperasi dan UKM, 2003, Pedoman Penyajian Laporan Keuangan
Koperasi, Deputi Bidang Kelembagaan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai