Ran berdiri dengan punggung bersandar di dinding. Ia memegang baton kesayangannya di tangan kanan sembari mengelus-elusnya. Pemandangan seperti itu sebetulnya membuat Rindou bergidik ngeri. Sementara itu Haruchiyo duduk di sofa dengan merapatkan kedua kaki. Ia terlihat seperti anak kecil yang baru saja diberi hukuman.
"Err.. ini kenapa?" tanya Rindou tidak mengerti ketika ia sampai di ruang tamu. Dirinya terbangun setelah mendengar suara gaduh berasal dari ruang tamu.
"Ada maling masuk, abang cuma menjaga rumah kita," ujar Ran dibarengi dengan senyum manis yang membuat Rindou paham sekali dengan artinya. Rindou pun beralih menatap Haruchiyo yang masih bungkam. Ia berjalan ke arahnya lalu mendudukkan diri di sebelah Haruchiyo. "Sakit, kak?" Haruchiyo menggeleng. Rindou tahu dia bohong. Mana mungkin tidak sakit. Ran itu bagaimana ya mengatakannya--agak brutal untuk ukuran seseorang yang menempuh pendidikan hukum. Barangkali hasrat terpendamnya yang ingin melakukan kekerasan namun terkekang oleh aturan membuatnya jadi melihat kesempatan membela diri sebagai media penyalur hasrat kekerasannya.
"Lo kenal, dek?" Ran menautkan alis; bingung. Rindou mengangguk. "Ini Sanzu, bang," jawab Rindou. Ran memang tahu soal Haruchiyo namun ia belum pernah bertemu secara langsung dengan pemuda itu. Hanya dengar dari mulut orang-orang. Ia juga bingung kenapa Rindou bisa mengenal Haruchiyo. Jika melihat situasinya sepertinya mereka cukup akrab. Tapi, seakrab apapun itu menyelonong masuk ke rumah orang tanpa permisi di waktu yang tidak wajar tetap mencurigakan bagi Ran.
"Terus ngapain dia ke sini?" tanya Ran lagi. Sepertinya dia akan memulai sesi interogasi miliknya. Rindou belum sempat memeriksa ponselnya, jadi ia tidak tahu jika Haruchiyo mengirimkan pesan padanya. Rindou pun melirik Haruchiyo, menunggu jawaban dengan pertanyaan yang sama. Haruchiyo tidak langsung menjawab. Ia bertukar pandangan dengan Ran dan Rindou lalu paham jika Rindou belum membaca pesannya. Haruchiyo terlihat memikirkan sesuatu. Jika ia menjawab maksud kedatangannya dengan jujur yaitu mengajak Rindou untuk pergi ke balapan liar di depan abangnya, entah akan seperti apa nasibnya nanti. Ran terlihat cukup protektif terhadap adiknya.
"Kangen aja," ujar Haruchiyo spontan. Ran bingung. Rindou kaget, sebelum rona merah muda berhasil memunculkan diri di permukaan kulit pipi.
"Kalian pacaran?" Ran kembali bertanya. Rindou tidak pernah cerita kalau ia sudah punya pacar, terlebih pacarnya adalah Haruchiyo Sanzu. Jadi ia merasa jawaban Haruchiyo aneh, tetapi ketika melihat ekspresi adiknya yang malu-malu mungkin saja kedua insan itu memiliki hubungan istimewa.
"Engga/Iya." Rindou dan Haruchiyo menjawab serempak sebelum saling bertatapan seperti orang bodoh. "Kak!" Rindou menggerak-gerakkan mata dan bibirnya, Haruchiyo tidak mengerti maksudnya. "Kita baru pacaran, ubu-- Rindou belum siap buat ngasih tahu ini ke lo jadi kita sembunyi. Gua kangen mau ketemu dan ngajakin dia ke luar sekarang." Rindou membuka mulut tidak percaya. Ia pikir Haruchiyo sedang kerasukan jin.
"Oh. Lo sering pergi sama cowok lo pagi buta gini dek?" Mampus, batin Rindou. Tidak sering, sih. Cuma sekali sewaktu Ran menginap di kampus. Rindou tidak berani menjawab, ia tidak tahu jawaban yang tepat dan ia juga tidak mau berbohong pada Ran, satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Ran yang menyadari Rindou tidak mau menjawab akhirnya menghela napas. Ia sudah berhenti mengusap-usap batonnya dan kini berjalan menghampiri Rindou dan Haruchiyo di sofa. Ia berdiri di depan Haruchiyo. "Rindou emang udah besar tapi buat gue di masih adek kecil gue. Gue gak akan ngelarang dia buat pacaran sama siapapun dan pergi sama siapapun selama Rindou mau dan senang. Jadi, lo," Ran mengacungkan batonnya di depan wajah Haruchiyo dengan niat mengancam, "lo janji bawa dan balikin adek gue dengan selamat."
Haruchiyo mengangguk, "pasti." Sementara Rindou dia masih belum dapat memproses apa yang baru saja terjadi.