PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
B. TUJUAN
Pembuatan telaah pustaka (referat) mengenai osteomyelitis akut maupun kronik ini
bertujuan untuk mengkaji terutama mengenai patomekanisme, penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan osteomyelitis yang merupakan kasus sering di bidang ortopedi, sehingga
bisa menjadi acuan dan bahan referensi untuk para tenaga kesehatan.
2
II. PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Osteomyelitis berasal dari kata osteon (tulang) dan muelinos (sumsum) yang berarti
infeksi sumsum tulang. Beberapa literatur menyebutkan bahwa osteomyelitis merupakan
proses inflamasi pada sumsum tulang (cavitas medullaris) yang kemudian dapat
menyebar sampai ke cortex dan periosteum. Pus dan edema yang terbentuk di cavita
medullaris inilah yang kemudian akan menekan periosteum sehingga menimbulkan
obstruksi pembuluh darah, iskemi maupun nekrosis sebagai dasar patomekanisme
osteomyelitis (Baltensperger, 2009).
B. EPIDEMIOLOGI
Osteomyelitis kronis dapat terjadi akibat fraktur terbuka, bakterimia, atau infeksi
perkontinuitatum dari jaringan lunak sekitar tulang. Pada operasi elektif post fraktur
tertutup, osteomyelitis kronis terjadi pada 1 – 5% pasien, dan 3 – 50% pada pasien-
pasien dengan fraktur terbuka. Sebanyak 10 – 30% pasien osteomyelitis akut berlanjut
menjadi kronis. Osteomyelitis melalui penyebaran hematogen (balterimia) dapat terjadi
di vertebrae, tulang panjang, pelvis, maupun klavikula dan risikonya meningkat apabila
terdapat underlying disease seperti diabetes mellitus, keganasan atau gagal ginjal. Angka
kejadian osteomyelitis kronis akibat infeksi perkontinuitatum dari jaringan lunak sekitar
tulang meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi ulkus diabetikum (neuropati
3
dan vaskulopati diabetikum). Manifestasi klinis osteomyelitis kronis dapat meliputi
nyeri kronis, luka persisten, buruknya penyembuhan luka, malaise, dan demam.
C. ETIOLOGI
Bakteri piogenik penyebab osteomyelitis bergantung pada usia pasien.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering menjadi penyebab
osteomyelitis (akut maupun kronis) dengan penyebaran hematogen pada dewasa.
Streptococcus β hemolithicus grup A dan Streptococcus pneumonia merupakan bakteri
patogen tersering yang menyebabkan osteomyelitis pada anak, Streptococcus β
hemolithicus grup A merupakan pakteri penyebab tersering pada bayi baru lahir.
Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, dan Eschericgia coli juga bisa
menyebabkan osteomyelitis namun dengan angka kejadiannya jarang. Jamur dan
mikobakterium biasanya dapat menyebabkan osteomyelitis pada individu dengan
defisiensi sistem imun.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen mayoritas penyebab
osteomyelitis. Staphylococcus aureus dapat diinternalisasi oleh osteoblas dan sel endotel
secara in vitro dan bertahan di dalam sel tersebut dari sistem imun tubuh maupun
antibiotik. Selain itu, Staphylococcus aureusmerupakan bakteri dengan laju metabolism
yang rendah sehingga mudah resisten terhadapt antibiotik.
D. KLASIFIKASI
4
Gambar 1. Subklasifikasi osteomyelitis kronik primer dan sekunder.
5
Adapun etiologi sumber infeksi, diklasifikasikan menjadi etiologi endogen
(penyebaran hematogen) yang biasanya hanya disebabkan oleh 1 agen patogen dan
biasanya diterapi secara konsevatif, serta etiologi eksogen (dari paparan luar akibat
trauma terbuka atau intervensi) yang seringnya disebabkan oleh polimikrobial dengan
first line terapinya berupa pembedahan.
E. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis ostemyelitis kronik pun meliputi manifestasi klinis (yang didapat
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan laboratoium dan pemeriksaan
radiologi (Tabel 1.). Pemeriksaan laboratorium memang tidak spesifik untuk
osteomyelitis, tetapi kadar C reactive protein (CRP) yang normal dapat menyingkirkan
diagnosis osteomyelitis kronis. Pemeriksaan paling meyakinkan untuk mendiagnosis
osteomyelitis kronis adalah kultur tulang dan pemeriksaan histopatologi. Kultur terhadap
jaringan superfisial luka tidak dapat mendeteksi bakteri penyebab osteomyelitis secara
akurat karena biasanya osteomyelitis disebabkan oleh polimikrobial. Selain itu,
anamnesis yang mendalam menyenai manifestasi sistemik (letargi, malaise, nyeri pada
tulang, demam) dan faktor predisposisi (diabetes mellitus, penyakit pembuluh darah
6
perifer, dan riwayat trauma) juga penting dalam menunjang proses penegakkan
diagnosis.
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah foto rontgen maupun MRI.
Foto rontgen baru menunjukkan adanya abnormalitas setelah 2 minggu pasca infeksi
karena 50% mineral tulang telah hilang (Gambar 3. Dan 4.). Sedangkan MRI dapat
mendeteksi osteomyelitis setelah 3-5 hari pasca infeksi dengan sensitivitas dan
spesifisitas sekitar 90% (Gambar 5. Dan 6.). CT scan jarang digunakan karena
kurangnya kemampuan CT scan untuk mendeteksi nekrosis. Modalitas radiologi lain
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis osteomyelitis (seperti leukocyte or bone
scintigraphy, positron emission tomography) yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas
lebih dari 90%, namun modalitas-modalitas tersebut tidak rutin digunakan di Indonesia
karena harga yang mahal dan ketersediaan alat.
7
Gambar 3. Reaksi periosteal dan osteolisis pada distal metatarsal 4 dan distal
phalanges 3 dan 4 menunjukkan adanya osteomyelitis.
Gambar 4. Gambaran rontgen femur dari seorang wanita 39 tahun dengan riwayat
osteomyelitis berulang selama 20 tahun. Terjadi deformitas dan sklerosis
sumsum tulang.
8
Gambar 5. MRI femur menunjukkan deformitas dari bagian distal os. Femur dan
gambaran inhomogenisitas tulang.
9
F. PATOMEKANISME
10
Gambar 7. Proses inflamasi dan perusakan jaringan tulang.
11
c. Imunitas lokal dan sistemik host
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas (Tabel 2.)
12
Gambar 9. Ilustrasi patogenesis osteomyelitis akut dan kronis.
G. TERAPI
13
Terapi osteomyelitis kronis terdiri dari terapi antibiotik dan pembedahan (Gambar
10).. Pilihan antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur, namun jika tidak ada informasi
hasil kultur, antibiotik spektrum luas dapat diberikan. Antibiotik ini diberikan parenteral
selama 2 – 6 minggu yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik oral sampai total
waktu terapi 4-8 minggu (table 4.). Adapun indikasi dilakukannya terapi pembedahan
ialah terapi antibiotik tidak menunjukkan perbaikan, terdapat peralatan yang terpasang
pada tulang dan mengalami infeksi, serta osteomyelitis kronis dengan nekrosis tulang
dan jaringan lunak.
14
DAFTAR PUSTAKA
Chairuddin, M. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Osteomielitis akut dan kronik.
CV.Wiyasana. Makasar.
Baltensperger, M., G. K. Eyrich. 2009. Osteomyelitis of the Jaws. ISBN: 978-3-540-28764-
3 (Baltensperger, 2009)
Ciampolini, J., K. G. Harding. 2000. Pathophysiology of chronic bacterial osteomyelits.
Postgrad Med J, 76: 479-483 (Ciampolini, 2000)
Walter, G., M. Kemmere, C., Kappler, R. Hoffmann. 2012. Treatment Algorithms for
Chronic Osteomyelitis. Deutsches Arzteblatt International; 109(14): 257-64
(Walter et al., 2012)
Roy, M., J. S. Somerson, K. G. Kerr, J. L. Konroy. 2012. Pathophysiology and
Pathogenesis of Osteomyelitis. ISBN 978-953-51-0399-8 (Roy et al., 2012)
Simpson, A. H. R., M. Deakin, J. M. Latham. 2001. The Effect of The Extent of Surgical
Resection on Infection-Free Survival. Journal of Bone and Joint Surgery; 83(8):
403-407 (Simpson et al., 2001)
Rodner, C. M., B. D. Browner, E. Pesanti. 2003. Chronic Osteomyelitis. USA : Elsevier
(Rodner et al., 2003)
Juutilainen, V.. 2011. Posttraumatic Osteomyelitis. Suomen Ortopedia ja Traumatologi;
34(38): 38-41
Hofmann, S. R., A. R. Wolff, G. Hahn, C. M. Hedrich. 2012. Update: Cytokine
Dysregulation in Chronic Nonbacterial Osteomyelitis (CNO). International
Journal of Rheumatology; 2012(10): 1-7 (Hofmann et al., 2012)
Covington, D. S.. 2011. Wound Healing Perspective. National Healing Corporation; 8(2):
1-8 (Covington, 2011)
15