Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Osteomyelitis adalah peradangan tulang yang biasanya disebabkan oleh infeksi


bakteri. Penyakit ini dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan tahapan perjalanan penyakitnya,
yakni tahap akut dan kronik. Osteomyelitis akut paling sering disebabkan oleh
Staphylococcus aureus sebagai agen infeksinya (Roy et al., 2012).
Berdasarkan rute infeksinya, osteomyelitis akut dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
hematogenik dan eksogenik. Infeksi tulang pada anak-anak terutama terjadi secara
hematogenik, meskipun kasus akibat sekunder dari trauma yang penetratif, pembedahan,
ataupun infeksi pada daerah yang terkena juga pernah dilaporkan. Osteomyelitis
hematogenik banyak ditemukan pada anak-anak terutama tulang panjang yang kaya
pembuluh darah, terutama ekstremitas bawah. Pada orang dewasa, penyebaran
hematogenik lebih sering mengenai corpus vertebrae lumbal daripada di tempat lain
(Baltensperger, 2009).
Insidensi osteomyelitis berkisar antara 0,1–1,8%  dari populasi orang
dewasa. Prevalensinya pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun adalah 1 kasus per
1000 populasi sedangkan pada anak-anak yang lebih tua adalah 1 kasus dari 5000
populasi. Prevalensi osteomyelitis kronik berkisar antara 5-25% dari kasus osteomyelitis
akut (Ciampolini, 2000).
Mortalitas osteomyelitis terjadi sekitar 5-25% dan ada pula yang melaporkan hingga
40% pada era sebelum antibiotik ditemukan. Sekarang, mortalitas telah mencapai angka
0%. Sedangkan morbiditas mencapai angka 5% menjadi komplikasi. Komplikasinya
antara lain adalah arthritis septik, kerusakan jaringan lunak sekitar, keganasan,
amiloidosis sekunder, dan fraktur patologis (Baltensperger, 2009). Dengan mengingat
masih banyaknya kejadian osteomyelitis di Indonesia prevalensiostemyelitis kronik
sebagai kelanjutan dari osteomyeitis akut serta komplikasi yang disebabkan oleh
osteomyelitis, penulis merasa perlu untuk melakukan telaah pustaka mengenai salah
satu penyakit infeksi pada tulang ini.

1
B. TUJUAN

Pembuatan telaah pustaka (referat) mengenai osteomyelitis akut maupun kronik ini
bertujuan untuk mengkaji terutama mengenai patomekanisme, penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan osteomyelitis yang merupakan kasus sering di bidang ortopedi, sehingga
bisa menjadi acuan dan bahan referensi untuk para tenaga kesehatan.

2
II. PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Osteomyelitis berasal dari kata osteon (tulang) dan muelinos (sumsum) yang berarti
infeksi sumsum tulang. Beberapa literatur menyebutkan bahwa osteomyelitis merupakan
proses inflamasi pada sumsum tulang (cavitas medullaris) yang kemudian dapat
menyebar sampai ke cortex dan periosteum. Pus dan edema yang terbentuk di cavita
medullaris inilah yang kemudian akan menekan periosteum sehingga menimbulkan
obstruksi pembuluh darah, iskemi maupun nekrosis sebagai dasar patomekanisme
osteomyelitis (Baltensperger, 2009).

B. EPIDEMIOLOGI

Osteomyelitis akut dengan penyebaran hematogen lebih sering menyerang anak-


anak karena daerah metafisis (daerah pusat pertumbuhan tulang pada anak) memiliki
vaskularisasi yang banyak dan rentan terhadap trauma. Lebih dari 50% kejadian
osteomyelitis pada anak terjadi pada pasien kurang dari 5 tahun. Pasien biasanya
menunjukkan gejala-gejala sistemik meliputi demam, iritabilitas selama 2 minggu.
Selain itu, didapatkan gejala lokalis seperti eritem, bengkak, dan kekakuan (tenderness)
pada tulang yang mengalami infeksi. Osteomyelitis kronis jarang terjadi pada anak.

Osteomyelitis kronis dapat terjadi akibat fraktur terbuka, bakterimia, atau infeksi
perkontinuitatum dari jaringan lunak sekitar tulang. Pada operasi elektif post fraktur
tertutup, osteomyelitis kronis terjadi pada 1 – 5% pasien, dan 3 – 50% pada pasien-
pasien dengan fraktur terbuka. Sebanyak 10 – 30% pasien osteomyelitis akut berlanjut
menjadi kronis. Osteomyelitis melalui penyebaran hematogen (balterimia) dapat terjadi
di vertebrae, tulang panjang, pelvis, maupun klavikula dan risikonya meningkat apabila
terdapat underlying disease seperti diabetes mellitus, keganasan atau gagal ginjal. Angka
kejadian osteomyelitis kronis akibat infeksi perkontinuitatum dari jaringan lunak sekitar
tulang meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi ulkus diabetikum (neuropati

3
dan vaskulopati diabetikum). Manifestasi klinis osteomyelitis kronis dapat meliputi
nyeri kronis, luka persisten, buruknya penyembuhan luka, malaise, dan demam.

C. ETIOLOGI
Bakteri piogenik penyebab osteomyelitis bergantung pada usia pasien.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling sering menjadi penyebab
osteomyelitis (akut maupun kronis) dengan penyebaran hematogen pada dewasa.
Streptococcus β hemolithicus grup A dan Streptococcus pneumonia merupakan bakteri
patogen tersering yang menyebabkan osteomyelitis pada anak, Streptococcus β
hemolithicus grup A merupakan pakteri penyebab tersering pada bayi baru lahir.
Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, dan Eschericgia coli juga bisa
menyebabkan osteomyelitis namun dengan angka kejadiannya jarang. Jamur dan
mikobakterium biasanya dapat menyebabkan osteomyelitis pada individu dengan
defisiensi sistem imun.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen mayoritas penyebab
osteomyelitis. Staphylococcus aureus dapat diinternalisasi oleh osteoblas dan sel endotel
secara in vitro dan bertahan di dalam sel tersebut dari sistem imun tubuh maupun
antibiotik. Selain itu, Staphylococcus aureusmerupakan bakteri dengan laju metabolism
yang rendah sehingga mudah resisten terhadapt antibiotik.

D. KLASIFIKASI

Pembagian osteomyelitis akut dan kronis ialah berdasar pada gambaran


histopatologi dibandingkan dengan durasi perjalanan penyakit. Osteomyelitis akut
menunjukkan adanya inflamasi tulang yang disebabkan oleh bakteri patogen dan
gejalanya muncul 4 minggu setelah infeksi. Osteomyelitis kronis ditandai dengan adanya
nekrosis tulang. Terdapat sub klasifikasi pada osteomyelitis kronis, yakni osteomyelitis
kronis primer dan sekunder (Gambar 1.).

4
Gambar 1. Subklasifikasi osteomyelitis kronik primer dan sekunder.

Osteomielitis kronik sekunder dapat timbul sebagai penyakit osteomyelitis yang


rekuren/timbul berulang dengan durasi yang berbeda-beda setiap kali kambuh (Gambar
2.). Terminologi osteomyelitis kronik primer menunjukkan sebuah penyakit inflamasi
yang jarag dan ditandai oleh adanya inflamasi kronik non-supuratif (ketiadaan pus,
fistula maupun sejuester). Keadaan ini menunjukkan bahwa pasien tidak pernah
menunjukkan fase akut dan belum mendapatkan terapi.

Kronifikasi dari osteomyelitis kronik sekunder menunjukkan ketidakmampuan dari


host untuk mengeradikasi bakteri patogen akibat dari inadekuatnya terapi. Elevasi
periosteum akibat proses inflamasi masih mengandung sel-sel vital di dalamnya. Setelah
melewati fase akut, sel-sel ini membentuk sel-sel tulang yang baru (involukrum) yang
menyelebungi sekuester. Namun involukrum ini dapat dipenetrasi oleh sinus (cloacae),
sehingga membentuk fistula dapat dapat dimasuki oleh bakteri patogen ataupun pus.
Kejadian ini dapat terjadi berulang dan menyebabkan osteomyelistis kronis.

Gambar 2. Proses perjalanan ostemyelitis akut menjadi osteomyelitis kronik sekunder.

5
Adapun etiologi sumber infeksi, diklasifikasikan menjadi etiologi endogen
(penyebaran hematogen) yang biasanya hanya disebabkan oleh 1 agen patogen dan
biasanya diterapi secara konsevatif, serta etiologi eksogen (dari paparan luar akibat
trauma terbuka atau intervensi) yang seringnya disebabkan oleh polimikrobial dengan
first line terapinya berupa pembedahan.

E. DIAGNOSIS

Diagnosis osteomyelitis akut dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,


emeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan adanya
riwayat trauma, riwayat luka terbuka sampai tulang, maupun riwayat infeksi di tempat
lain yang tidak spesifik, serta adanya gejala infeksi sistemik seperti demam dan malaise
maupun gejala infeksi lokal seperti bengkak, rasa panas, kemerahan, penurunan
kemampuan gerak, kekakuan tulang, dan rasa sakit pada lokasi infeksi. Pemeriksaan
fisik pun meunjukkan hal-hal seperti yang ada dalam anamnesis yakni berupa tanda-
tanda infeksi sistemik dan infeksi lokal. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan ialah pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya leukositosis,
pemeriksaan kultur darah/tulang, serta pemeriksaan histopatologi tulang yang
mengalami infeksi. Pemeriksaan radiologi pada daerah yang diduga infeksi pun dapat
dilakukan. Kata akut pada ostemyelitis akut menunjukkan bahwa tanda dan gejala yang
muncul memiliki onset yang cepat, yakni kurang dari 4 minggu.

Kriteria diagnosis ostemyelitis kronik pun meliputi manifestasi klinis (yang didapat
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik), pemeriksaan laboratoium dan pemeriksaan
radiologi (Tabel 1.). Pemeriksaan laboratorium memang tidak spesifik untuk
osteomyelitis, tetapi kadar C reactive protein (CRP) yang normal dapat menyingkirkan
diagnosis osteomyelitis kronis. Pemeriksaan paling meyakinkan untuk mendiagnosis
osteomyelitis kronis adalah kultur tulang dan pemeriksaan histopatologi. Kultur terhadap
jaringan superfisial luka tidak dapat mendeteksi bakteri penyebab osteomyelitis secara
akurat karena biasanya osteomyelitis disebabkan oleh polimikrobial. Selain itu,
anamnesis yang mendalam menyenai manifestasi sistemik (letargi, malaise, nyeri pada
tulang, demam) dan faktor predisposisi (diabetes mellitus, penyakit pembuluh darah

6
perifer, dan riwayat trauma) juga penting dalam menunjang proses penegakkan
diagnosis.

Tabel 1. Kriteria diagnosis osteomyelitis kronik.

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan adalah foto rontgen maupun MRI.
Foto rontgen baru menunjukkan adanya abnormalitas setelah 2 minggu pasca infeksi
karena 50% mineral tulang telah hilang (Gambar 3. Dan 4.). Sedangkan MRI dapat
mendeteksi osteomyelitis setelah 3-5 hari pasca infeksi dengan sensitivitas dan
spesifisitas sekitar 90% (Gambar 5. Dan 6.). CT scan jarang digunakan karena
kurangnya kemampuan CT scan untuk mendeteksi nekrosis. Modalitas radiologi lain
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis osteomyelitis (seperti leukocyte or bone
scintigraphy, positron emission tomography) yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas
lebih dari 90%, namun modalitas-modalitas tersebut tidak rutin digunakan di Indonesia
karena harga yang mahal dan ketersediaan alat.

7
Gambar 3. Reaksi periosteal dan osteolisis pada distal metatarsal 4 dan distal
phalanges 3 dan 4 menunjukkan adanya osteomyelitis.

Gambar 4. Gambaran rontgen femur dari seorang wanita 39 tahun dengan riwayat
osteomyelitis berulang selama 20 tahun. Terjadi deformitas dan sklerosis
sumsum tulang.

8
Gambar 5. MRI femur menunjukkan deformitas dari bagian distal os. Femur dan
gambaran inhomogenisitas tulang.

Gambar 6. Gambaran disrupsi kortikal inferior dan edema menunjukkan adanya


osteomyelitis pada os. Calcaneus.

9
F. PATOMEKANISME

Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi invasi bakteri ke cavitas medullaris dan


cortex tulang. Keempat faktor ini apabila berada dalam keadaan equilibrium (seimbang)
tidak akan menimbulkan infeksi (Gambar 9.). Namun apabila equilinrium ini terganggu
karena minimal 1 faktor, maka infeksi tulang yang dalam dapat terjadi. Keempat faktor
tersebut ialah :

a. Jumlah bakteri patogen


Semakin banyak jumlah bakteri yang sampai ke host, semakin besar pula
kemungkinan untuk lolos dari sistem imun dan menimbukan infeksi pada tulang.
b. Virulensi bakteri patogen
Pada osteomyelitis, focus infeksi dibatasi oleh mebran piogenik atau dinding
abses yang membatasi penyebaran infeksi. Apabila agen patogen memiliki jumlah
dan virulensi yang tinggi, barier ini dapat rusak dan menyebabkan invasi sampai ke
tulang. Invasi ini kemudian mengaktivasi respon inflamasi dan menyebabkan
hiperemis, peningkatan permeabilitas capiler, dan pengeluaran enzim proteolitik.
Enzim proteolitik ini dapat menyebabkan nekrosis jaringan tulang dan destruksi dari
agen-agen patogen sehingga membentuk pus (Gambar 7. Dan 8.). Destruksi tulang
juga diperparah oleh proses osteolisis yang disebabkan oleh aktivitas osteoklas
akibat stimulasi dari endotoksin bakteri, protein permukaan bakteri, dan beberapa
sitokin inflamasi (IL-1 dan TNF).
Akumulasi pus di dalam cavitas medullaris yang berisi jaringan nekrosis,
dan bakteri-bakteri mati di dalam sel darah putih menyebabkan peningkatan tekanan
intra medullaris. Keadaan ini menyebabkan kolaps vascular, stasis vena,
thrombosis, dan lokal iskemi. Pus mengalir melalui kanalis sistem haver dan kanalis
nutrisi yang kemudian terakumulasi di ruang subperosteum dan menyebabkan
elevasi periosteom, terpisah dari cortex tulang. Elevasi ini lebih sering terjadi pada
anak karena pelekatan yang belum begitu kuat. Ketika akumulasi pus terus terjadi,
dapat timbul perforasi dan menyebabkan abses mukosa atau kutan.

10
Gambar 7. Proses inflamasi dan perusakan jaringan tulang.

Gambar 8. Patomekanisme osteomyelitis.

11
c. Imunitas lokal dan sistemik host
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas (Tabel 2.)

Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi status imunitas.

d. Perfusi lokal jaringan


Perfusi lokal jaringan mempengaruhi kemampuan sel imun dan oksigen mencapai
area infeksi, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran bakteri patogen
terutama yang bersifat anaerob. Berikut ini adalah kondisi-kondisi yang
mengganggu perfusi lokal jaringan (Tabel 3.)

Tabel 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perfusi lokal jaringan.

12
Gambar 9. Ilustrasi patogenesis osteomyelitis akut dan kronis.

G. TERAPI

Terapi pada osteomyelitis akut melalui penyebaran hematogen dapat dilakukan


dengan pemberian antibiotik parenteral (Tabel 4.) selama 4 hari dan dilanjutkan dengan
antibiotik oral sampai 4 minggu tebukti mencegah rekurensi. Pada pasien-pasien
immunocompromised, transisi menuju antibiotik oral ditunda dan lama terapi ditambah
menjadi 6 minggu.

Tabel 4. Pilihan terapi antibiotik pada kasus osteomyelitis.

13
Terapi osteomyelitis kronis terdiri dari terapi antibiotik dan pembedahan (Gambar
10).. Pilihan antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur, namun jika tidak ada informasi
hasil kultur, antibiotik spektrum luas dapat diberikan. Antibiotik ini diberikan parenteral
selama 2 – 6 minggu yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik oral sampai total
waktu terapi 4-8 minggu (table 4.). Adapun indikasi dilakukannya terapi pembedahan
ialah terapi antibiotik tidak menunjukkan perbaikan, terdapat peralatan yang terpasang
pada tulang dan mengalami infeksi, serta osteomyelitis kronis dengan nekrosis tulang
dan jaringan lunak.

Gambar 10. Algoritme penatalaksanaan osteomyelitis kronik.

14
DAFTAR PUSTAKA

Chairuddin, M. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Osteomielitis akut dan kronik.
CV.Wiyasana. Makasar.
Baltensperger, M., G. K. Eyrich. 2009. Osteomyelitis of the Jaws. ISBN: 978-3-540-28764-
3 (Baltensperger, 2009)
Ciampolini, J., K. G. Harding. 2000. Pathophysiology of chronic bacterial osteomyelits.
Postgrad Med J, 76: 479-483 (Ciampolini, 2000)
Walter, G., M. Kemmere, C., Kappler, R. Hoffmann. 2012. Treatment Algorithms for
Chronic Osteomyelitis. Deutsches Arzteblatt International; 109(14): 257-64
(Walter et al., 2012)
Roy, M., J. S. Somerson, K. G. Kerr, J. L. Konroy. 2012. Pathophysiology and
Pathogenesis of Osteomyelitis. ISBN 978-953-51-0399-8 (Roy et al., 2012)
Simpson, A. H. R., M. Deakin, J. M. Latham. 2001. The Effect of The Extent of Surgical
Resection on Infection-Free Survival. Journal of Bone and Joint Surgery; 83(8):
403-407 (Simpson et al., 2001)
Rodner, C. M., B. D. Browner, E. Pesanti. 2003. Chronic Osteomyelitis. USA : Elsevier
(Rodner et al., 2003)
Juutilainen, V.. 2011. Posttraumatic Osteomyelitis. Suomen Ortopedia ja Traumatologi;
34(38): 38-41
Hofmann, S. R., A. R. Wolff, G. Hahn, C. M. Hedrich. 2012. Update: Cytokine
Dysregulation in Chronic Nonbacterial Osteomyelitis (CNO). International
Journal of Rheumatology; 2012(10): 1-7 (Hofmann et al., 2012)
Covington, D. S.. 2011. Wound Healing Perspective. National Healing Corporation; 8(2):
1-8 (Covington, 2011)

15

Anda mungkin juga menyukai