Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN STUDI KASUS

HERPES ZOSTER+ELECTROLYTE IMBALANCE+VOMITTING AKUT

Disusun Oleh:

Laili Wafa Noer Khamidah, S.Farm. 182211101062

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
2

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi varicella zoster virus (VZV)


adalah Herpes Zoster (HZ). HZ menimbulkan manifestasi klinis berupa lesi. Lesi
ini merupakan vesikel yang mengikuti dermatom yang disertai nyeri. Infeksi
Varicella Zoster Virus (VZV) dapat menyerang hampir setiap individu di seluruh
dunia. Infeksi VZV sangat menular dengan cepat (Cohen et al., 2013).

VZV menyerang rata-rata 10-20% dari populasi umum dan terdapat


600.000-850.000 kejadian setiap tahunnya di Amerika Serikat. Kejadian herpes
zoster meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3 kasus terjadi
pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun. Sebagian
besar kasus herpes zoster terjadi pada individu yang berusia lebih dari 45 tahun.
Kasus herpes zoster di rumah sakit di Amerika Serikat sebagian besar terdiri atas
penderita yang berusia tua, penderita dengan komplikasi, dan penderita dengan
imunodefisiensi. Kejadian Herpes zoster juga akan semakin meningkat apabila
terdapat imunodefisiensi seperti HIV dan keganasan (Ningrat dan Dharmada,
2017).

Herpes zoster bukan merupakan penyakit yang memiliki pola musiman


tetapi, menunjukkan bahwa penyakit ini merupakan reaktivasi dari virus laten dan
bukan pajanan baru dari Varicella Zoster Virus. VZV dapat ditularkan selama 24
hingga 48 jam sebelum exanthem dimulai. Masa inkubasi biasanya berlangsung
sekitar 14 hari. VZV dapat dideteksi 4-5 hari sebelum munculnya onset gejala dan
beberapa hari setelah munculnya rash (Cohen et al., 2013).
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Herpes Zoster

2.1.1 Pengertian Herpes Zoster

Herpes zoster (HZ) adalah penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi


varicella zoster virus (VZV) yang bereplikasi dan bersifat laten berdiam dalam sel
neuron, sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion sensorik saraf kranial.
Infeksi primer dari virus varicella yaitu cacar air dan infeksi sekunder berupa
herpes zoster. Setelah sembuh dari virus varisela pada infeksi primer, virus
menetap laten pada ganglion radiks dorsalis dan mengalami reaktivasi menjadi
herpes zoster (HZ) atau shingles atau dompo. Faktor-faktor yang berpotensi
menyebabkan reaktivasi adalah pajanan VZV sebelumnya (cacar air, vaksinasi),
usia lebih dari 50 tahun, keadaan imunokompromais, obatobatan imunosupresif,
HIV/AIDS, transplantasi sumsum tulang atau organ, keganasan, terapi steroid
jangka panjang, stres psikologis, trauma dan tindakan pembedahan (Perdoski,
2014).

Herpes zoster memiliki ciri-ciri yaitu timbulnya ruam kulit dengan


distribusi dermatomal dan disertai rasa nyeri yang hebat. Varicella zoster virus
bereplikasi di kemudian hari dengan cara menjalar mengikuti saraf sensori menuju
kulit sehingga muncul penampakan klinis berupa vesikel saat kekebalan tubuh
menurun. Herpes Zoster menyebabkan morbiditas yang cukup tinggi karena
menyerang syaraf sensori sehingga menyebabkan rasa yang sangat nyeri. Penyakit
ini juga menyebabkan ketidaknyamanan karena vesikel yang muncul mengikuti
dermatom saraf pada bagian-bagian yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari,
misalkan pada pinggang, punggung, dan lengan (Perdoski, 2014).
4

2.1.2 Patofisiologi Herpes Zoster

Varicella dapat ditularkan melalui rute respirasi yaitu melalui droplet


pernapasan atau cairan vesicular dari mukosa yang terinfeksi. Virus menginfeksi
sel epitel dan limfosit di orofaring dan saluran nafas atas atau pada konjungtiva,
kemudian limfosit terinfeksi akan menyebar ke seluruh tubuh dan terjadi infeksi
primer VZV. Virus kemudian masuk ke kulit melalui sel endotel pembuluh darah
dan menyebar ke sel epitel menyebabkan ruam vesikel varicella (Jusri dan
Marlina,2011). Penularan juga dapat terjadi melalui kontak lesi di kulit. Lesi
vesikular akan berubah menjadi pustular setelah infiltrasi sel radang. Selanjutnya
lesi akan terbuka dan kering membentuk krusta, umumnya sembuh tanpa bekas.
Waktu dari pertama kali kontak dengan VZV sampai muncul gejala klinis adalah
10-21 hari, ratarata 14 hari (Perdoski, 2014).

Sesudah terjadi infeksi primer VZV, maka VZV akan menetap secara laten
di ganglion syaraf dorsalis. Infeksi ini akan menimbulkan imunitas seluler spesifik
VZV yang menghambat kemampuan reaktivasi VZV. Imunitas seluler ini akan
menurun seiring dengan bertambahnya usia. Penurunan imunitas bisa turun
dibawah batas ambang dan bisa menyebabkan reaktivasi virus, serta menyebabkan
herpes zoster (Perdoski, 2014).

Antibodi yang terbentuk dari infeksi VZV primer berperan protektif dan
akan menetap sepanjang hidup. Jika imunitas seluler spesifik terhadap VZV
menurun, maka virus dapat react ivasi. VZV direaktivasi dan sel T membawa
virus melalui akar dorsal atau cranial ganglia. Di sana, virus laten mulai
bereplikasi dan berkembang biak. Kemudian bermigrasi ke ke syaraf sensorik
perifer, ke dorsal yang berdekatan dan sumsum tulang belakang. Proliferasi ini
merusak anatomi dan fungsi saraf perifer dan ganglia, mengakibatkan rasa sakit
dan mati rasa (Cohen et al., 2013).

Namun, Pada proses tersebut tidak ada tanda-tanda ruam. Peradangan kulit
terjadi ketika virus mencapai dermis dan epidermis dari dermatom yang terkena.
Proses ini menyebabkan kerusakan saraf dan peradangan kulit berlanjut dari jalur
5

saraf ke dermis dan epidermis atasnya lalu menghasilkan pengembangan lesi


makulopapular. Lesi ini cepat berubah menjadi vesikel berisi cairan yang
mengandung VZV. Infeksi Vesikel berisi cairan pecah dan membentuk kerak atau
keropeng dan menjadi kurang menular (Cohen et al., 2013).

2.1.3 Manifestasi Klinis

Herpes zoster didahului dengan masa prodromal 2-4 hari. Herpes zoster
biasanya dimulai dengan gejala seperti rasa sakit, gatal atau kesemutan di daerah
yang terkena. Tanda Ini muncul sebelum timbul ruam yang khas selama berhari-
hari atau bahkan berminggu-minggu. Tetapi tanda tersebut bukan satu-satunya
manifestasi klinik reaktivasi virus varicella zoster. Pasien biasanya mengalami
sakit kepala, malaise dan terkadang fotofobia. Adanya Sensasi abnormal atau rasa
sakit sering seperti rasa terbakar, berdenyut atau menusuk yang terjadi pada
sekitar 75% pasien. Selain itu, munculnya pruritus dan allodynia atau rasa sakit
akibat sentuhan yang ringan (Wehrhahn dan Dwyer, 2012).

a. Rash

Rash dapat mempengaruhi dermatom yang berdekatan. Rash dapat terjadi


pada seluruh bagian tubuh, yang tersering yaitu didaerah ganglion torakalis.
Dalam 3 sampai 5 hari dari gejala awal, rash meletus secara unilateral di saraf
dermatom sensorik yang berdekatan dengan ganglia yang terlibat. Rash biasanya
akan membentuk kerak dalam waktu 7-10 hari. Penyembuhan dari rash ini
biasanya dalam waktu 2-4 minggu. Setelah membentuk kerak, rash bisa menjadi
tidak menular.

Terbentuknya lesi dimulai dari macula eritematosa, kemudian terbentuk


papul-papul dan dalam waktu 24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari
ketiga menjadi pustula yang akan mengering menjadi krusta dalam 7-10 hari.
Krusta dapat bertahan 2-3 minggu kemudian mengelupas. Lesi baru juga terus
muncul sampai hari ketiga atau ketujuh.
6

Komplikasi Herpes Zoster antara lain:


a. Neuralgia postherpetic

Neuralgia postherpetic (NPH) didefinisikan sebagai nyeri herpes zoster


yang berlanjut lebih dari 30 hari setelah penyembuhan kulit. NPH dianggap
sebagai komplikasi yang paling umum dan meningkat dengan bertambahnya usia,
mempengaruhi hingga 30% orang dengan herpes zoster di atas usia 80 tahun.
Pada usia lanjut, terjadi resiko erupsi kulit lebih hebat (luas dan berlangsung
lama) atau intensitas nyeri yang lebih berat. Dalam sebuah penelitian, kurang dari
1% pasien zoster yang lebih muda dari 40 tahun terdapat NPH.
NPH merupakan nyeri dengan intensitas sedang sekitar tiga bulan atau
lebih, kadang-kadang dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Selain rasa sakit,
beberapa pasien dengan NPH mengalami peningkatan sensitivitas terhadap
sentuhan ringan (hyperesthesia). Penelitian telah menunjukkan bahwa, meskipun
merusak serat saraf sensorik, pemeliharaan fungsi termal berkontribusi terhadap
durasi dan intensitas rasa sakit yang terkait dengan NPH. Nyeri akut herpes zoster
sering digambarkan sebagai nyeri yang tajam dan menusuk, sedangkan NPH rasa
sakit biasanya ditandai sebagai rasa terbakar. Beberapa faktor resiko yang
mempengaruhi perbedaan perkembangan NPH antara lain adalah usia lanjut,
keparahan rash akut, adanya prodrome (hyperesthesia, paresthesia, burning, dan /
atau pruritus) dan jenis kelamin perempuan. Terjadi penurunan kualitas hidup
pada pasien NPH (Cohen et al., 2013).
b. Keterlibatan mata
Herpes zoster ophthalmicus terjadi pada 10-25% kasus HZ. Kejadian ini
melibatkan cabang oftalmikus dari saraf trigeminal dan menghasilkan tingkat
komplikasi yang sangat tinggi. Terjadi keratitis pada sekitar dua pertiga dari kasus
dan konjungtivitis, uveitis, retinitis dan dapat terjadi glaukoma.

c. Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt merupakan HZ yang terjadi pada liang telinga luar
atau membran timpani disertai gangguan pengecap, paresis fasialis, vertigo dan
7

tuli. Ramsay Hunt termasuk manifestasi herpes zoster yang kurang umum. Virus
bermanifestasi sebagai vesikel di saluran pendengaran eksternal dan langit-langit.

d. Zoster diseminata

Sebagian besar individu dengan herpes zoster akan mengalami beberapa


lesi di luar dermatom primer. Zoster diseminata adalah 20 lesi atau lebih di luar
dermatom yang terlibat. Ini cenderung terjadi hanya pada pasien
immunocompromised dan dapat dikaitkan dengan keterlibatan visceral (paru-paru,
hati, usus dan otak).

e. Infeksi bakteri

Apabila ada kecurigaan terkait superinfeksi bakteri maka, pengobatan


antibiotik untuk Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes harus
dipertimbangkan.

2.1.4 Faktor resiko Herpes Zoster

Faktor resiko HZ antara lain (CDC, 2008):

1. Infeksi VZV sebelumnya.

Herpes zoster merupakan reaktivasi dari VZV yang sebelumnya


menginfeksi tubuh manusia dan menjadi laten setelah itu. Faktor resiko utama dan
prasyarat yang diperlukan untuk terjadinya herpes zoster adalah infeksi VZV
sebelumnya. Sehingga, bila sudah terkena infeksi VZV primer maka akan
beresiko terkena Herpes Zoster.

2. Usia Lanjut
Usia Lanjut ditandai dengan penurunan fungsi sistem imun seiring dengan
pertambahan usia. Insiden Kejadian HZ meningkat tajam pada usia 50–60 tahun
dan terus meningkat pada usia > 60 tahun, bahkan pada studi kohort menunjukan
pada usia 85 tahun, 1 dari 2 orang akan terkena HZ. Hal tersebut terjadi akibat
penurunan sistem imun. VZV juga menyebabkan peningkatan nyeri prodromal,
8

meningkatnya keparahan HZ dan peningkatan kejadian NPH. NPH merupakan


komplikasi yang paling sering terjadi pad HZ.
3. Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian wanita lebih rentan menglami Herpes Zoster dan
resiko terjadinya PHN juga lebih tinggi dari pria.
4. Ras
Sebuah Studi di Inggris menunjukkan bahwa risiko zoster 54% lebih
rendah pada orang kulit hitam. Alasan perbedaan ras ini tidak diketahui.
5. Disfungsi imunitas seluler
Disfungsi imunitas seluler pada pasien immunokompromais merupakan
pemicu HZ yang potensial, sehingga insiden HZ meningkat pada pasien-pasien
immunokompromais sbb:

a. Gangguan limfoproliferatif
b. Pemberian kemoterapi
c. Transplantasi organ dan sumsum tulang
d. Infeksi HIV
e. Penyakit Hodgkin’s
f. Limfoma non Hodgkin”s
g. Leukemia
h. Penyakit autoimun seperti sistemik lupus eritematosus
i. Pemakaian obat obat immunosupresif
9

2.1.5 Tata Laksana Herpes Zoster

Gambar 2.1 Tatalaksana Terapi Herper Zoster (Perdossi, 2017)

1. Antivirus

Terapi antivirus bertujuan untuk mempercepat penyembuhan lesi,


mengurangi pembentukan lesi baru, dan mengurangi nyeri. Terapi antivirus paling
bermanfaat pada pasien immunocompromised, berusia > 50 tahun, dengan nyeri
atau ruam yang berat. Terapi antivirus memiliki manfaat yang bermakna bila
diberikan kurang dari 72 jam sejak ruam muncul.

Agen antivirus oral asiklovir, valasiklovir, dan famciclovir telah


menunjukkan dapat mengurangi keparahan dan durasi infeksi VZV. Obat ini
10

dianggap sebagai andalan terapi herpes zoster. Agen antivirus topikal tidak efektif
untuk pengobatan herpes zoster dan tidak dianjurkan. Terapi antivirus bila dimulai
lebih dini setelah munculnya gejala herpes zoster, maka semakin besar
kemungkinan respons klinisnya.

Uji coba pada pasien dengan HZ dalam waktu 72 jam setelah timbulnya
ruam menunjukkan bahwa asiklovir paling efektif ketika diberikan dalam 48 jam
setelah onset ruam (Cohen et al., 2013). Pemberian antivirus masih dapat
diberikan setelah 72 jam dan diberikan sesegera mungkin khususnya bila masih
timbul lesi baru/ terdapat vesikel (ACIP, 2008).

Gambar 2.2 Terapi antivirus pada pasien HZ (Cohen et al., 2013).

Mengobati rasa nyeri yang terkait dengan herpes zoster, khususnya pada
tahap akut, dianggap sebagai komponen penting dari manajemen dan mungkin ada
manfaat dalam mengurangi keparahan dan kejadian neuralgia postherpetic. Terapi
pada nyeri bergantung kualitas nyeri yang dirasakan. Nyeri ringan dapat diberikan
obat anti-inflamasi nonsteroid, sedangkan nyeri yang lebih berat dapat diberikan
opioid, gabapentin, atau lidokain patch.
11

2. Terapi Antinyeri

Gambar 2.3 Terapi Nyeri pada HZ (Wehrhahn dan Dwyer, 2012).

3. Terapi antidepresan

Terapi antidepresan pada HZ (Perdossi, 2017)


12

4. Terapi Postherpetic Neuralgia pada Herpes Zoster

Gambar 2.5 Terapi pada NPH (Perdossi, 2017)


13

a. Amitriptyline

Obat ini telah terbukti khasiatnya dalam mengurangi NPH dan juga
memiliki manfaat tambahan yang berharga yaitu sifat sedatif dan ansiolitiknya.
Menurut cochrane, TCA memiliki bukti efikasi terbaik untuk nyeri neuropatik.
Dosis dimulai dengan dosis malam tunggal 10 mg untuk lansia (25 mg untuk
pasien di bawah 50 tahun) dan titrasi meningkat dalam mingguan masing-masing
10 mg atau 25 mg. untuk memperoleh manfaat maksimal, memerlukan setidaknya
3 minggu penggunaan dengan dosis 30-75 mg setiap hari. Dosis harian maksimum
adalah 150 mg. Dapat menimbulkan efek samping seperti mulut kering, kelelahan,
konstipasi, ketidakseimbangan, dan retensi urin. Efek samping yang signifikan
termasuk disritmia jantung dan hipotensi ( Panickar dan Sellper, 2012).

b. Gabapentin

Gabapentin mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas tidur pada


pasien PHN. Gabapentin merupakan alternatif pertama ketika TCA
dikontraindikasikan. Dosis dimulai dengan 300 mg (100 mg untuk pasien usia
lanjut) dan dosis maksimum hingga 3600 mg (1200 mg 3 kali sehari atau 800 mg
4 kali sehari. Hindari penghentian obat secara mendadak ( Panickar dan Sellper,
2012).

c. Pregabalin

Pregabalin juga efektif dalam menghilangkan rasa sakit dan meningkatkan


tidur pada pasien PHN. Dosis dari pregabalin untuk PHN yaitu 75 mg tiap 12 jam
dan bisa ditingkatkan hingga 300 mg tiap 12 jam apabila dapat ditoleransi dan
diperlukan (Panickar dan Sellper, 2012).

d. Lidocaine Patch 5%.

Dilisensikan untuk digunakan di Inggris oleh MHRA dan sekarang


disetujui oleh Konsorsium Obat-obatan Skotlandia sebagai terapi lini ketiga untuk
PHN. terapi ini harus diterapkan pada daerah yang terkena, dan digunakan dalam
14

12 jam. Patch lidokain bila pasien sangat sensitif terhadap efek samping terapi
sistemik (Panickar dan Sellper, 2012).

e. Tramadol

Tramadol adalah agonis opioid yang lemah tetapi dua pertiga dari
aktivitasnya adalah menghambat noradrenalin dan serotonin reuptake, yang
menambah penindasan rasa sakit tubuh sendiri. Studi menunjukkan bahwa
manfaat tramadol dalam PHN tidak cukup kuat sebagai tambahan terapi saat ini (
Panickar dan Sellper, 2012).

5. Vaksinasi

Vaksin herpes zoster [Oka/Merck] ditujukkan untuk mencegah terjadinya


herpes zoster dengan meningkatkan kekebalan tubuh-VZV spesifik, yang
merupakam mekanisme mlindungi terhadap reaktivasi VZV dan komplikasinya.
Vaksin ini akan mengontrol reaktivasi laten VZV sehingga mencegah terjadinya
Herpes Zoster. Vaksin ini akan mengontrol replikasi dan penyebaran VZV ke
kulit sehingga akan mengurangi kerusakan neurologis, mengurangi keparahan dan
durasi nyeri, dan mengurangi insiden NPH ( Panickar dan Sellper, 2012).

2.2 Vomiting atau Muntah

2.2.1 Pengertian Vomiting atau Muntah

Muntah atau vomite atau emesis adalah keadaan akibat kontraksi otot perut
yang kuat sehingga menyebabkan isi perut menjadi terdorong keluar melalui
mulut dengan atau tanpa disertai mual terlebih dahulu. Muntah dikendalikan oleh
batang otak yang mengoordinasikan serangkaian tindakan yang melibatkan usus
dan otot rangka, yang mengakibatkan pengeluaran paksa isi usus melewati mulut.
Pada dasarnya, muntah adalah refleks yang dirancang untuk mengeluarkan zat
yang berpotensi berbahaya dari tubuh. Penyebab muntah dapat dibagi menjadi
gejala muntah akut atau kronis. Gejala kronis didefinisikan sebagai muntah yang
berlangsung 1 bulan atau lebih (Mets, 2007).
15

2.2.2 Etiologi
a. Muntah akut

Muntah akut disebabkan oleh beberapa hal. Penyebab paling umum


muntah akut adalah viral gastroenteritis atau keracunan makanan yang
terkontaminasi bakteri. Virus termasuk rotavirus, adenovirus dan norovirus
(terutama selama epidemi) juga dapat menyebabkan mual dan muntah. Racun
bakteri yang terbentuk sebelumnya yang dicerna dalam makanan dapat
menyebabkan muntah. Muntah sering disebabkan oleh konsumsi makanan yang
tidak dimasak dengan baik dan disimpan secara tidak tepat yang terkontaminasi
dengan Staphylococcus aureus atau Bacillus cereus. Muntah yang dimediasi
toksin berkembang 1-6 jam setelah konsumsi makanan yang yang terkontaminasi.
Infeksi lain seperti otitis media, infeksi saluran kemih (ISK), meningitis dan
hepatitis juga dapat mengakibatkan muntah, teapi jarang dan lebih rentan pada
orang tua.

Obat-obatan termasuk obat kimia, vitamin dan herbal dapat menimbulkan


efek samping obat berupa mual dan muntah yang biasanya muncul segera setelah
dikonsumsi. Obstruksi gastrointestinal mekanik sering menyebabkan muntah
tanpa mual. Obstruksi usus kecil biasanya akut, persisten dan berhubungan
dengan nyeri kolik tetapi kadang-kadang bisa berselang atau subakut. Kehamilan
pada wanita usia subur dapat menyebabkan mual di pagi hari.

b. Muntah Kronis

Mual dan muntah postprandial menunjukkan penyebab gastrointestinal


bagian atas termasuk penyakit refluks gastro-esofagus, dispepsia fungsional,
gastroparesis atau obstruksi gastrointestinal. Muntah pada obstruksi saluran
lambung umumnya terjadi sekitar satu jam setelah makan (walaupun waktunya
dapat bervariasi). Penyakit tukak lambung, keganasan saluran cerna bagian atas,
hepatitis atau karsinoma pankreas dapat menyebabkan mual atau muntah sebagai
bagian dari gejala kompleks, atau kadang-kadangsebagai gejala utama.
16

2.2.3 Patofisiologi Muntah

Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya diketahui, namun


beberapa mekanisme patofisiologi yang menyebabkan mual dan muntah telah
diketahui. Tindakan muntah membutuhkan kontraksi terkoordinasi dari otot-otot
perut, pilorus, dan antrum, peningkatan kardia lambung, penurunan tekanan
sfingter esofagus bagian bawah, dan pelebaran kerongkongan (Dipiro et al.,2009).
Interaksi kompleks antara jalur sentral dan perifer terjadi dan menimbulkan mual
dan muntah. Area yang terlibat secara perifer adalah mukosa lambung, otot polos
dan jalur aferen dari vagus dan saraf simpatis. Area sentral yang terlibat adalah
pusat muntah, kumpulan saraf – saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Secara
sentral, syaraf yang terlibat adalah:
a. Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema
b. Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena
penyakit telinga tengah)
c. Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)
d. Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan
cedera fisik)
e. Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)
Berbagai reseptor yang terlibat antara lain histaminergik (H1), kolinergik
(muskarinik M1), dopaminergik (D2), serotonergik (5HT3) dan neurokinin-1
(NK1). Reseptor tersebut menjadi target berbagai obat yang diarahkan untuk
mengendalikan gejala mual dan muntah.
Otot polos dan saraf vagus memonitor rangsangan dari iritasi mukosa dan
peregangan otot polos yang dapat menyebabkan mual atau muntah. Muntah dipicu
oleh impuls aferen ke pusat muntah, inti sel dalam medula. Impuls diterima dari
pusat sensorik, yang meliputi zona pemicu chemoreceptor (CTZ), korteks
serebral, dan aferen visceral dari saluran faring dan GI. Pusat muntah yang
terletak di formasi reticular dorsolateral dekat dengan pusat pernapasan eferen
visceral, saraf kedelapan (pendengaran) (dua yang terakhir melalui nucleus tractus
solitarius) dan dari CTZ mengintegrasikan impuls aferen, menghasilkan impuls
17

eferen ke pusat air liur, pusat pernapasan, dan otot faring, GI, dan perut, yang
menyebabkan muntah.
Area postrema yang berisi CTZ merupakan organ sensorik khusus yang
kaya akan reseptor dopaminergik, serotonergik, histaminergik, dan muskarinik.
Area postrema terletak di luar sawar darah otak (BBB) dan ada kemungkinan
bahwa bahan kimia, racun, peptida, obat-obatan dan neurotransmiter dalam cairan
serebrospinal (CSF) dan aliran darah berinteraksi dengan daerah ini lalu,
menyebabkan mual dan muntah. CTZ merupakan organ kemosensor utama untuk
emesis dan biasanya berhubungan dengan muntah yang diinduksi secara kimia.
Agen sitotoksik lebih merangsang area ini daripada ke korteks serebral dan aferen
visceral. Demikian pula, muntah terkait kehamilan mungkin terjadi melalui
stimulasi CTZ.

Gambar 2. 8 Patofisiologi Muntah (Walker dan Whittlesea, 2012)


Penyebab utama atau sentral mual dan muntah termasuk peningkatan
tekanan intrakranial, pelebaran arteri serebral selama migrain dan stimulasi
mekanisme labirin atau indra penglihatan, bau dan rasa. Penyebab perifer mual
dan muntah termasuk mabuk perjalanan, penundaan pengosongan lambung dan
iritasi mukosa lambung (ulserasi, NSAID). Semua mekanisme ini dimediasi
18

melalui neuron aferen vagal. Muntah yang berhubungan dengan distensi atau
obstruksi saluran pencernaan dimediasi melalui neuron aferen simpatis dan vagal.
2.2.4 Tata Laksana Mual dan Muntah
Tata laksana muntah menurut (Walker dan Whittlesea, 2012):
a. Antikolinergik
Antikolinergik banyak di antaranya merupakan penghambat kuat aktivitas
reseptor muskarinik (M1) baik secara perifer maupun terpusat. Contoh
antikolinergik antara lain atropin, hyosine, dan glikopirronium yang telah
digunakan sebelum operasi untuk menghambat air liur dan sekresi pernapasan
berlebihan selama anestesi. Antikolinergik bertindak dengan menghambat
transmisi kolinergik dari nukleus vestibular di korteks serebral. Penghambatan
reseptor muskarinik perifer dapat menyebabkan kantuk, mulut kering, pupil
melebar dan penglihatan kabur, penurunan keringat, motilitas gastrointestinal dan
sekresi gastrointestinal dan kesulitan buang air kecil..

b. Antidopaminergik
Fenotiazin dan butyrophenones
Fenotiazin (mis. Proklorperazin, perfenazin, dantrifluoperazine) dan
butyrophenones (mis. haloperidol dandroperidol) bertindak sebagai antagonis
pada reseptor dopamin (D2) di CTZ, tetapi juga memiliki aktivitas antagonis
reseptor kolinergik (M1) dan histaminergik (H1). Butyrophenones, dalam banyak
situasi telah digantikan oleh agen yang lebih spesifik seperti metoclopramide dan
antagonis selektif 5HT3.
Metoclopramide
Pada dosis yang lebih rendah, metoclopramide bertindak sebagai antagonis
D2 selektif di CTZ. Namun, obat ini juga memberikan antagonisme D2 perifer
pada dosis ini, dan merangsang reseptor kolinergik pada otot polos lambung,
sehingga merangsang pengosongan lambung. Metoclopramid lebih efektif
daripada fenotiazin dan butyrophenone ketika mual dan muntah berhubungan
dengan penyakit saluran cerna atau empedu.
19

Domperidone
Meskipun domperidone tidak mudah melewati BBB, tetapi merupakan
antagonis selektif dari reseptor D2 di CTZ, yang terletak di luar BBB di daerah
postrema. Domperidone memiliki efek perifer yang mengakibatkan peningkatan
motilitas gastro-intestinal dan pengosongan lambung yang lebih cepat.
Domperidon dapat digunakan dalam muntah terkait obat.
c. Antagonis reseptor 5HT3 selektif
Subtipe 5HT3-reseptor,yang memediasi jalur muntah, terletak secara
perifer pada ujung saraf vagal di saluran pencernaan danter pusat di otak, dengan
konsentrasi tinggi ditemukan diarea postrema dan nucleus tractus solitarius.
Contoh dari Antagonis reseptor 5HT3 selektif adalah granisetron, ondansetrondan
palonosetron. Selektif Antagonis reseptor 5HT3 bekerja sentral dan perifer umum
digunakan untuk mengobati atau mencegah CINV, PONV serta radioterapi.
d. Antagonis reseptor Neurokinin-1 (NK1)
Zat P adalah peptida bioaktif yang memiliki kesamaan urutan asam amino
dengan peptida bioaktif lainnya yang dikenal sebagai tachykinins. zat ini
memainkan peran penting sebagai neurotransmitter dalam emesis.
e. Cannabinoid
Aktivitas antiemetik dari cannabinoid adalah terkait dengan stimulasi
reseptor CB1 cannabinoid pusat dan perifer. efek dari penggunaan cannabinoid
termasuk kantuk dan terkadang gangguan perilaku, yang kadang-kadang bisa
parah. Cannabinoid sintetis diindikasikan untuk mual dan muntah yang
disebabkan oleh kemoterapi sitotoksik.
f. Kortikosteroid
Kortikosteroid diketahui memiliki efek antiemetik meskipun mekanisme
kerja tidak jelas. Digunakan dalam mencegah mual dan muntah yang berhubungan
dengan kemoterapi sitotoksik emetogenik ringan sampai sedang.

2.3 Electrolite Imbalance


Cairan dan elektrolit adalah komponen penting tubuh untuk menjamin
kehidupan normal dari semua proses yang berlangsung di dalam tubuh.
20

Keseimbangan cairan dan elektrolit diatur oleh suatu mekanisme kompleks yang
melibatkan berbagai
enzim, hormon, dan sistem saraf. Cairan terdapat hampir 60 % dari komposisi
tubuh manusia yang berupa larutan ion dan zat lainnya. Jumlah cairan tubuh total
pada masing-masing individu dapat bervariasi berdasarkan umur, berat badan,
maupun jenis kelamin (Cooper, 2016).
Elektrolit adalah zat dalam aliran darah yang penting dalam mengatur
fungsi tubuh. Elektrolit merupakan partikel yang bermuatan yang disebut ion. Ion
yang bermuatan positif disebut kation, sedangkan ion yang bermuatan negatif
disebut anion. Jumlah muatan positif harus seimbang dengan jumlah muatan
negatif. Jumlah muatan dan konsentrasi dinyatakan dengan miliequivalents (mEq)
per liter cairan (Suwarsa, 2018). Beberapa elektrolit adalah kalium, magnesium,
natrium, fosfor dan kalsium. Elektrolit diperlukan agar otot, organ (seperti
jantung) dan sistem organ (seperti sistem saraf) bekerja dengan baik (Cooper,
2016).
Cairan dan elektrolit memiliki komponen utama yang berbeda dan
fungsinya masing-masing sebagai struktur penting yang membentuk dan
menunjang tubuh manusia, sehingga dapat berfungsi dengan baik melalui
mekanisme pengaturan yang sedemikian rupa.
2.3.1 Pengertian Electrolyte imbalance
Keseimbangan cairan merupakan bagian dari kontrol tubuh untuk
mempertahankan homeostasis. Homeostasis cairan dapat dipertahankan oleh
tubuh dengan cara mengatur cairan ekstraselular, yang selanjutnya akan
`mempengaruhi cairan intraselular.Agar tubuh dapat mencapai keseimbangan
cairan yang dibutuhkan maka tubuh harus mengatur agar input cairan sama
dengan out put cairan (balance concept). Gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit disebabkan oleh berbagai penyakit, dari yang bersifat ringan sampai
berat. Terapi cairan dan elektrolit bertujuan untuk membantu mekanisme
kompensasi tubuh untuk mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
tersebut.
21

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi


pada keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi, ekskresi keringat yang
berlebih pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insesible water loss)
secara berlebihan oleh paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada
ginjal dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam
keadaan tersebut, pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh
yang hilang dapat digantikan dengan segera.
2.3.2 Macam gangguan keseimbangan elektrolit
a. Hipokalemia
Nilai normal Kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Hipokalemia adalah
kondisi dimana nilai kalium kurang dari 3,5 mEq / L ( Pfennig dan Slovis, 2010).
Peran dari kalium adalah menjaga fungsi sel normal. Terdapat 98% kalium tubuh
di intraseluler dan 2% di ekstraseluler. Apabila kalium ekstraseluler berlebihan
(hiperkalemia) maka akan menurunkan aksi potensi membran, sementara
hypokalemia menyebabkan hiperpolarisasi dan tidak responsifnya
membrane.Derajat Hipokalemia:
-Hipokalemia ringan dengan kadar serum 3-3,5 mEq/L.
-Hipokalemia sedang dengan kadar serum 2,5-3mEq/L.
-Hipokalemia berat dengan kadar serum < 2,5 mEq/L. Hipokalemia <2 mEq/L
biasanya sudah disertai kelainan jantung dan mengancam jiwa.
1. Etiologi dan Patofisiologi
Sebanyak 20% dari pasien rawat inap dan hingga 40% dari pasien yang
memakai diuretik thiazide akan mengalami hipokalemia.. Data terbaru
menunjukkan hipokalemia meningkatkan mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung kronis atau CKD. Bahkan, hipokalemia bahkan ringan pada pasien dengan
CKD memberi risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan mereka
yang mengalami hiperkalemia ringan sampai sedang (Dipiro et al., 2009).
Hipokalemia dapat dibedakan menjadi Hipokalemia Redistributif deplesi renal,
dan deplesi non renal seperti pada kulit atau pencernaan (Nathania, 2019).

Hipokalemia terjadi ketika ada defisit kalium total tubuh, atau ketika
serum kalium digeser ke kompartemen intraseluler. Defisit total tubuh terjadi pada
22

pengaturan asupan kalium yang buruk, atau ketika ada kehilangan kalium ginjal
dan GI yang berlebihan. Mempertahankan asupan kalium secara konsisten sangat
penting karena tubuh tidak memiliki metode yang efektif untuk menyimpan
kalium. Pada kondisi stabil, ekskresi kalium sesuai dengan asupan kalium; sekitar
90% dari kalium yang dicerna diekskresikan ke dalam ginjal, sedangkan 10%
diekskresikan dalam tinja (Dipiro et al., 2009).

Pemberian insulin dapat menyebabkan penurunan serum kalium karena


kemampuan insulin untuk merangsang Na +, K + -ATPase dan memindahkan
kalium secara intraseluler, hipokalemia dapat menjadi komplikasi berbahaya
dengan overdosis insulin yang disengaja dan selama pengobatan diabetes.
Perubahan aktivitas sistem saraf simpatis endogen dapat menyebabkan
hipokalemia, contohnya pada kondisi withdrawal alkohol, hipertiroidisme, infark
miokard akut, dancedera kepala berat, serta penggunaan obatobatan
tertentu.Stimulasi reseptor beta dapat menyebabkan hipokalemia, terutama pada
pasien yang menggunakan beta-agonis dosis tinggi dan berulang untuk penyakit
paru obstruktif kronis atau asma.
Beberapa obat dapat meningkatkan ekskresi kalium di ginjal. Diuretik
adalah penyebab utama deplesi kalium renal akibat obat, karena peningkatan pada
tuba Na+ distal dan laju alir tubulus distal.. Penisilin dan turunan sintetiknya,
ketika diberikan dalam dosis besar dapat meningkatkan ekskresi kalium ginjal
dengan meningkatkan pengiriman natrium ke nefron bagian distal (Dipiro et al.,
2009).

2. Manifestasi Klinis

Tingkat keparahan klinis hypokalemia cenderung sebanding dengan


derajat dan durasi deplesi serum kalium. Gejala umumnya muncul apabila serum
kalium di bawah 3,0 mEq/L, kecuali jika penurunan kadar kalium mendadak atau
pasien memiliki faktor komorbid, contohnya kecenderungan aritmia. Gejala
biasanya membaik dengan koreksi hipokalemia.
23

Hipokalemia biasanya tanpa gejala tetapi dapat dimanifestasikan dengan


keluhan tidak spesifik, termasuk jantung berdebar, kerangka kelemahan otot,
mudah lelah, depresi, dan nyeri otot. Apabila dalam waktu singkat pengurangan
kalium hanya ringan biasanya ditoleransi dengan baik pada individu yang sehat
namun, pengurangan kalium yang parah dapat mengakibatkan ketidakstabilan
kardiovaskular yang serius, disfungsi neurologis, intoleransi glukosa, gejala
gastrointestinal, dan gagal ginjal serta mempengaruhi keseimbangan asam-basa
dalam tubuh. Parestesi, refleks tendon dalam yang tertekan, fasikulasi, kelemahan
otot, dan kebingungan dapat terjadi ketika kadar kalium serum kurang dari 2,5
mEq / L ( Pfennig dan Slovis, 2010).

3. Tatalaksana Hipokalemia

a. Kalium oral

Kalium oral merupakan terapi paling aman tetapi dapat emnimbulkan


iritasi lambung. Untuk hipokalemia ringan dapat diberikan KCL oral 20 mEq
3-4 kali sehari.pemberian kalium asetat dan bikarbonat harus dipertimbangkan
pada kondisi asidosis metabolik.
b. Kalium intravena
Rute iv harus dibatasi hanya untuk yang tidak bisa melalui enteral datau
dengan komplikasi berat. Pemberian KCl dapat diberikan sekitar 20-40 mmol
per liter. Jika kadar serum > 2 mEq/L, kecepatan lazim adalah 10 mEq/jam,
maksimal 20 mEq/jam untuk mencegah hiperkalemia. Pada anak, 0,5—1
mEq/kg/dosis dalam 1 jam. Dosis tidak boleh melebihi dosis maksimum
dewasa. Pada kadar < 2 mEq/L, bisa diberikan 40 mEq/jam melalui vena
sentral dan pemantauan ketat di ICU.

b. Hiponatremia
Hiponatremia, didefinisikan sebagai kadar natrium plasma <135 mmol/L,
merupakan gangguan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit yang paling sering
ditemukan dalam praktik klinis. Hiponatremia terjadi pada 15-20% perawatan
24

kegawatdaruratan di rumah sakit dan mengenai hampir 20% pasien yang berada
dalam kondisi kritis. Klasifikasi hiponatremia menurut tingkatannya:

-Hiponatremia ‘ringan’ dimana kadar natrium plasma antara 130 dan 135 mmol/L.

-Hiponatremia ‘sedang’ dimana kadar natrium plasma antara 125 dan 129 mmol/L

-Hiponatremia ‘berat’ dimana kadar natrium plasma <125 mmol/L.

1. Etiologi dan Patofisiologi

Penyebab paling umum dari hiponatremia berat pada orang dewasa adalah
terapi dengan tiazid, kondisi pasca operasi termasuk prostatektomi transurethral,
sindrom sekresi hormon antidiuretik (SIADH) yang tidak tepat, polydipsia pada
pasien psikiatri, dan keracunan air yang tidak disengaja. Kehilangan cairan
gastrointestinal, konsumsi susu formula yang terlalu berair, konsumsi air
berlebihan yang tidak disengaja, dan penerimaan beberapa enema air keran
merupakan penyebab utama hiponatremia berat pada bayi dan anak-anak.

Kerusakan sistem saraf pusat (SSP) akibat hiponatremia dapat disebabkan


oleh edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial, oleh pergeseran cairan
osmotic pada lingkungan hyponatremia, neuron mendeplesi natrium dan kalium
dalam upaya untuk membatasi osmolaritas mereka sendiri untuk mencegah
pergeseran cairan intraseluler yang akan menyebabkan edema serebral.
Hiponatremia dibedakan hiponatremia hipovolemik, hiponatremia hipervolemik
dan hiponatremia euvolemik.
25

Gambar 2. 9 Penyebab Hiponatremia (Dipiro et al., 2009).

2. Gejala Klinik

Sebagian besar pasien yang datang ke gawat darurat (DE) dengan


hiponatremia tidak memiliki gejala dan tidak memerlukan terapi darurat.
Gejalanya berkisar dari sakit kepala, mual, dan muntah hingga kebingungan,
kejang, dan koma. Ada dua kelompok pasien hiponatremia yang membutuhkan
pengobatan dengan salin normal atau salin hipertonik: (1) hiponatremia
asimptomatik dengan kadar 110 mEq / L natrium atau kurang dan (2)
hiponatremia simptomatik akut dengan kadar natrium di bawah 120 mEq / L.
Pasien hiponatremia akut yang kadar natriumnya turun di bawah120 mEq / L
selama 24 hingga 48 jam dapat memiliki gejala neurologis seperti kebingungan,
kejang, edema serebral, maupun koma (Dipiro et al., 2009)..
26

3. Tata Laksana

Gambar 2.10 Tatalaksana Hiponatremi (Dipiro et al., 2009).

Seorang pasien yang memiliki atau berisiko tinggi mengalami gejala parah
yang disebabkan oleh hiponatremia harus menerima 3% NaCl (513 mEq / L
[mmol / L]) atau 0,9% NaCl (154 mEq / L [mmol / L]) . Terapi hiponatremia
hipovolemik dimulai dengan rehidrasi dengan dilakukan resusitasi dengan normal
salin. Setelah pasien stabil, laju infus dilambatkan. Biasanya, NS dimulai dari 500
hingga 1000 mL / jam sampai tekanan darah stabil dan kemudian diperlambat
hingga 200 mL / jam dengan pemeriksaan natrium yang sering. Jika nilai natrium
di bawah 120 mEq / L, konsentrasi natrium harus dibiarkan naik hanya dengan
rata-rata 0,5 mEq / jam atau 10 hingga 12 mEq / hari.

c. Hipokalsemia

Hipokalsemia merupakan suatu kondisi dimana kadar kalsium dari darah


<8,8 mg/dl. Regulasi kalsium sangat penting untuk fungsi sel normal, transmisi
saraf, stabilitas membran, struktur tulang, pembekuan darah, dan intraseluler.
Insiden hipokalsemia pada pasien unit perawatan intensif berkisar dari 70%
hingga 90% berdasarkan nilai total serum kalsium kurang dari 8,5 mg / dL (2,13
mmol / L) hingga 15% hingga 50% berdasarkan pengamatan dari konsentrasi
kalsium terionisasi kurang dari 4,4 mg / dL (1,10 mmol / L). Pengobatan
27

hipokalsemia yang muncul jarang diperlukan kecuali ada gejala yang mengancam
jiwa (misalnya, tetani atau kejang). Hipokalsemia sering terjadi pada lansia dan
pasien malnutrisi

1. Etiologi dan Patofisiologi

Hipokalsemia adalah hasil dari perubahan efek PTH dan vitamin D pada
tulang, usus, dan ginjal. Penyebab utama hipokalsemia adalah hipoparatiroidisme
pasca operasi dan defisiensi vitamin D. Penyebab lain termasuk kekurangan
kalsium, pembedahan tiroid, obat-obatan, hipoalbuminemia, transfusi darah,
pengambilan sel progenitor darah tepi, dan tumor. Dalam kondisi hipokalsemia,
PTH meningkat.

2. Manifestasi klinik

Hipokalsemia parah berupa simptomatik dan dapat menyebabkan kolaps


kardiovaskular, hipotensi, dan disritmia. Hipokalsemia yang terbukti secara klinis
umumnya dimanifestasikan dalam bentuk yang lebih ringan dan biasanya hasil
dari keadaan penyakit kronis. gejalanya yaitu otot kram, parestesi oral atau jari,
sesak napas dan kontraksi tetanik. Gejala lebih parah termasuk hipotensi,
perpanjangan QT, angina, dan CHF. Hipokalsemia kronis dapat dimanifestasikan
dengan katarak,pertumbuhan gigi yang buruk, kulit kering, rambut kasar, dan
pruritus.

3. Tata Laksana

Terapi pertama bagi pasien tanpa gejala atau gejala ringan yaitu suplemen
kalsium oral, seperti kalsium karbonat. Kalsium intravena diberikan seperti
kalsium klorida atau kalsium glukonat untuk pasien dengan sedang hingga berat
yaitu 100 mg-300 mg unsur kalsium yang diberikan selama 5-30 menit yang akan
meningkatkan kadar kalsium terionisasi 0,5 hingga 1,5 mEq. Terapi ini dapat
menggunakan pemberian 1 g kalsium klorida (27% unsur kalsium) atau 2-3 g
kalsium glukonas (9% unsur kalsium). Kalsium glukonat umumnya lebih disukai
daripada kalsium klorida karena pemberian kalsium glukonas dalam vena perifer
lebih tidak mengiritasi vena. Konsentrasi kalsium terionisasi biasanya menjadi
28

normal dalam waktu 4 jam, dan laju infus pemeliharaan unsur kalsium kemudian
dapat dikurangi menjadi 0,3 hingga 0,5 mg / kg perjam untuk mempertahankan
konsentrasi kalsium yang diinginkan (Dipiro et al., 2009).

Hipokalsemia asimptomatik dan kronis yang berhubungan dengan


hipoparatiroidisme dan kekurangan vitamin D dapat diterapi dengan kalsium oral
dan suplementasi vitamin D. Terapi dimulai dengan 1 hingga 3 g / hari unsur
kalsium. Dosis pemeliharaan rata-rata berkisar 2 hingga 8 g kalsium unsur per
hari dalam dosis terbagi (Dipiro et al.,2009).
29

BAB III
STUDI KASUS

1. Identitas Pasien:

Nama Pasien : Ny. M

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Sambirobyong, Tulungagung

Umur : 70 tahun

BB/TB : 43 tahun

Alergi :-

Diagnosa : Herpes Zoster + vomitting akut + electrolyte imbalance

Tanggal MRS : 25 April 2019

Tanggal KRS : 29 April 2019

Nama DPJP : dr. Jasin, Sp PD

Nama PJAPJP : Evi Nadzirotul S.Farm., Apt

2. Data Subyektif:

Alasan MRS : badal gatal-gatal, mual dan muntah

Riwayat Pengobatan: -
3. Data klinik

Data Klinik Nilai Normal Tgl


25/4/2019 26/4/2019 27/4/2019 28/4/2019 29/4/2019
Suhu (̊C) 36,5-37,2o C 36,6o C 36,5o C 36,5o C 36,6o C 36,5o C
Tekanan darah (mmHg) <120/80 mmHg100/70 mmHg 100/70 mmHg 120/80 mmHg 120/80 mmHg 110/80 mmHg
Nadi (x/menit) 60-100x/ menit 81x/menit 80x/menit 84x/menit 81x/menit 82x/menit
RR (x/menit) 12-20x/ menit 20x/menit 20x/menit 20x/menit 20x/menit 20x/menit
Muntah ++ + +
Gatal + + + +

Tanggal 25/4/2019 Pasien di UGD


Tanggal 26/4/2019 sampai 29/4/2019 Pasien di IRNA Flamboyan
4. Data Laboratorium
Data Lab Nilai Normal tgl
25/4/2019
HB 13-18 g/dl 13,0
Eritrosit 4,5-6,2 108/µl 4,39
Hematokrit 4-54 36,1
MCV 81-99 82,2
MCH 27-31 29,6
WBC 4-10 103 µl 4,72
PLT 150-450 103/µl 183
BUN 6-20 mg/dl 9

30
Cr 0,67-1,5 mg/dl 0,74
Albumin 3,5-5,2 3,5
Ca 8,6-10,2 mmol/L 7,8
Na 135-145 mmol/L 122
K 3,1-5,1 mmol/L 2,6
Cl 96-102 mmol/L 85

Keterangan: Merah: diatas normal


Hijau: dibawah normal

31
5. Terapi Pasien

Nama Obat Dosis Rute Tgl


25/4/2019 26/4/2019 27/4/2019 28/4/2019 29/4/2019 Pulang
Acyclovir tab 5x800 PO √ √ √ √ √ √
mg
Ondansetron 3x4 mg IV √ √ √ √ √
Mecobalamin 1x500 IV √ √ √ √
mcg
Ceftriaxone 2x1 g IV √ √ √ √
Santagesik 3x1 g IV √ √ √ √ √
Amitriptiline 0-0- PO √ √ √ √ √
12,5
NS 0,9 % 20 tpm IV √ √ √ √ √
KCl 7 tpm IV √ √ √ √
Gentamycin 2x Topikal √ √ √
sehari
Cetirizin 1x 10 PO √ √
mg
Sukralfat 3x 1 PO √ √ √ √ √
cth

32
Omeprazole 2x 40 PO √ √ √ √ PO
mg
Neurodex 1x 1 PO √
tab
Cutimed gel topikal √

33
6. Telaah Terapi Pasien
Problem Tanggal Subjektif/ Terapi Assesessement Rekomendasi dan
Medik Objektif Monitoring
Herpes Zoster 25/4- Subjektif: Acyclovir Indikasi: Antivirus untuk herpes zoster, Plan: Terapi dilajutkan
29/4 Gatal tablet 400 mg Monitoring: Gatal dan
herpes simplex dan herpes genital lesi pada pasien
Dosis: Herpes zoster: 5x 800 mg,
diberikan selama 7-10 hari
Mekanisme: menghambat replikasi
DNA virus
Efek samping: mual, diare, sakit kepala
26/4- Subyektif: Ceftriaxone IV Indikasi: meningitis, infeksi abdomen Plan: Terapi dihentikan
29/4 - 2x1 g Monitoring:-
Obyektif: peritonitis, infeksi kandung empedu. off
WBC: 4,72 label: infeksi nekrosis kulit dan jaringan
103
Dosis: IV 2x1 g/ hari selama 4-14 hari
Mekanisme: menghambat dinding sel
mikroba
Efek Samping: gangguan saluran cerna,
reaksi kulit
25/4- Subjektif : Santagesik IV Indikasi: nyeri akut dan kronik, nyeri Plan: Terapi dihentikan
29/4 Nyeri 3x1 g Monitoring: -
kepala, nyeri post op, nyeri otot dan kolik

34
Dosis: IV 2x1 g/ hari selama 4-14 hari
Mekanisme:
Efek Samping: gangguan saluran cerna,
reaksi kulit
25/4- Subjektif: Amitriptiline Indikasi: nyeri kronik, off label: Plan: Terapi dilanjutkan
29/4 Nyeri Monitoring: tekanan
tab 0-0-12,5 neuropati, postherpetic neuralgia darah
Dosis: Neuropati: 10-25 mg sebelum
tidur, geriatrik: 10-12,5 mg
Mekanisme: neurotransmitter reupatake
inhibitor
Efek Samping: mulut kering, sedasi,
pandangan kabur, efek pada
kardiovaskular, hipotensi orthostatic pada
geriatri

26/4- Subyektif: Gentamycin Indikasi: infeksi kulit karena organisme Plan: Terapi dilanjutkan
28/4 Gatal Monitoring: luka pada
salep 2x sehari Mekanisme kerja: menghambat sintesis pasien
protein bakteri
Dosis: oleskan tipis 3-4 kali sehari
25/4- Subyektif: Cetirizin tab Indikasi: rhinitis menahun, rhinitis alergi Plan: Terapi dilanjutkan

35
26/4 Gatal 1x 10 mg sensasional, konjungtivitis, pruritus, Monitoring: Gatal pada
pasien
urtikaria
Dosis: 1x 10 mg/ hari
Mekanisme kerja: antagonis reseptor
histamine H1
Efek Samping: mengantuk, mulut kering
Elektrolit 25/4- Obyektif: NS 0,9 % 20 Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = Plan: Terapi dilanjutkan
imbalance 29/4 25/4: Monitoring: Kadar
tpm 154. Kemasan : 500, 1000 ml.
Ca: 7,8 serum elektrolit
Na: 122 Indikasi : Resusitasi, Diare, Luka Bakar
K: 2,6
dan Gagal Ginjal Akut
Cl: 85
Efek Samping : hypernatremia
.
26/4- Obyektif: KCl 7 tpm Komposisi: K= 25 mEq/L, Cl= 25 Plan: Terapi dilanjutkan
29/4 25/4: Monitoring: Kadar
mEq/L
Ca: 7,8 serum elektrolit
Na: 122 Indikasi: Hipokalemia
K: 2,6
Efek Samping: Infus cepat: toksik untuk
Cl: 85
jantung, Perut kembung, nyeri perut
Vomitting akut 25/4- Subyektif: Ondansetron Indikasi: Terapi mual dan muntah akibat Plan: Terapi diberikan
29/4 25/4-27/4: bila perlu
IV 3x4 mg kemoterapi, mual dan muntah pasca
Muntah Monitoring: mual
operasi muntah pasien

36
Dosis:
Kemoterapi: 0,15/kg 15-30 menit
sebelum kemoterapi, lalu diberikan 4 dan
8 jam setelahnya. Maksimal: 32 mg
Mual muntah pasca operasi: 4 mg IV
sebelum operasi atau 8 mg/ 12 jam
Mekanisme Kerja:menghambat reseptor
5HT3
Efek samping: pusing, malaise
Anemia 26/4- Obyektif: Mecobalamin Obat ini adalah bentuk aktif Vitamin Plan: Terapi dilanjutkan
29/4 25/4: Monitoring: kadar
iv 1x500 mcg B12.
Eritrosit: eritrosit, HB, dan data
4,39 108/µl Indikasi: penderita kekurangan vitamin lab darah lain
B12, neuropati perifer (gangguan saraf
tepi dengan gejala kesemutan atau
keram), dan anemia megaloblastik
Mekanisme Kerja: Sintesis sel darah
merah
Dosis: 3x500mcg atau iv 1x500 mcg
Efek Samping: pusing

37
Subyektif: Sukralfat syr Indikasi: tukak lambung dan duodenum Plan: Terapi dilanjutkan
begah Monitoring: begah pada
3x 1 cth 26/4- Dosis: 4x1 g/ hari 2 jam sebelum makan,
pasien
29/4 maksmal 8 gr/hari, suspensi: 3x 2cth/ hari
Mekanisme Kerja: Melapisi mukosa
lambung
Efek Samping: konstipasi, diare
26/4- Subyektif: Omeprazole Indikasi: GERD, gastric dan duodenal Plan: Terapi dihentikan
29/4 - dan diganti ranitidin
IV 2x40 mg ulcer, Off label: stress ulcer, profilaksis
Obyektif: - Monitoring: -
efek NSAID
Dosis: GERD dan tukak: 1x20 mg, stress
ulcer: 40 mg/ 12 jam
Mekanisme kerja: Menghambat proton
pump inhibitor yang akan menghambat
produksi asam lambung
Efek samping: pusing, nyeri abdomen

7. Drug Related Problem (DRP)


No Tgl Kode Masalah Uraian Masalah Rekomendasi saran Tindak lanjut
1 25/4/2019 Pemilihan obat Pada pasien geriatric Pertimbangan penggunaan Konfirmasi DPJP terkait

38
akan terjadi penurunan ranitidin daripada omeprazole, pergantian omeprazole dengan
produksi asam, karena aktivitas ranitidine lebih ranitidin
sehingga apabila lemah tetapi masih bisa digunakan
menggunakan untuk stress ulcer
omeprazole maka akan
menghambat keluarnya
asam lambung yang
kuat karena aktivitas
PPI dari omeprazole
2 26/4/2019 Santagesik digunakan Pertimbangan penggunaan Konfirmasi DPJP terkait
terapi nyeri pada santagesik penggunaan santagesik
pasien, tapi pada pasien
sudah diberi terapi
nyeri amitriptilin,
sehingga santagesik
tidak perlu digunakan.
aktivitas anti nyeri
pada amitriptilin lebih
besar dari pada

39
santagesik, sehingga
walaupun santagesik
dihentikan tidak akan
masalah
3 Ada terapi Ceftriaxone diberikan Pertimbangan penggunaan Konfirmasi DPJP terkait
tidak ada secara iv pada pasien, ceftriaxon penggunaan ceftriaxon
indikasi padahal pasien tidak
terdiagnosa terkena
infeksi virus bukan
bakteri
4 27/4/2019 Ada indikasi Pasien masih Pertimbangan melanjutkan Konfirmasi DPJP terkait
tidak ada mengeluhkan gatal penggunaan cetirizin penggunaan cetirizin
terapi pada tgl tersebut, tetapi
belum diberi terapi
gatal
5 tidak ada Pasien sudah tidak Pertimbangan penggunaan Konfirmasi DPJP terkait
indikasi ada mengalami mual dan ondansetron apabila muntah saja penggunaan ondansetron
terapi muntah tetapi masih
diberi terapi mual dan
muntah

40
41
42

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis pasien bernama Ny M mengeluh lemas, muntah


dan gatal-gatal pada area perut bagian kanan. Pasien masuk ke IGD tgl 25 April
2019. Dokter memberi diagnosa bahwa Ny. M menderita Herpes Zoster+vomiting
akut+electrolyte imbalance. Saat di IGD pasien diberi terapi NS 0,9%, injeksi
omeprazole 2x20 mg, santagesik 3x500 mg, ondanseton 3x 4 mg, acyclovir tablet
5x800 mg dan cetirizine 1x10 mg. Terapi infus digunakan untuk resusitasi cairan.
Terapi omeprazole digunakan untuk mengatasi stress ulcer pada pasien, dengan
dosis 2x40 mg (DIH, 2009). Terapi omeprazole pada pasien geriatric akan
berdampak pada penghambatan keluarnya asam lambung secara kuat, padahal
pada pasien geriatric terjadi penurunan produksi asam lambung. Jadi, omeprazole
dapat diganti dengan ranitidine yang aktivitasnya lebih lemah tetapi masih
memiliki fungsi yang sama dengan omeprazole.

Acyclovir digunakan untuk terapi antivirus herpes zoster, santagesik


digunakan untuk terapi nyeri pada pasien, ondansetron untuk mual dan muntah
dan cetirizine adalah terapi untuk gatal akibat herpes zoster.

Pada tanggal 26 April 2019, pasien dipindahkan ke IRNA flamboyan


(Penyakit dalam). Saat datang di flamboyan, pasien menyatakan bahwa mual dan
muntah mulai turun tetapi badan masih gatal-gatal dan nyeri. Tanda-tanda vital
pasien normal. Data klinik Na: 122 mmol/L, K: 2,6, mmol/L, Cl: 85 mmol/L dan
Ca: 7,8 mmol/L. Terapi yang diberikan yaitu acyclovir tablet 5x 800 mg,
ondansetron 3x4 mg, mecobalamin 1x500 mcg, ceftriaxone 2x1 g, santagesik
3x1g, amitriptilin tab 1x 12,5 mg sebelum tidur, NS 0,9%:Drip KCl 20 tpm,
Gentamycin salep 2x sehari, cetirizine 1x10 mg, omeprazole 2x20 mg mg, dan
sukralfat 3x2 sendok teh.

Mecobalamin adalah terapi untuk defisiensi B12 dan anemia


megaloblastik, off label untuk neuropati dan amitriptyline pada pasien HZ
berfungsi sebagai anti nyeri dan terapi neuropati (DIH, 2009). Penggunaan nyeri
43

sudah diberikan amitriptilin, sehingga santagesik yang memiliki aktivitas


antinyeri lebih rendah tidak perlu diberikan. Jadi mohon pertimbangan
penggunaan santagesik. Salep gentamisin seharusnya dioleskan tiap 3-4 kali
sehari pada lesi. Jadi, perlu pertimbangan interval pemberian salep gentamisin
pada pasien. Untuk terapi elektrolit diberikan KCl dalam NS 0,9%. Digunakan
NS, sebab kadar Na dan Cl pada NS 0,9% lebih bnnyak daripada ringer laktat.
Digunakan KCl karena pasien mengalami hypokalemia.

Pada tanggal 27 April 2019 pasien mengeluhkan gatal-gatal pada perut


bagian kanan, sudah tidak muntah, gatal-gatal dan terdapat kerusakan integritas
kulit. Tanda-tanda vital pasien normal. Terapi yang diberikan yaitu acyclovir
tablet 5x 800 mg, ondansetron 3x4 mg, mecobalamin 1x500 mcg, ceftriaxone 2x1
g, santagesik 3x1g, amitriptilin tab 1x 12,5 mg sebelum tidur, NS 0,9%:Drip KCl
20 tpm, Gentamycin salep 2x sehari, omeprazole 1x40 mg, dan sukralfat 3x2
sendok teh. Pada hari ini, pasien masih mengeluhkan gatal gatal tetapi terapi
untuk gatal tidak diberikan malah dihentikan. Seharusnya penggunaan cetirizine
dilanjutkan sampai pasien tidak gatal lagi. Penggunaan ondansetron apabila pasien
muntah saja. Penggunaan sukralfat pada pasien apabila pasien merasa sebah.

Tanggal 28 April 2019 pasien mengeluhkan nyeri, dan sudah tidak mual
atau muntah serta mengeluh gatal. Skala nyeri pasien adalah skala 2. Jumlah Na:
133, K: 3,3. Terdapat luka pada pasien yang cukup luas di area perut akibat
Herpes Zoster. Luka sebagian tampak kemerahan dan mengelupas. Terapi yang
diberikan adalah Terapi yang diberikan yaitu acyclovir tablet 5x 800 mg,
ondansetron 3x4 mg, mecobalamin 1x500 mcg, ceftriaxone 2x1 g, santagesik
3x1g, amitriptilin tab 1x 12,5 mg sebelum tidur, NS 0,9%:Drip KCl 20 tpm,
Gentamycin salep 2x sehari, omeprazole 1x40 mg, dan sukralfat 3x2 sendok teh.

Tanggal 29 April 2019 pasien sudah tidak mual atau muntah, kulit pasien
mengelupas, perih dan nyeri skala 3. Pasien sudah tidak lemas dan bisa berjalan-
jalan dan beraktivitas normal. Terapi yang diberikan yaitu acyclovir tablet 5x 800
mg, ondansetron 3x4 mg, mecobalamin 1x500 mcg, ceftriaxone 2x1 g, santagesik
3x1g, amitriptilin tab 1x 12,5 mg sebelum tidur, NS 0,9%:Drip KCl 20 tpm,
44

Gentamycin salep 2x sehari, omeprazole 1x40 mg, dan sukralfat 3x2 sendok teh.
Pasien kondisinya membaik dan sudah diperbolehkan untuk pulang. Terapi untuk
pulang diberikan acyclovir 5x800 mg, amitriptyline 13 mg/ hari, neurodex 1x1,
sukralfat 3x2 sendok teh dan omeprazole 1x40 mg.
45

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
1. Diperlukan kombinasi antara antivirus dan antinyeri serta tambahan terapi
neuropati dan antidepresan bila diperlukan untuk pasien herpes zoster
2. Perbaikan elektrolit imbalance mampu memperbaiki kondisi pasien dan
mengurangi mual dan muntah
3. Diperlukan monitoring kadar serum elektrolit pada pasien
46

DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, J.T., T. Robert, Y. Garry, M. Gary, W. Barbarra, P. L. Michael. 2009.


Pharmacotherapy - A Pathophysiologic Approach, 10th Edition. US:McGraw-
Hill Companies, Inc.
CDC. Prevention, department of health and human services. 2008. Prevention of
Herpes Zoster Recommendations of the Advisory Committee. Morbidity and
Mortality Weekly Report.57.
Metz, A. and Hebbard, G. 2007. Nausea and vomiting in adults. Australian
Family Physician, 36(9): 688–692.
Pfennig, C. L. and C. M. Slovis. 2010. Electrolyte Disorders.
Panickar, A., S. Michael. 2012. Guidelines for General Practitioners on Treatment
of Pain in Post-Herpetic Neuralgia. The Shingles Support Society
Walker, R. dan W. Cate. 2012. Clinical Pharmacy and Therapeutics. London:
Elsevier

PERDOSKI. 2014. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

Wehrhahn dan Dwyer. 2012. Herpes zoster: epidemiology, clinical features,


treatment and prevention. Australian Prescribers. 35(5)

Anda mungkin juga menyukai