Disusun Oleh:
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sesudah terjadi infeksi primer VZV, maka VZV akan menetap secara laten
di ganglion syaraf dorsalis. Infeksi ini akan menimbulkan imunitas seluler spesifik
VZV yang menghambat kemampuan reaktivasi VZV. Imunitas seluler ini akan
menurun seiring dengan bertambahnya usia. Penurunan imunitas bisa turun
dibawah batas ambang dan bisa menyebabkan reaktivasi virus, serta menyebabkan
herpes zoster (Perdoski, 2014).
Antibodi yang terbentuk dari infeksi VZV primer berperan protektif dan
akan menetap sepanjang hidup. Jika imunitas seluler spesifik terhadap VZV
menurun, maka virus dapat react ivasi. VZV direaktivasi dan sel T membawa
virus melalui akar dorsal atau cranial ganglia. Di sana, virus laten mulai
bereplikasi dan berkembang biak. Kemudian bermigrasi ke ke syaraf sensorik
perifer, ke dorsal yang berdekatan dan sumsum tulang belakang. Proliferasi ini
merusak anatomi dan fungsi saraf perifer dan ganglia, mengakibatkan rasa sakit
dan mati rasa (Cohen et al., 2013).
Namun, Pada proses tersebut tidak ada tanda-tanda ruam. Peradangan kulit
terjadi ketika virus mencapai dermis dan epidermis dari dermatom yang terkena.
Proses ini menyebabkan kerusakan saraf dan peradangan kulit berlanjut dari jalur
5
Herpes zoster didahului dengan masa prodromal 2-4 hari. Herpes zoster
biasanya dimulai dengan gejala seperti rasa sakit, gatal atau kesemutan di daerah
yang terkena. Tanda Ini muncul sebelum timbul ruam yang khas selama berhari-
hari atau bahkan berminggu-minggu. Tetapi tanda tersebut bukan satu-satunya
manifestasi klinik reaktivasi virus varicella zoster. Pasien biasanya mengalami
sakit kepala, malaise dan terkadang fotofobia. Adanya Sensasi abnormal atau rasa
sakit sering seperti rasa terbakar, berdenyut atau menusuk yang terjadi pada
sekitar 75% pasien. Selain itu, munculnya pruritus dan allodynia atau rasa sakit
akibat sentuhan yang ringan (Wehrhahn dan Dwyer, 2012).
a. Rash
Sindrom Ramsay Hunt merupakan HZ yang terjadi pada liang telinga luar
atau membran timpani disertai gangguan pengecap, paresis fasialis, vertigo dan
7
tuli. Ramsay Hunt termasuk manifestasi herpes zoster yang kurang umum. Virus
bermanifestasi sebagai vesikel di saluran pendengaran eksternal dan langit-langit.
d. Zoster diseminata
e. Infeksi bakteri
2. Usia Lanjut
Usia Lanjut ditandai dengan penurunan fungsi sistem imun seiring dengan
pertambahan usia. Insiden Kejadian HZ meningkat tajam pada usia 50–60 tahun
dan terus meningkat pada usia > 60 tahun, bahkan pada studi kohort menunjukan
pada usia 85 tahun, 1 dari 2 orang akan terkena HZ. Hal tersebut terjadi akibat
penurunan sistem imun. VZV juga menyebabkan peningkatan nyeri prodromal,
8
a. Gangguan limfoproliferatif
b. Pemberian kemoterapi
c. Transplantasi organ dan sumsum tulang
d. Infeksi HIV
e. Penyakit Hodgkin’s
f. Limfoma non Hodgkin”s
g. Leukemia
h. Penyakit autoimun seperti sistemik lupus eritematosus
i. Pemakaian obat obat immunosupresif
9
1. Antivirus
dianggap sebagai andalan terapi herpes zoster. Agen antivirus topikal tidak efektif
untuk pengobatan herpes zoster dan tidak dianjurkan. Terapi antivirus bila dimulai
lebih dini setelah munculnya gejala herpes zoster, maka semakin besar
kemungkinan respons klinisnya.
Uji coba pada pasien dengan HZ dalam waktu 72 jam setelah timbulnya
ruam menunjukkan bahwa asiklovir paling efektif ketika diberikan dalam 48 jam
setelah onset ruam (Cohen et al., 2013). Pemberian antivirus masih dapat
diberikan setelah 72 jam dan diberikan sesegera mungkin khususnya bila masih
timbul lesi baru/ terdapat vesikel (ACIP, 2008).
Mengobati rasa nyeri yang terkait dengan herpes zoster, khususnya pada
tahap akut, dianggap sebagai komponen penting dari manajemen dan mungkin ada
manfaat dalam mengurangi keparahan dan kejadian neuralgia postherpetic. Terapi
pada nyeri bergantung kualitas nyeri yang dirasakan. Nyeri ringan dapat diberikan
obat anti-inflamasi nonsteroid, sedangkan nyeri yang lebih berat dapat diberikan
opioid, gabapentin, atau lidokain patch.
11
2. Terapi Antinyeri
3. Terapi antidepresan
a. Amitriptyline
Obat ini telah terbukti khasiatnya dalam mengurangi NPH dan juga
memiliki manfaat tambahan yang berharga yaitu sifat sedatif dan ansiolitiknya.
Menurut cochrane, TCA memiliki bukti efikasi terbaik untuk nyeri neuropatik.
Dosis dimulai dengan dosis malam tunggal 10 mg untuk lansia (25 mg untuk
pasien di bawah 50 tahun) dan titrasi meningkat dalam mingguan masing-masing
10 mg atau 25 mg. untuk memperoleh manfaat maksimal, memerlukan setidaknya
3 minggu penggunaan dengan dosis 30-75 mg setiap hari. Dosis harian maksimum
adalah 150 mg. Dapat menimbulkan efek samping seperti mulut kering, kelelahan,
konstipasi, ketidakseimbangan, dan retensi urin. Efek samping yang signifikan
termasuk disritmia jantung dan hipotensi ( Panickar dan Sellper, 2012).
b. Gabapentin
c. Pregabalin
12 jam. Patch lidokain bila pasien sangat sensitif terhadap efek samping terapi
sistemik (Panickar dan Sellper, 2012).
e. Tramadol
Tramadol adalah agonis opioid yang lemah tetapi dua pertiga dari
aktivitasnya adalah menghambat noradrenalin dan serotonin reuptake, yang
menambah penindasan rasa sakit tubuh sendiri. Studi menunjukkan bahwa
manfaat tramadol dalam PHN tidak cukup kuat sebagai tambahan terapi saat ini (
Panickar dan Sellper, 2012).
5. Vaksinasi
Muntah atau vomite atau emesis adalah keadaan akibat kontraksi otot perut
yang kuat sehingga menyebabkan isi perut menjadi terdorong keluar melalui
mulut dengan atau tanpa disertai mual terlebih dahulu. Muntah dikendalikan oleh
batang otak yang mengoordinasikan serangkaian tindakan yang melibatkan usus
dan otot rangka, yang mengakibatkan pengeluaran paksa isi usus melewati mulut.
Pada dasarnya, muntah adalah refleks yang dirancang untuk mengeluarkan zat
yang berpotensi berbahaya dari tubuh. Penyebab muntah dapat dibagi menjadi
gejala muntah akut atau kronis. Gejala kronis didefinisikan sebagai muntah yang
berlangsung 1 bulan atau lebih (Mets, 2007).
15
2.2.2 Etiologi
a. Muntah akut
b. Muntah Kronis
eferen ke pusat air liur, pusat pernapasan, dan otot faring, GI, dan perut, yang
menyebabkan muntah.
Area postrema yang berisi CTZ merupakan organ sensorik khusus yang
kaya akan reseptor dopaminergik, serotonergik, histaminergik, dan muskarinik.
Area postrema terletak di luar sawar darah otak (BBB) dan ada kemungkinan
bahwa bahan kimia, racun, peptida, obat-obatan dan neurotransmiter dalam cairan
serebrospinal (CSF) dan aliran darah berinteraksi dengan daerah ini lalu,
menyebabkan mual dan muntah. CTZ merupakan organ kemosensor utama untuk
emesis dan biasanya berhubungan dengan muntah yang diinduksi secara kimia.
Agen sitotoksik lebih merangsang area ini daripada ke korteks serebral dan aferen
visceral. Demikian pula, muntah terkait kehamilan mungkin terjadi melalui
stimulasi CTZ.
melalui neuron aferen vagal. Muntah yang berhubungan dengan distensi atau
obstruksi saluran pencernaan dimediasi melalui neuron aferen simpatis dan vagal.
2.2.4 Tata Laksana Mual dan Muntah
Tata laksana muntah menurut (Walker dan Whittlesea, 2012):
a. Antikolinergik
Antikolinergik banyak di antaranya merupakan penghambat kuat aktivitas
reseptor muskarinik (M1) baik secara perifer maupun terpusat. Contoh
antikolinergik antara lain atropin, hyosine, dan glikopirronium yang telah
digunakan sebelum operasi untuk menghambat air liur dan sekresi pernapasan
berlebihan selama anestesi. Antikolinergik bertindak dengan menghambat
transmisi kolinergik dari nukleus vestibular di korteks serebral. Penghambatan
reseptor muskarinik perifer dapat menyebabkan kantuk, mulut kering, pupil
melebar dan penglihatan kabur, penurunan keringat, motilitas gastrointestinal dan
sekresi gastrointestinal dan kesulitan buang air kecil..
b. Antidopaminergik
Fenotiazin dan butyrophenones
Fenotiazin (mis. Proklorperazin, perfenazin, dantrifluoperazine) dan
butyrophenones (mis. haloperidol dandroperidol) bertindak sebagai antagonis
pada reseptor dopamin (D2) di CTZ, tetapi juga memiliki aktivitas antagonis
reseptor kolinergik (M1) dan histaminergik (H1). Butyrophenones, dalam banyak
situasi telah digantikan oleh agen yang lebih spesifik seperti metoclopramide dan
antagonis selektif 5HT3.
Metoclopramide
Pada dosis yang lebih rendah, metoclopramide bertindak sebagai antagonis
D2 selektif di CTZ. Namun, obat ini juga memberikan antagonisme D2 perifer
pada dosis ini, dan merangsang reseptor kolinergik pada otot polos lambung,
sehingga merangsang pengosongan lambung. Metoclopramid lebih efektif
daripada fenotiazin dan butyrophenone ketika mual dan muntah berhubungan
dengan penyakit saluran cerna atau empedu.
19
Domperidone
Meskipun domperidone tidak mudah melewati BBB, tetapi merupakan
antagonis selektif dari reseptor D2 di CTZ, yang terletak di luar BBB di daerah
postrema. Domperidone memiliki efek perifer yang mengakibatkan peningkatan
motilitas gastro-intestinal dan pengosongan lambung yang lebih cepat.
Domperidon dapat digunakan dalam muntah terkait obat.
c. Antagonis reseptor 5HT3 selektif
Subtipe 5HT3-reseptor,yang memediasi jalur muntah, terletak secara
perifer pada ujung saraf vagal di saluran pencernaan danter pusat di otak, dengan
konsentrasi tinggi ditemukan diarea postrema dan nucleus tractus solitarius.
Contoh dari Antagonis reseptor 5HT3 selektif adalah granisetron, ondansetrondan
palonosetron. Selektif Antagonis reseptor 5HT3 bekerja sentral dan perifer umum
digunakan untuk mengobati atau mencegah CINV, PONV serta radioterapi.
d. Antagonis reseptor Neurokinin-1 (NK1)
Zat P adalah peptida bioaktif yang memiliki kesamaan urutan asam amino
dengan peptida bioaktif lainnya yang dikenal sebagai tachykinins. zat ini
memainkan peran penting sebagai neurotransmitter dalam emesis.
e. Cannabinoid
Aktivitas antiemetik dari cannabinoid adalah terkait dengan stimulasi
reseptor CB1 cannabinoid pusat dan perifer. efek dari penggunaan cannabinoid
termasuk kantuk dan terkadang gangguan perilaku, yang kadang-kadang bisa
parah. Cannabinoid sintetis diindikasikan untuk mual dan muntah yang
disebabkan oleh kemoterapi sitotoksik.
f. Kortikosteroid
Kortikosteroid diketahui memiliki efek antiemetik meskipun mekanisme
kerja tidak jelas. Digunakan dalam mencegah mual dan muntah yang berhubungan
dengan kemoterapi sitotoksik emetogenik ringan sampai sedang.
Keseimbangan cairan dan elektrolit diatur oleh suatu mekanisme kompleks yang
melibatkan berbagai
enzim, hormon, dan sistem saraf. Cairan terdapat hampir 60 % dari komposisi
tubuh manusia yang berupa larutan ion dan zat lainnya. Jumlah cairan tubuh total
pada masing-masing individu dapat bervariasi berdasarkan umur, berat badan,
maupun jenis kelamin (Cooper, 2016).
Elektrolit adalah zat dalam aliran darah yang penting dalam mengatur
fungsi tubuh. Elektrolit merupakan partikel yang bermuatan yang disebut ion. Ion
yang bermuatan positif disebut kation, sedangkan ion yang bermuatan negatif
disebut anion. Jumlah muatan positif harus seimbang dengan jumlah muatan
negatif. Jumlah muatan dan konsentrasi dinyatakan dengan miliequivalents (mEq)
per liter cairan (Suwarsa, 2018). Beberapa elektrolit adalah kalium, magnesium,
natrium, fosfor dan kalsium. Elektrolit diperlukan agar otot, organ (seperti
jantung) dan sistem organ (seperti sistem saraf) bekerja dengan baik (Cooper,
2016).
Cairan dan elektrolit memiliki komponen utama yang berbeda dan
fungsinya masing-masing sebagai struktur penting yang membentuk dan
menunjang tubuh manusia, sehingga dapat berfungsi dengan baik melalui
mekanisme pengaturan yang sedemikian rupa.
2.3.1 Pengertian Electrolyte imbalance
Keseimbangan cairan merupakan bagian dari kontrol tubuh untuk
mempertahankan homeostasis. Homeostasis cairan dapat dipertahankan oleh
tubuh dengan cara mengatur cairan ekstraselular, yang selanjutnya akan
`mempengaruhi cairan intraselular.Agar tubuh dapat mencapai keseimbangan
cairan yang dibutuhkan maka tubuh harus mengatur agar input cairan sama
dengan out put cairan (balance concept). Gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit disebabkan oleh berbagai penyakit, dari yang bersifat ringan sampai
berat. Terapi cairan dan elektrolit bertujuan untuk membantu mekanisme
kompensasi tubuh untuk mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
tersebut.
21
Hipokalemia terjadi ketika ada defisit kalium total tubuh, atau ketika
serum kalium digeser ke kompartemen intraseluler. Defisit total tubuh terjadi pada
22
pengaturan asupan kalium yang buruk, atau ketika ada kehilangan kalium ginjal
dan GI yang berlebihan. Mempertahankan asupan kalium secara konsisten sangat
penting karena tubuh tidak memiliki metode yang efektif untuk menyimpan
kalium. Pada kondisi stabil, ekskresi kalium sesuai dengan asupan kalium; sekitar
90% dari kalium yang dicerna diekskresikan ke dalam ginjal, sedangkan 10%
diekskresikan dalam tinja (Dipiro et al., 2009).
2. Manifestasi Klinis
3. Tatalaksana Hipokalemia
a. Kalium oral
b. Hiponatremia
Hiponatremia, didefinisikan sebagai kadar natrium plasma <135 mmol/L,
merupakan gangguan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit yang paling sering
ditemukan dalam praktik klinis. Hiponatremia terjadi pada 15-20% perawatan
24
kegawatdaruratan di rumah sakit dan mengenai hampir 20% pasien yang berada
dalam kondisi kritis. Klasifikasi hiponatremia menurut tingkatannya:
-Hiponatremia ‘ringan’ dimana kadar natrium plasma antara 130 dan 135 mmol/L.
-Hiponatremia ‘sedang’ dimana kadar natrium plasma antara 125 dan 129 mmol/L
Penyebab paling umum dari hiponatremia berat pada orang dewasa adalah
terapi dengan tiazid, kondisi pasca operasi termasuk prostatektomi transurethral,
sindrom sekresi hormon antidiuretik (SIADH) yang tidak tepat, polydipsia pada
pasien psikiatri, dan keracunan air yang tidak disengaja. Kehilangan cairan
gastrointestinal, konsumsi susu formula yang terlalu berair, konsumsi air
berlebihan yang tidak disengaja, dan penerimaan beberapa enema air keran
merupakan penyebab utama hiponatremia berat pada bayi dan anak-anak.
2. Gejala Klinik
3. Tata Laksana
Seorang pasien yang memiliki atau berisiko tinggi mengalami gejala parah
yang disebabkan oleh hiponatremia harus menerima 3% NaCl (513 mEq / L
[mmol / L]) atau 0,9% NaCl (154 mEq / L [mmol / L]) . Terapi hiponatremia
hipovolemik dimulai dengan rehidrasi dengan dilakukan resusitasi dengan normal
salin. Setelah pasien stabil, laju infus dilambatkan. Biasanya, NS dimulai dari 500
hingga 1000 mL / jam sampai tekanan darah stabil dan kemudian diperlambat
hingga 200 mL / jam dengan pemeriksaan natrium yang sering. Jika nilai natrium
di bawah 120 mEq / L, konsentrasi natrium harus dibiarkan naik hanya dengan
rata-rata 0,5 mEq / jam atau 10 hingga 12 mEq / hari.
c. Hipokalsemia
hipokalsemia yang muncul jarang diperlukan kecuali ada gejala yang mengancam
jiwa (misalnya, tetani atau kejang). Hipokalsemia sering terjadi pada lansia dan
pasien malnutrisi
Hipokalsemia adalah hasil dari perubahan efek PTH dan vitamin D pada
tulang, usus, dan ginjal. Penyebab utama hipokalsemia adalah hipoparatiroidisme
pasca operasi dan defisiensi vitamin D. Penyebab lain termasuk kekurangan
kalsium, pembedahan tiroid, obat-obatan, hipoalbuminemia, transfusi darah,
pengambilan sel progenitor darah tepi, dan tumor. Dalam kondisi hipokalsemia,
PTH meningkat.
2. Manifestasi klinik
3. Tata Laksana
Terapi pertama bagi pasien tanpa gejala atau gejala ringan yaitu suplemen
kalsium oral, seperti kalsium karbonat. Kalsium intravena diberikan seperti
kalsium klorida atau kalsium glukonat untuk pasien dengan sedang hingga berat
yaitu 100 mg-300 mg unsur kalsium yang diberikan selama 5-30 menit yang akan
meningkatkan kadar kalsium terionisasi 0,5 hingga 1,5 mEq. Terapi ini dapat
menggunakan pemberian 1 g kalsium klorida (27% unsur kalsium) atau 2-3 g
kalsium glukonas (9% unsur kalsium). Kalsium glukonat umumnya lebih disukai
daripada kalsium klorida karena pemberian kalsium glukonas dalam vena perifer
lebih tidak mengiritasi vena. Konsentrasi kalsium terionisasi biasanya menjadi
28
normal dalam waktu 4 jam, dan laju infus pemeliharaan unsur kalsium kemudian
dapat dikurangi menjadi 0,3 hingga 0,5 mg / kg perjam untuk mempertahankan
konsentrasi kalsium yang diinginkan (Dipiro et al., 2009).
BAB III
STUDI KASUS
1. Identitas Pasien:
Umur : 70 tahun
BB/TB : 43 tahun
Alergi :-
2. Data Subyektif:
Riwayat Pengobatan: -
3. Data klinik
30
Cr 0,67-1,5 mg/dl 0,74
Albumin 3,5-5,2 3,5
Ca 8,6-10,2 mmol/L 7,8
Na 135-145 mmol/L 122
K 3,1-5,1 mmol/L 2,6
Cl 96-102 mmol/L 85
31
5. Terapi Pasien
32
Omeprazole 2x 40 PO √ √ √ √ PO
mg
Neurodex 1x 1 PO √
tab
Cutimed gel topikal √
33
6. Telaah Terapi Pasien
Problem Tanggal Subjektif/ Terapi Assesessement Rekomendasi dan
Medik Objektif Monitoring
Herpes Zoster 25/4- Subjektif: Acyclovir Indikasi: Antivirus untuk herpes zoster, Plan: Terapi dilajutkan
29/4 Gatal tablet 400 mg Monitoring: Gatal dan
herpes simplex dan herpes genital lesi pada pasien
Dosis: Herpes zoster: 5x 800 mg,
diberikan selama 7-10 hari
Mekanisme: menghambat replikasi
DNA virus
Efek samping: mual, diare, sakit kepala
26/4- Subyektif: Ceftriaxone IV Indikasi: meningitis, infeksi abdomen Plan: Terapi dihentikan
29/4 - 2x1 g Monitoring:-
Obyektif: peritonitis, infeksi kandung empedu. off
WBC: 4,72 label: infeksi nekrosis kulit dan jaringan
103
Dosis: IV 2x1 g/ hari selama 4-14 hari
Mekanisme: menghambat dinding sel
mikroba
Efek Samping: gangguan saluran cerna,
reaksi kulit
25/4- Subjektif : Santagesik IV Indikasi: nyeri akut dan kronik, nyeri Plan: Terapi dihentikan
29/4 Nyeri 3x1 g Monitoring: -
kepala, nyeri post op, nyeri otot dan kolik
34
Dosis: IV 2x1 g/ hari selama 4-14 hari
Mekanisme:
Efek Samping: gangguan saluran cerna,
reaksi kulit
25/4- Subjektif: Amitriptiline Indikasi: nyeri kronik, off label: Plan: Terapi dilanjutkan
29/4 Nyeri Monitoring: tekanan
tab 0-0-12,5 neuropati, postherpetic neuralgia darah
Dosis: Neuropati: 10-25 mg sebelum
tidur, geriatrik: 10-12,5 mg
Mekanisme: neurotransmitter reupatake
inhibitor
Efek Samping: mulut kering, sedasi,
pandangan kabur, efek pada
kardiovaskular, hipotensi orthostatic pada
geriatri
26/4- Subyektif: Gentamycin Indikasi: infeksi kulit karena organisme Plan: Terapi dilanjutkan
28/4 Gatal Monitoring: luka pada
salep 2x sehari Mekanisme kerja: menghambat sintesis pasien
protein bakteri
Dosis: oleskan tipis 3-4 kali sehari
25/4- Subyektif: Cetirizin tab Indikasi: rhinitis menahun, rhinitis alergi Plan: Terapi dilanjutkan
35
26/4 Gatal 1x 10 mg sensasional, konjungtivitis, pruritus, Monitoring: Gatal pada
pasien
urtikaria
Dosis: 1x 10 mg/ hari
Mekanisme kerja: antagonis reseptor
histamine H1
Efek Samping: mengantuk, mulut kering
Elektrolit 25/4- Obyektif: NS 0,9 % 20 Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = Plan: Terapi dilanjutkan
imbalance 29/4 25/4: Monitoring: Kadar
tpm 154. Kemasan : 500, 1000 ml.
Ca: 7,8 serum elektrolit
Na: 122 Indikasi : Resusitasi, Diare, Luka Bakar
K: 2,6
dan Gagal Ginjal Akut
Cl: 85
Efek Samping : hypernatremia
.
26/4- Obyektif: KCl 7 tpm Komposisi: K= 25 mEq/L, Cl= 25 Plan: Terapi dilanjutkan
29/4 25/4: Monitoring: Kadar
mEq/L
Ca: 7,8 serum elektrolit
Na: 122 Indikasi: Hipokalemia
K: 2,6
Efek Samping: Infus cepat: toksik untuk
Cl: 85
jantung, Perut kembung, nyeri perut
Vomitting akut 25/4- Subyektif: Ondansetron Indikasi: Terapi mual dan muntah akibat Plan: Terapi diberikan
29/4 25/4-27/4: bila perlu
IV 3x4 mg kemoterapi, mual dan muntah pasca
Muntah Monitoring: mual
operasi muntah pasien
36
Dosis:
Kemoterapi: 0,15/kg 15-30 menit
sebelum kemoterapi, lalu diberikan 4 dan
8 jam setelahnya. Maksimal: 32 mg
Mual muntah pasca operasi: 4 mg IV
sebelum operasi atau 8 mg/ 12 jam
Mekanisme Kerja:menghambat reseptor
5HT3
Efek samping: pusing, malaise
Anemia 26/4- Obyektif: Mecobalamin Obat ini adalah bentuk aktif Vitamin Plan: Terapi dilanjutkan
29/4 25/4: Monitoring: kadar
iv 1x500 mcg B12.
Eritrosit: eritrosit, HB, dan data
4,39 108/µl Indikasi: penderita kekurangan vitamin lab darah lain
B12, neuropati perifer (gangguan saraf
tepi dengan gejala kesemutan atau
keram), dan anemia megaloblastik
Mekanisme Kerja: Sintesis sel darah
merah
Dosis: 3x500mcg atau iv 1x500 mcg
Efek Samping: pusing
37
Subyektif: Sukralfat syr Indikasi: tukak lambung dan duodenum Plan: Terapi dilanjutkan
begah Monitoring: begah pada
3x 1 cth 26/4- Dosis: 4x1 g/ hari 2 jam sebelum makan,
pasien
29/4 maksmal 8 gr/hari, suspensi: 3x 2cth/ hari
Mekanisme Kerja: Melapisi mukosa
lambung
Efek Samping: konstipasi, diare
26/4- Subyektif: Omeprazole Indikasi: GERD, gastric dan duodenal Plan: Terapi dihentikan
29/4 - dan diganti ranitidin
IV 2x40 mg ulcer, Off label: stress ulcer, profilaksis
Obyektif: - Monitoring: -
efek NSAID
Dosis: GERD dan tukak: 1x20 mg, stress
ulcer: 40 mg/ 12 jam
Mekanisme kerja: Menghambat proton
pump inhibitor yang akan menghambat
produksi asam lambung
Efek samping: pusing, nyeri abdomen
38
akan terjadi penurunan ranitidin daripada omeprazole, pergantian omeprazole dengan
produksi asam, karena aktivitas ranitidine lebih ranitidin
sehingga apabila lemah tetapi masih bisa digunakan
menggunakan untuk stress ulcer
omeprazole maka akan
menghambat keluarnya
asam lambung yang
kuat karena aktivitas
PPI dari omeprazole
2 26/4/2019 Santagesik digunakan Pertimbangan penggunaan Konfirmasi DPJP terkait
terapi nyeri pada santagesik penggunaan santagesik
pasien, tapi pada pasien
sudah diberi terapi
nyeri amitriptilin,
sehingga santagesik
tidak perlu digunakan.
aktivitas anti nyeri
pada amitriptilin lebih
besar dari pada
39
santagesik, sehingga
walaupun santagesik
dihentikan tidak akan
masalah
3 Ada terapi Ceftriaxone diberikan Pertimbangan penggunaan Konfirmasi DPJP terkait
tidak ada secara iv pada pasien, ceftriaxon penggunaan ceftriaxon
indikasi padahal pasien tidak
terdiagnosa terkena
infeksi virus bukan
bakteri
4 27/4/2019 Ada indikasi Pasien masih Pertimbangan melanjutkan Konfirmasi DPJP terkait
tidak ada mengeluhkan gatal penggunaan cetirizin penggunaan cetirizin
terapi pada tgl tersebut, tetapi
belum diberi terapi
gatal
5 tidak ada Pasien sudah tidak Pertimbangan penggunaan Konfirmasi DPJP terkait
indikasi ada mengalami mual dan ondansetron apabila muntah saja penggunaan ondansetron
terapi muntah tetapi masih
diberi terapi mual dan
muntah
40
41
42
BAB IV
PEMBAHASAN
Tanggal 28 April 2019 pasien mengeluhkan nyeri, dan sudah tidak mual
atau muntah serta mengeluh gatal. Skala nyeri pasien adalah skala 2. Jumlah Na:
133, K: 3,3. Terdapat luka pada pasien yang cukup luas di area perut akibat
Herpes Zoster. Luka sebagian tampak kemerahan dan mengelupas. Terapi yang
diberikan adalah Terapi yang diberikan yaitu acyclovir tablet 5x 800 mg,
ondansetron 3x4 mg, mecobalamin 1x500 mcg, ceftriaxone 2x1 g, santagesik
3x1g, amitriptilin tab 1x 12,5 mg sebelum tidur, NS 0,9%:Drip KCl 20 tpm,
Gentamycin salep 2x sehari, omeprazole 1x40 mg, dan sukralfat 3x2 sendok teh.
Tanggal 29 April 2019 pasien sudah tidak mual atau muntah, kulit pasien
mengelupas, perih dan nyeri skala 3. Pasien sudah tidak lemas dan bisa berjalan-
jalan dan beraktivitas normal. Terapi yang diberikan yaitu acyclovir tablet 5x 800
mg, ondansetron 3x4 mg, mecobalamin 1x500 mcg, ceftriaxone 2x1 g, santagesik
3x1g, amitriptilin tab 1x 12,5 mg sebelum tidur, NS 0,9%:Drip KCl 20 tpm,
44
Gentamycin salep 2x sehari, omeprazole 1x40 mg, dan sukralfat 3x2 sendok teh.
Pasien kondisinya membaik dan sudah diperbolehkan untuk pulang. Terapi untuk
pulang diberikan acyclovir 5x800 mg, amitriptyline 13 mg/ hari, neurodex 1x1,
sukralfat 3x2 sendok teh dan omeprazole 1x40 mg.
45
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
1. Diperlukan kombinasi antara antivirus dan antinyeri serta tambahan terapi
neuropati dan antidepresan bila diperlukan untuk pasien herpes zoster
2. Perbaikan elektrolit imbalance mampu memperbaiki kondisi pasien dan
mengurangi mual dan muntah
3. Diperlukan monitoring kadar serum elektrolit pada pasien
46
DAFTAR PUSTAKA