ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pendidikan dan budaya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari,
karena budaya merupakan kesatuan yang utuh dan menyeluruh, berlaku dalam suatu
masyarakat dan pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap inidividu dalam
masyarakat. Pendidikan dan budaya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Karakter siswa yang berbudi luhur dapat tertanam pada diri siswa melalui pembelajaran
matematika. Pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang
sesuai dengan situasi (contextual problem) (Ayuningtyas & Setiana 2019: 11-12). Melalui
penerapan etnomatematika dalam pendidikan khususnya pendidikan matematika diharapkan
nantinya siswa dapat lebih memahami matematika, dan lebih memahami budaya mereka, dan
nantinya para pendidik lebih mudah untuk menanamkan nilai budaya itu sendiri dalam diri
peserta didik, sehingga nilai budaya yang merupakan bagian karakter bangsa tertanam sejak
dini dalam diri siswa (Rahmawati & Marsigit, 2017: 71)
Menurut Jarnawi sebagaimana dikutip Nurmaya et al., (2021: 124) menyatakan bahwa
etnomatematika pertama kali dicetuskan oleh D’Ambrosio (dalam (Rosa & Orey, 2011)),
“the mathematical practices of identifiable curtural groups and may be regarded as the study
of mathematical ideas found in any culture”. Dimana etnomatematika mempelajari
matematika yang ditemukan pada suatu budaya atau kelompok masyarakat. Dalam setiap
budaya yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat, sering tidak disadari adanya kaitan
dengan konsep matematika.Unsur budaya dikaji untuk diintegrasikan ke dalam pembelajaran
lebih baik jika dilakukan mulai dari budaya yang ada di lingkungan sekitar sesuai dengan
prinsip pembelajaran kontekstual, dimana pembelajaran memanfaatkan hal-hal yang ada di
lingkungan sekitar (Ayuningtyas & Setiana, 2018).
Pengkajian unsur budaya untuk diintegrasikan ke dalam pembelajaran akan lebih baik apabila
dilakukan mulai dari budaya yang ada di lingkungan sekitar. Terdapat beberapa kebudayaan
yang terdapat di Kota Semarang, salah satunya adalah Warak Ngendhog. Warak Ngendhog
adalah ikon yang selalu dikaitkan dengan perayaan Dugderan, suatu festival rakyat di Kota
Semarang, Jawa Tengah yang diadakan di awal bulan Ramadan. Dudgeran merupakan
festival khas Kota Semarang yang menandai dimulainya Bulan Suci Ramadhan “Dug” yang
berarti bunyi yang berasal dari bedug yang dibunyikan saat akan salat Maghrib. Arak-arakan
Warak Ngendog dimulai dari Balaikota ketika Walikota sudah membuka acara dan Tari
Warak Dugder sudah ditampilkan. Peserta arak-arakan dikelompokkan sesuai kecamatan
dengan membawa Warak Ngendog dengan model yang berbeda-beda, setiap kecamatan dapat
membawa lebih dari satu Warak Ngendog jika dari tiap kelurahan ingin menampilkan Warak
Ngendog buatan mereka.
Wujud visual warak ngendhog dapat kita temui di Taman Pandhanaran, Semarang. Secara
harfiah, warak ngendhog dapat diartikan: siapa saja yang menjaga kesucian di bulan
Ramadan, kelak di akhir bulan akan menerima pahala pada hari lebaran. Seperti yang terlihat
pada gambar di atas, Warak Ngendhog berwujud makhluk rekaan yang merupakan akulturasi/
persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang yaitu etnis Cina, etnis Arab dan etnis
Jawa. ialah: kepalanya menyerupai kepala naga khas kebudayaan dari etnis Cina, tubuhnya
berbentuk layaknya unta khas kebudayaan dari etnis Arab, dan keempat kakinya menyerupai
kaki kambing khas kebudayaan dari etnis jawa.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Prosedur
Tahap 1 Analysis (Analisis). Pada tahap ini, kegiatan utama adalah menganalisis perlunya
pengembangan model/metode pembelajaran baru dan menganalisis kelayakan dan syarat-
syarat pengembangan model/metode pembelajaran baru. Kegiatan analisis dilakukan untuk
memperoleh gambaran tentang ikon Warak Ngendhog di Kota Semarang, telaah kurikulum
matematika dan materi yang dibahas. Pada tahap ini dilakukan analisis secara studi literatur,
yaitu pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat, serta mengolah bahan penelitian.
Analisis kebutuhan peserta didik dilakukan dengan kajian pustaka bahwa belum ada inovasi
yang menggunakan bahan ajar dengan desain yang menarik untuk mempermudah
pemahaman siswa dan siswa tertarik untuk belajar. Analisis kurikulum digunakan untuk
mengetahui kurikulum yang diterapkan di sekolah, yaitu menggunakan kurikulum 2013.
Karena dalam implementasinya menjadikan seni dan budaya sebagai tolak ukur, maka
peneliti mengambil objek berbasis etnomatematika sebagai konten pembelajaran.
Berdasarkan kurikulum 2013 mata pelajaran matematika kelas IX, salah satu materi yang
dipelajari adalah bangun ruang sisi lengkung, yang meliputi unsur-unsur bangun ruang sisi
lengkung, luas permukaan, dan volume. Berkaitan hal tersebut, peneliti menggunakan objek
etnomatematika berupa patung Warak Ngendhog yang memiliki potensi untuk dijadikan
konten pembelajaran.
Materi dalam bahan ajar berisi tentang bangun ruang sisi lengkung: unsur-unsur, luas
permukaan, dan volume. Bahan ajar ini memiliki ketebalan 33 halaman. Ilustrasi gambar
dalam bahan ajar dikaitkan dengan patung Warak Ngendhog. Adapun desain bahan ajar
berbasis etnomatematika seperti pada Gambar 1.
Simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dihasilkan bahan ajar bangun ruang siis
lengkung yang berbasis etnomatematika yang dikembangkan (dinyatakan valid dalam kriteria
sangat baik dan baik sehingga dapat digunakan), meskipun dengan adanya revisi.
DAFTAR PUSTAKA
Rani Nurmaya, dkk. (2021). Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Etnomatematika pada
Materi Transformasi Geometri. Range: Jurnal Pendidikan Matematika, 2(2), 123-129.
Nur Rachmawati, Aulia. (2019). Makna Warak Ngendog Bagi Masyarakat Kota Semarang
[skripsi]. Semarang: FIB UNDIP.