Anda di halaman 1dari 56

PENGAWETAN HIJAUAN

PAKAN

MUHAMMAD RUSDY

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

1. PENDAHULUAN
2. HAY
2.1. KUALITAS HAY
2.2. PEMBUATAN HAY YANG
BERKUALITAS BAIK
2.3. PENGERINGAN
2.4. BAHAN PENGAWET UNTUK HAY
2.5. PEMBERIAN HAY PADA TERNAK
2.6. MONITORING PERTUMBUHAN JAMUR

3. SILASE
3.1. PRINSIP PEMBUATAN SILASE
3.2. FASE-FASE FERMENTASI SILASE
3.3.FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPE-
RUHI KUALITAS SILASE
3.4. MIKROORGANISME SILASE
3.5. PERUBAHAN KOMPOSISI KIMIA SILASE
3.6. ADDITIF UNTUK SILASE
3.7. PENILAIAIAN KUALITAS SILASE
3.8. STRUKTUR PENYIMPANAN SILASE
3.9. BANYAKNYA HIJAUAN YANG DIBUAT
SILASE
3.10. HAYLAGE
4. BANK HIJAUAN
2
4.1. PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN
4.2. MANAJEMEN
4.3. LAMTORO (Leucaena leucocephala)
4.4. GAMAL (Gliricidia sepium)
4.5. MURBEI (Morus alba)
4.6. KALIANDRA (Calliandra calothyrsus)
DAFTAR PUSTAKA
GLOSSARIUM

3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah swt karena atas rahmat dan taufik-Nya
buku ini dapat diterbitkan, walaupun agak terlambat dari yang direncanakan sebelumnya.
Penyusunan buku ini dimulai sejak bulan Desember 2010 sewaktu penulis mengikuti
Program Academic Recharging di Universitas Ryukyus Okinawa, Jepang dan merupakan
buku kedua dari tiga buku yang direncanakan dibuat dari program tersebut.
Seperti buku pertama, buku ke dua ini juga merupakan buku referensi yang diperun-
tukkan terutama bagi mahasiswa Fakultas Peternakan atau jurusan peternakan yang
memprogramkan mata kuliah Tatalaksana Padang Penggembalaan. Disamping itu, karena isi
buku ini banyak yang bersifat praktis, maka buku ini sangat berguna bagi tenaga penyuluh di
lapangan, baik penyuluh pertanian spesialis maupun penyuluh pertanian lapangan. Juga
tentunya tidak lupa para peternak yang ingin mengawetkan hijauan untuk digunakan di musim
kemarau.
Atas penerbitan buku ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat
mengikuti Program Academic Recharging tersebut yang mampu “membangkitkan
penulis dari tidurnya” sehingga setelah melaksanakan program tersebut, penulis mampu
melahirkan karya ilmiah seperti buku ini maupun hasil-hasil penelitian yang diterbitkan
baik di jurnal nasional maupun internasional, termasuk yang diindeks di Scopus. Kepada
rekan-rekan dosen di Fakultas Peternakan Unhas yang telah memberikan saran-saran
demi perbaikan buku ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Kepada istri Dr. Hj.
Radhiah MARS dan anak-anakku Ahmad Syahrul, Irma Yulianti dan Indah Marlina
Multazam yang dengan setia telah banyak membantu penulisan buku ini, saya
mengucapkan banyak terima kasih. Mudah-mudahan amal Bapak/Ibu dapat diterima di
sisi Allah swt, Amin.
Akhirukalam, saya yakin di dalam buku ini terdapat banyak kesalahan yang tidak
disengaja, olehnya itu saya mohon maaf.

Makassar, 1 Maret 2017

Muhammad Rusdy

4
1

PENDAHULUAN
Produksi ternak merupakan komponen yang penting pada pertanian tropis. Lahan
penggembalaan di daerah tropis dan subtropis meliputi lebih separuh lahan
penggembalaan dunia dan merupakan sumber pakan utama bagi ternak ruminansia,
tetapi produktivitasnya sangat rendah; diperkirakan hanya 29 % daging asal ternak dan
10 % susu yang dihasilkan di daerah tersebut. Hal ini disebabkan karena rendahnya
produktivitas ternak di negara tropis. Produktivitas sapi di negara-negara berkembang
yang umumnya terletak di daerah tropis hanya 1/5 dari pada di negara-negara maju.
Tetapi tingginya produktivitas ternak di negara-negara maju tidak luput dari subsidi
besar yang disediakan pemerintah kepada petani.
Rendahnya produksi ternak di daerah tropis disebabkan oleh banyak faktor seperti
rendahnya angka kelahiran, pengontrolan penyakit yang jelek dan manajemen
pemeliharaan ternak yang masih tradisional. Tetapi faktor utama pembatas produksi
ternak adalah kekurangan pakan, baik kuantitas maupun kualitas, terutama pada musim
kemarau.
Di daerah tropis, kebanyakan ternak digembalakan pada padang rumput yang didominasi
oleh rumput alam yang tidak pernah diperbaiki susunan genetiknya, sedangkan
penanaman rumput-rumput unggul masih terbatas. Spesies-spesies rumput alam
umumnya hanya dapat beradaptasi dengan kesuburan tanah yang rendah dan tidak
memberikan respon yang baik terhadap perbaikan kesuburan tanah. Produktivitas hijauan
umumnya rendah dan terutama ditentukan oleh faktor iklim yaitu curah hujan. Pada
musim hujan, produksi hijauan cukup tinggi tetapi pada musim kemarau, produksi
hijauan sangat rendah. Nilai gizi hijauan cepat menurun dengan makin tuanya tanaman.
Pada musim kemarau, kadar protein hanya berkisar 2 - 3 %, jauh dibawah kebutuhan
pokok ternak. Akibatnya, ternak hanya bertumbuh dengan baik pada musim hujan dan
ketika memasuki musim kemarau, pertumbuhan mulai melambat dan pada puncak
kemarau, pertumbuhan terhenti, akibatnya banyak ternak yang menurun berat badannya,
malahan banyak yang menurun. Ini mengakibatkan ternak lambat mencapai bobot jual
dan memerlukan waktu yang lama untuk dapat bereproduksi, demikian pula jarak
kelahiran menjadi lama.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia kondisi tersebut makin diperburuk
dengan makin makin sempitnya lahan penggembalaan akibat makin banyaknya lahan
penggembalaan yang diubah menjadi lahan pertanian, lahan pemukiman, lahan

5
perkebunan dan lain-lain tetapi tidak diikuti dengan penurunan populasi ternak secara
proporsional. Hal ini mengakibatkan makin banyak lahan pennggembalaan mengalami
degradasi akibat penggembalaan berlebihan (overgrazing), terutama pada musim
kemarau dimana lahan menjadi rusak, vegetasi didominasi oleh gulma yang bernilai
gizi rendah dan tidak disukai ternak, tanahnya menjadi keras dan banyak yang gundul.
Pada waktu turun hujan deras, tanah yang demikian mudah tererosi yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan dan turunnya kesuburan tanah. Padang penggembalaan yang
mengalami penggembalaan berlebihan tanahnya menjadi terbuka dan ini mendorong
invasi hijauan yang bermutu rendah seperti alang-alang (Imperata cylindrica), atau
gulma yang tidak disukai ternak seperti jonga-jonga (Chromolaena odorata) dan bunga
tahi ayam (Lantana camara) yang makin mengurangi luasan tanah yang dapat ditumbuhi
rumput makanan ternak. Karena daya tampung lahan penggembalaan rendah, banyak
ternak yang terpaksa digembalakan pada lahan-lahan non-konvensional seperti di
pinggir-pinggir jalan, pematang sawah, pekerangan, lahan perkebunan dan sebagainya.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah kekurangan pakan, terutama di musim kemarau
adalah dengan memberikan makanan tambahan berupa konsentrat. Hanya saja, bahan-
bahan untuk pembuatan konsentrat banyak bersaing dengan kebutuhan manusia sehingga
harganya tergolong mahal dan tidak menguntungkan untuk diberikan pada ternak,
terutama bagi petani kecil yang hanya memelihara beberapa ekor ternak. Opsi lain yang
dapat dipertimbangkan adalah dengan memberikan sisa-sisa hasil pertanian kepada
ternak sehabis panen. Hanya saja, sisa-sisa hasil pertanian umumnya bermutu rendah dan
bersifat musiman. Pengawetkan hijauan yang berlebih di musim hujan dan
memberikannya pada ternak di musim kemarau merupakan opsi yang cukup menarik. Di
negara-negara temperate yang maju, pengawetan hijauan dalam bentuk hay dan silase
umum dilakukan untuk menanggulangi kekurangan pakan di musim dingin, tetapi di
daerah tropis, pengawetan hijauan dalam bentuk hay atau silase tidak umum
dipraktekkan. Faktor iklim dan ekonomi (Gallaher and Pitnam (2001) serta kualitas
rumput tropis yang rendah merupakan faktor penghambat untuk mengawetkan hijauan
dalam bentuk hay dan silase di daerah tropis (Crowder and Chheda, 1984). Disamping
itu, kekurang-tahuan petani tentang pengawetan hijauan juga merupakan faktor
penghambat pemanfaatan hijauan di musim kering. Tentu saja faktor-faktor tersebut
harus ditanggulangi untuk meningkatkan pemanfaatan hijauan yang berlebih di musim
hujan.
Di Indonesia, musim hujan umumnya terjadi pada bulan Desember sampai April dimana
pada waktu itu pertumbuhan hijauan cukup cepat sehingga produksinya sering melimpah.
Tetapi fase pertumbuhan hijauan pada waktu paling baik untuk dipanen umumnya terjadi

6
lebih awal (sebelum dan mulai berbunga) yaitu pada bulan Februari sampai April
dimana waktu itu curah hujan masih tinggi dan cuaca sulit diprediksi. Hal itu
menyebabkan pembuatan hay berkualitas tinggi yang membutuhkan sinar matahari yang
cukup untuk mengeringkan hijauan menjadi kadar air yang rendah dalam waktu singkat
sulit diterapkan. Sebaliknya pada awal musim kemarau, masih banyak hijauan yang
tersedia yang dapat dijadikan hay, namum kualitasnya sudah menurun dan untuk
meningkatkan kualitasnya dibutuhkan perlakuan-perlakuan tertentu yang membutuhkan
biaya tambahan. Proses pembuatan hay termasuk cara-cara memperoleh hay dengan
kualitas tinggi dibahas pada Bab 2.
Di daerah tropis, pengawetan hijauan dalam bentuk silase mugkin lebih mudah
diterapkan dari pada pembuatan hay karena tidak membutuhkan kadar air yang terlalu
rendah untuk dapat disimpan di dalam silo. Pada pertengahan dan akhir musim hujan
mungkin terdapat waku beberapa hari dimana cuaca cukup cerah untuk melayukan
hijauan sebelum disimpan di dalam silo. Tempat penyimpanan silase berupa silo dapat
dimodifikasi untuk disesuaikan dengan jumlah ternak yang dimiliki petani. Hanya
tingkat penggunaannya secara meluas terkendala pada masalah biaya tambahan dan
pengetahuan petani tentang pengawetan hijauan yang masih rendah. Petani yang hanya
memiliki beberapa ekor ternak dan sudah terbiasa melepaskan ternaknya di lapangan
mungkin merasa segan untuk membuat silase yang merepotkan dan memerlukan biaya
tambahan dan hasilnya tidak langsung dapat dinikmati. Itulah mungkin beberapa faktor
yang menghambat aplikasi pengawetan hijauan dalam bentuk silase di Indonesia. Di
masa yang akan datang,tentu saja hal itu dapat berubah dengan makin mahalnya harga
produk ternak akibat tingginya permintaan seiring dengan jumlah penduduk yang makin
bertambah dan taraf hidup yang makin meningkat. Bagaimana proses pembuatan silase
sehingga dapat dihasilkan silase yang berkualitas tinggi dan mengurangi kerusakan silase
dibahas pada Bab 3.
Menurut International Food Policy Research Institute, dari tahun 1995 – 2020, pemintaan
daging unggas meningkat 3% dan daging sapi 2% per tahun. Untuk memenuhi
permintaan tersebut, dibutuhkan pakan, termasuk hijauan yang jauh lebih banyak dari
persediaan yang ada sekarang. Karena permintaan produk tanaman pangan makin
meningkat pula, maka akan terjadi persaingan yang sangat intens dalam penggunaan
lahan. Pada lahan-lahan yang subur, lahan untuk penggembalaan mungkin makin
menyempit karena petani lebih memprioriraskan penanaman tanaman pangan dari pada
tanaman pakan. sehingga sumber-sumber hijauan mungkin akan beralih ke lahan-lahan
marginal yang jumlahnya masih cukup luas, terutama di luar P. Jawa dan P. Bali.
Lahan-lahan marginal yang kondisi tanah dan iklimnya kurang cocok untuk ditanami

7
tanaman pangan, mungkin lebih cocok ditanami semak-semak atau pohon berakar
dalam yang daunnya dapat dimakan ternak. Semak-semak dan pohon-pohonan dari
golongan legum sangat cocok ditanam pada lahan marginal karena disamping dapat
menyuburkan tanah dan mencegah erosi, juga mengandung protein dan mineral yang
tinggi yang dapat digunakan sebagai suplemen terhadap rumput yang pada musim kering
yang sangat rendah kadar protein dan daya cernaya. Pengadaan semak-semak dan pohon
yang tahan kering dan dapat dimanfaatkan ternak pada musim kemarau berupa bank
hijauan (forage bank) dibahas pada Bab 4.

8
3

SILASE

Silase adalah hijauan berkadar air tinggi yang diawetkan dengan asam-asam baik secara
alamiah maupun dengan buatan dalam kondisi tanpa oksigen. Berbeda dengan hay yang
membutuhkan kadar air 15 – 20% untuk menjadi awet, silase diproduksi dengan
memanen hijauan pada kadar air yang lebih tinggi (> 80%) dan kemudian diturunkan
kadar airnya sampai mencapai 60 – 70% lalu difermentasi di dalam tempat yang kedap
udara (silo) yang idealnya berlangsung dalam kondisi tanpa oksigen (an aerob). Tujuan
utama pembuatan silase adalah 1. mengawetkan hijauan yang berlebih selama musim
hujan yang apabila tidak diawetkan akan terbuang karena tidak cukup ternak untuk
mengkonsumsinya dan 2. mengurangi kehilangan nutrien. Mengawetkan hijauan dalam
bentuk silase biasanya lebih rumit dari pada mengawetkan dalam bentuk hay tetapi lebih
banyak nutrien dalam hijauan yang dapat dipertahankan dengan teknik pembuatan silase
yang tepat.
Beberapa peternak secara rutin membuat silase tetapi yang lain hanya membuat silase
ketika pengeringan menjadi hay di lapangan sulit dilakukan. Tanaman seperti rumput
gajah, jagung dan sorgum yang tua kurang cocok dibuat hay karena mengandung banyak
air pada waktu panen yang optimum dan batangnya yang tebal memperlambat
pengeringan. Banyak spesies hijauan tropis dapat dibuat hay tetapi hujan yang turun
terus menerus mengkibatkan panen tertunda dan apabila dilakukan pengeringan dan
tiba-tiba turun hujan deras, dapat mengakibatkan kerusakan zat-zat nutrisi yang besar.
Kelebihan silase dari pada hay yang masing-masing dibuat dengan baik adalah :
1. komposisi silase yang stabil dapat disimpan lebih lama dari pada hay (sampai 5
tahun),
2. karena tidak banyak dipengaruhi cuaca, hijauan dapat dapat dipanen pada waktu
tanaman mencapai tingkat perkembangan yang optimum,
3. kehilangan nutrien lebih rendah pada silase dari pada hay (10% vs 30%),
4. silase dapat dibuat pada cuaca yang berawan,
5. 2 kg silase (kadar air 70%) nilai nutrisinya setara dengan 1 kg hay.
6, fermentasi silase menurunkan kadar nitrat beracun yang terakumulasi selama
musim kering atau yang diberi pupuk N yang berlebihan.

9
7. memungkinkan hasil sampingan hasil-hasil pertanian seperti jerami dapat
digunakan secara optimal.
Kekurangan silase dari pada hay adalah:
1. tingginya kadar air mengakibatkan silase lebih berat sehingga kurang ekonomis
untuk diangkut ke tempat yang jauh,
2. membutuhkan peralatan khusus untuk memanen, menyimpan dan memberikannya
pada ternak,
3.. potensi kerusakan zat-zat gizi lebih besar apabila silase tidak dibuat dengan baik,
4. kadar vitamin D-nya lebih kurang dari pada hay
Banyak jenis tanaman yang dapat diawetkan dalam bentuk silase. Jenis ternak,
ketersediaan alat-alat, jenis tanah, curah hujan, ketersediaan irigasi dan potensi hasil
merupakan faktor-faktor penting yang harus diperhatikan untuk menentukan jenis
tanaman yang cocok diawetkan sebagai silase.
Silase dengan kualitas terbaik dapat diperoleh dari tanaman yang mengandung
karbohidrat larut air yang tinggi. Jagung merupakan tanaman yang menghampiri kondisi
ideal untuk dibuat silase karena mengandung kadar karbohidrat larut air.yang tinggi,
kemampuan buffernya rendah dan menyediakan nilai nutrien yang maksimum untuk
mengoptimalkan produksi ternak (kecuali protein). Silase yang baik juga dapat dibuat
dari sorgum tetapi mengandung lebih sedikit energi dari pada jagung. Pada fase
kedewasaan yang optimum untuk panen, sorgum mengandung air yang lebih tinggi
sehingga memerlukan waktu pelayuan yang lebih lama untuk dapat dibuat silase yang
baik. Pembuatan silase dari rumput bermuda, stragrass, limpograss dan alfalfa juga dapat
dilakukan, tetapi rendahnya kadar karbohidrat larut air dan tingginya kemampuan buffer
(ketahanan terhadap penurunan pH) membuat hijauan tersebut sulit dibuat menjadi silase
yang baik. Akibatnya, hijauan tersebut harus dilayukan lebih lama untuk meningkatkan
kadar karbohidratnya sebelum dibuat silase.
3.1.Prinsip pengawetan silase
Dengan memotong dan menyimpan hijauan di dalam silo, kerusakan/kehilangan bahan
kering dan kualitas nutrisi tetap tidak dapat dihindarkan, tetapi dapat diminimalkan.
Kehilangan bahan kering terjadi karena adanya enzim yang mendegradasi hijauan
setelah dipanen. Enzim dapat berasal dari hijauan yang telah dipotong atau dari bakteri
dan mikroorganisme yang ada di dalam silase. Tujuan pembuatan silase adalah menyetop
reaksi enzimatik dan meminimalkan kehilangan energi, protein dan nutrien yang ada.
Jadi pembuatan silase dapat didefinisikan sebagai metoda pengawetan dimana

10
kebanyakan energi, protein dan nutrien lain yang ada di dalam hijauan tetap berada dalam
bentuk yang dapat digunakan secara efisien oleh ternak.
Pada waktu dimasukkan ke dalam silo, hijauan yang sudah dipotong-potong dipadatkan
untuk mengeluarkan oksigen sebanyak mungkin. Tidak adanya oksigen memungkinkan
bakteri asam laktat yang ada pada silase bertumbuh dengan mengubah gula menjadi
asam laktat. Dengan berkembangnya bakteri asam laktat, asam laktat tertimbun pada
massa silase yang berkibat pada turunnya pH. Dengan turunnya pH, aktivitas degradasi
oleh enzim tanaman dan bakteri yang merugikan, ragi dan jamur melambat. Ketika pH
cukup rendah (pH 3,8 – 4,2 pada jagung), kebanyakan aktivitas degradasi enzim
terhambat dan pertumbuhan bakteri asam laktat juga terhambat atau terhenti.
Jadi dalam pembuatan silase, pengeluaran oksigen dari massa silase sangat penting untuk
mempercepat fermentasi gula oleh bakteri asam laktat dan menyetop segala bentuk
aktivitas degradasi hijauan.
Produk yang dibuat silase dapat mempertahankan lebih banyak proporsi nutriennya dari
pada yang dikeringkan atau disimpan sebagai hay. Karena silase melalui proses
fermentasi, energi digunakan oleh bakteri untuk menghasilkan asam lemak mudah
menguap (volatile fatty acid), seperti asam asetat, asam propionat, asam laktat dan asam
butirat. Akibatnya, silase mempunyai energi yang lebih rendah dari pada hijauan segar.
Jadi proses pembuatan silase mengawetkan hijauan tetapi tidak dapat memperbaiki
kualitas atau nilai nutrisinya.
3.2.Fase-fase fermentasi silase
3.2.1. Fase aerob/respirasi
Setelah dipanen, sel-sel tanaman terus berespirasi dimana karbohidrat dioksidasi dan
menghasilkan karbon dioksida, air dan panas, dengan reaksi kimia sebagai berikut:
C6H12O6 + 6 O2  6 CO2 + 6 H2O + 3,8 Mcal/kg
Respirasi terjadi apabila tersedia oksigen dan bahan kering yang cukup pada hijauan.
Oksigen diperoleh dari dalam tanaman dan antara tanaman pada awal pembuatan silase.
Respirasi dibutuhkan untuk proses fisiologi tanaman yang menyediakan energi untuk
kelangsungan hidup sel-sel tanaman. Oksidasi karbohidrat mengakibatkan hilangnya
bahan kering dan energi tersedia bagi ternak, oleh karena itu, respirasi tidak diinginkan.
Tambahan pula, panas yang dibebaskan oleh respirasi menaikkan temperatur silase.
Temperatur diatas 26 – 32o C dapat menyebabkan kehilangan nutrien yang signifikan.
Penelitian menunjukkan bahwa pada silo yang kurang tertutup dengan baik, kenaikan
temperatur lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditutup dengan baik. Kenaikan

11
temperatur dapat diatasi dengan memasukkan hijauan ke dalam silo dengan kadar air
yang lebih rendah untuk meningkatkan kadar bahan kering dan kepadatan silase sehingga
kurang oksigen. Pengeluaran oksigen yang cepat diinginkan karena mengurangi lama
respirasi dan kehilangan nutrien. Normalnya, respirasi berlangsung selama 4 - 6 jam pada
silase yang padat dan silo yang tertutup rapat dan hanya terjadi selama oksigen masih ada
di dalam silo. Jadi, pemadatan silase untuk meminimalkan oksigen secepat mungkin
dapat mengurangi kerusakan akibat respirasi.
Beberapa jenis hijauan, terutama rumput mempunyai batang yang besar atau berongga,
secara alamiah mengandung lebih banyak udara dari pada yang berbatang kecil-kecil dan
padat. Hijauan yang demikian perlu dicincang sependek mungkin untuk memudahkan
pemadatan dan mengurangi kadar oksigen.
Umumnya lebih mudah membatasi respirasi (dengan mengeluarkan udara) dengan
memadatkan hijauan dengan kadar air yang tinggi seperti jagung dan sorgum dari pada
melayukan hijauan. Tetapi pembuat silase yang kurang berpengalaman sering terlalu
melayukan tanaman sehingga sulit dipadatkan di dalam silo. Massa silase yang terlalu
layu setelah dipadatkan mengandung lebih banyak rongga udara yang memperpanjang
waku respirasi. Apabila kondisi cuaca sangat baik, kebanyakan hijauan dapat dilayukan
selama 24 jam di lapangan untuk mencapai kadar bahan kering yang cocok untuk dibuat
silase.
Perubahan kimia lain yang terjadi selama fase aerob adalah pemecahan protein tanaman.
Protein direduksi menjadi asam amino dan kemudian menjadi amoniak dan amina.
Proporsi protein yang dapat direduksi selama fase ini dapat mencapai 50%. Besarnya
pemecahan protein (proteolysis) tergantung pada laju penurunan pH silase. Keasaman
yang tinggi pada silase pada akhirnya menurunkan aktivitas enzim yang memecah
protein.
Fase aerob mengakibatkan kehilangan nutrien tetapi membantu menciptakan kondisi an
aerob dan dapat menghasilkan zat-zat anti jamur tertentu yang dapat memperpanjang
stabilitas aerob silase pada waktu silase dikeluarkan dari dalam silo.
Fase aerob berakhir ketika oksigen telah habis di dalam massa silase. Pada kondisi
hijauan dan penyimpanan yang ideal, fase ini hanya berlangsung kurang satu hari. Tetapi
dengan manajemen yang tidak baik, dapat berlangsung sampai beberapa minggu. Tujuan
utama pembuatan silase pada tahap awal adalah memanaje hijauan sehingga kadar air
dikurangi untuk mempercepat lingkungan an aerob. Praktek manajemen panen yang
sesuai adalah memanen tanaman pada tingkat kedewasaan yang cocok, mencincang dan
melayukan hijauan, memasukkan dan memadatkan hijauan ke dalam silo secepat
mungkin dan menutup silo serapat mungkin.

12
3.2.2. Fase fermentasi enterobakteri
Pada waktu hijauan dipanen, terdapat 107 - 1010 mikroorganisme per gram hijauan dan
kebanyakan diantaranya tidak baik untuk proses pengawetan silase. Kebanyakan
mikroorganisme ini membutuhkan oksigen untuk bertumbuh. Dengan menurunnya
oksigen di dalam silo, terjadi seleksi alam diantara bakteri yang berakibat menurunnya
populasi bakteri yang membutuhkan oksigen.
Dengan berkurangnya oksigen dan dimulainya fermentasi, bakteri yang dominan adalah
bakteri yang dapat hidup dengan atau tanpa oksigen (bakteri fakultatif aerob). Kelompok
bakteri ini termasuk enterobakteri yang mengubah karbohidrat larut air menjadi berbagai
asam lemak rantai pendek yang mudah menguap (asam propionat, asam asetat, asam
laktat dan kadang-kadang asam butirat), etanol, karbon dioksida dan hydrogen. Asam-
asam tersebut bertanggung jawab terhadap awal turunnya pH silase.
Menurut Barnes et al (2003), walaupun menghasilkan asam laktat, namum kehadiran
enterobakteri di dalam silase tidak diinginkan karena:
- bersaing dengan bakteri asam laktat dalam memanfaatkan gula,
- kebanyakan menghasilkan asam asetat sebagai produk akhir,
- meningkatkan kemampuan buffer silase, yang mengakibatkan penurunan pH
menjadi sulit,
- menghasilkan CO2 yang berarti membuang energi yang dapat digunakan oleh
ternak.
Enterobakteri hidup dengan baik pada pH 5 – 7. Asam lemak mudah menguap yang
dihasilkan menurunkan pH silase menjadi < 6. Dengan turunnya pH di bawah 5,
enterobakteri menjadi kurang kompetitif dan akhirnya mati. Akan tetapi enterobakeri
cenderung bertahan dalam waktu yang lama apabila pH turun dengan pelan-pelan. Fase II
biasanya berlangsung tidak lebih 72 jam.
3.2.3. Fase fermentasi bakteri asam laktat
Bakteri asam laktat mulai mendominasi proses fermentasi setelah pH silase turun
menjadi 5,5 – 5,7 dari sebelumnya 6,5 – 6,7 pada awal proses ensilase. Beberapa spesies
bakteri asam laktat dapat hidup dengan adanya oksigen, tetapi kebanyakan bersifat
anaerob yang ketat yang berarti oksigen beracun bagi mereka. Reaksi fermentasi asam
laktat adalah:
C6H12O6 -----> 2 C3H6O3
gula asam laktat

13
Beberapa spesies bakteri asam laktat hanya menghasilkan asam laktat (seperti persamaan
diatas), yang disebut bakteri homofermentatif. Tetapi beberapa spesies bakteri asam
laktat lain yang disebut heterofermentatif menghasilkan asam laktat dan senyawa lain
seperti asam asetat, etanol dan karbon dioksida. Bakteri homofermentatif lebih
diinginkan pada fermentasi silase karena menghasilkan lebih banyak asam laktat yang
lebih kuat menurunkan pH dari pada asam asetat. Bakteri homofermentatif menghasilkan
2 molekul asam laktat per molekul glukosa atau fruktosa yang difermentasi tetapi bakteri
heterofermentatif menghasikan 1 molekul asam laktat, 1 molekul etanol dan 1 molekul
karbon dioksida tiap molekul glukosa yang difermentasi; dari tiap 3 molekul fruktosa,
dihasilkan 1 molekul asam laktat, 1 molekul karbon dioksida dan 1 molekul mannotol
(McDonald, 1981). Tingginya kadar asam asetat dan etanol tidak baik karena
menurunkan palatabilitas dan intake silase oleh ternak. Dengan makin menurunnya pH,
asam laktat menjadi produk akhir fermentasi yang dominan. Silase yang terfermentasi
dengan baik mengandung asam laktat yang tinggi. Banyaknya asam laktat yang
dihasilkan tergantung pada:
- jumlah bakteri asam laktat yang ada waktu awal pembuatan silase,
- banyaknya gula dapat difermentasi yang tersedia pada silase,
- tidak adanya oksigen pada silase.
Jumlah bakteri asam laktat yang ada pada waktu pembuatan silase bervariasi dari 10 3
sampai 20 juta per gram hijauan segar. Jumlah ini cenderung bertambah ketika waktu
pelayuan antara 24 – 48 jam dibandingkan dengan pelayuan kurang 24 jam atau
temperatur selama waktu pelayuan antara 22 – 25o C dibandingkan dengan 18 – 22o C.
Sejumlah besar bakteri asam laktat terdapat secara alamiah pada tanaman dan tumbuh
dengan baik pada kondisi hangat dan lembab. Hijauan secara alamiah mengandung
sampai 105 bakteri asam laktat per gram tanaman, tetapi jenisnya sangat banyak dan
kemampuannya menfermentasi gula menjadi asam laktat dan menurunkan pH biasanya
rendah. Oleh karena itu, penambahan inokulan komersil yang mengandung strain bakteri
asam laktat homofermentatif dapat mempercepat penurunan pH, memperbaiki fermentasi
dan meminimalkan kehilangan nutrien dan bahan kering Inokulan bakteri asam laktat
sebaiknya mengandung paling sedikit 105 bakteri hidup/gram silase. Pengaruh yang
menguntungkan inokulan demikian paling banyak terjadi pada hijauan yang mengandung
bahan kering yang rendah.
Asam laktat yang dihasilkan menurunkan pH silase menjadi 4,4 sampai 5,0 pada silase
yang tinggi kemampuan buffernya dan rendah kadar karbohidratnya (terutama legum).
Silase yng rendah kemampuan buffernya dan lebih tinggi kadar karbohidratnya seperti
jagung pH-nya dapat turun mencapai 3,8 – 4,2.
14
Kemampuan buffer adalah tingkat ketahanan silase terhadap penurunan pH yang
disebabkan oleh keberadaan asam-asam organik (misalnya asam sitrat, asam malat),
ortofosfat, nitrat, klorida dan nitrogen bukan protein pada silase. Hijauan yang tinggi
kemampuan buffernya misalnya alfalfa membutuhkan lebih banyak karbohidrat larut air
dari pada yang rendah kemampuan buffernya (misalnya jagung) untuk menurunkan pH
ke tingkat yang diinginkan.
Fase III merupakan fase terlama (4 – 14 hari) dalam proses pembuatan silase karena
berlangsung sampai pH silase cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan semua
bakteri, termasuk bakteri asam laktat sendiri. Ketika pH tersebut dicapai, hijauan sudah
berada dalam keadaan awet.
3.2.4. Fase stabil
Setelah kira-kira 14 hari fermentasi, hijauan yang diawetkan dengan baik mengandung
1,5 – 2,5 asam laktat dan pH berayun antara 3,5 – 4,2. Fermentasi berakhir ketika gula
yang dapat difermentasi habis atau pertumbuhan bakteri asam laktat dihambat oleh
rendahnya pH. Keasaman tinggi yang tercipta selama fase III menimbulkan “semi
sterilisasi” pada massa silase yaitu terhambatnya pertumbuhan bakteri asam laktat
sendiri. Fase stabil ini berlangsung selama beberapa bulan (kalau bukan tahunan) selama
silo tetap tertutup dan diproteksi dari oksigen. Jadi, sangatlah penting menutup silo
dengan baik agar tidak tembus udara. Banyak bahan kering yang hilang karena
penutupan yang tidak baik. Apabila oksigen memasuki dinding silo atau penutup silase,
dapat menyebabkan pertumbuhan ragi, kapang dan bakteri aerob pada permukaan silase
yang berkontak dengan oksigen dan tingginya risiko terhadap mikroorganisme yang
beracun.
Kriteria fermentasi yang diinginkan termasuk:
1. penurunan pH yang cepat,
2. pH akhir yang rendah,
3. laju produksi asam laktat yang tinggi,
4. lebih 65 – 70% total asam organik adalah asam laktat.
3.2.5. Pengambilan silase (feedout)
Fase ini merupakan fase fermentasi terakhir yang terjadi pada waktu silo dibuka dan
silase diambil untuk diberikan pada ternak. Fase ini sangat penting seperti fase-fase
sebelumnya tetapi sering diabaikan. Sampai 50% bahan kering dapat hilang akibat
kerusakan aerob sekunder pada permukaan silase pada waktu silo dibuka. Pada umumnya
hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan meningkatnya penetrasi udara dan

15
melambatnya pengeluaran silase, temperatur dan kehilangan nutrien meningkat. Apabila
pemanasan silase yang signifikan terjadi, kehilangan bahan kering dan kualitas yang
tinggi dapat terjadi yang dapat mencapai 3,5 – 4,0% per hari.
Setelah silo dibuka dan silase diambil untuk diberikan pada ternak, permukaan silase
kembali berkontak dengan oksigen yang mengakibatkan ragi, kapang dan bakteri aerob
yang banyak dorman pada fase fermentasi aktif kembali dan dapat merusak silase.
Mikroorganisme ini mengubah sisa-sisa gula, asam laktat dan nutrien yang kaya energi
menjadi karbon dioksida, air dan panas. Karena asam-asam fermentasi dirusak selama
kerusakan aerob, pH silase dapat meningkat sampai diatas 7,0. Silase yang panas dan
berbau ragi merupakan gejala yang paling umum akibat kerusakan silase setelah silo
dibuka. Akumulasi panas yang tinggi mendenaturasi protein dan nutrien lain pada silase.
Kapang pada silase juga dapat menghasilkan mikotoksin yang apabila dikonsumsi dapat
menurunkan pertumbuhan ternak dan menimbulkan penyakit. Jadi, pengeluaran silase
dari silo berisiko meningkatkan kehilangan bahan kering, kerusakan zat-zat nutrisi dan
performa ternak.
Untuk mengurangi kerusakan silase pada waktu silo dibuka, harus dibatasi waktu bagi
silase untuk berkontak dengan udara. Interval waktu ini dapat dibatasi dengan beberapa
faktor manajemen. Pertama, silase sebaiknya dipak sepadat mungkin karena tingginya
kepadatan silase membantu membatasi masuknya oksigen ke dalam massa silase setelah
silase diambil sebagian untuk diberikan pada ternak. Kedua, mempercepat pengambilan
silase unuk meminimalkan waktu permukaan silase berkontak dengan oksigen dan ke
tiga, laju pengambilan silase sebaiknya paling kurang 15 cm per hari pada silo lubang
atau silo bunker. Tetapi pengambilan paling kurang 30 cm dianjurkan pada silase yang
tidak stabil. Apabila cuaca lebih panas, jumlah yang diambil perlu ditingkatkan. Penutup
plasik harus dipasang kembali segera silase diambil.
Terdapat beberapa zat kimia untuk memperbaiki kualitas silase yang terbuka terhadap
oksigen. Kebanyakan zat-zat kimia tersebut mengandung asam propionat yang telah
dibuffer sebagai bahan aktif primer. Bahan pengawet ini juga mengandung zat-zat anti
jamur seperti asam sorbet, asam benzoat dan asam asetat. Produk asam propionat yang
telah dibuffer tidak bersifat korosif dan aman ditangani. Dosis yang dianjurkan adalah 1 –
3 kg/ton hijauan.
Lactobacillus buchineri telah ditunjukkan mempunyai potensi untuk memperbaiki
stabilitas aerob. Bakteri ini sebagian mengubah asam asetat menjadi asam laktat dan
etanol. Asam laktat dan asam propionat lebh efektif menurunkan pertumbuhan ragi dan
kapang dari pada asam asetat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa silase yang

16
diinokulasi dengan Lactobacillus buchineri tetap awet dalam waktu yang lebih lama dari
pada yang tidak diberikan apa-apa pada kondisi bersentuhan dengan udara.
3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas silase
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses fermentasi dan kualitas silase. Faktor-
faktor tersebut adalah tingkat kedewasaan waktu panen, kadar karbohidrat larut air,
kemampuan buffer, kadar bahan kering, panjang cincangan, temperatur selama
pembuatan silase, kecepatan pengisian hijauan ke dalam silo, kepadatan pengepakan dan
masuknya udara ke dalam silo.
3.3.1.Tingkat kedewasaan waktu panen
Dari semua faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas silase, tingkat kedewasaan waktu
panen yang terpenting. Dengan bertumbuh dan berkembangnya tanaman dari fase
vegetatif sampai fase generatif, kadar serat dan lignin semakin tinggi dan kadar protein,
daya cerna dan akseptabilitas oleh ternak semakin rendah. Tingkat kedewasaan yang baik
waktu panen menjamin tingginya kadar gula yang dapat difermentasi untuk bakteri dan
kecukupan nilai nutrisi untuk ternak. Tingkat kedewasaan juga mempengaruhi kadar air
tanaman yang menentukan kemudahan dipadatkan untuk mengelarkan oksigen. Tingkat
kedewasaan yang paling baik untuk panen bervariasi sesuai spesies. Pada rumput, paling
baik dipanen ketika akhir fase vegetatif sampai mulai berbunga.
3.3.2.Karbohidrat larut air
Karbohidrat yang larut dalam air digunakan untuk respirasi oleh tanaman dan
membentuk asam-asam oleh bakteri. Gula merupakan karbohidrat utama yang
difermentasi menjadi asam asetat dan asam laktat oleh bakteri yang mengakibatkan
turunnya pH dan membuat silase menjadi stabil. Makin tinggi kadar karbohidrat larut air,
makin cepat pertumbuhan bakteri anaerob dan makin cepat penurunan pH. Pada
umumnya, hijauan mengandung karbohidrat larut air < 5 – 8% dari bahan kering yang
merupakan batas terendah untuk memperoleh pH yang cukup untuk menghasilkan silase
yang stabil. Rumput tropis umumnya mengandung karbohidrat larut air antara 3 – 9%
(Sarwart et al., 1992) sehingga umumnya memerlukan tambahan karbohidrat sedangkan
jagung, sorgum, hibrida sorgum – rumput sudan dan rumput temperate semusim
biasanya mempunyai kadar karbohidrat larut air diatas 8% sehingga tanpa pemberian zat-
zat additifpun, silase yang baik dan stabil dapat diciptakan. Rumput tropis tahunan,
legum, campuran rumput tropis – legum mengandung gula yang rendah dan tingginya
kadar protein legum memperlambat penurunan pH dari 5,5 menjadi 4,5 selama
fermentasi. Akibatnya, hijauan yang demikian lebih sulit dibuat silase dan harus
17
dilayukan sampai mencapai kadar bahan kering 35 – 45 % sebelum dibuat silase.
Pemberian zat-zat additif atau inokulan pada hijauan demikian dapat membantu
fermentasi.
Disamping spesies, beberapa faktor lain yag menentukan kadar karbohidrat larut air
adalah:
1. kondisi pertumbuhan: Tanaman mengandung kadar karbohidrat larut air yang
tinggi apabila tumbuh pada temperatur dingin dan banyak memperoleh cahaya
matahari,
2. kekeringan: Kondisi kering menurunkan kadar karbohidrat, demikian pula curah
hujan yang tnggi,
3. manajemen. Sampai batas tertentu, pelayuan meningkatkan kadar karbohidrat
tetapi apabila pelayuan berlangsung lebih lama dari normal, menurunnya kadar
karbohidrat berpengaruh buruk terhadap proses ensilase,
4. variasi harian: Kadar karbohidrat larut air mencapai kadar tertinggi pada sore hari
dan terendah pada pagi hari,
5. pemupukan N. Pemupukan N dengan dosis tinggi mempengaruhi kadar nitrat
pada hijauan. Kadar nitrat yang tinggi berhubungan terbalik dengan kadar
karbohidrat larut air. Beberapa nitrat pada hijauan diubah menjadi amoniak yang
cenderung meningkatkan pH.
3.3.3.Kemampuan buffer
Kemampuan buffer adalah factor lain yang mempengaruhi kualitas silase. Ini
menentukan kemampuan tanaman bertahan terhadap perubahan pH, yang ditentukan oleh
kadar basa organic seperti K, Ca, protein, amoniak, dan garam organik (malat dan sitrat).
Protein tanaman meningkatkan kemampuan buffer silase. Makin tinggi kemampuan
menyangga (buffer capacity), makin lama waktu pembuatan silase dan makin banyak
karbohidrat larut air yang dibutuhkan untuk menurunkan pH. Legum umumnya
mempunyai kemampuan buffer yang tinggi sehingga membutuhkan kadar karbohidrat
larut air yang tinggi untuk dibuat silase yang baik.
Rumput yang dipupuk dengan pupuk N dengan dosis tinggi umumnya tidak dapat
menghasilkan silase sebaik dengan yang dipupuk dengan dosis sedang. Rumput yang
dipupuk berat dengan N mengandung protein yang tinggi tetapi mengandung gula yang
dapat difermentasi yang rendah.
3.3.4. Kadar bahan kering

18
Panen sebaiknya dirancang sehingga dilakukan pada hari yang cerah karena hujan dalam
jumlah yang sedikit dapat menurunkan kualitas silase. Hijauan yang mempunyai kadar
air lebih 70% atau kurang 55% tidak dapat menghasilkan silase yang baik. Kadar air
yang tinggi dapat meningkatkan jumlah zat-zat nutrisi yang tercuci dan merembes ke
bagian bawah silo. Silase yang demikian juga lebih berpeluang mengalami fermentasi
clostridia yang mengakibatkan banyaknya kehilangan bahan kering, degradasi protein,
tingginya kadar asam butirat dan turunnya palatabilitas. Pelayuan biasanya menghasilkan
silase yang baik terutama apabila kadar gula rendah dan kemampuan buffer silase tinggi.
Beberapa jenis rumput dan legum memerlukan pelayuan karena tingginya kadar air (75 –
80%) pada waktu panen.
Hijauan yang dipanen agak lambat atau hijauan yang rendah kadar airnya sering
mengalami masalah dalam pengepakan. Pada kasus demikian, kantong-kantong udara
yang ada di dalam massa hijauan lebih sulit dikeluarkan karena batang yang kering sulit
dipak. Pertumbuhan ragi dan kapang yang dijumpai pada kantong-kantong udara dapat
meningkatkan temperatur dan mengakibatkan terjadinya fermentasi yang jelek. Pada
hijauan yang mengandung bahan kering yang tinggi (> 60%), sebaiknya ditambahkan air
untuk mengurangi kadar oksigen dan memperbaiki pengepakan.
3.3.5. Pencincangan dan pengolahan
Panjang cincangan yang paling baik adalah 1 - 3 cm , tergantung pada jenis tanaman,
struktur penyimpanan dan proporsi silase dalam ransum. Ukuran ini dapat memberikan
pemadatan yang ideal pada silase dan memudahkan pengisian hijauan ke dalam silo.
Cincangan yang lebih panjang menyebabkan pemadatan menjadi sulit dan udara tertahan
di dalam silase yang dapat mengakibatkan terjadinya pemanasan dan kerusakan.
Sebaliknya cincangan yang lebih halus dapat memberikan pengaruh negatif terhadap
produksi susu dan terjadinya gangguan pada abomasum (Schroeder, 2004). Pencincangan
mempunyai pengaruh menguntungkan yang lain yaitu membebaskan karbohidrat mudah
difermentasi akibat pecahnya sel-sel tanaman. Bakteri yang menguntungkan mulai
berbiak setelah pencincangan dengan menggunakan karbohidrat sebagai subtrat. Salah
satu kekurangan silase bal bentuk bulat adalah silase tidak dipotong-potong sehingga
karbohidrat lambat dibebaskan.
3.3.6. Pelayuan hijauan
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses fermentasi adalah kadar bahan
kering hijauan. Umumnya kadar bahan kering optimum hijauan yang akan dibuat silase
adalah 35% (kadar air 65%) dengan kisaran 30 – 40%. Hijauan dengan kadar air lebih

19
70% tidak dianjurkan untuk dibuat silase, karena pada kondisi tersebut aktivitas bakteri
asam laktat menurun dan sebaliknya aktivitas bakteri clostridia yang menghasilkan asam
butirat meningkat. Kehilangan bahan kering turun dari 7,2 menjadi 1,6 dan 0,4 % pada
rumput yang dibuat silase dengan kadar bahan kering masing-masing 15, 20 dan 25 %.
Tingginya kadar air pada proses fermentasi disamping meningkatkan kadar asam
butirat, juga dapat menyebabkan adanya rembesan yang berisi zat-zat nutrisi dari silase
yang dapat mencemari lingkungan, menurunkan konsumsi harian dan produksi susu
ternak (Tabel 3). Sebaliknya, terlalu banyak bahan kering (lebih 60%) mengakibatkan
fermentasi yang terbatas karena silase sulit dipadatkan yang berkibat sulitnya
mengeluarkan oksigen sehingga silase yang dihasilkan keasamannya kurang, demikian
pula kadar kadar asam laktatnya rendah. Pada kondisi demikian, dibutuhkan waktu yang
lebih lama untuk mencapai fase anaerob, akibatnya banyak nutrien yang hilang akibat
respirasi dan temperatur silase meningkat yang meningkatkan kerusakan protein.
Tabel 3. Pengaruh pelayuan terhadap kehilangan bahan kering dan produksi susu
(Cornell
University Agricultural Experiment Station Bulletin, 1958)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bahan kering
Perlakuan ---------------------------------------------------------------------------------------------
Kehilangan Kehilangan Konsumsi harian Produksi susu
rembesan (%) fermentasi (%) per ekor (%) harian/ekor (%)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak dilayukan 8,2 10,5 26,3 43,7
Dilayukan 1,5 8,8 28,3 44,3
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-
Sering terjadi pelayuan hijauan segar selama 24 – 48 jam untuk meningkatkan kadar
bahan kering sangat baik hasilnya terhadap kualitas silase. Hal itu disebabkan karena
silase dengan kadar bahan kering 30 – 40 % membutuhkan sedikit asam laktat dan akan
stabil pada pH yang lebih tinggi dari pada silase yang mengandung bahan kering yang
lebih rendah. Kadar bahan kering yang lebih tinggi meningkatkan konsentrasi
karbohidrat yang larut dalam air yang berakibat meningkatnya tekanan osmosis yang
menghambat pertumbuhan bakteri. Jadi fermentasi terhenti pada hijauan yang layu
karena kombinasi tingginya keasaman dan tingginya tekanan osmosis,

20
Pelayuan mempunyai beberapa keuntungan tambahan yaitu:
- pelayuan cenderung meningkatkan jumlah bakteri asam laktat yang ada di dalam
silo. Ini memperbaiki kemungkinan dimulainya fermentasi asam laktat yang lebih
cepat dan mengurangi kebutuhan inokulan bakteri asam laktat.
- silase yang layu lebih palatabel yang sebagian disebabkan karena rendahnya
kadar asam.
- bakteri asam laktat lebih toleran terhadap kadar air yang lebih rendah dari pada
kadar air yang tinggi.
- konsumsi bebas hijaun yang dilayukan sering lebih tinggi dari pada yang basah.
Perkiraan kadar air silase yang cocok untuk dimasukkan ke dalam silo dapat
diperkirakan dengan uji genggam yaitu dengan mengambil dan menggenggam potongan
hijauan yang telah dicincang dengan kuat sehingga berbentuk bola selama 20 – 30 detik
kemudian dilepaskan dengan cepat. Hijauan yang dicincang dengan panjang 1 – 2,5 cm
yang sebaiknya digunakan. Tabel 4 berikut memperkirakan kadar air hijauan dengan
menggunakan tes genggam.
Tabel 4. Perkiraan kadar air hijauan berdasarkan tes genggam

Kondisi bola hijauan Perkiraan kadar air Tingkat kekeringan


---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hijauan berbentuk bola dan Diatas 75% Sangat lembab
banyak air keluar
Hijauan berbentuk bola tetapi 70 – 75% Agak lembab
sangat sedikit air keluar
Bola pecah pelan-pelan dan 60 – 70% Cocok dibuat silase
tidak ada air yang keluar
Bola cepat pecah Dibawah 60% Kering
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
-
3.3.7. Temperatur
Temperatur silase meningkat setelah dimasukkan ke dalam silo sampai hari ke 15
kemudian menurun sesuai dengan temperatur lingkungan. Biasanya temperatur tertinggi
adalah 38 – 60o C. Temperatur di atas 60o C dapat menyebabkan karamelisasi silase yang
mengakibatkan munculnya kantong-kantong berwarna coklat ke hitam-hitaman pada

21
silase dan berbau tembakau. Kondisi ini terjadi ketika oksigen terus masuk ke dalam silo
dan mikroorganisme aerob terus berkembang biak.
Temperatur internal yang optimum selama fermentasi adalah 37o C. Temperatur yang
lebih tinggi dapat menurunkan kualitas fermentasi, meningkatkan kerusakan protein dan
menghambat penurunan pH yang penting untuk fermentasi yang efisien. Temperatur di
atas 60o C menyebabkan protein pada silase rusak karena protein yang bereaksi dengan
karbohidrat membentuk zat yang rendah daya cernanya. Banyaknya protein yang rusak
karena panas tergantung pada lamanya temperatur tinggi berlangsung. Silase yang rusak
karena panas mungkin disukai ternak tetapi banyak protein dan energi yang
dikandungnya tidak tersedia bagi ternak.
Meminimalkan infiltrasi udara (oksigen) selama pembuatan silase penting untuk
membuat silase yang baik dan mengurangi kenaikan temperature. Adanya udara pada
massa hijauan setelah panen memungkinkan respirasi terus berlangsung dan ini
menghabiskan gula yang penting untuk fermentasi. Masuknya udara ke dalam silo
menyebabkan tumbuhnya ragi dan kapang pada permukaan silase yang terbuka. Untuk
mencegah hal tersebut silo harus ditutup rapat. Setelah penutupan silo, integritas penutup
pastik harus diperiksa secara teratur.

3.4. Mikroorganisme silase


Mikroorganisme silase memainkan peranan penting terhadap keberhasilan pembuatan
silase. Pada dasarnya, mikroorganisme silase dapat dikelompokkan atas yang diinginkan
dan yang tidak diinginkan. Mikroorganisme yang diinginkan adalah bakteri asam laktat
dan yang tidak diinginkan adalah bakteri yang menyebabkan kerusakan anaerob
(clostridia, enterobakteri) dan yang menyebabkan kerusakan aerob (ragi, kapang, bakteri
basil).
3.4.1. Bakteri asam laktat
Bakteri asam laktat merupakan bakteri epifit yang secara alamiah hidup pada tumbuhan.
Populasi bakteri ini sering meningkat waktu antara panen dan pembuatan silase. Ciri-ciri
tanaman termasuk kadar gula, kadar bahan kering, komposisi gula yang berkombinasi
dengan sifat-sifat bakteri asam laktat menentukan daya kompetisi bakteri ini selama
fermentasi. Bakteri asam laktat yang secara teratur berhubungan dengan silase adalah
dari genus Lactobacillus, Pediococcus, Leuconostoc, Enterococcus, dan Streptococcus.
Kebanyakan bakteri asam laktat pada silase bersifat mesofilik yang dapat tumbuh pada
temperatur 5 – 50o C dengan temperatur optimum 25 – 40 o C. Mereka sanggup
menurunkan pH silase ke 4 – 5, tergantung pada spesies dan sifat-sifat hijauan.

22
Berdasarkan metabolisme gulanya, bakteri asam laktat dapat digolongkan atas obligat
homofermenter, fakultatif heterofermenter atau obligat heterofermentor. Obligat
homofermentor menghasilkan lebih 85% asam laktat dari heksosa seperti glukosa tetapi
tidak dapat mendegradasi pentosa; fakultatif heterofermentor juga menghasilkan
terutama asam laktat dari heksosa tetapi juga mendegradasi beberapa pentosan menjadi
asam laktat, asam asetat dan etanol. Obligat heterofermentor mendegradasi heksosa dan
pentosa tetapi berbeda dengan homofermenter, mereka juga mendegradasi heksosa
menjadi asam laktat, CO2, asam asetat dan etanol.
3.4.2. Ragi
Ragi merupakan mikroorganisme eukaryot, fakultatif an arob (dapat hidup dengan atau
tanpa oksigen) dan heterotrof. Pada silase, akitivitas ragi baik secara aerob maupun
anaerob tidak diinginkan. Pada kondisi anaerob, ragi menfermentasi gula menjadi etanol
dan karbon dioksida. Produksi etanol tidak hanya menurunkan gula yang tersedia untuk
fermentasi asam laktat, tetapi juga berpengaruh negatif terhadap rasa susu. Pada kondisi
aerob, banyak ragi mendegradasi asam laktat menjadi karbon dioksida dan air.
Ragi dapat dikelompokkan ke dalam strain yang hidup pada hijauan segar, penyimpanan
dan pengeluaran silase. Selanjutnya juga dapat dibagi berdasarkan atas kesanggupannya
menggunakan berbagai zat seperti pengguna gula larut air dan pengguna asam laktat.
Ragi yang menggunakan gula dominan pada fase aerob pada permulaan proses ensilase
dan selama fase anaerob waktu penyimpanan. Pengguna asam laktat menyusun sebagian
besar populasi dengan adanya oksigen pada waktu pembukaan silo untuk pengambilan
silase. Pada waktu panen, lebih 90% ragi adalah pengguna gula, tetapi dengan
berlangsungnya proses ensilase, terjadi seleksi alam sehingga pada fase pengambilan
silase, lebih 90% ragi adalah pengguna asam laktat.
Tingginya populasi ragi pengkonsumsi asam laktat tidak baik karena metabolisme asam
laktat meningkatkan pH dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuan
bakteri dan kapang yang berusak bahan kering. Panas, karbon dioksida dan asam asetat
adalah produk utama yang dihasilkan oleh ragi selama kondisi aerob. Panas dan asam
asetat yang dihasilkan mempengaruhi daya cerna dan karbon dioksia yang dibentuk dan
ini menunjukkan terjadinya kehilangan bahan kering.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya hidup ragi selama penyimpanan adalah tingkat
anaerob dan kadar asam-asam organik. Adanya oksigen mendorong pertumbuhan ragi
salama penyimpanan sedangkan tingginya kadar asam format atau asam asetat
menurunkan daya hidup ragi.
3.4.3. Kapang

23
Kapang adalah mikroorganisme bersel banyak dan eukaryotik. Silase yang diinfestasi
dengan kapang mudah ditentukan dari strukturnya seperti benang-benang besar dan
spora yang berwarna. Kapang berkembang pada bagian silase dimana ada oksigen.
Selama penyimpanan, kapang biasanya dijumpai di bagian permukaan silase tetapi ketika
udara masuk ke dalam silo, seluruh permukaan silase dapat berjamur. Spesies kapang
yang telah diisolasi dari silase termasuk dari genus Penicellium, Fusarium, Aspergillus,
Mucor, Trichoderma, Absidia dan Arthrinium. Kapang tidak hanya menurunkan nilai gizi
silase tetapi juga berbahaya bagi ternak dan manusia. Spora kapang berhubungan dengan
kerusakan paru-paru dan reaksi alergi. Beberapa contoh spesies kapang yang
menghasilkan mikotoksin adalah Aspergillus fumigates dan Pennicillium roqueforti.
Terdapat ketidak-pastian tentang kondisi mikotoksin yang dibentuk pada silase. Silase
yang diinfestasi berat tidak selalu mengandung level mikotoksin yang tinggi. Metode
pembuatan silase yang meminimalkan masuknya udara (pemadatan dan penutupan silo
yang baik) dan pemberian zat-zat additif yang mencegah kerusakan aerob membatasi
pertumbuhan kapang.
3.4.4. Enterobakteri
Enterobakteri adalah bakteri yang bersifat fakultatif an aerob, kebanyakan tidak patogen.
Walaupun demikian, keberadaanya pada silase tidak diinginkan karena bersaing dengan
bakteri asam laktat akan gula tersedia dan juga dapat mendegradasi protein. Degradasi
protein tidak saja menurunkan nilai gizi tetapi juga dapat menghasilkan zat-zat beracun
dan amoniak yang dibentuk dari degradasi protein dan meningkatkan kemampuan buffer
silase. Ciri-ciri khas enterobakteri adalah menguraikan nitrat (NO 3) menjadi nitrit (NO2)
dan NO. Dengan udara, NO dioksidasi menjadi campuran gas berwarna kuning coklat
yaitu nitrogen oksida (NO2, N2O3, N2O4). Gas NO dan NO2 dapat merusak jaringan paru-
paru dan menyebabkan penyakit yang mirip pneumonia. Walaupun demikian, nitrit dan
NO yang dibentuk sangat efektif menghambat clostridia. Enterobakteri tidak berbiak
pada pH yang rendah. Metode pembuatan silase yang mengakibatkan penurunan pH
membantu menghambat pertumbuhan enterobakteri. Pembuatan menjadi silase telah
banyak dilakukan untuk menurunkan nitrat pada tanaman yang sering menimbun nitrat
seperti jagung, sweet clover, alfalfa dan rumput sudan. Gulma Chromolaena odorata
yang mengandung nitrat yang tinggi dapat diturunkan kadar nitratnya menjadi separuh
dengan pembuatan silase (Rusdy dkk, 2013).
3.4.5. Bakteri asam asetat

24
Bakteri asam asetat adalah bakteri obligat aerob yang tahan asam. Sebegitu jauh, semua
bakteri asam asetat yang telah diisolasi dari silase adalah dari genus Acetobacter
(Spoelstra dkk, 1969). Aktivitas Acetobacter pada silase tidak diinginkan karena dapat
memulai kerusakan aerob karena dapat mengoksidasi asam laktat dan asam asetat
menjadi karbon dioksida dan air. Pada umumnya, ragi merupakan pemula kerusakan
aerob dan bakteri asam asetat hanya memainkan peranan yang kecil. Tetapi pada silase
jagung, terdapat bukti bahwa bakteri asam asetat merupakan pemula kerusakan aerob
3.4.6. Bakteri Clostridia
Bakteri clostridia tumbuh pada media tanpa oksigen dan normalnya dijumpai di tanah
dan kotoran hewan. Kenyataan bahwa bakteri ini hidup tanpa oksigen dan tahan sampai
pH 4,2 memungkinkannya bersaing dengan bakteri asam laktat. Pada dasarnya, clostridia
mendominasi proses fermentasi ketika bakteri asam laktat tidak menghasilkan cukup
asam laktat untuk menurunkan pH dengan cepat. Apabila silase terkontaminasi dengan
tanah atau kotoran hewan, risiko terjadinya fermentasi clostridia meningkat. Clostridia
cenderung tumbuh lebih cepat pada temperatur diatas 35o C. Jadi, fermentasi clostridia
terjadi apabila respirasi sangat intensif dan terjadi fermentasi enterobakteria yang
meningkatkan temperatur pada awal proses fermentasi. Beberapa spesies clostridia
menfermentasi gula dan mengubah asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat
menjadi asam butirat, karbon dioksida dan gas hidrogen. Tingginya kadar air, nitrogen,
kemampuan buffer dan rendahnya kadar karbohidrat yang larut dalam air adalah faktor-
faktor yang meningkatkan kemungkinan clostridia menjadi dominan selama pembuatan
silase.
Produksi karbon dioksida dan gas hidrogen menunjukkan kehilangan energi yang dapat
dicerna. Pemecahan asam laktat menjadi asam butirat yang merupakan asam lemah
menyebabkan pH silase cenderung naik. Asam butirat mempunyai bau yang kuat. Sedikit
saja jumlah asam butirat dalam silase menyebabkan konsumsi bebas ternak menurun.
Juga ada beberapa spesies clostridia menfermentasi asam amino yang mengakibatkan
terbentuknya zat-zat beracun seperti kadaferin dan putreskin. Silase yang rusak karena
clostridia mudah dikenal karena baunya yang kuat, pH > 5,0, N-amoniak > 15% dari total
N dan lebih banyak asam butirat dari pada asam laktat.
Untungnya banyak clostridia yang lebih peka terhadap keasaman dan tekanan osmosis
yang lebih tinggi dari pada bakteri asam laktat. Fermentasi clostridia dapat dihindari
dengan:
1. membuat silase dengan kadar bahan kering > 30 %,
2. mengepak silo sepadat mungkin untuk mengurangi meningkatnya temperatur akibat

25
respirasi,
3. membuat silase dari hijauan yang tinggi kadar gulanya,
4. menggunakan teknik pembuatan silase yang mendorong fermentasi maksimum untuk
menurunkan pH secepat mungkin.
Kerusakan aerob yang tidak diinginkan
Kerusakan aerob pada silo terjadi ketika oksigen masuk ke dalam massa silase. Ini dapat
sering terjadi: 1. pada permukaan bagian atas silo yang tidak tertutup rapat, 2. disekitar
tutup plastik, dan 3. ketika kurang dari 15 % silase diambil tiap hari dari bagian
permukaan silase Kerusakan disebakan karena respirasi yang berlanjut dan fermentasi
bakteri yang tidak diinginkan akibat masuknya oksigen ke dalam silase. Fermentasi aerob
juga disebabkan oleh berkembangnya mikroorganisme lain seperti jamur.
Ragi dan kapang dan beberapa jenis bakteri aerob tahan pada pH 2,0 tetapi dorman pada
silase yang stabil pada pH 4,0 – 4,5. Kapang memerlukan gula untuk bertumbuh dan
dapat melanjutkan perkembangannya dengan cepat ketika ada oksigen. Sebaliknya ragi
dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen dan dapat menghasilkan alkohol pada silase
yang banyak mengandung gula seperti jagung. Gula residu pada silase yang diawetkan
dengan baik merupakan sumber energi yang ideal bagi ragi dan kapang.
Beberapa bakteri yang tidak termasuk bakteri asam laktat telah digunakan sebagai
inokulan dengan tujuan memperbaiki stabilitas aerob. Sebagai contoh, Propionibacteria
sanggup mengkonversi asam laktat dan glukosa menjadi asam asetat dan asam propionat
yang lebih bersifat anti jamur dari pada asam laktat. Penambahan Propionibacteria
shermanii mencegah pertumbuhan jamur dan sangat menurunkan populasi awal jamur
pada silase yang tinggi kadar airnya dimana pH akhir lebih besar 4,5. Pada tahun-tahun
terakhir, sejenis bakteri heterofermentatif Lactobacillus buchneri yang sanggup
menghasilkan asam laktat dan asam asetat telah dimasukkan sebagai inokulan untuk
memperbaiki stabilitas aerob pada silase.
3.5. Perubahan komposisi kimia silase
3.5.1. Perubahan karbohidrat dan serat
Dengan kehilangan bahan kering selama pembuatan silase, komposisi kimia hijauan
berubah. Perubahan-perubahan ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa
kebanyakan nutrien yang bernilai nilai gizi tinggi (karbohidrat larut air dan protein)
adalah yang paling cepat hilang akibat respirasi dan fermentasi. Karena menurunnya
kadar karbohidrat larut air dan protein, kadar serat yaitu ADF dan NDF lebih tiggi pada
silase dibandingkan dengan hijauan segar yang baru dipotong.

26
3.5.2. Perubahan protein
Proses pembuatan silase mengubah fraksi protein hijauan. Respirasi dan akitivitas bakteri
bertanggung jawab terhadap pemecahan protein. Dengan matinya sel-sel tanaman setelah
panen, enzim proteolitik memecahkan protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana seperti peptida, asam amino dan amoniak. Bakteri clostridia merupakan
penyebab utama aktivitas deaminasi dan produksi NH3-N pada silase. NH3-N juga
dihasilkan oleh aktivitas enzim tanaman dan bakteri coli. Kebanyakan degradasi protein
di dalam silo terjadi dalam 24 – 72 jam pertama (fase fermentasi pertama dan kedua).
Setelah pH menjadi 4,0 enzim proteolitik kehilangan 65 – 85 % aktivitasnya. Oleh karena
itu, penurunan pH yang cepat sangat baik untuk menurunkan pemecahan protein pada
silase.
Walaupun pemecahan protein tidak diinginkan, tetapi tidak semua senyawa hasil
pemecehan protein seperti amoniak dan asam amino yang dihasilkan hilang apabila
dikonsumsi ternak. Amoniak dan asam amino dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk
mencerna serat dan bereproduksi membentuk protein mikroba.
Transformasi N lain yang mungkin terjadi selama pembuatan silase adalah reaksi
browning yang terjadi ketika dihasilkan panas yang berlebihan. Panas yang berlebihan
menyebabkan terjadinya reaksi kimia yang mengkombinasikan asam amino dengan gula
membentuk zat yang mirip lignin. Reaksi ini meningkatkan kadar ADF dan protein yang
tidak dapat larut dalam air. Panas yang berlebihan merupakan indikasi terjadinya
degradasi aerob karena adanya oksigen di dalam silo.

3.6. Additif untuk silase


Berbagai additif dapat diberikan pada silase untuk memperbaiki atau mengubah proses
fermentasi. Additif dapat digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu 1. stimulan fermentasi
seperti inokulan bakteri asam laktat, enzim dan sumber karbohidrat larut air seperti
molasses, 2. penghambat fermentasi seperti asam propionat, asam laktat, asam mineral,
asam format dan garam sulfat dan garam dapur dan 3. sumber-sumber nutrien seperti
urea dan amoniak, dan sebagainya.
3.6.1. Stimulan fermentasi
3.6.1.1. Inokulan bakteri.
Fermentasi silase sangat tergantung pada jenis mikroorganisme yang dapat mendominasi
proses tersebut. Pada rumput tropis, populasi bakteri asam laktat pada umumnya rendah
dan bersifat heterofermentatif yang menghasilkan produk akhir selain asam laktat.

27
Seperti diketahui bahwa fermentasi homofermentatif lebih baik karena mengawetkan
lebih banyak bahan kering dan energi dari pada fermentasi heterofermentatif. Inokulasi
bakteri asam laktat pada silase meningkatkan populasi bakteri asam laktat
homofermentatif yang dapat mendominasi fermentasi untuk menghasilkan silase yang
berkualitas tinggi.
Beberapa jenis bakteri asam laktat yang banyak digunakan sebagai inokulan silase
termasuk Lactobacillus plantarum, L. acidophilus, Pediococcus acidilactici, P.
pentacaceus dan Enterococcus faecium. Inokulan bakteri yang mengandung satu atau
lebih bakteri ini yang terseleksi akan meningkakan kemampuannya mendominasi
fermentasi homofermentatif. Penggabungan beberapa jenis bakteri biasanya memberikan
efek sinergi.
Mikroorganisme pada inokulasi silase sebaiknya: 1. dapat bertumbuh cepat dan
mendominasi mikroorganisme lain yang mungkin ada pada silase, 2. menghasilkan hanya
asam laktat, 3. tahan asam dan menghasilkan pH akhir yang rendah. 4. dapat
menfermentasi glukosa, fruktosa dan sukrosa dan 5. tidak memecahkan asam organik
atau protein.
Oshima et al. (1996) mengembangkan jus bakteri asam laktat (fermented juice epiphytic
lactic acid bacteria = FJLB) dari hijauan yang akan dibuat silase.yang dapat
memperbaiki kualitas fermentasi silase. Cara membuatnya adalah sebagai berikut: 25 g
rumput segar ditambahkan air suling 50 ml dan digiling dengan blender. Cairan disaring
melalui kain kasa 2 lapis dan filtrat dimasukkan ke dalam botol ukuran 100 ml. Kira-kira
3% (b/v) glukosa atau sukrosa ditambahkan ke dalam filtrat. Botol kemudian digoyang-
goyang dan disimpan di dalam inkubator selama dua hari pada temperatur 30o C. Jus
dicampur dengan bahan silase dengan dosis tertentu (misalnya 1%) sebelum dimasukkan
ke dalam silo.
Apabila dibandingkan dengan silase yang tidak diinokulasi, silase yang diinokulasi
dengan bakteri asam laktat yang cukup mengakibatkan pH, kadar asam asetat, asam
butirat dan amoniak N lebih rendah tetapi kadar asam laktatnya lebih tinggi. Kehilangan
bahan kering juga sangat kurang dan daya cerna pada beberapa kasus meningkat.
Inokulasi bakteri biasanya tidak mempengaruhi kadar serat kasar karena bakteri asam
laktat tidak mempunyai kemampuan mendegradasi dinding sel. Kalau terjadi penurunan
kadar serat mungkin disebabkan karena hidrolisis hemisellulosa.
Inokulan bakteri harus berada dalam jumlah yang cukup untuk mendominasi fermentasi
homofermentatif. Dosis inokulan yang paling umum dianjurkan adalah 10 5 bakteri per
gram hijauan segar. Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa kelipatan dua atau
tiga dari jumlah tersebut bermanfaat.

28
Kebanyakan inokulan bakteri tersedia dalam bentuk bubuk atau butiran. Inokulan yang
diberikan dalam bentuk kering sering dicampur kalsium karbonat, skim milk kering,
sukrosa dan zat-zat pembawa lainnya. Juga dapat dicampur dengan air sebelum
digunakan. Produk ini dapat diberikan dengan tangan atau cara lain sesuai dengan
anjuran pembuatnya.
Inokulan bakteri dapat diberikan pada hijauan pada berbagai waktu. Pemberiannya pada
hijauan pada waktu pemotong rumput sangat dianjurkan untuk memaksimalkan waktu
bagi bakteri bersentuhan dengan subtrat yang dapat difermentasi. Inokulan juga dapat
disemprotkan di atas massa hijauan. Distribusi inokulan yang baik sangat dianjurkan
untuk mengefektifkan kerjanya.
3.6.1.2. Enzim
Enzim adalah sejenis protein yang membantu proses metabolisme. Berbagai jenis enzim,
terutama yang mencerna serat dan pati telah digunakan sebagai additif. Additif enzim
dapat mengandung satu enzim kompleks, kombinasi beberapa enzim kompleks atau
kombinasi enzim komplek dengan bakteri asam laktat. Enzim pencerna serat (sellulase
dan hemisellulase) adalah enzim yang paling banyak digunakan pada silase.
Ada dua penyebab pentingnya penambahan enzim pencerna serat pada silase. Yang
pertama, enzim ini dapat mencerna karbohidrat struktural (sellulosa dan hemisellulosa)
yang menghasilkan gula dan selanjutnya dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat
untuk menurunkan pH silase. Ini akan merangsang fermentasi silase dan memperbaiki
kualitas fermentasi dengan meningkatkan kadar asam laktat, mempercepat laju
penurunan pH dan meningkatkan rasio asam laktat dengan asam asetat dan oleh karena
itu mengurangi kehilangan bahan kering. Penurunan pH yang cepat juga membatasi
degradasi dan deaminasi protein hijauan dan menurunkan produksi amoniak. Yang
kedua, pemecahan dinding sel dapat meningkatkan daya cerna yang meningkatkan
ketersediaan energi untuk ternak. Untuk meningkatkan kualitas fermentasi lebih cepat,
hidrolisis sellulosa harus bersamaan waktunya dengan pertumbuhan bakteri asam laktat.
Enzim pencerna serat efektif menurunkan kadar serat pada rumput dan legum yang
dibuat silase dengan kadar air 60 – 70%, tetapi lebih efektif pada rumput dari pada
legum. Perbaikan fermentasi silase dan penurunan kadar serat lebih besar pada rumput
yang belum dewasa dari pada yang telah dewasa dimana hidrolisis dinding sel lebih sulit
dilakukan karena meningkatnya lignifikasi. Enzim memperbaiki fermentasi dengan
merangsang produksi asam, menurunkan pH dan menurunkan kadar amoniak nitrogen.
3.6.1.3. Karbohidrat larut air

29
Karbohidrat larut air telah lama digunakan sebagai zat additif pada pembuatan silase.
Produk yang sering digunakan adalah biji-bijian dan molasses. Karbohidrat larut air
berguna sebagai sumber energi yang dapat difermentasi oleh mikroba agar dapat
menghasilkan lebih banyak asam dan mengurangi kehilangan bahan kering yang tidak
hanya mengurangi kehilangan nutrien, tetapi juga meningkatkan konsentrasi nutrien
untuk fermentasi.
Molasses telah digunakan sebagai stimulan fermentasi selama bertahun-tahun. Molasses
adalah hasil sampingan industri tebu atau gula bit dan mengandung 79% karbohidrat larut
air dimana 45 – 50% terdiri dari sukrosa. Molasses dapat digunakan untuk menambah
gula yang dapat difermentasi pada hijauan yang rendah kadar gulanya seperti rumput
tropis dan legum. Penambahan 20 – 50 kg molasses/ton hijauan dapat mempercepat laju
fermentasi dengan meningkatkan produksi asam-asam organik dan menurunkan pH.
Karena kekentalannya yang tinggi, molasses sulit dicampur dengan silase dan sebaiknya
diencerkan lebih dahulu dengan sedikit air hangat.
Pada banyak percobaan, molasses terbukti efektif mendorong produksi asam laktat,
menurunkan pH dan mengurangi fermentasi bakteri clostridia dan proteolisis serta
mengurangi kehilangan bahan organik. Dalam suatu reviu, disimpulkan bahwa
pemberian molasses tidak mengubah daya cerna dan performa ternak walaupun konsumsi
meningkat. Hasil-hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan gula pada
pembuatan silase meningkatkan jumlah bakteri asam laktat. Dari kedua jenis gula yaitu
glukosa dan fruktosa, glukosa yang lebih baik sebagai substrat untuk fermentasi karena
beberapa komponen fruktosa diubah menjadi mannitol yang tidak mempengaruhi pH.
Tetapi glukosa diubah menjadi asam laktat dan asam lemak mudah menguap (volative
fatty acid) yang dapat menurunkan pH lebih cepat (Yunus et al.,2000).
Molasses dan gula lain atau sumber-sumber yang mengandung energi yang tinggi
sebaiknya tidak ditambahkan pada silase jagung, sorghum atau rumput temperate karena
ketersediaan gula yang berlebihan dapat merangsang pertumbuhan ragi dan
meningkatkan kerusakan silase. Pemberian molasses juga tidak dianjurkan apabila kadar
bahan kering hijauan rendah karena kebanyakan sumber-sumber karbohidrat dapat hilang
bersama rembesan selama beberapa hari yang pertama dari proses ensilase.
Akhir-akhir ini, tepung biji-bijian dan umbi-umbian atau hasil samping pengolahannya
seperti tepung jagung, tepung ubi kayu, dedak padi dan lain-lain telah digunakan sebagai
sebagai zat-zat additif. Tujuannya tidak hanya merupakan subtrat yang dapat
difermentasi tetapi juga mengurangi kelebihan air pada silase. Untuk mengoptimalkan
keefektifannya, harus ditambahkan dalam dosis yang cukup dan dicampur dengan baik
dengan hijauan yang sudah dicincang. Tepung ubi kayu dan bungkil kelapa dengan dosis

30
5% (berat segar) yang ditambahkan pada rumput benggala dilaporkan memperbaiki
kualitas fermentasi dibandingkan dengan kontrol tetapi tepung ubi kayu mempunyai
pengaruh yang lebih baik. Kombinasi jenis-jenis karbohidrat sering memberikan hasil
yang lebih baik dibanding dengan pemberian sendiri-sendiri. Kombinasi molasses dengan
dedak padi lebih memperbaiki kualitas fermentasi dan meningkatkan penggunaannya
pada domba dibanding dengan pemberian molasses atau dedak padi secara sendiri-
sendiri.
3.6.2. Penghambat fermentasi
Pada kondisi dimana rumput dan legum digunakan untuk membuat silase dan pelayuan
sulit dilakukan, metode lain dapat dilakukan untuk membuat silase yang baik. Ini
termasuk penambahan asam-asam.
Asam-asam yang dapat yang dapat digunakan sebagai zat addtif pada silase dapat
digolongkan atas:
1. Asam an organik seperti HCl dan H2SO4, biasa digunakan dengan konsentrasi 4-5%.
Sifat korosif zat-zat tersebut sangat membatasi penggunaannya.
2. Asam organik seperti asam format, asam laktat dan asam propionat. Asam-asam ini
kurang korosif tetapi tetap memerlukan persyaratan dalam penggunaannya.
3. Campuran asam-asam dengan formalin. Formalin biasanya dicampur dengan H2SO4.
Asam format merupakan zat additif yang telah lama digunakan di Inggris dan negara-
negara Skandinavia. Asam format merupakan additif yang paling memberikan
pengaruh yang positif terhdap kualitas silase. Penambahan asam format pada waktu
pembuatan silase dapat mencegah kerusakan kualitas silase akibat kondisi ensilase
yang kurang menguntungkan. Dapat ditambahkan dengan dosis 1,75 – 5 kg cairan (80
% asam format) per ton hijauan segar. Dosis yang lebih tinggi dianjurkan untuk
rumput atau legum yang basah.
3.6.2.1. Asam-asam
Banyak produk yang dapat ditambahkan pada hijauan pada waktu pembuatan silase
dengan tujuan memperbaiki stabilitas aerob termasuk asam benzoat, asam sorbet dan
asam sitrat tetapi asam propionat mempunyai aktivitas anti jamur terbesar. Asam
propionat efektif menghambat pertumbuhan ragi dan kapang yang menyebabkan
kerusakan aerob pada silase. Pengaruh anti jamur asam propionat didorong oleh
penurunan pH yang membuatnya sangat baik untuk memperbaiki stabilitas aerob silase
jagung akibat pH rendah. Pada waktu yang lalu, stabilitas aerob diperbaiki ketika
sejumlah besar asam propionat (1 – 2% bahan kering) ditambahkan pada silase , tetapi

31
dalam beberapa kasus, dapat menghambat fermentasi. Dosis pemberian asam propionat
bervariasi tergantung pada kadar air silase dan lama penyimpanan, makin tinggi kadar air
dan makin lama penyimpanan, makin tinggi pula kadar asam propionat yang diberikan.
Asam propionat sulit ditangani karena bersifat korosif. Oleh karena itu garam-garam
seperti kalsium, natrium dan ammonium propionat sering digunakan pada beberapa
produk komersil. Keefektifan asam propionat berhubungan erat dengan kelarutannya
dalam air. Lebih kuat ikatan antara asam-basa, makin kurang larut produk dan makin
kurang efektif menghambat jamur. Diantara garam-garam tersebut, ammonium propionat
yang paling mudah larut dalam air (90%), disusul oleh natrium propionat (25%) dan
kalsium propionat (5%).
3.6.3. Sumber-sumber nutrien
3.6.3.1. Senyawa nitrogen bukan protein
Hijauan sering kekurangan nutrien ketika digunakan sebagai sumber pakan ruminansia.
Kualitas nutrisi tanaman dapat ditingkatkan dengan suplementasi additif pada waktu
pembuatan silase. Additif yang sering digunakan dalam hal ini adalah senyawa nitrogen
bukan protein seperti NH3 dan urea yang dapat meningkatkan kadar protein silase.
Penambahan urea merupakan metoda yang umum dan murah untuk meningkatkan suplai
N bagi ternak ruminansia yang diberikan silase di daerah tropis. Urea dan NH 3 juga
diketahui memperbaiki stabilitas aerob silase, mengurangi pemanasan dan menurunkan
degradasi protein. Selama fase awal pembuatan silase, urea dengan mudah
didekomposisi menjadi NH3 oleh enzim urease yang berasal dari tanaman dan mikroba
(Stephaine and Simon, 1992). Walaupun pemberian urea meningkatkan kadar protein
kasar, tetapi dapat menurunkan kualitas fermentasi akibat dibebaskannya NH 3. Tetapi
pemberian kombinasi urea dan molasses dapat meningkatkan kadar protein dan kualitas
silase fermentasi.
Tingginya pH pada silase beracun bagi jamur dan banyak bakteri, sehingga urea atau
amoniak dapat memperbaiki kestabilan aerobik silase. Bakteri yang mendegradasi protein
juga tidak aktif pada pH yang tinggi. Untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri
clostridia dan mengurangi kehilangan bahan kering, NPN sebaiknya hanya ditambahkan
pada silase yang kadar airnya kurang dari 70 %.
Urea mengandung 280 % protein kasar dan amoniak 512 % protein kasar. Oleh karena
itu, pemberian zat-zat tersebut dalam jumlah yang sedikit saja dapat meningkatkan kadar
protein kasar dalam jumlah yang besar. Silase jagung dan sorgum mengandung protein
kasar yang rendah (rata-rata 8 % bahan kering) sehingga dianjurkan untuk memberikan
amoniak atau urea pada silase utuk meningkatkan kadar proteinnya.

32
Dosis amoniak dan urea yang dianjurkan diberikan pada silase jagung dengan kadar
bahan kering 35 % masing-masing adalah 3 - 4 kg/ton dan 4,5 – 6,3 kg/ton. Dianjurkan
tidak memberikan amoniak dan urea melebihi dosis yang dianjurkan karena amoniak dan
urea dapat menyangga atau meningkatkan pH silase. Diketahui bahwa silase dengan pH
akhir yang tinggi tidak awet dalam waktu lama. Amoniasi jagung atau hay juga dapat
mengurangi kerusakan akibat fermentasi, meningkatkan daya cerna dan merangsang
konsumsi pakan.
Silase jagung yang diamoniasi dengan amoniak atau urea dapat meningkat kadar
proteinnya menjadi 12 – 13%. Ini mengurangi kebutuhan suplementasi protein pada
ternak. Keuntungan lain dari pemberian NPN pada silase adalah menurunnya kerusakan
protein selama fermentasi. Selama fermentasi yang normal, banyak protein yang dipecah
menjadi asam amino atau peptida. Senyawa ini dengan cepat dirombak di dalam rumen
ketika silase dikonsumsi oleh ternak. Rendahnya pemecahan protein sangat baik untuk
meningkatkan jumlah protein yang tidak didegradasi di dalam rumen (protein bypass)
sehingga dapat dicerna di usus halus. Urea dan amoniak juga dapat ditambahkan pada
silase untuk meningkatkan daya cernanya. Gas NH3 yang terbentuk selama proses
ensilase dapat merenggangkan ikatan karbohidrat struktural dengan lignin sehingga
memudahkan bakteri rumen untuk mencerna karbohidrat struktural.
3.6.3.2.Mineral
Mineral seperti kalsium, fosfor, sulfur dan magnesium dapat ditambahkan pada hijauan
waktu pembuatan silase. Biasanya tidak berpengaruh terhadap fermentasi tetapi
membuat silase lebih lengkap nutrisinya. Mineral biasanya ditambahkan pada silase
apabila silase merupakan sumber pakan tunggal. Apabila ditambahkan konsentrat,
sebaiknya mineral ditambahkan pada konsentrat.

3.7. Penilaian kualitas silase


3.7.1. Penilaian secara fisik
Kualitas silase secara fisik dapat dinilai dari warna, bau, rasa dan sentuhan
1. Warna: Pada umumnya warna kuning pucat menunjukkan kualitas silase yang baik.
Apabila warnanya coklat gelap sampai hijau gelap, silase mengalami
fermentasi tidak baik sehingga kualitasnya jelek.
Silase berjamur: jamur tumbuh ketika ada oksigen. Ini didorong oleh
lambatnya pengisian dan pengeluaran ke dan dari dalam silo, cincangan
terlalu panjang, kurang padat sehingga udara masuk ke dalam silo.

33
(2).Bau: Bau asam atau asam manis menunjukkan kualias yang baik. Sebaliknya
apabila ada bau busuk sehingga seseorang tidak ingin mendekatkan silase di
dekat hidungnya menandakan kualitasnya buruk.
Bau cuka menandakan fermentasi didominasi oleh bakteri yang menfermenta-
si gula menjadi asam asetat. Terjadi apabila kadar bahan kering dan kadar
karbohidrat yang larut dalam air rendah.
Bau alkohol menandakan fermentasi didominasi oleh ragi. Ini didorong oleh
lambatnya pengeluaran oksigen, silo bocor atau rendahnya kadar gula.
(3). Rasa: Apabila silase rasa asam dan tidak masalah apabila dimasukkan di mulut,
kualitasnya baik. Sebaliknya apabila rasa silase pahit dan tidak baik rasanya,
kualitasnya buruk.
(4) Sentuhan: Ketika digenggam dan ditekan dengan kuat kemudian tangan dibuka, silase
pecah pelan-pelan menjadi dua, silase berkualitas baik. Apabila silase pecah
menjadi terpisah-pisah, silase kekurangan air. Apabila air menetes, kadar air
silase terlalu tinggi.
3.7.2. Penilaian secara kimia
Parameter yang sering dipakai dalam menilai kualitas silase secara kimia adalah:
3.7.2.1. pH
pH adalah indikator penting dalam menilai kualitas silase. Silase yang berkualitas baik
mempunyai pH 4,2 atau kurang. pH hijauan pada waktu panen biasanya antara 6,0 – 7,0
dan setelah fermentasi yang efektif turun menjadi 4,0 atau dibawahnya. Kecepatan
turunnya pH sangat penting dalam meminimalkan kehilangan nutrien selama pembuatan
silase. Turunnya pH dengan cepat sangat baik karena menurunkan jumlah bakteri
clostridia yang dapat menfermentasi karbohidrat larut air; juga dapat menfermentasi asam
laktat menjadi asam butirat, asam propionat, etanol dan butanol.
3.7.2.2. Kadar asam laktat
Jumlah asam laktat yang dibentuk sangat penting karena proporsinya dengan asam asetat
atau asam butirat merefleksikan kecepatan fermentasi. Penelitian menunjukkan bahwa
pada fermentasi yang ideal, sebaiknya rasio asam laktat dan asam asetat adalah minimum
3 : 1 dan sangat rendah kadar asam butiratnya. Perkiraan proporsi relatif asam-asam
tersebut sebaiknya (berdasarkan bahan kering). :
Asam laktat 4,0 – 6,0%
Asam asetat 1.0 – 3,0%

34
Asam butirat dibawah 0,1%
Silase yang kadar asam asetat > 3 - 4% dan asam butirat > 0.5% menunjukkan fermentasi
yang tidak diinginkan dan berhubungan dengan rendahnya konsumsi bahan kering.
Silase dengan kadar asam butirat yang tinggi rendah kandungan energinya dan telah
mengalami kerusakan protein yang besar sehingga meningkatkan fraksi protein terlarut
dan kehilangan bahan kering (Kung and Stokes, 2013).
3.7.2.3. Kadar amoniak nitrogen
Ini merupakan indikator lain kualitas fermentasi. Amoniak nitrogen sebaiknya tidak lebih
besar 10% dari total N pada silase. Apabila nilainya lebih besar, menunjukkan bahwa
telah terjadi pemecahan protein yang cukup besar. Silase demikian mengandung banyak
protein terlarut. Pemecahan protein ini biasanya terjadi pada bahan yang segar (kadar
bahan kering < 35%) atau fermentasi clostridia yang mengakibatkan kehilangan bahan
kering dan energi yang besar.
3.7.2.4.Kehilangan bahan kering
Apabila fermentasi homofermentatif terjadi, kehilangan bahan kering sangat sedikit,
tetapi apabila kehilangan bahan kering cukup besar, menunjukkan telah terjadi fermentasi
heterofermentatif atau kerusakan oleh bakteri clostridia.

3.8. Struktur penyimpanan silase


Silase biasanya disimpan di dalam suatu tempat yang disebut silo dengan struktur semi
kedap udara sampai kedap udara yang dirancang untuk terjadinya kondisi an aerob.
Jenis silo secara garis besar dapat dibagi atas silo horizontal dan silo tegak. Pada silo
horizontal, timbunan silase tidak terlalu tebal untuk memudahkan pengepakan tetapi agak
panjang supaya dapat memuat banyak silase.. Pada kategori pertama termasuk silo
lubang (pit silo), silo parit (trench silo) dan silo bunker (bunker silo), tumpukan silase
yang ditutup plastik dan silo kantong. Pada kategori kedua termasuk silo menara (tower
silo).
3.8.1. Silo lubang
Silo lubang (pit silo) atau biasa disebut silo parit (trench silo) adalah silo yang digali di
dalam tanah, biasanya di lahan miring di pinggir bukit dengan bagian depan menghadap
kemiringan lahan untuk memudahkan akses, pengisian silo dan pengambilan silase untuk
diberikan pada ternak. Silo bunker dibangun di lahan yang rata dengan dinding yang
menonjol di atas permukaan tanah (Gambar 7).

35
Gambar 7. Silo bunker
Ukuran silo parit atau silo bunker bervariasi sesuai dengan kebutuhan. Di negara-negara
maju, biasanya 12 – 60 m panjang dan lebar 6 – 18 m lebar dan 12 - 60 m dengan
kapasitas 36 – 1450 ton bahan kering. Pada silo yang besar, silo diisi dengan
menggunakan truk dari bagian depan yang terbuka. Untuk mengurangi respirasi, silo
harus diisi secepatnya dan segera ditutup dengan rapat untuk mengurangi respirasi
lanjutan. Silo horizontal lebih murah pembuatannya, lebih mudah diisi dan lebih mudah
diadaptasikan dengan sistim pemberian silase pada ternak dari pada silo menara. Tetapi
lebih mudah rusak akibat hujan, angin, burung dan tikus dari pada silo menara.
Silo dapat dibuat dari berbagai bahan seperti kayu, tanah, tembok atau beton. Beton lebih
tahan lama dan lebih tahan terhadap tekanan tinggi dari pada bahan lainnya tetapi lebih
mahal. Dinding kayu memungkinkan lebih banyak udara masuk ke dalam silo apabila
tidak ditutup dengan baik tetapi lebih murah. Dinding dan lantai yang terbuat dari tanah
biayanya lebih murah tetapi membutuhkan pemeliharaan tahunan dan dapat mengotori
silase. Untuk penggunaan yang lama, dinding dan lantai silo sebaiknya terbuat dari beton.
Setelah silo dibuka untuk pemberian silase pada ternak, kerusakan silase dapat dikurangi
dengan mengambil silase secara merata di seluruh permukaan sehingga permukaan silase
setelah diambil tetap rata. Setelah diambil, silase harus segera ditutup kembali. Silase
yang terbuka selama empat hari setelah pengambilan untuk diberikan pada ternak nilai

36
gizinya sangat menurun karena ditumbuhi jamur. Pemberian silase yang berjamur pada
ternak sangat menurunkan konsumsi bahan kering.
3.8.2. Silo menara
Silo menara berbentuk seperti peluru raksasa yang berdiri menjulang di atas permukaan
tanah. Diameter berkisar 5 - 9 m dan tinggi 15 – 24 m dengan kapasitas 77 – 68 ton. Silo
menara mempercepat pemadatan silase karena silase yang disimpan dengan kolom tinggi
menekan massa silase dibawahnya dan mengeluarkan udara diantara dan di dalam silase.
Pengisian yang cepat mempercepat pengeluaran udara dan hijauan muda dapat dilayukan
sampai kadar air rendah dengan kerusakan bahan kering sedikit. Kehilangan bahan kering
sangat rendah sehingaa lebih baik dari pada silo parit atau silo bunker. Dengan peralatan
yang modern, silo menara dapat diisi hijauan dan silase dapat dikeluarkan dengan cepat.
Bentuk silo menara dapat dilihat pada Gambar 8.

37
Gambar 8. Silo menara
3.8.3. Silo kantong
Struktur penyimpanan yang paling sederhana adalah silo kantong dan tumpukan silase
yang ditutup dengan plastik. Silo kantong dapat dibagi atas 2 jenis yaitu yang
menggunakan kantong plasik besar dan yang kecil. Silo kantong plasik besar digunakan
untuk mengawetkan hijauan dalam jumlah banyak. Silo kantong kecil dapat dilihat pada
gambar 8.

Gambar 9. Silo kantong plastik


Keuntungan silo kantong plastik
1. Silo kantong plastik merupakan alternatif penyimpanan yang ekonomis dibandingkan
dengan sistim penyimpanan yang konvensional
2 Merupakan tempat yang baik untuk mengawetkan silase dengan kehilangan
nutrien yang kurang. Lingkungan an aerob yang tercipta mengurangi kerugian
akibat pertumbuhan jamur dan bakteri yang tidak baik dan menjaga agar nutrien tidak
rusak.
2.Memudahkankan petani menyimpan silase pada tempat yang diperlukan, asalkan
tempat tersebut mempunyai drainase yang baik.
4. Silase dapat ditutup sempurna pada silo kantong. Ini berarti semua asam-asam dan
nutrien tertahan di dalam silase. Ini berbeda dengan dengan silo lubang (pit silo)
dimana air atau nutrien dapat merembes ke bagian bawah silo. Penutupan yang lebih
baik ini dapat mengkompensasi kerusakan hijauan akibat cincangan yang lebih
38
panjang dan pemadatan yang kurang pada silo kantong dibandingkan dengan silase
yang disimpan dalam silo konvensional.
5.Pembuatan silo dalam kantong mengurangi pekerjaan berat dengan harus mengambil
silase tiap hari untuk diberikan pada ternak.
6.Karena hanya kantong yang dikeluarkan isinya waktu akan diberikan pada ternak,
ini berarti kantong lain yang tidak dibuka tetap awet. Pada silo lubang, banyak silase
yang rusak karena penutupan kembali yang tidak baik waktu silase diambil untuk
diberikan pada ternak.
Terdapat beberapa kekurangan penggunaan silo kantong yaitu:
1. Pengontrolan hama terutama tikus sangat penting untuk mencegah kerusakan
silase yang disimpan di dalam silo kantong
2. Kantong yang telah dibuka dan rusak sering menjadi masalah dalam pembuangan
3. Diperlukan pencincangan hijauan sebelum dimasukkan ke dalam kantong.
Disamping lebih banyak udara yang dapat dikeluarkan dari dalam silo, pencincangan
yang halus mengurangi resiko tertusuknya silo kantong oleh tanaman.
Pengepakan kantong silase dengan benar merupakan faktor yang sangat penting yang
mempengaruhi kualitas silase. Pilihlah kantong plastik yang baik. Kantong plastik
dengan ketebalan yang tinggi tanpa lubang dengan berbagai ukuran dan ketebalan
tersedia di pasaran. Kantong bagian dalam (apabila lebih satu lapis kantong yang
digunakan) juga cenderung tertusuk oleh hijauan sehingga dianjurkan untuk
menggunakan kantong yang tebal.
Kerusakan kantong dapat terjadi karena berbagai sebab seperti gigitan tikus, burung dan
hewan lain yang dapat melubangi kantong plastik. Untuk pemeliharaan kantong yang
berisi silase, rekomendasi berikut sebaiknya diikuti:
1. periksa kantong plastik secara teratur dan tutup lubangnya,
2. jangan biarkan anjing, kucing dan hewan lain memanjat tumpukan kantong
plastik,
3. jangan biarkan kantong terbuka,
4. apabila kerusakan cukup banyak, silase sebaiknya segera dimasukkan ke dalam
kantong baru.
5. Sesudah silase dikeluarkan, kantong sebaiknya dicuci dengan hati-hati lalu
dikeringkan dan disimpan di tempat yang aman untuk dipakai kembali.
Sewaktu mengisi kantong plastik, rekomendasi berikut sebaiknya diikuti:
1. jangan biarkan hijauan berkontaminasi dengan dengan kotoran,

39
2. masukkan hijauan ke dalam silo dengan tingkat kedewasaan yang baik dengan
kadar air 60 - 70%,
3. pengisian ke dalam silo sebaiknya dilakukan tidak lebih 24 jam setelah panen,
4. isilah kantong dengan cepat dan dipak dengan seragam,
5. silase harus dipak sepadat mungkin untuk menghindari adanya kantong-kantong
udara yang dapat mengganggu fermentasi yang baik. Kantong udara sering
dijumpai pada hijauan yang dipotong panjang,
6. hijauan ditekan dengan kuat dan hati-hati dengan tangan untuk mengeluarkan
udara dan sementara ditekan, kantong ditutup rapat.
3.8.3.Tumpukan silase
Sistim penyimpanan silase yang paling murah adalah tumpukan silase yang ditutup
dengan plastik dimana diatasnya dimuati dengan pemberat seperti ban-ban mobil bekas.
Biaya tahunan pada sistim penyimpanan ini hanya tempat, plastik dan ban-ban bekas.
Kerusakan bahan kering pada sistim penyimpanan ini cukup besar tetapi analisis yang
membandingkan berbagai sistim menunjukkan bahwa sistim ini cukup ekonomis.
Kehilangan bahan kering yang tinggi terjadi karena luasnya permukaan yang terbuka dan
kesulitan yang dijumpai dalam pengepakan.
3.9. Banyaknya silase yang dibuat
Banyaknya silase yang dibuat tergantung pada beberapa faktor seperti jumlah dan berat
ternak yang akan diberikan makanan, lama dan banyaknya pakan yang diberikan, ruang
penyimpanan yang tersedia, jumlah makanan yang berlebih, kadar bahan kering pakan,
ketersediaan buruh dan total biaya. Contoh berikut memperlihatkan perhitungan
kebutuhan silase untuk petani yang memelihara beberapa ekor ternak.
Seorang petani mempunyai empat ekor sapi perah yang sedang menyusui dan diberikan
makanan selama 90 hari sebanyak 20 kg silase per ekor/ hari sebagai suplemen terhadap
hijauan segar dan konsentrat. Apabila tidak dilayukan, 20 kg bahan segar dengan kadar
bahan kering 20% menyediakan 4 kg bahan kering.
Kebutuhan silase untuk 4 ekor selama 90 hari = 4 (ekor) x 20 kg x 90 hari = 7200 kg atau
7,2 ton.
Pada kebanyakan sistim penyimpanan, terdapat kira-kira 15 % kehilangan bahan kering
akibat fermentasi (dapat lebih tinggi apabila udara luar masuk ke dalam silo). Untuk
silase sebanyak 7,2 ton, banyaknya bahan segar yang perlu disimpan adalah:
7200 + (15 % x 7200) = 8,5 ton bahan segar

40
Ketika dipadatkan, silo lubang atau tumpukan berisi, katakanlah 300 kg/m 2 bahan segar,
sehingga volume penyimpanan yang dibutuhkan adalah 8500 kg : 300 kg/m3= 28 m3.
Apabila tumpukan silase lebar 1,5 m dan tingginya 1,0 m, maka panjang silo seharusnya
= 28 m3 : (1,5 m x 1,0 m) = 18,7 m (dibulatkan menjadi 19 m).
Ukuran silo ini terlalu panjang dan petani kecil dianjurkan untuk membaginya menjadi
dua bagian dengan panjang masing-masing 9,35 m atau tiga tumpukan dengan panjang
masing-masing 3,2 meter. Lebih banyak silo juga meningkatkan fleksibilitas sistim
penyimpanan, sebagai contoh dua silo masing-masing dapat diisi dengan silase yang
dipanen pada tingkat pertumbuhan yang berbeda.
Apabila silase diberikan untuk 4 ekor ternak sebanyak 80 kg/hari, maka ketebalan silase
yang diambil di permukaan silase diambil tiap hari = (1,5 m x 1,0 m x 300 kg/m2) x =
80 kg = 0,177 m. Oleh karena itu, untuk memberi makan empat ekor sapi selama tiga
bulan, petani tersebut membutuhkan 7,2 ton silase dan menyimpannya dalam dua atau
tiga bagian silo dengan ukuran l,5 m lebar, 1,0 tinggi dengan panjang keseluruhannya
18,7 m.
3.10. Haylage
Haylage adalah sistim pengawetan hijauan yang lebih segar dari pada hay tetapi lebih
kering dari pada silase. Pada haylage, hijauan diawetkan dengan proses kombinasi
pembuatan hay dan silase. Hijauan yang mengandung air 50% dibuat bal berbentuk bulat
dan kemudian dibungkus dengan rapat dengan kantong plastik. Di negara-negara maju,
pemanenan, pelayuan dan pembuatan menjadi bal dilakukan dengan mesin-mesin
tertentu dan tidak praktis bagi petani yang hanya memelihara beberapa ekor ternak. .
Dengan cara ini, sepanjang udara tidak masuk ke dalam massa silase, bal menjadi silo
kecil dimana fermentasi anaerob terjadi. Walaupun semua hijauan dapat dibuat haylage,
dianjurkan menggunakan hijauan berkualitas tinggi, karena tingginya biaya pengepakan.
Keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan sistim ini berhubungan dengan aspek
agronomi dan nutrisi yaitu:
1. kehilangan yang disebabkan oleh cuaca berkurang karena pendeknya lama
pengeringan.
2. karena proses ensilase menggunakan hijauan segar, kehilangan di lapangan (terutama
daun) yang berasal dari suplai produksi dan distribusinya dapat diminimalkan,
3. sejak kondisi anaerob diciptakan, proses fermentasi dimulai lebih cepat’,
4. kebutuhan buruh untuk pembuatan bal menjadi rendah,
5. tidak membutuhkan fasilitas penyimpanan yang khusus,
6. mudah diberikan pada ternak,

41
7. kehilangan akibat penyimpanan rendah (3 – 7 %).
Kekurangan haylage adalah
1. bal yang berat membutuhkan peralatan yang lebih kuat dan berat,
2. meningkatnya biaya,
3. potensi kerusakan silase lebih besar
Dengan melayukan hijauan sampai kadar air 50 – 60%, fermentasi akan lebih baik karena
lebih tingginya kadar gula yang larut dalam air dari pada yang lebih basah dan
kehilangan rembesan (seepage) lebih sedikit. Banyaknya hijauan yang dipotong
disesuaikan dengan kondisi pengeringan, pembuatan bal dan penutupan.

42
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2013. Deciphering Hay Quality. www.ker.corn /library/equinews/ v9n2


/v9n210.pdf
Barnes, R.F., C.J. Nelson, M. Collilns and K.J. Moore, 2003. Forages. 6 th Edition.
Blackwell Publishing.
Benavides, J., I.Hernendes., J. Esquivel, J. Vasconcelos and J. Gonzales. 2000.
Supplementation of dairy cattle with mulberry in Costa Rica. In “ Mulberry for
Animal Production” Electronic conference
43
Boschini, C.F. 2000. Nutritional quality of mulberry cultivated for animal feeding. In “
Mulberry for Animal Production”. Proceeding of Electronic Conference Carried
out between May and August, 2000. Food and Agriculture Organization of the
United Nations.
Bosworth, S. and D. Hudson, 2013. Sensory Evaluation of Hay for Quality. University of
Vermont Extension. http://pss.uvm.edu/vtcrops/articles/ Sensory_Evaluation _Hay_
UVM.pdf. Accessed on May 15, 2013.
Chanchay, N. and N. Poosaran, 2009. The reduction of mimosine and tannin contents in
leaves of Leucaena leucocephala. Available on line: www.ajofai. Diakses 20
Maret 2013.
Cheema, U.B., J.I. Sultan, A. Javaid, P. Akhtar and M. Shahid, 2011. Chemical compo-
sition, mineral profile and in situ digestion kinetics of fodder leaves of four native
trees. Pak. J. Bot., 43 (1): 397 – 404.
Chowdhury, S.A. 1997. Effect of low levels of foliage supplementation on intake,
nutrient digestibility and microbial N yield in cattle fed rice straw alone. AJAS, 10
(3) : 265 – 273.
Collins, M. 1999. Reducing the Risk of Rain Damaged Hay. Department of Agronomy,
Faculty of Agriculture, University of Kentucky, USA.
Crowder, L.V., and H.R. Chheda, 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longman
Group Limited.
Cuong, V.C., M.W.A. Verstegen, W.A. Hendriks and K.C. Pham, 2011. The nutritive
value of Mulberry leaves (Morus alba) and partial replacement o cotton seed in
rations on the performance of growing Vietnamese cattle.. Asian Aust. J. Anim.Sci.
24 (9) :1233 – 1242.
Foroughbakhch, P.R., A.C. Parra, A.R.Estrada, M.A.A.Vazquez and M.L.C. Avila,
2012. Nutrient content and in vitro dry matter digestibility of Gliciridia (Jack)
Walp. And Leucaena leucocephala (Lam.De Wit). J. Anim. and Vet. Adv. 11 :
1708 – 1712
Garcia, G.W., T.U. Ferguson, F.A. Neckles and K.A.E. Archibald, 1996. The nutritive
value and forage productivity of Leucaena leucocephala. Anim. Feed Sci and
Technol. 60 : 29 – 41.
Hamito, D. 2012. How to Make and Conserve Hay. Technical Bulletin No. 6. ESGPIP.

44
Henning, J.C. and H.N.Wheaton, 1993. Making and Storing Quality Hay. University of
Missouri Extension. http://extension.missouri.edu/p/G4575,
Hammond, A.C. and J. Mc William, 2012. Ruminal Bacteria Prevent Leucaena Toxicity
in Cattle. http://fadr,msu.ru/rodale/agsieve/txt/vol2/5/art2.html. (x)
Karbo., N., P. Barnes and H. Rudat. 1993 An evaluation of forage preferences by sheep
and goats in Northern Guinea Savannah zone. In “ Sustainable Feed Production and
Utilization for Smallholder Livestock Enterprises in Sub-Saharan Africa. Ed. by J.
Ndikumana and P. de Leew. African Feed Resource Network.
Karim, A.B., E.R. Rhodes and P.S. Savill, 1991. Effect of cutting height and cutting
interval on dry matter yield of Leucaena leucocephala (Lam) De Wit. Agroforestry
System. 16 : 129 – 137.
Katsumata, 1972. Mulberry species in West Java and their pecularities. J.Sericultural Sci.
Japan, 42 (3): 213 – 223.
Komolong, M.K., 2003. Condensed tannin of fresh leucaena forages and their role in
protein digestion and nitrogen retention of weaner sheep. PhD Thesis. University of
Queensland.
Kung, L. and M.R. Stokes, 2013. Analyzing silages for fermentation end products.
University of Delaware, Newark.
Liu, J.X., J. Yao, B.J. Yan, Z.Q. Shi and X.Q.Wang, 2000. Mulberry leaf supplement fed
rice straw. In “Mulberry for Animal Production” Electronic Conference Carried Out
from May to August 2000. Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Mahyuddin, P., P.B. Little and J.B. Lowry, 1988. Drying treatment drastically affects
feed evaluation and feed quality with certain tropical forage species. Anim. Feed Sci.
Technol. 22 : 69 – 78.
McDonald, P. 1981. The Biochemistry of Silage. John Wiley and Sons, New York.
Miller, S.M. and R.P. Thompson, 2003. Developing urea-molasses feed blocks in the
Falklands island. Livestock Research for Rural Development, 25 (3).
Moore, J.E. and D.J. Undersander, 2002. Relative Forage Quality. A Proposal for
Replacement for Relative Feed Value. Proceedings National Testing Association.
Nitis, I.M., K.Lana, W.Sukanten, S. Putra, and T.G.O. Premayun, 2016. Growth and
reproductive performance of Bali heifer in three strata forage system.
http://www.fao.org/ag/agp/agpc/doc/publicat/VIET95/V95_1.PDF

45
Oshima, M. E. Kimura and H. Yokata, 1996. A method of making good quality silage
from direct cut alfalfa by spraying previously fermented juice. Anim. Feed Sci.
Technol. 66 : 129 – 137.
Palmer, B and T.M. Ibrahim, 1996. Calliandra calothyrsus forage for the tropics. In: Pro-
ceeding of the International Workshop on the genus Calliandra. 23rd – 27th January
1996, Bogor, Indonesia.
Palmer, B. and A.C. Schlink, 1992. The effect of drying on intake and rate of digestion of
the shrub legume Calliandra calothyrsus. Trop. Grassld, 26 : 89 – 93.
Peterson, R.T., P. Philip and P. Maynard, 1986. A Guide to Improved Pastures for the
Drier Areas of the Eastern Caribbean. Caribbean Agricultural Research and
Development Institute, St. John’s, Antigua.
Paul, A.A. 2000. Detoxification of mimosine and dihidroxypiridone: A review. Agric.
Rev. 21 (2): 104 – 109.
Phoatong, S. and Phaikaew. 2013. Utilization of Leucaena leucocephala as dry season
protein supplement in Thailand. Petcaburi Animal Research Centre, Thailand.
www.fao.org/ag/agp/AGPC/doc/Newpub/PhilippineProceeding/poathong.pdf
Diakses tgl. 5 Januari 2014.
Raybun, E., 2003. Cut hay early to get the most out of plastic wrapping. West Virginia
University Extension Service.
Rohweder, D.A., R.F. Barnes and N. Jorgensen, 1978. Proposed hay grading standard
based on laboratory analyses for evaluating quality. J.Anim.Sci. 47 : 747 – 759.
Rotz, C.A. 2013. Effectiveness of Equipment to Speed Hay Drying.
http://www.uwex.edu/ces/forage/wfc/proceeding2013/speedhaydrying.htm.
Accessed on June 2, 2013.
Ruaysoongnem,S., H.M. Shelton and D.G. Edwards, 1985. Effects of pot size on growth
of Leucaena leucocephala cv. Cunningham. Leucaena Research Report, 6 : 11 – 13.
Rusdy, M., Budiman and Syamsuddin, 2013. Detoksifikasi dan Kualitas Nutrisi Jonga-
Jonga (Chromolaena odorata) dengan Ensilase pada Ternak Kambing. Laporan
Penelitian Berbasis Kompetisi Internal, Universitas Hasanuddin.
Salawu, M.B., T. Acamovic, C.S. Stewart and B. Maasdorp, 1997. Assessment of the
nutritive value of Calliandra calothyrsus: its chemical composition and the

46
influence of tannins, pipecolic acid and polyethylene glycol on in vitro organic
matter digestibility. Anim Feed Sci. Technol. 69 (1) : 207 – 217.
Sarwatt, S.V., N.A. Urion and A. Ekern, 1992. Evaluation of some tropical forages as
silage. In: Improved Dairy Production from Cattle and Goats in Tanzania. Agricul-
tural Development Reports N. 11 14 – 24.
Schroeder, J.W. 2004. Silage fermentation and preservation. http:www.ag.ndsu.edu/
/pubs/ansci/dairy/as1254w.htm. Diakses 25 November 2013.
Shelton, H.M., and J.L. Brewbaker, 1998. Leucaena leucocephala – the Most Widely
Used Forage Tree Legumes. In “Forage Tree in Tropical Agriculture”. Ed. by R.C.
Gutteridge and H.M. Shelton. Published by Tropical Grassland Society of
Australia.
Singh, B and H.P.S. Makkar, 2000. The potential of mulberry foliage as a feed
supplement in India. In “Mulbery for Animal Production”. Proceeding of Electronic
Conference Carried Out between May and August 2000. Food and Agriculture
Organization.
Smith, J.W., A. Larbi, M.A. Jabbar and J. Akinlade, 1995. Voluntary intake by sheep and
goats of Gliricidia sepium fed in three states and at three levels of supplementation
to a basal diet of Panicum maximum. Agroforstry System, 32 (3) : 287 – 295.
Stephaine, D.C. and R.L. Simon, 1992. Kinetic properties of Helicobacter pylori urease
compared with Jack bean urease. FEMS Microbiol. Rev., 19 : 53 – 68.
Ullrey, D.E. 1997. Hay Quality Evaluation. Nutrition Advisory Gropu Handbook
Undersander, D. and J.E. Moore, 2013. Relative Forage Quality. www.uwex.edu
/ces/crops/uwforage/RFQvsRFV/htm. Diakses tgl. 25 Desember 2013.
Vough, L. 2000. Evaluating Hay Quality. College of Agriculture & Natural Resources
University of Maryland. http://usextension.org/animalag/forage/umd_evaluating hay
quality.htm. Diakses tgl. 15 Mei 2013.
Wahlberg, 2013. Hay as Part of a Cowherd Production System. Virginia Cooperative
Extension. http://pubs.ext.vt.edu/400/400-002/400-002_pdf.
Wong, C.C.and C. Davendra, 1983. Research on leucaena forage production in Malaysia.
In: Leucaena research in the Asian Pacific R egion, IDRC, Ottawa, pp. 55 – 60.
Yunus, M., N. Ohba, M. Tobisa, M. Shimojo and Y. Masuda. 2001. Effect of glucose and
the quality of Napier grass silage after treatment with urea AJAS., 14 (2) : 211 - 215.

47
GLOSSARIUM

Abu: residu yang tersisa setelah semua bahan organik pada sampel telah terbakar secara
sempurna
Acid detergent fibre (ADF): Komponen serat yang paling sulit dicerna. Terdiri dari
lignin, sellulosa, silika dan protein yang tidak dapat larut dalam air. Hijauan yang
mengandung ADF yang tinggi mengandung energi dapat dicerna yang lebih
rendah dari pada mengandung ADF yang rendah.
Acid detergent insoluble protein (ADIP) (insoluble crude protein): fraksi protein
kasar yang tetap berada pada residu ADF. ADIP lolos dari pemecahan di dalam
rumen dan tidak tersedia bagi ternak. Mengandung protein yang rusak karena
panas yang merupakan indikator jumlah pemanasan yang terjadi selama
penyimpanan hay. Rasio ADIP dan kadar protein kasar yang tinggi terjadi apabila
panen terlambat, hay yang dibuat bal terlalu lembab atau haylage yang disimpan
terlalu kering yang mengakibatkan pemanasan berlebihan.
Aerob: membutuhkan oksigen bebas untuk berfungsi, kebalikannya an-aerob yang tidak
membutuhkan oksigen bebas.
Agronomi: ilmu yang mempelajari produksi tanaman dan manajemen tanah
Asam organik: Asam-asam yang dihasilkan oleh sel-sel mahluk hidup yang berfungsi
normal. Asam organik yang umum adalah asam format, asam asetat, asam
propionat, asam butirat, asam laktat dan asam asetat. Asam organik mengandung
ikatan karboksil (COOH).
Asam asetat: salah satu asam lemak mudah menguap dengan rumus kimia CH 3COOH.
Umumnya dijumpai pada silase dan isi rumen.

48
Asam propionat: salah satu asam lemak mudah menguap dengan rumus kimia
CH3CH2COOH.
Bahan kering: Berat segar pakan dikurangi berat air. Karena air melarutkan nutrien dan
tidak banyak mempengaruhi intake, menyeimbangkan dan mengevaluasi bahan
pakan berdasarkan bahan kering sangat penting.
Bahan kering dapat dicerna (digestible dry matter) adalah bagian tanaman yang dapat
dicerna. Bahan kering dapat dicerna dapat dihitung dari kadar ADF dan dapat
menggantikan TDN. Dengan menggunakan kadar ADF, rumusnya adalah: 88,9 –
(0,779 x % ADF).
Bahan pengawet silase: Bahan yang ditambahkan pada silase pada waktu ensilase
untuk memperbaiki proses fermentasi.
Bahan organik: Berat total makanan dikurangi berat air dan mineral.
Bloom: Tanaman pada fase berbunga. Pada manajemen hay, istilah itu umumnya
berhubungan dengan tingkat perkembangan bunga atau kedewasaan legum, tetapi
juga sering dihubungkan dengan perkembangan rumput.
Boot stage : Tingkat pertumbuhan rumput tepat sebelum kemunculan bunga . Tingkat ini
dapat diidentifikasi dengan adanya daerah yang membesar dekat ujung batang
utama.
Daya cerna in vitro: Proporsi pakan yang dapat dicerna dan diabsorbsi oleh ternak.
Ditentukan dengan menginkubasi pakan dalam tabung dengan mikroba rumen yang
diikuti dengan inkubasi pepsin dan asam klorida untuk meniru pencernaan di dalam
lambung dan usus halus.
Daya cerna in vivo : Pengukuran daya cerna bahan kering dengan menggunakan ternak.
Ditentukan dengan mengurangi jumlah bahan kering pakan yang dikonsumsi
dengan jumlah bahan kering feses.
Ekstrak eter: Kadar lemak kasar bahan pakan. Lemak adalah sumber energi dengan
kepadatan 2,25 kali kepadatan energi karbohidrat.
Ensilase: Proses yang terjadi apabila hijauan diawetkan dengan fermentasi an-aerob di
dalam silo.
Enzim: protein yang mempercepat reaksi pada sel-sel hidup tanpa dikonsumsi dalam
proses tersebut.
Epidermis: Sel-sel parenkim yang menyusun bagian luar tanaman

49
Fese vegetatif: istilah yang digunakan untuk menunjukkan perkembangan batang dan
daun yang berlawanan dengan perkembangan bunga dan biji.
Fruktosa: Heksosa yang terutama dijumpai pada buah masak dan madu. Diperoleh
bersama dengan glukosa dari hidrolisis sukrosa.
Full bloom : pada legum tanaman sudah membentuk bunga atau pada rumput semua
karangan bunga sudah terbentuk.
Hay: Hijauan yang dipanen dan disimpan dengan kadar air rendah untuk diberikan
pada ternak selama musim kemarau atau musim dingin.
Haylage: Produk yang dihasilkan dari pembuatan silase yang mengandung air 50 %.
Heading stage : Tingkat perkembangan rumput antara kemunculan awal karangan
bunga pada boot stage sampai waktu karangan bunga muncul dengan sempurna.
Hemisellulosa: Karbohidrat yang terdapat pada hampir semua dinding sel bersama
dengan sellulosa. Berbeda dengan sellulosa yang hanya terdiri dari glukosa,
hemisellulosa terdiri dari banyak gula seperti glukosa, silosa, mannosa, galaktosa,
arabinose dan lain-lain. Hemisellulosa merupakan polimer yang bercabang dengan
rantai 500 – 3 000 satuan gula.
Glukosa: Suatu heksosa yang diperoleh dari hidrolisis pati dan karbohidrat lain. Biasa
juga disebut dekstrosa.
Gulma: Tanaman yang tumbuh pada suatu lokasi yang lebih banyak merugikan dari pada
menguntungkan.
Haylage: Produk yang dihasilkan dari pembuatan silase dengan kadar air 50 % dengan
fermentasi tanpa oksigen.
Hijauan: Bagian tanaman yang dapat dimakan ternak yang menyediakan nutrien untuk
ternak yang merumput atau yang dapat dipanen untuk diberikan pada ternak.
Intake bahan kering : Intake bahan kering diperkirakan dari jumlah pakan yang
dikonsumsi dalam persentase berat badan. Rumusnya adalah: Intake bahan kering
(% berat badan) = 120 / % NDF). Rumus lain adalah 2 – 3% berat badan ternak.
Intake bebas: Intake ad libitum pada ternak yang dicapai dengan memberikan pakan
melebihi kebutuhannya.
In vitro: Sampel makanan yang dicerna di dalam tabung di laboratorium atau di luar
tubuh ternak.

50
In vivo: Sampel makanan yang dcerna diuji di dalam rumen atau lambung ternak.
Kadar air: Kadar air adalah banyaknya air pada pakan. Kadar air = berat segar – berat
kering (oven) / berat segar.
Kadar bahan kering: banyaknya bahan pakan yang bukan air. Kadar bahan kering =
berat kering (oven) / berat segar.
Karbohidrat: Senyawa biokimia yang hanya terdiri dari unsur C, H dan O yang
merupakan sumber energi utama pada ternak. Karbohidrat merupakan polimer
satuan gula sederhana seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa dan gula kompleks
seperti sellulosa dan hemisellulosa Pada tanaman digolongkan atas karbohidrat
struktural dan karbohidrat non struktural
Karbohidrat bukan serat (nonfibrious carbohydrate) atau karbohidrat
nonstruktural: karbohidrat yang tinggi daya cernanya yang tidak ditemukan
dalam fraksi NDF. Rumus: karbohidrat bukan serat = 100 – (% protein kasar + %
NDF + % lemak kasar + % abu).
Karbohidrat struktural: Karbohidrat kompleks yang yang menyusun dinding sel yang
tersusun dari sellulosa, hemisellulosa dan pektin.
Karbohidrat larut air: Karbohidrat yang dapat larut dan diekstraksi dengan air.
Termasuk monosakharida, disakharida dan beberapa polisakharida rantai pendek
terutama fruktosan yang merupakan cadangan makanan utama pada rumput
temperate.
Karoten: Senyawa karbon dan hidrogen yang berwarna kuning pada tanaman;
merupakan prekursor vitamin A.
Kemampuan buffer: kemampuan tanaman untuk bertahan terhadap perubahan pH.
Biasnya dinyatakan daam milliekuivalen/kg bahan kering. Hijauan seperti alfalfa
yang mengandung kadar garam-garam asam organik dan protein yang tinggi
mempunyai kemampuan yang buffer tinggi.
Konsentrat: pakan yang rendah (< 20%) serat kasar dan tinggi (> 60%) total nutrien
yang dapat dicerna (berdasarkan bahan kering).
Kualitas hijauan relatif (relative forage quality): indeks untuk meranking hijauan
berdasarkan intake dan nutrien total yang dapat dicerna (TDN), (bukan atas daya
cerna bahan kering seperti pada indeks pakan relatif).

51
Late bloom : Tingkat perkembangan bunga dimana 2/3 atau lebih tanaman sudah
berbunga.
Legum : Suatu famili tanaman yang dapat bersimbiosis dengan bakteri rhizobia dan
dapat mengubah nitrogen udara menjadi nitrat melalui proses fiksasi.
Lemak kasar : Lemak kasar terutama terdiri dari lipida tetapi juga termasuk waks dan
vitamin yang larut dalam lemak.
Lignin : komponen polimer dinding sel tanaman yang memberikan kekerasan dan
bantuan struktural. Lignin tidak dapat dicerna oleh enzim ternak dan bertanggung
jawab terhadap menurunnya daya cerna tanaman yang sudah tua.
Mikotoksin: Zat-zat racun yang dihasikan oleh jamur.
Molasses: Cairan kental, tebal, berwarna gelap yang mengandung karbohidrat larut air
yang tinggi, mineral dan bahan-bahan lain.
Neutral Detergent Fibre : Total dinding sel, terdiri dari hemiselulosa dan ADF. Nilai
ADF penting karena menunjukkan jumlah hijauan yang dapat dikonsumsi ternak
(intake). Dengan meningkatnya kadar NDF, intake bahan kering menurun.
Nilai nutrisi: Komposisi kimia, daya cerna dan hasil pencernaan pakan.
Nilai pakan relatif (relative feed value): indeks yang dipergunakan untuk meranking
hay atau haylage berdasarkan atas daya cerna dan intake bahan kering. Daya cerna
dan intake diperkirakan masing-masing dari kadar ADF dan NDF. Rumusnya
adalah daya cerna bahan kering x intake bahan kering/1,29.
Nitrogen bukan protein: Senyawa N pada pakan yang berada dalam bentuk bukan
protein tetapi dapat digunakan oleh mikroba rumen untuk mensintesis asam amino
dan protein. Contoh nitrogen bukan protein adalah urea dan amoniak.
Nutrien: Unsur, zat-zat atau kelompok zat-zat kimia yang dapat digunakan sebagai
sumber makanan dan mempunyai fungsi tertentu dalam kehidupan ternak.
Nutrien total yang dapat dicerna (total digestible nutrient - TDN): Nilai yang
digunakan untuk memperkirakan jumlah nutrien dapat dicerna (protein kasar, bahan
ekstrak tanpa N, serat dan lemak). Lemak dikalikan dengan 2,25 karena kadar
energinya lebih tinggi. 1 g TDN rata-rata mengandung 4,4 kilo kalori (kkal).
Palatabilitas: Menunjukkan daya tarik dan akseptabilitas pakan oleh ternak. Palatabilitas
dipengaruhi oleh bau, tekstur, kelembaban dan bentuk fisik hijauan. Hijauan yang
berkualitas tinggi harus tinggi palatabilitasnya karena menentukan banyaknya
ransum yang dapat dikonsumsi.
52
Pati: karbohidrat polisakharida yang terdapat didalam isi sel yang terutama dijumpai
pada biji-bijian dan umbi-umbian. Pati dengan mudah digunakan sebagai sumber
energi. Rumus kimianya adalah (C6H10O5)n.
Pektin: Karbohidrat polisakharida yang terletak diantara sel-sel yang berfungsi sebagai
pengikat sel. Seperti karbohidrat non struktural lainnya, pektin dengan mudah
dicerna di dalam rumen.
Pembakaran spontan: Penyalaan spontan hijauan akibat aksi kimia zat-zat
penyusunnya. Paling sering dijumpai pada hay yang disimpan dengan kadar air
yang tinggi dan disimpan padat.
pH: ukuran keasaman dan kebasaan. Nilai pH berayun antara 0 (paling asam) sampai 14
(paling basa). Air mempunyai pH netral (pH 7). Menurunnya pH menunjukkan
meningkatnya keasaman.
Protease: Enzim yang menyebabkan degradasi atau hidrolisis protein menjadi senyawa
yang lebih sederhana.
Protein: Protein adalah nutrien essensil yang disusun dari rantai panjang berbagai asam
amino. Ternak memenuhi kebutuhan asam aminonya dengan memecahkan protein
tanaman dan protein mikroba dan menyusunnya kembali membentuk protein ternak.
Protein dapat didegradasi: Bagian protein kasar yang dapat didegraasi di rumen dan
menyediakan N bagi bakteri rumen utuk mensintesis protein bakteri.
Protein kasar : Protein kasar meliputi protein murni (true protein) dan senyawa N bukan
protein (NPN) yang ditentukan dari kadar N x 6,25.
Protein by pass: bagian protein yang tidak dapat dicerna di dalam rumen tetapi terutama
dicerna di usus halus.
Protein murni: Protein yang apabila dihidrolisis menghasilkan asam amino.
Protein yang dapat dimetabolisme: Protein yang tersedia bagi ternak, termasuk protein
mikroba dan protein bypass.
Protein yang rusak karena panas: Bagian N yang secara kimia terikat dengan
karbohidrat structural sehingga tidak menyumbang suplai protein baik berupa yang
dapat didegradasi maupun protein bypass. Ikatan ini terjadi karena pemanasan yang
berlebihan pada hay yang dibuat bal dengan kadar air di atas 20 %. Hay yang rusak
karena panas ditandai dengan warna coklat sampai hitam dan berbau seperti rokok.

53
Beberapa protein menjadi terikat dengan gula selama pemanasan dan menyebabkan
protein dan gula tidak dapat dicerna oleh ternak.
Reaksi Maillard: Reaksi antara gula reduksi dengan kelompok asam amino bebas pada
protein yang menghasilkan polimer yang berwarna coklat. Tingginya temperatur dan
pH mendorong reaksi ini. Proses ini menurunkan daya cerna gula dan protein.
Respirasi: Proses oksidasi karbohidrat untuk memperoleh energi.
Rizobia: Spesies bakteri yang hidup pada bintil akar legum dan bersimbiosis dengan
tanaman legum. Bakteri ini memperoleh karbohidrat dari legum dan menfiksasi N
dari udara menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh legum.
Rumen: Bagian depan lambung ternak ruminansia yang berfungsi sebagai tempat
pencernaan serat. Pencernaan umumnya dilakukan oleh mikroorganisme (bakteri,
protozoa dan jamur) yang menghuni rumen.
Ruminansia : Kelas ternak yang mempunyai beberapa organ yang bekerja bersama-sama
untuk melakukan pencernaan. Alat-alat pencernaan terdiri dari rumen, retikulum,
omasum dan abomasum, masing-masing dengan fungsi yang berbeda.
Rumput : Kelompok tanaman monokotil yang mempunyai daun yang panjang dan
sempit, batang berbuku dan bentuk biji seperti buahnya.
Sellulosa: Bagian karbohidrat struktural utama yang ada pada dinding sel. Disusun dari
7 000 – 15 000 molekul glukosa yang dihubungkan dengan ikatan beta – 1.4. Kadar
sellulosa diestimasi dari ADF – (ADL + abu) dimana ADL adalah acid detergent
lignin.
Serat kasar: Kadar serat kasar ditentukan dengan cara tradisional (analisis proksimat).
Neutral detergent fibre (NDF) dan acid deterget fibre (ADF) merupakan parameter
untuk mengukur kadar serat yang lebih baik untuk mengevaluasi hijauan dan
menyusun ransum.
Silase : Hijauan banyak air yang diawetkan pada pH rendah akibat produksi asam-
asam organik yang diperoleh dari fermentasi gula pada hijauan.
Silo: Tempat penyimpanan silase dengan struktur yang kedap udara atau semi-kedap
udara.
Skarifikasi: proses penggerusan atau abrasi kulit biji spesies-spesies tertentu yang
memungkinkan penetrasi air dan gas-gas untuk mempercepat perkecambahan.

54
Sukrosa: Disakharida yang mempunyai rumus kimia C12H22O11. Dihidrolisis menjadi
fruktosa dan glukosa.
Tanaman C3: Tanaman yang menggunakan ribulosa bifosfat karboksilase (rubisco)
sebagai enzim utama untuk menangkap CO2 dengan produk pertama asam ber
karbon tiga.
Tanaman C4: Tanaman yang menggunakan fosfo enol piruvat (PEP) karboksilase
sebagai enzim utama untuk menangkap CO2 dengan produk pertama asam berkarbon
empat.
Tannin: Kelompok polifenol larut air yang mempunyai sifat mengentalkan protein
membentuk zat seperti kulit yang tidak dapat larut dalam air dan rendah daya
cernanya.
Tedding: penyebaran hijauan yang telah dipotong secara merata di lapangan yang
bertujuan mempercepat pengeringan.
Urea: Zat kristal berwarna putih yang larut dalam air dengan rumus kimia CO(NH2)2.
Vitamin: Senyawa organik yang berfungsi sebagai bagian sisim enzim yang penting
untuk berbagai fungsi metabolik.
Windrow: Potongan hay yang disusun dalam barisan memanjang di lapangan untuk
dikeringkan sebelum ditumpuk atau dibuat bal.

55
56

Anda mungkin juga menyukai