NPM : 150510170166
Penciri utama ekosistem lahan padi sawah beririgasi (irrgated low land) adalah potensi air irigasi
>5 bulan, ketersediaan air tidak bergantung kepada curah hujan, dan elevasi <700 m dpl. Lahan
yang ditanami sawah, susah dikeringkan untuk memiliki aerasi baik yang diperlukan bagi
pengembangan komoditas lainnya setelah padi, sehingga intensitas tanam meningkat.
3. Modifikasi budidaya padi secara sederhan seperti pada padi gogo yang cocok, untuk padi
sawah (misal padi gora).
Umumnya pada lahan sawah setelah ditanami padi, drainasenya kurang baik, sehingga palawija
kurang berkembang sempurna, sehingga perlu pemuliaan untuk mendapat varietas-varietas yang
cocok lingkungan. Tanaman sebelum padi memungkinan pula dikembangkan di sawah dengan
syarat komoditas harus ceat matang (umur pendek, cepat dipanen yaitu pada periode awal musim
hujan s/d saat tanam padi. Namun, masalahnya komoditas yang dikembangkan sebelum padi ini
akan mengalami hal-hal sebagai berikut:
1. Peluang terbesar terjadi cekaman air (kekeringan pada masa fase awal berkecambah
sebab curah hujan belum cukup pada awal musim.
2. Kelebihan air saat fase pematangan, sehingga panen biasanya bersamaan dengan curah
hujan mendekati puncak.
3. Diperlukan periode pertumbuhan yang singkat (60-90 hari), sebab tanaan harus cepat
dipanen untuk segera diusahakan dengan tanaman padi.
Setalah tanaman utama (padi) dipanen, dapat segera diusahakan dengan tanaman dan lebih
banyak varietasnya, hanya kendalanya yaitu fase awal cukup kelembaba, dan fase kekeringan
(terlebih lebih) pada tanaman yang umurnya panjang. Hal ini memerlukan tanaman yang
tahan/toleran kekeringan, seperti sorghum, kedelai kacang hijau, dll. Tanaman penghasil biji
(Grains crops) yang memiliki vigor tinggi, sangat toleran terhadap kekeingan setlah pembungaan
dan daya hasil tinggi, sangat dianjurkan untuk dikembangkan setalh padi dan relatif mudah
mencari beberapa varietas untuk kondisi seperti ini.
Kesulitan melaksanakan budidaya komoditas setelah padi sawah adalah mengkonversi tanah ke
dalam keadaan tanah denga aerasi baik yang cocok untuk tanaman palawija, terutama bila tekstur
tanah berat. Cara mengatasinya melalui pengeringan dan pembasahan secara terptus-putus
(bergantian), dan untuk mencegah penguapan yang dapat mempercepat kehilangan kelembaban
pada lahan sawah bekas padi, sebaiknya dilaksanakan tanpa olah tanah (zero tillage) dengan cara
:
1. Tanah didrainase (2-3) hari sebelum panen padi saat penen, jerami dibabad sampai bawah
sekali.
2. Buat saluran drainase yang dangkal untuk mencegah banjir,sgera tanam palawija setelah
panen padi (dengan modifikasi sistem pertanaman yangtelah direncanakan).
3. Benih-benih tersebut ditugal sebelah tunggul jerami dengan maksud agar cukup O2
tersedia pada tanahdekat lubang padi dan daerah dekat lubang bekas padi biasnaya lebih
tinggi dari tanah sekitarnya beberapa mm yang dapat memperkecil genangan dari benih
yang baru ditanam.
Faktor-faktor yang paling menentukan pola tanam di ekosistem sawah yaitu faktor terkendali
seperti pengendalian hama penyakit, penggunaan pupuk, dan pemeliharaan tanaman. Adapun
faktor tidak terkendali adalah faktor lingkungan fisik (iklim, tekstur tanah, topografi) dan faktor
sosial ekonomi (pemasaran hasil).
Keberhasilan pola tanam di ekosistem sawah, ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu :
1) Ketersediaan air
Sawah yang dengan pola tanam padi – padi sepanjang tahun akan membutuhkan air lebih
banyak karena pertanaman padi sawah paling sedikit membutuhkan air 200 mm/ bulan,
sedangkan palawija minmail 10 mm/ bulan yang dapat dipenuhi dari curah hujan atau irigasi,
bila air irigasi tersedia biasanya petani cenderung menanam padi terus menerus padahal tidak
sulit untuk mengatur pengeringan lahan yang diperlukan untuk tanaman palawaija
Di beberapa daerah kebutuhan air sebesar itu untuk lahan sawah tidak terpenuhi sepanjang
tahun, begitu juga dengan daerha daerah yang irigasinya terbatas sehingga perlu
dikembangkan pola tanam padi – palawija dengan kebutuhan air yang lebih sedikit
Tekstur berperan dalam kapasitas tanah memegang air, jika pada tekstur ringan kapasitas
tanah memegang air juga akan rendah akibatnya tanaman yang diusahakan cepat mengalami
kekeringan. Pada tekstur tanah yang bertekstur berat dengan kandungan liat yang tinggi, akan
sukit mengonversi lahan berlumpur ke lahan beraerasi baik namun kapasitas tanah
memegang air cukup tinggi sehingga sisa kelembaban dalam tanah dapat menopang tanaman
– tanaman palawija ( yang ditanam setelah padi ) dalam waktu lebih lama.
3) Keadaan pasar
Permintaan pasar terhadap produk – produk tersebut bergantung pada dua faktor yaitu
- Dapat disimpan lama : produk yang dapat disimpan lama akan lebih mudah dipasarkan
- Volume pasar: Food crops akan memiliki volume pasar yang besar karna lebih mudah
dijual terutama bila dekat ke pusat pasar termasuk usaha tani “grains crops” (padi,
jagung, kacang tanah)
Beberapa pola tanam alternative di lahan sawah irigasi berdasarkan ketersediaan air
a. Lahan sawah irigasi 10-12 bulan dengan pola tanam padi – padi – padi dianjurkan pada
lahan yang sulit diatur drainasenya sehingga tanahnya selalu berlumpur. Dianjurkan
pengembalian sisa tanaman sebagai bahan organic.
b. Masa bertanam > 9 bulan dengan Tanaman/varietas yang berumur sedang, potensi
produksi tinggi, dan nilai ekonomi tinggi.
- Padi-padi-padi
- Padi sawah-padi sawah-palawija
- Tebu-padi sawah, atau :
- Rami-padi sawah
- Padi sawah-palawija-palawija } alternatif
- Palawija-padi sawah-palawija } alternative
c. Masa bertanam 6-9 bulan : Tanaman/ varietas berumur pendek, potensi produksi sedang
sampai tinggi.
- Padi sawah-padi sawah-palawija
- Gogorancah-padi sawah-palawija
- Padi sawah-palawija-palawija
- Palawija-padi sawah-palawija
d. Masa bertanam 4-6 bulan : tanaman berumur sedang dan nilai ekonomi tinggi
- Padi sawah-palawija
- Gogorancah-palawija
- Palawija-padi sawah
e. Masa bertanam 4 bulan : Tanaman/varietas berumur pendek dan tahan kering serta
menggunakan teknik alley cropping (tanam lorong).
- Padi sawah-bera
- Gogorancah-palawija
- Palawija-palawija
1.2. Pola tanam di sawah tadah hujan
Lahan sawah tadah hujan (rainfed lowland), memiliki ciri-ciri yakni potensi irgiasi <5
bulan, ketersediaan airnya sangat terpangaruhi oleh curah hujan, dan elevasi dari lahan
tersebut sebesar <700 mdpl. Hampir diseluruh provinsi di Indonesia memiliki wilayah sawah
tadah hujan. Selain di pulau Jawa, sawah tadah hujan pun terdapat di daerah lain seperti
Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Kalimantan. Potensi air
sebagai indikasi utama produktivitas lahan sawah tadah hujan, cukup beragam, karena
tersebar pada berbagai tipe agroklimat dengan periode masa bertanam yang berbeda (Irsal
Las, dkk 1991). Terdapat beberapa komponen yang mengatur pola tanam di sawah tadah
hujan. Komponen-komponen tersebut yaitu :
Buat grafik batang kebutuhan air setiap jenis tanaman yang telah diprioritaskan berdasarkan
kesesuian teknis dan ekonomis. Cara pembuatannya sebagai berikut :
1. Periksa daftar kebutuhan air setiap jenis tanaman selama periode pertumbuhannya
2. Gunakan pedoman umum angka perbandingan rata-rata kebutuhan air setiap fase
pertumbuhan tanaman (ditetapkan berdasarkan rata-rata perbandingan kebutuhan air dari
beberapa jenis tanaman) sebagai berikut :
Fase pertumbuhan awal :2
Fase pertumbuhan lanjutan :3
Fase pertumbuhan generatif : 4,5
Fase pertumbuhan pematangan :3
Jumlah : 12,5
3. Hitung kebutuhan air setiap fase dengan data dari tabel diatas lalu bandingkan dengan
kebutuhan air di no.2
4.
Dari tabel diatas dapat dicontohkan pada tanaman jagung
Umur fase pertumbuhan awal : 20 hari
Umur fase pertumbuhan lanjutan : 30 hari
Umur fase generatif : 30 hari
Umur fase pematangan : 20 hari
Total umur tanaman : 100 hari
5. Dengan diketahui kebutuhan air pada setiap fase pertumbuhan dan umur pada setiap fase
pertumbuhan maka dibuat grafik kebutuhan air tanaman jagung seperti dibawah ini
Setelah grafik batang kebutuhan air dari tanaman-tanaman yang diprioritaskan selesai dibuat
maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan metode tarik giring dengan terlebih dahulu
memperhatikan penggolongan musim tanam selama 1 tahun sebagai bahan pertimbangan
umum dalam menempatkan waktu tanam pada golongan-golongan musim.
Sering terjadi bencana kekeringan padi gadu (spekulasi) di beberapa daerah Jawa Barat,
sebagai akibat kelambatan tanam padi rendeng, dan memaksakan padi gadu. Sebenarnya hal
tersebut tidak perlu terjadi apabila dilaksanakan pola tanam yan baik. Salah satu pola tanam
untuk daerah-daerah demikian adalah gogorancah-padi gadu-palawija atau sayuran. Untuk
menanam gogorancah, perlu ditentukan waktu tanam yang tepat, sehingga padi gadu akan
selamat, dan masih tersedia waktu untuk palawija setelah tanam padi gadu (Sulaeman dkk,
1984).
Langkah-langkah persiapan untuk menentukan waktu tanam, perlu diketahui hal-hal
sebagai berikut:
a. Rata-rata curah hujan per dekade dan per bulan untuk jangka waktu 10-30 tahun dari
lokasi yang akan dikembangkan pada pola tanam dengan memasukkan gogorancah.
b. Varietas padi yang akan ditanam beserta umur tanaman tersebut (dihitung dari semai).
c. Lamanya di persemaian apabila padi tersebut disemaikan dulu untuk padi sawah biasa
Apabila iklim dalam keadaan normal, penentuan waktu tanam dapat dilakukan dengan
formula “Wickham” sebagai berikut :
t = S- [½(U-R) + P]
t = Waktu tanam yang akan dicari (tanggal)
S = Saat curah hujan mencapai rata-rata per bulan (tanggal)
U = Umur tanaman (misal padi) dihitung sejak semai (dalam hari)
R = Lama bulan hujan yang sama atau lebih dan rata-rata curah hujan (dalam hari) yaitu
a1 a2.
P = Lama dalam persemaian (Cisadane 20 hari)
[ ] = Harga mutlak
Dengan menggunakan formula tersebut memungkinkan penanaman gogorancah
dilaksanakan dalam waktu yang tepat sehingga memungkinkan pula untuk menerapkan
Gogorancah-padi gadu-palawija. Dari semua faktor yang telah disebutkan, iklim merupakan
faktor yang sangat krusial, dan paling mengemuka saat ini, yaitu dengan adanya perubahan iklim
global, dan telah menjadi tantangan besar dalam keberlangsungan produksi pertanian. Untuk
mengantisipasi keadaan ini, agar setiap komoditas di dalam pola tanam dapat terselamatkan,
pemerintah dalam hal ini kementrian pertanian melalui Indonesian Agency For Agriculural
Research and Development (IAARD) sejak tahun 2007 telah mengkompilasi informasi jadwal
tanam padi sebagai basis pola tanam untuk setiap wilayah di seluruh Indonesia. Kegiatan ini
terus dikembangkan secara terintegrasi melalui program Integrated Cropping Calender
Information Systems (ICCIS) dan / atau SIKATAM (Sistem Informasi Kalender Tanam
Terpadu).
Tantangan di dalam mengembangkan ICCIS antara lain : (1) Adanya peningkatan
variabilitas dan perubahan iklim yang tidak terduga, menyulitkan didalam ketepatan menentukan
waktu tanam, (2) menurunnya produksi dan produktivitas, memerlukan informasi inovasi
teknologi yang sangat komplek, (3) adanya fragmentasi dan konversi lahan pertanian ke non
pertanian yang semakin besar, akan menyebabkan hasil padi semakin menurun.
Beberapa pola tanam alternatif di lahan sawah tadah hujan berdasarkan ketersediaan air.
Lahan Sawah Tadah Hujan
A. Masa bertanam > 9 bulan
Padi sawah-palawija-palawija
Palawija-padi sawah-palawija
Gogorancah- padi sawah-palawija
Gogorancah-palawija-palawija Tanaman/varietas berumur sedang, potensi produksi
tinggi dan nilai ekonomi tinggi.
B. Masa bertanam 6-9 bulan
Palawija-padi sawah-palawija
Padi sawah-palawija-palawija
Gogorancah-palawija-palawija Tanaman /varietas berumur pendek dan tahan
kering.
B. Masa bertanam 4-6 bulan
Padi sawah-palawija
Gogorancah-palawija
Palawija-palawija Tanaman/varietas berumur sedang dan nilai ekonomi tinggi.
C. Masa bertanam < 4 bulan
Padi sawah-palawija
Gogorancah-palawija
Palawija-palawija
1.3 Pola Tanam di Lahan Kering
Lahan kering adalah lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan
menggunakan air secara terbatas, dan biasanya hanya mengandalkan dari curah hujan. Lahan ini
memiliki kondisi agroekosistem yang beragam, umumnya berlereng dengan kondisi kemantapan
lahan yang lebih labil (peka terhadap erosi), terutama bila pengelolaannya tidak memperhatikan
kaidah konservasi tanah. Untuk usaha pertanian, lahan kering dapat dibagi dalam dua jenis
penggunaan lahan, yaitu lahan tegalan dan pekarangan. Lahan kering dibedakan juga ke dalam
lahan kering beriklim basah (dryland-wetclimate) dengan karakteristik curah hujan > 2000
mm/th, masa bertanam > 6 bulan, dan elevasi > 700 m dpl; dan lahan kering beriklim kering
(dryland-dry climate) dengan karakteristik curah hujan < 2000 mm/th, masa bertanam < 6 bulan,
dan elevasi < 700 m dpl.
Pola tanam di lahan kering dapat menggunakan tanaman semusim (Annual Crops). “Annual
upland crops” adalah tanaman semusim di lahan kering yang siklus hidupnya kurang dari 12
bulan, dan tanaman segera mati setelah buahnya dipanen. Atau sejak tumbuh sampai dengan
menghasilkan (panen) memerlukan waktu kurang dari 12 bulan.
a. Grain Crops (Biji-bijian), dicirikan dengan produk yang memiliki nilai ekonomis dalam
bentuk biji kering. Yang termasuk ‘grain crops’ yaitu :
Sereal (jagung, gandum, sorghum).
Legum (kacang hijau, kedelai, kacang tanah).
Dengan tanaman berumur pendek (kurang dari 4 bulan) dapat dianjurkan pola tanam
berurutan (sequential cropping)sepanjang tahun. Bentuk lain dari intercropping dapat dilakukan,
misalnya :
Padi + jagung (selama musim hujan) sebab keduanya toleran terhadap curah hujan
tinggi bahkan pada saat panen sekalipun.
Jagung + legum, biasanya ditanam sebagai tanaman kedua dan panen bersamaan
dengan musim kering.
Sereal + legum sering digunakan karena :
Bila tanaman semusim yang berumur panjang mulai matang, ILD menurun dan lebih banyak
cahaya menembus tanah, dan fase itulah tanaman semusim yang berumur pendek dapat ditanam
sebagai tanaman kedua yang ditanam secara tumpangsari, pada akhir musim hujan (saat curah
hujan berkurang).
Jenis tanaman yang umum : legum umur pendek. Kasus seperti ini sering dilakukan di
Indonesia, legum ditumpangsarikan dengan ubikayu fase matang. Pada kasus (b), dengan
menggunakan tanaman semusim yang berumur panjang sebagai tanaman dominan, maka :
Tanaman semusim yang berumur panjang biasanya merupakan sumber utama
penghasilan petani.
Sedangkan tanaman semusim yang berumur pendek yang ditumpangsarikan sebagai
tambahan bahan makanan sambil menunggu tanaman utama.
Contoh : Tumpangsari tebu dan kacang hijau, lebih dari 80% nilai hasil berasal dari
tebu.
Berikut faktor penting yang menentukan penyusunan pola tanam di lahan kering yaitu :
curah hujan, karakteristik tanah, dan permintaan pasar.
Beberapa pola tanam Alternatif di lahan kering bedasarkan ketersediaan air Lahan kering
Kegiatan pengolaan yang tidak tepat di dataran tinggi akan lebih mempercepat terjadinya erosi
karena: dengan bertambah curam lereng, seringnya pengolaan tanah, intensif penamaan, seringnya
hujan sehingga menyebabkan ukuran partikel tanah berkurang dan menghilangkan tajuk penutup
tanah sehingga menurunkan produktivitas lahan dan mempercepat laju erosi. Pemilihan pola tanam
ganda yang tepat untuk menekan erosi dimana dapat mengurangi erosi tanpa mengorbankan lahan
yang akan diusahakan untuk tanaman yang memilii nilai ekonomi tinggi. Tajuk-tajuk tanaman
berguna untuk menutup tanah agar air hujan tidak langsung menimpa tanah dapat dilakukan dengan
intercropping (tanah tertutup sepanjang tahun) dan relay cropping (sisa tanaman sebagai mulsa).
Ladang berpindah yang biasa dilakukan petani tidak dibenarkan dan dilarang karena dapat
menurunkan ketersediaan bahan organik di hutan. Hasil yang didapatkan petani di tahun pertama
hasil baik, tahun kedua hasil berkurang dan pada tahun ketiga hasil yang didapatkan sangat sedikit
kemudian berpindah lagi. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan menurunya area yang
digunakan untuk ladang berpindah sehingga fase bera jadi pendek dan frekuensi penanaman
meningkat menyebabkan kesuburan tanah menurun dan gulma tahan bakar tumbuh (banyak semak
tumbuh dibanding pohon) akhirnya produktivitas menurun
Pola tanam yang dianjurkan sebagai produktivitas dan konservasi untuk memenuhi kebutuhan
penduduk tanpa merusak lingkungan. Daerah dataran tinggi ada kategori pola tanam, yaitu melibatkan
tanaman tahunan, tanaman tahunan+semusim, dan tanaman semusim saja. Tanaman tahunan digunakan
karena sangat baik untuk konservasi dimana siklus hidup panjang, memerlukan budidaya minimum, dan
memiliki kanopi lebat untuk menutup tanah. biasanya jenis tanaman yang dianjurkan yaitu pohon buah-
buahan dan industry. Sebelum kanopi tanaman tahunan belum mencukupi maka dilakukan beberapa cara
dengan pengolaan tanah minimum, cover crop (kacang-kacangan), dan penanaman tanaman semusim
berumur pendek.
Lahan rawa di Indonesia sekitar 33,40 juta ha, yang terdiri atas rawa
pasang surut 20 juta ha dan rawa lebak 13,40 juta ha dan tresebar di tiga
pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Widjaja-Adhi, 1986). Di
Indonesia pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan
program transmigrasi yang dimulai tahun 1969 melalui Proyek Pembukaan
Persawahan Pasang Surut (P4S).
a. Budidaya
1) Jenis tanaman dan varietas
Komoditas yang dapat dibudidayakan di daerah pasang surut dapat
dikelompokan dalam tanaman pangan, sayuran, buah-buahan,
tanaman industri dan ikan. Komoditas utama adalah tanaman
pangan, kelapa, rambutan, dan jeruk.
Tanaman pangan yang banyak dibudidayakan adalah padi sawah
lokal yang berumur dalam ( 8 bulan). Usaha pembuatan
tabukan dapat mengendalikan kedalaman air, sehingga dapat
dikembangkan varietas unggul seperti IR 64, atau yang lainnya
Pengujian adaptasi varietas unggul memungkinkan petani untuk
tanam dua kali padi di lahan tabukan.
Evaluasi Formatif
1 Faktor faktor yang perlu diperhatikan dalam merancang pola tanam spesifik berkelanjutan di
agroekosistem tadah hujan, lahan dataran tinggi, dan pasang surut?
-Pada agroekosistem tadah hujan faktor yang diperhatikan adalah jenis-jensi tanaman dan waktu tanam
yang paling cocok pada kondisi pola curah hujam setempat.
-Pada lahan dataran tinggi faktor faktor yang harus diperhatikan adalah erosi karena adanya curam lereng
juga tofografi yang berbukit bergelombang, maka diperlukan prinsip – prinsip konservasi untuk
pencegahan erosi.
-Pada agroekosistem pasang surut faktor – faktor yang perlu diperhatikan jenis tanaman dan varietas,
pengolahan tanah dan pemupukan yang tepat, proteksi tanaman, sistem pengairan dan alat-alat
pertanian yang tepat untuk diterapkan pada daerah rawa-rawa
2. Merancang pola tanam di agroekosistem sub optimal agar terhindar dari kekeringan perlu diterapkan
jenis-jenis tanaman yang tepat dan masa tanam yang sesuai, juga sistem irigasi yang diperhitungkan
untuk jenis jenis tanaman agar bisa sesuai disalurkan. Lalu varietas yang tahan kekeringan juga perlu
ditanam agar menghindari kegagalan panen akibat kondisi agroekosistem sub optimal. Menentukan
waktu tanam yang relative juga bisa diterpakan untuk daerah daerah yang sub optimal , kementan
melalui IAARD sejak 2007 telat mengkompilasi infromasi jadwal tanam padi sebagai basis pola tanam
yang terus dikembangkan secara terintegrasi. Melalui program ini dapat diketahui potensi sebaran luas
wilayah untuk ditentukan jadwal tanamnya berdasarkan pengelompokkan data curah hujan, apakah
berlebihan, normal, atau kering (BMKG, 2012). ICCIS merupakan pedoman atau alat yang menyediakan
informasi mengenai kondisi wilayah di seluruh Indonesia atas dasar prediksi musim, meliputi jadwal
tanam disetiap sub wilayah, pola tanam, luas lahan yang terancam banjir dan kekeringan, potensi
terserang hama penyakit, varietas padi, dan kebutuhan benih, serta rekomendasi dosis pupuk. Kesemua
ini sangat diperlukan untuk mempersiapkan penanaman pada musim berikutnya.