Anda di halaman 1dari 3

Pengaruh Suhu dan Kelembaban pada penyimpanan Kacang Tanah

Kandungan aflaktosin hasil senyawa metabolism sekunder jamur Aspergillus flavus


dalam biji kacang tanah dipengaruhi oleh komposisi genetik, individu isolate jamur, substrat,
organisme competitor, kadar air biji dan kelembaban relative di lingkungan sekitar biji, dan suhu
lingkungan (Diener et al. 1982; Pettit 1984, Keenan and Savage 1994). Jika penanganan dalam
pascapane kurang baik, aflaktosin akan berkembang dalam biji kacang tanah dengan kadar yang
bisa melebihi kontaminasi aflaktosin yang diinginkan.
Dalam perdagangan kawasan internasional, kandungan aflaktosin pada biji kacang tanah
sering mengalami hambatan non tarif dalam perdagangan komoditas ini. Batasan minimal
cemaran kacang tanah tiap negara berbeda seperti pada Indonesia ditetapkan sebanyak 20 ppm,
sedangakan pada FAO, MEE, dan Jepang masing – masing sebesar 15 ppm, 5 pp, dan 0 ppm.
(Swindle 1994). Maka dari itu penting sekali penangana pascapanen yang tepat agar bisa
mengatasi kontaminasi aflaktosin pada kacang tanah.
Mencegah infeksi jamur A. flavus dapat dilakukan dengan berbagai upaya pada masa pra
– panen dan pascapanen. Pada kegiatan pascapanen, perkembangan jamur Aspergillus flavus
dapat diminimalkan dengan memberikan perlakuan – perlakuan pascapanen hingga di
penyimpanan pengeringan saat panen, teknik pencucian dan penggunaan fungisida sebelum
benih disimpan, dan sebagainya (Wright & Cruickshank, 1999) juga kegiatan pengeringan karna
suhu dan kelembaban yang kurang baik akan menyebabkan kadar aflaktosin naik pada kacang
tanah.

Menurut Mutegi dkk. (2013a), akumulasi cemaran aflatoksin pada kacang tanah dapat
disebabkan oleh lamanya masa simpan, kondisi area penyimpanan tidak layak, serta faktor
lingkungan seperti suhu, kelembaban dan curah hujan. Pengeringan harus dilakukan segera
setelah panen berdasarkan prinsip bahwa biji harus segera melewati kisaran kadar air 10 – 30%
karena semakin lama proses pengeringan maka biji kacang tanah akan berpeluang lebih lama
berada pada kisaran kadar air yang rentan terhadap kontaminasi aflaktosin. Kadar air harus
dibawah 10% agar jamur A.flavus tidak memproduksi aflaktosin. Kelembaban yang kurang
relative akan meningkatkan kadar air simpan yang mampu menumbuhkan jamur A.flavus.
Perkembangan jamur dibantu oleh suhu dan kelembaban yang tinggi maka pada saat
perlakuan pascapanen kelembaban harus sedemikian diatur seperti dengan penyimpanan di
ruangan yang tidak kedap udara dan bersirkulasi lancer agar kelembaban tidak tinggi yang akan
menyebabkan kadar air juga tinggi sehingga jamur malah tumbuh.

Terdapat SNI Kacang Tanah namun belum berlaku dan masih berupa himbauan yang
dapat diikuti secara sukarela (Ginting, dkk., 2015) Menurut kisaran suhu rekomendasi CAC
dapat terwujud dengan menggunakan fasilitas penyimpanan dingin (cold storage). Penyimpanan
kacang tanah pada suhu rendah (24–28 °C) pernah diterapkan pada penelitian Rahmianna dkk.
(2007b) berdasarkan rekomendasi Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute
(ILETRI) dengan hasil aflaktosin B1 pada kacang tanah yang disimpan pada suhu tersebut lebih
rendah daripada kacang tanah yang disimpan pada suhu ruang (25–35 °C).

Rata – rata suhu yang cocok dengan perkembangan dan sesuai bagi pertumbuhan
A.flavus serta produksi aflaktosin adalah pada area penyimpanan dengan suhu (29,6–31,2 °C) dan
suhu ini jauh lebih tinggi dari kisaran suhu yang direkomendasikan oleh CAC serta ILETRI yang
umum dijumpai pada negara – negara tropis. (OBrian dkk., 2007; Singh dan Chauhan, 2013;
Pratiwi dkk., 2015).

DAFTAR PUSTAKA

Kasno, A. (2009). Pencegahan Infeksi A. flavus dan Kontaminasi. Iptek Tanaman Pangan, Vol. 4 No.2.

Widya Eka Prayitno, H. D. (2018). Kondisi Penyimpanan Kacang Tanah dan Potensi Cemaran Aspergillus
flavus pada Pedagang Pengecer Pasar Tradisional di Wilayah Jakarta. Agritech , 38 (1) 2018, , 45-
55.

Anda mungkin juga menyukai