Anda di halaman 1dari 6

Rabu, 01 September 2021

WAKTUNYA UNTUK PEMBAHARUAN


Teks: Efesus 4:20-32

“Hendaklah hati dan pikiranmu dibaharui seluruhnya” (Efesus 4:23).

Seorang pria bernama Dave Branon ingin memperbarui tampilan interior rumahnya. Namun, ketika baru saja Dave mulai
menyiapkan ruangan untuk dicat ulang, pemerintah negaranya mengumumkan bahwa penjualan barang-barang kebutuhan
perbaikan rumah akan segera dihentikan sementara waktu terkait dengan adanya pandemi COVID-19. Begitu mendengar
pengumuman itu, Dave bergegas ke toko untuk membeli bahan-bahan penting yang dia butuhkan sebelum kebijakan pemerintah
negaranya diberlakukan, karena Dave berpikir mustahil dapat merenovasi rumah tanpa adanya bahan-bahan yang tepat.

Pembaruan juga ada dalam benak Paulus ketika ia menulis Efesus pasal 4. Akan tetapi, pembaruan yang ia maksud lebih dari
sekadar perubahan secara fisik. Menurut Rasul Paulus, walaupun iman kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat menjadikan
seorang umat sebagai ciptaan baru, namun masih ada hal-hal yang perlu dikerjakan oleh Roh Allah. Dibutuhkan waktu dan karya
Roh Kudus sebelum umat dapat mencapai “kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya” (Ef. 4:24).

Roh Kudus hadir membuat perubahan-perubahan yang dibutuhkan dalam diri umat sehingga umat dimampukan untuk
mencerminkan Yesus lewat perkataan dan perbuatan. Dia menolong umat mengganti dusta dengan perkataan yang “benar” (Ayat
25). Dia membimbing umat menjauhi dosa yang timbul dari kemarahan (Ayat 26). Dia juga mengarahkan umat mengucapkan
“perkataan yang baik untuk membangun” orang lain (Ayat 29). Perbuatan-perbuatan yang dikendalikan oleh Roh Kudus tersebut
merupakan bagian dari pembaruan batin yang terwujud dalam bentuk kebaikan hati, belas kasihan, dan pengampunan (Ayat 32).
Roh Allah bekerja di dalam diri umat untuk memampukan umat meneladani Yesus sendiri dan mencerminkan hati Bapa di surga
(Ayat 24; 5:1).

Efesus 4:32 menjabarkan sejumlah bukti dari hidup yang diubahkan Allah: “Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain,
penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” Yang menarik, ucapan
itu ditujukan kepada suatu peradaban yang sangat mirip dengan dunia kita saat ini. Inilah dunia tempat orang tidak mempedulikan
kebenaran tentang Kristus, korupsi merajalela di mana-mana, dan manusia cenderung memanfaatkan sesamanya demi
kepentingannya sendiri. Meski menghadapi masalah-masalah itu, Rasul Paulus menantang orang percaya untuk memiliki sikap
hati yang bertolak belakang dengan pola pikir duniawi tersebut. Kita patut memperlihatkan kebaikan, belas kasihan, dan
pengampunan yang meneladani kehidupan Yesus sendiri yang bertolak belakang dengan dunia.

Teks kali ini mengajak kita merenung: Apa saja aspek dari diri kita yang perlu mengalami pembaruan nyata lewat tuntunan dan
kuasa Roh Kudus? Apa yang akan kita lakukan sebagai langkah awal dari pembaruan tersebut? Kiranya Allah yang Maha
Pengasih, yang telah menjadikan kita ciptaan yang baru dalam Kristus menolong kita agar segala tindakan kita, lewat tuntunan-
Nya, dapat mencerminkan pembaruan yang Dia kerjakan di dalam diri kita.

Kamis, 02 September 2021


PENJALA MANUSIA
Teks: Lukas 5:1-11

“Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjadi penjala manusia” (Lukas 5:10)

Dalam injil hari ini, Tuhan Yesus membantu para murid untuk menangkap ikan. Ketaatan Simon dan teman-temannya untuk
menebarkan jala ke tempat yang lebih dalam seperti yang diperintahkan Yesus membuahkan hasil. Perahu mereka penuh dengan
ikan. Para murid itu sangat bersukacita. Namun, mereka juga mendapatkan tugas baru dari Tuhan Yesus yaitu menjadi penjala
manusia.

Yang dimaksudkan dengan “Penjala Manusia” adalah para murid diutus untuk menebarkan jala cinta dan jaring kasih kepada
semua orang sehingga banyak orang percaya kepada Allah. Sebagaimana Yesus juga telah “menjala” Simon Petrus dan teman-
temannya untuk menjadi murid-murid-Nya. Kasih itu ditebarkan kepada siapa saja tanpa membeda-bedakan, sehingga semua
orang dapat merasakan kasih Tuhan.

Kita semua juga dipanggil untuk menjadi penjala manusia dengan menebarkan jaring kasih kepada siapa pun sehingga banyak
orang boleh mengalami keselamatan. Untuk dapat menjadi penjala manusia, kita harus berani untuk keluar dari diri kita, rela
berlelah, berkorban waktu dan tenaga. Hanya dengan keberanian seperti itu, kita akan mampu menjalankan tugas yang telah
diamanatkan Yesus kepada kita.

1
Kiranya Allah yang Mahabijaksana menolong kita mempunya hati yang bijaksana sehingga dapat menebarkan jala kasih di tengah
keluarga dan masyarakat.

Senin, 06 September 2021


PERATURAN DAN HATI NURANI
Teks: Lukas 6:6-11

Teks hari ini menceritakan tentang Yesus yang menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat. Dalam tradisi Yahudi, pada hari Sbat
orang hanya di rumah saja dan tidak boleh bekerja. Oleh karena itu, di mata orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat, tindakan Yesus itu
salah, karena melanggar hukum Yahudi. Tetapi,Yesus mampu mempertanggungjawabkan tindakan-Nya itu dengan mengatakan
bahwa berbuat baik dan menyelamatkan hidup orang jauh lebih penting dan berada di atas hukum dan peraturan apapun.

Kita semua dianugerahi kebebasan untuk melakukan sesuatu yang kita mau. Namun, kita diajak untuk menggunakan kebebasan
itu secara bijaksana dan dan mempertanggungjawabkannya seperti yang dilakukan Yesus, termasuk ketika kita berbeda pendapat
dan pandangan dengan orang lain. Kita diharapkan tidak hanya asal berbeda, tetapi perbedaan itu didasarkan pada alasan atau
argumentasi yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan.

Yesus juga mengingatkan kita agar kita berlaku bijak dalam menempatkan peraturan. Peraturan harusnya mendorong kita untuk
semakin manusiawi dengan selalu mengedepankan tindakan kasih daripada hanya menaati peraturan tetapi hati nurani kita mati.

Kiranya Tuhan Yang Mahaadil melalui kuasa Roh Kudus memampukan kita untuk mau melakukan hal-hal yang baik bagi sesama,
kita bisa menjadi orang yang tegas namun tetap mengutamakan hati nurani.

Selasa, 07 September 2021


TANGAN KOSONG
Teks: Lukas 15:17-24

“Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan” (Lukas 15:20)

Diceritakan seorang pria bernama Robert suatu hari mampir ke sebuah rumah makan bersama temannya. Ketika memeriksa
tasnya, ia menyadari bahwa ia lupa membawa dompet. Robert begitu gelisah dan bingung memikirkan apakah ia tidak usah
makan sama sekali atau sebaiknya memesan minuman saja. Setelah diyakinkan oleh temannya, akhirnya Robert bisa lebih santai.
Mereka berdua sama-sama menikmati hidangan, dan si teman dengan senang hati membayar tagihannya.

Mungkin kita sendiri pernah mengalami dilema serupa. Keinginan untuk membayar atas sesuatu yang kita terima memang sikap
yang wajar, tetapi adakalanya kita harus rendah hati menerima saja apa yang dianugerahkan kepada kita.

Si anak bungsu dalam Lukas 15:17-24 mungkin membayangkan akan menerima pembalasan yang berat atas perbuatannya.
Rasanya itulah yang terbayang sambil ia memikirkan apa yang hendak ia katakan kepada ayahnya: “Aku tidak layak lagi
disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa” (Ayat 19). Orang upahan? Tidak mungkin ayahnya
berpikir seperti itu! Di mata sang ayah, ia anak terkasih yang telah kembali ke rumah. Oleh karena itu, ia disambut dengan
rangkulan dan ciuman penuh kasih sayang dari ayahnya (Ayat 20).

Kata belas kasihan di Lukas 15:20 berasal dari kata kerja bahasa Yunani, splanchnízomai. Bentuk kata bendanya mengacu
kepada “usus atau isi perut”. Secara umum, ini bisa berarti organ dalam, seperti jantung, paru-paru, dan hati. Kata tersebut dipakai
di Kisah Para Rasul 1:18 untuk menggambarkan kematian Yudas: “semua isi perutnya tertumpah ke luar.” Bila penyair Yunani
kuno menganggap “isi perut” sebagai sumber perasaan yang lebih agresif, orang Ibrani melihatnya sebagai sumber kasih sayang,
seperti kebaikan dan belas kasihan. Ketika digunakan dalam Perjanjian Baru, kata kerja tersebut mengacu kepada perasaan
berbela rasa yang melahirkan tindakan kebajikan. Dalam kitab-kitab Injil, belas kasihan Yesus mendorong-Nya menyembuhkan
orang sakit (Matius 14:14) dan memberi makan orang banyak (15:32). Di Lukas 15:20 rasa belas kasihan memotivasi sang ayah
untuk menyambut anaknya: “Tergeraklah hati [sang ayah] oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul
dan mencium dia.”

Sungguh gambaran Injil yang agung! Kita diingatkan bahwa dengan kematian-Nya, Yesus Kristus menyingkapkan pribadi Bapa
penuh kasih, yang dengan tangan terbuka menyambut anak-anak-Nya yang datang kepada-Nya dengan tangan kosong. Seorang
penulis kidung rohani mengungkapkannya dengan kata-kata berikut: “Tiada lain kupegang, hanya salib dan iman”.

2
Teks kali ini mengajak kita berpikir: Bagaimana perasaan kita saat menyadari bahwa karena Yesus telah “melunasi” utang dosa
kita?

Rabu, 08 September 2021


SANG PENDOA
Teks: Matius 6:9-13

“Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu”.
(1 Tesalonika 5:17-18)

Suatu hari seorang bernama Cindy serta keluarganya mengenang sosok ayah sekaligus kakek bagi mereka sebagai seorang yang
teguh beriman dan tekun berdoa. Bibi Cindy menceritakan bagaimana saat ayah/kakek pertama kali berkata kepada seluruh
keluarga: “Mulai sekarang kita akan berdoa dahulu sebelum makan”. Cindy pun mengingat doa pertama kakeknya tersebut
diucapkan dengan terbata-bata, tetapi beliau tekun berdoa setiap hari hingga akhir hidupnya lima puluh tahun kemudian. Ketika
beliau wafat, suami Cindy memberikan tanaman doa (maranta) kepada neneknya sambil berkata, “Kakek sungguh seorang
pendoa yang tekun.”

Alkitab banyak berbicara tentang doa. Dalam Matius 6:9-13, Yesus memberikan pola doa kepada para pengikut-Nya dan
mengajarkan kepada mereka untuk datang kepada Allah dengan pujian yang mengagungkan diri-Nya. Saat membawa
permohonan kita kepada Allah, kita percaya Dia sanggup menyediakan “makanan [kita] yang secukupnya” (Ayat 11). Ketika
mengakui dosa-dosa kita, kita memohon pengampunan dari-Nya dan pertolongan untuk menjauhi pencobaan (Ayat 12-13).

Selain Doa Bapa Kami yang kita kenal baik, kitab-kitab Injil memuat beberapa doa Yesus yang lain. Dalam Yohanes 17, kita
membaca Doa Yesus sebagai Imam Besar yang diucapkan-Nya pada malam Dia dikhianati dan ditangkap. Setelah berdoa bagi
diri-Nya sendiri (Ayat 1-5), Yesus mendoakan murid-murid-Nya (Ayat 6-19) dan semua orang percaya (Ayat 20-26). Dia memohon
Allah Bapa untuk melindungi jemaat, menguduskannya, dan membuatnya bertumbuh. Yesus juga menaikkan tiga doa singkat di
atas kayu salib (Lukas 23:34; Markus 15:34; Lukas 23:46). Doa-doa Yesus yang lain termasuk doa pengucapan syukur (Yohanes
6:11), doa sebelum membangkitkan Lazarus (11:41-42), dan doa setelah memasuki Yerusalem (12:27-28). Selain itu, Yesus
sering mengundurkan diri untuk menghabiskan waktu dengan Bapa-Nya dalam doa (Matius 14:23; Markus 1:35; Yohanes 6:15).
Dia memberi teladan dari sikap “[berdoa] senantiasa” (1 Tesalonika 5:17). Bukan hanya “Doa Bapa Kami” yang bisa kita panjatkan.
Allah ingin kita untuk memanjatkan “segala doa dan permohonan” di “setiap waktu” (Ef. 6:18). Selain sangat penting bagi
pertumbuhan iman kita, doa juga memberikan kesempatan kepada kita untuk terus-menerus bercakap-cakap dengan-Nya setiap
hari (1Tes. 5:7-18).

Ketika kita datang kepada Allah dengan rendah hati dan rindu untuk berbicara dengan-Nya, kiranya Dia menolong kita untuk
semakin mengenal dan mengasihi-Nya.

Teks kali ini mengajak kita merenung: Bagaimana Allah memandang doa-doa yang meskipun tidak fasih tetapi dinaikkan anak-
anak-Nya dengan rendah hati? Bagaimana kita dapat membuat doa sebagai bagian hidup kamu sehari-hari? Kiranya kita selalu
ingat untuk berterima kasih karena kita boleh datang kepada-Nya tiap waktu dan Dia menerima kita setiap kali kita memanggil
nama-Nya dalam doa.

Kamis, 09 September 2021


INJIL MENDOBRAK
Teks: 2 Korintus 5:14-20

“Kasih Kristuslah yang menguasai kami; dan kami menyadari bahwa . . . satu orang sudah mati untuk semua orang . . . Oleh
karena itu, kami tidak lagi menilai orang menurut ukuran manusia” (2 Korintus 5:14,16)

Pada tahun 2020, Hotel Dan di Yerusalem menjadi terkenal dengan nama lain “Hotel Corona.” Pemerintah menetapkan hotel itu
sebagai tempat penampungan bagi para pasien yang sedang menjalani pemulihan dari COVID-19. Di sana para penghuninya
bersama-sama mengalami sukacita dan kesatuan hati yang langka dijumpai pada masa-masa sulit. Karena seluruh penghuni
adalah pengidap, mereka bebas menyanyi, menari, dan tertawa bersama. Mereka melakukan itu semua dengan penuh semangat!
Di suatu wilayah yang kerap dilanda ketegangan akibat perbedaan politik dan agama, krisis bersama itu justru menciptakan ruang
bagi mereka untuk belajar menerima satu sama lain sebagai sesama manusia, bahkan sampai ke tahap persahabatan.

Memang wajar, bahkan normal, bila kita tertarik kepada orang-orang yang kita anggap mirip dengan kita, yang kita rasa memiliki
pengalaman dan nilai-nilai serupa dengan kita. Namun, seperti yang sering ditekankan oleh Rasul Paulus, Injil mendobrak setiap

3
penghalang antarmanusia yang selama ini kita anggap “normal” (2 Kor. 5:15). Dalam 2 Korintus 5:14-20, Paulus menulis kepada
orang percaya di Korintus mengenai hidup baru yang mereka terima melalui kehidupan dan kematian Kristus. Hidup baru itu, yaitu
menjadi ciptaan baru (Ayat 17) dan hidup “untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan” (Ayat 15), adalah hasil pendamaian
yang Yesus genapi melalui kematian-Nya di kayu salib (Ayat 18). Dalam ayat 18-20, Paulus menggunakan beragam bentuk kata
pendamaian (mendamaikan; didamaikan) lima kali. Jelas ia ingin pembacanya memahami bahwa kita telah diperdamaikan dengan
Kristus dan dipanggil untuk membawa pendamaian kepada orang lain.

Dengan kacamata Injil, kita melihat gambaran yang lebih besar daripada beragam perbedaan yang ada, hidup kita semua sama-
sama bobrok, dan kita mempunyai kerinduan serta kebutuhan akan pemulihan yang sanggup diberikan Allah oleh kasih-Nya.

Jika kita percaya “Kristus telah mati untuk semua orang”, kita tidak bisa lagi memiliki asumsi dangkal terhadap orang lain.
Sebaliknya, “kasih Kristus yang menguasai” kita (Ayat 14) akan menggerakkan kita untuk berbagi kasih dan pesan-Nya dengan
mereka yang sangat dikasihi Allah, semua orang.

Kiranya kita selalu bersyukur kepada Tuhan Yesus, karena dalam masa-masa sulit, kita tetap bisa melihat secercah keindahan
luar biasa lewat kasih dan sukacita yang dihadirkan sesama kita melalui berbagai cara. Kiranya Roh Kudus selalu menuntun kita
untuk hidup sedemikian rupa setiap hari, dengan tidak “menilai orang menurut ukuran manusia”.

Jumat, 10 September 2021


MENGENAL DIRI;MENGENAL ALLAH
Teks: Ulangan 33:1-5,12

“Kekasih Tuhan yang diam pada-Nya dengan tenteram! Tuhan melindungi dia setiap waktu” (Ulangan 33:12)

Seorang perempuan bernama Amy menulis sepucuk surat untuk masing-masing anaknya ketika mereka beranjak remaja. Dalam
salah satu surat tersebut, Amy berbicara tentang identitas orang percaya di dalam Kristus, sambil mengingat bagaimana dahulu
pada masa remaja ia merasa minder dan tidak percaya diri. Amy harus belajar meyakini bahwa ia dikasihi Allah sebagai anak-Nya.
Dalam surat itu Amy menulis, “Mengenal siapa dirimu berarti mengenal Dia yang memilikimu.” Karena ketika kita mengerti bahwa
Allah telah menciptakan kita dan kita berkomitmen untuk mengikuti-Nya, kita bisa menerima karya-Nya atas diri kita dengan yakin.
Kita juga tahu bahwa Dia terus mengubah kita menjadi semakin serupa dengan-Nya dari hari ke hari.

Sebuah ayat Kitab Suci yang mendasar tentang identitas kita sebagai anak-anak Allah adalah Ulangan 33:12: “Kekasih Tuhan
yang diam pada-Nya dengan tenteram! Tuhan melindungi dia setiap waktu dan diam di antara lereng-lereng gunungnya.” Sesaat
sebelum meninggal, Musa mengucapkan berkat itu atas suku Benyamin yang bersama umat Allah akan segera memasuki tanah
yang dijanjikan-Nya bagi mereka. Allah ingin mereka selalu mengingat bahwa mereka adalah kekasih hati-Nya dan mereka
sepenuhnya meyakini identitas mereka sebagai anak-anak-Nya.

Berkat Musa atas bangsa Israel sebelum kematiannya mengikuti tradisi berkat yang diberikan ayah kepada anak-anaknya
sebelum meninggal dunia (Kejadian 49). Setiap suku disebutkan Musa bagaikan nama anak-anaknya. Berkat atas setiap suku itu
(Ulangan 33:6-25) diawali dan diakhiri dengan puisi berkat yang ditujukan kepada seluruh bangsa Israel (ay.1-5,26-29). (Yesyurun
di ayat 5 dan 26 berarti “yang benar” dan mengacu kepada seluruh bangsa Israel.) Karena Yahweh menjadi Allah mereka, mereka
diberkati, selamat, aman, dan kuat. Allah adalah pahlawan dan raja mereka, yang mengalahkan semua musuh (Ayat 26-29) dan
memerintah umat-Nya dengan hukum yang diberikan kepada Musa(Ayat 4).

Meyakini identitas kita sebagai anak-anak Allah sungguh penting bagi siapa saja, baik mereka yang masih remaja, yang mencapai
berusia paruh baya, atau yang telah berusia lanjut. Ketika mengerti bahwa Allah telah menciptakan kita dan senantiasa melindungi
kita, kita memperoleh rasa aman, pengharapan, dan kasih yang sejati.

Teks kali ini mengajak kita merenung: Bagaimana kesadaran bahwa kita aman terlindung dalam Allah dapat membuat kita
semakin mengasihi Allah? Bagaimana kebenaran itu memperdalam pengenalan kita terhadap diri sendiri? Kiranya Bapa menolong
kita untuk memiliki pemahaman bahwa Tuhan telah menciptakan kita dan selalu menyertai kita. Kiranya kita meresapi dan
menghayati identitas kita sebagai anak-Nya lewat pemikiran dan perbuatan kita. Amin.

Senin, 13 September 2021


DARI HIKMAT KEPADA SUKACITA
Teks: Amsal 3:13-18

“Jalan [hikmat] adalah jalan penuh bahagia, segala jalannya sejahtera semata-mata” (Amsal 3:17)

4
Suatu ketika seorang perempuan bernama Patricia menerima telepon dari anggota tertua di gereja tempatnya terdaftar sebagai
anggota jemaat. Anggota tertua gereja itu adalah seorang wanita yang sangat bersemangat dan pekerja keras, dengan usia
hampir mencapai seratus tahun. Beliau sedang berusaha menyelesaikan penulisan buku terbarunya dan ia mengajukan beberapa
pertanyaan soal penulisan kepada Patricia. Namun, seperti biasa, justru Patricia yang kemudian mengajukan banyak pertanyaan
kepada wanita itu seputar kehidupan, pekerjaan, cinta, dan keluarga. Banyak hikmat yang bisa dipetik Patricia dari hidup wanita
anggota tertua gereja yang berumur panjang itu. Patricia selalu merasa bahagia setelah berbincang dengan wanita anggota tertua
gereja tersebut.

Alkitab mengajarkan bahwa hikmat menuntun kepada sukacita dan kebahagiaan. “Berbahagialah orang yang mendapat hikmat,
orang yang memperoleh kepandaian” (Ams. 3:13). Kita mendapati bahwa jalan dari hikmat kepada sukacita ini memang kebajikan
yang alkitabiah. “Hikmat akan masuk ke dalam hatimu dan pengetahuan akan menyenangkan jiwamu” (Ams. 2:10). “Kepada orang
yang dikenan-Nya [Allah] mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukaan” (Pkh. 2:26). Hikmat akan menuntun kamu ke “jalan
penuh bahagia,” menurut Amsal 3:17.

Kitab Amsal dimulai dengan perkataan, “Amsal-amsal Salomo bin Daud, raja Israel” (Amsal 1:1). Sepanjang Kitab Suci, Salomo
dicatat sebagai seorang yang penuh hikmat. Yesus sendiri menyebutkan hikmat Salomo (Matius 12:42). Namun, ada dua hal yang
perlu dipahami mengenai hikmat ini. Pertama, hikmat Salomo bukan miliknya. Allah memberikan hikmat tersebut kepada Salomo
sebagai jawaban atas doanya (1 Raja-Raja 3:5-13). Yakobus mengingatkan kita bahwa hikmat yang sama tersedia bagi kita
semua dan Allah akan mengaruniakannya kepada kita jika kita memintanya (Yakobus 1:5). Kedua, hikmat ini dapat dicampakkan,
seperti yang jelas dilakukan Salomo. Hidupnya yang penuh hikmat menjadi contoh kebodohan yang terbesar ketika ia berbalik dari
Allah untuk mengikuti allah-allah lain (1 Raja-Raja 11:4). Sebagaimana Yakobus 3:13-18 mengingatkan kita, hikmat yang kita pilih
sebagai pedoman hidup teramat penting bagi perjalanan iman kita. Saat memperhatikan hal ihwal kehidupan ini, penulis C. S.
Lewis menyatakan bahwa “surga tidak main-main soal sukacita.” Hikmatlah landasan dari perjalanan orang percaya menuju ke
sana.

Teks kali ini mengajak kita merenung: Apa saja jalan yang pernah kita ambil dalam upaya menemukan sukacita dan kebahagiaan?
Bagaimana hikmat dapat menuntun kita kepada sukacita yang kita cari tersebut? Kiranya Allah yang Maha Pengasih, membawa
kita kembali kepada jalan-Nya penuh hikmat dan sukacita apabila kita telanjur menyimpang ke jalan yang berbatu-batu.

Selasa, 14 September 2021


DI LUAR PERKEMAHAN
Teks: Ibrani 13:11-16

“Yesus telah menderita di luar pintu gerbang untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri” (Ibrani 13:12)

Jumat adalah hari pasar di sebuah kota kecil di Ghana. Ada seorang pedagang dengan jari tangan dan kaki di lapak itu telah
terkikis oleh penyakit Hansen (kusta). Wanita pedagang itu meringkuk di atas tikarnya dan mengambil dagangannya
menggunakan ciduk yang terbuat dari labu kering yang dikosongkan isinya. Banyak orang yang menghindarinya. Namun, ada
seorang ibu yang bersikukuh untuk berbelanja dari wanita itu. Beberapa waktu terkahir diketahui bahwa ia menghilang dengan
pergi keluar kota.

Pada zaman Israel kuno, penyakit seperti kusta membuat para penderitanya harus hidup “di luar perkemahan”. Mereka hidup
dalam pengucilan. Hukum Taurat menyatakan bahwa penderita kusta “harus tinggal terasing” (Im. 13:46). Selain itu, bangkai
hewan korban persembahan juga dibakar di luar perkemahan (Im. 4:12). Jelas, daerah di luar perkemahan bukanlah tempat yang
layak untuk didiami.

Kenyataan pahit ini menjadi sarat dengan makna ketika kita membaca pernyataan tentang Yesus di Ibrani 13: ”Karena itu marilah
kita pergi kepada-Nya di luar perkemahan dan menanggung kehinaan-Nya” (Ayat 13). Fakta Yesus disalibkan di luar pintu gerbang
kota Yerusalem menjadi poin penting ketika kita mempelajari sistem korban persembahan yang diterapkan orang Ibrani. Surat
kepada orang Ibrani di Perjanjian Baru ditujukan kepada Diaspora, yaitu orang-orang Yahudi pengikut Kristus yang terserak
karena penganiayaan. Karakteristik penerimanya mungkin menjelaskan penekanan yang kuat soal sejarah Israel dan sistem
pengorbanan dalam Yudaisme, yang menjadi acuan bagi karya Yesus di masa kemudian. Isi suratnya jelas berpusat kepada
Kristus, dengan meninggikan Yesus jauh di atas malaikat, imam, dan Musa, serta menegaskan karya pengorbanan Kristus yang
menebus jauh mengungguli sistem pengorbanan yang dilakukan di bait Allah Israel. Surat Ibrani juga penuh misteri, terutama
karena surat ini anonim. Penulis Ibrani telah lama menjadi bahan penelitian ilmiah maupun religius, dengan perdebatan panjang
untuk menentukan identitas penulisnya. Yang dianggap mungkin menjadi penulisnya antara lain adalah Paulus, Apolos, Barnabas,
Lukas, Priskila, dan masih banyak lagi.

5
Kita ingin dikenal, dihormati, dan hidup dengan nyaman. Namun, Allah memanggil kita untuk pergi “ke luar perkemahan”, ke suatu
tempat yang hina. Di sanalah kita akan menemukan si pedagang yang menderita kusta. Di sanalah kita akan menemukan orang-
orang yang telah ditolak dunia. Di sanalah kita akan menemukan Yesus.

Teks kali ini mengajak kita merenung: Apa respons kita saat pertama kali bertemu orang asing dan orang yang tidak diterima oleh
umum? Bagi kita, apa bentuk nyata dari tindakan “pergi kepada Yesus di luar perkemahan”? Kiranya kita dapat meneladani
karakter Kristus yang tidak pernah membeda-bedakan siapa saja. Kiranya kita juga selalu ingat untuk berterima kasih karena
Tuhan telah rela menderita “di luar perkemahan” demi kita.

Jumat, 24 September 2021


MEMINDAHKAN PAGAR
Teks: Yesaya 43:18-21

“Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru! “ (Yesaya 43:19)

Ketika Perang Dunia II sedang berkecamuk, diceritakan sekelompok tentara datang kepada seorang Pendeta, mereka memohon
agar rekan mereka segera dimakamkan secara layak di pemakaman yang terletak di samping gereja. Pendeta memberi tahu
sekelompok tentara Amerika tersebut bahwa mereka tidak dapat menguburkan jenazah rekan mereka yang tewas di pemakaman
berpagar yang terletak di samping gereja itu dikarenakan tanah makam itu hanya diperuntukkan bagi anggota jemaat gereja. Jadi,
tentara-tentara itu menguburkan rekan mereka persis di luar pagar makam milik gereja. Namun, keesokan paginya, para tentara
itu tidak dapat menemukan kuburan rekan mereka. Seorang tentara berinisiatif bertanya kepada Pendeta: “Apa yang terjadi?
Kuburannya hilang,” kata seorang tentara kepada sang Pendeta. “Oh, tidak, kuburannya masih ada,” jawabnya. Tentara itu
bingung, tetapi pendeta itu lalu menjelaskan, “Saya menyesal telah menolak kalian. Jadi, tadi malam, saya bangun dan
memindahkan pagarnya.”

Allah menyebut bangsa Israel “umat pilihan-Ku; umat yang telah Kubentuk bagi-Ku” (Yesaya 43:20-21). Namun, mengapa Dia
memilih satu keluarga di antara yang lain, terutama yang begitu tidak berharga (Ayat 22-28)? Jawabannya disinggung di ayat 21,
menggemakan penjelasan Allah kepada Abraham di kitab Kejadian. Dia memilih satu keluarga untuk peran khusus dalam
rencana-Nya memberkati semua bangsa (Kejadian 12:1-3). Kisah yang lebih besar tersingkap di Sinai, ketika Allah berfirman
kepada umat pilihan-Nya bahwa sebagai saksi kuasa penyelamatan-Nya, mereka dijadikan “kerajaan imam” (Keluaran 19:4-6). Di
kemudian hari, Petrus menggunakan kata-kata serupa untuk menjelaskan bagaimana Allah sekarang memilih orang-orang dari
segala bangsa untuk menjadi kerajaan, imamat, dan saksi baru bagi Dia yang memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang
(1 Petrus 1:1-2; 2:9-10). Kita dipilih menjadi saksi bagi Allah sumber kasih karunia yang hidup dan mahakuasa.

Allah mungkin juga akan memberikan perspektif baru bagi kita untuk melihat berbagai tantangan hidup, jika kita terus berusaha
mencoba mengerti dan memaklumi berbagai situasi. Itulah pesan Nabi Yesaya kepada bangsa Israel yang tertindas. Alih-alih
menengok ke belakang dan merindukan kembali penyelamatan seperti yang mereka alami di Laut Merah, mereka perlu
mengalihkan pandangan ke depan dan melihat bagaimana Allah melakukan mukjizat baru serta membuka jalan baru. “Janganlah
ingat-ingat hal-hal yang dahulu,” Dia mendesak mereka. “Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru!” (Yes. 43:18-19). Dialah
sumber pengharapan di tengah keraguan dan pergumulan. “Aku telah membuat air memancar di padang gurun dan sungai-sungai
di padang belantara, untuk memberi minum umat pilihan-Ku” (Ayat 20). Setelah menerima cara pandang baru, kita juga dapat
melihat tuntunan Allah yang baru dalam hidup kita. Dengan perspektif yang disegarkan kembali, kiranya kita melihat jalan baru
yang dibuka-Nya. Kemudian, kiranya kita melangkah menapaki tanah yang baru itu dan mengikut Dia dengan berani.

Teks kali ini mengajak kita merenung: Hal baru apa yang ingin Allah genapi dalam hidup kita? Ke tempat baru mana Allah telah
menuntun kita dan apa yang akan kita lakukan di tempat tersebut? Kiranya kita selalu ingat untuk berterima kasih kepada Allah
yang penuh rahmat, atas sudut pandang baru yang telah Dia berikan dalam hidup kita. Kiranya pandangan kita selalu disegarkan
agar kita bisa melihat jalan yang baru dalam perjalanan kita bersama-Nya.

Anda mungkin juga menyukai