Anda di halaman 1dari 3

SURAT GEMBALA PRAPASKAH 2023

(Dapat dijadikan inspirasi atau disampaikan pada hari Rabu Abu


sampai pada hari Minggu Prapaskah I di Paroki-Paroki)

AJAKAN PERTOBATAN UNTUK


SEMAKIN MENGASIHI DAN LEBIH PEDULI
Para Ibu dan Bapak, saudari dan saudara yang budiman,
Para Pastor, Suster, Bruder, Frater, kaum muda, remaja dan anak-anak,
seluruh umat Keuskupan Padang yang terkasih dalam Kristus,

1. Hari Rabu Abu mengawali masa Prapaskah, saat rekonsiliasi yang penuh rahmat. Kiranya
nasehat St. Paulus dalam bacaan liturgi sungguh-sungguh sampai kepada kita masing-
masing bagaikan satu undangan untuk berekonsiliasi, berdamai kembali dengan Allah,
dengan diri sendiri dan dengan sesama: “supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia
kasih karunia Allah, yang telah kamu terima. Sebab Allah berfirman: ‘Pada waktu Aku
berkenan, Aku akan mendengarkan engkau, dan pada hari Aku menyelamatkan, Aku akan
menolong engkau.’ Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya,
hari ini adalah hari penyelamatan itu.” (2Kor. 6:1-2). Rekonsiliasi itu dijelaskan dalam
Kitab Nabi Yoel sebagai satu gerakan kehidupan dari dua pelaku utama: Allah dan
manusia. Rekonsiliasi itu adalah satu panggilan dan jawaban, di mana bertemu hati manusia
yang dikoyak oleh dosa dan hati Allah yang “pengasih dan penyayang, panjang sabar dan
berlimpah kasih setia” (Yl. 2:13).

2. Saudari dan Saudara yang terkasih, semangat rekonsiliasi ini perlu dihayati dalam
kehidupan sehari-hari yang nyata, jika tidak demikian, hanya akan menjadi satu niat yang
semu saja dan tidak teraktualisasikan dalam sejarah kehidupan kita. Tiga unsur kehidupan
yang harus diwarnai semagat rekonsiliasi ini menurut penginjil Matius adalah amal
sedekah, doa dan puasa. Ketiganya bukan sekedar ritual yang tampak di luarnya saja baik.
Doa, sedekah dan puasa itu perlu dihayati dalam sikap kerendahan hati sebagai anak yang
dinanti Bapanya dalam pesta rekonsiliasi. Memang, “bertobat” dalam bahasa aslinya berarti
“berbalik arah”, “pulang kembali” seperti anak yang hilang itu (bdk. Luk. 15:20). Dalam
konteks inilah Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus di tengah-tengah ajaran tentang doa
dalam Injil Mat. 6:9-15 itu dapat dianggap sebagai sintesis setiap rekonsiliasi yang benar
dan otentik: “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga
akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga
tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat. 6:14-15).

3. Etika kemuridan yang diajarkan Yesus dalam Kotbah di Bukit, seperti kita dengar dalam
bacaan hari Minggu yang lalu menggarisbawahi hal itu dengan perintah mengasihi musuh:
“Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang
menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan
bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat. 5:45). Seorang murid Kristus
memang harus dikenal dari kemampuannya untuk mengampuni musuh-musuhnya. Jika
tidak demikian, jika kasihnya “pilih kasih”, ia bukanlah murid, karena seperti kata St.
Agustinus, “ukuran mengasihi itu adalah mengasihi tanpa ukuran.”
4. Oleh karena itu, saudari dan saudara yang dikasihi Tuhan, pengampunan pada sesama itu
tidak mengenal batas. Kata Yesus kepada Petrus: “Bukan sampai tujuh kali, melainkan
sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat. 18:22). Bagi seorang Yahudi seperti Petrus,
matematika Yesus itu akan mengingatkannya pada rasionalisasi Lamekh yang ditampilkan
dalam halaman-halaman pertama Kitab Suci sebagai seorang yang tidak kenal ampun.
Membanggakan sikap suka balas dendamnya, ia berani berseru: “Jika Kain harus
dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat.” (Kej. 4:24). Bedanya
adalah, sementara seruan Lamekh mengungkapkan sikap balas dendam, jawaban Yesus
pada Petrus menggarisbawahi pengampunan. Jika bagi Lamekh hukum balas dendam itu
bisa dibawa sampai tujuh puluh tujuh turunan, bagi Yesus hukum pengampunan itu
universal dan tak terbatas nilainya. Seorang pengikut Kristus harus dikenal dari caranya
mengampuni, atau jika tidak demikian ia bukanlah murid Tuhan. Kalau mau hitung-
hitungan, ukuran perbandingannya begitu besar dan tak terbayangkan, bagaikan hutang
sebesar sepuluh ribu talenta (yang setara dengan enam konvoi truk dengan muatan emas).
Namun, jumlah hutang sebesar itu dianggap lunas oleh Tuhan, sementara piutang yang
hanya seratus dinar saja selalu nampak di depan pelupuk mata, tak terlupakan dari benak
seseorang karena rasa dendamnya. Pengampunan itu seharusnya bagaikan hembusan nafas
seorang murid. Seorang Kristen tidak dapat tidak mengampuni, karena ia sudah selalu
diampuni.

5. Jadi, benarlah keyakinan St. Paulus dalam bacaan kedua pada Minggu Prapaskah yang
pertama ini: “Kasih karunia Allah jauh lebih besar daripada dosa satu orang” (Rom. 5:16),
karena “dimana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah”
(Rom. 5:20). Nabi Hosea telah mengingatkan kita akan kenyataan dasariah ini, bahwa pada
mulanya ada kasih Allah, yang berkuasa untuk mengampuni dan memulihkan segalanya.
Tuntutan yang dasariah dari wawancara keselamatan antara Tuhan dan umat Israel ini
adalah pertobatan, yakni kembali kepada kasih yang sejati dan total kepada Allah,
sebagaimana terwujud dalam praksis sosial sebagai buahnya, persembahan yang berarti
bagi Tuhan (bdk. Hos. 14:3). Demikian umat akan mengerti bahwa doa mereka dikabulkan,
yakni ketika mereka mendengar kembali suara Tuhan, karena “manusia hidup bukan dari
roti saja, tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4:4; bdk. Ul. 8:3),
yakni sabda pengampunan-Nya, kidung belas kasihan.

6. Saudari dan saudara yang terkasih, pendalaman iman masa Prapaskah 2023 mengajak kita
untuk “semakin mengasihi dan lebih peduli.” Itulah yang kiranya menjadi usaha pertobatan
kita dalam masa retret agung ini, supaya kita dapat mengupayakan “Keadilan Ekologis bagi
Seluruh Ciptaan.” Bahaya yang terus menerus digarisbawahi oleh Bapa Suci Paus
Fransiskus, bahkan dikatakan sebagai “dosa yang paling parah” dalam dunia yang semakin
modern dan kompleks ini adalah “ketidakpedulian” manusia terhadap sesamanya dan
mahluk ciptaan lainnya. Ketidakpedulian itu mengungkapkan akar kesombongan yang ada
dalam diri manusia yang lebih suka mementingkan dirinya sendiri sejak asal mulanya.
Karunia akal budi dan rasa ingin tahu manusia yang sering menjadi tanpa batas dan
cenderung eksploitatif diingatkan kembali dalam Kitab Kejadian bab 2 dan 3, tentang dosa
asal Adam dan Hawa. Alih-alih menjadi maha tahu seperti Allah, mereka menjadi malu
karena menyadari diri rapuh dan telanjang. Akan tetapi, barangkali hanya dengan
menyadari “ketelanjangan” ini, hanya dengan mengalami kerapuhan dan keterbatasan yang
memalukan ini di hadapan berbagai bencana alam dan penyakit yang tak dapat dihindari,
kita kembali disadarkan akan keberadaan alam ciptaan sebagai rumah kita bersama, akan
kepedulian yang harus kita usahakan bersama-sama dengan saling mengasihi.
7. Saudari dan Saudara yang dikasihi Tuhan, puasa dan pantang yang kita jalani dalam Masa
Prapaskah kita ini, bukanlah sekedar kepatuhan pada aturan-aturan gereja, melainkan
wujud nyata pertobatan social dan ekologis kita untuk menjadi semakin mengasihi dan
lebih peduli pada sesama. Bagi orang Yahudi pada zaman Yesus, yang mempunyai 613
hukum, terdiri dari 365 larangan dan 248 keharusan, soal hukum mana yang paling utama
menjadi pokok perdebatan yang penting di kalangan para guru agama. Itulah sebabnya
dialog Yesus dengan ahli Taurat seolah-olah berakhir dengan kesimpulan bahwa ada
“aturan” di dalam aturan, prinsip batin yang diungkapkan dengan tepat oleh penulis surat
pertama Yohanes: “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Jikalau
seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah
pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin
mengasihi Allah yang tidak dilihatnya.” (1Yoh. 4:19-20). Kasih itulah dasar seluruh
Hukum Taurat dan Kitab Para Nabi (bdk. Mat.22:40). Semoga Tuhan memberkati doa,
puasa dan karya amal kita dalam masa tobat ini agar kita menjadi semakin mampu
mengasihi dan lebih peduli.

Salam belas kasih,

+ Vitus Rubianto Solichin


Uskup Padang

Anda mungkin juga menyukai