Anda di halaman 1dari 6

Minggu Biasa XXVII

Kej 2:18-24  Ibr 2:9-11 Mrk 10:2-16

PENGANTAR
Sapaan,.... kita perlu bergembira dan bersorak sorai.
Sebab kita memiliki Allah yang senantiasa mencintai kita.
Berkenaan denga kecintaan Allah terhadap kita, maka pada
hari ini kita diundang untuk datang, mendengarkan sabda
Tuhan dan turut serta dalam perjamuan kudus-Nya di hari
Minggu Biasa ke 27.
Dalam bacaan-bacaan suci sebentar, sapaan,... kita akan
mendengarkan pengajaran dan penetapan kita semua
sebagai satu kesatuan yang dikasihi Allah sebab TUHAN
Allah telah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.
Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia, sehingga
Dan lebih dari pada itu, Allah
keduanya menjadi satu daging.”
menegaskan bahwa setiap kesatuan di dalan Tuhan adalah
Kudus, sebab “Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan,
mereka semua berasal dari Satu; itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut
mereka saudara.”
Sekalipun kita telah diangkat menjadi saudara di dalam
Kristus, namun tak dapat kita pungkiri bahwa terkadang
kita masih terbawa dan terseret arus egoisme yang
menghantar kita kepada dosa. Maka marilah, sapaan,....
kita memeriksa hati dan batin kita, menyadari dan
menyesali segala salah dan dosa kita, memohon ampun
dengan berdoa,....
Kotbah
Sekami,... dll
Tema permenungan kita pada hari minggu
biasa ke 27 ini saya beri judul “”
Sapaan,.... perayaan kita pada hari layaknya
kita merayakan perayaan perkawinan, sebab
bacaan-bacaan suci yang tadi, sudah sering kita
dengarkan pada saat perayaan pernikahan, baik
oleh kita sebagai pribadi maupun oleh sahabat
kenalan kita. dengarkan mengarah kepada satu
tujuan yakni perkawinan yang langgeng yang
didasarkan oleh kasih Allah. sebab ketiga bacaan
suci yang tadi kita dengarkan mengetegahkan
kepada kita tentang dasar, model dan solusi
kehidupan berumah tangga.
Dalam Injil Markus hari ini diceriterakan hal pertanyaan orang-
orang Farisi kepada Yesus untuk mencobai-Nya: “Bolehkah
seorang suami menceraikan isterinya?”. Pertanyaan pancingan
itu dijawab oleh Yesus dengan pertanyaan balik ini: “Apa perintah
Musa kepadamu?”. Dalam rangka perayaan Ekaristi hari ini
marilah kita berusaha memahami latar belakang perintah Musa
dalam Perjanjian Lama itu, namun disempurnakan oleh Yesus, yang
dengan tegas mengatakan: “Apa yang telah dipersatukan Allah,
janganlah diceraikan manusia!”. Isi pokok pesan Yesus ialah,
bahwa hanya di mana ada kasih, di situlah ada kesatuan.

HOMILI
Baik dahulu maupun sekarang tetap berlakulah ajaran
Yesus tentang kehendak Allah, yakni bahwa suami dan isteri
dalam perkawinan haruslah satu dan tak terpisahkan. Dalam
Perjanjian Lama pun kehendak Allah itu sudah terungkap
dalam Kitab Kejadian (Bac. I) di mana secara sangat
sederhana dan simbolis diceriterakan siapakah makhluk
Tuhan yang disebut perempuan. Adam, orang laki-laki
pertama, berkata:”  <Inilah dia, tulang dari tulangku dan
daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab
ia diambil dari laki-laki>. Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”
(ay.23-24).
Pesan Kitab Kejadian tersebut ialah, bahwa Allah adalah
kasih, karena itu Ia tidak mau sendirian. Maka Ia
menciptakan alam semesta, bahkan akhirnya menciptakan
juga manusia: Adam. Tetapi manusia ini tidak boleh
sendirian juga, maka Ia menciptakan manusia lain: Hawa
sebagai teman hidupnya. Perempuan itu diambil dari tulang
rusuk laki-laki, untuk menegaskan bahwa keduanya sebagai
makhluk Allah adalah sepadan nilai pribadinya satu sama
lain dan semartabat pula di hadapan Allah. Karena itu
harus senilai dan semartabat pula kasih laki-laki dan
perempuan satu sama lain sebagai teman hidup bersama
mereka.
Nilai hidup bersama laki-laki dan perempuan atas dasar
kasih seperti sudah digambarkan dalam Perjanjian Lama itu
di dalam Perjanjian Baru diajarkan dan ditegaskan oleh
Yesus dengan kasih sepanjang hidup dan perbuatan-Nya.
Yesus tidak menikah, tidak hidup berkeluarga, karena Ia
tidak mau membatasi kasih khusus kepada hanya satu orang.
Kasih-Nya mutlak kepada semua orang yang mau dikasihi-
Nya. Paulus secara simbolis mengatakan, bahwa Gereja, yaitu
segenap umat-Nya, adalah mempelai-Nya yang dikasihi-Nya
sepenuhnya (lih. Ef  5:22-33). Kasih penuh dan utuh
Kristus kepada umat-Nya, - itulah yang harus
merupakan lambang pemersatu perkawinan umat
kristiani sejati.
Pesan apakah sebenarnya yang ingin disampaikan kepada
kita tentang makna perkawinan dalam Injil Markus hari ini?
Perkawinan janganlah terutama dilihat dan dihargai dalam
bentuk keindahan dan keagungan upacaranya, baik dalam
peresmian perjanjian/kontrak di dalam Gereja dan di depan
instansi sipil, maupun dalam resepsi meriah sesudahnya.
Yang harus diutamakan ialah kesungguhan dan
kesetiaan dalam diri kedua mempelai di hadapan Tuhan
untuk saling mengasihi. Sebab perjanjian atau kontrak
resmi antar manusia dapat dibatalkan, namun janji setia
dalam perkawinan di hadapan Tuhan harus mempersatukan
kasih dua orang untuk selamanya. Yesus menegaskan: “Apa
yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”
(Mrk 10:9). Mungkinkah itu? Betapa perlunya bagi setiap
orang berusaha untuk mengenal dan meneguhkan diri
sebagai manusia yang tulus dan setia. Betapa pentingnya
sebelumnya bagi para calon teman hidup untuk saling
mengenal dengan baik? Hanya dengan kejujuran dan
kesetiaan kepada Tuhan, orang akan mampu jujur dan setia
juga kepada sesama, khususnya kepada calon teman hidup.
Bila ada kejujuran dan kesetiaan hati di antara keduanya,
maka keduanya secara alkitabiah disebut “menjadi satu
daging”, yang tak terpisahkan. Sehingga betapa pahit dan
sakitnya apabila mereka itu dipisahkan satu dari yang
lain!
Bagaimanakah perkawinan kristiani dapat dihayati
dengan baik dan tenang?
Keluarga juga disebut sebagai “Gereja domestik”, Gereja
rumah tangga. Seperti Gereja adalah tanda atau sakramen
kasih Allah dalam diri Yesus Kristus, demikian juga
perkawinan sebagai “gereja kecil” adalah tanda atau
sakramen kasih Kristus. Kasih timbal balik antara suami
dan isteri, dan antara orang tua dan anak-anak, - itulah yang
harus menjadi bukti, tanda, sakramen kasih Tuhan, kasih
Kristus di dalam setiap perkawinan kristiani sejati. Suami,
isteri dan anak-anak di dalam sikap, pemikiran, pergaulan
sehari-hari hendaknya memperlihatkan wajah kasih Tuhan,
wajah Kristus penuh kasih-Nya kepada sesama baik dalam
keluarga maupun untuk tetangga. Suasana hangat penuh
kasih ini akan makin dirasakan, apabila keluarga-keluarga
kita sungguh berusaha menyediakan waktu atau kesempatan
untuk saling bertemu, berdoa bersama, makan bersama dan
saling memperhatikan.
Tuhan sungguh hadir apabila di dalam keluarga ada
kerukunan, kesatuan, kesetiaan, saling pengertian, dan kasih
di antara segenap anggotanya. Hasil-hasil penemuan ilmu
pengetahuan dewasa ini, khususnya dalam menciptakan
benda-benda/alat-alat komunikasi modern apapun
bentuknya, jangan sampai justru menyingkirkan sarana-
sarana manusiawi, yang paling dibutuhkan untuk hubungan
atau relasi kasih antar pribadi yang terdekat, yaitu dalam
keluarga. Hanya dengan pergaulan langsung secara
pribadi dalam keluarga, bukan lewat benda atau alat,
akan tercipta kasih sejati. Kasih sejati dalam keluarga tidak
ada, apabila masing-masing anggotanya hanya puas jikalau
segalanya dilakukan menurut kehendak atau keinginan
sendiri. Kasih suami isteri sejati adalah kerelaan saling
menerima dan memberi, seperti kasih Kristus kepada
segenap umat-Nya.

Anda mungkin juga menyukai