Anda di halaman 1dari 23

RANCANG BANGUN EKONOMI ISLAM.

Oleh: M. Dawam Rahardjo.

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN

2. RANCANG BANGUN SISTEM EKONOMI.

3. DEFINISI, HAKEKAT DAN PARADIGMA.

4. EKONOMI ISLAM SEBAGAI EKONOMI SYARI’AH.

5. PENGERTIAN GENERIK “EKONOMI ISLAM”

6. EKONOMI ISLAM SEBAGAI EKONOMI MORAL-SOSIAL.

7. FONDASI NILAI.

8. AGENDA KAJIAN DAN PENELITIAN

9. KESIMPULAN

10. BAGAN 1

11. BAGAN 2

PENDAHULUAN

Ekonomi Islam dikembangkan berdasarkan asumsi, bahwa persoalan ekonomi itu bersifat
kompleks atau multi-diomensional, sehingga membutuhkan pendekatan antar disiplin, khususnya antara
displin ilmu-ilmu keagamaan tradisional dan ilmu pengetahuan umum multi-disiplin. Dengan demikian,
maka ilmu Ekonomi Islamn itu adalah sebuah ilmu ekonomi kelembagaan ( institutional economics).
Pendekatan tersebut menimbulkan suatu struktur pemikiran tertentu dan aneka aliran pemikiran. Hasil
pemikiran yang kompleks dan multi-dimensional itu menimbulkan tiga kebutuhan. Pertama, kebutuhan
stream-lining atau pengaris bawahan berbagai penemuan yang dinilai paling mendekati kebenaran.
Kedua, kebutuhan restrukturisasi yang konsisten dan koheren. Dan ketiga membutuhkan integrasi untuk
membentuk kekuatan dan keuanggulan dalam aplikasinya.

Atas dasar asumsi di anas maka, pemikiran Ekonomi Islam pada dasarnya dapat digolongkan
menjadi tiga. Pertama adalah pemikiran ekonomi yang berujud teori dan metodologi pemikiran atau
epistemologi. Kedua adalah sistem ekonomi sebagai media penerapannya melalui legislasi dan
pelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya. Ketiga, realitas perekonomian yang berjalan, baik berupa
perekonomian umat Islam, bangsa Indonesia maupun dunia yang saling terkait.

Sesuai dengan kaedah ilmu pengetahuan yang sudah menjadi kesepakatan, suatu pengetahuan
ilmiah akan terdiri dari tiga aspek. Pertama diskripsi, persepsi dan penilaian mengenai kondisi dan
pemasalahan masyarakat yang disebut ontologi. Kedua pendekatan, cara pemahaman dan pemecahan

1
masalah yang disebut epistemologi. Ketiga rumusan hasil yang diharapkan, tujuan dan nilai guna dari
pengetahuan tersebut yang disebut aksiologi.

Dewasa ini pemikiran Ekonomi Islam telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan
cakupan yang komprehensif. Pada tingkat perkembangan ini sudah bisa diperoleh bahan untuk
menyusun konsep sistem ekonomi Islam, baik mikro maupun makro. Sistem ekonomi itu mengandung
dua pengertian. Pertama sistem ekonomi yang universal, misalnya kapitalisme, sosialisme atau sosial
demokrasi. Kedua sistem ekonomi yang diberlakukan pada tingkat nasional. Kategori pertama perlu lebih
dahulu disusun dengan pertama-tama menyusun arsitektur atau rancang bangun. Disini sistem ekonomi
diasumsaikan atau diumpamakan sebagai suatu bangunan, rumah atau gedung. Sebelum dibangun
menjadi sistem, diperlukan pedoman berupa desain, arsitektur atau rancang bangun.

RANCANG BANGUN SISTEM EKONOMI.

Pada pokoknya mendirikan suatu bangunan itu dmulai dengan meletakkan fondasi (foundation))
yang kuat. Di atasnya dibangun lantai dasar (ground floor). Di atas lantai dasar ditegakkan tiang-tiang
penyengga (pillar). Dalam sistem rumah Jawa, pendopo di bagian tengannya ditegakkan 4 tiang utama
yang disebut soko-guru (main pillar). Lalu dibangun flafon (plafond). Dan paling atas dibangun atap
(roof). Pada bangunan rumah itu tentu ada pintu-pintu (door) yang merupakan ruang masuk dan keluar
dan jendela (window) yang menghubungkan ruang dalam dan dunia luar. Sudah barang tentu
masalahnya adalah, bagaimana menginterpretasi bangunan rumah atau gedung itu dengan bangunan
ekonomi yang sifatnya abstrak. Interpretasi itu adalah material atau bahan-bahan bangunan. Dalam
Ekonomi Islam, bahan bangunan itu adalah ajaran Islam yang bersumber dari al Qur‟an dan Sunah serta
tradisi pemikiran yang telah dikembangkan oleh para ulama, filsuf dan tindakan-tindakan para pemimpin
Islam, seperti para sahabat dan pemimpin-pemimpin berikutnya yang dicatat dalam sejarah
perkembangan perekonomian. Suroso Imam Djazuli dari Universitas Erlangga bahkan berpendapat
bahwa hakekat Ekonomi Islam itu adalah praktek kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh Nabi dan para
sahabatnya. Bahkan telah terbit sebuah buku mengenai praktek ekonomi yang ditegakkan oleh Abu
Bakar, Khalifah Umar bin Thottob, dan pandangan-pandangan seorang sahabat penting seperti Abu Zar
al Ghifari yang dijuluki pelopor sosialis Islam. Dari pandangan itu nampak dua eleman bangunan
Ekonomi Islam, yaitu elemen normatif dan elemen historis-sosiologis.

Jika mengikuti pendapat Imam Djajuli, maka yang pertama diperlukan adalah kajian sejarah
tentang praktek dan perkembangan ekonomi pada masa Nabi dan para sahabatnya. Dewasa ini kajian
yang komprehensif yang sifatnya historis belum ada, sedangkan yang ada bersifat sepotong-sepotong
berdasarkan anakdote ateu berita. Tapi dewasa ini, seorang ekonom UII, Suwarsono Muhammad, sedang
menyusun sejarah perekonomian yang komprehensif itu. Dalam praktek, pengetahuan mengenai
Ekonomi Islam lebih didasarkan pada kajian para pemikir-ulama, seperti Abu Yusuf, Abu Ubeid, Ibn Rush,
al Gazali dan Ibn Taimiyah. Kajian ini menghasiolkan dua jenis ilmu, pertama fiqih mu‟amalah dan kedua
kalam atau teologi ekonomi yang menghasilkan moral dan etika ekonomi. Namun yang berkembang
menjadi arus utama (mainstream) adalah kajian ekonomi fiqih yang menghasilakn ekonomi hukum (legal
economics) yang menjadi fondasi Ekonomi Syari‟ah dewasa ini yang memfokus kepada ekonomi
keuangan dan perbankan yang mengandung nilai instrumental yang tinggi.

DEFINISI, HAKEKAT DAN PARADIGMA.

Dengan melihat definisi-definisi yang disusun oleh para penganjur dan pemikir Ekonomi Islam,
para pengamat Barat pada mulanya memandang Ekonomi Islam sebagai ekonomi normatif dan ideologi.
Tapi berkat rumusan hukum yang jelas dan praktis dari ilmu fiqih, maka rumusan aplikasi ekonominya
yang disebut Ekonomi Syari‟ah itu bisa pula dirumuskan, walaupun terbatas di bidang keuangan,
sehingga terkesan bahwa Ekonomi Islam itu identik dengan Ekonomi Syari‟ah. Disitu yang nampak
menonjol pada Ekonomi Syari‟ah adalah adalah nilai instruemtalnya ( instrumental value). Dalam
realitas perkembangnnya, konsep-konsep ekonomi itu langsung diterapkan, khususnya di bidang
2
keuangan dan perbankan yang didasarkan pada hukum-hukum syari‟ah dan karena itu maka Ekonomi
Islam disebut juga sebagai “Ekonomi Syari‟ah”. Ahli ekonomi Islam kontemporer, Muhammad Arief
Zakrullah dari Pakistan mengambil kesimpulan, bahwa syari‟ah adalah paradigma Ekonomi Islam atau
cara pandang yang disepakati oleh mayoritas penggagas Ekonomi Islam. Demikian pula, Umer Chappra
mengatakan bahwa acuan dasar Ekonomi Islam itu adalah al Maqasith al Syari‟ah. Tujuan-tujuan syari‟ah
yang lima atau enam. Atas dasar pandangan Chapra itu ia mengebangkan teori ekonomi moneter yang
makro yang mengarah kepada pembantukan aristektur keuangan global.

Dalam konteks hukum Islam, khususnya di bidang mu‟amalah atau transaksi keuangan, yang
dominan adalah konsep-konsep yang bertolak dari hukum larangan riba yang menjadi vokus
pembahasan para ulama fiqih atau fukaha. Tapi solusi terhadap masalah riba itu adalah praktek
mu‟amalah yang dijalankan oleh Nabi dan para sahabatnya, khususnya solusi al qiradh yang dijabarkan
lebih lanjut menjadi model-model pembiayaan yang lebih khusus, yaitu murabahah, mudharobah, dan
musyarakah yang menjadi produk-produk pelayananan utama perbankan syari‟ah, disusul dengan
produk-produk baru lainnya. Dari praktek penerapan hukum syari‟ah di bidang keuangan itu timbul
rekaman data yang menggambarkan realitas dari Ekonomi Islam dalam wujud perkembangan ekonomi
keuangan (finance economy). Berdasarkan pengalaman itu, pemikiran Islam selanjutnya menghasilkan
pengetahuan empiris-positif. Dari sini, dapat diambil kesimpulan, bahwa dalam perkembangnnya,
Ekonomi Islam adalah ilmu normatif yang menjadi ilmu terapan dan selanjutnya setelah dikaji diakui
juga sebagai ilmu empiris-positif. Dalam kaitan itu, Imam Djajuli mengambil kesimpulan bahwa Ekonomi
Islam itu pada dasarnya adalah Ekonomi Normatif. Ekonomi Islam menjadi empiris-positif setelah
diterapkan. Jadi Ekonomi Islam sebagai ilmu positif adalah hasil kajian dari praktek yang telah terjadi.

Sebenarnya, ilmu ekonomi konvensional yang disebut sebagai ilmu positif itu bermula juga dari
kajian filsafati, sebagaimana tercermin dari buku Suma Theologia yang ditulis oleh St. Thomas Aquinas,
dimana bahasan-bahasan ekonominya merupakan pemikiran theologies. Dan pada abad 18, ilmu
ekonomi disebut sebagai ilmu moral (moral science) dan ilmu ekonomi-politik (political economy) yang
oleh Lord Robbin disebut juga ilmu Ekonomi Normatif, yang oleh Lord Robin disebut juga sebagai ilmu
ekonomi normative, padahal Ekonomi Politik modern itu adalah ilmu ekonomi positif, sebagaimana
nampak dalam teori ekonomi ketergantungan Amerika Latin yang bercorak sosiologis, sebagaimana
Nampak dalam tulisan Theotonio Dos Santos dan Andre Gunder Frank. Hanya saja dalam
perkembangannya, aspek moral dalam ilmu ekonomi itu telah dilupakan, padahal sebutan “s elf-
regulating” pada mekanisme pasar itu terjadi melalui regulasi moral pada setiap individu. Inilah maka
pengertian “tangan gaib” (invisible hand) pasar, sebagaimana dijelaskan oleh Heilbrouner itu menjadi
salah kaprah hingga sekarang, sehingga Hidayat Nataatmaja, menyebut kepercayaan terhadap tangan
gaib itu sebagai “tahayul ekonomi”.

Sungguhpun demikian. perlu dicatat bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam al Qur‟an dan
Sunnah itu ternyata menimbulkan interpretasi yang berbeda, karena pengalaman empiris dan pandangan
politik yang berbeda. Misalnya saja tentang riba yang ditafsirkan sebagai segala macam bunga.
Sjafruddin Prawiranegara misalnya mempunyai dua pendapat mengenai masalah riba. Pertama adalah
bahwa bunga yang rendah suku bunganya dan tidak mengandung unsur keterpaksaan yang disebut
interest itu tidak bisa disebut sebagai riba, tapi laba perdagangan yang curang dan mengandung unsur
keterpaksaan misalnya karena siasat penimbunan (hoarding) adalah riba juga. Kedua, ia berpendapat
bahwa riba memang dilarang, tetapi yang disebut riba adalah sistem yang eksploitatif. Dari situ ia
berpendapat bahwa hakekat Ekonomi Islam terletak pada moral dan etika yang terkandung dalam ajaran
Islam. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Ekonomi Islam menurut perspektifnya adalah apa yang
disebut Ekonomi Moral (Moral Economy) sekarang.

Pandangan Syafruddin Prawiranegara yang sebenarnya mengikuti pandangan seorang ulama


PERSIS, A. Hasan, itu umumnya ditolak oleh kalangan ulama dan bahkan para sarjana ekonomi Islam
sendiri. Namun pandangannya yang menafsirkan riba esensinya adalah sistem ekploitasi dalam berbagai
kegiatan ekonomi, tidak ditolak dan memberikan inspirasi, sehingga kini, para ekonom modern bisa
3
memaknai berbagai gejala ekonomi mutahir, misalnya buih ekonomi (economic bubble), sistem uang
kertas, inflasi dan tindakan devakluasi sebagai megandung riba, yang memperluas wawasan ekonomi dan
mengembangkan teori-teori Ekonomi Islam. Dari situ, dapat digali dan dirumuskan berbagai prinsip-
prinsip Ekonomi Islam, sebagai penyangga atau pilar sistem Ekonomi Islam.

Dengan demikian dapat ditarik dua kesimpulan mengenai pengertian ekonomi Islam. Pertama
Ekonomi Islam adalah pemikiran atau konsep ekonomi yang berdasarkan pada norma-norma hukum.
Dalam pemikiran atau konsep ini, Ekonomi Islam adalah “Ekonomi Syari‟ah” yang tergolong ke dalam
kategori “Ekonomi Hukum” (Legal Economics). Kedua, Ekonomi Islam adalah pemikiran dan konsep
ekonomi yang didasarkan pada nilai-nilai yang ditafsirkan dari ajaran Islam. Nilai-nilai itu tercermin dalam
istilah-istilah yang terdapat dalam al Qur‟an dan Hadist yang ditafsirkan dengan teori ekonomi. Istilah riba
misalnya, dalam pendekatan ini tidak ditafsirkan sebagai hukum syariah, melainkan nilai yang tercermin
dari perilaku ekonomi pada umumnya. Demikian juga istilah zakat dan sadaqoh, tidak ditafsirkan sebagai
hukum ibadah semata, melainkan sebagai nilai yang menjadi pedoman perilaku. Pengertian yang lebih
terurai dari istilah-istilah itu dikembangkan melalui pendekatan ilmu tafsir, sebagaimana dilakukan oleh
ulama tafsir dan kalam, Abul A‟la al Maududi, misalnya dalam buku “Risalah Riba” (1937) yang kemudian
dikembangkan menjadi konsep sistem ekonomi Islam. Hal yang serupa dilakukan oleh ahli ekonomi
pertanian, Ahmad Muflih Saefuddin dalam bukunya “ Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam“ (1984) yang
hasilnya memberi gambaran mengenai arsitektur dan sistem Ekonomi Islam. Dalam perspektif ini, maka
Ekonomi Islam adalah Ekonomi Moral (Moral Economics).

Pada tahun 1954, terbit buku terjemahan hasil disertasi Dr. Kaharuddin Yunus yang berjudul
“Bersamaisme, Sistem Ekonomi Islam”. Dalam bukunya itu ia berpendapat bahwa sistem ekonomi Islam
itu pada dasarnya adalah apa yang disebut ekonomi prosumen, yang merupakan hubungan langsung
antara konsumen dan produsen seperti ekonomi koperasi. Hanya saja ia punya pendapat yang lebih
darikal yang mengatakan bahwa perdagangan itu adalah parasit, sebagaimana dikatakan oleh ekonom
phisiokrat, sehingga ekonomi bersamaisme adalah perekonomian tanpa sektor perdagangan. Teori ini
dapat digolongkan sebagai apa yang disebut ilmu Ekonomi-Sosial Islam (Islamic Social Economy). Aliran
pemikiran ini belum berkembang di Dunia Islam mauopun di Indonesia. Namun di Indonesia, embrio dari
kajian ekonomi ini adalah Ekonomi Kerakyatan berdasarkan gagasan Mohammad Hatta dan Mubyarto.

EKONOMI ISLAM SEBAGAI EKONOMI SYARI’AH.

Dalam realitas, yang kini telah berkembang ke tingkat diskursus adalah Ekonomi Islam dengan
sebutan Ekonomi Syariah sebagai Ekonomi Hukum (Legal Economics). Gagasan ini kini telah menjadi
diskursus (discoutsce) di tingkat internasional, kawasan Asia Tenggara maupun nasional Indonesia.
Perkembangan pemikiran ini telah menghasilkan pengertian dan definisi sebagaimana dirumuskan oleh
Hasanuz Zaman sebagai berikut

“Ekonomi Islam adalah pengetahuan tentang penerapan perintah perintah (injuctions) dan
tata cara (rules) yang ditetapkan oleh syari‟ah, dalam rangka mencegah ketidak-Adilan
dalam penggalian dan penggunaan sumberdayamaterial guna memenuhi kebutuhan
manusia yang memungkinkan mereka memenuhi kewajiban meraka kepada Allah dan
masyarakat”.

Ahli Ekonomi Islam dari Clark University, Kanada asal Pakistan, Muhammad Arief Zakrullah dalam
tulisannya menyatakan bahwa paradigma Ekonomi Islam yang telah disepakati dalam komunitas ilmu
Ekonomi Islam adalah Syari‟ah. Tapi dalam realitas,yang dimaksud dengan “syari‟ah” di bidang ekonomi
itu adalah hukum mu‟amalah atau transaksi keuangan, Dan dalam trasaksi keuangan itu yang menjadi
dasar teori adalah konsep “riba”.

Menurut ahli moneter dan perbankan syari‟ah Iran Dr. Abbad Mousoviyan, walaupun muncul
banyak interpretasi mengenai pengertian riba, namun para fukaha bersepakat bahwa riba adalah bunga

4
uang yang mencakup pengertian interest dan usury dan keduanya diharampak. Tetapi yang menjadi
masalah adalah, apakah yang menjadi alternatif dari sistem riba. Dalam al Qur‟an disebutkan dua
alternatif, pertama zakat, dan kedua bayk jual beli. Namun, masal;ah riba itu dalam dunia Islam dikaitkan
dengan kebutuhan pembentukan bank untik membangun perekonomian Islam. Karena itu, solusi yang
muncul adalah solusi yang betrkaitan dengan sistem perbankan.

Menurut Mousroviyan, di kalangan fukaha lahir 4 pemikiran mengenai solusi non-ribawi. Pertama
adalah solusi zakat yang berkembang menjadi doktrin filantropi atau kedermawanan. Kedua, adalah
solusi qord al hasan. atau fasilitas kebaikan. Ketiga adalah solusi bayk atau tijarah yang merubah
transaksi keuangan menjadi transaksi jual beli atau perdagangan. Dan keempat solusi musyarakah atau
kerjasama permodalan untuk mengerjakan suatu proyek usaha. Kesemua solusi itu dirangkum dan
dijabarkan secara praktis sebagai model-model atau produk perbankan sebagai yang kita kenal dewasa
ini. Namun dalam realitas, perbankan Islam dari berbagai negara atau di antara bank-bank Islam sendiri
terdapat perbedaan strategi dalam penerapan dan pemasarannya. Din Iran misalonya, yang menonjol
adalah solusi atau produki musyarakah dan qord al hasan. Sedangkan di Indonesia adalah produk
murabahah atau bayk.

Lebih lanjut, Umer Chapra, ekonom profesional asal Saudi Arabia mengatakan bahwa basis
epistemologi dari sistem ekonomi Islam adalah al Maqasith al Syatri‟ah atau tujuan syari‟ah yang intinya
adalah doktrin mengenai al maslahah al mursalah atau kesejahteraan umum yang menurut Ibn Raimiyah
mencakup iman atau agama, akal, jiwa, keturunan dan harta. Sementara, menurut al Syatibi, akal
digantikan dengan kehormatan, sehingga jika dikombinasikan mencakup 6 aspek kemaslahatan. Dalam
kaitannya dengan Ekonomi Islam, maka tujuan Ekonomi Islam adalah kemaslahatan atau kesejahteraan
di bidang harta atau kekayaan material, tapi berkaitan dengan Ekonomi Islam, dalam rangka beribadah
kepada Allah, arttinmya kegiatan ekonomi dipandang sebagai ibadah kepada Allah, sehingga
kemelahatan dan mengelola harta material berkaitan dengan aspek-aspek kemaslahatan lainnya dalam al
Maqosith al Syari‟ah.

Aspek pertama dalam al Maqosith al Syari‟ah adalah perlindungan terhadap dan pengembangan
iman atau agama. Ini berarti bahwa pemikiran ekonomi bertolak dari iman terhadap Allah, Hari Kemudian
dan Amel Saleh. Konsekeunsi dari kepercayaan kepada Allah adalah keyakinan bahwa Allah itu adalah
Pencipta dan Pemilik alam semesta sehingga Allah adalah sumber rizki. Dalam kaitan ini Allah
memerintah agar setelah selasai menunaikan sholat, hendaknya manusia bertebar di muka bumi mencari
rizki tetepi dengan cara yang halal, artinya dengan cara yang mengikuti petunjukkan Allah dan
menghindari laranganNya. Dengan perkataan lain, mencari rizki itu dilakukan dengan cara yang bermoral
dan beretika. Para ulama Syi‟ah merumuskan doktrin al tauhid wa al adalah, dimana iman kepada Allah
menimbulkan konsekuensi menagakkan keadilan, dalam hal ini keadilan sokia, sehingga di kalangan
Syi‟ah banyak timbu teori mengenai keadilan social, sebagaimana antara lain ditulis oleh ayatollah
Rafsanjani, yang pernah menjabat Perdana Menteri Republik Islam Iranl.

Kepercayaan kepada Hari Kemudian mengandung konsekuensi bahwa kegiatan ekonomi itu
harus dfilakukan secara bebas tetepi bertanggung-jawab, dengan cara-cara tertentu yang dapat
dirumuskan ke dalam norma-norma ekonomi. Menurut teori Max Weber, norma ekonomi itu dibentuk dan
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sejarah sosial, agama dan geografi ekonomi. Norma-norma itu
mencakup norma-norma terhadap (1) kerja,(2) harta dan kepemilikan, (3) perdagangan, keuangan dan
industri, (4) faktor-faktor ekonomi atau sumberdaya, (5) faktor perubahan dan inovasi tehnis (5) sikap
terhadap mereka yang tidak memiliki sumberdaya. Norma-norma syari‟ah itu bisa mengikuti kerangka
Weber atau menyusun kerangka sendiri yang bersumber dari fiqih ekonomi. Para fukaha, mengambil
kesimpulan tentang tiga norma, yaitu norma tentang kekayaan atau harta dan pembelanjaannya, norma
tentang kerja dan norma tentang filantropi Sahid Humaid Ali misalnya merumuskan lima norma, yang
dirumuskan sebagai prinsip atau mabadi‟ yaitu prinsip-prinsip: (1) kepemilikan, (2) distribusi kekayaan,
(3) kebebasan ekonomi yang terikat pada hokum agama, (4) pembelanjaan atau investasi ( infaq) dan (5)
kewajiban terhadap harta atau penggunaan harta dalam kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi.
5
Amel Saleh, menurut Nurcholish Madjid adalah perbuatan yang harmonis dengan lingkungan
atau member manfaat kepada orang lain melahirkan konsekuensi, bahwa kegiatan ekonomi tidak hanya
dilakukan secara individual, melainkan dilakukan secara sosial atau secara kooperatif sehingga hasilnya
otomatis bisa dinikmati bersama secara adil dan merata sesuai dengan kontribusi masing-masing dalam
usaha bersama. Menurut rumusan Hatta, tentang Demokrasi Ekonomi adalah “kegiatan produksi
dilakukan oleh semua untuk semua, di bawah penilikan masyarakat. Kemekmuran masyarakatlah yang
diutamakan dan bukan kemakmuran orang-seorang”.

Prinsip pertama itu menurunkan prinsip kedua, yaitu perlindungan terhadap dan pengembangan akal.
Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa kegiatan ekonomi itu dilakukan berdasarkan rasionalitas
ekonomi dan menggunakan pengatahuan sebagai modal. Dalam ekonomi konvensional, rasionalitas
diukur berdasarkan nilai utilitarianisme, yaitu kegiatan ekonomi harus bisa mendatangkan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada sebanyak mungkin orang. Rasionalitas Ekonomi Syari‟ah didasarkan pada
prinsip keadilan yang mengandung unsur persamaan, kemerataan dan keseimbangan manfaat ekonomi.
Selain itu, berdasar pada pengprmatan pada akal yang merupakan anugerah Tuhan yang utama kepada
manusia, maka kegiatan ekonomi juga harus mengambangkan dan menghargai akal atau pengetahuan
sebagai modal.

Aspek ketiga berdasarkan pemikiran al Syatibi adalah perlindungan terhadap dan pengembangan
kehormatan manusia atau kemuliaan jidup. Dalam teori ekonomi, kehormatan manusia itu terletak pada
kerja dan pendapatan warga. Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 dirumuskan bahwa “Setiap warganegara
itu berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang sesuai dengan kemanusiaan”. Atas dasar
itu maka Ekonomi Syari‟ah harus bisa menjamin setiap warganegara untuk mendapatkan pekerjaan dan
pendapatan yang sesuai dengan kemanusiaan. Namun demikian, dalam rangka pemeliharaan terhadap
kehormatan dan kemuliaan manusia, beban pekerjaan manusia itu di satu pihak harus diperingan dengan
teknologi dan manajemen, di lain pihak harus dipelihara ketranpilannya, jangan sampai menimbulkan
apa yang disebut “deskilling society” sebagaimana dilihat oleh Ivan Illich pada masyarakat industri. Dari
sudut ini, maka ekonomi Syari‟ah adalah ekonomi yang manusiawi, berbudaya dan bermartabat. Dari
aspek kemartabatan ini, maka Ekonomi Islam juga menolak ekonomi perbudakan yang dalam teori
ekonomi modern, mengadung banyak arti. misalnya kemandirian ekonomi suatu bangsa dan kelompok
masyarakat itu adalah merupakan bentuk kemartabatan dalam perekonomian yang bebas dari dominasi
dan perbudakan. Arti lain dari kehortaman manusia adalah kebebasannya dalam bertindak. Tapi demi
melindungi kehormatan manusia itu sendiri, maka tindakan manusia harus berkualitas, dengan
melandaskannya pada nilai-nilai moral dan etika.

Aspek keempat adalah perlindungan dan pengembangan jiwa manusia. Konsekuensinya adalah
bahwa kegiatan ekonomi harus melindungi jiwa manusia dan menghindari kegiatan ekonomi yang
membahayakan jiwa manusia, misalnya produksi enerji nuklir, obat-obatan dan makanan yang
membahayakan kesehatan manusia, produksi persenjataan untuk perang atau eksploitasi sumberdaya
alam yang merusak ekologi yang membayakan hidup manusia, seperti penebangan hutan yang
menimbulkan banjir atau penciptaan limbah yang merusak lingkungan hidup.

Aspek kelima adalah perlindungan terhadap dan pengembangan keturunan. Konsekuensi


ekonomi dari prinsip ini adalah pertama perlindungan terhadap kesehatan manusia, terutama ibu dan
anak. Kedua adalah kegiatan pembangunan yang berkelanjutan dengan cara penciptaan sumberdaya
ekonomi di masa mendatang. Dalam al Qur‟an dikatakan bahwa hendaknya manusia itu jangan
mewaiskan kondisi hidup yang lebih buruk kepada generasi mendatang. Atau dalam kalimat yang positif,
hendaknya manusia itu menciptakan atau merintis kehidupan generasi mendatang yang lebih baik.
Dengan demikian maka Ekonomi Syari‟ah itu menganjurkan pembanguanan ramah lingkungan dan
berkelanjutan (sustainable development).

Dan terakhir aspek keenam adalah perlindungan dan pengembangan harta. Konsekuensi
ekonominya adalah pertama, bahwa manusia memiliki hak untuk memperkaya sumberdaya ekonomi
6
sebagai alat pemuas kebutuhan hidup, tetapi mengandung fungsi sosial karena harus membagi hak itu
kepada orang lain atau mesyarakat keseluruhan. Kedua, kegiatan ekonomi harus bisa memperbanyak
pilihan (freedom of choise) dalam konsumsi yang berarti memperluas kebebasan dalam pilihan
konsumsi. Ketiga, sumberdaya alam yang dimiliki oleh suatu masyarakat harus dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Di Indonesia, Ekonomi Islam yang lebih populer disebut sebagai Ekonomi Syari‟ah itu, telah
menjadi diskursus. Dalam aspek kelembagaan, telah melahirkan lembaga perbankan, asuransi, keuangan
mikro, surat berharga, dan pasar saham. Di sektor riil, Ekonomi Syari‟ah telah menimbulkan industri
makanan halal, fashion dan kesenian, khusnya murik dengan lirik-lirik religious, film, sinetron dan
lukisan kafigrafi. Di bidang legislasi telah menghasilkan UU Zakat, UU Perbankan Syari‟ah dan UU Wakaf.
Legislasi juga berbentuk fatwa yang walaupun berbentuk hukum sukarela (voluntary law), tetapi
berpengaruh terhadap produk-produk syari‟ah dan kegiatan lembaga-lembaga ekonomi dan pelaku-
pelaku ekonomi.

Di lingkungan keuangan dan perbankan, telah dilahirkan 4 prinsip pengelolaan keuangan Islam,
yang berupa ketentuan larangan yaitu: (1) maisir atau perjudian, (2) gharar atau spekulasi, (3) riba atau
bunga uang dan (4) haram atau berdosa. Prinsip-prinsip itu merupakan azas prudensialitas keuangan
dan perbankan syari‟ah.

Sebagai industri, keuangan Islam telah melahirkan berbagai produk penghimpunan dana dan
pembiayaan. Dalam penghimpunan dana, telah diilahirkan produk-produk (1) wadiah atau simpanan
rekening koran (2) hasil penjualan saham syari‟ah, (3) Sukuk atau obligasi yang diterbitkan oleh
perusahaan atau negara (4) zakat, sadaqah dan infaq. Di bidang pembioayaan, telah dikeluarkan produk-
produk (1) murabahah, pinjaman dengan pembayaran tambahan laba ( mark-up) dalam pembayaranna
(2) mudharobah atau bagi hasil (revenue sharing) (3 musyarakah, kerjasama permodalan bagi
pendapatan (4) kord al hasan atau pinjaman tanpa tambahan dalam pembayarannya (5) ijarah atau beli
sewa, dan (6) rahn atau gadai. (7) Dalam pasar uang, telah pula dilakukan produksi dan perdagangan
uang dinar (uang emas).

Dari perkembangan diskursus Ekonomi Syari‟ah itu dapat ditarik beberapa kesimpulan
sehubungan dengan pembentukan arsitektur Ekonomi Isyari‟ah.

Pertama, Ekonomi Syari‟ah adalah pengetahuan tentang penerapan perintah-perintah dan tata
cara yang ditetapkan oleh hukum syari‟ah.

Kedua, tujuan Ekonomi Syariah adalah (1) menciptakan keselamatan melalui tindakan-tindakan
yang selamat dan menyelamatkan.(2) mencagah ketidak-adilan dalam penggalian dan penggunaan
sumberdaya material, (mencapai kesejahteraan material. Kesemuanya itu dalam rangka memenuhi
kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban mereka kepada Allah dan
masyarakat.

Ketiga, tujuan-tujuan syari‟ah melahirkan doktrin kesejahteraan sosial yang terdiri dari prinsip-
prinsip perlindungan terhadap dan mengembangkan iman atau agama, akal, kerhoramatan, jiwa,
keturunan dan harta atau hak milik.

Keempat, Doktrin kesejahteran sosial itu melahirkan beberapa prinsip dalam kegiatan ekonomi:
(1) Prinsip menghindarkan diri dari tindakan untung-untungan, yaitu mengharapkan keuntungan besar
pesat, dengan risiko besar, (2) prinsip mengindari kegiatan spekulasi yakni mengharapkan keuntungan
besar di masa mendatang, (3) menolak transaksi yang mengandung eksploitasi oleh pemilik modal
terhadap tenaga kerja, (4) prinsip perlindungan konsumen dari konsumsi batrang-barang yang dilarang,
merusak kesehatan dan pemakaian busana yang melanggar larangan agama, (5) prinsip pelaksanaan
perdagangan yang jujur dan adil dan menghindari larangan perdagangan curang yang mendatangkan

7
kerugian di pihak lain (6) prinsip membantu orang lain guna keluar dari kemiskinan (7) jaminan sosial,
terutama kepada golongan fakir dan miskin.

Dalam kaitan itu perlu diperhatian kemungkinan pembentukan lembaga Hisbah yang berfungsi
pengawasan terhadap praktek kegiatan ekonomi yang menyangkut kepentingan publik. Lembaga ini
memiliki fungsi penilikan masyarakat terhadap kegiatan ekonomi, sebagaimana disebut dalam Penjelasan
pasal 33 UUD 1945 mengenai demokrasi ekonomi. Dengan demikian, maka lembaga hisbah adalah
merupakan suatu aspek demokrasi ekonomi dalam Ekonomi Islam.

PENGERTIAN GENERIK “EKONOMI ISLAM”

Sebagai ilmu ekonomi normatif maka kajian Ekonomi Islam, sebagaimana dilakukan oleh Syed
Nawal Heider Naqwi dimulai dengan kajian aksiologi yang disebutnya sebagai norma-norma aksiomatik.
Dalam bukunya “Economics and Ethics; A Syntesis ” (1981), ia menyabut 4 nilai keutamaan (virtue)
Ekonomi Islam, yaitu tauhid, al adl wa al ihsan, mizan dan al fard. Walaupun pandangan itu benar, tapi
Khursid Ahmad menyebut nilai-nilai keutamaan yang berbeda, namun seharusnya dari segi aksiologi yang
pertama-tama harus disebut dan dibahas dalam kaitannya dengan gagasan “Ekonomi Islam” adalah
nilai dan makna “islam” itu sendiri.

Menurut Nurcholish Madjid, “Islam” (huruf I besar), di samping dimaknai sebagai nama agama,
istilah “islam” (huruf i kecil) juga merupakan istilah generik, yang artinya “kedamaian” atau “perdamaian”
yang mencakup arti aman, damai, tenteram, nyaman. Dengan mengacu kepada pendapat ini, maka
“ilmu keislaman” dapat ditafsirkan sebagai ilmu perdamaian (peace sincwe) Sedangkan “Ekonomi Islam”
adalah aspek ekonomi dari ilmu perdamaian, yaitu ilmu ekonomi yang bisa melahirkan perdamaian dalam
masukan (input) proses (process) maupun hasilnya (output).

Dari sudut kebahasaan dalam konteks bahasa al Qur‟an yang terkandung dalam tafsir berbagai
ulama, Islam mengandung tiga arti. Pertama, selamat dan menyelamatkan, kedua, aman, tenteram dan
damai dan ketiga kesejahteraan metarial. Kesemuanya itu disebut juga al falah atau kebahagiaan dunia
dan akhirat. Berdasarkan penafsiran ini maka Ekonomi Islam dapat ditafsirkan sebagai ilmu atau sistem
ekonomi yang didasarkan pada nilai nilai (value based economy), yaitu pertama keselamatan (salvation),
dan yang menyelamatkan kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat. Kedua, perdamaian yang
terhindar dari konflik, dan ketiga kesejahteraan masyarakat (kesejahteraan sosial).

Sebagai ilmu yang selamat dan menyelamatkan, Ekonomi Islam dijalankan dengan kegiatan
ekonomi yang didasarkan pada nilai amal-saleh dan menghindarkan diri dari perbuatan atau praktek-
praktek ekonomi yang melanggar nilai-nilai moral dan etika, seperti berbohong, tidak bertanggung-jawab
dan mengingkari janji atau berdosa. Dengan berperilaku baik atau amal saleh, maka bukan saja
perbuatan seseorang itu tidak menimbulkan kerugian dan keburukan pada orang lain dan diri sendiri,
tetapi orang yang bersangkutan akan memperoleh kepercayaan (trust) dari orang lain, sehingga
melancarkan komunikasi dan interaksinya dalam berekonomi. Trust (amanah) ini menurut Francis
Fukuyama akan melancarkan transaksi dan kegiatan organisasi ekonomi dalam skala kecil, menengah
dan besar. Dari nilai trust atau amanah itu saja maka perilaku Ekonomi Islam didasarkan pada nilai-
nilai kejujuran (siddiq), tanggung-jawab (al fard) dan menetapi janji atau perjanjian (Q.s. Al-Jab:72). Dari
sini dapat dikembangkan umpamanya, hukum-hukum perdagangan (commercial law).

Dalam al Qur‟an disebut istilah “Baldatun, toyyibatun wa robbun ghafur” atau negri yang makmur
dengan pengampuan Tuhan. Penghindaran diri dari perbuatan buruk, jahat, salah, mertusak dan
berdosa, adalah perbuatan yang menurunkan pengampunan Tuhan (al ghafir), karena Tuhan itu adalah
Maha Pengampun kepada manusia yang mudah lupa dan berbuat salah ( mahalul khoto‟ wa nisyan).
Karena itu maka perbuatan manusia harus dipagari dengan etika yang member tuntunan untuk

8
membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk. Dalam system ekonomi hisbah
adalah lembaga control terhadap aktivitas kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi,
termasuk negara dan pemerintah.

Kadua sebagai ilmu perdamaian, maka Ekonomi Islam adalah ilmu yang memberikan solusi yang
terhindar dari konflik dan menciptakan keamanan, ketenteraman dan perdamaian (security). Sebagai
contoh ajaran wakaf yang menghasilkan lumbung pangan dari pengolahan lahan pertanian, dapat
menciptakan kemanan pangan (food security). Dalam pandangan Sjafruddin Prawiranegara, riba adalah
sistem ekonomi yang ekspoitatif. Dalam perspektif teori Marx, eksploitasi itu terjadi pada tenaga kerja
atau sumberdaya manusia oleh modal (capital) yang dikuasai oleh kelas borjuis. Eksploitasi ini menjadi
sumber konflik antara butuh dan majikan yang akan menimbulkan revolusi dengan kekerasan, sehingga
mengganggu perdamaian. Sebagai solusi terhadap masalah perdamaian dan konflik itu Ekonomi Islam
mengemukakan konsep, disatu pihak dengan penghapusan riba sebagai sistem eksplitasi modal terhadap
tenaga kerja, di lain pihak dengan solusi kerja sama antara pemilik modal dan pemilik tenaga kerja dan
redistribusi pendapatan dan kekayaan dalam ajaran sadaqah atau zakat. Jika Ekonomi Islam ditafsirkan
terutama dan asensinya sebagai ilmu perdamaian dan pemecahan konflik (peace and conflict resolution
science), maka Ekonomi Islam mengandung visi dan misi atau nilai aksiologi perdamaian itu dengan
model solusi yang kongkret dan nilai instrumental yang tinggi.

Dalam kaitannya dengan konflik antara tenaga kerja dan modal itu, telah lahir berbagai konsep
solusi, tapi terutama tiga sistem ekonomi. Pertama solusi Marxis atau komunis. Kedua solusi koperasi
yang dikategorikan sebagai sosialisme utopia, namun dalam sejarah, dengan cepat dapat dilaksanakan
dan berkembang hingga kini sehingga menjadi realistic-utopia. Dan ketiga solusi sistem Negara
Kesejahteraan. Ketiga sistem itu telah mencapai keberhasilan, tapi tidak sepenuhnya. Dalam setiap
sistem telah mengalami kegagalan atau krisis. Sistem sosialis-komunis model Uni Soviet dan Eropa
Timur telah mengalami kegagalan dan digantikan dengan sistem kapitalis-pasar yang di Eropa masih
berada dalam masa transisi untuk menghidupkan kembali perekonomian negara. Sistem koperasi juga
telah menunjukkan keberhasilannya, tetapi masih terbatas di berbagai negara maju. Sedangkan sistem
Negara Kesejahteraan telah berhasil pula di sejumlah negara Eropa tetapi keberhasilannya tergantung
dari keberhasilan kapitalisme yang kini terancam oleh Neo-Liberalisme. Kesimpulannya, seluruh dunia
pada dasarnya masih didominasi sistem kapitalisme liberal dan Neo-liberalisme, namun mengalkami krisis
dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan kelastarian sumberdaya
alam. Dengan demikian, maka dewasa ini diperlukan suatu sistem ekonomi yang mampu menghasilkan
pembanunan yang berkelanjutan (sustainabkle development). Ekonomi Islam divisikan mengarah kepada
sistem itu.

Marxisme-komunisme telah menawarkan dua Solusi utama. Solusi Marxisme didasarkan pada
asumsi eksploitasi tenaga kerja oleh modal, melalui apresiasi nilai-lebih (appropriation of surplus value)
oleh pemilik modal. Solusinya adalah penghapusan nilai-lebih itu, sehingga nilai lebih suatu kegiatan
ekonomi jatuh sepenuhnya ke tangan tenaga kerja . Pertama adalah dengan penghapusan hak milik
perseorangan menjadi hak milik kolektif. Solusi itu selain utopis dan tidak mungkin terjadi, juga setelah
terjadi telah menimbulkan penindasan terhadap hak-hak asasi manusia. Kedua, jika solusi itu tidak
disepakati maka solusinya adalah revolusi yang umumnya dilakukan melalui kekerasan atau gerakan
massa yang menggangu keamanan. Revolusi fisik telah menimbulkan tragedi kemanusiaan yang sangat
luas. Sedangkan gerakan massa telah menimbulkan kerusakan dan gangguan terhadap demokrasi dan
perdamaian dan karena itu cenderung menimbulkan depresi dari negara. Namun kesimpulannya adalah
bahwa Marxisme-Komunisme bukan merupakan solusi ekonomi. Sementara itu solusi yang telah
dilakukan dengan beroperasinya negara komunis, selain menimbulkan masalah kemanusiaan dan
demokrasi, sebagaimana diulas oleh Sutan Sjahrir, juga telah mengalami jalan buntu, baik di Eropa
maupun di Asia.

Koperasi mengajukan 4 solusi. . Pertama, memberian jasa bunga atas modal yang dibatasi.
Kedua mengembalikan keuntungan atau sisa hasil usaha dari jasa modal itu kepada anggota. Ketiga
9
penetapan harga jual pada tingkat produksi setempat sehingga mendekatkan produksi dengan konsumsi.
Dan keempat larangan memalsukan kualitas barang untuk mencari keuntungan besar. Solusi koperasi itu
pada dasarnya menggombinasikan antara sistem persaingan ( competition) dengan sistem kerjasama
(cooperation). Sistem koperasi ridak bermaksud menghapuskan sstem ekonomi liberal-kapitalis atau
pasar bebas, melainkan menjadi kekuatan tandingan (counter-vailing power) dalam sistem kapitalis itu
sendiri. Karena itu maka sistem koperasi masih merupakan sub-sistem dalam sistem liberal-kapitalis,
dengan misi utama, menyiasati sistem pasar bebas. Dalam konstelasi itu, maka sistem koperasi
senantiasa berada dalam ancaman dari sistem kapitalisme yang distruktif.

Sistem Negara Kesejahteraan pada dasarnya dipahami sebagai revisi atau reformasi terhadap
sistem kapitalisme. Sistem itu, sebagaimana dikatakan oleh John Kenneth Galbraith, tidak bermaksud
menghapuskan atau menggantikan sistem pasar melainkan merevisinya dengan unsur-unsur sosialisme.
Karena itu maka kaum Marxis-ortodoks menganggap sistem Negara Kesejahteraan sebagai revisionisme
dari sistem sosialis yang ortodoks. Tapi dari pandangan liberal, merupakan reformasi terhadap
kapitalisme (reformed capitalism). Dalam Negara Kesajahteraan selalu terjadi tarik menarik antara aliran
individualisme dan kolektivisme atau aliran pasar dan aliran negara. Neo-liberalisme adalah aliran yang
ingin memurnikan sistem pasar liberal, sehingga karena itu sistem Negara Kesejahteraan selalu berada
dalam ancaman Neo-liberalisme.

Solusi Negara kesejahteraan sendiri dalam mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
kapitalisme-liberal ada tiga. Pertama menurunkan peranan negara dalam investasi missal untuk
menciptakan lapangan kerja, melalui pembangunan proyek-proyek besar khususnya di bidang infra-
struktur di Amerika seperti proyek bendungan Tenesse Valey yang berhasil meningkatkan pendapatan
dan permintaan pasar agregat dan merangsang pertumbuhan kembali ekonomi. Kedua menetapkan
sistem pajak progresif dalam rangka program re-distribusi untuk memberantas kemiskinan. Ketiga
dengan menciptakan sistem jaminan sosial melalui lembaga asuransi yang mengikuti mekanisme pasar
atau peraturan pemerintah yang ditetapkan secara demokratis. Sebenarnya koperasi yang
menanggulangi kemiskinan di kalangan petani dan buruh dapat juga dimasukkan ke dalam kategori solusi
Negara Kesejahteraan itu. Tetapi koperasi juga berkembang di negara kapitalis liberal seperti AS,
Kanada, Jepang, Australia dan New Zealand.

Dalam kaitannya dengan sistem-sistem yang sudah berlaku di atas, Ekonomi Islam pada
dasarnya tidak menyetujui solusi Marxis dan bisa menyetujui solusi beberapa sistem lainnya terutama
koperasi. Tapi solusi pemberantasan riba untuk digantikan dengan sistem bagi hasil yang adil antara
pemilik modal dan pekerja adalah alternatif dari solusi Marxis-komunis. Namun Ekonomi Islam
menawarkan beberapa solusi. Pertama, sebagaimana diteorikan oleh Ibn Taimiyah, membedakan
beberapa macam hak milik Pada dasarnya sistem hak milik dalam Islam adalah hak milik Allah. Tapi hak
milik itu diberikan kepada manusia sebagai khalifah, tetapi dengan amanah. Hak milik dengan amanah itu
diperinci dalam beberapa macam hak milik, yaitu hak milik negara, hak milik komunitas dan hak milik
individu. Hak milik Allah berlaku terhadap semua ciptaan Allah, tapi hak milik itu dilimpahkan kepada
manusia sebagai khalifah dengan amanah yang tidak boleh dilanggar, misalnya menjaga dari kerusakan
dan ancaman kelestarian. Dalam hal tanah tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain dengan sewa yang
tinggi,melainkan dengan sistem bagi hasil yang disepakati, tidak menjadikannya konsentrasi kekayaan
dan perbuatan yang merugikan lainnya. Hak milik negara berlaku pada sumberdaya alam umumnya,
dengan amanah, guna dikuasai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak komunitas berlaku pada
tanah yang terbatas untuk dipakai sebagai jaminan sosial (social insurance) dan keamanan sosial (social
security), misalnya tanah wakaf. Dan hak milik individu diterapkan atas harta yang diperoleh melalui hasil
usaha sendiri dan warisan dengan amanah untuk dibelanjakan di jalan Allah (infaq fi sabililah), misalnya
dengan menginvestasikan kembali sehingga menciptakan lapangan kerja. . Kedua, Islam mengajarkan
transfer hak milik atau pendapatan pribadi baik atas dasar kewajiban hukum maupun sukarela, berupa
sakat dan sadaqah dan wakaf sebagai sistem jaminan sosial, bagi mereka yang paling tidak diuntungkan
dalam rumusan John Rawls. Ketiga, Islam mengajarkan larangan untuk menumpuk-numpuk kekayaan

10
yang tidak memberi manfaat kepada orang lain (asocial). Dengan perkataan lain Islam mengajarkan
prinsip hak milik yang berfungsi sosial dalam ajaran yang disebut “infaq di jalan Allah”. Ini berarti bahwa
kekayaan seseorang itu harus diinvestasikan kembali untuk kepentingan sosial, misalnya dalam bentuk
penciptaan lapangan kerja. Keempat. Hukum syari‟ah mengajarkan sistem kerjasama antara pemilik
modal (sohibul maal) dengan pekerja atau pelaku produktif (mudhorib) dalam transaksi mudharobah.
Transaksi ini bisa dilakukan langsung orang per orang atau melalui lembaga perbankan. Kerjasana itu
didasarkan pada perjanjian bagi-hasil dan kerugian (profit and lost-sharing) atau bagi hasil pendapatan
(revenue sharing). Selain itu hukum syari‟ah juga menawarkan solusi pinjaman qord al hasan. Dalam
transaksi ini, pinjaman diberikan dalam jangka waktu tertentu dengan tidak memungut jasa pinjaman
kepada orang-orang miskin yang aktif bekerja (active poor). Sedangkan kepada fakir (the destitute)
diberikan bantuan sosia atau subsidil secara cuma-cuma.

Dengan demikian, maka walaupun solusi koperasi dapat diterima, namun solusi syari‟ah memiliki
lebih banyak modus sehingga solusi syatri‟ah itu dapat dan perlu ditambahkan ke dalam sistem koperasi
yang sudah berjalan. Sunggupun begitu, karena gagasan koperasi itu belum masuk ke adalam pemikiran
dan sistem Ekonomi Islam, maka sitem ekonomi koperasi atau kooperativisme perlu pula menjadi wacana
Ekonomi Islam sehingga memberikan kontribusi terhadap wacana Ekonomi Sosial Islam ( Islamic Social
Economy). Sebenarnya sistem Ekonomi Islam itu mengarah kepada konsep koperasi, berdasarkan Surat
al Baqarah: 104 dan 110 yang digandengkan dengan surat Al-Maidah: 2.

Kata “Islam” juga mengandung arti kesejahteraan, khususnya dalam aspek material. Al Qur‟an
menganjurkan bahwa hendaknya manusia itu menuntut kebahagiaan di akhirat, karena kehidupan
akhirat bersifat kekal. Namun manusia dianjurkan juga untuk tidak melupakan kebahagiaan di dunia
dengan mencari rizki atau penghidupan yang potensinya telah disediakan oleh Allah. Dan Allah juga
menjamin rizki kepada sekalian makhlukNya, tanpa kecuali. Karena itu Allah menganjurkan agar setelah
selesai melakukan sholat hendaknya manusia bertebaran di muka bumi untuk mendapatkan rizki Allah.
Dalam hadist disebutkan bahwa pintu ziski itu terutama ada dua. Pertama, dari hasil kerja fisik manusia
sendiri. Kedua melalui perdagangan. Dalam ajaran larangan riba, Allah melarang mencari penghasilan
dengan meminjamkan uang (making money out of money) karena mengandung bahaya. Dalam al Qur‟an
dikatakan bahwa Allah mengharamkan riba tetapi menghalalkan perdagangan. Dengan demikian, maka
fungsi uang itu hanyalah sebagai alat tukar, alat pembayaran dan alat ukur kekayaan, tetapi tidak boleh
dijadikan komoditi. Di lain tempat dalam al Qur‟an, Allah melarang riba tetapi mengajurkan zakat.
Interpretasi terhadap ayat-ayat al Qur‟an itu sempat menimbulkan kontroversi, tetapi kemudian para ahli
ekonomi modern telah bisa merumuskan solusinya dalam teori keuangan dan perbankan syari‟ah yang
kini telah memperoleh konsensus dan menjadi inti paradigma Ekonomi Islam. Dengan demikian, maka
pengamat ekonomi Barat seperti Volker Nienhaus menarik kesimpulan bahwa prinsip-prinsip Ekonomi
Islam itu kompatibel dengan ilmu ekonomi tradisional atau konvensional dan tidak menjadi penghambat
pembangunan (obstacle to development). Masalahnya adalah bagaimana melembagakan prinsip-prinsip
ekonomi itu sehingga bisa merupakan instrumen transformasi ekonomi dan sosial.

EKONOMI ISLAM SEBAGAI EKONOMI MORAL-SOSIAL.

Namun dalam rangkaian seminar yang diselenggarakan oleh Konrad Audenoer Stiftung di Berlin,
Abu Dhabi dan Ankara dijelaskan bahwa Ekonomi Islam itu tidak identik dengan Ekonomi Syari‟ah dalam
arti sempit, yaitu ilmu hukum, terutama di bidang keuangan dan perbankan, akibat kesan dari realitas
yang terjadi. Ahli Ekonomi Islam dari Turki, Mehmed Austy menyatakan bahwa esensi Ekonomi Islam itu
adalah Ekonomi Moral (Morar Economy) dan Ekonomi Sosial (Social Economy). Sebagai ilmu Ekonomi-
Syari‟ah, Ekonomi Islam mirip dengan Ekonomi Pasar Sosial (Social Matrket Economy) yang dianut di
Jerman. Namun sebenarnya, terdapat perbedaan antara keduanya. Jika dalam sistem Ekonomi Pasar
Sosial, hukum berfungsi melindungi pasar, maka dalam Ekonomi Islam, pertama, pasar didasarkan pada
nilai-nilai moral atau pasar bermoral sehingga mampu berdaya “self-regulating” ke arah keseimbangan.
11
dan kedua, hukum berfungsi melindungi moral. Dengan demikian, maka sistem Ekonomi Islam itu dapat
dirumuskan sebagai Sistem Ekonomi Pasar Moral (Moral Market Economy) atau sistem Ekonomi Moral
Sosial (Moral Social Economy). Karena itu dalam perspektif, bisa timbul dua aliran pemikiran yang
dominan dalam pemikiran Ekonomi Islam. Yang pertama lebih menekankan asas liberal atau kebebasan
pasar, tapi terikat dengan hukum atau moral . Sedangkan yang kedua, lebih menekankan azas sosialnya.
Tetapi keduanya pada dasarnya adalah Ekonomi Moral sebagaimana divisikan oleh Syed Nawab Heider
Naqwi dan Sjafruddin Prawiranegara.

Teori ekonomi liberal atau laissez faire dipertajam dengan teori Neo-Klasik menjadi teori ekonomi
pasar yang merupakan interaksi antara penawaran (supply) dan permintaan (demand). Pada masa itulah
ilmu ekonomi sebagai ekonomi moral (moral economy) dan ekonomi politik (political economy) hilang
dari wacana digantikan dengan ilmu ekonomi (economics) mengikuti Alfred Marshall. Sementara itu
dalam ekonomi liberal di masa Adam Smith terkandung esensi ekonomi pada pengertian “tangan gaib”
(invisible hand) dengan pengertian bahwa mekanisme pasar bisa mengatur dirinya sendiri ke arah
keseimbangan melalui peranan tangan ghaib tersebut. Padahal, dalam konteks ekonomi moral, yang
mengatur pasar yang dibiarkan bebas atau laissez faire ketika itu, itu sebanarnya adalah moral yang
dalam teori Adam Smith dalam bukunya “The Theory of Moral Sentiment ” (17 ) merupakan interaksi
antara self-interest dan altruism. Ekonomi moral mutahir, dalam mengertian Islam, ingin mengembalikan
pengertian awal dalam ilmu ekonoimi liberal itu. Dalam pengertian Ekonomi Islam, yang mengatur diri
sendiri (self-regulating) itu bukanlah pasar itu sendiri, melainkan moral manusia dan dianut oleh
masyarakat.

Ekonomi liberal mengklaim dirinya sebagai bebas nilai ( value-free). Menurut Gunnar Myrdal, tidak
ada ilmu yang bebas nilai. Jika tidak Nampak naka hal itu karena disembunyikan. Karena itu guna
menjamin kejujuran dalam mencapai obyektivitas, maka nilai-nilai itu harus dieksplisitkan. Ekonomi Islam
mengeksplisitkan nilai-nilai itu yang intinya adalah keselamatan, perdamaian dan kesejahteraan. Namun
dalam kapitalisme, nilai utamanya adalah utilitarialisme dan liberalisme (kebebasan). Sedangkan nilai
utama sosialisme adalah keadilan dan kolektivisme. Keduanya dibahas dalam filsafat.

Sebenarnya jika menengok dari sejarah, baik perekonomian yang bekerja atas dasar self-
inbterest maupun altruism itu telah berkembang. Sistem ekonomi yang didasarkan pada keseimbangan
antara self-interest dan altruism adalah koperasi yang digagas oleh Robert Owen, Fourir dan Proudon.
Dewasa ini koperasi digolongkan ke dalam ekonomi sosial yang berbasis nilai-nilai yang dieksplitkan
dalam pernyataan jatidirinya (identity statement), seperti self-help (menolong diri sendiri, solidarity
(kesetia-kawanan) dan honesty (kejujuran). Dan kini, organisasi koperasi menyatakan bahwa
kekuatannya terletak pada jatidirinya yang menjadi ukuran keberhasilan koperasi dalam perkembangan
ekonomi. Ekonomi Islam dalam konteks modern, menawarkan sejumlah nilai yang dapat dipakai sebagai
pengendali perilaku manusia yang bebas dan dalam organisasi ekonomi, khususnya keuangan, dapat
dipakai sebagai azas kehati-hatian (prudentiality) yang menjamin keselamatan, perdamaian dan
kesejahteraan.

FONDASI NILAI.

Sumber nilai Ekonomi Islam adalah al Qur‟an sebagai rekaman wahyu Ilahi yang memuat sejumlah
nilai keutamaan (al khair) yang menjadi tali pengikat terbentuknya umat atau kumpulan orang, seperti
koperasi atau negara. Menurut A.M. Syaifuudin nilai-nilai keislaman itu secara hirarkis dapat dibedakan
ke dalam dua kategori. Pertama adalah nilai-nilai fundamental. Dan kedua, nilai-nilai instrumental.
Pengkategorian itu bisa berbeda sesuai dengan pandangan para pemikir atau kecenderungan aliran
pemikiran. Pada umumnya, para pemikir Ekonomi Islam menitik-beratkan nilai dasar Ekonomi Islam pada
nilai tauhid dan keadilan (al adl) dan kebaikan (al ihsan) yang menjurus kepada konsep Ekonomi Moral
Sosial. Tapi jika dilihat dari persepktif kebebasan, maka titik-berat nilai dasarnya kepada nilai khilafah.
12
Senenarnya jika diperhatikan, nilai al ihsan sejalan dengan utilitarianisme, sedangkan al adl, sama
dengan justice atau keadilan. Hanya saja dalam Ekonomi Islam, nilai keadilan adalah primer, sedangkan
utilitarianisme (kemanfaatan) adalah sekunder. Dalam konsep usul fiqih al maslahah al mursalah,
kemanfaatan publik (public benefit) ditetaptakkan berdasarkan nalar atau pertimbangan moral ( moral
reasoning).

Nilai-nilai fundamental yang sering disebut oleh para pemikir Ekonomi Islam, kurang lebih ada 9. Jika
kita menyatujui adanya dua aliran di atas maka, urut-urutannya sebagai berikut:

A. Aliran moral-sosial.

1. Keadilan dan kebaikan (al adl wa al ihsan)

2. Kerja-sama ( al ta‟awun).

3. Persaudaraan atau solidaritas (ukhuwah).

4. Musyawarah (al syura).

5. Saling percaya (al amanah).

6. Saling pengartyian dan penghargaan (al ta‟ruf).

7. Pertengahan (al wasahatan)

8. Keseimbangan ( al mizan).

9. Kedaulatan manusia (al-khilafah)

B. Aliran Moral Pasar

1. Kedaulatan manusia (al khilafah).

2. Saling percaya (al amanah).

3. Saling penghargaan (al ta‟aruf).

4. Musyawarah (al syura).

5. Persaudaraan atau solidaritas (al ukhuwah).

6. Kerjasama (al ta‟awun).

7. Keseimbangan (al mizan).

8. Pertengahan (al wasathan).

9. Keadilan dan kebaikan (al adl wa al ihsan).

Nilai-nilai di atas perlu dipahami sebagai berkaitan satu sam lain, tetapi perlu dikelompokkan
sesuai kedekatan maknanya. Tetapi dengen pendekatan yang berbeda, tiap-tiap nilai bisa diartikan
secara berbeda karene pengakitannya dengan nilai yang lain. Misalnya makna khilafah dalam aliran moral
pasar sosial lebih mengarah kepada prinsp kebebasan yang bertanggung-jawab atau hak milik berfunsi
sosial. Sedangkan dalam aliran moral-sosial mengarah kepada keseimbangan antara hak-milik individu
dan sosial atau kolektif. Pada aliran pertama, kelompok ayat membentuk hirarki nilai. Pertama yang
berintikan pada hak dan kebebasan manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, yang mencakup nilai-
13
nilai khilafah, amanah dan ta‟ruf. Kedua, yang berintikan tentang prinsip kooperasi yang mencakup nilai
musyawarah, sosidaritas dan kerjasama. Dan ketiga, kelompok nilai yang berintikan prinsip pertengahan,
keseimbangan, keadilan dan perbuatan baik bagi orang lain.

Pola penerapan dan pelaksanan dari nilai-nilai itu dipengaruhi pertama secara internal oleh
kecenderungan kepribadian seseorang, komuntas, badan usaha dan negara Kedua, secara eksternal
dipengaruhi oleh lingkungan dimana aktor itu melakukan kegiatan ekonomi. Kadua faktor itu saling tarik-
menarik. Tapi dalam usul fiqh terdapat dalil ”mencegah keburukan lebih baik dari menciptakan kebaikan
yang belum tentu hasilnya”. Dari sini, Ekonomi Islam menakankan prinsip kehati-hatian dan menghindari
perilaku yang membahayakan atau mengadung risiko. Dalam dikatakan bahwa “Allah tidak merubah
nasib suatu kaum, kecuali jika kaum itu merubah faktor-faktor yang terdapat pada pribadinya” (Q.s. Ar-
Ra‟d:11). Dengan denmikian, maka Ekonomi Islam menekankan pada penguatan kepribadian dengan
penerapan nilai-nilai keutamaan (al khair). Karena itu, dalam sistem Ekonomi Islam, fondasinya adalah
nilai-nilai keutamaan. Dengan penekanan itu, maka perekonomian Islam tidak terombang-ambing oleh
perkembangan lingkungan yang selalu berubah dan sering tidak menentu, melainkan mengindalikan
lingkungan itu. Dalam konteks sistem ekonomi pasar, maka sistem ekonomi Islam dan pelaku ekonomi
tidak diditerminasi oleh pasar, melainkan pasar harus dikendalikan oleh nilai-nilai moral dan hukum.
Itulah prisip Ekonomi Moral Sosial dalam pandangan Islam yang membedakan dari sistem Pasar Sosial
Jerman. Justru sistem ekonomi inilah yang menarik perhatian kalangan Kristen-Demokrat Jerman.

Dewasa ini, Ekonomi Islam, di Indonesia disebut juga “Ekonomi Syari‟ah” yang di Barat disebut
sebagai Ekonomi Hukum (Legal Economics) karena yang nampak menonjol adalah pilar-pilar hukumnya.
Kekuatan dari sistem ekonomi ini, menurut pengamat Barat adalah kemampuannya sebagai azas-azas
prudensialitas dalam industri keuangan, khususnya perbankan. Itulah sebabnya, maka sistem dengan
produk-produknya, diminati oleh investor Barat. Menurut penilaian Nienhaus dari Malburg University,
Jerman, Ekonomi Syari‟ah tidak menjadi penghambat pembangunan dan sejalan dengan azas-azas
kebebasan ekonomi dan dengan unsur syari‟ahnya berdekatan dengan sistem pasar sosial Jerman.
Tapi agar bisa sukses dilaksanakan sebagai Sistem Pasar Sosial, maka diperlukan pembangunan
kemampuan kelembagaan (institutional capacity building). Namun dalam persepktif Ekonomi Islam, yang
diperlukan juga adalah penguatan mentalitas berdasarkan nilai-nilai moral dan etika.

Ekonomi Islam dalam model moral pasar social. didasarkan pada tiga kelompok nilai. Tiga
kelompok nilai itu melahirkan tiga doktrin. Pertama doktrin kebebasan yang bertanggung-jawab
(respoinsible freedom). Kedua doktrin pertukaran yang berkeadilan (fair exchange atau fair trade). Dan
ketiga doktrin kesejahteraan sosial (social welfare).

Kelompok nilai pertama, terdiri dari nilai khilafah, amanah dan ta‟aruf. Kelompok ini menimbulkan
doktrin kebebasan yang bertanggung-jawab atau kebebasan yang dikendalikan oleh nilai-nilai moral yang
otonom. Doktrin ini terutama berlaku di bidang produksi.

Doktrin kebebasan yang bertanggung-jawab ini dimulai dengan nilai kekhalifahan manusia di
muka bumi. Dari nilai kekhalifahan itu tersimpul sistim hak milik yang menjadi kriteria perbedaan yang
mendasar antara sistem kapitalis dan komunis. Sistem kapitalis didasarkan sistem hak milik individu,
sedangkan sistem komunis didasarkan pada sistem hak milik kolektif. Komunisme menganggap sistem
hak milik individu menimbulkan eksploitasi modal ( capital) atas tenaga kerja (labour) atau sumberdaya
manusia (human resource) melalui apropriasi nilai lebih (surplus value). Ekonomi Islam didasarkan
kepada seruan Allah “Berjuanglah di jalan Allah dengan harta dan dirimu sendiri” (Q.s. Al-Hujurat:49).
Dalam pengertian ekonomi, maka ayat itu dapat disimpulkan pertama, hendaklah manusia melakukan
kegiatan ekonomi secara sungguh-sungguh (jihad) dengan cara=cara yang dibenarkan oleh Tuhan (fi
sabililah). Kedua dalam kegiatan ekonomi mempergunakan sumberdaya modal finansial maupun tenaga
kerja atau sumberdaya manusia”. Ayat itu mengimplikasikan, bahwa kedua faktor produksi itu sama-
sama dibutuhkan dalam memperkuat perjuangan di jalan Allah, sehingga kedua pemilik faktor produksi
itu harus berbagi hasil secara adil dalam kerjsama, sehingga eksploitasi modal terhadap tenaga kerja
14
dapat dihilangkan. Itulah solusi Ekonomi Islamn terhadap kontroversi kapitalisme-komunisme
berdasarkan prinsip penghapusan sistem riba.

Agar bisa memperoleh rizki, maka manusia, sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, diberi kuasa
untuk mengolah dan mengelola sumberdaya yang diberikan oleh Tuhan guna menciptakan kemakmuran
atau kemuliaan hidup manusia. Dengan perkataan lain manusia diberi kebebasan untuk mencari rizki
Allah. Namun kedaulatan manusia atas sumberdaya itu harus dimanfaatkan dengan amanah, yaitu tidak
merusak atau merugikan orang lain. Namun manusia tidak mungkin menjalankan amanat itu secara
individual, melainkan secara bersama-sama, sehingga kegiatan ekonomi itu merupakan kegiatan sosial
(social activity). Dengan demikian, maka suatu produk atau penghasilan dan kekayaan itu adalah produk
sosial dan bukan semata-mata produk individual. Karena itu kelebihan kekayaan pada seseorang,
kelompok atau negara, terkandung hak orang lain sehingga perlu dibagi kembali (redistribution) Tapi
sebelum itu, setiap penghasilan atau keuntungan itu harus dibagi sekara adil atas dasar distribusi
fungsional (functional distribution) sesuai dengan kontribusi setiap orang terhadap pekerjaan (t o each
according to his/her contribution) secara adil dan rasional, baik kontribusi berupa modal maupun tenaga
kerja, sesuai dengan nisbah bagi hasil yang dihitung dan disetujui bersama di antara pemilik faktor
produksi (factor of production) atau sumberdaya (resource).

Dalam teori Marx dan Harold-Domar, modal, jenis dan jumlah faktor produksi atau sumberdaya
disederhanakan menjadi hanya dua, yaitu modal uang (capital) dan modal tenaga kerja (labour). Dalam
teori Marx, modal uang (financial capital) bisa`diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya tenah dan
mesin-mesin dan peralatan yang disebut modal fisik (fisical capital). Modal dalam arti luas itu,oleh Marx
disebut sebagai kekuatan produksi (production force). Sementara itu dalam teori Kindleberger, modal
manusia (human capital) bisa diperinci sebagai moral kewiraswastaan (entrepreneueship) dan
ketrampilan manajemen (managerial skills) yang memeliki nilai yang lebih tinggi dari tenaga kerja kasar
tanpa ketrampilan khusus (unskilled labour) . Semula tenaga kereja kasar ini nilainya rendah. Tetapi
dalam masyarakat yang sudah maju, justru pekerja kasar yang makin jarang itu nilainya per jam tinggi,
lebih tinggi dari tenaga kerja professional yang kerja-fisiknya lebih ringan. Islam pada dasarnya sangat
menghargai tenaga kerja fisik itu dan memarintahkan pembebasan manusia dari perbudakan atau
eksploitasi. Dalam suatu Hadist dikatakan bahwa pintu rizki itu banyak dan yang terbanyak adalah
pekerjaan yang dilakukan dengan tangannya sendiri (kerja fisik) dan perdagangan yang dalam teori
ekonomi disebut sebagai sektor riil dan pada dasarnya membatasi imbalan atas modal finansial,
sebagaimana menjadi prinsip koperasi Rochdale.

Akhir-akhir ini lahir gagasan baru mengenai modal, yaitu modal intelektual ( intellectual capital)
yang menjadi sumber dari ekonomi kreatif. Tapi ekonomi kreatif ini juga tidak hanya bersumber dari
modal intelektual, tetapi juga modal budaya ( cultural capital) dan modal spiritual (spiritual capital). Ketiga
modal baru itu melahirkan gagasan (idea) yang menghasikan uang yang bearti bahwa ketiga modal baru
itu mempunyai nilai atau harga, sehingga harus pula dihargai dalam Perekonomian Islam modern. Dalam
modal intelektual itu terkandung juga nilai profesionalitas dan keahlian (expertise). Karena itu tenaga
kerja juga dihargai menurut kadar atau tingkat profesionalitas dan keahlian, yang dalam teori Jawn Rawls
merupakan bagian dari prinsip keadilan.

Ekonomi Islam mengajarkan prinsip hak milik yang berbeda dari sistem kapitalis yang
menekankan pada hak milik individu dan komunisme yang menekankan pada hak milik kolektif. Menurut
Ibn Taimiyah, Islam mengenal tiga hak milik. Mrnurut Islam, setiap hak milik atau kedaulatan atas
sumberdaya fisik, baik tanah maupun mesin dan peralatan itu mengadung amanah, yaitu amanah moral
dan amanah sosial. Pertama adalah hak milik individu yang terutama mengandung amanah moral.
Kedua hak milik sosial yang terutama mengandung amanah sosial. Dan ketiga adalah hak milik negara
yang mengandung amanah politik. Tetapi ketiga jenis hak milik itu mengandung amanah moral dan
sekaligus sosial dan politik. Amanah moral adalah amanah yang memberikan pedoman perilaku baik
buruk, benar salah, halal haram. Amanah sosial berkaitan dengan kemaslahatan umum. Dan amanah
politik berkaitan dengan penentuan siapa memperoleh apa. Dalam perekonomian Islam, hak milik itu
15
harus menghasilkan bartang-barang konsumsi yang halal dan bermutu (halalan thoyyiban) sebagai
amanah moral dan sosial.

Hak milik individual atau entitlement adalah hak milik yang bersumber dari hasil kerja sendiri,
warisan dan hibah. Realisasi atas hak milik itu diatur melalui perilaku ekonomi (economic behavior). Hak
milik sosial adalah hak milik bersama masyarakat sebagaimana diatur melalui lembaga wakaf. Hak milik
itu tidak boleh diperjual belikan, tetapi harus dipelihara atau dipertahankan nilainya dan dikerjakan
sehingga menghasilkan nilai tambah. Nilai tambah itu kemudian harus dibagikan kepada fakir miskin atau
diwujudkan lagi menjadi hak milik sosial yang diputarkan sebagai wakaf tunai (cash wakaf) yang bisa
merupakan sumber pembiayaan kegiatan ekonomi golongan miskin dan bisa pula dikonsumsi
langsung..Hak milik negara adalah kekuasaan negara atas suatu aset atau kekayaan negara yang
hasilnya masuk ke adalam pendapatan negara yang dipakai untuk penyelenggaraan negara dan
anggaran belanja negara. Pendapatan negara itu bisa pula diwujudkan dalam kegiatan infak atau
investasi guna menciptakan atau memperluas kesempatan kerja.

Atas dasar sistem hak milik itu, maka dalam perekonomian Islam terdapat pula tiga pelaku
ekonomi atau sektor ekonomi. Pertama, pelaku ekonomi individu atau sektor swasta, para individu itu
bisa pula bersekutu dalam kegiatan usaha berbasis kumpulan modal ( joint stock company) dalam prinsip
musyarakah. Kedua pelaku ekonomi sosial sebagai kumpulan orang yang membentuk koperasi yang
disebut sektor sosial (social sector). Dan ketiga pelaku ekonomi negara, yang disebut juga sektor negara
atau sektor publik. Bidang-bidang kegiatan masing-masing pelaku ekonomi atau sektor ekonomi itu
ditentukan di setiap negara dalam sistem ekonomi nasional.

Dengan demikian, berbeda dengan sistem pasar bebas, Ekonomi Islam, mengikuti sistem hak
milik, menganut sistem ekonomi bebas bertanggung jawab berdasarkan prinsip hak milik berbasis
amanah. Dalam rumusan usul fiqih, kebebasan ini maknai sebagai “orang boleh melakukan apa saja
boleh, kecuali yang dilarang”. Nilai amanah individual (individual trust) dan amanah sosial (social trust)
tercermin dalam tiga sikap dan perilau. Pertama, kejujuran pribadi dan dalam berinteraksi ( siddiq).
Kedua, bertanggung-jawab jika diberi tugas dan melaksanakan tugas, Juga bertanggung-jawab dalam
mengambil suatu keputusan dan melakukan kegiatan sehari-hari yang berarti juga mengikuti yang benar
dan menghindari yang salah (taqwa). Dan ketiga menepati janji atau mengikuti perjanjian. Ketiga sikap
dan perilaku itu akan membentuk kepercayaan dari orang lain, sehingga orang lain merasa aman jika
berinteraksi, berorganisasi dan bertransaksi. Kebalikan dari nilai amanah adalah kemunafikan atau tidak
satunya perkataan dengan perbuatan yang menimbulkan ketidak-percayaan. Menurut Fukuyama, nilai
trust itu membentuk modal sosial (social capital), yang berfungsi, pertama memimalkan biaya transaksi
(transaction cost), kedua membentuk modal sosial yang memungkinkan suatu masyarakat atau bangsa
mampu menyelanggarakan organisasi skala besar.

Nilai amanah beroperasi dalam mekanisme komunikasi dan interaksi antar individu dan antar
golongan. Dalam kaitan ini Al Qur‟an mengatakan bahwa “Sesungguhnya Allah itu menciptakan manusia
terdiri dari laki-laku dan perempuan, kelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar saling memahami
(ta‟aruf)” (Q.s. al Hujurat: 13). Dengan demikian maka masyarakat manusia itu bersifat majemuk
(plural). Kemajemukan itu bias merupakan kekuatan tetepi memiliki potensi konflik dan perpecahan. Agar
bisa menjadi kekuatan atau modal sosial, maka manusia harus saling memehami, antara laki-laki dan
perempuan, antar kelompok dan antar bangsa. Dengan demikian maka ta‟aruf adlah azas interaksi dan
komunikasi yang bisa menjauhkan manusia dari konflik dan perpecahan menjadi modal sosial yang
menciptakan kelancaran, ketertiban, keamanan dan perdamaian.

Kelompok nilai kedua terdiri dari nilai-nilai musyawarah (syura), solidaritas (ukhuwah) dan
kerjasama (ta‟awun). Kelompok nilai ini akan membentuk doktrin pertukaran yang berkeadilan ( fair
echange) yang terutama berlaku di bidang perdagangan (trade), sehingga disebut pula perdagangan
jujur dan adil (fair trade).

16
Sebagai konsekuensi dari ajaran ta‟aruf yang menghasilkan saling pengertian, saling memahami
dan saling menghargai, maka akan timbul musyawarah atau komunikasi deliberatif ( deliberative
communication), dalam istilah Habermas atau demokrasi-musyawarah. Dalam musyawarah akan terjadi
tukar menukar informasi yang menciptakan keterbukaan sebagai landasan kejujuran dan keadilan
(fairness). Musyawarah dapat pula diwujudkan dalam bentuk konsultasi dan negosiasi, misalnya
mengenai harga dan kualitas barang. Mekanisme ini bertolak belakang dengan prinsip pasar bebas atau
kedaulatan pasar yang didasarkan pada adu kekuatan dan tipu muslihat dalam pertukaran. Melalui
mekanisme musyawarah ini akan terjadi pertukaran yang jujur dan berkeadilan (fair exchange) atau
perdagangan yang berkeadilan (fair trade). Musyawarah ini akan menghasilkan persetujuan sukarela
berdasarkan kesepakatan harga yang adil (fair price) sehingga menimbulkan distribusi pendapatan yang
adil. Istilah “fair price” ini dipakai sebagai nama koperasi ritel Singapore yang merupakan salah satu
koperasi skala global. Dalam al Qur‟an Tuhan menanyakan “Maukah kamu mengetahui perdagangan
yang membebaskan kamu dari siksa api neraka ?”. (Q.s. As Shaf: 10). Ekonomi Islam memikirkan cara
perdagangan yang adil dan sukarela yang bebas dari riba (eksploitasi) menurut pengertian Sjafruddin
Prawiranegara.

Musyawarah dan persetujuan bersama adalah pintu menuju kepada kerjasama ( al ta‟wun).
Berdasartkan pengertian bahwa kemakmuran itu adalah hasil kerja sosial, sebagaimana dikatakan dalam
al Qur‟an maka kegiatan ekonomi itu seharusnya merupakan usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan. Dalam koperasi nampak berperan nilai solidaritas yang timbul dari rasa persaudaraan yang
disebut oleh Sri Edi Swasono dengan istilah ukhuwah sebagai pengertian yang terkandung dalam istilah
brotherhood dan kekeluargaan dalam UUD 1945. Nsmpsk misalnya dalam kegiatan simpan-pinjam.
Mereka yang kelebihan uang, menyimpan uangnya di koperasi agar bisa dipakai oleh orang lain untuk
kegiatan usaha. Dalam al Qur‟an diajarkan infaq atau pembelanjaan di jalan Allah, yang dalam ekonomi
adalah investasi yang bisa meningkatkan lapangan kerja, produksi dan pendapatan. Ketika di Jerman
pada pertengahan abad 19 dilanda pengangguran dab kemiskinan, walikota Reiffeisen menggerakkan
masyarakat untuk menyimpan kelebihan uangnya di koparasi yang kemudian dipinjamkan kepada petani
untuk berproduksi. Karena itu maka Ekonomi Islam sebagai Ekonomi Sosial, mengarah kepada kerja
sama dalam kebaikan (ta‟awun alal birri wa al taqwa) dalam berbagai bentuk koperasi, seperti koperasi
produksi, koperasi simpan pinjam dan koperasi konsumsi yang saling berkaitran. Namun diskursus ke
arah koperasi itu belum nampak menonjol, walaupun di Malaysia telah terbentuk koeparasi syari‟ah
dalam bentuk “Bank Kerjsama Rakyat” sehak 1993 yang telah menjadi koparasi gliobal sedang
berkembang dan di Indonesia telah terbentuk Induk Koperasi Syari‟ah (Inkopsyah), walaupun belum
nampak fenomenal. Namun di Dunia Islam sendiri gejala koperasi nyaris tidak nampak.

Dua kelompok nilai di atas mengarah kepada kelompok nilai ketiga yang terdiri dari al adl
(keadilan), al mizan (keseimbangan), al wasathan (pertengan, moderasi dan al ihsan (berbuat baik
kepada orangh lain dengan sebaik-baiknya atau altruism). Sebenarnya, dalam pemikiran Ekonomi Islam,
keadilan dianggap sebagai nilai sentral yang dalam al Qur‟an dan yang dikutip oleh naqwi adalah istilah al
adl wa al ihsan, dalam perkataan “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menegakkan
keadilan dan berbuat sebaik-baiknya kepada orang lain” (Q.s. An-Nahl:16). Dalam surat al Baqarah: 110
disebutkan bahwa umat yang sebaik-baiknya ( al khairu al ummaH) itu adalah umat yang pertengahan
(ummatan wasathan). Sementara itu pengertian adil itu sering disebut dengan istilah al mizan atau
keseimbangan. Karena itu maka dalam kelompok kelompok nilai ketiga, keempat nilai di atas
merupakan suatu kesatuan. yang saling menjelaskan ( mutasyabihat).

Pengertian adil itu sendiri cukup banyak, misalnya tidak memihak atau mempertimbangkan
informasi, pendapat, atau kepentingan berbagai pihak secara sama atau seimbang, menghukum yang
salah dan memberi ganjaran kepada yang berbuat baik dan benar, seimbang, bersikap petemgaham
seperti dilatakan oleh Nabi “sebaik-baik sesuatu adalah pertengahan”, moderasi terhadap kutub-kutub
yang ekstrem, melindungi atau membela hak-hak yang lemah dan seimbang dalam pertimbangan. Dalam
sistem hak milik umpamanya, Islam mencakup hak milik individu maupun sosial. Dari situ nampak kaitan

17
antara makna washatan dan mizan dalam keitannya dengan keadilan. Dalam kaitannya dengan ekonomi,
maka keputusan padar di antara pihak-pihak yang simetris dan seimbang, bisa menjadi ukuran bagi
harga yang adil (just price), Karena itu maka Nabi tidak melakukan saran para sahabat yang meminta
Nabi mematok harga pasar ketika terjadi kelangkaan. Tapi nabi juga melarang penimbunan yang
menyebabkan harga menjadi mahal. Nabi memilih mekanisme pasar untuk memulihkan harga, tetapi
dengan menghilangkan distorsi-distorsi terhadap pasar, seperti penimbunan, monopoli dan spekulasi.
Dalam al Qur‟an disebutkan pula bahwa keadilan itu adalah memberikan kepada setiap orang yang
menjadi haknya (Q.s. An-nisa:58). Tapi dalam al QAur‟an juga dikatakan bahwa setiap orang itu
menerima hasil sesuai dengan kerja dan usahanya. Demikian pula keadilan juga bermakna, menyantuni
fakir miskin dan yatim piatu, yakni mereka yang tidak memiliki perlindungan (security). Pwngertian-
pengertian di atas diperkuat dengan pandangan dua fulsuf sosial Amerika, Raws dan Nozick, yang
pertama menekankan aspek keadilan distributif atau keadilan sosial dan yang kedua menekankan
keadilan bagi individu berdasarkan prinsip entitlement atau hak pribadi atas hasil kerjanya.

Dengan demikian maka kelompok nilai pertama melahirkan doktrin kebebasan yang
bertanggung-jawab atau kebebasan yang berlandaskan nilai-nilai moral. Kelompok nilai kedua melahirkan
doktrin pertukaran yang adil. Dan kelompok nilai ketiga melahirkan doktrin keadilan distribusi. Keriga
doktrin itu membentuk sistem pasar moral sosial Isam.

Kesemua nilai-nilai fundamental itu menghasilkan prinsi-prinsip ekonomi sebagai betrikut:

1. Hak milik berfungsi sosial.

2. Tanggung-jawab moral.

3. Toleransi dalam kemajumukan.

4. Komunikasi deliberatif atau demokrasi musyawarah.

5. Solidareitas sosial.

6. Usaha bersama dalam kekeluargaan

7. Kesemimbangan.

8. Pertengahan atau moderasi.

9. Keadilan distributif.

Dewasa ini perekonomian Dunia Islam pada umumnya masih bercorak kapitalis. Namun Ekonomi
Islam sedang berkembang di dalamnya, menjadi kekuatan pengembang ( counter-valing power),
walaupun pangsa pasarnya masih terbatas, sehingga beberapa pengamat menilai bahwa sistem Ekonomi
Islam adalah sub-sistem dari sistem ekonomi kapitalis. Kesan itu timbul, karena yang berkembang adalah
aliran Ekonomi Syari‟ah dengan industri keuangan sebagai ciri utamanya yang dinilai “diterima oleh
pasar” kapitalis. Berkembangnya industri keuangan itu menunjukkan, bahwa Ekonomi Syari‟ah itu
mengandung nilai-nilai instrumal yang tinggi. Nilai instrumental itu berujud prinsip-prinsip prudensialitas
dalam industri keuangan.

Dalam seminar KAS di Turki timbul pandangan, bahwa pasar di negara-negara Barat berminat
untuk memasuki “pasar Islam‟ karena nampak menguntungkan, sehingga kecenderungan meningkatnya
pangsa pasar industri keuangan syari‟ah adalah karena partisipasi investor Barat, sebab di Dunia Islam

18
sendiri, pangsa pasar keuangan syari‟ah masih sangat kecil karena kekurangan modal. Namun demikian,
kalangan Kristen Demokrat tertarik kepada Ekonomi Islam justru karena perkembangan pemikiran
Ekonomi Islam sebagai Ekonomi Moral dan Ekonomi Sosial yang berdekatan dengan ajaran sosial Kristen.

Sementara itu konsep kedua aliran pemikiran itu tidak begitu nampak dalam diskursus. Kedua
konsep itu adalah sistem ekonomi makro, sedangkan Ekonomi Syari‟ah adalah sistem ekonomi mikro,
seperti koperasi. Kekecualian baru terjadi di Iran. Pertama, sistem Ekonomi Syari‟ah, terutama dalam
aspek moneternya telah berkembang menjadi sistem ekonomi makro. Sistem perbankan dan keuangan
syari‟ah sudah berlaku secara nasional dan resmi menjadi sistem ekonomi negara, dengan ketetapan UU.
Kedua, Sistem yang berkembang tidak hanya terbatas sebagai sistem Ekonomi Syari‟ah, tetapi sudah
nampak juga elemen-elemen pasar-sosial yang telah berkembang. Misalnya saja, koperasi, berdasar nilai
ta‟awun sebagai badan usaha telah berkembang yang ikut bertanggung-jawab terhadap pencapaian
swasembada pangan. Bahkan dalam perbankan siari‟ah, elemen-elemen sossal yang mengadung nilai
solidaritas, nampak menonjol, seperti ditunjuukan oleh persentase rekening qord al hasan, yang
mencapai 35%, walaupun dari segi pembiayaan hanya sebesar 10%, tapi hal ini menunjukkan bahwa
kelompok miskin telah jauh berkurang karena perkembangan ekonomi yang berkeadilan. Di Iran,
ekonomi bazary atau ekonomi rakyat nampak juga berkembang, sebagai nampak pada pangsa
pembiayaan sektor perdagangan sebesar 55%. Namun usaha-usaha besar juga nampak, melihat pangsa
pembiayaan musyarakah bank yang mencapai 35%.

Di Indonesia dan Malaysia eleman sosial nampak dalam dua gejala. Pertama, perkembangan
lembaga keuangan mikro syari‟ah yang disebut Bait al Maal wa al Tamwil (BMT) yang nilai esetnya baru
mencapai Rp. 3,- triliun. Kedua, berkembangnya koperasi-koperasi syari‟ah, walaupun masih baru
berkembang dalam lembaga keuangan mikro BMT. Hal itupun terjadi karena kebetulan, karena lembaga
keuangan mikro berada dalam jurusdiksi Kementarian Koperasi dan UKM. Namun di Malaysia, telah
berkembang koperasi Bank Kerjasama Rakyat yang sudah menjadi koperasi skala global sedang
berkembang yang sangat berperan dalam perkembangan industri perkebunan kelapa sawit rakyat.
Perkembangan Ekonomi Pasar Sosial Islam tergantung kepada dan bersumber dari perkembangan
lemabaga Zakat, Infaq, Sadaqah dan Wakaf (ZISKAF) dan integrasi lembaga itu dalam koperasi serba
usaha dengan komponen keuangan yang kuat. Karena itu yang menjadi persoalan Ekonomi Sosial Islam
adalah proses kelembagaan yang mengadung nilai instrumental yang tinggi yang tergantung pada
kapasitas kelembagaannya dan kekuatan mentalitasnya dalam mngelola sumberdaya ekonomi.

AGENDA KAJIAN DAN PENELITIAN

Dewasa ini, Ekonomi Syari‟ah sudah menjadi ilmu Ekonomi Positif, sebagai hasil kajian dan
penelitian empiris terhadap praktek Ekonoimi Syari‟ah. Hasil kajian dan penelitian ini akan lebih
memperkuat landasan perkembangan teori ekonomi dan pengajaran Ekonomi Syari‟ah di lembaga-
lembaga pendidikan. Namun harus diingat bahwa tervokusnya kajian dan pengajaran pada konsep
Ekonomi Syari‟ah bisa menimbulkan kesan tentang terjadinya proses “kematian ilmu ekonomi”,
sebagaimana diwacanakan oleh Paul Omered dalam bukunya “ The Death of Economics” (1994).
Tandanya adalah penciutan ruang lingkup ekonomi pada skala mikro perusahaan, sebagaimana Nampak
dalam penamaan “fakultas ekonomi dan bisnis” di hamper semua universitas di Indonesia, termasuk
universitas-universitas yang mengembangkan program studi Ekonomi Syari‟ah.

19
Padahal perkembangan pemikiran Ekonomi Islam kini telah mencakup wilayah yang cukup luas,
sebagai nampak dalam buku dan artikel tentang Ekonomi Islam, bukan saja sebagai Ekonomi Syari‟ah,
tetapi juga sebagai Ekonomi Moral, Ekonomi Sosial dan Ekonomi Politik. Melihat gambaran mengenai
rancang bangun Ekonomi Islam, nampak bahwa Ekonomi Islam itu tidak identik dengan ekonomi neo-
klasik dalam cakupan mikro, melainkan merupakan kajian Ekonomi Institusional (Institutional
Economics). Dalam perspektif ekonomi institusional, persoalan ekonomi tidak disederhanakan, misalnya
menjadi ilmu perilaku manusia ekonomi ( homo-economicus), melainkan sebagai persoalan yang
kompleks yang mencakup berbagai aspek kejala yang merupakan lembaga-lembaga yang mempengaruhi
dan bahkan menggerakkan pengelolaan sumberdaya yang menimbulkan perkembangan ekonomi. Dalam
kajian itu, manusia tidak dipandang sebagai manusia tunggal dimensi ( one-dimentional man), yaitu
menusia tehno-ekonomis, sebagaimana ditulis oleh Herbert Marcuse, melainkan sebagai manusia yang
kompleks (multi-dimentional man).

Selain itu, sebagaimana dikatakan oleh Thontorn Veblen, sifat manusia itu tidak statis, melainkan
dinamis dan terus berubah, karenna berinteraksi dengan lingkunagnnya. Manusia tidak saja meubah
keadaan, tetapi juga diubah oleh keadaan. Demikian pula konsep-konsep ekonomi dalam syari‟ah itu juga
berubah tidak saja dalam istilah, melainkan juga dalam interpretasi dan pengertian Misalnya pinjaman al
Qord al Hasan, adalah konsep baru, tetapi pengertiannya sudah tercantum dan dapat diinterpretasikan
dalam Q.s. al Hadid: 11. Dengan demikian, maka pengertian-pengertian tentang Ekonomi Syari‟ah juga
mengalami perubahan. Tapi perubahan arti dan interpretasi itu dipengaruhi oleh perkembangan keadaan.
Kerena itu, di samping mengkaji rumusan-rumusan hukum Ekonomi Syari‟ah yang terfokus pada hukum
mu‟amalah atau transaksi keuangan, yang perlu dikaji adalah kondisi dan persoalan-persoalan social-
ekonomi yang menjadi konteks, ketika hukum-hukum itu dirumuskan. Dan sebagaimana dikatakan oleh
Imam Djazuli, bahwa hakekat Ekonomi Islam itu adalah praktek-prektek ekonomi yang dijalankan oleh
Nabi dan para sahabat, maka kajian ontologi itu perlu dilakukan. Dewasa ini, konon ekonom UII
Suwarsono Muhamad, sedang melakukan kajian historis mengenai perkembangan ekonomi pada masa
Nabi dan sahabat-sahabautnya. Tapi buku semacam itu telah ditulis oleh Mohammad Sholahuddin dalam
bukunya yang berjudul “World Economic Revolution with Muhammad” (2009) yang membuat dua bab
mengenai perekonomian pra-Islam dan pada masa Nabi dan Khulafa‟ al Rashidin.

Studi ontologis perlu pula dilakukan tentang perekonomian Dunia Islam, menjelang dan pada
masa kelahiran Ekonomi Islam modern, 1970-an yang ditandai oleh gejala bonanza minyak yang
menghasilkan petro-dollar. Studi semacam itu, tetapi tidak berkaitan dengan kelahiran pemikiran
Ekonomi Islam adalah buku intelektual Marxis Mesir, Samin Amin dalam bukunya “ The Arab Enonomy
Today” (1982) yang cukup menarik, karena tema itu ditulis dalam kerangka teori „ world capitalist
system” dengan pendekatan strukturalis, yang dikembangkan oleh Emmanuel Wallerstein dan Amin
sendiri. Pendekatan historis-struktural inilah yang perlu dilakukan sebagai landasan pengembangan
pemikiran Ekonomi Islam sebagai Ekonomi Positif. Studi ontologis serupa perlu pula dilakukan mengenai
perekonomian masyarakat Muslim di Indonesia dan Asia Tenggara yang sangat berbeda kondisi dan
persoalannya dari perekonomian Timur Tengah dan Dunia Arab. Tetapi studi perekonomian Dunia Islam
telah dimulai oleh Didin S. Damanhuri dari IPB dengan makalahnya yang berjudul “Perekonomian Dunia
Islam”, (2012) yang disampaikan dalam seminar pra Konggres bertemakan “Kebangkitan Ekonomi
Islam”, Januari, 2012 oleh “Lembaga Pemikiran Ekonomi Islam” (LPeI), Universitas Islam As Syafiiyah.

Kedua, dalam pengembangan lebih lanjut pemikiran Ekonomi Islam sebagai Ekonomi Normatif
yang inspiratif itu, perlu dilakukan kajian mengenai filsafat ekonomi. Disini perlu digali dan dibaca secara

20
kontekstual pemikiran-pemikiran para filsuf Muslim Abad Pertengahan, seperti misalnya al Farabi, Ibn
Sina, al Ghazali, Ibn Tufail dan Ibn Taimiyau. Dari kajian itu, dapat dikembangkan teori-teori mengenai
Ekonomi Moral Islam. Bahkan dari filsafat al Farabi dan Ibn Sina, dapat digali konsep-konsep Ekonomi
Sosial. Dari pemikiran al Farabi dapat dikembangkan pemikiran Ekonomi Madani, yang sekarang ini
dikembangkan di AS sebagai Ekonomi Kewargaan (Civil Economy), yaitu model perekonomian dalam
wilayah masyarakat kewargaan (civil society) dan Ekonomi Sosial (Social Economy). Dalam arah ini.
Ekonomi Sosial Islam bisa menjadi landasan teoritis bagi gagasan Bank Sosial Islam dan Ekonomi
Koperasi. Sementara itu, dari kajian mengenai pemikiran filsafat Ibn Sina, dapat dikembangkan ekonomi-
sosiologi yang di Barat telah dikembangkan misalnya oleh Gustav Smoller, sebagaimana ditulis oleh
Mohammad Hatta.

Dalam melihat ke dapan perkembangan teori ekonomi, Faul Omerod melihat gejala perhatian
baru dalam perekonokian modern. Pertama gejala perkembangan moralitas dalam masyarakat-
masyarakat sedang berkembang. Kedua, perhatian untuk mengalihkan perhatian dari konsep “ market
economy” (ekonomi pasar) ke arah masyarakat pasar (market societyl. Dalam perspektif ini maka
pemikiran Ekonomi Islam bisa dikatakan berkembang, apabila Ekonomi Islam dipikirkan sebagai Ekonomi
Institusional yang melihat perekonomian sebagai gejala yang kompleks dan multi-dimensional. Kekuatan
pemikiran Ekonomi Islam dalam kaitannya dengan gejala “matinya ilmu ekonomi” adalah konsep Ekonomi
Islam sebagai Ekonomi Institusional.

Rancang Bangun yang dicoba dibangun, pertama rancang bangun Ekonomi Syari‟ah, maupun
rancang bangun Ekonomi Moral-Pasdar Sosial (Moral Social Market Economy), memberikan ancangan
agenda kajian dan penelitian Ekonomi Islam di masa mendatang.

Pertama, studi akademis (kajian dan penelitian) tentang hakekat Ekonomi Islam, sebagaimana
telah dimulai oleh Sjafruddin Prawiranegara yang mempersoalkan persepsi umum mengenai Ekonomi
Islam. Kajian itu seharusnya bertolak dari pengertian mengenai “Islam” itu sendiri dalam arti generiknya,
yaitu yang menngandung arti keselamatan ( salvation), perdamaian (peace) dan kesejahteraan (welfare).
Kajian ini aakan mengarah kepada rumusan paradigma Ekonomi Islam, yang selama ini diasumsikan
bertolak dari konsep “syari‟ah”, dengan konsekuensi, Ekonomi Islam diidentikan dengan Ekonomi Hukum
(Legal Economics).

Kedua, berhadapan dengan realitas bahwa Ekonomi Islam dipersepsikan sebagai identik dengan
Ekonomi Syari‟ah, maka studi akademis Ekonomi Syari‟ah perlu diperluas kea rah kajian konsep al
Maqosith al Syari‟ah (Maksus-maksud atau tujuan-tujuan Syari‟ah). Kajian ini akan mengarah kepada
kajian filsafati mengenai aspek-aspek al maslahah al mursalah (public benefit berdasarkan moral
reasoning) yang mencakup pemeliharaan dan pengembangan iman atau agama, akal, kehormatan, jiwa,
keturunan dan harta. Kajian ini akan menghasilkan konsep mengenai Doktrin Kesejahteraan Manuisia
atau Doktrin Kemuliaan Hidup Manusia. Kajian inipun juga bisa mengarah kepada konsep Ekonomi Islam
sebagai Ekonomi Kelembagaan.

Ekonomi syari‟ah sebagai Ekonomi Hukum sebenarnya mengemban misi tunggal, yaitu amar
ma‟ruf nahi munkar tetapi mengikuti prinsip “menghilangkan mudharat lebih diutamakan dari mencapai
manfaat yang belum pasti‟, sehingga mendahulukan aspak nahir mungkar. Misi nahi mungkar itu
dilakukan pertama, dengan menjalankan 3 prinsip, yaitu (1) menghindari perjudian (maisir), menghindari
spekulasi (gharar), menghilangkan eksploitasi modal atas tenaga kerja (riba), menolak barang-barang
yang haram dalam produksi dan konsumsi. Kedua menciptakan 4 praktek baik (good practice), yaitu: (1)
21
mengproduksi dan mengkonsumsi barang dan jasa yang halal dan baik (halalan-toyyiban) (2)
perdagangan yang jujur dan adil (fair trade) (3) menyediakan fasilitas kebaikan (qord al hasan) dan (4)
transfer pendapatan dan kekayaan dari orang yang berkelibihan kepada yang berkekurangan ( sadaqah)
sebagai system jaminan sosial.

Ketiga, dalam kaitannya dengan studi mengenai doktrin-doktrin Ekonomi Islam, dari ancangan
rancang bangun Ekonomi Moral Pasar Sosial Islam, nampak ada tiga doktrin ekonomi Islam yang
diusulkan untuk dipikirkan. Pertama doktrin kebebasan yang bertanggung jawab yang berbada dengan
doktrin laissez-faire dalam ekonomi liberal. Dalam doktrin ini terkandung aspek moral dalam perilaku
manusia sebagai agen ekonomi. Kedua adalah Doktrin Pasar Berkeadilan ( fair exchenge atau fair-trade).
Doktrin ini adalah tandingan dari doktrin perdagangan bebas free-trade dalam perdagangan internasional
maupun nasional dan lokal yang memihak secara seimbang antara produsen maupun konsumen dan bisa
dijadikan landasan bagi kemendirian ekonomi dari ketergantungan perdagangan (trade-dependency).
Dan ketiga adalah doktrin kesejahteraan sosial berdasarkan al Maqosith al Syari‟ah. Doktrin ini akan
membedakan diri dari doktrin pasar sosial yang cenderung merupakan revisi dari sistem ekonomi liberal
tanpa perbedaan dalam hakekat. Doktrin ini bertujuan mencari sistem jaminan dan perlindungan
terhadap hak manusia untuk hidup mulia dan kebahagiaan (human happiness), sedangkan doktrin pasar
sosial hanya menyangkut jaminan sosial (social security), sementara doktrin Islam mencakup jaminan
kemanusiaan (human security).

Keempat, kajian mengenai prinsip-prinsip Ekonomi Moral Pasar Sosial yang mencakup prnsip-
prinsip (1) hak milik berfungsi social, (2) tanggung jawam moral, (3) toleransi dalam kemajemukan (4)
demokrasi-musyawarah atau komunikasi deliberatif (5) solidaritas social (6) keseimbangan pasar dan (7)
keadilan sosial atau keadilan distributif.

Kelima, dalam melaksanakan prinsi-prinsip ekonomi, baik dalam kerangka Ekonomi Syari‟ah dan
Ekonomi Moral Pasar Sosial, perlu dipelajari pembagian fungsi dan peranan 3 sektor ekonomi, yaitu
sektor individu, sektor komunitas atau sektor sosial dan sektor negara. Kajian ini akan mengarah kepada
kajian Ekonomi Politik yang menyangkut interaksi dan kerjasama antara tiga sektor ekonomi itu, baik di
bidang produksi, distribusi dan konsumsi. Kajian ini memakai pendekatan ekonomi komparatif antar
sistem dan model ekonomi. Dalam studi Ekonomi Islam, yang baru dikaji adalah peranan negara dalam
perekonomian Islam sebagai ditulis oleh Muhammad Akram Khan. “The Role of Government in the
Economy”.

KESIMPULAN

Sebagai diskursus (discourse) studi Ekonomi Islam pada pokoknya mengakut dua bidang kajian
dan penelitian. Pertama kajian dan penelitian tentang realitas yang telah terjadi dan mencapai tingkas
diskursus, yaitu kajian mengenai Ekonomi Islam sebagai Ekonomi Syari‟ah. Kedua, tentang Ekonomi
Islam sebagai Ekonomi Institusional yang mencakup gagasan Ekonomi Islam secara komprehensif.
Kajian ini akan menghasilkan konsep Ekonomi Islam sebagai sistem Ekonomi Moral Pasar Sosial.

Berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang bebas nilai, hanya mencakup aspek
kelembagaan, Ekonomi Islam, sebagai ekonomi yang berbasis nilai ( value-based economics) mencakup
aspek mentalitas yang bersumber pada nilai. Dewasa ini, studi Ekonomi Syari‟ah yang sebenarnya juga

22
berbasis nilai itu, masih terbatas pada aspek kelembagaan, khususnya lembaga perbankan dan
keuangan. Karena itu maka agenda studi Ekonomi Islam di masa mendatang perlu mengarah kepada
kajian Ekonomi Islam sebagai Ekonomi Kelembagaan.

Dalam realitas, Ekonomi Syari‟ah memiliki nilai instrumental yang tinggi karena sudah
dilaksanakan dengan berhasil, walaupun masih terbatas yang diindikasikan oleh pangsa pasar
pengelolaan sumberdaya keuangan, yaitu di Indonesia hanya sekitar 3,8%. Sementara itu,
pengembangan pangsa pasar itu terganjal dengan keterbatasan modal domestik.

Karena itu dewasa ini diperlukan pengembangan visi dan misi Ekonomi Islam yang baru. Dalam
visi dan misi baru itu maka ukuran keberhasilan ekonomi tidak terbatas pada ukuran pertumbuhan
ekonomi, tetapi mencakup 5 aspek: (1) Economic and Social Inclution atau Demokrasi Ekonomi
(Economic Democracy) atau Partisipasi Ekonomi (Participatory Economy), (2) Kemandirian Ekonomi
(Economic Independency) (3) Kualitas Hidup Manusia (Quality of Life) atau kemartabatan Hidup Manusia
(Himan Dignity) (4) Keadilan Sosial (Social Justice) dan keamanan sosial-Ekonomi (Social and Economic
Security), (5) Pembangunan Berkelanjuitan ( Sustainable Development).

Dengan demikian maka agenda studi Ekonomi Islam tidak hanya mencakup pembangunan
ekonomi (economic development), melainkan juga pembangunan manusia seutuhnya (total human
development) sebagai visi baru pembangunan yang tidak hanya menyangkut aspek material, melainkan
juga aspek kebudayaan (cultural) dan kerohanian (spiritual). Karena itu, maka yang pertama perlu
dilakukan adalah redifinisi Ekonomi Islam sebagai ilmu tentang perilaku manusia dalam pengelolaan
sumberdaya, dengan cara menghindari kegiatan yang buruk dan melakukan kegiatan yang baik, guna
mencapai keselamatan, perdamaian, dan kesejahteraan hidup manusia (falah).

Jakarta, 10 Februari 2012

23

Anda mungkin juga menyukai