Anda di halaman 1dari 11

TUGAS KOASISTENSI REPRODUKSI

OVULASI PADA SAPI

Oleh

Alfredo J. D Niron 2009020014

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan bertambahnya penduduk Indonesia, kebutuhan pangan juga harus

ditingkatkan terutama kebutuhan protein nabati maupun hewani. Sumber protein hewani

dari ternak dapat berasal dari ternak ruminansia besar dan ruminansia kecil, unggas dan

ternak lainnya. Indonesia merupakan negara agraris, maka titik berat pembangunannya di

bidang pertanian. Karena itulah antara peternakan dan pertanian mempunyai hubungan

yang erat dan saling membutuhkan. Dalam upaya peningkatan produksi ternak sapi,

terdapat beberapa hal yang harus di perhatikan agar sapi tetap produktif salah satunya

adalah peningkatan mutu produktif dan keefisien dari reproduksi sapi. Reproduksi hewan

betina merupakan proses yang komplek dan dapat terganggu pada stadium sebelum atau

sesudah permulaan siklus reproduksi, selain itu harus menghasilkan ovum yang hidup serta

diovulasikan pada waktu yang tepat dan hewan betina memperlihatkan estrus (Toelihere,

1987).

Ovulasi adalah pecahnya folikel yang telah masak disertai keluarnya sel telur dari

folikel tersebut. Pada sapi dan domba ovulasi dapat terjadi di sembarang tempat dengan

memperhatikan tempat terdapatnya korpus luteum. Proses terjadinya ovulasi merupakan

rangkaian mekanisme fisiologik, biokemikal dan biofisikal, termasuk didalamnya adalah

(1) mekanisme neuro-endokrin dan endokrin LH-RH, steroid dan prostaglandin (2)

mekanisme neurobiokemikal dan farmakologik (3) mekanisme neuromuskular dan

neurovaskular serta interaksi ensimatik(Damayani dan Ismudiono, 2014).


1.2. Tujuan

Untuk mengetahui mekanisme terjadinya ovulasi pada sapi


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Perkembangan dan Pematangan folikel hingga ovulasi

Kanitz et al., 2001 menyatakan bahwa ovarium sapi mengandung dua kumpulan

folikel yang berbeda, kumpulan yang tidak tumbuh dan kumpulan yang tumbuh . Folikel

yang tidak tumbuh berisi folikel primordial, sedangkan kolam tumbuh berisi folikel primer,

sekunder dan tersier . Pada sapi, pertumbuhan folikel yang bergantung pada gonadotropin dan

terjadi dalam pola seperti gelombang (Driancourt, 2001). Gelombang pertumbuhan dapat

diamati selama periode prapubertas (Adams et al., 1994), pada sapi bunting (Taylor danan

Rajamahendran, 1991), pada periode postpartum (Murphy et al., 1990) dan selama siklus

estrus (Roche et al., 1999). Selama satu interval interovulasi dua (Ginther et al., 1989), tiga

(Savio et al., 1988) atau empat gelombang (Rhodes et al., 1995) telah diamati. Siklus dengan

tiga gelombang rata-rata 1,1 hari lebih lama dan Corpora lutea mengalami regresi lebih

lambat dari pada hewan dengan dua gelombang.

Kannitz., 2003 menyatakan pertumbuhan folikel satu folikel dipilih untuk

pertumbuhan yang berkelanjutan dan menjadi dominan. Jika luteolisis terjadi selama fase

pertumbuhan folikel dominan, pematangan akhir dan ovulasi terjadi. Jika luteolisis tidak

terjadi selama fase pertumbuhan dan pemeliharaan folikel maka nasibnya adalah atresia.

Pertumbuhan folikel meliputi 3 tahap perkembangan diantaranya meliputi perekrutan folikel,

seleksi folikel dan dominasi folikel.

2.1.1. Perekrutan folikel


FSH adalah hormon kunci untuk inisiasi endokrin dari terjadinya gelombang

pertumbuhan folikel (Sunderland et al., 1994). Adams et al., (1992) menemukan bahwa sapi

dara dua gelombang memiliki dua lonjakan FSH dan sapi dara tiga gelombang memiliki tiga

lonjakan FSH selama interval interovulasi. Fortune et al., 2001 menyatakan bahwa lonjakan

FSH pada sapi dara dimulai 2 - 4 hari sebelum munculnya gelombang folikel terdeteksi

dengan alat USG dengan diameter ukuran folikel 4 dan 5 mm, memuncak 1 atau 2 hari

sebelum muncul dan mulai berkurang ketika folikel gelombang mulai bertumbuh menjadi

folikel dominan dan folikel subordinat dengan diameter folikel 6 - 7 mm. Sebagai hasil

rekrutmen folikel, mRNA untuk aromatase P450 meningkat dan menemukan bahwa lonjakan

mencapai puncaknya pada saat folikel mencapai diameter 4 mm.

2.1.2. Seleksi folikel

Setelah perekrutan, semakin sedikit folikel yang direkrut dan akanj terus tumbuh

sampai satu folikel dipilih untuk menjadi dominan sementara anggota folikel yang direkrut

menjadi statis dan mengalami atresia melalui apoptosis. Proses seleksi terjadi di bawah

penurunan konsentrasi FSH dan memakan waktu 2 sampai 3 hari (Evans et al., 1997; Austin

et al., 2001). Gibbons et al., (1999) menemukan bahwa folikel≤ 3 mm tidak memiliki

kapasitas untuk menekan FSH. Pada Kaneko et al., (1997) menunjukkan bahwa netralisasi

inhibin selama fase luteal awal menghasilkan hipersekresi FSH dengan stimulasi

perkembangan folikel yang bersamaan, menunjukkan bahwa inhibin merupakan faktor

penting untuk regulasi negatif sekresi FSH selama fase luteal awal ketika sekresi estradiol

dan progesteron meningkat. Ginther et al,. (2001a) menyatakan bahwa inhibin merupakan

penekan FSH utama pada tahap ini. Austin et al., (2001) menemukan bahwa folikel dominan

mempertahankan jumlah inhibin dengan berat molekul yang lebih tinggi sedangkan folikel

bawahan telah meningkatkan jumlah inhibin terkecil (34 kDa). Para penulis menemukan

bahwa folikel terbesar mencapai rata-rata berdiameter 8,5 dan 7,7 mm pada akhir periode
pemilihan. Setelah itu mulai mengalami deviasi perubahan pada diameter ukuran dari folikel

yang ditandai dengan berlanjutnya pertumbuhan folikel terbesar menjadi folikel dominan dan

berkurangnya atau terhentinya pertumbuhan folikel yang tersisa menjadi folikel

subordinat(folikel primordial). Pada awal deviasi folikel, folikel terbesar melepaskan

peningkatan estradiol ke dalam darah, dan pelepasan estradiol terlibat dalam penurunan

konsentrasi FSH yang berlanjut hingga di bawah kebutuhan folikel yang lebih kecil tetapi

bukan folikel terbesar (Ginther et al., 1999). Ghinter et al., (2001a) melaporkan bahwa baik

estradiol dan inhibin berkontribusi pada penurunan FSH yang berkelanjutan pada tahap ini.

Selain itu ditemukan bahwa peningkatan konsentrasi LH dan penurunan konsentrasi FSH

terjadi 16 sampai 32 jam hingga dan setidaknya 24 jam setelah awal deviasi folikel (Ginther

et al.,1998). Pada sapi dara, reseptor LH muncul di sel granulosa folikel dominan sekitar 8

jam sebelum awal deviasi. Estradiol mungkin memiliki peran kunci dalam menentukan nasib

fisiologis folikel selama pemilihan folikel dominan gelombang pertama dan keduanya

merupakan penanda yang dapat diandalkan untuk memprediksi folikel mana yang akan

tumbuh dari diameter 5 hingga 8,5 mm menjadi folikel dominan. Fortune et al., (2001)

menemukan bahwa sel-sel granulosa dari folikel dominan menghasilkan lebih banyak

estradiol in vitro daripada sel-sel dari folikel bawahan. Penurunan FSH yang dimulai setelah

hari ke-2 siklus estrus sapi yang menyebabkan perubahan diferensial pada faktor

pertumbuhan dan hormon yang bergantung pada FSH dalam kelompok folikel praseleksi,

secara bersamaan menginduksi pertumbuhan dan meningkatkan kapasitas produksi estradiol

dari folikel dominan yang mengakibatkan atresia pada folikel bawahan ( Mihm et al., 1997).

2.1.3. Dominan folikel

Folikel secara fungsional akan bertumbuh menjadi dominan dan mampu berovulasi

setelah regresi luteal (Fortune et al., 1991). Folikel memperoleh kapasitas ovulasi dengan

diameter sekitar 10 mm, sesuai dengan perkiraan sekitar 1 hari setelah dimulainya deviasi
folikel, tetapi membutuhkan dosis LH yang lebih besar untuk menginduksi terjadinya

ovulasi. Diperkirakan bahwa perolehan kapasitas ovulasi mungkin melibatkan peningkatan

ekspresi reseptor LH pada sel granulosa dari folikel dominan dan bahwa perubahan ini

mungkin juga penting untuk pertumbuhan lebih lanjut dari folikel dominan (Sartori et al.,

2001). Dominasi tampaknya dipertahankan oleh efek umpan balik negatif dari produk folikel

dominan pada FSH yang bersirkulasi. Seleksi dan dominasi disertai dengan peningkatan

progresif kemampuan sel teka untuk menghasilkan androgen dan sel granulosa untuk

aromatisasi androgen menjadi estradiol. Folikel dominan tumbuh dengan ukuran yang jauh

lebih besar daripada semua folikel lainnya dengan diameter 8,5 mm pada akhir seleksi

menjadi 12 – 20 mm dan memakan waktu 3 sampai 4 hari.

Ireland et al., 2000 menyatakan bahwa nasib folikel dominan tergantung pada fungsi

korpus luteum. Dalam kasus peningkatan konsentrasi progesteron folikel dominan menjadi

atretik karena pengaruh negatif progesteron pada peningkatan sekresi LH. Hilangnya

dominasi terjadi setelah penurunan sekresi estradiol (hari ke-6) dari folikel dominan dari

gelombang folikel pertama (Sunderland et al., 1994). Penurunan estradiol folikel dan sekresi

inhibin terjadi di depan gelombang baru pertumbuhan folikel (Ginther et al., 1996; Mihm et

al., 2002).

2.1.4. Ovulasi

Ovulasi diinduksi oleh peningkatan sekresi LH (Kanitz et al., 2001). Dieleman dan

Blankenstein (1984, 1985) menunjukkan bahwa pada folikel sapi praovulasi penghambatan

aromatisasi terjadi sekitar 14 jam setelah puncak LH praovulasi dan konsentrasi progesteron

meningkat sebelum ovulasi. Dow et al., (2002) menunjukkan bahwa ekspresi mRNA dan

aktivitas enzim untuk tPA dan uPA meningkat secara temporal dan spesifik dalam folikel

praovulasi sapi setelah terjadi lonjakan gonadotropin. Peningkatan aktivator plasminogen dan
aktivitas plasmin dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam mekanisme ruptur folikel

pada sapi. Singkatnya proses menyebabkan pecahnya folikel praovulasi, pengeluarabn oosit

dan pembentukan korpus luteum. Pada sapi Peters dan Benboulaid (1998) menyelidiki

terjadinya ovulasi setelah PGF2α/aplikasi GnRH pada beberapa hewan dengan cara USG,

ovulasi terjadi antara 24 hingga 48 jam setelah injeksi GnRH. Interval rata-rata dari GnRH ke

ovulasi adalah 25 hingga 33 jam. folikel ovulasi memiliki diameter antara 15 dan 20 mm.

Putra (2006) menyatakan bahwa ovulasi merupakan peristiwa pelepasan ovum dari

folikel de Graaf. Mekanisme ovulasi menurut Hardjopranjoto (1995) terjadi karena adanya

pengaruh hormonal. Folikel-folikel tumbuh karena penagruh hormon FSH dari kelenjar

ipofisa anterior yang mampu menghasilkan estrogen dan progesteron dalam dosis kecil.

Kedua hormon ini memberi dorongan kepada kelenjar hipofisa anterior untuk

menghasilkan LH dan hormon LH mempunyai peranan penting dalam menginisiasi

terjadinya ovulasi. Rupturnya folikel pada saat ovulasi terjadi karena adanya tekanan dari

dalam folikel yang bertambah besar dan terjadi pemecahan pada daerah stigma yang

menjadi pucat karena kurang memperoleh darah. Ovulasi pada sapi terjadi 22-36 jam

sesudah permulaan birahi atau 10-12 jam sesudah birahi berakhir. Pada sapi, ovulasi

menghasilkan sel telur dalam satu kali bila ovulasi terjadi, sel telur yang dilepaskan akan

masuk ke dalam infundibulum dari tuba falopii. Setelah terjadi ovulasi terjadilah kawah

bekas folikel yang dipenuhi oleh darah. Selanjutnya pembekuan darah pada permukaan

ovarium ini disebut dengan korpus haemorhagikum atau korpus rubrum (badan merah).

Warna merah tersebut berangsur-angsur berubah menjadi kekuningan yang disebut korpus

luteum (badan kuning). Korpus luteum mencapai besar yang maksimum pada pertengahan

fase luteal yaitu 7-12 hari setelah ovulasi dan selanjutnya mengalami pengecilan dan

akhirnya regresi disertai munculnya sel-sel tenunan pengikat, lemak, dan struktur semacam

hyaline diantara sel-sel luteum Hal ini mempercepat regresi korpus luteum hingga
akhirnya tidak ada lagi dan menyebabkan pengurangan aktifitas korpus luteum sebagai

sumber hormone progesterone yang berfungsi mempertahankan kebuntingan. Bekas

tempat korpus luteum berubah menjadi jaringan parut berwarna coklat pucat atau keputih-

putihan yang disebut korpus albikan (Partodihardjo, 1992). Bila terjadi fertiliasi maka

korpus luteum akan terus berkembang dan dipertahanlan sampai saat menjelang kelahiran

dan dikenal dengan korpus luteum graviditatum. Selama masa kebuntingan prostaglandin

tidak dihasilkan, sehingga proses degenerasi dari korpus luteum tidak terjadi. Korpus

luteum berfungsi menghasilkan progesteron untuk mempersiapkan endometrium saat

implantasi dan mempertahankan kebuntingan.

Sedangkan pada Lestari dan Ismudiono (2014) menyatakan proses terjadinya

ovulasi merupakan rangkaian mekanisme fisiologik, biokemikal dan biofisikal,

termasuk didalamnya adalah (1) mekanisme neuro-endokrin dan endokrin LH-RH,

steroid dan prostaglandin (2) mekanisme neurobiokemikal dan farmakologik (3)

mekanisme neuromuskular dan neurovaskular serta interaksi ensimatik. Konsentrasi

hormon gonadotropin sebelum ovulasi akan meningkatkan produksi prostaglandin pada

folikel yang diproduksi oleh sel-sel granulosa. Prostaglandin akan merangsang

kontraksi ovarium dan mengaktifkan fibroblast sel theca untuk berproliferasi dan

mengeluarkan ensim proteolitik yang akan melunakkan dinding folikel dan lamina

dasar. Hormon steroid terutama progesteron dalam hal ini juga berperan. Untuk

terjadinya ovulasi, berlangsung disosiasi yang progresif dan dekomposisi dari beberapa

lapisan sel pada sekeliling apeks folikel sebelum ovulasi. Hasil dari aktivitas ensim

proteolitik yang diproduksi oleh sel-sel granulosa dan atau fibroblast merupakan

respons terhadap pengaruh LH, progesteron dan prostaglandin. Pada sapi ovulasi terjadi

22–36 jam sesudah permulaan birahi atau 11–12 jam setelah birahi berakhir.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1) Folikel tumbuh seperti gelombang;

2) Lonjakan periodik fsh yang bersirkulasi berhubungan dengan munculnya

gelombang folikel

3) Pemilihan folikel dominan melibatkan penurunan fsh dan perolehan respons lh

4) Gelombang folikel anovulasi periodik terus muncul sampai terjadinya

lonjakan lh

5) Dalam spesies, ada hubungan positif antara durasi siklus estrus dan jumlah

gelombang folikel

6) Progesteron menekan sekresi lh dan pertumbuhan folikel dominan

7) Durasi interval antar gelombang merupakan fungsi dari dominasi folikel, dan

berkorelasi negatif dengan fsh yang bersirkulasi

8) Dominasi folikel lebih menonjol selama gelombang folikel pertama dan

terakhir dari siklus estrus dan

9) Ovulasi merupakan peristiwa pelepasan ovum dari folikel de Graaf yang

terjadi karena adanya pengaruh hormonal

10) Ovulasi pada sapi terjadi 22-36 jam sesudah permulaan birahi atau 10-12 jam

sesudah birahi berakhir


DAFTAR PUSTAKA

Abreu de. R. M. C. A, Busate. M. E, Galan. G. B.G.T, Bertol. F. A. M, Weis. R. R. 2017.


Bovine Reproductive Physiology and Endocrinology. Federal University of Parana,
Brazil

Kanitz. W. 2003. Follicular dynamic and ovulation in cattle – a review. Arch. Tierz.,
Dummerstorf 46 (2003) 2, 187-198

Lestari. D. T. dan Ismudiono. 2014. Ilmu Reproduksi Ternak. Airlangga University Press
(AUP). hal – 95.

Mihm. M, Crowe. M.A, Knight. P.G, Austin. E.J. 2002. Follicle Wave Growth in Cattle.
Reprod Dom Anim 37, 191–200 (2002). Blackwell Verlag, Berlin

Anda mungkin juga menyukai