Oleh
2021
BAB I
PENDAHULUAN
ditingkatkan terutama kebutuhan protein nabati maupun hewani. Sumber protein hewani
dari ternak dapat berasal dari ternak ruminansia besar dan ruminansia kecil, unggas dan
ternak lainnya. Indonesia merupakan negara agraris, maka titik berat pembangunannya di
bidang pertanian. Karena itulah antara peternakan dan pertanian mempunyai hubungan
yang erat dan saling membutuhkan. Dalam upaya peningkatan produksi ternak sapi,
terdapat beberapa hal yang harus di perhatikan agar sapi tetap produktif salah satunya
adalah peningkatan mutu produktif dan keefisien dari reproduksi sapi. Reproduksi hewan
betina merupakan proses yang komplek dan dapat terganggu pada stadium sebelum atau
sesudah permulaan siklus reproduksi, selain itu harus menghasilkan ovum yang hidup serta
diovulasikan pada waktu yang tepat dan hewan betina memperlihatkan estrus (Toelihere,
1987).
Ovulasi adalah pecahnya folikel yang telah masak disertai keluarnya sel telur dari
folikel tersebut. Pada sapi dan domba ovulasi dapat terjadi di sembarang tempat dengan
(1) mekanisme neuro-endokrin dan endokrin LH-RH, steroid dan prostaglandin (2)
PEMBAHASAN
Kanitz et al., 2001 menyatakan bahwa ovarium sapi mengandung dua kumpulan
folikel yang berbeda, kumpulan yang tidak tumbuh dan kumpulan yang tumbuh . Folikel
yang tidak tumbuh berisi folikel primordial, sedangkan kolam tumbuh berisi folikel primer,
sekunder dan tersier . Pada sapi, pertumbuhan folikel yang bergantung pada gonadotropin dan
terjadi dalam pola seperti gelombang (Driancourt, 2001). Gelombang pertumbuhan dapat
diamati selama periode prapubertas (Adams et al., 1994), pada sapi bunting (Taylor danan
Rajamahendran, 1991), pada periode postpartum (Murphy et al., 1990) dan selama siklus
estrus (Roche et al., 1999). Selama satu interval interovulasi dua (Ginther et al., 1989), tiga
(Savio et al., 1988) atau empat gelombang (Rhodes et al., 1995) telah diamati. Siklus dengan
tiga gelombang rata-rata 1,1 hari lebih lama dan Corpora lutea mengalami regresi lebih
pertumbuhan yang berkelanjutan dan menjadi dominan. Jika luteolisis terjadi selama fase
pertumbuhan folikel dominan, pematangan akhir dan ovulasi terjadi. Jika luteolisis tidak
terjadi selama fase pertumbuhan dan pemeliharaan folikel maka nasibnya adalah atresia.
pertumbuhan folikel (Sunderland et al., 1994). Adams et al., (1992) menemukan bahwa sapi
dara dua gelombang memiliki dua lonjakan FSH dan sapi dara tiga gelombang memiliki tiga
lonjakan FSH selama interval interovulasi. Fortune et al., 2001 menyatakan bahwa lonjakan
FSH pada sapi dara dimulai 2 - 4 hari sebelum munculnya gelombang folikel terdeteksi
dengan alat USG dengan diameter ukuran folikel 4 dan 5 mm, memuncak 1 atau 2 hari
sebelum muncul dan mulai berkurang ketika folikel gelombang mulai bertumbuh menjadi
folikel dominan dan folikel subordinat dengan diameter folikel 6 - 7 mm. Sebagai hasil
rekrutmen folikel, mRNA untuk aromatase P450 meningkat dan menemukan bahwa lonjakan
Setelah perekrutan, semakin sedikit folikel yang direkrut dan akanj terus tumbuh
sampai satu folikel dipilih untuk menjadi dominan sementara anggota folikel yang direkrut
menjadi statis dan mengalami atresia melalui apoptosis. Proses seleksi terjadi di bawah
penurunan konsentrasi FSH dan memakan waktu 2 sampai 3 hari (Evans et al., 1997; Austin
et al., 2001). Gibbons et al., (1999) menemukan bahwa folikel≤ 3 mm tidak memiliki
kapasitas untuk menekan FSH. Pada Kaneko et al., (1997) menunjukkan bahwa netralisasi
inhibin selama fase luteal awal menghasilkan hipersekresi FSH dengan stimulasi
penting untuk regulasi negatif sekresi FSH selama fase luteal awal ketika sekresi estradiol
dan progesteron meningkat. Ginther et al,. (2001a) menyatakan bahwa inhibin merupakan
penekan FSH utama pada tahap ini. Austin et al., (2001) menemukan bahwa folikel dominan
mempertahankan jumlah inhibin dengan berat molekul yang lebih tinggi sedangkan folikel
bawahan telah meningkatkan jumlah inhibin terkecil (34 kDa). Para penulis menemukan
bahwa folikel terbesar mencapai rata-rata berdiameter 8,5 dan 7,7 mm pada akhir periode
pemilihan. Setelah itu mulai mengalami deviasi perubahan pada diameter ukuran dari folikel
yang ditandai dengan berlanjutnya pertumbuhan folikel terbesar menjadi folikel dominan dan
peningkatan estradiol ke dalam darah, dan pelepasan estradiol terlibat dalam penurunan
konsentrasi FSH yang berlanjut hingga di bawah kebutuhan folikel yang lebih kecil tetapi
bukan folikel terbesar (Ginther et al., 1999). Ghinter et al., (2001a) melaporkan bahwa baik
estradiol dan inhibin berkontribusi pada penurunan FSH yang berkelanjutan pada tahap ini.
Selain itu ditemukan bahwa peningkatan konsentrasi LH dan penurunan konsentrasi FSH
terjadi 16 sampai 32 jam hingga dan setidaknya 24 jam setelah awal deviasi folikel (Ginther
et al.,1998). Pada sapi dara, reseptor LH muncul di sel granulosa folikel dominan sekitar 8
jam sebelum awal deviasi. Estradiol mungkin memiliki peran kunci dalam menentukan nasib
fisiologis folikel selama pemilihan folikel dominan gelombang pertama dan keduanya
merupakan penanda yang dapat diandalkan untuk memprediksi folikel mana yang akan
tumbuh dari diameter 5 hingga 8,5 mm menjadi folikel dominan. Fortune et al., (2001)
menemukan bahwa sel-sel granulosa dari folikel dominan menghasilkan lebih banyak
estradiol in vitro daripada sel-sel dari folikel bawahan. Penurunan FSH yang dimulai setelah
hari ke-2 siklus estrus sapi yang menyebabkan perubahan diferensial pada faktor
pertumbuhan dan hormon yang bergantung pada FSH dalam kelompok folikel praseleksi,
dari folikel dominan yang mengakibatkan atresia pada folikel bawahan ( Mihm et al., 1997).
Folikel secara fungsional akan bertumbuh menjadi dominan dan mampu berovulasi
setelah regresi luteal (Fortune et al., 1991). Folikel memperoleh kapasitas ovulasi dengan
diameter sekitar 10 mm, sesuai dengan perkiraan sekitar 1 hari setelah dimulainya deviasi
folikel, tetapi membutuhkan dosis LH yang lebih besar untuk menginduksi terjadinya
ekspresi reseptor LH pada sel granulosa dari folikel dominan dan bahwa perubahan ini
mungkin juga penting untuk pertumbuhan lebih lanjut dari folikel dominan (Sartori et al.,
2001). Dominasi tampaknya dipertahankan oleh efek umpan balik negatif dari produk folikel
dominan pada FSH yang bersirkulasi. Seleksi dan dominasi disertai dengan peningkatan
progresif kemampuan sel teka untuk menghasilkan androgen dan sel granulosa untuk
aromatisasi androgen menjadi estradiol. Folikel dominan tumbuh dengan ukuran yang jauh
lebih besar daripada semua folikel lainnya dengan diameter 8,5 mm pada akhir seleksi
Ireland et al., 2000 menyatakan bahwa nasib folikel dominan tergantung pada fungsi
korpus luteum. Dalam kasus peningkatan konsentrasi progesteron folikel dominan menjadi
atretik karena pengaruh negatif progesteron pada peningkatan sekresi LH. Hilangnya
dominasi terjadi setelah penurunan sekresi estradiol (hari ke-6) dari folikel dominan dari
gelombang folikel pertama (Sunderland et al., 1994). Penurunan estradiol folikel dan sekresi
inhibin terjadi di depan gelombang baru pertumbuhan folikel (Ginther et al., 1996; Mihm et
al., 2002).
2.1.4. Ovulasi
Ovulasi diinduksi oleh peningkatan sekresi LH (Kanitz et al., 2001). Dieleman dan
Blankenstein (1984, 1985) menunjukkan bahwa pada folikel sapi praovulasi penghambatan
aromatisasi terjadi sekitar 14 jam setelah puncak LH praovulasi dan konsentrasi progesteron
meningkat sebelum ovulasi. Dow et al., (2002) menunjukkan bahwa ekspresi mRNA dan
aktivitas enzim untuk tPA dan uPA meningkat secara temporal dan spesifik dalam folikel
praovulasi sapi setelah terjadi lonjakan gonadotropin. Peningkatan aktivator plasminogen dan
aktivitas plasmin dapat menjadi faktor yang berkontribusi dalam mekanisme ruptur folikel
pada sapi. Singkatnya proses menyebabkan pecahnya folikel praovulasi, pengeluarabn oosit
dan pembentukan korpus luteum. Pada sapi Peters dan Benboulaid (1998) menyelidiki
terjadinya ovulasi setelah PGF2α/aplikasi GnRH pada beberapa hewan dengan cara USG,
ovulasi terjadi antara 24 hingga 48 jam setelah injeksi GnRH. Interval rata-rata dari GnRH ke
ovulasi adalah 25 hingga 33 jam. folikel ovulasi memiliki diameter antara 15 dan 20 mm.
Putra (2006) menyatakan bahwa ovulasi merupakan peristiwa pelepasan ovum dari
folikel de Graaf. Mekanisme ovulasi menurut Hardjopranjoto (1995) terjadi karena adanya
pengaruh hormonal. Folikel-folikel tumbuh karena penagruh hormon FSH dari kelenjar
ipofisa anterior yang mampu menghasilkan estrogen dan progesteron dalam dosis kecil.
Kedua hormon ini memberi dorongan kepada kelenjar hipofisa anterior untuk
terjadinya ovulasi. Rupturnya folikel pada saat ovulasi terjadi karena adanya tekanan dari
dalam folikel yang bertambah besar dan terjadi pemecahan pada daerah stigma yang
menjadi pucat karena kurang memperoleh darah. Ovulasi pada sapi terjadi 22-36 jam
sesudah permulaan birahi atau 10-12 jam sesudah birahi berakhir. Pada sapi, ovulasi
menghasilkan sel telur dalam satu kali bila ovulasi terjadi, sel telur yang dilepaskan akan
masuk ke dalam infundibulum dari tuba falopii. Setelah terjadi ovulasi terjadilah kawah
bekas folikel yang dipenuhi oleh darah. Selanjutnya pembekuan darah pada permukaan
ovarium ini disebut dengan korpus haemorhagikum atau korpus rubrum (badan merah).
Warna merah tersebut berangsur-angsur berubah menjadi kekuningan yang disebut korpus
luteum (badan kuning). Korpus luteum mencapai besar yang maksimum pada pertengahan
fase luteal yaitu 7-12 hari setelah ovulasi dan selanjutnya mengalami pengecilan dan
akhirnya regresi disertai munculnya sel-sel tenunan pengikat, lemak, dan struktur semacam
hyaline diantara sel-sel luteum Hal ini mempercepat regresi korpus luteum hingga
akhirnya tidak ada lagi dan menyebabkan pengurangan aktifitas korpus luteum sebagai
tempat korpus luteum berubah menjadi jaringan parut berwarna coklat pucat atau keputih-
putihan yang disebut korpus albikan (Partodihardjo, 1992). Bila terjadi fertiliasi maka
korpus luteum akan terus berkembang dan dipertahanlan sampai saat menjelang kelahiran
dan dikenal dengan korpus luteum graviditatum. Selama masa kebuntingan prostaglandin
tidak dihasilkan, sehingga proses degenerasi dari korpus luteum tidak terjadi. Korpus
kontraksi ovarium dan mengaktifkan fibroblast sel theca untuk berproliferasi dan
mengeluarkan ensim proteolitik yang akan melunakkan dinding folikel dan lamina
dasar. Hormon steroid terutama progesteron dalam hal ini juga berperan. Untuk
terjadinya ovulasi, berlangsung disosiasi yang progresif dan dekomposisi dari beberapa
lapisan sel pada sekeliling apeks folikel sebelum ovulasi. Hasil dari aktivitas ensim
proteolitik yang diproduksi oleh sel-sel granulosa dan atau fibroblast merupakan
respons terhadap pengaruh LH, progesteron dan prostaglandin. Pada sapi ovulasi terjadi
22–36 jam sesudah permulaan birahi atau 11–12 jam setelah birahi berakhir.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
gelombang folikel
lonjakan lh
5) Dalam spesies, ada hubungan positif antara durasi siklus estrus dan jumlah
gelombang folikel
7) Durasi interval antar gelombang merupakan fungsi dari dominasi folikel, dan
10) Ovulasi pada sapi terjadi 22-36 jam sesudah permulaan birahi atau 10-12 jam
Kanitz. W. 2003. Follicular dynamic and ovulation in cattle – a review. Arch. Tierz.,
Dummerstorf 46 (2003) 2, 187-198
Lestari. D. T. dan Ismudiono. 2014. Ilmu Reproduksi Ternak. Airlangga University Press
(AUP). hal – 95.
Mihm. M, Crowe. M.A, Knight. P.G, Austin. E.J. 2002. Follicle Wave Growth in Cattle.
Reprod Dom Anim 37, 191–200 (2002). Blackwell Verlag, Berlin