Anda di halaman 1dari 13

KOASISTENSI BEDAH DAN RADIOLOGI

LAPORAN KASUS MANDIRI

OLEH

ALFREDO J. D. NIRON

NIM : 2009020014

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2021
LAPORAN KASUS

Sinyalemen dan Anamnesa

Nama : Bom bom

Jenis hewan : Anjing

Ras : Golden Retriever

Jenis kelamin : Jantan

Umur : 7 tahun

Berat badan : 35 kg

Anjing dibawah ke klinik dengan riwayat tidak mau makan sudah tiga hari, bau mulut
menyengat, dan hipersalivasi.

Pemeriksaan Fisik

Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan suhu : 40 0C, frekuensi napas
68x/menit, denyut jantung 170x/menit. Pada saat melakukan inspeksi ditemukan lapisan
karang gigi yang tebal pada semua gigi, dan gigi insisi pada mandibular terlihat goyah

Pemeriksaan Laboratirium

Pada pemeriksaan laboratorium didaptkan hasil adanya peningkatan pada WBC(white


blood cell), neutrofilia, BUN (blood urea nitrogen), dan Creatinin naik 7x dari normal

Diagnosa dan Prognosa

Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium kimia


darah, anjing didiagnosis mengalami penyakit periodontal dengan prognosis fausta
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan klinis dan juga pemeriksaan


laboratorium pada kasus diatas maka didapatkan hasil analisis dengan diagnosa kasus adalah
anjing mengalami periodontal. Penyakit periodontal adalah suatu kondisi yang
mempengaruhi periodonsium, oleh karena adanya ganggunan infeksi bakteri pada struktur
yang mengelilingi gigi yang berperan untuk melindungi gigi (De Marco & Gioso, 1997),
dengan faktor etiologi seperti plak bakteri, mikroflora, status kekebalan, jumlah air
liur(hipersalivasi), jenis hewan, usia (sering terjadi anjing tua), rutinitas pembersihan
profilaksis dan jenis makanan yang diberikan. Penyakit ini disebabkan oleh akumulasi plak
bakteri pada gigi dan gingiva (Harvey & Emily, 1993; Gioso & Carvalho, 2004), oleh produk
metabolisme toksik dari mikroorganisme tersebut dan respon imun host terhadap infeksi
(Mitchell, 2005) yang memicu proses inflamasi. Periodontal, dibagi menjadi beberapa
stadium gingivitis (stadium 1) , periodontitis awal (stadium 2), periodontitis sedang (stadium
3) dan periodontitis berat (stadium 4) (Harvey & Emily, 1993). Gejala klinis yang
ditimbulkan antara lain halitosis (bau mulut), hipersalivasi, adanya karang gigi dan plak dan
kurangnya napsu makan. Pada Scannapieco dan Panesar, 2008 menunjukkan bahwa
periodontitis menyebabkan peradangan sistemik subklinis yang memicu aterosklerosis dan
menyebabkan hipoksemia ginjal sekunder, kerusakan ginjal progresif, dan penyakit ginjal
kronis melalui stenosis arteri lokal dan penurunan curah jantung.

Pada pemeriksaan klinis inspeksi ditemukan lapisan karang gigi pada semua gigi dan
gigi insisi pada mandibular terlihat goyah. Karang gigi atau kalkulus mempunyai komposisi
yaitu mineral organik dan anorganik dengan komponen pembentuk yaitu brushite, dicalcium,
phosphatedehydrate, octacalcium phosphate, hydroxyapatite dan whitlockite. Kalkulus
dilapisi oleh lapisan tipis dari mikroorganisme. Fosfolipid berperan penting dalam
pembentukan calculus. Calculus selalu dilapisi oleh lapisan tipis dari mikroorganisme.
Kerusakan gigi akan diikut dengan terjadinya penyerapan protein dari saliva. Bakteri
Gramnegatif akan ikut terserap mendominasi terbentuknya lapisan biofilm plak. Plak
menyerap kalsium dan fosfat dari saliva untuk membentuk supragingival calculus dan cairan
crevicular akan membentuk subgingival calculus ( Jin dan Yip 2002). Kerusakan gigi akan
diikuti dengan terjadinya penyerapan protein dari saliva, bakteri akan ikut terserap kemudian
mendominasi terbentuknya lapisan biofilm plak. Plak bakteri adalah bahan lengket
kekuningan yang berkoloni di seluruh mulut (Gioso, 2007), permukaan gigi dalam struktur
emailnya (Slee & O'Connor, 1983; Katsura et al., 2001) dan sulkus gingiva (Domingues et al.
al., 1999). Plak ini merupakan biofilm (Dupont, 1997; Roza, 2004) atau komunitas mikroba
tidak terdefinisi yang terkait dengan permukaan gigi (Wilderer; Charaklis, 1989, Lang et al.,
1997), dan dianggap sebagai penyebab utama proses patologis (agen etiologi) (Tanzer et al.
1977; McPhee & Cowley , 1981). Plak memiliki sebagai konstituen utamanya: glikoprotein
saliva, mineral, bakteri mulut, polisakarida ekstraseluler yang melekat pada permukaan gigi,
sel epitel deskuamasi, leukosit, makrofag dan lipid (Harvey & Emily, 1993; Roza, 2004).
Awalnya pada pembentukan pelikel pada permukaan gigi dan area lain dari mulut, yang
disebut pelikel melekat, yang merupakan film organik yang berasal dari air liur yang pada
awalnya tidak memiliki mikroorganisme (Sans & Newman, 1997). Dalam pelikel yang
diperoleh dimulai pembentukan biofilm melalui adhesi mikroorganisme pertama yang
sebagian besar adalah bakteri aerob gram positif (Lang et al. 1997; Sans & Newman, 1997;
Gioso, 2007), terutama dari genus Streptokokus, yang menghasilkan eksopolisakarida, zat
yang bertindak seperti "lem", memfasilitasi perlekatan bakteri ini ke permukaan yang
bersangkutan (Wiggs & Lobprise, 1997; Gioso, 2007; Roza, 2004) terutama di tempat-tempat
di mana terdapat bakteri kecil seperti pada ketidakteraturan susunan gigi, adanya retakan atau
kekasaran pada gigi (Sans & Newman, 1997). Pada saat melakukan inspeksi juga ditemukan
gigi insisi pada mandibular terlihat goyah yang diduga karena adanya peradangan pada gusi
atau gingivitis. Menurut gorrel 2008, gingivitis yang tidak ditangani dapat berkembang
menjadi periodontitis, periodontitis adalah kerusakan yang diikuti dengan hilangnya struktur
pendukung termasuk periodontium, gingiva, ligamen, cementum, dan alveolar bone sehingga
menyebabkan hilanganya perlekatan pada gusi yang mengakibatkan gigi mudah copot. Hal
ini juga memperkuat hasil anamnesa yaitu memiliki riwayat tidak mau makan selama 3 hari
dikarenakan adanya peradangan pada gusi sehingga juga menyebabkan adanya hipersalivasi
yang disebabkan karena adanya respon terhadapat infeksi bakteri yang menyebabkan adanya
kulkus atau karang gigi . Adanya bau mulut atau halitosis terjadi dikarenakan adanya
peradangan pada jaringan gingiva yang disebut gingivitis dengan cara vasodilatasi,
marginalisasi leukosit, migrasi sel, produksi prostaglandin dan enzim destruktif juga terjadi
(Gioso, 2007), membuat gingiva menjadi merah, bengkak dan nyeri, dan dapat menyebabkan
halitosis (De Marco & Gioso, 1997).

Pada pemeriksaan laboratorium kimia darah terjadi peningkatan pada WBC(white


blood cell), netrofilia, BUN(blood urea nitrogen) dan creatinin, hal ini mengindikasikan
bahwa adanya infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang telah meluas hingga menyebabkan
terjadinya infeksi sistemik. Menurut hajishengalis et al., 2015 netrofil adalah komponen
integral daroi respon periodontal dan mewakili mayoritas(95%)leukosit yang masuk melalui
gingiva sebagai respon terhadap biofilm pada gigi. Neutrofil keluar dari pembulu darah
pleksus gingiva kemudian memasuki celah melalui gingival junctional epitelium yang dalam
kondisi inflamasi dan sebagaian besar ditempati oleh neutrofil. Netrofil membentuk dinding
pertahanan melawan biofilm dari bakteri pada gigi yang mungkin mencegah invasi bakteri ke
jaringan dibawahnya. Peningkatan pada kadar creatinin dan BUN (blood urea nitrogen)
disebabkan bakteri yang terlibat dalam proses penyakit periodontal dapat bermigrasi ke
bagian tubuh lain melalui bakteremia dan berkoloni di sana,yang dapat menyebabkan
berbagai penyakit seperti endokarditis, nefritis (Harvey & Emily, 1993; Debowes, 1996;
Gioso, 2007), hepatitis (Debowes, 1996; Gioso, 2007) dan miokarditis (Harvey & Emily,
1993). Penyakit lain yang dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang terlibat dalam
penyakit periodontal, adalah proses patologis yang dikenal sebagai lesi periodontik-
endodontik. Terdapat infeksi dan inflamasi pada pulpa gigi yang disebabkan oleh migrasi
bakteri periodontal pada apeks gigi dan penetrasi saluran akar melalui foramen, yaitu lubang-
lubang kecil yang dilalui oleh suplai vaskular, limfatik dan saraf gigi, sehingga menyebabkan
infeksi sistemik terjadi (Pieri , 2004). Diagnosis penyakit periodontal didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan klinis dan evaluasi radiologis. Setiap perubahan dalam pemahaman
dan pengunyahan makanan, serta dalam kondisi umum dan perilaku hewan, dapat dikaitkan
dengan gangguan mulut (Emily & Penman, 1994; Pachaly, 2006; Gorrel, 2004).

Penanganan, pencegahan dan pengobatan yang dapat dilakukan pada kasus


periodontal dapat ditangani dengan penanganan non – operasi dan operasi. Penanganan non
– operasi dapat dilakukan dengan menghilangkan plak atau kalkulus pada gigi yang disebut
Dental scalling(Gorrel, 2008). Dental scalling dapat dilakukan manual dengan menggunakan
forceps atau peralatan ultrasonic scaler yaitu mengunakan getaran frekuensi tinggi untuk
menghancurkan karang gigi. Metode ini tidak menyebabkan kerusakan pada lapisan email
dari gigi. (Bellows, 2010). Penanganan dengan operasi dilakukan dengan pencabutan atau
extraction. Pencabutan gigi dilakukan ketika gigi tidak dapat diselamatkan atau klien tidak
dapat melakukan perawatan di rumah. Gigi tidak dapat diselamatkan ketika pulpa telah
mengalami trauma (Bellows 2010). Pencabutan pada gigi akar satu dan gigi berakar lebih dari
satu memiliki cara yang berbeda. Gigi berakar lebih dari satu perlu dipotong menjadi bagian
– bagian gigi yang berakar satu (Niemeic 2008). Gigi yang goyah harus dicabut (ekstraksi).
Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang alveolar. Ekstraksi
gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik sederhana dan teknik pembedahan.
Teknik sederhana dilakukan dengan melepaskan gigi dari perlekatan jaringan lunak
menggunakan elevator kemudian menggoyangkan dan mengeluarkan gigi di dalam soket dari
tulang alveolar menggunakan tang ekstraksi. Sedangkan teknik pembedahan dilakukan
dengan pembuatan flep, pembuangan tulang disekeliling gigi, menggoyangkan dan
mengeluarkan gigi di dalam soket dari tulang alveolar kemudian mengembalikan flep ke
tempat semula dengan penjahitan. Indikasi umum untuk menghilangkan gigi cukup mirip
dalam semua spesies dan termasuk pulpitis atau infeksi periapikal yang disebabkan oleh
kerusakan gigi atau terbukanya pulpa traumatis, penyakit periodontal yang parah (Scheels
and Howard, 1993; Legendre, 1994; Dixon, 1997a; Wiggs and Lobprise, 1997a; Sullivan,
1999; Alsheneifi and Hughes, 2001; Richards et al., 2005).

 Pre Operasi
 Persiapan alat dan bahan

Alat yang digunakan adalah termometer, stetoskop, timbangan, grafik gigi,


endotracheal tube ukuran 2 mm, tabung vakum, alat-alat dental scaling dan dental
extraction meliputi elevator, extraction forceps, probe, ultrasonic scaler, sharp scaler, bor
gigi, polisher, curette, hook explorer, dan 3-ways syringes (Holmstrom et al. 2013a).

Bahan yang digunakan adalah atropine sulfat, ketamine, xylazine, anastetikum gas
isofluran, pet gel, chlorhexidine rinse, fluoride, NaCl, benang polyglycoli acid 4/0 dan
jarum regular taper point ½ circle

 Pemeriksaan Fisik Hewan

Hewan diperiksa keadaan fisiknya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui


keadaan fisik hewan, perubahan yang terjadi dan evaluasi preanestesi. Pemeriksaan fisik
meliputi pengukuran berat badan menggunakan timbangan, pengukuran suhu tubuh hewan
menggunakan termometer, menghitung frekuensi napas dan frekuensi jantung per menit
menggunakan stetoskop.

 Metode Anastesi dan Premedikasi

Anestesi dilakukan dengan pemberian premedikasi terlebih dahulu melalui rute


intramuskular. Premedikasi yang digunakan adalah atropin sulfat Atropin sulfat digunakan
untuk mencegah terjadinya bradikardia (Vesal et al. 2011). Pemberian premedikasi bertujuan
untuk menetralkan efek samping yang tidak diinginkan dari sediaan anestetikum dan dapat
menurunkan dosis anestesi . Atropin sulfat : Jumlah pemberian = (berat badan ×dosis
aplikasi/kandungan sediaan).

Premedikasi dilakukan dengan menggunakan atropine sulfat dengan dosis 0,04mg/kg


BB secara intramuskuler. Dosis Atropin = 0,04mg x 35 kg : 0,25mg/ml = 5,6 ml

Kombinasi ketamine dan xylazine diberikan untuk anestesi umum melalui rute
intramuskular. Kombinasi ketamine dan xylazine digunakan karena ketamine memiliki efek
samping terjadinya kekakuan otot dan xylazine merupakan sediaan yang dapat
merelaksasikan otot. Dosis Xylazin = (berat badan ×dosis aplikasi/kandungan sediaan). Dosis
Ketamin = (berat badan ×dosis aplikasi /kandungan sediaan).

Anaestesi dilakukan dengan menggunakan kombinasi ketamin dan xylazin dosis 10


mg/kg BB dan 2 mg/kg BB secara intramuskuler. Dosis Ketamin = 10mg x 35 kg :
100mg/ml= 3,5 ml, Dosis Xylazine = 2mg x 35 kg : 20mg/ml= 3,5 ml

Saat hewan mulai hilang kesadarannya, endotracheal tube ukuran 2 mm dipasang


pada hewan. Pemasangan endotracheal tube dibantu dengan laryngoscope untuk melihat
posisi epiglotis. Tanda bahwa endotracheal tube masuk pada saluran pernapasan adalah
hewan sedikit tersedak dan keluar udara melalui lubang endotracheal tube. Isofluran sebagai
anestesi per inhalasi diberikan setelah endotracheal tube terpasang. Tujuan dari pemasangan
endotracheal tube adalah untuk mempermudah proses maintenance anestesi secara per
inhalasi. Sediaan anestesi per inhalasi yang digunakan adalah isofluran. Isofluran digunakan
karena induksinya yang halus dan cepat, pemulihannya yang cepat, dan kelarutannya dalam
darah rendah (Capey 2007). Anestesi per inhalasi umum digunakan 7 pada operasi yang
membutuhkan waktu yang panjang. Keuntungan dari penggunaan anestesi perinhalasi adalah
kedalaman anestesi mudah dikendalikan, kesadaran dapat kembali dengan cepat, dan
mencegah masuknya debris dari calculus ke dalam trakea.

 Persiapan Operator dan Asisten

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh operator dan asisten adalah


menggunakan tutup kepala dan masker, mencuci kedua tangan dengan sabun dan
menyikatnya dengan sikat pada air yang mengalir. Pencucian dimulai dari ujung jari yang
paling steril kemudian dibilas dengan arah dari ujung jari kelengan yang dilakukan sebanyak
10-15x. Setelah selesai mencuci tangan dan membilasnya, keran ditutup dengan siku untuk
mencegah kontaminasi. Kemudian tangan dikeringkan dengan handuk dan glove dipakai.
Setelah semua langkah dilalui, operasi siap dilakukan.

 Operasi

Pencabutan gigi dilakukan pada gigi yang perlekatannya dengan gusi sudah buruk.
Pencabutan untuk tiap gigi memiliki cara yang berbeda, karena jumlah akar gigi yang
berbeda. Pencabutan gigi yang memiliki satu akar, diawali dengan dikuranginya perlekatan
gigi dengan gusi dengan menggunakan elevator. Gigi dicabut menggunakan extraction
forceps. Pencabutan gigi dilakukan ketika gigi sudah bebas perlekatannya dengan gusi.
Pencabutan gigi dengan akar lebih dari satu, pertama-tama gigi dibagi berupa segmen
sehingga gigi menjadi beberapa bagian yang berakar satu. Segmen tersebut dibuat dengan
menggunakan bor gigi. Gigi yang telah berakar satu kemudian dikurangi perlekatannya
dengan gusi menggunakan elevator. Gigi yang sudah berkurang perlekatannya dicabut
menggunakan extraction forceps. Kuret dilakukan pada gusi setiap selesai mencabut satu gigi
untuk mencegah adanya bagian dari gigi yang tertinggal. Proses desinfeksi dilakukan pada
lubang alveolar bone menggunakan chlorhexidine rinse dengan bantuan alat 3-ways syringe.
Penjahitan pada gusi dilakukan 8 pada lubang alveolar bone yang cukup besar. Penjahitan
dilakukan dengan benang polyglycoli acid ukuran 4/0 dan jarum regular taper point ½ circle.
Teknik penjahitan yang digunakan adalah simple interrupted. Penanganan pasca operasi
adalah dengan pemberian chlorhexidine rinse selama 5-7 hari untuk menurunkan tingkat
akumulasi plak, menurunkan risiko infeksi dan peradangan (Oxford 2013). Treatmen
terhadap plak dan kalkulus adalah hanya diperlukan pembersihan karang gigi yang lazim
disebut Scalling. Scalling gigi anjing atau kucing diakukan dengan hewan dalam keadaan
terbius total. Dianjurkan untuk melakukan scalling rutin 1-2 kali setiap tahunnya.

Scaling adalah suatu proses dimana plak dan kalkulus dibuang dari permukaan
supragingiva dan subgingiva gigi. Peralatan yang biasa dipakai adalah hands instruments
scaler atau manual scaler dan ultrasonic scaler. Root planning adalah proses dimana sisa
kalkulus yang berada di semetum dikeluarkan dari akar untuk menghasilkan permukaan gigi
yang halus, keras, dan bersih.
 Teknik operasi
 Teknik scaling kalkulus supragingiva

Kalkulus supragingiva tidak sekeras kalkulus subgingiva. Keuntungan lain adalah


pada kalkulus subgingiva tidak dibatasi oleh jaringan yang mengelilinginya. Hal ini
merupakan kemudahan dalam aplikasi dan penggunaan alat. Sickle lebih umum digunakan
untuk scaling supragingiva, sedangkan hoe dan chisel lebih jarang digunakan. Tata cara
scaling supragingiva diawali dengan penempatan alat pada apikal dari kalkulus supragingiva,
membentuk sudut 45- 90 terhadap area permukaan gigi yang akan dibersihkan. Dengan
gerakan yang kuat dan dalam jarak pendek arah vertikal (koronal), horisontal maupun oblique
mendorong maupun mengungkit kalkulus sampai terlepas dari gigi. Scaling dilakukan sampai
permukaan gigi terbebas dari kalkulus baik secara visual maupun perabaan dengan bantuan
alat (misalnya: sonde). Scaling dikatakan bersih jika tidak ada kalkulus pada permukaan gigi
dan permukaan gigi tidak ada yang kasar. Alat dengan ujung yang tajam (sickle) hendaknya
digunakan secara hatihati karena lebih mudah melukai jaringan lunak di bawahnya.

 Teknik scaling dan root planing kalkulus subgingiva

Scaling subgingiva jauh lebih kompleks dan rumit dibandingkan scaling supragingiva.
Kalkulus subgingiva umumnya lebih keras daripada supragingiva, selain itu kalkulus
subgingiva kadang melekat pada permukaan akar yang sulit dijangkau (misalnya daerah 9
bifurkasi). Jaringan lunak yang membatasi kalkulus subgingiva juga merupakan masalah,
karena pandangan operator menjadi terhalang, terutama jika saat tindakan scaling, darah yang
keluar cukup banyak maka pandangan menjadi semakin tidak jelas. Oleh karena itu operator
dituntut menggunakan kepekaan perasaan dengan bantuan scaler untuk mengetahui
keberadaan dan posisi kalkulus subgingiva. Pada scaling subgingiva, arah dan keleluasaan
menjadi sangat terbatas dengan adanya dinding poket yang mengelilinginya. Oleh karena itu
untuk mencegah trauma dan kerusakan jaringan yang lebih besar, maka alat scaler harus
diaplikasikan dan digunakan secara hati-hati serta yang lebih penting lagi adalah pemilihan
alat dengan penampang yang tipis agar mudah masuk ke dalam subgingiva. Selain itu
operator dituntut untuk menguasai morfologi gigi per gigi dengan berbagai kemungkinan
variasinya. Hal ini penting untuk membedakan antara adanya kalkulus atau karena adanya
bentukan yang variatif dari permukaan akar. Daerah lain yang sulit dijangkau adalah kalkulus
di bawah titik kontak antara 2 gigi, yaitu daerah batas sementum dan enamel (cementoenamel
junction / CEJ) karena pada daerah ini terdapat cekungan yang lebih dalam dibanding CEJ
pada permukaan fasial maupun lingual/palatal. Kalkulus pada daerah ini umumnya melekat
erat pada cekungan, sehingga diperlukan berbagai variasi gerakan scaler secara vertikal,
oblique maupun horisontal agar kalkulus dapat terlepas. Tata cara scaling kalkulus
subgingiva mirip dengan scaling kalkulus supragingiva, hanya ada batasan-batasan tertentu
seperti yang tersebut di atas. Scaling subgingiva diawali dengan penempatan scaler sedapat
mungkin pada apikal dari kalkulus subgingiva, membentuk sudut 450 - 900 terhadap area
permukaan gigi yang akan dibersihkan. Dengan gerakan yang kuat dan dalam jarak pendek
arah vertikal (koronal), maupun oblique mengungkit dan menarik kalkulus terlepas dari gigi.

 Scaling dengan ultrasonic scaler

Scaling dengan alat ultrasonic scaler lebih mudah untuk menghilangkan kalkulus pada
permukaan gigi dibanding scaling dengan alat manual. Alat ini mempunyai ujung (tip) yang
dapat bergetar sehingga dapat melepaskan kalkulus dari permukaan gigi. Alat ini dapat
mengeluarkan air sehingga daerah perawatan menjadi lebih bersih karena permukaan gigi
langsung dicuci dengan air yang keluar dari alat ini. Gerakan alat sama dengan gerakan
dengan scaler manual tetapi tidak boleh ada gerakan mengungkit. Ujung scaler hanya
digunakkan untuk memecah kalkulus yang besar dengan cara ditempelkan pada permukaan
kalkulus dengan tekanan ringan sampai kalkulus terlepas. Selanjutnya untuk menghaluskan
permukaan gigi dari sisa kalkulus, maka tepi blade ultrasonic scalerditempelkan pada
permukaan gigi kemudian digerakkan dalam arah lateral (vertikal, horisontal dan oblique) ke
10 seluruh permukaan sampai diperkirakan halus. Kepekaan alat ini untuk mendeteksi sisa
kalkulus tidak sebagus manual scaler, sehingga umumnya setelah dilakukan scaling dengan
ultrasonic, maka tetap disarankan scaling dan root planing dengan manual scaler. Perlu
ketrampilan khusus dalam penggunaanya, karena alat ini dijalankan dengan mesin yang
kadang sulit kita kontrol gerakannya. Pemolesan Agar permukaan gigi menjadi halus licin
dan mengkilat, maka tindakan akhir yang merupakan rangkaian scaling dan root planing
adalah pemolesan. Pada tahap awal pemolesan disarankan untuk memoles gigi dengan
bantuan brush yang dijalankan dengan bur dengan diberi pasta gigi untuk menghilangkan
sisa-sisa jaringan nekrotik. Selanjutnya dapat digunakan rubber yang juga dijalankan dengan
bur agar gigi menjadi licin dan mengkilap. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari
mudahnya perlekatan kembali plak dan kalkulus dalam waktu yang singkat jika permukaan
gigi kasar.(Krismariono, 2009)

 Pasca Operasi
Setelah melakukan ekstraksi dan scaling gigi, maka dilanjutkan dengan perawatan
gigi. Hal ini dilakukan untuk mencegah datangnya plak pada gigi anjing.

Ada pun cara mecegahnya yaitu:

1. Membersihkan gigi dua kali dalam seminggu.


2. Menyediakaan mainan gigit-gigitan yang di khususkan untuk membersihkan gigi
(Dental Chew) atau tulang (bagi anjing yang dapat mengunyah tulang; seperti anjing
ras besar).
3. Mencampurkan antiseptik dalam air minum anjing juga memberikan keuntungan oral
yang (antiseptik yang di maksud adalah antiseptik yang memang di produksi husus
untuk kesehatan gigi & mulut anjing).
4. Menjaga kebersihan oral dengan cara menyikat gigi dapat mencegah pembentukan
plak pada permukaan email gigi.
5. Membersihkan sisa-sisa makanan dari sela-sela gigi dengan menggunakan benang
gigi (dental floss) atau sikat interdental
6. Memperbanyak minum air putih
7. Memberikan dogfood kering dan snack pembersih gigi secara rutin (jika dilakukan
sejak dini dapat mencegah resiko terbentuknya karang gigi sampai dengan 70%)
(Anonim, 2011., Walton. 1997).

Pencegahan juga yang dapat dilakukan adalah dengan menyikat atau membersihkan
gigi anjing secara rutin, penggantian produk makanan, dan penggunaan zat antimikroba
dianggap sebagai teknik pencegahan yang menghilangkan plak supra dan sub-gingiva.
Aplikasi topikal obat untuk mengendalikan penyakit dapat dilkukan, mengingat efek
samping yang lebih rendah bila dibandingkan dengan rute aplikasi lainnya. Untuk
Efektivitas teknik pencegahan harus dipantau oleh dokter hewan dan dalam banyak kasus
akan memerlukan intervensi dalam melakukan profilaksis gigi untuk menghilangkan plak
sisa dan kalkulus di tempat-tempat sulit akses di gigi (Lima et al., 2004). Untuk
penggunaan dalam pengobatan hewan peliharaan disarankan untuk memasukkan agen
antimikroba dan non-adherent ini dalam formulasi yang mengandung rasa dasar ayam,
sapi, ikan, dll (De Marco & Gioso, 1997).
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian analisis kasus diatas dapat disimpulkan bahwa anjing anjing
golden retrivier mengalami penyakit periodontal Penyakit periodontal stadium 2 adalah suatu
kondisi yang mempengaruhi periodonsium, oleh karena adanya ganggunan infeksi bakteri
pada struktur yang mengelilingi gigi yang berperan untuk melindungi gigi dengan diperkuat
gejala klinis yang terlihat yaitu adanya kalkulus atau karang gigi pada semua gigi dan pada
gigi insisi mandibular yang terlihat goyah, kurangnya napsu makan , bau mulut yang
menyengat, dan hipersalivasi. Pada saat melakukan pemeriksaan laboratorium yaitu kimia
darah didapatkan hasil adanya peningkatan WBC, neutrofilia, BUN, dan creatinin hal ini
disebabkan infeksi bakteri yang terlibat dalam proses penyakit periodontal yang dapat
bermigrasi ke bagian tubuh lain melalui bakteremia dan kemudian membentuk berkoloni.
Penanganan, pencegahan dan pengobatan yang dapat dilakukan pada kasus periodontal dapat
ditangani dengan penanganan non – operasi (scalling)dan penanganan operasi (ekstraksion),
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menyikat atau membersihkan gigi anjing
secara rutin, penggantian produk makanan, dan penggunaan zat antimikroba dianggap
sebagai teknik pencegahan yang menghilangkan plak supra dan sub-gingiva. Untuk
penggunaan dalam pengobatan hewan peliharaan disarankan untuk memasukkan agen
antimikroba dan non-adherent ini dalam formulasi.
DAFTAR PUSTAKA

Djamil H dan Susanty N. 2017. Study Kasus Penanganan Penyakit Periodontal Pada Kucing
Di Klinik Hewan Pendidikan. Universitas Hasanuddin. Skripsi

Fábio Alessandro Pieri, Ana Paula Falci Daibert,Elisa Bourguignon and Maria Aparecida
Scatamburlo Moreira (2012). Periodontal Disease in Dogs, A Bird's-Eye View of
Veterinary Medicine, Dr. Carlos C. Perez-Marin (Ed.), ISBN: 978-953-51-0031-
7, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/a-bird-s-eye-
viewof-veterinary-medicine/periodontal-disease-in-dogs

Glickmana L.T , Glickmana N.W , Moore G. E , Lundd E. M, Lantzc G.C , Pressler B. M.


2011. Association between chronic azotemic kidney disease and the severity of
periodontal disease in dogs. Preventive Veterinary Medicine 99.(2011) 193-200

Grove, T.K. (1998) Treatment of periodontal disease. Veterinary Clinics North American:
small anim pract, Vol.28, No.5, pp.1147-1164,

Hafizhuddin, Muhammad Faiz. 2017. Diagnosa Radiografi dan Penanganan Penyakit


Periodontal pada Anjing Yorkshire Terrier. ARSHI. Vet Lett. Vol 1 (2): 23-24

Kyllar M, Witter K. 2005. Prevelence of dental disorders in pet dogs. Original Paper Vet.
Med 50, 11:496-505

Kortegaard HE, Eriksen T, Baelum V. 2014. Screening for periodontal disease inresearch
dogs - a methodology study. ActaVetScand. 56(1):77.Doi:10.1186/s13028-014-
0077-8.

Perrone JR. 2013. Small Animal Dental Procedures for Veterinary Technicians and Nurses.
Iowa (US): J Wiley. hlm 4, 5, 14, 15, 25, 26, 96, 97.

Sembiring, Stefani.2016. Kejadian Karang Gigi Pada Anjing Yang Diberi Dog Food.
Indonesia Medicus Veterinus. Vol 5(1) : 61-67.

Utama, Iwan Harjono. 2017. Prevalensi dan Distribusi Plak Gigi pada Gigi Anjing (Canis
familiaris) di Daerah Denpasar – Bali. Indonesia Medicus Veterinus. Vol. 6(5):
378- 385.

Anda mungkin juga menyukai