(Menurut Wikipedia : Diskriminasi usia atau ageisme adalah bentuk stereotipe dan diskriminasi
terhadap individu atau kelompok karena umur mereka. Diskriminasi usia merupakan satu set
keyakinan, sikap, norma, dan nilai-nilai yang digunakan untuk membenarkan prasangka dan
tindakan diskriminasi.)
Ageisme sendiri diperkenalkan pertama kali ole ahahli gerontologi AS Robert Neil Butler pada
tahun 1969 dalam sebuah wawancaranya mengenai proyek perumahan bagi lansia di Chevy
Case, Maryland, Amerika Serikat. Proyek perumahan tersebut bertujuan untuk menempatkan
lansia pada suatu tempat khusus dan menjauhkannya dari ruang publik. Dalam hal ini, Butler
menegaskan terciptanya proyek ini berdasarkan prasangka yang salah tentang lansia. Lansia
diibaratkan sebagai sesuatu yang merepotkan, maka dari itu pihak pengembang tidak ingin
adanya lansia yang mengganggu aktivitas di ruang publik.
Butler mendefinisikan ageisme sebagai kombinasi dari tiga elemen yang saling berhubungan
yaitu sikap prasangka terhadap warga senior, umur tua, dan proses penuaan; praktik diskriminasi;
serta praktik dan kebijakan institusional yang melanggengkan stereotipe terhadap warga senior.
[5] Istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan prasangka dan diskriminasi terhadap remaja
dan anak-anak, termasuk mengabaikan ide mereka karena mereka terlalu muda, atau
mengasumsikan bahwa mereka harus berprilaku dengan cara tertentu karena umur mereka.
Adik kelas yang enggan mengkritisi kakak kelasnya hanya karena faktor perbedaan tingkatan
kelas
Kakak kelas yang menganggap adik kelas yang menyanggah argumenya itu sok tau.
Dampak/efek ageism
Efek berbahaya yang dihasilkan dari praktik ageisme adalah kesehatan bagi orang tua. Dikutip
dari laman Who.int, penelitian yang dilakukan oleh Levy et al menunjukkan bahwa, orang
dewasa yang lebih tua dengan sikap negatif tentang penuaan dapat hidup 7,5 tahun lebih sedikit
daripada mereka yang memiliki sikap positif.
Dampak negatif yang dapat dirasakan untuk kaum remaja ialah kehilangan rasa percaya diri,
dengan kalimat umpatan seperti "Kamu bisa apa? Kamu masih muda, minim pengalaman. Tidak
usah sok tahu". Hal-hal seperti ini yang menyebabkan kebanyakan remaja mengalami stagnasi,
karena tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk maju.
Tidak hanya melalui legislasi, memerangi ageisme juga bisa dilakukan dengan cara melakukan
kampanye. Seperti membuat pandangan yang seimbang tentang penuaan atau menyosialisasikan
dampak-dampak buruk yang dihasilkan ageisme.
Kesimpulan
ageisme masih belum dianggap sebagai masalah yang serius bagi kebanyakan orang. Padahal,
ageisme bisa berdampak buruk pada ekonomi, sosial dan psikologis seseorang. Tanpa kita sadari,
pikiran kita terpengaruh oleh konstruksi sosial yang salah dan yang perlu diubah ialah pola pikir
kita. Jangan lagi menilai orang berdasarkan usianya. Potensi seseorang tidak bisa dinilai
berdasarkan usianya. Yang muda tidak selalu bisa dinilai sebagai sosok pemalas atau tukang
rebahan dan lansia pun tidak selalu bisa dinilai sebagai sosok yang kolot dan membosankan. Jadi
intinya kita harus bisa memerangi pola pikir kita sendiri untuk setidaknya meminimalisir kasus
kasus ageism ini.