Eka Apridayanti
Eka Apridayanti
POSAL THESIS
TESIS
EKA APRIDAYANTI
L4K006006
Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT. karena atas berkat dan rahmat-Nya
lah penulis dapat menyelesaikan laporan akhir untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini mengambil judul “Evaluasi
Pengelolaan Lingkungan Perairan Waduk Lahor Kabupaten Malang Jawa Timur”.
Hasil penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan masukan dalam upaya
pengelolaan lingkungan perairan waduk agar waduk tetap dapat berjalan sesuai
dengan fungsinya.
Dalam menyelesaikan laporan ini, penulis telah mendapatkan begitu
banyak bantuan baik berupa materi, fisik maupun spiritual sehingga laporan ini
bisa terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. I. Boedi Hendrarto selaku pembimbing utama yang telah memberikan
banyak masukan dan dukungan sehingga laporan akhir ini dapat terselesaikan.
2. Dra. Hartuti Purnaweni, MPA selaku pembimbing kedua, atas segala masukan,
saran dan kritik sehingga terselesaikannya laporan ini.
3. Ir. Agus Hadiyarto, MT selaku anggota penguji, atas saran yang diberikan.
4. Dra. Sri Suryoko, M.Si selaku anggota penguji, atas saran yang telah
diberikan.
5. Kedua Orang Tuaku tercinta untuk semua bantuan yang tak terbilang, kedua
adikku dan seluruh keluarga besarku di Lampung terimakasih untuk
segalanya.
6. Pihak Perum Jasa Tirta I Malang atas kerjasamanya.
7. Teman-teman di Laboratorium Ilmu-Ilmu Perairan Fakultas Perikanan,
Universitas Brawijaya, Malang.
8. Tim Sampling (Detha, Taufik, Supri, Viki, Rieke, Retno, Rini, Haris, Diah,
Vivi) atas segala bantuannya.
9. Teman-teman mahasiswa Program Magister Ilmu lingkungan Kelas Reguler
Angkatan 14, atas dukungannya selama ini.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh
sebab itu penulis mengharapkan saran, kritik yang bersifat konstruktif demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga penelitian ini dapat berguna bagi semua pihak
yang membutuhkan.
Penulis
ABSTRAK
Waduk Lahor sebagai Proyek Karangkates Tahap II terletak ±32 km di
sebelah selatan Kota Malang ke arah Kota Blitar, dibangun dengan tujuan sebagai
pencegah banjir, pembangkit tenaga listrik, pensuplai air bagi kebutuhan irigasi
pertanian, kegiatan perikanan darat, dan untuk kegiatan pariwisata. Keberadaan
waduk telah memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Dengan adanya
berbagai aktivitas tersebut akan memberikan dampak tersendiri bagi kualitas
perairan waduk, terutama fitoplankton sebagai produsen primer perairan yang
berperan mendukung kehidupan organisme air lainnya (ikan).
Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui bagaimana kondisi fitoplankton
dan kualitas fisika serta kimia air waduk Lahor, mengetahui bagaimana aktivitas
masyarakat yang berhubungan dengan pemanfaatan waduk, mengetahui
bagaimana upaya pengelolaan lingkungan waduk yang dilakukan oleh
pemerintah/ instansi terkait.dan memberikan rekomendasi upaya pengelolaan
lingkungan perairan waduk Lahor.
Ruang lingkup penelitian meliputi aktivitas sosial, budaya dan ekonomi
masyarakat yang berada di sekitar waduk (Desa Karangkates) dan di Daerah
Pengaliran Sungai (Desa Slorok dan Ngajum) yang berpengaruh terhadap kondisi
kualitas fisika dan kimia perairan, sehingga berpengaruh pada kondisi
fitoplankton, dan akhirnya akan berpengaruh pula pada upaya pengelolaan
lingkungan Waduk. Ditelaah pula kebijakan pengelola (Perum Jasa Tirta) dalam
pengelolaan perairan Waduk Lahor. Penelitian ini dilakukan pada musim
kemarau. Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan metode analisa
menggunakan regresi lajur untuk analisa kondisi fitoplankton dan kualitas air.
Untuk kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dianalisa dengan metode
analisa deskriptif kualitatif. Untuk analisa pengelolaan waduk dibagi dalam tiga
aspek yaitu ekologis, ekonomi dan sosial.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa secara umum kondisi perairan
waduk Lahor masih dalam kondisi yang baik. Hal ini terlihat dari hasil analisa
kondisi fitoplankton dan kualitas air waduk yang masih mampu mendukung
kehidupan fitoplankton dan organisme air lainnya, namun terlihat ada
kencenderungan untuk terjadinya eutrofikasi dilihat dari kelimpahan fitoplankton
yang ditemukan (4.210.542 individu/L) dengan didominasi oleh jenis Nitzschia
sp. (1.910.987 individu/liter). Hasil penelitian tidak memperlihatkan adanya
indikasi pengaruh langsung aktivitas daratan terhadap kondisi fitoplankton yang
ada. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pengelolaan yang telah dilakukan oleh
pihak instansi terkait sudah cukup baik.
Untuk menjaga agar kondisi waduk tidak terus menurun maka upaya
pengelolaan yang perlu dilakukan antara lain adalah dengan mengintroduksi ikan
tertentu untuk mengendalikan kelimpahan Nitzschia sp, pengelolaan sampah yang
baik, dan upaya monitoring dengan menggunakan metode biologi agar lebih
mencerminkan kondisi perairan yang sesungguhnya, perlu dicoba penerapan
TLBA (Trophic Level Based Aquaculture) untuk mengantisipasi terjadinya proses
eutrofikasi perairan akibat penumpukan sisa pakan ikan di dasar perairan. Perlu
ditinjau kembali penetapan zonasi yang ada.
Kata Kunci : pengelolaan lingkungan perairan waduk, fitoplankton
ABSTRAK
Waduk Lahor sebagai Proyek Karangkates Tahap II terletak ±32 km di
sebelah selatan Kota Malang ke arah Kota Blitar, dibangun dengan tujuan sebagai
pencegah banjir, pembangkit tenaga listrik, pensuplai air bagi kebutuhan irigasi
pertanian, kegiatan perikanan darat, dan untuk kegiatan pariwisata. Keberadaan
waduk telah memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Dengan adanya
berbagai aktivitas tersebut akan memberikan dampak tersendiri bagi kualitas
perairan waduk, terutama fitoplankton sebagai produsen primer perairan yang
berperan mendukung kehidupan organisme air lainnya (ikan).
Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui bagaimana kondisi fitoplankton
dan kualitas fisika serta kimia air waduk Lahor, mengetahui bagaimana aktivitas
masyarakat yang berhubungan dengan pemanfaatan waduk, mengetahui
bagaimana upaya pengelolaan lingkungan waduk yang dilakukan oleh
pemerintah/ instansi terkait.dan memberikan rekomendasi upaya pengelolaan
lingkungan perairan waduk Lahor.
Ruang lingkup penelitian meliputi aktivitas sosial, budaya dan ekonomi
masyarakat yang berada di sekitar waduk (Desa Karangkates) dan di Daerah
Pengaliran Sungai (Desa Slorok dan Ngajum) yang berpengaruh terhadap kondisi
kualitas fisika dan kimia perairan, sehingga berpengaruh pada kondisi
fitoplankton, dan akhirnya akan berpengaruh pula pada upaya pengelolaan
lingkungan Waduk. Ditelaah pula kebijakan pengelola (Perum Jasa Tirta) dalam
pengelolaan perairan Waduk Lahor. Penelitian ini dilakukan pada musim
kemarau. Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan metode analisa
menggunakan regresi lajur untuk analisa kondisi fitoplankton dan kualitas air.
Untuk kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dianalisa dengan metode
analisa deskriptif kualitatif. Untuk analisa pengelolaan waduk dibagi dalam tiga
aspek yaitu ekologis, ekonomi dan sosial.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa secara umum kondisi perairan
waduk Lahor masih dalam kondisi yang baik. Hal ini terlihat dari hasil analisa
kondisi fitoplankton dan kualitas air waduk yang masih mampu mendukung
kehidupan fitoplankton dan organisme air lainnya, namun terlihat ada
kencenderungan untuk terjadinya eutrofikasi dilihat dari kelimpahan fitoplankton
yang ditemukan (4.210.542 individu/L) dengan didominasi oleh jenis Nitzschia
sp. (1.910.987 individu/liter). Hasil penelitian tidak memperlihatkan adanya
indikasi pengaruh langsung aktivitas daratan terhadap kondisi fitoplankton yang
ada. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pengelolaan yang telah dilakukan oleh
pihak instansi terkait sudah cukup baik.
Untuk menjaga agar kondisi waduk tidak terus menurun maka upaya
pengelolaan yang perlu dilakukan antara lain adalah dengan mengintroduksi ikan
tertentu untuk mengendalikan kelimpahan Nitzschia sp, pengelolaan sampah yang
baik, dan upaya monitoring dengan menggunakan metode biologi agar lebih
mencerminkan kondisi perairan yang sesungguhnya, perlu dicoba penerapan
TLBA (Trophic Level Based Aquaculture) untuk mengantisipasi terjadinya proses
eutrofikasi perairan akibat penumpukan sisa pakan ikan di dasar perairan. Perlu
ditinjau kembali penetapan zonasi yang ada.
Kata Kunci : pengelolaan lingkungan perairan waduk, fitoplankton
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Masalah ................................................................................... 3
1.3 Perumusan Masalah ................................................................ 4
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 5
1.5 Kerangka Pikir Penelitian ....................................................... 5
Tabel Halaman
1. Klasifikasi padatan di perairan berdasarkan ukuran diameter .......... 11
2. Jumlah nara sumber yang diwawancarai ........................................... 21
3. Metode penelitian .............................................................................. 23
4. Kondisi aktivitas pemanfaatan dan kualitas air waduk per stasiun .... 28
5. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton di WadukLahor ................ 33
6. Indeks diversitas fitoplankton di setiap stasiun pengambilan
sampel per waktu pantau .................................................................. 33
Gambar Halaman
Lampiran Halaman
Perairan air tawar, salah satunya waduk menempati ruang yang lebih kecil
bila dibandingkan dengan lautan maupun daratan, namun demikian ekosistem air
tawar memiliki peranan yang sangat penting karena merupakan sumber air rumah
tangga dan industri yang murah. Perairan air tawar merupakan tempat
disposal/pembuangan yang mudah dan murah (Heddy dan Kurniati, 1994).
Waduk merupakan salah satu contoh perairan tawar buatan yang dibuat
dengan cara membendung sungai tertentu dengan berbagai tujuan yaitu sebagai
pencegah banjir, pembangkit tenaga listrik, pensuplai air bagi kebutuhan irigasi
pertanian, untuk kegiatan perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya
karamba, dan bahkan untuk kegiatan pariwisata. Dengan demikian keberadaan
waduk telah memberikan manfaat sendiri bagi masyarakat di sekitarnya.
Waduk mempunyai karakteristik yang berbeda dengan badan air lainnya.
Waduk menerima masukan air secara terus menerus dari sungai yang
mengalirinya. Air sungai ini mengandung bahan organik dan anorganik yang
dapat menyuburkan perairan waduk. Pada awal terjadinya inundasi (pengisian
air), terjadi dekomposisi bahan organik berlebihan yang berasal dari perlakuan
sebelum terjadi inundasi. Dengan demikian, jelas sekali bahwa semua perairan
waduk akan mengalami eutrofikasi setelah 1–2 tahun inundasi karena sebagai
hasil dekomposisi bahan organik. Eutrofikasi akan menyebabkan meningkatnya
produksi ikan sebagai kelanjutan dari tropik level organik dalam suatu ekosistem
(Wiadnya, et al., 1993).
Di dalam perairan terdapat jasad-jasad hidup, dan salah satunya adalah
plankton yang merupakan organisme mikro yang melayang dalam air laut atau
tawar. Pergerakannya secara pasif tergantung pada angin dan arus. Plankton
terutama terdiri dari tumbuhan mikroskopis yang disebut fitoplankton dan hewan
mikroskopis yang disebut zooplankton (Herawati, 1989).
Suatu perairan dikatakan subur apabila mengandung banyak unsur hara
atau nutrien yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam air terutama
fitoplankton dan dapat mempercepat pertumbuhannya. Fitoplankton menduduki
tropik level pertama dalam rantai makanan, sehingga keberadaannya akan
mendukung organisme tropik level selanjutnya. Sebagai produsen primer,
fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis untuk mengubah bahan
anorganik menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Hasil
fotosintesis dari produsen akan digunakan bagi dirinya sendiri dan oleh organisme
lain.
Fitoplankton merupakan organisme pertama yang terganggu karena
adanya beban masukan yang diterima oleh perairan. Ini disebabkan karena
fitoplankton adalah organisme pertama yang memanfaatkan langsung beban
masukan tersebut. Oleh karena itu perubahan yang terjadi dalam perairan sebagai
akibat dari adanya beban masukan yang ada akan menyebabkan perubahan pada
komposisi, kelimpahan dan distribusi dari komunitas fitoplankton. Maka dari itu
keberadaan fitoplankton dapat dijadikan sebagai indikator kondisi kualitas
perairan, selain itu fitoplankton dapat digunakan sebagai indikator perairan karena
sifat hidupnya yang relatif menetap, jangka hidup yang relatif panjang dan
mempunyai toleransi spesifik pada lingkungan.
Bendungan Lahor dibangun tahun 1972, dan mulai beroperasi sejak
November 1977 merupakan bagian dari Proyek pengembangan wilayah sungai
Brantas yang dilaksanakan secara terpadu oleh Badan Proyek Brantas, atau
lengkapnya Badan Pelaksana Induk Pengembangan Wilayah Sungai Brantas.
Waduk Lahor ini dialiri oleh tiga buah sungai yaitu sungai Lahor, sungai Leso dan
sungai Dewi. Waduk mempunyai luas 2,6 km2 atau 260 Ha, terletak kurang lebih
1,5 km di sebelah utara proyek serbaguna Karangkates, dan kurang lebih 32 km di
sebelah selatan kota Malang ke arah kota Blitar. Waduk ini menjadi salah satu
inlet (daerah aliran masuk) dari waduk Sutami yang merupakan waduk terbesar di
Jawa Timur.
Dengan adanya ketiga buah sungai yang mengaliri waduk Lahor, maka
akan menjadi salah satu media bagi masuknya bahan organik dan anorganik yang
berasal dari berbagai aktivitas di sekitar waduk dan sungai-sungai tersebut. Beban
masukan ini akan memacu proses pengkayaan unsur hara (eutrofikasi), dimana
eutrofikasi ini menandakan bahwa perairan mengalami kerusakan, karena dari
eutrofikasi ini akan menyebabkan terjadinya proses sedimentasi bahkan bisa
sampai membentuk daratan baru. Selain itu eutrofikasi dapat memicu
pertumbuhan berlebihan jenis fitoplankton tertentu atau yang biasa dikenal
dengan blooming fitoplankton. Perairan dikatakan blooming fitoplankton jika
kelimpahan fitoplanktonnya mencapai 5 x 106 sel/liter (Goldman dan Horne,
1983). Bila sampai terjadi blooming, akan merugikan organisme lain misalnya
mematikan ikan dan hewan-hewan air lainnya karena kekurangan oksigen.
Terjadinya blooming fitoplankton tersebut jika dibiarkan akan dapat
mengganggu keseimbangan ekosistem perairan waduk. Dengan demikian
keberadaan fitoplankton sendiri bisa dijadikan sebagai indikator perairan, apakah
perairan tersebut dalam kondisi rusak atau baik. Jika dilihat dari kondisi kualitas
air maka perairan waduk Lahor mengalami penurunan kualitas air, misalnya
dilihat dari tingkat kecerahan perairan. Berdasarkan hasil penelitian Ridhayanti
(1997) kecerahan waduk berkisar antara 135-140 cm. Kecerahan ini lebih tinggi
bila dibandingkan hasil penelitian Hartini (2002) yaitu berkisar antara 16,6-73,5
cm, dan semakin menurun bila dilihat dari hasil penelitian Apridayanti (2006)
yang menunjukkan kecerahan berkisar antara 51-70cm. Hal ini jelas menunjukkan
bahwa kondisi perairan waduk Lahor mengalami penurunan. Jika kondisi ini
dibiarkan bukan tidak mungkin bahwa beberapa tahun ke depan waduk ini sudah
tidak mampu lagi melakukan fungsinya secara optimal.
Oleh karena itu untuk menjaga agar kelestarian perairan waduk terutama
waduk Lahor tetap berlangsung dan bermanfaat untuk kepentingan manusia maka
dirasa perlu untuk mengkaji pengelolaan lingkungan perairan waduk tersebut.
1.2 Masalah
Waduk Lahor dibangun dengan tujuan sebagai pensuplai air untuk
kegiatan pertanian, pengendali banjir, pembangkit tenaga listrik, kegiatan
pariwisata dan perikanan darat. Dari berbagai tujuan dan pemanfaatan tersebut,
pariwisata, pertanian dan kegiatan perikanan darat dapat memberikan beban
masukan tersendiri bagi perairan waduk. Waduk ini dialiri oleh sungai Dewi,
Lahor dan Leso, yang di sekitar ketiganya juga terdapat berbagai aktivitas
masyarakat yang juga dapat memberikan beban masukan bagi perairan waduk.
Beban masukan tersebut akan menjadi sumber penambahan unsur hara
perairan yang juga dapat menyebabkan terjadinya berbagai masalah perairan,
seperti proses eutrofikasi yang terjadi ketika beban masukan tersebut berlebihan
sehingga menyebabkan turunnya kualitas air, sehingga akan mengganggu pula
kehidupan fitoplankton sebagai produsen primer perairan. Selain itu beban
masukan tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya sedimentasi, karena beban
masukan tersebut bisa berupa partikel-partikel tanah dan sebagainya yang terbawa
sebagai akibat dari erosi yang terjadi di daerah hulu. Akibatnya akan
menyebabkan turunnya lapisan produktif perairan dan dapat memperpendek umur
waduk. Bagan dari permasalahan di atas dapat dilihat pada Bagan 1.
1.4.2 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi upaya
pemeliharaan dan pemanfaatan perairan waduk Lahor secara berkelanjutan.
2.2 Fitoplankton
Plankton yang merupakan tumbuhan mikroskopis disebut fitoplankton.
Fitoplankton sebagian besar merupakan organisme autotropik dan menjadi
produsen primer dari bahan organik pada habitat akuatik. Komponen lain dari
plankton adalah binatang heterotropik yang disebut zooplankton. Sehingga
fitoplankton merupakan base line dari jaring-jaring makanan pada lingkungan
perairan (Herawati, 2003).
Fitoplankton terdiri dari kumpulan tanaman mikro yang hampir tidak
mempunyai kemampuan melawan gerakan air. Beberapa fitoplankton dapat
menggunakan flagel, cilia dan lendir untuk gerakannya, tetapi sebagian besar
melayang bebas di perairan (Wetzel, 1975).
Secara umum fitoplankton merupakan organisme uniseluler. Koloni
fitoplankton terdiri dari sel individu yang biasanya uniform. Beberapa dari green
dan blue green algae merupakan filamentus algae sedangkan beberapa spesies
diatom dan dinoflagelata mempunyai sel yang berhubungan membentuk seperti
rantai sel (Herawati, 1989).
Seluruh plankton dari golongan fitoplankton berwarna, sebagian besar
berwarna hijau karena adanya macam – macam klorofil, klorofil a sampai klorofil
d. Sehingga jenis fitoplankton diberi nama atas dasar warnanya (Sachlan, 1982).
Menurut Davis (1955), fitoplankton yang hidup di air tawar maupun air laut
terdiri dari lima kelompok besar (Phyllum) yaitu Chlorophyta (ganggang hijau),
Cyanophyta (ganggang biru), Chrysophyta (ganggang coklat), Pyrophyta dan
Euglenophyta.
Semua plankton dari fitoplankton mempunyai warna, dan sebagian besar
warna hijau, karena adanya semacam klorofil (a sampai d). Biarpun fitoplankton
atau bisa juga disebut alga merupakan flora yang pertama, tetapi sudah
mempunyai macam-macam pigmen yang lengkap dan banyak nama-nama
golongan alga yang diberi nama latin atas dasar warnanya (Sachlan, 1982).
2.3.2 Kecerahan
Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan-
bahan tersuspensi (diameter >1µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan
diameter pori 0,45µm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad
renik, yang terutama disebabkan oleh erosi tanah yang terbawa kebadan
air.Bahan-bahan terlarut dan tersuspensi pada perairan alami tidak bersifat toksik,
akan tetapi jika berlebihan, terutama TSS dapat meningkatkan nilai kekeruhan,
yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan
akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis (Effendi, 2003).
Derajat keasaman adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion hidrogen dan
menunjukkan suasana air tersebut apakah bereaksi asam atau basa. Kisaran pH air
yang maksimal untuk produksi ikan adalah 6,5 sampai 9 (Boyd,1981).
Fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh proses respirasi, karena gas
karbondioksida yang dihasilkannya. Semakin banyak karbondioksida yang
dihasilkan dari proses respirasi, maka pH akan semakin rendah. Namun
sebaliknya jika aktivitas fotosintesis semakin tinggi maka akan menyebabkan pH
semakin tinggi (Kordi, 2000).
2.3.5 Karbondioksida (CO2)
Dalam bab ini diuraikan tipe penelitian, ruang lingkup penelitian, lokasi
dan metode penelitian yang digunakan.
Stasiun I : merupakan inlet, yaitu daerah aliran masuk dari sungai Dewi
Stasiun IV : merupakan inlet, yaitu daerah aliran masuk dari sungai Lahor
Untuk melihat lebih jelas gambaran dari masing – masing stasiun dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Jumlah
Perikanan Darat Pertanian Permukiman Pariwisata Instansi
nara sumber
Petani ikan 10
Pedagang ikan 5
25
Nelayan 5
Petani 5
Penduduk sekitar
DPS dan di sekitar 10 10
waduk
Pengunjung 13
Pemilik rumah
10 15
makan
Pemilik perahu 2
Perum Jasa Tirta 2 2
JUMLAH 52
Deskriptif
Upaya Kebijakan kualitatif
pengelolaan Kebijakan pemerintah Perum Jasa Tirta,
lingkungan pemerintah dalam upaya Bapedalda
Primer Wawancara
perairan waduk dan instansi pegelolaan Kabupaten
oleh pemerintah/ terkait lingkungan Malang
instansi terkait perairan waduk
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Stasiun III merupakan daerah yang dialiri oleh sungai Leso. Di stasiun ini
terdapat sejumlah rumah makan. Selain itu juga terdapat aktifitas perikanan darat
yaitu kegiatan budidaya karamba. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan nila
dan kegiatan pemancingan. Lokasi stasiun III dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Foto stasiun III daerah alirah Sungai Leso
Stasiun IV merupakan daerah yang dialiri oleh sungai Lahor, daerah ini
merupakan daerah yang dekat dengan permukiman penduduk, dan lahan pertanian
seperti pada stasiun I. Kegiatan perikanan darat yang nampak pada daerah ini
yaitu kegiatan penangkapan dengan menggunakan brajang (lihat Gambar 8) dan
budidaya. Lokasi stasiun IV dapat dilihat pada Gambar 7.
Kondisi aktivitas dan kualitas fisika, kimia serta biologi air pada masing-
masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kondisi aktivitas dan kualitas air waduk per stasiun
Kualitas air
Fitoplankton
Stasiun Kecerahan Suhu pH CO2 DO TSS Nitrat Pospat Pemanfaatan
(individu/L)
(cm) (ºC) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L)
Pertanian,
I 73,75 27,25 8,19 4,99 9,062 0,016 0,15 0,288 521.301
pemancingan.
Wisata,
II 73,75 27,5 8,14 7,99 9,26 0,013 0,175 0,585 874.638
pemancingan.
Rumah
makan,
III 71,125 28,25 8,24 7,99 9,51 0,03 0,125 0,22 1.917.979 karamba,
jaring sekat,
pemancingan
Permukiman,
karamba,
IV 71,25 28 8,07 10,98 9,89 0,053 0,175 0,35 1.998.020 jaring sekat,
pemancingan,
pertanian
4000000
2000000
1000000
-1000000
N= 4 4 4 4
Stasiun
Keterangan:
Garis hitam tebal ditengah box-plot adalah nilai tengah (rata-rata).
Panjang kaki box-plot menunjukkan besarnya kisaran data ( fluktuasi data ).
2.0
1.8
1.6
indeks diversitas
1.4
1.2
1.0
.8
.6
N= 4 4 4 4
Stasiun pengamatan
Keterangan:
Garis hitam tebal ditengah box-plot adalah nilai tengah (rata-rata).
Panjang kaki box-plot menunjukkan besarnya kisaran data ( fluktuasi data ).
Gambar 10. Grafik box plot indeks diversitas fitoplankton di seluruh stasiun
pengambilan sampel
Menurut Krebs (1978) dalam Samino (2004) keanekaragaman jenis
(indeks diversitas) digunakan untuk mengukur tingkat keteraturan dan
ketidakteraturan atau stabilitas suatu ekosistem. Dari segi ekologi, jumlah jenis
dalam suatu ekosistem adalah penting karena keragaman jenis tampaknya
bertambah bila komunitas menjadi makin stabil. Hal ini berarti bahwa semakin
besar nilai indeks keanekaragaman (diversitas) jenis organisme pada perairan
waduk maka semakin besar pula tingkat keteraturan atau stabilitas organisme
tersebut di dalam perairan. Nilai indeks keseragaman (E) waduk Lahor berkisar
antara 0,667-0,816 (Tabel 7). Semakin mendekati satu nilai indeks keseragaman
menggambarkan semakin seragamnya populasi yang ada.
Tabel 7. Jumlah spesies, indeks diversitas dan indeks keseragaman
fitoplankton di waduk Lahor
Stasiun
Parameter
I II III IV
Jumlah spesies (S) 7 8 7 6
indeks diversitas maksimum (Hmax) 1.946 2.079 1.946 1.792
Indeks diversitas (H') 1.297 1.456 1.5875 1.25
Indeks keseragaman (E) 0.667 0.700 0.816 0.698
4.3.2 Kondisi Kualitas Fisika dan Kimia Perairan Waduk Lahor
Seperti halnya organisme hidup lain, fitoplankton dalam pertumbuhan dan
kehidupannya juga dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu keberadaan
fitoplankton di perairan akan bervariasi tergantung dari kondisi kualitas perairan
yang ada.
Kualitas air yang mempengaruhi kehidupan fitoplankton ini dapat di
kelompokkan menjadi faktor fisik dan kimia. Faktor fisik yang diukur dalam
penelitian ini terdiri dari suhu, kecerahan, dan Padatan Total Tersuspensi (TSS).
Sedangkan faktor kimia yang diukur meliputi derajat keasaman (pH), CO2, DO
(Dissolved Oxygen/ oksigen terlarut) serta nutrien (Pospat dan nitrat). Pengukuran
kondisi kualitas air ini dilakukan pada waktu yang sama dengan pengambilan
sampel fitoplankton. Hasil pengukuran parameter kualitas air ini dapat dilihat
pada Tabel 8.
Dilihat dari Tabel 8, maka berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 413 Tahun 1987 tentang penggolongan dan
baku mutu air di Jawa Timur, kondisi perairan waduk Lahor masih sesuai untuk
memenuhi tujuan pembangunan waduk itu sendiri yaitu irigasi pertanian (baku
mutu golongan D) dan perikanan darat (baku mutu golongan C). Keputusan
Gubernur ini dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 8. Kondisi kualitas perairan Waduk Lahor per waktu pantau
Parameter Kecerahan (cm) Suhu (ºC) pH CO2 (mg/L) DO (mg/L) TSS Nitrat (mg/L) Pospat (mg/L)
1 71.5 26 8 19.976 6.086 0.0008 0.2 0.2082
2 86.5 28 8.35 0 10.248 0.0581 0.1 0.0049
I
3 62.5 28 8.3 0 10.824 0.0016 0.2 0.9315
4 74.5 29 8.14 0 9.088 0.0044 0.1 0.00677
1 88 24 8 15.981 7.979 0.004 0.3 1.4729
S 2 78.5 29 8.22 0 9.444 0.0271 0.1 0.0041
II
T 3 57.5 29 8.25 0 9.825 0.0122 0.2 0.8406
A
4 71 28 8.1 15.981 9.781 0.0106 0.1 0.0212
S
I 1 65.5 28 8 15.981 7.776 0.0064 0.1 0.1179
U 2 87 29 8.25 0 9.444 0.1017 0.2 0.0149
III
N 3 62.5 27 8.5 0 11.191 0.0115 0.1 0.7502
4 69.5 29 8.2 15.981 9.622 0.0128 0.1 0.0041
1 86.5 28 8 11.986 6.762 0.004 0.2 1.3826
2 80.5 28 8 0 12.854 0.1934 0.2 0.0357
IV
3 61 28 8.3 0 10.174 0.0137 0.1 0.0045
4 57 28 8 31.962 9.809 0.0002 0.2 0.0375
4.3.2.1 Kecerahan
Cahaya merupakan faktor terutama dan terpenting dalam pertumbuhan
fitoplankton, terutama dalam kelancaran proses fotosintesis. Kesempurnaan
proses ini tergantung besar kecilnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam
perairan. Sedangkan besar kecilnya intensitas cahaya yang masuk ke air
dipengaruhi kecerahan maupun kekeruhan perairan itu sendiri (Subarijanti, 1994).
Kecerahan di waduk Lahor berkisar antara 57,5-88 cm (Tabel 8). Selain
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan, tingkat
kecerahan juga dipengaruhi oleh perbedaan waktu pengukuran kecerahan,
keadaan cuaca dan juga ketelitian dari orang yang melakukan pengukuran.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh
Ridhayanti (1997), kecerahan di waduk Lahor masih tinggi yaitu sebesar 135–140
cm. Sedangkan menurut hasil penelitian Hartini (2002), kecerahan yang diperoleh
lebih rendah yaitu berkisar antara 16,6–73,5 cm dan semakin menurun bila dilihat
dari hasil penelitian Apridayanti (2006) yang menunjukkan kecerahan berkisar
antara 51-70cm.
Menurut Sellers dan Markland (1987) dalam Arfiati, dkk. (2002), perairan
oligotropik mempunyai batas kecerahan >6 m, mesotropik 3–6 m dan eutropik <3
m. Berdasarkan keterangan tersebut dan melihat dari hasil penelitian ini, maka
dapat dikatakan bahwa perairan waduk Lahor tergolong peraiaran eutropik.
Menurut Goldmen dan Horne (1983), berdasarkan kandungan hara
(tingkat kesuburan) danau diklasifikasikan dalam 3 jenis, yaitu: danau eutropik,
danau oligotrofik dan danau mesotropik. Danau eutropik (kadar hara tinggi)
merupakan danau yang memiliki perairan yang dangkal, tumbuhan litoral
melimpah, kepadatan plankton lebih tinggi, sering terjadi blooming alga dengan
tingkat penetrasi cahaya matahari umumnya rendah. Sementara itu, danau
oligotropik adalah danau dengan kadar hara rendah, biasanya memiliki perairan
yang dalam, dengan bagian hipolimnion lebih besar dibandingkan dengan bagian
epilimnion. Semakin dalam danau tersebut semakin tidak subur, tumbuhan litoral
jarang dan kepadatan plankton rendah, tetapi jumlah spesiesnya tinggi. Danau
mesotropik merupakan danau dengan kadar nutrien sedang, juga merupakan
peralihan antara kedua sifat danau eutrofik dan danau oligotrofik. Klasifikasi ini
juga berlaku bagi perairan waduk, karena waduk dan danau memiliki karakteristik
yang sama sebagai perairan tergenang.
4.3.2.2 Suhu
Suhu berpengaruh terhadap proses metabolisme sel organisme air.
Menurut Effendi (2003), peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan
kecepatan proses metabolisme sel dan respirasi organisme air, dan selanjutnya
mengakibatkan peningkatan dekomposisi bahan organik mikroba. Kisaran suhu
yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton adalah antara 20 – 30 °C. Suhu di
waduk Lahor berdasarkan hasil penelitian berkisar antara 24-29ºC (Tabel 8),
sehingga berdasarkan keterangan di atas maka dapat dikatakan bahwa suhu di
perairan waduk Lahor masih optimum untuk pertumbuhan fitoplankton.
4.3.2.5 Nitrat
Nitrogen merupakan elemen yang melimpah pada sel makhluk hidup
setelah karbon, hidrogen, dan oksigen, yang mana nitrogen ini penting untuk
sebagian besar reaksi biokimiawi (Goldman dan Horne, 1983). Tanaman air dan
fitoplankton lebih mudah menggunakan nitrogen dalam bentuk nitrat, maka semua
nitrogen baru tersedia jika telah dalam bentuk nitrat. Pembentukan nitrat sangat
tergantung pada adanya oksigen dan bakteri Nitrobacter yang bertugas merubah
nitrit menjadi nitrat secara aerob (Arfiati, 1992).
Kadar nitrat selama penelitian adalah berkisar antara 0,1-0,3 mg/L (Tabel
8). Menurut Leentvaar (1980) dalam subarijanti (1990), perairan dengan
kandungan nitrat sebesar <0,1 ppm termasuk perairan yang oligotropik,
kandungan nitrat 0-0,15 ppm termasuk perairan mesotropik dan kandungan nitrat
>0,2 ppm adalah perairan eutropik. Maka berdasarkan keterangan tersebut
perairan waduk Lahor termasuk perairan eutropik.
Menurut hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ridhayanti
(1997) kandungan ammonium di waduk Lahor berkisar antara 0,18–0,19 mg/L
dan digolongkan sebagai perairan oligotropik, dan menurut Hartini (2002)
kandungan nitrat di waduk Lahor berkisar antara 0,68–1,59 mg/L sehingga
digolongkan sebagai perairan mesotropik. Sedangkan menurut hasil penelitian
Apridayanti (2006) kadar nitrat di waduk lahor berkisar dari 0,1–4 mg/L, sehingga
waduk digolongkan perairan eutropik.
4.3.2.6 Ortofosfat
Menurut Hariyadi, dkk., (1992) ortofosfat adalah fosfat organik,
merupakan salah satu bentuk fosfor (P) yang larut dalam air dan dapat
dimanfaatkan oleh organisme nabati (fitoplankton dan tanaman air). Menurut
Sudaryanti (1995), unsur hara P merupakan unsur hara yang penting bagi
metabolisme sel tumbuhan, yaitu sebagai transfer energi dari ADP ke ATP.
Dari hasil penelitian, kadar ortofosfat yang diperoleh berkisar antara
0,0041-1,4729 mg/L (Tabel 8). Menurut Leentvar (1980) dalam Subarijanti
(1990) perairan yang oligotropik mempunyai kandungan ortofosfat <0,01 mg/L,
mesotropik 0,01–0,05 mg/L, eutropik >0,1 mg/L. Sehingga dari keterangan
tersebut maka perairan waduk Lahor digolongkan kedalam perairan eutropik.
Kondisi ini berbeda bila dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ridhayanti (1997) dengan kandungan ortofosfat sebesar 0,09–0,12 mg/L yang
menunjukkan waduk Lahor tergolong perairan yang mesotropik. Sedangkan hasil
dari penelitian Hartini (2002), kandungan ortofosfat berkisar antara 0,08–0,55
mg/L yang menunjukkan stastus waduk Lahor dari mesotropik menuju eutropik.
Namun kondisi ini sama jika dilihat dari hasil penelitian Apridayanti (2006)
dengan kandungan ortofosfat yang sangat tinggi yaitu berkisar antara 1,1–6,6
mg/L. Kandungan ortofosfat yang tinggi ini mungkin disebabkan karena perairan
ini banyak mendapatkan masukan unsur hara dari kegiatan disekitarnya seperti
pertanian, pariwisata, budidaya karamba dan pemukiman.
pH Fitoplankton
r = -0,061 r = -0,043
r = 0,336 sig.
r = -0,382
sig. 0,145
Nitrat
r = -0,211
sig. 0,432
Oksigen terlarut
Gambar 11. Bagan model hipotetik kondisi fitoplankton dan kualitas air waduk
suhu Fitoplankton
Gambar 12. Bagan model hubungan fitoplankton dan kualitas air setelah analisis
Berdasarkan bagan tersebut dapat diuraikan bahwa suhu merupakan faktor
lingkungan yang paling memberikan pengaruh terhadap kehidupan fitoplankton.
Sedangkan pH merupakan faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap
ketersediaan CO2 di perairan. Hubungan dari masing-masing variabel ini dapat
dilihat pada Gambar 13 dan 14.
4500000
4000000
3500000
kelimpahan fito (indv/L)
3000000
2500000
2000000
y = 245896x - 6E+06
1500000 R2 = 0.0823
1000000
500000
0
0 5 10 15 20 25 30 35
suhu (ce lsius)
35
30
25
CO2 (mg/L)
20
15
y = -43.438x + 362.58
10 R2 = 0.446
0
0 2 4 6 8 10
derajad keasaman (pH)
Gambar 14. Grafik hubungan kadar CO2 dan derajad keasaman (pH)
Suhu selain berpengaruh terhadap berat jenis, viskositas dan densitas air,
juga berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Sedangkan
perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara
langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi
plankton baik fitoplankton maupun zooplankton (Subarijanti, 1994). Pada proses
fotosintesa reaksi gelap, reaksi enzimatiknya dipengaruhi oleh suhu air.
Sedangkan pada fotosintesa reaksi terang dipengaruhi oleh intensitas radiasi
vertikal (Mahmudi, 2005).
Pada suhu yang lebih hangat selalu dijumpai kelimpahan fitoplankton
yang tinggi. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap laju fotosintesa dan
pertumbuhan alga. Respon terhadap intensitas cahaya ini bersifat spesifik terhadap
spesies. Intensitas cahaya yang diperlukan untuk menjenuhkan fatosintesa alga
umumnya meningkat bersamaan dengan meningkatnya suhu perairan. Pada
kondisi jenuh oleh cahaya, reaksi biokimia enzimatik terbatas lajunya, semua ini
diregulasi oleh suhu. Jadi pada dasarnya dampak ekologis cahaya dan suhu pada
fotosintesa dan pertumbuhan alga tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena
hubungan erat antara metabolisme dan penjenuhan cahaya (Sulawesty, 2005).
Sebagai faktor penting bagi kehidupan organisme air, perubahan suhu yang
ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme air bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Derajad keasaman (pH) mempengaruhi terhadap ketersediaan bentuk-
bentuk karbon di dalam perairan. Pada pH 4-6 maka karbon yang terbentuk adalah
asam karbonat (H2CO3), pH 6-9 terbentuk bikarbonat (HCO3-) sedangkan pH >9
bentuk karbon yang tersedia adalah karbonat (CO32-). Sebagian besar tanaman
hanya menggunakan CO2 untuk fotosintesis yang didapat dari udara atau
penguraian HCO3- dan CO32-, tetapi ada juga tanaman yang menggunakan HCO3-
sebagai sumber karbondioksida bebas setelah diubah dengan enzim karbonik
anhidrase (Goldman dan Horne, 1983).
Adanya hubungan yang erat antara kondisi pH perairan dengan kandungan
CO2, perlu diteliti lebih jauh lagi. Karena ada kemungkinan berhubungan dengan
kondisi zooplankton yang tidak menjadi fokus dalam penelitian. Sedangkan
kondisi zooplankton akan mempengaruhi kondisi fitoplankton secara langsung,
karena dalam rantai makanan perairan fitoplankton merupakan produsen primer
sedangkan zooplankton umumnya berperan sebagai konsumen pertama.
Selain untuk kegiatan wisata, waduk ini juga dimanfaatkan untuk kegiatan
budidaya karamba, budidaya jaring sekat dan penangkapan ikan baik dengan
menggunakan pancing, maupun jala (brajang), seperti terlihat pada Gambar 8.
Kegiatan penangkapan ikan ini dilakukan hampir di semua bagian waduk. Pada
dasarnya kegiatan budidaya karamba ini tidak sesuai dengan kebijakan Perum
Jasa Tirta sebagai pihak pengelola, akan tetapi karena kebutuhan ekonomi
masyarakat, akhirnya kegiatan yang seharusnya tidak berijin ini menjadi
matapencaharian utama bagi beberapa orang petani ikan dari desa sekitar.
Kegiatan budidaya karamba ini merupakan kegiatan pembesaran ikan.
Jenis ikan yang dibudidayakan adalah nila. Namun meskipun demikian,
sebenarnya ada beberapa jenis ikan lain yang hidup di waduk ini seperti betutu,
tombro, wader bahkan udang. Selain budidaya dengan karamba jaring apung, di
waduk ini juga ada kegiatan budidaya dengan menggunakan jaring sekat. Pada
dasarnya kegiatan budidaya baik dengan karamba jaring apung maupun dengan
menggunakan jaring sekat sama, hanya saja pada budidaya dengan menggunakan
jaring sekat dilakukan dengan cara memasang jaring pada daerah tepi waduk
tanpa menggunakan drum atau bahan lain sebagai pelampung yang biasa
digunakan pada budidaya karamba agar jaring tetap mengapung (Gambar 19).
Petani lebih memilih untuk membudidayakan ikan nila disebabkan oleh harga
jualnya yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga jual ikan jenis
betutu maupun tombro. Pakan yang digunakan berupa pakan alami yang berasal
dari jerami dan pellet. Jumlah karamba yang ada di waduk ini sebanyak 16 unit
karamba.
Ukuran benih yang ditebar pada sistem budidaya karamba adalah benih
yang berukuran 35-57 mm dengan padat tebar 25.000 ekor/ karamba. Pemberian
pakan untuk benih berumur 1 bulan diberikan pakan 3 kg/hari, benih berumur 2-3
bulan diberi pakan sebanyak 5 kg/hari sedangkan untuk benih berumur 4-5 bulan
(masa panen) diberi pakan sebanyak 7-8 kg/hari.
Kegiatan budidaya ikan intensif ini memang cukup menguntungkan serta
dapat menolong perekonomian masyarakat sekitar perairan yang tanah
pertaniannya terendam pembangunan waduk. Namun kegiatan budidaya
perikanan di waduk sebenarnya bukan merupakan tujuan utama dari
pembangunan sebuah waduk, melainkan hanya kegiatan sampingan. Dengan
demikian perlu adanya pembatasan terhadap jumlah karamba maupun jaring sekat
yang ada agar sesuai dengan daya dukung perairan.
Konteks di atas memberi indikasi bahwa badan waduk berisi variasi-
variasi jenis ikan yang memiliki kesukaan pakan berbeda-beda namun bersifat
saling mengutungkan. Komposisinya merupakan gabungan dari jenis ikan
karnivora, omnivora, herbivora, plankton feeder, dan detritus feeder. Dengan
demikian, badan waduk layaknya sebuah kolam besar bermotifkan polikultur
Sisa-sisa pakan dari berbagai jenis ikan yang dipelihara tersebut jika tidak
dimanfaatkan maka semakin lama akan semakin menumpuk di dasar perairan,
yang kemudian akan mengalami dekomposisi, hingga pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi yang ditandai dengan adanya blooming
fitoplankton tertentu yang pada umumnya adalah jenis fitoplankton yang
merugikan, seperti fitoplankton dari jenis Cyanophyta (blue-green algae).
Blooming fitoplankton di perairan ditandai dengan perubahan warna air
yang menjadi kehijauan, berbau tidak sedap dan peningkatan kekeruhan. Kondisi
ini tentu saja akan memberi dampak yang sangat besar terhadap berbagai aktivitas
di waduk, termasuk juga untuk aktivitas ekonomi (budidaya karamba). Dengan
terjadinya blooming tersebut, maka kondisi kualitas perairan akan menurun.
Kandungan oksigen terlarut akan menurun, sehingga menyebabkan organisme air
seperti ikan dan spesies lainnnya tidak mampu tumbuh dengan baik dan akhirnya
mati. Selain itu diketahui pula bahwa Cyanophyta mengandung toksin sehingga
membawa resiko kesehatan bagi manusia dan hewan.
Jika hal ini terjadi, bukan saja satu sektor yang mengalami kerugian tetapi
sektor-sektor lain yang juga memanfaatkan waduk akan mengalami kerugian yang
sama. Oleh karena itu diperlukan solusi yang tepat untuk membantu agar daya
dukung perairan tetap terjaga. Salah satunya dengan memanfaatkan sisa pakan
dari karamba.
Siklus pemanfaatan pakan dalam pola TLBA (Trophic Level Based
Aquaculture), yaitu sistem budidaya dengan menempatkan komoditas utama dan
benilai ekonomis tinggi pada KJA (Karamba Jaring Apung) dan hamparan di
luarnya berisi komoditas biaya murah (ikan tambakan, nilem, tawes, sepat
maupun kijing). Praktek akan berujung pada terciptanya ekosistem perairan
waduk yang terbebas dari berbagai limbah sisa pakan dan kotoran, sekaligus
meningkatkan kelestarian lingkungannya. Bahkan, keuntungan lain dalam jangka
panjang, kijing bisa diandalkan untuk menghasilkan mutiara air tawar (fresh water
pearl), sebagaimana telah dibuktikan di Cina dan Jepang (Husen, 2006).
Untuk menjembatani hubungan petani ikan dengan pihak pengelola maka
didirikan sebuah wadah untuk menampung aspirasi petani ikan. Wadah ini
bernama Paguyuban Masyarakat Ikan (PAMIK) yang anggotanya terdiri dari
pemilik karamba, jaring sekat dan jaring tangkap (brajang) . Selain sebagai wadah
aspirasi, paguyuban ini juga membuka peluang lapangan pekerjaan bagi
masyarakat, terutama para pemuda yang tidak memiliki keterampilan untuk diberi
pengetahuan tentang budidaya karamaba. Anggota dari PAMIK mencapai 170
orang petani ikan.
Untuk satu kali panen, para petani bisa menghasilkan rata-rata 3,5 ton
ikan, dan dijual dengan harga Rp. 30.000/kg. Panen biasanya dilakukan setiap 4
bulan sekali, namun hal ini juga disesuaikan dengan kondisi elevasi air waduk.
Untuk membantu pemasaran hasil panen ini, maka didirikan Pusat Pendaratan
Ikan (PPI) yang tidak hanya menjual hasil budidaya karamba tapi juga menjual
ikan-ikan hasil tangkapan nelayan (Gambar 20) baik yang berasal dari waduk
maupun yang berasal dari daerah Blitar dan Tulungagung, dengan jumlah penjual
sebanyak 25 orang. Sampai dengan saat penelitian dilakukan tidak ditemukan
adanya kasus kematian ikan massal yang menjadi indikator dari buruknya kondisi
kualitas perairan waduk. Ini berarti bahwa kondisi perairan masih dalam kondisi
yang baik. Namun demikian, dilihat dari hasil-hasil penelitian sebelumya yang
terkait dengan kondisi kualitas fisika, kimia dan biologi perairan maka ada
kecenderungan menuju kearah penurunan kondisi kualitas perairan.
Gambar 19. Foto kegiatan budidaya karamba dan jaring sekat di waduk
5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan, kondisi fitoplankton
dan kualitas fisika serta kimia air waduk Lahor diketahui bahwa kondisi
perairan secara umum masih dalam kondisi yang cenderung baik. Namun
dilihat dari penelitian sebelumnya nampak adanya tren menuju arah
penurunan kondisi kualitas perairan.
2. Aktivitas masyarakat yang berhubungan langsung dengan pemanfaatan
waduk antara lain kegiatan pariwisata, perikanan darat (budidaya dan
penangkapan ikan) dan pertanian. Lokasi dimana terdapat jenis
pemanfaatan yang berbeda akan cenderung memberikan kondisi
fitoplankton yang berbeda.
3. Berdasarkan kondisi fitoplankton yang ada tidak atau belum
menampakkan indikasi dari pengaruh langsung kegiatan manusia baik di
sekitar waduk maupun di Daerah Pengaliran Sungai (DPS) terhadap
kondisi perairan.
4. Upaya pengelolaan yang telah dilakukan selama ini antara lain:
• Penetapan tata ruang waduk sesuai dengan kondisi waduk, yang
terdiri dari zone bahaya, zone suaka dan zone pengusahaan.
• Larangan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap
yang tidak ramah lingkungan.
• Pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan budidaya
perikanan di waduk.
• Monitoring kualitas air waduk dan sungai, termasuk di dalamnya
monitoring terhadap buangan limbah industri dan domestik.
• Penghijauan di sempadan waduk untuk mencegah sedimentasi.
5. Alternatif upaya pengelolaan yang dilakukan meliputi berbagai aspek
antara lain:
a. Pengelolaan secara ekologis, yaitu dengan melihat kondisi
fitoplankton yang ada.
b. Pengelolaan secara ekonomi, yaitu didasarkan pada aktivitas
pemanfaatan waduk oleh masyarakat.
c. Pengelolaan secara sosial
5.2 Rekomendasi
1. Melihat kondisi kualitas fisika, kimia dan biologi perairan, maka
rekomendasi yang dapat disampaikan untuk menjaga agar kondisi waduk
tidak terus menurun anara lain:
a) Perlu dicoba penerapan TLBA (Trophic Level Based Aquaculture)
untuk mengantisipasi terjadinya proses eutroikasi perairan akibat
penumpukan sisa pakan ikan di dasar perairan.
b) Upaya monitoring kualitas air yang dilakukan sebaiknya tidak hanya
dengan menggunakan metode fisika dan kimia tetapi juga melibatkan
metode biologi sehingga hasil yang diperoleh lebih mencerminkan
kondisi perairan yang sesungguhnya.
c) Melakukan introduksi ikan herbivora yang menyukai fitoplankton jenis
Nitzschia sp. untuk menjaga keseimbangan perairan karena dari data
terlihat bahwa perairan didominasi oleh fitoplankton jenis ini.
2. Untuk berbagai aktivitas masyarakat yang ada dalam memanfaatkan
waduk, maka:
a) Perlu adanya pengawasan dan penindakkan yang tegas terhadap
berbagai aktivitas yang sekiranya dapat merusak keseimbangan
ekosistem waduk.
b) Perlu adanya pengelolaan sampah, terutama sampah yang dihasilkan
dari rumah makan maupun tempat rekreasi agar tidak selalu dibakar
atau ditimbun di pinggir waduk karena dapat mengurangi produktivitas
tanah dan juga menyebabkan polusi udara. Sehingga diperlukan
kerjasama yang baik antara pengelola, Dinas Kebersihan dan pemilik
rumah makan.
c) Perlu adanya peran serta PAMIK (Paguyuban Masyarakat Ikan) dalam
upaya pengelolaan lingkungan perairan waduk Lahor, misalkan
bekerjasama dengan pengelola mengadakan penyuluhan tentang
lingkungan waduk kepada masyarakat yang memanfaatkan waduk
maupun sungai.
d) Menganjurkan kepada pengunjung, pemilik rumah makan dan
masyarakat lain yang memanfaatkan waduk untuk tidak membuang
sampah ke dalam waduk maupun sungai.
3. Perlu ditinjau kembali tentang penetapan zonasi yang ada, karena dari
hasil penelitian menunjukkan zonasi yang ada sudah tidak sesuai lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, C.E. 1981. Water Quality in Warm Water. Fish Pond. Auburn University.
Alabama
Davis, C. C. 1955. The Marine and Fresh Water Plankton. Michigan State
University Press. USA
Hadi, Sudharto. 2005. Metode Penelitian Sosial: Kuantitatif, Kualitatif dan Kaji
Tindak. Program Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro.
Semarang
Kordi, K. M.G.H. 2000. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem
Polikultur. Penerbit Dahara Prize. Semarang
Samino, S., Catur, R., Dwi, S., dan Rudina, A.R. 2004. Monitoring Dinamika
Komunitas Fitoplankton dan Zooplankton di Waduk Sutami Malang.
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Brawijaya. Malang
Seller, H. B, dan Markland. 1987. Decayig Lake: The Origin and Control of
Cultural Eutrofication. Jhon Willey and Sons. New York, Brisbane,
Toronto and Singapore
Wiadnya, D. G., Sutini L., dan Lelono T.F. 1993. Manajemen Sumberdaya
Perairan Dengan Kasus Perikanan Tangkap di Jawa Timur. Fakultas
Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 413 Tahun
1987 Tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air di Jawa Timur
http://www.protist.i.hosei.ac.jp/Gonatozygon/Navicula/Diatoma/Synedra.Diakses
tanggal 6 Januari 2007
RIWAYAT HIDUP
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 POSPAT,
C02,
Keceraha
. Enter
n, DO,
SUHU, a
NITRAT
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: LOGFP
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .673a .453 .089 .4078
a. Predictors: (Constant), POSPAT, C02, Kecerahan,
DO, SUHU, NITRAT
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 1.240 6 .207 1.243 .369a
Residual 1.497 9 .166
Total 2.737 15
a. Predictors: (Constant), POSPAT, C02, Kecerahan, DO, SUHU, NITRAT
b. Dependent Variable: LOGFP
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 SUHU,
a . Enter
TSS
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: Kecerahan
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .516a .266 .153 10.0958
a. Predictors: (Constant), SUHU, TSS
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 480.218 2 240.109 2.356 .134a
Residual 1325.017 13 101.924
Total 1805.234 15
a. Predictors: (Constant), SUHU, TSS
b. Dependent Variable: Kecerahan
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 139.583 56.238 2.482 .028
TSS 102.585 51.810 .479 1.980 .069
SUHU -2.514 2.025 -.300 -1.242 .236
a. Dependent Variable: Kecerahan
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) -.693 3.633 -.191 .853
Kecerahan 7.514E-03 .011 .193 .662 .525
SUHU .212 .110 .649 1.930 .086
DO 4.799E-02 .084 .187 .572 .581
NITRAT -3.510 2.474 -.517 -1.419 .190
C02 1.386E-02 .015 .331 .932 .376
POSPAT .524 .302 .645 1.734 .117
a. Dependent Variable: LOGFP
Regression 3 ( co2 = b0 + b1ph + b2 suhu)
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 PH, SUHUa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: C02
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .690a .476 .396 7.9390
a. Predictors: (Constant), PH, SUHU
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 744.919 2 372.460 5.909 .015a
Residual 819.355 13 63.027
Total 1564.274 15
a. Predictors: (Constant), PH, SUHU
b. Dependent Variable: C02
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 374.332 107.458 3.484 .004
SUHU -1.414 1.633 -.181 -.866 .402
PH -40.048 13.630 -.616 -2.938 .012
a. Dependent Variable: C02
Regression 4 ( kecerahan = b0 + b1 tss)
Variables Entered/Removed b
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 TSS a . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: Kecerahan
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .423a .179 .120 10.2892
a. Predictors: (Constant), TSS
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 323.080 1 323.080 3.052 .103a
Residual 1482.155 14 105.868
Total 1805.234 15
a. Predictors: (Constant), TSS
b. Dependent Variable: Kecerahan
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 69.849 2.978 23.458 .000
TSS 90.637 51.884 .423 1.747 .103
a. Dependent Variable: Kecerahan
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 Kecerahana . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: LOGFP
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .083a .007 -.064 .4406
a. Predictors: (Constant), Kecerahan
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 1.883E-02 1 1.883E-02 .097 .760a
Residual 2.718 14 .194
Total 2.737 15
a. Predictors: (Constant), Kecerahan
b. Dependent Variable: LOGFP
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 6.189 .760 8.147 .000
Kecerahan -3.23E-03 .010 -.083 -.311 .760
a. Dependent Variable: LOGFP
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 SUHUa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: LOGFP
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .499a .249 .196 .3831
a. Predictors: (Constant), SUHU
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression .683 1 .683 4.651 .049a
Residual 2.054 14 .147
Total 2.737 15
a. Predictors: (Constant), SUHU
b. Dependent Variable: LOGFP
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 1.416 2.107 .672 .512
SUHU .163 .075 .499 2.157 .049
a. Dependent Variable: LOGFP
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 SUHUa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: Kecerahan
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .211a .045 -.024 11.0990
a. Predictors: (Constant), SUHU
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 80.619 1 80.619 .654 .432a
Residual 1724.615 14 123.187
Total 1805.234 15
a. Predictors: (Constant), SUHU
b. Dependent Variable: Kecerahan
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 121.791 61.032 1.996 .066
SUHU -1.769 2.187 -.211 -.809 .432
a. Dependent Variable: Kecerahan
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 DOa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: LOGFP
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .129a .017 -.054 .4385
a. Predictors: (Constant), DO
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 4.565E-02 1 4.565E-02 .237 .634a
Residual 2.691 14 .192
Total 2.737 15
a. Predictors: (Constant), DO
b. Dependent Variable: LOGFP
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 5.643 .650 8.686 .000
DO 3.308E-02 .068 .129 .487 .634
a. Dependent Variable: LOGFP
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 NITRATa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: LOGFP
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .382a .146 .085 .4087
a. Predictors: (Constant), NITRAT
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression .399 1 .399 2.387 .145a
Residual 2.338 14 .167
Total 2.737 15
a. Predictors: (Constant), NITRAT
b. Dependent Variable: LOGFP
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 6.359 .281 22.609 .000
NITRAT -2.591 1.677 -.382 -1.545 .145
a. Dependent Variable: LOGFP
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 SUHUa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: C02
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .358a .128 .066 9.8685
a. Predictors: (Constant), SUHU
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 200.840 1 200.840 2.062 .173a
Residual 1363.434 14 97.388
Total 1564.274 15
a. Predictors: (Constant), SUHU
b. Dependent Variable: C02
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 85.839 54.266 1.582 .136
SUHU -2.793 1.945 -.358 -1.436 .173
a. Dependent Variable: C02
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 PHa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: NITRAT
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .451a .203 .146 5.813E-02
a. Predictors: (Constant), PH
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 1.207E-02 1 1.207E-02 3.573 .080a
Residual 4.730E-02 14 3.379E-03
Total 5.938E-02 15
a. Predictors: (Constant), PH
b. Dependent Variable: NITRAT
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 1.631 .780 2.090 .055
PH -.181 .096 -.451 -1.890 .080
a. Dependent Variable: NITRAT
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 PHa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: C02
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .668a .446 .406 7.8678
a. Predictors: (Constant), PH
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 697.653 1 697.653 11.270 .005a
Residual 866.622 14 61.902
Total 1564.274 15
a. Predictors: (Constant), PH
b. Dependent Variable: C02
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 362.580 105.641 3.432 .004
PH -43.438 12.939 -.668 -3.357 .005
a. Dependent Variable: C02
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 PHa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: POSPAT
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .061a .004 -.067 .5434
a. Predictors: (Constant), PH
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 1.561E-02 1 1.561E-02 .053 .821a
Residual 4.133 14 .295
Total 4.149 15
a. Predictors: (Constant), PH
b. Dependent Variable: POSPAT
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 2.042 7.296 .280 .784
PH -.205 .894 -.061 -.230 .821
a. Dependent Variable: POSPAT
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 C02a . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: LOGFP
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .147a .022 -.048 .4374
a. Predictors: (Constant), C02
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 5.890E-02 1 5.890E-02 .308 .588a
Residual 2.678 14 .191
Total 2.737 15
a. Predictors: (Constant), C02
b. Dependent Variable: LOGFP
Coefficients a
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 6.004 .141 42.705 .000
C02 -6.14E-03 .011 -.147 -.555 .588
a. Dependent Variable: LOGFP
Regression 15 (logfp = b0 + b1 pospat)
Variables Entered/Removedb
Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 POSPATa . Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: LOGFP
Model Summary
Std. Error
Adjusted of the
Model R R Square R Square Estimate
1 .043a .002 -.069 .4417
a. Predictors: (Constant), POSPAT
Coefficientsa
Standardi
zed
Unstandardized Coefficien
Coefficients ts
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 5.967 .136 43.924 .000
POSPAT -3.49E-02 .217 -.043 -.161 .874
a. Dependent Variable: LOGFP
ANOVAb
Sum of Mean
Model Squares df Square F Sig.
1 Regression 5.059E-03 1 5.059E-03 .026 .874a
Residual 2.732 14 .195
Total 2.737 15
a. Predictors: (Constant), POSPAT
b. Dependent Variable: LOGFP
Lampiran 5. Peta Daerah Pengaliran Sungai (DPS) waduk Lahor
Desa Ngajum
Desa Slorok
Skala:
1:110.000