Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PEMBERIAN UMPAN BALIK DALAM ASESMENT CENTER

OLEH:

SATRIA SEPTIADI NUGROHO, M.Psi, PSIKOLOG

1
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih dan


berwibawa (good gavernance) serta pelayanan publik yang baik, efisien,
efektif dan berkualitas tentunya perlu didukung adanya Sumber Daya Manusia
(SDM) aparatur  khususnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang profesional,
bertanggungjawab, adil, jujur dan kompeten dalam bidangnya. Dengan kata
lain, PNS dalam menjalankan tugas tentunya harus berdasarkan pada
profesionalisme dan kompetensi sesuai kualifikasi bidang ilmu yang
dimilikinya. Hal ini diperkuat juga dengan diberlakukannya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara


(ASN) telah menyatakan bahwa pengembangan karier PNS dilakukan
berdasarkan kualifikasi, kompetensi, penilaian kinerja, dan kebutuhan Instansi
Pemerintah dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas PNS.
Manajemen ASN dilaksanakan dengan sistem merit dan berbasis pada
jabatan. Sistem merit dalam manajemen ASN dilaksanakan dengan
berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar.
Manajemen ASN berbasis jabatan dilaksanakan melalui perbandingan
obyektif antara kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan dalam jabatan
dengan kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai dalam pengisian
jabatan atau menempatkan pegawai dalam jabatan.

Terbitnya UU ASN menjadi pedoman baru bagi pemerintah dalam


mengelola ASN. Salah satu kegiatan proses manajemen ASN yang tercantum
dalam UU ASN adalah penilaian kompetensi. Penilaian kompetensi yang
umumnya disebut Assessment Center (AC) menjadi salah satu perangkat
untuk menyaring calon pejabat pimpinan tinggi. AC merupakan suatu metoda

2
untuk mengidentifikasi dan menjaring pegawai yang dinilai memiliki potensi
dari sisi manajerial (managerial skill) untuk menduduki suatu jabatan tertentu
di kemudian hari (future responsibility). 

AC dapat digunakan sebagai langkah awal pengembangan karir ASN


menuju level yang lebih tinggi baik dalam jenjang struktural maupun
fungsional. AC juga bertujuan untuk memilih calon pimpinan yang handal dan
siap menghadapi tugas-tugas yang akan datang. Selain pengembangan karir,
AC juga digunakan dalam proses seleksi dan penempatan ASN. Di Indonesia
metode AC ini mulai digunakan oleh instansi pemerintah dan diawali oleh
Kementerian Keuangan.

Selain Kementerian Keuangan saat ini banyak Kementerian/Lembaga


yang sudah mulai menggunakan AC sebagai metode Seleksi Pejabat
Pimpinan Tinggi (JPT) di lingkungannya. Salah satunya Badan POM yang
telah menggunakan AC sebagai metode yang digunakan dalam seleksi
terbuka JPT. Badan POM mulai menggunakan seleksi terbuka jabatan
struktural dimulai pada tahun 2014 hingga saat ini. Berdasarkan rekapitulasi
peserta internal yang mengikuti pelaksanaan asesmen dalam rangka seleksi
jabatan pimpinan tinggi sebagaimana data di sebanyak 73 orang dalam kurun
waktu 2014-2015 (lBadan POM, 2016).

Keandalan metode AC ini telah terbukti dalam memprediksi performace


dan kesuksesan yang akan datang lebih baik dibandingkan dengan tools
lainnya, sebagaimana yang ditunjukan oleh riset yang dilakukan oleh
American Telephone and Telegraph Company (AT&T).

Assessment Rating Jumlah Pegawai yang di Mengalami lebih 2 kali


assess promosi sejak AC
More than acceptable 410 40,5%
Acceptable 1466 21,9%
Questionable 1910 11,5%
Not Acceptable - 4,2 %
AT&T, 1972 (Human Capital Journal, No.24, 2013)

3
Selain itu, validitas metode AC juga memiliki tingkat validitas yang jauh
lebih baik dibandingkan dengan metode yang lainnya dalam memprediksi
performance individu.

Teknik Pengukuran Validity


Assessment Centers (promotion) 0,63
Work Sample Test 0,55
Abilty Tes 0,53
Personality Tes (combined) 0,41
Research Biography and data 0,38
Structured Interviews 0,31
Typical Industry Interview 0,15
References 0,13
AT&T, 1972 (Human Capital Journal, No.24, 2013)

Kekhasan AC juga dapat menjadi salah satu alasan mengapa metode


AC dapat menjadi metode yang unggul dibandingkan yang lain. Multi-methode
dan Multi Assessor dapat meminimalisir adanya subyektifitas dari hasil
penilaian yang dilakukan.

Dalam kurun waktu hampir 1 dekade ini AC di Indonesia menjadi alat


bantu bagi manajemen menemukan talenta-talenta yang dapat diproyeksikan
dalam menduduki jabatan-jabatan strategis di suatu instansi. Metode
assessment center merupakan metode yang valid dan dapat diandalkan untuk
menyeleksi pegawai di tingkat pimpinan lini atau tingkat manajerial, untuk
mendiagnosis kekuatan dan kelemahan terkait atribut kerja individu, dan
untuk menentukan kebutuhan perkembangan.

Salah satu manfaat adanya AC bagi suatu organisasi adalah, instansi


dapat memiliki stok pegawai yang dinilai potensial untuk menduduki posisi
manajerial. AC juga membuat proses rekruitmen, promosi, mutasi menjadi
lebih transparan karena dilakukan dengan berbagai tahapan dan setiap
tahapan diberitahukan secara terbuka kepada para pegawai. Manfaat lain
yang dapat digunakan dari hasil AC antara lain: 1) memperoleh kriteria yang
jelas untuk suatu jabatan tertentu 2) mengidentifikasi calon-calon pemimpin
melalui suatu metode yang memiliki akurasi dan obyektifitas yang dapat

4
diandalkan 3) menghasilkan strategi dan tindakan pengembangan yang
spesifik dan terencana bagi pegawai 4) mengidentifikasi kebutuhan
pengembangan managerial pegawai.

Semenjak ditetapkannya UU ASN banyak instansi pemerintah pusat


maupun daerah mulai berlomba-lomba menggunakan AC sebagai salah satu
metode seleksi dalam mencari pejabat pimpinan tinggi dan mapping pegawai.
Pemetaan pegawai digunakan untuk menggambarkan potensi serta
kompetensi pegawai secara individu maupun secara umum di suatu instansi
ataupun instansi. Hasil dari pemetaan ini dapat dimanfaatkan bagi
pengembangan SDM secara umum ataupun individu-individu yang di
tempatkan dalam talent pool.

Dalam penerapannya proses di lingkungan pemerintah saat ini masih


terbatas pada pemanfaatan AC sebagai salah satu metoda untuk kegiatan
seleksi calon pejabat pimpinan tinggi baik Madya (Eselon I) maupun Pratama
(Eselon II). Kompleksnya usaha yang perlu dilakukan untuk dapat melakukan
aktivitas AC pada umumnya tidak serta merta ditindak lanjuti dengan adanya
sesi feed back/umpan balik langsung kepada para partisipan sebagai upaya
pengembangan terutama bagi kandidat open bidding yang berasal dari
internal.

Kegiatan pemberian umpan balik kepada pegawai belum


dilaksanakan secara optimal oleh instansi. Hanya sebagaian instansi yang
memberikan umpan balik secara langsung kepada pegawai dari hasil
penilaian yang diperoleh, atau hanya 16% dari seluruh instansi yang
menjadi sampel (BKN, 2012).

Hal selaras juga terjadi di Badan POM, penggunaan feed back


sebagai salah satu rangkaian dari AC belum dilaksanakan secara optimal.
Feed back dilakukan oleh assessor eksternal kepada para peserta internal
yang mengikuti seleksti terbuka JPT, namun hanya terbatas pada peserta

5
yang ada di unit pusat. Anggaran menjadi salah satu kendalanya.

Ada beberapa penyebab yang menjadi kendala bagi instansi dalam


mengimplementasikan feed back hasil AC antara lain keterbatasan sumber
daya baik dalam hal tenaga (SDM), biaya, maupun sarana dan prasarana.

Pelaksanaan AC yang ditujukan untuk kepentingan pengembangan


akan menghasilkan output feed back berupa informasi kebutuhan dan arah
pengembangan jangka pendek. Ballantyne & Povah (2004) menyatakan
bahwa pihak yang paling ideal memberikan feed back adalah para asesor
yang tidak menjadi bagian dari struktur organisasi di instansi. Hal ini
dilatarbelakangi karena alasan objektivitas. Pemberian feed back oleh asesor
eksternal juga lebih sesuai karena dinilai lebih mampu menumbuhkan
kepercayaan dan penerimaan terhadap feed back yang diberikan.

Pemberian feed back merupakan salah satu aktivitas yang dapat


melengkapi siklus AC. Umpan balik seharusnya menjadi bagian dari setiap
proses AC (Ballantyne & Povah, 2004). Namun demikian, International Task
Force on AC Guideline (2009) menyatakan bahwa keberadaan dan format
pemberian feed back dalam suatu kesatuan AC sangat dipengaruhi oleh
tujuan pelaksanaan pengukuran kompetensi.

6
BAB II

PEMBAHASAN

Pembangunan bidang aparatur memiliki peran strategis untuk


mendukung terwujudnya pemerintahan yang amanah dan efektif, serta
keberhasilan pembangunan nasional di berbagai bidang. Salah satu cara
untuk memulai hal tersebut adalah dengan menemukan talenta-talenta agar
dapat mendorong dan menggerakan roda reformasi birokrasi dan
pembangunan di masing-masing instansi.

Saat ini Badan POM merupakan salah satu instansi pemerintah yang
mulai menjalankan penilaian kompetensi dengan menggunakan metode AC
sebagai salah satu komponen seleksi terbuka untuk Jabatan Pimpinan Tinggi
Pratama (JPT), selain itu pemetaan kompetensi juga dilakukan kepada
seluruh Aparatur Sipil Negara dengan metode asessmen kuasi.

Pemetaan kompetensi yang selama ini dilaksanakan oleh Badan POM


dilakukan untuk menemukan individu-individu yang memiliki talenta. Sistem
seleksi terbuka yang saat ini sudah mulai dijalankan di beberapa instansi
pemerintah secara tidak langsung selain menjadi suatu proses screening bagi
para kandidat, juga dapat menjadi salah satu cara dalam menemukan talenta-
talenta yang ada dalam suatu organisasi. Namun cita-cita ini masih sulit
direalisasikan karena pelaksanaan AC hanya terputus pada hasil penilaian
kompetensinya saja tanpa adanya feed back bagi para kandidat.

AC adalah prosedur yang digunakan untuk mengevaluasi atribut


perilaku atau kemampuan yang relevan terkait dengan efektivitas
organisasi (Thornton & Rupp, 2006). Fokus AC adalah bukti perilaku
aktual yang ditunjukkan peserta asesmen yang dapat diamati dan dievaluasi

7
oleh asesor terlatih, berdasarkan multi-kriteria dalam beberapa simulasi
langsung terkait situasi kerja sesungguhnya. Setiap kriteria dalam AC harus
dapat diukur melalui lebih dari satu jenis simulasi. Suatu simulasi pun
harus dapat mengukur lebih dari satu kriteria. Asesor merupakan sebutan
bagi orang yang bertanggung jawab untuk mengamati dan mengevaluasi
perilaku peserta asesmen. Tugas utamanya merekam perilaku peserta
asesmen dalam simulasi dan menggunakan data tersebut untuk memberikan
rating pada setiap dimensi perilaku.

Metode AC merupakan metode yang valid dan dapat diandalkan


untuk menyeleksi pegawai ditingkat pimpinan lini atau tingkat manajerial,
untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan terkait atribut kerja
individu, dan untuk menentukan kebutuhan perkembangan.

International Task Force on AC Guideline (2009) menyebutkan


sepuluh elemen esensial dalam proses AC :

1. AC dilakukan berdasarkan model kompetensi yang disusun dari proses


analisis jabatan terlebih dahulu. Model kompetensi yang dimaksud
berisi dimensi-dimensi yang secara jelas dapat mendeskripsikan
perilaku yang dapat terobservasi melalui prosedur dalam pelaksanaan
AC.
2. Adanya klasifikasi perilaku setelah proses pengamatan dalam setiap
simulasi.
3. Perilaku yang ditunjukkan oleh peserta asesmen harus diklasifikasikan
ke dalam kategori yang bermakna sesuai dengan dimensi perilaku pada
model kompetensi yang dimiliki instansi.
4. Adanya teknik asesmen yang dedesain khusus untuk memberikan
informasi terkait dimensi perilaku dalam model kompetensi yang dimiliki
instansi.
5. Menggunakan kombinasi beberapa jenis metode asesmen (multi-
metode). Beberapa metode digunakan dengan mempertimbangkan

8
bahwa masing- masing metode mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Kombinasi metode ini digunakan untuk memanfaatkan masing-masing
metode agar kelemahan dari salah satu jenis metode dapat diatasi
dengan penggunaan metode yang lain.
6. Adanya simulasi yang mencerminkan kondisi natural pada target
jabatan yang didesain untuk mengungkap perilaku yang menjadi
prasyarat pada target jabatan tersebut.
7. Dilakukan oleh sekelompok asesor terlatih untuk mengoptimalkan
objektifitas penilaian serta menekan bias (multi-asesor).
8. Adanya pelatihan terhadap asesor yang memastikan bahwa asesor
yang terlibat dapat menunjukkan kinerja sesuai dengan pedoman
pelaksanaan AC.
9. Adanya prosedur sistematis yang dilakukan para asesor untuk merekam
secara akurat observasi yang mereka lakukan terhadap perilaku spesifik
yang ditunjukkan kandidat. Prosedur pencatatan dapat berupa cek-list,
skala perilaku, maupun catatan tangan. Perekam audio maupun video
dapat digunakan sebagai alat bantu dalam proses AC.
10. Adanya integrasi data dari setiap perilaku partisipan yang didapatkan
melalui gabungan dari informasi yang dimiliki masing-masing asesor.

Adanya laporan hasil AC yang mencerminkan performa partisipan


terhadap suatu tugas dalam jabatan tertentu berdasarkan seluruh data yang
terkumpul dari setiap simulasi yang diberikan yang telah dibahas bersama
oleh para asesor yang bertugas dalam sesi integrasi data.

Hasil AC dapat menjadi sumber data yang kredibel dalam melakukan


feed back terhadap assesse. Berbicara mengenai sumber data yang kredibel,
sebagian besar instansi menemukan bahwa feed back terhadap hasil AC
diterima dengan lebih baik bila dibandingkan dengan feed back dari hasil
informasi evaluatif lain seperti penilaian kinerja (Thornton & Rupp, 2006). Hal
ini disebabkan karena hasil AC didapat berdasarkan observasi terhadap
kriteria yang diukur melalui perilaku yang spesifik berdasarkan multi-metode
9
dan dilakukan oleh multi-asesor. Persepsi keadilan terhadap suatu proses
evaluatif akan menghasilkan penerimaan, bahkan bila individu menerima kritik
terhadap kinerjanya .

Dalam penilaian kinerja, khususnya bagi ASN penilaian terdiri dari 60%
Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) yang capaiannya berdasarkan pencapaian
target pegawai dan 40% berdasarkan penilaian perilaku yang terdiri dari 6
unsur, yaitu orientasi pelayanan, kerjasama, kepemimpinan, disiplin,
komitmen, dan integritas. Mengacu pada pernyataan di atas maka banyak
faktor mempengaruhi penilaian terhadap seseorang dalam capaian
kinerjanya, salah satunya yang dapat menjadikannya tidak obyektif adalah
penilaian perilaku dinilai oleh atasan langsung yang dimungkinkan adanya
subyektifitas. Sehingga benar apa yang disampaikan bahwa sumber data
yang kredibel dapat di peroleh dalam proses AC dengan catatan proses AC
dilakukan dengan memenuhi syarat multi methode dan multi rater.

Salah satu proses dalam pelaksanaan AC yang seringkali dilewatkan


adalah proses pemberian feed back kepada assesse atas hasil penilaiannya.
Feed Back dalam suatu penilaian kompetensi pada umumnya merupakan
informasi yang membandingkan kinerja aktual (hasil dari AC) dengan
standar kinerja yang diharapkan (International Task Force on Assessment
Center Guidelines, 2009).

Selaras dengan infomasi yang disampaikan di atas pelaksanaan sesi


Feed Back sebagai tindak lanjut dari hasil AC belum sepenuhnya
dilaksanakan di Badan POM. Pemberian Feed Back masih terbatas pada
peserta internal yang mengikuti seleksi terbuka JPT.

Feed Back hasil AC merupakan langkah tindak lanjut dari AC yang


mendukung program pengembangan SDM. Feed Back berbeda dengan
AC pada tujuannya yang lebih pada pengembangan para peserta daripada
memberikan data kepada organisasi sebagai dasar keputusan untuk

10
seleksi, penempatan dan promosi. Feed Back dapat memberikan
pandangan lain bagi partisipan/individu bahwa AC saja tidak cukup untuk
pemetaan ataupun seleksi melainkan juga untuk memotivasi dan
memberdayakan peserta dalam mengembangkan kompetensinya, dan itu
menjadi salah satu tujuan Feed Back.

AC dapat dikaitkan dengan Feed Back dan pengembangan sebagai


sistem terintegrasi dan koheren untuk pengelolaan SDM. Artinya, hasil
penilaian (assessment) perlu ditindaklanjuti dengan pengembangan
(development). Dengan demikian, AC, feedback dan development dapat
dijadikan sistem dan prosedur untuk mengidentifikasi, menilai dan
mengembangkan kompetensi SDM berdasarkan prinsip-prinsip the right
people in the the right places at the right times.

AC, Feed Back dan pengembangan sebagai sistem yang


terintegrasi, sejak awal dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
pegawai sehingga kebutuhan pelatihan dan pengembangan dapat
diketahui. Dengan demikian, aktivitas-aktivitas pelatihan dan
pengembangan dapat lebih difokuskan pada aspek kebutuhan atau
kelemahan dari individu.

Feed back sebagai sebuah intervensi merupakan tindakan yang


dilakukan pihak lain untuk memberikan informasi terkait beberapa aspek dari
performa individu terhadap suatu tugas (Kluger & DeNisi, 1996).
Ballantyne (2004) mendefinisikan Feed Back sebagai pertukaran informasi
mengenai status dan kualitas produk kerja. Berbeda dengan penilaian
kinerja yang merupakan penilaian (judgement) atau hasil evaluasi, titik berat
feed back adalah pada nilai informasi yang dikandungnya.

Nilai informasi yang diberikan dalam feed back dapat digunakan untuk
mendorong, mengarahkan, memperbaiki dan mengatur upaya dan hasil
kerja karena di dalamnya berisi peta sukses individu. Karena sifatnya

11
sebagai informasi, maka feed back harus disampaikan secara netral dan
tidak menimbulkan reaksi yang bersifat emosional. Dari definisi di atas dapat
ditarik garis merah bahwa Feed Back adalah suatu aktivitas yang dilakukan
pihak lain berupa penyampaian informasi mengenai status dan kualitas
dari beberapa aspek kinerja aktual individu terhadap suatu standar
kerja/performance yang diharapkan.

Umpan balik seharusnya menjadi bagian dari setiap proses AC


(Ballantyne & Povah, 2004). Namun demikian, International Task Force on
Assessment Center Guideline (2009) menyatakan bahwa keberadaan dan
format pemberian Feed Back dalam suatu kesatuan AC sangat dipengaruhi
oleh tujuan pelaksanaan pengukuran kompetensi.

Tujuan AC pada umumnya lebih ditekankan untuk memberikan data


kepada organisasi sebagai dasar pengambilan keputusan untuk seleksi,
penempatan dan promosi sehingga feed back yang diberikan kepada
partisipan sebatas pada rekomendasi kelayakan promosi disertai
keterangan kekuatan dan kelemahan peserta secara ringkas. feed back
terkait dengan kelebihan dan kelemahan partisipan yang diberikan biasanya
bersifat umum dan lebih singkat serta disampaikan oleh pegawai di unit
SDM.

Pelaksanaan AC yang ditujukan untuk kepentingan pengembangan


akan menghasilkan output feed back berupa informasi kebutuhan dan arah
pengembangan jangka pendek. Ballantyne & Povah (2004) menyatakan
bahwa pihak yang paling ideal memberikan feed back adalah para asesor
yang tidak menjadi bagian dari struktur organisasi di instansi. Hal ini
dilatarbelakangi karena alasan objektivitas. Pemberian feed back oleh asesor
eksternal juga lebih sesuai karena dinilai lebih mampu menumbuhkan
kepercayaan dan penerimaan terhadap feed back yang diberikan.

Tidak hanya sisi positif yang diperoleh dari proses feed back, dalam

12
penerapannya feed back dapat memberikan dampak negatif ataupun tidak
selalu menyenangkan terutama pada proses feed back yang di dalamnya
terjadi dialog interpersonal dan memiliki resiko untuk menimbulkan
menghasilkan emosi negatif yang menghambat proses pembelajaran
(Kozlowski, 2012). Hal ini dapat dicontohkan apabila assesse sudah
memiliki prasangka terhadap assessor yang mendampinginya untuk
proses feed back sehingga hal ini menghambatnya dalam menerima
penjelasan yang pada akhirnya menghambat proses pembelajaran.

Kluger dan DeNisi (1996) bahkan menyatakan bahwa feed back dapat
memberikan efek negatif rata-rata sebesar 38%. feed back yang tidak
menyenangkan dapat berujung pada sikap negatif, kurangnya penerimaan
terhadap hasil feed back dan keengganan untuk memperbaiki perilaku
berdasarkan Feed Back yang diterima. Feed back harus dibangun atas
informasi yang menggambarkan permasalahan, tantangan, ide dan peluang
yang ada (Kozlowski, 2012).

Untuk mendapatkan kualitas yang tinggi, feed back harus bersifat


membangun, yaitu feed back yang berfokus pada tugas atau target jabatan,
tidak kepada individual atau permasalahan personal misalnya karakterisitik
individu. feed back mempunyai 2 peran yaitu membantu individu untuk
memahami informasi kinerja dengan membandingkannya terhadap
standar serta dapat berfokus pada perbaikan kinerja dengan menunjukkan
perilaku yang harus dipelajari.

Schartel (2012) merumuskan bahwa umpan balik akan efektif bila


disampaikan dalam setting/kondisi yang pantas, berfokus pada kinerja
dibandingkan pada individu, spesifik dan didasarkan pada pengamatan yang
objektif, menggunakan bahasa netral yang tidak menghakimi serta
mengidentifikasi tindakan dan rencana pengembangan. Feed back yang
disampaikan secara adil dan wajar akan menghasilkan penerimaan
terhadap feed back tersebut dan reaksi-reaksi yang lebih menguntungkan

13
terhadap organisasi (Leung, Su dan Moris, 2001).

The Ken Blanchard Companies (2007) menawarkan delapan


pedoman pemberian Feed Back, yaitu sebagai berikut:

1. Sasaran (Direction) yaitu pemahaman bersama mengenai tujuan,


norma, peran dan ekspektasi mengenai pekerjaan yang ditetapkan
instansi. Pedoman mengenai sasaran pekerjaan ini memungkinkan
kedua belah pihak untuk performance yang ada dengan target yang
diinginkan untuk dapat melihat kesenjangan di antaranya. Pedoman
ini harus rinci dan terurai.
2. Kepercayaan (Trust) yaitu menumbuhkan kepercayaan dengan
mempertahankan keseimbangan antara menunjukkan informasi
menganai perilaku bermasalah dengan apresiasi perilaku yang
diinginkan. Dalam proses ini, pemberi feed back perlu meminta ijin
untuk melakukan feed back.
3. Bebas dari penilaian sepihak (Non-judgemental) yaitu menghilangkan
penilaian dan penghakiman dengan berfokus pada perilaku yang
menjadi masalah, bukan pada individu sehingga dalam sesi feed back
pegawai diberi kesempatan untuk membela dirinya sendiri. Ketika
proses penyampaian feed back, hal-hal yang disampaikan tidak
dihubungkan pada hal-hal terkait kepribadian ataupun kehidupan
pribadi pegawai, juga tidak berhubungan dengan kesalahan mereka
di masa lalu untuk menghukumnya. Pemberi feed back perlu peka
terhadap bahasa non-verbal dan intonasi bicara, menggunakan
bahasa yang netral, mendengarkan dengan hormat dan sopan serta
mengekspresikan penghargaan terhadap waktu dan usaha mereka.
4. Segera (Timely) yaitu memberikan feed back sesegera mungkin agar
ingatan pegawai mengenai kinerjanya masih dalam titik puncak.
5. Relevan (Relevant) yaitu memberikan penjelasan yang relevan
mengenai langkah terinci mengenai hal-hal yang selanjutnya harus
14
ditempuh. Feed back seharusnya difokuskan untuk bergerak maju,
bukan membahas tentang peristiwa di masa lalu. Langkah ini dapat
dengan mudah dicapai dengan menjabarkan komponen utama dan
menyampaikan informasi secara langsung dan berfokus pada
bagaimana perilaku pegawai mempengaruhi instansi. Sesi feed
back berusaha mengeksplorasi alasan dibalik perilaku yang
ditunjukkan pegawai, dan bukan mengatasi perilaku tersebut sendiri.
6. Mempertimbangkan wewenang, kendali dan tanggung jawab pegawai
dalam menangani perilaku kinerja yang tidak diinginkan.
7. Spesifik dan deskriptif (Specific and descriptive). Terdapat model
situasi-perilaku- pengaruh (Situation-Behavior-Impact model) yang
dapat menjadi pedoman melakukan langkah ini. Hal pertama yang
harus dilakukan adalah menjabarkan situasi munculnya suatu
perilaku. Hal yang kedua adalah menjabarkan perilaku meliputi
karakteristik, perilaku verbal dan non-verbal yang teramati yang perlu
untuk diubah atau ditingkatkan. Hal terakhir adalah menjabarkan
konsekuensi dari perilaku tersebut terhadap pihak lain dan bagaimana
tingkat efektivitasnya dalam menciptakan pengaruh.
8. Mendengarkan secara aktif (Active listening) agar terbuka terhadap
hasil apapun. Untuk dapat melakukan langkah ini, terdapat 5
aturan yang perlu dipatuhi. Pertama, menggunakan kalimat positif.
Kedua, mengolah kembali pernyataan dalam istilah yang
membangun. Ketiga, berempati, bukan bersimpati. Keempat,
mengajukan pertanyaan dalam bentuk positif dengan frase yang
positif. Kelima, menggunakan kata ganti saya untuk menyatakan
keprihatinan dan ketidaknyamanan terhadap perilaku tertentu untuk
menghindari penilaian sepihak.

Steelman dan Rutkowski (2004) menyimpulkan bahwa penerimaan


terhadap feed back negatif dimungkinkan bila memenuhi 3 kondisi. Pertama,
feed back yang disampaikan memiliki kualitas yang tinggi. Kedua, feed

15
back didasarkan pada sumber data yang kredibel. Terakhir, feed back
disampaikan dengan cara yang penuh perhatian.

Berbicara mengenai sumber data yang kredibel, sebagian besar


instansi menemukan bahwa Feed Back terhadap hasil AC diterima dengan
lebih baik bila dibandingkan dengan Feed Back dari hasil informasi evaluatif
lain seperti penilaian kinerja (Thornton & Rupp, 2006). Hal ini disebabkan
karena hasil AC didapat berdasarkan observasi terhadap kriteria yang diukur
melalui perilaku yang spesifik berdasarkan multi-metode dan dilakukan oleh
multi- asesor. Persepsi keadilan terhadap suatu proses evaluatif akan
menghasilkan penerimaan, bahkan bila individu menerima kritik terhadap
kinerjanya .

Kompleksnya usaha yang perlu dilakukan untuk dapat melakukan


aktivitas AC pada umumnya mendorong beberapa instansi untuk
memberikan sesi feed back langsung kepada para partisipan sebagai upaya
pengembangan. Hanya saja ada beberapa penyebab yang menjadi kendala
bagi instansi dalam mengimplementasikan umpan balik hasil AC antara
lain keterbatasan sumber daya baik dalam hal tenaga (SDM), biaya, maupun
saran dan prasarana; kurangnya desain pengembangan yang tersedia
berdasarkan hasil AC dan belum tersedianya metode evaluasi terhadap
hasil penugasan.

Asesor dapat dilibatkan dalam pemberian feed back, untuk itu setiap
asesor dapat diberikan pelatihan yang memadai untuk meningkatan
keterampilan dalam memberikan sesi feed back yang mendetail harus
diberikan. Asesor yang terlibat juga harus memiliki kemahiran dalam semua
aspek yang berlangsung dalam proses AC.

Dalam feed back proses tatap muka atau komunikasi dua arah
menjadi level kontak yang tinggi, yang menuntut asesor untuk dapat
membangun hubungan yang didasari rasa percaya dan empati. Selain

16
dituntut memberikan feed back yang bersifat positif dan negatif dengan
menyampaikan bukti-bukti perilaku yang didapatkan dari hasil AC, para
asesor juga dituntut untuk mempertahankan dan meningkatkan harga diri
dari partisipan yang kemudian menjadi dasar untuk memotivasi partisipan
agar terlibat dalam rencana aksi tertentu sesuai dengan rekomendasi yang
diberikan.

Feed back sebagai sebuah intervensi merupakan tindakan yang


dilakukan pihak lain untuk memberikan informasi terkait beberapa aspek dari
performa individu terhadap suatu tugas. feed back dari hasil AC diberikan
agar peserta dapat menyerap secara optimal manfaat yang terkandung
dalam proses asesmen. Nilai dari informasi yang didapat dari keseluruhan
proses yang dilakukan ditentukan dari seberapa efektif feed back ini
diberikan.

Tujuan dalam melakukan feed back harus jelas dan informasi yang
diberikan dapat disampaikan dengan bahasa yang lugas dan mudah
dipahami oleh assesse, dengan mengetahui kelebihan dan kekurangan
diharapkan assesee dapat menentukan langkah-langkah untuk
pengembangan diri untuk memenuhi level kompetensi yang dipersyaratkan.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Assessment Center (AC) merupakan proses yang kompleks untuk


menilai kompetensi individu, sehingga pemanfaatan hasilnya harus dapat
digunakan secara maksimal bagi organisasi maupun individu. Salah satu
proses akhir dalam rangkaian AC yang sangat jarang mendapat perhatian
adalah feedback terhadap kandidat/individu yang dinilai.

Dalam konsep manajemen SDM modern, pegawai dipandang sebagai


asset yang dalam pemanfaatannya hanya ditujukan bagi organisasi tetapi juga
bagaimana mengikat (enggament) dan mengembangkan pegawai tersebut,
dan dengan memberikan Feed Back dari hasil pemetaan dapat menjadi salah
satu cara untuk mewujudkan hal tersebut.

Feed back merupakan salah satu aktivitas yang memiliki nilai kunci
dalam keberhasilan dari suatu proses AC dengan tujuan pengembangan
kompetensi. Feed back dapat ibaratkan kaca bagi assesse, dengan melihat
kapasitas dan kompetensi dirinya diharapkan ada perubahan bagi assesse
untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih baik, baik untuk tujuan
organisasi ataupun untuk kepentingnnya sendri.

18
B. Rekomendasi/Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah disampaikan maka penulis


mencoba untuk menyampaikan beberapa rekomendasi /saran yang dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam melengkapi kegiatan AC yang telah
dilaksanakan, sebagai berikut:
1. Adanya komitmen dari Top Level manajemen dalam hal ini pimpinan
instansi dengan membuat patyung hukum berupa surat keputusan
terkait manajemen talenta yang salah satu kegiatannya yaitu, feed back
bagi individu yang mengikuti AC/penilaian kompetensi baik terkait
pemetaan pegawai ataupun seleksi promosi. Langkah awal dalam
pelaksaaan feed back dapat diberikan pada pegawai/individu yang
masuk dalam kriteria talent pool.
2. Mempersiapkan perangkat dalam feed back, baik itu Standard
Operational System (SOP), melatih SDM/Assessor dalam memberikan
Feed Back, dan perangkat sistem teknologi untuk pelaksanaan Feed
Back. pemanfaatan teknologi yang optimal dapat meminimalisir
hambatan yang sering menjadi kendala dalam pengelolaan SDM
khususnya dalam pemberian feed back dari hasil assessemen yang
telah diikuti kemajuan teknologi seperti email, portal intranet di masing-
masing instansi, bahkan skype ataupun teknologi lainnya yang
memungkinkan antara assesse dan assessor dapat menjalin
komunikasi dua arah.
3. Manajemen data kompetensi berbasis komputer yang dapat
dimanfaatkan dalam membantu para asesor ataupun pemberi feed
back dalam merevieu kompetensi individu sebelum dilakukannya
proses umum balik.
4. Penetapan metode feed back yang diberikan dapat disesuikan dengan
kondisi SDM dan sarana prasarana yang dimiliki oleh masing-masing
instansi. Metode feed back dapat melalui tatap muka secara langsung

19
ataupun via online (skype, video call), feed back secara tertulis dengan
surat resmi, email ataupun chatting.

DAFTAR PUSTAKA

 Ballantyne,L, and Nigel Povah.2004.Assessment and Development

Centers. England;Burlington

 Badan Kepegawaian Negara.2012. Laporan Kinerja Pemerintah.Jakarta

 Badan Pengawas Obat dan Makanan.2016.Laporan Kegiatan Penilaian

Kompetensi.Jakarta

 Guidelines and Ethical Considerations for Assessment Center Operations.

2009. Blackwell Publishing Ltd. International Journal of Selection and

Assessment Volume 17 Number 3 September 2009.

 Klugger, .N, and De Nisi, A.1996.The Effects of Feedback Interventions on

Performance: A Historical Review, a Meta-Analysis, and a Preliminary

Feedback Intervention Theory.America:Psychological Buletin.

 Kozlowski, Steve W.J. 2012.The Oxford Handbook of Organizational

Psychology.Volume I.New York;Oxford University Press.

 Suryani,Ratri.2013.Sejarah Perkembangan Assessement Center.

Jakarta.Human Capital Journal.Tahun II, No.24,Hal 14.

20
 The Ken Blanchard Companies.2007.Giving Feedback Facilitation

Instruction.Escondido,California-USA.

 Thornton, George C and Deborah, E. Rupp.2006.Assessment Centers in

Human Resource Management. London;Lawrence Erlbaum Associates,

Publishers.

21

Anda mungkin juga menyukai