Anda di halaman 1dari 11

Modul 18: Inflasi dan Deflasi

 INFLASI DAN DEFLASI 


TIK:
Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa memahami inflasi sebagai
gejala masalah jangka pendek perekonomian, hubungan dengan harga-
harga dan pengangguran.

TIU:
Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu
menganalisis pengaruh inflasi dan deflasi terhadap perekonomian.

Sub Pembahasan:
 Sebab-sebab inflasi
 Inflasi dan pengangguran

Ketika membicarakan perhitungan Pendapatan Nasional


disinggung sepintas lalu bahwa Pendapatan Nasional itu dapat
dinyatakan atas dasar harga yang berlaku dan atas dasar harga konstan.
Hal ini disebabkan karena tingkat harga itu tidak tetap. Pada saat
sekarang ini kemungkinan besar naik terus, kecuali untuk komoditi
pertanian pada waktu panen. Kenaikan harga inilah yang dinamai
inflasi. Jadi inflasi adalah suatu proses atau peristiwa kenaikan tingkat
harga umum. Dikatakan tingkat harga umum oleh karena barang dan
jasa itu banyak jumlah dan jenisnya. Ada kemungkinan harga sejumlah
barang turun, sedang lainnya naik. Apakah tingkat harga umum ini
naik atau turun tergantung pada komponen-komponennya. Kalau hasil
akhir komponen-komponennya yang beraneka ragam ini naik maka
tingkat harga umum ini akan naik, dan demikian pula sebaliknya.
Lawan inflasi adalah deflasi yaitu suatu proses atau peristiwa
penurunan tingkat harga umum. Seperti dalam inflasi dalam proses
deflasi pun, mungkin sekelompok harga barang dan jasa itu naik dan
sekelompok lainnya turun, tapi hasil akhirnya adalah turun, atau
umumnya adalah turun. Harus diingat baik-baik bahwa baik inflasi
maupun deflasi, kedua-duanya adalah proses atau peristiwa, dan
bukannya tingkat harga. Misalnya tingkat harga umum yang dianggap
tinggi, belum menunjukkan inflasi; baru menunjukkan inflasi kalau ada
proses kenaikan harga.

Ace Partadiredja Halaman 18-1


Modul 18: Inflasi dan Deflasi

Bagaimanakah mengukur kenaikan dan penurunan tingkat harga


umum itu? Yang mengalami proses kenaikan dan penurunan tingkat
harga itu tidak hanya Indonesia saja, tapi hampir semua negara di
seluruh dunia. Karena itu masing-masing negara di dunia ini
mengusahakan juga pengukuran kenaikan dan penurunan tingkat
harga ini. Karena banyak negara yang mengukur proses ini maka
beberapa lembaga dunia seperti ILO memberikan petunjuk-petunjuk
bagaimana mengukurnya agar dapat dibandingkan juga satu negara
dengan lainnya.
Indonesia pun asal mulanya tidak mempunyai alat pengukur
apapun. Sesudah dirasakan mendesaknya keperluan mengukur laju
kenaikan dan penurunan harga ini diselenggarakanlah suatu survey pada
tahun 1957—1958. Tujuan survey ini adalah untuk mengetahui barang-
barang dan jasa-jasa apa sajakah yang dikonsumsi oleh rakyat kecil, dan
berapakah kenaikan harga barang-barang dan jasa-jasa yang dikonsumsi itu
baik nominal maupun relatif, setiap jangka waktu tertentu.
Untuk mencapai tujuan ini dipilihlah 300 keluarga buruh industri
berpendapatan rendah di Jakarta. Karena diselenggarakan selama 4 ronde,
jumlah keluarga seluruhnya adalah 1200. Mereka diminta untuk mengisi
sebuah buku harian setiap hari selama satu ronde (3 bulan) dengan
berbagai pengeluaran (jenis dan nilainya). Setelah satu tahun informasi dari
buku harian ini diolah. Keluarlah hasilnya berupa jenis barang-barang dan
jasa-jasa sebanyak 62 yang dikelompok-kelompokkan menjadi 4:

Makanan 29 macam
Perumahan 6 macam
Pakaian 12 macam
Lain-lain 15 macam

masing-masing dengan proporsi (persentase) dari seluruh pengeluaran,


yang kemudian dijadikan bobot (weight) perhitungan-perhitungan
selanjutnya. Sesudah survey ini perubahan harga ke 62 barang dan jasa ini
dicatat sebulan sekali. Mula-mula perubahan harga ini hanya dicatat di
Jakarta saja, sekarang meliputi Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Jambi,
Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar,
Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Manado, Ujung Pandang, Padang,
Tanjungkarang, Malang, Mataram, Palangkaraya, Samarinda, Palu dan
Kendari (23 kota). Hasil pengamatannya setiap bulan dengan segala
perhitungan-perhitungannya dinamai Angka Indeks Biaya Hidup. Inilah
yang dijadikan ukuran inflasi dan deflasi, kenaikan dan penurunan harga.
Yang dipakai untuk menghitung angka indeks ini adalah rumus Laspeyres:

Ace Partadiredja Halaman 18-2


Modul 18: Inflasi dan Deflasi

∑ .
= 100
∑ .

Dimana:
L = indeks Laspeyres
= harga barang atau jasa pada waktu pencatatan
= harga barang atau jasa pada tahun dasar
= jumlah barang atau jasa pada tahun dasar

Tahun dasar adalah tahun basis atau tahun permulaan; dalam hal ini yang
mula-mula dijadikan tahun dasar adalah 1957/1958. Pada tahun 1978 yang
dijadikan tahun dasar adalah 1966. Tahun dasar ini selalu diberi nilai 100.
Saat-saat berikutnya mungkin bernilai lebih dari 100 kalau terjadi kenaikan
harga, mungkin kurang dari 100 kalau terjadi penurunan harga. Pemilihan
tahun dasar ini hams disertai alasan-alasan tertentu yang kuat. Tentu saja-
lah sifatnya akan subyektif, yang pada akhirnya persetujuan bersamalah
yang menentukan.
Umpamakan harga beras pada tahun dasar adalah Rp 100,00/kg,
sedangjumlah yang dibeli per bulan rata-rata per keluarga adalah 50 kg
beredar survey 1957/1958. Sedang harga pada tahun pencatatan (misalnya
1960) adalah Rp 150,00/kg. Maka indeks harga adalah

150 50
= 100 = 150
100 50

Berarti sejak tahun dasar harga beras telah naik 50%. Dapat juga inflasi dan
deflasi ini dihitung untuk tahun-tahun lain. Dalam Indikator Ekonomi
terbitan EPS, angka indeks umum tahun 1966 adalah 1788 dan tahun 1977
adalah 1985. Antara tahun 1966 dan 1977 telah terjadi kenaikan harga
sebanyak:

1984 − 1788
100% = 11,04%
1778

Sesudah 20 tahun angka indeks seperti di atas itu dianggap usang,


bahkan sudah lama sekali dianggap usang. Tata politik dan tata ekonomi
sudah berubah, susunan barang dan jasa yang dikonsumsi juga berubah,
sedang penduduk Indonesia yang menderita inflasi dan deflasi juga tidak
hanya buruh pabrik. Karena banyaknya kekurangan-kekurangan survey
1957/1958 maka EPS mengadakan Survey Anggaran Rumah Tangga pada
tahun 1969. Akhirnya survey ini akan menghasilkan Angka Indeks Harga
Konsumen (Consumers Price Index, CPI). Jumlah sample 8000 keluarga,
dari berbagai golongan berpendapatan rendah dan sedang. Barang dan jasa
yang dilaporkan meliputi 100 jenis:

Makanan 41 jenis
Perumahan 16 jenis

Ace Partadiredja Halaman 18-3


Modul 18: Inflasi dan Deflasi

Pakaian 20 jenis
Lain-lain 23 jenis

Rumus yang dipakai untuk perhitungan selanjutnya adalah: Laspeyres


yang dimodifikasi:

∑ . .
= 100
∑ .

di mana adalah harga pada saat pencatatan sebelumnya. Angka


Indeks Harga Konsu-men ini sampai sekarang belum dipublikasi, yang
dipakai masih yang lama, 62 jenis barang dan jasa yang dinamai Angka
Indeks Biaya Hidup (Cost of Living Index).
Sebenarnya untuk mengukur laju inflasi Angka Indeks Biaya Hidup
ini tidak selalu memadai. Untuk bahan penyusunan kebijaksanaan upah
dan gaji pegawai pemerintah ataupun swasta angka indeks ini bermanfaat.
Tapi bagi perusahaan bangunan, konsultan proyek, dan lembaga dunia
yang mengurusi pembangunan tidak begitu bermanfaat karena Angka
Indeks Biaya Hidup ini hanya memperlihatkan perubahan harga barang-
barang konsumsi, sedang harga bahan bangunan, bahan mentah untuk
industri, dan harga barang-barang perdagangan tidak tercermin.
Untunglah bahwa di Indonesia ini sekarang sudah tersedia:
1. Angka indeks harga 9 bahan pokok di Jakarta dan beberapa kota lain.
Sembilan bahan pokok ini meliputi: beras, ikan asin, minyak goreng,
gula pasir, garam bataan, minyak tanah, sabun cuci B29, tekstil, dan
batik. Perubahan harga 9 bahan pokok ini dicatat setiap minggu. Tahun
dasarnya adalah 4 Oktober 1966 yang sama dengan 100.
2. Angka Indeks harga 12 macam bahan makanan di pasar pedesaan di
Jawa dan Madura, yang meliputi: beras, jagung pocelan (pipilan),
kacang kedele, kacang tanah, ketela pohon, ketela rambat, kelapa tua
belum dikupas, minyak kelapa, garam bataan, telur ayam mentah,
daging kerbau, dan ikan asin teri. Di sini rumus yang dipakai adalah:

Dimana, = timbangan pada tahun dasar.


= harga pada waktu pencatatan, dan
= harga pada tahun dasar.

3. Angka indeks 9 bahan pokok di pasar pedesaan Jawa, Madura, dan


luar Jawa. Sama dengan nomer 1, tetapi dikumpulkan dari pasar
pedesaan.
4. Angka indeks harga perdagangan besar sektor-sektor pertanian,
pertambangan dan penggalian, industri, barang-barang impor, bahan
ekspor, dan bahan bangunan/konstruksi.

Ace Partadiredja Halaman 18-4


Modul 18: Inflasi dan Deflasi

Itu semua dapat dijadikan pengukur inflasi dan deflasi menurut


keperluannya sendiri-sendiri. Meskipun sudah ada beberapa angka indeks,
tapi dibandingkan dengan anjuran badan-badan dunia seperti IL,O masih
banyak peluang untuk memperbaiki, baik dalam mutu untuk masing-
masing indeks maupun untuk macam-macam indeks yang belum dibuat.
Semua perbaikan memerlukan biaya, orang, kecakapan dan pengetahuan,
sedang yang memanfaatkannya baru sedikit. Kita sebagai siswa ekonomi
harus mulai mengenalnya lewat publikasi-publikasi EPS seperti Indikator
Ekonomi yang diterbitkan setiap bulan.

SEBAB-SEBAB INFLASI

Nampaknya apabila dibandingkan antara inflasi dan deflasi maka


inflasi mempunyai pengaruh yang mendalam pada masyarakat apakah
pengaruh itu baik ataupun buruk. Deflasi akan menguntungkan pegawai
dan karyawan yang berpenghasilan tetap, tapi merugikan perusahaan-
perusahaan. Inflasi akan menguntungkan pengusaha dan pedagang tapi
merugikan pegawai yang berpenghasilan tetap. Umumnya inflasi yang
lunak, kurang dari 5 % setahun dianggap sehat untuk perkembangan
ekonomi. Tapi inflasi yang cepat, 5 % atau lebih, apalagi hiperinflasi, atau
inflasi yang meroket (sky rocketing inflation) dirasa merusakkan
masyarakat. Berdasar laju kecepatannya orang membagi inflasi ke dalam:
inflasi lunak (mild inflation), inflasi cepat (galloping inflation), inflasi
meroket (sky rocketing inflation) atau hiperinflasi (hyperinflation).
Pembatasan masing-masing inflasi itu tidak jelas.
Karena inflasi yang cepat itu merusak maka pemerintah berusaha
untuk membendungnya atau mempengaruhi sebab-sebab inflasi. Untuk itu
diselidikilah apa sebab ada inflasi. Ada dua sebab utama: karena kenaikan
permintaan di atas kemampuan berproduksi, atau inflasi karena tarikan
permintaan (demand pull inflation) dan karena kenaikan biaya produksi,
terutama biaya upah, atau inflasi karena dorongan biaya (cost push
inflation). Kita bahas keduanya.
Pada masa-masa perluasan atau konjungtur naik, permintaan orang-
orang akan barang-barang dan jasa-jasa naik, harga-harga akan naik.
Sebagai reaksinya produksi juga naik. Namun kenaikan produksi ini ada
batasnya. Kalau semua orang sudah terkerjakan penuh dan semua alat-alat
produksi sudah terpakai penuh (24 jam sehari dengan 3 giliran kerja), maka
produksi sudah mencapai maximum, perekonomian sudah mencapai
pengerjaan penuh (full employment). Setiap kenaikan permintaan hanya
akan menaikkan harga, jumlah barang dan jasa tidak akan bertambah. Siapa
yang berani membeli dengan harga tinggi itulah yang akan kebagian,
lainnya harus puas dengan jumlah barang dan jasa yang lebih sedikit.
Makin bertambah permintaan makin tinggi harga seperti akan terlihat pada
indeks biaya hidup atau indeks harga konsumen. Apabila inflasi jenis ini
yang berkembang maka pemerintah berusaha membendungnya dengan

Ace Partadiredja Halaman 18-5


Modul 18: Inflasi dan Deflasi

mengendorkan pengeluaran pemerintah, G; membendung pengeluaran


konsumsi, C; dengan menaikkan pajak agar daya beli konsumen
berkurang; dan juga menarik pajak perusahaan untuk mengurangi
investasi, I. Jadi pokoknya kenaikan komponen C, I, G ditahan pada
tingkat produksi pada pengerjaan penuh.

Secara matematik inflasi jenis ini dapat dilukiskan sebagai:

M = 1 . PY

di mana M adalah jumlah uang beredar, 1 adalah kebalikan dari


kecepatan peredaran uang, P adalah tingkat harga umum, dan Y
adalah Produk Domestik Bruto. Kalau Y sudah tetap pada tingkat
pengerjaan penuh dari semua faktor produksi, sehingga produksi
tidak dapat bertambah lagi, dan 1 juga sudah tetap karena kebiasaan,
maka pertambahan M yang berarti pertambahan uang, hanya akan
berakibat kenaikan harga saja. Karena itu pengawasan M adalah salah
satu kebijaksanaan yang dapat ditempuh. Pengketatan M yang paling
mudah adalah lewat G.
Di negara-negara industri inflasi semacam ini pernah terjadi. Di
Indonesia pengerjaan penuh semua sumber dan faktor produksi belum
pernah terjadi. Atau sekurang-kurangnya kapasitas penuh faktor
produksi itu, terutama tenaga manusia, belum pernah diketahui.
Inflasi jenis kedua bersumber pada kenaikan biaya produksi
terutama upah dan gaji. Di negara-negara yang mempunyai serikat-
serikat buruh yang kuat, serikat buruh ini sering menuntut kenaikan
upah dan gaji dengan sanksi mogok kerja. Untuk memecahkannya
pimpinan perusahaan mengadakan tawar-menawar dengan pimpinan
serikat buruh. Proses tawar menawar inilah yang dinamai tawar-
menawar kolektif (collective bargaining). Apabila hasilnya berupa
kenaikan upah, maka biaya produksi akan naik, perusahaan akan rugi
atau sekurang-kurangnya keuntungan berkurang. Seringkali pengusaha
dapat menggeser beban ini kepada konsumen dengan menaikkan harga
barang yang dibuatnya. Kalau barang yang dibuatnya ini merupakan
bahan bagi industri lain, misalnya baja, semen, dan bensin, maka harga
barang-barang lain juga cenderung untuk naik. Terjadilah kenaikan
harga umum. Sesudah mengalami kenaikan harga semua barang-
barang, maka daya beli karyawan menurun. Sesudah beberapa lama
serikat buruh akan menuntut kenaikan upah lagi dan demikian
seterusnya tuntutan kenaikan upah berkejar-kejaran dengan kenaikan
harga. Proses ini kita saksikan juga di Indonesia meskipun serikat
buruh tidak boleh mogok. Pada tahun-tahun tertentu ada kenaikan gaji
secara massal, tapi sebelum gaji dinaikkan harga-harga sudah
mendahului naik, sehingga daya beli pegawai sebenarnya tetap atau
merosot. Inflasi semacam ini dinamai inflasi yang didorong biaya (cost
push inflation).

Ace Partadiredja Halaman 18-6


Modul 18: Inflasi dan Deflasi

Membendung inflasi jenis kedua ini sulit, karena untuk


mengendalikannya harus ada pengangguran. Kalau ada pengangguran
pimpinan serikat buruh tidak berani memaksakan tuntutannya. Dalam
hal pengangguran tidak banyak salah satu cara yang dapat dipakai
adalah mengekang serikat-serikat buruh agar tidak mogok karena
menuntut kenaikan upah, melalui undang-undang atau dekrit. Atau yang
lebih drastis lagi adalah mencegah kenaikan harga dengan kekerasan atau
dengan ransum (rationing); tapi kesannya terhadap masyarakat juga
buruk.
Indonesia juga mengalami inflasi, tapi tidak selalu jelas dapat
diidentifikasikan dengan salah satu dari kedua sumber tersebut di atas.
Sebagai negara kecil (dalam arti PNB) yang sedang berkembang
perdagangan luar negeri Indonesia besar peranannya atas perekonomian.
Karena itu apa yang terjadi di luar Indonesia, termasuk inflasi, selalu ada
pengaruhnya atas perekonomian Indonesia. Amerika Serikat, Jepang,
Singapura, Hongkong, dan Eropa Barat kawan Indonesia dalam
berdagang juga mengalami inflasi. Jadi inflasi yang ada di Indonesia
sebagian berasal dari luar negeri (impor). Sehubungan dengan ini
perubahan kurs uang asing terhadap rupiah juga dapat mengakibatkan
kenaikan harga secara langsung atau tidak langsung. Perubahan kurs
dollar dari Rp 415,00 jadi Rp 625,00 akan membuat barang-barang impor,
barang-barang buatan dalam negeri yang menggunakan bahan impor,
dan barang-barang yang dirakit menjadi mahal. Pada zaman sekarang ini
tidak ada satu sektor perekonomian pun yang terpisah dari sektor lain.
Pembuat barang-barang dalam negeri juga merasakan bahwa barang-
barang yang dia beli itu naik harganya. Untuk mempertahankan daya
belinya ia pun cenderung untuk menaikkan harga barang-barang yang
dibuatnya meskipun tidak ada hubungannya dengan impor. Demikianlah
secara tidak langsung harga barang-barang lain juga naik.
Inflasi dapat juga bersumber pada keadaan psikologi sekelompok
orang-orang. Perubahan-perubahan seperti itu jelas dapat kita saksikan di
pasar bursa saham dan obligasi (stock exchange) di Amerika Serikat, Eropa
Barat dan Jepang. Perubahan politik, keberhasilan atau kegagalan seorang
kepala pemerintahan dapat menurunkan atau menaikkan nilai saham.
Kalau orang-orang menduga keadaan akan memburuk maka harga saham
akan turun, meskipun ternyata bahwa keadaan tidak memburuk. Sedikit
banyak para pedagang saham di pasar bursa itu harus juga mengerti soal-
soal politik dan perekonomian luar negeri. Keadaan psikologi seperti ini di
Indonesia pun ada. Kalau diduga pemerintah akan merubah kebijaksanaan
sedemikian rupa sehingga barang-barang akan langka, maka harga
cenderung untuk naik, dan demikian sebaliknya.

INFLASI DAN PENGANGGURAN

Di negara-negara yang sudah maju industrinya dan menganut sistem


pasar bebas, inflasi dan pengangguran merupakan dua hantu yang

Ace Partadiredja Halaman 18-7


Modul 18: Inflasi dan Deflasi

menakutkan. Keduanya seringkali tidak dapat didamaikan.


Mempertahankan pengerjaan penuh (full employment) dan mendorong
pertumbuhan ekonomi menghendaki kebijaksanaan yang sampai suatu
tingkat tertentu, menimbulkan inflasi. Sebabnya mudah saja. Pembangunan
memerlukan investasi. Pengeluaran pemerintah untuk menaikkan investasi
akan menaikkan permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa. Kenaikan
permintaan akan mendorong harga-harga untuk naik. Pe-ngangguranlah
yang dapat sedikit memperlunak kenaikan harga-harga. Jadi untuk
meringankan inflasi harus ada sedikit pengangguran. Jadi harus memilih
antara inflasi dengan pengangguran. Dengan kata lain ada tukar-tukaran
(trade-off) antara inflasi dengan pengangguran. Pengangguran dapat
dikurangi hingga mendekati pengerjaan penuh, tapi inflasi tinggi;
sebaliknya inflasi dapat ditekan serendah-rendahnya tapi pengangguran
tinggi. Peristiwa seperti ini dialami di negara-negara pasar bebas yang
sudah maju. Seorang ahli ekonomi Inggris bernama A.W. Phillips telah
mempelajarinya, dan melukiskan tukar-tukaran ini seperti pada gambar
berikut.

Garis mendatar mengukur pengangguran dalara persentase dari

Ace Partadiredja Halaman 18-8


Modul 18: Inflasi dan Deflasi

seluruh angkatan kerja; sedang garis tegak lurus memperlihatkan


persentase kenaikan dan penurunan harga-harga umum. Dengan
berkurangnya pengangguran dan perekonomian sedang dalam proses
mendekati pengerjaan penuh, maka persentase inflasi menjadi makin
tinggi. Demikian juga sebaliknya inflasi dapat ditekan rendah, tapi
persentase pengangguran akan menjadi tinggi. Kurva ini dinamai kurva
Phillips, sesuai dengan nama penciptanya.
Perkembangan perekonomian di negara-negara industri maju
sekarang ini mempunyai dimensi baru yang sering membingungkan. Kalau
dahulu ada pilihan antara inflasi dengan pengerjaan penuh sekarang
pilihan ini sudah hampir tidak ada. Kalau dulu pemerintah dapat
mempertahankan pertumbuhan ekonomi meskipun dengan mengorbankan
stabilisasi harga, atau dapat mempertahankan stabilisasi harga meskipun
dengan menderita pengangguran, maka sekarang dua hantu itu,
pengangguran dan kemandegan ekonomi, hadir sekaligus pada waktu
yang bersamaan; perekonomian mengalami stagnasi (kemandegan) dan
inflasi meraja lela, seperti di Amerika Serikat sekarang. Keadaan ini
dinamai stagflasi, stagnasi dan inflasi. Masalahnya menjadi lebih ruwet.
Pemerintah berganti-ganti dengan program yang lain-lain baik baru
maupun lama, tapi masalah ini masih juga belum dapat dipecahkan.
Cobalah kita renungkan. Negara-negara yang mengalami stagflasi
itu adalah negara-negara maju. Taraf hidup orang-orangnya sudah tinggi,
lebih tinggi daripada taraf hidup orang Indonesia. Namun demikian
mereka masih juga menginginkan taraf hidup yang lebih tinggi lagi. Inilah
yang pernah kita bahas pada bab-bab pertama buku ini bahwa keinginan
manusia itu sebenarnya tidak ada batasnya dan tidak terkenyangkan.
Apakah keadaan stagflasi itu sebenar-benarnya masalah? Mungkin jua
tidak. Hanya saja manusia itu suka mencari-cari, masalahpun dapat dicari-
cari, yang sebenarnya bukan masalah dapat dijadikan masalah, meskipun
dibuat-buat.
Apakah sebabnya sebagian dari inflasi di Indonesia ini adalah impor
dari luar negeri? Yang mengalami inflasi ini ternyata tidak hanya negara
yang sedang berkembang saja, tapi juga negara-negara yang sudah maju
industrinya, tidak hanya negara yang menganut sistem pasar bebas saja,
tapi juga negara-negara yang menganut sistem sosialis/komunis meskipun
terbatas pada beberapa barang yang tidak dikontrol pemerintah. Pada
tahun 50-an negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation
and Development) yang meliputi Eropa Barat, Kanada, Amerika Serikat,
Jepang, Australia, dan Turki, mengalami inflasi tidak lebih dari 2 hingga
3% setahun. Pada pertengahan pertama tahun 60-an hingga 1968 masih di
bawah 4%. Pada tahun 1970 5,5%, 1971 6,25%. Yang paling parah di seluruh
dunia akhir-akhir ini adalah Argentina, sampai mencapai 170%. Orang-
orang di sana sudah terbiasa dengan laju inflasi yang cepat, dan dapat pula
menyesuaikan pensiun, gaji dan upah dengan tingkat harga yang baru
setiap saat. Brazilia berhasil menahan sampai di bawah 20% per tahun.
Tapi Philipina malah lebih buruk daripada Brazilia, hingga dikatakan

Ace Partadiredja Halaman 18-9


Modul 18: Inflasi dan Deflasi

bahwa Pilipina ini telah menggantikan Indonesia, sebagai negara dengan


perekonomian yang sakit-sakitan di Asia Tenggara. India, negara terbesar
di Asia sesudah Tiongkok, sedang berjuang dengan inflasi setinggi 7%,
Nigeria, negara terbesar di Afrika dari segi banyaknya penduduk, hanya
berhasil menekan inflasi hingga sedikit di atas 10% per tahun, setelah
mengalami 13—14% pada tahun 1970 dan 71. Di negara-negara
sosialis/komunis harga-harga dan upah dikontrol ketat oleh negara. Harga
barang-barang dan jasa-jasa tidak ada hubungannya dengan biaya
produksi, demikian pula antara harga eceran dan grossier. Tapi ada
beberapa inflasi yang tersembunyi. Di Uni Soviet kenaikan harga-harga
nampak pada sektor swasta kecil: pasar mobil bekas, rumah-rumah di luar
kota, dan koleksi perseorangan seperti lukisan-lukisan. Mobil bekas sering
dijual lebih mahal ketimbang mobil baru. Harga rumah selama 5 tahun
terakhir naik sebanyak 25 % atau lebih.
Inflasi mempunyai pengaruh yang besar atas harga tanah dan harta
benda seperti yang kita alami di Indonesia ini. Orang-orang yang punya
uang lebih membelikannya pada tanah atau rumah karena harganya naik
terus. Kalau sudah ada pasar modal, harga saham juga naik terus.
Perbandingan antara harga bahan makanan dan barang industri sering
tidak seimbang, harga barang-barang industri naik lebih cepat daripada
harga bahan makanan atau hasil pertanian. Negara-negara pengekspor
bahan makan menderita rugi. Karena itu semua negara berusaha untuk
membendung inflasi ini dengan berbagai cara, mulai dari anjuran untuk
mengekang diri secara sukarela hingga campur tangan langsung dan keras
dari pemerintah atas upah, penetapan harga, dan keuntungan perusahaan.
Nampaknya inflasi ini merupakan penyakit menular dan tidak ada
satu negarapun yang mampu menyembuhkan atau mampu mengasingkan
diri dari negara lain. Kecenderungan terhadap liberalisasi perniagaan
internasional, penurunan tariff dan pembentukan blok-blok perdagangan
bebas regional menjadikan orang-orang terbiasa membeli barang-barang
buatan luar negeri, dan para industrialis memasang alat-alat buatan luar
negeri juga. Pembeli dan pengusaha sekarang ini berbelanja keliling dunia
untuk mencari barang termurah dan terbaik; spesialisasi terjadi di seluruh
dunia; dan perusahaan-perusahaan multi nasional lebih menguasai
ekonomi daripada pemerintah sendiri. Kebebasan berpindah bagi barang-
barang, orang dan modal berarti bahwa pemerintah mempunyai kebebasan
yang lebih kecil untuk menguasai perekonomiannya sendiri, dan tak ada
atau hampir tak ada negara yang mampu mempertahankan politik autarki.
Tak ada satupun negara yang mengasingkan diri dari keadaan dunia tanpa
merusak susunan kerja sama ekonomi internasional. Sekarang ini
swasembada (self-sufficiency) dan taraf hidup yang tinggi tidak dapat
berjalan seiring. Karena itu tindakan bersama dan serempak amat
diperlukan untuk membendung inflasi.

Ace Partadiredja Halaman 18-10


Modul 18: Inflasi dan Deflasi

LATIHAN

1. Deflasi akan menguntungkan pegawai yang berpenghasilan tetap tapi


merugikan perusahaan, inflasi akan menguntungkan perusahaan dan
pedagang, tapi merugikan pegawai yang berpenghasilan tetap. Benarkah
demikian?
2. Bahaslah kedua sumber pokok inflasi. Apakah inflasi di Indonesia dapat
diidentifikasikan dengan kedua sumber itu?
3. Bagaimana mengukur inflasi di Indonesia? Diskusikanlah kelemahan-
kelemahannya!
4. Kebijakan ekonomi apakah yang dapat ditempuh pemerintah untuk
membendung inflasi?
5. Apa sebabnya inflasi dianggap sebagai penyakit menular di dunia?
6. Tindakan bersama semua negara di seluruh dunia diperlukan untuk
mengurangi inflasi! Setujukah saudara? Sebab?

Ace Partadiredja Halaman 18-11

Anda mungkin juga menyukai