Anda di halaman 1dari 141

Mekanika Kuantum (draft)

I Wayan Sudiarta, Ph.D

Program Studi Fisika


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Mataram

1 October, 2012
ii
Daftar Isi

Kata Pengantar iii

1 Pendahuluan 1

2 Mekanika Klasik 5
2.1 Koordinat Umum atau Generalized Coordinates . . . . . 5
2.2 Mekanika Lagrange . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
2.3 Mekanika Hamilton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.4 Transformasi Kanonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.4.1 Poisson Brackets . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13

3 Fenomena-Fenomena Kuantum 15
3.1 Radiasi Benda Hitam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
3.1.1 Radiasi Rongga dengan Teori Klasik . . . . . . . . 19
3.1.2 Radiasi Rongga dengan Teori Kuantum . . . . . . 22
3.2 Efek Fotolistrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
3.3 Efek Compton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27
3.4 Spectrum Hidrogen Atom . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31
3.5 Hipotesis de Broglie . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32

4 Keadaan Sistem 35
4.1 Observables . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36

5 Persamaan Schrödinger 47
5.1 Fungsi Gelombang dengan Momentum Tertentu . . . . . 47
5.2 Persamaan Schrödinger . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 50
5.3 Sifat-Sifat Fungsi Solusi Persamaan Schrödinger . . . . 53
5.4 Konservasi Probabilitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 53
5.5 Teorema Ehrenfest . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 56
5.6 Persamaan Schrödinger Tidak Bergantung Waktu . . . . 58

6 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi 63


6.1 Partikel Bebas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 63
6.2 Potensial Tangga . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 65
6.3 Potensial Penghalang Persegi . . . . . . . . . . . . . . . . 69
6.4 Sumur Potensial Persegi Tak Berhingga . . . . . . . . . . 74
6.5 Sumur Potensial Persegi Berhingga . . . . . . . . . . . . 78
ii Daftar Isi

7 Osilator Harmonik 83
7.1 Osilator Harmonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 83
7.2 Metode Aljabar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 85
7.3 Metode Analitik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90

8 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum 95


8.1 Bra-Ket . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 95
8.2 Amplitudo Probabilitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 99
8.3 Fungsi Gelombang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 99
8.4 Representasi Operator dengan Matriks . . . . . . . . . . 100
8.5 Sifat-sifat Matriks dan Definisi . . . . . . . . . . . . . . . 102
8.6 Contoh Harmonik Osilator . . . . . . . . . . . . . . . . . . 104

9 Momentum Angular 107

10 Rigid Rotator 109

11 Partikel pada Sumur Potensial Kotak 3D 111

12 Atom dengan Satu Elektron 115

13 Teori Perturbasi 121


13.1 Kasus Non-degenerate . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 121
13.2 Kasus Degenerate . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 124

14 Perturbasi tergantung waktu 127


14.1 Sistem Dua Tingkat Energi . . . . . . . . . . . . . . . . . 129
14.2 Perturbasi Harmonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 129
14.3 Aplikasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 129

15 Partikel Identik 131


15.1 Prinsip Larangan Pauli . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 132
15.2 statistik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 132

Daftar Pustaka 133


Kata Pengantar

Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas probabilitas pe-
nyelesaian buku ini yang cukup besar dalam waktu yang cukup sing-
kat.
Buku ini masih dalam tahap penyusunan dan belum mencapai ting-
kat kesempurnaan yang diinginkan penulis. Walaupun demikian, bu-
ku ini tetap berguna untuk mempermudah pemahaman tentang me-
kanika kuantum.
Buku ini ditulis dalam jangka waktu yang singkat, sekitar satu se-
tengah bulan. Sudah pasti tidak semua hal dijelaskan secara detil.
Kekurangan penjelasan dan pembahasan hal-hal penting akan dileng-
kapi pada saat kuliah.
Buku mekanika kuantum ini hanya membahas teori kuantum yang
tidak relativistik.
Teori kuantum bukanlah sebuah teori yang mudah dicerna atau di-
pahami. Dari semua teori yang ada, teori kuantum selalu dianggap
paling sulit. Ada beberapa faktor yang selalu menjadi penghambat
dalam pemahaman yaitu (1) Konsep-konsep yang ada di dalam teo-
ri kuantum tidak dapat atau tidak mempunyai analogi di fisika klasik
atau yang kita jumpai sehari-hari, terkadang konsep kuantum terlihat
aneh, ajaib dan tidak masuk akal. (2) Memerlukan pemahaman mate-
matika yang lebih banyak dari teori lain, (3) Buku-buku belum banyak
tersedia yang memberi penjelasan tentang konsep-konsep dasar teori
kuantum.
Dalam mempelajari ilmu fisika, kita perlu selalu mengingatkan diri
kita bahwa teori fisika seperti teori kuantum tidaklah mudah dipelaja-
ri, sehingga memerlukan waktu yang lebih banyak untuk memahami
konsep-konsepnya. Oleh karen itu, penulis menyarankan agar setiap
bab tidak dibaca dengan cepat. Bacalah perlahan dan ingatkan bahwa
kita perlu memahami (bukan menghafalkan) dan jangan melompati
bab-bab awal sebelum memahami isinya. Di samping itu, latihan de-
ngan mencoba banyak soal-soal perlu dilakukan untuk memperkuat
pemahaman konsep.
Sebuah pernyataan yant perlu diingat yaitu:
”One doesn’t understand the physics unless one can solve problems”
dan juga,
”Just solving problems, without the capacity to lucidly discuss tho-
se problems and the attendant concepts and ideas, may also indicate
insufficient understanding”
”Quantum mechanics [is] that mysterious, confusing discipline, whi-
iv Daftar Isi

ch none of us really understands but which we know how to use. It


works perfectly, as far as we can tell, indescribing physical reality, but
it is a ”counter-intuitive discipline,” as the social scientists would say.
Quantum mechanics is not a theory, but rather a framework within
which we believe any correct theory must fit.” (Murray Gell-Mann, in
Mulvey(1981))
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua mahasiswa yang mem-
bantu menyempurnakan buku ini dan memaklumi bahwa kesempur-
naan bisa diperoleh jika kesalahan sudah dilakukan.
Terima kasih.
Penulis
Pendahuluan
1
Pada abad ke 17, fenomena-fenomena perambatan cahaya dapat di-
jelaskan oleh dua teori: (a) teori gelombang yang dikemukakan oleh
Christian Huygens menyatakan bahwa cahaya merupakan gelombang
dan (b) teori corpuscle di mana cahaya terdiri dari partikel-partikel
atau corpuscle yang dikembangkan oleh Sir Isaac Newton. Dua teo-
ri ini dapat menjelaskan fenomena perambatan cahaya yang seperti
perambatan garis lurus dan pemantulan cahaya. Tetapi fenomena in-
terferensi dan difraksi tidak dapat dijelaskan oleh teori corpuscle dan
hanya bisa dijelaskan dengan teori gelombang. Pada interferensi ca-
haya, jika dua cahaya dipadukan akan menghasilkan fenomena gelap
dan terang. Perpaduan dua cahaya menghasilkan gelap (interferensi
pelemahan) tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep par-
tikel dan hanya bisa menggunakan konsep gelombang. Pada abad ke
19, Sir James Maxwell memperkuat konsep gelombang dengan mem-
buktikan bahwa cahaya merupakan gelombang elektromagnetik.
Walaupun demikian, konsep partikel tidaklah ditinggalkan, tetapi
muncul kembali dengan penemuan fenomena fotolistrik oleh Heinri-
ch Hertz yang hanya dapat dijelaskan jika cahaya terdiri dari paket-
paket atau kuanta atau partikel (disebut foton). Eksperimen yang di-
lakukan oleh Compton menunjukkan bahwa cahaya bersifat seperti
partikel (foton) ketika bertumbukan dengan sebuah elektron.
Dua contoh eksperimen, interferensi cahaya dan hamburan Comp-
ton membuktikan bahwa cahaya memiliki dua sifat atau dualitas: sifat
partikel dan sifat gelombang. Dengan mempertimbangkan sifat dua-
litas cahaya ini, kemudian de Broglie berhipotesis bahwa sifat duali-
tas tidak hanya dimiliki oleh cahaya, tetapi juga dimiliki oleh partikel
atau materi. Fenomena gelombang untuk elektron dapat ditunjukkan
dengan eksperimen difraksi elektron pada kristal (Davisson dan Ger-
mer).
Eksperimen yang lebih menarik dan mengundang banyak perta-
2 Pendahuluan

nyaan adalah eksperimen interferensi partikel (contohnya elektron)


yang melalui celah ganda. Pada eksperimen celah ganda ini, partikel
ditembakkan satu per satu ke arah celah ganda dan hasil interferen-
si dilihat pada layar (atau detektor). Contoh hasil pada layar untuk
penembakan elektron satu per satu yang dilakukan oleh Tanamura
diperlihatkan pada Gambar 1.1 (a). Jika jumlah elektron yang ditem-
bakkan masih sedikit, tidak terlihat adanya pola interferensi. Teta-
pi jika jumlah elektron pada layar sudah cukup banyak akan terli-
hat bahwa ada pola interferensi yang ditunjukkan dengan pola gelap-
terang. Perlu disebutkan lagi bahwa elektron di sini ditembakkan satu
per satu. Jadi tidak ada hubungan antara elektron satu dengan elek-
tron yang lainnya. Hal ini menunjukkan sesuatu yang menakjubkan
bahwa elektron berinterferensi dengan dirinya sendiri! atau dengan
kata lain elektron melalui dua celah sekaligus seperti pada interfe-
rensi gelombang cahaya. Eksperimen celah ganda ini mengkonfirmasi
bahwa partikel memiliki sifat gelombang dengan panjang gelombang-
nya. Eksperimen celah ganda dengan partikel yang lebih besar seperti
atom dan molekul juga menunjukkan pola interferensi [referensi].

Gambar 1.1: Hasil eksperimen celah ganda menggunakan elektron

Eksperimen celah ganda menunjukkan secara garis besar konsep


mekanika kuantum yang akan kita pelajari di dalam buku. Dengan
mekanika kuantum kita dapat menghitung probabilitas partikel me-
numbuk layar dengan akurat sehingga menghasilkan distribusi parti-
3

kel. Walaupun demikian, kita tidak bisa tahu pasti kapan elektron ak-
an menumbuk posisi tertentu pada layar. Atau dengan kata lain, elek-
tron menumbuk secara acak atau tidak dengan urutan tertentu. Inilah
konsep kuantum yang tidak mudah dicerna/dipahami oleh mahasiswa.
Eksperimen celah ganda ini menunjukkan hasilnya yang pasti tidak
bisa diprediksi, tetapi kita bisa menentukkan probabilitas-probabilitas
hasilnya atau kejadiannya. Konsep probabilitas sangatlah berbeda de-
ngan konsep kepastian yang telah diajarkan di mekanika klasik New-
ton.
Bagaimana jika kita amati partikel (di sini elektron) yang melalui
dua celah. Cara sederhana adalah dengan melakukan dua kali ekspe-
rimen, (1) menutup salah satu celah (kita label celah A) dan kemudian
melihat hasil pada layar, (2) menutup celah yang satu lagi (label celah
B) dan kemudian mengamati hasilnya. Jika memang partikel melalui
secara pasti salah satu celah maka pola diperolehnya merupakan pen-
jumlahan dua pola dari salah satu celah tertutup. Atau dengan kata
lain, umpama probabilitas hasil yang melalui celah A adalah PA dan
yang melalui celah B adalah PB , maka jika memang partikel melalui
hanya satu celah saja, maka probabilitasnya yaitu P = PA + PB . Tetapi
kenyataannya bahwa untuk eksperimen dengan dua celah yang terbu-
ka menghasilkan P 6= PA + PB . Jadi tidak merupakan penjumlahan
probabilitas.
Penjelasan mengenai terjadinya interferensi jika kita meninjau kon-
sep amplitudo probabilitas yang biasanya direpresentasikan dengan
bilangan kompleks. Probabilitas kejadian P dihitung dengan mengku-
adratkan nilai mutlak amplitudo probabilitas ψ atau

P = |ψ|2 (1.1)

Umpamanya kita mengetahui amplitodo probabilitas partikel me-


lalui celah A adalah ψA dan celah B adalah ψB . Jika kita lakukan
eksperimen dengan salah satu celah tertutup akan menghasilkan pola
pada layar dengan probabilitas,

PA = |ψA |2 dan PB = |ψB |2 (1.2)

Jika kita lakukan eksperimen dua celah terbuka, maka yang di-
hasilkan merupakan penjumlahan amplitudo probabilitas bukan pen-
jumlahan probabilitas.
4 Pendahuluan

P = |ψA + ψB |2 6= |ψA |2 + |ψB |2


6= PA + PB (1.3)
Mekanika Klasik
2
Pada bab ini kita akan mempelajari konsep-konsep mekanika klasik
yang berguna dalam memahami mekanika kuantum. Formulasi me-
kanika klasik dengan menggunakan konsep energi seperti fungsi La-
grange dan Hamilton digunakan sebagai langkah pertama untuk me-
mformulasikan mekanika kuantum.
Mempelajari mekanika klasik, biasanya diawali dengan belajar ti-
ga hukum Newton. Konsep yang terpenting dalam hukum Newton
adalah konsep gaya dan percepatan. Umpama ada beberapa gaya yang
bekerja pada sebuah benda, percepatan benda dapat diperoleh dengan
menentukan terlebih dahulu jumlah vektor dari gaya-gaya yang beker-
ja dan kemudian menggunakan hukum Newton. Dengan mengetahui
percepatan benda inilah kita mendapatkan persamaan gerak benda
tersebut.
Formulasi Newton untuk mekanika klasik dengan konsep gaya dan
percepatan tidaklah merupakan satu-satunya cara. Formulasi meka-
nika klasik dengan konsep energi, yang diperkenalkan oleh Lagrange
dan Hamilton, juga dapat digunakan. Pada banyak permasalahan,
menggunakan konsep energi jauh lebih mudah untuk mendapatkan
persamaan gerak benda dibandingkan dengan formulasi Newton.

2.1 Koordinat Umum atau Generalized Coordi-


nates
Hal-hal yang perlu diketahui untuk mendapatkan persamaan gerak
benda-benda dalam mekanika Newton adalah massa benda mi , posi-
si ri , kecepatan vi dan gaya-gaya yang bekerja pada benda. Hukum
kedua Newton menyatakan bahwa perubahan kecepatan benda-benda
yang dihasilkan berbanding lurus dengan jumlah gaya-gaya dan ber-
banding terbalik dengan massa benda.
6 Mekanika Klasik

Untuk N partikel yang non-relativistik dengan massa yang tetap


mi dengan indeks i = 1, · · · , N, menggunakan hukum kedua Newton
pada ruang tiga dimensi menghasilkan 3N persamaan gerak.

d 2 ri Fnet,i 1 X
= = Fk,i , (2.1)
dt2 mi mi k
Hukum kedua
Newton di mana Fnet,i adalah gaya total (atau netto) yang bekerja pada par-
tikel ke i. Kita perhatikan persamaan di atas adalah persamaan dife-
rensial orde dua.
Kita dapat mengubah persamaan gerak menggunakan kecepatan
benda vi = dri /dt, sehingga kita memperoleh persamaan diferensial
orde satu,

dri
= vi ,
dt
d2 vi Fnet,i
= , (2.2)
dt mi

Untuk sistem yang konservatif atau total energi mekanik konstan


(atau kekal), gaya F yang bekerja pada benda dapat diperoleh dari
sebuah potensial U(r) dengan menggunakan operasi gradien ∇ yaitu

∂U(r)
F = −∇U(r) = − (2.3)
∂r
Persamaan gerak sangat mudah dihasilkan menggunakan persa-
maan Newton untuk sistem yang tidak memiliki keterikatan atau ba-
tasan sebagai contoh gerak proyektil dan gerak atom-atom. Untuk
sistem dengan batasan tertentu, seperti gerak benda pada permukaan
melengkung atau pada tali yang tidak lurus, persamaan gerak benda
tidak mudah ditentukan dengan persamaan Newton.
Sebagai contoh sederhana, perhatikan sebuah benda diikat dengan
tali dan digantung membentuk sebuah bandul sederhana. Untuk mem-
permudah kita menganggap bahwa benda bergerak dalam ruang dua
dimensi. Untuk mendiskripsikan gerak bandul ini, dengan menggu-
nakan mekanika Newton, kita membutuhkan dua variabel (atau po-
sisi) yaitu (x, y) dan benda memiliki keterikatan atau batasan gerak
bahwa benda harus bergerak dalam sebuah lingkaran dengan jari-jari
L, atau panjang tali. Keterikatan atau ketidakbebasan ini mempunyai
persamaan yaitu x2 + y 2 = r 2 = L2 . Jika kita pertimbangkan untuk
Mekanika Lagrange 7

mengganti sistem koordinat dengan koordinat polar,(r, θ) maka persa-


maan batasan menjadi r = L, jadi pada contoh ini hanya satu variabel
yang diperlukan untuk mendiskripsikan gerak benda yaitu θ. Satu ko-
ordinat, θ, merupakan sebuah contoh koordinat umum di mana jumlah
koordinat umum (generalized coordinates) sama dengan jumlah dera-
jat kebebasan. Ingat bahwa jumlah derajat kebebasan sama dengan
F = 3N − K di mana N adalah jumlah partikel atau benda dan K
adalah jumlah persamaan keterikatan.
Umpama kita sudah memiliki koordinate umum (generalized coo-
rdinates), bagaimana menentukan persamaan geraknya? Ini mungkin
sulit ditentukan dengan menggunakan formulasi Newton. Caranya
adalah menggunakan metode Lagrange atau metode Hamilton.

2.2 Mekanika Lagrange


Umpama kita sudah memiliki koordinat umum qi yang jumlahnya sa-
ma dengan jumlah derajat kebebasan. Mekanika Lagrange menggu-
nakan sebuah fungsi L(q, q̇, t) dalam menentukan persamaan gerak (di
sini kita menggunakan notasi q = {q1 , q2 , . . . , qN }. Untuk sistem yang
konservatif, fungsi Lagrange atau Lagrangian, L adalah

L=T −V (2.4)
.
di mana T adalah energi kinetik dan V adalah energi potensial.
Dalam formulasi Lagrange, momentum umum didefinisikan dengan
∂L
pi = (2.5)
∂ q̇i
Kemudian persamaan gerak dapat diperoleh dengan menggunakan
persamaan Lagrange yaitu
∂L
ṗi = (2.6)
∂qi
atau
 
d ∂L ∂L
− =0 (2.7)
dt ∂ q̇i ∂qi
 
Perhatikan bahwa L merupakan fungsi q̇ dan terdapat bagian dtd ∂∂L
q̇i
yang menghasikan turunan kedua pada qi . Jadi persamaan Lagrange
8 Mekanika Klasik

merupakan persamaan diferensial orde dua.


Sebagai contoh, untuk gerak sebuah partikel pada ruang satu di-
mensi di dalam sebuah potensial V (x, t), fungsi Lagrange sistem ini
yaitu
1
L = T − V = mẋ2 − V (x, t) (2.8)
2
Prosedur untuk menuliskan fungsi Lagrange L adalah sebagai ber-
ikut,

1. Tentukan T dan V (mungkin lebih mudah dalam koordinat Kar-


tesius).

2. Tuliskan L = T − V .

3. Tulis kembali semua koordinat ke dalam koordinat umum qi dan


turunannya q̇i .

Sangat penting untuk menulis L dalam bentuk koordinat umum


dan kecepatan sebelum menentukan persamaan geraknya.
Untuk memahami prosedur, mari kita tentukan fungsi Lagrange
untuk sebuah benda diikat dengan tali membentuk bandul sederhana.

Gambar 2.1: Bandul sederhana.

Benda bergerak dalam ruang dua dimensi dengan posisi (x, y) pada
koordinat Kartesius. Energi kinetiknya merupakan sebuah fungsi dari
kecepatan (vx , vy ),
Mekanika Lagrange 9

1 1 1 1
T = mvx2 + mvy2 = mẋ2 + mẏ 2 (2.9)
2 2 2 2
Ingat bahwa vx = ẋ dan vy = ẏ.

V = mgy (2.10)
Sehingga,
1 1
L = T − V = mẋ2 + mẏ 2 − mgy (2.11)
2 2
Bentuk fungsi Lagrange ini belum sesuai karena (x, y) bukan koo-
rdinat umum. Jika kita perhatikan bahwa, hanya sudut dari bandul
itu yang berubah, maka kita dapat mengubah koordinat menjadi koo-
rdinat polar, di mana

x = L sin θ
y = −L cos θ (2.12)
Kita tentukan turunannya terlebih dahulu (dengan aturan rantai),

ẋ = Lθ̇ cos θ
ẏ = Lθ̇ sin θ (2.13)
Substitusi ke persamaan (2.11), fungsi Lagrange menjadi

1 1
L = mL2 θ̇2 cos2 θ + mL2 θ̇2 sin2 θ + mgL cos θ
2 2
1
= mL2 θ̇2 + mgL cos θ (2.14)
2
Persamaan gerak yang dihasilkan dengan substitusi fungsi Lagra-
nge ke persamaan Largrange adalah

∂L
= −mgL sin θ
∂θ
∂L
= mL2 θ̇
∂ θ̇ 
d ∂L
= mL2 θ̈
dt ∂ θ̇
mL2 θ̈ + mgL sin θ = 0 (2.15)
10 Mekanika Klasik

atau dapat disederhanakan menjadi,

g
θ̈ + sin θ = 0 (2.16)
L
Fungsi-fungsi Lagrange yang sering akan dijumpai di dalam buku
ini yaitu

1. Fungsi Langrange untuk sebuah partikel dengan massa m berge-


rak pada ruang tiga dimensi di dalam sebuah potensial V (x, y, z),

1
L = m(ẋ2 + ẋ2 + ẋ2 ) − V (x, y, z) (2.17)
2
2. Seperti di atas dalam bentuk koordinat bola,
1
L = m(ṙ 2 + r 2 θ̇2 + r 2 sin2 (θ)φ̇2 ) − V (r, θ, φ) (2.18)
2

3. Fungsi Lagrange untuk sebuah partikel bermuatan q berinterak-


si dengan medan elektromagnetik dengan potensial skalar φ dan
potensial vektor A.

1
L = m(ẋ2 + ẋ2 + ẋ2 ) − qV (x, y, z, t) + q ṙ · A(r, t) (2.19)
2
Momentum umum untuk kasus ini adalah

∂L
p= = mṙ + qA (2.20)
∂r
Perhatikan bahwa momentum umum belum tentu sama dengan
momentum linier.

2.3 Mekanika Hamilton


Mekanika Hamilton akan digunakan selanjutnya untuk mempelajari
mekanika kuantum yang sangat berhubungan erat dengan energi dari
suatu sistem. Dalam mekanika Hamilton menggunakan sebuah fung-
si Hamilton H(p, q, t) merupakan fungsi dari momentum umum p dan
koordinat umum q bukan q dan q̇.
Fungsi Hamilton didapatkan dengan persamaan,
Mekanika Hamilton 11

f
X
H= pi q̇i − L (2.21)
i=1

dengan pi = ∂L/∂ q̇i dan f adalah jumlah derajat kebebasan.


Persamaan gerak Hamilton yaitu

∂H ∂H
q̇i = ṗi = − (2.22)
∂pi ∂qi
Prosedur untuk menentukan fungsi Hamilton adalah sebagai beri-
kut:
1. Tuliskan H dengan persamaan (2.21). Jika sistem yang konserva-
tif dan nonrelativistik, fungsi Hamilton dapat diperoleh dengan
H =T +V (2.23)

2. Tulis kembali fungsi Hamilton dengan menggunakan momentum


umum dan koordinat umum.
Persamaan gerak Hamilton adalah
∂H
q̇i = (2.24)
∂pi
∂H
ṗi = − (2.25)
∂qi
Sebagai contoh, untuk gerak sebuah partikel pada ruang satu di-
mensi di dalam sebuah potensial V (x, t), fungsi Hamilton sistem ini
yaitu
1
L = mẋ2 − V (x, t) (2.26)
2
∂L p
px = = mẋ sehingga ẋ = (2.27)
∂ ẋ m
Setelah substitusi, diperoleh
1
H = T + V = mẋ2 − V (x, t)
2
p2x
= + V (x, t) (2.28)
2m
Fungsi Hamilton yang penting untuk mekanika kuantum yaitu
12 Mekanika Klasik

1. Sebuah partikel dalam ruang tiga dimensi,

1 2
H= p + V (x, y, z) (2.29)
2m

2. Dalam bentuk koordinat bola,

1 2 p2θ p2φ )
H= (pr + 2 + 2 2 + V (r, θ, φ) (2.30)
2m r r sin (θ)

3. sebuah partikel bermuatan q dalam medan EM,

1
H= [p − qA(r, t)]2 + qV (x, y, z, t) (2.31)
2m

2.4 Transformasi Kanonik


Sebelumnya kita pelajari bahwa kita membutuhkan momentum umum
(p) dan koordinat umum (q). Banyak pilihan momentum dan koordi-
nat (p, q) yang bisa digunakan. Penentuan koordinat dan momentum
yang mana sebaiknya digunakan tidak menjadi permasalahan. Tentu-
nya kita ingin menggunakan koordinat dan momentum yang memiliki
keistimewaan tersendiri, contohnya persamaan gerak yang diperoleh
lebih sederhana. Oleh karena itu kita perlu mentransformasikan (p, q)
ke momenta dan koordinat baru (P, Q) dengan struktur dinamika Ha-
milton yang sama. Koordinat transformasi ini disebut dengan tran-
sformasi kanonik.
Motivasi untuk melakukan transformasi koordinat adalah untuk
mengubah ke koordinat siklik. Variabel untuk koordinat siklik tidak
tertulis secara eksplisit dalam fungsi Hamilton. Jika fungsi Hamilton
tidak tergantung pada sebuah koordinat qs , maka persamaan Hamil-
ton mengimplikasikan momentum yang sesuai dengan qs adalah kon-
stan.

∂H
ṗs = − = 0 , jadi ps = kostan = αs (2.32)
∂qs
Koordinat yang seperti qs disebut koordinat siklik atau dapat dia-
baikan (ignorable).
Transformasi Kanonik 13

2.4.1 Poisson Brackets


Sebelumnya kita sudah memformulasikan dinamika yang disesuaik-
an dengana koordinat yang dipilih. Mungkin lebih baik jika formulasi
teori tanpa menentukan sistem koordinat. Formulasi yang tidak ter-
gantung pada sistem koordinat menggunakan Poisson bracket.
Poisson bracket untuk dua fungsi u dan v terhadap variabel kano-
nik (q, p) adalah
f  
X ∂u ∂v ∂u ∂u
[u, v]P = − (2.33)
s=1
∂qs ∂ps ∂ps ∂qs
sebagai contoh, jika v = qj atau v = pj , kita memperoleh,
∂u
[u, qj ]P = − (2.34)
∂pj
∂u
[u, pj ]P = (2.35)
∂qj
Poisson bracket yang penting adalah ketika mensubstitusi u = qi
dan u = pi , kita memperoleh

[qi , qi ]P = 0, [pi , pi ]P = 0, [qi , pi ]P = δij (2.36)


Poisson brackets dapat digunakan untuk menuliskan persamaan
gerak yang tidak tergantung koordinat untuk fungsi f ,
df ∂f
= + [f, H]P (2.37)
dt ∂t
Konsequensi dari ini adalah
dH ∂H
= (2.38)
dt ∂t
karena [H, H]P = 0
Kita juga memperoleh,

q̇i = [qi , H]P (2.39)


dan

ṗi = [pi , H]P (2.40)


Fenomena-Fenomena Kuantum
3
Sejak abad ke 19, banyak fenomena fisika yang tidak dapat dijelask-
an oleh teori fisika klasik (mekanika newton dan teori untuk gelom-
bang elektromagnetik). Teori fisika klasik terbentuk dari pengamatan-
pengamatan yang bersifat makroskopik. Fenomena-fenomena mikros-
kopik yang tidak bisa dijelaskan oleh fisika klasik antara lain:
1. Spektrum radiasi benda hitam.

2. Efek fotolistrik
3. Efek Compton

4. Spektrum garis atom hidrogen.


5. Eksperimen Frank-Hertz

6. Eksperimen Stern-Gerlach, Momentum Angular dan Spin


7. Eksperimen difraksi elektron
8. Interferensi celah ganda
Pada bab ini kita akan mempelajari beberapa fenomena fisika dan
konsep-konsep fisika kuantum yang dapat menjelaskan fenomena ter-
sebut. Terutama kita memulai mempelajari konsep kuantum dengan
mempertimbangkan radiasi benda hitam.

3.1 Radiasi Benda Hitam


Pada bagian ini kita akan membahas mengenai radiasi termal (panas)
yang dipancarkan oleh benda-benda. Radiasi termal adalah radiasi
yang dipancarkan oleh benda-benda yang dihasilkan oleh benda kare-
na benda itu mempunyai suhu. Semua benda memancarkan radiasi
16 Fenomena-Fenomena Kuantum

termal ke lingkungan dan menyerap radiasi dari lingkungan. Umpa-


manya untuk benda dengan suhu lebih tinggi dari lingkungan akan
memancarkan lebih banyak radiasi termal daripada menyerap energi
dari lingkungan. Sehingga lebih banyak energi yang keluar benda dan
suhu benda akan turun. Ketika kesetimbangan termal dicapai, radia-
si diemisikan dan diserap sama, suhu benda dan lingkuangan menjadi
sama.
Benda-benda dalam keadaan terkondensasi (seperti zat padat dan
zat cair) memancarkan spektrum radiasi yang kontinyu. Secara detail
dari spectrum radiasi hampir tidak tergantung pada jenis materi teta-
pi tergantung besar dari suhunya. Pada suhu biasa atau suhu kamar,
semua benda terlihat tidak dari cahaya yang dipancarkan melainkan
dari cahaya yang dipantulkan. Jika tidak ada cahaya maka benda ti-
dak akan terlihat. Benda-benda akan memancarkan cahaya sendiri
pada suhu yang sangat tinggi, suhu di atas beberapa ribu kelvin.
Bentuk yang detil dari spektrum dari radiasi termal yang diemisik-
an benda tergantung pada komposisi benda. Eksperimen menunjukk-
an bahwa ada sebuah tipe benda yang mempunyai bentuk karakter
yang universal. Tipe benda ini dinamakan benda hitam. Tipe benda
ini menyerap sempurna semua radiasi termal diterimanya. Ini arti-
nya benda tidak merefleksikan cahaya, seperti halnya benda hitam.
Terlihat hitam jika suhunya masih rendah dan belum memancarkan
cahaya dengan panjang gelombang yang bisa dilihat dan dengan inte-
sitas masih rendah. Ditemukan bahwa semua benda hitam pada suhu
yang sama memancarkan radiasi termal dengan spektrum yang sama.
Hal ini bisa dimengerti dari konsep termodinamika tentang tempera-
ture yang sama.
Untuk mempelajari radiasi benda hitam, kita menggunakan notasi
R untuk daya emisi total dari benda hitam. R merupakan fungsi dari
temperature dan frekuensi atau panjang gelombang. Pada tahun 1879,
J. Stefan menemukan rumus empiris untuk daya emisi total R yang
tergantung pada temperatur,

R(T ) = σT 4 (3.1)

di mana σ = 5, 67×10−8 W m−2 K −4 adalah konstanta Stefan-Boltzmann.


Kita beri notasi R(λ, T ) untuk spektrum daya dan R(λ, T )dλ meru-
pakan daya yang diemisikan per satuan luas untuk suhu absolut T dan
panjang gelombang antara λ dan λ + dλ.
Daya emisi total merupakan integral dari R(λ, T ) yaitu
Radiasi Benda Hitam 17

Gambar 3.1: Spektrum radiasi termal benda hitam.

Z ∞
R(T ) = R(λ, T )dλ (3.2)
0

Nilai panjang gelombang dengan daya emisi tertinggi (nilai mak-


simum pada spektrum radiasi termal) bergeser berbanding terbalik
dengan suhu. Pergeseran frekuensi ini dinamakan hukum pergeseran
Wien

1
λmax ∝ (3.3)
T
atau

λmax T = konstanta (3.4)


18 Fenomena-Fenomena Kuantum

dengan konstanta yang ditemukan (dinamakan konstanta Wien)


bernilai 2, 898 × 10−3 mK

Gambar 3.2: Sebuah rongga dengan sebuah lubang celah kecil.

Sebuah contoh benda hitam yang sangat penting untuk dipertim-


bangkan yaitu sebuah benda dengan rongga yang memiliki celah atau
lubang kecil (lihat Gambar 3.2). Cahaya yang masuk ke lubang kecil
ini akan dipantulkan dan diserap berkali-kali oleh dinding rongga dan
tidak ada atau sangat sedikit sekali cahaya yang keluar dari lubang
kecil itu. Jadi seluruh cahaya yang masuk ke lubang kecil itu diserap.
Jadi lubang itu terlihat gelap. Lubang ini bersifat sama dengan benda
hitam. Banyak benda hitam di dalam eksperimen dibuat seperti ini.
Jika rongga di panaskan pada suhu tertentu, dinding rongga akan
memancarkan radiasi dan memenuhi rongga. Sebagian dari radiasi
di dalam rongga dapat keluar dari rongga melalui lubang kecil dan
memancarkan radiasi termal. Karena lubang memiliki sifat benda
hitam, maka spektrum yang dikeluarkan melalui lubang merupakan
spektrum benda hitam. Karena radiasi dari lubang merupakan sebuah
sampel dari radiasi di dalam rongga, maka kita dapat menyimpulkan
radiasi dalam rongga juga merupakan radiasi benda hitam. Spektrum
radiasi rongga ini merupakan karakteristik spektrum untuk benda de-
ngan suhu tertentu. Ini berarti bahwa untuk mempelajari spektrum
radiasi benda hitam kita juga dapat mempelajari spektrum radiasi
Radiasi Benda Hitam 19

rongga dan distribusi spektrum lebih bagus dipelajari dengan kera-


patan energi ρ(λ, T ) pada rongga. Spektrum benda hitam ditemukan
sebanding dengan spektrum benda hitam,
4
ρ(λ, T ) = R( λ, T ) (3.5)
c
Radiasi di dalam sebuah rongga dengan dinding pada temperature
T mempunyai karateristik yang sama dengan radiasi yang pancarkan
oleh sebuah permukaan benda hitam. Lebih mudah melakukan eks-
perimen untuk menghasilkan spektrum benda hitam dengan menggu-
nakan rongga di dalam benda dipanaskan. Juga lebih mudah secara
teoritis mempelajari radiasi benda hitam dengan menganalisa radiasi
rongga, karena lebih mungkin memprediksi sifat radiasi rongga secara
umum.
Pada tahun 1893, W. Wien menunjukkan bahwa fungsi ρ(λ, T ) de-
ngan argumentasi termodinamika mempunyai bentuk,
1
ρ(λ, T ) = f (λT ) (3.6)
λ5

3.1.1 Radiasi Rongga dengan Teori Klasik


Lord Rayleigh dan J. Jeans mencoba menggunakan model sebagai beri-
kut. Pertimbangkan sebuah rongga (agar lebih mudah kita akan meng-
gunakan rongga berbentuk kubus dengan panjang sisi a) dengan din-
ding metalik dipanaskan pada suhu T , dinding memancarkan radiasi
gelombang elektromagnetik. Karena dinding berupa permukaan me-
talik, radiasi di dalam rongga akan membentuk gelombang berdiri de-
ngan simpulnya pada dinding rongga. Karena dua sisi dinding sejajar
dan sumbu-sumbu yang kita gunakan saling tegak lurus, maka tiga
komponen radiasi (sesuai dengan arah sumbu koordinat) tidak saling
mempengaruhi maka kita dapat menganalisa secara terpisah. Ini bia-
sanya dinamakan dengan metode pemisahan variabel.

Ex (x, t) = E0 sin(kx x) sin(2πνt) (3.7)

kx = 2π/λx (3.8)

λν = c (3.9)
Sesuai dengan syarat batas menghasilkan,
20 Fenomena-Fenomena Kuantum

2a/λ = nx , nx = 1, 2, 3, . . . (3.10)
atau

λx = 2a/nx , nx = 1, 2, 3, . . . (3.11)

Gambar 3.3: Sebuah rongga berbentuk kubus dengan panjang sisi-


sisinya adalah a.

Dengan cara yang sama untuk komponen dengan arah sumbu y dan
z,

Ey (y, t) = E0 sin(ky y) sin(2πνt) (3.12)

ky = 2π/λy (3.13)

λy = 2a/ny , ny = 1, 2, 3, . . . (3.14)

Ez (z, t) = E0 sin(kz z) sin(2πνt) (3.15)

kz = 2π/λz (3.16)

λz = 2a/nz , nz = 1, 2, 3, . . . (3.17)
Radiasi Benda Hitam 21

Bilangan gelombang, k,
q
2 2 2
πq 2
k = kx + ky + kz = nx + n2y + n2z (3.18)
a
atau
2a q 2
= nx + n2y + n2z (3.19)
λ
atau untuk frekuensi ν
c cq 2
ν= = nx + n2y + n2z (3.20)
λ 2a
Jumlah frekuensi yang diperbolehkan antara ν dan ν + dν adalah
sama dengan berapa banyak titik-titik latis antara r dan r + dr,

N(ν)dν = N(r)dr (3.21)

q 2a
r= n2x + n2y + n2z =
ν (3.22)
c
N(r)dr sama dengan volume dalam satu kulit dikalikan dengan ke-
rapatan titik-titik latis.
1 1
N(r)dr = 4πr 2 dr = πr 2 dr (3.23)
8 2
 3
π 2a
N(ν)dν = ν 2 dν (3.24)
2 c
Hasil ini kita kalikan dengan 2, karena setiap frekuensi terdapat
dua polarisasi, maka
 3
2a
N(ν)dν = π ν 2 dν (3.25)
c
Prediksi termodinamika klasik, dengan menggunakan prinsip eku-
ipartisi, setiap derajat kebebasan memiliki energi rata-rata sebesar
kT /2. Untuk kasus gelombang berdiri energinya sebesar dua kalinya,
maka

Ē = kT (3.26)
atau dengan anggapan bahwa energi bisa bernilai berapa saja dari
0 sampai ∞
22 Fenomena-Fenomena Kuantum

R∞
ǫ exp −βǫdǫ 1
Ē = R0 ∞ = = kT (3.27)
0
exp −βǫdǫ β
Kerapatan energi per satuan volume untuk frekuensi antara ν dan
ν +dν adalah energi rata-rata tiap gelombang berdiri dikalikan dengan
jumlah gelombang berdiri dibagi dengan volume a3 ,
8πkT 2
ρ(ν, T )dν = ν dν (3.28)
c3
ingat
ν = c/λ |dν| = c/λ2 dλ (3.29)
atau
8πkT
ρ(λ, T )dλ = dλ (3.30)
λ4
Inilah rumus Rayleigh-Jeans untuk radiasi benda hitam.
Tetapi jika kita integralkan untuk mendapatkan total energi,
Z ∞
ρ(T ) = ρ(λ, T )dλ = ∞ (3.31)
0
yang bernilai tak hingga, ini karena jika λ → 0, ρ(λ, T ) → ∞. Ini
dinamakan katastrofi ultraviolet.

3.1.2 Radiasi Rongga dengan Teori Kuantum


Untuk mengatasi permasalahan pada teori Rayleigh-Jeans, Planck pa-
da tahun 1900 mempostulatkan bahwa energi osilator dengan frekuen-
si ν tidak dapat bernilai sembarangan antara 0 dan tak-hingga mela-
inkan bernilai diskrit, nǫ0 , di mana n adalah bilangan bulat positif.
Jadi energi rata-rata osilator menjadi,

P∞
n=0 nǫ0 exp(−βnǫ0 )
Ē = P ∞ (3.32)
n=0 exp(−βnǫ0 )
" ∞ #
d X
=− ln exp(−βnǫ0 ) (3.33)
dβ n=0
  
d 1
=− ln (3.34)
dβ 1 − exp(−βǫ0 )
ǫ0
= (3.35)
exp(βǫ0 ) − 1
Radiasi Benda Hitam 23

Gambar 3.4: Perbandingan antara teori Planck dan Rayleigh-Jeans


dengan eksperimen pada suhu 1600 K. (ref?)

sehingga diperoleh,

8π ǫ0
ρ(λ, T ) = 4
(3.36)
λ exp(ǫ0 /kT ) − 1
Agar sesuai dengan hukum Wien, ǫ0 harus berbanding lurus dengan
frekuensi, ν.
hc
ǫ0 = hν = (3.37)
λ

8π hc/λ
ρ(λ, T ) = (3.38)
λ4 exp(hc/λkT ) − 1

8πhc 1
ρ(λ, T ) = 5
(3.39)
λ exp(hc/λkT ) − 1
Dengan melakukan pendekatan dengan deret Taylor, dapat dibuk-
tikan bahwa untuk nilai panjang gelombang yang besar,

8πkT
ρ(λ, T ) → (3.40)
λ4
Untuk panjang gelombang yang pendek λ → 0, ρ → 0 karena ada-
nya faktor penyebut exp(hc/λkT ) − 1.
24 Fenomena-Fenomena Kuantum

Secara fisis artinya sebagai berikut. Untuk panjang gelombang


yang panjang, energi ǫ0 = hc/λ jauh lebih kecil dari kT atau efek disk-
rit dari energi bisa dianggap kontinyu. Sedangkan untuk panjang ge-
lombang pendek, atau energi ǫ0 = hc/λ sebanding dengan kT sehingga
efek diskrit dari energi tidak bisa diabaikan atau dianggap kontinyu.
Dari spektrum Planck dapat diturunkan bahwa panjang gelombang
dengan nilai spektrum maksimum adalah

hc
λmax T = (3.41)
4, 965k
Kerapatan energi total,

8π 5 k 4
ρT ot = aT 4 a= (3.42)
15h3 c3
konstanta Stefan-Boltzmann,

2π 5 k 4
σ= (3.43)
15h3 c2
Catatan tentang konstanta Planck, h. Mempunyai satuan J.s. Di-
mensi untuk konstanta Planck adalah [energi][waktu] atau [panjang][momentum].
Dimensi ini dinamakan [aksi] atau [action]. Konstanta Planck dikenal
dengan fundamental quantum action.

3.2 Efek Fotolistrik


Pada tahun 1886 dan 1887, Heinrich Hertz melakukan eksperimen
tentang gelombang EM. Hertz menemukan bahwa discharge elektron
antara dua plat elektroda lebih mudah terjadi ketika sinar ultraviolet
mengenai permukaan salah satu elektroda. Lenard mengikuti eks-
perimen Hallwachs menunjukkan bahwa elektron keluar dari katoda
ketika disinari dengan sinar UV. Fenomena ini disebut dengan efek
fotolistrik.
Ilustrasi alat yang digunakan dalam eksperimen fotolistrik diperli-
hatkan pada Gambar 3.5 dan 3.6. Cahaya ultraviolet disinarkan pada
plat katoda (C) dan elektron keluar dari plat yang kemudian meng-
enai plat anoda (A) sehingga menghasilkan arus I pada rangkaian.
Arus yang dihasilkan diukur dan pengaruh potensial (V) dipelajari.
Hasil eksperimen fotolistrik menunjukkan hubungan antara tegangan
V dan I pada Gambar 3.7. Ketika V bernilai positif, elektron ditarik
Efek Fotolistrik 25

Gambar 3.5: Efek fotolistrik.

Gambar 3.6: Efek fotolistrik.

menuju anoda. Ketika tegangan V dinaikkan, arus I meningkat sam-


pai nilai saturasi pada tenggangan yang cukup besar. Jika tegangan
bernilai negatif, arus I tetap bisa teramati. Pada tegangan −V0 dite-
mukan arus menjadi nol yang mengindikasikan bahwa tidak ada lagi
elektron yang diemisikan. Dari hasil ini diperoleh bahwa nilai maksi-
mum kinetik energi adalah
26 Fenomena-Fenomena Kuantum

Kmax = eV0 (3.44)


Di samping itu, arus I diamati oleh Lenard sebanding dengan inten-
sitas cahaya ultraviolet yang digunakan. Einstein pada tahun 1905 da-
pat menjelaskan fenomena fotolistrik dengan mempostulatkan bahwa
cahaya tidak berupa gelombang tetapi berupa partikel ”foton” dengan
energi diskrit yang tergantung pada frekuensi cahaya sesuai yang di-
temukan oleh Planck.

E = hν (3.45)
Karena energi pada foton selurunya ditransfer ke elektron, maka
kinetik energi elektron ketika keluar dari plat logam adalah

K = hν − W (3.46)
dengan W adalah fungsi kerja dari plat logam.

Gambar 3.7: Efek fotolistrik.

Untuk nilai maksimum kinetik energi menjadi

Kmax = eV0 = hν − W0 (3.47)


dan dihasilkan
h W0
V0 = ν− (3.48)
e e
Dengan mengukur tegangan ”stopping” dan frekuensi cahaya dapat
diperoleh koefisien h/e. Hubungan ini dikonfirmasi oleh eksperimen
yang dilakukan oleh R.A. Millikan pada tahun (1914-1916). Hasil eks-
perimen itu diperlihatkan pada Gambar 3.8. Persamaan linier pada
grafik V0 vs ν, konstanta h/e bisa didapatkan. Karena muatan elektron
sudah diketahui maka nilai konstanta Planck h dapat ditentukan.
Efek Compton 27

Gambar 3.8: Efek fotolistrik.

3.3 Efek Compton


Sebelumnya, Planck menyatakan bahwa energi radiasi tidak bernilai
sembarangan atau kontinyu, melainkan dalam bentuk diskrit. Einste-
in dalam menjelaskan efek fotolistrik menggunakan cahaya merupak-
an kumpulan foton yang memiliki energi tertentu, E = hν. Jadi cahaya
dapat berprilaku seperti partikel. Konfirmasi bahwa cahaya berupa
partikel ditunjukkan oleh eksperimen yang dilakukan oleh Compton
pada tahun 1923. Pada eksperimen Compton, seberkas cahaya sinar-x
dengan panjang gelombang tertentu disinarkan/ditembakkan pada se-
buah target grafit dan kemudian intensitas sinar-x yang dihamburk-
an diukur sebagai fungsi panjang gelombang. Walaupun sinar-x yang
digunakan memiliki satu panjang gelombang, hamburan sinar-x mem-
punyai intensitas dengan puncak pada dua panjang gelombang, satu
panjang gelombang yang sama dengan sinar-x yang digunakan dan
satu lagi memiliki panjang gelombang yang lebih besar dari digunak-
an dengan pergeseran panjang gelombang (∆λ). Adanya puncak yang
berbeda tidak dapat dijelaskan menggunakan sifat radiasi yang beru-
pa gelombang elektromagnetik. Ini karena, jika elektron dipengaruhi
oleh gelombang elektromagnetik, elektron akan berosilasi dan meman-
carkan gelombang dengan frakuensi atau panjang gelombang yang sa-
ma. Compton dan juga Debye dapat menjelaskan pergeseran intensi-
tas hamburan sinar-x ini jika cahaya bersifat seperti partikel. Dalam
hal ini terjadi proses tumbukan antara foton dengan energi hν dan
elektron bebas.
28 Fenomena-Fenomena Kuantum

Gambar 3.9: Efek Compton.

Gambar 3.10: Efek Compton.

Mari kita bahas mengenai proses tumbukan antara foton dan elek-
tron bebas yang dalam keadaan diam.
Radiasi dari sinar-x memiliki energi sebesar (sesuai dengan yang
dikemukakan Planck)

E = hν (3.49)

Energi relativistik total untuk benda bermassa adalah


Efek Compton 29

p
E = m0 c2 / 1 − v 2 /c2 (3.50)
Kita ketahui bahwa kecepatan cahaya adalah c dengan energi hν,
dan massa diam untuk foton adalah nol. Jadi foton dapat dipertim-
bangkan sebagai partikel dengan massa diam nol dan semua energi-
nya adalah energi kinetik.
Momentum foton dapat diturunkan dari persamaan umum untuk
energi dan momentum relativitas,

E 2 = c2 p2 + (m0 c2 )2 (3.51)
Karena massa diam foton adalah nol, maka

E = pc p (3.52)
atau

p = E/c = hν/c = h/λ (3.53)


Untuk menganalisa tumbukan, kita menggunakan hukum keke-
kalan energi dan kekekalan momentum. Momentum foton pada awal
dan akhir tumbukan adalah p0 dan p1 , dan momentum elektron pa-
da akhir tumbukan adalah p. Sketsa proses tumbukan diperlihatkan
pada Gambar 3.10.
Dari hukum kekekalan momentum, diperoleh dua persamaan (un-
tuk dua arah, sumbu x dan y)

p0 = p1 cos(θ) + p cos(φ) atau p0 − p1 cos(θ) + p cos(φ) (3.54)

dan

p1 sin(θ) = p sin(φ) (3.55)


Kuadrat kedua sisi persamaan di atas, dihasilkan,

(p0 − p1 cos(θ))2 = p2 cos2 (φ) (3.56)


dan

p21 sin2 (θ) = p2 sin2 (φ) (3.57)


Setelah persamaan di atas dijabarkan dan kemudian dijumlahkan,
diperoleh
p20 + p21 − 2p0 p1 cos(θ) = p2 (3.58)
30 Fenomena-Fenomena Kuantum

Dari hukum kekekalan energi kita mendapatkan persamaan

E02 + m0 c2 = E1 + K + m0 c2 (3.59)
atau

E0 − E1 = K (3.60)
Menggunakan hubungan energi dan momentum untuk foton,

c(p0 − p1 ) = K (3.61)
Menggunakan persamaan (3.51) untuk K + m0 c2 ,

(K + m0 c2 )2 = c2 p2 + (m0 c2 )2 (3.62)
setelah penjabaran, diperoleh

K 2 + 2Km0 c2 = c2 p2 (3.63)
Substitusi nilai K dari persamaan (3.61) dan p2 dari persamaan
(3.58),

(p0 − p1 )2 + 2m0 c(p0 − p1 ) = p20 + p21 − 2p0 p1 cos(θ) (3.64)


Setelah manipulasi,

m0 c(p0 − p1 ) = p0 p1 (1 − cos(theta)) (3.65)


atau
1 1 1
− = (1 − cos(θ)) (3.66)
p1 p0 m0 c
Menggunakan momentum foton, p = h/λ, dihasilkan pergeseran
panjang gelombang,
h
∆λ = λ1 − λ0 = (1 − cos(theta)) (3.67)
m0 c
h
∆λ = λ1 − λ0 = 2 sin2 (θ/2) (3.68)
m0 c
Nilai konstanta pengali pada sisi kanan persamaan di atas dina-
makan panjang gelombang Compton,

λC = h/m0 c = 2, 43 × 10−12 m = 0, 0243Å (3.69)


Spectrum Hidrogen Atom 31

Kita perhatikan persamaan di atas, pergeseran Compton tidak ter-


gantung pada panjang gelombang tetapi pada sudut hamburan elek-
tron. Perhatikan hasil yang diperoleh Compton, semakin besar sudut
hamburan, semakin besar pergeserannya.

Gambar 3.11: Efek Compton.

Dengan menggunakan software pengolahan citra untuk mengukur


pergeseran Compton pada Gambar 3.11. Hasil pengukuran tersebut
ditampilkan pada Gambar 3.12.

3.4 Spectrum Hidrogen Atom


Spektrum cahaya yang dipancarkan oleh gas atom hidrogen menun-
jukkan spektrum yang diskrit atau garis-garis spektrum. Garis-garis
itu memiliki keteraturan, J Balmer menemukan bahwa garis-garis
spektrum (Hα , Hα , Hα , . . .) dapat diperoleh dengan persamaan

Cn2
λ= (3.70)
n2 − 4
di mana C = 3646Å.
32 Fenomena-Fenomena Kuantum

Gambar 3.12: Efek Compton.

Pada tahun 1889, J.R. Rydberg menemukan bahwa rumus yang le-
bih berguna yaitu
 
1 1 1
= RH 2
− 2 (3.71)
λ 2 n
dengan konstanta Rydberg, RH = 109677, 58 cm−1 .
Rumus yang lebih umum untuk semua jenis garis spektrum hidro-
gen adalah
 
1 1 1
= RH − (3.72)
λ n2a n2b
[Teori atom Bohr di sini. untuk sementara baca foto copian]

3.5 Hipotesis de Broglie


Maurice de Broglie asal Francis (fisika eksperimen), memberitahu sau-
daranya Louis de Broglie tentang fenomena cahaya yang bisa berprila-
ku seperti gelombang dan partikel. Louis de Broglie kemudian mengu-
sulkan bahwa sifat dualisme partikel-gelombang tidak hanya dimiliki
Hipotesis de Broglie 33

oleh cahaya tetapi juga materi. Hipotesis keberadaan gelombang ma-


teri dikemukakan de Broglie pada tesis doktoral di tahun 1924. Sifat
dualisme ini merupakan simetri dari alam.
Gelombang EM atau cahaya dengan frekuensi ν dan panjang ge-
lombang λ memiliki sifat partikel dengan energi:

E = hν (3.73)

dan momentum

p = h/λ (3.74)
Konsep partikel berhubungan dengan kuantitas energi dan momen-
tum, sedangkan konsep gelombang berhubungan dengan kuantitas pan-
jang gelombang dan frekuensi. Dari persamaan (3.74, materi juga
mempunyai sifat gelombang dengan panjang gelombang de Broglie:

λ = h/p (3.75)
Seperti halnya sifat gelombang, dua fenomena yang sering diamati
adalah difraksi dan interferensi. Eksperimen yang digunakan untuk
menunjukkan sifat gelombang materi adalah dengan melakukan eks-
perimen difraksi. Pada eksperimen Davidson dan Germer, elektron di-
tembakkan ke sebuah kristal dan kemudian pola difraksinya diukur.
Pada difraksi kristal, distribusi intensitas persamaan Bragg:

nλ = 2d sin(φ) (3.76)
Keadaan Sistem
4
Keadaan sistem kuantum dideskripsikan oleh fungsi gelombang atau
fungsi keadaan atau juga vektor keadaaan. Tiga sebutan ini akan
digunakan silih berganti yang disesuaikan dengan konteksnya tan-
pa menimbulkan ketidakmengertian. Sebagai contoh untuk sistem
yang terdiri dari satu partikel fungsi gelombangnya dinotasikan de-
ngan Ψ(r, t). Fungsi gelombang tergantung pada posisi r dan waktu
t. Semua informasi mengenai sistem diberikan oleh fungsi-gelombang.
Sifat-sifat fisis sistem dapat diperoleh dari fungsi gelombang.
Untuk menyederhanakan pembahasan, untuk beberapa bab awal
buku ini akan mengggunakan sistem satu partikel saja. Sistem de-
ngan partikel banyak akan dijelaskan kemudian. Jadi tanpa menye-
butkan kembali bahwa sistemnya adalah satu partikel saja, jika hanya
ada satu posisi saja r, maka sistem adalah sistem dengan satu partikel
saja.
Perubahan atau evolusi dari fungsi gelombang diberikan oleh per-
samaan gerak atau persamaan gelombang, untuk sistem yang tidak
relativistik diberikan oleh persamaan Schrödinger.
Fungsi gelombang dari suatu sistem berkaitan dengan probabilitas
menemukan partikel pada suatu daerah tertentu dengan hubungan,

P (r, t)d3 r = |Ψ(r, t)|2 d3 r (4.1)


Tentuknya probabilitas menemukan partikel memiliki kondisi nor-
malisasi yaitu
Z Z
3
P (r, t)d r = |Ψ(r, t)|2d3 r = 1 (4.2)
S S
Batas integrasi pada persamaan di atas disesuaikan dengan sis-
temnya, biasanya integrasi pada seluruh ruang (S). Pada kasus terten-
tu di mana partikel terkekang di dalam sebuah volume maka integrasi
dalam satu volume saja.
36 Keadaan Sistem

Dua konsep penting yang perlu diingat dalam mekanika kuantum


yaitu (1) Posisi partikel pada waktu tertentu tidak dapat ditentukan
secara pasti, yang bisa kita peroleh adalah probabilitas lokasi partikel.
Walaupun sistem berada pada keadaan tertentu, kita hanya tahu pro-
babilitasnnya saja. (2) Konsep probabilitas ada hubungannya dengan
konsep observables (apa yang bisa di observasi atau dilihat). Fung-
si gelombang Ψ(r, t) tidak dapat di observasi atau dilihat, walaupun
demikian fungsi gelombang memainkan peranan yang paling penting.
Perlu dimengerti bahwa fungsi gelombang memenuhi sifat superpo-
sisi, sedangkan probabilitas tidak memenuhi. fungsi gelombang dise-
but pula dengan amplitudo probabilitas. Sifat superposisi: Dua fungsi
gelombang dapat dijumlahkan menghasilkan fungsi gelombang baru.

Ψ(r, t) = ΨA (r, t) + ΨB (r, t) (4.3)


Sedangkan probabilitas tidak memenuhi sifat superposisi.

P (r, t) 6= PA (r, t) + PB (r, t) (4.4)


Fungsi gelombang memiliki fase tertentu, ada dua jenis keadaan:
pure state (keadaan murni) dan mixed state (keadaan campuran). [Je-
laskan lagi perbedaan keduanya]
Buku ini hanya membahas keadaaan murni atau pure state saja.
Keadaan campuran akan dibahas di buku statistika kuantum.

4.1 Observables
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa sifat-sifat fisis suatu sistem di-
peroleh dari fungsi gelombangnya. Bagaimana caranya? Sebelum
mengenal itu, kita perlu mengenal terlebih dahulu tentang pengerti-
an ”observables” apa yang bisa diamati atau dilihat. Sifat-sifat fisis
seperti posisi partikel, momentum, energi, momen dipol, yang dapat
diukur secara eksperimental adalah merupakan variabel-variabel ob-
servables. Kunci kata yang perlu diingat untuk observables adalah
sesuatu yang bisa diukur atau pengukuran atau yang bisa dilihat.
Dalam fisika klasik, sesuatu sudah bisa ditentukan, artinya me-
miliki nilai yang pasti dan ditentukan dengan melihat nilai variabel-
nya. Sedangkan pada teori kuantum, kita tidak bisa secara langsung
mengetahui sifat-sifat fisis, tetapi kita harus melakukan semacam pe-
ngukuran dengan menggunakan operator. Dengan kata lain suatu ob-
servable direpresentasikan oleh sebuah operator. Untuk mendapatkan
Observables 37

sifat fisis suatu sistem, kita harus mengoperasikan operator yang se-
suai pada fungsi gelombangnya.
Suatu operator jika dioperasikan pada sebuah fungsi gelombang
akan menghasilkan sebuah fungsi gelombang yang baru. Sebagai con-
toh sebuah operator Ω̂ (dinotasikan dengan tanda topi (hat)) untuk ope-
rator dari observable Ω dioperasikan pada fungsi gelombang Ψ(r, t) ak-
an menghasilkan sebuah fungsi gelombang, sebagai contohnya Φ(r, t),

Ω̂Ψ(r, t) = Φ(r, t) (4.5)

Perlu diingat notasi yang kita gunakan disini, variabel tanpa tanda
topi, Ω merupakan observable, sedangkan jika diberikan tanda topi
berarti sebuah operator, Ω̂.
Sekarang bagaimana menentukan suatu operator yang sesuai un-
tuk observable?
Tentunya sudah pasti operator tidak bisa diturunkan dari variable
dalam fisika klasik karena fisika klasik tidak kompatible dengan teori
kuantum. Tetapi ada teknik atau resep yang sudah terbukti sebagai
jembatan antara fisika klasik dan teori kuantum. Ditemukan bahwa
operator yang sesuai untuk posisi r̂ dan momentum p̂ adalah

r̂ = r (4.6)

p̂ = −i~∇. (4.7)

Perlu diingat bahwa i adalah bilangan imaginer i = −1 dan ~ =
h/(2π) di mana h adalah konstanta Planck. ∇ adalah operator gradien.
Penggunaan representasi dua operator ini disebut dengan representasi
koordinat. Cara lain adalah dengan representasi momentum di mana
p̂ = p dan r̂ = i~∇. Buku ini akan menggunakan hanya representasi
koordinat.
Operator dengan sendirinya tidak memiliki sifat apapun dan ha-
nya berguna ketika dioperasikan pada suatu fungsi gelombang. Ingat
bahwa operator r̂ merupakan operasi perkalian dengan r.

r̂ψ(r, t) = rψ(r, t) (4.8)

sedangkan untuk operator momentum,

p̂ψ(r, t) = −i~∇ψ(r, t) (4.9)


38 Keadaan Sistem

Secara umum operator untuk observable merupakan sebuah fung-


si dari operator r̂ dan p̂ atau operator dari fungsi F̂ dapat diperoleh
dengan,

F̂ = F (r̂, p̂) = F (r, −i~∇) (4.10)


Sebagai contoh untuk operator energi kinetik, di mana T = 1/2mv 2 =
2
p /(2m), maka dengan melakukan penggantian variabel p dengan ope-
rator p̂ diperoleh,

p̂.p̂ [−i~∇].[−i~∇] ~2 2
T̂ = = =− ∇ (4.11)
2m 2m 2m
Operator untuk energi sistem yang ditentukan oleh fungsi Hamil-
tonian H untuk sistem dengan potensial yang tidak tergantung pada
kecepatan partikel adalah

~2 2
Ĥ = T̂ + V̂ (r) = −
∇ + V (r) (4.12)
2m
Hubungan antara sifat observable dan fungsi gelombang diperoleh
dengan menghitung nilai ekspektasi/harapan yaitu
Z
hΩ̂i = ψ ∗ (r, t)Ω̂ψ(r, t)d3 r (4.13)

Persamaan ini menjadi dasar membandingkan prediksi dari ha-


sil mekanika kuantum dengan hasil eksperimen. Posisi atau urutan
operator pada persamaan di atas tidak boleh diubah, terkecuali pada
kasus tertentu yang memang bisa diubah. Karena hasil dari operasi
operator tergantung pada urutan operasinya. Sebagai contoh, untuk
operator momentum p̂ = −i~∇,

ψ ∗ (r, t)p̂ψ(r, t) 6= p̂ψ ∗ (r, t)ψ(r, t) (4.14)


Kita perhatikan nilai ekspektasi untuk operator posisi:

Z
hr̂i = ψ ∗ (r, t)rψ(r, t)d3r
Z
= r|ψ(r, t)|2 d3 r
Z
= rP (r, t)d3r (4.15)
Observables 39

Ini sesuai dengan rumus nilai rata-rata untuk distribusi P (r, t). Ni-
lai ekspektasi observable posisi r menghasilkan posisi rata-rata mene-
mukan partikel.
Observable seperti posisi, momentum, dan energi adalah bernilai
nyata, jadi nilai ekspektasi harus juga bernilai nyata untuk fungsi ge-
lombang manapun.

hΩ̂i = hΩ̂i∗
Z Z
ψ (r, t)Ω̂ψ(r, t)d r = ψ(r, t)[Ω̂ψ(r, t)]∗ d3 r
∗ 3

Z Z
ψ (r, t)Ω̂ψ(r, t)d r = [Ôψ(r, t)]∗ ψ(r, t)d3r
∗ 3
(4.16)

Ini menunjukkan bahwa sebuah operator tidak boleh berbentuk


apa saja tetapi harus memenuhi syarat di atas. Operator yang meme-
nuhi syarat di atas untuk semua fungsi gelombang disebut Hermitian
atau self-adjoint. Perlu ditekankan lagi bahwa setiap operator untuk
observable harus Hermitian.
Di samping Hermitian, operator observable juga harus linier,

Ω̂[c1 ψ1 (r, t) + c2 ψ2 (r, t)] = c1 Ω̂ψ1 (r, t) + c2 Ω̂ψ2 (r, t) (4.17)

Kondisi Hermitian juga berlaku untuk dua keadaaan atau fungsi


gelombang,

Z Z
∗ 3
φ (r, t)Ω̂ψ(r, t)d r = [Ω̂φ(r, t)]∗ ψ(r, t)d3r (4.18)

Kita perhatikan setiap pengukuran atau operasi operator mengha-


silkan nilai ekspektasi yang berbeda karena fungsi gelombang tergan-
tung pada waktu.
Apakah ada fungsi keadaan yang menghasilkan nilai pengukuran
yang selalu sama?
Untuk mengetahui ini, kita lihat dengan cara menentukan nilai
penyebaran nilai observable Ω, yang didefinisikan
40 Keadaan Sistem

Z
2
[∆Ω] = ψ ∗ (r, t)[Ω̂ − hΩ̂i]2 ψ ∗ (r, t)d3r
Z
= ψ ∗ (r, t)[Ω̂ − hΩ̂i][Ω̂ − hΩ̂i]ψ(r, t)d3 r
Z
= ([Ω̂ − hΩ̂i]ψ(r, t))∗ [Ω̂ − hΩ̂i]ψ(r, t)d3r
Z
= |[Ω̂ − hΩ̂i]ψ(r, t))|2d3 r (4.19)

Kita memperoleh hasil yang selalu sama artinya nilai penyebaran-


nya ∆Ω = 0 atau
Z
|[Ω̂ − hΩ̂i]ψ(r, t))|2 d3 r = 0 (4.20)

atau

[Ω̂ − hΩ̂i]ψ(r, t) = 0 (4.21)

Ω̂ψ(r, t)) = hΩ̂iψ(r, t) = ωψ(r, t) (4.22)


Ingat ω = hΩi adalah sebuah bilangan nyata.
Persamaan ini menunjukkan bahwa ada keadaan atau fungsi ge-
lombang yang jika dioperasikan dengan sebuah operator Ω̂ akan meng-
hasilkan fungsi gelombang yang sama yang dikalikan dengan sebuah
konstanta ω. Persamaan ini dinamakan persamaan eigen. Fungsi ge-
lombang yang memenuhi kondisi ini disebut dengan fungsi eigen atau
keadaan eigen dari operator Ω̂. Sedangkan nilai konstanta pengalinya
ω disebut dengan nilai eigen. Jadi jika sistem dalam keadaan atau de-
ngan fungsi gelombang yang merupakan fungsi eigen suatu operator
Ω̂, maka pengukuran observable Ω akan menghasilkan nilai eigen ω
dari operator tersebut.
Umpama kita sudah mengetahui solusi persamaan eigen, dan mem-
peroleh semua fungsi eigen {ψn } dan nilai eigen {ωn } untuk operator
Ω̂,

Ω̂ψn (r, t) = ωn ψn (r, t) (4.23)


di mana ωn dan ψn (r, t) adalah nilai dan fungsi eigen dari operator
Ω̂, n = 1, 2, 3, ... dan ωn 6= ωm untuk n 6= m. Artinya tidak ada nilai eigen
yang sama.
Observables 41


Jika kita kalikan persamaan (4.23) dengan ψm (r, t) dari sebelah
kanan dan integralkan, kita memperoleh
Z Z
∗ 3 ∗
ψm (r, t)Ω̂ψn (r, t)d r = ωn ψm (r, t)ψn (r, t)d3 r (4.24)

Jika kita kompleks konjugat kedua sisi dan kemudian menukar in-
deks n dan m, menghasilkan
Z Z
∗ 3 ∗
ψn (r, t)[Ω̂ψm (r, t)] d r = ωm ψm (r, t)ψn (r, t)d3 r (4.25)

Dari sifat operator Hermitian, diperoleh


Z Z
∗ 3 ∗
ψm (r, t)Ω̂ψn (r, t)d r = ωm ψm (r, t)ψn (r, t)d3 r (4.26)

Dari persamaan (4.24) dan (4.26) digabungkan menjadi,


Z Z
∗ 3 ∗
ωm ψm (r, t)ψn (r, t)d r = ωn ψm (r, t)ψn (r, t)d3 r (4.27)

atau
Z

(ωm − ωn ) ψm (r, t)ψn (r, t)d3 r = 0 (4.28)

Karena ωn 6= ωm , maka haruslah kita mempunyai,


Z

ψm (r, t)ψn (r, t)d3 r = 0 (4.29)

Kondisi ini disebut sifat orthogonalitas. Artinya fungsi ψm dan ψn


adalah orthogonal.
Z

ψm (r, t)ψn (r, t)d3 r = 0 jika ωm 6= ωn (4.30)

Sebagai analogi, kita dapat membayangkan sebagai operasi perka-


lian vektor ”dot” atau skalar. Jika dua vektor orthogonal atau tegak
lurus maka perkalian dot atau skalar sama dengan nol.
Jika kita pertimbangkan sebuah vektor pada ruang tiga dimensi,
kita mengetahui bahwa vektor apa saja bisa dibentuk kedalam pen-
jumlahan komponen vektor basis. Seperti contohnya a = ax i + ay j + az k
dibentuk dengan komponen vektor basis (i, j, k). Seperti halnya vektor,
fungsi gelombang apa saja juga dapat dibentuk dari kombinasi linier
semua fungsi basis dalam hal ini fungsi eigen,
42 Keadaan Sistem


X
φ(r, t) = cn ψn (r, t) (4.31)
n=1

di mana proyeksi φ(r, t) ke basis atau fungsi eigen,


Z
cn = φ∗ (r, t)ψn (r, t)d3 r (4.32)

Fungsi-fungsi eigen dari suatu operator dapat mempunyai nilai ei-


gen yang sama (atau yang disebut degenerate). Umpama dua fungsi
eigen yang memiliki nilai eigen yang sama (ω1 = ω2 = ω) yaitu ψ1 dan
ψ2 , maka kombinasi linier dari dua fungsi eigen ini φ = c1 ψ1 + c2 ψ2 juga
merupakan solusi persamaan eigen dengan nilai eigen yang sama ω.

Ω̂φ = c1 Ω̂ψ1 + c2 Ω̂ψ2 (4.33)

Ω̂φ = c1 ω1 ψ1 + c2 ω2 ψ2 (4.34)
karena ω1 = ω2 = ω atau degenerate maka

Ω̂φ = ω(c1 ψ1 + c2 ψ2 ) = ωφ (4.35)


Jadi terbukti bahwa kombinasi liniernya juga merupakan solusi
persamaan eigen.
Jika ada s banyaknya fungsi eigen yang independen linier yang me-
miliki nilai eigen yang sama, di sebut dengan degenerate s-lipatan.
Fungsi-fungsi eigen dinyataan independen linier maksudnya ada-
lah fungsi-fungsi eigen memenuhi persyaratan berikut ini.
s
X
cn ψn (r) = 0 untuk semua r (4.36)
n=1

dan solusinya hanya c1 = c2 = c3 = · · · = cs = 0.


Fungsi-fungsi eigen yang degenerate tidak harus ortogonal satu sa-
ma lain. Tetapi kita dapat membentuk fungsi-fungsi baru dari kombinasi-
kombinasi linier fungsi-fungsi eigen tersebut sehingga fungsinya men-
jadi ortogonal.
Di samping itu pula, fungsi eigen tidak harus ternormalisasi kare-
na perkalian konstanta sembarang pada fungsi eigen juga merupakan
solusi persamaan eigen. Jadi kita bisa memilih agar fungsi eigen yang
didapatkan sehingga ternormalisasi dan saling ortogonal satu sama
lain atau memenuhi kondisi berikut,
Observables 43

Z

ψm ψn d3 r = δmn (4.37)

di mana kita menggunakan kronecker delta yang didefinisikan se-


bagai,


1 if m = n,
δmn = (4.38)
0 if m 6= n

Fungsi gelombang yang memenuhi sifat ini disebut ortonormal.


Sifat penting dari sebuah operator Hermitian Ω̂ adalah semua fungsi-
fungsi eigen solusi dari persamaan eigen yang ortonormal membentuk
sebuah kumpulan/himpunan yang komplit/lengkap. Ini berarti bah-
wa fungsi gelombang apa saja bisa dibentuk dengan kombinasi linier
fungsi-fungsi eigen atau ekspansi ke fungsi basis.

X
φ(r, t) = cn ψn (r, t) (4.39)
n=1

Koefisien ekspansi diperoleh dari proyeksi φ(r, t) ke basis atau fung-


si eigen,

Z
cn = φ∗ (r, t)ψn (r, t)d3r (4.40)

Di sini kita berasumsi bahwa kumpulan/himpunan nilai eigen ωn


adalah diskrit.
Sekarang kita perhatikan penggunaan ekspansi ini untuk menda-
patkan nilai ekspektasi dari Ω dalam fungsi gelombang ψ(r, t),

Z
hΩ̂i = ψ ∗ Ω̂ψd3 r (4.41)

Ekspansi ψ dan ψ ∗ dengan persamaan (4.39), kita mendapatkan


44 Keadaan Sistem

Z "X # "
X
#
hΩ̂i = c∗m ψm

Ω̂ cn ψn d3 r
m=1 n=1
XX Z
= c∗m cn ∗
ψm Ω̂ψn d3 r
m=1 n=1
XX Z
= c∗m cn ωn ∗
ψm ψn d3 r
m=1 n=1
XX
= c∗m cn ωn δmn
m=1 n=1
X
= ωn |cn |2 (4.42)
n=1

Ingat di sini kita menggunakan Ω̂ψn = ωn ψn dan persamaan (4.37).


Sekarang kita ingin menginterpretasikan hasil yang kita peroleh.
Untuk itu kita menganggap untuk sementara bahwa sistem yang ki-
ta bahas adalah sistem yang non-degenerate yang artinya pengukuran
dari observable Ω dengan operator Ω̂ pada fungsi eigen ψn (r, t) meng-
hasilkan nilai ekspektasi ωn . Kita bisa interpretasikan persamaan di
atas bahwa

X
hΩ̂i = ωn P (ωn ) (4.43)
n=1

atau
Artinya pengukuran dari observable Ω pada sistem dengan ψ mem-
punyai probabilitas P (ωn ) = |cn |2 yang menghasilkan
P nilai ωn . Interp-
retasi ini sesuai dengan sifat probabilitas bahwa n=1 P (ωn ) = 1 yang
dapat dibuktikan dari sifat normalisasi fungsi ψ,

Z Z "X #"
X
#
ψ ∗ ψd3 r = c∗m ψm

cn ψn d3 r
m=1 n=1
XX Z
= c∗m cn ∗
ψm ψn d3 r
m=1 n=1
XX
= c∗m cn δmn
m=1 n=1
X
= |cn |2 = 1 (4.44)
n=1
Observables 45

Hasil ini menunjukkan sifat diskrit dari hasil pengukuran untuk


Ω. Pengukuran yang menghasilkan nilai selain ωn tidak pernah ter-
jadi. Kesimpulan ini merupakan akibat dari fungsi-fungsi eigen dari
observable membentuk himpunan yang komplit. Konsep diskrit ini ti-
dak ditemukan pada teori klasik yang selalu menghasilkan sifat yang
kontinyu. Inilah perbedaan mendasar dari teori kuantum dan klasik.
Seperti yang ditunjukkan dari spektrum atom hidrogen yang berupa
garis-garis spektrum.
Sebelumnya kita menganggap bahwa sistem adalah non-degenerate.
Sekarang kita ingin tahu bagaimana jika ada sejumlah s fungsi eigen
yang degenerate dengan nilai eigen ωk+1 = ωk+2 = · · · = ωk+s = ωd .
Probabilitas menemukan ωd dalam pengukuran untuk sistem dengan
fungsi gelombang ψ adalah jumlah dari semua probabilitas masing-
masing fungsi eigen degenerate,

k+s
X
P (ωd ) = |cn |2 (4.45)
n=k+1

Seandainya kita melakukan pengukuran pada sistem non-degenerate


dengan ψ(r, t) untuk observable Ω dan menemukan hasilnya adalah
ωm . Ini menunjukkan setelah dioperasikan dengan operator Ω̂ dipero-
leh fungsi gelombang,

Ω̂ψ(r, t) → ψm (r, t) (4.46)


Jika dilakukan pengukuran kedua langsung setelah pengukuran
pertama akan menghasilkan nilai yang sama ωm . Jadi dengan kata
lain, setelah pengukuran yang menghasilkan ωm , sistem berada pa-
da keadaan dengan fungsi gelombang ψm . Pengukuran di sini menye-
babkan ”collapse of wavefunction”, fungsi gelombang yang menyem-
pit. Artinya sebelum pengukuran, fungsi gelombangnya adalah psi,
tetapi setelah pengukuran fungsi gelombangnya psin . Fungsi gelom-
bang sistem mengalami perubahan drastis (diskrit) yang disebabkan
oleh pengukuran/pengamatan. Jika kita perihatikan bahwa fungsi ge-
lombang berevolusi (perubahan terhadap) secara kontinyu, tetapi me-
miliki perubahan yang diskontinyu jika pengukuran dilakukan. Kon-
sep ”collapse of wavefunction” karena pengukuran tidak bisa dijelask-
an dan dimengerti. Walaupun kita bisa membuat formulasi kuantum
yang dapat menjelaskan hasil eksperimen, tetapi kita tidak mampu
mengerti implikasi dari teori kuantum.
46 Keadaan Sistem

Jika sistem mempunyai fungsi eigen yang degenerate untuk ope-


rator Ω̂, maka fungsi gelombang yang dihasilkan untuk energi yang
degenerate pada pengukuran adalah
k+s
X
Ω̂ψ(r, t) → cn ψn (r, t) (4.47)
n=k+1
Persamaan Schrödinger
5
5.1 Fungsi Gelombang dengan Momentum Ter-
tentu
Sebelum mengkaji persamaan Schrödinger, mari kita meninjau terle-
bih dahulu sebuah fungsi gelombang untuk sebuah partikel dengan
momentum tertentu. Untuk itu kita menggunakan energi partikel
yang berkaitan dengan prinsip kuantisasi Planck yaitu

E = hν (5.1)
dan momentum partikel yang berhubungan dengan panjang gelom-
bang,

h
p= (5.2)
λ
Selain menggunakan frekuensi (ν) dan panjang gelombang (λ) un-
tuk menuliskan energi dan momentum, kita akan sering juga meng-
gunakan frekuensi sudut ω,

ω = 2πν (5.3)
dan bilangan gelombang k,


k= (5.4)
λ
dan
konstanta Planck yang terreduksi (~),

h
~= (5.5)

48 Persamaan Schrödinger

Dengan frekuensi sudut dan bilangan gelombang, energi dan mo-


mentum menjadi

E = ~ω dan p = ~k (5.6)
Sekarang kita pertimbangkan sebuah partikel bebas bergerak ke
arah sumbu x positif dengan momentum p = px x̂ di mana px > 0. Da-
lam buku ini kita menggunakan notasi vektor satuan untuk koordinat
kartesius, x̂, ŷ, dan ẑ.
Fungsi gelombang berjalan yang sesuai dengan pergerakan parti-
kel bebas ini adalah sebuah gelombang bidang yang diberikan oleh

Ψ(x, t) = A exp[i(kx x − ωt)] (5.7)


Menggunakan relasi kx = px /~ dan ω = E/hbar, gelombang bidang
menjadi

Ψ(x, t) = A exp[i(px x − Et)/~] (5.8)


Fungsi gelombang ini, kita akan gunakan untuk memformulasikan
persamaan Schrd̈inger. Agar lebih paham mari kita operasikan fung-
si ini dengan melakukan derivatif atau turunan terhadap posisi dan
waktu. Operasi derivatif (atau turunan parsial) terhadap x (∂/∂x) di-
peroleh
 
∂ ipx
Ψ(x, t) = A exp[i(px x − Et)/~] (5.9)
∂x ~
atau dengan mengembalikan fungsi gelombangnya, dihasilkan
 
∂ ipx
Ψ(x, t) = Ψ(x, t) (5.10)
∂x ~
Jadi, fungsi gelombang (Pers. (5.8) memenuhi persamaan diferen-
sial,

−i~ Ψ(x, t) = px Ψ(x, t) (5.11)
∂x

 
Ini menyatakan, operasi −i~ ∂x pada fungsi gelombang Ψ(x, t) meng-
hasilkan nilai momentum px dikali fungsi gelombangnya.
Selanjutnya, kita operasikan turunan parsial terhadap variabel t
pada Ψ atau ∂Ψ/∂t,
 
∂ iE
Ψ(x, t) = − A exp[i(px x − Et)/~] (5.12)
∂x ~
Fungsi Gelombang dengan Momentum Tertentu 49

atau
 
∂ iE
Ψ(x, t) = − Ψ(x, t) (5.13)
∂t ~

atau bisa dituliskan lebih berarti yaitu


i~ Ψ(x, t) = EΨ(x, t). (5.14)
∂t
 ∂
Ini menunjukkan bahwa operasi i~ ∂t pada fungsi gelombang Ψ(x, t)
menghasilkan nilai energi E dikali fungsi gelombangnya.
Persamaan (5.11) dan (5.14) merupakan persamaan eigen. Kita bi-


sa simpulkan
 ∂ dari persamaan (5.11) dan (5.14) bahwa operator −i~ ∂x
dan i~ ∂t menghasilkan nilai momentum dan energi. Sehingga kita
dapat mendefinisikan operator momentum dan energi:


pˆx = −i~ (5.15)
∂x
dan


Ê = i~ (5.16)
∂t
Fungsi gelombang bidang yang lebih umum untuk momentum p =
~k dengan arah yang sembarang dan energi E adalah

Ψ(x, t) = A exp[i(p · x − Et)/~] (5.17)

Seperti prosedur sebelumnya, kita mendapatkan operator momen-


tum yang lebih umum pada ruang tiga dimensi yaitu
 
∂ ∂ ∂
p̂ = −i~∇ = −i~ x̂ + ŷ + ẑ (5.18)
∂x ∂y ∂z

Operator momentum dan energi kita peroleh dengan memproses


fungsi gelombang bidang. Tentunya fungsi gelombang ini hanya sesuai
untuk partikel bebas. Untuk partikel dalam kondisi yang lebih umum,
postulat kuantum mekanik menyatakan bahwa operator yang sama
juga berlaku. Jadi dalam formulasi kuantum variabel dinamis p dan
E direpresentasikan dengan operator p̂ dan Ê (pers. (5.11) dan (5.14)).
50 Persamaan Schrödinger

5.2 Persamaan Schrödinger


Supaya kita memahami lebih jelas, mari kita tinjau terlebih dahulu
prosedur untuk mendapatkan persamaan Schrödinger untuk partikel
bebas pada ruang satu dimensi. Fungsi gelombang partikel bebas di-
berikan oleh persamaan (5.8). Energi partikel bebas dalam mekanika
klasik berkaitan dengan momentum sesuai dengan relasi,

p2x
E= (5.19)
2m
Jika kita kerjakan turunan parsial dua kali terhadap x pada fungsi
gelombang persamaan (5.8), kita memperoleh,

∂2
 2
p
2
Ψ(x, t) = − x2 Ψ(x, t) (5.20)
∂x ~
dan seperti sebelumnya turunan parsial terhadap t, kita menda-
patkan,
 
∂ iE
Ψ(x, t) = − Ψ(x, t) (5.21)
∂t ~
Menggunakan relasi E = p2x /2m, kita dapat menyatukan persama-
an (5.20) dan (5.21) dengan cara sebagai berikut.

ip2x
 

Ψ(x, t) = − Ψ(x, t) (5.22)
∂t 2m~
  2 
∂ i~ px
Ψ(x, t) = − 2 Ψ(x, t) (5.23)
∂t 2m ~
Substitusi dengan persamaan (5.20), kemudian dihasilkan persa-
maan akhir yaitu

i~ ∂ 2
 

Ψ(x, t) = Ψ(x, t) (5.24)
∂t 2m ∂x2
Untuk menyederhanakan persamaan ini, kita kalikan kedua sisi-
nya dengan i~ sehingga kita peroleh

∂ ~2 ∂ 2
i~ Ψ(x, t) = − Ψ(x, t) (5.25)
∂t 2m ∂x2
Persamaan Schrödinger 51

Mari kita kaji persamaan ini dengan memperhatikan definisi ope-


rator momentum pˆx dan operator energi Ê. Persamaan ini dapat di-
tulis kembali dengan menggunakan operator momentum dan energi
menjadi
1
ÊΨ(x, t) = [pˆx ]2 Ψ(x, t) (5.26)
2m
Generalisasi untuk ruang tiga dimensi dapat dilakukan dengan ca-
ra yang sama dan menggunakan hubungan energi dan momentum
(mekanika klasik),

p2
E= (5.27)
2m
dapat diperoleh persamaan gerak untuk partikel bebas yaitu
1 2
ÊΨ(r, t) = p̂ Ψ(r, t) (5.28)
2m
atau

∂ ~2 2
i~ Ψ(r, t) = − ∇ Ψ(r, t) (5.29)
∂t 2m
di mana Laplacian ∇2 ,
 2
∂2 ∂2

2 ∂
∇ = + + (5.30)
∂x2 ∂y 2 ∂z 2
Generalisasi untuk sebuah partikel yang berada pada sebuah po-
tensial V (r, t) didapat dari hubungan energi,

p2
E= + V (r, t) (5.31)
2m
dan melakukan penggantian variabel klasik dengan operator, kita
dapat tuliskan persamaan geraknya,
 2 

ÊΨ(r, t) = + V (r, t) Ψ(r, t) (5.32)
2m
atau

∂ ~2 2
i~ Ψ(r, t) = − ∇ Ψ(r, t) + V (r, t)Ψ(r, t) (5.33)
∂t 2m
Persamaan inilah yang dinamakan persamaan Schrödinger yang
bergantung waktu. Persamaan ini menentukan evolusi fungsi gelom-
bang.
52 Persamaan Schrödinger

Untuk formulasi yang lebih umum, kita perhatikan bahwa operator-


operator pada sisi kanan persamaan (5.32) adalah operator Hamilto-
nian,

~2 2
Ĥ = − ∇ + V (r, t) = T̂ + V̂ (5.34)
2m
Jadi persamaan Schödinger yang berlaku untuk semua keadaaan
adalah


i~ Ψ(r, t) = ĤΨ(r, t) (5.35)
∂t
Pada mekanika klasik, energi total dari suatu sistem yang dieksp-
resikan dalam bentuk variabel koordinat dan momentum disebut de-
ngan fungsi Hamiltonian dari sistemnya.

p2
E = H(r, p, t) = + V (r, t) (5.36)
2m
Dari fungsi Hamiltonian ini, operator Hamiltonian kuantum me-
kanik diperoleh dengan melakukan penggantian variabel momentum
dengan operator momentum, p → p̂ = −i~∇ atau

H = H(r, −i~∇, t) (5.37)


Kita bisa ringkas bahwa persamaan Schrödinger yan bergantung
waktu dapat diperoleh dengan penggantian variabel-variabel klasik
dengan operator-operator kuantum.


E → Ê = i (5.38)
∂t

p → p̂ = −i~∇ (5.39)
dan

r → r̂ = r (5.40)
Persamaan Schödinger di atas bersifat linier dan homogen. Persa-
maan Schrödinger hanya terdapat turunan order satu terhadap vari-
abel waktu. Sehingga evolusi dari fungsi gelombang dapat diketahui
jika fungsi gelombang pada waktu tertentu t0 sudah diketahui. Fung-
si gelombang untuk waktu yang lain diperoleh dengan menyelesaikan
persamaan Schödinger.
Sifat-Sifat Fungsi Solusi Persamaan Schrödinger 53

5.3 Sifat-Sifat Fungsi Solusi Persamaan Schrödi-


nger
Jika potensial V (r, t) bersifat kontinyu pada seluruh posisi di ruang
tiga dimensi atau untuk variabel x, y dan z, maka fungsi gelombang
yang merupakan solusi persamaan Schödinger, juga harus kontinyu.
Ini berarti Ψ(r, t), ∂Ψ(r, t)/∂t dan ∇Ψ(r, t) bersifat kontinyu untuk se-
mua variabel x, y dan z.
Jika potensial V (r, t) memiliki diskontinyuitas (jump) pada posisi
tertentu maka laplacian ∇2 Ψ juga akan memiliki diskontinyuitas. Su-
paya ∇2 Ψ tidak bernilai tak berhingga, maka ∇Ψ(r, t) harus bersifat
kontinyu untuk semua variabel x, y dan z. Jika ∇Ψ bersifat kontinyu,
maka ∂Ψ/∂t juga bersifat kontinyu.
Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa fungsi gelombang meru-
pakan probabilitas amplitudo dan dapat diperoleh probabilitas dengan,

P (r, t)d3 r = |Ψ(r, t)|2 d3 r (5.41)


dan memenuhi sifat probabilitas,
Z Z
P (r, t)d r = |Ψ(r, t)|2d3 r = 1
3
(5.42)

Ini menunjukkan bahwa tidak sembarang fungsi gelombang yang


menjadi solusi persamaan Schrödinger. Jadi fungsi gelombang harus
bersifat ”square integrable” atau kuadra fungsi gelombang mempunyai
integralnya.

5.4 Konservasi Probabilitas


Fungsi gelombang untuk partikel memiliki interpretasi bahwa proba-
bilitas menemukan partikel berada pada posisi tertentu adalah

P (r, t)d3r = |Ψ(r, t)|2 d3 r = Ψ∗ (r, t)Ψ(r, t)d3r (5.43)


Jika partikel berada pada seluruh ruang (V), probabilitas mene-
mukan partikel berada di dalam seluruh ruang adalah satu atau de-
ngan kata lain kita mempunyai kondisi normalisasi yaitu
Z
|Ψ(r, t)|2 d3 r = 1 (5.44)
V
54 Persamaan Schrödinger

Fungsi gelombang yang memenuhi integral di atas atau yang da-


pat dinormalisasi dikatakan ”square integrable”. Ada beberapa fungsi
yang tidak bisa dinormalisasi dengan cara ini. Sebagai contohnya ada-
lah fungsi gelombang bidang.
Sekarang bagaimana evolusi atau perubahan probabilitas mene-
mukan partikel terhadap waktu? Tentunya karena probabilitas total
keseluruhan adalah sama dengan satu maka perubahan probabilitas
totalnya harus sama dengan nol.

Z
|Ψ(r, t)|2 d3 r = 0 (5.45)
∂t V
Kita ingin menentukan apakah kondisi ini dipenuhi oleh persama-
an Schrödinger. Mari kita perhatikan total probabilitas pada ruang
yang lebih kecil dari V, anggap itu V ′

∂Ψ∗ 3
Z  
∂ ∗ ∂Ψ
Z
2 3
|Ψ(r, t)| d r = Ψ + d r (5.46)
∂t V ′ V′ ∂t ∂t
Menggunakan persamaan Schrödinger dan juga kompleks konju-
gatnya,

∂Ψ ~2 2
i~ =− ∇ Ψ + V (r, t)Ψ (5.47)
∂t 2m
∂Ψ∗ ~2 2 ∗
−i~ =− ∇ Ψ + V (r, t)Ψ∗ (5.48)
∂t 2m
Setelah substitusi ke persamaan (5.46), kita mendapatkan,
∂ i~
Z Z
3
P (r, t)d = [Ψ∗ (∇2 Ψ) − (∇2 Ψ∗ )Ψ]d3 r (5.49)
∂t V ′ 2m V ′
∂ i~
Z Z
3
P (r, t)d = ∇ · [Ψ∗ (∇Ψ) − (∇Ψ∗ )Ψ]d3 r (5.50)
∂t V ′ 2m V ′
Dengan mendefinisikan arus probabilitas,

j = [Ψ∗ (∇Ψ) − (∇Ψ∗ )Ψ] (5.51)


Kita dapat menyederhanakan persamaann (5.50) menjadi

Z Z
3
P (r, t)d = − ∇ · jd3 r (5.52)
∂t V ′ V′
Persamaan ini dapat disederhaaakan lebih lanjut dengan mene-
rapkan teorema Green untuk divergensi,
Konservasi Probabilitas 55


Z Z
3
P (r, t)d = − j · da (5.53)
∂t V′ S

di mana da adalah sebuah vektor yang magnitudonya sama dengan


luas sebuah elemen dan arahnya tegaklusur keluar terhadap permu-
kaan pada V ′ .
Untuk membuktikan bahwa perubahan total probabilitas sama de-
ngan nol, kita memperbesar volume V ′ hingga tak terhingga dan nilai
j pada permukaan pada jarak takhingga adalah nol. Fungsi gelom-
bangnya harus ”square integrable” maka konservasi total probabilitas
dapat dibuktikan. Perlu dicatat bahwa pembuktian ini dimungkinkan
karena persamaan Schrödinger bergantung pada turunan orde satu
terhadap waktu.
Konservasi probabilitas ini berhubungan dengan sifat Hermitian
dari operator Hamiltonian, yang dapat dibuktikan sebagai berikut.

∂Ψ∗ 3
Z  
∂ ∗ ∂Ψ
Z
2 3
|Ψ(r, t)| d r = Ψ + d r (5.54)
∂t V V ∂t ∂t
∂ 1
Z Z
3
P (r, t)d = [Ψ∗ (ĤΨ) − (ĤΨ∗ )Ψ]d3 r = 0 (5.55)
∂t V i~ V
Z
[Ψ∗ (ĤΨ) − (ĤΨ∗ )Ψ]d3 r = 0 (5.56)
V
atau
Z Z
∗ 3
Ψ (ĤΨ)d = (ĤΨ∗ )Ψ]d3 r (5.57)

Kondisi inilah yang dinamakan kondisi Hermitian.


Laju perubahan probabilitas pada volume V ′ sama dengan flux pro-
babilitas yang melewati permukaan S yang melingkupi volume V ′ .


Z Z
3
P (r, t)d + j · da = 0 (5.58)
∂t V ′ S

Ini merupakan persaman kontinyuitas yang sering dijumpai untuk


konservasi muatan dalam elektrodinamika atau konservasi massa da-
lam hidrodinamika.
Kerapatan arus j dapat disederhanakan menjadi
 
∗ ~
j(r, t) = Re Ψ ∇Ψ (5.59)
im
56 Persamaan Schrödinger

5.5 Teorema Ehrenfest


Pada bagian ini kita ingin mengaitkan mekanika kuantum dengan me-
kanika Newton. Hubungan ini sesuai dengan prinsip ”Corresponden-
ce”. Teorema ini dibuktikan oleh Ehrenfest pada tahun 1927. Kita
ingin mengetahui apakah dinamika klasik seperti hukum Newton da-
pat diperoleh dari persamaan kuantum.
Ingat lagi bahwa persamaan Newton adalah

dr p
= (5.60)
dt m

dan

dp
= −∇V (5.61)
dt

Dua persamaan ini dipenuhi oleh nilai ekspektasi atau nilai rata-
rata dari variabel yang bersangkutan.
Perhatikan laju perubahan nilai ekspektasi dari nilai posisi opera-
tor x̂ terhadap waktu adalah sebagai berikut

d d
Z
hx̂i = Ψ∗ xΨd3 r
dt dt
∗ ∂Ψ 3 ∂Ψ∗
Z Z
= Ψx d + xΨd3 (5.62)
∂t ∂t

Menggunakan persamaan Schrödinger,

Z 
d
Z
hx̂i = (i~)−1 ∗ 3
Ψ x(ĤΨ)d + (HΨ) xΨd∗ 3
dt
~2 2 ~2
Z Z 
−1 ∗ 3 ∗ ∗ 3
= (i~) Ψ x(− ∇ Ψ + V Ψ)d + (− ∇Ψ + V Ψ )xΨd
2m 2m
i~
Z
= [Ψ∗ x(∇2 Ψ) − (∇2 Ψ∗ )xΨd3 r (5.63)
2m

dan kemudian menggunakan teorema Green, kita mendapatkan,


Teorema Ehrenfest 57

Z Z Z
2 ∗ 3
(∇ Ψ )xΨd r = xΨ(∇Ψ ) · da − (∇Ψ∗ ) · ∇(xΨ)d3 r

S
Z
= − (∇Ψ∗ ) · ∇(xΨ)d3 r
Z Z
= − Ψ ∇(xΨ) · da + Ψ∗ ∇2 (xΨ)d3 r

Z S
= Ψ∗ ∇2 (xΨ)d3 r (5.64)

Catatan: penurunan di atas menggunakan kenyataan bahwa inte-


gral permukaan sama dengan nol. Jadi laju perubahan nilai ekspekta-
si hxi adalah

d
Z
hx̂i = Ψ∗ [x∇2 Ψ − ∇2 (xΨ)]d3 r
dt
i~ ∂Ψ 3
Z
=− Ψ∗ dr
m ∂x
 
1 ∂
Z
= Ψ ∗ −i~ Ψd3 r
m ∂x
d hp̂x i
hx̂i = (5.65)
dt m

Ini sesuai dengan persamaan Newton.

Sekarang kita kaji perubahan nilai ekspektasi momentum terha-


dap waktu atau
58 Persamaan Schrödinger

 
d d ∂
Z

hp̂x i = Ψ −i~ Ψd3 r
dt dt ∂x
∂Ψ∗ ∂Ψ 3
Z 
∗ ∂ ∂Ψ 3
Z
= −i~ Ψ d r+ d r
∂x ∂t ∂t ∂x
hbar 2 2 hbar 2 2 ∗
  Z  
∗ ∂ ∂Ψ 3
Z
3 ∗
=− Ψ − ∇ Ψ+VΨ d r+ − ∇ Ψ +VΨ d r
∂x 2m 2m ∂x
~2
Z      
2 ∂Ψ 2 ∗ ∂Ψ ∂ ∂Ψ 3
Z
∗ 3 ∗

= Ψ ∇ − ∇Ψ d r− Ψ (V Ψ) − V dr
2m ∂x ∂x ∂x ∂x
 
∂ ∂Ψ 3
Z

=− Ψ (V Ψ) − V dr
∂x ∂x
∂V
Z
= − Ψ∗ Ψd3 r
∂x
d ∂V
hp̂x i = −h i (5.66)
dt ∂x

Ini juga sesuai dengan persamaan Newton.

5.6 Persamaan Schrödinger Tidak Bergantung


Waktu

Sekarang kita pertimbangkan sistem kuantum yang memiliki opera-


tor Hamilton yang tidak bergantung pada waktu secara eksplisit. Ka-
rena hal ini, fungsi gelombang yang merupakan solusi dari persamaan
Schrödinger dapat dibentuk dengan perkalian dua fungsi, fungsi ter-
hadap ruang dan fungsi terhadap waktu, atau

Ψ(r, t) = ψ(r)T (t) (5.67)

Substitusi fungsi gelombang ini ke persamaan Schrödinger meng-


hasilkan,
Persamaan Schrödinger Tidak Bergantung Waktu 59


i~ Ψ(r, t) = Ĥ(r, p̂)Ψ(r, t)
∂t

i~ ψ(r)T (t) = Ĥ(r, p̂)ψ(r)T (t)
∂t

i~ψ(r) T (t) = T (t)Ĥ(r, p̂)ψ(r)
∂t
1 ∂ 1
i~ T (t) = Ĥ(r, p̂)ψ(r) (5.68)
T (t) ∂t ψ(r)
Karena sisi kiri persamaan di atas bergantung pada variabel berbe-
da dengan sisi kanan maka kedua sisi bisa sama jika tidak tergantung
kedua variabel atau sama dengan sebuah konstanta. Konstanta yang
kita gunakan adalah E. Mengapa E? Hal ini akan lebih jelas nantinya.
Kemudian kita mendapatkan sebuah persamaan yang bergantung
pada waktu saja,

1 ∂
i~ T (t) = E
T (t) ∂t

i~ T (t) = ET (t) (5.69)
∂t
dan yang bergantung pada ruang saja.

1
Ĥ(r, p̂)ψ(r) = E
ψ(r)
Ĥ(r, p̂)ψ(r) = Eψ(r) (5.70)

Solusi dari persamaan untuk T (t) adalah

T (t) = C exp(−iEt/~) (5.71)


C adalah sebuah konstanta sembarang. Karena fungsi T (t) meru-
pakan bagian fungsi Ψ(r, t), maka konstanta C = 1 dapat digunakan
tanpa mengubah solusinya. Fungsi gelombang akhirnya menjadi

Ψ(r, t) = ψ(r) exp(−iEt/~) (5.72)


Persamaan (5.70) dinamakan persamaan Schrödinger yang tidak
bergantung pada waktu. Persamaan ini merupakan persamaan eigen.
Seperti yang sudah dijelaskan/dibahas sebelumnya, solusi persamaan
eigen adalah fungsi eigen dan nilai eigen tertentu.
60 Persamaan Schrödinger

Kita tinjau nilai E dengan mempertimbangkan kerapatan probabi-


litas posisi yaitu

P (r, t) = Ψ∗ (r, t)Ψ(r, t)


= ψ ∗ (r)ψ(r) exp[−i(E − E ∗ )t/~] (5.73)
Integrasi terhadap ruang menghasilkan,


Z
P (r, t)d3r = 0
∂t
Z

[−i(E − E )/~] ψ ∗ (r)ψ(r) exp[−i(E − E ∗ )t/~]d3 r = 0
Z

(E − E ) ψ ∗ (r)ψ(r) exp[−i(E − E ∗ )t/~]d3 r = 0
Z
(E − E ) Ψ∗ (r, t)Ψ(r, t)d3r = 0

(5.74)

Satu-satunya cara untuk memenuhi persamaan di atas untuk sega-


la fungsi Ψ adalah dengan E = E ∗ atau E merupakan bilangan nyata.
Di samping itu pula sifat probabilitas yang kekal atau konservatif, ma-
ka operator Ĥ adalah Hermitian.
Sekarang kita perhatikan nilai ekspektasi untuk energi partikel,

Z
hÊi = Ψ∗ (r, t)ĤΨ(r, t)d3r
Z
= E Ψ∗ (r, t)Ψ(r, t)d3r

=E (5.75)

Kita telah menggunakan ĤΨ = EΨ dan fungsi gelombang yang


sudah dinormalisasi. Ini menunjukkan bahwa nilai E adalah nilai
ekspektasi dari operator energi. Ini menunjukkan juga bahwa fung-
si gelombang yang diberikan oleh persamaan (5.35) mendiskripsikan
keadaan sistem dengan energi total tertentu. Ini berarti, pengukuran
pada ensemble sistem dalam keadaan yang sama akan menghasilkan
energi yang sama. Oleh karena itu nilai eigen E disebut eigen ener-
gi dan fungsi ψ(r) disebut fungsi eigen energi dan untuk memperjelas
nantinya kita akan memberi label, ψE (r).
Sekarang perhatikan berapakah besarnya deviasi standar dari ener-
ginya. Sebelum menghitung itu, mari kita tentukkan hH 2 i,
Persamaan Schrödinger Tidak Bergantung Waktu 61

Z
hEˆ2 i = Ψ∗ (r, t)Ĥ 2Ψ(r, t)d3 r
Z
2
=E Ψ∗ (r, t)Ψ(r, t)d3r

= E2 (5.76)

Jadi standar deviasinya adalah

σ 2 = hĤ 2 i − hĤi2 = E 2 − E 2 = 0 (5.77)


Keadaan stationer,
Perhatikan kerapatan probabilitas P (r, t) untuk sistem dengan ener-
gi E,

P (r, t) = Ψ∗ (r, t)Ψ(r, t)


= [ψ ∗ (r) exp(iEt/~)][ψ(r) exp(−iEt/~)]
= ψ ∗ (r)ψ(r) (5.78)

Sehingga kerapatan probabilitas tidak tergantung pada waktu. Da-


ri sifat kontinyuitas kerapatan probabilitas dihasilkan


Z Z
j · da = − P (r)d3 = 0 (5.79)
S ∂t V
Begitu pula untuk nilai ekspektasi untuk semua variabel dinamika
tidak bergantung pada waktu.

Z
hΩ̂i = [ψ ∗ (r) exp(iEt/~)]Ω̂[ψ(r) exp(−iEt/~)]d3 r
Z
= ψ ∗ (r)Ω̂ψ(r)d3 r (5.80)

Oleh karena inilah jika sistem berada pada keadaan ψ(r) dinamak-
an keadaan stasioner.
Menyelesaikan persamaan eigen Ĥψ = Eψ akan menghasilkan fung-
si solusi yang tak berhingga banyaknya, contohnya ψ1 (r), ψ2 (r), ψ3 (r),
dan seterusnya, dengan nilai eigennya E1 , E2 , E3 dan seterusnya. Ini
berarti bahwa kita memperoleh fungsi gelombang (Ψn (r, t) = ψn (r) exp(−iEn t/~)
yang berbeda untuk setiap tingkatan energi En . Karena persamaan
62 Persamaan Schrödinger

Schrödinger adalah bersifat linier maka kombinasi linier dari fung-


si solusi juga merupakan solusinya. Jadi setelah kita mendapatkan
solusi dari persamaan dari teknik separasi variabel, kita dapat mem-
bentuk solusi umum persamaan Schrödinger sebagai kombinasi linier
semua fungsi gelombang dari fungsi eigennya.

X
Ψ(r, t) = cn ψn (r) exp(−iEn t/~) (5.81)
cn
Solusi Persamaan Schrödinger
6
Satu Dimensi

The reader who has read the book but cannot do the exerci-
ses has learned nothing (J.J Sakurai)

Pada bab ini kita akan menyelesaikan persamaan Schrödinger pa-


da ruang satu dimensi (1D) untuk beberapa sistem kuantum yang me-
miliki solusi analitik. Walaupun pembahasan hanya pada ruang satu
dimensi, banyak konsep kuantum dapat dipelajari dari solusi analitik-
nya.
Catatan: Agar pembaca lebih paham tentang teori kuantum, Bab
ini perlu dibaca dan kemudian setelah paham tentang proses penye-
lesaian persamaan Schrödinger, pembaca perlu melatih menyelesaik-
an persamaannya dengan mengulangi dan menuliskan kembali proses
untuk mendapatkan solusi tanpa melihat bab ini. Usahakan setiap
langkah diberikan komentar dengan bahasa sendiri tentang hal-hal
apa yang perlu diperhatikan dan diingat.

6.1 Partikel Bebas


Bentuk yang paling sederhana dari persamaan Schrödinger adalah
persamaan untuk partikel bebas atau partikel di dalam potensial yang
konstan, V (x) = C = konstanta. Pada potensial ini tidak ada gaya
yang bekerja pada partikel karena F = −dV /dx = 0. Nilai konstan-
ta potensial C dapat dipilih berapa saja dan ini tidak akan mengubah
solusi persamaan Schrödinger. Di samping itu pula kita dapat me-
naikkan atau menurunkan nilai potensial C dengan mengubah nilai
potensial referensinya V0 . Agar analisis bisa lebih mudah, kita akan
menggunakan potensial V (x) = 0 tanpa ada pengaruh pada solusinya.
64 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi

Operator Hamiltonian untuk partikel bebas dalam ruang satu di-


mensi adalah

pˆx 2 ~2 d 2
Ĥ = T̂ = =− (6.1)
2m 2m dx2
Persamaan Schrödinger yang tidak bergantung waktu atau inde-
penden terhadap waktu yaitu

Ĥψ(x) = Eψ(x)
2
~ d2 ψ(x)
− = Eψ(x) (6.2)
2m dx2
Ingat bahwa fungsi gelombang Ψ(x, t) yaitu

Ψ(x, t) = ψ(x)e−iEt/~ (6.3)


untuk sistem berada pada tingkatan energi E yang stasioner.
Persamaan (6.2) ini dapat disederhanakan menjadi persamaan di-
ferensial biasa orde dua,

d2 ψ(x) 2mE
+ 2 ψ(x) = 0 (6.4)
dx2 ~
d2 ψ(x)
+ k 2 ψ(x) = 0 (6.5)
dx2

di mana k = 2mE/~.
Persamaan (6.5) sering ditemukan ketika kita membahas osilator
harmonik sederhana. Solusi persamaan (6.5) berbentuk,

ψ(x) = Ae+ikx + Be−ikx (6.6)


atau

Ψ(x, t) = Ae+i(kx−Et/~) + Be−i(kx+Et/~) (6.7)


Solusi persamaan (6.5) terdiri dari dua bagian, bagian pertama de-
ngan fungsi e+ikx merupakan bagian fungsi gelombang yang merambat
ke arah sumbu +x positif dan bagian kedua e−ikx merupakan gelom-
bang yang merambat ke arah sumbu −x negatif.
Supaya lebih sederhana, kita menganggap bahwa partikel bergerak
ke arah sumbu +x positif, maka nilai koefisien B = 0,
Potensial Tangga 65

ψ(x) = Ae+ikx (6.8)


Sehingga fungsi gelombang yang tergantung pada waktu menjadi

Ψ(x, t) = Aei(kx−ωt) (6.9)


di mana ω = E/~ adalah frekuensi angular. Sebuah ilustrasi ge-
lombang yang bergerak ke arah positif dan negatif x ditunjukkan pada
Gambar 6.1.

Gambar 6.1: Ilustrasi penjalaran fungsi gelombang ke arah positif dan


negatif sumbu x

6.2 Potensial Tangga


Fungsi potensial yang diberikan oleh persamaan (6.10) dan diperli-
hatkan pada Gambar 6.2 dinamakan potensial tangga. Fungsi ge-
lombang dalam penjalarannya mengalami perubahan potensial pada
posisi x = 0. Hal ini mirip dengan penjalaran cahaya yang melalui me-
dium yang berbeda. Karena adanya perubahan medium akan terjadi
pembiasan dan pemantulan cahaya. Hal yang sama juga terjadi untuk
fungsi gelombang yang melalui perubahan perubahan potensial.

0 jika x < 0,
V (x) = (6.10)
V0 jika x > 0
66 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi

Gambar 6.2: Pembagian daerah solusi untuk potensial tangga menjadi


dua: daerah x < 0 dan x > 0.

Agar tidak membingungkan, kita akan menggunakan nilai poten-


sial V0 > 0 yang positif. Ada tiga kasus yang perlu kita pahami: (a)
energi partikel lebih kecil dari V0 atau E < V0 , (b) energi partikel lebih
besar dari V0 atau E > V0 dan energi lebih kecil dari nol atau E < 0.
Penyelesaian persamaan Schrödinger dengan potensial tangga di-
lakukan dengan cara: (a) membagi solusinya menjadi dua bagian ya-
itu solusi untuk daerah I (x < 0) dan II (x > 0) (lihat Gambar 6.10),
(b) dua solusi ini nantinya kemudian disesuaikan sehingga memenuhi
sifat kontinyuitas fungsi gelombang dan turunan fungsi gelombang.
Persamaan Schrödinger pada dua daerah I dan II sebagai berikut:

~2 d 2 ψ
− = Eψ(x) untuk x<0 (6.11)
2m dx2
~2 d 2 ψ
− + V0 ψ(x) = Eψ(x) untuk 0<x (6.12)
2m dx2
Persamaan-persamaan ini kemudian kita sederhanakan menjadi,

d2 ψ 2m
+ 2 Eψ(x) = 0 untuk x<0 (6.13)
dx2 ~
d2 ψ 2m
+ 2 (E − V0 )ψ(x) = 0 untuk x>0 (6.14)
dx2 ~
√ p
Menggunakan kI = 2mE/~ dan kII = 2m(E − V0 )/~, kita mem-
peroleh,
Potensial Tangga 67

d2 ψ
+ kI2 ψ(x) = 0 untuk x<0 (6.15)
dx2
d2 ψ 2
2
+ kII ψ(x) = 0 untuk x>0 (6.16)
dx
Solusi dua persamaan ini berbentuk,

ψI (x) = AeikI x + Be−ikI x x<0 (6.17)


ikII x −ikII x
ψII (x) = Ce + De x>0 (6.18)

Koefisien A, B, C dan D akan disesuaikan sehingga fungsi gelom-


bang memenuhi sifat kontinyuitas.
Mari kita perhatikan solusi pada daerah I, fungsi ψI terdiri dari
dua fungsi gelombang yang menjalar ke arah +x (fungsi eikI x dan ke
arah −x (fungsi e−ikI x ). Begitu pula untuk solusi untuk daerah II.
Kita asumsikan pada masalah ini situasi di mana partikel awalnya
bergerak ke arah +x dan kemudian mengalami refleksi dan transmisi
yang diakibatkan oleh perubahan potensial. Dengan asumsi ini, pada
daerah II hanya ada fungsi gelombang transmisi, sehingga koefisien
D = 0. Persamaan (6.17) dan (6.18) menjadi

ψI (x) = AeikI x + Be−ikI x x<0 (6.19)


ψII (x) = CeikII x x>0 (6.20)

Kondisi kontinyuitas pada posisi (x = 0) untuk solusi pada daerah


I dan II adalah

ψI (0) = ψII (0)



dψI dψII
= (6.21)
dx x=0 dx x=0

A+B =C
ikI A − ikI B = ikII C (6.22)

Dengan cara substitusi atau eliminasi, kita memperoleh


68 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi

kI − kII
B= A
kI + kII
2kI
C= A (6.23)
kI + kII

Untuk menyederhanakan solusi kita menggunakan koefisien fung-


si gelombang yang menjalar ke arah +x pada daerah I adalah A = 1.
Solusi akhirnya adalah
  
 eikI x + kI −kII e−ikI x x < 0,
ψ(x) =   kI +kII (6.24)
2k ikII x
 I
kI +kII
e x > 0
q q
dengan kI = 2m ~
E dan k II = 2m
~
(E − V0 ).
Mari kita perhatikan tiga kasus yang disebutkan sebelumnya yang
tergantung pada nilai energi partikel E.

1. Kasus energi lebih besar dari V0 atau E > V0


kI dan kII bernilai riil. Solusi kasus ini diberikan oleh persamaan
(6.24). Rapat arus probabilitasnya adalah

 
~ ∗ dψ
j = Im ψ
m dx
~kI
= (1 − |R|2) x<0
m
~
= |T |2Re{kII }e−2xIm{kII } x>0 (6.25)
m

2. Kasus 0 < E < V0


Pada kasus ini kII = iα bernilai imaginer karena E − V0 bernilai
negatif. Sehingga solusinya menjadi
  
 eikI x + kI −iα e−ikI x x < 0,
ψ(x) =   kI +iα (6.26)
2kI

kI +iα
e−αx x>0

Kita dapat lihat bahwa tidak ada fungsi gelombang yang ditrans-
misikan.
Potensial Penghalang Persegi 69

3. Kasus E < 0
Untuk kasus ini kI = iβ dan kII = iα adalah bernilai imaginer
sehingga pada fungsi gelombangnya terdapat bagian e−βx untuk
daerah x < 0. Ini menyebabkan ψ → ∞ jika x → −∞. Solusi ini
tidak sesuai dengan sifat fungsi square integrable. Jika umpama
solusinya berbentuk

Aeβx

x < 0,
ψ(x) = −αx (6.27)
Be x>0
Tetapi solusi ini tidak memenuhi sifat kontinyuitas. Jadi tidak
ada solusi yang sesuai. Hal ini sesuai ekspetasi secara klasik
bahwa E < 0 tidak bisa diakses.

6.3 Potensial Penghalang Persegi


Fungsi potensial yang menarik dan penting untuk dikaji adalah sebu-
ah potensial penghalang berbentuk persegi yang diberikan oleh persa-
maan (6.28) dan juga ditunjukkan pada Gambar 6.3.

0 jika x < 0 dan x > a,
V (x) = (6.28)
V0 jika 0 ≤ x ≤ a

Gambar 6.3: Fungsi potensial penghalang

Nilai potensial V0 > 0 selalu positif. Pada bagian ini hanya kasus
partikel yang mempunyai energi 0 < E < V0 yang akan ditinjau. Kasus
70 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi

partikel dengan E > V0 dapat dipelajari setelah kasus 0 < E < V0


dipahami.
Penyelesaian persamaan Schrödinger dengan potensial penghalang,
seperti solusi untuk potensial tangga, dilakukan dengan (a) membagi
daerah solusi menjadi tiga yaitu daerah I (x < 0), II (0 ≤ x ≤ a) dan
III (x > a) (lihat Gambar 6.3) dan (b) kemudian solusi untuk masing-
masing daerah nantinya akan disesuaikan sehingga memenuhi sifat
kontinyuitas fungsi gelombang dan turunannya.
Mengikuti proses penyelesaian sebelumnya, persamaan Schrödi-
nger pada tiga daerah I, II dan III sebagai berikut:

~2 d 2 ψ
− + (0 − E)ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.29)
2m dx2
~2 d 2 ψ
− + (V0 − E)ψ(x) = 0 untuk 0≤x≤a (6.30)
2m dx2
Persamaan-persamaan ini kemudian kita sederhanakan menjadi,

d2 ψ 2m
+ 2 Eψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x (6.31)
dx2 ~
d2 ψ 2m
− 2 (V0 − E)ψ(x) = 0 untuk 0≤x≤a (6.32)
dx2 ~
√ p
Menggunakan kI = kIII = 2mE/~ dan kII = 2m(E − V0 )/~

d2 ψ
2
+ kI2 ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.33)
dx
d2 ψ 2
− kII ψ(x) = 0 untuk 0≤x≤a (6.34)
dx2
Solusi dua persamaan ini berbentuk:

ψI (x) = AeikI x + Be−ikI x x<0 (6.35)


kII x −kII x
ψII (x) = Ce + De 0≤x≤a (6.36)
ψIII (x) = A′ eikI x + B ′ e−ikI x x>a (6.37)

Mari kita perhatikan solusi pada daerah I, fungsi ψI terdiri dari dua
fungsi gelombang yang menjalar ke arah +x (fungsi eikI x dan ke arah
−x (fungsi e−ikI x ). Kita asumsikan pada masalah ini situasi partikel
Potensial Penghalang Persegi 71

awalnya bergerak ke arah +x dan kemudian mengalami refleksi dan


transmisi. Pada daerah III, hanya ada fungsi gelombang transmisi,
sehingga koefisien B ′ = 0. Persamaan (6.35) - (6.37) menjadi

ψI (x) = AeikI x + Be−ikI x x<0


kII x −kII x
ψII (x) = Ce + De 0≤x≤a
′ ikI x
ψIII (x) = A e x<0 (6.38)
(6.39)

Kondisi kontinyuitas pada posisi (x = 0) untuk solusi pada daerah


(I dan II) dan posisi (x = a) untuk solusi pada daerah II dan III adalah

ψI (0) = ψII (0)



dψI dψII
=
dx dx
x=0 x=0
ψIII (a) = ψII (a)

dψIII dψII
= (6.40)
dx x=a dx x=a

yang menghasilkan persamaan untuk koefisien-koefisien solusi ya-


itu

A+B =C +D
ikI A − ikI B = kII C − kII D
A′ eikI a = CekII a + De−kII a
ikI A′ eikI a = kII CekII a − kII De−kII a (6.41)

A+B =C +D
ikI
(A − B) = C − D
kII
eikI a
A′ k a = C + De−2kII a
e II
ikI eikI a
A′ = C − De−2kII a (6.42)
kII ekII a
72 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi

Eliminasi C,

ikI
A+B− (A − B) = 2D
kII
eikI a
A + B − A′ k a = D[1 − e−2kII a ]
e II
ikI eikI a
A + B − A′ = D[1 + e−2kII a ] (6.43)
kII ekII a

ikI
A+B− (A − B) = 2D
kII
ikI eikI a ikI
× [A + B − A′ k a ] = × D[1 − e−2kII a ]
kII e II kII
ikI a
ikI e
A + B − A′ k a
= D[1 + e−2kII a ] (6.44)
kII e II

Eliminasi A′ ,

ikI
A+B− (A − B) = 2D
kII
ikI ikI
(A + B)[ − 1] = D[ (1 − e−2kII a ) − (1 + e−2kII a )] (6.45)
kII kII
Substitusi D,

ikI
2(A + B) = [A + B − (A − B)]q (6.46)
kII
p = [ kikIII − 1], q = [ kikIII (1 − e−2kII a ) − (1 + e−2kII a )]

ikI ikI
2(A + B) = Aq + Bq − Aq + Bq (6.47)
kII kII

ikI ikI
B[2p − q − q] = A[−2p + q − q] (6.48)
kII kII

ikI
[−2p + q − kII
q]
B= ikI
A (6.49)
[2p − q − kII
q]
Potensial Penghalang Persegi 73

Dan substitusi kembali diperoleh koefisien A′ ,

1 ikI [−2p + q − kikIII q] ikI


D = {(1 − )+ (1 + )}
2 kII [2p − q − kikIII q] kII
(6.50)

ikI
[−2p + q − kII
q]
C =A+ ikI
A
[2p − q − kII
q]
1 ikI [−2p + q − kikIII q] ikI
− {(1 − )+ ikI
(1 + )}
2 kII [2p − q − kII q] kII
(6.51)
dan

ekII a
A′ = [C + De−2kII a ] (6.52)
eikI a
[Rumus A’ B C dan D perlu disederhanakan]
Setelah disederhanakan kita mendapatkan

(kI2 + kII
2
)(e2kII a − 1)
B= A (6.53)
e2kII a (kI + ikII )2 − (kI − ikII )2
2 −ikI a kII a
4ikI kII e e
A′ = 2k a
A (6.54)
e II (kI + ikII ) − (kI − ikII )2
2

Koefisien refleksi dan transmisi


2
|B|2 (kI2 + kII
2
)(e2kII a − 1)


R= 2
= 2k a 2 2
(6.55)
|A| e II (kI + ikII ) − (kI − ikII )
 −1
4E(V0 − E)
R= 1+ 2 (6.56)
V0 sinh2 (kII a)
2
|A′ |2 2 −ikI a kII a

4ikI kII e e
T = 2
= 2k a 2 2
(6.57)
|A| e II (kI + ikII ) − (kI − ikII )
−1
V02 sinh2 (kII a)

T = 1+ (6.58)
4E(V0 − E)
[perlu ditambahkan: Grafik penjalaran]
74 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi

6.4 Sumur Potensial Persegi Tak Berhingga


Fungsi gelombang yang banyak digunakan dihasilkan dari persamaan
Schrödinger untuk sebuah partikel berada pada sebuah sumur poten-
sial persegi yang tak berhingga. Fungsi potensial untuk sistem ini
adalah

∞ jika x < 0 dan x > a,
V (x) = (6.59)
0 jika 0 ≤ x ≤ a
Bentuk fungsi potensial persegi tak berhingga ditunjukkan pada
Gambar 6.4.

Gambar 6.4:

Pada daerah yang memiliki potensial tinggi ∞, fungsi gelombang-


nya haruslah sama dengan nol atau ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a. Ini
berarti partikel tidak berada di daerah ini. Hal ini dapat dimengerti
dari persamaan Schrödinger yang memiliki bagian V (x)ψ(x). Agar ba-
gian persamaan ini mempunyai nilai (bukan tak terhingga) untuk nilai
V( x) = ∞ maka satu-satunya cara adalah dengan membuat ψ(x) = 0.
Hal ini juga dapat dimengerti dengan mempertimbangkan solusi per-
samaan Schrödinger untuk potensial tangga p (persamaan (6.27) yang
−αx
memiliki sebuah faktor e di mana α = 2m(V0 − E)/~. Jika nilai
Sumur Potensial Persegi Tak Berhingga 75

V0 → ∞ maka nilai α → ∞ yang menunjukkan nilai fungsi gelombang


ψ(x) ∝ e−∞ = 0 di daerah tersebut. Di samping itu pula, pada per-
batasan dua daerah, karena sifat kontinyuitas fungsi gelombang, kita
juga harus mempunyai fungsi gelombang yang bernilai nol pada posisi
batasnya. Jadi solusi persamaan Schrödinger harus memenuhi syarat
batas yaitu ψ(0) = 0 dan ψ(a) = 0.
Pada daerah 0 ≤ x ≤ a, partikel dapat bebas bergerak. Persamaan
Schrödinger yang akan diselesaikan untuk mendapatkan nilai eigen
atau tingkat energi adalah

Ĥψ(x) = Eψ(x)
~2 d2 ψ(x)
− = Eψ(x) (6.60)
2m dx2
atau

d2 ψ(x)
+ k 2 ψ(x) = 0 (6.61)
dx2
p
di mana k 2 = 2mE/hbar 2 atau k = ± 2mE/~2 .
Solusi persamaan diferensial ini berbentuk,

ψ(x) = A sin(kx) + B cos(kx) (6.62)

atau

ψ(x) = C exp(+ikx) + D exp(−ikx) (6.63)

Kita akan menggunakan solusi yang dibentuk dengan fungsi sinus


dan cosinus. Koefisien A dan B ditentukan menggunakan syarat batas
pada posisi x = 0 dan x = a, ψ(x = 0) = 0 dan ψ(x = a) = 0. Dengan
menggunakan dua syarat batas, kita memperoleh,

ψ(0) = A sin(0) + B cos(0) = 0 → B = 0 (6.64)


ψ(a) = A sin(ka) + B cos(ka) = 0 → A sin(ka) = 0 (6.65)

Kita perhatikan bahwa untuk syarat batas yang kedua, persama-


an (6.65) menyatakan bahwa supaya solusinya tidak trivial (A = 0)
76 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi

maka sin(ka) = 0. Ini menyatakan bahwa tidak semua nilai k bisa


menjadi solusi sin(ka) = 0. Atau dengan kata lain solusi persamaan
Schrödinger mempunyai tingkatan energi yang diskrit. Nilai k yang
memenuhi sin(ka) = 0 jika ka adalah kelipatan π. Jadi ka = nπ. Nilai
energi E yang menjadi solusinya adalah

2mE
= k 2 = n2 π 2 /a2
~2
atau
n2 π 2 ~2 n2 h2
En = 2 = (6.66)
a 2m 8ma2
Nilai koefisien A diperoleh dengan ketentuan bahwa total probabi-
litas seluruh ruang adalah 1 atau ternormalisasi, kita memperoleh,
Z ∞ Z a
∗ 2
ψ (x)ψ(x)dx = A sin2 (nπx/a)dx
−∞ 0
(6.67)
Agar lebih mudah, kita mengganti variabel dengan θ = πx/a dan dθ =
(π/a)dx,

∞ π
2a
Z Z

ψ (x)ψ(x)dx = A sin2 (nθ)dθ
−∞ π 0
Z π
2a 1
=A 1 − cos(2nθ)dθ
π2 0
 π
2 a 1
=A x− sin(2nθ)
2π 2n 0
2a
=A =1
2
(6.68)
Sehingga koefisien normalisasi adalah
r
2
A= (6.69)
a
Persamaan gelombang yang dihasikan setelah dinormalisasi ada-
lah
r
2  nπx 
ψn (x) = sin (6.70)
a a
Sumur Potensial Persegi Tak Berhingga 77

Kumpulan fungsi-fungsi solusi persamaan Schrödinger {ψn } me-


rupakan kumpulan fungsi gelombang yang ortogonal, ternormalisasi,
dan komplit. Sifat orthogonal berarti bahwa

Z ∞

ψm (x)ψn (x)dx = δmn (6.71)
−∞

Orthogonalitas dari ψn (x) dibuktikan sebagai berikut.

∞ a
2
Z Z

ψm (x)ψn (x)dx = sin(mπx/a) sin(nπx/a)dx
−∞ a 0
(6.72)

Menggunakan substitusi variabel θ = πx/a dan dθ = (π/a)dx,


2a π
Z Z

ψm (x)ψn (x)dx = sin(mθ) sin(nθ)dθ
−∞ aπ 0
21 π
Z
= cos[(n − m)θ] − cos[(n + m)θ]dθ
π2 0
 π
1 sin[(n − m)θ] sin[(n + m)θ]
= −
π (n − m) (n + m) 0
= 0 jika m 6= n (6.73)

Karena kumpulan fungsi {ψn (x)} adalah komplit maka fungsi apa
saja f (x) dapat direpresentasikan dengan fungsi-fungsi tersebut.

∞ r
X 2  nπx 
f (x) = cn sin (6.74)
n=1
a a

dan koefisien ekspansi diperoleh dengan

a
r
2  nπx 
Z
cn = f (x) sin dx (6.75)
0 a a
Ini sesuai dengan ekspansi Fourier atau deret Fourier untuk inte-
rval interval [0,a].
[ grafik decomposisi dengan fourier ]
78 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi

2 1.5

1
1.5

0.5
1

0.5
-0.5

0
-1

-0.5 -1.5
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

1.5 1.5

1 1

0.5 0.5

0 0

-0.5 -0.5

-1 -1

-1.5 -1.5
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

p
Gambar 6.5: Fungsi gelombang ψn (x) = 2/a sin(nπx/a) untuk a = 1
dan n = 1, 2, 3, 4

2.5 2.5

2 2

1.5 1.5

1 1

0.5 0.5

0 0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

2.5 2.5

2 2

1.5 1.5

1 1

0.5 0.5

0 0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Gambar 6.6: Rapat probabilitas |ψn (x)|2 = 2 sin2 (nπx/a) untuk a = 1


dan n = 1, 2, 3, 4

6.5 Sumur Potensial Persegi Berhingga


Pertimbangkan sebuah partikel dalam sumur potensial yang berhing-
ga, dengan potensial yaitu
Sumur Potensial Persegi Berhingga 79


0 jika 0 < x < a,
V (x) = (6.76)
V0 jika x < 0 x>a

Gambar 6.7:

Untuk ruang satu dimensi, persamaan Schrödinger yang tidak ber-


gantung waktu diberikan oleh,

~ d2
 
− + V (x) ψ(x) = Eψ(x) (6.77)
2m dx2
Untuk potensial Pers. (6.76), persamaan Schrd̈inger menjadi ben-
tuk yang berbeda untuk tiga daerah (I, II dan III).
Untuk daerah I dan III:

~ d2 ψ
− + (V0 − E)ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.78)
2m dx2
Untuk daerah II:

~ d2 ψ
− + −Eψ(x) = 0 untuk 0<x<a (6.79)
2m dx2
Persamaan-persamaan ini kemudian kita sederhanakan menjadi,
Untuk daerah I dan III:

d2 ψ 2m
− (V0 − E)ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.80)
dx2 ~
80 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi

Untuk daerah II:

d2 ψ 2m
+ Eψ(x) = 0 untuk 0<x<a (6.81)
dx2 ~
Untuk daerah I dan III:

d2 ψ
2
− kI2 ψ(x) = 0 untuk x < 0 dan x > a (6.82)
dxq
kI = kIII = 2m
~2
(V0 − E)
Untuk daerah II:

d2 ψ 2
+ kII ψ(x) = 0 untuk 0<x<a (6.83)
q dx2
kII = 2m~2
E
Solusi persamaan diferensial pada tiga daerah ini adalah

ψI (x) = Ae−kI x + BekI x (6.84)


ψII (x) = C sin(kII x) + D cos(kII x) (6.85)
ψIII (x) = A′ e−kIII x + B ′ ekIII x = A′ e−kI x + B ′ ekI x (6.86)
(6.87)
karena kI = kIII .
Pertimbangkan solusi pada daerah x < 0, syarat umum untuk fung-
si gelombang adalah mempunyai sifat ”square integrable”. artinya
fungsi gelombang harus menuju nilai nol pada x yang besar. atau
ψ(x) → 0 untuk x → ±∞. Dengan kondisi ini, fungsi gelombang ψI (x)
harus menuju nol jika x → −∞, ini bisa diperoleh jika nilai A = 0. Jadi
ψI = BekI x . Kondisi ini juga harus dipenuhi oleh fungsi gelombang ψIII
untuk daerah x > a. Fungsi gelombang yang sesuai adalah jika B ′ = 0,
sehingga ψIII = A′ e−kI x .
Kondisi batas antara daerah (I dan II) dan (II dan III) adalah
ψI (0) = ψII (0) (6.88)

dψI dψII
= (6.89)
dx x=0 dx x=0
ψIII (a) = ψII (a) (6.90)

dψII dψII
= (6.91)
dx x=a dx x=a
(6.92)
Sumur Potensial Persegi Berhingga 81

B=D (6.93)
kI B = kII C (6.94)
A′ e−kI a = C sin(kII a) + D cos(kII a) (6.95)
kI A′ = kII C cos(kII a) − kII D sin(kII a) (6.96)
(6.97)

D=B (6.98)
kI
C= B (6.99)
kII
kI
A′ e−kI a = B sin(kII a) + B cos(kII a) (6.100)
kII
kI
−A′ kI e−kI a = kII B cos(kII a) − kII B sin(kII a) (6.101)
kII
(6.102)

kI
A′ kI e−kI a = kI B sin(kII a) + kI B cos(kII a) (6.103)
kII
kI
−A′ kI e−kI a = kII B cos(kII a) − kII B sin(kII a) (6.104)
kII
(6.105)
Eliminasi A′ ,

kI kI
[kI sin(kII a) + kI cos(kII a) + kII cos(kII a) − kII sin(kII a)]B = 0
kII kII
(6.106)
Supaya mempunyai solusi non-trivial, maka,

kI kI
[kI sin(kII a) + kI cos(kII a) + kII cos(kII a) − kII sin(kII a)] = 0
kII kII
(6.107)

kI kI
(kI − kII ) sin(kII a)] = −(kI + kII ) cos(kII a) (6.108)
kII kII
82 Solusi Persamaan Schrödinger Satu Dimensi

sin(kII a) −(kI + kII kkIII )


= (6.109)
cos(kII a) (kI kkIII − kII )

−(kI + kII kkIII )


tan(kII a) = (6.110)
(kI kkIII − kII )

kII merupakan solusi persamaan di atas.


[Grafik tan(kII a) dan ...]
[Grafik energi versus V0 ]
Osilator Harmonik
7
Pembahasan pada text ini mengikuti pembahasan di buku kuantum
D.J. Griffiths.

7.1 Osilator Harmonik


Sebuah sistem osilator harmonik banyak digunakan diberbagai sis-
tem, terutama untuk sistem yang berkaitan dengan vibrasi molekul
atau atom. Ini karena sumur potensial, pada posisi sekitar titik mini-
mum, dapat didekati dengan sebuah fungsi kuadrat.
Kita akan membahas terlebih dahulu tentang gerak harmonik se-
derhana pada sistem yang berupa sebuah massa m yang terhubung
pada sebuah pegas dengan konstanta pegas k. Dengan menggunak-
an hukum Hooke, gaya pemulih adalah sebanding dengan perubahan
panjang (x) pegas dan berlawanan arah dengan perpindahan. Sesuai
mekanika klasik, persamaan gerak sistem ini diberikan oleh persama-
an Newton yaitu

d2 x
F =m = −kx (7.1)
dt2
atau

d2 x k
2
= − x = −ω 2 x (7.2)
dt m
dengan
r
k
ω= (7.3)
m
Energi potensial sistem harmonik ini adalah V (x) = 12 kx2 .
84 Osilator Harmonik

Mungkin kita berpikir bahwa pergerakan harmonik dengan sumur


potensial V (x) = 21 kx2 tidak banyak digunakan. Tentunya tidak demi-
kian. Pada kenyataannya pada sistem dengan potensial interaksi apa
saja dapat diaproksimasikan dengan sebuah potensial harmonik seki-
tar titik ekuilibrium. Mari kita kaji lebih jauh pendekatan potensial
dengan menggunakan pendekatan deret Taylor.
Kita mengaproksimasi fungsi potensial V (x) di sekitar posisi ekui-
librium (x = x0 ) dengan deret Taylor sebagai berikut.

V ′′ (x0 )
V (x) = V (x0 ) + V ′ (x0 )(x − x0 ) + (x − x0 )2 + · · · (7.4)
2!
Karena x = x0 adalah pada titik ekuilibrium, maka V ′ (x0 ) = 0 se-
hingga pendekatan menjadi

V ′′ (x0 )
V (x) ≈ V (x0 ) + (x − x0 )2 (7.5)
2
Konstanta V (x0 ) dapat diabaikan tanpa mempengaruhi persamaan
gerak (ingat gaya adalah negatif turunan dari energi potensial). De-
ngan membandingkan energi potensial pegas dan energi potensial ini
kita memperoleh konstanta pegas k = V ′′ (x0 ). Aproksimasi ini menun-
jukkan bahwa gerak harmonik sangat berguna untuk mempelajari ge-
rak vibrasi molekul dan benda-benda lainnya asalkan gerakan benda
memiliki amplitudo simpangan yang kecil.
Oleh karena pentingnya potensial harmonik, pada bab ini kita ak-
an mengkaji solusi persamaan Schrödinger untuk potensial harmonik
yang berbentuk V (x) = 21 kx2 = 12 mω 2 x2 . Di sini kita menggunakan
x0 = 0 agar lebih sederhana dan mengabaikan V (x0 ) = 0.
Fungsi Hamiltonian untuk sistem osilator harmonik pada satu di-
mensi adalah
1 1
H(x, px ) = mvx2 + mω 2 x2
2 2
p2x 1
= + mω 2 x2 (7.6)
2m 2
d
Dengan melakukan substitusi p → p̂x ≡ −i~ dx dan x → x, kita
memperoleh operator Hamiltonian yaitu

~2 d 2 1
Ĥ(x, p̂x ) = − 2
+ mω 2 x2 (7.7)
2m dx 2
Metode Aljabar 85

Substitusi operator Hamiltonian pada persamaan Schrödinger yang


tak bergantung waktu, kita mendapatkan persamaan diferensial,

~2 d 2 ψ 1
− + mω 2 x2 ψ = Eψ (7.8)
2m dx2 2
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
persamaan Schrödinger ini, tetapi hanya dua metode yang akan di-
bahas di bab ini. Metode yang pertama yaitu metode aljabar dengan
menggunakan operator-operator, dan yang kedua mengunakan metode
analitik dengan deret pangkat.

7.2 Metode Aljabar


Untuk memperjelas proses dalam metode aljabar, mari kita ubah sedi-
kit persamaan Schrödinger untuk osilator harmonik di atas menjadi
" 2 #
1 ~ d
+ m2 ω 2 x2 ψ = Eψ (7.9)
2m i dx

Kita perhatikan bahwa bagian yang didalam kurung [...] memiliki


bentuk u2 + v 2 . Kita mengetahui bahwa u2 + v 2 dapat diubah men-
jadi (u − iv)(u + iv). Dengan demikian kita dapat mengubah bagian
kiri persamaan di atas menjadi perkalian faktor-faktor. Untuk u dan v
yang bernilai skalar, operasi perkalian u dan v bersifat komutatif atau
uv = vu. Tetapi sifat ini belum tentu sesuai untuk dua operator. Wala-
upun demikian tidak ada salahnya jika kita definisikan operator û − iv̂
d
dan û + iv̂ di mana û = ~i dx dan v̂ = mωx. Kita mendefinisikan dua
operator, â− dan â+ yaitu
 
1 ~ d
â± ≡ √ ± imωx (7.10)
2m~ω i dx
atau [Need to be checked]

1
â± ≡ √ (p̂x ± imωx) (7.11)
2m~ω
Sekarang kita ingin menjawab pertanyaan ”apakah perkalian ope-
rator â− â+ = (û − iv̂)(û + iv̂) sama dengan bagian kiri persamaan
Schrödinger?” Mari kita pelajari apa yang dihasilkan jika operator per-
kalian dua operator â− â+ dioperasikan pada sebuah fungsi φ.
86 Osilator Harmonik

  
1 ~ d ~ d
â− â+ φ = − imωx + imωx φ
2m~ω i dx i dx
2
 
1 2d φ d(xφ) dφ 2 2 2
= −~ + ~mω − ~mωx + m ω x φ (7.12)
2m~ω dx2 dx dx
Ingat bahwa d(xφ)/dx = xdφ/dx + φ. Persamaan ini dapat diseder-
hanakan menjadi

 2 !
1 ~ d
â− â+ φ = + (mωx)2 + ~mω φ (7.13)
2m~ω i dx

Jadi operator â− â+ dapat dituliskan dengan

" 2 #
1 ~ d 1
â− â+ = + (mωx)2 + (7.14)
2m~ω i dx 2

atau

 2 !
1 1 ~ d
~ω(â− â+ − ) = + (mωx)2 (7.15)
2 2m i dx

Kita perhatikan bahwa persamaan Schrodinger dapat ditulis de-


ngan menggunakan operator â− â+ menjadi
1
~ω(â− â+ − )φ = Eψ (7.16)
2
Disamping â− â+ , mari kita lihat apa yang dihasilkan jika kita meng-
gunakan urutan perkalian yang berbeda yaitu dengan operator â+ â− .
Dengan cara yang sama kita dapat memperoleh

" 2 #
1 ~ d 1
â− â+ = + (mωx)2 − (7.17)
2m~ω i dx 2

atau

 2 !
1 1 ~ d
~ω(â− â+ + ) = + (mωx)2 (7.18)
2 2m i dx
Metode Aljabar 87

dengan menggunakan dua hasil di atas, kita mendapatkan juga,

â− â+ − â+ â− = 1 (7.19)

Dengan menggunakan operator â+ â− , kita juga dapat menuliskan


persamaan Schrödinger yaitu

1
~ω(â+ â− + )ψ = Eψ (7.20)
2

Sekarang kita sudah mendapatkan persamaan yang lebih sederha-


na dengan menggunakan operator â− dan â+ . Selanjutnya kita ingin
mendapatkan solusi persamaan Schrödinger dengan bantuan operator-
operator ini. Untuk memahami caranya mari kita umpamakan kita
sudah mendapatkan solusinya yaitu ψ dengan energi E. Umpamanya
kita membentuk fungsi baru φ− dengan cara mengoperasikan operator
â− pada fungsi ψ atau φ− = â− ψ. Setelah itu kita coba memasukkan
φ− pada persamaan Schrödinger untuk melihat apakah φ− juga meru-
pakan solusi persamaan Schrödinger.

1 1
~ω(â− â+ − )φ− = ~ω(â− â+ − )â− ψ
2 2
1
= ~ω(â− â+ â− − â− )ψ
2
1
= ~ωâ− (â+ â− − )ψ
2
1
= ~ωâ− ((â+ â− + ) − 1)ψ
2
= ~ωâ− (E − ~ω)ψ
= (E − ~ω)â− ψ = (E − ~ω)φ− (7.21)

Di sini kita telah menunjukkan bahwa fungsi φ− = â− ψ juga meru-


pakan solusi persamaan Schrödinger dengan energi E − ~ω.
Di samping itu, kita juga dapat membentuk fungsi baru φ+ dengan
cara mengoperasikan operator â+ pada fungsi ψ atau φ+ = â+ ψ. De-
ngan cara yang sama kita memperoleh
88 Osilator Harmonik

1 1
~ω(â+ â− + )φ+ = ~ω(â+ â− + ~ω)â+ ψ
2 2
1
= ~ω(â+ â− â+ + â− )ψ
2
1
= ~ωâ+ (â− â+ + )ψ
2
1
= ~ωâ+ ((â+ â− − ) + 1)ψ
2
= ~ωâ+ (E + ~ω)ψ
= (E + ~ω)â− ψ = (E + ~ω)φ+ (7.22)

Jadi, fungsi φ+ = â+ ψ juga merupakan solusi persamaan Schrödi-


nger dengan energi E + ~ω.
Karena operator â± bersifat menaikkan dan menurunkan energi
sistem, maka disebut juga dengan operator tangga (ladder operators).
â+ disebut operator (raising) naik dan â+ disebut operator (lowering)
turun.
Umpamanya kita mengoperasikan operator turun (lowering) berkali-
kali, energi yang dihasilkan akan mencapai energi yang lebih kecil da-
ri nol (atau negatif). Ini tidaklah mungkin! Maka pada fungsi gelom-
bang ψ0 dengan energi terendah operasi â− harus menghasilkan nilai
nol.

â− ψ0 = 0 (7.23)
atau
 
1 ~ dψ0
√ − imωxψ0 =0 (7.24)
2m~ω i dx
atau

dψ0 mω
=− xψ0 (7.25)
dx ~
Persamaan diferensial ini memiliki solusi berbentuk
mω 2
ψ0 = A0 exp(− x) (7.26)
2~
Jika kita substitusi ψ0 ke persamaan Schrödinger kita mendapatk-
an
Metode Aljabar 89

1
~ω(â+ â− + )ψ0 = E0 ψ0
2
1
~ωψ0 = E0 ψ0 (7.27)
2
Jadi energi terendah adalah E0 = 12 ~ω
Dengan mengetahui energi dan fungsi gelombang untuk tingkat-
an energi terendah, kita bisa mendapatkan fungsi gelombang untuk
energi yang lebih tinggi dengan menggunakan operator raising.

mω 2
ψn (x) = An (â+ )n exp(− x) (7.28)
2~
dengan energi

1
En = (n + )~ω (7.29)
2
Sebagai contoh untuk fungsi gelombang ψ1 (x) diperoleh dengan

mω 2
ψ1 (x) = A1 (â+ ) exp(− x)
 2~ 
1 ~ d mω 2
= A1 √ + imωx exp(− x)
2m~ω i dx 2~
 
1 ~ mω mω 2 mω 2
= A1 √ (− )2x exp(− x ) + imωx exp(− x)
2m~ω i 2~ 2~ 2~
r
2mω mω 2
= A1 i x exp(− x) (7.30)
~ 2~
r
~
x̂ = (â+ + â− ) (7.31)
2mω
dan
r
mω~
p̂x = −i (â+ − â− ) (7.32)
2
operator N̂ ,

N̂ = â+ â− (7.33)


[need to be reorganize may be moved to dirac notation]
90 Osilator Harmonik

7.3 Metode Analitik


Di samping metode aljabar, kita juga dapat memperoleh solusi persa-
maan Schrödinger dengan menggunakan metode analitik atau metode
deret pangkat.
Persamaan Schrödinger,

~2 d 2 ψ 1
− 2
+ mω 2 x2 ψ = Eψ (7.34)
2m dx 2
dapat disederhanakan agar mudah dalam melakukan simulasi dengan
menggunakan variabel baru yaitu
r

ξ≡ x (7.35)
~
atau dengan substitusi
r
~
x= ξ (7.36)

Turunan pertama dan kedua terhadap variabel ξ didapatkan de-
ngan menggunakan aturan rantai seperti berikut ini.

r
d dξ d mω d
= = (7.37)
dx dx dξ ~ dξ

dan

d2
 
dξ d dξ d
=
d2 x dx dξ dx dξ
mω d2
= (7.38)
~ d2 ξ

Persamaan Schrödinger menjadi

d2 ψ
= (ξ 2 − K)ψ (7.39)
dξ 2
di mana

2E
K= (7.40)

Metode Analitik 91

Untuk mendapatkan solusi persamaan diferensial di atas, kita per-


timbangkan terlebih dahulu limit asimtotik untuk ξ yang sangat besar
yang mana ξ 2 jauh lebih dominan daripada K. kita dapat mengaprok-
sikan dengan

d2 ψ
2
≈ ξ 2ψ (7.41)

yang memiliki solusi
2 /2 2 /2
ψ(ξ) ≈ Ae−ξ + Beξ (7.42)
2
Bagian Bex /2 tentunya bukan merupakan solusi karena bagian ini
menjadi tak berhingga ketika |x| → ∞. Solusi asimtotik yang secara
fisis bisa diterima berbentuk
2 /2
ψ(x) → (..)e−ξ untuk ξ yang besar (7.43)
Jadi bentu solusi yang kita perlukan adalah
2 /2
ψ(x) = h(ξ)e−ξ (7.44)
Kita berharap setelah melakukan substitusi ke persamaan Schrödi-
nger, kita mendapatkan persamaan untuk h(ξ) yang lebih sederhana.
Dengan menggunakan turunan pertama dan kedua,
 
dψ(ξ) dh 2
= − ξh e−ξ /2 (7.45)
dξ dξ
d2 ψ(ξ)
 2 
dh dh 2

2
= 2
− 2ξ + (ξ − 1)h e−ξ /2 (7.46)
dξ dξ dξ
Setelah subsitusi ke persamaan Schrödinger, kita mendapatkan per-
samaan

d2 h dh
2
− 2ξ + (K − 1)h = 0 (7.47)
dξ dξ
Untuk mendapatkan solusi persamaan ini kita akan menggunak-
an metode deret pangkat yang mana kita mengasumsikan solusinya
berbentuk

X
h(ξ) = aj ξ j (7.48)
j=0

Turunan pertama dan kedua dari deret ini adalah


92 Osilator Harmonik


dh(ξ) X
= jaj ξ j−1
dξ j=1

X
= jaj ξ j−1 (7.49)
j=0


d2 h(ξ) X
= j(j − 1)aj ξ j−2
ξ j=2

X
= (j + 2)(j + 1)aj+2 ξ j (7.50)
j=0

Setelah substitusi kita memperoleh


X
[(j + 2)(j + 1)aj+2 − 2jaj + (K − 1)aj ]ξ j = 0 (7.51)
j=0

Supaya deret pangkat merupakan solusi persamaan ?? bagian di


dalam kurung persegi harus nol, sehingga kita mempunyai persamaan
untuk koefisien aj ,

(j + 2)(j + 1)aj+2 − 2jaj + (K − 1)aj = 0 (7.52)


atau

(2j + 1) − K)
aj+2 = aj (7.53)
(j + 2)(j + 1)
Persamaan ini menghubungkan nilai koefisien tertentu dengan ni-
lai koefisien sebelumnya. Jika kita sudah mengetahui a0 , kita akan
dapat menghasilkan nilai-nilai koefisien a2 , a4 , · · · atau semua koe-
fisien dengan indeks genap. Sedangkan jika kita tahu a1 kita dapat
menghasilkan semua koefisien dengan indeks ganjil.
Sekarang kita perhatikan koefisien untuk indeks j yang besar. Per-
samaan di atas dapat diaproksimasi dengan

1
aj+2 ≈ aj (7.54)
j/2
Metode Analitik 93

Dengan solusi berbentuk

C
aj ≈ (7.55)
(j/2)!

Solusi asimtotik menjadi

X 1
h(ξ) ≈ C ξj
(j/2)!
X1 2
≈C ξ 2j ≈ Ceξ (7.56)
j!
2
Tetapi ini lebih besar dari solusi ψ = (..)eξ /2 yang kita peroleh sebe-
lumnya. Haruslah ada kondisi sehingga semua koefisien untuk indeks
yang besar menjadi nol. Jika kita anggap nilai tertinggi indeks yang
akan menghasilkan nilai nol adalah indeks ke n maka kondisi ini bisa
dihasilkan dengan

K = 2n + 1 (7.57)

atau

1
En = (n + )~ω untuk n = 0, 1, 2, · · · (7.58)
2
Ini menunjukkan bahwa energi terkuantisasi sesuai dengan hasil
sebelumnya tetapi diperoleh dengan cara yang berbeda.
Dengan kondisi ini kita memperoleh rumus,

(2j + 1) − (2n + 1))


aj+2 = aj
(j + 2)(j + 1)
−2(n − j)
= aj (7.59)
(j + 2)(j + 1)

Untuk n = 0, hanya ada satu solusi yaitu a0 dan kita harus meng-
gunakan a1 = 0.

h0 (ξ) = a0 (7.60)
94 Osilator Harmonik

Tabel 7.1: Polinom Hermite


h0 (x) = 1 h1 (x) = 2x
h2 (x) = 4x2 − 2 h3 (x) = 8x3 − 12x
h4 (x) = 16x4 − 48x2 + 12 h5 (x) = 32x5 − 160x3 + 120x
Tambah 4 fungsi

Jadi solusinya persamaan Schrödinger untuk energi terendah ada-


lah
2 /2
ψ0 (ξ) = a0 e−ξ (7.61)
mω 2
Substitusi ξ 2 = ~
x, kita mendapatkan hasil sebelumnya yaitu
mω 2
ψ0 (ξ) = a0 exp(−x) (7.62)
2~
Untuk n = 1, kita pilih a0 = 0 dan j = 1 maka

h1 (ξ) = a1 ξ (7.63)
sehingga
2 /2
ψ1 (ξ) = a1 ξe−ξ (7.64)
untuk n = 2, j = 0 menghasilkan a2 = −2a0 , dan j = 2 memberikan
a4 = 0 sehingga

h2 (ξ) = a0 (1 − 2ξ 2 ) (7.65)
sehingga
2 /2
ψ2 (ξ) = a0 (1 − ξ 2 )e−ξ (7.66)
Secara umum solusi persamaan Schrödinger untuk osilator harmo-
nik adalah
 mω 1/4 1 2 /2
ψn (ξ) = √ hn (ξ)e−ξ (7.67)
π~ 2n n!
di mana hn (ξ) adalah polinom Hermite. Polinom-polinom Hermite
dapat dilihat pada Tabel 7.1.
[Grafik psi(x) dan P(x) ]
Notasi Dirac dalam Mekanika
8
Kuantum

Bab ini memperkenalkan dan mengkaji notasi Dirac yang akan digu-
nakan pada bab-bab berikutnya. Notasi ini berguna karena menyatuk-
an secara elegan formulasi-formulasi kuantum. Di samping itu pula,
notasi Dirac memberikan pemahaman yang lebih dibandingkan notasi
lain. Dengan notasi Dirac, penulisan persamaan matematis kuantum
dapat lebih versatile, transparan dan padat, kompak.

8.1 Bra-Ket
Sebelumnya kita menuliskan fungsi gelombang ψ, sebagai contohnya
untuk tiga keadaaan (a, b dan c) dengan ψa , ψb , ψc . Dengan notasi Dirac
kita menuliskan tiga fungsi keadaan ini dengan |ψa i, |ψb i, |ψc i. Atau
bisa lebih singkat dengan cara penulisan |ai, |bi, dan |ci. Huruf yang
kita gunakan di sini a, b, c hanyalah merupakan label atau penan-
da keadaan sistem yang mempunyai fungsi gelombang ψa , ψb , dan ψc .
Kita juga dapat menggunakan label yang lain seperti 1, 2, dan 3 asalk-
an tidak menimbulkan ketidakjelasan. Untuk cara penulisan dengan
jumlah label yang banyak seperti untuk fungsi gelombang untuk kea-
daan partikel di dalam sumur potensial kotak 3D (lihat Bab ?) ψnx ,ny ,nz
dapat dinotasikan dengan |ψnx ,ny ,nz i, atau yang lebih elegan dan lebih
singkat menggunakan notasi |nx , ny , nz i.
Penggunaan notasi Dirac tidak hanya menandakan fungsi gelom-
bang, tetapi juga menandakan vektor keadaan. Notasi ini mengga-
bungkan/menyamakan konsep fungsi gelombang dan vektor keadaan.
Untuk selanjutkan agar tidak membingungkan, kita akan menggu-
nakan fungsi keadaan atau vektor keadaan.
Vektor keadaan | i disebut oleh Dirac dengan nama ”ket” atau ”sta-
96 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

te ket” karena merepresentasikan fungsi keadaan atau fungsi gelom-


bang. Sebuah ket merupakan sebuah vektor pada ruang Hilbert. Se-
tiap ket memiliki ”teman” atau ”dual space partner” yaitu ”state bra”
atau ”bra” atau h |. Nama ket dan bra diambil dari nama bra(c)ket
untuk penulisan h i.
Dengan notasi Dirac, |mi = |ψm i dan |ni = |ψn i, perkalian skalar
untuk |mi dan |ni didefinisikan dengan
Z

hm|ni = hψm |ψn i = ψm (r)ψn (r)d3 r (8.1)

Dari definisi ini, jika kita tukar posisi m dan n, kita memperoleh

Z
hn|mi = hψn |ψm i = ψn∗ (r)ψm (r)d3 r
Z ∗
∗ 3
= ψn (r)ψm (r)d r

hn|mi = hm|ni∗ (8.2)

Gambar 8.1: Ilustrasi menggunaan notasi Dirac

Seperti halnya pada vektor bahwa sebuah vektor dapat dibentuk


dari superposisi dua atau lebih vektor. Misalkan dua vektor v1 dan v2 ,
vektor v dapat dibentuk dengan kombinasi linier dari vektor v1 dan
v2 ,

v = c1 v1 + c2 v2 (8.3)
Prinsip superposisi linier juga berlaku untuk fungsi gelombang.
Bra-Ket 97

Dirac tahu bahwa prinsip superposisi linier tidak hanya berlaku


untuk fungsi gelombang tetapi juga vektor keadaan atau keadaaan.
Maka vektor keadaan dapat dibentuk dari dua keadaan |1i dan |2i.

|ψi = c1 |1i + c2 |2i (8.4)


Perkalian skalar suatu ket |ai dengan sebuah ket yang dibentuk
dari dua ket misalkan |bi = α|mi + β|ni.

ha|bi = αha|mi + βha|ni (8.5)

dan juga menggunakan konjugasi kompleks.

hb|ai = α∗ hm|ai + β ∗ hn|ai (8.6)

Ini menunjukkan bahwa jika vektor ket

|bi = α|mi + β|ni (8.7)

Maka dual spacenya vektor bra sehingga

hb| = α∗ hm| + β ∗ hn| (8.8)

hm|mi > 0 (8.9)


untuk semua fungsi gelombang ψm (r). Ini menunjukkan bahwa
fungsi gelombang harus memiliki probabilitas atau sifat ”square in-
tegrable”.
Sebuah ket sudah ternormalisasi artinya bahwa ket |mi

hm|mi = 1 (8.10)
Dua ket |mi dan |ni dikatakan orthogonal artinya bahwa perkalian
skalar menghasilkan nol.

hm|ni = 0 m 6= n (8.11)
Jika satu set fungsi basis {φn } atau |ni merupakan fungsi yang
komplit dan orthogonal berarti
98 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

hm|ni = δmn (8.12)


Fungsi gelombang ψ dapat diekspansikan ke komponen-komponen
fungsi basis {ψn },

X
ψ= cn ψn (r) (8.13)
n=1

atau dengan notasi Dirac,



X
|ψi = cn |ni (8.14)
n=1

Perkalian skalar ψ dengan φm atau |mi,



X
hm|ψi = cn hm|ni (8.15)
n=1

Karena hm|ni = δmn , maka diperoleh

cn = hn|ψi (8.16)
Sehingga kita dapat menuliskan

X
|ψi = |nihn|ψi (8.17)
n=1

Mari kita perhatikan notasi Dirac dan dengan operator. Sebelum


itu, kita sudah pelajari sebelumnya bahwa operasi operator pada se-
buah fungsi gelombang menghasilkan fungsi gelombang yang lain ξ =
Ω̂ψ, maka

|ξi = |Ω̂ψi = Ω̂|ψi (8.18)


Jika kita operasikan perkalian skalar dengan φ atau |φi

hφ|ξi = hφ|Ω̂ψi = hφ|Ω̂|ψi (8.19)

hξ|φi = hΩ̂ψ|φi = hφ|Ω̂ψi∗ = hφ|Ω̂|ψi∗ (8.20)


Operator Hermitian,

hφ|Ω̂ψi = hΩ̂φ|ψi (8.21)


Amplitudo Probabilitas 99

hφ|Ω̂|ψi = hψ|Ω̂|φi∗ (8.22)

8.2 Amplitudo Probabilitas


Observabel Ω, operator Ω̂ memiliki satu set yang komplit eigenket
{|ni}, |1i, |2i, |3i, . . .. dengan nilai eigen ω1 , ω2 , ω3 , . . ..
Nilai ekspektasi Omega ˆ pada vektor keadaan |ξi diberikan oleh

hΩ̂iξ = hξ|Ω̂|ξi (8.23)


menggunakan

X
|ξi = |nihn|ξi (8.24)
n=1

∞ X
X ∞
hΩ̂iξ = hξ|mihm|Ω̂|nihn|ξi
n=1 m=1
∞ X
X ∞
= hξ|miωn hm|nihn|ξi
n=1 m=1
X∞ X ∞
= hξ|miωn δmn hn|ξi
n=1 m=1

X
= ωn hξ|nihn|ξi
n=1
X∞
= ωn |hn|ξi|2 (8.25)
n=1

8.3 Fungsi Gelombang


Operator posisi r̂ memiliki nilai eigen yang kontinyu dengan nilai eigen
r dan fungsi eigen |mathbf ri. Fungsi eigen dan nilai eigen memenuhi
persamaan eigen,

r̂|ri = r|ri (8.26)


Normalisasi dan ortogonalisasi fungsi eigen,
hr′ |ri = δ (3) (r′ − r) (8.27)
100 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

Setiap fungsi keadaan dapat diuraikan kebentuk komponen,


Z
|ai = |rihr|ai d3r (8.28)

|hr|ai|2 d3 r (8.29)
Merupakan probabilitas menemukan partikel di volume elemen d3 r.
Ini menunjukkan bahwa

ψa (r) = hr|ai (8.30)


jika kita memiliki fungsi keadaan |bi, dan melakukan ekspansi,
Z
|bi = |rihr|bi d3r (8.31)

Perkalian skalar fungsi keadaan,

Z
ha|bi = ha|rihr|bi d3r
Z
= hr|ai∗ hr|bi d3 r
Z
= ψa∗ (r)ψb (r) d3 r (8.32)

8.4 Representasi Operator dengan Matriks


Umpamanya kita sudah memiliki sebuah kumpulan fungsi yang orto-
normal dan komplit, {ψn }, dengan n = 1, 2, 3, . . .. Fungsi dalam satu
set ini dapat diperoleh dari penyeselsaian persamaan eigen.
Karena kumpulan fungsi ini komplit, maka fungsi apa saja Ψ dapat
diuraikan atau dibentuk dengan fungsi-fungsi {ψn },
X
Ψ(r) = cn ψn (r) (8.33)
n

Koefisien cn didapat seperti sebelumnya dengan

Z
cn = ψn∗ (r)Ψ(r)d3r (8.34)

atau dengan notasi Dirac,


Representasi Operator dengan Matriks 101

cn = hψn |Ψi (8.35)

Kombinasi linier fungsi-fungsi {ψn } dengan koefisien {cn } merep-


resentasikan fungsi Ψ. Kita dapat mengatakan pula bahwa {cn } me-
representasikan fungsi Ψ dalam basis fungsi {ψn }. Kita dapat mem-
pertimbangkan bahwa satu set fungsi ini sebagai satu set sumbu ko-
ordinat dan {cn } sebagai sebuah vektor dalam koordinat ini. Dengan
kata lain kita dapat merepresentasikan suatu fungsi keadaan dengan
sebuah vektor pada basis tertentu.
Operasi sebuah operator pada suatu fungsi keadaan akan mengha-
silkan sebuah fungsi keadaan.

Φ = Ω̂Ψ (8.36)
Jika kita uraikan Φ pada basis fungsi ψn atau |ni,
X X
Φ= dm ψm = dm |mi (8.37)
m m
X X
Ψ= cn ψn = cn |ni (8.38)
n n

di mana

dm = hm|Φi (8.39)
dan

cn = hn|Ψi (8.40)

dm = hm|Φi
= hm|Ω̂Ψi
X
= hm|Ω̂|nicn
n
X
= Ωmn cn (8.41)
n

di mana

Ωmn = hm|Ω̂|ni (8.42)


102 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

atau dapat ditulis dalam bentuk matriks


    
d1 Ω11 Ω12 Ω13 . . . c1
d2  Ω21 Ω22 Ω23 . . . c2 
d3  = Ω31 Ω32 Ω33 . . . c3  (8.43)
    
.. .. .. .. . . ..
    
. . . . . .
atau dipersingkat dengan notasi huruf tebal.

d = Ωc (8.44)
Di sini terlihat bahwa operasi menggunakan operator berubah men-
jadi operasi matriks atau operasi aljabar. Persamaan di atas matriks
Ωmn menghubungkan koefisien dm dengan koefisien cn . Jadi matriks
Ωmn merepresentasikan operator Ω̂ pada fungsi basis {ψn } atau vektor
keadaan |ni.

cn = hn|Ψi (8.45)

dn = hn|Φi (8.46)
dan

d∗n = hΦ|ni (8.47)


Perkalian skalar
X
hΦ|Ψi = d∗n cn = d† .c (8.48)
n
 
c1
 c2 

hΦ|Ψi = d∗1 d∗2 d∗3 . . . c  (8.49)

 3
..
.

8.5 Sifat-sifat Matriks dan Definisi


Jika diberikan dua matriks dengan ukuran yang sama A dan B, sebu-
ah matriks C dapat diperoleh dengan penjumlahan atau pengurangan

C= A±B (8.50)
Atau dalam bentuk elemen,
Sifat-sifat Matriks dan Definisi 103

Cmn = Amn ± Bmn (8.51)


Perkalian matriks dua matriks merupakan inner product, C = AB
didefinisikan sebagai
X
Cmn = Amk Bkn (8.52)
k

Sifat Distributif : C(A + B) = CA + CB dan asosiatif (AB)C = A(BC).


Secara umum AB 6= BA,
jika matriks A dan B memenuhi AB = BA maka matriks A dan B
dinyatakan komut.
Invers matriks adalah sebuah matriks yang jika dikalikan dengan
matriks awalnya menghasilkan sebuah matriks identitas.

A−1 A = AA−1 = I (8.53)


Matriks identitas memiliki elemen yang bernilai 1 pada diagonal
dan bernilai 0 pada elemen lainnya atau Imn = δmn . Matriks yang
memiliki matriks invers dinamakan matriks non-singular.
Transpose sebuah matriks AT didefinisikan sebagai berikut:

(AT )mn = Anm (8.54)

Adjoin dari sebuah matriks A† ,

(A† )mn = A∗nm (8.55)


Matriks dinyatakan Hermitian jika matriks itu sama dengan adjo-
intnya.

A† = A (8.56)

Amn = A∗nm (8.57)


Matriks dikatakan unitari jika

U−1 = U† (8.58)
atau

UU† = U† U = I (8.59)
104 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

Trace dari suatu matriks didefinisikan sebagai jumlah semua dia-


gonalnya:
X
T rA = Ann (8.60)
n

Seperti kita lihat sebelumnya bahwa fungsi gelombang dan opera-


tor dapat direpresentasikan dalam bentuk vektor dan matriks yang
sesuai dengan basis yang digunakan. Fungsi gelombang dapat direp-
resentasikan di berbagai representasi.
Generalisasi konsep yang tidak tergantung pada representasi kita
akan menggunakan konsep vektor keadaan yang dinotasikan notasi
Dirac vektor ket |Ψi dan bra hΨ|. Kuantitas hΨ|Ψi merupakan kuadrat
panjang atau norm dati vektor ket |Ψi.

8.6 Contoh Harmonik Osilator


Ingat operator â± yang diberikan oleh
 
1 ~ d
â± ≡ √ ± imωx (8.61)
2m~ω i dx
Operator Hamilton dapat dibentuk dari operator â±

1
Ĥ = ~ω(â+ â− + ) (8.62)
2
atau

1
Ĥ = ~ω(â− â+ − ) (8.63)
2
Umpama |Ei merupakan solusi persamaan Schrödinger Ĥ|Ei =
E|Ei,
Ingat bahwa :

â− |E0 i = 0
|E1 i ∝ â+ |E0 i
|E2 i ∝ â+ |E1 i
|E3 i ∝ â+ |E2 i
|En+1 i ∝ â+ |En i (8.64)
Contoh Harmonik Osilator 105

|En+1 i = cn+1 â+ |En i (8.65)

Normalisasi hEn+1 |En+1 i = 1, dan â− = â†+

hEn+1 |En+1 i = |cn+1 |2 hEn |â− â+ |En i = |cn+1 |2 (n + 1) = 1 (8.66)

Sehingga cn+1 = (n + 1)−1/2 .


Dengan cara yang hampir sama,

|En−1 i = dn−1â− |En i (8.67)

Normalisasi hEn−1 |En−1 i = 1, dan â+ = â†−

hEn−1 |En−1 i = |dn−1 |2 hEn |â+ â− |En i = |dn−1|2 (n) (8.68)

Sehingga dn−1 = n−1/2 .


Jadi,


â+ |En i = n + 1|En+1 i (8.69)


â− |En i = n|En−1 i (8.70)

(ân )
|En i = √+ |E0 i (8.71)
n!
Dengan basis ortonormal {|En i} yang merupakan fungsi eigen dari
persamaan Schrödinger, maka diperoleh
 
√0 0 0 0 ...
 1 0 0 0 . . .
 √ 
a+ =  0 2 √0 0 . . . (8.72)


 0 0 3 0 . . . 
 
.. .. .. .. . .
. . . . .
106 Notasi Dirac dalam Mekanika Kuantum

 √ 
0 1 √0 0 ...
0 0 2 √0 . . .
 
a− = 0 0 0 3 . . . (8.73)


0 0 0 0 . . .
 
.. .. .. .. . .
. . . . .
1
 
0 0 0 ...
2 

0 3 
0 0 . . . 
 2 

a− = ~ω  0 0 5 
(8.74)
0 . . .
 
2
7
 
 
0 0 0 . . .
 2 
.. .. .. .. . .
. . . . .
Momentum Angular
9
Momentum angular sangat penting. Sifat momentum angular untuk
sistem tidak tergantung pada gaya yang bekerja? tergantung pada
simetri.
Untuk sistem satu partikel yang berada pada potensial V (r), seba-
gian fungsi gelombang ditentukan oleh momentum angular.
Dalam mekanika kuantum momentum angular direpresentasikan
dengan sebuah operator yang sesuai dengan momentum angular kla-
sik yaitu
L=r×p (9.1)

Melakukan pengganti dengan operator r̂ dan p̂, operator momen-


tum angular adalah

L̂ = r × (−i~∇) (9.2)

Sesuai dengan simetri (untuk sistem koordinat bola), maka opera-


tor untuk momentum angular dapat lebih baik dituliskan dalam koo-
rdinat bola, sferis (r, θ, φ) yaitu

x = r sin(θ) cos(φ)
y = r sin(θ) sin(φ)
z = r cos(θ) (9.3)

ingat interval jangkauan untuk variabel (r[0, ∞], θ = [0, π], φ[0, 2π])
dan

L̂ = L̂x î + L̂y ĵ + L̂z k̂ (9.4)


108 Momentum Angular

 
ˆ ∂ ∂
Lx = i~ sin(φ) + cot(θ) cos(φ)
∂θ ∂φ
 
ˆ ∂ ∂
Ly = i~ − cos(φ) + cot(θ) sin(φ)
∂θ ∂φ

Lˆz = −i~ (9.5)
∂φ

kuadrat dari magnitudo dari operator momentum angular

L̂2 = L̂ · L̂ = L̂2x + L̂2y + L̂2z (9.6)

∂2
   
2 2 1 ∂ ∂ 1
L̂ = −~ sin(θ) + (9.7)
sin(θ) ∂θ ∂θ sin2 (θ) ∂φ2

Kita perhatikan bahwa operator angular momentum hanya tergan-


tung pada variabel (θ, φ), dan tidak tergantung pada variabel r,

L̂2 Y (θ, φ) = ~2 λY (θ, φ) (9.8)


persamaan eigen untuk momentum angular,

∂2
   
1 ∂ ∂ 1
− sin(θ) + Y (θ, φ) = λY (θ, φ) (9.9)
sin(θ) ∂θ ∂θ sin2 (θ) ∂φ2

fungsi gelombang,

ψ(r) = R(r)Y (θ, φ) (9.10)


fungsi Y (θ, φ) adalah spherical harmonics yang diberikan oleh,
|m|
Yℓm (θ, φ) = Nℓm Pℓ (cos(θ))eimφ (9.11)
|m|
dimana Pℓ (cos(θ)) adalah fungsi assiciate Legendre contoh sphe-
rical harmonics,
grafiknya
10
Rigid Rotator

Untuk molecul dengan dua atom, energi yang terkandung dapat ber-
upa energi rotasi. Di bagian ini kita akan mempelajari, sistem dua
atom/ molekul yang rigid (kaku), atau dengan artian jarak antara ke-
dua atom tidak berubah.
Gambar dua molekul.
Jika kita ambil pusat massa sebagai titik referensi untuk koordi-
nat, maka energi rotasinya untuk kecepatan angular ω adalah

1 1
T = m1 ω 2 r12 + m2 ω 2 r22
2 2
1
= (m1 r12 + m2 r22 )
2
1
= Iω 2 (10.1)
2
Momentum angular untuk sistem ini adalah

L = Iω (10.2)

Jadi kita memperoleh,

1 1
T = (Iω)2 = L2 (10.3)
2I 2I
Untuk mengubah ke bentuk operator Hamiltonian, kita menggu-
nakan operator momentum,

L̂ ≡ r̂ × p̂ (10.4)
Untuk potensial eksternal yang konstan dna diabaikan, persamaan
Schrödingernya menjadi,
110 Rigid Rotator

Ĥψ = Eψ
1 2
L̂ ψ = Eψ (10.5)
2I
Jika kita mengubah variabel dan sistem koordinat ke koordinat bo-
la, persamaan Schrödinger menjadi,

−~2 2
L̂ ψ(θ, φ) = Eψ(θ, φ) (10.6)
2I
menjadi persamaan diferensial,

∂2ψ ∂ψ 1 ∂2ψ
+ cot θ + + l(l + 1)ψ = 0 (10.7)
∂θ2 ∂θ sin2 θ ∂φ2
Solusi persamaan ini adalah berupa fungsi ”spherical harmonics”,

|m|
ψl,m (θ, φ) = Yl,m (θ, φ) = APl (θ) exp(imφ) (10.8)
|m|
yang mana A adalah factor normalisasi, Pl (θ) adalah ”associated
Legendre polynomial”. Energi rotasinya adalah

J(J + 1)~2
EJ = (10.9)
2I
ada 0, ±1, ±2, · · · , ±J, J(J + 1) dengan tingkat energi yang sama.
Partikel pada Sumur Potensial
11
Kotak 3D

Sebuah partikel berada pada sumur potensial kotak (tiga dimensi). Po-
tensial kotak diberikan oleh


0 jika di dalam kotak atau 0 < x < Lx , 0 < y < Ly , 0 < z < Lz
V =
∞ di luar kotak
(11.1)
Seperti sebelumnya, fungsi gelombang bernilai nol pada daerah
yang memiliki nilai potensial tinggi atau ∞. Operator Hamilton un-
tuk partikel bebas di dalam kotak yaitu

p̂2 ~2 2 ~2 ∂ 2 ∂2 ∂2
 
Ĥ = =− ∇ =− + + (11.2)
2m 2m 2m ∂x2 ∂y 2 ∂z 2
Persamaan Schrödinger yang tidak bergantung waktu diberikan
oleh

~2 ∂ 2 ∂2 ∂2
 
− + + ψ(x, y, z) = Eψ(x, y, z) (11.3)
2m ∂x2 ∂y 2 ∂z 2
Dengan menggunakan metode separasi variabel, kita mengumpa-
makan solusi persamaan Schrödinger berbentuk perkalian fungsi, ψ(x, y, z) =
X(x)Y (y)Z(z). Setelah substitusi ψ(x, y, z) pada persamaan Schrödi-
nger dan pengaturan posisi fungsi X(x), Y (y) dan Z(z), kita dapat
memperoleh,

~2 1 d 2 X ~2 1 d 2 Y 1 d2 Z
 
− =E+ + (11.4)
2m X dx2 2m Y dy 2 Z dz 2
112 Partikel pada Sumur Potensial Kotak 3D

Kita perhatikan bahwa bagian sisi kiri dan sisi kanan dari persa-
maan (11.4) di atas, mempunyai variabel ruang yang berbeda. Supaya
kedua sisi dari persamaan bernilai sama maka kedua sisi haruslah
bernilai konstanta.

~2 1 d 2 X
− = Ex (11.5)
2m X dx2

~2 1 d 2 Y 1 d2 Z
 
E+ + = Ex (11.6)
2m Y dy 2 Z dz 2

atau

~2 1 d 2 Y 1 d2 Z
− = (E − Ex ) + (11.7)
2m Y dy 2 Z dz 2

Dengan cara yang sama seperti sebelumnya bahwa dua sisi me-
rupakan fungsi yang variabel yang berbeda, kita mendapatkan dua
persamaan untuk variabel y dan z.

~2 1 d 2 Y
− = Ey (11.8)
2m Y dy 2

~2 1 d 2 Z
− = Ez (11.9)
2m Z dz 2
Jadi kita sudah memisahkan persamaan diferensial dengan fungsi
dengan variabel yang berbeda dan menghasilkan tiga persamaan de-
ngan variabel independen.

~2 d 2 X
− = Ex X (11.10)
2m dx2
~2 d 2 Y
− = Ey Y (11.11)
2m dy 2
~2 d 2 Z
− = Ez Z (11.12)
2m dz 2
(11.13)
113

dan E = Ex + Ey + Ez .
Ini merupakan persamaan yang sama dengan persaman Schrd̈inger
untuk potensial persegi tak berhingga satu dimensi (lihat halaman
75).
Fungsi gelombang yang dihasikan setelah normalisasi adalah

r  
2 nx πx
Xnx (x) = sin (11.14)
Lx Lx
s  
2 ny πy
Yny (x) = sin (11.15)
Ly Lx
r  
2 nz πz
Znz (x) = sin (11.16)
Lz Lx

Kita gabungkan solusi ini menjadi

s      
8 nx πx ny πy nz πz
ψ(x, y, z) = sin sin sin (11.17)
Lx Ly Lz Lx Ly Lz

dengan nilai energi eigen

Enx ny nz = Ex,nx + Ey,ny + Ez,nz


h2 n2x n2y n2z
 
= + + (11.18)
8m L2x L2y L2z

jika Lx = Ly = Lz = a, energinya menjadi

h2
Enx ny nz = 2
[n2x + n2y + n2z ] (11.19)
8ma
Jika kita perhatikan, persamaan di atas, nilai tingkat energi dapat
bernilai sama untuk beberapa tingkat energi. Sebagai contoh, ting-
kat energi (2, 1, 0), (2, 0, 1), (1, 0, 2),(0, 1, 2), (0, 2, 1), dan (1, 2, 0) memiliki
energi E = 6h2 /(8mL2 . Keadaan tingkat energi yang energinya sama
dinamakan degenerasi.
Atom dengan Satu Elektron
12
Pada bab ini kita akan membahas sebuah sistem kuantum, sebuah
atom dengan satu elektron. Ini merupakan contoh sederhana yang me-
miliki solusi analitik. Atom yang memiliki satu elektron seperti atom
hidrogen, Helium dan litium. Atom hidrogen sangat penting karena
ini merupakan sistem pertama Bohr dan Schrodinger mengaplikasik-
an teori mereka. Dengan menyelesaikan persamaan Schrödinger, kita
akan memprediksi tingkatan-tingkatan energi.
Teori Schödinger tidak hanya memprediksi tingkatan energi, tetapi
juga fungsi gelombang yang memberikan fungsi kerapatan probabili-
tas posisi elektron, orbital momentum angular, elektron spin dll.
fondasi untuk sistem multielektron.
walaupun ini satu elektron, tetapi sistem ini memiliki dua partikel
(inti atom) dan elektron.
teknik massa tereduksi;
 
M
µ= m (12.1)
m+M
di mana m adalah massa elektron dan M adalah massa inti atom.
karena simetri sistem, kita akan menggunakan koordinate bola un-
tuk mempermudah penyelesaian persamaan Schrodinger.
Jadi kita dapat membahas sistem dua elektron ini dengan memper-
timbangkan elektron dengan massa tereduksi bergerak pada potensial
elektrostatik Coulomb,

−Ze2
V (r) = (12.2)
4πǫ0 r
Persamaan Schödinger untuk sistem ini adalah

~2 2
− ∇ ψ(r, θ, φ) + V (r)ψ(r, θ, φ) = Eψ(r, θ, φ) (12.3)

116 Atom dengan Satu Elektron

operator laplacian ∇2 dalam koordinate bola yaitu

∂2
   
2 1 ∂ 2 ∂ 1 ∂ ∂ 1
∇ = 2 r + 2 sin θ + 2 2 (12.4)
r ∂r ∂r r sin θ ∂θ ∂θ r sin θ ∂φ
Menggunakan metode separasi variabel, kita mnegumpamakan so-
lusi berbentuk,

ψ(r, θ, φ) = R(r)Θ(θ)Φ(φ) (12.5)


substitusi menghasilkan,

~2 1 ∂ ∂ 2 RΘΦ
     
2 ∂RΘΦ 1 ∂ ∂RΘΦ 1
− r + 2 sin θ + 2 2
2µ r 2 ∂r ∂r r sin θ ∂θ ∂θ r sin θ ∂φ2
+ V (r)RΘΦ = ERΘΦ (12.6)

~2 ΘΦ ∂ RΘ ∂ 2 Φ
     
2 ∂R RΦ ∂ ∂Θ
− r + 2 sin θ + 2 2
2µ r 2 ∂r ∂r r sin θ ∂θ ∂θ r sin θ ∂φ2
+ [V (r) − E]RΘΦ = 0 (12.7)

Jika kita kalikan dengan

−2µr 2 sin2 θ
(12.8)
RΘΦ~2
diperoleh,

sin2 θ ∂ 1 ∂2Φ
   
2 ∂R sin θ ∂ ∂Θ
r + sin θ +
R ∂r ∂r Θ ∂θ ∂θ Φ ∂φ2
− 2µr 2 sin2 θ[V (r) − E] = 0 (12.9)
1 ∂2Φ
Jika kita ubah posisi Φ ∂φ
sehingga menjadi

1 ∂2Φ sin2 θ ∂
   
2 ∂R 2 2 sin θ ∂ ∂Θ
= − r − 2µr sin θ[V (r) − E] − sin θ
Φ ∂φ2 R ∂r ∂r Θ ∂θ ∂θ
(12.10)

Ingat bahwa R hanya merupakan fungsi variabel r saja, begitu pu-


la Θ hanya fungsi variabel θ dan Φ fungsi variabel φ, kita perhatikan
117

bahwa disisi kiri merupakan bagian persamaan dengan hanya varia-


bel φ dan di sebelah kanan merupakan bagian dengan variable r dan
θ. Sisi kiri dan kanan merupakan fungsi dengan variable independen
yang berbeda. Supaya dua sisi bernilai sama maka tidaklah mungkin
bernilai yang tergantung pada variabel r, θ ataupun φ, Jadi haruslah
sebuah konstanta. Untuk mempermudah solusi persamaan nantinya,
kita akan menggunakan konstanta −m2ℓ ,

1 ∂2Φ
= −m2ℓ (12.11)
Φ ∂φ2

∂ 2 Φ(φ)
= −m2ℓ Φ(φ) (12.12)
∂φ2

sin2 θ ∂
   
2 ∂R 2 2 sin θ ∂ ∂Θ
− r − 2µr sin θ[V (r) − E] − sin θ = −m2ℓ
R ∂r ∂r Θ ∂θ ∂θ
(12.13)

jika kita bagi dengan sin2 θ

m2ℓ
   
1 ∂ 2 ∂R 2 1 ∂ ∂Θ
r + 2µr [V (r) − E] + sin θ = (12.14)
R ∂r ∂r Θ sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ

Seperti sebelumnya, kita atur posisi bagian-bagiannya sehingga di


sisi kiri hanya merupakan fungsi variabel r dan kanan hanya fungsi
variabel φ,

m2ℓ
   
1 ∂ 2 ∂R 2 2 1 ∂ ∂Θ
r + 2µr sin θ[V (r) − E] = − sin θ +
R ∂r ∂r Θ sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ
(12.15)

Dengan alasan seperti sebelumnya bahwa dua sisi dengan variabel


yang berbeda, maka haruslah sama dengan sebuah konstanta, untuk
mempermudah pengenalan solusi, kita menggunakan konstanta, ℓ(ℓ +
1),

 
1 ∂ 2 ∂R
r + 2µr 2 sin2 θ[V (r) − E] = ℓ(ℓ + 1) (12.16)
R ∂r ∂r
118 Atom dengan Satu Elektron

m2ℓ
 
1 ∂ ∂Θ
− sin θ + = ℓ(ℓ + 1) (12.17)
Θ sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ

 
∂ 2 ∂R
r + 2µr 2 sin2 θ[V (r) − E]R = ℓ(ℓ + 1)R (12.18)
∂r ∂r

m2ℓ Θ
 
1 ∂ ∂Θ
− sin θ + = ℓ(ℓ + 1)Θ (12.19)
sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ

dari manipulasi di atas kita mengubah persamaan diferensial men-


jadi tiga bagian yang berbeda,

∂ 2 Φ(φ)
2
= −m2ℓ Φ(φ) (12.20)
∂φ

 
∂ 2 ∂R
r + 2µr 2 sin2 θ[V (r) − E]R = ℓ(ℓ + 1)R (12.21)
∂r ∂r

m2 Θ
 
1 ∂ ∂Θ
− sin θ + ℓ2 = ℓ(ℓ + 1)Θ (12.22)
sin θ ∂θ ∂θ sin θ

Solusi khusus persamaan (1) berbentuk,

Φ(φ) = eimℓ φ (12.23)


ingat bahwa fungsi gelombang harus memiliki satu nilai (single
valued function) dan variabel φ mempunyai nilai dari φ = 0 sampai
φ = 2π, dan nilai fungsi Φ(φ) harus sama ketika φ = 0 dan φ = 2π atau
Φ(0) = Φ(2π),
atau

eimℓ 0 = eimℓ 2π (12.24)

1 = cos(2mℓ 2π) + i sin(2mℓ 2π) (12.25)


Kita memiliki kondisi yang harus dipenuhi oleh mℓ
119

cos(2mℓ 2π) = 1 (12.26)


dan

sin(2mℓ 2π) = 0 (12.27)


Nilai mℓ yang memenuhi syarat di atas adalah

|mℓ | = 0, 1, 2, 3, . . . (12.28)
Jadi kita mempunyai satu set fungsi yang memenuhi adalah

Φ(φ) = eimℓ φ (12.29)


dengan mℓ harus bernilai bilangan bulat. Bilangan ini di katakan
sebuah bilangan kuantum.
Solusi persamaan (2) berbentuk

Θ(θ) = sin|mℓ | θFℓ|mℓ | (cos θ) (12.30)


nilai ℓ tidak sembarangan melainkan harus bernilai tertentu yaitu,

ℓ = |mℓ |, |mℓ | + 1, |mℓ | + 2, . . . (12.31)


sedangkan solusi untuk persamaan (3),
 ℓ  
Zr/na0 Zr Zr
Rnℓ (r) = e Gnℓ (12.32)
a0 a0
dengan

4πǫ0 ~2
a0 = (12.33)
µe2
dan nilai n tidak sembarangan, melainkan harus, n = ℓ + 1, ℓ + 2, ℓ +
3, . . .

µZ 2 e4 A
En = − 2 2 2
= 2 (12.34)
(4πǫ0 ) 2~ n n
kondisi untuk nilai n, ℓ dan mℓ

|mℓ | = 0, 1, 2, 3, . . .
ℓ = |mℓ |, |mℓ | + 1, |mℓ | + 2, . . .
n = ℓ + 1, ℓ + 2, ℓ + 3, . . . (12.35)
120 Atom dengan Satu Elektron

Tabel 12.1: Fungsi eigen untuk atom satu elektron


n ℓ mℓ Fungsi Eigen
 3/2
1 0 0 ψ100 = √1π aZ0 e−Zr/a0
 3/2  
1 Z Zr
2 0 0 ψ200 = 4 2π a0
√ 2 − a0 e−Zr/2a0
 3/2  
2 1 √1
0 ψ210 = 4 2π aZ0 Zr
a
e−Zr/2a0 cos θ
 3/2  0 
2 1 ±1 ψ21±1 = 8√1 π aZ0 Zr
a
e−Zr/2a0 sin θe±iφ
 3/2  0 
1 Z Zr Z 2 r2
3 0 0 ψ300 = 81 3π a0
√ 27 − 18 a0 + 2 a2 e−Zr/3a0
0
√  3/2  
3 1 0 ψ310 = 81√23π aZ0 6 − Zr a0
Zr −Zr/3a0
a
e cos θ
 3/2  0
3 1 ±1 ψ31±1 = 81√1 3π aZ0 6 − Zr a0
Zr −Zr/3a0
a0
e sin θe±iφ
 3/2  2 2 
3 2 0 ψ320 = 81√1 6π aZ0 Z r
a20
e−Zr/3a0 (3 cos2 θ − 1)
 3/2  2 2 
3 2 ±1 ψ32±1 = 811√π aZ0 Z r
a20
e−Zr/3a0 sin θ cos θe±iφ
 3/2  2 2 
3 2 ±2 ψ32±2 = 811√π aZ0 Z r
a2
e−Zr/3a0 sin2 θe±2iφ
0

dapat ditulis ulang menjadi

n = 1, 2, 3, . . .
ℓ = 0, 1, 2, . . . , (n − 1)
|mℓ | = −ℓ, −ℓ + 1, −ℓ + 2, . . . , 0, . . . , +ℓ − 2, +ℓ − 1, +ℓ (12.36)

Kita perhatikan bahwa (a) setiap nilai n, ada sejumlah n nilai ℓ, (b)
untuk setiap ℓ ada sebanyak (2ℓ + 1) nilai mℓ dan (c) untuk setiap nilai
n , ada n2 fungsi eigen yang degenerate.
Teori Perturbasi
13
Tidak banyak solusi dalam kuantum mekanik yang eksak. Banyak
pendekatan dilakukan untuk mendapatkan solusi. Banyak metode su-
dah dibuat untuk mengatasi ini. salah satunya adalah yang dibahas
di bab ini.
Di bab ini dibahas metode pendekatan, yang digunakan khususnya
untuk sistem yang sedikit berbeda dari suatu sistem yang sudah me-
miliki solusi atau dengan kata lain nilai energi eigen dan fungsi eigen
sudah diketahui.
sistem yang kita pelajari memiliki sedikit perbedaan, atau bisa di-
katakan, sistem yang sudah kita ketahui, diberikan suatu perturbasi
atau gangguan.

13.1 Kasus Non-degenerate


Pertimbangkan operator Hamiltonian untuk suatu sistem dapat dipi-
sahkan menjadi dua bagian

Ĥ = Ĥ0 + λV (13.1)
di mana Ĥ0 adalah operator Hamiltonian yang tidak memiliki gang-
guan (unperturbed) and λV adalah sebuah gangguan kecil. λ adalah
sebuah parameter riil. Menggunakan perturbasi λV dibandingkan V
saja akan mempermudah kita dalam menentukan (”keeping track”)
orde pendekatan. Disamping itu pula, besar perturbasi dapat diva-
riasikan dengan memvariasikan λ.
Seperti yang kita asumsikan bahwa kita sudah memiliki semua ni-
lai eigen dan fungsi eigen untuk sistem tanpa perturbasi dengan ope-
rator Hamiltonian Ĥ0 .

Ĥ0 |ψn(0) i = En(0) |ψn(0) i (13.2)


122 Teori Perturbasi

Di sini Kita asumsikan Ĥ0 bahwa sistem memiliki energi yang disk-
rit dan non-degenerate. Kita akan menggunakan notasi nilai eigen
(0) (0)
dari operator Ĥ0 dengan En dan |ψn i dengan n = 1, 2, 3, · · · . Ingat
(0)
bahwa untuk sistem yang non-degenerate, fungsi keadaan |ψn i ada-
(0)
lah orthogonal. dan kita asumsikan bahwa |ψn i sudah dinormalisasi.

Ĥ|ψn i = En |ψn i (13.3)

Prosedur pendekatan yang kita gunakan adalah dengan mengura-


ikan nilai eigen dan fungsi eigen menjadi pangkat λ,

En = En(0) + λEn(1) + λ2 En(2) + λ3 En(3) + · · · (13.4)

|ψn i = |φ(0) (1) 2 (2) 3 (3)


n i + λ|φn i + λ |φn i + λ |φn i + · · · (13.5)

Ingat bahwa
(1) (2) (3)
λEn , λ2 En , λ3 En dan seterusnya merupakan koreksi dari nilai
eigen tanpa perturbasi. dan
(1) (2)
|φn i, |φn i + dan seterusnya adalah koreksi fungsi keadaan.
Kita akan berasumsi dan memilih koreksi fungsi keadaan yang or-
togonal.

hφ(0) (1) (0) (2) (0) (3)


n |φn i = hφn |φn i = hφn |φn i = · · · = 0 (13.6)

substritusi operator dan penguraian fungsi keadaaan,

[Ĥ0 + λV ][|φ(0) (1) 2 (2)


n i + λ|φn i + λ |φn i + · · · ] = (13.7)
[En(0) + λEn(1) +λ 2
En(0) + · · · ][|φ(0)
n i + λ|φ(1)
n i +λ 2
|φ(2)
n i + ···] (13.8)

Persamaan ini berlaku untuk seluruh nilai λ, Jika kita kumpulkan


semua bagian yang memiliki pangkat λ yang sama, bagian tersebut
harus sama dengan nol. Atau masing-masing koefisien dari pangkat
λ secara terpisah harus habis atau nol. Bagian yang tidak memiliki λ
adalah bagian untuk sistem tanpa perturbasi.
kumpulkan koefisien lambda di sini:

[Ĥ0 + λV ][|φ(0) (1) 2 (2)


n i + λ|φn i + λ |φn i + · · · ] = (13.9)
[En(0) + λEn(1) + λ2 En(0) + · · · ][|φ(0) (1) 2 (2)
n i + λ|φn i + λ |φn i + · · · ] (13.10)
Kasus Non-degenerate 123

[Ĥ0 − En(0) ]|φ(1) (1) (0)


n i = −(V − En )|φn i (13.11)
[Ĥ0 − En(0) ]|φ(2) (1) (1) (2) (0)
n i = −(V − En )|φn i + En |φn i (13.12)
(13.13)

(0)
Jika kita kalikan dengan hφn | kedua sisi,

hφ(0) (0) (1) (0) (1) (0)


n |[Ĥ0 − En ]|φn i = −(hφn |V − En )|φn i (13.14)

hφ(0) (1) (0) (0) (1) (0) (0) (0) (1) (0)
n |Ĥ0 |φn i − hφn |En |φn i = −(hφn |V |φn i − hφn |En )|φn i (13.15)

(0)
Karena Ĥ0 bersifat Hermitian, untuk fungsi keadaan |ξi dan |φp i
(0)
dari Ĥ0 dengan energi Ep , kita memperoleh,

hφ(0) (0) (0)


p |Ĥ0 |ξi = Ep hφp |ξi (13.16)
sehingga,

hφ(0) (1) (0) (0) (1)


p |Ĥ0 |φn i = En hφn |φn i (13.17)

λEn(1) = hφ(0) (0)


n |λV |φn i (13.18)

Ini merupakan rumus yang penting untuk perturbasi order perta-


ma, yang menyatakan koreksi orde pertama adalah nilai ekspektasi
(0)
dari λV terhadap fungsi keadaan |φn i
(1)
Untuk memperoleh koreksi pertama untuk λ|φn i untuk fungsi ke-
(0) (0)
adaan |φn i, kita kalikan secara skalar dengan hφp | untuk p 6= n,

hφ(0) (0) (1) (0) (1) (0)


p |[Ĥ0 − En ]|φn i = −(hφp |V − En )|φn i (13.19)

(1)
Penguraian |φn i ke komponen fungsi keadaan yang tidak tergang-
gu,
X
|φ(1)
n i = anp |φ(0)
p i (13.20)
p6=n

sehingga untuk sisi kiri kita memperoleh,


124 Teori Perturbasi

hφ(0) (0) (1) (0) (0)


p |[Ĥ0 − En ]|φn i = (Ep − En )anp (13.21)
(0) (0)
Karena |φp i dan |φp i ortogonal,

−hφ(0) (1) (0) (0) (0)


p |V − En )|φn i = −hφp |V |φn i = Vpn (13.22)

sehingga diperoleh koefisien anp ,


Vpn
anp = (0) (0)
(13.23)
En − Ep
sehingga,
X Vpn
|φ(1)
n i = (0) (0)
|φ(0)
p i (13.24)
p6=n En − Ep
Koreksi ini membutuhkan semua fungsi keadaan untuk keadaan
tidak terganggu, sehingga membutuhkan komputasi yang banyak.
Penurunan untuk perturbasi orde dua, [tambhakan di sini]

hφ(0) (0) (2) (0) (1) (1) (0) (1) (2)


n |Ĥ0 − En |φn i = −hφn |V |φn i + En hφn |φn i + En (13.25)

X
En(2) = hφ(0) (1)
n |V |φn i = anp Vnp (13.26)
p6=n

X |Vpn|2
λ2 En(2) = λ2 (0) (0)
(13.27)
p6=n En − Ep
[Contoh aplikasi]

13.2 Kasus Degenerate


Umpama operator Hamiltonian memiliki kelipatan s −f old degenerate
state, sehingga ada s fungsi eigen yang linier independent, kita meng-
gunakan notasi, |unαi, di mana α = 1, · · · , s. Fungsi eigen ini dapat
dipilih yang ortogonal. Kita akan asumsikan bahwa fungsi eigen su-
dah ortonormal,

hunα |unβ i = δαβ (13.28)


Kasus Degenerate 125

α, β = 1, · · · , s
Kombinasi linier dari fungsi eigen ini juga merupakan fungsi eigen
(0)
dari operator Hamilton dengan energi En . Jadi sistem keadaan yang
menjadi orde ke nol untuk penguraian metode perturbasi, tidak bisa
ditentukan secara unik, jadi merupakan kombinasi dari fungsi eigen
degenerate. Jadi ini yang perlu kita tentukan terlebih dahulu.
s
X
|ψni i = ciα |unαi (13.29)
α=1

kita harus menentukan nilai koefisien ciα


Prosedur pendekatan yang kita gunakan adalah dengan mengura-
ikan nilai eigen dan fungsi eigen menjadi pangkat λ,

En = En(0) + λEn(1) + λ2 En(2) + λ3 En(3) + · · · (13.30)

|ψn i = |φ(0) (1) 2 (2) 3 (3)


n i + λ|φn i + λ |φn i + λ |φn i + · · · (13.31)
Ingat bahwa
(1) (2) (3)
λEn , λ2 En , λ3 En dan seterusnya merupakan koreksi dari nilai
eigen tanpa perturbasi. dan
(1) (2)
|φn i, |φn i + dan seterusnya adalah koreksi fungsi keadaan.
Kita akan berasumsi dan memilih koreksi fungsi keadaan yang or-
togonal.

hφ(0) (1) (0) (2) (0) (3)


n |φn i = hφn |φn i = hφn |φn i = · · · = 0 (13.32)
substritusi operator dan penguraian fungsi keadaaan,

[Ĥ0 + λV ][|φ(0) (1) 2 (2)


n i + λ|φn i + λ |φn i + · · · ] = (13.33)
[En(0) + λEn(1) +λ 2
En(0) + · · · ][|φ(0)
n i + λ|φ(1)
n i +λ 2
|φ(2)
n i + ···] (13.34)

Persamaan ini berlaku untuk seluruh nilai λ, Jika kita kumpulkan


semua bagian yang memiliki pangkat λ yang sama, bagian tersebut
harus sama dengan nol. Atau masing-masing koefisien dari pangkat
λ secara terpisah harus habis atau nol. Bagian yang tidak memiliki λ
adalah bagian untuk sistem tanpa perturbasi.
kumpulkan koefisien lambda di sini:

[Ĥ0 + λV ][|φ(0) (1) 2 (2)


n i + λ|φn i + λ |φn i + · · · ] = (13.35)
[En(0) + λEn(1) + λ2 En(0) + · · · ][|φ(0) (1) 2 (2)
n i + λ|φn i + λ |φn i + · · · ] (13.36)
126 Teori Perturbasi

[Ĥ0 − En(0) ]|φ(1) (1) (0)


n i = −(V − En )|φn i (13.37)
[Ĥ0 − En(0) ]|φ(2) (1) (1) (2) (0)
n i = −(V − En )|φn i + En |φn i (13.38)
(13.39)

φni |V |φnj i = φni |V |φni iδij (13.40)


Jadi φni |V |φnj i adalah matriks s×s yang diagonalnya adalah φni |V |φnj i
lihat hal 170.
s
X
|ψni i = ciα |unαi (13.41)
α=1

(1)
hunβ |V |φni i = Eni hunβ |φni i (13.42)

s
(1)
X
hunα |V |unαiciα = Eni ciβ (13.43)
α=1

ini bisa ditulis dengan,


s
(1)
X
(Vβα − Eni δβα )ciα = 0 (13.44)
α=1

ingat β = 1, · · · , s dan Vβα = hunβ |V |unαi


(1)
det(Vβα − Eni δβα) = 0 (13.45)
[Contoh aplikasi]
Perturbasi tergantung waktu
14
Pertimbangkan sebuah sistem dengan operator Hamiltonian dapat di-
bagi menjadi dua bagian seperti,

Ĥ = Ĥ0 + λĤ ′ (14.1)


dengan Ĥ0 adalah operator Hamiltonian tanpa ada pengaruh wak-
tu, dan λĤ ′ mengandung perubahan terhadap waktu. Seperti sebe-
lumnya, kita menggunakan λ sebagai koefisien kecil dan mempermu-
dah pengelompokan orde pertubasinya.
Hamiltonian Ĥ0 mempunyai fungsi/vektor eigen |ki yang memenuhi
persaman Schrödinger,
Ĥ0 |ki = Ek |ki (14.2)
di mana Ek adalah energi untuk sistem tanpa pertubasi.
Persamaan Schrödinger yang tergantung waktu adalah

|i = H|i
i~ (14.3)
∂t
Kita menggunakan ekspansi solusi persamaan ini dengan fungsi
eigen dan nilai eigen,
X
|i = an (t)|ni exp(−iEn t/~) (14.4)
n

di mana an (t) adalah koefisien ekspansi yang tergantung waktu


yang mengandung efek dinamis.
Substitusi |i menghasilkan,

X X
i~ȧn (t)|ni exp(−iEn t/~) + En an (t)|ni exp(−iEn t/~)
n n
X

= an (t)(Ĥ0 + λĤ |ni exp(−iEn t/~) (14.5)
n
128 Perturbasi tergantung waktu

X
i~ȧk (t) exp(−iEk t/~) = an (t)hk|λĤ ′ |ni exp(−iEn t/~) (14.6)
n

untuk mempermudah kita mendefinisikan frekuensi,

Ek − En
ωkn = (14.7)
~
sehingga kita mendapatkan,

1 X
ȧk (t) = hk|λĤ ′|nian (t) exp(iωkn t) (14.8)
i~ n

sekarang kita melakukan aproksimasi,

(0) (1) (2) (3)


ak (t) = ak + λak + λ2 ak + λ3 ak + . . . (14.9)

substitusi dan mengumpulkan bagian dengan pangkat λ yang sa-


ma, menghasilkan

(0)
ȧk = 0 (14.10)

(s+1) 1 X
ȧk = hk|λĤ ′|nia(s)
n exp(iωkn t) (14.11)
i~ n

Persamaan ini dapat diintegrasikan secara silihberganti (successi-


vely) untuk mendapatkan pendekatan dengan orde yang diinginkan.
(
ak 0) = konstan merupakan solusi order ke nol, sistem tidak tergan-
tung pada waktu, jadi tidak ada perubahan vektor keadaan.
Jika kita asumsikan bahwa hanya salah satu tingkat keadaan yang
terisi atau sistem berada pada tingkatan tertentu, umpamanya m, jadi
(0)
hanya am yang tidak nol, maka
t
1
Z
(1)
ak (t) = hk|Ĥ ′|mi exp(iωkm t′ )dt′ (14.12)
i~ −∞

(1)
kita gunakan ak (t = −∞) = 0. Kita perhatikan bahwa untuk tran-
sisi antara tingkat energi, tergantung pada elemen matriks antara dua
keadaan hk|Ĥ ′|mi.
Sistem Dua Tingkat Energi 129

14.1 Sistem Dua Tingkat Energi


14.2 Perturbasi Harmonik
14.3 Aplikasi
|ψ1 (t)i = |u1 ie−iE1 t/~ (14.13)

X
|ψ0 i = cn |un i (14.14)
n

dengan

cn = hun |ψ0 i (14.15)

X
|ψ(t)i = cn |un ie−iEn t/~ (14.16)
n

yang lebih umum,



i~ |ψ(t)i = Ĥ(t)|ψ(t)i (14.17)
∂t
pada waktu awal t = t0 , sistem berada pada keadaan |ψ0 i

|ψ( t0 )i = |ψ0 i (14.18)

Ĥ(t) = Ĥ0 + V (t) (14.19)


15
Partikel Identik

sebelum kita mempelajari sistem dengan multi-elektron, kita perlu


membahas tentang sifat penting dari sistem kuantum yang mengan-
dung partikel identik.
bagaimana mendiskripsikan sistem kuantum dengan partikel iden-
tik?
untuk sederhana kita akan menggunakan sistem dengan dua par-
tikel.
pertimbangkan dua partikel yang identik saling mendekati dan ak-
an bertumbukan. Dengan melihat pergerakan benda kita mungkin
bisa membedakan partikel dari posisinya. Dengan kata lain kita mem-
berikan label pada partikel dengan mengambil gambar snapshot,
dalam fisika klasik, partikel identik dapat dibedakan satu sama
lain dengan cara yang tidak mempengaruhi prilakunya sehingga kita
bisa memberi label pada partikel.
Dalam mekanika kuantum ini tidak bisa dilakukan karena prin-
sip ketidakpastian Heisenberg tidak mengijinkan kita melihat gerak-
an partikel tanpa merubah keadaaan atau prilaku partikel. [lihat pen-
jelaasan ketidakpastian Heisenberg]
pernyataan formal: finite extent dari fungsi gelombang untuk seti-
ap elektron menyebabkan overlap tumpang tindih yang membuat ke-
sulitan untuk membedakan fungsigelombang untuk elektron.
inilah perbedaan antara fisika klasik dan fisika kuantum.
formulasi kuantum untuk sistem dengan partikel identik, harus ju-
ga memperdulikan sifat ”indistiguishability”. Hasil yang dapat diukur
diperoleh dari kalkulasi mekanika kuantum yang akurat sebaiknya
tidak trgantung pada pemberian label untuk partikel identik.
probabilitas yang dihasilkan haruslah sama ketika penukaran ko-
ordinate partikel dilakukan.

P (x1 , x2 ) = P (x2 , x1 ) (15.1)


132 Partikel Identik

Tabel 15.1: Jenis Partikel dan simetri


Partikel Simetri Jenis Spin
Elektron Antisimetri Fermion 1/2
Positron Antisimetri Fermion 1/2
Protron Antisimetri Fermion 1/2
Neutron Antisimetri Fermion 1/2
Muon Antisimetri Fermion 1/2
Partikel α simetri Boson 0
Atom Helium simetri Boson 0
π Meson simetri Boson 0
Photon simetri Boson 1
Deutron simetri Boson 1

ingat bahwa

P (x1 , x2 ) = ψ ∗ (x1 , x2 )ψ(x1 , x2 ) = |ψ(x1 , x2 )|2 (15.2)

|ψ(x1 , x2 )|2 = |ψ(x2 , x1 )|2 (15.3)


penukaran hanya akan menubah fase fungsi gelombang,

ψ(x1 , x2 ) = eiα |ψ(x2 , x1 ) (15.4)


ingat bahwa |eiα | = 1,
ada dua kemungkinan: fungsi gelombang yang simetrik (genap,
tanda +) dan anti-simetrik (ganjil, tanda −) jika penukaran partikel
dilakukan

ψ(x1 , x2 ) = ±|ψ(x2 , x1 ) (15.5)

15.1 Prinsip Larangan Pauli


15.2 statistik
Daftar Pustaka

1.

2.
Indeks

Newton, 3

Anda mungkin juga menyukai