Anda di halaman 1dari 54

i

MAKALAH
KONSEP-KONSEP DASAR PENELITIAN KOMUNIKASI

Diajukan untuk memenuhi mata kuliah Riset Komunikasi

Disusun oleh:
Ahmad Faig Saifuddin 10814544
Erlangga Bregas Prakoso 13814620
Melisa Tri Lestari 16814578
Nadya Shashi Kirana 17814776
Veronika Dina Maryani 1C814002

Dosen pengampu:
Dr. Nuriyati Samatan.,Dra.,M.Ag.

KELAS 3MA01
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2017
1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah “Konsep-konsep Dasar Penelitian”
ini dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Riset Komunikasi.

Tidak lupa kami juga berterima kasih kepada :

1. Orang tua yang selalu mendukung kami;

2. Dr. Nuriyati Samatan, Dra.,M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Riset
Komunikasi;

3. Perpustakaan Univeristas Gunadarma;

4. Perpustakaan Universitas Indonesia;

5. Teman-teman FIKOM Universitas Gunadarma angkatan 2014;

6. Pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Karena keterbatasan pengetahuan yang kami miliki, maka masih banyak


kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran demi perbaikan kami kedepannya. Besar harapan kami bahwa makalah ini
dapat menambah pengetahuan para pembaca.

Terima kasih. Selamat Membaca.

Depok, Maret 2017

Penyusun
2

DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………… 1
Daftar Isi………………………………………………………………. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………… 3
1.2 Rumusan Masalah…………………………………….. 3
1.3 Tujuan…………………………………………………. 4
1.4 Manfaat………………………………………………... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep, Konstruk dan Variabel ………………………. 5
2.1.1 Konsep...…………………………………………. 6
2.1.2 Konstruk…………………………………………. 9
2.1.3 Perbedaan Konsep dan Kostruk…………………. 10
2.1.4 Variabel…………………………………………. 10

2.1.4.1 Klafikasi Variabel Penelitian……………. 12


2.1.4.2 Jenis-jenis Variabel Penelitian………..…. 15
2.1.4.3 Jenis Variabel Berdasarkan Hubungan…... 21

2.1.5 Perbedaan Konsep dan Variabel…………………. 24


2.2 Hipotesis…….…………………………………………. 24
2.2.1 Merancang Hipotesis……………………………. 27
2.2.2 Bentuk Hipotesis ……………………………….. 31
2.2.3 Cara Menguji Hipotesis………………………… 35
2.2.4 Penelitian Tanpa Hipotesis…………...………… 37

2.3 Pengukuran……..………..…………………………… 38

2.3.1 Pengukuran……………………………………… 39
2.3.2 Jenis-jenis Skala Pengukuran ………………….. 40

2.4 Kecermatan Pengukuran..…………………………… 42

2.4.1 Reliabilitas ……………………………………. 42


2.4.2Validitas……………………………………….. 45

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………. 50
Lampiran Pertanyaan………………………………………………….. 51
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian sebagai sistem ilmu pengetahuan, memainkan peran penting


dalam bangunan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ini berarti bahwa penelitian telah
tampil dalam posisi yang paling urgen dalam ilmu pengetahuan untuk
melindunginya dari kepunahan. Peelitian memiliki kemampuan untuk meng-
upgrade ilmu pengetahuan yang membuat up-to-date dan canggih dalam aplikasi
serta setiap saat dibutuhkan masyarakat.

Proses penelitian dan ilmu pengetahuan tidak sesederhana apa yang


diceritakan, karena harus melalui tahapan berpikir ilmiah, yaitu mencoba berteori
terhadap sebuah fakta atau fenomena-fenomena sosial, melalui interpretasi, dalil,
hukum, dan teori-teori keilmuan lainnya.

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti sebaiknya mengenal


dahulu konsep-konsep dasar penelitian. Bagaimana merumuskan sebuah
fenomena kedalam sebuah konsep, dikembangkan menjadi konstruk, yang
kemudian dijadikan variabel yang dapat diukur. Setelah mendefinisikan variabel,
maka seorang peneliti diharapkan dapat merumuskan hipotesis penelitiannya.

Oleh karena itu, penulis ingin menjelaskan tentang konsep-konsep dasar


penelitian sebagai pengenalan peneliti pemula pada dunia penelitian, khususnya
mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Gunadarma.

1.2 Rumusan Masalah

Dari penjelasan di atas, yang dijadikan rumusan masalah dalam makalah


ini adalah:

1.2.1 Apa yang dimaksud konsep, konstruk, dan variabel?

1.2.2 Bagaimana cara merumuskan hipotesis penelitian?

1.2.3 Apa saja jenis-jenis pengukuran penelitian? Dan bagaimana menguji


kecermatan pengukuran penelitian?
4

1.3 Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah:

1.3.1 Memenuhi tugas mata kuliah Riset Komunikasi

1.3.2 Memberikan penjelasan tentang konsep-konsep dasar penelitian.

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari makalah ini adalah:

1.4.1 Dapat memahami tentang konsep, konstruk, dan variabel penelitian.

1.4.2 dapat merumuskan hipotesis penelitian dengan baik.

1.4.3 Dapat mamahami serta menggunakan skala pengukuran serta melakukan


uji kecermatan pengukuran.
5

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep, Konstruk, dan Variabel


Riset atau penelitian berarti “to search fot, to find”. Dalam bahasa latin
riset bersaral dari kata “re” yang artinya lagi dan “cercier” yang artinya mencari.
Secara umum riset berarti mencari informasi tentang sesuatu. Bisa juga diartikan
sebagai sebuah usaha untuk menemukan sesuatu (Kriyantono: 2008)

Sebagai suatu metode penelitian ilmiah yang telah berkembang,


penelitian survei memiliki dasar pemikiran, prosedur dan teknik-teknik khusus
yang membedakannya dari metode lainnya. Walaupun demikian, tetap ada
kesamaan yang amat besar antara metode ini dengan metode-metode penelitian
ilmiah lainnya, yakni dalam unsur-unsur ilmu yang dgunakan. Unsur-unsur ini
adalah konsep, proposisi, teori, variable, hipotesa dan definisi operasional.
Unsur-unsur ini adalah perangkat pokok ilmiah pengetahuan, dan karena itu
merupakan alat penelitian survei yang diperlukan oleh peneliti dalam melakukan
aktivitasnya.

Pada tahun 1872, Sir Francis Galton melakukan penelitain tentang


efektifnya doa. Ia ingin mengetahui apakah doa ada manfaatnya atau tidak.
Berbeda dengan penelitian agamawan, penelitian ini menggunakan anaisis
statistic. Sebagai sampel diambilnya keluarga raja di Inggris. Sudah diketahuinya
bahwa semua gereja di Inggris berdoa untuk kesejahteraan keluarga raja setiap
hari. Ia berhipotesis, kalau doa itu ada efeknya, maka keluarga raja tentu hidup
lebih lama dari rakyat biasa. Penelitain pertama membuktikan bahwa itu ternyata
tidak benar. Bahkan keluarga raja rata-rata lebih pendek umurnya. Hipotesis
kedua dirumuskan: mungkn doa itu hanya doa resmi saja dan tidak begitu ikhlas.
Jika doa lebih ikhlas, efeknya akan lebih kentara. Karena orang tidak meragukan
bahwa doa buat anak yang abr lahir adalah yang ‘paling ikhlas, Galton
melakukan penelitian apakah kematian anak pada waktu kelahiran berbeda di
anatara jeluarga saleh dan keluarga tidak saleh. Hasilnya menunjukkan bahwa
secara statistic tidak ada perbedaan antara kedua keluarga tersebut (Dixon, 1973:
34 dalan Jalaluddin Rakhmat, 2014).
6

Walaupun yang diteliti adalah doa, penelitian Galton bersifat ilmiah. Ada
beberapa konsep yang dipergunakannya: doa, kesejahteraan dan keikhlasan. Doa
dan keikhlasan diperlakukan sebagai variabel independen, sedangkan
kesejahteraan dijadikan variable dependen. Variabel doa, kesejahteraan, dan
keihklasan dirumuskannya denagn jelas. Penelitian Galton juga melukiskan
pertimbangan penelitian dari tingkap konsepsional sampai ke tingkat operasioal.
Ini akan dipahami lebih jelas dengan mengenal konsep-konsep dasar penelitian.

2.1.1 Konsep
Peneliti bekerja dari tahap konsepsional ke tahap operasional. ‘doa
menimbulkan kesejahteraan pada orang yang didoakannya’. Ini adalah hipotesis
yang terdiri dari dua konsep, ‘doa’ dan ‘kesejahteraan’, disambungkan dengan
kata yang menunjukkan hubungan di antara dua konsep itu, yakni
“menimbulkan”. Semua konsep itu bersifat abstrak. Konsep adalah abstraksi yang
dibentuk dengan menggeneralisasikan hal-hal khusus (Kerlinger, 1971: 28, dalam
Kriyantono, 2012)

Konsep penelitian merupakan kerangka acuan peneliti di dalam


mendesain instrument penelitian. Konsep juga dibangun dengan maksud agar
masyarakat akademik atau masyarakat ilmiah maupun konsumen penelitian atau
pembaca laporan penelitian memahami apa yang dimaksud dengan pengertian
variabel, indikator, parameter, maupun skala pengukurn yang dimaksud peneliti
dalam penelitiannya.

Lebih konkret, konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena


yang sama, misalnya dalam hal mengkonsepsi perilaku salah prosedur dalam
birokrasi sebagai kategori dari fenomena penyalahgunaan wewenang; kebiasaan
membolos kerja sebagai kategori dari fenomena ketidakdisiplinan; kebiasaan
melakukan pencatatan terhadap pengeluaran harian keuangan persahaan sebagai
kategori manajemen keuangan perusahaan yang baik.

Konsep dibangun dari teori-teori yang digunakan untuk menjelaskan


variabel-variabel yang akan diteliti. Karena itu konsep memiliki tingkat
generalisasi yang berbeda satu sama lainnya, bila dilihat dari kemungkinan dapat
diukur atau tidak.
7

Konsep harus merupakan atribut berbagai kesamaan dari fenomena yang


berbeda. Misalnya, orang berbeda pendapat mengenai kegemaran menonton
televisi baik itu pemberitaan, hiburan, iklan, sinetron, film, dsb, akan tetapi
mereka sama menggemari televisi.

Maka yang perlu diperhatikan dalam membangun konsep yaitu


generalisasi dan abstraksi. Generalisasi adalah proses bagaimana memperoleh
prinsip dari berbagai pengalaman yang berasal dari literatur yang empiris.
Seorang anak umpamanya, dia dapat melihat bagaimana pelangi muncul dengan
beragam wana dan bentuk yang menawan, kemudian anak tersebut dapat
membaca berbagai literatur, mengenai bagaiana pelangi itu mucnul, ada dan
menghilang.

Setiap konsep juga harus mengemukakan suatu abstraksi, yaitu


mencakup ciri-ciri umum yang khas dari fenomena yang dibicarakan itu. Ciri-ciri
ini dihimpun bersama-sama oleh individu-individu atau kelompok-kelompok
tertentu sehingga melahirkan kesadaran intersubjektif yang menempatkan
kesadaran itu dalam kategori.

Dalam mendesain konsep penelitian, yang terpenting pula peneliti harus


mendesain konsep interaksi antarvariabel-variabel penelitiannya. Karena itu
peneliti harus menentukan pilihan sebenarnya dari interaksi antarvariabel-
variabel penelitian itu (Burhan Bungin, 2009: 68).

Konsep adalah ide tertentu yang berasal dari model tertentu. Contoh
konsep yang 'fungsi sosial' (berasal dari fungsionalisme), 'stimulus / respon'
(behaviorisme), 'definisi situasi' (interaksionisme) dan metode dokumenter
penafsiran '(etnometodologi). Konsep menawarkan cara untuk melihat dunia
yang penting dalam mendefinisikan masalah penelitian (David Silverman, 2000 :
78).

Konsep dalam ilmu harus dapat dikomunikasikan (communicable) dalam


arti yang sangat istimewa. Mereka tidak harus hanya membangkitkan "perasaan"
samar-samar tetapi harus dikonstruksi sehingga semua komponen mereka
diketahui (Goode & Hatt, 1981: 43). Memperoleh dan mengklarifikasi elemen
konstruksi seperti ini adalah proses utama dari definisi, dasar untuk
konseptualisasi masalah umum.
8

Pengentahuan tentang konsep penting dipahami karena beberapa alasan.


Pertama, untuk menyederhanakan proses riset dengan cara mengkombinasikan
karakteristik-karakteristik tertentu, objek-objek atau individu-individu ke dalam
kategori yang lebih umum. Contohnya, seorang periset bermaksud meriset
keluarga yang mempunyai surat kabar, majalah, buku, radio, tabloid maupun
televise. Untuk membuat lebih sederhana, peneliti mengkategorikan sebagai
konsep “jenis-jenis media massa yang digunakan keluarga”. Kedua, konsep
menyederhanakan komunikasi diantara orang-orang (ilmuan, akademisi, praktisi,
mahasiswa) yang ingin berbagi pemahaman tentang konsep yang digunakan
dalam riset. Periset menggunakan konsep untuk mengorganisasikan apa yang
diamatinya ke dalam kesimpulan atau kategori yang bermakna. Contoh, mungkin
periset bisa menggunakan konsep “partisipasi politik” untuk menunjukan tingkat
keikutsertaan dalam pemilu dan partai politik.

Fungsi Konsep

1) Fungsi kognitif
Mengorganisasi observasi dan menata hasilnya (fungsi menata). Konsep
adalah salah alat untuk mengelola dan mengorganisir seluruh pikiran
dalam mendefinisikan segala macam. Dengan fungsi kognitif konsep
akan menjadi senjata yang bisa mengamati istilah, ide, gagasan,
pernyataan, dan asumsi yang ingin disampaikan.
2) Fungsi evaluatif
Mengevaluasi apa yang telah dipersepsi. Melalui fungsi evaluatif ini
sebagai seorang peneliti konsep bisa menjadi bahan melihat kembali
segala sesuatu yang sudah diangkat dalam penelitian. Konsep juga
melihat kekurangan dan kelebihan dalam penelitian. Sejauh mana
kualitas penelitian yang diteliti.
3) Fungsi Operasional (pragmatis)
Mengendalikan dan mengarahkan perilaku individu.

4) Fungsi Komunikasi
Artinya konsep harus memungkinkan komunikasi. Fungsi komunikatif
konsep dalam penelitian harus sebisa mungkin menghubungkan antar
9

aspek dalam penelitian. Dalam konsep secara komunikatif akan menjadi


alat untuk merelevansikan setiap langkah dalam penelitian. Sehingga
konsep dengan fungsi komunikatifnya ini akan menjadi pedoman
penelitian semakin runtut dan detail secara prosesnya. Selain itu, konsep
juga akan menambah kesinergisan dalam suatu penelitian. Konsep yang
akan menghubungkan antar aspek dalam penelitian.

2.1.2 Konstruk

Konstruk adalah konsep yang dapat diamati dan diukur atau memberikan
batasan pada konsep. Misalkan, “kemiskinan” adalah konsep, setelah
pengertiannya dibatasi secara khusus sebagai “kondisi di mana penghasilan per
bulan di bawah Rp. 150 ribu”, sehingga dapat diamati dan diukur maka disebut
konstruk.

Konstruk adalah atribut yang ada dalam arti teoritis. Dengan demikian,
mereka tidak ada baik dalam arti harfiah atau fisik. Meskipun demikian, kita
dapat mengamati dan mengukur perilaku yang memberikan bukti konstruksi ini
(Castillo 2009, dalam Sari Wahyuni, 2012). Misalnya, pertimbangkan gravitasi.
Kita tidak bisa melihat gravitasi, tapi kita bisa melihat apa yang kita asumsikan
sebagai hasilnya dari jeruk yang jatuh dari pohon.

Definisi konstruk sering bervariasi dari orang ke orang, bahkan di antara


orang-orang yang dianggap ahli dalam bidang studi. Misalnya, mengambil
membangun kepercayaan. Jika kita mencoba survei di kelas, berapa banyak
definisi yang berbeda dapat kita hasilkan? Definisi dari masing-masing konstruk
dalam satu penelitian sangat penting untuk membatasi penelitian itu sendiri.

Misalkan “tingkah laku agresif” dibatasi sebagai frekuensi dilakukannya


tindakan agresif pada objek-objek tertentu; “terpaan iklan di radio” dibatasi
sebagai frekuensi tayangan iklan yang didengar setiap hari; dan semacamnya.

2.1.3 Perbedaan Konsep dan Kostruk


10

 Konstruk merupakan jenis konsep tertentu yang berada dalam tingkatan


abstraksi yang lebih tinggi dari konsep dan diciptakan untuk tujuan
teoritis tertentu. Konsep dihasilkan oleh ilmuwan secara sadar untuk
kepentingan ilmiah.
 Konsep masih bersifat general dan sulit terukur dikarenakan tidak ada
kata penjelasnya. Berbeda dengan konstruk yang sudah jelas dikarenakan
dijelaskan dengan bilangan yang mengarah kepada konsep.
 Konsep adalah inti istilah yang akan dibahas. Sedangkan, konstruk
adalah istilah penjelas yang akan menjelaskan secara detail. Sehingga
pada umumnya konstruk ini cukup mudah dipahami daripada konsep.
 Pada umumnya konstruk yang mudah diukur adalah berbentuk fisik.
Contoh : ketinggian, panjang, jarak. Istilah ini mudah dipahami
dikarenakan diukur dengan keterangan penjelas berupa bilangan.

2.1.4 Variabel

Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk


apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh
informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan. Secara teoritis
variabel dapat didefinisikan sebagai atribbut seseorang atau obyek, yang
mempunyai “variasi” antara satu orang dengan orang lain atau suatu obyek yang
lain (Hatch dan Farhady, 1981, dalam Sugiyono, 2011). Variabel juga dapat
merupakan atribut dari bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Tinggi, berat
badan, sikap, motivasi, kepemimpinan, disiplin kerja, mmerupakan atribut-atribut
dari setiap orang. Struktur organisasi, model, pendelegasian, kepemimpinan,
pengawasan, koordinasi, prosedur dan mekanisme kerja, deskripsi pekerjaan,
kebijakan, adalah merupakan contoh variabel dalam kegiatan administrasi.

Menurut Hatch dan Farhady variable adalah sebagai atribut seseorang


atau objek, yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lain . Dengan kata
lain variable adalah suatu konstruk yang sifat-sifatnya sudah di beri nilai dalam
bentuk bilangan, untuk mengukur konstruk. Sebuah konsep dan konstruk
mempunyai sifat yang berlainan. Misalnya konstruk jenis kelamin mempunyai
dua sifat: laki-laki dan perempuan. Terpaan media mempunyai sifat: sangat
11

sering, sering, jarang. Jika nilai-nilai tertentu diberikan pada sifat konstrukm
maka konstruk tersebut berubah menjadi variable. Dengan kata lain variable
adalah suatu konstruk yang sifat-sifatnya sudah di beri nilai dalam bentuk
bilangan, untuk mengukur konstruk “pemarah” kita dapat membuat skala 1
sampai 5, dimana (1) sangt tidak pemarah dan (5) sangat pemarah. Tinggi badan :
(3) sangat tinggi (2) sedang (1) pendek. Artinya, nilai yang diberikan sangat
bervariasi. Inilah mengapa disebut variable ( Inggris: variable) yang berarti
bervariasi.

Dinamakan variabel karena ada variasinya. Misalnya berat badan dapat


dikatakan variabel, karena berat badan sekelompok orang itu bervariasi antara
satu orang dengan yang lain. Demikian juga motivasi, persepsi dapat juga
dikatakan sebagai variabel karena misalnya persepsi dari sekelompok orang
tertentu bervariasi. Jadi kalau peneliti akan memilih variabel penelitian, baik
yang dimiliki orang obyek, maupun bidang kegiatan keilmuan tertentu, maka
harus ada variasinya. Variabel yang tidak ada variasinya bukan dikatakan sebagai
variabel. Untuk dapat bervariasi, maka penelitian harus didasarkan pada
sekelompok umber data atau obyek yang bervariasi.

Kerlinger (1973) menyatakan bahwa variabel adalah konstruk (construct)


atau sifat yang akan dipelajari. Misalnya tingkat aspirasi, penghasilan,
pendidikan, status sosial, jenis kelamin, golongan gaji, produktivitas kerja, dll. Di
bagian lain Kerlinger menyatakan bahwa variabel dapat dikatakan sebagai suatu
sifat yag diambl dari suatu nilai yang berbeda (different value). Dengan demikian
variabel itu merupakan suatu yang bervariasi. Selanjutnya Kidder (dalam Burhan
Bungin, 2009), menyatakan bahwa variabel adalah suatu kualitas (qualities)
dimana peneliti mempelajari dan menarik kesimpulan darinya.

Kata variabel tidak ada dalam perbendaharaan Indonesia karena variabel


berasal dari kata bahasa Inggris variable yang berarti faktor tak tetap atau
berubah-ubah. Namun bahasa Indonesia kontemporer telah terbiasa
menggunakan kata variabel ini dengan pengertian yang lebih tepat disebut
bervariasi. Dengan demikian variabel adalah fenomena yang bervariasi dalam
bentuk, kualitas, kuantitas, mutu dan standar.
12

Maka, variabel adalah sebuah fenomena (yang berubah-ubah) dengan


demikian maka bisa jadi tidak ada satu peristiwa di ala mini yang tidak dapat
disebut variabel, tinggal tergantung bagaimana kualitas variabelnya, yaitu
bagaimana bentuk variasi fenomena tersebut. Agar variabel dapat diukur maka
variabel harus dijelaskan ke dalam konsep operasional variabel, untuk itu maka
variabel harus dijelaskan parameter atau indikator-indikatornya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa variabel adalah suatu


atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya.

2.1.4.1 Klafikasi Variabel Penelitian

Variabel dapat diklasifikasikan menggunakan beberapa cara


penggolongan, yaitu: berdasarkan sifat, kedudukan, skala, dan
Berdasarkan alat ukur pengumpulan datanya (Purwanto, 2007: 47):

1. Berdasarkan Sifat

Menurut sifatnya, variabel dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

a) Variabel Kategori : yaitu variabel yang dapat diklasifikasi


secara pilah (mutually exclusive). Beberapa variabel yang
memiliki sifat kategoris antara lain : Jenis kelamin (laki-laki,
perempuan), status perkawinan (belum, menikah,
janda/duda), warna kulit (putih, hitam, sawo matang), suku
(Jawa, Sunda, Batak, Bali, lainnya), dan sebagainya.
b) Variabel Diskrit : yaitu variabel yang dikumpulkan datanya
dengan cara membilang atau mencacah. Sebagai hasil proses
membilang, maka data diskrit mempunyai satuan ukuran
yang utuh, sehingga tidak memungkinkan data berupa
pecahan. Contohnya, jumlah anak, jumlah penduduk, usia,
jumlah murid, jumlah sekolah, jumlah propinsi, dan
sebagainya.
c) Variabel kontinum : variabel yang datanya terdapat dalam
suatu kontinum karena diperoleh dari proses mengukur.
13

Misalnya, data variabel berat badan diperoleh dari hasil


pengukuran, misalnya 10 kg. hasil pengukuran tersebut pada
dasarnya berada dalam suatu kontinum, mungkin 9,98 kg
atau 10,15 kg. data dari variabel kontinum memungkinkan
berbentuk pecahan, karena hasil pengukuran berada dalam
sebuah kontinum.
2. Berdasarkan Kedudukannya

Menurut kedudukannya, variabel dapat dibagi menjadi dua,


yaitu:

a) Variabel bebas : yaitu variabel yang nilainya


memengaruhi variabel lain dalam suatu penelitian.
Keberadaan variabel ini dalam penelitian merupakan
variabel yang menjelaskan terjadinya fokus atau topik
penelitian.
b) Variabel terikat : yaitu variabel yang nilainya
dipengaruhi oleh variabel lain dalam suatu penelitian.
Keberadaan variabel ini dalam penelitian  adalah sebagai
variabel yang dijelaskan dalam fokus atau topik
penelitian.
Misalnya, prestasi adalah variabel terikat. Baik buruknya
dipengaruhi oleh minat membaca, dan sebagainya. Minat
membaca adalah variabel bebas
3. Berdasarkan skalanya

Menurut skalanya, variabel dapat dibedakan menjadi empat,


yaitu:

a) Variabel Nominal : yaitu variabel yang tingkat skalanya


hanya memilah. Perbedaan nilai variabel tidak
mempunyai makna apapun selain untuk keperluan
memberikan tanda atau label. Perbedaan nilai tidak
mempunyai sifat dapat diurutkan berdasarkan suatu nilai
tertentu karena sifat skalanya yang nominal. Misalnya,
dalam suatu penelitian, variabel jenis kelamin diambil
14

datanya dengan memberikan skor 1 (satu) untuk


responden laki-laki dan skor 0 (nol) untuk perempuan.
Meskipun skornya lebih besar, tidak berarti bahwa laki-
laki memiliki nilai yang lebih tinggi daripada
perempuan. Perbedaan skor tersebut hanya untuk
pemberian tanda semata.
b) Variabel Ordinal : yaitu variabel yang peneraan
skornya dimaksudkan untuk mengurutkan berdasarkan
nilai yang dimiliki objek dalam variabel yang diukur.
Oleh karenanya sebuah objek yang mempunyai skor
lebih tinggi dari yang lain dapat dikatakan memiliki nilai
yang lebih daripada objek lain dalam variabel yang
diukur. Siswa yang memperoleh nilai 95 dalam tes
prestasi belajar lebih pandai dar pada siswa yang
memperoleh nilai 80. Termasuk dalam variabel yang
mempunyai skala ordinal adalah kecerdasan, prestasi
belajar, kreativitas, kemampuan penyesuaian diri dan
sebagainya.
c) Variabel interval : yaitu variabel yang mempunyai
skala dengan interval yang sama. Oleh karena
mempunyai interval yang sama maka data-data dengan
skala interval dapat dijumlahkan. Misalnya, data variabel
suhu. Sebuah benda dengan suhu 60oC bila ditambahkan
40oC maka akan menjadi benda dengan suhu 100oC. Hal
itu dapat dilakukan karena suhu merupakan variabel
dengan skala interval (Purwanto, 2007: 48)
d) Variabel Rasio : yaitu variabel yang mempunyai skala
tingkat tertinggi. Atau sama dengan skala interval, hanya
dia mempunyai angka Nol mutlak. Di dalam  skala ini
jarang digunakan pada penelitian di bidang ilmu-ilmu
sosial. Tetapi paling banyak terjadi dalam penelitian di
bidang ilmu-ilmu eksak. Nol mutlak artinya tidak punya
sama sekali, kalau panjang besi diukur dari Nol, artinya
15

dimulai dari titik awal dari besi, karena titik dianggap


tidak punya panjang.
4. Berdasarkan alat ukur pengumpulan datanya

Menurut alat ukur pengumpulan datanya variabel dapat


digolongkan menjadi dua, yaitu :

a) Variabel faktual : yaitu variabel yang alat ukurnya tidak


perlu dibakukan karena kesalahan data bukan merupakan
kesalahan alat ukurnya. Misalnya bila responden tidak
jujur mengisi data tentang variabel usia maka kesalahan
tidak terletak pada alat ukurnya. Termasuk dalam
variabel faktual adalah agama, jenis kelamin, usia,
pendidikan, pekerjaan, asal daerah, dan asal sekolah.
b) Variabel konsep: yaitu, variabel yang alat ukur
pengumpulan datanya harus terlebih dahulu dibakukan
sebelum digunakan untuk pengumpulan data. Hal itu
disebabkan karena ada kemungkinan kesalahan data
disebabkan oleh alat ukur yang salah konsep. Misalnya,
data motivasi belajar dapat menjadi salah karena butir-
butir pertanyaan atau pernyataan tidak mengukur apa
yang semestinya diukur (tidak valid) atau tidak
memberikan hasil konsisten (tidak reliabel). Termasuk
variabel konsep yaitu prestasi belajar, minat belajar, dan
sikap tehadap mata pelajaran matematika (Purwanto,
2007: 51)

2.1.4.2 Jenis-jenis Variable Penelitian


Menurut hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain maka jenis-
jenis variabel dalam penelitian dapat dibedakan menjadi (Sugiyono, 2009: 60):
a) Variabel Independen: variabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus,
predictor, antecedent. Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai
variabel bebas. Variabel bebas adalah merupakan variabel yang
mempengaruhi atau menjadi penyebab perubahan atau timbulnya variabel
dependen (terikat). Jika seseorang peneliti mengkaji hubungan antara dua
16

variabel, misalnya variabel untuk belajar (A) dan prestasi belajarnya yang di
capai oleh pembelajar (B), maka pertanyaan atau masalah yang akan di
ajukan” bagaimanakah prestasi belajar yang di capai apabila waktu yang di
pakai untuk belajar lebih banyak atau sedikit?”. Berdasarkan rumus
penelitian tersebut di atas, banyak atau sedkitnya waktu belajar yang di pakai
oleh pembelajar diidentifikasi sebagai variabel terikat.variabel bebas ini 
merupakan suatu kondisi yang mendahului, yaitu suatu keadaan yang di
perlukan sebelum hasil yang diinginkan terjadi.
b) Variabel Dependen: sering disebut variabel output, kriteria, konsekuen.
Dalam bahasa Indonesia sering disebut variabel terikat yang
merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena
adanya variabel bebas.

KOMITMEN KERJA PRODUKTIVITAS KERJA


(Variabel Independen) (Variabel Dependen)

Gambar 2.1 contoh hubungan variabel independen-dependen

c) Variabel Moderator: adalah variabel yang mempengaruhi (memperkuat dan


memperlemah) hubungan antara variabel independen dengan dependen. Variabel
disebut juga sebagai variabel independen kedua. Hubungan perilaku suami dan
istri akan semakin baik kalau mempunyai anak, dan akan semakin renggang
kalau pihak ke tiga ikut mencampuri. Di sini anak adalah sebagai variabel
moderator yang memperkuat hubungan, dan pihak ketiga adalah sebagai variabel
moderator yang memperlemah hubungan.
d) Extraneous Variable,  dimana variabel ini merupakan variabel tambahan yang
kadang-kadang perlu ditinjau ulang untuk menjelaskan dan memhami sesuatu
hubungan antara variabel yang sudah ada. Kadang-kadang
variabel extraneous  ini ditambahkan oleh peneliti sebagai “teks faktor” untuk
membantu suatu analisis antara dua faktor lain (independent
variable dan dependent variable). Sebagai contoh, dalam analisis hubungan
jumlah nelayan dengan jumlah ikan yang ditangkap. Maka kebenaran hubungan
ini dapat diuji terhadap variabel extraneous seperti iklim, modernisasi alat
penangkapan yang digunakan nelayan, dan sebagainya.
17

e) Veriabel komponen, adalah variabel yang merupakan sub bagian atau


komponen dari variabel yang dimaksud dalam penelitian. Biasanya uraian
penjelasan variabel komponen tersebut menyangkut variabel independen.
Misalnya, banyak sedikitnya perceraian di kalangan petani di daerah tertentu
pada setiap musim panen, bukan disebabkan karena faktor “panen” itu seperti :
panen jenis hasil bumi tertentu atau ketepatan waktu panen, dan seterusnya.
f) Suppresor Variable (Variabel penekan), dalam hal ini kadang-kadang hubungan
antara variabel yang sedang diteliti ternyata tidak ada, atau hubungannya lemah
bukan karena memang demikian adanya tetapi disebabkan karena sesuatu
variabel yang melamahkan hubungan tersebut.Variabel yang demikian itu dalam
penelitian disebut variabel supresor. Variabel ini penting dalam  suatu tindakan
analisis untuk menguji suatu hipotesis. Sehingga hipotesis itu bisa ditolak atas
dasar hubungan variabel yang lemah, sedang bilamana variabel supresor itu
diketemukan maka hubungan yang dicari tersebut ternyata cukup kuat. Misalnya,
dalam penelitian pembuktian bahwasannya IQ seseorang tidak tergantung pada
keturunan atau ras. Berbagai penelitian membuktikan ternyata hasilnya terjadi
sebaliknya. Yang menekan hubungan  yang tidak ada sehingga menjadi ada
hubungan tak lain adalah faktor ekonomi dari pihak responden berbagai ras
keturunan yang berkaitan dengan kesehatan, pendidikan,
serta ethnosentrisitas berbagai tes IQ yang diadakan (Ghony, 2009: 124-124).
g) Variabel Intervening: dalam hal ini Tuckman (1988) menyatakan “An
intervening variable is that factor that theoretically affect the observed
phenomenon but cannot be seen, measure, or manipulate”. Variabel intervening
adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel
independen dengan dependen manjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak
dapat diamati dan diukur. Variabel ini merupakann variabel penyela/antara yang
terletak di antara variabel independen dan dependen, sehingga variabel
independen tidak langsung mempengaruhi berubahya atau timbulnya variabel
dependen.

PERILAKU SUAMI PERILAKU ISTRI


(Variabel Independen) (Variabel Dependen)

JUMLAH ANAK
(Variabel Moderator)
18

Gambar 2.2 contoh hubungan variabel independen-moderator, dependen.

MOTIVASI KERJA PRODUKTIVITAS KERJA


(Variabel Independen) (Variabel Dependen)

KEPEMIMPINAN
(Variabel Moderator)

Gambar 2.3 contoh hubungan variabel independen-moderator, dependen.

Pada contoh berikut dikemukakan bahwa tinggi rendahnya penghasilan akan


mempengaruhi secara tidak langsung terhadap harapan hidup (panjang pendeknya umur).
Dalam hal ini ada variabel antaranya, yaitu yang berupa gaya hidup seseorang. Antara
variabel penghasilan dengan gaya hidup, terdapat variabel moderat, yaitu budaya
lingkungan tempat tinggal.
19

PENGHASILAN GAYA HIDUP HARAPAN HIDUP


(Variabel Independen) (Variabel Intervening) (Variabel Dependen)

Budaya Lingkungan
Tempat Tinggal
(Variabel Moderator)

Gambar 2.4 contoh hubungan variabel independen-moderator-intervening, dependen

e) Variabel kontrol: adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan


sehingga pengaruh variabel independen terhadap dependen tidak dipengaruhi
oleh factor luar yang tidak diteliti. Variabel control sering digunakan oleh
peneliti, bila akan melakukan penelitian bersifat membandingkan.

Contoh: pengaruh jenis pendidikan terhadap keterampilan dan mengetik.


Variabel independennya pendidikan (SMA dan SMK), variabel control yang
ditetapkan sama misalnya, adalah naskah yang diketik sama sama, mesin tik
yang digunakan sama, ruang tempat mengetik sama. Dengan adanya variabel
kontrol tersebut, maka besarnya pengaruh jenis pendidikan terhadap keterampilan
mengetik dapat diketahui lebih pasti.

Pendidikan SMA & SMK Keterampilan Mengetik


(Variabel Independen) (Variabel Dependen)

Naskah, tempat, mesin tik sama


(Variabel Kontrol)

Gambar 2.5 contoh hubungan variabel independen-kontrol, dependen

Konsep, variabel, dan seterusnya, terlahir dari konsep sebelumnya. Maka


mengoperasionalkan konsep, variabel, indicator variabel, skala pengukuran,
20

operasionalnya, diharapkan tidak menyimpang jauh dari teori dan konsep yang
menjadi sumbernya.

Selain itu dikenal juga variable kontrol, tujuannya untuk membatasi


variable pengaruh untuk mengeliminasi faktor pengaruh yang tak
diinginkan.Variable kontrol ini digunakan untuk meyakinkan bahwa hasil riset
selaras dengan variable pengaruh bukan pada sumber lain. Keradaan variabel
kontrol ini pada dasarnya sebagai perbandingan terhadap variable terpengaruh.
Jika variable kontrol dinilai lebih memengaruhi variable tergantung, maka
variable yang dijadikan pilihan berikutnya, sebagai variable pengaruh pada
variable tergantung.

Dalam beberapa riset, misalnya periset menggunakan variable kontrol


seperti usia, gender atau status sosial-ekonomi. Sebagai contoh, dalam riset
tentang hubungan antara keterbacaan surat kabar dan kemampuan membaca,
periset menemukan bahwa IQ akan memengaruhi hubungan tersebut dan harus
dikontrol; kemudian responden diseleksi berdasarkan skor IQ nya atau di
tempatkan dalam kelompok yang mempunyai kesamaan skor IQ.

Hubungan dalam analisis multivariate dengan variable kontrol


Variable pengaruh variable tergantung

Perilaku membeli
Terpaan iklan di tv
produk A

Daya beli

Distribusi

Kemasan

kebutuhan
Variable kontrol
Gambar diatas adalah riset tentang apakah terpaan iklan di televise
memengaruhi orang lain untuk membeli produk A yang diiklankan. Asumsi awal
periset adalah iklan adalah variable penting dalam memengaruhi perilaku
21

membeli. Tetapi periset juga menyadari bahwa ada faktor-faktor lain seperti daya
beli, distribusi, kemasan, kebutuhan konsumen yang berpotensi memengaruhi
orang untuk membeli produk. Bahkan bisa saja faktor-faktor tersebut ternyata
lebih kuat sebagai penyebab orang membeli.

h) Variable anteseden dan variable prediktor


Variable yang biasanya digunakan untuk memprediksi atau diasumsikan menjadi
sebab (dapat disamakan dengan independent varaiable) disebut dengan variable
prediktor atau variable anteseden. Sedangkan variable yang diprediksi atau
diasumsikan menjadi akibat (dapat disamakan dengan dependent variable)
terkadang disebut criterion variable (Wimmer Dominick, 2000). Misalnya dalam
riset uses and gratification dapat digambarkan sebagai berikut (Rakhmat, 2001):

Model uses and gratification

Anteseden Motif Penggunaan media efek

-variabel individu -personal - hubungan - kepuasan

-variabel lingkungan -diversi - macam isi - pengetahuan

-personal -hubungan dengan isi

-identity

i) Distorter Variable (variabel pengganngu), merupakan variabel yang dapat


mengubah arah hubungan di antara dua variabel. Pada awalnya, variabel
independen dan dependen mempunyai hubungan yang positif, namun setelah
dimasukkan variabel ketiga (variabel pengganggu) hubungan kedua variabel
tersebut menjadi negative (Martono, 2010: 52).

2.1.4.3 Jenis Variabel Berdasarkan Hubungannya
Sebagaimana yang telah disinggung pada paparan di atas mengenai hubungan
antara variabel independen dan dependen, dan supaya peneliti lebih memahami
mengenai makna  hubungan tiap variable penelitian, maka perlu  untuk 
dijelaskan makna dari hubungan variable dimaksud terutama dalam menguji ada
22

tidaknya hubungan antar variabel penelitian yang dimaksud. Hubunagn antar


variabel tersebut memiliki berbagai macam makna, di antaranya :
a. Hubungan Simetris
Kedua variabel dikatakan memiliki hubungan simetris, apabila variabel
yang satu tidak disebabkan oleh variabel yang lain. Contoh hubungan
simetris adalah hubungan antara jumlah guru dengan jumlah fasilitas
belajar di sebuah sekolah. Variabel jumlah guru tidak memengaruhi
jumlah fasilitas belajar, demikian juga variabel jumlah fasilitas belajar
juga tidak memengaruhi jumlah guru di sebuah sekolah (Martono, 2010:
53).
b. Hubungan resiprokal (hubungan timbal balik)
Hubungan ini merupakan suatu hubungan yang tidak begitu jelas, di
mana variabel yang independen (kausatif) dan mana variabel yang
dependen (efek). Misalnya, tidak jelas apakah variabel sikap seorang
guru kurang baik karena murid-murid kurang baik atau sebaliknya.
Dalam penelitian sosial (pendidikan) kadang-kadang peneliti mengahdapi
dua variabel yang susah untuk segera dapat menentukan mana variabel
yang independen dan mana yang variabel dependen. Dalam hal ini dua
variabel tersebut bersifat resiprokal (variabel timbal balik).(Ghony, 2009:
130.)

c. Hubungan variabel Asimetris


Hubungan asimetris adalah hubungan di mana satu variabel
mempengaruhi variabel yang lain dan tidak dapat saling dipertukarkan.
Ada enam tipe hubungan asimetris, yaitu:
 Hubungan antara stimulus dan respons.
 Hubungan antara disposisi dan respons.
 Hubungan antara ciri individu dan disposisi atau tingkah laku.
 Hubungan antara prekondisi dan akibat tertentu.
 Hubungan yang imanen.
 Hubungan antara tujuan dan cara.
23

Contoh hubungan Asimetris adalah hubungan antara variabel jenis


kelamin dengan prestasi belajar; hubungan antara variabel tingkat
pendidikan dengan jenis pekerjaan (Martono, 2010: 54)

d. Hubungan Asimetris Dua Variabel


Inti dari analisis ilmiah dalam penelitian adalah hubungan asimetris,
hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Kedua
variabel ini dalam pembahasan berikut ini disebut dengan variabel
pokok. Hubungan antara jenis variabel tersebut merupakan titik pangkal
analisis dalam penelitian sosial, penelitian pendidikan, dan sebagainya.
Hubungan tersebut dapat berupa hubungan antara dua variabel atau lebih;
dengan kata lain disebut hubungan dua variabel (bivariate), atau bisa
juga hubungan lebih dari dua variabel (multivariate) yakni satu variabel
dependen dan beberapa variabel independen.
Ada dua cara untuk menentukan kelas variabel penelitian tersebut antara
lain : Pertama, menjadi satu kelas variabel independen yang
utuh;Kedua : menganalisis satu persatu independen variabel
(X1,X2,X3,X4) yang selanjutnya dihubungkan dengan dependen
variabel. Begitu pula dengan hubungan bivariate terutama dalam
penelitian sosial, pendidikan jarang dijumpai hal-hal seperti itu
dikarenakan ada variabel lain yang lebih berpengaruh

Tabel 2.1

Operasionalisasi Konsep Status Sosial Ekonomi

Sebaran Konsep Status Sosial Ekonomi

Skala Pengukuran
Variabel Indikator
Pengukuran Operasional
1. berbagai 1.1 1.1. skala interval 1.1. Angket/
penghasila penghasilan (100.000-200.000) wawancara
n seseorang tetap sebulan dsb.
1.2. Idem 1.2. Angket/
1.2 penghasilan Wawancara
tidak tetap
24

sebulan
2. Semua 2.1 harta cairan 2.1 skala nominal 2.1 Angket/
kekayaan yaitu: Wawancara
material rumah, mobil,
seseorang telepon, lemari
es, TV, video,
tape recorder,
radio, sepeda,
motor,
perhiasan emas,
dan perabotan
yang diperoleh 2.2 skala nominal
dari bekerja 2.2 Angket/
sendiri. wawancara

2.2 harta
bawahan yaitu:
Rumah, mobil,
telepon, video,
tape recorder,
radio, sepeda,
motor,
perhiasan emas,
dan perabotan
yang diperoleh
dari keluarga.
3. Kedudukan 3.1 kedudukan 3.1 skala ordinal 3.1 Angket/
seseorang formal yaitu Wawancara
di kedudukan
masyarakat dalam
organisasi
pemerintahan
dan organisasi 3.2 idem 3.2 Angket/
kemasyarakatan Wawancara
3.2 kedudukan
informal yaitu
tempat anggota
masyarakat
meminta
nasihat dan
petunjuk
(Burhan Bungin, 2005:71)

2.1.4 Perbedaan Konsep dan Variabel


25

Konsep adalah gambar mental atau persepsi dan karena itu maknanya sangat
bervariasi dari individu ke individu, sedangkan variabel yang diukur, tentu
dengan berbagai tingkat akurasi. Keterukuran (measurability) adalah perbedaan
utama antara konsep dan variabel. Sebuah konsep tidak dapat diukur sedangkan
variabel dapat dikenakan pengukuran dengan kasar / halus atau subjektif unit /
tujuan pengukuran. Konsep besifat subyektif—pemahamannya mungkin berbeda
dari orang ke orang—yang, jika diukur, akan menyebabkan masalah dalam
membandingkan respon. (Ranjit Kumar 2005: 56)

2.2 Hipotesis

Secara etimologis, hipotesis dibentuk dari dua kata, yaitu kata hypo dan
kata thesis. Hypo berarti kurang dan thesis adalah pendapat. Peyebutan dalam
dialek Indonesia menjadi hipotesa kemudian berubah menjadi hipotesis yang
maksudnya adalah suatu kesimpulan yang masih kurang atau kesimpulan yang
masih belum sempurna.

Pada bagian lain, Margono (2004: 67) pun mengungkapkan pengertian


lainnya tentang hipotesis. Ia menyatakan bahwa hipotesis adalah jawaban
sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoretis dianggap paling
mungkin atau paling tinggi tingkat kebenarannya. Secara teknik, hipotesis adalah
pernyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya melalui
data yang diperoleh dari sampel penelitian. Secara statistik, hipotesis merupakan
pernyataan keadaan parameter yang akan diuji melalui statistik sampel. Di dalam
hipotesis itu terkandung suatu ramalan. Ketepatan ramalan itu tentu tergantung
pada penguasaan peneliti itu atas ketepatan landasan teoritis dan generalisasi
yang telah dibacakan pada sumber-sumber acuan ketika melakukan telaah
pustaka.

Mengenai pengertian hipotesis ini, Nazir (2005: 151) menyatakan bahwa


hipotesis tidak lain dari jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian,
yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Menurutnya, hipotesis menyatakan
hubungan apa yang kita cari atau yang ingin kita pelajari. Hipotesis adalah
pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana
adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta panduan
26

dalam verifikasi. Hipotesis adalah keterangan sementara dari hubungan


fenomena-fenomena yang kompleks. Trelease (Nazir, 2005: 151) memberikan
definisi hipotesis sebagai “suatu keterangan sementara sebagai suatu fakta yang
dapat diamati”. Sedangkan Good dan Scates (Nazir, 2005: 151) menyatakan
bahwa hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan serta
diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati
ataupun kondisi-kondisi yang diamati, dan digunakan sebagai petunjuk untuk
langkah-langkah penelitian selanjutnya. Kerlinger (Nazir, 2005: 151) menyatakan
bahwa hipotesis adalah pernyataan yang bersifat terkaan dari hubungan antara
dua atau lebih variabel.

Penggunaan hipotesis dalam penelitian karena hipotesis sesungguhnya


baru sekadar jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan.
Dengan hipotesis, penelitian menjadi jelas arah pengujiannya dengan kata lain
hipotesis membimbing peneliti dalam melaksanakan penelitian dilapangan baik
sebagai objek pengujian maupun dalam pengumpulan data.

Sebagai guide proses penelitian, hipotesis juga didesain berdasarkan


kepentingan suatu penelitian. Karena itu dalam penelitian kuantitatif, sejak awal
peneliti harus sudah mengetahui untuk apa hipotesis dirancang. Peneliti juga
harus tahu apakah suatu penelitian harus menggunakan hipotesis ataukah tidak.

Pertimbangan pemahaman peneliti terhadap diperlukannya suatu


penelitian menggunakan hipotesis karena tidak semua penelitian dapat
menggunakan hipotesis, apabila penelitian menghadapi data-data matematik yang
dapat diukur secara kuantitatif, maka dalam penelitian harus dibangun hipotesis-
hipotesis matematik pula, yaitu hipotesis secara matematik memberi batasan
hubungan apa atau yang bagaimana antara dua atau lebih variable. Namun,
apabila peneliti menghadapi data ataupun variable yang menunjukan gejala rumit,
canggih, serta sukar diukur secara kuantitatif, maka hipotesis harus dibangun
dalam bentuk yang lebih verbal.

George dan Hatt (1952: 67-73) menjelaskan ciri-ciri hipotesis yang baik,
yaitu:

(1) Hipotesis harus jelas secara konseptual,


27

(2) Hipotesis harus mempunyai rujukan empiris,

(3) Hipotesis harus bersifat spesifik,

(4) Hipotesis harus dihubungkan dengan teknik penelitian yang ada, dan

(5) Hipotesis harus berkaitan dengan suatu teori.

Hipotesis merupakan pendapat atau pernyataan yang belum tentu


kebenarannya, masih harus diuji lebih dahulu dan karenanya bersifat sementara
atau dugaan awal. Hipotesis merupakan pernyataan yang menjembatanidunia
teori dengan dunia empiris. Menurut Webbster’s New World Dictionary (dalam
Kriyantono, 2006: 21) disebutkan bahwa hipotesis adalah “an unproved theory,
proposition, etc, tentatively accepted to explain certain facts to provide a basis
for invastigation, arguments” (hipotesis adalah teori, proposisi yang belum
terbukti, diterima secara tentatif, untuk menjelaskan sejumlah fakta atau
menyediakan dasar untuk melakukan penyelidikan atau penelitian dan menyakan
argumen). Hipotesis harus diuji melalui penelitian dengan mengumpulkan data
empiris.

Misalnya, teori Agenda-setting menyebutkan media mempunyai


kekuatan efektif dalam membentuk agenda publik. Dari teori ini dapat
dirumuskan hipotesis: semakin tinggi frekuensi pemberitaan suatu isu, maka isu
tersebut akan dianggap semakin penting oleh khalayak.

Kriyantono (2006:23) memberikan sebuah contoh penelitian yang lain.


Misalkan dalam penelitian tentang apakah terapan iklan di televisi memengaruhi
orang untuk membeli produk A yang diiklankan. Dugaan awal peneliti adalah
iklan merupakan variabel yang penting dalam penelitian yang memengaruhi
perilaku pembeli. Akan tetapi peneliti juga menyadari bahwa ada sejumlah faktor
yang lainnya (daya beli, distribusi, kemasan, kebutuhan konsumen) dapat
dijadikan oleh peneliti sebagai variabel kontrol. Bahkan dapat saja sejumlah
faktor tersebut ternyata lebih kuat sebagai penyebab orang untuk membeli.

Menurut Kriyatono (2006, 28-29) hipotesis memberikan sejumlah fungsi


pentig dalam sebuah penelitian. Fungsi tersebut antara lain:
28

1. Hipotesis mengarahkan penelitian. Dengan memiliki hipotesis, peneliti tidak


akan melenceng dari fokus penelitian. Untuk itu hipotesis dilihat sebagai
petunjuk atau pembimbing agar penelitian tidak salah arah atau melenceng
dari tujuan penelitian.
2. Hipotesis membantu peneliti agar tidak terjebak dalam upaya trial and error
dalam mencari jawaban penelitian.
3. Hipotesis membantu peneliti menghilangkan variabel-variabel yang tidak ada
hubungannya dengan penelitian, yang berpotensi mengintervensi sehingga
menjadikan permasalahan melebar.
4. Hipotesis membantu peneliti mengkualifikasikan variabel sehingga dapat
diukur, segala fenomena dapat dikuantifikasi jika dioperasionalkan lebih
dahulu. Misalkan ada hipotesis teoritis “terdapat hubungan antara frekuensi
menonton iklan wajib belajar dengan sikap khalayak terhadap program wajib
belajar”. Maka peneliti harus mengoperasionalkan lebih dahulu apa yang
dimaksud sikap dan frekuensi tersebut. Hasil operasionalisasi ini adalah
sebuah hipotesis penelitian/hipotesis riset.

2.2.1 Merancang Hipotesis

Rancangan hipotesis dibangun di atas kesadaran keilmuan, sehingga


hipotesis harus dipertimbangkan validitasnya. Dalam hal ini mungkin perlu
dipertimbangkan saran William F.Ogburn, inti dari pembahasan tentang hal-hal
yang perlu dijelaskan dalam rancangan hipotesis dan menjadi substansi hipotesis
pada umumnya sebagaimana dijelaskan oleh Wirawan, yaitu:

 Hipotesis harus muncul dan ada hubungannya dengan teori serta masalah
yang diteliti;
 Setiap hipotesis adalah kemungkinan jawaban terhadap persoalan yang
diteliti;
Hipotesis harus diuji (teruji) atau diukur (terukur) secara khusus untuk
menetapkan apakah hipotesis paling besar kemungkinannya didukung oleh data
empiris.
Dari performance-nya, dalam arti materi hipotesis, formulasi hipotesis haruslah
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut ini:
29

 Sebuah hipotesis disajikan dalam formulasi konsisten logis. Hipotesis harus


dirumuskan sedemikian rupa sehingga konsekuensi mutlak yang lahir
darinya, tidak merupakan sesuatu yang berlawanan atau sesuatu yang
inkonsostensi. Apabila dalam suatu teori terdapat formulasi yang
inkonsistensi, maka dituntut suatu formulasi baru dalam bentuk yang
sedemikian rupa sehingga inkonsistensi menjadi tak tampak dan muncul
suatu formulasi yang konsisten.
 Penggunaan prinsip ekonomis. Sesuatu yang tidak penting dan tidak diujikan
serta tidak diperluka secara formal, tidak perlu dimasukkan dalam formulasi
hipotesis. Apabila prinsip ini tidak dipenuhi dengan baik, maka pemunculan
hal-hal yang tidak diperlukan dalam formulasi hipotesis hanyalah sebagai
unsur yang dapat mengacaukan.
 Hipotesis disajikan dengan kemungkinan pengujiannya. Hipotesis dibuat
dengan suatu kemungkinan bahawa hipotesis tersebut nantinya dapat diuji.
 Hipotesis harus spesifik dan tidak menggunakan Bahasa yang ambiguous.
Hipotesis harus dapat diuji secara empiris serta dapat menjabarkan ramalan
yang dapat diuji kebenarannya.
 Acuan empiris yang ditentukan secara tegas. Hipotesis tidak dapat
melepaskan diri dari jangkauan konsep yang telah didefinisikan. Oleh karena
itu dalam perumusan hipotesis, peneliti harus dapat dengan saksama
menegaskan kembali makna dari kumpulan gejala empiris yang bersangkutan
dengan pemantulan kembali makna-makna teori yang dipergunakan oleh
konsep dalam penelitian.

Apa pun sifat dan syarat hipotesis, yang jelas bahwa penampilan setiap hipotesis
adalah dalam bentuk statement, yaitu pernyataan tentang sifat atau keadaan
hubungan dua atau lebih variable yang akan diteliti.

Merancang hipotesis membutuhkan sumber-sumber informasi yang


dijadikan sebagai inspirator peneliti untuk merancang atau merumuskan
hipotesis. Pertama, peneliti dapat menggunakan teori-teori yang telah ada
(sumber teori). Teori ini dapat diperoleh dari kegiatan kajian pustaka (literatur
review), baik itu membaca buku atau bahan tulisan ilmiah lain, hasil penelitian
sebelumnya maupun diskusi-diskusi. Kerangka teori sangat membantu penelitian
30

untuk menentukan arah atau tujuan penelitiannya melalui pemilihan konsep-


konsep yang tepat untuk pengajuan hipotesisnya.

Konsep dan teori tertentu yang digunakan dapat mempertajam daya pikir,
persepsi, dan mampu membimbing peneliti dalam menentukan bagaimana
rumusan peneitian melalui pengumpulan informasi, data, dan fakta di lapangan,
kemudian dianalisis serta disimpulkan. Selain dari teori, hipotesis dapat diperoleh
dari data di lapangan melalui observasi yang cermat dan sistematis. Cara kedua
ini biasanya terdapat pada penelitian eksplorasi, misalkan peneliti gorunded, di
mana penelitian belum memiliki konsep awal apa yang diteliti. Peneliti baru
memiliki konsep awal setelah ia terjun langsung di lapangan. Dari situ kemudian
dirumuskan sebuah hipotesis.

Akan tetapi dalam praktiknya, sumbernya yang dijadikan acuan


membangun hipotesis paling banyak berasal dari teori-teori. Ini disebabkan
konsep proposisi-proposisi dalam teori telah teruji sebelumnya sehingga
memudahkan peneliti. Karena itulah penggunaan hipotesis oaling banyak
ditemukan pada penelitian kuantitatif, yang bergerak dari hal-hal yang bersifat
umum (tataran teori/dedukasi), dari pada penelitian kualitatif yang bergerak dari
hal-hal khusus (empiris/induksi).

Berikut merupakan contoh-contoh dari hipotesis :

 Kecantikan seseorang gadis berpengaruh terhadap panjang-pendeknya umur


kegadisannya.
 Tidak ada hubungan antara kemiskinan dan masalah putus sekolah di
masyarakat pinggiran
 Ada hubungan antara pelacuran dan keadaan ekonomi, sosial, dan
antropologis.

Kriteria Hipotesis yang Baik

Wimmer dan Dominick (dalam Kriyantono, 2006, 30) menyebutkan


sejumlah kriteria tentang bagaimana sebuah hipotesis yang baik. Hal tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis harus cocok atau sesuai (harmonis) dengan teori atau


pengetahuan terkini dalam bidang yang diteliti. Jika literatur yang
31

tersedia secara kuat menyarankan satu pandangan, peneliti yang


membangun hipotesis yang mentang teori tersebut tanpa dasar hanya
akan memperlambat perkembangan teori atau pengetahuan di bidang
tersebut.
2. Hipotesi harus mempunyai konsistensi secara logis. Contohnya, jika
peneliti mengganggap A = B dan B = C, maka A harus sama dengan C.
3. Usahakan menyusun hipotesis secara singkat. Tujuannya adalah agar
lebih mudah dipahami. Contohnya, “kreativitas intelektual dan
psikomotorik yang dimiliki individu secara positif serupa dengan tingkat
intelegensia yang distandarkan “,ini adalah bentuk hipotesis yang terlalu
panjang dan tidak sederhana. Akan menjadi lebih baik jika hipotesis di
rumuskan menjadi ‘kemampuan psikomotorik berhubungan secara
posistif dengan IQ”.
4. Hipotesis harus dapat diuji (testable). Untuk dapat diuji hipotesis harus
memiliki rujukan empiris, artinya tidak mengandung konsep-konsep
yang merupakan penilaian yang bersifat abstrak, misalnya, “jika
hubungan masyarakat dilakukan dengan baik maka hubungan masyarakat
akan efektif” atau “ media massa seharusnya berperan dalam menggugah
semangat nasionalisme kaum remaja” adalah bentuk hipotesis yang
merujuk kepada hal yang absrak, bukan kepada hal yang empiris. Kata-
kata seperti “sebaiknya, seharusnya, efektif” sebaiknya dihindari karena
lebih mencerminkan sikap daripada gejala empiris.
5. Hipotesis harus dihubungkan dengan teknik penelitian yang ada.
Hipotesis harus berkaitan dengan teori tertentu. Teori dan teknik atau
metode oenelitian tentu harus saling berkaitan, karenanya ketika kita
merumuskan hipotesis kita perlu mempertimbangkan teknik apa yang
dapat digunakan untuk mengujinya. Hipotesis yang menyatakan ada
hubungan antara terapan media dengan partisipasi politik adalah
hipotesis yang sudah memiliki teknik penelitian. Keduanya dapat diukur
dengan skala interval, bisa diuji dengan teknik statistik perason’s
correlations. Bandingkan dengan hipotesis makin tinggi ketakwaan
seorang makin tinggi moralitasnya. Akan sulit untuk mengukur sesuatu
yang abstrak seperti ketakwaan dan moralitas.
32

2.2.2 Bentuk Hipotesis

Jacob Vredenbregt membedakan hipotesis dalam tiga jenis, yaitu


hipotesis universal, hipotesis eksistensial, dan hipotesis probabilitas. Hipotesis
universal dapat dicontohkan sebagai berikut: semua orang yang berasal dari
daerah konflik di Indonesia mengalami hambatan-hambatan psikologis dalam
berinteraksi dengan orang lainsebagai pengalaman masa lalunya. Berdasarkan
statement ini, kemudian diuji atau diramalkan, apakah benar semua orang yang
bersala dari daerah konflik di Indonesia memiliki hambatan psikologis dalam
berinteraksi dengan orang lain.

Sedangkan hipotesis eksistensial mempunyai bentuk dasar bahwa paling


sedikit ada satu satuan dalam universum X adalah Y. contohnya dengan
menggunakan prognosis (ramalan) memang ada, artinya paling sedikit satu orang
dari kalangan pemirsa televisi dapat menebak dengan benar kuis olahraga yang
ditayangkan televisi tersebut dengan benar. Jika kita berangkat dari hipotesis nol,
maka ramalannya adalah tidak seorang pemirsa pun yang dapat menebak kuis
olahraga dengan benar. Kemudian kita mencari kasus yang mengingkari ramalan
tersebut atau hipotesis nol itu.

Hipotesis probabilitas mempunyai bentuk dasar abstrak. Yang


dipersoalkan di sini adalah keadaan “realitif lebih atau realitif kurang”. Hipotesis
probabilitas didasarkan atas pengujian sampel, yang memakai penegasan kriteria
yang diatur menurut konvensi (perjanjian). Hasil dari hipotesis ini senantiasa
probable artinya senantiasa membawa risiko-risiko kemungkian tertentu.

Ada beberapa pembahian jenis hipotesis lain yang lebih mudah


dimengerti dan dipakai pada berbagai peneletian, yaitu hipotesis nol (Ho),
Hipotesis alternatif (Ha) dan Hipotesis kerja (Hk).

1) Hipotesis Nol (Ho)


Hipotesis ini sering disebut hipotesis statistika yaitu hipotesis yang diuji
dengan statistika. Hipotesis ini mempunyai bentuk dasar atau memiliki
statement yang menyatakan tidak ada hubungan variabel X dan variabel
Y yang akan diteliti, atau variabel independen (X) tidak memengaruhi
variabel dependen (Y). contohnya seperti “Tidak ada hubungan antara
33

tingkat pelanggaran seksual dengan tingkat kasus penyakit AIDS/HIV di


suatu tempat”.
Hipotesis ini dibuat dengan kemungkinan yang besar untuk ditolak, ini
berarti apabila terbukti hipotesis nol (Ho) ini tidak benar dalam arti
hipotesis itu ditolak, maka disimpulkan bahwa ada hubungan antara
variabel X dan variabel Y.

2) Hipotesis Alternatif (Ha)


Hipotesis alternatif dapat langsung dirumuskan apabila ternyata pada
suatu penelitian, hipotesis nol ditolak. Hipotesis ini menyatakan ada
hubungan, yang berarti ada signifikasi hubunfan antaea variabel
independen (X) dan variabel dependen (Y).
Sebagai hipotesis yang berlawanan dengan hipotesis nol, maka hipotesis
ini disiapkan untuk suatu kecenderungan menerima statement-nya atau
kebenerannya. Contoh dari hipotesis alternatif adalah “ada hubungan
antara tingkat pelanggaran seksual dengan tingkat kasus penyakit
AIDS/HIV di suatu tempat”.
Pada penjelasan mengenai hipotesis nol diatas disebutkan apabila
hipotesis nol ditolak, maka secara otomatis hipotesis alternative diterima,
begitu juga sebaliknya. Hipotesis alternatif dapat dipisahkan lagi menjadi
dua bentuk yaitu :
 Hipotesis Alternatif Terarah (Directional Hypothesis)
Hipotesis ini menyatakan arah interaksi yang searah atau kebalikan
hubungan signifikasi dari dua variabel. Contohnya “Semakin positif
persepsi pengguna merek oli JJ, maka semakin tinggi pula tingkat
penggunaan oli merek jj tersebut”.
 Hipotesis Alternatif Tidak Terarah (Non-Directional Hypothesis)
Hipotesis terakhir ini, tidak menyatakan arah interaksi yang searah
atau arah dari hubungan signifikasi antara dua atau lebih variabel.
Contohnya “Ada hubungan semakin tinggi kadar keagamaan
seseorang dengan semakin rendah keinginan orang tersebut terhadap
hal-hal yang bersifat kebendaan”.
34

3) Hipotesis Kerja (Hk)


Hipotesis Kerja adalah hipotesis spesifik yang dibangun berdasarkan
masalah-masalah khusus yang akan diuji. Hipotesis Hk ini digunakan
untuk mempertegas hipotesis Ho atau Ha dalam statement yang lebih
spesifik pada parameter (indicator) tertentu dari variabel yang
dihipotesiskan. Contohnya pada Ho yang berbunyi “Tidak ada hubungan
antara mobilitas sosial dengan pandangan politik masyarakat”, maka
hipotesis Hk dapat dibangun dengan statement : (a) “Tidak ada hubungan
anatara perubahan gerak status pekerjaan dan pandangan politik
seseorang”, (b) “Tidak ada hubungan antara gerak kepindahan fisik dan
pandangan seseorang’. Hal yang sama juga terjadi apabila pada suatu
penelitian, penelitian menggunakan hipotesis Ha.
Dari sisi kompleksitas variabel, maka hipotesis dapat dibagi menjadi dua,
yaitu hipotesis mayor (Ho dan Ha) dan hipotesis minor (Hk). Hipotesis
mayor adalah hipotesis induk yang menjadi sumber dari hipotesis-
hipotesis yang lebih spesifik yaitu hipotesis minor. Apabila peneliti dapat
menjawab hipotesis mayor ini, barulah penelitian dianggap berhasil,
dengan kata lain bahwa hipotesis mayor hanya dapat dijawab pada
penelitian yang berhasil.

4) Hipotesis Teoritis dan Hipotesis Riset


Hipotesis teoritis adalah hipotesis yang dirumuskan setelah periset
melakukan kegiatan berteori. Hipotesis ini belum cukup operasinal untuk
langsung diuji. Baru bisa diuji secara langsung setelah dioperasinalkan,
agar mudah diukur, dan berubah menjadi hipotesis riset. Hipotesis riset
atau hipotesis kerja diartikan sebagai hipotesis yang spesifik. Dimaksud
spesifik karena sudah operasinal dan bisa langsung diukur.
Permasalahan: apakah film kekerasan di TV mempengaruhi munculnya
tingkah laku agresif anak?
Hipotesis teoriris: terpaan film kekerasan di TV berpengaruh pada
tingkah laku agresif anak.
Hipotesis riset: jumlah adegan kekerasan yang disaksikan di tiap harinya
oleh anak-anak berkorelasi dengan frekuensi dilakukannya tindak agresif
pada objek-objek tertentu.
35

David H. Penny mengajukan beberapa cara yang dapat dilakukan oleh


peneliti kuantitatif dalam mengurangi kesulitan dalam membangun hipotesis
mayorm diantaranya sebagai berikut :
 Buatlah daftar masalah beserta hubungannya satu dengan yang lainnya,
kemudian menentukan mana yang paling penting dan yang kiranya dapat
anda tangani.
 Buatlah jenis informasi yang anda butuhkan untuk menjelaskan suatu
masalah tertentu dan dari daftar itu tentukan mana pertanyaan yang
paling penting serta dapat anda jawab jika telah mengumpulkan
informasi.
 Daftarlah variabel-variabel penting yang diperkirakan akan membantu
dalam menganalisis problem tertentu, kemudian lakukan seperti poin
diatas (2)
 Daftarlah institusi sosial, ekonomi, atau politik, dan sebagainya, yang
dalam beberapa hal berkaitan dengan kajian yang direncanakan.
Kumudian anda boleh bertanya pada diri sendiri, mana di antara institusi
itu yang paling relevan dengan kajian anda.
 Buatlah daftar isu-isu teoristis dan pilihlah diantara itu tersebut yang
paling relevan sebagai kerangka kerja untuk merencanakan kajian.

Hipotesis pada dasarnya haruslah diuji untuk membuktikan


kebenarannya. Dalam tahapan ini seorang peneliti akan menerima atau menolak
hipotesis nol. Jika hipotesis nol diterima maka hipotesis alternatif akan ditolak,
begitu juga sebaliknya. Kegiatan semacam ini disebut sebagai uji hipotesis atau
uji signifikansi. Lalu bagaimana caranya melakukan uji hipotesis tersebut? Ada
sejumlah perbedaan yang cukup berarti dalam uji hipotesis untuk jenis penelitian
kuantitatif dan jenis penelitian kualitatif. Uji hipotesis dalam penelitian
kuantitatif lebih banyak berupa angka-angka.

Hal ini dianggap wajar karena penelitian kuantitatif pada dasarnya


menggunakan data yang kuantitatif atau angka-angka, dan untuk itu dapat
dihitung. Karena lebih banyak datanya berupa angka-angka tadi maka lebih
bersift matematis, dengan menggunakan rumus-rumus statistik. Maka dari itu uji
36

hipotesis dalam penelitian kuantitatif disebut juga dengan uji statistik. Uji ini
dimungkinkan jika alat ukur variabel adalah alat ukur yang objektif.

Pada penelitian kualitatif karena datanya umumnya berupa kualitatif


(narasi fakta-fakta yang mendalam), untuk itu hipotesis lebih banyak diuji
menggunakan penafsuran atau interpretasi subjektif peneliti. Hal ini dikarenakan
alat ukur penelitian kualitatif lebih banyak bersifat subjektif. Katakanlah untuk
mengukur model pendampingan orangtua terhadap anak saat menonton televisi,
digunakan hasil interpretasi peneliti terhadap apa yang dimaksud dengan
pendampingan itu. Akibatya, kebenaran hipotesis bersifat terbatas atau relatif,
yaitu terbatas pada kasus tertentu dan dalam konteks tententu pula. Pada uji
statistik, sebelum menguji hipotesis, peneliti terlebih dahulu merumuskan
hipotesis, perumusan hipotesis ini berdasarkan jenis penelitian atau tataran
analisisnya, apakah deskriptif ataukah eksplanatif, perumusah hipotesis ini akan
menentukan teknik-yeknik statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis.

Berdasarkan jenis penelitiannya secara garis besar hipotesis dapat


dirumuskan ke dalam hipotesis deskriptif dan hipotesis inferensial. Bahkan
Sugiyono (2002: 83-84) membagi tiga dengan membelah hipotesis inferensial
menjadi dua, yaitu hipotesis komaratif dan asosiatif. Berdasarkan jenis rumusan
hipotesis di atas, dikenal pula tida cara menguji hipotesis secara statistik, yaitu
statistik deskriptif, statistik komparatif, dan statistik asosiatif, meski deminikian
bahwa sebagian besar penelitian sosial menganggap bahwa jenis penelitian
deskriptif tidak memerlukan uji hipotesis karena mengasumsukan tujuan
penelitian deskriptif hanyalah untuk mendapatkan gambaran tenang suatu
fenomena atau permasalahan sehingga tidak perlu menjelaskan hipotesis.

2.2.3 Cara Menguji Hipotesis

Setelah hipotesis dirumuskan dan dievaluasi menurut kriteria di atas,


hipotesis tersebut kemudian diuji secara empiris. Hipotesis tersebut harus lulus
dari tes empiris dan tes logika. Gagasan terbaik, pendapat para ahli, dan deduksi
pun kadang-kadang bisa menyesatkan. Pada akhirnya, semuanya itu harus diuji
melalui pengumpulan data yang teliti.

Menurut Furchan (2004: 130-131), untuk menguji hipotesis peneliti harus:


37

1. Menarik kesimpulan tentang konsekuensi-konsekuensi yang akan dapat


diamati apabila hipotesis tersebut benar.

2. Memilih metode-metode penelitian yang akan memungkinkan


pengamatan, eksperimentasi, atau prosedur lain yang diperlukan untuk
menunjukkan apakah akibat-akibat tersebut terjadi atau tidak.

3. Menerapkan metode ini serta mengumpulkan data yang dapat dianalisis


untuk menunjukkan apakah hipotesis tersebut didukung oleh data atau tidak.

Seperti telah diketahui bersama bahwa fungsi hipotesis adalah untuk


memberikan suatu pernyataan terkaan tentang hubungan tentatif antara
fenomena-fenomena dalam penelitian. Kemudian hubungan-hubungan ini
akan diuji validitasnya menurut teknik-teknik yang sesuai untuk keperluan
pengujian. Bagi seorang peneliti, hipotesis bukan bukan merupakan suatu hal
yang menjadi vested interest, dalam artian bahwa hipotesis harus selalu
diterima kebenarannya. Jika hipotesis ditolak karena tidak sesuai dengan
data, misalnya, keadaan ini tidak berarti si peneliti akan kehilangan muka.
Bahkan harga diri peneliti akan naik jika si peneliti dapat menerangkan
mengapa hipotesisnya tidak valid. Penolakan hipotesis dapat merupakan
penemuan yang positif, karena telah memecahkan ketidaktahuan (ignorance)
universal dan memberi jalan kepada hipotesis yang lebih baik. Akan tetapi,
seorang ilmuwan tidak dapat mengetahui bukti positif atau negatif kecuali
ilmuwan tersebut mempunyai hipotesis dan dia telah menguji hipotesis
tersebut.

Hipotesis tidak pernah dibuktikan kebenarannya, tetapi diuji validitasnya.


Kecocokan hipotesis dengan fakta bukanlah membuktikan hipotesis, karena
bukti tersebut memberikan alasan kepada kita untuk menerima hipotesis, dan
hipotesis adalah konsekuensi logis dari bukti yang diperoleh. Untuk menguji
hipotesis diperlukan data atau fakta-fakta. Kerangka pengujian harus
ditetapkan terlebih dahulu sebelum si peneliti mengumpulkan data. Pengujian
hipotesis memerlukan pengetahuan yang luas mengenai teori, kerangka teori,
penguasaan penggunaan teori secara logis, statistik, dan teknik-teknik
pengujian. Cara pengujian hipotesis bergantung dari metode dan disain
penelitian yang digunakan. Yang penting disadari adalah hipotesis harus diuji
38

dan dievaluasikan. Apakah hipotesis tersebut cocok dengan fakta atau dengan
logika? Ilmuwan tidak akan mengakui validitas ilmu pengetahuan jika
validitas tidak diuji secara menyeluruh. Satu kesalahan besar telah dilakukan
jika dipikirkan bahwa hipotesis adalah fakta, walau bagaimanapun baiknya
kita memformulasikan hipotesis tersebut.

Secara umum hipotesis dapat diuji denga dua cara, yaitu mencocokkan
dengan fakta, atau dengan mempelajari konsistensi logis. Dalam menguji
hipotesis dengan mencocokkan fakta, maka diperlukan percobaan-percobaan
untuk memperoleh data. Data tersebut kemudian kita nilai untuk mengetahui
apakah hipotesis tersebut cocok dengan fakta tersebut atau tidak. Cara ini
biasa dikerjakan dengan menggunakan disain percobaan. Jika hipotesis diuji
dengan konsistensi logis, maka si peneliti memilih suatu desain di mana
logika dapat digunakan, untuk menerima atau menolak hipotesis. Cara ini
sering digunakan dalam menguji hipotesis pada penelitian yang
menggunakan metode noneksperimental seperti metode deskriptif, metode
sejarah, dan sebagainya.

2.2.4 Penelitian Tanpa Hipotesis

Mungkin kita bertanya, apakah semua penelitian harus berhipotesis?


Terkait dengan pertanyaan tersebut, untuk memberikan jawabannya,
Arikunto (2002: 71) menjelaskan ada dua alternatif jawaban. Pendapat
pertama menyatakan, semua penelitian pasti berhipotesis. Semua peneliti
diharapkan menentukan jawaban sementara, yang akan diuji berdasarkan data
yang diperoleh. Hipotesis harus ada karena jawaban penelitian juga harus
ada, dan butir-butirnya sudah disebut dalam problematika maupun tujuan
penelitian.

Pendapat kedua mengatakan, hipotesis hanya dibuat jika yang


dipermasalahkan menunjukkan hubungan antara dua variabel atau lebih.
Jawaban untuk satu variabel yang sifatnya deskriptif, tidak perlu
dihipotesiskan. Penelitian eksploratif yang jawabannya masih dicari dan
sukar diduga, tentu sukar ditebak apa saja, atau bahkan tidk mungkin
dihipotesiskan. Berdasarkan pendapat kedua ini maka mungkin sekali di
dalam sebuah penelitian, banyaknya hipotesis tidak sama dengan banyaknya
39

problematika dan tujuan penelitian. Mungkin problematika unsur 1 dan 2


yang sifatnya deskriptif tidak diikuti dengan hipotesis, tetapi problematika
nomor 3 dihipotesiskan.

2.3 Pengukuran

Steven (1951) dalam Black & Champion (1992) mendefinisikan


pengukuran sebagai pemberian angka-angka terhadap sejumlah obyek, peristiwa
atau orang, bedasarkan aturan tertentu. Cohen dan Nagel (1934) mendefinisikan
pengukuran sebagai korelasi sejumlah satuan (entities) yang bukan angka,
DiRenzo (1966): “Pengukuran merujuk pada sejumlah prosedur, yang
memungkinkan dilakukannya observasi empiris untuk menunjukkan gejala secara
simbolik dan mengkonseptualisasikan apa yang akan dijelaskan.

Dalam penelitian pendidikan khususnya penelitian kuantitatif dikenal


dengan nama variabel, misalnya variabel laten, variable manifes dan sebagainya.
Variabel inilah yang pada umumnya ingin diketahui karakteristik yang
dimilikinya, misalnya rata-rata, median, modus, standar deviasi dan lain-lain.
Untuk mengukur suatu variabel diperlukan alat ukur yang biasa disebut
instrumen. Djaali (2000: 9) menyatakan bahwa secara umum yang dimaksud
dengan instrumen adalah suatu alat yang karena memenuhi persyaratan akademis
maka dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengukur suatu obyek ukur atau
mengumpulkan data mengenai suatu variabel. Selanjutnya dinyatakan bahwa
pada dasarnya instrumen dapat dibagi menjadi dua macam, yakni tes dan non-tes.
Yang termasuk kelompok tes, misalnya tes prestasi belajar, tes inteligensi, tes
bakat; sedangkan yang termasuk non-tes misalnya pedoman wawancara, angket
atau kuesioner, lembar observasi, daftar cocok (check list), skala sikap, skala
penilaian, dan sebagainya.

Dalamhal pengukuran, Weitzenhoffer (dalam Nur, 1987: 1) menyatakan


bahwa pengukuran sebagai suatu operasi yang dilakukan terhadap alam fisik oleh
pengamat. Misalnya, ingin mengukur hasil belajar, intelegensi, sikap, motivasi
berprestasi, dan sebagainya. Sekarang muncul suatu pertanyaan, yaitu apakah
suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang hendak dan seharusnya diukur
40

serta sejauh mana alat ukur tersebut dapat diandalkan dan berguna, sebenarnya
menunjuk pada dua hal yang pokok, yaitu validitas dan reliabilitas.

Nurkancana (1992: 141) menyatakan bahwa suatu alat pengukur dapat


dikatakan alat pengukur yang valid apabila alat pengukur tersebut dapat
mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Dalam hal validitas dan
reliabilitas, tentunya dipengaruhi oleh (1) instrumen, (2) subjek yang diukur, dan
(3) petugas yang melakukan pengukuran. Dalam hal pengukuran, khususnya
dalam pendidikan tentunya yang terpenting adalah informasi hasil ukur yang
benar. Sebab dengan hasil ukur yang tidak atau kurang tepat maka akan
memberikan informasi yang tidak benar, sehingga kesimpulan yang diambil juga
tidak benar.

Dapat disimpulkan bahwa pengukuran adalah pemberian angka-angka


secara nominal terhadap perangkat sosial dana tau perangkat psikologis individu
dan atau kelompok yang sesai dengan aturan dan menetapkan korelasi di antara
keduanya secara simbolik. Atau juga dapat didefinisikan sebagai pemberian
angka dan korelasi simbolik angka-angka, dengan perangkat nominal sosial dana
tau perangkat psikologis pada individu dana tau kelompok.

Alasan terpenting mengapa dilakukan pengukuran terhadap gejala sosial


adalah memberikan kesempatan pada peneliti menggunakan gejala sosial ini
dalam penyusunan hipotesis, untuk menentukan pengaruhnya terhadap variabel-
variabel lain.

2.3.1 Fungsi Pengukuran

1. Menggambarkan gejala sosial dan gejala psikologis


Penggambaran lingkungan sosial beserta orang-orang yang berada di
dalamnya secara akurat memungkinkan dirumuskannya hipotesis tentang
berbagai perilaku di dalam lingkungn itu dan menjadi bahan untuk keperluan
uji empiris. Karena itu, peneliti dapat mulai mengelompokkan pola-pola
budaya dan tingkah laku yang diamatinya. Dalam hal ini, peneliti dibantu
oleh beberapa alat pengukuran yang terdiri atas kuesioner, jawaban tertentu
41

(fixed responses) terhadap pertanyaan wawancara, dan kategorisasi kesan-


kesan yang dibuat oleh peneliti sendiri.
2. Mengubah data sehingga dapat dikontrol melalui manipulasi statistik.
Pada tahap menganalisis data, peneliti harus memilah-milah data ke dalam
kategori informasi yang spesifik, lalu menjelaskan apa yang terjadi dalam
lingkungan pekerjaan itu dan mengapa demikian. Ia mungkin tertarik untuk
memberikan angka-angka pada informasi yang diperolehnya, atau dengan
kata lain, ia ingin mengkuantifikasi variabel-variabel dalam kajian studinya.
3. Membantu menguji hipotesis dan teori
4. Memungkinkan peneliti membedakan antarobyek yang diteliti berdasarkan
perangkat yang dimilikinya

2.3.2 Jenis-jenis Skala Pengukuran

a) Skala nominal
Merupakan salah satu jenis pengukuran dimana angka dikenakan untuk
objek atau kelas objek untuk tujuan identifikasi. Nomor jaminan social
seseorang, nomor punggung pemain sepakbola, loker, dan lain-lain
adalah suatu skala nominal. Demikian juga, jika dalam suatu penelitian
tertentu pria diberikan kode 1 dan wanita mendapat kode 2, untuk
mengetahui jenis kelamin seseorang adalah melihat apakah orang ini
berkode 1 atau 2. Angka-angka tersebut tidak mewakili hal lain kecuali
jenis kelamin seseorang. Wanita, meskipun mendapat angka yang lebih
tinggi, tidak berarti “lebih baik” dibanding pria, atau “lebih banyak” dari
pria. Kita boleh saja membalik prosedur pemberian kode sehingga wanita
berkode 1 dan pria berkode 2.
b) Skala ordinal
Merupakan salah satu jenis pengukuran dimana angka dikenakan
terhadap data berdasarkan urutan dari objek. Disini angka 2 lebih besar
dari 1, bahwa angka 3 lebih besar dari 2 maupun 1. Angka 1, 2, 3, adalah
berurut, dan semakin besar angkanya semakin besar propertinya. Contoh,
angka 1 untuk mewakili mahasiswa tahun pertama, 2 untuk tahun kedua,
3 untuk tahun ketiga, dan 4 untuk mahasiswa senior. Namun kita juga
bisa memakai angka 10 untuk mewakili mahasiswa tahun pertama, 20
42

untuk tahun kedua, 25 untuk tahun ketiga, dan 30 untuk mahasiswa


senior. Cara kedua ini tetap mengindikasikan level kelas masing-masing
mahasiswa dan relative standing dari dua orang, yaitu siapa yang terlebih
dahulu kuliah.

c) Skala interval
Merupakan salah satu jenis pengukuran dimana angka-angka yang
dikenakan memungkinkan kita untuk membandingkan ukuran dari selisih
antara angka-angka. Selisih antara 1 dan 2 setara dengan selisih antara 2
dan 3, selisih antara 2 dan 4 dua kali lebih besar dari selisih antara 1
dan 2. Contoh adalah skala temperature, misalnya temperature yang

o
rendah pada suatu hari adalah 40 F dan temperature yang tinggi adalah

o
80 F. Disini kta tidak dapat mengatakan bahwa temperature yang tinggi
dua kali lebih panas dibandingkan temperature yang rendah karena jika
skala Fahrenheit menjadi skala Celsius, dimana C = (5F – 160) / 9,

o
sehingga temperature yang rendah adalah 4,4 C dan temperature yang

o
tinggi adalah 26,6 C.

d) Skala ratio
Merupakan salah satu jenis pengukuran yang memiliki nol alamiah atau
nol absolute, sehingga memungkinkan kita membandingkan magnitude
angka-angka absolute. Tinggi dan berat adalah dua contoh nyata disini.
Seseorang yang memiliki berat 100 kg boleh dikatakan dua kali lebih
berat dibandingkan seseorang yang memiliki berat 50 kg, dan seseorang
yang memiliki berat 150 kg tiga kali lebih berat dibandingkan seseorang
yang beratnya 50 kg. Dalam skala ratio nol memiliki makna empiris
absolut yaitu tidak satu pun dari property yang diukur benar-benar eksis.

Tabel 2.2
43

Contoh Skala Pengukuran


Variabel Indikator Pengukuran Alat Ukur
Disiplin Kehadiran di Nominal Hadir-Tidak
pegawai tempat kerja Hadir
Frekuensi Seberapa sering Ordinal 1,2,3,4…..
Menonton menonton TV dalam sehari
Televisi
Tingkat Jumlah produksi Interval 00-1000 buah
penjuan terjual dalam 1000-2000
sebulan buah, dst.
Kualitas Jumlah produksi Rasio 120, 140, 150,
Produksi perhari 160, 170, dst.
(Burhan Bungin, 2005: 106)

2.4 Kecermatan Pengukuran


2.4.1 Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana sebuah tes atau prosedur melahirkan


hasil yang sama sesuai persyaratan yang tetap pada semua kesempatan. Sebuah
jam yang berjalan 10 menit lebih lamban beberapa hari dan lebih cepat pada hari
lain, misalnya, terntu saja tidak bisa diandalkan. Pertanyaan faktual yang
mungkin menghasilkan suatu bentuk jawaban pada satu kesempatan, tetapi
jawaban berbeda pada kesempata lain, sama-sama tidak bisa diandalkan.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengajukan pendapat mungkin menghasilkan suatu
bentuk jawaan pada satu kesempatan, tetapi jawaban yang berbeda pada
kesempatan lain juga tidak bisa diandalkan. Para responden mungkin baru saja
menonton program televisi yang memengaruhi pendapat atau mengalami
sejumlah pengalaman yang menimbulkan kemarahan atau yang menyenangkann,
sehigga memengaruhi jawaban.

Alat ukur dikatakan memiliki ketepatan, apabila alat ukur tersebut jelas,
mudah dimengerti dan terperinci. Suatu contoh, untuk mencapai jawaban yang
tepat tentang tingkat kesejahteraan pegawai, haruslah dijelaskan konsep
kesejahteraan yang bagaimana yang dimaksud dan menurut konsep siapa, karena
konsep kesejahteraan menurut peneliti dan menurut responden tidaklah sama.
Oleh karena itu, mengenai ketepatan alat ukur haruslah bersumber pada konsep
penelitian yang telah dirumuskan dalam desain penelitian dan jangan ciptakan
konsep-konsep tandingan lainnya, karena hal ini akan mengganggu semua
pekerjaan yang telah dilalui.
44

Ada sejumlah peralatan penelitian untuk mengecek reliabilitas dalam


bentuk skala dan tes, seperti ‘tes—pengetesan ulang’ (melakukan tes yang sama
beberapa kali setelah tes pertama diadakan). Dan metode bentuk alternative (di
mana versi butir-butir pertanyaan yang sama diberikan dan hasilnya
dikorelasikan). Atau ‘metode bagi dua’ (split half method) (di mana butir-butir
pertanyaan tes dibagi dua secara sama dan nilainya dikorelasikan). Bentuk-
bentuk pengecekan ini tidak selalu mudah dan perlu dilaksanakan juga, ada
kerugian dan asalah yang timbul berkaitan dengan ketiga-tiganya. Pengecekan
reabilitas terjadi pada tahap perumusan bahasa pertanyaan dan penuntunan
instrument penelitian.

Reliabilitas berasal dari kata reliability berarti sejauh mana hasil suatu
pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila
dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang
sama, diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama, selama aspek yang diukur
dalam diri subyek memang belum berubah. Nur (1987: 47) menyatakan bahwa
reliabilitas ukuran menyangkut seberapa jauh skor deviasi individu, atau skor-z,
relatif konsisten apabila dilakukan pengulangan pengadministrasian dengan tes
yang sama atau tes yang ekivalen.

Azwar (2003 : 176) menyatakan bahwa reliabilitas merupakan salah-satu


ciri atau karakter utama instrumen pengukuran yang baik. Arifin (1991: 122)
menyatakan bahwa suatu tes dikatakan reliabel jika selalu memberikan hasil yang
sama bila diteskan pada kelompok yang sama pada waktu atau kesempatan yang
berbeda. Konsep reliabilitas dalam arti reliabilitas alat ukur berkaitan erat dengan
masalah kekeliruan pengukuran. Kekeliruan pengukuran sendiri menunjukkan
sejauh mana inkonsistensi hasil pengukuran terjadi apabila dilakukan pengukuran
ulang terhadap kelompok subyek yang sama. Sedangkan konsep reliabilitas
dalam arti reliabilitas hasil ukur berkaitan erat dengan kekeliruan dalam
pengambilan sampel yang mengacu pada inkonsistensi hasil ukur apabila
pengukuran dilakukan ulang pada kelompok yang berbeda.

Sudjana (2004: 16) menyatakan bahwa reliabilitas alat penilaian adalah


ketepatan atau keajegan alat tersebut dalam menilai apa yang dinilainya. Artinya,
45

kapanpun alat penilaian tersebut digunakan akan memberikan hasil yang relatif
sama. Djaali (2000: 81) menyatakan bahwa reliabilitas dibedakan atas dua
macam, yaitu reliabilitas konsistensi tanggapan, dan reliabilitas konsistensi
gabungan butir. Reliabilitas konsistensi tanggapan responden mempersoalkan
apakah tanggapan responden atau obyek ukur terhadap tes atau instrumen
tersebut sudah baik atau konsisten. Dalam hal ini apabila suatu tes atau instrumen
digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap obyek ukur kemudian
dilakukan pengukuran kembali terhadap obyek ukur yang sama, apakah hasilnya
masih tetap sama dengan pengukuran sebelumnya.

Jika hasil pengukuran kedua menunjukkan ketidakkonsistenan maka


jelas hasil pengukuran itu tidak mencerminkan keadaan obyek ukur yang
sesungguhnya. Untuk mengetahui apakah tanggapan terhadap tes atau instrumen
itu mantap, konsisten atau tidak plin-plan, dapat dilakukan dengan cara
memberikan tes yang sama secara berulang kali (dua kali) kepada obyek ukur
atau responden yang sama. Pengetesan dua kali merupakan syarat minimal untuk
mengetahui apakah tanggapan obyek ukur terhadap tes tersebut konsisten atau
tidak.

Dalam pelaksanaan pengetesan dua kali ini dapat ditempupuh berbagai


cara yaitu kita melakukan pengetesan dua kali dengan tes sama terhadap obyek
ukur yang sama, atau dengan melakukan pengetesan sekali dengan menggunakan
dua tes yang butir-butirnya setara. Jika kita menggunakan pengetesan sekali maka
kesamaan atau kesetaraan tes yang digunakan merupakan syarat mutlak yang
harus dipenuhi, karena kemantapan atau konsistensi tanggapan terhadap butir-
butir yang akan diperiksa. Pada teknik belah dua ini pengukuran dilakukan
dengan dua kelompok butir yang setara pada saat yang sama. Karena setiap
kelompok butir merupakan separuh dari seluruh tes, maka biasanya kelompok
butir pertama diambil dari butir-butir tes yang bernomor ganjil, sedangkan
kelompok butir yang kedua diambil dari butir-butir tes yang bernomor genap.
Perlu diketahui bahwa reliabilitas dengan teknik ini sangat relatif, karena
46

reliabilitas akan tergantung pada cara penomoran dan pengelompokan butir yang
diambil.

Di sini pengukuran dilakukan dengan menggunakan dua tes yang dibuat


setara kemudian diberikan kepada responden atau obyek tes dalam waktu yang
bersamaan. Skor dari kedua kelompok butir tes tersebut dikorelasikan untuk
mendapatkan reliabilitas tes. Djaali (2000: 81) menyatakan bahwa reliabilitas
konsistensi gabungan butir berkaitan dengan kemantapan antara butir suatu tes.
Hal ini dapat diungkapkan dengan pertanyaan, apakah terhadap obyek ukur yang
sama, butir yang satu menunjukkan hasil ukur yang sama dengan butir yang
lainnya? Dengan kata lain bahwa terhadap bagian obyek ukur yang sama, apakah
hasil ukur butir yang satu tidak kontradiksi dengan hasil ukur butir yang lain. Jika
terhadap bagian obyek ukur yang sama, hasil ukur melalui butir yang satu
kontradiksi atau tidak konsisten dengan hasil ukur melalui butir yang lain maka
pengukuran dengan tes (alat ukur) sebagai suatu kesatuan itu tidak dapat
dipercaya. Dengan kata lain tidak reliabel dan tidak dapat digunakan untuk
mengungkap ciri atau keadaan yang sesungguhnya dari obyek ukur. Kalau hasil
pengukuran pada bagian obyek ukur yang sama antara butir yang satu dengan
butir yang lain saling kontradiksi atau tidak konsisten maka kita jangan
menyalahkan obyek ukur, melainkan alat ukur (tes) yang dipersalahkan dengan
mengatakan bahwa tes tersebut tidak reliabel terhadap obyek yang diukur.

2.4.2 Validitas

Validitas secara keseluruhan merupakan konsep yang lebih rumit lagi.


Definisi umum tentang validitas adalah ia memberitahukan kepada kit ajika
sebuah butir pertanyaan atau instrument tersebut mengukur atau menjelaskan apa
yang seharusnya diukur dan diuraikannya. Tetapi definisi ini agak luas dan
meninggalkan banyak pertanyaan yang tidak terjawab.

Bilamana butir pertanyaan tidak bisa dipercaya, maka validitasnya pun


pasti kurang. Tetapi butri pertanyaan yang reliabel tidak perlu juga valid. Butir
pertanyaan itu harus menghasilkan jawaban yang sama atau mirip pada semya
kesempatan, tetapi tidak mengukur apa yag seharusnya diukur. Pengukuran
luasnya validitas dapat menjadi sangat rumit dengan banyak variasi dan
pembagian (Judith Bell, 2006: 145) .
47

Sebagai contoh, yaitu tentang validitas alat ukur mutu kampanye politik
parpol di televisi: mutu kampanye tersebut dapat diukur dengan isu-isu
kesejahteraan bangsa yang akan dikerjakan pada lima tahun ke depan, dimana
isu-isu ini ditawarkan kepada pemirsa televisi. Namun mungkin mutu kampanye
tersebut tidak valid diukur dengan seberapa banyak SMS yang masuk
mendukung partai yang berkampanye itu karena bisa jadi yang mengirim SMS itu
adalah anggota partai tersebut pula. Contoh ini menunjukkan bahwa alat ukur
dapat akurat pada tujuan tertentu, tetapi tidak untuk tujuan yang lain. Sifat alat
ukur yang eksklusif ini tidak dapat ditawar-menawar, karena itu tidak ada jalan
lain bagi peneliti selain membuat alat ukur seakurat mungkin sesuai dengan
tujuan yang hendak diperoleh dari responden.

Azwar (1987: 173) menyatakan bahwa validitas berasal dari kata validity
yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen
pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dikatakan memiliki
validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukur secara tepat
atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya
pengukuran tersebut. Artinya hasil ukur dari pengukuran tersebut merupakan
besaran yang mencerminkan secara tepat fakta atau keadaan sesungguhnya dari
apa yang diukur.

Suryabrata (2000: 41) menyatakan bahwa validitas tes pada dasarnya


menunjuk kepada derajat fungsi pengukurnya suatu tes, atau derajat kecermatan
ukurnya sesuatu tes. Validitas suatu tes mempermasalahkan apakah tes tersebut
benar-benar mengukur apa yang hendak diukur. Maksudnya adalah seberapa jauh
suatu tes mampu mengungkapkan dengan tepat ciri atau keadaan yang
sesungguhnya dari obyek ukur, akan tergantung dari tingkat validitas tes yang
bersangkutan. Sudjana (2004: 12) menyatakan bahwa validitas berkenaan dengan
ketepatan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul
menilai apa yang seharusnya dinilai. Suatu tes yang valid untuk tujuan tertentu
atau pengambilan keputusan tertentu, mungkin tidak valid untuk tujuan atau
pengambilan keputusan lain. Jadi validitas suatu tes, harus selalu dikaitkan
dengan tujuan atau pengambilan keputusan tertentu. Tes masuk di SMA misalnya
harus selalu dikaitkan dengan seberapa jauh tes masuk tersebut dapat
48

mencerminkan prestasi atau hasil belajar para calon peserta didik baru setelah
belajar nanti.

Konsep validitas tes dapat dibedakan atas tiga macam yaitu: validitas isi
(content validity), validitas konstruk (construct validity), dan validitas empiris
atau validitas kriteria. Validitas isi suatu tes mempermasalahkan seberapa jauh
suatu tes mengukur tingkat penguasaan terhadap isi atau konten atau materi
tertentu yang seharusnya dikuasai sesuai dengan tujuan pengajaran. Dengan kata
lain tes yang mempunyai validitas isi yang baik ialah tes yang benar-benar
mengukur penguasaan materi yang seharusnya dikuasai sesuai dengan konten
pengajaran yang tercantum dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).

Validitas isi menunjukkan sejauhmana pertanyaan, tugas atau butir dalam


suatu tes atau instrumen mampu mewakili secara keseluruhan dan proporsional
perilaku sampel yang dikenai tes tersebut. Artinva tes itu valid apabila butir-butir
tes itu mencerminkan keseluruhan konten atau materi yang diujikan atau yang
seharusnya dikuasai secara proporsional. Untuk mengetahui apakah tes itu valid
atau tidak, harus dilakukan melalui penelaahan kisi-kisi tes untuk memastikan
bahwa soal-soal tes itu sudah mewakili atau mencerminkan keseluruhan konten
atau materi yang seharusnya dikuasai secara proporsional.

Oleh karena itu validitas isi suatu tes tidak mempunyai besaran tertentu
yang dihitung secara statistika tetapi dipahami bahwa tes itu sudah valid
berdasarkan telaah kisi-kisi tes. Oleh karena itu, validitas isi sebenarriya
mendasarkan pada analisis logika, tidak merupakan suatu koefisien validitas yang
dihitung secara statistika.

Validitas konstruk (construct validity) adalah validitas yang


mempermasalahkan seberapa jauh butir-butir tes mampu mengukur apa yang
benar-benar hendak diukur sesuai dengan konsep khusus atau definisi konseptual
yang telah ditetapkan. Validitas konstruk biasa digunakan untuk instrumen yang
dimaksudkan mengukur variabel konsep, baik yang sifatnya performansi tipikal
seperti instrumen untuk mengukur sikap, minat konsep diri, lokus kontrol, gaya
kepemimpinan, motivasi berprestasi, dan lain-lain, maupun yang sifatnya
performansi maksimum seperti instrumen untuk mengukur bakat (tes bakat),
inteligansi (kecerdasan intelektual), kecerdasan, emosional dan lain-lain.
49

Untuk menentukan validitas konstruk dilakukan proses penelaahan


teoretik dari suatu konsep dari variabel yang hendak diukur, mulai dari
perumusan konstruk, penentuan dimensi dan indikator, sampai kepada penjabaran
dan penulisan butir-butir instrumen. Perumusan, konstruk harus dilakukan
berdasarkan sintesis dari teori-teori mengenai konsep variabel yang hendak
diukur melalui proses analisis dan komparasi yang logik dan cermat Menyimak
proses telaah teoretik seperti telah dikemukakan, maka proses validasi konstruk
sebuah instrumen dilakukan melalui penelaahan atau justifikasi pakar atau
melalui penilaian sekelompok panel yang terdiri dari orang-orang yang
menguasai substansi atau konten dari variabel yang hendak diukur.

Validitas empiris sama dengan validitas kriteria yang berarti bahwa


validitas ditentukan berdasarkan kriteria, baik kriteria internal maupun kriteria
eksternal. Validitas empiris diperoleh melalui hasil uji coba tes kepada responden
yang setara dengan responden yang akan dievaluasi atau diteliti. Kriteria internal
adalah tes atau instrumen itu sendiri yang menjadi kriteria, sedang kriteria
eksternal adalah hasil ukur instrumen atau tes lain di luar instrumen itu sendiri
yang menjadi kriteria. Ukuran lain yang sudah dianggap baku atau dapat
dipercaya dapat pula dijadikan sebagai kriteria eksternal. Validitas yang
ditentukan berdasarkan kriteria internal disebut validitas internal sedangkan
validitas yang ditentukan berdasarkan kriteria eksternal disebut validitas
eksternal.

Validitas internal (validitas butir) termasuk kelompok validitas kriteria


yang merupakan validitas yang diukur dengan besaran yang menggunakan tes
sebagai suatu kesatuan (keseluruhan butir) sebagai kriteria untuk menentukan
validitas butir dari tes itu. Dengan demikian validitas internal mempermasalahkan
validitas butir dengan menggunakan hasil ukur tes tersebut sebagai suatu
kesatuan sebagai kriteria, sehingga biasa juga disebut validitas butir. Validitas
internal diperlihatkan oleh seberapa jauh hasil ukur butir tersebut konsisten
dengan hasil ukur tes secara keseluruhan. Oleh karena itu validitas butir
tercermin pada besaran koefisien korelasi antara skor butir dengan skor total tes.
Jika koefisien korelasi skor butir dengan skor total tes positif dan signifikan maka
butir tersebut valid berdasarkan ukuran validitas internal.
50

Koefisien korelasi yang tinggi antara skor butir dengan skor total
mencerminkan tingginya konsistensi antara hasil ukur keseluruhan tes dengan
hasil ukur butir tes atau dapat dikatakan bahwa butir tes tersebut konvergen
dengan butir-butir lain dalam mengukur suatu konsep atau konstruk yang hendak
diukur.

Validitas eksternal dapat berupa hasil ukur tes baku atau tes yang
dianggap baku dapat pula berupa hasil ukur lain yang sudah tersedia dan dapat
dipercaya sebagai ukuran dari suatu konsep atau variabel yang hendak diukur.
Validitas eksternal diperlihatkan oleh suatu besaran yang merupakan hasil
perhitungan statistika. Jika kita menggunakan basil ukur tes yang sudah baku
sebagai kriteria eksternal, maka besaran validitas eksternal dari tes yang kita
kembangkan didapat dengan jalan mengkorelasikan skor hasil ukur tes yang
dikembangkan dengan skor hasil ukur tes baku yang dijadikan kriteria. Makin
tinggi koefisien korelasi yang didapat, maka validitas tes yang dikembangkan
juga makin baik. Kriteria yang digunakan untuk menguji validitas eksternal
digunakan nilai r-tabel.

Jika koefisien korelasi antara skor hasil ukur tes yang dikembangkan
dengan skor hasil ukur tes baku lebih besar daripada r-tabel maka tes yang
dikembangkan adalah valid berdasarkan kriteria eksternal yang dipilih (hasil ukur
instrumen baku). Jadi keputusan uji validitas dalam hal ini adalah mengenai valid
atau tidaknya tes sebagai suatu kesatuan, bukan valid atau tidaknya butir tes
seperti pada validitas internal.
51

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, Saifudidin. 2003. Sikap Manusia Terori dan Pengukurannya.Yokyakarta: Pustaka


Pelajar.

Bailey, Kenneth. 2007. Methods of Social Research. New York. Free Press

Bell, Judith. 2006. Doing your Research Project. Jakarta: Indeks.

Black, James A.,Dean J.Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial.
Bandung: Eresco.
Bungin, Burhan. 2005. Metode Penelitian Kuantitaif ed.II. Jakarta: Kencana

Cholid Narbuko, dkk. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta. Bumi Aksara.


52

Furchan, Arief. 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Goode, William J.,Paul K.Hatt. 1981. Methods in Social Research. London: McGraw-

Hill.

Hillway, Tyrus. 1964. Introduction to Research ed. II. Boston: Houghton Mifflin
Company.
Kriyantono, Rachmat.2012. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.

Margono,S. 2004. Metodologi Penelitian Pendidika. Jakarta: Rineka Cipta

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rakhmat, Jalaluddin. 2014. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Rosda.

Silverman, David.2000. Doing Qualitative Research. London: Sage.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung:


Alfabeta.
Suryabrata, Sumadi. 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi.

Wahyuni, Sari. 2012. Qualitative Research Method: Theory and Practice. Jakarta:
Salemba Empat

E-book:
Kothari, C.R. 2004. Research Methodology: Methods and Technique. New Delhi: New
Age Publisher
(http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/Kothari_Research_Methodology_Methods_and_T
echniques_-_2004.pdf )
Kumar, Ranjit. 2011. Research Methodology ed.III. London: Sage.

(http://www.sociology.kpi.ua/wp-content/uploads/2014/06/Ranjit_Kumar-

Research_Methodology_A_Step-by-Step_G.pdf )
53

Anda mungkin juga menyukai