Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Air Gambut

Berdasarkan Global Wetlands (2019), Indonesia memiliki lahan gambut


terbesar kedua di dunia dengan luas mencapai 22,5 juta hektare (ha). Di Indonesia,
Provinsi Riau menempati urutan ketiga dengan total lahan gambut seluas 2,2 juta
ha. Keberadaan lahan gambut memiliki berbagai manfaat diantaranya adalah,
gambut sebagai penyimpan 30 persen cadangan karbon dunia, sebagai pengatur
iklim, berfungsi mencegah pencampuran air asin di irigasi pertanian, sebagai
rumah bagi satwa langka, dan sebagai penyimpan cadangan air.

Air gambut merupakan air permukaan hasil akumulasi sisa material


tumbuhan, biasanya pada daerah berawa atau dataran rendah yang terhambat
untuk membusuk secara sempurna oleh kondisi asam dan anaerob terutama di
Sumatera dan Kalimantan (Edwardo, 2014). Menurut Radjaguguk (2010), air
gambut mempunyai ciri-ciri yaitu intensitas warna yang tinggi (berwarna coklat
kemerahan), keasamannya tinggi (pH yang rendah), kandungan zat organik yang
tinggi, kekeruhan dan kandungan pertikel tersuspensi yang rendah dan kandungan
kation yang rendah.

Air gambut mempunyai kharakteristik berupa intensitas warna yang tinggi


(berwarna merah kecoklatan), derajat keasaman tinggi (nilai pH rendah),
kandungan zat organik tinggi, keruh, kandungan partikel tersuspensi rendah dan
kandungan kation rendah (Stevenson 7 1982). Karakteristik gambut pada
beberapa daerah yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut:
A. Warna

Air gambut umumnya memiliki warna coklat kemerahan. Warna coklat


kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya kandungan zat
organik terlarut terutama dalam bentuk asam humus dan turunannya. Asam
humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon
atau kayu dengan berbagai tingkat dekomposisi. Warna akan semakin tinggi
karena disebabkan oleh adanya logam besi yang terikat oleh asam-asam
organik yang terlarut dalam air tersebut (Hidayah, 2012). Permenkes RI
No.416/Menkes/PER/IX/1990, menyatakan bahwa batas maksimal warna air
bersih adalah 50 skala Pt-Co. Semakin pekat warna pada air gambut
menunjukan semakin tinggi kandungan zat organiknya.

B. Derajat keasaman (pH)

Nilai pH menunjukkan tinggi rendahnya konsentrasi ion hidrogen dalam


air. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen
akan menunjukkan apakah perairan tersebut bersifat asam atau basa. Nilai pH
air gambut berkisar antara 2,7-4. Salah satu penyebab rendahnya pH pada air
gambut disebabkan karena adanya asam-asam organik terlarut seperti asam
humat dan asam fulvat. Tingkat pH yang rendah juga disebabkan oleh
kandungan kation yang rendah, terdapatnya kandungan logam Fe terlarut dan
keberadaan partikel tersuspensi (Hidayah, 2012). Parameter pH dari air bersih
yang diizinkan oleh Permenkes RI 8 No.416/Menkes/PER/IX/1990 tentang
persyaratan kualitas air bersih adalah dalam rentang 6,5- 9,0.

C. Kandungan logam Fe

Pada umumnya, besi yang ada di dalam air bersifat terlarut sebagai Fe2+
(ferro) atau Fe3+ (ferri), tersuspensi sebagai butiran koloidal (diameter

2.2 Pengolahan Air Gambut

Pada dasarnya pengolahan dapat dilakukan dengan salah satu dari 3 jenis
metode yang ada atau kombinasi beberapa metode. Proses pengolahan dengan 3
cara yang dimaksud dijelaskan sebagai berikut:

1) Pengolahan secara fisika, adalah pengolahan air yang terjadi tanpa adanya
reaksi kimia seperti filtrasi, sedimentasi, pengapungan dan pencampuran.
2) Pengolahan secara kimia, yaitu pengolahan air dengan menggunakan
bahan kimia atau alami untuk membantu peroses penggumpalan partikel
yang terlarut seperti koagulasi atau flokulasi.
3) Pengolahan secara biologi, adalah pengolahan air yang dilakukan dengan
menggunakan mikroorganisme yang dapat mereduksi kandungan pengotor
yang terdapat pada air baku dengan sistem metabolisme yang ada pada
mikroorganisme tersebut.

Berdasarkan pada pengetahuan terhadap penyebab dan kandungan warna pada


air dan sifat-sifatnya, maka proses penjernihan air gambut dapat dilakukan dengan
cara filtrasi. Filtrasi adalah suatu operasi pemisahan campuran antara padatan dan
cairan dengan melewatkan umpan 9 (padatan + cairan) melalui medium penyaring
(filter karbon). Filter karbon merupakan metode karbon aktif dengan media
granular untuk proses filtrasi yang berfungsi untuk menghilangkan bahan-bahan
organik, desinfeksi, serta menghilangkan bau dan rasa yang disebabkan oleh
senyawa organik. Metode pengolahan karbon aktif prinsipnya adalah
mengadsorbsi bahan pencemar menggunakan media karbon. Proses adsorpsi
tergantung pada luas permukaan media yang digunakan dan berhubungan dengan
luas total pori-pori yang terdapat dalam media. Agar proses adsorpsi bisa
dilakukan secara efektif diperlukan waktu kontak yang cukup antara permukaan
media dengan air yang diolah sehingga nantinya zat pencemar dapat dihilangkan.
(Saifudin 2005).

2.3 Adsorpsi Air Gambut

Proses adsorpsi menggunakan adsorben seperti karbon aktif atau biochar


berlangsung dalam empat tahap, yakni (1) transfer molekul molekul zat organik
yang teradsorpsi menuju lapisan film yang mengelilingi adsorben; (2) difusi zat
organik yang teradsopsi melalui lapisan film (film diffusion process); (3) difusi
zat organik yang teradsorpsi melalui kapiler/pori dalam adsorben (pore diffusion
process); (4) adsorpsi zat organik yang teradsorpsi pada dinding pori atau
permukaan adsorben (proses adsorpsi sebenarnya) (Reynolds, 1982).

Dalam pengolahan air gambut dengan proses adsorpsi pada prinsipnya


adalah menarik molekul asam-asam humus ke permukaan suatu adsorben. Contoh
adsorben yang biasa 10 digunakan adalah karbon aktif (charcoal), zeolit, resin,
dan tanah liat dari lokasi sumber air gambut. Aplikasi absorpsi yaitu dengan
mencampurkan absorben dengan serbuk karbon aktif dengan cara menjadikan
karbon aktif sebagai media filtrasi. Karbon aktif yang digunakan sebagai media
filtrasi, dipilih karbon aktif yang berbentuk granul dan secara berkala harus dicuci
atau diganti dengan yang baru. Beberapa penelitian menunjukkan metode adsorpsi
dapat digunakan untuk mengolah air gambut. Berbagai bahan karbon dan polimer
dapat digunakan sebagai adsorben untuk menyisihkan kandungan zat organik dari
air gambut. (Garcia dkk, 1998)
2.4 Mekanisme Adsorpsi

Adsorpsi ialah pengumpulan zat terlarut di permukaan media dan


merupakan jenis adhesi yang terjadi pada zat padat atau zat cair yang kontak
dengan zat lainnya. Proses ini menghasilkan akumulasi konsentrasi zat tertentu di
permukaan media setelah terjadi kontak antarmuka atau bidang batas (paras,
interface) cairan dengan cairan, cairan dengan gas atau cairan dengan padatan
dalam waktu tertentu. Contohnya antara lain dehumidifikasi, yaitu pengeringan
udara dengan desiccant (penyerap), pemisahan zat yang tidak diinginkan dari
udara atau air menggunakan karbon aktif, ion exchanger untuk zat terlarut di
dalam larutan dengan ion dari media exchanger. Artinya, pengolahan air minum
dengan karbon aktif hanyalah salah satu dari terapan adsorpsi.

Atas dasar fenomena kejadiannya, adsorpsi juga dibedakan menjadi tiga


macam. Yang pertama disebut chemisorption, terjadi karena ikatan kimia
(chemical bonding) antara molekul zat terlarut (solute) dengan molekul adsorban.
Adsorpsi ini bersifat sangat eksotermis dan tidak dapat berbalik (irreversible).
Yang kedua, adsorpsi fisika (physical adsorption, terjadi karena gaya tarik
molekul oleh gaya van der Waals dan yang ketiga disebut ion exchange
(pertukaran ion), terjadi karena gaya elektrostatis.

Ahli pengolahan air membagi adsorpsi menjadi tiga langkah, yaitu (1)
makrotransport: perpindahan zat pencemar, disebut juga adsorbat (zat yang
diadsorpsi), di dalam air menuju permukaan adsorban; (2) mikrotransport:
perpindahan adsorbat menuju pori-pori di dalam adsorban; (3) sorpsi: pelekatan
zat adsorbat ke dinding pori-pori atau jaringan pembuluh kapiler mikroskopis.

Proses adsorpsi makin baik jika temperaturnya makin rendah; (3) jenis
adsorbat, bergantung pada bangun molekul zat, kelarutan zat (makin mudah larut,
makin sulit diadsorpsi), taraf ionisasi (zat organik yang tidak terionisasi lebih
mudah diadsorpsi). Berdasarkan jenis adsorbatnya, tingkat adsorpsi digolongkan
menjadi tiga, yaitu lemah (weak), terjadi pada zat anorganik kecuali golongan
halogen (salah satunya adalah klor). Adsorpsi menengah (medium), terjadi pada
zat organik alifatik dan adsorpsi kuat (strong) terjadi pada senyawa aromatik (zat
organik yang berbau (aroma) dengan struktur benzena, C6H6).

2.5 Karbon Aktif

Salah satu adsorban yang biasa diterapkan dalam pengolahan air minum
(juga air limbah) adalah karbon aktif atau arang aktif. Arang ini digunakan untuk
menghilangkan bau, warna, dan rasa air termasuk ion-ion logam berat. Karena
merupakan fenomena permukaan maka semakin luas permukaan kontaknya makin
tinggilah efisiensi pengolahannya. Syarat ini dapat dipenuhi oleh arang yang
sudah diaktifkan sehingga menjadi porus dan kaya saluran kapiler. Yang belum
aktif, ruang kapilernya masih ditutupi oleh pengotor berupa zat organik dan
anorganik.

Tahap pembuatannya adalah : Tahap pertama, buatlah arang misalnya dari


tempurung kelapa (arang batok, Cocos nucifera), kayu, batubara, merang, sekam,
atau serbuk gergaji. Arang ini kemudian diaktifkan dengan cara pemanasan pada
kondisi sedikit oksigen agar hidrokarbonnya lepas. Hasilnya berupa arang yang
sangat porus sehingga luas permukaannya besar. Setelah itu barulah digunakan
untuk mengolah air minum atau air buangan, misalnya memisahkan pencemar
organik dan inorganik seperti air raksa, krom, atau untuk deklorinasi
(pengurangan klor di dalam air).

Relatif mudah membuat filter arang aktif ini. Penjual filter skala rumah
tangga di kota dan desa sudah biasa membuatnya bahkan tanpa berlatar
pendidikan teknik. Hanya perlu keterampilan dan tahu sedikit tentang fungsi
arang aktif dan kapan harus diganti. Bahkan penjual filter ini bisa memiliki
pelanggan setia untuk reparasi dan perawatan filter yang dibeli oleh warga. Selain
menggunakan arang butir (granular) berdiameter 0,3 - 0,5 mm atau 1 – 2 mm,
arang bubuk, serbuk atau tepung (powder) pun dapat diterapkan.

Anda mungkin juga menyukai