Anda di halaman 1dari 7

Peran-Fungsi Pemimpin Agama dan Pegiat Anak serta Kebijakan

Gerejawi terkait Anak menghadapi Pandemik Covid 19


(Pengalaman GMIT)1

oleh: Mery Kolimon2

Pada minggu lalu GMIT dan WVI bekerja sama untuk pelatihan psiko-sosial
untuk para pemimpin gereja. Hari ini kita memulai pelatihan dua hari lintas
denominasi, di kalangan gereja Katolik dan Protestan. Terima kasih kepada WVI
yang memfasilitasi pelatihan yang penting ini, khususnya untuk perhatian pada
anak-anak kita. Apresiasi saya juga untuk ruang belajar bersama lintas
denominasi dan gereja. Saya menyapa para pemimpin gereja dan para pelayan
anak lintas gereja dan denominasi yang mau belajar bersama selama dua hari ini.
Pandemi ini adalah tantangan bagi semua agama dan seluruh peradaban dunia.
Sehingga sangat baik jika dalam tanggapannya pun kita bahu membahu.
Khususnya di kalangan Kristen, adalah baik jika kita belajar bersama untuk
mewujudkan kabar baik Yesus Kristus dalam situasi pandemic Covid-19
sekarang ini.

Untuk presentasi hari ini, saya tetap memanfaatkan materi yang saya siapkan
minggu lalu, namun saya memperluasnya untuk juga mencakup perhatian pada
para pelayan anak. Saya perlu mengakui bahwa sharing saya berdasarkan
pengalaman kepemimpinan dan pelayanan di lingkup PGIW NTT dan GMIT.
Sebagai ketua MPH PGIW NTT dan ketua MS GMIT, saya merefleksikan
tanggapan yg saya pelajari bersama kawan-kawan di PGIW NTT dan GMIT.

Di kesempatan ini saya bagikan beberapa catatan refleksi saya:

1. Pentingnya kepemimpinan yang solid dan didasari visi teologi yang


jelas dalam masa krisis

Kepemimpinan di gereja, seperti gereja saya di GMIT, bukanlah


kepemimpinan tunggal, melainkan kepemimpinan kolektif-kolegial.
Kepemimpinan gereja dengan system apapun, haruslah digerakkan oleh visi
teologis yang jernih, sehingga tidak sekedar bereaksi terhadap keadaan.
Pandemi Covid-19 datang begitu tiba-tiba dan tak satupun dari kita siap
menghadapinya. Namun saya bersyukur bahwa kerja sama yang baik
sebagai satu tim dalam kepemimpinan di GMIT menolong kami untuk saling
percaya ketika harus mengambil keputusan yang sulit. Saya juga ingat ketika
pandemic mulai menjadi masalah di NTT, kami para pemimpin lintas
denominasi di NTT yang merupakan anggota PGIW NTT berkumpul dan
membuat himbauan bersama.

Ketika kami mengumumkan bahwa kami akan mulai beribadah dari rumah,
pemerintah NTT belum mengumumkan untuk meliburkan kantor-kantor.
Kami tahu bahwa kami harus melindungi kehidupan dan gereja harus
1
Materi yang disampaikan pada Webinar “Pelatihan Psikososial bagi Pemimpin Gereja dan
Aktifis Pelayan Anak” oleh WVI, 12 Mei 2020.
2
Ketua MS GMIT dan Ketua PGIW NTT.
berperan untuk memberikan pesan kepada semua anggota jemaat dan
pemimpin gereja di berbagai lingkup bahwa kita sedang menghadapi hal
yang sangat serius dan butuh kerja sama untuk memutus rantai penularan
Covid-19. Saya ingat di rapat-rapat kami, tidak pernah ada keraguan
sedikitpun bahwa gereja harus berada di depan untuk melindungi
kehidupan.

Menurut saya, ketika pemimpin-pemimpin gereja memiliki visi teologis yang


jelas, kepekaan terhadap situasi dunia, dan sekaligus memiliki kerendahan
hati untuk saling mendengar, serta keberanian bertindak, maka mereka
dapat menjadi tim yang solid untuk memimpin persekutuan mereka dalam
masa-masa yang sulit. Sebaliknya ketika para pemimpin memanfaatkan
situasi sulit untuk mencari popularitas pribadi, atau mencari popularitas
denominasi mereka, atau ketika mereka bersikap ragu-ragu, mereka bisa
terjebak dalam konflik dan membawa persekutuan ke dalam perpecahan
atau dalam kekacauan bersikap. Ini kenyataan yang kita hadapi di lapangan.
Ada pendeta dan denominasi tertentu yang merasa iman mereka lebih tinggi
dari pendeta lain atau dari denominasi lain.

Sikap pro-kontra terhadap suatu keputusan yang dilakukan pemimpin gereja


pasti ada. Pandemi global Covid-19 membawa banyak ketidakpastian.
Karena itu keputusan apapun akan menyebabkan banyak pertanyaan,
bahkan gugatan. Yang paling penting pemimpin memiliki nilai yang dipegang
dan tetap berdiri pada nilai tersebut. Dalam konteks pandemic ini, nilai itu
adalah komitmen untuk menjaga dan membela kehidupan milik Allah. Para
pemimpin memiliki tugas untuk

2. Berani Berkorban dengan semua Resiko

Ketika mengumumkan kebaktian di rumah, yang tidak tahu kapan akan


berakhir, kita menghadapi tantangan mengenai akan berkurangnya jumlah
persembahan. Dalam situasi seperti itu, gereja bisa saja tergoda untuk
berpikir untung rugi. Namun saya ingat dalam percakapan kami, tak
sekalipun hal itu dirisaukan. Kami semua bersepakat bahwa gereja tak boleh
berpikir untuk dirinya sebagai lembaga. Keputusan untuk sementara waktu
berbakti di rumah juga tidak serta merta disetujui semua pihak. Kami
menerima banyak tanggapan positif. Namun tak kalah banyak juga
pernyataan tidak setuju, bahkan kecaman.

Saya ingat seorang ibu anggota persekutuan doa dari SoE menelpon dan
mengatakan dia mendapat penglihatan bahwa Tuhan setuju dengan apa
yang kami di GMIT lakukan sebab kita harus menjaga agar virus tidak
mengambil korban warga jemaat. Dia menyebut ayat Alkitab yang Tuhan
suruh untuk disampaikan pada saya. Namun ada juga sepasang suami isteri
anggota persekutuan doa yang minggu lalu datang ke pastori kami hanya
untuk menyampaikan ayat Alkitab dan nyanyi sebuah lagu yang isinya
kemarahan Tuhan kepada kami. Juga di media sosial ada banyak yang
mendukung sikap MS GMIT, namun ada banyak juga yang mengecam. Kami
belajar bahwa dunia dalam masa krisis seperti ini memerlukan pemimpin
yang berani mengambil sikap tegas dan jelas dengan segala resikonya.

Kami juga belajar tentang sikap berani berkorban dari kawan-kawan kami di
lapangan. Mereka juga tak kalah sengitnya menghadapi resistensi terhadap
kebijakan bergereja di rumah. Namun mereka teguh untuk terus
berkomunikasi dengan jemaat. Selain itu dalam berbagai keterbatasan,
mereka aktif mengupayakan bantuan masker dan sembako untuk kelompok-
kelompok rentan dalam jemaat dan masyarakat.

Kita juga saling mengingatkan bahwa kalau ada bantuan sembako, ingatlah
yang paling rentan di antara jemaat. Tetapi juga perhatikan yg rentan di
sekitar kita, yang bukan anggota jemaat kita, mereka yang beragama lain.
Gereja bukan koperasi: dari, oleh, dan untuk anggota. Krisis bisa
menyebabkan manusia makin egois, hanya berpikir tentang diri sendiri. Kita
belajar dari gereja mula-mula, mereka tidak hanya berpikir tentang diri
mereka sendiri: mereka tidak kumpul makanan utk diri mereka sendiri
tetapi mengumpulkan apa yang mereka miliki untuk berbagi dengan
masyarakat di sekitar mereka.

Kami juga mengingatkan jemaat-jemaat untuk pada masa panen sekarang,


gereja perlu mengaktifkan lumbung-lumbung jemaat agar nanti dapat
dimanfaatkan saat-saat sulit ketika jemaat dan masyarakat sekitar
kekurangan makanan. Nilai paling mendasar dari Kekristenan adalah
pengorbanan dan pemberian diri. Gereja tak boleh berpikir tentang diri
sendiri dan memperjuangkan kepentingan sendiri. Bukankah itu yg kita
pelajari dari Allah yg dalam Kristus memberi puteraNya mati untuk kita?

3. Mintalah Nasihat dari Para Ahli, Belajar dari Perkembangan Ilmu


Pengetahuan: Mengatasi Ketegangan Ilmu dan Iman

Salah satu isu yang muncul di kalangan gereja-gereja di Indonesia adalah


ketegangan antara iman dan ilmu pengetahuan. Ada yang mengatakan
mengapa harus takut kepada virus. Yang dibutuhkan dalam situasi seperti
ini adalah beriman. Akibatnya orang Kristen dan pemimpin-pempimpin
mereka bisa saja terlalu berlebihan dalam memberi tanggapan atau terlalu
menganggap remeh keadaan.

Saya mengingat sejak awal ketika kami menganjurkan untuk orang


sementara jangan dulu jabat tangan, jangan dulu cium hidung, ada kawan yg
bilang, oh kalau saya cium saja tidak apa2. Namun ketika MS GMIT
memutuskan mengundang kawan-kawan dari Dinas Kesehatan Propinsi NTT
dan dari Fakultas Kedokteran Undana untuk mendengar penjelasan mereka
mengenai apa sebenarnya yang sedang terjadi, semua pihak di
kepemimpinan GMIT mulai merasa bahwa ini masalah serius. Jadi pemimpin
perlu mendapat masukan dan nasehat dari orang yg benar-benar ahli, atau
paling tidak dari orang yang memahami situasi secara lebih baik
berdasarkan latar belakang ilmu mereka. Penting kita mengumpulkan orang-
orang yg memahami dan memiliki pengalaman dalam hal pelayanan
kesehatan agar mereka memberi kita masukan. Selain itu kita perlu belajar
dari kawan-kawan yg terbiasa dengan Tanggap Bencana agar kita tidak
terlalu gagap dengan keadaan ini. Kita tidak boleh malu untuk belajar dari
orang yang lebih pintar dan berpengalaman dari kita. Kadang-kadang
pendeta pikir mereka tahu semua hal. Dalam kenyataan tidak demikian. Kita
butuh kawan yang lebih berhikmat, lebih pandai, berpengalaman untuk
melengkapi kita. Kita perlu merangkul sumber daya gereja yang lebih luas
daripada yang ada di staf atau kemajelisan kita. Kita perlu melakukannya
karena dalam situasi tanggap bencana seperti sekarang, hal itu dibutuhkan.
Kita butuh tim yang bersedia memberi kita informasi akurat agar kita
membuat keputusan yang tepat. Kita bisa saja berkoordinasi dengan pihak
pemerintah dan dinas-dinas terkait. Namun kita harus tetap kritis terhadap
berbagai pendapat yang kita terima agar kita tidak terpengaruh oleh
pendapat-pendapat ekstrem yang memanfaatkan keadaan ini untuk
kepentingan politik mereka.

Mendapatkan dukungan dari orang-orang yang bijaksana dan


berpengalaman akan membantu kita sebagai pemimpin untuk menjadi lebih
focus dan memiliki pemikiran dan nurani yang jernih. Dalam situasi krisis
seperti ini ilmu dan iman tidak perlu dan tidak boleh dipertentangkan.
Keduanya perlu saling melengkapi.

4. Berkomunikasi Secara Jelas

Dalam keadaan krisis, komunikasi yang jelas, berkala, dan konsisten dari
pemimpin dibutuhkan. Seringkali terjadi pemimpin berbicara terlalu banyak atau
berbicara terlalu sedikit. Dalam situasi krisis, anggota komunitas ingin
mendengar apa yang dipikirkan pemimpin mereka. Mereka ingin tahu apa
yang dipikirkan pemimpin mereka dalam situasi sulit seperti ini. Komunitas
kita perlu tahu apa yang kita putuskan. Dan perlu dijelaskan mengapa kita
memutuskan demikian. Misalnya mungkin bagi kita sudah jelas mengapa
perjamuan kudus ditunda. Namun tidak demikian bagi jemaat di akar
rumput. Sebuah penjelasan (teologis) dibutuhkan.

Hal lain terkait komunikasi adalah harus diingat bahwa apa yang seorang
katakan, apa yang kita tulis di media sosial (status di facebook, instagram,
whatsapp, dll), apa yang kita sampaikan ketika wartawan mewawancarai
dan menulis di media, akan mempengaruhi pandangan dan sikap anggota
komunitas kita. Ketika kita membuat lelucon tentang keadaan yang serius ini
atau mengirim berita hoax, hal itu mengurangi kepercayaan anggota
komunitas kepada kita. Kalau berbagi informasi pastikan dulu itu adalah
informasi yang benar.

Bagian yang paling penting dari komunikasi para pemimpin adalah


mengenai harapan. Kita harus tetap menyuarakan bahwa pandemic ini
bukan kata akhir. Selalu ada solusi dari setiap masalah. Kita beriman pada
Allah yang turut bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan.
Dan Allah tidak akan meninggalkan dunia yang dikasihiNya terus tenggelam
dalam bencana dan derita. Para pemimpin harus terus mengomunikasikan
tentang harapan dan membangun semangat komunitas untuk tidak putus
asa.

5. Jangan Manfaatkan Bencana untuk Kepentingan Pribadi atau Lembaga

Dalam masa-masa krisis ini integritas kita diuji. Kita tidak boleh
memanfaatkan krisis ini untuk mencari keuntungan sebagai pribadi
pemimpin gereja atau bagi gereja sebagai lembaga. Tak satupun kita yang
tahu kapan bencana ini akan berakhir dan apa dampak yang akan
ditimbulkannya. Di GMIT kami sedang bicara mengenai, what would happen
to GMIT after Covid-19? Tak satupun kita yang dapat memastikan perubahan
yang terjadi. Namun hal sederhana yang harus kita ingat adalah bahwa
pilihan-pilihan sikap kita sekarang akan berpengaruh pada kehidupan gereja
di masa yang akan datang.

Gereja dan pemimpin gereja yang hanya berpikir untuk dirinya, apalagi
memanipulasi jemaat/masyarakat untuk dirinya sendiri akan ditinggalkan.
Sebaliknya gereja yang peduli dan mau menanggung beban bersama seluruh
jemaat dan masyarakat akan tetap dipercaya ketika krisis telah lewat.
Anugerah/belas kasih dan kebenaran akan memimpin kita sampai di ujung
jalan. Kita harus tetap berusaha menunjukkan ketulusan kita untuk bahu
membahu memutuskan rantai penularan Covid dan untuk menanggulangi
bersama dampaknya dalam berbagai bidang kehidupan dengan berbagi
sumber daya yang ada pada kita.

6. Lihatlah Peluang di Tengah Berbagai Tantangan

Seorang pemimpin akan melihat peluang, ketika yang lain hanya melihat
masalah. Memang bencana pandemic ini membawa banyak masalah dan
kesulitan tapi juga menjadi kesempatan bagi kita untuk belajar hal-hal baru.

Salah satunya adalah kita meningkatkan kemampuan dan pengalaman


digital kita. Komunikasi dunia sejak Covid-19 ini akan berubah drastis, dan
entah dari generasi mana kita berasal, kita sudah harus belajar untuk masuk
dalam komunikasi online ini. Kita harus belajar tentang live-streaming,
bagaimana berapat dan mengikuti pelatihan secara online, bagaimana teknik
berkhotbah, mengajar katekisasi dan sekolah minggu, secara menarik dan
berdampak melalui layar kaca. Itu tidak mudah tapi harus kita pelajari. Kita
sedang diutus Kristus masuk ke dalam situasi ini. Di GMIT kami mulai
membangun kapasitas untuk pelayanan digital, termasuk untuk pelayanan
bagi anak-anak. Saya belajar dari anak-anak saya yang menikmati pelayanan
live streaming yang dibuat beberapa jemaat GMIT di Kota Kupang.

Covid-19 ini juga menciptakan kesempatan bagi kita untuk mengembangkan


kreatifitas guna menguatkan koinonia/persekutuan kita di lingkup jemaat/
klasis/sinode dengan memanfaatkan media-media virtual. Ini sebuah
tantangan yang sungguh berat, namun dapat kita lakukan. Kunjungan kita ke
rumah jemaat/ke anak-anak sekolah minggu mungkin tak dapat kita lakukan
secara fisik, tetapi dapat kita lakukan secara berkala melalui media
komunikasi virtual. Mereka yang kesepian dan menderita perlu merasa
perhatian dan dukungan kita. Kita juga dapat mendorong jemaat-jemaat
dalam lingkungan yang berbeda dapat berdoa bersama pada jam-jam
tertentu dan terus menghidupi makna persekutuan beriman tanpa bertatap
muka secara langsung.

Ini juga menjadi kesempatan bagi gereja-gereja untuk melayani jemaat


masyarakat melalui aksi kasih. Ini kesempatan untuk memperkuat diakonia
kita. Kami sudah meminta jemaat-jemaat GMIT untuk merealokasi dan
memfokuskan program dan anggaran 2020 kepada pelayanan tanggap
Covid-19. Kita perlu belajar untuk dalam berbagai kekurangan karena
menurunnya jumlah persembahan setiap minggu dan setiap bulan, ada
menejemen sumber daya non-uang dalam jemaat untuk saling berbagi kasih,
terutama untuk mereka yang paling rentan.

Masa Covid-19 ini juga menjadi kesempatan untuk kita menyegarkan


kerohanian jemaat kita. Kita bisa memakai banyak cara: pelayanan
online/live-streaming, memakai radio, audio, bahkan memakai toa/pengeras
suara. Kita pakai waktu ketika jemaat sedang bergumul dengan ketakutan
dan kecemasan ini untuk sungguh-sungguh memproklamasikan Injil Yesus
Kristus. Kita menyaksikan bahwa ada harapan di dalam kasih Allah bagi
dunia. Kita juga menyerukan pertobatan agar manusia kembali menata
hidup secara pribadi maupun dalam sistem dan struktur yang tidak adil.

7. Pelayanan Holistik

Memang bencana ini Covid-19 terkait masalah kesehatan. Namun kita


belajar sekarang bahwa dampak Covid tidak hanya terkait kesehatan. Covid-
19 mempengaruhi banyak hal, seperti sosial, ekonomi, budaya, ketahanan
pangan, pendidikan anak, jender, dan banyak lagi. Pewartaan Injil Yesus
Kristus dalam masa pandemic ini tak bisa hanya ditujukan pada aspek
kesehatan. Karya kebaikan gereja mesti ditujukan ke semua bidang hidup
manusia.

Karena itu, para pemimpin gereja dan pelayan anak perlu mengembangkan
pelayanan di masa pandemic ini yang menyentuh berbagai aspek. Gereja
tidak bisa hanya sibuk dengan urusan ibadah, tetapi perlu juga terlibat
dalam urusan ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi, mencegah stigma,
memperjuangkan kesetaraan jender dalam keluarga, memastikan
pencegahan KDRT baik terhadap perempuan maupun anak, mengupayakan
agar yang kita layani tetap terjaga kesehatan fisik dan mental, dan mendidik
jemaat kita untuk menghargai alam.

Pandemi ini menjadi menjadi momen wake up call bagi semua manusia.
Berhentinya penerbangan berarti juga berkurangnya pencemaran udara.
Berkurangnya pelayaran dan transportasi darat memberi bumi kesempatan
untuk kembali bernapas dengan leluasa. Manusia diminta untuk kembali
tinggal di rumah juga berarti aktifitas pertambangan yg mengeruk tubuh
bumi dihentikan. Momen ini mestinya kita semua –pemerintah, masyarakat,
pengusaha, politisi, siapa saja- maknai sebagai kesempatan kembali
berdamai dengan bumi. Kita perlu melakukan seruan bersama untuk
pertobatan massal demi keadilan ekologis.

Kupang, 12 Mei 2020.

Anda mungkin juga menyukai