Pada minggu lalu GMIT dan WVI bekerja sama untuk pelatihan psiko-sosial
untuk para pemimpin gereja. Hari ini kita memulai pelatihan dua hari lintas
denominasi, di kalangan gereja Katolik dan Protestan. Terima kasih kepada WVI
yang memfasilitasi pelatihan yang penting ini, khususnya untuk perhatian pada
anak-anak kita. Apresiasi saya juga untuk ruang belajar bersama lintas
denominasi dan gereja. Saya menyapa para pemimpin gereja dan para pelayan
anak lintas gereja dan denominasi yang mau belajar bersama selama dua hari ini.
Pandemi ini adalah tantangan bagi semua agama dan seluruh peradaban dunia.
Sehingga sangat baik jika dalam tanggapannya pun kita bahu membahu.
Khususnya di kalangan Kristen, adalah baik jika kita belajar bersama untuk
mewujudkan kabar baik Yesus Kristus dalam situasi pandemic Covid-19
sekarang ini.
Untuk presentasi hari ini, saya tetap memanfaatkan materi yang saya siapkan
minggu lalu, namun saya memperluasnya untuk juga mencakup perhatian pada
para pelayan anak. Saya perlu mengakui bahwa sharing saya berdasarkan
pengalaman kepemimpinan dan pelayanan di lingkup PGIW NTT dan GMIT.
Sebagai ketua MPH PGIW NTT dan ketua MS GMIT, saya merefleksikan
tanggapan yg saya pelajari bersama kawan-kawan di PGIW NTT dan GMIT.
Ketika kami mengumumkan bahwa kami akan mulai beribadah dari rumah,
pemerintah NTT belum mengumumkan untuk meliburkan kantor-kantor.
Kami tahu bahwa kami harus melindungi kehidupan dan gereja harus
1
Materi yang disampaikan pada Webinar “Pelatihan Psikososial bagi Pemimpin Gereja dan
Aktifis Pelayan Anak” oleh WVI, 12 Mei 2020.
2
Ketua MS GMIT dan Ketua PGIW NTT.
berperan untuk memberikan pesan kepada semua anggota jemaat dan
pemimpin gereja di berbagai lingkup bahwa kita sedang menghadapi hal
yang sangat serius dan butuh kerja sama untuk memutus rantai penularan
Covid-19. Saya ingat di rapat-rapat kami, tidak pernah ada keraguan
sedikitpun bahwa gereja harus berada di depan untuk melindungi
kehidupan.
Saya ingat seorang ibu anggota persekutuan doa dari SoE menelpon dan
mengatakan dia mendapat penglihatan bahwa Tuhan setuju dengan apa
yang kami di GMIT lakukan sebab kita harus menjaga agar virus tidak
mengambil korban warga jemaat. Dia menyebut ayat Alkitab yang Tuhan
suruh untuk disampaikan pada saya. Namun ada juga sepasang suami isteri
anggota persekutuan doa yang minggu lalu datang ke pastori kami hanya
untuk menyampaikan ayat Alkitab dan nyanyi sebuah lagu yang isinya
kemarahan Tuhan kepada kami. Juga di media sosial ada banyak yang
mendukung sikap MS GMIT, namun ada banyak juga yang mengecam. Kami
belajar bahwa dunia dalam masa krisis seperti ini memerlukan pemimpin
yang berani mengambil sikap tegas dan jelas dengan segala resikonya.
Kami juga belajar tentang sikap berani berkorban dari kawan-kawan kami di
lapangan. Mereka juga tak kalah sengitnya menghadapi resistensi terhadap
kebijakan bergereja di rumah. Namun mereka teguh untuk terus
berkomunikasi dengan jemaat. Selain itu dalam berbagai keterbatasan,
mereka aktif mengupayakan bantuan masker dan sembako untuk kelompok-
kelompok rentan dalam jemaat dan masyarakat.
Kita juga saling mengingatkan bahwa kalau ada bantuan sembako, ingatlah
yang paling rentan di antara jemaat. Tetapi juga perhatikan yg rentan di
sekitar kita, yang bukan anggota jemaat kita, mereka yang beragama lain.
Gereja bukan koperasi: dari, oleh, dan untuk anggota. Krisis bisa
menyebabkan manusia makin egois, hanya berpikir tentang diri sendiri. Kita
belajar dari gereja mula-mula, mereka tidak hanya berpikir tentang diri
mereka sendiri: mereka tidak kumpul makanan utk diri mereka sendiri
tetapi mengumpulkan apa yang mereka miliki untuk berbagi dengan
masyarakat di sekitar mereka.
Dalam keadaan krisis, komunikasi yang jelas, berkala, dan konsisten dari
pemimpin dibutuhkan. Seringkali terjadi pemimpin berbicara terlalu banyak atau
berbicara terlalu sedikit. Dalam situasi krisis, anggota komunitas ingin
mendengar apa yang dipikirkan pemimpin mereka. Mereka ingin tahu apa
yang dipikirkan pemimpin mereka dalam situasi sulit seperti ini. Komunitas
kita perlu tahu apa yang kita putuskan. Dan perlu dijelaskan mengapa kita
memutuskan demikian. Misalnya mungkin bagi kita sudah jelas mengapa
perjamuan kudus ditunda. Namun tidak demikian bagi jemaat di akar
rumput. Sebuah penjelasan (teologis) dibutuhkan.
Hal lain terkait komunikasi adalah harus diingat bahwa apa yang seorang
katakan, apa yang kita tulis di media sosial (status di facebook, instagram,
whatsapp, dll), apa yang kita sampaikan ketika wartawan mewawancarai
dan menulis di media, akan mempengaruhi pandangan dan sikap anggota
komunitas kita. Ketika kita membuat lelucon tentang keadaan yang serius ini
atau mengirim berita hoax, hal itu mengurangi kepercayaan anggota
komunitas kepada kita. Kalau berbagi informasi pastikan dulu itu adalah
informasi yang benar.
Dalam masa-masa krisis ini integritas kita diuji. Kita tidak boleh
memanfaatkan krisis ini untuk mencari keuntungan sebagai pribadi
pemimpin gereja atau bagi gereja sebagai lembaga. Tak satupun kita yang
tahu kapan bencana ini akan berakhir dan apa dampak yang akan
ditimbulkannya. Di GMIT kami sedang bicara mengenai, what would happen
to GMIT after Covid-19? Tak satupun kita yang dapat memastikan perubahan
yang terjadi. Namun hal sederhana yang harus kita ingat adalah bahwa
pilihan-pilihan sikap kita sekarang akan berpengaruh pada kehidupan gereja
di masa yang akan datang.
Gereja dan pemimpin gereja yang hanya berpikir untuk dirinya, apalagi
memanipulasi jemaat/masyarakat untuk dirinya sendiri akan ditinggalkan.
Sebaliknya gereja yang peduli dan mau menanggung beban bersama seluruh
jemaat dan masyarakat akan tetap dipercaya ketika krisis telah lewat.
Anugerah/belas kasih dan kebenaran akan memimpin kita sampai di ujung
jalan. Kita harus tetap berusaha menunjukkan ketulusan kita untuk bahu
membahu memutuskan rantai penularan Covid dan untuk menanggulangi
bersama dampaknya dalam berbagai bidang kehidupan dengan berbagi
sumber daya yang ada pada kita.
Seorang pemimpin akan melihat peluang, ketika yang lain hanya melihat
masalah. Memang bencana pandemic ini membawa banyak masalah dan
kesulitan tapi juga menjadi kesempatan bagi kita untuk belajar hal-hal baru.
7. Pelayanan Holistik
Karena itu, para pemimpin gereja dan pelayan anak perlu mengembangkan
pelayanan di masa pandemic ini yang menyentuh berbagai aspek. Gereja
tidak bisa hanya sibuk dengan urusan ibadah, tetapi perlu juga terlibat
dalam urusan ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi, mencegah stigma,
memperjuangkan kesetaraan jender dalam keluarga, memastikan
pencegahan KDRT baik terhadap perempuan maupun anak, mengupayakan
agar yang kita layani tetap terjaga kesehatan fisik dan mental, dan mendidik
jemaat kita untuk menghargai alam.
Pandemi ini menjadi menjadi momen wake up call bagi semua manusia.
Berhentinya penerbangan berarti juga berkurangnya pencemaran udara.
Berkurangnya pelayaran dan transportasi darat memberi bumi kesempatan
untuk kembali bernapas dengan leluasa. Manusia diminta untuk kembali
tinggal di rumah juga berarti aktifitas pertambangan yg mengeruk tubuh
bumi dihentikan. Momen ini mestinya kita semua –pemerintah, masyarakat,
pengusaha, politisi, siapa saja- maknai sebagai kesempatan kembali
berdamai dengan bumi. Kita perlu melakukan seruan bersama untuk
pertobatan massal demi keadilan ekologis.