Anda di halaman 1dari 4

NAMA : TARA ALODIA HIDAYATILLAH

NIM / KLPK : D11.2021.03334 / D11.13

TUGAS DASAR ILMU GIZI KESMAS

Carilah isu/permasalahan Kesehatan apa yang sekarang ini paling menonjol dari pilar utama Ilmu Kesehatan Masyarakat di
? tingkat Kota dan tingkan Nasional?
1. Epidemiologi dan Biostatistik/statistic Kesehatan
Epidemiologi adalah sains inti kesehatan masyarakat. Kesehatan masyarakat (public health) adalah “sains dan seni untuk
mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui upaya-upaya yang terorganisasi dan pilihan
yang berpengetahuan, yang dilakukan oleh masyarakat, organisasi, baik pemerintah maupun swasta, komunitas, dan individu-
individu” (Winslow, 1920). Jadi kesehatan masyarakat tidak hanya berarti sains, tetapi juga seni, dan upaya-upaya terorganisasi.
Kesehatan masyarakat tidak hanya bertujuan mencegah penyakit, tetapi juga memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan.
“Pilihan yang berpengetahuan” mengandung arti bahwa upaya kesehatan masyarakat hendaknya berdasarkan bukti riset terbaik
yang tersedia. Umumnya upaya kesehatan masyarakat dirancang, direncanakan, diprogram, dan diimplementasikan pada level
kelompok, komunitas, atau populasi. Karena itu pembuatan kebijakan dan perencanaan program merupakan strategi yang penting
agar intervensi kesehatan masyarakat efektif. Tetapi sebagaimana didefinisikan Winslow, kesehatan masyarakat bisa juga
diimplementasikan pada level individu, sepanjang upaya itu terorganisasi.
Definisi epidemiologi yang paling berguna dikemukakan oleh John M. Last. Epidemiologi (epidemiology) adalah “ilmu tentang
distribusi dan determinan keadaan dan peristiwa yang terkait kesehatan pada populasi tertentu, dan penerapan ilmu itu untuk
mengendalikan masalah kesehatan” (Last, 2000). Epidemiologi mempelajari distribusi kondisi kesehatan (penyakit dan berbagai
akibatnya) pada populasi dan meneliti risiko atau kausa yang berhubungan dengan kondisi-kondisi itu. Hasil studi epidemiologi
dapat digunakan untuk pembuatan kebijakan dan mengembangkan intervensi kesehatan masyarakat yang berbasis bukti ilmiah,
dengan cara mengidentifikasi kausa dari penyakit, determinan status kesehatan populasi, dan menentukan sasaran intervensi
kesehatan masyarakat.
Era epidemiologi modern dimulai sejak investigasi outbreak kolera yang dilakukan John Snow di London. Pada tahun 1854 terjadi
outbreak kolera yang berat di dekat Broad Street, kawasan Soho, distrik London, Inggris. Dokter John Snow melalukan investigasi
outbreak, dan mengemukakan hipotesis bahwa air yang terkontaminasi, bukan udara kotor menurut “teori miasma” yang pada
masa itu diyakini benar, merupakan penyebab menyebarnya kolera.
Dengan menggunakan metode statistik, penyajian tabel frekuensi, dan menggambar spot map (Gambar 2) berdasarkan data yang
dikumpulkan dari rumah ke rumah dalam apa yang kemudian populer disebut “shoe-leather epidemiology”, John Snow
memeragakan bahwa insidensi kolera lebih tinggi pada populasi yang menggunakan air minum yang dipasok oleh Southwark and
Vauxhall Waterworks Company. Perusahaan ini mengambil air dari bagian hilir Thames River yang dikenal tercemar oleh limbah.
Perusahaan lain, Lambeth Water Company, belum lama memindahkan fasilitas pengambilan air ke lokasi yang lebih tinggi
daripada saluran keluar limbah, yakni di bagian hulu Thames River. Seperti yang selalu dilakukan oleh ahli epidemiologi sekarang
ketika menganalisis data studi epidemiologi analitik, Snow membandingkan angka kematian penduduk yang menggunakan dua
sumber air minum. John Snow memeragakan bahwa insidensi kolera jauh lebih rendah pada populasi yang menggunakan air
minum yang dipasok oleh Lambeth Water Company daripada Southwark and Vauxhall Company. Menurut metodologi sekarang,
rancangan yang digunakan John Snow dalam studinya diklasifikasikan sebagai studi kohor. Sebagaimana dikemukakan Rothman
(2012) dalam buku “Modern Epidemiology”, rancangan itu dapat juga disebut “eksperimen alami” (“natural experiment”).
catsStudi John Snow merupakan tonggak sejarah kesehatan masyarakat. Atas upaya terus-menerus dalam meneliti cara kolera
menyebar, metode statistik dan pemetaan yang dirintis, dan penurunan yang nyata kematian karena kolera setelah pemutusan
suplai air yang tercemar di daerah yang terkena, John Snow kemudian dikenal luas sebagai bapak epidemiologi (UCLA, 2016).
Konsep yang berkembang dewasa ini, proses kesehatan dan terjadinya penyakit berlangsung melalui sejumlah mekanisme kausal
yang kompleks, yang melibatkan banyak faktor kausal, yang beroperasi pada berbagai level dan berlangsung pada berbagai tahap
kehidupan. Pada 1996, Susser dan Susser mengemukakan paradigma “eco-epidemiology”. Konsep eko-epidemiologi memberikan
kerangka teoretis yang mengintegrasikan faktor-faktor antara beberapa lapisan kausasi, meliputi pengaruh genetik, epigenetik,
individu, keluarga, komunitas, dan pengaruh sosial. Pendekatan eko-epidemiologi menekankan pemahaman tentang keterkaitan
(interconnectiveness), ketergantungan (interdependence), dan interaksi (interaction) antar level-level tersebut, perkembangan
paparan yang berlangsung sepanjang perjalanan hidup, dan konteks sosio-temporal yang mempengaruhi risiko penyakit. Eko-
epidemiologi menawarkan kerangka konsep untuk menguji empiris dengan lebih realistis model-model kausal yang kompleks,
yang tidak dibatasi oleh model kausasi penyakit yang murni biologis pada level molekuler ataupun model faktor risiko pada level
individu.
Selama lebih dari dua dekade terakhir terjadi peningkatan yang pesat penggunaan model multilevel (disebut juga model hirarki,
mixed effects model) untuk meneliti masalah-masalah kesehatan masyarakat, khususnya determinan kesehatan dan penyakit.
Peningkatan penggunaan model multilevel dipicu oleh bangkitnya minat tentang potensi determinan kesehatan pada level
ekologis, makro, atau kelompok, serta gagasan bahwa variabel-variabel pada level kelompok, atau sifat hubungan-hubungan
individu dalam kelompok, dapat menjelaskan dengan lebih baik tentang distribusi kesehatan dan penyakit pada populasi.
Peningkatan penggunaan model multilevel juga didorong oleh kemajuan pengembangan metode-metode statistik canggih
disertainya perangkat lunak komputer, yang dapat diterapkan pada berbagai masalah penelitian yang melibatkan struktur data
terkelompok (nested data structure) (Diez-Roux, 2000).
Eko-epidemiologi memadukan perspektif dari berbagai cabang epidemiologi yang sudah dikenal sebelumnya, meliputi
epidemiologi sosial, epidemiologi sepanjang hayat, epidemiologi faktor risiko, dan epidemiologi molekuler. Epidemiologi sosial
(social epidemiology) mempelajari distribusi sosial dan determinan sosial kesehatan, serta mekanisme kausal tentang bagaimana
kondisi-kondisi sosial itu dapat mempengaruhi kesehatan” (Krieger, 2002; Honjo, 2004). Epidemiologi sosial mengasumsikan
bahwa distribusi kesehatan dan penyakit pada suatu masyarakat mencerminkan keadaan sosial ekonomi yang menguntungkan
suatu kelompok dan merugikan kelompok lainnya dalam masyarakat tersebut. Studi epidemiologi sosial menggunakan model
multilevel untuk memperhitungkan determinan di berbagai level dalam mekanisme kausal penyakit (Diez-Roux, 2000).
Epidemiologi perilaku (behavioral epidemiology) mempelajari faktor perilaku dan gaya-hidup (life-style) yang berhubungan
dengan risiko penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, dan penerapan pengetahuan untuk mengembangkan intervensi
yang efektif untuk mengubah perilaku. Epidemiologi perilaku meneliti hubungan antara perilaku dewasa (merokok, diet,
aktivitas jasmani, konsumsi alkohol, dan sebagainya) dan risiko terjadinya dan progresi penyakit di usia dewasa Tetapi
epidemiologi perilaku dapat juga menggunakan perspektif sepanjang hayat. Sebagai contoh, epidemiologi perilaku meneliti efek
jangka panjang pola diet dan gaya hidup kurang gerakan jasmani di masa remaja dan risiko obesitas di usia dewasa (Kuh dan Ben-
Shlomo, 1997; Sallis et al., 2000; University of North-Carolina, 2016).
Epidemiologi molekuler (molecular epidemiology) merupakan cabang epidemiologi yang mempelajari “kontribusi faktor risiko
genetik dan lingkungan, yang diidentifikasi pada level molekuler dan biokimia, terhadap etiologi, distribusi, dan pengendalian
penyakit, pada keluarga-keluarga dan populasi-populasi” (Dorman, 2015). Epidemiologi molekuler memanfaatkan teknik bio-
molekuler untuk mempelajari kausasi penyakit pada level molekul, interaksi yang kompleks antara karakteristik genetik penjamu
dan paparan lingkungan dalam proses kesehatan dan terjadinya penyakit.
Epidemiologi sepanjang hayat (life-course epidemiology) didefinsikan sebagai “the study of long term effects on later health or
disease risk of physical or social exposures during gestation, childhood, adolescence, young adulthood and later adult life” (Kuh
dan Ben-Shlomo, 1997). Epidemiologi sepanjang hayat mempelajari pengaruh jangka panjang dari paparan fisik dan sosial yang
terjadi selama gestasi, kanak-kanak, remaja, dewasa muda, dan kehidupan dewasa selanjutnya terhadap kesehatan dan risiko
terkena penyakit di kemudian hari. Epidemiologi sepanjang hayat bertujuan menjelaskan proses biologis, perilaku, dan
psikososial, yang beroperasi lintas perjalanan hidup individu, atau lintas generasi, yang mempengaruhi terjadinya risiko penyakit.
Epidemiologi sepanjang hayat dibangun berdasarkan premis, berbagai faktor biologi dan sosial sepanjang hayat secara
independen, kumulatif, dan interaktif, mempengaruhi kesehatan dan penyakit di usia dewasa.
Antusiasme terhadap pendekatan epidemioogi sepanjang hayat dimuai sejak bangkitnya kembali ketertarikan terhadap “fetal
origins hypothesis”, yang juga dikenal sebagai “thrifty phenotype hypothesis”, “fetal programming hypotesis”, atau hipotesis
David Barker. Menurut hipotesis ini, paparan lingkungan yang merugikan seperti kurang gizi dapat memberikan dampak negatif
secara permanen dan tidak kembali jika terjadi dalam periode kritis pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim (Gambar 3).
Paparan yang merugikan itu dapat memberikan efek jangka panjang terhadap risiko penyakit kronis dengan cara “pemrograman”
struktur atau fungsi sistem jaringan, organ, ataupun sistem tubuh dari janin. Gagasan tentang “pemrogram biologis” muncul
sebagai paradigma alternatif dari model konvensional gaya hidup di usia dewasa tentang penyakit kronis di usia dewasa yang
memusatkan perhatian kepada pengaruh perilaku di usia dewasa (merokok, pola makan, kegiatan jasmani, dan konsumsi alkohol)
terhadap dimulainya dan proresi penyakit di usia dewasa (Kuh et al., 2003).
Epidemiologi sepanjang hayat mengintegrasikan pendekatan pemrograman biologis dalam uterus dan gaya hidup di usia dewasa
dalam menjelaskan etiologi penyakit kronis, berdasarkan oremis bahwa faktor biologi dan sosial sepanjang hayat secara
indepnden, kumulatif, atau interaktif, mempengaruhi kesehatan dan terjadinya penyakit di usia dewasa. Artinya epidemiologi
sepanjang hayat memiliki kesamaan ketertarikan dengan epidemiologi sosial dalam meneliti peran faktor-faktor sosial dalam
proses produksi kesehatan dan penyakit pada populasi. Epidemiologi sepanjang hayat mengasumsikan, pengalaman di masa lalu
dan sekarang dibentuk oleh konteks sosial, ekonomi, dan kultural yang lebih luas. Epidemiologi sepanjang hayat menekankan
perspektif temporal (waktu) dan sosial, dengan melihat ke belakang lintas pengalaman hidup individu ataupun kohor, atau lintas
generasi, untuk menemukan pola kesehatan dan penyakit yang terjadi sekarang. Epidemiologi sepanjang hayat mempelajari
pengaruh pola sosial paparan yang berangsung pada masa kanak-kanak, remaja, dewasa muda, terhadap risiko penyakit dan posisi
sosial-ekonomi di usia dewasa, sehingga dapat mempengaruhi ketimpangan sosial dalam distribusi kesehatan dan mortalitas di
usia dewasa (Kuh et al., 2003).
Epidemiologi nutrisi (nutritional epidemiologi) mempelajari hubungan antara faktor-faktor nutrisi (asupan makro-nutrien dan
mikro-nutrien) dan faktor yang berhubungan dengan pangan (meliputi ketahanan pangan/ food security), dengan risiko terjadinya
penyakit, serta penerapan pengetahuan itu untuk mengembangkan intervensi yang dapat menciptakan pola makan yang sehat pada
populasi. Ketahanan pangan adalah kondisi di mana semua orang setiap saat memiliki akses terhadap makanan yang cukup, aman,
dan bergizi, untuk memelihara hidup yang sehat dan aktif. Tiga pilar ketahanan pangan: (1) Ketersediaan (jumlah pangan yang
cukup setiap saat); (2) Akses (terdapat sumberdaya yang cukup untuk mendapatkan pangan); dan (3) Penggunaan (konsumsi
makanan dengan pola yang benar dan sehat). Ketahanan pangan diperlukan untuk mendukung terjadinya pola makanan yang sehat
(WHO, 2016).
Epidemiologi lingkungan (environmental epidemiology) meneliti berbagai paparan lingkungan yang memberikan kontribusi atau
sebaliknya memberikan perlindungan (proteksi) terhadap terjadinya cedera, penyakit, gangguan perkembangan, disabilitas, dan
kematian, serta penerapan pengetahuan itu untuk mengembangkan langkah-langkah kesehatan masyarakat yang efektif untuk
mengelola risiko yang berhubungan dengan paparan lingkungan yang merugikan tersebut (Wikipedia, 2016).
Paparan lingkungan meliputi paparan dekat dan paparan jauh. Paparan dekat (proximate exposure) adalah paparan lingkungan
yang langsung menyebabkan masalah kesehatan, meliputi bahan kimia, bahan fisik, patogen mikrobiologis. Paparan dekat terjadi
melalui udara, makanan, air, dan kontak kulit. Paparan jauh (distal exposure) adalah paparan lingkungan yang tidak langsung
menyebabkan masalah kesehatan. Paparan jauh menyebabkan masalah kesehatan dengan cara mengubah intensitas dan frekuensi
paparan dekat, atau mengubah eko-sistem (misalnya, pembakaran hutan) dan sistem pendukung lainnya yang diperlukan bagi
kesehatan manusia (misalnya, kerusakan infrastuktur kesehatan) (Slikker et al., 1998).
Dengan memadukan berbagai cabang epidemiologi, studi epidemiologi memberikan bukti-bukti mekanisme kausal tentang
pengaruh paparan/ pengalaman bilogis dan sosial dalam membentuk kesehatan dan penyakit, serta dampak perubahan biologis,
perubahan sosial, pembangunan ekonomi, dan perubahan lingkungan fisik, yang berlangsung pada berbagai tahap sepanjang
siklus hidup dan antar generasi, terhadap kesehatan populasi. Epidemiologi memiliki peran memberikan model teoretis dan bukti
ilmiah bagi pembangunan yang berkelanjutan, yakni bukti-bukti tentang determinan bio-psiko-sosial yang terdapat dalam SDGs
yang berhubungan kuat dengan peningkatan kesehatan dan keadilan distribusi kesehatan dalam populasi. Gambar 4 menyajikan
diagram alir kerangka konsep peran epidemiologi dalam pencapaian SDGs, peningkatan kesehatan dan distribusi kesehatan yang
adil pada populasi.
Nilai dari kontribusi epidemiologi bagi pembangunan yang berkelanjutan tergantung pada efektivitas pemerintah dalam
menggunakan dan menerjemahkan pengetahuan dan bukti-bukti ilmiah tersebut ke dalam langkah konkrit pembuatan kebijakan
sosial dan kesehatan, serta implementasi yang sesuai dengan kebijakan dan perencana.
Efektivitas penggunaan bukti studi epidemiologis dalam pembuatan kebijakan sosial dan kesehatan memerlukan komunikasi yang
baik, multidisipliner, dan mulisektor, antara pemimpin, pembuat kebijakan, perencana, ahli kesehatan masyarakat, praktisi,
peneliti, dan akademisi. Dengan latar belakang tersebut diusulkan penyelenggaraan kegiatan ilmiah yang disebut “International
Conference on Public Health (ICPH)”. ICPH diadakan di Solo, Indonesia, pada 14-15 September 2016.
Website : http://theicph.com/id_ID/id_ID/icph/peran-epidemiologi/

2. Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Anda mungkin juga menyukai