Disusun Oleh:
Kelompok 1
4.Zabrina Zahara(F0G021075)
Dosen Pengampuh:
UNIVERSITAS BENGKULU
1
1. Latar Belakang
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan dan
pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit infeksi
(penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin
meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi dan
meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya penyakit
degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain sebagainya.
Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2005, umur harapan hidup (UHH) penduduk
Indonesia pada tahun 2004 mencapai 67 tahun. Pada tahun 2002 provinsi dengan UHH tertinggi
adalah DI Yogyakarta (72,4 tahun), DKI Jakarta (72,3 tahun), Epidemiologi sebagai suatu ilmu
berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan itu dilaterbelakangi oleh beberapa hal yaitu
tantangan zaman dimana terjadi perubahan masalah dan perubahan pola penyakit. Sewaktu
zaman John Snow, epidemiologi mengarahkan dirinya untuk masalah penyakit infeksi dan
wabah. Dewasa ini telah terjadi perubahan pola penyakit ke arah penyakit tidak menular, dan
epidemiologi tidak hanya dihadapkan dengan masalah penyakit semata tetapi hal-hal baik yang
berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan penyakit, serta masalah kesehatan secara
umum dan perkembangan ilmu pengetahuan lainnya.
2
Pengetahuan kedokteran klinik berkembang begitu pesat disamping perkembangan ilmu-ilmu
lainnya seperti biostatistik, administrasi dan ilmu perilaku. Perkembangan ilmu-ilmu ini juga
membuat ilmu epidemiologi semakin berkembang.Dengan demikian, terjadilah perubahan dan
perkembangan dasar berpikir para ahli kesehatan masyarakat, khususnya epidemiologi dari masa
ke masa sesuai dengan kondisi zaman dimana mereka berada. Dalam kehidupan sehari-hari kita
sering dihadapkan pada fenomena nyata yang ada di populasi, seperti misalnya terjadi outbreak
diare atau pada suatu saat ditemukan banyak penderita demam berdarah. Fenomena ini bisa saja
berasal dari satu atau lebih individu atau sekelompok orang. Kejadian-kejadian yang menimpa
populasi tersebut haruslah dicarikan jalan keluarnya karena tidak mustahil juga akan menimpa
populasi lain secara berurutan. Penanggulangan masalah kesehatan bisa saja dimulai dengan
mengidentifikasi permasalahan yang ada, seperti misalnya tingginya kejadian diare pada suatu
saat. Selanjutnya dengan mengukur beberapa variabel kita akan dapat mengetahui seberapa
besar masalah yang terjadi akan memberi dampak pada populasi.
Dalam upaya mengukur kejadian penyakit tersebut acapkali kita dihadapkan pada kenyataan
adanya keterkaitan antara satu variabel dengan variabel yang lain. Kadang pula dapat ditarik
kesimpulan sementara tentang kemungkinan sebab akibat yang mendasari kejadian tersebut. Jika
ada dua atau beberapa variabel saling berkaitan untuk terjadinya suatu penyakit, maka salah
satu upaya dasar yang dapat dilakukan memutus rantai masalah yang ada. Keilmuan ini dicakup
dalam suatu bidan ilmu yang disebut epidemiologi. Epidemiologi berguna untuk mengkaji dan
menjelaskan dampak dari tindakan pengendalian kesehatan masyarakat, program pencegahan,
intervensi klinis dan pelayanan kesehatan terhadap penyakit atau mengkaji dan menjelaskan
faktor lain yang berdampak pada status kesehatan penduduk. Epidemiologi penyakit juga dapat
menyertakan deskripsi keberadaannya di dalam populasi dan faktor – faktor yang mengendalikan
ada atau tidaknya penyakit tersebut.
3
A.Sejarah Epidemiologi
1. Sejarah Epidemiologi
Sejarah epidemiologi tidak dapat dipisahkan dengan masa ketika manusia mulai mengenal
penyakit menular. Walaupun pada saat itu sumber dan penyebab penyakit masih dianggap
berasal dari kekuatan gaib dan ruh jahat, tetapi cukup banyak usaha pada zaman purba yang
dapat dianggap sebagai usaha untuk melawan epidemi. Umpamanya pada kira – kira 1000 tahun
SM telah dikenal variolasi di Cina untuk melawan penyakit variola (cacar), sedangkan orang
India
pada saat tersebut selain menggunakan variolasi, juga telah mengenal bahwa penyakit pes erat
hubungannya dengan tikus, sedangkan kusta telah diketahui mempunyai hubungan erat dengan
kepadatan penduduk.Pada zaman kejayaan Yunani dan Romawi Kuno, telah dikenal adanya
proses penularan penyakit pada masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan faktor
lingkungan. Hal ini telah dikemukakan oleh Hippocrates (abad ke-5 SM) dalam tulisannya
berjudul Epidemics serta dalam catatannya mengenai “Airs, Waters and Places”, beliau telah
mempelajari masalah penyakit di masyarakat dan mencoba mengemukakan berbagai teori
tentang hubungan sebab akibat terjadinya penyakit dalam masyarakat. Walaupun pada akhirnya
teori tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi telah memberikan dasar pemikiran tentang
adanya hubungan faktor lingkungan dengan kejadian penyakit sehingga dapat dikatakan bahwa
konsep tersebut adalah konsep epidemiologi yang pertama. Kemudian Galen mengemukakan
suatu doktrin epidemiologi yang lebih logis dan konsisten dengan menekankan teori bahwa
beradanya suatu penyakit pada kelompok penduduk tertentu dalam suatu jangka waktu tertentu
(suatu generasi tertentu) dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni:
Pada abad ke – 14 dan 15 Masehi, masalah epidemi penyakit dalam masyarakat semakin jelas
melalui berbagai pengamatan peristiwa wabah penyakit pes dan variola yang melanda sebagian
besar penduduk dunia. Pada waktu itu, orang mulai menyadari bahwa sifat penularan penyakit
dapat terjadi terutama karena adanya kontak dengan penderita. Dalam hal ini dikenal jasa
Veronese Fracastorius ( 1483 – 1553 ) dan Sydenham ( 1624 – 1687 ) yang secara luas telah
mengemukakan tentang teori kontak dalam proses penularan penyakit.
4
Berdasarkan teori kontak inilah dimulainya usaha isolasi dan karantina yang kemudian ternyata
mempunyai peranan positif dalam usaha pencegahan penyakit menular hingga saat ini. Konsep
tentang sifat kontagious dan penularan penyakit dalam masyarakat telah disadari dan dikenal
sejak dahulu namun baru pada abad ke-17, teori tentang germ dan perannya dalam penularan
penyakit pada masyarakat mulai dikembangkan. Dalam hal ini Sydenham dapat dianggap
sebagai pioner Epidemiologi walaupun sebagian dari teorinya tidak lagi diterima. Sydenham
dengan teori serta berbagai perkiraannya terhadap kejadian epidemi, perjalanan epidemi dalam
masyarakat serta perkiraan sifat epidemi merupakan suatu model penggunaan metode
epidemiologi. Pada saat yang sama, John Graunt telah mengembangkan teori Statistik Vital
yang sangat bermanfaat dalam bidang epidemiologi. Walaupun Graunt bukan seorang dokter,
tetapi hasil karyanya sangat bermanfaat dalam bidang epidemiologi dengan menganalisis sebab
kematian pada berbagai kejadian kematian di London dan mendapatkan berbagai perbedaan
kejadian kematian antarjenis kelamin serta antara penduduk urban dan rural, maupun perbedaan
berbagai musim tertentu.
Di samping Graunt yang telah mengembangkan Statistik Vital, William Farr mengembangkan
analisis sifat epidemi berdasarkan hukum Matematika. William Farr mengemukakan bahwa
meningkatnya, menurunnya, dan berakhirnya suatu epidemi mempunyai sifat sebagai fenomena
yang berurutan.Jakob Henle pada tahun 1840 mengemukakan teorinya tentang sifat epidemi dan
endemi yang sangat erat hubungannya dengan fenomena biologis. Dalam tulisannya
dikemukakan bahwa yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit adalah organisme yang
hidup. Pendapat ini pada waktu yang sama telah mendorong berbagai ilmuan terkemuka seperti
Robert Koch, Pasteur dan lainnya untuk menemukan mikroorganisme penyebab penyakit
tertentu. Sejak didapatkannya mikroorganisme sebagai penyebab penyakit, para ahli segera
mencoba mencari berbagai penyebab khusus untuk penyakit tertentu. Pada awalnya mereka
hanya melakukan pengamatan terhadap penderita perorangan, tetapi kemudian mulai
berkembang ke arah hubungan sebab akibat yang dapat mengganggu keadaan normal
masyarakat.
Dari usaha pengembangan imunitas perorangan serta kekebalan pejamu (manusia), mulailah
dikembangkan usaha pencegahan penyakit melalui vaksinasi. Perkembangan hubungan sebab
akibat yang bersifat tunggal mulai dirasakan ketidakmampuannya dalam hal memberikan
jawaban terhadap berbagai gangguan kesehatan masyarakat sehingga mulai dipikirkan hubungan
yang lebih kompleks dalam proses sebab terjadinya penyakit serta gangguan kesehatan lainnya.
B. Pengantar Epidemiologi
C.Studi Epidemiologi
Desain / Rancangan Studi Epidemiologi Berdasarkan pemberian intervensi atau tidak, studi
epidemiologi di bagi atas 2 yaitu studi observasional & studi eksperimental. Secara garis besar
bisa dilihat pada bagan berikut ini: Desain studi epidemiologi
Desain Studi Observasional Studi observasional merupakan studi yang dilakukan melalui
pengamatan, dimana peneliti mengamati pemaparan yg terjadi secara secara alamiah (peneliti
tidak memanipulasi pemaparan).
Studi observasional menggunakan desain studi observasi deskriptif & analitik. Ada 3 jenis studi
deskriptif, yaitu:
Case report
Case report (laporan kasus) merupakan studi kasus yang bertujuan mendeskripsikan manifestasi
klinis, perjalanan klinis, dan prognosis kasus. Case report mendeskripsikan cara klinisi
mendiagnosis dan memberi terapi kepada kasus, dan hasil klinis yang diperoleh. Selain tidak
6
terdapat kasus pembanding, hasil klinis yang diperoleh mencerminkan variasi biologis yang lebar
dari sebuah kasus, sehingga case report kurang andal (reliabel) untuk memberikan bukti empiris
tentang gambaran klinis penyakit.
Case series
Case series merupakan studi epidemiologi deskriptif tentang serangkaian kasus, yang berguna
untuk mendeskripsikan spektrum penyakit, manifestasi perjalanan klinis, dan prognosis kasus.
Case series banyak dijumpai dalam literatur kedokteran klinik. Tetapi desain studi ini lemah
untuk memberikan bukti kausal, sebab pada case series tidak dilakukan perbandingan kasus
dengan non-kasus. Case series dapat digunakan untuk merumuskan hipotesis yang akan diuji
dengan desain studi analitik.
Cross sectional
Cross sectional berguna untuk mendeskripsikan penyakit dan paparan pada populasi pada satu
titik waktu tertentu. Data yang dihasilkan dari studi potong-lintang adalah data prevalensi. Tetapi
studi potong-lintang dapat juga digunakan untuk meneliti hubungan paparan-penyakit, meskipun
bukti yang dihasilkan tidak kuat untuk menarik kesimpulan kausal antara paparan dan penyakit,
karena dengan desain studi ini tidak dapat dipastikan bahwa paparan mendahului penyakit.
Studi Analitik merupakan studi yang menganalisa hubungan antara status kesehatan dan variabel
lainnya (Webb P, 2005). Ada beberapa tipe studi observasi analitik yaitu:
Pada desain ini peneliti melakukan pengukuran variabel tergantung, yakni efek, sedangkan
variabel bebasnya di cari secara retrospektif, karena itu studi kasus-kontrol disebut studi
longitudinal, artinya subyek tidak hanya di observasi pada satu saat tetapi diikuti selama periode
yang ditentukan. Pada studi ini dilakukan identifikasi subyek (kasus) yang telah terkena penyakit
(efek), kemudian ditelusuri secara retrospektif ada atau tidak adanya faktor risiko yang diduga
berperan.
Studi Kohort
7
Berlawanan dengan studi kasus-kontrol yang dimulai dengan identifikasi efek, pada penelitian
kohort yang diidentifikasi terlebih dahulu adalah kasusnya, kemudian subyek diikuti secara
prospektif selama periode tertentu untuk mencari ada tidaknya efek. Pada penelitian kohort
murni (internal), yang diamati adalah subyek yang belum mengalami pajanan faktor risiko serta
belum mengalami faktor efek.
Dalam pengukuran cross-sectional peneliti melakukan observasi atau pengukuran variable pada
saat tertentu. Subyek yang diamati hanya di observasi satu kali saja dan pengukuran variable
subyek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut. Jadi, pada studi cross-sectional peneliti tidak
melakukan tindak lanjut terhadap pengukuran yang dilakukan. Desain cross-sectional merupakan
desain yang dapat digunakan untuk penelitian deskriptif, namun juga dapat untuk penelitian
analitik sehingga sering digunakan untuk studi klinis maupun lapangan.
Tujuan dari studi eksperimental adalah untuk mengukur efek dari suatu intervensi terhadap hasil
tertentu yang di prediksi sebelumnya. Desain ini merupakan metode utama untuk
menginvestigasi terapi baru, misal efek dari obat X dan obat Y dari kesembuhan penyakit Z atau
efektivitas suatu program kesehatan terhadap peningkatan kesehatan masyarakat.
Uji klinis dan umumnya dilakukan untuk intervensi secara individu seperti percobaan obat baru
atau efektivitas vaksin.
Prevalensi, dilakukan untuk intervensi secara kelompok seperti untuk melihat efektivitas promosi
dan pelayanan kesehatan, efektivitas intervensi terpadu pada rumah tangga tanpa asap rokok.
8
D.Kebijakan Terkait Epidemiologi Indonesia