Kesimpulannya, sakit adalah kondisi yang tidak normal pada individu baik dari segi fisik,
mental, dan social yang berakibat buruk pada kelangsungan peran individu.
C. Sehat
Ada beberapa sumber yang menjelaskan tentang pengertian sehat
1. Menurut WHO: sehat adalah keadaan keseimbangan yang sempurna baik fisik, mental,
dan sosial, tidak hanya bebas dari penyakit dan kelemahan.
2. Menurut Person: sehat adalah kemampuan optimal individu untuk menjalankan peran
dan tugasnya secara efektif
3. Menurut Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992: sehat adalah keadaan sejahtera tubuh,
jiwa, sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
Kesimpulannya, sehat berarti kondisi tubuh dalam keadaan normal baik dari segi fisik,
mental, dan social tanpa mengganggu peran hidup individu tersebut.
D. Teori Terjadinya Penyakit
1. Contangion Theory
Konsep itu dirumuskan oleh Girolamo Fracastoro (1483-1553). Teori ini menjelaskan
bahwa penyakit terjadi disebabkan karen kontak dengan penderita penyakit (sumber
penyakit). Kontak dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
a. Jenis kontagion yang menular secara langsung : ciuman, berpegangan, berpelukan
b. Jenis kontagion yang menular melalui perantara : handuk, peralatan makan, pakaian
c. Jenis kontagion yang menular pada jarak jauh : udara
Pada awalnya penemuannya belum dianggap jasad renik dan tidak berkembang,
namun ia adalah perintis epidemiologi
2. Hypocratic Theory (460-377 SM)
Penyakit timbul disebabkan karena lingkungan seperti air, udara, tanah yang dapat
menyebabkan perubahan suhu pada tubuh dan inilah asal terjadinya penyakit
diantaranya:
a. Penyakit terjadi karena ada kontak dengan makhluk hidup
b. Penyakit berkaitan dengan factor eksternal yaitu lingkungan
3. Miasmatic Theory
Penyakit timbul karena sisa jasad yang membusuk dan mengeluarkan bau tak sedap.
Bau inilah yang mencemari udara dan lingkungan. Mereka percaya bahwa siapa saja
yang menghirup miasma atau bau busuk tersebut akan mengidap penyakit. Maka dari
itu, masyarakat dianjurkan menutup rumah rapat-rapat pada malam hari dan
mengurangi keluar malam.
4. Germ Theory
Jasad renik atau kuman dianggap penyebab tunggal dari terjadinya penyakit. Teori ini
berjalan seiringan dengan ditemukannya mikroskop yang dapat mengenali kuman
penyakit. Namun, teori ini tidak berlaku ketika muncul penyakit yang tidak disebabkan
oleh kuman seperti kanker dan jantung
5. Epidemiology Triangle
Menurut John Gordon, model segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga
komponen penyakit yaitu Manusia (Host), penyebab (Agent) dan lingkungan
(Environment).
1) Agen adalah penyebab penyakit. Agen biasanya berasal dari mikroba, hewan kecil
yang kasat mata.
2) Host adalah organisme yang biasanya berupa manusia dan hewan yang berfungsi
sebagai perantara. Host dapat menularkan penyakit ke organisme lain begitu pula
dengan hewan (serangga ataupun cacing) yang juga dapat menyebakan atau tidak
menyebabkan penyakit. Mikroba yang sama dapat menginfeksi organisme yang
berbeda dengan cara yang berbeda pula.
3) Lingkungan adalah segala sesuatu di luar agen dan host. Lingkungan juga
berperan dalam perkembangan penyakit. Kadang, ada mikroba yang hidup di air
kotor, ada yang hanya hidup di darah, da nada pula yang hidup di mukus.
Dikemukakan oleh MacMahon (1960). Suatu penyakit tidak tergantung dari satu
penyebab saja melainkan dari beberapa faktor sebab-akibat yang saling berkaitan.
Maka dari itu, penyakit dapat dihentikan dengan memotong salah satu rantai pada
jaring-jaring tersebut.
7. The wheel causation
Teori ini menjelaskan bahwa hubungan manusia dengan lingkungan seperti roda.
Besar kecilnya roda tergantung dari bagaimana penyakit tersebut berkembang. Jika
berkaitan dengan malaria, maka peran biologi terhadap manusi lebih besar, jika
masalah kejiwaan maka yang berperan lebih besar yaitu lingkunan social dan begitu
seterusnya.
Konsep Tentang Sebab Akibat dalam epidemiologi dan Kriteria kausalitas (Bradford
Hill)
Konsep Sebab Akibat
Konsep kausalitas (sebab akibat) yaitu keadaan atau kejadian yang satu menimbulkan atau
menjadikan keadaan yang lain (G. Soekardiyo). Pengertian lain, kausal adalah hubungan
antara dua atau lebih variable, salah satu atau lebih diantara variable tersebut merupakan
variable penyebab kausal. Tiga faktor utama yang berkaitan dengan konsep kausalitas yaitu:
1. Faktor keterpaparan memegang peran penting dalam timbulnya penyakit
2. Setiap perubahan variable yang merupakan unsur penyebab akan diikuti oleh perubahan
pada variable lainnya sebagai akibat/hasil akhir proses
3. Hubungan antara timbulnya penyakit dan proses keterpaparan tidak tergantung atau tidak
harus dipengaruhi factor lainnya di luar variable hubungan tersebut.
Dalam menentukan hubungan kausalitas terutama dalam menilai hubungan sebab akibat dan
unsur penyebab timbulnya penyakit tertentu, harus diperhatikan pula berbagai ketentuan yang
dapat menjadi dasar pemikiran antara lain:
1. Konsistensi pengamatan
2. Hubungan dengan teori yang sudah ada dan diakui
3. Ketentuan disiplin ilmu
4. Pengalaman yang baik
Kriteria kausalitas
Kriteria kausalitas yang dikenal dirumuskan oleh Bradford Hill (1971), sebagai berikut:
1. Kekuatan Asosiasi
Makin kuat hubungan paparan dan penyakit, makin kuat pula keyakinan bahwa hubungan
tersebut bersifat kausal. Sebab, makin kuat hubungan paparan dan penyakit sebagaimana
yang teramati, makin kecil kemungkinan bahwa penaksiran hubungan itu dipengaruhai
oleh kesalahan acak maupun kesalahan sistematik yang tidak terduga atau tak terkontrol.
Sebaliknya, hubungan yang lemah kita dapat menduga bahwa peran peluang, bias dan
kerancuan cukup besar untuk mengakibatkan distorsi hasil.
2. Konsistensi
Makin konsisten dengan riset-riset lainnya yang dilakukan pada populasi dan lingkungan
yang berbeda, makin kuat pula keyakinan hubungan kausal. Kriteria konsistensi juga
sangat penting untuk meyakinkan masyarakat peneliti tentang hubungan kausal.
Contoh : Merokok baru diyakini sebagai penyebab kanker paru-paru setelah dibuktikan
melalui banyak riset yang dilakukan di berbagai populasi, negara dan waktu.
Sebaliknya, inkonsistensi temuan tidak dapat dengan sendirinya dianggap sebagai non-
kausal. Sebab dalam banyak hal, agen penyebab baru dapat mewujudkan pengaruhnya
terhadap penyakit, jika terdapat aksi penyebab komplementer yang menciptakan kondisi
yang mencukupi untuk terjadinya penyakit tersebut. Padahal kondisi yang mencukupi itu
tidak selalu dapat dipenuhi pada setiap situasi. Selain itu, inkonsistensi bisa terjadi karena
adanya “artefak”, baik yang berasal dari fluktuasi acak maupun bias dalam pelaksanaan
riset.
3. Spesifisitas
Makin spesifik efek paparan, makin kuat kesimpulan hubungan kausal. Begitu pula, makin
spesifik “penyebab”, makin kuat kesimpulan hubungan kausal. Namun, kriteria spesifitas
seringkali diekspoitir para simpatisan perokok (dan pecandu rokok) untuk menyanggah
hubungan sebab akibat antara kebiasaan merokok dengan kanker paru. Argumentasi
mereka hubungan merokok dengan kejadian kanker paru tidak spesifik, sebab rokok juga
mengakibatkan penyakit lain. Argumentasi ini sesungguhnya tidak kuat, sebab asap dan
partikulat rokok tembakau terdiri dari puluhan komponen, seperti nikotin, tar, benzipiren,
karbon monoksida, dan lain-lain. Sehingga spesifisitas hubungan harus dianalisis tiap
komponen tersebut. Di lain pihak, kriteria spesifisitas itu sendiri tampaknya tidak memiliki
landasan yang kuat. Pengalaman hidup kita berulang ulang mengajarkan, bahwa satu
peristiwa dapat mengakibatkan berbagai peristiwa lainnya.
4. Kronologi Waktu
Hubungan kausal harus menunjukkan sekuen waktu yang jelas, yaitu paparan faktor
penelitian (anteseden) mendahului kajadian penyakit (konsekuen).
5. Efek Dosis-Respons
Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh perubahan frekwensi penyakit
menguatkan kesimpulan hubungan kausal. Contoh: Apabila risiko terkena kanker paru
meningkat dengan bertambahnya jumlah batang rokok yang dihisap perhari, maka
keyakinan hubungan kausal antara merokok dengan kanker paru makin kuat pula.
Sebaliknya, tidak terpenuhi kriteria dosis respons tidak menyingkirkan kemungkinan
hubungan kausal. Sebab, dikenal konsep nilai ambang dan tingkat saturasi. Selama nilai
ambang atau tingkat saturasi belum dicapai oleh dosis yang diberikan, maka perubahan
dosis tidak akan diikuti perubahan kejadian penyakit.
6. Kredibilitas Biologik Suatu Hipotesis
Keyakinan hubungan kausal antara paparan dan penyakit makin kuat jika ada dukungan
pengetahuan biologik. Tetapi, ketiadaan dukungan pengetahuan biologik tidak dapat
dengan sendirinya dikatakan bukan hubungan non-kasual. Sebab seringkali pengetahuan
biologi yang tersedia “tertinggal”, sehingga tidak dapat menjelaskan hasil pengamatan
suatu riset. Secara umum dapat dikatakan, makin terbatas pengetahuan biologik tentang
hubungan antara paparan dan penyakit, makin kurang aman untuk memutuskan bahwa
hubungan itu non-kasual.
7. Koherensi
Makin koheren dengan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit, makin kuat
keyakinan hubungan kausal antara paparan dan penyakit. Kriteria koherensi menegaskan
pentingnya kriteria konsistensi dan kredibilitas biologik.
8. Bukti Eksperimen
Dukungan temuan riset eksperimental memperkuat kesimpulan hubungan kausal. Blalock
(1971) dan Suser (1973) mengemukakan, bahwa hubungan kausal dapat diyakinkan
melalui bukti-bukti eksperimental, jika perubahan variabel independen (faktor penelitian)
selalu di ikuti oleh perubahan variabel dependen (penyakit). Dalam praktik, pembuktian
eksperimental, seringkali tidak praktis, tidak layak, atau bahkan tidak etis, terutama jika
menyangkut faktor-faktor penelitian yang bersifat merugikan manusia (misalnya, merokok,
paparan bahan-bahan kimia, obat-obat yang di hipotesiskan teratogenik).
9. Analogi
Kriteria analogi kurang kuat untuk mendukung hubungan kasual. Sebab imajinasi para
ilmuan tentu akan banyak mencetuskan gagasan-gagasan analogik, dengan demikian
analogi menjadi tidak spesifik untuk di pakai sebagai dasar dukungan hubungan kausal.
Pada beberapa situasi, kriteria analogi memang bisa dipakai, misalnya: jika sebuah obat
menyebabkan cacat lahir, maka bukan tidak mungkin obat lain yang mempunyai sifat
farmakologi yang serupa akan memberikan akibat yang sama.
Kesembilan kriteria di atas sangat membantu kita dalam menentukan apakah suatu paparan
atau karekteristik merupakan penyebab suatu penyakit. Meski demikian, penerapannya tidak
semudah yang diuraikan. Hill mengingatkan, tidak satupun kriteria diatas bersifat necessary
(mutlak di perlukan) maupun sufficient (mencukupi). Terlalu mengandalkan salah satu kriteria
tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain akan menghasilkan kesimpulan yang keliru.
Namun untuk kriteria keempat, yakni kronologi waktu, tak bisa dibantah merupakan kriteria
yang mutlak di perlukan (sine qua non), karena akibat akan muncul setelah ada penyebab.
Surveilans Epidemiologi
A. Pengertian Surveilans
Surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data
secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang
membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan (WHO).
Surveilans adalah pengamatan terus-menerus terhadap terjadinya penyebaran penyakit
serta kejadian atau kondisi yang memperbesar risiko penyebaran penyakit. Surveilans
adalah suatu proses terus-menerus dan sitematis yang terdiri dari empat kegiatan utama,
yaitu pengumpulan data yang relevan untuk suatu populasi dan wilayah geografi tertentu,
pengolahan data sehingga menjadi suatu susunan yang berarti, analisis (interpretasi) data,
dan penyebarluasan data serta interpretasinya secara teratur kepada mereka yang
menangani program pemberantasan.
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus
terhadap penyakit atau masalahmasalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut,
agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan.
B. Latar Belakang Surveilans
Salah satu unsur dari program pencegahan yang dilaksanakan secara terencana dan
terprogram adalah surveilans epidemiologi. Surveilans epidemiologi merupakan kegiatan
pengamatan secara teratur dan terus-menerus terhadap semua aspek kejadian penyakit dan
kematian akibat penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu
masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangannya. Dengan
demikian data surveilans dapat dipakai baik untuk menentukan prioritas kegiatan kesehatan
masyarakat maupun untuk menilai efektivitas kegiatan. Sehingga, surveilans epidemiologi
penting untuk dilakukan.
C. Tujuan Surveilans
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan
populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan
respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans:
(1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
(2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak;
(3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden)
pada populasi;
(4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,
monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
(5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
(6) Mengidentifikasi kebutuhan riset
D. Jenis Sistem Surveilans
Dikenal beberapa jenis surveilans yakni surveilans individu, surveilans penyakit,
surveilans sindromik, surveilans berbasis laboratorium, surveilans terpadu, dan surveilans
kesehatan masyarakat global.
1. Surveilans Individu (Individual Surveillance)
Surveilans individu bertujuan untuk mendeteksi sekaligus memonitor individu yang
mengalami kontak dengan penyakit serius seperti pes, cacar, TB, tifus, demam kuning.
Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap
kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Karantina merupakan
contoh dari isolasi institusional, yakni membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau
binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama
periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi atau penyebaran penyakit
selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional
pernah digunakan ketika timbul AIDS 1980an dan SARS.
2. Surveilans Penyakit (Disease Surveillance)
Surveilans penyakit bertujuan untuk melakukan pengawasan terus-menerus terhadap
distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis,
konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan
lainnya. Fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu yang
terkena penyakit.
Surveilans penyakit sering dilakukan secara vertikal maupun paralel dengan penyakit
yang lain. Program surveilans penyakit vertikal antara lain surveilans tuberkulosis dan
program surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi
efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps,
karena pemerintah kekurangan biaya. Sementara itu, program surveilans penyakit
vertikal yang berlangsung paralel dengan penyakit lain ternyata menimbulkan
inefisiensi karena menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya
untuk sumberdaya masing-masing, dan memberikan informasi duplikatif.
3. Surveilans Sindromik (Multiple Disease Surveillance)
Syndromic surveillance bertujuan untuk melakukan pengawasan terus-menerus terhadap
sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans
sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun
populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik
mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda,
atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh
konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan
kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip
influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam
surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien
berdasarkan definisi kasus sederhana dan membuat laporan mingguan. Surveilans
tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza,
termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan
dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas
kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas pada lokasi tertentu, disebut surveilans
sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik
untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas.
4. Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit
infeksi. Contohnya penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis.
Penggunaan sebuah laboratorium pusat untuk mendeteksi perkembangbiakan bakteri
tertentu memungkinkan deteksi wabah penyakit dengan lebih segera dan lengkap
daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik.
5. Surveilans Terpadu (Integrated Surveillance)
Surveilans terpadu bertujuan untuk menata dan memadukan semua kegiatan surveilans
di suatu wilayah yurisdiksi (negara/provinsi/kabupaten/kota) sebagai sebuah pelayanan
publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang
sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan
pengendalian penyakit.
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:
(1) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);
(2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
(3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;
(4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (pengumpulan, pelaporan, analisis
data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (pelatihan dan supervisi,
penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya);
(5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun
menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit
yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda.
6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring
yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti,
pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan surveilans
yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada
skala global, baik penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun
penyakit yang baru muncul (new-emerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung,
dan SARS.
E. Penggunaan Surveilans Epidemiologi
Surveilans epidemiologi pada umumnya digunakan untuk :
a. Menentukan dan melengkapi gambaran epidemiologi dari suatu penyakit
b. Menentukan penyait mana yang diprioritaskan untuk diobati atau diberantas
c. Meramalkan terjadinya wabah
d. Menilai dan memantau pelaksanaan program pemberantasan penyakit menular. Serta
program-program kesehatan lainnya seperti program mengatasi kecelakaan, program
kesehatan gigi, dan program gizi; dan
e. Mengetahui jangkauan dari pelayanan kesehatan1
F. Hambatan Surveilans
Dalam pelaksanaan program surveilans epidemiologi, dialami berbagai kendala dan
keterbatasan :
a. Untuk melaksanakan berbagai kegiatan suatu sistem surveilans, dibutuhkan sejumlah
tenaga khusus dengan kegiatan yang cukup intensif
b. Untuk mendapatkan hasil analisis dibutuhkan waktu untuk tabulasi dan analisis data
c. Masih terbatasnya indikator kunci untuk berbagai nilai-nilai tertentu dari hasil analisis
sehingga sering sekali mengalami kesulitan dalam membuat kesimpulan hasil analisis,
umpamanya indicator kunci tentang peran aktif masyarakat, tingkat pengetahuan dan
motivasi masyarakat terhadap kehidupan sehat dan lain-lain
d. Untuk dapat melakukan analisis kecenderungan suatu proses dalam masyarakat
dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk pengumpulan data. Data yang terbatas hanya
satu tahun untuk pengumpulan data. Data yang terbatas hanya satu atau dua tahun saja,
sulit untuk dijadikan patokan dalam membuat analisis kecenderungan
e. Untuk melakukan penilaian terhadap tingkat keberhasilan suatu program, biasanya,
mengalami kesulitan bila dilakukan pada populasi yang jumlahnya kecil, atau bila tidak
ada populasi/kelompok pembanding (kontrol)
f. Sering diperoleh laporan hasil surveilans yang kurang lengkap sehingga sulit membuat
analisis maupun kesimpulan.
Penyelidikan Epidemiologi
A. Pengertian
Penyelidikan Epidemiologi (PE) adalah serangkaian kegiatan untuk mengetahui suatu
kejadian baik sedang berlangsung maupun yang telah terjadi, sifatnya penelitian, melalui
pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan dan analisa data, membuat
kesimpulan dan rekomendasi dalam bentuk laporan.
Penyelidikan Epidemiologis adalah penyelidikan terhadap seluruh penduduk dan makhluk
hidup lainnya, benda dan lingkungan yang diduga ada kaitannya dengan terjadinya wabah
B. Manfaat
Tujuan dari penyelidikan epidemiologi adalah untuk mengidentifikasi masalah,
mengumpulkan data, merumuskan dan uji hipotesis. Ini melibatkan pengumpulan dan
analisis fakta lebih atau data untuk menentukan penyebab penyakit dan untuk menerapkan
langkah-langkah pengendalian untuk mencegah penyakit tambahan
Oleh karena itu, manfaat diadakan penyelidikan epidemiologi ialah dapat mengidentifikasi
masalah terkait dengan kejadian penyakit untuk kemudian dapat mengambil kesimpulan
mengenai kejadian penyakit tersebut sehingga dapat dilakukan pengendalian atau
pencegahan penyakit menjadi lebih parah.
C. Aplikasi PE pada Penyakit Menular
Penyelidikan epidemiologi biasanya dilakukan dalam situasi wabah. Alasan utama untuk
melakukan investigasi epidemiologi adalah:
- Untuk menentukan penyebab dari wabah, dan
- Untuk menerapkan langkah-langkah pengendalian untuk mencegah penyakit tambahan
Tujuan menyelidiki epidemi penyakit menular adalah untuk mengidentifikasi penyebabnya
dan yang terbaik berarti untuk mengontrolnya. Hal ini memerlukan tahpan epidemiologi
yang rinci dan sistematis, dalam langkah-langkah berurutan atau simultan berikut :
- melakukan penyelidikan awal
- mengidentifikasi dan memberitahukan kasus
- mengumpulkan dan menganalisis data
- mengelola dan mengendalikan
- menyebarluaskan temuan dan tindak lanjut
Penyelidikan Epidemiologi pada TB Paru
1. Melakukan survei daerah mana yang terkena infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Mendata siapa saja yang terkena bakteri tersebut
3. Menyelidiki apakah gejala tersebut benar-benar merupakan gejala penyakit TB paru.
Gejala TB paru adalah:
- Batuk lebih dari tiga minggu
- Batuk berdahak
- Sakit di dada selama lebih dari tiga minggu
- Demam selama lebih dari tiga minggu
- Terasa sesak sewaktu bernapas
Jika kejadian tersebut menjangkiti banyak orang, berarti kejadian tersebut merupakan
Kejadian Luar Biasa (KLB).
Pada penyelidikan ini, juga harus dibantu oleh tim ahli medis yang berfungsi untuk
memeriksa apakah orang tersebut benar-benar terkena penyakit TB paru. Selain itu, juga
mengadakan kuisioner tentang kebiasaan warga yang terkena penyakit TB paru.
Pengertian Screening, dasar pemikiran dari screening, Tujuan Screening, sasaran
screening, lokasi screening, validitas/Kriteria dalam menyusun program screening,
Manfaat Screening
Screening / Penyaringan
A. Pengertian
Screening atau penyaringan adalah suatu usaha mendeteksi / menemkan penderita
penyakittertentu yang tanpa gejala (tidak tampak) dalam suatu masyarakat atau kelomok
penduduk tertentu melalui suatu tes / pemeriksaan secara singkat dan sederhana untuk
dapat memisahkan mereka yang betul-betul sehat terhadap mereka yang kemungkinan
besar mendertia, yang selanjutnya diproses melalui diagnosis pasti dan pengobatan.
Penyaringan bukan diagnosis sehingga hasil yang diperoleh betul-betul hanya didasarkan
pada hasil pemeriksaan tes penyaringan tertentu, sedangkan kepastian diagnosis klinis
dilakukan kemudian secara terpisah.
Tes penyaringan merupakan suatu tes yang sederhana dan relative murah yang diterapkan
pada sekelompok populasi tertentu (yang relatif sehat) dan bertujuan untuk mendeteksi
mereka yang mempunyai kemngkinan cukup tinggi menderita penyakit yang sedang
diamati (disease under study) sehingga kepada mereka dapat dilakukan diagnosis lengkap
dan selanjutnya bagi mereka yang menderita penyakit tersebut dapat diberikan pengobatan
secara dini.
B. Tujuan
Tujuan screening secara umm ialah untuk mendeteksi penderita penyakit seii mungkin
sebelum timbul gejala klinis yang jelas. Khusus untuk penyakit menular, dengan
penyaringan dapat dialkukan diagnosis dini sehingga dapat diberikan pengobatan secara
cepat dan dapat pula mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat sehingga dapat
mencegah terjadinya wabah.
Selain itu, melalui screening dapat diperoleh keterangan epidemiologis yang berguna bagi
petugas kesehatan terutama klinisi dan bagi peneliti. Hasil tes dapat pula digunakan untuk
memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang sifat-sifat penyakit tertentu,
sehingga mereka dapat sealu waspada dan secara terus menerus melakukan pengamatan
terhadap setiap gelaja dini yang mencurigakan.
Bagi masyarakat secara umum, tes penyaringan fapat berfungsi untuk mendidik dan
membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri secara teratur dan sedini mungkin.
C. Sasaran
Sasaran dari tes screening biasanya ialah suatu kelompok populasi tertentu, dimana
kelompok ini memiliki risiko tinggi terhadap suatu penyakit. Screening dapat dilakukan
secara massal, selektif, atau random pada kelompok populasi yang mungkin menderita
suatu penyakit tertentu, tetapi tidak memberikan gejala yang nyata / jelas.
Sasaran utama tes skrining adalah penyakit kronis, seperti :
1. Infeksi bakteri (lepra, TBC, dll)
2. Infeksi virus (hepatitis)
3. Penyakit non infeksi (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, karsinoma
serviks, prostat, dan glaucoma)
4. AIDS2
D. Lokasi
Lokasi dilakukan tes penyaringan ialah tempat-tempat yang dicurigai memiliki potensi atau
risiko tinggi terhadap suatu penyakit, misalnya tes skrining batu ginjal di kantor yang
pekerjanya lebih banyak duduk dan sedikit minum. Mengenai lokasi dilakukan tesnya
kondisional, apabila tes penyaringan langsung dilanjutkan dengan tes diagnostik yang
membutuhkan alat yang tidak dapat dibawa kemana-mana, maka dapat dilakukan di rumah
sakit atau fasilitas kesehatan yang memiliki alat tersebut. Namun apabila hanya
penyaringan berdasarkan gejala, maka dapat dilakukan di tempat dimana kelompok
tersebut dapat berkumpul.
Contoh :
1. Skrining di lapangan adalah skrining terhadapt penyakit TBC yang dilakukan dengan
rontgen foto “mobil”
2. Tes skrining di rumah sakit umum. Biasanya dilakukan terhadap penyakit karsinoma
serviks, dengan pap smear pada wanita yang dating ke rumah sakit umum untuk
pemeriksaan kehamilan atau untuk pelayanan keluarga berencana
3. Tes skrining di rumah sakit khusus, misalnya tes glaucoma di rumah sakit mata
4. Tes skrining di pusat pelayanan khusus, misalnya pusat pelayanan kanker dan penyakit
jantung 2
E. Kriteria dalam Menyusun Screening
Untuk dapat menyusun suatu program penyaringan, diharuskan memenuhi beberapa
kriteria atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan suatu tes
penyaringan.
a. Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti dalam
masyarakat dan dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat tersebut.
b. Tersedianya obat potensial dan memungkinkan pengobatan bagi mereka yang
dinyatakan mendertia penyakit yang mengalami tes. Keadaan penyediaan obat dan
keterjangkauan biaya pengobatan dapat mempengaruhi tingkat/kekuatan tes yang
dipilih
c. Tersedianya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang dinyatakan
positif serta tersedianyaa biaya pengobatan bagi mereka yang dinyatakan positif
melalui diagnosis klinis
d. Tes penyaringan terutama ditujukan pada penyakit yang masa latennya cukup lama dan
dapat diketahui melalui pemeriksaan/tes khusus
e. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syarat untuk tingkat sensitivitas dan
spesifitasnya
f. Semua bentuk/teknis dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan harus dapat diterima
oleh masyarakat secara umum.
g. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui dengan pasti
h. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka yang
dinyatakan menderita penyakit tersebut
i. Biaya yang digunakan dalam melaksanakan tes penyaringan sampai pada titik akhir
pemeriksaan harus seimbang dengan risiko biaya bila tanpa melakukan tes tersebut
j. Harus dimungkinkan untuk diadakan pemantauan (follow up) terhadap penyakit
tersebut serta penemuan penderita secara berkesinambungan dapat dilaksanakan.
Kemampuan daripada tes penyaringan untuk memisahkan mereka yang betul-betul
menderita terhadap mereka yang betul-betul sehat atau dengan kata lain besarnya
kemungkinan untuk menempatkan setiap individu pada keadaan yang sebenarnya
dinamakan validitas. Validitas ditentukan dengan melakukan pemeriksaan di luar tes
penyaringan untuk diagnosis pasti, dengan ketentuan bahwa biaya dan waktu yang
digunakan pada setiap pemeriksaan diagnostic lebih besar daripada yang dibutuhkan pada
penyaringan. Ada dua komponen yang menentukan tingkat validitas yakni nilai sensitivitas
(kemampuan dari suatu tes penyaringan yang secara benar menempatkan mereka yang
betul-betul menderita pada kelompok penderita) dan nilai spesifisitas (kemampuan
daripada tes tersebut yang secara benar menempatkan mereka yang betul-betul tidak
menderita pada kelompok sehat.
Besarnya nilai kedua parameter tersebut tentunya ditentukan dengan alat diagnostik di luar
tes penyaringan. Kedua nilai tersebut saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya,
yakni bila nilai sensitivitas meningkat maka nilai spesifisitas akan menurun dan
sebaliknya. Untuk menentukan batas standar yang digunakan pada tes penyaringan, harus
ditentukan tujuan penyaringan apakah mengutamakan semua yang dicurigai menderita
dapat terjaring, termasuk yang tidak menderita, ataukah mengarah ke memilih hanya
mereka yang betul-betul sehat.
Untuk kepentingan validitas diperlukan beberapa perhitungan tersebut :
a. Positif sebenarnya, yaitu mereka yang oleh tes penyaringan dinyatakan menderita dan
yang kemundian didukung oleh diagnosis klinis yang positif
b. Positif palsu yaitu mereka yang oleh tes penyaringan dinyatakan menderita, tetapi pada
diagnosis klinis dinyatakan sehat/negatif
c. Negatif sebenarnya yaitu mereka yang pada penyaringan dinyatakan sehat dan pada
diagnosis klinis ternyata betul sehat
d. Negatif palsu yaitu mereka yang pada tes penyaringan dinyatakan sehat, tetapi oleh
diagnosis klinis ternyata menderita
Untuk menetapkan besarnya nilai sensitivitas dan spesifisits suatu tes, harus
dipertimbangkan beberapa hal tertentu
- Risiko adanya kasus yang tidak terjaring/lolos dari seleksi karena menilak
diperiksa/tidak ikut berpartisipasi
- Besarnya biaya diagnosis klinis untuk menentukan penderita secara klinis terutama
pada mereka dengan positif palsu
- Frekuensi penyatingan artinya kemungkingan pada penyaringan berikutnya akan
mengambil kasus yang tidak terjaring pada saat ini
- Besarnya prevalensi penyak dalam masyarakat yang menjadi sasaran tes
F. Manfaat
Dari uraian di atas, maka dapat diulas lagi bahwa manfaat dilakukan tes penyaringan ialah
dapat melakukan deteksi dini terhadap timbulnya penyakit. Dengan biaya yang reltif murah
dan dapat dilakukan secara efektif, maka tes ini juga dapat membantu untuk memperoleh
keterangan lebih cepat tentang sifat dan situasi penyakit dalam masyarakat untuk usaha
penanggulangannya.
Sumber :
No Penyakit No Penyakit
1. Kolera 11. Antraks
2. Pes 12. Leptospirosis
3. Demam Berdarah Dengue 13. Hepartitis
4. Campak 14. Influenza A baru ( H1N1)
5. Polio 15. Meningitis
6. Difteri 16. Yellow Fever
7. Pertusis 17. Chikungunya
8. Rabies
9. Malaria
10. Avian influenza (H5N1)
1. Wabah dengan penyebaran melalui media umum (common vehicle epidemics), yaitu :
a. Ingesti bersama makanan atau minuman, misalnya Salmonellosis
b. Inhalasi bersama udara pernapasan, misalnya demam Q (di laboratorium)
c. Inokulasi melalui intravena atau subkutan, misalnya hepatitis serum
2. Wabah dengan penjalaran oleh transfer serial dari pejamu ke pejamu (epidemics
propagated by serial transfer from host to host), yaitu :
a. Penjalaran melalui rute pernapasan (campak), rute anal-oral (Shigellosis), rute
genitalia (sifilis), dan sebagainya.
b. Penjalaran melalui debu
c. Penjalaran melalui vector (serangga dan artopoda) 1
Transisi Epidemiologi
A. Pengertian
Transisi berarti perubahan, dan epidemiologi ialah berkenaan dengan penyakit. Maka
transisi epidemiologi dapat diartikan sebagai pergrseran atau perubahan pola penyakit dan
pola sebab kematian dalam masyarakat dengan menurunnya angka penyakit menular
tertentu dan meningkatnya angka berbagai penyakit tidak menular, yang diakibatkan
karena faktor-faktor tertentu.
B. Latar Belakang
Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan
dan pola penyakit utama penyebab kematian dimana terjadi penurunan prevalensi penyakit
infeksi (penyakit menular), sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru
semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan berubahnya gaya hidup, sosial ekonomi
dan meningkatnya umur harapan hidup yang berarti meningkatnya pola risiko timbulnya
penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan lain
sebagainya.
C. Jenis Transisi Epidemiologi
1. Transisi Demografi
Teori transisi demografi, yaitu teori yang menerangkan perubahan penduduk dari
tingkat pertumbuhan yang stabil tinggi (tingkat kelahiran dan kematian tinggi) ke
tingkat pertumbuhan rendah (tingkat kelahiran dan kematian rendah). Teori ini
didasarkan pada pengalaman negara Eropa pada abad 19.
Transisi demografi dibagi menjadi empat tahap:
I. Pada transisi pertama dimana tingkat kelahiran dan tingkat kematian masih sama-
sama tinggi, sedangkan angka perumbuhan penduduk sangat rendah. Reproduksi
atau kelahiran tidak terkendali. Kematian bervariasi setiap tahunnya. Panen yang
gagal, harga yang tinggi menyebabkan kelaparan dan daya tahan tubuh terhadap
penyakit yang sangat lemah. Ditambah lagi dengan meluasnya penyakit menular,
menyebabkan angka kematian tinggi.
II. Pada transisi ke dua dimana tingkat kematian menurun akibat diperbesarnya
anggaran kesehatan dan juga mulai adanya penemuan obat-obatan yang makin
maju. Sementara itu angka kelahiran tetap pada tingkat yang tinggi.
Mengakibatkan tingkat pertumbuhan meningkat dengan pesatnya.
III. Pada transisi ke tiga, dimana tingkat kematian terus menurun tetapi tidak secepat
pada tahap II. Tingkat kelahiran mulai menurun akibat urbanisasi, pendidikan dan
peralatan kontrasepsi yang makin maju.
IV. Pada tingkat ini kelahiran dan kematian mencapai tingkat yang rendah dan
pertumbuhan penduduk kembali lagi seperti pada kategori pertama yaitu
mendekati nol.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23173/4/Chapter%20II.pdf
2. Transisi Ekonomi dan Sosial
Pembangunan nasional yang mengarahkan Indonesia menjadi salah satu New
Industrial Country dengan dukungan pertanian yang cukup tangguh akan
meningkatkan pendapatan penduduk dan akan mendorong terjadinya “transisi
ekonomi”, yang di sisi lain menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran
lingkungn. Terlebih dibarengi dengan peningkatan system komunikasi, arus informasi,
dan sarana transportasi yang semakin bertambah, akan mempengaruhi pola hidup
masyarakat dan akan mendorong terjadinya “transisi sosial budaya” atau “transisi
kultural” dalam masyarakat.
Berkembangnya ekonomi pedesaan menjadi ekonomi industri akan mengakibatkan
penurunan risiko penyakit menular karena sanitasi yang lebih baik, namun dapat
memunculkan penyakit yang baru, misalnya kecelakaan, dampak kesehatan akibat
paparan bahan kimia (pestisida). Kemudian masalah kekurangan gizi dapat berkurang
dan bertolak menjadi kelebihan gizi karena konsumsi makanan yang beranekaragam
namun tidak teratur.
Perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi aspek nilai sosial dalam masyarakat.
Dengan modernisasi, maka dapat terjadi kesenjangan antara si kaya dan miskin, sikap
individualistis yang makin meningkat, dan kurangnya sosialisasi dalam lingkup
masyarakat. Arus globalisasi yang tidak dapat dikendalikan oleh individu juga dapat
menjadikannya bersifat konsumerisme dan merasa tidak puas dengan apa-apa yang
telah dimiliki dan didapatkan. Hal tersebut pula dapat memicu terjadinya kejahatan-
kejahatan sosial, kejahatan seks.
Globalisasi dan sikap individualistik pun menjadikan peranan lembaga adat dan agama
juga berbagai bentuk kehidupan tradisional berkurang, karena banyak individu yang
ingin berjalan sendiri tanpa aturan dan tanpa kekangan.
3. Transisi Lingkungan
Dengan perkembangan industri maka lingkungan pun merasakan dampaknya. Seperti
keseimbangan alam menjadi berkurang karena pencemaran lingkungan juga
pencemaran budaya dan kehidupan sosial. Kepadatan penduduk dan kesadaran individu
akan kebersihan berkurang karena sikap individualistiknya, dapat menimbulkan
masalah kesehatan yang baru.
Transisi lingkungan yang saat ini terjadi ialah pada awal periode pembangunan.
Dimana secara bertahap memasuki masa industrialisasi awal, sehingga terjadi
urbanisasi besar-besaran namun di perkotan belum siap sepenuhnya untuk menampung
perpindahan penduduk yang besar. Sehingga muncul kasus baru seperti lingkungan
kumuh, terjadi kemacetan, polusi udara, pengangguran, dan kriminalitas.
4. Transisi Epidemiologi
Dengan bertolak dari aspek mortalitas dalam transisi dmeografi, Omran
mengemukanan bahwa dengan perkembangan keadaan sosial ekonomi serta kemajuan
teknologi kedokteran tidak hanya menimbulkan transisi angka kematian yang menurun,
tetapi juga disertai dengan pergeseran sebab kematian dan pola penyakit dalam
masyarakat. Pergeseran ini terjadi melalui tahap-tahap tertentu.
Tahap pertama “the era of festilence and famine” dengan angka harapan hidup yang
sangat rendah. Sebab kematian terutama karena kelaparan, berbagai wabah penyekit
infeksi serta sebab yang berhubungan dengan proses reproduksi.
Tahap kedua “the era of receding pandemics” yang ditandai dngan menurunnya
peristiwa pandemic disertai angka kematian yang terus menurun, peristiwa epidemi
makin jarang dan tidak bersifat fatal. Pada tahap ini angka harapan hidup meningkat,
walaupun pola penyakit masih didominasi oleh penyakit infeksi dan kurang gizi.
Tahap ketiga “the era of degenerative and manmade disease” yang ditandai dengan
semakin meningkatnya berbagai penyakit dan gangguang kardiovaskular, kanker,
diabetes serta berbagai penyakit degenereatif lainnya. Pada tahap ini, umur harapan
hidup mencapai puncaknya diserta dengan angka kematian mencapai kondisi stabil
pada tingkat rendah. Penyakit degenerative dan berbagai penyakit akibat ulah manusia
seperti kanker, penyakit jantung, dan AIDS akan menrupakan sebab kematian utama.
Daftar Pustaka
Amiruddin, Ridwan, dkk. 2011. Modul Epidemiologi Dasar. FKM UNHAS dalam
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/868/Modul%20Prinsip
%20Epidemiologi.pdf diakses pada 14 Juni 2015
Amiruddin, Ridwan. 2013. Surveilans Kesehatan Masyarakat [Cet.II]. Bogor : IPB Press
Budiarto, Eko, Dewi Anggraeni. 2002. Pengantar Epidemiologi Ed.2. Jakarta : EGC
Hardjidisastro, Daldiyono. 2006. Menuju Seni Ilmu Kedoteran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Rajab, Wahyudin. 2008. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC