Anda di halaman 1dari 105

PENGEMBANGAN MEDIA

DAN ALAT PERAGA


Konsep & Aplikasi dalam Pembelajaran IPA

Novi Ratna Dewi, dkk

Penerbit Pustaka Rumah C1nta


Pengembangan Media dan Alat Peraga:
Konsep & Aplikasi dalam Pembelajaran IPA

©2021

Novi Ratna Dewi, Arka Yanitama, Prasetyo Listiaji,


Isa Akhlis, Risa Dwita Hardianti, Ismail Okta Kurniawan

ANGGOTA IKAPI: 203/JTE/2020

Penerbit Pustaka Rumah C1nta


Alamat: Perum Ndalem Ageng C1,
Sawitan, Kota Mungkid, Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah, 56511.

Website: pustakarumahc1nta.org;
pustakarumahc1nta@gmail.com;
Instagram: @pustakarumahc1nta

Proofreader: Dicki Agus Nugroho


Tata Letak: Dicki Agus Nugroho
ISBN: 978-623-6140-26-0
Cetak, 2021
ISBN: 978-623-6140-25-3 [PDF]
Versi Elektronik, 2021
Deskripsi Fisik: vii; 94 hlm.; 15,5x23 cm.
Cover: Dizyi Orlando Putra dan freepik.com
Bahasa: Indonesia

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
isi seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii | Pengembangan Media dan Alat Peraga


Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)

Unduh dan baca buku ini di Iphone/iPad/Android/Browser


dengan aplikasi Google Play Books.
Usulkanlah EBook ini untuk dikoleksi di perpustakaan digital/E-Library
Perpustakaan Perguruan Tinggi dan Perpustakaan Sekolah serta Perpustakaan
Daerah terdekat Anda yang telah bekerjasama dengan kubuku.co.id atau
aksaramaya.com.
Penerbit Pustaka Rumah C1nta mengajak kita semua untuk menerbitkan Buku &
EBook. Kami distribusikan melalui kubuku.co.id dan (moco) aksaramaya.com serta
Google Play Books.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan
kepada Allah SWT yang telah memberi kesempatan kepada
penulis untuk menyelesaikan buku yang berjudul
Pengembangan Media dan Alat Peraga IPA.

Buku ini diharapkan bisa digunakan sebagai


pendamping mata kuliah dan juga untuk memenuhi
kebutuhan peserta didik yang ingin belajar di bidang
Pengembangan Media dan Alat Peraga Ilmu Pengetahuan
Alam serta keterampilan berpikir komputasi (computational
thinking). Buku ini berisi materi mengenai penjelasan media
dan alat peraga IPA, peran, fungsi, aspek kelayakan, hingga
aplikasinya seperti pembuatan insektarium dan herbarium,
pembuatan powerpoint interaktif, serta media digital Scratch.
Besar harapan kami agar buku ini dapat bermanfaat bagi
sesama.

Semarang, 15 Juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI
1. Media dan Alat Peraga IPA.............................................................1

1.1. Pendahuluan................................................................................ 1

1.2. Definisi Media.........................................................................4

1.3. Alat Peraga...............................................................................5

1.4. Alat Peraga IPA.......................................................................6

1.5. Soal-soal......................................................................................... 9

2. Peran Media dan Alat Peraga IPA..............................................11

2.1. Pendahuluan.............................................................................. 11

2.2. Aspek Kelayakan Alat Peraga IPA...............................18

2.3. Klasifikasi Media dan Alat Peraga................................21

2.3.1.Klasifikasi media pembelajaran menurut


Azhar Arshad (2010)....................................................22

2.3.2.Klasifikasi media pembelajaran menurut


Rudy Bretz (1971)..........................................................22

2.3.3.Klasifikasi media pembelajaran menurut


Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2010)..............23

2.3.4.Klasifikasi media pembelajaran menurut Soeparno


(1988)...........................................................................................24
2.3.5.Klasifikasi media pembelajaran menurut
Edgar Dale (1969)..........................................................25

2.4. Soal-soal...................................................................................... 28

3. Powerpoint Interaktif.........................................................................29

3.1. Pendahuluan.............................................................................. 29

3.2. Powerpoint sebagai Media Pembelajaran...................30

3.3. Powerpoint Interaktif............................................................31

3.4. Soal-Soal...................................................................................... 37

4. Insektarium dan Herbarium...........................................................39

4.1. Pendahuluan.............................................................................. 39

4.2. Sejarah Insektarium...............................................................40

4.3. Pembuatan Insektarium.......................................................41

4.3.1.Insektarium kering........................................................42

4.3.2.Insektarium basah..........................................................45

4.4. Sejarah Herbarium.................................................................49

4.5. Pembuatan Herbarium.........................................................51

4.6. Soal-Soal...................................................................................... 54

5. Scratch........................................................................................................ 55

5.1. Pendahuluan.............................................................................. 55
5.2. Instalasi Scratch.......................................................................56

5.3. Menjalankan Scratch..............................................................57

5.4. Tutorial Scratch........................................................................ 62

5.5. Soal-Soal...................................................................................... 64

6. Computational Thinking................................................................65

6.1. Pendahuluan.............................................................................. 65

6.2. Elemen Computational Thinking..................................66

6.3. Scratch untuk Pengembangan Computational


Thinking................................................................................... 68

6.4. Soal-soal...................................................................................... 70

7. Proyek Sederhana Menggunakan Scratch................................71

7.1. Pendahuluan.............................................................................. 71

7.2. Digital Storytelling..................................................................71

7.3. Games....................................................................................... 75

7.4. Simulasi....................................................................................... 77

7.5. Soal-Soal...................................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................83
viii | Pengembangan Media dan Alat
Peraga
BAB 1

MEDIA DAN ALAT PERAGA IPA


1.1. Pendahuluan

Istilah media berasal dari kata “medium” yang berarti


perantara. Media juga menjadi jembatan yang
menghubungkan sesuatu yang kita fikirkan di kepala,
kemudian kita sampaikan dengan kata-kata atau dengan
gestur yang bertujuan agar orang lain paham apa yang kita
sampaikan. Media juga sangat berkaitan dengan komunikasi.
Dalam proses pembelajaran, komunikasi antara guru dengan
siswa, guru dengan guru, atau antara siswa dengan siswa
pasti terjadi. Kegiatan belajar mengajar sendiri merupakan
proses komunikasi antara guru dan siswa. Dalam proses
belajar mengajar, komunikator menyampaikan pesan kepada
komunikan. Agar pesan yang disampaikan (berupa
pengalaman, pengetahuan, atau gagasan) dapat diterima,
dipahami, dan dipelajari dengan baik oleh komunikan, maka
komunikator harus memikirkan cara-cara komunikasi yang
efektif sehingga tidak menimbulkan miskonsepsi yang
nantinya dapat menimbulkan masalah.
Proses pembelajaran mengandung lima komponen
komunikasi:

1. Guru (komunikator),
2. Bahan pembelajaran,
3. Media pembelajaran,
4. Siswa (komunikan), dan
5. Tujuan pembelajaran.

Jadi, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang


dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan
pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian, minat,
pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk
mencapai tujuan belajar. Pada kerucut pengalaman yang tersaji
di Gambar 1, dapat dilihat bahwa ketika manusia belajar,
membaca, mendengar, dan melihat gambar hanya akan
mengingatkan kita pada materi sekitar 30% saja. Semakin ke
bawah, kegiatan yang dilakukan memerlukan media atau alat
peraga yang lebih banyak seperti bermain peran, melakukan
simulasi, dan demonstrasi. Jika kita ambil contoh dalam
melakukan simulasi, maka diperlukan benda-benda yang
menyerupai atau memiliki peran dan fungsi yang sama dengan
teori yang diajarkan. Mengapa manusia bisa melihat? Proses
yang terjadi mungkin dapat dijelaskan dengan teori saja,

2 | Pengembangan Media dan Alat Peraga


namun peserta didik akan mudah lupa atau menyebabkan
kesalahan konsep. Dengan cara simulasi, pendidik bisa
mengajarkan dasar bahwa cahaya memiliki sifat sebagai
partikel maupun gelombang, kemudian dibuatlah simulasi
sederhana bagaimana sifat-sifat cahaya ketika melewati
medium dengan kerapatan yang berbeda, bagaimana cahaya
matahari sampai ke bumi, sinar istimewa, model 3 dimensi
mengenai bagian mata.

Dari alat peraga tersebut, kemudian pendidik bisa


mengajak peserta didiknya untuk ikut andil, misalnya
melakukan percobaan optik pada lensa cembung/cekung.
Kemudian menunjukkan bagian-bagian mata manusia
dimana terdapat lensa mata yang dapat memfokuskan
bayangan yang jatuh di retina. Hal ini akan menjadi lebih
konkret dan peserta didik akan lebih paham karena ternyata
sains itu terjadi di sekitar kita dan dapat dijelaskan dengan
teori-teori yang sudah dibuktikan ilmuwan-ilmuwan
sebelumnya.

Mata pelajaran IPA dikenal sebagai mata pelajaran yang


awalnya menyenangkan ketika kita masih di bangku SD, lama
kelamaan ketika SMA sudah terpecah menjadi fisika, kimia,
dan biologi sering menjadi mata kuliah yang paling sulit dan
membosankan bagi siswa. Padahal, materi yang dipelajari
tetap sama, hanya tingkat kedalamannya yang berbeda. Sejak
SD kita sudah dikenalkan dengan Gravitasi, yaitu suatu hal
yang menyebabkan benda jatuh. Ketika SMP, ilmu mengenai
Gravitasi diperdalam dengan pembahasan mengenai Gaya.
Sampai di SMA, pembahasan Gravitasi menjadi cukup rumit
karena membahas juga teori dan perhitungan yang sulit
dibayangkan. Atas dasar sesuatu yang abstrak ini, media
pembelajaran dalam IPA menjadi sesuai hal yang sangat
penting karena berperan untuk memvisualisasikan hal-hal
yang sulit dibayangkan oleh siswa.

1.2. Definisi Media

Menurut Briggs (1977), definisi media adalah sarana fisik


pembelajaran untuk menyampaikan materi atau konten
pembelajaran seperti buku, lagu, audio, video dan sebagainya.
Sedangkan, menurut National Education Associaton (1969)
menyampaikan bahwa media pembelajaran adalah sarana
komunikasi di media cetak atau media suara, termasuk
teknologi perangkat keras. Edgar Dale pada 1969 telah
membuat pemikiran dan dibuat dalam bentuk “kerucut
pengalaman” (Gambar 1) dimana dalam kerucut tersebut
secara tidak langsung menyampaikan pentingnya media
sebagai alat komunikasi dan belajar. Masih banyak definisi-
definisi lain yang semuanya sudah disesuaikan dengan
konteks masing-masing.

Gambar 1. Kerucut Pengalaman dalam Pembelajaran


(Sumber: bagusdwiradyan.wordpress.com)

1.3. Alat Peraga

Alat peraga sendiri merupakan bagian dari media


pembelajaran. Beberapa definisi dari alat peraga di
antaranya:

1. Alat peraga merupakan komponen sumber belajar


di lingkungan peserta didik yang dapat merangsang
peserta didik untuk belajar. (Gagne, 1975)
2. Wahana fisik yang mengandung materi
pembelajaran. (Briggs, 1977)
3. Alat peraga adalah suatu teknik untuk
menyampaikan pesan sehingga sehingga alat peraga
sebagai teknologi pembawa informasi atau pesan
pembelajaran. (Schramm, 1977)

1.4. Alat Peraga IPA

Dalam pembelajaran IPA (science teaching), alat peraga


menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan karena terdapat
banyak hal-hal abstrak yang mudah menimbulkan
miskonsepsi jika hanya dijelaskan menggunakan teori atau
gambar statis saja. Pendidik sebagai orang yang
menyampaikan materi IPA membutuhkan alat peraga untuk
membantu menyampaikan materi agar lebih mudah
dipahami oleh peserta didik.

Alat peraga dan Kit IPA dapat meningkatkan


kemampuan afektif dan psikomotorik peserta didik karena
peserta didik akan belajar dalam wujud yang konkret, melalui
benda yang dapat dilihat, dipegang, dirangkai, atau
dimodifikasi wujudnya. Keberadaan alat peraga dan Kit IPA
di sarana pendidikan sudah menjadi kewajiban yang harus
dipenuhi oleh instansi. Namun, tidak sedikit juga yang
ternyata belum menyediakaannya. Seiring perkembangan
waktu, calon guru/pendidik yang mengambil perkuliahan di
bidang pendidikan mendapatkan ilmu untuk selalu kreatif
dalam pengadaan alat peraga sendiri. Guru/pendidik dapat
menciptakan atau membuat suasana pembelajaran yang seru
agar peserta didik merasa senang dan tertarik mengikuti
pembelajaran dengan cara memanfaatkan teknik-teknik
mengajar menggunakan bantuan berbagai media dan alat
peraga yang ada. Alat peraga dapat dibuat dengan bahan-
bahan yang ada di sekitar yang tidak memerlukan biaya
cukup besar namun dengan ilmu yang dimiliki pendidik maka
alat peraga yang dibuat sendiri tetap bisa berguna dalam
pembelajaran. Selain itu, peserta didik juga dapat dilibatkan
dalam pembuatan alat peraga IPA sehingga mereka akan
mengetahui secara konkret proses pembuatan hingga
fungsinya.

Pada pembelajaran abad-21 juga menekankan mengenai


empat kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik yaitu
conceptual understanding, critical thinking, creative thinking, dan
collaboration and communication. Sejalan dengan hal tesebut,
maka pengetahuan peserta didik tidak sekadar paham
mengenai teori dan dapat menyelesaikan ujian dengan baik.
Namun bagaimana peserta didik dapat memahami konsep
sains yang ternyata berkaitan dengan hal-hal di sekitar kita.
Pemahaman konsep (conceptual understanding) tentang sains
menjadi indikator keberhasilan belajar IPA. Terdapat
hubungan antara pemahaman konsep dan miskonsepsi,
pemahaman konsep pada pembelajaran IPA berupa
penguasaan terhadap konsep yang sesuai dengan
kesepakatan para ilmuwan, tidak menyimpang, dan tidak
menimbulkan hipotesis lain yang dapat menyebabkan konflik
kognitif. Salah satu upaya agar tidak terjadi miskonsepsi
sejak dini adalah dengan menerapkan penggunaan alat
peraga dalam model pembelajaran yang dipakai oleh
pendidik. Beberapa contoh alat peraga yang umum
digunakan di Indonesia di antaranya Kit IPA, poster, dan alat
peraga Torso.

Gambar 2. Alat Peraga Organ Tubuh Manusia (foto: kevin-kandlbinder)


Gambar 3. Contoh Kit IPA (sumber: www.tokopedia.com)

1.5. Soal-soal

1. Analisislah beberapa jenis media yang pernah Anda


temui di sekolah dan berikan penjelasan mengenai
fungsinya!
2. Berdasarkan kerucut pengalaman, rangkumlah
pengalaman menggunakan media yang pernah Anda
atau guru Anda pakai!
3. Buatlah analisis perbandingan sebuah pengajaran
yang menggunakan media pembelajaran dan tidak!
4. Rancanglah sebuah proses pembelajaran
menggunakan media yang menurut Anda paling
efektif!
5. Simpulkanlah pengalaman Anda menggunakan
salah satu media yang menurut Anda paling baik
yang pernah Anda pakai!
BAB 2

PERAN MEDIA DAN


ALAT PERAGA IPA
2.1. Pendahuluan

Media dan alat peraga menjadi suatu hal yang sudah


tidak bisa dipisahkan dengan kegiatan belajar mengajar. Hal
tersebut menjadikan proses belajar mengajar selalu dinamis
dan bergerak mengikuti zaman. Salah satu hal yang
mendasari media pembelajaran adalah penggunaan
teknologi-teknologi yang juga berubah sangat cepat. Dengan
demikian, media pendidikan mempunyai beberapa nilai
praktis atau dapat berfungsi sebagai berikut:

1. Media pendidikan dapat mengatasi perbedaan


pengalaman pribadi murid. Misalnya peserta didik
berasal dari golongan mampu memiliki pengalaman
sehari-harinya berbeda dengan golongan kurang
mampu. Perbedaan ini dapat ditanggulangi dengan
mempertontonkan film, gambar, tv dan sebagainya.
2. Media pendidikan dapat mengatasi batas-batas
ruang kelas. Misalnya benda yang diajarkan terlalu
besar atau berat bila di bawa ke ruang kelas untuk
diamati secara langsung. Maka dapat ditanggulangi
dengan film, gambar slide, film strip dan sebagainya.
3. Media pendidikan dapat mengatasi keterbatasan
karena jarak. Apabila secara langsung tidak dapat
diamati karena terlalu kecil seperti molekul, sel atau
atom maka dapat diatasi dengan model, gambar dan
sebagainya.
4. Media pendidikan dapat mengatasi masalah
keterbatasan waktu. Apabila secara langsung
gerakan benda sulit atau tidak dapat diamati karena
terlalu lambat atau terlalu cepat, sedangkan gerakan
itu menjadi pusat perhatian peserta didik maka dapat
digunakan film strip dan sebagainya.
5. Media pendidikan dapat digunakan untuk
memperlihatkan hal-hal atau peristiwa yang tidak
dapat diulang kembali atau telah terjadi di masa
lampau. Seperti peristiwa bencana alam, tiupan angin
dan sebagainya maka dapat digunakan film, film
strip, slide dan sebagainya.
6. Media pendidikan memungkinkan adanya kontak
langsung dengan masyarakat atau dengan alam atau
lingkungannya. Misalnya dengan mengunjungi
suatu tempat.
7. Media pendidikan memberikan kesamaan dalam
pengamatan terhadap sesuatu objek.
8. Media pendidikan dapat membangkitkan minat dan
motivasi belajar.

Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang


sangat penting adalah metode mengajar dan media
pengajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah
satu metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis
media pengajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai
aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media,
antara lain tujuan pengajaran, jenis tugas dan respon yang
diharapkan siswa kuasai setelah pengajaran berlangsung, dan
konteks pembelajaran termasuk karakteristik siswa.

Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu


fungsi utama media pengajaran adalah sebagai alat bantu
mengajar yang turut mempengaruhi suasana, kondisi, dan
lingkungan belajar yang diciptakan oleh guru.

Levie dan Lentz (1982) menyatakan empat fungsi media


pengajaran, khususnya media visual yaitu:
1. Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu
menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk
berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan
dengan makna visual yang ditampilkan atau
menyertai teks materi pelajaran. Sering kali pada
awal pelajaran, siswa tidak tertarik dengan materi
pelajaran yang tidak disenangi oleh mereka
sehingga mereka tidak memperhatikan.
2. Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari
tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau
membaca) teks yang bergambar. Gambar atau
lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap
siswa misalnya informasi yang menyangkut masalah
sosial atau ras.
3. Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-
temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa
lambang visual atau gambar memperlancar
pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat
informasi atau pesan yang terkandung dalam
gambar.
4. Fungsi kompensatoris media pengajaran terlihat
dari hasil penelitian bahwa media visual yang
memberikan konteks untuk memahami teks
membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk
mengorganisasikan informasi dalam teks dan
mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat
dalam menerima dan memahami isi pelajaran yang
disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.

Secara umum, manfaat media dalam proses pembelajaran


adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa
sehingga pembelajaran akan lebih efektif dan efisien. Tetapi
secara lebih khusus ada beberapa manfaat media yang lebih
rinci, Kemp dan Dayton (1985) misalnya, mengidentifikasi
beberapa manfaat media dalam pembelajaran yaitu:

1. Penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan.


2. Proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik.
3. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif.
4. Efisiensi dalam waktu dan tenaga.
5. Meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
6. Media memungkinkan proses belajar dapat
dilakukan dimana saja dan kapan saja.
7. Media dapat menumbuhkan sikap positif siswa
terhadap materi dan proses belajar.
8. Merubah peran guru ke arah yang lebih positif dan
produktif.
Selain beberapa manfaat media seperti yang
dikemukakan oleh Kemp dan Dayton tersebut, tentu saja kita
masih dapat menemukan banyak manfaat-manfaat praktis
yang lain. Manfaat praktis media pembelajaran di dalam
proses belajar mengajar sebagai berikut:

1. Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian


pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar
dan meningkatkan proses dan hasil belajar.
2. Media pembelajaran dapat meningkatkan dan
mengarahkan perhatian anak sehingga dapat
menimbulkan motivasi belajar, interaksi yang lebih
langsung antara siswa dan lingkungannya, dan
kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-sendiri
sesuai dengan kemampuan dan minatnya.
3. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan
indera, ruang, dan waktu.
4. Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan
pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-
peristiwa di lingkungan mereka, serta
memungkinkan terjadinya interaksi langsung
dengan guru, masyarakat, dan lingkungannya.
Misalnya melalui karya wisata, kunjungan-
kunjungan ke museum atau kebun binatang.

Dari uraian pendapat-pendapat di atas, jelas peran


media sangat penting, maka dalam pendidikan perlu
dilengkapi dengan media dan tidak hanya sekadar ceramah
saja. Pembelajaran akan lebih efektif dan efesien bila
pembelajaran disampaikan dengan media selain itu materi
ajar akan lebih tertunjang dengan dibantu media
pembelajaran tersebut.

Gambar 4. Diagram Media Sebagai Pembawa Pesan

Media memiliki fungsi sebagai pembawa informasi dari


sumber (pendidik) menuju penerima (peserta didik).
Sedangkan metode adalah prosedur untuk membantu peserta
didik dalam menerima dan mengolah informasi guna
mencapai tujuan pembelajaran.
2.2. Aspek Kelayakan Alat Peraga IPA

Dalam pengembangan Media dan Alat Peraga, ada


beberapa aspek kelayakan yang mendukung layak atau
tidaknya suatu alat peraga. Secara garis besar aspek
kelayakan ini dibagi menjadi dua berdasarkan fungsinya
yaitu aspek pedagogik dan konseptual, dan aspek fisik. Pada
aspek pedagogik dan konseptual terdiri dari 10 aspek yaitu:

1. Aspek urgensi: pentingnya alat peraga dalam


membantu pembelajaran tentang konsep/ide
matematika yang dituju dibanding bila tidak
menggunakan alat peraga apapun.
2. Aspek akurasi konsep: keakuratan konsep yang
dideskripsikan atau dihasilkan dari peragaan alat
peraga tersebut.
3. Aspek pemahaman konsep: kemudahan dan
kejelasan dari siswa untuk menangkap
konsep/gagasan matematika yang dituju dari
peragaan.
4. Aspek ketertarikan ide: daya tarik alat peraga
tersebut dalam membangkitkan minat siswa
terhadap pembelajaran konsep/ide.
5. Aspek variabilitas: tingkat variabilitas penggunaan
alat peraga dari segi variabilitas konsep/ide.
6. Aspek dasar abstraksi: ketepatan landasan/pijakan
yang digunakan oleh alat peraga untuk kegiatan
abstraksi.
7. Aspek berpikir refleksi: rangsangan yang dapat
diberikan alat peraga kepada siswa untuk
melakukan kegiatan refleksi.
8. Aspek inkuiri: kemungkinan siswa menemukan
konsep dengan bantuan alat peraga.
9. Aspek signifikansi konsep: pentingnya konsep/ide
yang muncul dari alat peraga tersebut.
10. Aspek keterpaduan: kemungkinan siswa melakukan
kegiatan ketrampilan yang terpadu (berpikir,
berbicara, bergerak) dengan alat peraga tersebut.

Sedangkan pada aspek fisik yaitu:

1) Aspek ketahanan fisik: kekuatan (tidak mudah


patah, lepas, atau berubah bentuk/hancur) ketika
digunakan.
2) Aspek miskonsepsi fisik: kesalahan konseptual
yang mungkin muncul dari ukuran atau warna alat
peraga tersebut.
3) Aspek ketertarikan fisik: daya tarik fisik alat peraga
bagi siswa untuk mencobanya.
4) Aspek keakuratan fisik: kualitas desain
(presisi/keakuratan bentuk, ukuran, jumlah) alat
peraga berdasarkan konsep yang dituju.
5) Aspek kemudahan operasi: kesederhanaan
pengoperasian alat peraga tersebut berdasarkan
konsep/ide yang dituju.
6) Aspek konstruksi: kesederhanaan desain alat peraga
(tidak rumit, mudah diduplikasi, dan lain-lain).
7) Aspek mobilitas: kemudahan alat peraga untuk
dipindah-pindahkan.
8) Aspek kompetensi: kesesuaian fisik alat peraga
dengan kompetensi fisik siswa (dapat dilihat,
diperagakan, atau dibawa oleh siswa).
9) Aspek kelayakan penyimpanan: kemudahan alat
peraga untuk disimpan.
10) Aspek keamanan fisik: kecelakaan fisik bagi siswa
yang dapat diakibatkan oleh alat peraga tersebut
(tajam, mudah roboh, berat, dan lain-lain).
11) Aspek keamanan kimia: pengaruh zat kimia yang
berbahaya atau radiasi sinar dari alat peraga tersebut
(mudah terbakar, bau menyengat, menyebabkan
iritasi/alergi, dan lain-lain).
12) Aspek ekonomis: keterjangkauan harga alat peraga
tersebut (harga jual maupun harga buat) oleh
kalangan umum.

2.3. Klasifikasi Media dan Alat Peraga

Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengidentifikasi


dan mengklasifikasi media. Menurut bentuk informasi yang
digunakan, mengklasifikasi media pembelajaran terbagi
dalam lima kelompok besar, yaitu media visual diam, media
visual gerak, media audio, media audio-visual diam, dan
media audio-visual gerak. Klasifikasi media ini dapat menjadi
landasan untuk membedakan proses yang dipakai untuk
menyajikan pesan, bagaimana suara dan atau gambar itu
diterima, apakah melalui penglihatan langsung, proyeksi
optik, proyeksi elektronik atau telekomunikasi. Para pakar
telah melakukan klasifikasi berdasarkan penelitian masing-
masing.
2.3.1. Klasifikasi media pembelajaran menurut Azhar
Arshad (2010)

Klasifikasi sumber belajar tidak jauh berbeda


dengan bentuknya adalah sebagai berikut:

1. Pesan (Apa informasi yang ditransmisikan?).


2. Orang (Siapa/Apakah yang melakukan
transmisi?).
3. Bahan (Siapa/Apakah yang menyimpan
informasi?).
4. Alat (Siapa/Apakah yang menyimpan
informasi?).
5. Teknik (Bagaimana informasi itu
ditransmisikan?).
6. Lingkungan/Latar (Di mana ditransmisikan?).

2.3.2. Klasifikasi media pembelajaran menurut Rudy


Bretz (1971)

Rudy Bretz (1971) dalam bukunya “A Taxonomy of


Communication Media” mengklasifikasikan media
berdasarkan unsur pokoknya yaitu suara, visual
(berupa gambar, garis, dan simbol), dan gerak. Di
samping itu juga, Bretz membedakan antara media siar
(telecommunication) dan media rekam (recording). Dengan
demikian, klasifikasi media menurut Bretz
dikelompokkan menjadi 8 kategori:

1. Media audio visual gerak.


2. Media audio visual diam.
3. Media audio semi gerak.
4. Media visual gerak.
5. Media visual diam.
6. Media semi gerak,
7. Media audio.
8. Media cetak.

2.3.3. Klasifikasi media pembelajaran menurut Nana


Sudjana dan Ahmad Rivai (2010)

Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (2010) dalam


bukunya yang berjudul “Media Pengajaran”
mengklasifikasikan media ke dalam empat kelompok,
yaitu media grafis (dua dimensi), misalnya gambar, foto,
dan grafik. Media tiga dimensi, misalnya model susun
dan model kerja. Media proyeksi, misalnya OHP
(Overhead Projector), LCD Projector, dan media lingkungan
(alam).
2.3.4. Klasifikasi media pembelajaran
menurut Soeparno (1988)

1. Klasifikasi media berdasarkan


karakteristiknya, dibedakan menjadi: (a)
media yang memiliki karakteristik tunggal,
misalnya radio, (b) media yang memiliki
karakteristik ganda, misalnya film dan TV.
2. Klasifikasi media berdasarkan dimensi
presentasi, yang dibedakan menjadi: (a) lama
presentasi yaitu presentasi sekilas, misalnya TV,
dan presentasi tak sekilas, misalnya OHP, (b)
sifat presentasi yaitu presentasi kontinyu,
misalnya TV, dan presentasi tak kontinyu,
misalnya OHP.
3. Klasifikasi media berdasarkan pemakainya,
dapat dibedakan menjadi (a) berdasarkan
jumlah pemakai, yaitu media untuk kelas
besar, kelas kecil, dan belajar individual, (b)
berdasarkan usia dan tingkat pendidikan
pemakai, yaitu media untuk TK, SD, SMP, SMU,
dan PT.
2.3.5. Klasifikasi media pembelajaran menurut Edgar
Dale (1969)

Edgar Dale (1969) membuat klasifikasi media


pembelajaran menggunakan aspek keabstrakan dari yang
paling konkret sampai yang paling abstrak. Klasifikasi
tersebut kemudian dikenal dengan nama “Kerucut
Pengalaman” dari Edgar Dale dan dianut secara luas
dalam menentukan media, alat bantu serta alat peraga
yang paling sesuai untuk pengalaman belajar.
Pengalaman belajar konkret yang secara langsung
dialami siswa terletak di bagian bawah kerucut. Di sinilah
pengalaman yang paling besar dan banyak memperoleh
manfaat karena dengan cara mengalaminya sendiri
seperti yang dikatakan James L. Mursell (1982).
Menurut analisis Dale, bahwa pengalaman langsung
mendapat tempat utama dan terbesar, sedangkan
belajar melalui abstrak berada dipuncak kerucut. Ini
berarti setiap belajar yang dialami siswa kelas permulaan
sekolah dasar secara berangsur-angsur harus dikurangi
sesuai dengan tahapan pada kerucut tersebut. Bentuk
kerucut pengalaman ini sendiri sudah tertuang dalam
Gambar 1 di Bab I.
Pada dasarnya, media pembelajaran terdiri atas
berbagai ragam dan bentuk. Media ini dapat dilihat dari
jenisnya, daya liput, dan bahan pembuatannya. Munculnya
pengaruh pendekatan sistem (system approach) dalam dunia
pendidikan mendorong munculnya gagasan bahwa media
adalah satu bagian integral dalam proses instruksional dunia
pendidikan, integral disini memiliki arti sebagai suatu
keseluruhan atau bagian yang diperlukan agar menjadi
lengkap. Media instruksional pada dasarnya dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:

1. Media yang dimanfaatkan. Artinya media yang


biasanya dibuat secara komersial dan terdapat
dipasaran. Kita tinggal memilih dan memakai serta
memanfaatkannya. Misalnya radio, tape recorder,
televisi, OHP, LCD, dan lain-lain.
2. Media yang dirancang atau “media by design”. Media
ini harus dipersiapkan, dibuat, dan dikembangkan
sendiri. Misalnya chart, gambar-gambar, bagan, dan
lain-lain.

Dari beberapa klasifikasi, masih ada beberapa tokoh yang


melakukan klasifikasi lagi misalkan daya liputnya, aspek
ekonomis (harga pembuatannya), berdasarkan perkembangan
teknologi, dan masih banyak lagi. Berdasarkan daya liput,
media pembelajaran dilihat dari batasan-batasan ruang dan
waktu yang bisa digapai oleh media tersebut, misalkan
tampilan televisi atau video di Youtube, maka
penggunaannya termasuk tidak terbatas ruang dan waktu.
Berbeda dengan media pengajaran individual yang terbatas
seorang diri maupun kelompok kecil, yang termasuk di
dalamnya adalah modul terprogram atau pengajaran melalui
komputer.

Media pembelajaran berdasarkan perkembangan


teknologi sangat meningkat pesat mulai abad ke-20 dimana
komputer dan internet mulai mudah diakses oleh siapapun
dan kapanpun. Teknologi berbasis komputer adalah cara
menghasilkan atau menyampaikan materi dengan
menggunakan sumber-sumber yang berbasis mikroprosesor.
Media ini menyimpan materi/informasi dalam bentuk digital,
bukan dalam bentuk cetakan atau visual. Kemudian ada
istilah media teknologi gabungan dimana ini adalah cara
untuk menghasilkan dan menyampaikan materi yang
menggabungkan pemakaian beberapa bentuk media yang
dikendalikan oleh komputer seperti telekonferen,
pembelajaran jarak jauk (PJJ) atau media berbasis
mikroprosesor seperti computer-assisted instruction, permainan
komputer, sistem tutor intelijen, PowerPoint interaktif,
simulasi berbasis pemrograman sederhana.

2.4. Soal-soal

1. Simpulkanlah fungsi media dari yang paling umum


ke lebih khusus untuk pendidikan!
2. Buatlah sebuah diagram mengenai proses
penggunaan media di bidang pendidikan!
3. Buatlah klasifikasi media pembelajaran modern versi
Anda!
4. Analisislah aspek kelayakan sebuah Alat Peraga Kit
IPA yang pernah Anda pakai!
5. Bedakan alat peraga tradisional dan modern yang
sudah menggunakan bantuan komputer!
BAB 3

POWERPOINT INTERAKTIF
3.1. Pendahuluan

PowerPoint merupakan perangkat lunak dari perusahaan


Microsoft yang diciptakan untuk menjadi media presentasi
dengan fitur-fitur di dalamnya seperti tabel, grafik, bagan,
skema, dan poin-poin dengan warna dan tema yang estetik
sehingga sangat mendukung dalam kegiatan presentasi (Poole,
2016). PowerPoint tergabung dalam satu paket perangkat
lunak bernama Microsoft Office. Microsoft Office sendiri
merupakan salah satu jenis paket perangkat lunak untuk
bekerja (office suites) yang paling popular di dunia selain
Libreoffice, Hancom office, dan Google workspace. Pada 2021,
versi terbaru Microsoft Office bernama Office 365 yang di
dalamnya terdapat berbagai macam perangkat lunak di
antaranya Word, Excel, Powerpoint, OneNote, dan Outlook.
Office 365 menawarkan beberapa jenis paket mulai dari
untuk personal, untuk rumahan (2-6 orang), atau Home and
Student 2019 untuk pelajar. Perangkat lunak Office sangat
familiar di Indonesia, bahkan dapat dikatakan hampir seluruh
komputer di Indonesia menggunakan software ini untuk
bekerja. Karena
sangat familiar, maka kompatibilitasnya juga lebih tinggi,
semua orang bisa berbagi file tanpa harus memedulikan format
filenya.

3.2. Powerpoint sebagai Media Pembelajaran

Pembelajaran menggunakan media PowerPoint


dirancang untuk pembelajaran yang interaktif, dimana dalam
media presentasi PowerPoint dirancang dan dilengkapi
dengan alat pengontrol yang dapat dioperasikan oleh
pengguna sehingga pengguna dapat memilih apa yang
dikehendaki untuk petunjuk penggunaan, materi, dan soal
latihan.

Dalam tutorial PowerPoint, pertama-tama biasanya


akan dipelajari cara membuat dan menyimpan presentasi
baru. Kemudian belajar bagaimana menyiapkan kerangka,
mengetik teks untuk setiap slide, menambahkan clip art,
gambar dan bentuk, dan mengatur pengaturan waktu
animasi. Setelah itu pelajaran berikutnya adalah
menambahkan efek untuk meningkatkan transisi slide,
memilih skema warna, dan bahkan mungkin telah membuat
efek latar belakang baru. Dalam hal ini, pembuat
PowerPoint akan fokus kepada
tampilan yang menarik dalam menciptakan slide-slide yang
mendukung presentasi.

3.3. Powerpoint Interaktif

Jika sudah mahir dalam membuat slide-slide dasar,


maka langkah berikutnya adalah mempelajari beberapa
keterampilan tingkat lanjut dengan PowerPoint, Kebanyakan
presentasi PowerPoint yang pernah dilihat di sekolah atau di
tempat kerja disebut presentasi linier. Artinya, setiap slide
dirancang untuk melanjutkan satu slide tepat ke slide lainnya.
Slide pertama bertransisi ke slide kedua, yang bertransisi ke
slide ketiga, dan seterusnya. Dalam membantu proses
presentasi, ini bagus. Namun, bagaimana jika seorang
pendidik ingin siswanya membuat cerita interaktif, di mana,
misalnya, siswa dapat membaca tentang Naga di slide satu,
lalu memilih di slide dua, salah satu dari tiga tempat yang
memungkinkan Naga itu bisa pergi? Dengan mengklik kata
"gurun", tampilan akan berpindah ke slide yang menjelaskan
apa yang terjadi pada Naga di gurun. Jika siswa mengklik kata
"hutan", slide lain muncul dengan latar yang lain. Dengan
demikian, pelajar berpartisipasi, tidak hanya dengan
mengklik slide demi slide dalam satu arah linier, tetapi
dengan membuat pilihan yang mempengaruhi slide apa
yang muncul
selanjutnya, sehingga membuat presentasi menjadi interaktif
dan non-linier.

Pada intinya pembuatan PowerPoint interaktif ini perlu


memanfaatkan fitur-fitur yang sudah tersedia dalam tab-tab
seperti insert, animation, dan transition.

Gambar 5. Tab Insert dalam PowerPoint

Dalam tab Insert tersebut, ada beberapa pilihan seperti


memasukkan gambar, bentuk, 3D model, hyperlink, Audio,
Video, bahkan Screen Recording. Penambahan objek-objek
tersebut akan menghidupkan halaman slide yang ingin
dibuat. Dalam hal PowerPoint interaktif, hyperlink
merupakan objek yang bisa dianggap wajib karena adanya
fitur ini akan membawa pengguna ke berbagai tujuan seperti
slide lain, halaman web, atau bahkan file lain (dengan catatan
file tersebut berada dalam satu folder dengan file PowerPoint).
Hal yang umum dilakukan adalah menggunakan objek bentuk
(shapes) atau textbox yang kemudian objek tersebut diberi fitur
hyperlink seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Contoh Menu Navigasi pada PowerPoint Interaktif

Penggunaan hyperlink ini kemudian dijadikan sebagai


halaman navigasi dimana pengguna nantinya dapat memilih
untuk membuka bagian mana dari media PowerPoint
interaktif ini. Selain itu, penambahan audio juga menjadi opsi
tambahan yang dapat meningkatkan minat pengguna untuk
menggunakan ini. Audio yang biasanya dipakai dapat berupa
suara latar (backsound) atau rekaman suara yang mewakili teks
yang tersedia di layar. Dengan adanya audio ini, pembuat
media PowerPoint interaktif juga dapat berperan seolah-olah
sedang berinteraksi dengan pengguna. Penambahan Video
dapat sedikit berbeda dengan audio, video di sini bisa dalam
bentuk media yang dimasukkan dalam file PowerPoint atau
link menuju halaman web yang berisi video tersebut.
Keduanya memiliki perbedaan dimana ketika digunakan
dalam bentuk link ke halaman web maka diperlukan akses
internet dalam penggunaannya. Sedangkan lainnya, jika video
dimasukkan ke dalam file PowerPoint, maka ukuran file bisa
menjadi sangat besar. Hal tersebut menjadi pertimbangan
untuk memasukkan dalam bentuk yang seperti apa. Namun,
fungsi penambahan video dalam PowerPoint ini tetap sama,
yaitu menunjukkan media audio-visual yang bisa berisi
banyak hal mulai dari tutorial, percakapan, apersepsi,
visualisasi, atau contoh kasus.

Tab kedua yang menjadikan media PowerPoint


interaktif ini menarik adalah penggunakan tab transitions.

Gambar 7. Tampilan tab Transitions


Tab transitions ini mengatur efek pergantian antar slide
sehingga ketika tampilan berpindah tidak monoton. Beberapa
transisi menimbulkan efek seperti membuka buku, efek
pecahan, seperti kubus, serta efek tiga dimensi. Selanjutnya,
tab animasi (animations) yang berfungsi untuk menciptakan
banyak efek pada objek baik teks, garis, atau gambar. Pada
bagian animasi ini dibagi menjadi tiga:

1. Entrance, ditandai dengan warna hijau yang berfungsi


menciptakan efek “masuk” pada objek. “Masuk” di sini
berarti dari tidak ada menjadi ada.
2. Emphasis, ditandai dengan warna kuning yang
berfungsi menciptakan beraneka macam efek seperti
objek berputar, membesar, berubah warna, menjadi
gelap, dll. Pada bagian ini, objek tetap ada dan selalu,
hanya wujudnya saja yang dapat berganti.
3. Exit, ditandai dengan warna merah yang juga
kebalikan dari entrance memiliki fungsi menciptakan
efek “hilang” pada objek. Objek yang tadinya ada
menjadi tidak ada.
Gambar 8. Tampilan tab Animations

Animasi tidak hanya membuat efek-efek muncul dan


hilang saja. Tab ini juga berperan penting dalam penentuan
garis waktu (timeline) dan dapat diatur apakah efek-efek
tersebut akan muncul ketika di klik, berurutan dengan
sebelumnya, ataupun otomatis berdasarkan waktu. Dengan
pengaturan timeline yang baik, pembuat juga dapat
menciptakan interaksi seolah-olah kita berbicara dengan
pengguna.
3.4. Soal-Soal

1. Buatlah perbandingan antara Office 365 dengan


beberapa office suites lain!
2. Analisislah penggunaan PowerPoint interaktif untuk
beberapa tingkat Pendidikan!
3. Bandingkanlah fungsi PowerPoint linier dengan
powerpoint interaktif!
4. Rumuskanlah mengenai fitur-fitur yang menandakan
sebuah PowerPoint bisa dikatakan interaktif!
5. Buatlah desain PowerPoint interaktif dalam bentuk
flowchart!
BAB 4

INSEKTARIUM DAN HERBARIUM


4.1. Pendahuluan

Insektarium merupakan media penyimpanan koleksi


spesimen insekta, baik awetan basah maupun awetan kering.
Sebagai media untuk belajar struktur tubuh serangga secara
mendalam, terutama yang berhubungan dengan ciri khasnya,
sehingga lebih mudah mengenal dan menggolongkannya
dalam klasifikasi (Jumar, 2000). Beberapa tujuan dari
pembuatan insektarium diantaranya untuk identifikasi
ilmiah, pembelajaran, pajangan atau koleksi pribadi.
Insektarium merupakan media pembelajaran yang
membantu siswa mempelajari struktur dan ciri dari tubuh
serangga secara lebih mendalam. (Susilo, 2015). Penerapan
media insektarium mendukung pencapaian Kompetensi
Dasar dalam Kurikulum 2013 mata pelajaran IPA SMP kelas
VII, yaitu KD 3.3 Memahami prosedur pengklasifikasian
makhluk hidup dan benda-benda tak-hidup sebagai bagian
kerja ilmiah, serta mengklasifikasikan berbagai makhluk
hidup dan benda-benda tak-hidup berdasarkan ciri-ciri yang
diamati, KD 4.3 Mengumpulkan data dan melakukan
klasifikasi terhadap
benda-benda, tumbuhan, dan hewan yang ada di lingkungan
sekitar.

4.2. Sejarah Insektarium

Insektarium sendiri pertama kali dikembangkan oleh


seorang notaris yang memiliki passion di bidang serangga
bernama Georges Brossard. Ia sangat tertarik dengan serangga-
serangga dan ia gemar mencari, menangkap, menyortir, dan
mengidentifikasi ribuan spesimen. Ia awalnya menyesal
karena koleksinya disimpan jauh dari pandangan, yaitu di
tuang bawah tanah. Ia memiliki impian untuk
memperkenalkan koleksinya masyarakat umum, dan kaum
muda khususnya mengenai dunia serangga yang misterius.
Pada 1985, ia mengundang Pierre Bourque, direktur Jardin
botanique de Montréal pada saat itu, untuk melihat
koleksinya yang menakjubkan. Bourque terpukau oleh
keindahan puluhan ribu kupu-kupu, ngengat, kumbang, lalat,
artropoda, dan serangga lain dari sekitar 100 negara.
Pertemuan mereka tidak hanya menandai lahirnya
persahabatan yang hebat antara dua pecinta alam ini, tetapi
yang lebih penting lagi, langkah pertama dalam mewujudkan
mimpi-mimpi untuk menciptakan Insektarium di Montréal.
Insektarium pertama kemudian dibuka pada 7 Februari
1990 di Montréal.
Insektarium, museum pertama di Amerika Utara yang
sepenuhnya didedikasikan untuk entomologi (ilmu tentang
serangga), mendidik masyarakat tentang keanekaragaman
serangga yang luar biasa dan peran penting yang mereka
mainkan dalam keseimbangan alam (Sabourin, 2015).

Gambar 9. Montreal Insektarium

4.3. Pembuatan Insektarium

Pada dunia pendidikan, insektarium ini menjadi salah


satu alat peraga yang efektif untuk memperkenalkan dunia
hewan, terutama hewan-hewan kecil seperti kelas insekta atau
reptilia. Dalam perkembangannya, insektarium tidak hanya
berbentuk museum yang cukup besar. Insektarium dapat
dibuat oleh siapapun dari dewasa hingga anak-anak. Proses
pengawetan spesimen untuk insektariumpun berbagai cara.
Berdasarkan medianya, insektarium dibagi menjadi dua:

4.3.1. Insektarium kering

Pengawetan serangga dengan metode ini


menghasilkan awetan spesimen dalam keadaan kering.
Biasanya dilakukan untuk serangga-serangga yang
bertubuh keras (umumya fase imago) dengan cara di
pin (ditusuk dengan jarum preparat atau di karding).
Metode ini memerlukan proses pengeluaran isi perut
atau ‘gutting’ sebelum serangga di pin dan perlu hati-
hati agar sambungan anterior dan posterior tidak patah.
Beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan
diantaranya jaring atau aspirator untuk menangkap
serangga, pin, jarum pentul, alcohol, kotak insektarium
atau pigura, serta kertas untuk menulis/mencetak label
serta deskripsi. Secara sederhana, Langkah-langkah
pembuatan insektarium kering adalah:
1. Cari serangga dan matikan dengan cara
memasukkannya ke dalam kantong plastik
yang telah diberi kapas yang dibasahi
kloroform.
2. Serangga yang sudah mati kemudian
dimasukkan ke dalam kantong atau stoples
tersendiri. Untuk hewan bersayap seperti
capung, kupu-kupu, ngengat dimasukkan ke
dalam amplop atau wadah dengan hati-hati
agar sayapnya tidak patah.
3. Rehidrasi spesimen, tujuannya adalah menjaga
serangga tetap kering saat terpapar alkohol.
Cara melakukan ini dengan benar adalah
menggunakan banyak lapisan kering. Sebagian
besar serangga bercangkang keras
membutuhkan setidaknya tiga hari untuk
rehidrasi. Serangga yang lebih besar
membutuhkan minimal lima hari untuk
rehidrasi. Periksa serangga setiap hari, setelah
dapat menggerakkan anggota badan dengan
mudah, serangga itu sudah siap.
4. Pengeringan cukup dilakukan di dalam
ruangan pada suhu kamar. Tancapkan jarum
pentul pada plastik atau karet busa.
5. Untuk belalang, rentangkan salah satu sayap
ke arah luar. Untuk kupu-kupu, sayapnya
direntangkan pada papan perentang atau kertas
tebal sehingga tampak indah. Begitu juga
capung.
6. Setelah kering, serangga dimasukkan ke dalam
kotak insektarium (dari karton atau kayu). Di
dalamnya juga dimasukkan kapur barus
(kamper).

Gambar 10. Contoh Awetan Kering (Sumber: pinterest.com)

7. Beri label, tentukan genus dan spesies serangga,


dan cetak dengan jelas pada selembar kertas.
Perhatikan juga lokasi dan tanggal
ditemukannya serangga, dan individu yang
mengumpulkan spesimen. Beberapa kolektor
juga mencatat lingkungan tempat serangga itu
dikumpulkan seperti: sedang memakan daun,
ditemukan di bawah batang kayu, dll.
Sematkan secarik kertas ini dengan peniti
utama di tubuh serangga, atau tempelkan di
dekat spesimen saat membingkainya.

4.3.2. Insektarium basah

Pengawetan serangga dengan metode ini


menghasilkan awetan spesimen di dalam cairan.
Pengawetan basah dilakukan untuk serangga-serangga
yang kecil atau yang bertubuh lunak (umumnya fase
larva) dilakukan dengan cara menyimpan serangga di
dalam botol yang telah diisi dengan alkohol 80% atau
hand sanitizer gel. Spesimen yang diawetkan dalam
alkohol harus disimpan dalam botol gelas dengan tutup
yang rapat. Alat yang digunakan untuk awetan basah
adalah botol bening yang dapat ditutup rapat dan
alcohol atau hand sanitizer berbentuk gel bening. Untuk
langkah- langkahnya:
1. Untuk larva atau serangga bertubuh lunak,
usahakan masih dalam keadaan hidup ketika
diambil atau dibawa, sedangkan untuk
serangga-serangga kecil bisa dimatikan dengan
dimasukkan toples berisi kapas kloroform.
2. Untuk serangga yang sudah mati kemudian
lakukan rehidrasi dengan cara dimasukkan ke
dalam kantong atau stoples tersendiri, biarkan
selama 4-7 hari hingga bagian perutnya keluar.
3. Untuk larva atau serangga bertubuh lunak
berbeda, spesimen bisa menenggelamkannya
selama 1 hingga 2 menit dalam air mendidih.
Setelah itu spesimen dapat segera ditempatkan
dalam botol alkohol. Proses ini membunuh
bakteri di saluran pencernaan dan mencegah
perubahan warna. Setelah satu atau dua hari,
cairan bisa berubah warna. Bila ini terjadi,
pindahkan spesimen secara permanen ke
larutan alkohol atau hand sanitizer.
4. Siapkan botol dengan dimensi yang lebih besar
dari spesimen, isi sekitar 2/3 bagian dengan
cairan awetan basah (alkohol/hand sanitizer).
5. Masukkan spesimen dengan pinset secara hati-
hati agar bagian spesimen tidak rusak.
6. Isi penuh botol, usahakan tidak terdapat
gelembung udara dalam awetan basah.
7. Beri label, tentukan genus dan spesies serangga,
dan cetak dengan jelas pada selembar kertas.
Perhatikan juga lokasi dan tanggal
ditemukannya serangga, dan individu yang
mengumpulkan spesimen. Beberapa kolektor
juga mencatat lingkungan tempat serangga itu
dikumpulkan seperti: sedang memakan daun,
ditemukan di bawah batang kayu, dll.
Sematkan secarik kertas ini dengan peniti
utama di tubuh serangga, atau tempelkan di
dekat spesimen saat membingkainya.
Gambar 11. Contoh Awetan Basah (Sumber: howwemostessori.com)

Metode lain yang dapat digunakan untuk membuat


awetan serangga adalah menggunakan media resin atau
bioplastik. Spesimen yang sesuai untuk diawetkan dalam blok
resin adalah yang tidak terlampau kecil ukurannya dan tidak
rusak strukturnya dalam kondisi kering. Bahan utama yang
digunakan untuk pengawetan adalah cairan resin yang biasa
digunakan dalam pembuatan fiberglass, pin, gantungan kunci,
piala dan berbagai cindera mata yang lain. Resin sendiri
merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder,
tersusun atas karbon. Senyawa ini akan mengalami
polimerisasi dalam kondisi yang tepat. Reaksi polimerisasi
bersifat eksoterm sehingga akan menimbulkan panas. Bila
dibiarkan di udara terbuka, secara alami proses polimerisasi
berlangsung secara lambat. Hasil dari awetan serangga
menggunakan resin juga memiliki nilai jual karena dapat
berupa ornamen yang dihias, gantungan kunci, pin, atau
pajangan lain.

Gambar 12. Contoh Awetan Serangga dalam Media Resin (Sumber: kyliehowarth.com)

4.4. Sejarah Herbarium

Mirip dengan insektarium, herbarium juga merupakan


awetan tapi untuk tumbuhan. Herbarium sendiri lebih dulu
ditemukan dan dikembangkan sekitar 1544 oleh Professor
Botani di Universitas Bologna, Italia Bernama Luca Ghini. Ia
adalah orang pertama yang mengeringkan tumbuhan di
bawah tekanan dan melekatkannya di atas kertas serta
mencatatnya sebagai koleksi ilmiah. Definisi herbarium sendiri
secara umum merupakan koleksi dari spesimen awetan
tanaman yang digunakan untuk tujuan penelitian ilmiah dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Herbarium dapat
dimanfaatkan sebagai bahan rujukan untuk mendefinisikan
takson tumbuhan. Herbarium juga dapat digunakan sebagai
bahan penelitian untuk para ahli bunga atau ahli taksonomi.
Herbarium juga dipakai untuk mendukung studi ilmiah
lainnya seperti survei ekologi, studi fitokimia, penghitungan
kromosom, melakukan analisa perbandingan biologi dan
berperan dalam mengungkap kajian evolusi (Setyawan dkk,
2005).

Dalam bidang pendidikan, herbarium dapat digunakan


sebagai media dan alat peraga IPA yang berkaitan dengan
Biologi, tepatnya mengenai klasifikasi tumbuhan. Herbarium
termasuk dalam alat peraga tiga dimensi yang dapat
menampilkan bentuk dan wujudnya secara jelas karena objek
yang digunakan juga merupakan objek asli yang diawetkan.
Media herbarium bersifat visual dan dapat meningkatkan
minat peserta didik dalam mempelajari materi. Selebihnya, jika
peserta didik diikutkan dalam pembuatan juga pembelajaran
sains dapat meningkatkan kemampuan psikomotorik peserta
didik. Guru atau calon guru juga perlu dilatih untuk dapat
memberi contoh konkret dalam pembuatan herbarium
sehingga nantinya jika ia sudah terjun ke lapangan akan
dapat menghasilkan media atau alat peraga IPA yang baik
karena telah mendapat pengalaman ketika perkuliahan. Teknik-
teknik pembuatan herbarium yang sederhana ini juga
termasuk softskill yang menjadi nilai tambah guru yang dapat
dimanfaatkan nantinya.

4.5. Pembuatan Herbarium

Cara pembuatan herbarium tidak terlalu sulit karena


tidak memerlukan alat dan bahan yang mahal atau sulit
dicari. Cukup menggunakan gunting atau alat potong
tanaman, alkohol (opsional), waktu untuk mencari tahu, ilmu
untuk mengklasifikasikan, serta beberapa kardus atau papan
bekas yang rata yang digunakan untuk melakukan pressing
atau penekanan dari spesimen. Beberapa langkah pembuatan
herbarium dapat diikuti sebagai berikut:

1. Pilihlah tumbuhan yang akan diawetkan. Bentuk dan


jenis tumbuhan bisa mengikuti kebutuhan. Jika Anda
ingin mengoleksi tumbuhan dengan struktur yang
lengkap maka Anda bisa memilih rerumputan yang
memiliki bunga dan berukuran tidak terlalu besar.
Semprot bahan yang akan diawetkan dengan alkohol
70%. Gunanya agar tumbuhan tidak mudah busuk
oleh bakteri dan jamur.
2. Siapkan beberapa lembar kertas koran dengan ukuran
yang sesuai dengan besar calon awetan.
3. Letakkan calon awetan yang telah disemprot alkohol
tadi di atas koran dengan posisi yang rapi. Untuk
membentuk agar tampak lebih rapi kita bisa mengikat
ranting menggunakan benang dan dan menjahitnya
pada kertas sesuai keinginan.
4. Tutup bahan dengan koran.
5. Tindih atau jepit kuat bahan yang telah terbungkus
koran dengan kayu atau bambu. Nah selanjutnya
bahan yang telah kita proses ini disebut dengan istilah
spesimen.
6. Simpan spesimen selama 1 sampai 2 minggu di
tempat kering dan tidak lembab.
Catatan:
- Jika udara lembab, spesimen bisa kita jemur di
bawah terik matahari atau di dekat api tanpa
membuka koran pembungkus.
- Usahakan untuk selalu mengganti kertas pelapis
yang lembab dengan kertas yang kering secara
priodik.
7. Jika sudah dirasa kering, keluarkan spesimen dari
bungkusan kertas koran.
8. Letakkan spesimen di atas kertas karton dengan rapi
lalu rekatkan dengan isolatif transparan.
9. Buat judul herbarium yang kamu miliki dan berikan
keterangan-keterangan yang akan memperjelas
bagian-bagian tumbuhan yang kamu awetkan.
10. Agar lebih awet dan tampak lebih indah, kita bisa
membuat dan memasukkan herbarium ke dalam
bingkai sederhana dengan kardus dan plastik mika.

Herbarium yang sudah jadi dapat berupa lembaran-


lembaran yang dapat digabungkan menjadi seperti
buku/kliping atau dapat berupa pajangan-pajangan.

Gambar 13. Contoh Herbarium (Sumber: theconversation.com; herbarium.iastate.edu)


4.6. Soal-Soal

1. Temukanlah permasalahan mengenai alat peraga di


dunia pendidikan yang dapat diselesaikan
menggunakan pembuatan insektarium atau
herbarium!
2. Buatlah diagram tulang ikan (fishbone) untuk
pembuatan insektarium!
3. Analisislah aspek kelayakan dari penggunaan alat
peraga insektarium dan herbarium!
4. Prediksikanlah kemungkinan penggunaan alat
peraga insektarium dan herbarium di era teknologi!
5. Simpulkanlah mengenai fungsi alat peraga
insektarium dan herbarium di era teknologi!
BAB 5

SCRATCH
5.1. Pendahuluan

Scratch merupakan bahasa pemrograman yang pertama


kali dikembangkan pada 2003 dan dipublikasikan pada 2007
oleh Lifelong Kindergarten Group di MIT (Massachusetts
Institute of Technology). Bahasa pemrograman visual berbasis
blok kode memperkenalkan konsep dasar pemrograman
dalam bahasan yang interaktif dan menyenangkan. Dalam
pengembangan awalnya, prioritas utama tim pencipta adalah
membuat bahasa dan lingkungan pengembangan yang
sederhana, intuitif, dan mudah dipelajari oleh anak-anak yang
tidak memiliki pengalaman pemrograman sebelumnya.

Dalam bahasa pemrograman Scratch, objek (sprites)


dimanipulasi dalam background (stage) dengan menggunakan
berbagai script. Setiap sprite memiliki script yang mengontrol
interaksinya dengan sprite yang lain. Perangkat lunak ini
menggunakan lisensi Open-Source MIT sehingga dapat
digunakan secara gratis dan bebas oleh siapa saja. Perbedaan
yang mendasar jika dibandingkan dengan program
konvensional, kode pada program Scratch digantikan dengan
tombol-tombol yang mudah diaplikasikan menggunakan
konsep blok pemrograman yang dapat di click, drag and drop,
sehingga penyusunan kodenya mirip dengan permainan
Lego.

Scratch juga mendukung adanya pengaturan dan


penambahasan suara baik yang sudah tersedia maupun
rekaman. Gambar dan animasi juga tersedia berbagai jenis
sehingga dapat mendukung ide sebuah cerita maupun
pembuatan games. Selain itu, aplikasi ini juga dapat
digunakan untuk pembelajaran kepada peserta didik dalam
hal kemampuan pemecahan masalah (problem solving) dan
aktivitas terkait logika dan matematika.

5.2. Instalasi Scratch

Pengenalan awal program Scratch, pengguna dapat


langsung menuju website Scratch (scratch.mit.edu) untuk
bekerja dalam browser langsung secara online maupun
mengunduh aplikasinya dan bekerja secara offline
menggunakan Scratch Offline Editor. Beberapa kebutuhan
minimum untuk instalasi Scratch Offline Editor 2.0 pada
komputer adalah:

- Terinstall Adobe Air versi 2.0 (atau di atasnya).


- Windows XP (atau di atasnya), MacOS X (atau di atasnya),
GNU/Linux (Fedora 13, Ubuntu 10.10, or openSUSE 11.3
atau di atasnya).
- Ruang hard disk sekitar 60 megabyte.

Untuk Scratch Offline Editor 3.0, kebutuhan minimum


untuk instalasinya:

- Terinstall Adobe Air versi 2.6 (atau di atasnya).


- Windows 10+, MacOS 10.13+, ChromeOS, Android 6+.
- Ruang hard disk sekitar 200 megabyte.

5.3. Menjalankan Scratch

Pengguna dapat langsung menuju laman


https://scratch.mit.edu/ lewat browser kemudian mendaftar
terlebih dahulu sebelum masuk ke halaman yang dapat
dipakai untuk membuat program Scratch. Setelah melakukan
pendaftaran dengan verifikasi email, pengguna dapat
langsung masuk ke dalam halaman utama scratch yang
menampilkan berita, update terbaru, ide proyek, studio, dll.
Untuk menuju halaman kerja, pengguna bisa mengklik create.
Tampilan halaman kerja (workspace) pada scratch 3.0 dapat
dilihat pada Gambar 14.
Scratch workspace terdiri dari 3 bagian penting yaitu
Area Blok, Area Program/script, dan Area Display. Pada Area
blok terdapat kode-kode blok yang sudah tersedia yang dapat
dimasukkan ke dalam Area Program untuk tiap sprite yang
akan kita buat programnya. Blok-blok yang tersedia juga
telah dibagi menjadi beberapa kategori dengan ditandai
dengan warna script blok yang berbeda-beda seperti pada
Tabel Kategori Blok (Hardyanto, 2014).

Gambar 14. Tampilan Halaman Kerja (work page) Scratch


Tabel 1. Tabel Kategori Blok pada Scratch Workspace

Kategori
Deskripsi Script Blok
Blok

Menggerakkan Move(), Turn right(), Turn


sprites left(), go to(), glide() secs to
x:()y:(), point in direction(),
point towards(), change x
by(), change y by(), set x
to(), set y to(), If on Edge,
Bounce, Set Rotation
Style(), X Position, Y
Position, Direction

Tampilan sprites Say()for()Secs, Say(),


Think()for()Secs, Think(),
Show, Hide, Switch
Costume to(), Next
Costume, Switch Backdrop
to(), Change()Effect by(),
Set()Effect to(), Clear
Graphic Effects, Change
Size by(), Set Size to()%, Go
to()layers, Go
forward()layers, Layers,
Costume(#), Backdrop(#),
Size

Mengatur suara Play Sound(), Play Sound()


sprites Until Done, Stop All
Sounds, Play Drum()for()
Beats, Rest for()Beats, Play
Note()for()Beats, Set
Instrument to(), Change
Volume by(), Set Volume
to()%, Volume, Change
Tempo by(), Set Tempo to()
bpm, Tempo

Memicu When Green Flag Clicked,


pergerakan, When()Key Pressed, When
mengatur This Sprite Clicked, When
interaktsi, Backdrop Switches to(),
When()>(), When I
memberi Receive(), Broadcast(),
perintah Broadcast()and Wait

Mengatur Wait() Secs, Repeat(),


pergerakan Forever, If()Then, If()Then-
sprites Else, Wait Until(), Repeat
Until(), Stop(), When I
Start as a Clone, Create
Clone of(), Delete This
Clone
Mendeteksi Touching()?, Touching
sesuatu, Color()?, Color()is
mengubah warna Touching()?, Distance to(),
akibat suatu Ask()and Wait, Answer,
event, pengaturan Key()Pressed?, Mouse
keyboard Down?, Mouse X, Mouse Y,
Set Drag Mode(),
Loudness, Timer, Reset
Timer, ()of(), Current
(year), Days Since 2000
Berisi operasi ()+(), ()-(), ()*(), ()/(), Pick
matematika Random()to(), ()<(), ()=(),
()>(), ()and(), ()or(), Not(),
Join()(), Letter()of(), Length
of(), ()Mod(), Round(),
()of()
Untuk Make variable, ()My
menyimpan variable, set()to(), change()
informasi untuk by(), show variable(), hide
digunakan variable(), make a list,
dalam program

Membuat blok Make a block


secara manual

5.4. Tutorial Scratch

Penulisan program sederhana dapat langsung dilakukan


jika sudah ada dalam workspace. Pengguna dapat langsung
melakukan drag untuk blok dari Area Blok ke dalam Area
Script, dengan begitu, sprites yang berupa tokoh kucing
(sebagai default) sudah terprogram sesuai dengan apa yang ada
di Area Blok. Contoh sederhana misal pengguna melakukan
drag untuk blok di bagian motion dengan script glide (

). Jika blok sudah ada di dalam Area


Script, maka sprites akan memiliki program tersebut. Dalam
kasus ini, sprites tidak akan bergerak karena beli ada pemicu
untuk bergerak. Script umum yang dipakai adalah dengan

menambahkan script when green flag clicked ( ),


maka ketika bendera hijau di klik, sprites akan bergeser ke
posisi random selama 1 detik. Tampilan ini dapat terlihat di
Area Display. Jumlah sprites, posisi sprites, stage (background)
dapat dilihat di Area Sprites.

Display pada Scratch menggunakan rentang nilai sumbu


x antara -240 s/d. 240 dan sumbu y -180 s/d. 180. Sebagai
gambaran, ketika pengguna menambahkan script blok
berupa “move 10 steps”, maka sprite akan bergerak maju
dalam sumbu x sebanyak 10. Begitu pula ketika
menambahkan script blok berupa “go to (x= -240, y=180)”
maka sprite akan berpindah ke ujung kiri atas layar.

Seperti halnya bahasa pemrograman lain, dasar-dasar


pemrograman scratch sudah tersedia variabel, perulangan
(looping), percabangan, operasi matematika, juga operator
logika. Semua sudah dalam bentuk blok script yang dapat
langsung digunakan dengan memasukkan ke dalam Area
Script. Tampilan sprites yang berupa animasi-animasi kartun
dan banyak warna-warni identik dengan anak-anak. Maka
dari itu, pemrograman Scratch dapat digunakan mulai dari
anak-anak hingga dewasa.

5.5. Soal-Soal

1. Simpulkanlah mengenai pemrograman mengguna-


kan Scratch!
2. Analisislah cara menggunakan pemrograman
Scratch bagi pemula!
3. Buatlah diagram alir (flowchart) untuk membuat
program sederhana menggunakan Scratch!
4. Bandingkanlah antara pemrograman visual Scratch
dengan pemrograman konvensional dengan cara
mengetik!
5. Rangkumlah keuntungan-keuntungan mengguna-
kan Scratch untuk media pembelajaran!
BAB 6

COMPUTATIONAL THINKING
6.1. Pendahuluan

Berpikir Komputasi (Computational Thinking) telah


dikembangkan sejak sekitar 2006. Computational Thinking
merupakan cara berpikir yang memungkinkan untuk
menguraikan suatu masalah dengan cara membagi ke bagian
yang lebih kecil dan sederhana, menemukan pola dalam dan
masalah tersebut, serta menyusun langkah-langkah solusi
mengatasi masalah. Menurut Jeannette Wing: “Computational
thinking is the thought processes involved in formulating
problems and their solutions so that the solutions are represented in
a form that can be effectively carried out by an information-
processing agen” (Berpikir komputasional adalah proses berpikir
yang melibatkan perumusan masalah dan solusinya, solusi
tersebut direpresentasikan dalam bentuk yang dapat dilakukan
secara efektif oleh teknik pemrosesan informasi). Sedangkan
dalam CAS (Curiculum for Computer Science): “Computational
thinking is the process of recognising aspects of computation in
the world that surrounds us, and applying tools and techniques
from computing to understand and reason about both natural and
artificial
systems and processes” (Berpikir komputasional adalah proses
mengenali aspek komputasi di dunia yang mengelilingi kita,
dan menerapkan alat serta teknik dari komputasi untuk
memahami dan menalar tentang sistem baik proses alami
dan buatan).

6.2. Elemen Computational Thinking

Computational Thinking tidak terbatas saja untuk bidang


komputer sains. Aplikasi CT dalam pembelajaran dapat
dianggap sebagai acuan bagaimana manusia berfikir dan
memecahkan masalah. Dasar dari CT sendiri ada empat
elemen, yaitu:

1. Decomposition - memecah masalah yang lebih


besar/kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih
kecil/sederhana.
2. Pattern recognition - mencari/menemukan pola atau
kesamaan antar masalah maupun dalam masalah
tersebut.
3. Abstraction - fokus pada informasi penting saja, dan
mengabaikan detail yang kurang relevan.
4. Algorithms - membangun langkah-langkah solusi
terhadap masalah.
Computational Thinking sudah menjadi sebuah keharusan
pada kemampuan abad ke-21 yang diperlu ditanamkan
kepada generasi mendatang (Zhang, 2019). Dalam beberapa
tahun terakhir, semakin banyak negara yang telah
mengintegrasikan CT ke dalam sistem wajib belajar mereka.
Ada beberapa istilah yang sering dipakai dalam subjek
“komputasi” di antaranya adalah programming, coding,
computing, dan CT. Jika diartikan seolah-olah seperti sama
namun sebetulnya keempat istilah tersebut hanya berada
dalam satu himpunan yang ditunjukkan dalam Gambar 15.

Gambar 15. Hubungan antar Istilah-istilah dalam Komputasi

Koding dan pemrograman paling sering dipertukarkan


dalam penggunaan sehari-hari. Keuntungan utama
menggunakan istilah “coding” adalah menarik minat karena
terdengar seperti ada petunjuk kode rahasia dan pencapaian
dalam memecahkan kode (Duncan et al., 2014). Sedangkan
komputasi adalah konsep yang lebih besar. “Inti dari
komputasi adalah ilmu komputer, dimana siswa diajarkan
bagaimana menggunakan pengetahuannya untuk
diaplikasikan melalui pemrograman” (Department of
Education UK, 2015).

6.3. Scratch untuk Pengembangan


Computational Thinking

Scratch adalah satu dari begitu banyaknya alat atau


bahasa pemrograman. Alat pemrograman ini dilihat sebagai
sarana untuk mengembangkan CT (Brennan & Resnick, 2012)
serta kompetensi digital abad ke-21. Scratch merupakan bahasa
pemrograman visual yang paling popular dibandingkan alat
pemrograman visual lain yang sejenis seperti Kodu, Toontalk,
atau Alice. Hal ini juga dibuktikan dari tingginya peringkat
Scratch pada index TIOBE. Scratch juga menjadi salah satu
pemrograman favorit yang diperkenalkan ke pelajar muda
karena cara kerja dan fitur yang memang dibuat bertema anak-
anak sehingga mereka dapat memulai belajar coding sejak dini.

Brendan dan Resnick telah menciptakan kerangka


berpikir komputasi yang juga dipakai untuk pengembangan
bahasa pemrograman Scratch versi 2.0. Kerangka berpikir
tersebut dikategorikan menjadi tiga aspek:

- Konsep CT: konsep-konsep yang desainer sertakan saat


mereka memprogram, seperti urutan (sequences), loop,
paralelism, event, conditional, operator, dan data.
- Praktik CT: desainer praktik berkembang saat mereka
terlibat dengan konsep, contohnya: incremental dan
iteratif, testing and debugging, penggunaan kembali dan
pencampuran ulang (reusing and remixing), abstraksi dan
modularisasi.
- Perspektif CT: perspektif yang dibentuk desainer tentang
dunia di sekitar mereka dan tentang diri mereka sendiri,
contohnya: pengungkapan (expressing), menghubungkan
(connecting) dan bertanya (questioning).

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan,


Scratch dapat dijadikan dasar untuk penilaian aspek berpikir
komputasi. Melalui Scratch, desain program yang dibuat
dapat dilihat apakah sesuai dengan algoritma, proses
menemukan pola, dan penyelesaian solusinya. Di dalam
menu Scratch juga terdapat ide-ide dari beberapa desainer
yang dapat dipakai untuk penilaian berpikir komputasi untuk
berbagai tingkat pendidikan.
6.4. Soal-soal

1. Analisislah mengenai aspek berpikir komputasi di


era teknologi!
2. Mengapa berpikir komputasi menjadi aspek yang
wajib di era teknologi dan di era mendatang?
3. Rangkumlah elemen berpikir komputasi dalam
sebuah peta konsep!
4. Temukanlah beberapa jurnal penelitian terkait
Scratch sebagai pengembangan aspek berpikir
komputasi!
5. Ulaslah jurnal yang Anda temukan dari soal nomor 4!
BAB 7

PROYEK SEDERHANA
MENGGUNAKAN SCRATCH

7.1. Pendahuluan

Dalam pengembangan media dan alat peraga IPA,


Scratch merupakan salah satu contoh yang inovatif, unik, dan
kreatif jika dijadikan suatu media pembelajaran. Sesuai dengan
tujuan didirikannya bahwa Scratch adalah bahasa
pemrograman visual yang memungkinkan peserta didik
membuat cerita, permainan, dan animasi interaktif mereka
sendiri. Saat pengguna merancang proyek Scratch, mereka
belajar berpikir kreatif, menalar secara sistematis
(computational thinking), dan bekerja secara kolaboratif.
Dalam Bab ini dijelaskan beberapa contoh proyek sederhana
yang kemudian dapat diaplikasikan maupun sebagai bahan
referensi untuk mengerjakan proyek sesuai kebutuhan
pengguna.

7.2. Digital Storytelling

Digital storytelling merupakan kombinasi dari seni


bercerita dengan fitur multimedia seperti grafik, teks, video,
rekaman suara, dan musik yang menyajikan suatu materi
dalam durasi waktu tertentu. Dalam pengertian sederhana,
digital storytelling dapat diartikan mendongeng dengan
teknologi digital. Hal ini tentu saja baru dapat diciptakan dari
sejak adanya perkembangan budaya komputer dan internet.
Pemanfaatan digital storytelling sebagai media pembelajaran
dapat menjadi sangat fleksibel karena jenis materi dapat dipilih
sendiri oleh si penyusun media dan gambar maupun
suaranya pun demikian. Selain itu, digital storytelling ini
memiliki tingkat ketertarikan yang lebih besar ketimbang
bercerita biasa karena bercerita biasa sangat tergantung oleh
pembaca atau penceritanya. Digital storytelling juga sudah
banyak dimanfaatkan oleh guru-guru dan pendidik untuk
menjelaskan suatu materi pembelajaran karena media ini dapat
dipakai secara umum dalam berbagai mata pelajaran dan
berbagai aspek.

Digital storytelling juga menjadi pengantar untuk berpikir


komputasi (computational thinking). Konsep dasar komputasi
dapat membantu berpikir secara logis seperti mempelajari
suatu kasus kemudian merumuskan dalam bentuk
perulangan, paralelisme, kondisional, operator matematika,
juga data melalui pemrograman. Dalam hal ini dapat
dipraktekkan menggunakan pembuatan digital storytelling
dengan aplikasi Scratch.

Pembuatan digital storytelling menggunakan Scratch


dapat dilakukan dengan cukup mudah. Sebelum masuk ke
aplikasi Scratch, pengguna dapat membuat konsep ceritanya
terlebih dahulu. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian
sebelum membuat dalam aplikasi Scratch:

1. Menentukan materi.
2. Membuat narasi.
3. Membuat percakapan dalam Notepad/Ms.word.
4. Menyiapkan stage (atau bisa menggunakan yang tersedia).
5. Membuat rekaman suara sesuai percakapan.
6. Menentukan jumlah sprites dan geraknya.

Setelah semuanya disiapkan, kemudian pengguna bisa


masuk ke dalam workspace Scratch dan memulai membuat
program. Pembuatan digital storytelling dapat dimulai dengan
menyiapkan sprite-sprite ke dalam daftar sprites. Kemudian
memasukkan beberapa script dasar sesuai dengan narasi
seperti:
1. : digunakan untuk memulai program ketika
klik bendera hijau.

2. : digunakan untuk menambahkan

teks di atas sprites seolah-olah sprites tersebut sedang


berbicara.

3. : digunakan
untuk menambahkan efek audio, dapat
mengambil yang sudah tersedia,
mengupload rekaman suara, atau rekaman langsung pada
tab “sounds”.

Dengan beberapa script dasar tersebut, pengguna


tinggal mengatur delay waktu untuk tiap teks agar bergantian
ketika muncul sehingga pada display akan muncul
percakapan antar sprite seperti pada contoh Gambar 16.
Gambar 16. Contoh Tampilan Digital Storytelling pada Scratch

7.3. Games

Scratch juga dapat digunakan untuk membuat game-game


yang menarik. Pengguna dapat mengombinasikan games ke
dalam storytelling sebagai pelengkap atau kuis. Beberapa
jenis game yang sering dibuat adalah jenis scroller, platforms,
maze, quiz, dan pong.

Pada game berjenis scroller, karakter dapat bergerak ke


samping diikuti dengan gerakan background. Game berjenis
platformer biasanya pemain diminta menjalankan karakter dari
titik A ke B dan sepanjang perjalanan mereka akan dihadapkan
dengan rintangan-rintangan atau musuh, contohnya seperti
game Mario Bros. Game berjenis Maze merupakan game yang
cukup mudah dibuat menggunakan media Scratch dan juga
sering dijadikan asesmen untuk berpikir komputasi. Game
Maze atau labirin juga relatif mudah dimainkan oleh
siapapun. Untuk quiz lebih digunakan sebagai pelengkap atau
evaluasi dalam bentuk soal-soal teks dengan opsi jawaban
sehingga pengguna tinggal melakukan klik seperti halnya
platform quiz yang lain. Yang terakhir jenis game pong
berfokus pada gerak suatu bola dengan sifat fisis yang
dikomputasikan seperti pemantulan, peredaman, dan
kecepatan.

Gambar 17. Contoh Tampilan Jenis Game dalam Scratch (Sumber: scratch.mit.edu)
7.4. Simulasi

Secara umum pengertian mengenai simulasi adalah


proses peragaan atau peniruan yang nyata beserta sifat dan
keadaan sekelilingnya. Simulasi komputer banyak digunakan
di berbagai bidang termasuk pendidikan dan sains. Simulasi
dari sebuah kejadian dapat diwakili oleh model dari sistem
tersebut yang dijalankan di komputer sehingga dapat
digunakan untuk menggali pengetahuan lebih dalam dan
lebih jauh dengan cara yang lebih mudah seperti meramalkan
suatu kejadian atau memperkirakan performa dari suatu sistem
yang kompleks. Beberapa jenis simulasi diantaranya adalah
simulasi kendaraan (motor, mobil, pesawat), simulasi fisika
(gravitasi, tumbukan, gerak, gaya), simulasi matematik
(grafik, geometri, trigonometri, fractal), dll.

Scratch sebagai bahasa pemrograman visual dapat


dijadikan alat untuk membuat simulasi yang setara dengan
bahasa pemrograman lain. Dalam kajian fisika misalnya, ada
beberapa fenomena mulai dari yang sederhana sampai yang
kompleks yang dapat dibuat simulasinya. Fenomena yang
dapat dibuat biasanya adalah fenomena-fenomena yang
memiliki solusi numerik. Contoh kasus fisika yang dapat
dibuat simulasinya menggunakan Scratch adalah kasus gerak
jatuh bebas.

Fenomena gerak jatuh bebas merupakan masalah yang


biasa ditemukan di sekitar kita. Misalnya, buah jatuh dari
pohon, benda jatuh yang lepas dari pegangan kita, air
menetes dari genteng, dll. Dalam simulasi sederhana, gerakan
benda boleh tidak dipengaruhi oleh gaya gesek udara.
Tentu saja
sebetulnya hal ini menyalahi kenyataan yang terjadi. Namun
demikian, untuk memberikan gambaran bagaimana kita
dapat mendekati persamaan gerak Newton dengan salah satu
metode numerik, maka hal tersebut menjadi kondisi batasan
kita.

Jika terdapat bola yang berada di dekat permukaan


bumi, maka bola tersebut dikenai sebuah gaya tunggal yaitu
gaya gravitasi. Jika diasumsikan gaya gesekan udara
diabaikan, maka gaya gravitasi yang dialami bola tersebut
adalah:

𝐹𝑔 = −𝑚𝑔 (1)

dimana m adalah massa bola dan g adalah percepatan


gravitasi = 9,8 m/s. Untuk menyederhanakan permasalahan,
pertama kita mengasumsikan bahwa hanya ada satu arah
gerak partikel yaitu gerak vertikal. Menurut hukum Newton
kedua, persamaan gerak bola dapat digambarkan oleh
persamaan:
𝑑 𝑦
𝑚 2 =𝐹 (2)
𝑑𝑡2

dimana y adalah koordinat arah vertikal dan berharga


positip, t adalah waktu, F adalah total gaya yang dikenakan
pada bola dan m adalah massa diam. Jika kita mengeset F=Fg,
maka persamaan (1) dan (2) menjadi:
𝑑 𝑦
2 = −𝑔 (3)
𝑑𝑡2

Persamaan (3) merupakan pernyataan dari sebuah model


gerak jatuh bebas. Dalam kasus ini model gerakan berupa
persamaan diferensial orde dua. Solusi analitik dari persamaan
(3) adalah:
1
𝑦(𝑡) = 𝑦(0) + 𝑣(0)𝑡 − 𝑔𝑡2 (4.a)
2

𝑣(𝑡) = 𝑣(0) − 𝑔𝑡 (4.b)

Akan tetapi, kita akan menentukan gerak jatuh bebas bola


dengan pendekatan numerik dengan tujuan untuk
penggunaan komputasi. Maka dapat kita pisahkan persamaan
(3) menjadi dua persamaan diferensial berorde satu, yaitu:
𝑑𝑦
=𝑣 (5.a)
𝑑𝑡

𝑑𝑣
= −𝑔 (6.b)
𝑑𝑡

dengan v adalah kecepatan bola pada arah vertikal.

Langkah selanjutnya, kita memerlukan solusi numerik


dari persamaan (5) dengan nilai Δt adalah interval waktu.
Persamaannya dapat diaproksimasikan:

𝑦(𝑡 + ∆𝑡) = 𝑦(𝑡) + 𝑣(𝑡)∆𝑡 (6.a)

𝑣(𝑡 + ∆𝑡) = 𝑣(𝑡) − 𝑔∆𝑡 (6.b)

atau dapat dituliskan lebih sederhana:

𝑦𝑖+1 = 𝑦𝑖 + 𝑣𝑖∆𝑡 (7.a)

𝑣𝑖+1 = 𝑣𝑖 + 𝑔∆𝑡 (7.b)

Dengan solusi numerik dari nilai kecepatan (v) dan


posisi benda secara vertical (y), Maka dapat langsung kita
aplikasikan ke dalam Scratch dengan script blok kurang lebih
seperti berikut:
Gambar 18. Script Blok untuk Gerak Jatuh Bebas

7.5. Soal-Soal

1. Dalam pembuatan media Scratch berjenis digital


storytelling, buatlah contoh konsep media dan
algoritmanya!
2. Bandingkanlah tingkat kesulitan pembuatan media
berjenis digital storytelling, games, dan simulasi dalam
Scratch!
3. Analisislah mengenai efektifitas penggunaan media
Scratch pada beberapa tingkat pendidikan!
4. Buatlah proyek sederhana menggunakan Scratch
dengan salah satu jenis antara games dan simulasi!
5. Analisislah aspek kelayakan dari media yang Anda
buat di nomor 4!
DAFTAR PUSTAKA
Arshad, Azhar. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada

Brennan, K. & Resnick, M. 2012. New frameworks for


studying and assessing the development of
computational thinking. Proceedings of the 2012 Annual
Meeting of the American Educational Research
Association, (1–25). Vancouver, Canada.

Bretz, R. 1971. A taxonomy of communication media.


Englewood Cliffs, New Jersey: Educational Technology
Publications

Briggs, Leslie. 1977. Instructional Principles Design and


Application. New. Jersey: Educational Technology
Publication

Dale, E. 1969. Audiovisual methods in teaching. New York:


Dryden Press.

Department of Education UK. 2015. Statutory guidance:


National Curriculum in England: Computing programmes
of study.

Duncan, C., Bell, T. & Tanimoto, S. 2014. Should your 8-year-


old learn to code? Proceedings of the 9th Workshop in
Primary and Secondary Computing Education (60–69).
Berlin, Germany. ACM

Gagne, R. 1975. Essentials of learning for instruction. New


York: Dryden.
Hardyanto, Wahyu. 2014. Kajian Gejala Fisika dengan Scratch.
Unnes Press: Semarang

History of the insectarium. E space pour la vie.


https://espacepourlavie.ca/en/history-insectarium.
Diakses pada tanggal 1 Juni 2021

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kemp, J. E. and Dayton, D. K. 1985. Planning and Producing


Instructional Media. Harpercollins College Div

Levie, W. H. and Lentz, R. 1982. Effects of text illustrations: a


review of research. Educational Communication and
Technology Journal, 30: 195-232.

Mursell, James. L. 1982. Succesfull Teaching. New York: Graw


Hill.

Nana Sudjana dan Ahmad Rivai. 2010. Media Pengajaran.


Bandung: Sinar Baru Algensindo

National Education Association. 1969. Audiovisual


Instruction Department, New Media and College
Teaching. Washington, D.C.: NEA.

Poole, B.J., Jackson, L. 2016. ESSENTIAL MICROSOFT OFFICE


2016: Tutorials for Teachers. University of Pittsburgh at
Johnstown, PA, USA

Sabourin, Diane. 2015. "Montréal Insectarium". The Canadian


Encyclopedia, Historica Canada.
https://www.thecanadianencyclopedia.ca/en/article/th
e-montreal-insectarium. Accessed 1 June 2021
Schramm, W. 1977. Big media, little media: Tools and
technologies for instruction. Beverly Hills: Sage
Publications.

Setyawan, A. D, Indrowuryatno, Wiryanto, Winanrno, K dan


Susilowati, A. 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa
Tengah. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas
Maret. Surakarta.

Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. Jakarta: PT Inter-


Pariwisata

Susilo, M. J. 2015. Analisis Kualitas Media Pembelajaran


Insektarium dan Herbarium untuk Mata Pelajaran Biologi
Sekolah Menengah. Jurnal BIOEDUKATIKA, 3 (1), 10-15.

Zhang, LeChen & Jalal Nouri. 2019. A systematic review of


learning computational thinking through Scratch in K-9.
Computers & Education. Vol. 141: 103607
BIOGRAFI PENULIS
Novi Ratna Dewi, S.Si., M.Pd., lulus
S1 di Program Studi Fisika, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam (FMIPA), Universitas Negeri
Semarang (UNNES) pada 2005, lulus S2
di Program Studi Pendidikan IPA,
Pascasarjana UNNES pada 2007, dan sedang menempuh S3 di
Program Studi Pendidikan IPA, Pascasarjana UNNES. Sejak
2008 sampai saat ini aktif sebagai dosen di Prodi Pendidikan
IPA, Jurusan IPA Terpadu, FMIPA UNNES. Fokus pengabdian
dan riset pada bidang pendidikan IPA, metodologi penelitian
pendidikan, evaluasi pembelajaran, metakognisi serta TPACK.
Karya buku yang pernah dihasilkan di antaranya IPA Dasar
(2013), Pembentukan Karakter Konservasi Melalui Inovasi dan
Strategi Pembelajaran IPA (Book Chapter) (2018), dan Berkreasi
Mendesain Pembelajaran berbasis Etnosains untuk
Mendukung Pembangunan Berkelanjutan (2021).
Arka Yanitama, S.Si., M.Si.,
memperoleh gelar Sarjana Sains dari
Program Studi Fisika, FMIPA,
Universitas Negeri Semarang (UNNES)
pada 2013, Kemudian melanjutkan S2
di program studi Sains Komputasi,
Sekolah Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan
lulus pada 2016. Sejak 2017 hingga saat ini aktif sebagai
dosen di program studi Pendidikan IPA, Jurusan IPA Terpadu,
UNNES. Sebagai dosen muda, penulis terus belajar untuk
menjadi pendidik yang baik dan selalu mengembangkan diri.
Tidak lupa memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan
melakukan pengabdian kepada masyarakat dan melakukan
penelitian di bidang pendidikan IPA, komputasi, dan e-
learning. Penulis juga beberapa kali menjadi editor prosiding
seminar dan jurnal ilmiah.
Prasetyo Listiaji, S.Pd., M.Sc.,
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
di Program Studi Pendidikan Fisika S1,
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA),
Universitas Negeri Semarang (UNNES)
pada 2015, kemudian melanjutkan menempuh studi Master
of Science bidang Fisika di Program Studi Fisika S2,
Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2016-2018. Pada 2018
pernah mengajar sebagai dosen Fisika di Institut Teknologi
Telkom Purwokerto (ITTP) dan sejak 2019 sampai saat ini aktif
sebagai dosen di Prodi Pendidikan IPA, Jurusan IPA Terpadu,
FMIPA UNNES. Fokus Penelitian di bidang spektroskopi
optik, radiografi, pendidikan fisika, dan pengembangan
media pembelajaran sains. Saat ini sedang mencoba untuk
mengembangkan Mobile Science Experiment untuk IPA
Terpadu, khususnya dengan memanfaatkan sensor smartphone
dan aplikasi opensource.
Isa Akhlis, S.Si., M.Si.
menyelesaikan pendidikan Strata 1
dari Program Studi Fisika, Universitas
Diponegoro, lulus pada 1997,
kemudian mengambil program
Magister dari Program Studi
Ilmu Fisika, Universitas Gadjah Mada
pada 2001 dan lulus pada 2003.
Penulis
aktif menjadi dosen di Program Studi Fisika, FMIPA,
Universitas Negeri Semarang sejak 1999. Beberapa mata kuliah
yang diajarkan penulis adalah Fisika Komputasi,
Pemrograman Dasar, E-Learning, dan Pengolahan Citra.
Fokus penelitian/riset penulis ada di bidang Fisika
Komputasi, Pengembangan E-Learning, dan Penggunaan
Software. Penulis juga selalu aktif dalam pengabdian
masyarakat terutama memberi pelatihan ke guru-guru di
Semarang dan sekitarnya dalam hal pemanfaatan teknologi
informasi sebagai penunjang pembelajaran di sekolah.
Risa Dwita Hardianti, S.Pd., M.Pd,
merupakan lulusan program S1
Pendidikan Kimia (2009) dan program
S2 Pendidikan IPA konsentrasi Kimia
(2012) yang keduanya diambil di
Universitas Negeri Semarang
(UNNES). Sejak 2015 bergabung menjadi dosen di Jurusan
IPA Terpadu UNNES. Beberapa mata kuliah yang diampu
meliputi Kimia Dasar, Microteaching, dan Teknik dan
Pengelolaan Laboratorium IPA. Penelitian dan pengabdian
yang dilakukan sejalan dengan pilar-pilar konservasi UNNES
antara lain penggunaan ICT dalam Pembelajaran IPA dan
pelaksanaan praktikum IPA yang ramah lingkungan
berdasarkan prinsip green chemistry dan SDGs.
Ismail Okta Kurniawan, S.Kom. Lulus
Diploma Teknik Informatika 2005 dan
sarjana Teknik Informatika Universitas
Dian Nuswantoro 2017. Fokus skill pada
DBA (Database Administrator) MySQL
dan WEB programing PHP dengan
Laravel, Codeigniter Framework. Saat ini aktif bekerja
sebagai staf ASN di UPT Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK) Universitas Negeri Semarang.
DATE DUE SLIP

MEMBER CHECK OUT CHECK IN

Anda mungkin juga menyukai