Anda di halaman 1dari 39

TUMOR KELENJAR SALIVARIUS

MATA KULIAH BEDAH ONKOLOGI 1 (BDH 202)


TAHAP BEDAH LANJUT I (SEMESTER 4-6) Penulis:
PROGRAM STUDI ILMU BEDAH
dr. Putu Anda Tusta
FAKULTAS KEDOKTERAN
Adiputra, Sp.B(K)Onk
UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan modul Tumor Kelenjar Salivarius ini
sesuai dengan waktu yang diharapkan. Modul ini dibuat untuk dijadikan sebagai sumber bacaan
dan referensi bagi residen program studi Ilmu Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan buku ini, penulis pasti tak luput dari kesalahan
baik dari segi teknik penulisan maupun tata bahasa. Namun penulis tetap berharap agar buku ini
bisa memberikan manfaat bagi pembaca.

Akhir kata, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis untuk proses
penyempurnaan modul ini.

Denpasar, 1 Januari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii
PENDAHULUAN.................................................................................................................... 1
EPIDEMIOLOGI..................................................................................................................... 3
ANATOMI............................................................................................................................... 5
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO...................................................................................... 8
KLASIFIKASI......................................................................................................................... 9
TANDA DAN GEJALA.......................................................................................................... 17
STAGING................................................................................................................................ 19
DIAGNOSIS............................................................................................................................ 25
MANAJEMEN......................................................................................................................... 28
PROGNOSIS............................................................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 33

ii
Pendahuluan

Tumor kelenjar salivarius adalah jenis neoplasma yang memiliki variasi yang luas baik
dari sisi morfologi maupun klinis (Holmberg, K. V. dan Hoffman, M. P., 2014; Farahani, S. J.
dan Baloch, Z., 2019). Keragaman morfologi dan klinis tersebut membuat jenis neoplasma ini
memberikan tantangan tersendiri bagi tenaga medis dalam hal diagnosis dan perencanaan terapi
(Lattimer, C. dan Gureja, N., 2002).

Angka kejadian kasus keganasan pada kelenjar salivarius hanya berkisar 0,5-2 kasus per
100.000 penduduk. Kasus keganasan pada kelenjar salivarius memang dapat digolongkan
sebagai kasus yang jarang ditemukan karena hampir sekitar 80% tumor ini biasanya bersifat
jinak. Dari seluruh kasus keganasan, kanker kelenjar salivarius hanya menyumbang kurang dari
0,5% dari semua kasus keganasan dan kurang dari 4-6% dari keseluruhan kanker di kepala dan
leher (To, V. S. H et al., 2012; Farahani, S. J. dan Baloch, Z., 2019).

Secara umum, kelenjar salivarius dapat dibagi menjadi kelenjar salivarius mayor dan
minor. Kelenjar liur mayor terdiri dari 3 pasang kelenjar yaitu kelenjar parotis, kelenjar
submandibula, dan kelenjar sublingual sedangkan kelenjar liur minor dapat terletak dimana saja
di seluruh traktus aerodigestivus. Hampir 80% dari tumor kelenjar liur mayor ditemukan di
kelenjar parotis, sedangkan pada kelenjar liur minor paling sering ditemukan di palatum. Di
kelenjar parotis, kasus yang merupakan tumor ganas hanya berkisar 20-25%. Angka keganasan
meningkat pada kelenjar submandibula hingga 40% dan mencapai lebih dari 90% pada kelenjar
sublingual. Kanker kelenjar salivarius dapat ditemukan pada semua kelompok usia meskipun
lebih sering terjadi pada usia dekade ke-7 (Ellis, H., 2012).

Sampai saat ini, penyebab pasti dari tumor kelenjar liur masih belum dapat dipastikan.
Sebagian besar kasus tumor kepala dan leher yang lain berkaitan erat dengan merokok dan
konsumsi alkohol. Namun hal ini tidak berkaitan dalam kanker kelenjar saliva. Penelitian
membuktikan bahwa pola diet yang kaya akan vitamin C dan rendah kolesterol dapat efektif
dalam menurunkan risiko terkena kanker kelenjar salivarius. Adapun faktor-faktor risiko lainnya
seperti riwayat bekerja di pabrik karet atau kayu, riwayat bekerja di salon, paparan terhadap virus
Epstein-Barr, riwayat terkena penyakit kanker sebelumnya, paparan radiasi, dan kondisi
imunosupresi sering dikaitkan dengan peningkatan risiko terhadap kanker kelenjar salivarius
(To, V. S. H et al., 2012).

1
Manajemen kasus kanker kelenjar liur pada umumnya membutuhkan tindakan
pembedahan (Schmidt, R. L et al., 2011). Oleh karena itu, penegakan diagnosis antara tumor
jinak atau ganas menjadi sangat penting sebelum tindakan pembedahan dilakukan (Lee, W. H et
al., 2014). Angka mortalitas dapat berbeda-beda bergantung pada tipe dan stadium tumor. Angka
kemungkinan bertahan hidup 5 tahun (5 years survival rate) diperkirakan sebesar 70-90% pada
kasus derajat rendah dan hanya berkisar 20-30% pada tumor derajat tinggi (Mendenhall, W.
M.,Werning, J. W. dan Pfister, D. G., 2015).

2
Epidemiologi

Tumor kelenjar salivarius merupakan salah satu jenis neoplasma yang jarang ditemukan.
Prevalensinya hanya berkisar 4-6% dari keseluruhan kasus tumor di kepala dan leher dimana
yang berasal dari kelenjar liur mayor hanya sekitar 3-4% dan pada kelenjar liur minor sangat
jarang ditemukan, yaitu hanya sekitar 2-3% (Farahani, S. J. dan Baloch, Z., 2019; Israel, Y et al.,
2016). Meskipun kasusnya jarang, namun tumor ini memiliki jenis histopatologi yang cukup
beragam jika dibandingkan dengan jenis tumor dari organ lainnya baik yang jinak maupun ganas
(Israel, Y et al., 2016). Berbagai penelitian sudah dilakukan untuk menggambarkan epidemiologi
tumor jinak dan ganas dari kelenjar salivarius. Namun prevalensi, usia, jenis kelamin, distribusi
anatomi, dan angka kemungkinan bertahan hidup 5 tahun (5 years survival rate) berbeda-beda
pada tiap negara di dunia (Mendenhall, W. M.,Werning, J. W. dan Pfister, D. G., 2015).

Secara umum, kelenjar parotis menjadi lokasi tersering ditemukannya tumor kelenjar
salivarius. Hampir 70% tumor kelenjar salivarius ditemukan di kelenjar ini. Tumor pada
kelenjar submandibula hanya sekitar 10-15% dari kasus tumor kelenjar salivarius. Sekitar 80%
tumor di kelenjar liur merupakan tumor jinak. Prevalensinya pun bervariasi bergantung pada
kelenjar yang terlibat. Pada kelenjar parotis, sekitar 85% bersifat jinak, di kelenjar submandibula
sekitar 60% bersifat jinak, dan 10% baik dari kelenjar liur minor dan kelenjar sublingual
merupakan tumor jinak. Namun di beberapa lokasi, lesi jinak sangat jarang ditemukan. Sebagai
contoh, hampir keseluruhan tumor yang ditemukan di daerah lidah dan retromolar bersifat ganas.
Sedangkan di bibir, sebagian besar tumor (70%) merupakan tumor jinak. Adenoma sel basal dan
adenoma kanalikuli merupakan jenis yang paling sering ditemukan (Lattimer, C. dan Gureja, N.,
2002).

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan di dunia, tidak didapatkan adanya


hubungan yang signifikan antara tumor kelenjar salivarius dengan jenis kelamin. Tumor kelenjar
liur lebih banyak dijumpai pada wanita dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,6 : 1.
Akan tetapi, angka keganasan tumor jenis ini lebih sering didapatkan pada laki-laki. Tumor
kelenjar salivarius dapat dijumpai pada seluruh kelompok usia dengan insidensi terbanyak pada
kelompok usia 30-39 tahun. Tumor ganas kelenjar liur rata-rata ditemukan pada penderita yang
usianya lebih tua dibandingkan penderita tumor jinak. Hal ini disebabkan oleh akumulasi
penyimpangan genetik selama rentang hidup. Meskipun jarang ditemukan, namun sekitar 35%

3
dari tumor kelenjar salivarius pada anak-anak bersifat ganas. Tumor jinak paling banyak
ditemukan pada kelompok usia dekade keempat dimana tumor ganas pada dekade ketujuh
(Singh, A. B et al.,2015).

Pada tumor jinak kelenjar salivarius, gambaran histopatologis yang paling banyak
ditemukan adalah jenis adenoma pleomorfik yang dikenal juga dengan sebutan benign mixed
tumor. Jenis lainnya yang juga sering dijumpai secara berturut-turut adalah tumor Warthin’s,
onkositoma, dan adenoma sel basal. Untuk kelompok tumor ganas, karsinoma mukoepidermoid
merupakan jenis tersering lalu diikuti dengan karsinoma adenoid kistik. Pola metastasis ke
kelenjar getah bening regional berbeda-beda bergantung pada jenis gambaran histologi dari sel
tumor, lokasi tumor primer, dan stadium dari tumor tersebut. Pada anak-anak, jenis tumor ganas
yang tersering adalah karsinoma mukoepidermoid dan karsinoma sel asinik. Sedangkan untuk
kelenjar liur minor, kasus tersering adalah karsinoma adenoid kistik, karsinoma
mukoepidermoid, dan adenoma polimorfik derajat rendah (Lattimer, C dan Gureja, N., 2002).

4
Anatomi
Kelenjar salivarius secara umum dapat dibagi menjadi 3 pasang kelenjar liur mayor
yang terdiri dari kelenjar parotis, submandibula, serta sublingual dan kelenjar liur minor yang
tersebar di labial, bukal, palatum, dan permukaan lingual dari rongga mulut (Som, P. M. dan
Miletich, I., 2015; Holmberg, K. V. dan Hoffman, M. P., 2014).
a. Kelenjar Parotis
Kelenjar parotis merupakan kelenjar liur yang paling besar diantara seluruh kelenjar
liur (Holmberg, K. V. dan Hoffman, M. P., 2014). Letak anatomis dari kelenjar parotis
seolah-olah menyelubungi ramus mandibula dari sisi luar dan dalam. Untuk kepentingan
pembedahan, terdapat beberapa struktur yang harus diketahui untuk memahami batas dari
kelenjar parotis ini, yakni:
 Batas superior : Meatus auditorius eksternal
 Batas inferior : Bagian posterior (posterior belly) dari m.digastrikus
 Batas anterior : M.masseter yang berada diatas ramus mandibula
 Batas medial : Prosesus stiloideus, yang memisahkan kelenjar dari arteri karotis
interna, vena jugularis interna, dan dinding lateral dari faring
Ukuran kelenjar parotis dapat mencapai 5-6cm untuk ukuran panjang dan 3-4cm untuk
ukuran lebar. Kelenjar parotis dilalui oleh nervus fascialis yang membagi kelenjar parotis
menjadi dua lobus yaitu lobus superfisial dan profunda. Sekitar 80% bagian dari kelenjar
parotis terletak di sisi superfisial yaitu disebelah luar dari otot masseter dan mandibula
serta meluas ke arah arkus zigomatikum dan aspek anterior dari kanalis auditorius
eksternal. Di batas inferior, kelenjar parotis berada diantara mastoid dan angulus
mandibula. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelenjar parotis terletak di sisi
antero-inferior dari kanalis auditorius eksternal. Pada sebagian kecil populasi dapat
dijumpai adanya kelenjar parotis aksesorius yang terletak diatas m.masseter dan duktusnya
yang terletak di sisi kranial dari duktus kelenjar parotis atau duktus Stensen’s (Ellis, H.,
2012).
Kelenjar parotis dialirkan melalui duktus Stensen’s yang terletak secara superfisial dari
m.masseter dan menembus m.buccinator hingga akhirnya bermuara di mukosa bukal yaitu
setentang geraham kedua rahang atas. Panjang dari duktus ini berkisar dari 4-6cm (Ellis,
H., 2012; Punj, A., 2019).

5
Nervus fascialis melewati kelenjar parotis dan terbagi menjadi 5 cabang yang terdiri
dari cabang temporal, zigomatikum, bukal, mandibula marginalis, dan servikal. Kelima
cabang dari nervus fascialis nantinya akan mempersarafi otot-otot wajah yang mengatur
ekspresi wajah. Identifikasi nervus fascialis menjadi sangat penting pada saat melakukan
operasi. Nervus fascialis ini bisa saja diselubungi ataupun diinvasi oleh sel kanker kelenjar
parotis. Risiko iatrogenik pada nervus fascialis mungkin saja terjadi pada saat melakukan
tindakan pembedahan kelenjar parotis (Ellis, H., 2012).
Kelenjar parotid diperdarahi oleh beberapa arteri yang beranastomosis secara bebas.
Suplai utama kelenjar parotis berasal dari arteri karotis eksternal dan arteri temporal
superfisial. Sistem pembuluh vena akan mengalir ke vena jugularis eksteral dan vena
retromandibularis. Aliran limfatik akan dialirkan melalui nodul parotis superfisial dan
profunda ke nodus servikal profunda (Ellis, H., 2012; Holmberg, K. V. dan Hoffman, M.
P., 2014).

Gambar 1. Anatomi kelenjar liur (Ghannam, M. G. dan Singh, P., 2020).

b. Kelenjar Submandibula
Ukuran dari kelenjar submandibula hanya berkisar setengah dari ukuran kelenjar
parotis. Kelenjar submandibula terletak di dalam segitiga submandibula yang dibatasi oleh
anterior belly dan posterior belly dari m.digastrikus dan sisi inferior dari ramus mandibula.

6
Kelenjar submandibula juga dapat dibagi menjadi lobus superfisial yang berukuran lebih
besar dan lobus profunda yang berukuran lebih kecil. Lobus profunda terletak diatas
m.mylohyoid sedangkan lobus superficialis terletak di bawahnya dan kedua lobus ini
berhubungan secara langsung di sisi posterior dari m.mylohyoid. Kelenjar submandibula
dialiri oleh suatu duktus yang dikenal dengan sebutan duktus Wharton’s. Duktus ini akan
bermuara di sisi lateral dari frenulum linguae. Identifikasi terhadap duktus Wharton’s
sangat penting sebelum melakukan reseksi terhadap kelenjar submandibula (Ellis, H.,
2012).
Vaskularisasi dari kelenjar submandibula menerima suplai darah arteri dari
cabang arteri fascialis dan beberapa cabang dari arteri lingual. Drainase vena melalui vena
fascialis komunis dan vena lingual. Drainase limfatik melalui kelenjar getah bening
submandibula, servikalis profunda, dan rantai jugular bagian atas dan tengah (Ellis, H.,
2012).

c. Kelenjar Sublingual
Kelenjar sublingual merupakan kelenjar terkecil dari kelompok kelenjar salivarius
mayor. Kelenjar sublingual memiliki bentuk yang menyerupai almond dengan ukuran
hanya sekitar seperlima dari ukuran kelenjar submandibula. Berbeda dengan kelenjar liur
mayor, kelenjar ini dialirkan melalui sekitar 8-20 duktus-duktus kecil yang disebut dengan
duktus Rivinus. Duktus-duktus tersebut bermuara di sepanjang lipatan sublingual. Muara
dari duktus-duktus tersebut bisa saja bergabung dengan duktus kelenjar submandibula
(Holmberg, K. V. dan Hoffman, M. P., 2014).
Vaskularisasi kelenjar sublingual disuplai oleh cabang sublingual yang berasal dari
arteri lingual serta cabang submental dari arteri fascialis dan drainase oleh cabang
submental dari vena fascialis. Aliran limfatik dari kelenjar ini akan menuju ke kelenjar
getah bening submandibula (Ellis, H., 2012).
d. Kelenjar Salivarius Minor
Kelenjar salivarius minor tidak mempunyai duktus yang spesifik. Kelenjar ini bisa
ditemukan di rongga mulut seperti daerah bukal, labial, lingual, palatum, dan
palatoglossum. Selain itu, kelenjar liur minor juga dapat ditemukan pada ujung superior
tonsil (kelenjar Weber), dasar lidah (kelenjar von Ebner), sinus paranasal, laring, trakea,
dan bronkus. Secara keseluruhan, kelenjar liur minor bisa berjumlah 600-1000 kelenjar

7
dengan ukuran yang bervariasi dari 1mm hingga 5mm pada rongga mulut sampai dengan
orofaring. Persarafan kelenjar liur minor ini sebagian besar disuplai oleh nervus lingual
kecuali kelenjar minor di palatum yang menerima serabut parasimpatetik dari nervus
palatina (Ellis, H., 2012).
Etiologi dan Faktor Risiko

Secara umum, dapat dipahami bahwa sel kanker dapat timbul dari berbagai interaksi yang
kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Paparan terhadap zat karsinogenik dari
lingkungan yang memicu perkembangan dari sebagian besar sel kanker manusia masih belum
jelas. Pada sebagian besar kanker di daerah kepala dan leher, merokok dan konsumsi alkohol
memiliki kaitan yang cukup erat. Namun, faktor tersebut tidak berperan dalam kanker kelenjar
liur. Faktor-faktor yang diduga meningkatkan risiko adalah efek dari radiasi untuk kanker kepala
dan leher lainnya, paparan saat bekerja di pabrik karet maupun pabrik kayu, dan juga riwayat
terpapar zat-zat kimia di tempat kerja. Riwayat paparan terhadap virus Epstein-Barr, riwayat
menderita kanker sebelumnya, kondisi imunosupresi, dan riwayat kanker pada keluarga juga
dapat meningkatkan risiko kanker kelenjar liur. Dalam sebuah penelitian di Swedia, risiko
kanker kelenjar ludah meningkat empat kali lipat pada pasien limfoma Hodgkin. Infeksi HIV
juga dinilai dapat meningkatkan risiko kanker kelenjar liur. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa diet tinggi vitamin C dan rendah kolesterol efektif dalam mencegah kanker
kelenjar liur (To, V. S. H et al., 2012).

8
Klasifikasi

Secara umum, tumor pada kelenjar salivarius harus dibedakan antara tumor jinak dan
ganas dan berdasarkan gambaran morfologinya. Hal ini penting dalam menentukan kemungkinan
jenis tumor, perencanaan tatalaksana, dan memperkirakan prognosis pasien. Meskipun setiap
jenis tumor dapat ditemukan pada masing-masing kelenjar salivarius, namun beberapa jenis
tumor memiliki kecenderungan untuk timbul pada kelenjar tertentu (Lattimer, C dan Gureja, N.,
2002).

Tumor Jinak

Benign Mixed Tumor. Benign mixed tumor atau dikenal juga dengan sebutan adenoma
pleomorfik merupakan jenis tumor jinak kelenjar salivarius yang paling sering ditemukan. Jenis
tumor ini sering disebut dengan mixed karena tersusun atas campuran elemen epitel dan
mesenkim. Adenoma pleomorfik terdiri dari sel-sel epitel (duktus), sel-sel mioepitel, dan stroma
chondromyxoid. Adenoma pleomorfik menyumbang sekitar 65% dari kasus tumor kelenjar
parotis dan angka kejadiannya dapat mencapai hampir setengah dari keseluruhan kasus tumor
kelenjar liur. Pada kelenjar parotis, adenoma pleomorfik paling banyak dijumpai di lobus
superfisial. Adenoma pleomorfik secara makroskopis akan tampak dikelilingi oleh suatu
pseudokapsul, berwarna putih, dengan konsistensi keras dengan permukaan yang halus serta
memiliki batas yang tegas. Pasien dengan adenoma pleomorfik biasanya akan datang dengan
keluhan adanya massa yang membesar secara perlahan tanpa disertai rasa nyeri. Gangguan
mekanis yang paling umum terjadi pada tumor di lokasi ini adalah dispnea, disfagia, obstruksi
jalan napas akut, dan obstructive sleep apnea. Adenoma pleomorfik dapat ditemukan pada pasien
dengan usia mulai dari 20 tahun dengan usia rata-rata 40 tahun. Tumor dapat membentuk lobus
maupun berbentuk nodular dengan podosit yang dapat diamati secara mikroskopis. Tumor yang
tumbuh di lobus profunda kelenjar parotis dapat tumbuh di antara ramus mandibula, prosesus
stiloideus, maupun ligamentum stilomandibular dan mencapai hingga ke rongga parafaringeal
lalu menekan dinding lateral faring. Pada kelenjar liur minor, lokasi yang paling sering adalah

9
palatum diikuti oleh bibir, mukosa bukal, dasar rongga mulut, lidah, tonsil, faring, area
retromolar, dan rongga hidung. Adenoma pleomorfik juga dapat terjadi secara primer di rongga
parafaringeal (Lattimer, C. dan Gureja, N., 2002; Andersson, M. K. dan Stenman, G., 2016).

Gambar 2. Gambaran mikroskopis adenoma pleomorfik menunjukkan gambaran matriks


miksokondroid and sel mioepitelial (Shah, J. P., Patel, S. G. dan Singh, B., 2012).

Adenoma pleomorfik mempunyai risiko untuk relaps atau bahkan bertransformasi


menjadi tumor ganas. Rekurensi pada umumnya dapat ditemui sebagai pertumbuhan kembali
tumor secara lokal dan tidak menunjukkan adanya ciri-ciri keganasan. Rupturnya kapsul maupun
sisa jaringan tumor saat tindakan menjadi faktor risiko utama yang memicu terjadinya rekurensi.
Kasus lain yang sangat jarang terjadi adalah adenoma pleomorfik metastasis jinak. Kondisi ini
terjadi dimana tumor primer tidak menunjukkan adanya gambaran yang mengarah ke keganasan
tetapi telah terjadi invasi limfovaskular dan gambaran tumor dapat diidentifikasi di lokasi lain
pada waktu yang bersamaan. Kondisi lainnya yang juga cukup jarang terjadi yaitu dimana tumor
yang telah ada sebelumnya mengalami pertumbuhan yang progresif dan menimbulkan rasa nyeri.
Kondisi tersebut dikenal dengan sebutan karsinoma eks adenoma pleomorfik dan menunjukkan
bahwa terjadi perkembangan sel karsinoma yang berasal dari tumor primer (Andersson, M. K.
dan Stenman, G., 2016).

10
Lesi Limfoepitelial Jinak. Kasus lesi limfoepitelial jinak sekitar 5% dari keseluruhan lesi jinak.
Tumor ini bisa timbul secara bilateral dan lebih sering terjadi pada wanita. Lesi dengan
pertumbuhan yang lambat ini dapat muncul di kepala dan leher, termasuk juga kelenjar ludah.
Secara makroskopis, lesi ini bersifat unilokus namun bisa juga multilokus. Secara mikroskopis,
lesi ini tersusun dari jaringan limfoid padat yang polimorfik dan poliklonal yang memiliki kaitan
erat dengan sel epitel skuamosa atau glandular. Sel-sel epitel tersebut dapat ditembus oleh
limfosit (Mendenhall, W. M., Werning, J. W. dan Pfister, D. G., 2015).

Papillary Cystadenoma Lymphomatosum. Tumor jenis ini disebut juga sebagai tumor
Warthin’s, tumor jinak terbanyak kedua di kelenjar parotis setelah adenoma pleomorfik. Tumor
ini berkisar 6-10% dari seluruh kasus tumor di kelenjar parotis dan paling sering berada di lobus
superfisial dan cukup jarang terjadi di lobus profunda.Tumor ini dibungkus oleh kapsul tipis
yang komplit. Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dewasa dibanding wanita. Hal ini
mungkin ada kaitannya dengan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa jenis tumor ini
berkaitan dengan merokok. Iritasi epitel duktus oleh asap tembakau diduga memicu terjadinya
pemebentukan tumor. Tumor ini dapat dijumpai pada usia dekade ketiga dan akan mencapai
puncaknya pada usia dekade kelima. Tumor Warthin’s jarang sekali mengalami transformasi
menjadi tumor ganas dimana angka kejadiannya tidak lebih dari 1%. Tumor Warthin’s memiliki
gambaran berupa suatu massa berbatas tegas dan berkonsistensi lunak dengan ruang kistik yang
berisi cairan jernih kecoklatan. Tumor ini juga memiliki suatu kapsul yang tipis dan laju
pertumbuhannya relatif lambat (Kuzenko, Y. V et al., 2016).

11
Gambar 3. Gambaran tumor Warthin’s dengan potongan parenkim kelenjar parotis normal di
sebelah kanan (Shah, J. P., Patel, S. G. dan Singh, B., 2012).

Onkositoma. Suatu tumor jinak yang jarang, dimana hanya berkisar 1-2% dari seluruh kasus
neoplasma kelenjar salivarius. Meskipun demikian, angka kejadiannya lebih tinggi daripada
karsinoma onkosit. Tumor ini biasanya tumbuh secara lambat dan lebih sering dijumpai pada
kelenjar parotis. Onkositoma rata-rata terjadi pada usia 60 tahun. Sekitar 20% pasien yang
menderita onkositoma
pernah memiliki riwayat
mendapatkan radioterapi atau
terpapar dengan radiasi. Prognosis
onkositoma cukup baik
dengan kejadian rekurensi sering
terjadi belakangan.
Secara makroskopis,
tumor dapat terlihat sebagai
suatu massa padat yang berbatas
tegas dengan kapsul fibrosa dan biasanya ditemukan berukuran kecil. Gambaran mikroskopisnya
berupa kumpulan lapisan sel jernih, trabekula, sel poligonal dengan pola asinik atau folikuler
yang memiliki batas sel yang jelas (Shah, J. P., Patel, S. G. dan Singh, B., 2012).

Gambar 4. Gambaran mikroskopis onkositoma menunjukkan kelompok sel eosinofilik yang


dipisahkan oleh septa fibrovaskular yang tipis (Shah, J. P., Patel, S. G. dan Singh, B., 2012).

12
Adenoma Sel Basal. Adenoma sel basal memiliki gambaran yang menyerupai adenoma
pleomorfik dengan variasi sel basaloid dan palisade perifer. Adenoma sel basal menyumbang
sekitar 1-2% dari seluruh kasus tumor epitelial kelenjar salivarius dan sekitar 2% dari kasus
tumor jinak kelenjar salivarius (Singh, A. B et al., 2015). Tumor ini lebih sering ditemukan pada
orang dewasa. Tumor ini dapat disembuhkan dengan eksisi sederhana. Secara makroskopis,
tumor ini tampak sebagai massa dengan ukuran yang relatif kecil dan diselubungi oleh suatu
kapsul. Gambaran mikroskopis dari adenoma sel basal berupa massa padat dan terdiri dari sel
epitelial yang menyerupai adenoma pleomorfik dengan palisade perifer. Adenoma sel basal tidak
menginvasi perineural serta tidak memiliki komponen mesenkim dan matriks myxoid
(Mendenhall, W. M., Werning, J. W. dan Pfister, D. G., 2015).

Tumor Ganas

Karsinoma Mukoepidermoid. Karsinoma mukoepidermoid merupakan jenis tumor ganas


kelenjar salivarius terbanyak dan paling sering ditemukan di kelenjar parotis. Karsinoma
mukoepidermoid dapat ditemukan pada laki-laki maupun perempuan tanpa adanya perbedaan
yang signifikan dan dapat terjadi pada segala jenis usia dengan usia rata-rata di dekade keempat.
Secara makroskopis, tumor berwarna putih keabuan dan memiliki batas tegas. Gambaran
mikroskopisnya dapat berbeda bergantung pada derajat tumor. Pada tumor derajat rendah
gambarannya menunjukkan adanya sel-sel intermediet dan sel-sel musin dengan nukleus yang
membentuk rongga glandular. Sedangkan pada derajat tinggi, tampak adanya pola pertumbuhan
yang infiltratif dari sel-sel epidermoid atipikal dan sel-sel intermediet dengan sitoplasma dan
sejumlah kecil sel musin (Triantafillidou, K et al., 2016). Terdapat beberapa kondisi yang dapat
memperburuk prognosis pada penderita karsinoma mukoepidermoid seperti usia tua, lokasi
tumor di kelenjar submandibula, penyebaran sel tumor ke luar kelenjar, invasi vaskular, indeks
mitosis yang tinggi, dan derajat histologis tinggi. Angka kemungkinan bertahan hidup 5 tahun
untuk tumor derajat rendah dilaporkan mencapai 80-95%, sedangkan untuk tumor derajat tinggi
adalah 30-50% (Seethala, R. R. dan Stenman, G., 2017; To, V. S. H et al., 2012).

13
Gambar 5. Gambaran mikroskopik karsinoma mukoepidermoid derajat rendah ditandai dengan
rongga kistik yang dibatasi oleh sel epitel skuamosa (kiri) dan karsinoma mukoepidermoid
derajat tinggi yang ditandai dengan adanya pleomorfisme nukleus dan daerah nekrosis sel
tunggal (Shah, J. P., Patel, S. G. dan Singh, B., 2012).

Karsinoma mukoepidermoid juga merupakan jenis keganasan yang paling sering


ditemukan di kelenjar liur minor. Lokasi tersering di kelenjar liur minor adalah daerah palatum,
daerah retromolar, dasar rongga mulut, mukosa bukal, bibir, dan lidah. Insiden tersering terjadi
diantara usia dekade ketiga dan keenam, meskipun dapat terjadi pada kelompok usia berapapun
(Shah, J. P., Patel, S. G. dan Singh, B., 2012).

Karsinoma sel asinik. Karsinoma sel asinik merupakan neoplasma derajat rendah dengan angka
kejadian berkisar 1-3% dari seluruh kasus tumor kelenjar salivarius dan sekitar 3% dari seluruh
tumor di kelenjar parotis. Tipe keganasan ini tumbuh relatif lambat dan dapat ditemukan pada
hampir seluruh kelompok usia. Pada anak-anak, karsinoma sel asinik menjadi keganasan
tersering kedua setelah karsinoma mukoepidermoid (Shah, J. P., Patel, S. G. dan Singh, B.,
2012). Pada orang dewasa, karsinoma sel asinik lebih sering ditemukan pada wanita. Metastasis
ditemukan pada sekitar 10-15% kasus dan biasanya ke KGB regional. Tingkat
keagresivitasannya akan menurun jika terjadi di kelenjar liur minor. Angka kekambuhannya
dapat mencapai 10-30% (kemungkinan diakibatkan oleh eksisi yang tidak adekuat). Secara
makroskopis, tumor dapat berupa massa padat atau kistik, berkapsul, bisa lunak maupun keras,
berwarna keabuan, dan biasa ukurannya tidak melebihi 3cm. Pada gambaran mikroskopis,
jaringan tumor menunjukkan berbagai jenis diferensiasi baik asinar, duktal, maupun elemen
mioepitelial. Beberapa kondisi yang memperburuk prognosis seperti ukuran tumor yang besar,

14
stadium lanjut, massa yang terfiksir, peningkatan gambaran mitosis, nekrosis, dan invasi saraf.
Di kelenjar liur minor, karsinoma sel asinik paling banyak dijumpai di mukosa bukal, bibir atas,
dan palatum serta jarang di lidah, gusi, sinus paranasal, dan laring (Sood, S., McGurk, M. dan
Vaz, F., 2016).

Adenokarsinoma, karsinoma diferensiasi buruk, karsinoma anaplastik, dan karsinoma sel


skuamosa. Tipe-tipe histologi ini biasanya memiliki sifat yang lebih agresif. Karsinoma sel
skuamosa menyumbang kira-kira 11% dari tumor ganas di kelenjar salivarius mayor dan lebih
sering terjadi pada pria. Laju pertumbuhannya relatif cepat dengan infiltrasi pada struktur di
sekitarnya, tanpa disertai rasa nyeri, dan dapat menyebabkan kelumpuhan pada otot wajah.
Secara makroskopis, massa biasanya berukuran besar dengan kapsul yang tidak sempurna.
Gambaran mikroskopisnya memberikan gambaran klasik dari karsinoma sel skuamosa. Invasi
perineural sering dijumpai pada tipe-tipe keganasan ini. (Andersson, M. K. dan Stenman, G.,
2016)

Malignant Mixed Tumor. Disebut juga sebagai karsinoma eks adenoma pleomorfik,
menyumbang sekitar 4% dari kasus neoplasma kelenjar liur dan sekitar 12% kasus keganasan
pada kelenjar liur. Sebagian kecil dari adenoma pleomorfik yang jinak dapat berkembang
menjadi suatu keganasan Karsinoma eks adenoma pleomorfik biasanya didefinisikan sebagai
perkembangan karsinoma yang berhubungan dengan adenoma pleomorfik jinak primer atau
rekuren. Rata-rata usia penderita yaitu di usia 55 tahun. Secara klinis, tumor ini dapat ditandai
dengan pertumbuhan yang meningkat secara mendadak, trismus, nyeri, maupun kelumpuhan otot
wajah. Adanya informasi tentang riwayat menderita adenoma pleomorfik jinak sebelumnya
sangat membantu dalam hal penegakan diagnosis. Ukuran tumor, indeks proliferasi, stadium,
serta gambaran dan derajat histologis mempengaruhi prognosis dari tumor ini (Lattimer, C. dan
Gureja, N., 2002; Seethala, R. R. dan Stenman, G., 2017).

Secara makroskopis, tumor tampak sebagai suatu massa yang menginfiltrasi secara luas
dengan adanya gambaran hemoragik dan nekrosis. Tumor ini bisa saja memiliki kapsul.
Gambaran mikroskopis menunjukkan adanya transisi dari tumor jinak (biasanya adenoma
pleomorfik) menjadi ganas (paling sering adenokarsinoma) dan biasanya dengan stroma jinak.
Bersifat infiltratif luas dengan atipia, nekrosis, angka mitosis yang tinggi, invasi perineural dan
vaskular (Sood, S., McGurk, M. dan Vaz, F., 2016; Israel, Y et al., 2016).

15
Karsinoma adenoid kistik. Karsinoma pada kelenjar liur mayor maupun minor yang ditandai
dengan diferensiasi bifasik duktal dan mioepitel. Karsinoma adenoid kistik paling sering
dijumpai di kelenjar parotis dan submandibula dan di kelenjar liur minor paling sering di rongga
mulut, traktus sinonasal, nasofaring, orofaring, dan trakea (To, V. S. H et al., 2012). Hampir
setengah dari seluruh kasus di kelenjar liur minor ditemukan di daerah palatum. Gambaran
histologi dari karsinoma adenoid kistik cukup bervariasi, namun paling sering menunjukkan pola
pertumbuhan yang berkisi, menyerupai keju Swiss (“Swiss cheese” appearance). Tumor terdiri
dari campuran sel-sel duktal dan mioepitelium. Sel-sel tumor berukuran kecil, bersudut, dengan
sitoplasma yang sedikit. Tumor ini memiliki kecenderungan untuk menginvasi perineural dan
dapat bermetastasis mulai dari fase awal penyakit. Hal ini diakibatkan oleh adanya
kecenderungan jenis tumor ini untuk menyebar via hematogen dengan paru-paru menjadi organ
utama terjadinya metastasis. Selain itu, tingkat rekurensi lokal juga dilaporkan cukup tinggi pada
jenis tumor ini. Prevalensi rekurensi lokal dan metastasis jauh berturut-turut adalah 16-67% dan
8-46% dimana paru-paru

Gambar 6. Gambaran karsinoma adenoid kistik pada kelenjar parotis, tampak susunan sel
kribifpormis yang dominan (Shah, J. P., Patel, S. G. dan Singh, B., 2012).
menjadi organ tersering terjadinya metastasis jauh. Secara umum, karsinoma adenoid kistik
memiliki prognosis jangka panjang yang buruk. Secara makroskopis, tumor ini dapat
digambarkan sebagai suatu massa yang berkonsistensi keras dan bersifat infiltratif. Gambaran
mikroskopis tumor ini menunjukkan adanya diferensiasi bifasik dengan komponen duktal dan
mioepitel. Selain berbahaya pada kelenjar liur mayor, karsinoma adenoid kistik juga cukup

16
berbahaya pada kelenjar liur minor. Prevalensi di kelenjar liur minor adalah sekitar 5-10%
(Triantafillidou, K et al., 2010).

Karsinoma Limfoepitelial (Lesi Limfoepitelial Maligna). Karsinoma yang tidak


terdiferensiasi, muncul sebagai massa unilateral di kelenjar parotis, kelenjar submandibula, atau
kelenjar liur minor pada orang dewasa. Keterlibatan KBG regional sering ditemukan dan
metastasis jauh ke hepar, paru-paru, dan tulang. Gambaran mikroskopis menunjukkan kumpulan
epitel ganas yang menyerupai non-keratinizing large cell carcinoma dan jaringan limfoid dengan
pusat germinal. Invasi perineural sering ditemukan pada kasus ini. Dapat memiliki pola seperti
langit berbintang, granuloma, dan amiloid. Pada umumnya mempunyai prognosis yang baik
dengan terapi pembedahan dan radioterapi (Mendenhall, W. M., Werning, J. W. dan Pfister, D.
G., 2015).

Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala klinis yang muncul pada kasus tumor apapun, termasuk tumor kelenjar
salivarius, dapat bervariasi pada tiap pasien bergantung pada lokasi, ukuran, jenis tumor, tingkat
keganasan, maupun derajat dari keganasan tersebut. Keluhan yang biasa dikeluhkan oleh pasien
berupa benjolan atau bengkak di wajah, mulut, pipi, rahang, serta leher. Kadang-kadang benjolan
bisa menimbulkan rasa nyeri serta membuat wajah atau leher tampak asimetris. Paresthesia di
sebagian wajah, paresis otot wajah tertentu, trismus, dan disfagia juga sering dikeluhkan oleh
pasien. Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan guna memastikan adanya penyebab non
tumor lainnya yang menghasilkan keluhan tersebut (Lee, W. H et al., 2014).

Pemeriksaan fisik yang lengkap dan menyeluruh diharapkan dapat membantu dalam
memperkirakan kemungkinan apakah suatu tumor bersifat jinak atau ganas. Adapun beberapa
parameter yang lazim digunakan misalnya karakteristik tumor, laju pertumbuhan, perdarahan
tumor, dan tanda-tanda terjadinya metastasis jauh. Pada tumor yang bersifat jinak, kebanyakan

17
akan berupa tumor soliter, berbatas tegas, permukaan tumor rata, mobile, dan tidak disertai rasa
nyeri. Selain itu, laju pertumbuhan tumor juga relatif lambat, tidak mudah berdarah, dan jarang
terjadi metastasis jauh. Sebaliknya, tumor yang memiliki karakteristik membesar dengan cepat,
disertai nyeri, paresthesia, dan kelemahan pada otot wajah yang dipersarafi oleh nervus fascialis
harus meningkatkan kecurigaan terhadap adanya kemungkinan tumor tersebut bersifat ganas
(Sood, S., McGurk, M. dan Vaz, F., 2016).

Secara makroskopis, suatu tumor dapat dibedakan berdasarkan tepi tumor, homogenitas
parenkim tumor, dan penyebaran sekunder yaitu keterlibatan KGB regional. Sedangkan secara
mikroskopis, harus diperhatikan ukuran dan bentuk sel, kemiripan dengan jaringan asal, ada atau
tidaknya invasi struktur sekitar, serta displasia di jaringan sekitarnya (Shah, J. P., Patel, S. G. dan
Singh, B., 2012).

Hampir semua pasien dengan tumor parotis yang jinak maupun ganas datang dengan
keluhan utama adanya massa. Nyeri ringan dan intermiten juga kadang-kadang dikeluhkan oleh
pasien namun hal ini tidak membedakan antara tumor jinak ataupun ganas. Tumor yang berasal
dari lobus profunda dapat mengakibatkan terjadinya disfagia serta tonjolan pada palatum dan
amandel. Nervus fascialis memisahkan lobus superfisial dan lobus profundus dari kelenjar
parotis. Pada 10-15% kasus, pertumbuhan tumor bisa secara langsung menginvasi nervus
fascialis. Kelumpuhan saraf wajah dapat menunjukkan adanya keganasan. Gejala lain yang
menandakan kecenderungan suatu tumor menjadi ganas adalah invasi ke kulit dan fiksasi pada
mastoid tip. Jika dijumpai adanya trismus, maka ada kecurigaan bahwa sel tumor telah
menginvasi ke m.masseter dan m.pterygoid. Fiksasi atau berkurangnya mobilitas dapat terjadi
pada neoplasma jinak maupun ganas. Pada sebagian kecil lesi maligna yang bersifat lanjut bisa
mempengaruhi nervus kranialis IX hingga XII jika invasi sel tumor telah mencapai rongga
parafaring. Nervus kranialis V3 mungkin terlibat jika tumor menjalar menelusuri sepanjang
nervus aurikulotemporalis ke dasar tengkorak. Pada kondisi tersebut, rasa nyeri adalah yang
paling sering dikeluhkan (Sood, S., McGurk, M. dan Vaz, F., 2016).

Pada kelenjar submandibula, tumor juga akan memberikan gejala berupa massa pada
leher yang disertai dengan nyeri ringan. Kelemahan atau kelumpuhan pada saraf jarang sekali
ditemukan pada kasus tumor di kelenjar submandibula. Pada kelenjar sublingual, biasanya
keluhan pasien adalah adanya pembengkakan pada dasar rongga mulut. Pada awalnya

18
pembengkakan ini di lapisan submukosa dan dapat terasa oleh lidah. Lesi kelenjar sublingual
secara klinis mirip dengan karsinoma sel skuamosa di dasar mulut. Pada kelenjar liur minor,
gambaran klinis dari tumor akan berupa adanya massa di lapisan submukosa yang tidak disertai
rasa nyeri. Lokasi tersering adalah pada batas antara palatum durum dan palatum molle.
Gambaran klinis ini dapat bervariasi tergantung pada lokasi anatomi lesi. Kebanyakan lesi akan
tumbuh secara lambat dan prosesnya dapat berlangsung dalam waktu berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Metastasis kelenjar getah bening regional bisa terjadi. Pembesaran KGB yang
dapat teraba pada pemeriksaan klinis biasanya berukuran kecil dan tidak terfiksir (Mendenhall,
W. M., Werning, J. W. dan Pfister, D. G., 2015).

19
Staging

Secara umum, penentuan stadium tumor pada kelenjar salivarius dapat digolongkan
berdasarkan ukuran, invasi ekstraparenkimal, keterlibatan kelenjar getah bening, serta ada atau
tidaknya kejadian metastasis jauh. Pada tumor parotis, invasi neural terutama nervus fascialis
juga harus dinilai. Stadium tumor pada kelenjar salivarius minor ditentukan berdasarkan lokasi
anatomi dari asal sel tumor tersebut. Stadium klinis, khususnya ukuran tumor merupakan faktor
yang krusial dalam menentukan luaran (outcome) dari kanker kelenjar liur. Penggunaan alat
pencitraan dapat membantu dalam hal penentuan stadium. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
memiliki keunggulan dalam resolusi spasial dan visualisasi jaringan lunak yang lebih superior
dari Computed Tomographic Scan (CT Scan). Dengan demikian, MRI lebih direkomendasikan
dalam mendeteksi tumor kepala dan leher. Secara keseluruhan, MRI lebih sering digunakan
sebagai modalitas dalam mengevaluasi kecurigaan neoplasma pada kelenjar liur (To, V. S. H et
al., 2012).

Sistem TNM

The American Joint Committee on Cancer (AJCC) dan The International Union for
Cancer Control (UICC) telah mengatur suatu sistem klasifikasi TNM yang digunakan sebagai
suatu alat bagi dokter untuk menentukan stadium dari masing-masing jenis kanker berdasarkan
standar yang telah disepakati. Dalam sistem klasifikasi TNM, digunakan huruf dan angka yang
masing-masing memiliki arti dan dapat mendeskripsikan tumor, nodul KGB, dan metastasis
(Amin, M. B et al., 2018).

 T adalah singkatan untuk tumor. T berfungsi untuk mendeskripsikan ukuran dari tumor
primer.
 N adalah singkatan untuk nodul. N berfungsi untuk mendeskripsikan adanya keterlibatan
nodul kelenjar getah bening regional.
 M adalah singkatan untuk metastasis. M berfungsi untuk mendeskripsikan apakah sudah
terjadi metastasis jauh.

Hampir kebanyakan jenis kanker mempunyai sistem klasifikasi TNM tersendiri sehingga
tiap huruf dan angka tidak selalu memberikan pengertian yang sama pada tiap jenis kanker. Pada
sebagian jenis kanker, kategori T menunjukkan ukuran dari tumor primer sedangkan pada jenis

20
kanker tertentu, kategori T menjelaskan sedalam apa tumor telah menginvasi organ tersebut atau
menyebar ke jaringan di sekitarnya.

Primary Tumor (T)


Tx Primary tumor cannot be assessed.
T0 No evidence of primary tumor.
Tis Carcinoma in situ.
T1 Tumor 2cm or smaller in greatest dimension without extraparenchymal extension*.
T2 Tumor larger than 2cm but not larger than 4cm in greatest dimension without
extraparenchymal extension*.
T3 Tumor larger than 4cm and/or tumor having extraparenchymal extension.
T4 Moderately advanced or very advanced disease.
T4a Moderately advanced disease.
Tumor invades skin, mandible, ear canal, and/or facial nerve.
T4b Very advanced disease.
Tumor invades skull base and/or pterygoid plates and/or encases carotid artery.
*Extraparenchymal extension is clinical or macroscopic evidence of invasion of soft
tissues. Microscopic evidence alone does not constitute extraparenchymal extension for
classification purposes.
Regional Lymph Node (N)
Nx Regional lymph nodes cannot be assessed.
N0 No regional lymph node metastases.
N1 Metastases in a single ipsilateral lymph node, 3cm or smaller in greatest dimension
and ENE(-)*
N2 Metastases in a single ipsilateral node larger than 3cm but not larger than 6cm in
greatest dimension and ENE(-); or metastases in mulitple ipsilateral lymph nodes,
none larger than 6cm in greatest dimension and ENE(-); or in bilateral or contralateral
lymph nodes, none larger than 6cm in greatest dimension and ENE(-).
N2a Metastases in a single ipsilateral node larger than 3cm but not larger than 6cm in
greatest dimension and ENE(-).
N2b Metastases in mulitple ipsilateral lymph nodes, none larger than 6cm in greatest
dimension and ENE(-).
N2c Metastases in bilateral or contralateral lymph nodes, none larger than 6cm in greatest
dimension and ENE(-).
N3 Metastases in a lymph node larger than 6cm in greatest dimension and ENE(-); or
metastases in any node(s) with clinically overt ENE(+).
N3a Metastases in a lymph node larger than 6cm in greatest dimension and ENE(-).
N3b Metastases in any node(s) with clinically overt ENE(+).

21
*ENE: Extranodal extension.
Distant Metastases (M)
M0 No distant metastases
M1 Distant metastases

Berdasarkan masing-masing kategori dari T,N, dan M, maka akan ditentukan stadium
dari kanker tersebut (Tabel 1).

AJCC stag Stage Stage description*


e grouping

0 Tis The cancer is confined to the cells lining the salivary duct (Tis).
N0 It has not spread to nearby lymph nodes (N0) or distant sites
M0 (M0). This stage is also known as carcinoma in situ (Tis).

I T1 The cancer is 2 cm (about ¾ inch) or smaller. It’s not growing


N0 into nearby tissues (T1).
M0 It has not spread to nearby lymph nodes (N0) or to distant sites
(M0).

 II T2 The cancer is larger than 2 cm but no larger than 4 cm (about


N0 1½ inch).
M0 It’s not growing into nearby tissues (T2). It has not spread to
nearby lymph nodes (N0) or to distant sites (M0).

III T3 The cancer is larger than 4 cm and/or is growing into nearby


N0 soft tissues (T3).
  M0 It has not spread to nearby lymph nodes (N0) or to distant sites
(M0).

OR

T0, T1, The cancer is any size and might have grown into nearby soft

22
T2, T3 tissues (T0-T3) AND has spread to 1 lymph node on the same
N1 side of the head or neck as the primary tumor.
M0 The cancer has not grown outside of the lymph node and the
lymph node is no larger than 3 cm (about 1¼ inch) (N1). It has
not spread to distant sites (M0).

IVA T4a The cancer is any size and is growing into nearby structures
N0, N1 such as the jaw bone, skin, ear canal, and/or facial nerve. This is
M0 known as moderately advanced disease T4a) AND:
 It has not spread to nearby lymph nodes (N0) OR
 It has spread to 1 lymph node on the same side of the
head or neck as the primary tumor, but has not grown
outside of the lymph node and the lymph node is no
larger than 3 cm (about 1¼ inch) (N1).
It has not spread to distant sites (M0).

OR

T0, T1, The cancer is any size and might have grown into nearby soft
T2, T3 or tissues or structures such as the jaw bone, skin, ear canal, and/or
T4a facial nerve (T0-T4a) AND any of the following:
N2  It has spread to 1 lymph node on the same side as the
M0 primary tumor but has not grown outside of the lymph
node and the lymph node is larger than 3 cm but not
larger than 6 cm (about 2½ inches) (N2a) OR
 It has spread to more than 1 lymph node on the same
side as the primary tumor, but it has not grown outside
of any of the lymph nodes and none of the lymph nodes
are larger than 6 cm (N2b) OR
 It has spread to 1 or more lymph nodes, but has not

23
grown outside any of the lymph nodes and none are
larger than 6 cm, either on the opposite side of the
primary tumor or on both sides of the neck (N2c).
It has not spread to distant organs (M0).

  Any T The cancer is any size and might have grown into nearby soft
N3 tissues or structures (Any T) AND any of the following:
IVB M0  it has spread to a lymph node that is larger than 6 cm but
has not grown outside of the lymph node (N3a) OR
 it has spread to a lymph node that is larger than 3 cm
and has clearly grown outside the lymph node
(N3b) OR
 it has spread to more than one lymph node on the same
side, the opposite side or both sides of the primary
cancer with growth outside of the lymph node(s)
(N3b) OR
 it has spread to a lymph node on the opposite side of the
primary cancer that is 3 cm or smaller and has grown
outside of the lymph node (N3b). 
It has not spread to distant organs (M0).

OR

T4b The cancer is any size and is growing into nearby structures
Any N such as the base of the skull or other bones nearby, or it
M0 surrounds the carotid artery. This is known as very advanced
disease (T4b).
It might or might not have spread to nearby lymph nodes (Any
N). It has not spread to distant organs (M0).

24
IVC Any T The cancer is any size and may have grown into nearby soft
Any N tissues or structures (Any T) AND it might or might not have
M1 spread to nearby lymph nodes (Any N).
It has spread to distant sites such as the lungs (M1).

Tabel 1. Stadium kanker kelenjar liur berdasarkan masing-masing kategori dari T,N, dan M (Amin, M. B
et al., 2018).

25
Diagnosis

Penentuan diagnosis yang tepat dan detail menjadi sangat penting dalam merencanakan
perawatan pasien tumor kelenjar salivarius (Lee, W. H et al., 2014). Secara klinis, gejala yang
paling umum adalah adanya benjolan yang tidak disertai rasa nyeri. Karakteristik lainnya juga
dapat berbeda-beda pada tiap pasien bergantung dengan jenis tumornya. Pada pasien-pasien
dengan tumor, khususnya dengan kecurigaan tumor ganas, maka penentuan diagnosis kerja
sangat penting ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis, penunjang, dan histopatologi.
Prosedur biopsi juga sering dilakukan untuk kepentingan diagnosis tumor kelenjar salivarius.
Sitologi aspirasi jarum halus (FNAC) menjadi metode diagnostik yang dapat diandalkan dengan
akurasi keseluruhan yang dilaporkan mencapai 90%. Secara kesimpulan, prinsip dalam
mendiagnosis suatu tumor tidak bisa didasarkan hanya pada hasil pemeriksaan tunggal, namun
juga harus mempertimbangkan informasi lainnya seperti data klinis yang diperoleh dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta studi pencitraan atau imejing (Lee, W. H et al., 2014).

Dalam mengumpulkan data-data klinis pasien, anamnesis yang lengkap dan rinci serta
pemeriksaan fisik tetap harus dilakukan untuk mendapatkan informasi-informasi yang dapat
membantu mengarahkan pada diagnosis. Informasi yang diperlukan berupa keluhan utama
pasien, riwayat perjalanan penyakit termasuk onset dan laju pertumbuhannya, ada atau tidaknya
faktor risiko, riwayat penyakit sebelumnya baik tumor maupun non tumor beserta riwayat
pengobatannya, dan keluhan lainnya yang mungkin mengarahkan diagnosis ke suatu keganasan.
Setiap gejala yang dikeluhkan oleh pasien harus didokumentasikan dan ditentukan apakah
memang disebabkan oleh adanya tumor tersebut atau oleh etiologi non tumor lainnya yang
mendasari. Berdasarkan data yang ada, dimana kebanyakan tumor di kelenjar salivarius
merupakan tumor jinak, maka sering didapatkan laju pertumbuhan yang relatif lambat. Pada
tumor-tumor di kelenjar parotis, penting untuk memeriksa ada tidaknya kelumpuhan pada otot
wajah yang dapat mengarahkan diagnosis pada suatu keganasan kelenjar parotis. Beberapa
kondisi non neoplastik yang juga dapat menyebabkan adanya pembesaran kelenjar salivarius
seperti infeksi, sialolithiasis, sarkoidosis, amiloidosis, dan sindrom Sjogren (Lee, W. H et al.,
2014).

Pemeriksaan fisik dimulai dari menentukan kondisi umum pasien dan juga skor
Karnofski. Pemeriksaan tanda vital dan status generalisata tetap dilakukan seperti pada

26
pemeriksaan rutin sehari-hari. Pada pemeriksaan tumor, dilakukan secara bertahap dari lokal,
regional (termasuk rongga mulut), sampai bagian tubuh yang jauh untuk melihat adanya
kemungkinan telah terjadi metastasis. Dalam setiap temuan, benjolan harus didokumentasikan
secara rinci mulai dari jumlah, lokasi, ukuran, konsistensi, permukaan rata atau tidak, mobilitas,
batas tumor, serta ada atau tidaknya rasa nyeri (Sood, S., McGurk, M. dan Vaz, F., 2016).
Pemeriksaan bimanual sangat penting dilakukan untuk menentukan ukuran dari tumor serta
adanya kemungkinan terfiksasi ke mandibula ataupun adanya keterlibatan dari lidah. Fungsi dari
nervus fascialis juga sekaligus dinilai pada saat melakukan pemeriksaan bimanual. Patensi dari
duktus Stensen’s juga harus dievaluasi. Sumbatan pada duktus tersebut bisa menggambarkan
adanya batu ataupun striktur pada duktus. Pada pemeriksaan fisik leher, evaluasi keterlibatan dari
kelenjar getah bening. Pemeriksaan KGB tersebut dilakukan baik pada leher ipsilateral maupun
sisi kontralateral dari tumor. Jika ditemukan adanya pembesaran KGB, maka tentukan lokasi,
jumlah, ukuran, mobilitas, dan level area leher (Sood, S., McGurk, M. dan Vaz, F., 2016).

Pemeriksaan radiologis dapat digunakan dalam pemeriksaan tumor kelenjar liur jika
diperlukan. Pemeriksaan tersebut berguna khususnya dalam menggambarkan lokasi tumor
seperti intraglandular atau ekstraglandular, apakah berada di lobus superfisial atau lobus
profunda dari kelenjar parotis, mendeteksi adanya tanda-tanda keganasan, menentukan ekstensi
lokal, invasi terhadap jaringan di sekitarnya, dan mendeteksi keterlibatan KGB regional serta
metastasis jauh. Ultrasonografi dapat berguna dalam penilaian awal tumor di kelenjar parotis
superfisial dan kelenjar submandibula. USG lebih direkomendasikan karena memiliki beberapa
keuntungan seperti tidak adanya radiasi dan resolusi yang dihasilkan pada struktur superfisial
sangat baik. Selain itu, USG juga dapat digunakan sebagai panduan ujung jarum ketika
melakukan sitologi aspirasi jarum halus (FNAC) untuk mengurangi kesalahan dalam
pengambilan sampel (Sood, S., McGurk, M. dan Vaz, F., 2016). Pada kasus tumor yang terletak
di lobus profunda dari kelenjar parotis dan kelenjar liur minor, Computed Tomography Scan (CT
Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih bermanfaat. MRI merupakan alat
diagnostik yang paling sensitif untuk menentukan perluasan dari jaringan tumor dan keterlibatan
jaringan di sekitarnya (To, V. S. H et al., 2012).

Dalam menentukan diagnosis definitif dari tumor, diperlukan pemeriksaan histopatologi


yang biasanya didapat dari pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus ataupun biopsi jarum inti.

27
Pemeriksaan histopatologi dapat memberikan diagnosis pre-operatif yang akurat pada sekitar 70-
80% kasus. Hasil akhir dari diagnosis histopatologi dapat dikonfirmasi dengan tindakan biopsi
insisional maupun eksisional. Sitologi aspirasi jarum halus (FNAC) adalah metode lain yang
cukup sering digunakan. Beberapa keuntungan yang dimiliki FNAC seperti pemeriksaan yang
relatif aman, cepat, dapat ditoleransi dengan baik, dan invasif minimal serta memiliki tingkat
spesifisitas yang tinggi (97%). Meskipun demikian, pemeriksaan ini tetap memiliki beberapa
kekurangan seperti sensitivitasnya yang relatif rendah yaitu sekitar 80% (Schmidt, R. L., 2011).

Metode frozen section atau potong beku juga dapat digunakan dalam tahapan
menentukan diagnosis penyakit. Secara umum, potong beku dapat digunakan pada tiga kondisi,
yaitu mengklarifikasi diagnosis pre-operatif, memeriksa margin operasi, dan menentukan ada
tidaknya keterlibatan saraf. Secara kesimpulan, metode potong beku dapat memberikan
informasi tambahan untuk melengkapi metode diagnostik lainnya (misalnya pencitraan dan
FNAC). Keputusan intraoperatif berdasarkan hasil pemeriksaan potong beku berpotensi
mempengaruhi tindakan operasi lanjutan. Tingkat keganasan yang diperoleh dari metode potong
beku dapat menentukan sejauh mana perluasan daerah operasi harus dilakukan. Selain itu juga
dapat menentukan perlu atau tidaknya dilakukan tindakan pengorbanan nervus fascialis atau
penambahan diseksi leher (Schmidt, R. L., 2011).

28
Manajemen

Prinsip utama dalam pengobatan kanker kepala dan leher dapat dibagi menjadi dua
kategori besar yaitu kuratif dan paliatif. Perencanaan terapi definitif awal pada pasien sangat
bergantung pada lokasi tumor, diagnosis histologis, stadium tumor primer, dan perilaku biologis
serta respon yang diharapkan dari terapi (El-Naaj, I. A. et al., 2011). Secara umum, tumor
stadium awal (stadium I dan II) dapat ditangani dengan modalitas terapi tunggal baik
pembedahan maupun radioterapi. Faktor lainnya yang mempengaruhi pemilihan pengobatan
awal adalah komplikasi dan gejala sisa dari pengobatan, kepatuhan pasien terhadap pengobatan,
faktor kenyamanan, biaya perawatan, dan tingkat kompetensi dari tim yang akan melakukan
perawatan tersebut. Tumor pada stadium yang lebih lanjut (stadium III dan IV) biasanya
memerlukan kombinasi beberapa modalitas terapi seperti pembedahan dengan radioterapi
adjuvan atau kemoradioterapi. Pada kondisi-kondisi yang lebih lanjut, maka akan direncanakan
untuk pengobatan paliatif guna mengontrol gejala atau memperlambat perkembangan penyakit
(Mendenhall, W. M.,Werning, J. W. dan Pfister, D. G., 2015).

Pilihan utama tatalaksana primer (definitif) dari tumor kelenjar liur adalah tindakan
pembedahan (Schmidt, R. L., 2011). Pada kasus tumor di kelenjar salivarius, prinsip utama
pembedahan adalah tindakan reseksi en bloc diikuti dengan preservasi neural kecuali saraf yang
diinvasi oleh sel tumor. Terapi pembedahan tetap merupakan pengobatan kuratif yang paling
efektif untuk sebagian besar neoplasma di kepala dan leher. Tatalaksana dari tumor jinak adalah
tindakan eksisi pada kelenjar yang terkena. Pada kelenjar parotis, jika massa hanya di lobus
superfisial dan dapat direseksi, maka manajemen awalnya hanya berupa lobektomi superfisial en
bloc. Jika massa tumor sudah sampai melibatkan bagian lobus profunda, maka parotidektomi
total adalah prosedur terapi pilihan untuk dapat mencakup keseluruhan tumor secara adekuat.
Meskipun tumor ganas bisa mengenai nervus fascialis, jika pembedahan bisa dilakukan tanpa
meninggalkan sisa jaringan tumor, maka diusahakan untuk melakukan preservasi pada nervus
fascialis (Mendenhall, W. M.,Werning, J. W. dan Pfister, D. G., 2015).

Pada kelenjar submandibula, prinsip pembedahannya meliputi reseksi en bloc pada


kelenjar dan KGB submental dan submandibula. Pada lesi yang terbukti ganas melalui hasil
pemeriksaan potong beku, maka terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Jika saraf,
mandibula, maupun jaringan lunak tidak terlibat, maka dapat dilakukan diseksi pada segitiga

29
submandibula dan diberikan radioterapi pada daerah submandibula dan leher ipsilateral pasca
operasi. Reseksi radikal hanya diindikasikan pada kasus yang sudah menginvasi mandibula,
lidah, dan dasar rongga mulut (Wein, R. O., Chandra, R. K., Leemans, C. R. and Weber, R. S.,
2015).

Prinsip manajemen tumor ganas derajat rendah biasanya cukup dengan tindakan
pembedahan. Radioterapi pasca operasi diberikan pada hampir semua lesi derajat tinggi.
Radioterapi juga direkomendasikan untuk tumor ganas derajat rendah yang rekuren dan yang
berbatasan dekat dengan nervus fascialis. Pemberian radioterapi secara tunggal saja tidak cukup
adekuat untuk menangani tumor. Namun pada tumor ganas yang non-operable, dapat diberikan
radioterapi definitif (Sood, S., McGurk, M. dan Vaz, F., 2016) .

Terapi radiasi

Radiasi pasca operasi memainkan peran yang penting dalam penanganan kasus
keganasan pada kelenjar liur. Adanya manifestasi ekstraglandular, invasi perineural, invasi
langsung pada struktur regional, metastasis regional, dan gambaran histologis derajat tinggi
merupakan indikasi untuk dilakukannya tindakan radiasi. Radioterapi pasca operasi telah terbukti
bermanfaat pada pasien kanker kelenjar liur yang memiliki risiko tinggi untuk terjadi rekurensi
lokoregional. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi faktor-faktor prognostik penting dan
merekomendasikan pemberian radioterapi pasca operasi. Terdapat berbagai jenis radioterapi
untuk kanker kelenjar liur seperti elektron, campuran elektron / foton, proton, dan neutron.
Terapi radiasi sinar neutron telah terbukti lebih efektif pada tipe histologi tumor tertentu
terutama karsinoma adenoid kistik. Selain itu terapi neutron juga telah digunakan dalam
penanganan kanker kelenjar ludah yang tidak dapat dioperasi. Terapi radiasi dengan pengaturan
intensitas menjadi suatu teknik yang populer digunakan. Hal ini dikarenakan teknik tersebut
mampu menghasilkan gradien dosis yang signifikan dan memiliki cakupan tumor yang sangat
baik dimana bisa sekaligus mengurangi dosis radiasi ke jaringan normal di sekitarnya. Dosis
radioterapi pasca operasi biasa berkisar dari 60 hingga 70Gy mengingat tingginya angka
rekurensi meskipun telah menggunakan kombinasi beberapa modalitas terapi (Mendenhall, W.
M.,Werning, J. W. dan Pfister, D. G., 2015).

Kemoterapi

30
Saat ini, kemoterapi dapat digunakan baik sebagai terapi neoadjuvan maupun terapi
adjuvan. Selain itu, kemoterapi juga dapat diaplikasikan pada pasien dengan penyakit yang tidak
dapat dioperasi atau memiliki risiko tinggi ataupun sebagai terapi paliatif. Pada kasus kanker
kelenjar salivarius, 5-fluorouracil dan doxorubicin dinilai memberikan respon yang lebih baik
pada penelitian. Suatu studi prospektif yang dilakukan pada pasien yang sudah mengalami
metastasis atau rekuren menunjukkan bahwa cisplatin, vinorelbin, paclitaxel, epirubicin, dan
mitoxantrone secara rata-rata memberikan respon sekitar 10-20%. Pemberian regimen
kemoterapi kombinasi yang mengandung cisplatin atau antraksiklin dapat meningkatkan rata-rata
respon menjadi 20-30%. Pemberian 5-fluorourasil yang bekerja dengan cara meningkatkan
aktivitas melawan sel-sel ganas juga terbukti dapat memberikan manfaat pada kasus kanker
kelenjar salivarius dan memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih minimal. Selain itu, 5-
fluorourasil juga dapat memberi efek potensiasi terhadap radioterapi dengan meningkatkan
apoptosis (Mendenhall, W. M., Werning, J. W. dan Pfister, D. G., 2015).

Kelenjar Liur Minor

Pada kelenjar salivarius minor, tumor jinak derajat campuran ditangani dengan tindakan
pembedahan. Radioterapi pasca operasi bisa dijadikan sebagai modalitas utama pada kasus-kasus
dimana lesi sulit diakses. Selain itu, radioterapi juga dapat diberikan sebagai tambahan terutama
pada kasus-kasus yang telah mengalami rekurensi. Jika dicurigai akan mengalami kerusakan
fungsional yang besar atau tumor dengan margin dekat, maka radioterapi juga dapat
dipertimbangkan. Radioterapi juga dapat digunakan sebagai modalitas alternatif pada lesi
berukuran kecil yang mengalami rekurensi setelah tindakan eksisi biopsi. Penanganan pada lesi
derajat tinggi sangat bervariasi tergantung pada lokasi asal, stadium penyakit, dan kesiapan
pasien untuk menerima efek samping kosmetik atau fungsional setelah tindakan operasi. Pada
tumor-tumor ukuran kecil, terutama dengan laju pertumbuhan yang lambat, dapat ditatalaksana
dengan tindakan eksisi luas. Sedangkan pada tumor yang berukuran besar perlu tindakan reseksi
radikal. Pada kasus-kasus dimana telah terjadi invasi perineural, maka saraf yang terlibat harus
dikorbankan. Radioterapi pasca operasi dapat digunakan sebagai alternatif untuk menjangkau
daerah penyebaran perineural. Pada kasus tumor ganas yang tidak dapat dioperasi maka dapat
hanya diberikan radioterapi saja (Sarmento, D. J. de S et al., 2016).

31
Prognosis

Beberapa parameter yang penting untuk dinilai dalam memperkirakan prognosis pasien
dengan tumor kelenjar salivarius meliputi usia, lokasi tumor, margin, dan keterlibatan kelenjar
getah bening. Tanda dan gejala seperti adanya rasa nyeri, invasi kulit, dan kelumpuhan saraf
wajah memiliki indeks prognostik yang tinggi. Usia relatif kurang berpengaruh jika
dibandingkan dengan ukuran tumor dan keterlibatan KGB regional (Holmberg, K. V. dan
Hoffman, M. P., 2014).

Saat ini, pedoman yang digunakan pada kasus kanker kelenjar salivarius adalah “The 4
cm rule” atau aturan 4 cm. Tumor yang berukuran kurang dari 4 cm (T1 atau T2) dinilai
memiliki prognosis yang lebih baik terlepas dari jenis ataupun derajat histologi tumor tersebut.
Pasien dengan ukuran tumor kurang dari 4 cm menunjukkan kemungkinan bertahan hidup yang
lebih baik dan risiko metastasis lokal, regional, atau metastasis jauh yang lebih rendah. Kanker
kelenjar salivarius stadium III dan IV (ukuran ≥ 4 cm disertai ada/tidaknya keterlibatan KGB
regional) memiliki prognosis yang lebih buruk. Radioterapi adjuvan mampu meningkatkan
kontrol baik secara lokal maupun regional dan memberikan dampak positif pada prognosis
jangka panjang serta dapat meningkatkan angka kemungkinan bertahan hidup pasien dengan
tumor yang berukuran lebih dari 4 cm (Israel, Y et al., 2016).

Tabel 2. The 4 cm rule. Bukti yang menunjukkan adanya peningkatan outcome pada tumor yang
berukuran kurang dari 4 cm.
Ukuran tumor
<4cm >4cm
5-years survival >75% <40%
Metastasis leher okulta 4-8% 19-20%
Risiko metastasis jauh (dalam cox hazard
- 1.60
ratio)

Angka kemungkinan bertahan hidup 5 tahun sering dipakai untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Meskipun demikian, evaluasi jangka panjang sangat penting dilakukan pada pasien
dengan tumor kelenjar salivarius karena rekurensinya dapat terjadi beberapa tahun setelah terapi
awal. American Head and Neck Society menganjurkan agar evaluasi lanjutan dilakukan setiap 1
hingga 3 bulan pada tahun pertama setelah perawatan, lalu dilanjutkan dengan evaluasi tiap 2
32
hingga 6 bulan hingga tahun keempat, dan evaluasi tahunan pada tahun-tahun berikutnya. Selain
pemeriksaan fisik kepala dan leher, pasien harus dianamnesis mengenai gejala baru yang muncul
terkait dengan tumor primer yang dialami. Nyeri dengan onset baru, otalgia, dan disfagia
merupakan beberapa gejala yang mungkin dikeluhkan dan mengindikasikan adanya rekurensi
dan memerlukan evaluasi lebih lanjut. Sebagai tambahan, pasien dengan keluhan nyeri kronis
harus mendapatkan manajemen nyeri secara adekuat untuk meningkatkan kualitas hidup (Shah,
J. P., Patel, S. G. and Singh, B., 2012; Israel, Y et al., 2016).

33
DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. B., Edge S. B., Greene, F. L., Byrd, D. R., Brookland, R. K., Washington, M. K. et al.
(2018) ‘AJCC Cancer Staging Manual, 8th edition’, American College of Surgeons.

Andersson, M. K. and Stenman, G. (2016) ‘The landscape of gene fusions and somatic mutations
in salivary gland neoplasms - Implications for diagnosis and therapy’, Oral Oncology.
Elsevier Ltd, 57, pp. 63–69. doi: 10.1016/j.oraloncology.2016.04.002.

Ellis, H. (2012) ‘Anatomy of the salivary glands’, Surgery (United Kingdom). Elsevier Ltd, pp.
569–572. doi: 10.1016/j.mpsur.2012.09.008.

Farahani, S. J. and Baloch, Z. (2019) ‘Retrospective assessment of the effectiveness of the Milan
system for reporting salivary gland cytology: A systematic review and meta-analysis of
published literature’, Diagnostic Cytopathology, 47(2), pp. 67–87. doi: 10.1002/dc.24097.

Ghannam, M. G., Singh, P. (2020) Head and Neck, Salivary Glands. In: StatPearls. StatPearls
Publishing, Treasure Islands. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538325?

Holmberg, K. V. and Hoffman, M. P. (2014) ‘Anatomy, biogenesis and regeneration of salivary


glands’, Monographs in Oral Science, pp. 1–13. doi: 10.1159/000358776.

Israel, Y. et al. (2016) ‘Benign and malignant salivary gland tumors-clinical and demographic
characteristics’, Anticancer Research, 36(8), pp. 4151–4154.

Kuzenko, Y. V. et al. (2016) ‘Pathogenesis of Warthin’s tumors’, Interventional Medicine and


Applied Science, 8(2), pp. 41–48. doi: 10.1556/1646.8.2016.2.2.

Lattimer, C. and Gureja, N. (2002) ‘Salivary gland tumours’, Key Topics in General Surgery,
(9), pp. 255–258. doi: 10.1201/b14719-72.

Lee, W. H. et al. (2014) ‘Salivary gland tumors: A 20-year review of clinical diagnostic accuracy
at a single center’, Oncology Letters, 7(2), pp. 583–587. doi: 10.3892/ol.2013.1750.

Mendenhall, W. M., Werning, J. W. and Pfister, D. G. (2015) Cancer of the Head and Neck. In:
Cancer Principles and Practice of Oncology. 10th ed. Wolters Kluwer, Philadelphia, pp.
422-468.

34
Sarmento, D. J. de S. et al. (2016) ‘Minor intraoral salivary gland tumors: a clinical-pathological
study’, Einstein (Sao Paulo, Brazil), 14(4), pp. 508–512. doi: 10.1590/S1679-
45082016AO3749.

Schmidt, R. L. et al. (2011) ‘A systematic review and meta-analysis of the diagnostic accuracy
of frozen section for parotid gland lesions’, American Journal of Clinical Pathology,
136(5), pp. 729–738. doi: 10.1309/AJCP2SD8RFQEUZJW.

Schmoll, H. J. (2003) ‘AJCC Cancer Staging Manual, 6th edition’, Annals of Oncology, 14(2), p.
345. doi: 10.1093/annonc/mdg077.

Seethala, R. R. and Stenman, G. (2017) ‘Update from the 4th Edition of the World Health
Organization Classification of Head and Neck Tumours: Tumors of the Salivary Gland’,
Head and Neck Pathology. Springer US, 11(1), pp. 55–67. doi: 10.1007/s12105-017-0795-
0.

Shah, J. P., Patel, S. G. and Singh, B. (2012) Jatin Shah’s Head and Neck Surgery and
Oncology. 4th ed. Elsevier, Philadelphia. ISBN: 978-0-323-05589-5.

Singh, A. B. et al. (2015) ‘Basal cell adenoma-clinicopathological, immunohistochemical


analysis and surgical considerations of a rare salivary gland tumor with review of
literature’, Nigerian Journal of Surgery, 21(1), p. 31. doi: 10.4103/1117-6806.152723.

Som, P. M. and Miletich, I. (2015) ‘The Embryology of the Salivary Glands: An Update’,
Neurographics, 5(4), pp. 167–177. doi: 10.3174/ng.4150122.

Sood, S., McGurk, M. and Vaz, F. (2016) ‘Management of Salivary Gland Tumours: United
Kingdom National Multidisciplinary Guidelines’, The Journal of laryngology and otology,
130(S2), pp. S142–S149. doi: 10.1017/s0022215116000566.

To, V. S. H. et al. (2012) ‘Review of Salivary Gland Neoplasms’, ISRN Otolaryngology, 2012,
pp. 1–6. doi: 10.5402/2012/872982.

Triantafillidou, K. et al. (2006) ‘Mucoepidermoid carcinoma of minor salivary glands: A clinical


study of 16 cases and review of the literature’, Oral Diseases, 12(4), pp. 364–370. doi:
10.1111/j.1601-0825.2005.01166.x.

35
Triantafillidou, K. et al. (2006) ‘Management of Adenoid Cystic Carcinoma of Minor Salivary
Glands’, Journal of Oral and Maxillofacial Surgery, 64(7), pp. 1114–1120. doi:
10.1016/j.joms.2005.06.017.

Triantafillidou, K. et al. (2010) ‘Acinic cell carcinoma of minor salivary glands: A clinical and
immunohistochemical study’, Journal of Oral and Maxillofacial Surgery. Elsevier Inc.,
68(10), pp. 2489–2496. doi: 10.1016/j.joms.2009.09.065.

Wein, R. O., Chandra, R. K., Leemans, C. R. and Weber, R. S. (2015) Disorders of the Head
and Neck. In: Schwartz’s Principles of Surgery. 10th ed. McGraw-Hill, New York, pp. 565-
604.

36

Anda mungkin juga menyukai