Anda di halaman 1dari 13

Mengapa

Telinga
Birdy
Tidak
Kami
Tindik

Naufil Istikhari
Ayahnya Birdy
“Cowok atau cewek?”
“Cewek.”
“Kok telinganya tidak ditindik?”
“Ya, memang disengaja.”

Itulah pertanyaan standar yang berulang kali diajukan


oleh saudara, kerabat, teman atau tetangga ketika
menjenguk bayi kami. Jawaban singkat itu pula yang
selalu kami sampaikan kepada mereka, meski sebagian
tentu tidak puas dan terus berupaya mendesakkan
pertanyaan susulan. Dengan memakai templat yang
sama, biasanya kami akan tetap menjawab singkat.

“Penjelasannya panjang.”
“Biarkan Birdy memutuskan sendiri kelak akan ia tindik
atau tidak.”

Umumnya kekepoan akan berhenti di situ. Ada juga


satu-dua orang yang tidak bisa menyembunyikan rasa
penasarannya, tetapi kami sering berhasil mengalihkan
sambil menguncinya dengan iming-iming “kapan-kapan
akan saya jelaskan alasannya.”

Di lain kesempatan, terkadang saya menjawab tidak


sesuai templat. Saya malah mengajukan pertanyaan balik.

“Memangnya kenapa kalau tidak ditindik?”


“Nanti dikira laki-laki.”

2
Jawaban itu sungguh di luar dugaan, sebab kami hidup
di abad ke-21, bukan pada masa Yunani Kuno periode
pra-Sokratik ketika Aristoteles belum lahir. Orang-orang
Yunani Kuno saja tahu cara membedakan jenis kelamin
sesuai klasifikasi anatomis yang dikerjakan Aristoteles.
Jujur, kecuali hanya candaan, saya kesulitan mencerna
jawaban semacam itu. Saya, meski tidak belajar biologi
secara formal, tahu persis bahwa penanda jenis kelamin
bukanlah benda asing yang dilekatkan kepada seseorang,
melainkan sudah tersedia secara biologis pada tubuhnya.

Baiklah. Abaikan saja pertanyaan dan jawaban yang


tidak sesuai templat itu. Kita fokus saja pada dialog yang
pertama, karena ini saatnya “penjelasan panjang” itu
saya bocorkan kepada mereka.

Suatu kala, sekitar 2013, saya tidak sengaja menemukan


buku Women and Gender in Islam: Historical Roots of
a Modern Debate (1992) karya Leila Ahmed, intelektual
Mesir yang cukup disegani di Barat. Saya membaca
buku itu dan menganggapnya bagus karena berhasil
melacak akar sejarah subordinasi perempuan dari
peradaban-peradaban besar di kawasan Bulan Sabit
Subur jauh sebelum Islam lahir di jazirah Arab, sembari
juga mengupas bagian-bagian penting persinggungan
tradisi panjang itu dengan ajaran Islam. Dari buku inilah
pertama kali saya mendapat informasi kecil tentang
posisi tindik dalam sejarah subordinasi perempuan.

3
Di kawasan Mesopotamia, bangsa Assyria yang
menem­pati hulu sungai Tigris, pada 1.200 SM tercatat
mengeluarkan undang-undang yang membatasi
kebebasan perempuan dengan mengangkat dominasi
laki-laki ke dalam relasi sosial yang timpang di antara
mereka. Seorang suami boleh menghukum istrinya
dengan memelintir telinganya, atau jika diperlukan,
melukainya dengan tindikan (sesuai undang-undang
nomor 185), tetapi tidak bisa sebaliknya. Tindikan, dengan
demikian, merupakan akibat sekaligus penanda bagi
perempuan-perempuan yang dianggap tidak benar, yang
pada praktiknya seringkali berasal dari vonis kacamata
kuda laki-laki daripada kenyataan objektif yang dilakukan
perempuan itu sendiri.

Marco DeMello mencatat dalam Encyclopedia of Body


Adornment (2007), bahwa secara umum tindik telinga
(ear piercing) berfungsi sebagai tempat memasang
perhiasan di berbagai budaya di dunia, meski tujuan-
tujuan subordinatif hingga misitis juga menonjol pada
kebudayaan tertentu; setidaknya, 6.000 tahun yang
lalu tindik telinga untuk tujuan perhiasan sudah dapat
dijumpai di kawasan Timur Tengah.

Tampaknya di Eropa juga demikian. Setidaknya itu yang


ditulis Don Rauf dalam The Culture of Body Piercing
(2019). Ötzi, nama yang diberikan kepada mumi berusia
sekitar 5.000 tahun yang ditemukan di perbatasan Italia-
Austria, diketahui menindik telinganya untuk memasang

4
perhiasan. Di kawasan Mediterania, arkeolog menemukan
sepasang anting yang berusia lebih dari 2.000 tahun, yang
dengan kuat membuktikan bahwa tindik telinga sudah
menjadi tradisi yang menonjol kala itu. Di Philadelphia,
Museum Pen mempunyai koleksi patung perempuan
berusia 4.000 tahun yang berasal dari Persia. Kedua
telinganya bertindik dan penuh dengan perhiasan.

Data-data tersebut barangkali terkesan arkais, dan lagi


pula, apa hubungannya dengan bayi yang lahir nun jauh
di Sumenep, daerah kecil yang pada masa lampau tidak
tercatat memiliki hubungan apa pun dengan wilayah
yang disebutkan di atas?

Betul. Memang seperti tidak ada hubungannya. Dan saya


paham, analisis soiohistoris bukanlah jawaban yang
mereka butuhkan. Pertanyaan “kenapa tidak ditindik”
adalah bentuk eufemisme dari “dapatkah sikap kami,
sebagai orangtuanya, dibenarkan secara fikih?”. Patut
diketahui, alasan mendasar kami tidak menindik telinga
Birdy bukan terutama diilhami oleh fikih, melainkan
karena alasan lain meski secara ontologis memiliki
irisan-irisan yang sangat dekat dengannya; saya akan
menunjukkannya sebentar lagi. Namun, data sejarah
tersebut sesungguhnya merupakan fondasi paling awal
yang membentuk alasan-alasan saya selanjutnya.

Meski praktik menindik telinga untuk perhiasan


merupakan alasan yang paling populer di banyak

5
kebudayaan di dunia, alasan-alasan lain yang bersifat
lokal tetap tidak bisa diabaikan. Praktik tindik yang
disebut Leila Ahmed pada masyarakat Assyria itu,
akar-akarnya dapat ditelusuri pada tradisi Babilonia
yang lebih tua, atau bahkan ke awal milenium kedua
sebelum Masehi ketika Nabi Ibrahim hidup sekitar
1.900 SM, berdasarkan bagan kronologis yang dibuat
Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam The
Big Questions: A Short Introduction to Philosophy (2010).

Dalam hukum Islam, masa-masa Nabi Ibrahim ini menjadi


tonggak penting bagi tradisi tindik. Ada cerita unik
yang cukup populer di kalangan fukaha tentang asal-
usul tindik telinga yang diasosiasikan kepada keluarga
Ibrahim, meskipun secara historis anggapan ini jelas
keliru. Konon Siti Sarah, istri tua Ibrahim, pernah marah
besar kepada Siti Hajar, madunya, dan bersumpah akan
memotong hidung dan telinganya agar tidak menarik lagi
di mata suaminya (dalam beberapa sumber disebutkan,
kemarahan Siti Sarah disebabkan oleh perasaan cemburu
kepada Siti Hajar).

Nabi Ibrahim khawatir Siti Sarah benar-benar melaku-


kannya, tetapi juga tidak mau ibu Nabi Ishak itu ingkar
terhadap sumpahnya. Biar bagaimanapun sumpah
adalah sumpah, ia harus ditunaikan, hingga akhirnya
dipilihlah jalah tengah: Siti Sarah diizinkan menindik—
bukan memotong yang mengakibatkan cacat—telinga
dan hidung Siti Sarah.

6
Kisah menarik itu, meski tidak lengkap, disebutkan dalam
kitab Ithāfu al-Sādah al-Muttaqīn, karya Muhammad
Murtadha az-Zabidy (1732–1790), yang mensyarahi Ihyā’
Ulūm al-Dīn karya Imam Al-Ghazali. Komentator Ihyā’
kelahiran India itu menyebut sekilas tentang muasal
tindik persis untuk memberi penjelasan terhadap
pandangan Al-Ghazali yang negatif terhadap praktik
tersebut.

Bagi sang hujjatul Islām, tidak ada keringanan di dalam


hukum praktik menindik telinga bayi perempuan
karena itu mengandung unsur melukai dan menyakiti.
Perbuatan melukai dan manyakiti anggota tubuh
memang dilarang di dalam Islam, kecuali ada kebutuhan
yang bersifat urgen atau ada dalil kuat yang berkata
sebaliknya, semisal khitan bagi laki-laki. Oleh karena
tidak ada dalil yang memerintahkan tindik, Al-Ghazali
berpendapat tegas: haram jika sengaja melakukannya
dan siapa pun wajib mencegahnya terjadi.

Sekilas tampak aneh memang membayangkan


masyarakat, paling tidak di lingkungan saya, yang
menjunjung tinggi figur otoritatif semacam Al-Ghazali
justru mengabaikan pandangan tegas beliau tentang
tindik ini. Namun sebenarnya saya dapat segera mengerti
bahwa otoritas Al-Ghazali menempati posisi atas
hanya dalam tasawuf, bukan fikih. Dalam hal fikih,
sebagaimana dijelaskan dalam Qānūn Asāsy pendirian
NU oleh Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari, otoritasnya

7
tetap mengacu kepada imam empat mazhab, meski
pada praktiknya mayoritas Nahdliyin mengikuti Imam
Syafi’i saja.

Kendati demikian, Al-Ghazali tidaklah sendirian. Pemuka


mazhab Syafi’i lainnya, Imam Khatib as-Syarbini (1509-
1570) dalam kitabnya yang terkenal, Mughni al-Muhtāj—
syarah kitab Minhāj al-Thālibīn-nya Imam Nawawi
(1233-1277)—juga tidak membolehkan menindik telinga
untuk perhiasan. Sama seperti Al-Ghazali, Imam Khatib
as-Syarbini beralasan bahwa tindik itu perbuatan
menyakiti tubuh yang tidak ada manfaatnya (li-annahu
ta’dzīb bilā fāidah) secara syariat. Bahkan, jika cukup
syarat, pelakunya dapat dikenakan kisas.

Itu merupakan pendapat sebagian saja ulama fikih


mazhab Syafi’i. Sebagian yang lain membolehkan; sama
seperti mazhab Hanafi yang juga membolehkan karena
Nabi Muhammad tidak melarangnya, meski juga tidak
menganjurkannya.

Sementara dari mazhab Hanbali, kita bisa mendengarkan


pendapat Ibn Qayyim al-Jauziyyah (1292–1350). Murid
Ibn Taimiyyah itu, dalam Tuhfah al-Maudūd li Ahkām
al-Maulūd mengatakan Imam Ahmad bin Hanbal meng-
hukumi boleh (mubāh) perbuatan menindik telinga bagi
perempuan dewasa untuk perhiasan, tetapi makruh bagi
bayi dan/atau anak-anak. Alasannya, seperti yang diper-
tegas Ibn Qayyim al-Jauziyyah kemudian, cukup seder­

8
hana—bayi atau anak-anak tidak memiliki kebutuhan
untuk berhias diri. Bahkan, menurut ulama kelahiran
Damaskus ini, tindik telinga pada bayi atau anak-anak
tidak ada manfaatnya sama sekali, baik dari perspektif
agama maupun medis (lā li-mashlahatin dīniyyin wa lā
dunyawiyyatin).

Dari perbedaan pendapat fukaha lintas mazhab di atas,


kita jadi tahu bahwa hukum menindik telinga terbagi
menjadi tiga: haram, mubah, atau makruh. Setahu saya,
tidak ada yang menganjurkannya.

Dengan demikian, jika kita mau memahami sedikit saja


aspek hukum dan sejarahnya, pertanyaan “kenapa tidak
ditindik” sesungguhnya sangatlah aneh; justru jauh lebih
masuk akal untuk bertanya sebaliknya—kepada dirinya
sendiri—mengapa ia, atau mereka, harus melakukan prak-
tik tindik, alih-alih menghindarinya? Barangkali mereka
tidak pernah benar-benar memikirkan jawabannya, kecu-
ali dengan cara yang teramat sederhana: untuk perhiasan.

Saya pun bertanya-tanya: apa sesungguhnya utilitas


inheren yang paling masuk akal mengapa bayi, yang
bahkan belum mengenal siapa dirinya, sudah diharuskan
berhias (untuk orang lain)? Kecuali karena bias konstruk-
si sosial orangtuanya tentang perhiasan, nyaris tidak
ada alasan intrinsik yang dibutuhkan oleh seorang bayi.
Bayi juga tidak mengerti apa itu baju, celana, selimut,
atau kasur yang empuk, tetapi dengan menyediakan

9
itu semua kepada bayi, tubuhnya menjadi hangat dan
tidurnya menjadi nyaman. Ada utilitas inheren di sini
yang, meski tidak dipahami oleh bayi, sangat bermanfaat
untuk kelangsungan hidupnya. Kalau tindik, anting?

Saya memandang tidak adil apabila saya, sebagai


ayahnya, membebani seorang bayi seperti Birdy dengan
konstruksi sosial yang bukan kebutuhan intrinsik
baginya. Bahkan juga bukan bernilai kewajiban agama.
Buktinya, praktik tindik sudah berlangsung ribuan tahun
sebelum kelahiran Islam, dan terus dilestarikan hingga
sekarang dengan bobot konstruksi sosial yang berbeda-
beda. Lagi pula, secara pribadi, entah kenapa, saya tidak
merasa istri saya lebih cantik ketika beranting. Bagi saya
sama saja. Dengan atau tanpa anting, kecantikannya
stabil. Artinya, bagi saya pribadi, tidak ada nilai utilitarian
dari tindik telinga meski bagi banyak orang dianggap
memiliki nilai estetis sebagai perhiasan.

Itulah alasan mendasarnya. Sumber ilhamnya tentu


saja dari analisis sosiohistoris yang dikemukakan Leila
Ahmed. Baru belakangan saya mendapati bahwa argu-
men tersebut sangat relevan dengan hukum fikih. Imam
Hanbali menghukumi makruh karena bayi tidak mem-
butuhkan perhiasan. Ia belum mengerti tentang konsep
perhiasan. Ia baru akan mengerti fungsi dan kedudukan
perhiasan ketika kelak sudah dewasa. Karena itu, hukum-
nya pun berubah menjadi boleh bagi perempuan dewasa
yang menindik telinganya untuk berhias.

10
Saya lega karena apa yang dinarasikan fikih dalam
konteks ini sejalan dengan teori perkembangan kognitif
manusia dari psikolog kenamaan Swiss, Jean Piaget (1896-
1980). Minimal saya tidak mengalami disonansi kognitif
karena konstruksi pengetahuan saya yang sekarang tidak
perlu didamaikan dengan konstruksi pengetahuan saya
yang dulu.

Hasil penelitian Piaget menunjukkan, bayi belum bisa


mengerti konsep abstrak. Mereka akan benar-benar
mengerti konsep abstrak saat mencapai fase yang Pi-
aget sebut sebagai “operasional formal”, kira-kira usia
remaja awal dan seterusnya. Pada masa inilah mereka
mulai belajar mengambil keputusan secara mandiri dan
paham terhadap konsekuensi. Saya ingin membiarkan
Birdy tumbuh baik dalam situasi yang seperti ini. Kami
ingin menghargai hak asasinya sebagai bayi, sebagai
manusia, karena itu kami tidak menindiknya.

Di samping itu, saya bukan tipikal orang yang mudah patuh


pada tradisi tanpa mempertanyakannya secara kritis.
Tradisi tindik ini sudah lama saya pikirkan. Namun baru
menjelang Birdy lahir, saya membicarakannya kepada
istri. Awalnya ia ragu dan sempat mempertanyakan
niatan tersebut, tetapi akhirnya saya berhasil meyakinkan
dengan sebuah alegori.

“Sebagai ibu yang dekat dengan tradisi pesantren, kamu


berharap Birdy berjilbab atau tidak?”

11
“Iya dong. Pasti.”

“Kalau dia kelak berjilab, sesuai harapanmu, otomatis


antingnya ketutupan. Tidak terlihat lagi. Lalu di mana
fungsi berhiasnya? Bukankah yang disebut perhiasan
itu memang untuk ditampakkan?”

“Tapi di Al-Qur’an kan ada ayat walā tubdīna zīnatahun-


na illā mā zhahara minhā. Artinya ada dong perhiasan
yang tidak untuk diperlihatkan?”

“Ya benar. Tapi kan ada pengecualiannya. Di dalam kitab-


kitab tafsir dijelaskan bahwa larangan menampakkan
perhiasan seperti kalung dan anting itu berlaku bagi selain
mahram. Kalau sama mahramnya, ya, boleh. Dan memang
itu fungsi perhiasan, untuk ditampakkan.”

“Ya kan bisa Birdy ditindik untuk itu?”

“Memang bisa. Tapi aku gak mau. Ayat itu lebih berupa
tun­tunan etis, bukan perintah memakai perhiasan, apa­
lagi perintah bertindik. Lagi pula, untuk apa Birdy mema-
kai perhiasan?”

“Biar sama kayak yang lain.”

“Mengapa harus sama?”

“Emmmm… Atau seperti kata orang, untuk menyenangkan


suaminya kelak.”

“Ngawur. Bayi laki-laki tidak pernah dibebani tugas me-


nyenangkan calon istri sejak kecil, kok bayi perempuan
12
sudah diproyeksikan untuk menyenangkan anak orang
dari bayi!”

“Iya juga sih.”

“Makanya … gak ada relevansinya kan menindik Birdy?”

“Ya, benar, aku setuju. Eh, tapi kalau saat dewasa dia
mau bertindik?”

“Biarin aja. Tidak masalah. Asal keputusan sadar dia.”

“Bukan … maksudku, apakah tidak kesakitan?”

“Memangnya bayi tidak merasakan sakit? Lagian kita


kan bukan penduduk Athena abad ke-3 SM? Kedokteran
sekarang sudah canggih. Ada anestesi.”

“Oke. Sekarang aku sudah yakin 100%! Birdy gak usah


ditindik.”

Yogyakarta, 28 Oktober 2021


//usia birdy genap 4 bulan//

13

Anda mungkin juga menyukai