Mengapa Birdy Tidak Kami Tindik
Mengapa Birdy Tidak Kami Tindik
Telinga
Birdy
Tidak
Kami
Tindik
Naufil Istikhari
Ayahnya Birdy
“Cowok atau cewek?”
“Cewek.”
“Kok telinganya tidak ditindik?”
“Ya, memang disengaja.”
“Penjelasannya panjang.”
“Biarkan Birdy memutuskan sendiri kelak akan ia tindik
atau tidak.”
2
Jawaban itu sungguh di luar dugaan, sebab kami hidup
di abad ke-21, bukan pada masa Yunani Kuno periode
pra-Sokratik ketika Aristoteles belum lahir. Orang-orang
Yunani Kuno saja tahu cara membedakan jenis kelamin
sesuai klasifikasi anatomis yang dikerjakan Aristoteles.
Jujur, kecuali hanya candaan, saya kesulitan mencerna
jawaban semacam itu. Saya, meski tidak belajar biologi
secara formal, tahu persis bahwa penanda jenis kelamin
bukanlah benda asing yang dilekatkan kepada seseorang,
melainkan sudah tersedia secara biologis pada tubuhnya.
3
Di kawasan Mesopotamia, bangsa Assyria yang
menempati hulu sungai Tigris, pada 1.200 SM tercatat
mengeluarkan undang-undang yang membatasi
kebebasan perempuan dengan mengangkat dominasi
laki-laki ke dalam relasi sosial yang timpang di antara
mereka. Seorang suami boleh menghukum istrinya
dengan memelintir telinganya, atau jika diperlukan,
melukainya dengan tindikan (sesuai undang-undang
nomor 185), tetapi tidak bisa sebaliknya. Tindikan, dengan
demikian, merupakan akibat sekaligus penanda bagi
perempuan-perempuan yang dianggap tidak benar, yang
pada praktiknya seringkali berasal dari vonis kacamata
kuda laki-laki daripada kenyataan objektif yang dilakukan
perempuan itu sendiri.
4
perhiasan. Di kawasan Mediterania, arkeolog menemukan
sepasang anting yang berusia lebih dari 2.000 tahun, yang
dengan kuat membuktikan bahwa tindik telinga sudah
menjadi tradisi yang menonjol kala itu. Di Philadelphia,
Museum Pen mempunyai koleksi patung perempuan
berusia 4.000 tahun yang berasal dari Persia. Kedua
telinganya bertindik dan penuh dengan perhiasan.
5
kebudayaan di dunia, alasan-alasan lain yang bersifat
lokal tetap tidak bisa diabaikan. Praktik tindik yang
disebut Leila Ahmed pada masyarakat Assyria itu,
akar-akarnya dapat ditelusuri pada tradisi Babilonia
yang lebih tua, atau bahkan ke awal milenium kedua
sebelum Masehi ketika Nabi Ibrahim hidup sekitar
1.900 SM, berdasarkan bagan kronologis yang dibuat
Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam The
Big Questions: A Short Introduction to Philosophy (2010).
6
Kisah menarik itu, meski tidak lengkap, disebutkan dalam
kitab Ithāfu al-Sādah al-Muttaqīn, karya Muhammad
Murtadha az-Zabidy (1732–1790), yang mensyarahi Ihyā’
Ulūm al-Dīn karya Imam Al-Ghazali. Komentator Ihyā’
kelahiran India itu menyebut sekilas tentang muasal
tindik persis untuk memberi penjelasan terhadap
pandangan Al-Ghazali yang negatif terhadap praktik
tersebut.
7
tetap mengacu kepada imam empat mazhab, meski
pada praktiknya mayoritas Nahdliyin mengikuti Imam
Syafi’i saja.
8
hana—bayi atau anak-anak tidak memiliki kebutuhan
untuk berhias diri. Bahkan, menurut ulama kelahiran
Damaskus ini, tindik telinga pada bayi atau anak-anak
tidak ada manfaatnya sama sekali, baik dari perspektif
agama maupun medis (lā li-mashlahatin dīniyyin wa lā
dunyawiyyatin).
9
itu semua kepada bayi, tubuhnya menjadi hangat dan
tidurnya menjadi nyaman. Ada utilitas inheren di sini
yang, meski tidak dipahami oleh bayi, sangat bermanfaat
untuk kelangsungan hidupnya. Kalau tindik, anting?
10
Saya lega karena apa yang dinarasikan fikih dalam
konteks ini sejalan dengan teori perkembangan kognitif
manusia dari psikolog kenamaan Swiss, Jean Piaget (1896-
1980). Minimal saya tidak mengalami disonansi kognitif
karena konstruksi pengetahuan saya yang sekarang tidak
perlu didamaikan dengan konstruksi pengetahuan saya
yang dulu.
11
“Iya dong. Pasti.”
“Memang bisa. Tapi aku gak mau. Ayat itu lebih berupa
tuntunan etis, bukan perintah memakai perhiasan, apa
lagi perintah bertindik. Lagi pula, untuk apa Birdy mema-
kai perhiasan?”
“Ya, benar, aku setuju. Eh, tapi kalau saat dewasa dia
mau bertindik?”
13