Anda di halaman 1dari 273

Pancasila Bung Karno

Pancasila
Bung Karno

HIMPUNAN PIDATO, CERAMAH,


KURSUS DAN KULIAH
THE SOEKARNO FOUNDATION
DAFTAR ISI
 
1. Lahirnya Pancasila
2. Anjuranku Kepada Segenap Bangsa Indonesia
3. Apa Sebab Revolusi Kita Berdasar Pancasila
4. Tidak Ada Kontra Revolusi Bisa Bertahan
5. Pancasila Dasar Negara  1
6. Pancasila Dasar Negara  2
7. Pancasila Dasar Negara  3
8. Pancasila Dasar Negara  4
9. Pancasila Dasar Negara  5
10. Pancasila Membuktikan Dapat Mempersatukan Bangsa Indonesia
11. Revolusi Kita Berdasarkan Pancasila
12. Kuliah Umum Presiden Soekarno di Depan Mahasiswa dan Peserta Seminar Pancasila
13. Membangun Dunia Kembali (To Build The World Anew)
14. Diatas Dasar Pancasila Rakyat Indonesia Tetap Bersatu
 
Keterangan: 
Topik-topik kami susun berdasar urutan waktu, sebab dalam memberikan uraian dan
penjelasannya, Bung Karno hampir selalu mengkaitkannya dengan konteks atau situasi dan
kondisi tanah air dan dunia pada saat itu.
 
 

i
P   E  N  G  A  N  T  A  R
BUKU PANCASILA BUNG KARNO
 
Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasific, penjajah Jepang berusaha menarik simpati dan
dukungan rakyat Indonesia dengan janji akan memberikan kemerdekaan di kelak kemudian hari.
Dan untuk itu dibentuk dan kemudian disyahkan berdirinya BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai pada tanggal 28
Mei 1945.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) itu mengadakan
sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945, dengan acara tunggal menjawab
pertanyaan ketua badan tersebut – Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat – :
” Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, d a s a r n y a   a p a  ? ”.
Menjawab pertanyaan itu hampir separo dari anggota BPUPKI – sekitar 30 orang – ,
menyampaikan pandangan-pandangan dan pendapatnya. Namun belum ada satu pun yang
mengutarakan pandangan yang memenuhi syarat suatu sistem filsafat dasar untuk di atasnya
dibangun Indonesia Merdeka.
Jam 10.00 pagi tanggal 1 Juni 1945, barulah Bung Karno mendapatkan gilirannya.
Disampaikannya gagasannya dalam suatu pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih
dahulu tentang Dasar Negara Indonesia Merdeka, yang dinama-kannya Pancasila.
Pidato Pancasila Bung Karno yang ditawarkannya sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka itu
diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai dengan tepuk
tangan riuh-rendah yang panjang di akhir pidato itu.
Dan selanjutnya BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia )
membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan
berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dari Panitia Kecil yang semula terdiri dari 8 orang,
dengan beberapa perubahan dan penambahan, akhirnya menjadi Panitia Sembilan yang terdiri
dari :
 Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A. A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso,
Abdulkahar Muzakir, H. A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wachid Hasjim, Mr. Muhammad
Yamin.
 

ii
Panitia Sembilan ini bertugas: Merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara
berdasar pidato yang diucap-kan Bung Karno pada tanggal  1  J u n i  1 9 4 5 , dan
menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasi-kan kemerdekaan Indonesia.
Hasilnya adalah ” P  i  a  g  a  m   J  a  k  a  r  t  a ”  atau ” J a k a r t a  C h a r t e r ” yang
ditandatangani di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Dengan
membuang tujuh kata dalam Mukadimah yang berbunyi ” dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ”, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang dipimpin Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945, dokumen itu
dijadikan Preambule atau Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang sekaligus berlaku sebagai Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
Pada pokoknya, akhirnya Pancasila hasil galian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan secara
padat dan indah dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan yang pada tanggal 18 Agustus 1945 disyahkan dan sebagai Dasar
Negara Indonesia Merdeka
Bangsa Indonesia patut bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa pidato Bung Karno
itu ada catatan stenografisnya secara lengkap, dan bahwa catatan itu bisa tetap selamat dan aman,
meskipun keadaan di akhir pendudukan Jepang dan permulaan perang kemerdekaan menghadapi
usaha kembalinya kolonialis Belanda itu sangatlah sulit dan berat.
Catatan stenografis pidato Lahirnya Pancasila tersebut, pada tahun 1947 diterbitkan oleh Oesaha
Penerbitan Goentoer, Jogyakarta, dengan kata pengantar dari orang yang mengikuti dan
mendengar sendiri diucapkannya pidato itu, yaitu Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai: Dr. K. R.
T. Radjiman Wedyo-diningrat.
Setelah Proklamasi dan dicapai kemerdekaan, Bung Karno terpilih menjadi Presiden Repulik
Indonesia, dan Pancasila yang dicetuskannya itu ditetapkan sebagai Falsafah Bangsa dan Dasar
Negara Republik Indonesia dengan mengabadikannya dalam Pembukaan (Preambule) Undang-
Undang Dasar 1945.
Sebagai presiden dari suatu negara baru yang lahir ditengah-tengah kancahnya api peperangan
yang dahsyat kala itu, Bung karno masih harus terus memimpin perjuangan untuk mewujudkan
dan menyempurnakan kemerdekaan bangsanya yang telah lama dicita-citakannya.
Dalam kedudukan sebagai pemimpin perjuangan bangsa-nya, baik dalam perjuangan tahap
phisik tahun 1945 s/d 1949, sebagai presiden negara federal Republik Indonesia Serikat dari

iii
bulan Januari s/d Agustus tahun 1950, maupun sebagai presiden ”stempel” Negara Kesatuan
Republik Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar Sementara dari tanggal 17 Agustus 1950
s/d 5 Juli 1959, Bung Karno tidak pernah melepaskan kesempatan untuk tetap memperjuangkan
Dasar Negara dan Filsafat Bangsa Pancasila itu.
Lewat sambutan – sambutan, pidato – pidato, ceramah -ceramah, kursus – kursus, dan kuliah –
kuliah, selalu dijelas-jelaskannya asal-usul dan perkembangan historis masyarakat dan
bangsanya, situasi dan kondisi yang melingkupinya, serta pemikiran-pemikiran dan filosofi yang
menjadi dasar dan latar belakang ”lahirnya” Pancasila itu; selalu diyakin-yakinkannya tentang
benarnya Pancasila itu sebagai satu-satunya dasar yang bisa dijadikan landasan membangun
Indonesia Raya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang
sampai Merauke, yang merdeka dan berdaulat penuh, demokratis, adil-makmur, rukun bersatu,
aman dan damai untuk selama-lamanya; selalu ditekan-tekankannya pentingnya ”de Mensch”
(manusia Indonesia) yang harus terus memperjuangkannya agar menjadi kenyataan.
Meskipun telah menjadi Dasar Negara dan Filsafat Bangsa, pada sidang-sidang badan
pembentuk Undang-Undang Dasar      (Konstituante) yang berlangsung antara tahun 1957 s/d
1959, Pancasila itu mendapat ”ujian” yang cukup berat. Dalam pembahasan-pembahasan pada
sidang-sidang Konstituante itu, Dasar Negara dan Falsafah Bangsa itu mendapat tantangan Dasar
Negara Islam, yang mengakibatkan macetnya lembaga penting tersebut. Dan berkat kuatnya
dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Pancasila tetap
tegak sebagai Dasar Negara dan Falsafah Bangsa Indonesia.
Namun kemudian ”ujian” dan ”tantangan” terhadap dasar negara dan falsafah bangsa Pancasila
bagi Indonesia itu masih muncul lagi dalam bentuk yang lebih dahsyat dan lebih canggih lagi
dengan bangkit dan berkuasanya Orde Baru.
Sebagai rangkaian usaha neo-kolonisasi Indonesia, bukan hanya Soekarno harus diselesaikan
dan  d i p e n d h e m   j e r o (dikubur dalam-dalam), bukan hanya Republik Proklamasi harus
diberi ”warna dan kualitas lain” dan ”diperlemah”, tetapi juga ”roch bangsa” itu sendiri yang
namanya Pancasila itu harus secara halus dan pelan-pelan ditiadakan dari bumi Indonesia.
Dimulai dengan adanya tuduhan penyelewengan terhadap Pancasila oleh penguasa sebelumnya
yang dicapnya Orde Lama, penguasa Orde Baru menyatakan tekadnya untuk melaksanakan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Dan berpangkal dari posisi strategis itu serangkaian
langkah dan serangan gencar segera dilancarkannya.

iv
Ofensif ideologis itu diawali dengan ”otak-atik” tentang naskah proklamasi yang autentik dan
yang hanya konsep atau klad saja. Dinyatakannya, bahwa naskah proklamasi yang autentik yaitu
yang diketik oleh Sayuti Melik dan ditanda-tangani oleh Soekarno – Hatta, serta kemudian
dibaca oleh         Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedang yang tulisan tangan Bung
Karno, sebagaimana yang terdokumentasi dan banyak dikenal masyarakat selama itu hanyalah
konsep atau klad belaka.
Dari situ meningkat ke analisa tentang Pancasila yang autentik, dan yang hanya konsep belaka.
Menurut penelitian dan kesimpulan penguasa Orde Baru, ……………………………….
” Pancasila yang autentik adalah yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan
(Preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di luar itu hanya
konsep-konsep belaka. Dan kalau berbicara masalah konsep, maka yang utama adalah yang
berasal dari Mr. Muh. Yamin, sebab yang paling dekat atau mirip dengan rumusan yang
termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sedang Pancasila itu sendiri telah
ribuan tahun berada dalam kandungan Ibu Pertiwi. Oleh karena itu adalah tidak benar kalau
dinyatakan bahwa hari lahir Pancasila adalah tanggal 1 Juni. Kalau ada yang perlu dianggap
hari lahir Pancasila, maka itu adalah tanggal 18 Agustus, yaitu hari ditetapkannya Undang-
Undang Dasar 1945, yang dalam Pembukaannya termaktub rumusan Pancasila. Dan sekiranya
ada hari yang perlu dirayakan atau diperingati dalam kaitannya dengan Pancasila, maka itu
adalah tanggal 1 Oktober yaitu : Hari Kesaktian Pancasila ”.
Setelah berhasil dikacaukan sejarah kelahiran dan perkem-bangannya semacam itu, dan
kemudian dilanjutkan dengan dikaburkan pengertian-pengertiannya, serta dilepaskan keterkait-
annya dengan penggalinya, maka sebagai bentuk kulminasinya ditariklah kesimpulan-
kesimpulan yang bersifat menghabisi Bung Karno, tetapi yang pada hakekatnya adalah
menamatkan  Pancasila itu sendiri.
Pada pokoknya serangkaian serangan terhadap Pancasila dan penggalinya itu adalah sebagai
berikut:
Ir Soekarno bukan orang pertama dan satu – satunya yang menyampaikan konsep Dasar
Negara Indonesia Merdeka, sebab :
1. Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muh. Yamin telah ber-pidato di depan sidang BPUPKI,
yang disusul dengan bahan tertulis yang dilengkapi dengan Rancangan Undang-Undang

v
Dasar yang disampaikannya pada tanggal 31 Mei 1945 yang berisi lima prinsip dasar
negara.
2. Pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Soepomo telah berpidato menyampaikan 5 prinsip
dasar negara di depan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia).
3. Sedang Soekarno baru pidato di depan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945,
menyampaikan 5 prinsip dasar negara,  yang diberinya nama Pancasila, yang itupun
kata ”sila”  nya berasal dari seorang temannya seorang ahli bahasa.
4. Yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 hanyalah istilah Pancasila, bersama denagn istilah
Trisila dan Ekasila
5. Kalau dibandingkan 5 prinsip yang disampaikan masing-masing pembicara yang 3
orang itu, maka yang paling dekat atau mirip dengan Pancasila dasar negara yang
autentik sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah rumusan Mr. Muh. Yamin. Sedang kosepsi
Soekarno yang paling memberi peluang penunggangan oleh komunis, karena ada istilah
internasionalisme dalam rumusannya.
6. Panitia Sembilan dalam merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
menggunakan seluruh bahan yang disampaikan semua pembicara dalam persidangan
yang dihimpun oleh Sekretariat BPUPKI, dan bukan hanya mengacu pada pidato Bung
Karno saja ”.
Bersamaan dengan kampanye ”menghabisi” Bung Karno dan ”menamatkan” Pancasila itu,
penguasa Orde Baru juga tetap terus dengan gencar dan tiada henti-hentinya mempro-
pagandakan tekadnya untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun di
balik itu kebijaksanaan dan praktek-praktek yang dilaksanakannya justru penuh dengan
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekejaman, penindasan dan penginjak-injakan hak asasi
manusia; penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); penuh dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang anti – demokrasi dan a – nasional.
Dan kesemuanya itu akhirnya membawa bangsa ini serba terpuruk dan mengalami krisis di
segala bidang (krisis multi-dimensional) yang menyengsarakan rakyat dan mengancam
kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri. Kebijaksanaan-
kebijaksanaan dan praktek-praktek se-macam itu berserta segala akibat buruk yang

vi
dihasilkannya, telah menimbulkan gambaran dan citra yang sangat jelek, bahwa yang salah
selama ini adalah dasar negara dan falsafah bangsa Pancasila, dan bukannya kesalahan pelaksana
atau pelaksanaan-nya.
Sebagai akibat akumulatif dari semua itu, akhirnya rakyat menjadi skeptis terhadap Pancasila,
kabur pemahaman dan pengertian-pengertiannya, dan menjadi tidak yakin lagi akan
kebenarannya. Dan sekarang ini Pancasila semakin hari semakin redup, semakin sayup, tak
terdengar lagi gaung dan geloranya.
Seiring dengan ditinggalkan dan disisihkannya Pancasila secara halus dan pelan-pelan itu, bukan
hanya sebagian rakyat Indonesia menjadi jatuh miskin, kekayaan berlimpah bangsa ini menjadi
terkuras habis, tanggungan hutang dalam dan luar negeri menjadi bertimbun, kemerdekaan dan
kedaulatan bangsa dan negara ini menjadi meredup, tetapi juga terjadi disintegrasi sosial dan
disintegrasi teritorial serta politik yang mengancam kelangsungan hidup Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Menyadari akan semua itu, maka dirasa sangat perlu untuk segera menyebarluaskan kembali
Pancasila Ajaran Bung Karno ke segenap lapisan masyarakat dan terutama generasi muda
Indonesia, agar kita semua bisa memahaminya secara utuh, meyakini akan kebenarannya, dan
siap untuk memperjuangkan dan melaksanakannya.
Kami yakin, bahwa kehadiran sebuah buku yang berisi himpunan pidato-pidato, sambutan-
sambutan, ceramah-ceramah, kursus-kursus, dan kuliah-kuliah tentang Pancasila, yang berasal
langsung dari Bung Karno ini akan merupakan sumber primer yang sangat penting bagi segenap
putera tanah air yang terus berusaha menjaga dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Semoga bermanfaat.
 
 Jakarta, 10 Januari 2005
 Penghimpun,
( Drs. Soewarno )

vii
KATA PENGANTAR
Lahirnya Pancasila
 
Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat
 
Dengan perasaan gembira saya terima permintaan penerbit buku ini untuk memberikan sepatah
dua patah kata pengantar, serta dengan segala senang hati saya penuhi permintaan tersebut.
Sebagai “ Kaityoo “ ( ketua ) dari “ Dokuritu Zyunbi  Tyoo-sakai “ ( Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan ) saya mengikuti dan mendengar sendiri diucap-kannya pidato ini oleh
Bung Karno, sekarang Presiden Negara kita.
Oleh karena itu sungguh menggembirakan sekali maksud penerbit, untuk mencetak pidato Bung
Karno ini, yang berisi “Lahirnya Panca Sila“, dalam sebuah buku kecil.
Badan “ Dokuritu Zyunbi Tyoosakai “ itu telah mengadakan sidangnya yang pertama dari
tanggal 29 Mei tahun 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 dan yang kedua dari tanggal 10
Juli 1945 sampai dengan tanggal 17 Juli 1945.
“Lahirnya Panca Sila“ ini adalah buah “stenografisch verslag“ dari pidato Bung Karno yang
diucapkan dengan tidak tertulis dahulu ( voor de vuist ) dalam sidang yang pertama pada tanggal
1 Juni 1945 ketika sidang membicarakan “Dasar ( Beginsel ) Negara kita “, sebagai penjelmaan
daripada angan-angannya. Sudah barang tentu kalimat-kalimat sesuatu pidato yang tidak tertulis
dahulu, kurang sempurna tersusunnya. Tetapi yang penting ialah ISINYA !
Bila kita pelajari dan selidiki sungguh-sungguh “ Lahirnya Panca Sila ” ini, akan ternyata bahwa
ini adalah suatu Demo-kratisch Beginsel,  suatu  Beginsel  yang  menjadi  Dasar  Negara kita,
yang menjadi Rechtsideologie Negara kita; suatu Beginsel yang telah meresap dan berurat-
berakar dalam jiwa Bung Karno, dan yang telah keluar dari jiwanya secara spontan, meskipun
sidang ada di bawah penilikan yang keras dari Pemerintah Balatentara Jepang. Memang jiwa
yang berhasrat merdeka, tak mungkin dikekang-kekang !
Selama Fascisme Jepang berkuasa di negeri kita, Demo-kratisch Idee tersebut tak pernah
dilepaskan oleh Bung Karno, selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya jalan
untuk mewujudkannya.

viii
Mudah-mudahan “ Lahirnya Panca Sila “ ini dapat dijadikan pegangan, dijadikan pedoman oleh
Nusa dan Bangsa kita se-luruhnya, dalam usaha memperjoangkan dan menyempurnakan
Kemerdekaan Negara.
 Walikukun, tertanggal 1 Juli 1947
  Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat
  ———————–
LAHIRNYA PANCASILA
 
Pidato pertama Pancasila diucapkan Bung Karno
di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
tanggal 1 Juni 1945
 
Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!
 
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan
pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang
mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua
yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia? Paduka tuan Ketua yang mulia
minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia
Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Maaf, beribu maaf. Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-
hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya
Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia
ialah, dalam bahasa Belanda: “Philosofische-grondslag” daripada Indonesia Merdeka.
Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran – yang – sedalam-dalamya, jiwa,
hasrat – yang – sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang
kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih
dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang
saya artikan dengan perkataan “merdeka”.
Merdeka buat saya ialah: political independence -        politieke onafhankelijkheid.”
Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

ix
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota
yang – saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini – “zwaarwichtig” akan
perkara yang kecil-kecil. “Zwaar-wichtig” sampai – kata orang Jawa – “jelimet”. Jikalau sudah
membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan
kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi banding-kanlah kemerdekaan negara-negara
itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu?
Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka,
Amerika merdeka, Inggeris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka.
Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih
dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai jelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan
sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui,
yang sama sekali tidak mengerti akan hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkala
Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum
mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih
makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toh Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula – jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat – Sovyet Rusia! Pada masa
Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh
milyun rakyat Rusia adalah rakyat Musyik yang lebih daripada 80% tidak dapat membaca dan
menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan
mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet
itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak
macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan
punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu
semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya

x
tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita
semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, – sampai di lubang kubur!
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ’33 saya telah menulis satu
risalah. Risalah yang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Maka di dalam risalah tahun ’33
itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence,
tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab
itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, - in one night only! -, kata Amstrong di
dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia    masuk
kota Riad dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan oleh Ibn Saud, maka di seberang
jembatan, artinya kemudian dari pada itu, Ibn Saud berulah memperbaiki masyarakat Saudi
Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya
bergelandang-an sebagai nomade yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan
bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi
kaum tani, – semuanya di seberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka, telah mempunyai
Jnepprprostoff, dam yang maha besar di sungai Jneppr? Apa ia telah mempunyai radio-station,
yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi
seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia
Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang
jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru
mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru meng-adakan Jnepprprostoff! Maka oleh
karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati,
janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah
selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya tuan-tuan punya semangat, – jikalau
tuan-tuan demikian, – dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua
milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat
Indonesia Merdeka Sekarang!
(Tepuk tangan riuh).

xi
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi
zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita
siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka,
bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MER-
DEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang,
sekarang!
(Tepuk tangan riuh).
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, – kok lantas
kita zwaarwichtig dan gentar hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia
Merdeka, political independence, politieke onafhan-kelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah
satu jembatan! Jangan gentar!
Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk
merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro,
atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya
Butyoo-Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia pada sekarang ini, sebenarnya kita telah
mendapat political independence, politieke onafhan-kelijkheid, – in one night, di dalam satu
malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semua-nya bersemboyan: Indonesia Merdeka,
sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara
kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke rumiyin,
tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia
Merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan
urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita
menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Sovyet-Rusia, Saudi Arabia, Inggeris,
Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang s a m a, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup
mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya.
Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggeris sanggup mem-perta-

xii
hankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain,
tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya
dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk
kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara,
semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia
adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusiapun demikian,
saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani
kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani
kawin, tunggu dulu gajih f. 500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada per-
madani, sudah ada lampu listrik, sudah mempu-nyai tempat tidur yang mentul-mentul, sudah
mempunyai meja-kursi yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu
kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah saya berani
kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu,
kursi empat, yaitu “meja makan”, lantas satu zitye, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara saudara Marhaen! Kalau dia sudah
mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu
tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitye, satu tempat tidur:
kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, electrischekookplaat, tempat tidur, uang
bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig. belum tentu mana yang lebih
bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun
yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
(Tepuk tangan, dan tertawa)
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan
hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset plus
kinder-uitzet, – buat 3 tahun lamanya! (Tertawa).
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: - kita ini berani merdeka atau tidak ? Inilah,
saudara-saudara sekalian, Paduka tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya

xiii
kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka.
Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala men-jawab
apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya
telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap – tiap orang Indonesia yang 70
milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political
independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka!
(Tepuk tangan riuh)
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di da1am Indonesia
Merdeka itulah kita me-merdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn
Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Sovyet-Rusia Merdeka Stalin
memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak
sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit honge-rudeem, ba-
nyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”.
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di
dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan
kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria
dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar
supaya menjadi kuat, d i  d a l a m Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya.
Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah
baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan
abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita
mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenar-nya
internationaalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun,
mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang neko-neko, yang
menjelimet, tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup
untuk internationaal-recht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada
pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang
sudah bernama: merdeka. Tidak perduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakyat hebat
ekonominya atau tidak, tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional

xiv
mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada
pemerintahannya, – sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menye-lesaikan lebih dulu 1001 soal yang
bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak?
(Jawab hadirin : Mau!)
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan
tentang hal d a s a r.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka tuan Ketua kehendaki!
Paduka tuan Ketua minta d a s a r, minta philosophische grondslag, atau, jikalau kita boleh
memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu
“Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara
negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu “Weltanschauung”.
Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Welt-anschauung”, – filsafat
nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu.
Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu “Weltan-schauung”, yaitu Marxistische, Historisch
– Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu
“Weltan-schauung”, yaitu yang dinamakan “Tennoo Koodoo Seishin”. Di atas “Tennoo Koodoo
Seishin” inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, men-dirikan negara Arabia
di atas satu “Weltanschauung”, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah
yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita
hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan
di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja
mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung”, bekerja mati-matian
untuk me   “realiteitkan” “Weltanschauung” mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak
benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali
negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab
misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: “Sovyet-Rusia didirikan di dalam 10 hari
oleh Lenin c.s.”, – John Reed, di dalam kitabnya: “Ten days that shook the world”, “sepuluh hari
yang menggoncangkan dunia” -, walaupun Lenin mendirikan Sovyet Rusia di dalam 10 hari,

xv
tetapi “Weltan-schauung” nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia
“Weltanschauung”- nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekadar direbut kekuasaan, dan
ditempatkan negara baru itu di atas “Weltanschauung” yang sudah ada. Dari 1895
“Weltanschauung” itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905, Weltanschauung itu
“dicobakan”, di “generale-repetitie” – kan.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri
“generale-repetitie” daripada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschauung”
itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai
dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan,
ditaruhkan kekuasaan itu di atas “Weltanschauung” yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya
itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler manaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas
National-Sozialistische- Weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung” itu? Bukan di dalam
tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan
pula, agar supaya Naziisme ini, “Weltan-schauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya
“Munchener Putsch”, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat
merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar “Weltanschauung” yang telah
dipropa-gandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan
Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indone-
sia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialime? Apakah
San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doktor Sun Yan Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi
“Weltanschauung” nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan,
dirancangkan.   Di dalam buku “The three people’s principles” San Min Chu I, -Mintsu,
Minchuan, Min Sheng, – nasionalisme, demokrasi, sosialisme, – telah digambarkan oleh doktor
Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau men-dirikan negara baru
di atas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh
tahun.

xvi
Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-
sosialisme – kah, Marxisme – kah, San Min Chu I – kah, atau “Weltanschauung” apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah
dikemukakan, – macam-macam -, tetapi alangkah benarnya perkataan dr.Soekiman, perkataan Ki
Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita
bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltan-schauung”
yang  k i t a  s e m u a  setuju. Saya katakan lagi       s e t u j u ! Yang saudara Yamin setujui,
yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara
Abikoesno setujui, yang saudara Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu
modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita
b e r s a m a – s a m a setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara saya bertanya:
Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu
golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi
sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu
golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum
kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semua-nya telah
mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan
suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik
golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi “semua buat semua”. Inilah salah
satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya
punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini,
akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar
buat negara Indonesia, ialah dasar  kebangsaan.
Kita mendirikan satu negara k e b a n g s a a n  Indonesia.
Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya
memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta ke-pada saudara-
saudara, janganlah saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat
Indonesia ialah dasar k e b a n g s a a n. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang
sempit, tetapi saya menghendaki satu                 N a t i o n a l e  S t a a t, seperti yang saya
katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat

xvii
Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan
kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia,
nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek moyang tuanpun bangsa Indonesia. Di
atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes
Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
S a t u  N a t i o n a l e  S t a a t ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam
rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya urai-kan
lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah
syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri
bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa:
         “le desir d’etre ensemble”,
yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu
satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die
Nationalitatenfrage”, di situ ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan dijawabnya ialah:
“Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”.
Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena
persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Profesor  Soepomo mensitir Ernest Renan, maka
anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan
sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah
tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengada-kan
definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan
Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoe-soemo, atau tuan Moenandar,
mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat,
tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di
bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekadar melihat orangnya. Mereka hanya

xviii
memikirkan “Gemeinschaft” nya dan perasaan orangnya, “1’ame et le desir”. Mereka hanya
mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia
itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu t a n a h a i r. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah
swt membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat
menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat
peta dunia ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada
peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar,
lautan Pacific dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia.
Seorang anak kecil dapat mengata-kan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes,
Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu
kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau
Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai “golfbreker” atau pengadang
gelombang lautan Pacific, adalah satu kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi
oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengata-kan,
bahwa kepulauan Inggeris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah
swt demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta
plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani.
adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita. tanah air kita? Menurut geopolitik,
maka Indonesia lah tanah air kita. Indonesia yang bulat. bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja,
atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap
kepulauan yang ditunjuk oleh Allah swt menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua
samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka
tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le
desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer, “aus Schiksalsgemeinschaft
erwachsene Charakter-gemeinschaft” itu.
Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minang-kabau. Di antara bangsa di Indonesia,
yang paling ada “le desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-

xix
kira 2 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu
kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan! Penduduk Yogya pun
adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil daripada
satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”,
tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan orang yang
hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau
Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah s e l u r u h manusia-
manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah swt, tinggal di kesatuannya
semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! S e 1 u r u h n y a ! ,
karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah terjadi
“Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya
adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi  s a t u ,  s a t u , sekali lagi  s a t u !
(Tepuk langan hebat).
Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi
Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara
tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan
kebangsaan”.
Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale
staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Saksen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jer-
mania lah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi
seluruh Italia lah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di Utara di-batasi oleh pe-
gunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan
Orissa, tetapi seluruh segitiga India ah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu,
adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sriwijaya dan
di jaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan
penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat
kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale
staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa

xx
kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung
Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan satu nationale
staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk
kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia s e 1 u r u h n y a, yang telah berdiri di jaman Sriwijaya dan
Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan
terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan
Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan
Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan
Indonesia, yang bernama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Liem Koen Hian.
Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka
Tuan Fuku Kaityoo, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”.
TUAN LIEM KOENHIAN: Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
TUAN SOEKARNO: Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan
Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang
Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham
kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa
dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada
bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi
semuanya “menschheid”, “perikemanusiaan”. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi
pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa    a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada
waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh
seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, – katanya: jangan
ber-paham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa
kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada
orang lain yang memperingatkan saya, – ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya “San Min
Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saya mendapat pelajaran yang membongkar
kosmopolitisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa
kebangsan, oleh pengaruh “The Three People’s Principles” itu. Maka oleh karena itu, jikalau
seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa

xxi
Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa
berterimakasih kepada Dr. Sunn Yat Sen, – sampai masuk ke lobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara. Tetapi…, tetapi…, memang prinsip ke-bangsaan ini ada bahayanya!
Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, se-
hingga berpaham “Indonesia uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu,
merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia
hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsa-an saya adalah perikemanusiaan”.
“My nationalism is humanity”.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai
dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutschland uber Alles”, tidak ada yang
setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, “bangsa
Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain tidak ada harganya. Jangan
kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang
terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia,
persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula
kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya
usulkan kepada Tuan-Tuan, yang boleh saya namakan ” i n t e r n a s i o n a l i s m e “. Tetapi
jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud k o s m o p o l i t i s m e, yang
tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak
ada Birma, tidak ada Inggeris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya
internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama
saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara
untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat

xxii
semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak   untuk
kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk me-melihara agama. Kita, sayapun, adalah
orang Islam, – maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, – tetapi kalau
saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati
tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam
mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga
keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan
Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan,
inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada
pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita
rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang ter-besar
daripada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan
Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian terbesarnya rakyat Islam, dan jikalau
memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita
pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak
mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan
Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,
70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam.
Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam
pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa
agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan
adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau
demikian, baru jikalau demikian, h i d u p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di
atas bibir saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang
ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu!
Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam
kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan

xxiii
Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip
permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup
betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih
kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam,
maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip
mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan
saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa
tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah
mati-matian, agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan
Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, – fair play! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara
hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan.
Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok,
seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu
akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara prinsip nomor 3,
yaitu prinsip permusyawaratan!
Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu,
yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.
Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism,
democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka yang kaum
kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan,
cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup
memberi sandang pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara
kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai
kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah
parlementaire democratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidak-kah di Amerika kaum kapitalis
merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan
perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan
rakyat yang diadakan di sana itu, sekadar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak

xxiv
bukan adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah   p o l i t i e k e  d e m o c r a t i e
saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, – takada keadilan sosial, tidak ada      e k
o n o m i s c h e  d e m o c r a t i e sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat
seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie.”Di dalam
Parlementaire Democratie”, kata Jean Jaures, “di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap
orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap
orang boleh masuk di dalam parlemen. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah
kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”
Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi:
“Wakil kaum buruh yang mempunyai hak p o l i t i k itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan
minister. la seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di kalangan paberik, –
sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar ke jalan raya, dibikin
werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi
barat, tetapi permusya-waratan yang memberi hidup, yakni politieke economische democratie
yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang
hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu-Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil,
ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya
kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya a d a keadilan, di
bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti,
mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid
ini, yaitu bukan saja persamaan p o 1 i t i k, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan e k o n
o m i kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan
permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang  b e r s a m a  d e n g a n                
m a s y a r a k a t dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale
rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudarasaudara, di dalam badan
permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam
urusan kepala negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab?  Oleh

xxv
karena monarchie “vooronderstelt erfelijkheid”, – turun-temurun. Saya orang Islam, saya
demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap
kepala negarapun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik
kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan
kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi
kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anak-nya Ki Hadikoesoemo
dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu
saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5?
Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme, – atau perikemanusiaan
3. Mufakat, – atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Prinsip K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang
Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita se-
muanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”.
Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r a yang    ber-Tuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang b e r k e a
d a b a n. Apakah cara yang berkeadaban itu?
Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi Muhammad saw telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang
menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah
kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa

xxvi
prinsip kelima daripada Negara kita, ialah  K e t u h a n a n   y a n g   b e r k e b u d a – y a a
n, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama
lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia
Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pengkuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada
di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan
ber-Tuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita mempropagandakan
ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang
berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca
Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita
membicarakan d a s a r. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima
jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apa lagi yang lima
bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa Lima).
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan dan ke-Tuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman akhli
bahasa – namanya ialah    P a n c a s i l a.
Sila artinya a z a s atau d a s a r, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara
Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras
sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu?
Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasardasarnya Indonesia Merdeka,
Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan
dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-
nasionalisme.

xxvii
Dan Demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiekeconomische democratie, yaitu
politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi d e n g a n kesejahteraan, saya
peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio – democratie.
Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ke-
Tuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali
tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah saya
jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus
mendukungnya. S e m u a    b u a t  s e m u a ! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan
Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia,
bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua buat
semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah
saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong royong”. Negara Indonesia
yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong
Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah).
“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-
saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu
usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo,
satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama – sama!
Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjoangan
bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan
semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah).
Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang
Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.
Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang
Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-
saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah

xxviii
prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan
prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, saudara-saudara. Di
dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, – di dalam gunturnya
peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala,
bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di
bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka,
Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan
Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara
Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah
s.w.t.
Berhubungan dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi,
barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya,
isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai
dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara-saudara
mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk
Weltan-schauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia;
untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk
sosiale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam
dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada
saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltan-
schauung dapat menjelma dengan sendiri-nya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada
satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan!
Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, janganpun yang diadakan oleh Hitler,
oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
“De Mensch”, – manusia! – , harus perjuangkan itu. Zonder perjuangan itu tidakkah ia akan
menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia,
San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, saudara-
saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada
satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Janganpun buatan
manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis di
atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan

xxix
umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang
termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi
satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka,
ingin hidup sebagai anggota dunia yang mer-deka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin
hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid,
ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, –
janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan
sekali lagi perjuangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah
berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus
berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita
bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang t e r u s menyelenggarakan apa yang
kita cita-citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah,
insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat
datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko, – tidak berani terjun menyelami
mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan
tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu
akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman!
Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar
dengan tekad “Merdeka, – merdeka atau mati” !
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka tuan Ketua. Saya minta
maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama,
dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo
yang saya anggap “verschrikkelijk zwaarwichtig” itu.
 Terima kasih!
 (Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin.)

xxx
Lampiran 1
PEMBUKAAN
(Preambule)
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan.
  Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pimtu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
  Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan  dengan
ini kemerdekaannya.
  Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam sauatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.  

Lampiran 2
D E K R I T  P R E S I D E N
 Dengan Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa

xxxi
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat:
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945,
yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22
April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat
Undang Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi
menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Rakyat kepadanya;
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan
dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk
mencapai masyarakat yang adil dan makmur;
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami
sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi;
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-
Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut;
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas.
 
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
PERANG
 Menetapkan pembubaran Konstituante;
 Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak
berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas Anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan--
golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
 Atas nama Rakyat Indonesia,

xxxii
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/
PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG
SOEKARNO
A N J U R A N KU
KEPADA SEGENAP BANGSA INDONESIA
 
Ceramah Presiden Pada Pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Pada Tanggal
17 Juni 1954
 Saudara-saudara sekalian
Lebih dahulu saya mengucap banyak-banyak terima kasih kepada Saudara-saudara sekalian,
bahwa Saudara-saudara pada malam ini memerlukan datang di sini untuk bersilaturahmi dengan
kepala negara serta Ibu Soekarno.
Sekarang saya diminta untuk membuat ceramah. Ceramah yang terutama sekali mengenai hal
Pancasila dasar dan azas negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945. Kadang-kadang saya mendengar sebutan “Gerakan Pembela Pancasila”.
Sebenarnya sebutan yang demikian itu kurang lengkap. Harusnya, ialah “Gerakan Pembela
Pancasila Sebagai Dasar Negara”. Kalau sekadar dinamakan “Pembela Pancasila”, maka berarti
bahwa Pancasila itu harus dibela. Dan dengan sendirinya timbullah pertanyaan: Apakah
Pancasila itu harus dibela? Pertanyaan ini ada hubungannya dengan paham atau pendapat yang
pernah dikemukakan oleh salah seorang Saudara bangsa kita, bahwa Pancasila adalah buatan
manusia.
Saudara-saudara
Dalam hubungan ini buat kesekian kalinya saya katakan, bahwa saya bukanlah pencipta
Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah sekadar
memformulir perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa kata-kata,
yang saya namakan “Pancasila”. Saya tidak merasa membuat Pancasila. Dan salah sekali jika ada
orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno, bahwa Pancasila itu buatan manusia.
Saya tidak membuatnya, saya tidak menciptakannya. Jadi apakah Pancasila buatan Tuhan, itu
lain pertanyaan.
Aku bertanya. Aku melihat daun daripada pohon itu hijau. Nyata hijau itu bukan buatanku,
bukan buatan manusia. Apakah warna hijau daripada daun itu dus buatan Tuhan? Terserah

xxxiii
kepada Saudara-saudara untuk menjawabnya. Aku sekadar konstateren, menetapkan dengan
kata-kata satu keadaan.
Di dalam salah satu amanat yang saya ucapkan di hadapan resepsi para penderita cacat beberapa
pekan yang lalu, saya berkata bahwa saya sekadar menggali di dalam bumi Indonesia dan men-
dapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat menghiasi tanah air kita ini
dengan cara yang seindah-indahnya. Aku bukan pembuat berlian ini; aku bukan pencipta dari
berlian ini, sebagaimana aku bukan pembuat daun yang hijau itu. Padahal aku menemukan itu
ada daun hijau. Jikalau ada seseorang Saudara berkata bahwa Pancasila adalah buatan manusia,
aku sekadar menjawab: “Aku tidak merasa membuat Pancasila itu; tidak merasa mencipta
Pancasila itu”.
Aku memang manusia. Manusia dengan segala kedaifan daripada manusia. Malahan manusia
yang tidak lebih daripada Saudara-saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan
pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekadar memformulirkan adanya
beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang kunamakan “Pancasila”. Aku menggali di
dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu ada
hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada bangsa
Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletak-kan kepada daya pemersatu
daripada Pancasila itu.
Di belakangku terbentang peta Indonesia, yang terdiri dari berpuluh-puluh pulau yang besar-
besar, beratus-ratus, beribu-ribu bahkan berpuluh-puluh ribu pulau-pulau yang kecil-kecil. Di
atas kepulauan yang berpuluh-puluh ribu ini adalah hidup satu bangsa 80 juta jumlahnya. Satu
bangsa yang mempunyai aneka warna adat-istiadat. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna
cara berpikir. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara mencari hidup. Satu bangsa yang
beraneka warna agama-nya.
Bangsa yang berdiam di atas puluhan ribu pulau antara Sabang dan Merauke ini, harus kita
persatukan bilamana bangsa ini ingin tergabung di dalam satu negara yang kuat. Maksud kita
yang pertama sejak daripada zaman kita melahirkan gerakan nasional ialah mempersatukan
bangsa yang 80 juta ini, dan kemudian memerdekakan. Menggabungkan bangsa yang 80 juta ini
di dalam satu negara yang kuat. Kuat, karena berdiri di atas kesatuan geografi, kuat pula oleh
karena berdiri di atas kesatuan tekad.

xxxiv
Pada saat kita menghadapi kemungkinan untuk mengadakan proklamasi kemerdekaan, – dan
alhamdulillah bagi saya pada saat itu bukan lagi kemungkinan tetapi kepastian -, kita meng-
hadapi soal bagaimanakah negara yang hendak datang ini, kita letakkan di atas dasar apa. Maka
di dalam sidang daripada para pemimpin Indonesia seluruh Indonesia, dipikir-pikirkan soal ini
dengan cara yang sedalam-dalamnya. Di dalam sidang inilah buat pertama kali sayan formuleren
apa yang kita kenal sekarang dengan perkataan “Pancasila”. Sekadar formuleren, oleh karena
lima perasaan ini telah hidup berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun di dalam kalbu
kita. Siapa yang memberi bangsa Indonesia akan perasaan-perasaan ini? Saya sebagai orang
yang percaya kepada Allah swa. berkata: “Sudah barang tentu yang memberikan perasaan-
perasaan ini kepada bangsa Indonesia ialah Allah swa. pula”.
Lima perasaan yang Saudara-saudara kenal dengan perkataan-perkataan:
Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kebangsaan Indonesia yang Bulat,
Perikemanusiaan,
Kedaulatan Rakyat,
Keadilan Sosial,
Kelima perasaan ini hidup di dalam kalangan bangsa Indonesia. Hidup di dalam kalangan bangsa
Indonesia sebelum aku dan engkau ada. Lima perasaan ini hanyalah belum pernah diformulir.
Aku mempunyai keyakinan, bahwa kalau negara kita didasarkan di atas lima perasaan ini, maka
negara kita dapatlah mempunyai territour (wilayah) dari Sabang sampai ke Merauke.
Saudara-saudara mengetahui bahwa tiap-tiap negara barulah boleh disebut negara, jika negara itu
memenuhi syarat paling sedikit tiga buah.
Syarat perianza, ialah bahwa negara itu tegas harus mempunyai wilayah. Tegas harus
mempunyai territour. Tegas harus orang dapat melihat, bahwa ini wilayah negara itu. Sesuatu
gerombolan manusia yang tidak tegas akan territournya, yang tidak tegas akan wilayahnya, dan
tidak tegas akan batas-batas wilayahnya, gerombolan manusia yang demikian itu tidak dapat
dinamakan rakyat daripada suatu negara. Syarat yang pertama ini adalah syarat yang mutlak.
Syarat yang kedua, ialah di atas territour tadi, harus ada rakyatnya. Dan rakyatnya ini harus
berasa sebagai satu bangsa. Satu bangsa yang di dalam bahasa Jerman dinamakan satu Staat
Nation. Meskipun territournya tegas, tetapi jika di atas territour itu rakyatnya hidup tidak karuan,
tidak mempunyai hubungan batin satu sama lain, tidak merasakan dirinya sebagai satu Staat

xxxv
Nation, maka bangsa yang demikian itu tidak dapat disebutkan bangsa daripada satu negara.
Sebaliknya, walaupun bahasanya beruparupa, seperti bangsa Swis, ada yang berbahasa Perancis,
ada yang berbahasa Jerman, ada yang berbahasa Italia. tetapi karena mereka merasakan dirinya
scbagai satu Staat Nation, dan mempunyai territour yang tegas nyata wilayahnya, maka bangsa
yang demikian itu dapat menjadi satu negara.
Svuraf yang ketiga, ialah adanya Pemerintah yang ditaati oleh segenap Staat Nation itu tadi. Bagi
sesuatu bangsa yang telah mempunyai wilayah yang tegas, dan rasa Staat Nation yang tegas,
tetapi bilamana tidak ada Pemerintah di puncaknya yang mengereh segenap Staat Nation ini di
atas segenap wilayah ini, dan kalau Pemerintah ini tidak ditaati oleh segenap Staat Nation itu
tadi, niaka di sini perkataan negara pun tidak boleh dipakai.
Maka untuk memenuhi tiga syarat inilah kami tempo hari menggali-gali di dalam bumi Indonesia
ini untuk mendapatkan berlian-berlian yang indah, berlian untuk dijadikan hiasan daripada
negara. Tegasnya untuk mendapat dasar agar supaya negara ini bisa teguh dan selamat. Lebih
daripada siapapun juga di kalangan bangsa Indonesia ini, aku yang dikaruniai Allah swa. di
dalam beberapa tahun ini menjadi Presiden Republik Indonesia, hingga aku telah banyak
mengunjungi daerah-daerah daripada tanah air kita ini, mengenal rakyat Indonesia ini di pelbagai
daerah itu. Lebih daripada siapapun juga, aku melihat bahwa bangsa Indonesia ini adalah bangsa
yang terdiri daripada aneka warna adat-istiadat, aneka warna cara hidup, aneka warna paham
keseniannya, aneka warna agamanya. Dan bangsa yang demikian ini memerlukan satu dasar
negara yang dapal menipersatukannya.
Dan alhamdulllah sebagai tadi kukatakan ternyata dasar Pancasila ini dapat dipakai untuk
mempersatukan segenap bangsa Indonesia yang 80 juta dan beraneka warna itu. Di wilayah-
wilayah yang,jauh-jauh, orang-orang dengan tegas mengatakan baliwa Pancasila adalah satu-
satunya dasar yang dapat dipakai untuk mempersatukan bangsa Indonesia ini. Dan oleh karena
kita tidak ingin mempunyai negara dua atau tiga, tetapi kita ingin negara satu (negara kesatuan),
niaka marilah kitcr perinhankun Pcrnccrsila ittr sebcrgai duscu• negara. Sebagai dasar negara.
kita liarus bela Pancasila ini. Jika kita tidak mart menghadapi kemungkinun bangsa Indonesicr
ini terpecuh-helah herantakan.
Beberapa minggu yang lalu, aku telah mengunjungi daerah Maluku dan Nusa Tenggara. Aku
melihat, sebagian besar dari rakyat di Maluku dan Nusa Tenggara itu menghendaki dasar
Pancasila tetap sebagai dasarnya Republik Indonesia kelak kemudian hari. Tadi aku katakan

xxxvi
bahwa aku hanya sekadar penggali, kemudian sekadar memformuleer, karena kelima perasaan
itu memang telah ada di kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluhpuluh bahkan beratus-ratus
tahun.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Aku hendak menceritakan kepada Saudara-saudara lebih dahulu asalnya istilah Ketuhanan Yang
Maha Esa ini. Tatkala pemimpin-pemimpinmu pada pertengahan tahun ’45 mempikir-pikirkan
dasar apakah yang pantas dipakai untuk menjadi dasar dari Republik Indonesia yang akan
datang, maka mula-mula aku menganjurkan sebagai sila yang pertama, Ketuhanan. Kemudian
datanglah perbincangan yang hebat, terutama sekali daripada saudara-saudara pihak Islam yang
menghendaki dengan tegas jangan sekadar dinamakan “Ketuhanan” saja tetapi ditambah dengan
perkataan “Yang Maha Esa”. Dan usul daripada saudarasaudara dari pihak Islam ini, diterima
oleh kami semua. Jadi perkataan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, adalah hasil daripada
perundingan. Hasil daripada usul dari saudara-saudara pihak Islam yang memang usul itu kami
terima dengan segala senang hati. Dari ini saja sudah nyata bahwa Pancasila bukan kuberikan
kepada bangsa Indonesia sebagai aku ini diktator. Tidak!!! Dirundingkan. dibicarakan bersama.
Dan spesial yang mengenai sila yang pertama malahan diper-sempurnakan oleh saudara-saudara
dari piliak Islam dengan perkataan “Yang Maha Esa” itu tadi.
Ketuhanan, (Ketuhanan di sini saya pakai di dalam arti religieusiteit) itu memang sudah hidup di
dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh, beratus-ratus dan beribu-ribu tahun.
Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan pertama-tama hal yang aku lihat ialah
religieusiteit. Apa sebab? Ialah karena bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang hidup di atas
tarafiiya agraria, taraf pertanian. Semua bangsa yang masih hidup di atas taraf agraria, tentu
religius. (Saya belum memakai perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa) tetapi baru saya me-makai
perkataan religieusiteit atau kepercayaan kepada suatu hal yang gaib yang menguasai hidup kita
ini semua. Perasaan atau kepercayaan yang demikian itu hidup di dalam kalbunya bangsa-bangsa
yang masih hidup di dalam taraf agraria.
Betapa tidak?
Orang yang masih bercocok tanam, bertani, merasa bahwa segenap ikhtiarnya untuk mencari
makan ini sama sekali tergantung daripadaa satu hal yang gaib. Orang yang bertani memohon
supaya turun hujan misalnya. Dari mana hujan harus diminta? Kita mempunyai sawah dan
ladang, sawah dan ladang ini ditanami dengan padi atau jagung. Padi akan mati, jika tidak dapat

xxxvii
air hujan. Bangsa yang bertani tidak boleh tidak, lantas: “ah, ada satu hal yang gaib, kepada Nya
aku mohon supaya diturunkan hujan”. Demikian pula jikalau buah padinya telah hampir tua,
sebaliknya dia mohon kering jangan ada hujan yang terlalu lebat. Lagi dia berhadapan dengan
satu hal yang gaib. Mungkin dia belum dapat mengatakan bahwa itu yang dinamakan Allah.
Atau Tuhan pun mungkin belum ada perkataan itu padanya. Tetapi sekadar kalbunya penuh
dengan permohonan kepada satu zat yang gaib: “Ya gaib, ya gaib, jangan diturunkan hujan, lagi
aku sekarang membutuhkan kering”. Hujan dan kering tidak dapat dibuat oleh manusia. Hujan
clan kering dimohonkan oleh bangsa yang demikian itu kepada sesuatu zat vang gaib.
Belum aku menceritakan hal hama. Hama tikuskah. hama belalangkah, hama baksil-baksilkah.
Sama sekali itu di hiar perhitungan manusia. Lagi dia mohon kepada satu hal yang gaib: “Ya,
gaib berilah jangan sampai tanamanku ini diganggu oleh hama. tikus”. Ya, barangkali dia belum
tahu hal-hal kuman-kuman kecil yang dapat membikin sakitnya padi atau jagungnya itu.
Bangsa yang demikian, yang masih di atas taraf agraria, tidak boleh tidak mesti religieus.
Sebaliknya bangsa yang sudah hidup di dalam alam industrialisme, banyak sekali yang
meninggalkan religieusiteit itu. Aku tidak berkata bahwa itu adalah baik, meninggalkan
religieusiteit. Tidak! Lagi-lagi aku sekadar konstateren. Bangsa yang sudah hidup di dalam alam
industrialisme, banyak yang meninggalkan religieusiteit. Apa sebab? Sebabnya ialah karena ia
berhadapan – banyak sekali – dengan kepastiankepastian. Perlu litrik, tidak perlu “oh ya gaib, oh
ya gaib”, dengan tekan knop saja, terang menyala. Ingin tenaga, tidak perlu dia memohon ya
gaib ya gaib aku ingin tenaga. Dia punya mesin; mesin dia gerakkan, mesin itu bergerak. Di
dalam tangannya dia merasa bahwa dia menggenggam kepastian. Ingin perang aku dapat
mengadakan perang. Ingin tenaga aku bisa menggerakkan ini mesin. Oleh karena itulah rakyat
yang sudah hidup di dalam alam industrialisme banyak yang meninggalkan religieusiteit itu tadi.
Memang pernah kukupas di dalam satu ceramah yang mengenai religieusiteit ini, bahwa
religieusiteit ini melewati beberapa fase pula. Sebab memang masyarakat manusia adalah
dinamis. Dinamis di dalam arti selalu bergerak. Masyarakat nianusia tidak berhenti pada satu
taraf (tidak statis). Masyarakat manusia berjalan (berevolusi). Masyarakat manusia dinamis. Cara
hidup manusia berganti-ganti. Dengan pergantian cara hidup ini, dia punya religieusiteit pun
berganti-ganti warna. Tatkala dia masih hidup di dalam hutan rimba-raya, belum dia bertani. Dia
hidup di rimba-raya tidak mempunyai rumah. Sekadar dia hidup di dalam gua-gua, di bawah
pohon-pohon. Sekadar mencari makan dengan memburu atau mencari ikan. la sudah religieus,

xxxviii
tetapi apa yang dia sembah? Dia menyembah petir. Oleh karena dia mengetahui, kalau
memerlukan api: “itu dia, petir itu bisa menyembar pohon dan dia memberi api kepadaku”. Dia
menyembah sungai, oleh karena sungailah memberi ikan kepadanya. Bahkan dia menyembah
batu, karena batu itulah yang memberi perlindungan kepadanya. Dia menyembah geledek, dalam
pikirnya geledek inilah satu zat yang gaib. Pikirannya ada satu zat yang gaib yang turun dari satu
mega ke lain mega, dengan mengeluarkan suara gernuruh. Dia adalah religieus, dengan cara dia
sendiri.
Tatkala manusia kemudian dari itu tidak lagi hidup di dalam rimba-raya, di dalam gua-gua tetapi
hidup dengan beternak, pada waktu itu dia religieus, tetapi ciptaan daripada zat gaib ini lain lagi.
Bukan lagi geledek, bukan lagi sungai atau pohon-pohon besar yang rindang-rindang dia
sembah, tetapi dia menyembah zat yang berupa binatang-binatang sebagai yang sekarang ini
masih ada sisa-sisanya di beberapa bangsa yang menyembah sapi atau binatang ternak.
Tatkala manusia hidup di atas taraf pertanian, makin religieus dia tetapi ciptaannya juga berubah
daripada bangsa yang masih hidup di rimba-raya dengan memburu dan mencari ikan daripada
bangsa yang hidup dengan berternak saja. Tetapi nyata bangsa yang di atas taraf agraria, bangsa
yang demikian itu adalah religieus. Terutama sekali karena tanarn-tanamannya tergantung sarna
sekali dari gerak-gerik iklim.
Demikian pula bangsa yang sudah meninggalkan taraf agraria dan sudah masuk taraf
industrialisme, banyak yang meninggalkan religieusiteit seperti kukatakan tadi, oleh karena dia
hidup di dalam alam kepastian. Malah di dalam taraf inilah timbul aliran-aliran yang tidak
mengakui adanya Tuhan. Di dalam taraf inilah timbul apa yang dinamakan atheisme. Tetapi
_jikalau Saudara-saudara bertanya kepada Bung Karno persoonlijk apakah Bung Karno percaya
kepada Tuhan, Bung Karno berkata: “Ya aku percaya kepada Tuhan”. Malahan aku percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bukan dua bukan tiga. Tuhan yang satu. Tuhan yang
menguasai segala hidup. Ciptaan manusia yang berubah-ubah. Pikiran manusia yang berubah-
ubah.
Dulu tatkala manusia hidup di dalam rimba-raya di bawah pohon-pohon dan di gua-gua, dia
mengira bahwa Tuhan adalah berupa pohon, petir atau sungai. Dulu tatkala manusia hidup dalam
alam peternakan, dia mengira bahwa Tuhan berupa binatang. Sampai sekarang masih ada sisa-
sisa bangsa-bangsa yang menyembah kepada binatang. Dulu tatkala manusia hidup di dalam
taraf agraria, terutama sekali dulu, diapun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan itu. Dan

xxxix
tatkala manusia masuk di dalam alam industrialisme, banyak yang sudah tidak mengakui kepada
Tuhan lagi. Tetapi bagiku sebagai Bung Karno, Tuhan ada. Aku sering menceritakan tentang hal
orang buta yang ingin melihat rupanya gajah. Ada empat orang buta, semuanya belum pernah
melihat rupanya gajah. Datanglah seorang kawan yang hendak menunjukkan kepada mereka itu
apa gajah itu. Si Buta yang pertama disuruh maju ke muka, dia meraba-raba dan dia mendapat
belalai gajah. Dia berkata: “Oh aku sekarang sudah tahu rupanya gajah, rupanya sebagai ular
besar yang bisa dibengkok-bengkokkan”.
Si Buta nornor dua disuruh tampil ke muka dan dia mencaricari gajah dan mendapat ekor
daripada gajah itu. Lalu dia berkata: “Oh aku sudah tahu rupanya gajah itu seperti cambuk”.
Si nomor tiga lagi maju ke muka. Cari-cari gajah, lalu memegang kaki gajah. Katanya: “Oh aku
sudah tahu gajah rupanya seperti pohon kelapa”. Si nomor empat tampil ke muka (dia cebol)
pendek sekali dia punya badan. datang di bawah gajah itu, pegangpegang tak dapat apa-apa.
Katanya: “O aku sudah tahu, gajah rupanya seperti hawa. Gajah tidak ada. Gajah itu seperti hawa
ini”.
Seperti orang di dalarn dunia industrialisme mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Padahal gajah
ada. Demikian pula, padahal Tuhan ada. Tetapi ciptaan manusia berganti-ganti. Saudara-saudara.
Aku menceritakan hal ini, untuk mengatakan bahwa bangsa kita yang terutama sekali hidup di
atas taraf agraria ini, bahwa bangsa Indonesia itu reliegius. Oleh karena itulah maka sila yang
pertama tergalilah olehku hal perasaan ini: Ketuhanan di dalam arti relegieusiteit. Tetapi oleh
Saudara-saudara pihak Islam diusulkan supaya ditambah dengan perkataan: Yang Maha Esa.
Dan itu kami terima dengan segala senang hati.
Maka oleh karena itulah sila yang pertama sekarang itu, berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kebangsaan
Sudah barang tentu kita yang ingin menjadi bangsa yang satu, harus mengemukakan sila
kebangsaan itu. Dan sudah barang tentu rasa kebangsaan itu hidup berkobar-kobar di dalam dada
kita. Ialah oleh karena kita sudah 350 tahun dijajah oleh bangsa lain. Sosiologis, sernua bangsa
yang lama dijajah oleh bangsa asing, mesti kalbunya itu berkobar-kobar dengan rasa kebangsaan.
Ini boleh dinamakan adalah satu perasaan negatif, reaksi kepada imperialisme atau kolonialisme.
Tetapi rasa kebangsaan ada di dalarn kalbunya tiap-tiap bangsa yang telah lama dijajah oleh
bangsa lain. Tetapi seperti Saudara-saudara mengetahui, kebangsaan yang kita kemukakan bukan

xl
sekadar kebangsaan negatif. Tetapi juga kebangsaan positif. Kebangsa-an yang ingin
mengemukakan segala rasa-rasa yang mulia dan luhur yang ada di dalam kalbunya bangsa kita.
Bahkan aku berkata, di dalam hal ini bangsa Indonesia telah memberi contoh yang sebaik-
baiknya. Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia ini vang belum pernah menjajah
bangsa lain. Bangsa Iain pcrnah menjajah Indonesia. Tctapi bukalah kitab sejarah. Dari zaman
dahulu sampai zaman sekarang engkau tidak akan mendapat sesuatu bukti bahwa bangsa
Indonesia itu pernah menjajah bangsa lain. Tidak! Kita bangsa Indonesia di dalam rasa
nasionalismne kita suci murni sebagai satu bangsa yang bukan saja menjunjung tinggi kepada
nasionalisme atau kebangsaan, tetapi juga sebagai satu bangsa yang hidup di dalam alam
perikemanusiaan sebagai yang terlukiskan di dalam sila ketiga daripada Pancasila itu.
Seluruh bangsa di Asia sekarang masih hidup di dalam rasa kebangsaan itu. Nasionalisme adalah
salah satu faktor mental yang penting sekali di dalam segenap dunia dari Magribi (daerah paling
Barat dari Afrika) sampai ke daerah Pasifik. Apa sebab? Ialah karena bangsa-bangsa yang
dinamakan bangsa Afrika dan Asia ini tidak berselang lama masih hidup di dalam alam
penjajahan, dijajah oleh kolonialisme, diperintah oleh bangsa lain, ditindas oleh bangsa asing,
dihisap oleh kekuasaan-kekuasaan dari luar. Bangsa-bangsa yang demikian itu tidak boleh tidak
tentu kalbunya itu hidup dengan keinginan kembali kepada pribadi sendiri, yaitu yang
dinamakan kebangsaan. Tetapi bangsa Indonesia adalah istimewa. Ialah oleh karena bangsa
Indonesia ini terutama sekali hidupnya di persimpangan jalan. Persimpangan jalan dari Asia ke
Australia, dari lautan Teduh ke lautan Hindia. Bangsa yang dari zaman purbakala sudah belajar
kenal dengan bangsa-bangsa yang lain. Bangsa yang tidak pernah hidup eksklusif. Bangsa yang
tidak pernah hidup isolationistis. Bangsa yang tidak pernah hidup menyen-diri. Bangsa yang
merasa dirinya tertindas benar. Bangsa yang merasa dirinya terjajah benar. Bangsa yang ingin
merdeka benar. Bangsa yang ingin bersatu benar. Bangsa yang dus bernasionalisme benar.
Tetapi nasionalismenya tidak pernah sekadar negatif, tetapi positif. Ialah karena bangsa
Indonesia itu sebagai tadi kukatakan tidak pernah terpencil daripada bangsa -bangsa yang lain.
Perikemanusiaan
Rasa perikemanusiaan antara lain-lain bisa diterangkan daripada inilah yang bangsa Indonesia
tidak pernah hidup isolationistis, yang bangsa Indonesia seperti hidup di dalam satu gedung yang
pintu-pintunya terbuka, jendela-jendelanya terbuka. Hawa segar dapat masuk ke dalam gedung
bangsa Indonesia itu. (Dengan demikian, bangsa Indonesia itu tidak pernah di dalam kalbunya

xli
pula, isolationistis). Selalu mem-punyai rasa manusia dengan manusia dengan manusia dengan
bangsa apapun. Apalagi kita sejak daripada zaman dulu mendapat didikan-didikan perike-
manusiaan yang beraneka warna.
Ambil misalnya agarna Hindu, yang sudah ribuan tahun yang lalu datang di Indonesia. Apa
ajaran agarna Hindu, yang dulu itu boleh dikaakan agarna dari sebagian besar daripada bangsa
Indonesia ini? Apa ajaran agarna Hindu yang telah memasuki jiwa Indonesia beratus-ratus tahun
lamanya. Di dalam agama Hindu ada satu ajaran dalam bahasa Sanskritnya berbunyi: Tat Twam
Asi. Apa artinya Tat Twam Asi? Sering di zarnan Hindu orang menunjuk dirinya dan diri orang
lain Tat Twam Asi. Apa artinya Tat Twam Asi? Dia adalah aku, aku adalah dia. Itulah artinya
Tat Twam Asi. Aku adalah dia, dia adalah aku, ini adalah rasa perikemanusiaan. Yang sudah di-
cekokkan ke dalam jiwa kita beratusratus tahun bahkan beribu-ribu tahun yang lalu.
Kemudian kita mendapat pula didikan agama Islam. Tidak-kah agama Islanl itu justru satu
agama perikemanusiaan? Tidak-kah agama Islam itu sejak dari dahulu memberi pengajaran
kepada kita hal kifayah, hal kemasyarakatan, sampai misalnya diadakan fardhu kifayah. Jangan
sekadar memikirkan saja kepada diri sendiri, tetapi ingat kepada kifayah, fardhu kifayah.
Masyarakat, masyarakat. Dan tidakkah ajaran daripada Islam ini telah menyerak pula di dalarn
darah-daging bangsa Indonesia?
Engkau menghendaki agama Kristen, tidakkah agama Kristen pula mengajarkan hal
perikemanusiaan itu? Tidakkah agama Kristcn pula mengajarkan het God lccft bovcn alles, en
Uw naasten ggelijk U zelven.
Sesama manusia harus dicintai, seperti mencintai diri kita sendiri. Jadi jikalau aku menggali rasa
perikemanusiaan di dalam bumi Indonesia, itu adalah satu hal yang tidak meng-herankan.
Sebagaimana juga tidak mengherankan jikalau aku menggali rasa Ketuhanan di dalam bumi
Indonesia. Sebagai-mana juga tidak mengherankan jikalau aku menggali rasa kebangsaan di
dalam kalbunya bangsa Indonesia.
Kedaulatan Rakyat
Demikian pula kalau aku menggali kecintaan kepada Kedaulatan Rakyat di dalam kalangan
bangsa Indonesia. Itupun tidak mengherankan, bahwa bangsa Indonesia ini memang beribu-ribu
tahun hidup di dalam alam demokrasi itu, walaupun demokrasi kita tidak sebagai apa yang
dinamakan parlementaire atau Westerse democratie sekarang ini. Sejak zaman dahulu kita ini
adalah bangsa yang demokratis. Sejak zaman dahulu kita memusyawaratkan segala sesuatu yang

xlii
mengenai masyarakat kita. Sebelum ada teori-teori Montesqieu, Voltaire, Rousseau, sebelum
teori trias-politica, sebelum ada parlemen-parlemen di dunia barat, kita sudah menjalankan
demokrasi di dalam bentuk secara kuno. Tetapi demokrasi telah ada. Oleh karena itu rasa
demokrasi ini tidak asing lagi bagi kita.
Sebelum ada parlemen-parlemen, kita telah mempunyai cara berpernerintah di desa-desa, dan di
negara-negara yang demokrasi, walaupun demokrasinya itu adalah demokrasi yang sesuai
dengan zaman itu.
 
Keadilan Sosial
Demikian pula kalau aku menggali di dalarn bumi Indonesia ini perasaan Keadilan Sosial.
Tidaklah mengherankan pula, terutama sekali di dalam alam imperialisme kita gandrung kepada
keadilan sosial. Kita gandrung kepada satu keadaan yang memberikan nyaman hidup kepada
kita. Kita gandrung kepada cukup makan, cukup pakaian, cukup perumahan yang layak. Tidak
perlu kuceritakan kepada Saudara-saudara betapa akibatnya imperialisme, kolonialisme,
penjajahan kepada kehidupan dan perikehidupan kita. Kita bangsa Indonesia yang dahulu hidup
di dalam alam kemakmuran, kita menjadi satu bangsa yang miskin di dalam alam imperialisme
itu. Tidakkah dulu Saudara mengenal ucapan bahwa bangsa Indonesia dapat hidup dari uang 2
sen atau sebenggol seorang sehari karena isapan daripada kaum imperialisme itu. Padahal kalau
kita melihat kitab-kitab zaman kuno yang mengingatkan kita akan zaman yang makmur itu:
gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kartoraharjo. Diceritakan masyarakat kita di zaman dahulu
sampai poezie kita membawa alam yang seindahindahnya mengenai keadilan sosial itu. Kadang-
kadang aku menyuruhkan dalang, jika dalang telah menceritakan kemakmuran bangsa kita di
zaman dahulu, toto tentrem kartoraharjo katanya, gemah ripah loh jinawi, poro kawulo ijeg
rumagang ing gawe, tebih saking cecengilan, adoh saking laku juti, bebek ayam rajokoyo enjang
medal ing pangonan surup bali ing kandange dewedewe.
Sampai bebek dan ayam dikatakan pagi-pagi keluar sendiri ke tempat penggembalaan. Pada
waktu magrib ternak ayam bebek ini pulang ke kandangnya masing-masing.
Kemudian datang imperialisme hidup di dalam alam kemiskinan. hidup dari sebenggol seorang
sehari. Sebagai Dr Huender mengatakan een natie van loontrekkers en een koelie onder de naties.
llidup dalam alam kesederhanaan, hidup di dalam alam kepapaan, kekurangan. Herankah kita
bahwa kita lantas hidup di dalam alam idealisme ini ingin kepada keadilan sosial? Bahwa bangsa

xliii
Indonesia gandrung kepada keadilan sosial itu? Heran-kah kita bahwa bangsa Indonesia itu
mengenang-ngenangkan akan datangnya seseorang ratu adil yang bisa memberi “sandang pa-
ngan” yang layak kepada bangsa Indonesia itu? Dan herankah kita kalau aku menggali sila
kelima ini dari buminya bangsa Indonesia yang hidup papa sengsara dan gandrung kepada
keadilan sosial itu? Tidak!
Maka sekali lagi Saudara-saudara dan adik-adikku aku sekadar menggali keadaan-keadaan yang
nyata, kemudian aku formuleer dan formuleer inilah dinamakan Pancasila. Kemudian tatkala aku
menjadi Presiden Republik Indonesia dan mengunjungi daerah-daerah di seluruh Indonesia dari
Sabang sampai hampir ke Merauke makin teguh perasaanku bahwa hanya Pancasila inilah harus
kita pertahankan sebagai dasar negara. Aku melihat bahaya yang besar mengancam keruntuhan
negara kita ini jikalau dasar Pancasila tidak kita pertahankan untuk dasar negara kita. Jangan
Pancasila diaku oleh sesuatu partai! Jangan ada sesuatu partai berkata: Pancasila adalah azasku.
PNI tetaplah kepada azas Marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justru karena PNI berazas
Marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tetapi
jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab jikalau dikatakan Pancasila adalah ideologi
satu partai, lalu partai-partai lain tidak mau.
Oleh karena itu aku ulangi lagi. Pancasila adalah dasar negara dan harus kita pertahankan
sebagai dasar negara jika kita tidak mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini.
Saudara-saudara.
Hal negara, jagalah negara jangan sampai negara ini pecah. Untuk apa kita bcrjuang bcrpuluh-
puluh tahun, tidakkah untuk negara ini? Dan tadi sebagai kuterangkan tidakkah kita telah
gandrung kepada kesatuan dari Sabang sampai ke Merauke? Menggandrwngi satu negara yang
meliputi satu territour dari Sabang sampai ke Merauke itu? Tidakkah itu tujuan perjuangan kita,
hal yang baginya kita telah rela berkorban? Tidakkah untuk itu pemuda-pemuda kita rela mati di
medan pertempuran? Tidakkah untuk itu kita mempunyai bangsa berkorban sampai sudah tidak
bisa dinamakan pengorbanan lagi, karena pedihnya sudah tiada hingga lagi? Tidakkah untuk
negara yang satu ini kita berjuang berpuluh-puluh tahun dan kemudian kita bertempur di dalam
revolusi bertahun-tahun pula?
Negara adalah “wadah”. Dari territour Sabang sampai ke Merauke ini adalah harus terbentang
satu wadah yang besar. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Dan kalau Saudara-saudara atau

xliv
siapapun, ingin masukkan ideologi, masukkanlah di dalam masyarakat ini! Ini tegas kukatakan
beda antara wadah dengan masyarakat yang di dalam wadah ini.
Yang harus di sini itu, masyarakatnya. Wadahnya ini, jangan sampai retak. Engkau mempunyai
wadah yang berupa piring, berupa gelas ataupun berupa bejana. Di dalam wadah itu dapat
engkau isikan air, bier, stroop, kecap, segala apa yang dapat. Tetapi janganlah wadah ini retak.
Negara menurut teori populer, adalah wadah. Menurut teori lain-lain, macam-macam. Misalnya
salah satu teori yang amat terkenal, ialah teori daripada Marx. Karl Marx berkata bahwa negara
adalah sekadar satu organisasi. Organisasi kekuasaan (macht organisatie) kata Marx. Apa sebab
katanya, karena di dalam masyarakat selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sarna lain.
Kelas yang satu menundukkan kelas yang lain dan ingin mengekalkan penundukannya ini dan
untuk menundukkan itu, kata Marx, maka kelas yang menang ini mengadakan macht-organisatie
yang dinamakan negara. Ini teori Marx tentang negara.
Lenin. komunis yang terkenal malahan lebih populer Iagi mcngatakan. Pernah orang bertanya
kepada Tovarich Lenin, apa negara itu? Lenin menjawab “de staat is een knuppel” (negara
adalah pentung). Di dalam cara berpikir kaum Marxist memang iiegara adalah satu pentung.
Negara adalah macht organisatie kata Marx sendiri. (organisasi kekuasaan daripada satu kelas
yang berkuasa). Organisasi kekuasaan ini bisa dipakai untuk mementung ke Iuar, dapat dipakai
untuk mementung ke dalam. Mementung ke luar, yaitu kalau ada musuh dari Iuar datang hendak
menyerbu. Maka dihadapi dengan organisasi negara ini, dihadapi dengan alat-alat kekuasaan
daripada macht organisatie ini. Dan alat kekuasaan itu berupa tentara, armada dan lain-lain
sebagainya. Negara adalah macht organisatie yang mempunyai alat-alat kekuasaan untuk
menahan musuh yang datang dari luar. Tetapi negara juga macht organisatie yang mempunyai
alat-alat kekuasaan untuk mementung memukul musuh-musuh dari dalam. Yang dari dalam itu
apa, pencuri-pencuri dan lain-lain sebagainya. Alat-alatnya ke dalam yang berupa hakim-hakim,
penjara-penjara dan lain-lain.
Dia membantah pendapatnya kaum idealis yang mengata-kan bahwa negara adalah: de tot
werkelijkheid van geworden idee. Kaum idealis, kaum yang disebut oleh Marx tidak berdiri di
atas realiteit. Kaum idealis itu berkata bahwa negara adalah de tot werkelij kheid geworden idee.
Jadi seperti satu pengelamunan, satu cita-cita kernudian terselenggara. Marx membantah akan
hal itu, dan mengatakan akan hal itu, dan mengatakan negara adalah satu macht-organisatie, yang
bukan timbul sebenarnya daripada idee, tetapi daripada verhoudingen, daripada klassen-strijd,

xlv
perbandingan-perbandingan di dalarn masyarakat yang bertabrakan satu sama lain ini memaksa
kepada keadaan terbentuknya macht-organisatie sebai:,ai kelas yang menang.
Dan olch karcna negara mcnurut anggapan Marx adalah macht organisatie daripada kelas yang
menang, maka Marx berkata: di kclak kemudian hari jika telah tercapai satu masyarakat yang
tidak berkelas (sekarang ini masih ada kelas kapitalis, kelas proletar), tetapi di kelak kemudian
hari jikalau kelas kapitalis sudah hilang, tinggal satu masyarakat yang tidak berkelas katanya,
semuanya itu satu golongan saja tidak ada kapitalis, proletar, tidak ada feodal tidak ada horige, di
dalam masyarakat yang tidak ada berkelas lagi, kata Marx, dengan sendirinyapun negaranya
lenyap. Satu maatschappij yang klassenloos akan menjelmakan juga satu maatschappij yang
staatloos. Itu anggapan Marx.
Tetapi bagi kami, terutama sekali untuk menyelamatkan kita punya Republik Indonesia ini, kami
menggambarkan negara ini dengan cara yang populer, yaitu menggambarkan gambaran wadah,
agar supaya bangsa Indonesia mengerti bahwa wadah inilah yang harus dijaga jangan sampai
retak. Dan wadah ini hanyalah bisa selamat tidak retak, jikalau wadah ini didasarkan di atas
dasar yang kunamakan Pancasila. Dan jikalau ini wadah dibuatnya daripada elemen-elemen yang
tersusun daripada Pancasila. Gelas terbuat dari gelas, cangkir terbuat dari porselen, keranjang
terbuat dari anyaman bambu, periuk terbuat daripada tanah, belanga terbuat daripada tanah atau
tembaga.
Wadah kita yang bernama negara ini, terbuatlah hendaknya daripada elemen-elemen yang
tersusun dari Pancasila. Sebab hanya jikalau wadah ini terbuat daripada elemen-elemen itu saja,
dan hanya kalau wadah ini ditaruhkan di atas dasar Pancasila itu maka wadah ini tidak retak,
tidak pecah.
Aku berani mengatakan ini karena aku telah melihat sendiri di beberapa daerah daripada tanah
air kita ini manakala sesuatu ide saja dipakai sebagai dasar, datanglah perpecahan. Ada daerah
yang dengan tegas menyatakan moh tidak mau ikut itu aku hanya mau Pancasila. Pancasila itu
saialah yang bisa mempersatukan kami scmuanva.
Oleh karena itu aku masih yakin baiknya Pancasila sebagai dasar negara. Ini wadah bisa diisi,
dan mcmang wadah ini telah terisi masyarakat. Masyarakat ini yang harus diisi. Orang Islam
isilah masyarakat ini dengan Islam. Orang komunis, masukkan-lah atau isilah masyarakat ini
dengan komunisme. Orang Kristen, masukkanlah kekristenan di dalam masyarakat ini. PNI yang
berdasar di atas marhaenisme, isilah masyarakat ini dengan marhaenisme, dengan satu

xlvi
masyarakat yang berdasar dengan marhaenisme. Masyarakatnya yang harus diisi. Tempo hari
aku menggambarkan dengan tamzil lain, ini wadah diisi air, engkau mau apa, airnya diisi dengan
warna apa, warna hijau, ya isilah dengan hijau air ini. Engkau senang warna merah, isilah dengan
warna merah. Engkau senang dengan warna kuning, isilah air ini dengan warna kuning. Engkau
senang kepada warna hitam, isilah air ini dengan warna hitam. Airnya yang harus diisi, bukan
wadahnya. Wadahnya biar tetap dengan berdasarkan Pancasila, tetap terbuat daripada elemen-
elemen Pancasila ini. Sebab bilamana tidak, maka wadahnya retak. Kalau retak, bocor. Bisakah
kita mengisikan air di dalam beker yang retak? Tidak! Bisakah kita mengisikan susu di dalam
beker yang retak? Tidak! Oleh karena itu kita harus jaga jangan sampai wadah ini retak.
Saudara-saudara
Inilah pokok daripada anjuranku kepada segenap bangsa Indonesia supaya mengerti betul-betul
akan hal ini. Orang berkata aku diktator katanya memaksakan orang memakan Pancasila. Tidak!
Aku tidak berdiktator. Pertama aku sekadar menjaga jangan sampai negara ini pecah. Dan
sebagai telah kukatakan di satu tempat aku berbicara sebagai Presiden Republik Indonesia dan
tatkala aku dijadikan Presiden Republik Indonesia aku harus mengucapkan sumpah. sumpah
mem-pertahankan dan setia kepada UUD. Dan di dalain UUD ini Mukaddimahnya dengan tegas
mengatakan hal Pancasila itu. Kita telah mengalami beberapa UUD Sementara. Bahkan sebelum
ada UUD Senientara itu kita telah mengalami apa yang dinamakan Jakarta Charter. Di dalam
Jakarta Charter telah disebutkan lima sila itu. Kemudian di dalam UUD daripada Negara
Republik Indonesia yang pertama, Pancasila sebagai Mukaddimah, kemudian di dalam UUD
RIS. Mukaddimah-nyapun berisikan Pancasila. Kernudian di dalam UUD Sementara yang
sekarang ini, lagi-lagi Pancasila. Di atas UUD ini aku harus mengadakan surnpah. Tidakkah
sudah sebaiknya sepantasnya seyogyanya seharusnya semestinya aku tidak berhenti-henti
membela kepada Pancasila ini sebagai dasar negara. Dasar negara yang UUD-nya telah
kusumpah. Dan bukan saja oleh karena aku telah bersumpah, tidak! Lebih daripada sumpah itu,
ialah keyakinan di dalam dadaku bahwa Pancasila ini adalah satu-satunya yang dapat
menyelamatkan Negara Republik Indonesia ini. Oleh karena itu aku dengan yakin pula berkata
kepada semua orang harap Pancasila ini dipertahankan. Sebab jikalau Pancasila tidak diper-
tahankan sebagai dasar negara kita, kita nanti mengalami bencana. Bolehkah kita
mempropaganda-kan ideologi kami? Boleh semerdeka-merdekanya. Tetapi negara, tetaplah
letakkan di atas Pancasila.

xlvii
Beberapa kali di dalam waktu yang akhir-akhir ini malahan aku berkata kita hendak mengadakan
konstituante, hendak mengadakan pemilihan umum untuk konstituante dan DPR. Aku dengan
tegas selalu berkata pemilihan umum buat apa, untuk memilih konstituante. Konstituante untuk
apa, untuk menyusun UUD tetap. Apa sebab tetap, oleh karena UUD kita sekarang ini masih
sementara. UUD tetap untuk apa, kataku untuk negara yang kita proklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945. Tidak untuk negara lain, negara baru. Tegas kataku, adakah orang yang hendak
mau diajak membikin ULID baru bagi sesuatu negara lain sesuatu negara baru yang bukan
negara 17 Agustus 1945?
Mungkin ada orang-orang yang demikian itu. Tetapi aku yakin Saudara-saudara tidak mau.
Sebab itu aku berkata dan menganjurkan kalau diajak oleh seseorang mengadakan UUD tetap
untuk sesuatu negara lain. negara baru, bukan negara yang kita proklamirkan bersama pada
tanggal 17 Agustus 1945, dengan tegas aku berkata jangan mau!
Tidakkah kita untuk itu kita berjuang untuk negara yang kita proklamirkan 17 Agustus 1945?
Kalau kita tidak berjuang lagi untuk negara yang 17 Agustus 1945, kalau tidak sekarang ini
masih kita membanting tulang mengulur kita punya tenaga, memeras kita punya keringat untuk
negara 17 Agustus ini lebih baik kita tidur, jangan bekerja jangan berjuang. Sebab negara ini
yang kita cita-citakan sejak dari dahulu. Negara ini penluda-pemuda kita telah mengorbankan dia
punya jiwa dan raga. Untuk negara ini bapak kita telah membakar dia punya rumah. Untuk
negara ini kita punya pelayan-pelayan ikut berjuang menderita sehebat-hebatnya. Untuk negara
ini kita pegawai-pegawai mengungsi ke gunung-gunung. Untuk negara ini kita punya gerilya kita
punya TNI hancur habis-habisan. Untuk negara ini kita punya bumi hangus. Untuk negara ini
kita punya pemimpin-pemimpin beriburibu masuk penjara ada yang digantung oleh Belanda.
Tidakkah benar kataku ini?
Apa sebab sekarang kita mau membuat Undang-Undang Dasar tetap bagi sesuatu negara lain
atau negara baru. Jangan! Jangan!
Adakah yang mengadakan negara lain? Ya ada, antara lain, Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar,
Daud Beureueh. Dan ada orang-orang yang simpati kepada Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar,
Daud Beureueh. Tetapi kita tidak mau dan kita mohon kepada Allah swa ya Allah ya Rabbih,
semoga kita tetap kepada tekad yang semula yaitu setia kepada Republik Indonesia 17 Agustus
1945.
Saudara-saudara

xlviii
Sekarang kita menghadapai soal ini: “Pancasila tetap sebagai dasar negara atau tidak”. Aku
sebagai Presiden Republik Indonesia dan lebih-lebih pula sebagai Bung Karno. aku tetap
menganjurkan pakailah Pancasila ini tetap sebagai dasar negara kalau kita tidak ingin negara ini
menjadi pecah.
Ini satu perjuangan yang mengenai dasar. Ini menjadi satu perjuangan untuk meyakinkan
Saudara-saudara kita yang lain-lain yang belum yakin. Dan perjuangan yang demikian ini tidak
bisa kita jalankan dengan diam-diam. Perjuangan yang demikian ini merninta kita mencurahkan
segenap kita punya tenaga segenap kita punya daya penarik, segenap kita punya daya
meyakinkan kepada orang lain. Kita harus bekerja keras sekeras-kerasnya. Tatkala dulu
pemimpin-pemimpin menyebar-kan paham entah paham ke Islaman, entah paham kesatuan
Indonesia, entah paham sosialisme, entah paham komunisme, entah paham Markhaenisme,
mereka tidak duduk memeluk lutut. Mereka bergerak, meninggalkan kursi yang empuk-empuk,
mereka masuk kampung keluar kampung, masuk desa keluar desa. Mereka menjalankan darma
baktinya dengan memberikan tenaga yang 100%.
Kita sekarang menghadapi konstituante, pemilihan umum. Segenap jiwa ragaku ingin agar dasar
Pancasila ini tetap dipakai oleh bangsa Indonesia. Aku sebagai Presiden Republik Indonesia
tidak sering bisa meninggalkan Istana Negara atau Istana Merdeka ini. Kalau umpamanya aku
manusia biasa bukan Presiden, insya Allah swa. tiap hari aku akan masuk kampung dan desa.
Tiap hari suaraku kugunturkan dan isinya suaraku tak lain tak bukan, hai bangsa Indonesia
jangan negara kita ini sampai retak. Jangan negara Republik Indonesia ini sampai terpecah belah.
Marilah kita selamatkan negara ini, dan selamatnya hanya bisa di atas dasar Pancasila.
Aku minta kepadamu sekalian. untuk betul-betul menganjurkan hal Pancasila ini kepada segcnap
rakyat agar supava selamatlah negara kita ini.
 
Sekian, terima kasih.
 
 
 

xlix
 APA SEBAB NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA?
 
Amanat PJM Presiden Soekarno pada tanggal 24 September 1955 di Surabaya
 
Saudara-saudaraku sekalian,
Saya adalah orang Islam, dan saya adalah keluarga Negara Republik Indonesia.
Sebagai orang Islam saya menyampaikan salam Islam kepada saudara-saudara sekalian
“assalamu’alaikum wr. wb!”
Sebagai warga negara Republik Indonesia saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian,
baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu – Bali, baik yang beragama lain, kepada
saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional “merdeka!”
Tahukah saudara-saudara arti perkataan “salam” sebagai bagian daripada perkataan
assalamu’alaikum wr. wb? Salam arti-nya damai, sejahtera. Jikalau kita menyebutkan assalamu”
alaikum wr. wb, berarti damai dan sejahteralah sampai kepadamu. Dan moga-moga rakhmat dan
berkat Allah jatuh kepadamu. Salam berarti damai, sejahtera. Maka oleh karena itu saya minta
kepada kita sekalian untuk merenungkan benar-benar akan arti perkataan “assalamu’ alaikum”.
Salam – damai – sejahtera! Marilah kita bangsa Indonesia terutama sekalian yang beragama
Islam hidup damai dan sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai
membahayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan-gerombolan yang
menyebutkan assalamu’-alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat.
Salam – damai! Damai – sejahtera! Rukun – bersatu! Terutama sekali di dalam revolusi nasional
kita yang belum selesai ini.
Dan sebagai warga negara merdeka saya tadi memekikkan pekik “merdeka” bersama-sama
dengan kamu. Kamu yang beragama Islam, kamu yang beragama Kristen, – kamu yang ber-
agama Syiwa Budha, Hindu – Bali atau agama lain. Pekik merdeka adalah pekik yang membuat
rakyat Indonesia itu, walaupun jumlahnya 80 juta, menjadi bersatu tekad, memenuhi sumpahnya
“Sekali merdeka, tetap merdeka!”
Pekik merdeka, saudara-saudara adalah “pekik pengikat”. Dan bukan saja pekik pengikat,
melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan
imperialisme, – dengan tiada ikatan penjajahan sedikitpun. Maka oleh karena itu saudara-
saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini, fase revolusi nasional yang

l
belum selesai, jangan 1 upa kepada pekik merdeka! Tiap-tiap kali kita berj umpa satu sama lain,
pekikkanlah pekik “merdeka!”
Tatkala aku mengadakan perjalanan ke Tanah Suci beberapa pekan yang lalu, aku telah diminta
oleh khalayak Indonesia di kota Singapura untuk mengadakan amanat terhadap kepada mereka.
Ketahuilah, bahwa di Singapura itu berpuluh-puluh ribu orang Indonesia berdiam. Mereka
bergembira, bahwa Presiden Republik-nya lewat di Singapura. Mereka mcnyambut kedatangan
Presiden Republik Indonesia itu dengan gegap-gernpita, dan minta kepada Presiden Republik
Indonesia Umtuk memberikan amanat kepadanya. Di dalam amanat itu beberapa kali dipekikkan
pekik kepadamu salam “assalamu’alaikum!” Sebagai warga negara Republik Indonesia aku
menyampaikan kepadamu “merdeka!”
Saudara-saudara aku pulang dari Bali, – beristirahat beberapa hari di sana. Diminta oleh Kongres
Rakyat Jawa Timur untuk pada ini malam memberikan sedikit ceramah, wejangan, amanat,
terutama sekali yang mengenai hal “apa sebab Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada
Pancasila?” Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.
Tadi, tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas? Apa sebab? Terlalu jauh
jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka oleh karena itulah saudara-saudaraku dan anakanakku
sekalian, maka Bapak minta kepada pimpinan agar supaya saudara-saudara diberi izin lebih
dekat. Sebab saudara-saudara tahu isi hati Bapak ini, isi hati Presiden, isi hati Bung Karno, –
kalau jauh daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya
laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.
Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada saudara-saudara, Insya Allah
saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato di sini bukan sekadar sebagai Soekarno.
Bukan sekadar sebagai Bung Karno. Bukan sekadar sebagai Pak Karno. – Aku berpidato di sini
sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta untuk
memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atas
Pancasila?
Dan diminta memberi penjelasan akan Panca Dharma, sebagai yang telah kuanjurkan dengan
resmi pula di dalam pidato Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang lalu. Dan
pcrmintaan itu, Insya Allah kukabulkan pula sebagai Presiden Republik lndonesiau justru oleh
karena pada saat sekarang ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia, maka dengan gembira
dan senang hati saya memenuhi permintaan wltuk memberi penjelasan “merdeka”.

li
Apa lacur? Sesudah Bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok, ke Rangoon, ke New Delhi,
Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke Negara Saudi Arabia. – sesudah Bapak meninggalkan kota
Singapura, geger pers imperialisme Singapura, saudara-saudara. Mereka berkata: “Presiden
Sukarno kurang ajar”. Presiden Sukarno menjalankan ill-behaviour katanya. I11-behaviour itu
artinya tidak tahu kesopanan. Apa sebab pers imperialisme mengatakan Bapak menjalankan ill-
behaviour, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu Singapura ini bukan negeri merdeka? Toh tahu,
bahwa di sini masih di dalam kekuasaan asing, kok memekikkan pekik “merdeka”?
Tatkala Bapak kembali dari Tanah Suci, singgah lagi di Singapura, – Bapak dikeroyok oleh
korenponden-koresponden dan wartawan-wartawan. Mereka menanyakan kepada Bapak:
“Tahukah PJM Presiden, bahwa tatkala PJM Presiden meninggalkan kota Singapura di dalam
perjalanan ke Mesir dan Tanah Suci, PJM dituduh “kurang ajar, kurang sopan, ill-behaviour,
oleh karena PJM memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di sini
memekikkan pekik merdeka? “Apa jawab Paduka Yang Mulia atas tuduhan itu?”
Bapak menjawab: “Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warga negara
Republik Indonesia, berjumpa dengan warga negara Republik Indonesia, – pendek kata jikalau
orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia, selalu memekikkan pekik “merdeka”!
Jangankan di sorga, di dalarn nerakapun!”
Nah saudara-saudara dan anak-anakku sekalian. jangan lupa akan pekik merdeka itu. Gcgap-
gempitakan tiap-tiap kali pekik merdeka itu. Apalagi sebagai Bapak katakan tadi dalam fase
revolusi nasional kita yang belum selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia yang beragama
Islam aku menyampaikan kepadamu salam “assalamu’alaikum!” Sebagai warga negara Republik
Indonesia aku menyampaikan kepadamu “merdeka!”
Saudara-saudara aku pulang dari Bali, – beristirahat beberapa hari di sana. Diminta oleh Kongres
Rakyat Jawa Timur untuk pada ini malam memberikan sedikit ceramah, wejangan, amanat,
terutama sekali yang mengenai hal “apa sebab Negara Republik Indonesia berdasarkan kepada
Pancasila?” Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.
Tadi, tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas? Apa sebab? Terlalu jauh
jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka oleh karena itulah saudara-saudaraku dan anakanakku
sekalian, maka Bapak minta kepada pimpinan agar supaya saudara-saudara diberi izin lebih
dekat. Sebab saudara-saudara tahu isi hati Bapak ini, isi hati Presiden, isi hati Bung Karno, –

lii
kalau jauh daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan rakyat, rasanya
laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.
Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada saudara-saudara, Insya Allah
saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato di sini bukan sekadar sebagai Soekarno.
Bukan sekadar sebagai Bung Karno. Bukan sekadar sebagai Pak Karno. – Aku berpidato di sini
sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta untuk
memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia didasarkan atas
Pancasila?
Dan diminta memberi penjelasan akan Panca Dharma, sebagai yang telah kuanjurkan dengan
resmi pula di dalam pidato Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus vang lalu. Dan
permintaan itu. Insya Allah kukabulkan pula sebagai Presiden Republik Indonesia, justru oleh
karena pada saat sekarang ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia, maka dengan gembira
dan senang hati saya memenuhi permintaan untuk memberi penjelasan tentang Pancasila.
Apa sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden Republik Indonesia
disumpah atas Undang-Undang Dasar kita. Saya tadi berkata, bahwa saya memenuhi perminta-
an Kongres Rakyat Jawa Timur dengan penuh kesenangan hati, ialah oleh karena saya ini
sebagai Presiden Republik disumpah atas dasar Undang-Undang Dasar kita. Disumpah harus
setia kepada Undang-Undang Dasar kita. Di dalam Undang-Undang Dasar kita, dicantumkan
satu Mukaddimah, kata pendahuluan. Dan di dalam kata pendahuluan itu dengan tegas
disebutkan Pancasila. “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan Indonesia yang bulat,
Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”. Malahan bukan satu kali ini Pancasila
itu disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar kita. Sejak kita di dalam tahun 1945 telah
berkemas-kemas untuk menjadi satu bangsa yang merdeka, sejak itu kita telah mengalami empat
kali naskah.
Sebelum mengadakan Proklamasi 17 Agustus, sudah ada satu naskah. Kemudian pada 17
Agustus satu naskah lagi. Kemudian tatkala RIS dibentuk satu naskah lagi. Kemudian sesudah
itu tatkala kita kembali kepada zaman Republik Indonesia Kesatuan satu naskah lagi. Empat kali
naskah saudara-saudara. Dan di dalam keempat naskah itu dengan tegas disebutkan Pancasila.
Pertarna tatkala kita di dalam zaman Jepang, kita telah berkemas-kemas di dalam tahun 1945 itu
untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu telah disusunlah satu naskah yang di-
narnakan “Charter Jakarta”. Di dalam Jakarta Charter itu telah disebutkan dengan tegas lima azas

liii
yang hendak kita pakai sebagai pegangan untuk negara vang akan datang. “Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.
Demikian pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita pada 17 Agustus 1945,
dengan tegas pula keesokan harinya saudara-saudara kukatakan Undang-Undang Dasar yang kita
pakai ini, yaitu Undang-Undang Dasar yang kita rencanakan pada waktu caman.lepang di bawah
ancaman bayonet Jepang, kita rencanakan satu Undang-Undang Dasar daripada Negara Republik
Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan di dalam Undang-Undang
Dasar itu dengan tegas dikatakan Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan,
Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial”.
Tatkala berhubung dengan jalannya politik, Negara republik Indonesia Serikat dibentuk (RIS),
pada waktu itu dibuatlah Undang-Undang Dasar RIS. Dan di dalam Mukaddimah Undang-Un-
dang Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan tegas Pancasila.
Kita tidak senang akan federal-federalan. Segenap rakyat memprotes akan adanya susunan
federal ini. Delapan bulan susunan federal ini. Delapan bulan susunan RIS berdiri – hancur lebur
RIS, berdirilah Negara Republik Indonesia Indonesia Kesatuan. Dan Undang-tlndang Dasar yang
dipakai RIS ini diubah lagi menjadi Undang-Undang Dasar Sementara daripada Negara Republik
Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi Mukaddimah yang mengandung Pancasila.
Jadi dengan tegas saudara-saudara, – jelas! Empat kali di dalam sepuluh tahun ini kita melewati
empat naskah. Tiap-tiap naskah menyebutkan Pancasila. Dan tatkala aku dengan karunia Allah
s.w.t. dinobatkan menjadi Presiden, aku disumpah. Dan isi sumpah itu antara lain ialah setia
kepada Undang-Undang Dasar. Maka oleh karena itulah saudara-saudara, rasa sebagai kewajiban
jikalau diminta oleh sesuatu grolongan akan keterangan tentang Pancasila. – mcmcnuhi
pcrmintaan itu. Dan pada ini malam dengan mengucap suka-syukur ke hadirat Allah s.w.t. aku
berdiri di hadapan saudara-saudara. Berhadap-hadapan muka dengan kaurn buruh, dengan
pegawai. rakyat jelata, dengan pihak Angkatan Laut Republik Indonesia dan pihak Tentara,
dengan pihak Mobrig, pihak Polisi, Pihak Perintis, dengan Pemuda, dengan Pemudi, – berdiri di
hadapan saudara-saudara dan anakanak sekalian, yang telah datang membanjiri lapangan yang
besar ini Iaksana air hujan, – aku mengucap banyak terima kasih kepadamu. Dan Insya Allah
saudara-saudara aku akan terangkan kepadamu tentang apa sebab Negara Republik didasarkan
atas dasar Pancasila.
Saudara-saudara,

liv
Ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara!
Yah jikalau diambil di dalam arti itu, memang Pancasila adalah sementara. Tetapi bukan saja
Pancasila adalah sementara, bahkan misalnya ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar kita,
bahwa Sang Merah Putih, bendera kita, – itupun sementara! Segala Undang-Undang Dasar kita
sekarang ini adalah sementara.
Tidakkah tadi telah kukatakan, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita pakai sekarang ini,
malahan disebutkan Undang-Undang Dasar Sementara daripada Negara Republik Indonesia?
Apa sebab sementara? Yah oleh karena akhirnya nanti yang akan menentukan segala sesuatu
ialah konstituante. Maka itu Saudarasaudara kita akan mengadakan pernilihan umurn 2 kali.
Pertama pada tanggal 29 September nanti, Insya Allah s.w.t. untuk memilih DPR.
Kemudian pada tanggal 15 Desember untuk memilih Konstituantcadalah Badan Pembentuk
Undang-Undang Dasar. t JndanuUndang Dasar yang tetap. Konstituante adalah pembentuk
konstitusi. Konstitusi berarti Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tetap bagi Negara
Republik Indonesia, vang sampai sekarang ini segala-galanya masih sementara. Tetapi saudara-
saudara, jikalau ditanya kepadaku “apa yang berisi kalbu Bapak ini akan permohonan kepada
Allah s.w.t.?”
Terus terang aku berkata, jikalau saudara-saudara membelah dada Bung Karno ini,
permohonanku kepada Allah s.w.t. ialah saudara-saudara bisa membaca di dalam dada Bung
Karno memohon kepada Allah s.w.t. supaya Negara Republik Indonesia tetap berdasarkan
Pancasila.
Yah benar, bahwa segala sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku berkata, bahwa Sang Merah
Putih adalah sementara, adalah bendera Republik Indonesia-pun sementara. Dan jikalau nanti
konstituante bersidang, Insya Allah s.w.t. saudara-saudaraku, siang dan malam Bapak akan
memohon kepada Allah s.w.t. agar supaya konstituante tetap menetapkan Bendera Sang Merah
Putih sebagai bendera Negara republik Indonesia.
Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah Putih ini. Jangan ada
satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia.
Tahukah saudara-saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan Republik Indonesia?
Bukan buatan kita dari zaman pergerakan nasional. Apa lagi bukan buatan Bung Karno, bukan
buatan Bung Hatta! Enam ribu tahun sudah kita mengenal akan warna Merah Putih ini. Bukan

lv
seribu tahun. bukan dua ribu tahun. bukaii tiga ribu tahun, bukan empat ribu tahun, bukan lima
ribu tahun! – Enam ribu tahun kita telah mengenal warna Merah Putih!
Tatkala di sini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islanl, belum ada agama Hindu,
bangsa Indonesia telah mengagungkan warna Merah Putih. Pada waktu itu kita belum mengenai
Tuhan dalam cara mcngcnal sebagai sckarang ini. Pada waktu itu vang kita sembah adalah
Matahari daii Bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira, bahwa yang memberi hidup itu
Mataharai.
Siang Matahari – malam Bulan. Matahari merah – Bulan putih. Pada waktu itu kita telah
mengagungkan warna Merah Putih. Kemudian bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam
menyelami akan hidup di dalam alam ini.
Kita memperhatikan segala sesuatu di dalam alam ini dan kita melihat – O, alam ini ada yang
hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang, makhluk-makhluk yang
bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa bergerak. “Manusia dan binatang itu darahnya
merah. Tumbuh-tumbuhan darahnya putih”. Getih – Getah.
Coba dengarkan hampir sama dua perkataan ini: Getih – Getah.
Cuma i diganti dengan a Dulu kita mengagungkan Matahari dan Bulan yang di dalarn alam
Hindu dinamakan Surya Candra. Kemudian kita mengagungkan Getih-Getah. Merah-Putih.
Saudara-saudara, itu adalah fase kedua.
Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia.
Mengerti, bahwa kejadian manusia ini adalah daripada perhubungan laki dan perempuan,
perempuan dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih.
Dan itulah sebabnya maka kita turun-temurun mengagung-kan Merah Putih. Apa yang
dinamakan “gula-kelapa”, meng-agungkan bubur bang putih. Itulah sebabnya maka kita
kemudian tatkala kita, mempunyai Negara-Negara setelah mempunyai kerajaan-kerajaan,
memakai warna Merah Putih itu sebagai bendera Negara. Tatkala kita mempunyai kerajaan
Singosari, Merah Putih telah berkibar terus dirampas oleh imperialisme asing. Tetapi di dalam
dada kita tetap hidup kecintaan kepada Merah Putih.
Dan tatkala kita mengadakan pcrgcrakan nasional sejak tahun 1908, dengan lahirnya Budi
Utomo dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP (National lndische Party), oleh ISDP, oleh PKI.
oleh Sarikat Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra, dan lain-lain, maka rakyat Indonesia
tetap mencintai Merah Putih sebagai warna benderanya.

lvi
Uan tatkala kita pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu dengan resmi
kita menyatakan Sang Merah Putih adalah bendera kemerdekaan kita.
Itu semua jika dikatakan sementara, yaaah sementara! Sebab konstituante belum bersidang.
Konstituante mau merubah warna ini??? Lho, kalau menurut haknya, boleh saja. Sebab
konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi. Penyusun, pembentuk Konstitusi. Jadi
kalau konstituante misalnya hendak menentukan warna Bendera Republik Indonesia bukan
Merah – Putih – yaah mau dikatakan apa?
Tetapi Bapak berkata, Bapak memohon kepada Allah s.w.t. agar supaya warna merah-putih tetap
menjadi warna Bendera Negara Republik Indonesia.
Kembali kepada Pancasila. Jika dikatakan sementara, yaaaaaa  sementara!
Lagi-lagi Bapak ini berkata Allah s.w.t., Allah s.w.t. – Dan Bapakpun bersyukur ke hadirat Allah
s.w.t., bahwa cita-cita Bapak yang sudah bertahun-tahun untuk naik Haji dikabulkan oleh Allah
s.w.t. Lagi-lagi Allah s.w.t.
Saudara-saudara, jikalau aku meninggal dunia nanti – ini hanya Tuhan yang mengetahui, dan
tidak bisa dielakkan semua orang – jikalau ditanya oleh Malaikat: “Hai Soekarno, tatkala engkau
hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan apa yang paling engkau
cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang engkau paling ucapkan
syukur kepada Allah s.w.t.?”
Moga-moga saudara-saudara aku bisa menjawab. -ya    
bisa menjawab demikian atau tidaknya itupun tergantung dari pada Allah s.w.t.: “Tatkala aku
hidup di dunia ini, aku telah ikut membentuk Negara republik Indonesia. Aku telah ikut
membentuk satu wadah bagi masyarakat Indonesia”.
Sebagai sering kukatakan saudara-saudara, negara adalah wadah. Jikalau diberi karunia oleh
Allah s.w.t. mengerjakan pekerjaan satu ini saja, Allahu’akbar – aku akan berterima kasih
setinggi langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah. Wadahnya, wadahnya
saja yang bernama Negara ini. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Wadah yang dinamakan
negara ini adalah wadah untuk masyarakat.
Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada mem-bentuk masyarakat.
Membentuk wadah adalah bisa dijalankan di dalam satu hari sebenarnya, – wadah yang bernama
Negara itu.

lvii
Tidakkah saudara-saudara dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar, bahwa oleh suatu
konferensi kecil sekonyong-konyong diputuskan dibentuk Negara ini, dibentuk Negara itu. Mi-
salnya dahulu sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah Negara Cekoslovakia sekadar
dengan coretan pena dari suatu konferensi kecil. Membentuk negara gampang! Dulu di sini juga
pernah dibentuk Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, hanya dengan decreet Van Mook
saudara-saudara! Tetapi coba membentuk masyarakat, susah!
Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-tahun, berpuluh-puluh
tahun, kadang-kadang berwinduwindu, berabad-abad. Masyarakat apapun tidak gampang diben-
tuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus-menerus. Baik masyarakat Islam, maupun masyarakat
Kristen, maupun masyarakat Sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu dekret saudara-saudara,
dengan satu tulisan. dengan satu unjau napas manusia. Memhentuk masyarakat makan waktu!
Yah aku bermohon kepada Tuhan, dibolehkanlah hendaknya ikut membentuk masyarakat pula.
Masyarakat di dalam wadah itu. Tetapi aku telah syukur seribu syukur kepada Tuhan, jikalau aku
nanti bisa menjawab kepada Malaikat itu, bahwa hidupku di dunia ini ialah antara lain-lain telah
ikut membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama Negara dan wadah ini buat
satu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih daripada satu juta manusia saudara-
saudara, wadah itu bukan kok cuma buat satu juta manusia ini saja. Tidak! Wadah yang bernama
Negara, Negara yang bernama Republik Indonesia itu adalah wadah untuk masyarakat Indonesia
yang 80 juta, dari Sabang sampai ke Merauke! Dan masyarakat Indonesia ini adalah beraneka
agama, beraneka adat-istiadat, beraneka suku. Bertahuntahun aku ikut memikirkan ini. Nanti
jikalau Allah s.w.t. memberikan kemerdekaan kepada kita, – dulu berpikiran yang demikianlah
Bapak, -jikalau Negara Republik Indonesiatelah bisa berdiri, negara ini agar supaya selamat,
agar bisa menjadi wadah bagi segenap rakyat Indonesia yang 80 juta, Negara harus didasarkan
apa?
Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala aku aktif di dalam
pergerakan, aku lebih-lebih lagi memikirkan hal ini. Tatkala di dalam zaman Jepang, tetapi oleh
karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri, pembantingan tulang sendiri, korbanan kita sendiri,
– tatkala fajar telah menyingsing, lebih-lebih lagi kupikirkan hal ini. Wadah ini hendaknya
jangan retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat-kuatnya. Wadah untuk segenap rakyat Indonesia,
dari Sabang sampai ke Merauke yang beraneka agama, beraneka suku beraneka adat-istiadat.

lviii
Sekarang aku menjadi Presiden Republik Indonesia adalah karunia Tuhan. Aku tidak menyesal,
bahwa aku dulu bertahun-tahun memikirkan hal ini. Dan aku tidak menyesal. bahwa aku telah
memformulir Pancasila. Apa sebab? Barangkali lebih daripada siapapun di Indonesia ini, aku
mengetahui akan keanekaaan bangsa Indonesia ini. Sebagai Presiden Republik Indonesia aku
berkesempatan sering-sering untuk melawat ke daerah-daerah. Sering-sering aku naik kapal
udara. Malahan jikalau di dalam kapal udara aku sering-sering, katakanlah main gila dengan
pilot. Pilot terbang tinggi, aku tanya kepadanya:
“Saudara pilot, berapa tinggi?”
“12.000 kaki Paduka Yang Mulia”.
“Kurang tinggi, naikkan lagi”.
” 13.000 kaki”.
“Hahaa kurang tinggi Bung!”. “14.000 kaki”.
“Kurang tinggi!”.
” 15.000 kaki”.
“Kurang tinggi!”.
“16.000 kaki!”.
“Kurang tinggi!”.
“17.000 kaki!”
“Kurang tinggi!”.
“Sudah tidak bisa lagi. Paduka Yang Mulia. Kapal udara kita sudah mencapai plafon”.
Plafon itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara itu. Aku terbang dari Barat ke
Timur, dari Timur ke Barat. Dari Utara ke Selatan, dari Selatan ke Utara. Aku melihat tanah air
kita. Allahu’akbar, cantiknya bukan main! Dan bukan saja cantik, sehingga benarlah apa yang
diucapkan oleh Multatuli di dalam kitab “Max Havelaar”, bahwa Indonesia ini adalah demikian
cantiknya, sehingga ia sebutkan “Insulinde de zich daar slingert om den evenaar als een gordel
van smaragd”. Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat daripada zamrud berlilit-lilit seke-
liling khatulistiwa! Indahnva demikian. Ya memang saudara-saudara. jikalau engkau terbang
17.000 kaki di angkasa dan melihat ke bawah. kelihatan betul-betul Indonesia ini adalah sebagai
ikat pinggang yang terbuat daripada zamrud, melilit mengelilingi khatulistiwa. Berpuluh-puluh,
beratus-ratus, beribu ribu pulau saudara melihat. Dan tiap-tiap pulau itu berwarnawarna. Ada
yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah permai tanah air kita ini saudara-

lix
saudara. Lebih daripada 3000 pulau. Bahkan kalau dihitung dengan yang kecil-kecil, – 10.000
pulau-pulau.
Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh menyambut kedatangan
Presiden, rakyat beragama Islam. Terbang lagi kapal udaraku, turun di Siborong-borong daerah
Batak. Rakyat Batak menyambut dengan gegap-gempita kedatangan Presiden Republik
Indonesia, – agamanya Kristen.
Terbang lagi saudara-saudara dekat Sibolga, – agama Kristen. Terbang lagi ke Selatan ke
Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan, – agama Islam. Demikianlah pula di Jawa. Kebanyakan
beragama Islam, di sana Kristen, sini Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke Banjarmasin, –
kebanyakan Islam. Tetapi di Banjarmasin itu aku berjumpa utusan-utusan dari suku Dayak
saudarasaudara. Malahan di Samarinda aku berjumpa dengan utusanutusan, bahkan rakyat Dayak
yang 9 hari 9 malam turun dari gunung-gunung untuk menjumpai Presiden Republik Indonesia.
Mereka tidak beragama Islam, tetapi beragama agamanya sendiri.
Aku ber-ibu orang Bali. Ida Ayu Nyoman Rai nama Ibuku. Malahaii aku jikalau beristirahat di
Tampaksiring, desa kecil di Bali, rakyat Bali menyebutkan aku, kecuali Bung Karno, Pak Karno
– menyebutkan Ida Bagus Made Karno. Aku melihat masyarakat Bali yang dua juta manusia itu
beragama Hindu – Bali. Di Singaraja ada masyarakat Islam sedikit. Di Denpasar ada masyarakat
Islam sedikit. Terbang lagi kapal udaraku ke Sumbawa – Islam. Terbang kapal udaraku ke
Sumbawa – Kristen Protcstan. Tcrhang kapal udaraku ke Florcs -pulau di mana aku dulu
diinternir. – rakyat Flores kenal akaii Bung Karno, Bung Karno kenal akaii rakyat Flores –
sebagian besar rakyat Flores itu beragama Rooms Katholik (Kristen). Terbang lagi kapal udaraku
ke Timor – sebagian besar rakyatnya Protestan Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke Ambon –
Kristen. Sekitar Ambon itu adalah masyarakat kristen. Terbang lagi ke Utara ke Ternate – Islam
di Ternate. Dari Ternate trbang ke Manado, Minahasa sekelingnya, – Kristen, ke Selatan
Makasar – Islam. Di Tengah Sulawesi, Toraja – sebagian besar Kristen, sebagian belum ber-
agama.
Benar apa tidak perkataanku, saudara-saudara, bahwa bangsa Indonesia adalah beraneka agama?
Demikian pula aku berkata, bahwa bangsa Indonesia ini beraneka adat-istiadat, beraneka suku
pula. Beraneka suku, beraneka agarna, beraneka adat-istiadat. Ini yang menjadi pikiran Bapak
berpuluh-puluh tahun.

lx
Sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, aku
ingin bernama-sama dengan pejuang-pejuang lain membentuk satu wadah. Wadah yang bernama
Negara. Wadah untuk masyarakat, bagi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku,
beraneka adat-istiadat!
Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua
masyarakat Indonesia yang beraneka-aneka itu dan yang masyarakat Indonesia mau duduk pula
di dalamnya, yang diterima oleh saudara-saudara yang beragama Islam, yang beragama Kristen
Katolik, yang beragama Kristen Protestan, yang beragama Hindu-Bali, dan oleh saudarasaudara
yang beragama lain, – yang bisa diterima oleh saudarasaudara yang adat-istiadatnya begitu, dan
yang bisa diterima sekalian saudara.
Aku tidak mencipta Pancasila saudara-saudara. Sebab sesuatu dasar negara ciptaan tidak akan
tahan lama. Ini adalah satu ajaran yang dari mula-nulanya kupegang teguh. Jikalau engkau
hendak mengadakan dasar untuk sesuatu negara, dasar untuk sesuatu wadah – jangan bikin
sendiri, jangan anggit sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah sedalam-dalamnya lautan
daripada sejarah! Gali sedalam-dalamnya bumi daripada sejarah!
Aku melihat masyarakat Indonesia, sejarah rakyat Indonesia. Dan aku menggali lima mutiara
yang terbenam di dalamnya, yang tadinya lima mutiara itu cernerlang tetapi oleh karena
penjajahan asing yang 350 tahun lamanya, terbenam kembali di dalam bumi bangsa Indonesia
ini.
Aku oleh sekolah Tinggi Universitas Gajah Mada di-anugerahi titel Doktor Honoris (titel Doktor
kehormatan) dalam ilmu ketatanegaraan. Tatkala promotor Prof. Mr. Notonegoro mengucapkan
pidatonya pada upacara pemberian titel Doktor Honoris Causa, pada waktu itu beliau berkata:
“Saudara Soekarno, kami menghadiahkan kepada saudara titel kehormatan Doktor Honoris
Causa dalam ilmu ketatanegaraan, oleh karena saudara pencipta Pancasila”.
Di dalam jawaban itu aku berkata: “Dengan terharu aku menerima titel Doktor Honoris Causa
yang dihadiahkan kepadaku oleh Universitas Gajah Mada, tetapi aku tolak dengan tegas ucapan
Profesor Notonegoro, bahwa aku adalah pencipta Pancasila”.
Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya
menggali Pancasila daripada burninya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalarn bumi
bangsa Indonesia 350 tahun lamanya, -aku gali kembali dan aku sembahkan Pancasila ini di atas
persada bangsa Indonesia kembali.

lxi
Tidak benar saudara-saudara, bahwa kita sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik
Indonesia – sebenarnya telah mengenal akan – Pancasila? Tidakkah benar kita dari dahulu mula,
telah mengenal Tuhan. – hidup di dalam alarn Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita dahulu pernah
mengUu-aikan hal ini panjang lebar. Bukan anggitan baru. bukan -karangan baru. Tetapi sudah
sejak dari dahulu mula bangsa Indonesia adalah satu bangsa yang cinta kepada Ketuhanan. Yah
kemudian Ketuhanannya itu disempurnakan oleh agarna-agarna. Disempurnakan oleh Agama
Islam, – disempurnakan oleh agama Kristen. Tetapi dari dahulu mula kita memang adalah satu
bangsa yang berketuhanan. Demikian pula, tidakkah benar bahwa kita ini dari dahulu mula telah
cinta kepada Tanah Air dan Bangsa? IJidup di dalam alam kebangsaan? Dan bukan saja
kebangsaan kecil, tetapi kebangsaan Indonesia. Hai engkau pemuda-pemuda, pernah engkau
mendengar nama kerajaan Mataram? Kerajaan Mataram yang membuat candi-candi Prambanan,
candi Borobudur? Kerajaan Mataram ke-2 di waktu itu di bawah pimpinan Sultan Agung
Hanjokrokusurno? Tahukah saudara-saudara akan arti perkataan Mataram? Jikalau tidak tahu,
maka aku akan berkata kepadamu “Mataram berarti Ibu”. Masih ada perkmaan perkataan
Mataram itu misalnya perkataan Mutter di dalam bahasa Jerman – Ibu. Mother dalam bahasa
Inggeris – Ibu. Moeder dalam bahasa Belanda – Ibu. Mater dalam bahasa Latin – Ibu. Mataram
berarti Ibu.
Demikian kita cinta kepada Bangsa dan Tanah air dari zaman dulu mula, sehingga negeri kita,
negara kita, kita putuskan Mataram.
Rasa kebangsaan, bukan rasa baru bagi kita. Mungkinkah kita mempunyai kerajaan seperti
kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dahulu, jikalau kita tidak mempunyai rasa kebangsa-an yang
berkobar-kobar di dalam dada kita?
Yaah kata pemimpin besar yang bernama Gajah Mada, Sang Maha Patih Ihino Gajah Mada.
Benar kita mempunyai pemimpin besar itu. Benar pemimpin besar itu telah bersumpah satu kali
“tidak akan makan kclapa. jikalau bclum scgcnap kepulauan Indonesia tergabung di dalam satu
negara yang besar”. Benar kita mempunyai pemimpin yang besar itu. Tetapi apakah pemimpin
inikah yang sebenarnya pencipta daripada kesatuan kerajaan Majapahit? Tidak!
Pernimpin besar sekadar adalah sambungan lidah daripada rasanya rakyat jelata. Tidak ada satu
orang pemimpin besar, walaupun besarnya bagaimanapun juga, – bisa lnembentuk satu negara
yang sebesar Majapahit ialah satu negara yang besar, yang wilayahnya dari Sabang sampai ke
Merauke, – Bahkan sampai ke daerah Philipina sekarang.

lxii
Katakanlah Bung Karno pemimpin besar atau pemimpin kecil – pernimpin gurem atau pemimpin
yang bagaimanapun, – Tetapi jikalau ada orang yang berkata: “Bung Karno yang mengadakan
negara Republik Indonesia”. Tidak benar! ! ! Janganpun satu Soekarno sepuluh Soekarno,
seratus Soekarno, seribu Soekarno – tidak akan bisa membentuk negara Republik Indonesia,
jikalau segenap rakyat jelata Republik Indonesia tidak berjuang mati-matian!”
Kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan segenap rakyat. Maka itu pula menjadi pikiran
Bapak, Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu
agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, – tetapi milik kita
semua dari Sabang sampai ke Merauke! Perjuangan untuk merebut kemerdekaan ini dijalan-kan
oleh semua bangsa Indonesia.
Aku melihat di dalam daerah-daerah yang kukunjungi, di manapwn aku datang, aku melihat
Taman-taman Pahlawan. Bukan saja di bagian-bagian yang beragama Islam, tetapi juga di
bagianbagian yang beragama Kristen. Aku melihat Taman-taman Pahlawan di mana-mana. Di
sini di Surabaya, pada tanggal 10 November tahun 1945 -siapa yang berjuang di sini?
Scgcnap pcmuda-pcmudi. kiai. kawli buruh. kaum tani, segenap rakyat Surabaya berjuang
dengan tiada perbedaan agama, adat-istiadat. oulongan atau suku.
Rasa kebangsaan kita sudah dari sejak zaman dahulu.. demikian pula rasa perikemanusiaan. Kita
bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia ini satu-satunya bangsa
yang tidak pernah menjajah bangsa lain adalah bangsa Indonesia. Aku tentang orang-orang ahli
sejarah yang bisa membuktikan bahwa bangsa Indonesia pernah menjajah kepada bangsa lain.
Apa sebab? Oleh karena bangsa Indonesia berdiri di atas dasar perikemanusiaan sejak dari
zaman dahulu. Dari zaman Hindu, kita sudah mengenal perikemanusiaan. Disempurnakan lagi
rasa perikemanusiaan itu dengan agama-agama yang kemudian.
Di dalam zaman Hindu kita telah mengenal ucapan: “Tattvamasi”. Apa artinya Tattvamasi? Tat
tvam asi berarti “Aku adalah dia, dia adalah aku”. Dia pakai, aku ikut pakai. Dia senang, aku ikut
senang. Aku senang, dia ikut senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tattvamasi – perikemanusiaan.
Kemudian datanglah di sini agama Islam, mengajarkan kepada perikemanusiaan pula. Malah
lebih sempurna. Diajarkan kepada kita akan ajaran-ajaran fardhu kifayah, kewajiban-kewajiban
yang dipikulkan kepada seluruh masyarakat. Misalnya jikalau ada orang mati di kampungmu,
dan kalau orang mati itu tidak terkubur, – siapa yang dianggap berdosa, siapa yang dikatakan

lxiii
berdosa, siapa yang akan mendapat siksaan daripada dosa itu? Bukan sekadar kerabat famili
daripada sang mati itu. Tidak! Segenap masyarakat di situ ikut tanggung jawab.
Demikian pula bagi agama Kristen. Tidakkah di dalam agama Kristen itu kita diajarkan cinta
kepada Tuhan, lebih daripada segala sesuatu dan cinta kepada sesama manusia, sama dengan
cinta kepada diri kita sendiri? “Hebs U naasten lief gelijk U zelve. God boven alles”. Jadi rasa
kemanusiaan, bukan barang baru bagi kita.
Demikianlah pula rasa kedaulatan rakyat. Apa sebab pergerakan Nasional Indonesia laksana api
mencetus dan meledak-kan segenap rasa kebangsaan Indonesia? Oleh karena pergerak-an
nasional Indonesia itu berdiri di atas dasar kedaulatan rakyat. Engkau ikut berjuang! Dari dahulu
mula kita gandrung kepada kedaulatan rakyat. Apa sebab engkau ikut berjuang? Oleh karena
engkau merasa memperjuangkan dasar kedaulatan rakyat.
Bangsa Indonesia dari dahulu mula telah mengenal kedaulatan rakyat, hidup di dalam alam
kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan barang baru bagi kita. Demikian pula cita-cita keadilan
sosial. – bukan cita-cita baru bagi kita. Jangan kira, bahwa cita-cita keadilan sosial itu buatan
Bung Karno, Bung Hatta, atau komunis, atau kaum serikat rakyat, kaum sosialis. Tidak!
Dari dahulu mula bangsa Indonesia ini cinta kepada keadilan sosial. Kalau zaman dahulu, kalau
ada pemberontakan, – saudara-saudara berhadapan dengan pemerintah Belanda, – semboyannya
selalu “Ratu Adil” Ratu adil para marta. Sama rata, sama rasa. Adil, adil, itulah yang menjadi
gandrungnya jiwa bangsa Indonesia. Bukan saja di dalam alam pergerakan sekarang atau di
dalam pergerakan alam nasional tetapi dari dulu mula. Maka oleh karena itulah aku berkata, baik
Ketuhanan Yang Maha Esa maupun Kebangsaan, maupun Perikemanusia-an, maupun
Kedaulatan Rakyat, maupun Keadilan Sosial, bukan aku yang menciptakan. Aku sekadar
menggali sila-sila itu. Dan sila-sila ini aku persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia
untuk dipakai sebagai dasar daripada wadah yang berisi masyarakat yang beraneka agama,
beraneka suku, beraneka adat-istiadat. Inilah saudarasaudara, maka di dalam sidang Dokuritu
Zyunbi Tyousakai di dalarn zaman Jepang, pertengah-an tahun 1945 telah diadakan satu sidang
daripada pemimpin-pemimpin Indonesia, dan di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai itu
dibicarakan hal-hal ini.
Pertama apakah negara yang akan datang itu harus berdasar satu falsafah ataukah tidak? Semua
berkata “harus berdasarkan satu falsafah”. Harus memakai dasar. Sebab kita melihat di dalam

lxiv
sejarah Dunia ini banyak sekali negara-negara yang tidak berdasar, lantas berbuat jahat, oleh
karena tidak mempunyai ancer-ancer hidup bagi rakyatnya.
Kita melihat negara-negara yang besar. Tetapi oleh karena tidak mempunyai ancer-ancer hidup,
tidak mempunyai dasar hidup dengan sedih kita melihat bahwa negara-negara itu berbuat sesuatu
yang sebenarnya melanggar kepada kedaulatan dan perikemanusiaan.
Di dalam sidang Dokuritzu Zunbi Tyousakai itu memutus-kan akan memberi dasar kepada
negara. Akhirnya saya mem-persembahkan Pancasila. Dan syukur Alhamdulillah sidang meneri-
manya. Dan tatkala kita memproklamirkan kemerdekaankemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, dasar ini yang dipakai. Dan aku berkata oleh karena dasar ini – segenap rakyat
Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke menyambut-nya proklamasi itu dengan gegap-
gempita. Disambut oleh kaum alim ulama, disambut oleh kaum buruh, disambut oleh kaum tani,
disambut oleh saudara-saudara yang berdiam di Aceh, disambut oleh saudara-saudara yang
berdiam di Minangkabau, disambut oleh saudara-saudara yang berdiam di Flores, disambut oleh
saudara-saudara yang berdiam di Kalimantan, disambut oleh saudara-saudara yang berdiam di
Bali, disambut oleh segenap rakyat Indonesia.
Aku baru pulang dari Bali – tahukah penyambutan rakyat Bali yang beragama Hindu Bali itu
terhadap kepada proklamasi kemerdekaan Indonesia? Rakyat Bali, hidup di dalam alam per-
juangan yang hebat. Ada satu tempat kecil di Bali, misalnya namanva Tabanan. Yah kalau
dibandingkan dengan di sini
Tabanan itu barangkali hanya sebesar      Waru, atau sebesar Tulangan, sebesar Prambon. Di
Tabanan itu saja di dalam tahun 1951 diresmikan satu Taman Pahlawan, vang di dalam Taman
Pahlawan itu 680 jenazah.
Demikian pula di ternpat yang lain-lain. Memang rakyat Bali menyambut proklamasi ini dengan
gegap-gempita. Agamanya adalah Hindu – Bali. Tetapi mereka menyambut proklamasi ini ialah
oleh karena proklamasi ini didasarkan kepada Pancasila. Pendek kata tatkala usul saya kepada
Dokuritzu Zunbi Tyousakai itu diterima oleh sidang dan kemudian dipakai sebagai dasar negara
Republik Indonesia, tak putus-putus aku mengucapkan syukur kepada Tuhan. Inilah dasar yang
menjamin keutuhan bangsa kita yang beraneka agama, yang beraneka adat-istiadat, yang
beraneka suku.

lxv
Maka oleh karena itu, jikalau dikatakan Pancasila adalah sementara? Ya Konstituante nanti yang
akan menentukan. Tetapi aku memohon kepada Tuhan agar supaya Negara Republik Indonesia
tetap berdasarkan Pancasila!
Aku hidup gandrung dalam suasana persatuan. Aku masuk di dalam gelanggang perjuangan,
tatkala aku berumur 18 tahun. Dulu sebelum 18 tahun tidak boleh masuk partai politik. Umur 18
tahun aku kintil (ikut) Rama Tjokroaminoto. Ikut berjuang. Sejak daripada itu tetap aku
gandrung kepada persatuan, sekali lagi persatuan. Perkataan gandrung ini keluar dari mulutku
dari tahun 1918 sampai sekarang. 37 tahun lamanya aku gandrung persatuan. Memang aku
gandrung persatuan. Oleh karena aku mengetahui, bahwa hanya persatuanlah bisa mencapai
kemerdekaan. Hanya persatuan bisa menetapkan kemerdekaan. Hanya persatuan inilah yang bisa
membawa kita kepada cita-cita kita sekalian!
Di dalam kongres Rakyat Indonesia kuanjurkan persatuan ini. Di dalam Kongres Partai Nasional
Indonesia di Randwlg, 10 bulan yang lalu – kuanjurkan pcrsatuan ini. Oleh karcna aku mclihat
gejala-gejala perpecahan makin lama makin meningkat, makin lama makin menampak.
Bersatulah kembali saudara-saudara, bersatulah rakyat Indonesia – bersatu kembali di dalam
persatuan nasional revolusioner yang sebulat-bulatnya. Sebab kita duduk di dalam alam revolusi
nasional. Kalau kita mengadakan persatuan yang bukan persatuan nasional revolusioner tidak
bisa kita menyelesaikan revolusi nasional kita itu. Aku hidup di dalam alam persatuan ini, aku
gandrung kepada persatuan ini, – maka oleh karena itulah, jikalau aku sekarang sebagai Presiden
Republik Indonesia berbicara di hadapan saudara-saudara, resmi sebagai Presiden Republik
Indonesia yang membentangkan kepada saudara-saudara dasar negara, yang akan sumpah di
atasnya sebagai Presiden.
Di samping itu aku bergembira hati diberi kesempatan oleh Allah s.w.t. sebagai warga negara
biasa membicarakan hal dasardasar negara ini.
Di dalam pidato 17 Agustus 1955 aku menganjurkan pula Panca Dharma. Apa inti dari Panca
Dharma? Tak lain dan tak bukan ialah inti itu keluar daripada j iwa Pancasila. Tidakkah Panca
Dharma lima? Pertama – persatuan. Kedua – yang merusak persatuan yaitu yang mengacau-
ngacau keamanan ini harus kita lenyapkan. Nomor tiga – pembangunan, pembangun-an, pemba-
ngunan! Keempat – Irian Barat. Kelima – pemilihan umum. Pernilihan umum pada intinya ialah
persatuan. Segenap bangsa Indonesia yang 80 juta ini, yang sudah dewasa 43 juta, -diminta
mengeluarkan suaranya dengan cara bebas -dalam alam suasana persaudaraan. Mari kita

lxvi
sekarang dengan tenang dalam suasana persaudaraan bangsa mengemukakan suara kita. Jiwa
daripada pemilihan umum adalah persatuan!
Pembangunan juga tidak bisa selesai zonder persatuan. Dapatkah engkau membangun ekonomi
Indonesia dengan tidak pcrsatuan? Tahukah engkau bahwa Indonesia ini ekonomi yang
sebenarnya satu Unit. satu kesatuan yang besar. – yang jikalau satu daerah dikeluarkan – kocar-
kacir ekonomi kita itu. Dan kita menyusun satu ekonomi yang bukan ekonorni kolonial, ekonomi
imperialis? Tidak! Di dalam Undang-Undang Dasar kita sebutkan dengan tegas bukan ekonomi
untuk membikin gendutnya perutnya satu dua orang. Tetapi ekonomi yang membikin
sejahteranya segenap rakyat. Inilah dasar, inti jiwa daripada Undang-Undang Dasar kita,
meskipun Undang-Undang Dasar yang dinamakan sementara.
Satu ekonomi nasional yang menjamin semua bangsa Indonesia, hidup sejahtera, layak, makmur.
Bukan ekonomi yang membikin gendut orang satu tetapi ekonomi sama rata sama rasa.
Satu ekonomi yang mengandung jaminan kehidupan yang baik buat semua, di dalam suasana
kesatuan dan persatuan.
Pengacau keamanan bahwa itu memecah kepada persatuan merugikan kepada rakyat – perlukan
masih kuuraikan? Tidak!
Irian Barat. Sebab apa saudara-saudara menuntut Irian Barat? Mungkin saudara beragama Islam?
Di sana rakyatnya bukan Islam lho! Kenapa saudara menuntut Irian Barat supaya masuk di
dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia? Saudara beragama Islam mereka tidak beragama
Islam! Saudara akan menjawab: “Aku menuntut Irian Barat kembali ke dalam wilayah Republik
Indonesia oleh karena Irian Barat adalah sebagian daripada tanah air Indonesia, oleh karena suku
Irian Barat adalah sebagian daripada bangsa Indonesia seluruhnya.
Lho kenapa saudara menuntut Irian Barat kembali kepada kekuasaan Republik?
Saudara akan menjawab: “Aku menuntut Irian Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan
Republik Indonesia oleh karena bangsa kita adalah satu dari Sabang sampai ke Merauke”.
Jadi dasarnva ialah persatuan bangsa. Maka oleh karena itu. -aku sckali lagi mcnganjurkan
kcpada segenap rakyat Indonesia, terutama sekali di hadapan pemilihan umum ini. – ingat
kepada persatuan. Ingat kepada persatuan! Bangsa Indonesia adalah selalu kukatakan bukan
bangsa yang kecil jumlahnya 80 juta. Lebih besar daripada bangsa yang lain-lainnya.
Aku telah, alhamdulillah, melawat ke Mesir, ke Arabia, ke India, ke Karachi, ke Pakistan, ke
Sailan, ke Rangoon dan sebagainya, kecual1 ke Eropa dan Amerika, – aku melihat bangsa kita

lxvii
potensinya hebat-hebat. Tidak ada satu tanah air daripada sesuatu bangsa yang lebih hebat
daripada tanah air Indonesia.
Tidak ada satu bangsa yang lebih – seragam, sebenarnya jikalau mau, – daripada bangsa
Indonesia. Tidak ada satu tanah air yang lebih indah daripada bangsa Indonesia. Jumlahnyapun
tidak sedikit 80 juta. Lebih daripada bangsa yang lain!
Yaah kita kalah dengan Amerika Serikat jumlah bangsa kita ini. Kalah dengan USSR (Sovyet
Unie) jumlahnya bangsa kita ini. Kalah dengan Tiongkok jumlah bangsa kita. Kalah dengan
India jumlah bangsa kita. Tetapi di samping yang empat ini saudara-saudara, tidak ada lagi yang
mengalahkan kita. Ada yang memadai kita jumlah rakyatnya yaitu Jepang tetapi yang lain-lain,
sernuanya kurang daripada kita.
Mesir yang Bapak tempo hari kunjungi dan yang Bapak melihat semangatnya meluap-luap,
berapa jumlah mereka? Mereka yang Bapak melihat mereka membangun. Membuat damdam
yang besar, membuat jalan-jalan yang besar. – Jumlah mereka berapa? Yang mereka
membangun pula Tentara, Tentara yang hebat. Yang mereka membangun angkatan Udara yang
aku melihat pesawat-pesawat udara yang terbang di angkasa saudarasaudara, – berapa jumlah
rakyat Saudi Arabia? 6 juta – kita 80 juta!
Aku datang di Bangkok, disambut oleh P.M. Phibul Songoram. Tahukah engkau rakyat Thailand
jumlahnya? 20 juta. kita – 80 juta. Kita bangsa yang 80 juta bukan bangsa yang kecil. kalau kita
bersatu kataku berkali-kali, – jikalau kita 80 juta bersatu padu di dalam kesatuan nasional
revolusioner. tidak ada satu cita-cita yang tidak terlaksana oleh kita.
Sekian sajalah, amanat Bapak.
 

lxviii
TIDAK ADA KONTRA REVOLUSI BISA BERTAHAN
Amanat Presiden Soekarno Pada Rapat Pancasila di Bandung Tanggal 16
Maret 1958
Saudara-saudara
Baru sekarang sesudah saya datang kembali dari luar negeri, saya berjumpa lagi dengan saudara-
saudara Rakyat Bandung dan sekitarnya. Saya mengucap terima kasih kepada saudara-saudara
sekalian bahwa saudara-saudara telah datang di sini berbondongbondong dengan jumlah lebih
dari 1 juta manusia untuk bersamasama menyatakan isi hati saudara-saudara. Isi hati bersatu
padu sebagai satu Bangsa yang cinta pada kemerdekaan. Isi hati bersatu padu setia kepada
Proklamasi 17 Agustus 1945. Dan saya amat bergembira pula pada ini hari, datang di Bandung
bersama-sama dengan Ibu Rasuna Said yang oleh pemimpin rapat dengan tepat telah dikatakan
Srikandi Indonesia. Saudara-saudara, tahukah engkau sekalian bahwa Ibu Rasuna Said telah
berpuluh-puluh tahun lamanya berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, berjuang untuk utuhnya
negara, yang kita proklamirkan 17 Agustus 1945. Bahkan waktu beliau masih muda, beliau telah
berjuang sekuatkuat tenaga untuk mernerdekakan tanah air kita. Beliau adalah pernimpin wanita
Indonesia yang pertama yang dijebloskan oleh imperialis asing ke dalam penjara. Saya
bergembira ini hari datang di Bandung bersama-sama dengan beliau. Bergembira oleh karena
dengan adanya beliau di Bandung ini, ternyata sebagai tadi dinyatakan oleh beliau bahwa apa
yang telah diperbuat oleh Achmad IIusein c.s., oleh Sjafruddin Prawiranegara c.s. sama sekali
pada hakekatnya bukan kehendak daripada rakyat Minangkabau, tetapi hanyalah perbuatan
petualang-petualang belaka.
Saudara-saudara, Ibu Rasuna Said tadi berkata bahwa beliau tiap-tiap kali beliau meninggalkan
Tanjung Priuk untuk pergi ke luar negeri, beliau adalah dipandang oleh orang sebagai orang
Indonesia. Benar ucapan Ibu Rasuna Said itu. Uemikian pula sava, saudara-saudara, yang
berulang-ulang pula meninggalkan tanah air “menjajah desa hamilang kori”, datang ke mana-
mana, tiap-tiap kali saya di luar negeri, bukan saja orang luar negeri memandang kepada saya
sebagai orang Indonesia, tetapi j ustru di luar negeri itulah saudara-saudara, saya merasa diri saya
orang Indonesia yang benar-benar cinta kepada Indonesia, dan malahan saya bisa berkata kepada
saudara-saudara, tiap-tiap kali saya melihat bendera Sang Merah Putih berkibar, bukan saja di
Washington, tetapi juga di Moskow, di London, di Paris, di Cairo, di New Delhi, di Peking dan

lxix
tempat-tempat yang lain-lain, hati saya lebih besar daripada gunung Malabar yang ada di Selatan
kita ini, saudarasaudara.
Saya sudah melihat tiga-per-empat daripada dunia. Melihat Amerika Serikat, melihat Kanada,
melihat Switserland, melihat Jermania, melihat Italia, melihat Austria, melihat Sovyet Unie,
melihat Mongolia, melihat RRC., melihat Jepang, melihat Vietnam, melihat Philipina, melihat
Thailand, melihat Burma, melihat India, melihat Selandia, melihat Pakistan, melihat Mesir,
melihat Libanon, melihat Siria, melihat negara-negara lain, negeri-negeri lain, dan tanah air
orang lain. Tetapi dengan bangga dan tegas saya bisa berkata: tidak ada satu negeri di dunia ini
yang secantik, semolek, sekaya Indonesia. Oleh karena itu, maka tiap-tiap kali saya di luar
negeri, makin cintalah saya kepada Indonesia. Apalagi jikalau saya duduk di kapal terbang,
terbang di angkasa, menengok ke bawah, misalnya di daerah-daerah padang pasir, baik daripada
Sentral Asia maupun di tempat yang lain-lain, rindu pada tanah air, melihat negeri orang lain:
pasir, batu, pasir, batu, pasir, batu. Ingatlah saya kepada tanah air saya. Hijau, molek, cantik, kata
orang Jawa: ijo royo-royo kadia penganten anyar. Cinta kepada tanah air. Maka oleh karena itu.
saya vang juga sebagai Saudara Rasuna Said tadi katakan. juga orang Islam, sayapun merasa
nasional di dalam arti saya sehebat-hebatnya.
Tentang perjalanan ke tanah-tanah orang lain. belakangan ini saya mengadakan perjalanan ke
negeri Asia dan Afrika. Dulu saya mengadakan perjalanan ke Amerika, dan dunia yang
dinamakan dunia barat. Saya hendak ceritera kepada saudara-saudara, bahwa pada satu hari saya
diminta untuk memberi jawaban atas beberapa pertanyaan yang diajukan kepada saya oleh
pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi Amerika. Diadakan satu rapat kecil, wakil-wakil pemuda
dan wakil-wakil pemudi berkumpul di situ. Saya diundang di dalam rapat itu dan mereka
mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pertanyaan-pertanyaan itu harus saya jawab di dalam
rapat yang saya hadiri. Dipotret, difilm, disiarkan dengan radio dan diadakan televisi pula. Rapat
yang demikian ini, tanya jawab dengan pemuda dan pemudi adalah satu bagian daripada siaran
televisi yang bernama “Youth want to know” – pemuda dan pemudi ingin tahu. Saya diundang
untuk hadir di dalam rapat “Youth want to know” itu, dan saya datang.
Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada saya adalah sebagai berikut: -baik sekali saudara-
saudara ketahui -ditanyakan kepada saya: “Presiden Soekarno, kenapa Presiden Soekarno
mengadakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945?” Sekali lagi:
“Kenapa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu Excellentie adakan pada tanggal 17 Agustus

lxx
1945?” Yaitu beberapa hari sesudah Jepang menekuk lutut di dalam peperangan dunia yang
kedua. Artinya pertanyaan ini, saudarasaudara, ialah apa sebab Proklamasi Kemerdekaan itu
tidak diucapkan oleh Bung Karno, Bung Hatta, pada tahun 1940, atau tahun 19′ )0 atau tahun
1929, kenapa 17 Agustus 1945. Saya merasa, ini adalah satu pertanyaan untuk memancing satu
pengakuan. Sebab katanya, Kemerdekaan Indonesia ini pemberian dari Jepang. Bahwa tatkala
Jepang telah menekuk lutut, kemerdekaan ini diberikan kepada bangsa Indonesia.
Saya kira inilah maksud daripada pertanyaan itu. Dan saya beri pcnjelasan yang tegas: kami,
kataku, mengadakan Proklamasi Kernerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh
karena pada waktu itu imperialisme sedang lemah. retak, hancur lebur. Inilah sebabnya kami
mengadakan Proklamasi itu tidak pada tahun 1940, pada waktu imperialisme sedang kuat
sentosa, pun tidak pada tahun 1930 pada waktu imperialisme sedang kuat. Maka itu kita
mengadakan proklarnasi pada saat imperialisme lemah, pada saat imperial-isme tiada bertenaga.
Nah, sesudah peperangan dunia yang kedua Belanda berantakan, imperialisme Belanda hancur
lebur, Jepang lemah pula, oleh karena telah mendapat pukulan. Saat itulah saat yang terbaik
untuk mengadakan proklamasi.
Ini adalah siasat politik yang hebat sekali, saudara-saudara, dan memang kita bicarakan terlebih
dahulu dengan pemimpinpemimpin, bahkan di dalam tahun 1929 telah saya katakan, tahun 1929
tatkala saya masih menjadi penduduk Bandung, pada waktu itu, di dalam tahun 1929 saya
berkata: Awas, imperialisme! Awas, jikalau nanti pecah perang pasifik, jikalau nanti pecah
perang dunia yang kedua, jikalau nanti Lautan Teduh merah dengan darah manusia, jikalau nanti
tanah-tanah di sekeliling Lautan Teduh menyala-nyala dengan api peperangan, pada saat itulah
Indonesia menjadi merdeka. Ini saya ucapkan dalam tahun 1929. Dan kawankawan saya dari
Bandung mengetahui bahwa justru karena ucapan inilah, saya ditangkap, dimasukkan ke dalam
kandang.
Saudara-saudara, memang siasat politik harus dernikian. Jikalau hendak mengadakan proklamasi
kemerdekaan, carilah saat yang imperialisme itu lemah berantakan. Ini terjadi dalam tahun 1945.
Tegasnya, bulan Agustus 1945. Tetapi kecuali daripada itu, saudara-saudara, lama sebelum itu
telah menjadi pemikiran kami, pemimpin-pemimpin. bahwa jikalau kami hendak memprokla-
mirkan satu negara merdeka, lebih dahulu harus dipcnuhi beberapa syarat wntuk negara. 1’idak
bisa, kita mengadakan proklamasi itu meskipun imperialisme berantakan. Tidak bisa kita
mengadakan satu negara jika tidak sudah dipenuhi syarat-syarat untuk negara. Apa syarat untuk

lxxi
negara, saudara-saudara? Syaratnya adalah tiga. Negara, pertama syaratnya ialah harus
mempunyai wilayah. Wilayah yang tegas dapat ditaruh di atas kaart. Bisa dipetakan. Wilayah
yang di dalam bahasa asing dinamakan territoor. Dan cita-cita kami, sebagai bangsa Indonesia,
cita-cita kita, juga bukan suatu negara sembarangan, saudara-saudara, tetapi suatu negara yang
besar, yang kuat, sentosa, modern, up to date, dan satu negara yang bisa mendatangkan
kebahagiaan kepada rakyat. Satu negara yang bisa di dalamnya diisikan satu masyarakat yang
adil dan makmur. Bukan satu negara kapitalis. Bukan satu negara kemiskinan. Bukan satu negara
yang rakyatnya tidak bisa makan dengan cukup. Bukan satu negara yang rakyatnya tidak hidup
dengan bahagia. Tetapi satu negara besar dan masyarakat adil dan makmur di dalamnya.
Ini kami pikirkan mengenai wilayah itu tadi. Dan kami, pemimpin-pemimpin, sampai kepada
satu kesimpulan, bahwa jikalau kita ingin mempunyai satu negara yang di dalamnya satu
masyarakat yang adil dan makmur, haruslah negara itu berwilayah seluruh Indonesia dari Sabang
sampai ke Merauke. Apa artinya saudara-saudara? Tidak bisa kita mengadakan satu negara yang
bisa memberi masyarakat adil dan makmur jikalau wilayahnya tidak dari Sabang sampai ke
Merauke. Artinya, misalnya negara Jawa sendiri, umpamanya, tidak bisa menyelenggarakan satu
masyarakat yang adil dan makmur. Demikian pula Sumatera umpamanya berdiri sendiri sebagai
negara, tidak bisa menyelenggarakan satu masyarakat yang adil dan makmur. Kalimantan tidak
bisa menjadi satu negara yang adil dan makmur masyarakatnya. Sulawesi tidak bisa menjadi satu
negara yang adil dan makmur masyarakatnya. Bali tidak bisa menjadi satu negara yang adil dan
makmur masyarakatnya. Sumbawa tidak bisa menjadi satu negara yang adil dan makmur
masyarakatnya. Priangan tidak bisa menjadi satu negara yang adil dan makmur masyarakatnya.
Madura tidak bisa menjadi satu negara yang adil dan makmur masyarakatnya. Hanya negara
yang berwilayah dari Sabang sampai ke Meraukelah bisa menyelenggarakan masyarakat yang
adil dan rnakmur, oleh karena daerah-daerah ini daerah Jawa, daerah Sumatera, daerah
Kalimantan, daerah Sulawesi, daerah Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, yaitu
kepulauan Sunda Kecil yang dulu dinamakan demikian, sekarang dinamakan Nusa Tenggara,
daerah Halmahera, daerah Maluku Tengah, Ambon, Saparua, Nusa Laut, daerah Irian Barat dan
lain-lain sebagainya harus isi-mengisi satu sarna lain. Jikalau sesuatu daerah berdiri sendiri,
saudara-saudara, tak mungkin menyelenggara-kan masyarakat yang adil dan makmur itu.
Nah, jadi ditinjau oleh pemimpin-pemimpin kita: bisakah kita nanti mengadakan satu negara
besar, modern, up to date, yang wilayahnya dari Sabang sampai ke Merauke? Kami pikir, kami

lxxii
tinjau, dan jawab kami: Ya! Kami dapat, kita dapat mengadakan negara yang demikian itu,
berwilayah dari Sabang sampai ke Merauke. Ialah oleh karena di dalam sejarah Indonesia,
dahulu kitapun pernah mempunyai negara yang demikian itu, malahan wilayahnya lebih besar
daripada apa yang dinamakan Hindia Belanda. Pernah pula mempunyai negara lain, yaitu
Sriwijaya, yang wi layahnya hampir sama dengan apa yang dinamakan Hindia Belanda. Jadi
menurut sejarah, negara yang berwilayah dari Sabang sampai ke Merauke, bisa diadakan.
Demikian pula, saudara-saudara, sejarah pergerakan Indonesia menunjukkan bahwa daerah-
daerah ini memang makin lama makin kembali ke dalam rasa persatuan Indonesia. Jadi tentang
hal persoalan yang pertama, vaitu apakah bisa diadakan satu wilayah. satu territoor bagi negara,
jawahnya ialah tegas: ya, kita bisa mengadakan wilavah atau territoor itu.
Syarat yang kedua daripada sesuatu negara, saudara-saudara, ialah bahwa di atas territoor itu
harus ada rakyatnya. Kalau tidak ada rakyatnya tidak bisa menjadi negara. Coba umpamanya
saudara mengadakan satu proklamasi di padang pasir, hendak mengadakan negara di padang
pasir, walaupun wilayahnya ada, yaitu padang pasir, tetapi tidak ada rakyat di atasnya, saudara-
saudara, tidak mungkin menjadi satu negara. Dan bukan rakyat sembarang rakyat, tetapi rakyat
yang merasa dirinya bersatu padu, rakyat yang merasa dirinya telah menjadi satu bangsa, bukan
dua, bukan tiga, bukan empat, satu bangsa. Inipun diselidiki oleh kami, pemimpin-pemimpin,
dipikir, di-tinjau, bahkan di dalam tahun 1945, saudara-saudara, dikumpul-kan pemimpin-
pemimpin, bersama meninjau soal ini dan ternyata: rakyat Indonesia yang terserak di pulau-
pulau Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke, yang berdiam di atas 3.000 pulau, – jumlah
pulau di Indonesia lebih dari 10.000, saudara-saudara, – tetapi rakyat yang berdiam di atas 3.000
pulau, rakyat Indonesia yang berpuluh-puluh juta ini, walaupun diam terserak-serak atas 3.000
pulau, sehingga sebagai tempo hari saya katakan, pernah seorang wartawan berkata bahwa
Indonesia adalah the most broken up nation in the world, satu negeri, satu bangsa yang paling
terserak-serak rakyatnya saudarasaudara. Meskipun rakyat Indonesia berdiam di atas 3.000
pulau, ternyatalah bahwa Indonesia telah mempunyai rasa satu bangsa. Bahkan pada tanggal 28
Oktober 1928 oleh pemuda-pemudi kita diikrarkan rasa ini, sebagai ikrar pemuda yang
termasyhur: satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa. Dengan keyakinan inilah saudara-saudara,
maka pertanyaan yang kedua dijawab oleh kami: Ya! kami telah menjadi satu bangsa.
Syarat ketiga bagi negara ialah apakah bisa diadakan Pemerintah Pusat apa tidak? Pernerintah
Pusat vang satu. Bukan dua. bukan tiga. bukan empat. Jawab kamipun: bisa diadakan Pemerintah

lxxiii
Pusat yang satu. ‘I’atkala kami berkumpul, pemimpinpemimpin dari seluruh Indonesia, di dalam
bulan Agustus saudarasaudara. sebelum mengadakan proklamasi, spesial soal ini ditinjau antara
kita dengan kita. Dapatkah kita memenuhi syarat ketiga daripada sesuatu negara? Yaitu adanya
satu Peinerintah Pusat. Dan jawab daripada sidang itu ialah: dapat Indonesia mengadakan satu
Pemerintah Pusat. Sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, saudara-saudara, atau lebih tegas,
pada tanggal 16 Agustus, pemimpin-pemimpin yang berkumpul di Jakarta itu, semuanya
berkeyakinan, tiga syarat daripada negara bisa dipenuhi, territoor ya, bangsa ya, Pemerintah
Pusat ya. Maka pada malam 16 malam 17 ditandatanganilah Proklamasi kemerdekaan Indonesia,
dan pada tanggal 17 Agustus 1945 dibacakan di muka umum: -Kami Bangsa Indonesia sejak saat
sekarang ini merdeka, mendirikan satu negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nah, saudara-saudara, tiga syarat ini berjalan, territoor, wilayah Republik Indonesia dari Sabang
sampai ke Merauke. Hanya sebagian daripada territoor ini, saudara-saudara, sekarang diduduki
oleh Belanda. Belum dikembalikan oleh Belanda kepada kita. Maka oleh karena itu saya selalu
berkata kepada rakyat Indonesia, janganlah berkata, mengembalikan Irian Barat ke dalam
wilayah Republik, tetapi katakanlah mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan
Republik, sebab Irian Barat sudah masuk di dalam wilayah Republik. Irian Barat sudah masuk di
dalam territoor Republik. Sudah saya terangkan kepadamu sekalian di dalam rapat raksasa yang
lalu, saudara-saudara, bahwa di dalam Undang-Undang Dasar kita ditulis dengan tegas, bahwa
wilayah Republik Indonesia ialah: Indonesia. Dan apa yang dinamakan Indonesia? Yang
dinamakan Indonesia ialah Tanah Air Indonesia yang terserak kepulauannya dari Sabang sampai
ke Merauke. Dus Irian Barat masuk di dalam wilayah Republik. Yang bclum ialah kekuasaan
Republik dikembalikan oleh Bclanda kepada kita. Uan saya tahu tekad saudara-saudara, taliu
tekad pemuda dan pemudi, tahu tekad prajurit-prajurit, tahu tekad bintara-bintara, tahu tekad
perwira-perwira, tahu tekadmu hai rakyat jelata, tahu tekadnya bapak Marhaen, tahu tekadnya
bapak Madroi, tahu tekadnya seluruh rakyat Indonesia, ialah: berjuang terus agar supaya Irian
Barat masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik.
Saudara-saudara, territoor sudah ada. Bangsa sudah ada. Pemerintah Pusat sudah berfungsi,
saudara-saudara, sejak 17 Agustus 1945 hingga kini. Tetapi apa yang terjadi, apa yang terjadi?
Achmad Husein c.s., Sjafruddin Prawiranegara c.s., justru melanggar semuanya ini, saudara-
saudara. Mereka mengadakan Pemerintah lain, melanggar syarat yang nomor tiga ini tadi, ialah
bahwa Republik Indonesia berwujud satu negara. Saudara-saudara hanya mengenal satu

lxxiv
Pemerintah Pusat. Dus, jikalau mereka mengadakan satu pemerintah pusat lain, sebenarnya
mereka itu mengkhianati Proklamasi 17 Agustus 1945. Dan bukan saja mengkhianati Proklamasi
17 Agustus 1945, saudara-saudara, mengkhianati kepadamu, hai Marhaen, mengkhianati
kepadamu hai pemuda dan pemudi, mengkhianati kepada pahlawanpahlawan kita yang telah
gugur, mengkhianati kepada perjuangan rakyat Indonesia yang sudah berpuluh-puluh tahun.
Mengkhianati kepada jiwa Indonesia sendiri. Khianat perbuatan ini, saudarasaudara. Maka oleh
karena itu segenap rakyat Indonesia, – saya yakin, -semuanya akan menghukum perbuatan
Achmad Husein dan Sjafruddin Prawiranegara c.s. itu.
Tetapi, sebagai dikatakan oleh ibu Rasuna Said tadi, kami, kita penuh dengan kepercayaan,
penuh, asal rakyat jelata, sekali lagi saya ulangi, asal rakyat jelata setia kepada Proklamasi 17
Agustus 1945. Meskipun ada petualang-petualang, seratus, seribu, sepuluh ribu saudara-saudara.
mereka akan lenvap dari rnuka bumi ini olch tcnaga daripada rakyat jelata itu. Rakyat jelata
kckuatan Republik. rakyat jelata kekuatan negara. rakyat jelata sandaran daripada cita-cita.
Saudara-saudara, rakyat inilah modal kita. Rakyat jelata yang ingin bebas merdeka. Rakyat jelata
yang dengan tenaganya kita rnengadakan proklamasi dan mempertahankan Proklamasi 17
Agustus 1945 itu. Apa, saudara-saudara, sebenarnya yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945?
Kataku di tempat lain. pada tanggal 17 Agustus 1945, kita tidak hanya memproklamirkan
Negara, tidak, bukan hanya memproklamirkan negara, kataku. Pada tanggal 17 Agustus 1945 itu
kita juga memproklamirkan kepribadian kita. Kepribadian Indonesia. Apa kepribadian Indonesia,
kataku, di lain tempat. Dan jawabku ialah: pertama, cinta merdeka. Cinta merdeka, tidak mau
dijadikan budak orang lain. Tetapi juga menghormati kemerdekaan orang lain. Cinta kepada
kemerdekaan, tetapi juga menghormati kemerdekaan orang lain. Ingin bersahabat dengan semua
manusia di dunia ini, ingin bersahabat dengan semua bangsa di dunia ini. Ingin bersahabat
dengan semua negara di dunia ini. Saya berkata di lain tempat, saudara-saudara, bahwa
kepribadian bangsa Indonesia terjelma di dalam dasar Pancasila.
Tadi diuraikan oleh Ibu Rasuna Said, memang Pancasila ini adalah pengutaraan daripada jiwa
Indonesia. Aku ini, saudarasaudara, pernah diberi titel doktor, oleh karena katanya, aku ini
adalah pembuat Pancasila. Aku menjawab, aku bukan pembuat Pancasila. Pancasila terbenam di
dalam jiwanya Bangsa Indonesia. Apa yang kuperbuat hanyalah menggali lagi mutiara lima dari
bwni Indonesia itu, dan mutiara lima ini aku persembahkan kepada bangsa Indonesia yang
berupa lima dasar daripada Pancasila.

lxxv
Aku diberi titel doktor mau aku terima, tetapi janganlah berkata bahwa aku ini adalah pembuat
daripada Pancasila. Aku menggali kembali lima kebenaran daripada bangsa Indonesia itu, satu:
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai tadi telah diuraikan panjang lebar oleh Ibu Rasuna said.
Dua: Kebangsaan Indonesia yang bulat, yang kita ini bukan orang Cigereleng, bangsa Cige-
releng, bangsa Sukajati, bangsa Bandung, bangsa Periyangan, bangsa Jawa. Tidak! Kita ini
adalah Bangsa Indonesia seluruhnya, satu Bangsa sebagai diucapkan oleh pemuda-pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928. Ketiga, dasar Pancasila: Perikemanusiaan. Menjehnanya di dalam
politik sekarang ini, sebagai satu politik behas dan aktif, satu politik ingin bersahabat dengan
semua baiigsa, balikan aktif berikhtiar agar sernua bangsa di dunia ini bersatu, jangan menjadi
dua blok sebagai yang sekarang, ancammengancam satu sama lain, laksana dua raksasa yang
telah mengintai di cakrawala, yang nanti pada satu hari akan menerkam satu sama lain,
membakar seluruh manusia di dunia ini menjadi hangus.
Yah, saudara-saudara, bangsa Indonesia tidak mau ikut salah satu blok. Tidak mau ikut blok itu,
tidak mau ikut blok ini. Bangsa Indonesia ingin menjadi sahabat dari sernua manusia. Dan
bangsa Indonesia berikhtiar agar supaya semua manusia di dunia ini, 2.600 juta manusia di dunia
ini, bersatu padu di dalam satu rasa perikemanusiaan. Dasar dari Pancasila yang ketiga: kita men-
jalankan politik bebas. Di luar negeri ada yang mengatakan ini politik netral, katanya. Saya tolak
perkataan netral. Kita bangsa Indonesia tidak netral. Kita menjalankan politik bebas. Gamal
Nasser dari Mesir berkata: Bung Karno menyebutkan politiknya politik bebas. Kami dari Mesir
menyebutkan politik kami ini politik of non-alignment. Artinya politik tidak mau mengikatkan
diri ke dalam salah satu blok. Pada hakekatnya sama. Cara Mesir mengatakan ialah non
alignment policy, cara Indonesia menyebutnya ialah politik bebas. Tetapi aktif, aktif berikhtiar
agar semua nianusia dipersahabatkan satu sama lain. Kami menolak perkataan netral. Kami tidak
netral. Apa arti netral? Netral itu artinya: diam. Iiii politik iietral. Kita tidak netral. Kita aktif.
Apalagi terhadap kcpada kolonialisme, kita tidak mau netral. Yah, kita mcnganjurkan supaya
antara dua blok ini adalah hidup berdamping-dampingan satu sama lain. Yah sudahlah. kalau
sudah terlanjur menjadi blok-blokan, sini satu blok, situ satu blok. Tapi dua blok ini bisa hidup
berdamping-dampingan satu sama lain.
llalam bahasa Inggerisnya: co-existence, malahan dikatakan peaceful co-existence. Hidup
berdamping-dampingan satu sama lain dalam suasana perdamaian. Peaceful co-existence. Dan
ini ternyata bisa, mungkin, bukan saja mungkin, bisa. Yaitu kalau sudah terlanjur blok-blokan, ya

lxxvi
sudahlah, satu blok sini, satu blok situ, tapi dalam suasana perdamaian, tidak cakar-cakaran satu
sama lain, tidak bertempur satu sama lain. Ini ternyata bisa. Sudah berpuluh-puluh tahun, sejak
pecahnya perang dunia kedua, dua blok ini, saudara-saudara, ada dan bisa hidup berdamping-
dampingan satu sama lain. Tetapi di antara kolonialisme dan bangsabangsa yang dikolonisir,
antara penjajah-penjajah dan rakyatrakyat yang terjajah tidak bisa hidup berdamping-dampingan
satu sama lain. Antara kolonial-isme dan rakyat-rakyat yang dikolonisir tidak bisa ada co-
existence. Tidak! Apa sebabnya? Saya terangkan di lain tempat, oleh karena yang menjajah yaitu
si kolonialis, tangannya masuk kantongnya rakyat yang dikolonisir. Kalau blok dengan blok
tidak, saudara-saudara. Seperti di antara dua blok itu ada gang. Tetapi di antara kolonialis dan
rakyat yang dikolonisir tidak ada gang itu, saudara-saudara. Ialah oleh karena tangannya si
kolonialis masuk di dalam kantongnya rakyat yang dikolonisir. Maka oleh karena itu Bangsa
Indonesiaberkata: Tidak! Kami tidak netral. Terutama sekali terhadap kepada kolonialisme.
Kami tidak netral. Tidak! Kami berjuang terus, melawan kolonialisme. Kami berjuang terus
melawan penjajahan. Bukan saja penjajahan di dalam negeri, tetapi penjajahan di luar negeripun
kami berjuang kepadanya. Malahan kami tempo hari memanggil 29 negaranegara dan Bangsa-
Bangsa Asia Afi-ika. berkumpul di kota molek Bandung ini. mengadakan konferensi Asia
Afrika. Dan konferensi Asia Afrika itu telah menghukum kolonialisme dan segala bentuk dan
tindakannya. hlilah tekad Bangsa Indonesia. saudara-saudara. Sebagai hasil daripada dasar ketiga
daripada pancasila: Perikemanusiaan.
Dasar kita keempat: Kedaulatan Rakyat. Ya memang kita ini, saudara-saudara, ingin
menjalankan demokrasi, dan memang dasar kita ini ialah demokrasi. Sebagai dikatakan oleh Ibu
Rasuna Said tadi, kita ini bangsa menjalankan demokrasi. Sudah mempunyai DPR hasil
pemilihan umum, sudah mempunyai Konstituante dengan pemilihan umum. Kalau sesuatu
golongan daripada bangsa Indonesia, tegasnya kalau Sjafruddin tidak senang dengan Pemerintah
sekarang ini, kalau Achmad Husein tidak senang dengan Pemerintah sekarang ini, kalau
Simbolon tidak senang dengan Pemerintah sekarang ini, kalau Sumitro tidak senang dengan Pe-
merintah sekarang ini, kalau Dahlan Dj ambek tidak senang dengan Pemerintah sekarang ini,
gerakkanlah DPR, Parlemen itu, supaya mengadakan mosi tidak percaya kepada Pemerintah
sekarang ini, supaya menjatuhkan Pemerintah sekarang ini. Ini jalan yang demokratis, saudara-
saudara, melalui Parlemen. Tetapi mereka tidak melalui Parlemen. Mereka mengadakan
ultimatum, mereka mengadakan proklamasi PRRI. Ini adalah peng-khianatan! Pengkhianatan

lxxvii
daripada Proklamasi! Bahkan aku berkata, pengkhianatan kepada jiwa Indonesia yang
demokratis! Pengkhianatan kepada Marhaen, kepada rakyat jelata, kepada pemuda yang telah
bertempur mati-matian unluk mengadakan negara demokratis ini, saudara-saudara. Ibu Rasuna
Said berkata: PRRI bukan pemerintah revolusioner Republik Indonesia, tetapi pemerintah
reaksioner Republik Indonesia. Sebenarnya lebih daripada reaksioner. Ini bukan reaksioner saja,
ini adalah kontra-revolusioner!
Yah, di dalam tiap-tiap revolusi ada kontra-revolusi. Kita mengalami kontra-revolusi beberapa
kali. revolusi Sovyet mengalami kontra-revolusi beberapa kali. revolusi RRC meng-alami
kontra-revolusi. revolusi Perancis mengalami kontra-revolusi. Revolusi Mesir mengalami kontra-
revolusi, saudara-saudara. Tiap-tiap revolusi mengalami kontra-revolusi. Tetapi jikalau rcvolusi
itu benar-benar revolusi, artinya benar-benar tindakan daripada rakyat jelata yang ribuan,
puluhan ribu, ratusan ribu, jutaan-jutaan. Jikalau revolusi itu benar-benar massal, saudara-
saudara. Tidak ada satu kontra-revolusi bisa bertahan. Tidak ada. Maka oleh karena itu saya
berkata, jikalau rakyat Indonesia ini seluruhnya, rakyat jelata setia kepada Proklamasi 17
Agustus 1945, kontra-revolusi akan lenyap dari muka bumi ini. Dan kita akan menghadapi
zaman yang gilang-gemilang. Kita, saudarasaudara, bangsa di dalam revolusi yang berjalan
terus, yang sebagai kukatakan, for a fighting nation there is no journey’s end, buat bangsa yang
berjuang tidak ada yang dinamakan berhenti. Tidak! Kita berjalan terus.
Yah, kita sekarang mengalami kontra-revolusi. Kita berjalan terus. Dan Insya’allah s.w.t.,
dengan semangat rakyat jelata sebagai yang saya lihat di Bandung sekarang ini, Insya’allah kita
akan mencapai apa yang hendak kita capai. Kita hendak capai satu Negara Republik Indonesia
dengan di dalamnya satu masyarakat yang adil dan makmur yang memberi kebahagiaan kepada
seluruh rakyat Indonesia yang 82.000.000 ini. Kita menjalankan politik bebas.
Aku di luar negeri, 40 hari lamanya, melihat dengan mata kepala sendiri, saudara-saudara,
Sumual c.s. itu sakunya penuh dengan uang. Nah inilah katanya barter, barter katanya. Dijual
kopra dari Minahasa itu untuk rakyat Minahasa. Omong kosong! Uang dari hasil penjualan kopra
ini masuk dalam kantongnya petualang-petualang itu, saudara-saudara. Dan saya membaca
sendiri di dalam surat kabar, petualang-petualang itu tiap-tiap sore pergi. per`gi ke tempat-tempat
kesenangan, nightclubs, traktir mereka, bclikan mobil mereka. Kantong mereka penuh dengan
uang saudara-saudara. Dan aku melihat sendiri, saudara-saudara. bahwa ada petualang-petualang
asing menunggangi mereka itu. Malah ketika aku menjalankan perjalanan ke India, ke Mesir, ke

lxxviii
Yugoslavia, ke Ceylon, ke Pakistan, ke Burma, ke tempat-tempat lain, aku mendapat pengertian,
diberi mengerti oleh beberapa kawan-kawan, bahwa ada petualang-petualang asing yang sudah
tidak senang lagi dengan apa yang dinamakan oleh mereka netralisme kita, -saya tadi berkata,
politik kita dinamakan politik netral – kita ini dikatakan menjalankan politik netralisme, policy
of neutralism – dikatakan oleh mereka itu, saudara-saudara, yaitu kawan-kawan kita itu,
sekarang ini sudah ada golongan petualangpetualang asing yang tidak senang lagi dengan politik
netral kita. Dulu mereka itu senang, cukup senang, kalau Indonesia netral. Cukup senang kalau
India netral. Cukup senang kalau Burma netral. Cukup senang kalau Mesir netral. Cukup senang
kalau Siria netral. Cukup senang kalau Langka netral. Asal tidak ikut blok itu. tetapi sekarang
timbul petualang-petualang yang sudah tidak senang lagi kepada netralisme kita. Mereka hendak
menyeret kita, memasukkan kita, atau sebagian daripada kita ke dalam salah satu blok.
Oleh karena itu, di dalam amanat saya pada tanggal 21 Februari, tatkala saya menerima kembali
jabatan Presiden dari tangannya Bapak Sartono, saya berkata: perbuatan Akhrnad Husein c.s. ini,
adalah satu penyelewengan daripada Proklamasi dan bukan saja itu, tetapi adalah anasir-anasir
asing, usaha-usaha asing mau memasukkan Indonesia atau sebagian daripada Indonesia itu ke
dalarn salah satu blok. Dan ini aku lihat dengan mata kepala sendiri, saudara-saudara, tatkala aku
di luar negeri, bagaimana Surnual, bagaimana Pantouw, bagaimana Walandouw dan konco-
konconya itu ditunggangi sama sekali oleh petualang-petualang ini. Dibesar-besarkan hatinva.
dihasut-hasut. bahkan diberi apa-apa, saudara-saudara. Tentang hal Sumual. ketika aku di Tokio.
dia sudah ada di Tokio. Aku lihat dengan jelas dengan bukti, dia di Tokio itu bukan sekadar
untuk mengadakan kampanye hasutan terhadap Republik, hasutan terhadap Pernerintah Pusat di
Jakarta, hasutan terhadap Presiden Sukarno. Bukan saja itu, di Tokio ia mengadakan kontak
dengan seorang petualang Jepang – jangan salah mengerti – petualang Jepang, – pada umumnya
rakyat Jepang, saudara-saudara, ramah-tamah, cinta kepada Republik Indonesia, – tetapi di
dalam tiap-tiap bangsa ada petualng-petualangnya, tiap-tiap bangsa. Lha ini petualang Jepang
kontak dengan Sumual. Sumual dengan petualang Jepang ini mengadakan pembicaraan,
perundingan. Sumual hendak membeli senjata, dibayarnya dengan kopra barter. Senjata ini untuk
apa? Untuk menggempur Republik, saudara-saudara!
Apa terjadi? Bicara sudah matang, di dalam bahasa asing tempo hari saya katakan, pembicaraan
ini sudah in kannen en kruiken. Tinggal lagi ditandatangani kontraknya ini, sekian ribu senjata,
saya bayar dengan sekian ribu karung kopra. Sudah hampir ditandatangani, ada petualang dari

lxxix
bangsa lain berkata kepada Sumual “buat apa beli senjata dari Jepang, Jepang itu jauh dari
Indonesia. Kamu bisa dapat senjata dari satu tempat yang lebih dekat dari Indonesia. Batalkan
engkau punya perjanjian dengan .lepang ini. Ambillah senjata yang dari kami, dekat dari
Indonesia”. Sumual, saudara-saudara, lantas batalkan perundingannya dengan pihak petualang
Jepang ini. Apa terjadi? Petualang Jepang ini menjadi marah, surat-suratnya diberikan kepada
orang Jepang lain, dengan permintaan supaya diteruskan kepada Presiden Soekarno. Nah, kawan
Jepang ini memberikan sernua surat Sumual itu kepada Presiden Soekarno, sehingga terbukti
hitam di atas putih, saudara-saudara. Bukan saja satu surat, beberapa surat dengan fotokopi-
fotokopinya sama sekali, bahwa Sumual di Tokio hendak membel i senjata untuk menggempur
Republik. tetapi ganti dengan usaha mcndapat senjata dari tempat yang lebih dckat daripada
Indonesia untuk menggempur Republik.
Coba, pengkhianatan atau tidak ini, saudara-saudara. Maka oleh karena itu saya tadi berkata: kita
berjalan terus, berjalan terus. Asal rakyat Indonesia bersatu padu, asal rakyat jelata Indonesia
bersatu padu, biar mereka mengadakan usaha yang demikian itu, saudara-saudara, akhirnya toh
Insya’allah s.w.t. digiling mereka itu oleh rakyat jelata, oleh karena memang rakyat jelatalah
tenaga daripada revolusi.
Kita ini, saudara-saudara, di dalam cobaan. Tetapi sebagai berulang-ulang saya katakan, yang
sudah diulangi oleh Ibu Rasuna Said tadi, kalau kita, saudara-saudara, tetap kompak, tetap
bersatu padu, kita Insya’allah kuat menghadapi segala cobaan. Dan memang cita-cita kita,
saudara-saudara, belum tercapai. Bukan saja memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah
kekuasaan Republik, tetapi juga mengadakan pembangunan demikian rupa, sehingga
terselenggaralah satu masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang dicita-citakan oleh seluruh
rakyat Indonesia.
Yah, kita mengetahui, kami daripada pihak Pemerintah mengetahui bahwa cita-cita sosial kita,
masyarakat adil dan makmur itu belum tercapai. Tetapi janganlah kita lupa saudarasaudara,
bahwa masyarakat adil dan makmur hanyalah bisa diselenggarakan oleh satu bangsa yang
kompak dengan satu Pemerintah Pusat yang kuat. Jangan kira, saudara-saudara, bahwa
masyarakat adil dan makmur itu bisa diselenggarakan, kalau kita selalu terpecah belah, kalau kita
antara partai dengan partai selalu bertempur, jikalau kita di dalam masa merdeka yang 12 tahun
ini, melalui 17 kali Kabinet, tiap kali ganti kabinet. Tak mungkin masyarakat adil dan makmur
bisa diselenggarakan dengan keadaan yang demikian itu. Maka oleh karena itu saya, saudara-

lxxx
saudara, minta kepada semua partai-partai untuk bersatu padu. Kita menghadapi zaman yang
sulit dan zaman vang sulit ini hanya bisa kita atasi kalau kita bcrsatu padu. kalau kita berdiri
bulat di helakang Pemerintah yang sekarang ini. Kalau nanti, saudarasaudara, kita sudah
mengatasi kesulitan-kesulitan ini, pembangunan bisa betjalan dengan sehebat-hebatnya, agar
supaya cita-cita sosial kita tercapai, agar supaya engkau bisa hidup dalam suasana yang engkau
cita-citakan: perumahan layak, makan cukup, sandang cukup, anak-anak bersekolah, pendek
rakyat Indonesia, saudara-saudara, menjadi satu rakyat yang benar hidup di dalam kesejahteraan
dan kemakmuran. Janganlah sampai kita mengalami sebagai yang sekarang ini, sebagai
dikatakan oleh Ibu Rasunah Said. Malu kita, saudara-saudara, kalau di luar negeri digambarkan
Indonesia terpecah-belah, Indonesia lemah, Indonesia cakarcakaran satu sama lain, bahkan di
kalangan bangsa Indonesia ada pengkhianat-pengkhianat, petualang-petualang. Aku di luar
negeri, saudara-saudara, merasa terharu benar-benar, dan sebagai kukatakan di dalam pidato 16
Februari yang lalu, tatkala aku baru turun dari kapal udara, aku telah berkata: Semua bangsa
yang kukunjungi ikut-ikut mendoa agar supaya Indonesia lekas kuat, lekas kompak, lekas bersatu
padu, lekas mempunyai Pemerintah Pusat yang tenaganya bisa menyeleng-garakan rakyat
bekerja keras untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Tetapi tidak cukup dengan doanya
kawan-kawan. Tidak cukup dengan doanya Nehru, tidak cukup dengan doanya Gamal Nasser.
Tidak cukup dengan doanya Tito, dengan doanya Kuatly, dengan doanya Bandaranaike, dengan
doanya U Nu, dengan doanya pemimpin-pemimpin di luar negeri. Tidak cukup! Kita sendiri,
saudara-saudara, harus menyingsingkan lengan baju kita. Di sini saya selalu mensitir firman
Allah s.w.t.: Tuhan Allah tidak merubah nasib sesuatu bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak
merubah nasibnya. Seperti didoakan oleh Nehru seribu kali satu hari, seperti didoakan oleh
Gamal Nasser seribu kali satu hari, meskipun didoakan oleh Soukrv el Kuatly dari Siria seribu
kali satu hari, nieskipun didoakan oleh Marsekal Tito seribu kali sehari, meskipun didoakan olell
Bandaranaike dari Kolombo seribu kali satu hari, meskipun didoakan oleh U Nu dari Rangoon
seribu kali satu hari, meskipun didoakan oleh Presiden Eisenhower seribu kali satu hari,
meskipun didoakan oleh Worosilov seribu kali satu hari, saudara-saudara, agar supaya bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang kuat, kalau bangsa Indonesia sendiri tidak menyelenggarakan,
berikhtiar, mernbanting tulang, mengulurkan tenaganya, memeras keringatnya, agar menjadi
bangsa yang kuat, bangsa Indonsia tidak bisa menjadi bangsa yang kuat.
Inilah amanat saya kepada saudara-saudara.

lxxxi
Mari, hai, rakyat Indonesia, mari hai rakyat Bandung, kita bekerja terus, berjalan terus, dengan
dasar Proklamasi 17 Agustus 1945, Proklamasi keramat dan kita tidak mengakui proklamasi lain
daripada proklamasi yang satu ini, Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sekian.
(Diambil secara stenografis)

lxxxii
PANCASILA MEMBUKTIKAN DAPAT MEMPERSATUKAN BANGSA INDONESIA
Pidato  Presiden Soekarno Pada Peringatan Lahirnya Pancasila di Istana Negara Tanggal
5 Juni 1958
 
Saudara-saudara sekalian,
Barangkali dalam kalangan kita sekarang ini, tidak ada seseorang yang lebih terharu hatinya
daripada saya. Terharu karena ingat kepada perjuangan dan penderitaan rakyat berpuluh-puluh
tahun, yang akhirnya melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila.
Terharu oleh karena pada ini malam di Istana Negara berkumpul beribu-ribu saudara-saudara,
handai taulan untuk memperingati lahirnya Pancasila, sedang di halaman di muka Istana negara,
berkumpul berpuluh-puluh ribu rakyat yang mendengarkan pidato-pidato dari sini, sedangkan
pula seluruh rakyat Indonesia yang memiliki radio atau berdiri di muka radio umum men-
dengarkan pidato-pidato itu pula. Terharu oleh karena pada ini malam dengan tidak terduga-duga
dan tersangkasangka, diucap-kan oleh pembicara-pembicara, perkataanperkataan pujian terhadap
kepada diri saya, yang atas perkataanperkataan, pujian itu saya mengucap banyak-banyak terima
kasih, sambil meng-ulangi ucapan saya di Yogyakarta tatkala saya mendapat gelar doctor
honoris causa di Universitas Gajahmada, sebagai tadi disitir oleh saudara Prof. Mr. H. Muh.
Yamin, bahwa saya bukan pembentuk atau pencipta Pancasila, melainkan sekadar salah seorang
penggali daripada Pancasila itu.
Terharu pula, oleh karena pada ini malam, dengan tidak terduga-duga dan tersangka-sangka
dibacakan pernyataan oleh pemuda-pemuda dari barisan Baladika Wirapati, Bala Andika
Wirapati. Malahan dibacakan pernyataan setia kepada Pancasila itu, sebagai tanda mata kepada
saya, oleh karena besok Insya Allah swt., saya akan merayakan, atau memperingati hari ulang
tahun saya. Demikian pula barisan penyanyi-penyanyi dari Liga Pancasila membawa-bawa
perkataan, bahwa nyanyian itu dinyanyikan sebagai tanda hadiah kepada saya yang Insya Allah
besok pagi akan memperingati hari ulang tahun saya. Tidakkah pada tempatnya saya terharu dan
merasa amat berterima kasih?
Pada permulaan kata saya berkata: terharunya hati saya itu, terutama sekali ialah oleh karena
saya ingat kepada perjuangan rakyat Indonesia yang telah berpuluh-puluh tahun, tetapi yang
akhirnya dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai yang kita miliki sekarang ini. Yah, perjuangan dan penderitaan bangsa Indonsia yang

lxxxiii
berpuluh-puluh tahun, dianugerahi oleh Allah swt. dengan Negara Kesatuan republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila. Benar sekali dikatakan oleh saudara Menteri Penerangan Sudibyo
bahwa Pancasila tak dapat dipisahkan daripada Proklamasi dan daripada negara Republik
Indonesia. Tetapi jikalau saya ingat kepada perjuangan dan penderitaan rakyat Indonesia yang
berpuluh-puluh tahun itu, saya ingin menambah pula perkataan saudara Sudibyo, bahwa
Pancasila bukan saja tidak dapat dipisahkan daripada proklamasi dan tidak bisa dipisahkan
daripada negara, tetapi juga tidak bisa dipisah-kan dari perjuangan rakyat Indonesia yang telah
berpuluh-puluh tahun. Keterangannya bagaimana, saudarasaudara? Rakyat Indonesia berjuang
dengan melalui beberapa pengalaman dan pengajaran-pengajaran. Banyak perjuang-an bangsa
Indonesia yang gagal. Tetapi akhirnya perjuangan bangsa Indonesia itu berhasil. Apa sebab
gagal? Apa sebab berhasil? Marilah kita tinjau hal itu sejenak waktu. Gagal oleh karena tak
mampu mempersatukan rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke. Berhasil tatkala
mampu mempersatukan rakyat dari Sabang sampai ke Merauke. Ingat perjuangan Diponegoro,
betapa hebatnya, betapa penuhnya dengan heroisme dan kepahlawanan. Toh tak dapat mencapai
apa yang hendak dicapainya, yaitu Negara Merdeka. Ingat perjuangan Sultan Agung
Hanyakrakusuma dari Negara Mataram yang kedua. Tak kurang heroisme, tak kurang
kepahlawanan, tetapi toh gagal oleh karena perjuangan itu hanya dijalankan oleh sebagian
daripada rakyat Indonesia, sebagaimana perjuangan Diponegoro pun hanya dijalankan oleh
sebagian rakyat Indonesia. Ingatlah kepada perjuangan Sultan Hassanudin. Kata Speelman: de
jonge haan, ayam yang muda, gagal oleh karena perjuangan Sultan Hassanudin hanya dijalankan
oleh sebagian daripada rakyat Indonesia. Ingat kepada perjuangan Teuku Umar, atau Cikdi Tiro
di Aceh; gagal, oleh karena hanya dijalankan oleh sebagian daripada rakyat Indonesia. Ingat
pada perjuangan Surapati, gagal oleh karena perjuangan Surapati itu hanya dijalankan oleh
sebagian daripada rakyat Indonesia. Tetapi tatkala bangsa Indonesia dapat mernpersatukan
segenap rakyat Indonesia dari Sabang smpai ke Merauke, gugurlah imperialisme dan berkibar-
lah Sang Merah Putih di angkasa dengan cara yang amat megah.
Memang, saudara-saudara, perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, untuk
menggugurkan imperialisme harus didasarkan atas persatuan. Berbeda dengan perjuangan
bangsa lain. Beberapa pekan yang lalu di Istana Negara ini, saya memberi kursus kepada
pemuda-pemuda Liga Pancasila dan di dalam kursus yang pertama itu, saya uraikan salah satu
perbeda-an antara rakyat Indonesia dan misalnya perjuangan rakyat India. Rakyat India dapat

lxxxiv
mengalahkan imperialisme Inggeris, yang pada hakekatnya satu imperialisme dagang, satu
handels imperialisme, dengan memobilisir kekuatan daripada satu natonale bourgeoisie yang
sedang timbul. Nationale bourgeoisie India ini, saudarasaudara, merekalah yang pada hakekatnya
menggerakkan gerakan swadesi. memboikot barang-barang bikinan Inggeris. membuat barang-
barang bikinan India sendiri, sehingga imperialisme Inggeris yang membawa barang dagang-an
Inggeris ke India itu, akhirnya tidak mendapat pasaran di India. Oleh karena menderita saingan
yang hebat daripada rakyat India sendiri yang dengan gerakan swadesi dapat me-menuhi
kebutuhan-kebutuhannya akan barang-barang pakaian dan komsumsi. Dus, India mempergu-
nakan antara lain saudara-saudara, tenaga daripada satu nationale bougeoisie yang sedang
timbul. Kita, saudara-saudara, tidak mempunyai nationale bougeoisie, apalagi tidak mempunyai
nationale bougeoisie revolusioner. Borjuasi nasional yang progressif, oleh karena memang tidak
ada borjuasi nasional ini dalam arti yang besar. Kita mempunyai restan daripada borjuasi
nasional. Maka oleh karena itulah perjuangan bangsa Indonesia, mau tidak mau, harus
mempergunakan tenaga daripada rakyat j elata. Rakyat j elata bukan saja dari tanah Jawa, bukan
saja dari Sumatera, bukan saja dari Sulawesi, bukan saja dari Kalimantan, bukan saja dari Nusa
Tenggara, bukan saja dari Maluku, tetapi rakyat jelata dari Sabang sampai ke Merauke, bersatu
padu, dan akhirnya gugurlah imperialisme.
Persatuan inilah, saudara-saudara, kita punya senjata. Persatuan ini akhirnya sebagai tadi saya
katakan, oleh karena perjuangan persatuan ini adalah perjuangan yang gigih, akhirnya dikaruniai
oleh Allah swt. dengan Negara Proklamasi.
Saudara-saudara, dus, manakala perjuangan kita harus tidak boleh tidak, harus didasarkan kepada
persatuan bangsa, maka demikian pula Negara kita, saudara-saudara, hanyalah bisa berdiri tegak,
Insya Allah kekal dan abadi, bilamana berdasar-kan atas dukungan daripada seluruh rakyat dari
Sabang sampai ke Merauke. Sebagai tadi diterangkan oleh saudara Sarjana Agung Mahaputera
Profesor Mr. H. Muh Yamin, saudara-saudara sekalian, sehingga opgave kita sekarang ini
saudara-saudara, membentuk atau mengekalkan persatuan itu agar supaya persatuan ini dapat dij
adikan sebagai dasar pondamen yang kuat kekal dan abadi daripada negara.
Pondamen yang kuat dan kekal dan abadi, sebab hanya atas pondamen ini Negara bisa kekal dan
abadi. Sulit sekali saudara saudara, pemersatuan rakyat Indonesia itu jikalau tidak didasarkan
atas Pancasila. Tadi telah dikatakan oleh saudara Muh. Yamin, alangkah banyak macam agama
di sini, alangkah banyak aliran pikiran di sini, alangkah banyak macam golongan di sini, alngkah

lxxxv
banyak macam suku di sini, bagaimana mempersatukan aliran, suku-suku, agama-agama dan
lain-lain sebagainya itu, jikalau tidak diberikan satu dasar yang mereka bersama-sama bisa berpi-
jak di atasnya. Dan itulah saudara-saudara. Pancasila.
Ada satu ucapan dari seorang pemimpin besar asing, dia berkata: national unity can only be
preserved upon a basic which is larger than the nation itself. Persatuan nasional hanya dapat
dipelihara kekal dan abadi jikalau persatuan nasional itu didasarkan di atas satu dasar yang lebih
luas daripada bangsa. Lebih luas daripada apa yang dinamakan Indonesia, dus, national unity itu,
saudara-saudara, menurut anggapan kita hanya bisa dikekalabadikan di atas satu dasar, yang
menurut saudara Prof. Muh. Yamin, satu dasar falsafah Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Perikemanusiaan, Kebangsaan Indonesia yang bulat, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial,
sebagai satu geloof, sebagai satu arah pikiran, sebagai satu arah kepercayaan, bukan kepercayaan
agama, tetapi satu arah kepercayaan daripada satu bangsa. Saya melihat saudara Siauw Giok
Tjhan di sana. Barangkali saudara Siauw Giok Tjhan bisa membenarkan Saya jikalau saya
mensitir Kon Fu Tsu. Pada satu hari datanglah seorang kepada Kon Fu Tsu: Ya, guru besar, apa-
kah syarat-syarat agar sesuatu bangsa bisa menjadi kuat? Jawab Kon Fu Tsu: Syaratnya ialah
tiga. Satu, tentara yang kuat. Dua, makanan dan pakaian rakyat yang cukup. Tiga, kepercayaan di
dalam kalbunva rakyat itu. Tiga ini disebutkan oleh Kon Fu Tsu sebagai syarat mutlak untuk
menjadikan bangsa menjadi kuat: tentara yang kuat, makanan dan pakaian rakyat yang cukup.
kepercayaan, geloof. Sang siswa menanya kepada guru besar Kon Fu Tsu: Jikalau daripada tiga
syarat ini satu harus dibuang, harus tuanku tanggalkan, mana yang harus tuanku tanggalkan lebih
dulu? Jawab Kon Fu Tsu: Yang boleh ditanggalkan lebih dahulu ialah tentara yang kuat. Tinggal
makanan dan pakaian rakyat yang cukup, dan kepercayaan.
Sang siswa tanya lagi: Ya, tuanku, jikalau daripada dua syarat ini satu harus tuanku tanggalkan,
mana yang tuanku akan tanggalkan? Jawab Kon Fu Tsu: makanan dan pakaian rakyat bisa
ditanggalkan, artinya makanan san pakaian rakyat yang cukup bisa ditanggalkan. Makanan
kurang sedikit, pakaian kurang sedikit, tidak jadi apa. Tetapi syarat yang ketiga, geloof,
kepercayaan, belief tidak dapat ditanggalkan. A nation without faith can not stand. Bangsa yang
tidak mempunyai geloof, bangsa yang tidak mempunyai kepercayaan, tidak mempunyai belief,
bangsa itu tidak bisa berdiri.
Maka bangsa Indonesiapun harus mempunyai belief, mempunyai geloof, mempunyai
kepercayaan. Dan geloof bangsa Indonesia harus larger than the nation itself, lebih luas daripada

lxxxvi
bangsa Indonesia sendiri, berupa Pancasila, saudara-saudara. Pancasila pengutamaan daripada
rasa kebangsaan, keinginan daripada bangsa Indonesia untuk menjadi Negara yang kuat, bangsa
yang kuat, mengadakan satu masyarakat yang adil dan makmur.
Saya membenarkan perkataan saudara Kiai Haji Masykur, kawan saya yang tercinta, bahwa kita
mengharap kepada Konstituante lekas dapat menentukan Undang Undang Dasar yang tetap bagi
Negara Republik Indonesia dan memang di dalam pidato pembukaan daripada Konstituante, saya
minta kepada Konstituante agar supaya lekaslah selesai dengan pekerjaannya. Tetapi sava
persoonlijk ada mempunvai do’a kepada Allah swt., mogamoga Konstituante menerima pula
Pancasila sebagai dasar kekal dan abadi daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab
saudara-saudara, sebagai tadi saya katakan, saya tidak melihat jalan yang lain untuk
mempersatukan bangsa Indonesia ini di atas dasar lain daripada dasar Pancasila.
Ya, saudara-saudara, kita adalah satu bangsa yang menghadapi beberapa challenge sebagai yang
sering saya katakan kepada mahasiswa-mahasiswa, tetapi dalam pada menghadapi beberapa
challenge itu tadi, tantangan-tantangan, baik tantangan internasional maupun tantangan nasional,
maupun tantangan pribadi; internasional kataku ialah: internasional cooperation atau total
destruction, global social justice atau exploition de 1’homme par 1’homme; nasional, tetap setia
kepada proklamasi Negara Kesatuan Indonesia 17 Agustus 1945, atau tidak, dan diselenggarakan
di tanah air kita satu masyarakat adil dan makmur, atau tidak. Challenge pribadi, kepada pemuda
dan pemudi, hendak menjadi pemuda dan pemudi yang bergunakah bagi diri sendiri, bagi
masyarakat dan bagi Negara Republik Indonesia, atau hendak menjadi crossboy atau crossgirl?
Kita bangsa Indonesia seluruhnya dalam menghadapi tantangan yang dahsyat ini, keinginan
saya, saudara-saudara, supaya dalam beberapa hal jangan kita pertikaikan lagi. Antara lain ja-
nganlah dipertaikaikan lagi warna bendera kita, merah-putih, yang megah. Jangan dipertikaikan
lagi, jangan di-perdebatkan lagi, jangan pula diperdebatkan di Konstituante, sebab sebagai
dikatakan oleh Prof. Mr. Muh. Yamin, ini adalah warisan daripada orangorang karuhun, leluhur
kita sejak beribu-ribu tahun. Jangan diperdebatkan lagi. Jangan ada golongan yang ingin
mengganti merah putih dengan merah! Tetapi jangan ada pula golongan yang ingin merobah
merah putih menjadi hijau! Tetap merah putih! Marilah kita terima hal itu semuanya, sonder
pertikaian-pertikaian lagi. Demikian pula misalnva. saya minta. jangan dipertikaian lagi. hal lagu
Indonesia Raya. Sudah-lah, marilah kita terima lagu Indonesia Raya itu sebagai cetusan daripada
jiwa kita yang cinta kepada tanah air dan bangsa. Jangan dipertikaikan, demikianlah kata saya

lxxxvii
kepada dewan Nasional tadi pagi, hal cita-cita kita mengenai masyarakat adil dan makmur.
Sebab masyarakat adil dan makmur ini adalah cita-cita bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh
tahun, bahkan dibeli oleh bangsa Indonesia cita-cita ini dengan penderitaan yang berpuluh-puluh
tahun pula. Jangan ada orang Indonesia seorangpun yang menghendaki masyarakat yang tidak
adil dan tidak makmur. Jangan ada seorang Indonesia pula, satupun jangan, yang menghendaki
satu masyarakat yang berdasarkan atas sistem penindasan, penghisapan, exploitation de
1’homme par 1’homme. Jangan kita perdebatkan hal itu lagi. Demikian pula doaku kepada Allah
swt. sebenarnya, saudara-saudara, janganlah Pancasila ini diperdebatkan lagi. Sebab Pancasila ini
telah memberi bukti kepada kita, dapat mempersatukan bangsa Indonesia sehingga bangsa
Indonesia ini bisa merebut kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan sebagai sering
saya katakan, justeru oleh karena sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengemukakan Pancasila.
Justeru oleh karena Pancasila ini masuk di dalam Jakarta Charter, justeru oleh karena Pancasila
ini menghidupi segenap Proklamasi 17 Agustus 1945. Justeru oleh karena Pancasila ini satu dua
hari sesudah Proklamasi, dimasukkan di dalam Undang Undang Dasar Sementara daripada
Republik Indonesia. Justeru oleh karena itulah maka Proklamasi ini disambut oleh segenap
rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke. Jikalau tidak berdasarkan atas Pancasila,
Proklamasi kita itu, atau tidak berjiwakan Pancasila, saya kira sambutan yang dahsyat daripada
segenap golongan lapisan yang kita alami pada tahun ’46, ’47, ’48,’49, tidak akan terjadi.
Oleh karena itu, saudara-saudara, ini permintaan persoonlijk hatin saya. permohonan persoonlijk
batin sava. sebenarnya Pancasila ini sudahlah, jangan diperdebatkan lagi. Het heeft zijn nut
bewezcn, telah terbuktilah guna tepatnya Pancasila!
Bung Yamin mengemukakan beberapa bantahan. Sayapun ingin mengemukakan beberapa
bantahan, antara lain bantahan: Pancasila adalah satu agama, katanya, agama baru. Bukan!
Bukan! Pancasila bukan agama baru! Pancasila adalah Weltan-schauung, falsafah Negara
Republik Indonesia, bukan satu agama baru. Bukan! Ada yang berkata: Pancasila itu sebetulnya
adalah perasan daripada agama Budhisme. Bagaimana bisa mengatakan bahwa Pancasila itu
adalah perasaan daripada agama Budhisme? Orang yang berkata begitu sebetulnya tidak tahu apa
yang dinamakan Budhisme itu. Misalnya saja, saudara-saudara, Ketuhanan Yang Maha esa;
Budhisme tidak kenal Ketuhanan. Coba tanya kepada prof. Muh. Yamin, tanya kepada prof.
Hazairin; tanya kepada sarjana-sarjana yang duduk di sini. Budhisme tidak mengenal apa yang
dinamakan Tuhan. Budhisme adalah satu levens beschouwing, satu pandangan hidup, cara hidup

lxxxviii
agar supaya nanti bisa mencapai kesempurna-an nirwana. Budhisme tidak mengenal Allah.
Budhisme tidak mengenal God, Budhisme tidak mengenal Jehovah. Budhisme tidak mengenal
apa yang seperti kita artikan sebagai Tuhan. Jikalau engkau ingin hidup dikemudian hari, sem-
purna, j ikalau engkau ingin masuk nirwana, lakukanlah ini, lakukanlah ini. Delapan marga
daripada Budha, jalan delapan macam, saudara-saudara. Jadi Budhisme adalah satu pandangan
hidup, satu cara hidup, satu levensbeschouwing, bukan sebenarnya satu godsdienst.
Kok lantas ada orang berkata: Pancasila yang dengan tegas mengatakanpada sila yang pertama
Ketuhanan Yang Maha esa, bahwa Pancasila itu adalah perasaan daripada Budhisme. Tidak kena
ini, saudara-saudara. Sama sekali tidak! Saya minta janganlah menaruhkan Pancasila ini secara
antagonistis terhadap kepada misalnya agama Islam. dan janganlah pula meletakkan Pancasila ini
secara congruentie yang sama dengan misalnya Agama Budha, janganlah ditaruhkan secara
antagonistis kepada Agama Islam. jangan ditaruh secara congruent terhadap kepada Agama
Budha. Jangan! Sebab Pancasila adalah falsafah bagi Negara Republik Indonesia, sebab
Pancasila adalah satu dasar daripada Negara Republik Indonesia ini. Kita ingin kekal dan
abadikan dan sebagai tadi sudah saya katakan, syarat mutlak bagi mengkekalabadikan Negara
republik Indonesia, adalah persatuan daripada bangsa Indonesia.
Saudara-saudara, sekarang telah jam sepuluh lebih seperempat. Sebenarnya telah melewati waktu
siaran radio. Maka oleh karena itu marilah saya singkatkan pidato saya ini. Kita saudarasaudara,
benar-benar sekarang ini mengalami saat-saat yang genting. Saat yang crucial. Pada saat-saat
yang demikian itu, baiklah bangsa Indonesia ini merenungkan sejenak bagaimana dulu mem-
perjuangkan kemerdekaan, bagaimana dulu memper-tahankan kemerdekaan. Dulu kita
memperjuangkan kemerdeka-an dengan penggabungan daripada tenaga rakyat jelata dari Sabang
sampai ke Merauke. Tidak oleh satu kekuatan saja, tetapi kita gabungkan seluruh kekuatan kita,
baik kaum buruh maupun kaum tani, maupun nelayan, maupun kaum pegawai, maupun kaum
pemuda, maupun kaum pemudi, maupun alim ulama, maupun segala golongan-golongan yang
ada di Indonesia ini, kita gabungkan di dalam satu barisan yang mahasakti berdasarkan atas
Pancasila itu dan kita pertahankan Negara Proklamasi yang digempur kembali atau hendak
digempur kembali oleh imperialisme dengan sukses, dengan Pancasila pula. Dengan gabungan
mutlak daripada segenap tenaga revolusioner, marilah kita renungkan hal itu, saudara-saudara.
Mempertahankan dengan persatuan, memperjuangkan dengan persatuan, mempertahankan
dengan Pancasila, memperjuang-kan dengan Pancasila.

lxxxix
Marilah. saudara-saudara. sebagai diharapkan oleh saudara Mr. Muh. Yamin, drie maal is
scheeps-recht. Tiga kali kita mempunyai Negara Kesatuan meliputi seluruh nusantara Indonesia,
Sriwijaya, Majapahit, sekarang Republik Indonesia. Didoakan oleh saudara Mr. Muh. Yamin
agar supaya, ya, dulu boleh Sriwijaya tenggelam, ya, dulu Majapahit boleh tenggelam, tetapi
hendaklah Republik Indonesia tetap kekal dan abadi menurut keyakinan saya di atas yang kita
kenal semuanya dan kita cintai, Pancasila.
 
Terima kasih.
 
(Diambil secara strnografis)

xc
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
I. Kursus Presiden Soekarno Tentang Pancasila di Istana Negara, Tanggal 26 Mei 1958.
 
Saudara-saudara,
Saya diminta untuk memberi kursus mengenai Pancasila. Dan sebagai dikatakan oleh saudara
Pamuraharjo tadi, kursus tak dapat selesai dalarn satu uraian. Karena itu, akan diadakan kursus
Pancasila ini beberapa kali, dan malam ini akan saya mulai dengan memberikan kepada saudara-
saudara satu kursus pendahuluan, inleiding. Jadi pada malam ini belum saya kupas sila-sila
daripada Pancasila itu. Belum saya kupas Ketuhanan Yang Maha Esa. Belum saya kupas
Perikemanusiaan. Belum saya kupas Kebangsaan. Belum saya kupas Kedaulatan Rakyat. Belum
saya kupas Keadilan Sosial. Melainkan saya akan memberi kata pembukaan lebih dahulu.
Saudara mengerti dan mengetahui, bahwa Pancasila adalah saya anggap sebagai Dasar daripada
negara Republik indonesia. Atau dengan bahasa Jerman: satu weltanschauung di atas mana kita
meletakkan Negara Republik Indonesia itu. Tetapi kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung,
satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakinyakinnya
Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu-padu di atas dasar
Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik
Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan
segala penyakitpenyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutarna
sekali, Imperialisme. Perjuangan sesuatu bangsa, perjuangan melawan Imperialisme, perjuangan
mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendirisendiri. Tidak
ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri,
mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu
mernpunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam
kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya.
Tadi saya katakan, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai sifat-
sifat perjuangan sendiri. Coba saudara-saudara bandingkan, misalnya caranya bangsa Amerika
dulu memerdekakan negerinya daripada kolonialisme Inggris, dengan caranya bangsa India
memerdekakan dirinya daripada kolonialisme Inggris. Dengan caranya bangsa Indonesia memer-
dekakan dirinya dari kolonialisme Belanda. Atau dengan caranya rakyat Rusia menggugurkan
Kapitalisme. Jikalau saudara-saudara bandingkan caranya rakyat atau bangsa-bangsa atau

xci
golongangolongan ini berjuang, saudara-saudara akan melihat perbedaanperbedaan. Perbedaan-
perbedaan yang ditentukan oleh keadaankeadaan obyektif. Dus bukan perbedaan-perbedaan
bikinan seseorang pemimpin. Tidak! Tetapi perbedaan-perbedaan karena sebab-sebab obyektif
yang berbeda. Saya akan kemukakan perbedaan-perbedaan itu sebagai contoh, menguraikan
kepada saudarasaudara beberapa perbeda-an antara cara berjuangnya orang Amerika melawan
kolonial-isme Inggris, cara berjuangnya rakyat India melawan kolonial-isme Inggris, cara
berjuangnya rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda, cara berjuangnya Rusia
menggugurkan kapitalisme. Dari uraian ini nanti saudara-saudara akan mengerti perlunya, sekali
lagi perlunya bagi kita persatuan itu. Dari uraian ini saudara-saudara akan mendapat pengertian
bahwa perjuang-an bangsa Indonesia hanyalah dapat berhasil, jikalau seluruh rakyat Indonesia
masuk di dalam satu kancah perjuangan.
Perjuangan bangsa Indonesia, saudara-saudara, yang sudah kita alami berpuluh-puluh tahun ini,
berbeda daripada misalnya perjuangan rakyat India. Oleh karena imperialisme yang kita tentang
adalah pula lain daripada imperialisme yang ditentang oleh bangsa India. Imperialisme itu
bermacam-macam, mem-punyai corak-corak sendiri, sifat-sifat sendiri, terutama sekali pada
waktu ia lahir. Pada saat sesuatu imperialisme lahir, pada saat sesuatu imperialisme tumbuh,
imperialisme itu membawa corak sendiri. Tergantung daripada ibunya. Dan ibu imperial-isme
ialah Kapitalisme. Sebagaimana anak bayi manusia pada waktu lahirnya telah membawa sifat
watak sendiri, tergantung daripada sifat watak orang tuanya maka demikian pula imperialisme
pada waktu lahirnya membawa corak watak sendiri tergantung daripada induknya, yaitu
Kapitalisme.
Nanti di dalam pertumbuhannya, dalam bahasa asingnya: di dalam uitgroei, sifat dan watak
imperialisme-imperialisme itu lantas mendekati satu sama lain, bahkan kadang-kadang men-jadi
satu konglomerat daripada imperialisme-imperialisme yang tak mudah lagi kita bisa
membedakan sifat wataknya satu daripada yang lain. Kalau kita melihat perjuangan rakyat atau
lebih tegas, orang Amerika, menentang kolonialisme Inggris sehingga akhirnya bisa mengadakan
declaration of indepen-dence sebagai yang saya ucapkan di dalam pidato 20 Mei yang lalu, pada
tahun 1776, dan kita selidiki siapa yang sebenarnya berjuang, saudara akan melihat bahwa
terutama sekali kaum atasan yang berjuang. Revolusi Amerika bukan revolusi rakyat. Tetapi
revolusi daripada kaum atasan di bawah pimpinan Thomas Jefferson, Thomas Paine, George
Washington dan lain-lain. Revolusi mereka berhasil membentuk satu tentara yang tentara ini

xcii
bertempur dengan tentara Inggris di Amerika dan yang akhirnya dapat mengalahkan tentara
Inggris itu, sehingga tentara Amerika ini bisa menang. Dus revolusi Amerika terhadap kepada
kolonialisme Inggris, adalah satu revolusi yang tidak meliputi seluruh rakyat. Bagaimana
revolusi India? Saya memakai perkataan revolusi di dalam arti yang luas. Jangan mengira bahwa
revolusi adalah selalu disertai dengan peng-gunaan senjata, dalam arti yang luas revolusi adalah
satu perubahan yang hebat sekali. Cepat. Di dalam pidato pembelaan diri saya, tatkala saya
diperiksa di muka hakim Hindia Belanda, saya telah mensitir ucapan seorang profesor yang
termasyhur bahwa revolusi adalah eine umgestaltung von grundauf, artinya perubahan dari
bawah sama sekali. Di dalam arti itu saya memakai perkataan revolusi India terhadap kepada
kolonialisme Inggris. Revolusi India ini dilakukan oleh siapa? Pada hakekatnya revolusi India
dilakukan oleh satu kelas middenstand dan bordjuasi India. Kelas menengah dan kelas borjuis
India. Dengan mempergunakan tenaga daripada rakyat. Berbeda dengan Amerika, Amerika
boleh dikatakan revolusinya tidak mempergunakan seluruh tenaga rakyat, tetapi sekadar satu
kelas, kelasnya George Washington, kelasnya Thomas Jefferson, kelasnya Thomas Paine,
kelasnya Paul Rellier dan lain-lain sebagainya, yang berhasil membentuk tentara dan tentara ini
bertempur dengan tentara Inggris. Revolusi India adalah revolusi daripada kaum pertengahan,
middenstand dan borjuasi, dengan memperguna-kan tenaga daripada rakyat. Nanti akan saya
jelaskan lebih luas. Revolusi Indonesia dan di sinipun saya pakai perkataan revolusi itu dalam
arti yang seluas-luasnya, dus, jangan hanya berpikir dalam istilah 17 Agustus ’45, tetapi
berpikirlah dalam istilah sebagai yang saya uraikan dalam pidato 20 Mei yang lalu, istilah
gerakan nasional seluruhnya, revolusi Indonesia adalah revolusi seluruh rakyat. Maka revolusi
Indonesia bisa berhasil, – ini nanti saya terangkan, – ialah oleh karena revolusi Indonesia,
revolusi seluruh rakyat. Ya kelas buruh, ya kelas tani, ya kelas borjuis kecil, ya kelas
pertengahan kecil, ya kelas ambtenaren-bond, ya kelas pemuda-pemuda seluruh rakyat. Berbeda
dengan di India, rakyat ikut sebagai kuda tunggangan. Saya tadi berkata: India revolusinya ialah
revolusi daripada kaum per-tengahan dan kaum borjuis yang naik. dengan mempergunakan atau
menunggangi rakyat jelata.
Satu contoh lain daripada revolusi demikian ini ialah revolusi Perancis, revolusi Perancis yang
mulai meledak pada tahun 1789, mulai meledaknya, tetapi dalam persiapannya terutama sekali
persiapan pikiran, sudah lebih dahulu daripada tahun 1789, revolusi Perancis ini juga satu
revolusi daripada kelas borjuis, kelas pertengahan yang tadinya tidak mendapat alam, karena

xciii
alam perusahaan di dalam tangannya kaum feodal, kaum gereja, tetapi yang sekarang merebut
alam yaitu kelas pertengahan dan kelas borjuis, merebut alam dari tangannya kaum feodal dan
kaum gereja dengan mempergunakan tenaga rakyat jelata. Seperti pada hakekatnya revolusi
India. Revolusi Indonesia kataku adalah revolusi daripada seluruh rakyat.
Revolusi Sovyet, saya lebih setuju memakai perkataan revolusi Sovyet dan janganlah memakai
perkataan revolusi Rusia, sebab tatkala saya di Sovyet Uni saya mengucapkan Sovyet Rusia,
saya diprotes oleh orang-orang yang berasal misalnya daripada Usbekistan dari Giorgia, mereka
memprotes, kami bukan Rusia, kami dari selatan bukan bangsa Rusia. Kami ini orang
Usbekistan. Kami orang Giorgia. Jadi negara kami namanya bukan Sovyet Rusia, sebab Sovyet
Rusia cuma lor, utara saja. Negara kami yang besar yang terdiri dari sekian banyak Republik-
republik Sosialis, negara kami ini adalah Sovyet Uni. Bukan Sovyet Rusia. Saya, dus, lebih
senang memakai perkataan Sovyet Uni. Nah revolusi Sovyet, bukan revolusi Rusia, tetapi
revolusi Sovyet adalah revolusi daripada kelas proletar dan tani menggugurkan kapitalisme.
Dus di dalam revolusi Sovyet ini apa yang dinamakan bordjuasi bukan saya tidak ikut, malahan
menjadi objek penggempuran. Dari beberapa contoh ini, saudara-saudara merasakan dan melihat
perbedaan-perbedaan. Saya tadi berkata bahwa tiap-tiap revolusi membawa sifat dan watak
sendiri yang ditentukan oleh keadaan-keadaan objektif. Objektif imperial-ismenya, objektif in-
duk daripada imperialisme itu, juga objektif keadaan daripada rakyat yang berrevolusi.
Jadi sifat corak sesuatu revolusi ditentukan oleh keadaan objektif daripada apa yang dihantam
oleh revolusi dan daripada apa yang menghantam. Keadaan yang dihantam, yaitu imperialisme,
itu berbeda-beda saudara-saudara, membawa corak-corak sendiri dan corak-corak ini ditentukan
oleh induknya, kataku tadi. Kalau kita melihat imperialisme-imperialisme di dunia ini dan
sebagai tadi saya katakan, terutama sekali saya melihat, pada waktu ia lahir, bukan terutama
sekali pada waktu sedang uitgroei, pada waktu ia lahir, tegas dan jelas ada perbedaan-perbedaan.
Perbedaan-perbedaan, saya ulangi, daripada induk-induknya pula. Kapitalisme-kapitalisme,
saudara-saudara, mempunyai corak objektif tergantung daripada keadaan-keadaan bahan-bahan
bagi kapitalisme itu. Sesuatu negeri misalnya, saudara-saudara, yang penuh dengan bahan-bahan
untuk kapitalisme, terutama bahan-bahan yang dinamakan bahan-bahan dasar, basis
grondstoffen, sesuatu negeri yang banyak basis grondstoffen, kapitalisme misalnya berbeda
dengan sesuatu negeri yang kekurangan basis grondstoffen. Ada negeri yang kekurangan basis
grondstoffen en toh mempunyai kapitalisme yang basis grondstoffennya itu, yah terutama sekali,

xciv
ambil dari negeri lain, beli dari negeri lain. Negeri yang demikian itu mempunyai Kapitalisme
lain daripada negeri yang basis grondstoffennya banyak. Amerika, saudara-saudara, Inggris,
negeri Belanda, Spanyol dan lain-lain negara adalah beberapa negara yang mempunyai
kapitalisme, dan oleh karena-nya menjalankan imperialisme. Saya ambil contoh Amerika,
Inggris, negeri Belanda, Spayol, sebagai klassieke voorbeelden oleh contoh-contoh klasiek
daripada kolonialisme dan imperial-isme. Amerika dulu mempunyai koloni, Inggris mempunyai
kolonikoloni, malahan Inggris mempunyai empire yang di situ matahari tak pernah terbenam
karena luasnya empirenya, di mana matahari terbenam lantas terbit lagi. Di sana terbenam, sudah
terbit lagi di sini. Negeri Belanda mempunyai koloni, Spanyol dulu banyak koloninya, sekarang
tinggal beberapa restan. Masing-masing kok mempunyai sifat corak sendiri-sendiri. Apa
sebabnya? Sebabnya ialah sebagai saya katakan, induknya, kapitalismenya, mempunyai corak
sifat-sifat sendiri-sendiri, dan apa sebab induknya mempunyai corak sifat sendiri ini? Oleh
karena negerinya mempunyai sifat corak sendiri-sendiri terutama sekali mengenai bahan-bahan
grondstoffen untuk kapitalisme itu. Amerika adalah satu negeri yang mempunyai banyak basis
grondstoffen, satu negeri yang boleh dikatakan lengkap dengan segala hal. Apa toh basis grond-
stoffen kapitalisme itu? Yah, terutama sekali biji besi, arang batu, metal-metal logam-logam lain,
dan lain sebagainya. Itu adalah basis grondstof bagi kapitalisme. Amerika adalah satu negeri
yang penuh dengan basis grondstoffen. Inggris demikian pula, tetapi lebih kurang dari Amerika.
Arang batu punya, biji besi punya tetapi takk begitu banyak, sehingga banyak membeli biii besi
dari Ruhr. Bahkan pada tahun ‘ 14 -‘ 18, ada peperangan besar yang dinamakan peperangan
dunia pertama, tak lain tak bukan ialah rebutan biji besi Ruhr, Ruhr-gebied. Negeri Belanda
adalah satu negeri yang basis grondstoffennya lebih kurang lagi. Biji besi tak ada, harus beli dari
Ruhr-gebied, arang batu yang sedikit di Limburg, Spanyol adalah satu negeri yang basis
grondstoffennya juga sedikit sekali. Biji besi tidak ada, arang batu tidak ada, sedikit sekali.
Karena basis grondstoffen Amerika berbeda banyaknya daripada basis grondstoffen Inggris,
Belanda, Spanyol, maka kapitalisme di empat negeri ini berbeda-beda. Karakteristiknya boleh
dikatakan kapitalisme Amerika, saya ulangi lagi, saya meninjau pada lahirnya imperialisme,
tidak di dalam uitgroei-nya yang sekarang ini. sekarang ini sudah kita menghadapi imperialisme
internasional yang roman mukanya boleh dikata-kan hampir sama semua. Tetapi pada
permulaannya imperial-isme lahir, dilahirkan oleh kapitalisme Amerika yang lebih kaya basis
grondstoffen daripada imperialisme Inggris yang dilahir-kan oleh kapitalisme Inggris yang

xcv
kurang sedikit basis grondstoffen; imperialisme Belanda dilahirkan oleh kapitalisme Belanda
yang kurang lagi basis grondstoffen, imperialisme Spanyol dilahirkan oleh kapitalisme Spanyol
yang sama sekali miskin grondstoffennya. Kalau saya bandingkan empat kapital-isme ini, empat
kapitalisme dengan imperialisme, maka berhubung dengan perbedaan banyaknya grondstoffen
itu, boleh saya katakan Amerika adalah kapitalisme royal. Inggeris kapitalisme setengah royal.
Belanda kapitalisme setengah kikir. Spanyol kapitalisme kikir. Imperialisme, ialah anak daripada
kapitalisme itu, tabiatnya ya lain-lain. Yang anak daripada kapitalisme royal tabiatnya liberal.
Liberal imperialisme.
Sekali lagi saya peringatkan, ialah pada saat lahirnya liberal imperialisme. Yang dianakkan oleh
kapitalisme setengah royal, ialah Inggris, adalah imperialisme semi liberal. Semi artinya sete-
ngah. Yang diperanakkan oleh kapitalisme setengah kikir, adalah imperialisme semi ortodoks.
Yang dilahirkan oleh kapitalisme kikir adalah imperialisme ortodoks. Dus, pada mulanya
imperialisme Amerika adalah imperialisme liberal. Imperialisme Inggris adalah imperialisme
semi liberal, imperial-isme Belanda adalah imperialisme semi ortodoks, imperialisme Spanyol
adalah imperialis ortodoks. Di dalam segala tindak-tanduknya saudara melihat perbedaannya.
Imperialisme yang liberal terhadap kepada rakyat yang dikolonisir, luas dada, liberal, ini boleh,
itu boleh, lapang dada. Yang ortodoks sangat menindas kepada rakyat yang dikolonisir. Yang
semi liberal, setengah menindas setengah lapang dada. Yang semi ortodoks adalah setengah ya
kasih jalan sedikit-sedikit, untuk boleh berpikir, boleh ini boleh itu. Tetapipun menindas.
Apa sebab saudara-saudara? Kok imperialisme Inggris semi liberal? Imperialisme Belanda semi
ortodoks, imperialisme Amerika liberal? Imperialisme Spanyol ortodoks? Sebabnya, saya buat
perbandingan sekarang, supaya lebih terang bagi saudarasaudara, ialah imperialisme Inggris di
India dan imperialisme Belanda di Indonesia. Nanti saudara mengerti: O, Bung Karno itu ke
situlah maunya. Mau menerangkan kepada saudara-saudara bahwa reaksi kepada imperialisme
Belanda ini tak boleh lain daripada seluruh rakyat bersatu padu, yang nantinya sampai menjadi
dasar uraian Pancasila. Imperialisme Inggris di India, – sudah saya tidak bicarakan imperialisme
Amerika di Filipina, saudarasaudara sudah tahu, memang tadinya itu liberal sekali. Tatkala
Filipina jatuh di dalam tangan imperialisme Amerika, lekas mereka buka sekolah ini, buka
sekolah itu, buka ini buka itu, kesan pada rakyat Filipina laksana: bolehlah bolehlah, sehingga di
dalam tempo 1904 sampai 1947, kurang daripada 50 tahun, Filipina boleh menjadi satu bangsa

xcvi
yang merdeka tetapi ya dengan beberapa injeksi-injeksi dari Amerika. Sebaliknya kita melihat di
India sampai ada perjuangan rakyat yang hebat, di Indonesia pun ada perjuangan yang hebat.
Di Filipina dulu ada perjuangan rakyat Filipina yang hebat menentang imperialisme Spanyol
yang ortodoks itu tadi. Imperialisme Spanyol itu sama dengan imperialisme Portugis sekarang
yang di Timor, wah ortodoks-nya bukan main. Di pulau Timor itu, misalnya, salah sedikit,
masuk penjara dengan rantai dibelenggu, sampai sekarang. Coba kalau saudara datang di bagian
Timor, di Atamboa yang hanya beberapa kilometer dari daerah kolonisasi Portugis. Saudara
mendengar keluhan rakyat di sana, bukan main caranya rakyat ditindas, tidak diberi banyak
sekolahan, cuma beberapa sekolah. Main penjara, main penjara. Persis seperti imperialisme
Spanyol di Filipina dahulu itu, ortodoks. Saudara mengetahui sejarah daripada pemimpin-
pemimpin Filipina yang termasyhur! Itu semuanya pemimpin-pemimpin Filipina yang me-
nentang Spanyol. Namanya Dr. Rizal, misalnya, yang ditembak zonder banyak proses oleh orang
Spanyol. Namanya harum di ingatan kita. Dia adalah pemimpin-pemimpin besar rakyat Filipina
menentang imperial-isme Spanyol yang ortodoks. Saudara mendengar nama pemim-pin
Apollomario Mabini, juga pemimpin Filipina menen-tang imperialisme Spanyol. Saudara
mendengar nama Aquinaldo, juga Aquinaldo adalah pemimpin Filipina menen-tang imperialisme
Spanyol. Memang perjuangan rakyat Filipina menentang imperialisme, di waktu imperialisme
Spanyol Ortodoks. Sebaliknya, rakyat Filipina yang berjuang terhadap imperialisme Amerika
tidak sehebat perjuangan yang telah dilakukan di bawah pimpinan Rizal, atau Aquinaldo, atau
Mabini. Sebabnya ialah perbedaan antara sifat corak imperial-isme ini.
Sekarang saya mau jelaskan kepada saudara-saudara lebih jelas, imperialisme Inggris di India,
imperialisme Belanda di Indonesia. Saya tadi telah berkata kepada saudara, bahwa Inggris adalah
negeri yang basis grondstoffennya boleh dikatakan agak cukup. Biji besi ada, batu bara ada,
keperluan-keperluan untuk membangunkan kapitalisme ada. Boleh dikatakan Inggris bisa
membangunkan kapitalisme tanpa bantuan basis grondstoffen negeri lain. Karena itu pagi-pagi,
saudara-saudara, kapitalisme Inggris sudah berkembang biak. Pagi-pagi kapitalisme Inggris
sudah memproduksi barang-barang hasil produksi yang banyak sekali. Pagi-pagi kapitalisme
Inggris itu sudah menderita overproductie. Di negeri Inggris sendiri saudara melihat pagi-pagi
reaksi kaum buruh terhadap kepada kapitalisme Inggris itu meledak. Gerakan kaum buruh yang
paling dulu ialah justru di Inggris. Oleh karena memang kapitalisme di Inggris pagi-pagi sudah
tumbuh. Penindasan kaum buruh mendirikan bulu roma kita. Anak-anak kecil umur 8, 9 tahun

xcvii
sudah dikerjakan 13, 14 jam. Gerakan kaum buruh dimulailah di Inggris, bukan gerakan kaum
buruh revolusioner, tetapi gerakan kaum buruh yang dipimpin oleh Robert Owen, dipimpin
kemudian oleh orang-orang seperti Kale Hardy, Sidney Webb, Beatrice Webb. Dan kemudian
gerakan ini bertumbuh menjadi labour party di dalam bidang politiknya. Gerakan kaum buruh di
Inggris pagi-pagi telah bangkit sebagai reaksi terhadap kepada kapitalisme Inggris yang pagi-
pagi sudah tumbuh itu tadi. Bahkan kapitalisme Inggris ini pagi-pagi sudah menderita penyakit
overproductie.
Terlalu banyak produksi yang tidak bisa dijual di Inggris sendiri. Tiap made in England, dulu
sangat termasyhur, made in England. Belakangan baru timbul made in Germania, belakangan
timbul lagi made in Japan, made in England, made in Germania. Semuanya itu kemudian
menjadi asal sebab dari peperangan dunia yang pertama. Saingannya begitu hebat sampai
meledak menjadi peperangan. Tapi pagi-pagi sudah kita melihat made in England. Produksi yang
banyak sekali dan yang tidak bisa dijual habis di tanah Inggris. Made in England kita bisa baca di
segala barangbarang terutama sekali barang-barang terbuat dari besi, martil made in England,
gunting made in England, pisau made in England, mesin penjahit made in England, yah segala
barang-barang made in England. Demikian pula barang-barang hasil tenun, saudara-saudara
mengetahui sendiri bahwa mesin uap dan mesin tenun mula-mula di Inggrislah didapatkan orang.
Sebagai pemunculan daripada aktivitet•kapitalisme itu, mesin uap, mesin pintal, mesin tenun,
made in Inggris semuanya. Hasil daripada pemintalan dan penenunan ini menjadi barang-barang
yang terbaik, seperti barang-barang wol, mengalami juga overproductie. Tak bisa habis dijual di
Inggris, dicarikan pasar di luar Inggris, sampai sekarang saudara-saudara mengetahui bahwa wol
Inggris paling jempol. Nah, kapitalisme di situ saudara-saudara pagi-pagi subur, tetapi pagi-pagi
pula menghadapi persoalan over-productie, pagipagi dus terpaksa mencari pasaran untuk over-
productie itu di luar negeri. Dan ini yang bernama imperialisme. Imperialisme dalam arti yang
modern. Dus, barang-barang ini dibawa ke negeri orang lain untuk dijual di negeri orang lain itu,
terutama sekali dibawa ke India.
Nah, sekarang yang penting yang saudara harus pegang betul betul, dus, imperialisme Inggris
yang datang ke India seperti diketahui, rakyat India 300, pada waktu itu belum 300, tapi 230 juta,
toh sudah menjadi pasar yang hebat. 230 juta manusia yang harus membeli overproductie ini.
Dus, imperial-isme Inggris ke India itu terutama sekali adalah imperialisme dagang. Handels-im-
perialisme. Membawa barang ke India untuk dijual di India. Nah agar supaya rakyat India,

xcviii
saudara-saudara, membeli barangbarang overproductie ini yang berupa gunting, berupa pisau,
berupa sepeda, berupa mesin jahit, berupa bahan pakaian, agar supaya rakyat India ini bisa
membeli, suka membeli, ingin membeli, maka politik daripada imperialisme Inggris di India itu
adalah politik yang lain daripada imperialisme Belanda di Indonesia.
Agar supaya sesuatu bangsa, rakyat suka membeli, koopwil dan koopkracht bangsa itu tidak
boleh dimatikan sama sekali. Kemauan membeli dan kemampuan membeli. Rakyat India dibuat,
dijadikan satu bangsa tidak mati kutunya sama sekali, sebab kalau mati kutunya sama sekali
tidak bisa membeli. Karena itulah imperialisme Inggris di India pagi-pagi sudah mengadakan
sekolahan, bahkan pagi-pagi telah mengadakan University. Saudara-saudara dapat membaca di
dalam kitab sejarah India, bahwa waktu kita di sini belum mendengar nama sekolah tinggi dan
nama university, di India, Inggris sudah buka beberapa university. Koopkracht dan Koopwil
daripada rakyat India tidak dimatikan sama sekali, tetapi saudara-saudara, India adalah satu
bangsa yang telah mempunyai satu kelas pertengahan dan kelas borjuis yang hendak tumbuh.
Kelas pertengahan dan kelas borjuis yang hendak tumbuh ditimpa oleh barang-barang hasil
daripada overproductie Inggris. Padahal kelas pertengahan dan kelas borjuis India ini ingin
mencari laba, membikin uang, cari uang daripada penjualan barang-barang bikinan kelas
pertengahan dan kelas borjuis India sendiri. Jadi yang paling merasa mendapat saingan dari
handels-imperialisme Inggris itu, ialah justru kelas pertengahan dan kelas borjuis, yang
opkomend dari India ini. Oleh karena itu gerakan menentang imperialisme Inggris ini, mula-
mula terutama sekali keluarnya dari kelas inilah. Yang kemudian membentuk di India itu Indian
National Conggress tahun 1885. Pemimpin-pemimpinnya ialah kaum kapital. Saya tidak bicara
tentang Gandhi, itu belakangan, tetapi pemimpin-pemimpin India yang mula-mula itu, ya
semuanya kapitalis-kapitalis. Semuanya pengusaha-pengusaha. Orang-orang kaya dari gerakan
ini dibantu oleh milyuner-milyuner, misalnya Tata. Tata yaitu satu pengusaha milyuner,
membantu keras kepada gerakan ini, oleh karena Tatapun merasa mendapat saingan hebat
daripada produksi besi dari Inggris. Tata ialah pengusaha besi. Pabriknya besar di Jamsithpoor.
Dia membikin barang besi, membikin gunting, membikin pisau, membikin meja dari besi, bikin
ini bikin itu. Lhoo ini impor dari Inggris, terutama sekali dari Birmingham. Wah, dus Tata ya
sangat merasa mendapat saingan. Tata membantu kepada gerakan ini. Begitu pula milyuner
Birla, membantu keras kepada gerakan ini, bahkan Birla itu sahabat karib daripada Mahatma
Gandhi. Bahkan Mahatma Gandhi ini ditembak orang di rumahnya Birla. Saya tadi

xcix
menceriterakan bahwa gerakan daripada kaum pertengahan dan borjuis India ini menunggangi
rakyat India. Coba saudara-saudara lihat, semboyan daripada gerakan di sana itu, terutama sekali
apa? Semboyan ekonomisnya, ialah Swadesi. Yah, tentu gerakan swadesi itu mempunyai harga-
harga moril yang tinggi sekali bagi bangsa.
Ya, tentu gerakan Swadesi itu adalah baik bagi bangsa. Sebab dianjurkan kepada bangsa untuk
membuat sendiri keperluan hidupnya. Swa artinya sendiri, desi dari perkataan desa; desa yaitu
negeri sendiri. Swadesi artinya dari desa sendiri, dari negeri sendiri. Sebagai slogan memang
baik sekali. Tetapi tidak baiknya gerakan Swadesi ini ialah ia punya kekolotan. Artinya
kekolotan, tidak mau kepada kemodernan. Memang keadaan rakyat India yang hendak
dipergunakan oleh kaum pertengahan dan kaum bordjuasi ini tidak bisa diajak kepada
kemodernan, tidak bisa menggerakkan rakyat berpuluh-puluh, beratus-ratus milyun: ayo kita
bersama-sama mengada-kan pabrik modern. Ayo kita bersama-sama mengadakan listrik. Tidak!
Tidak bisa usaha mengadakan pabrik modern, mengadakan listrik, mengadakan kereta api,
mengadakan kapal udara, segala modern. Hanya bisa oleh sekelompok orang yang banyak uang,
yaitu kapitalisten atau oleh organisasi negara. tetapi mengajak rakyat jelata untuk modernisme,
tidak bisa.
Nah, inilah salah satu cacat daripada gerakan Swadesi. Oleh karena gerakan swadesi itu di bawah
pimpinan Mahatma Gandhi yang tidak mau kepada kemodernan. Bahkan Gandhi memberi
kepada rakyat satu falsafah anti mesin. Dikatakan bahwa mesin itu bikinan setan. Ya, ini
perkataan Gandhi, devilswork. Gandhi tidak mau kepada mesin, sebab dia melihat mesin di
Eropa Barat menjadi alat penindasan manusia. Memang dipergunakan oleh kapitalisten di Eropa
Barat sebagai alat penindasan. Maka oleh karena itu Iantas Gandhi berkata: jangan pakai mesin,
mesin adalah devilswork. Buatan Setan. Dia anti kepada segala kemodernan. Ia punya cita-cita
adalah satu cita-cita sosial yang kolot. Gandhi tidak mempunyai politik ideologi, tidak punya
cita-cita politik yang jelas. Kalau ditanya kepada Gandhi: Gandhi ji, apakah cita-cita politik
daripada tuan? Apakah Republik, apakah monarki, apakah Negara Kesatuan, apakah
Federalisme? Gandhi tidak bisa menjelaskan dengan tegas. Paling-paling ia menjawab: Swa radj,
Swa artinya sendiri, radj artinya raja, pemerintah. Swa radj artinya pemerintah sendiri. Paling-
paling itu, kita mesti mengejar swa radj, swa radj. Cita-cita politiknya tidak tegas. entah
Republik entah monarki, entah Negara Kesatuan, entah negara Federal entah dominan status,
tidak tegas. Swa radj, segala swa radj, sebaliknya ia mempunyai cita-cita sosial. Jadi cita-cita

c
kemasyarakatan. Dan apa yang ia cita-citakan yaitu satu masyarakat yang di situ tidak ada
penindasan, yang di situ tidak ada pengisapan, tetapi juga yang di situ tidak ada mesin-mesin,
tidak ada pabrik-pabrik. Ia punya cita-cita sosial yaitu manusia dengan manusia hidup tenteram,
rukun, tiap-tiap orang mempunyai sebidang tanah kecil, tanam makanan rakyatnya sendiri, tanam
pohon kapasnya sendiri, memintal ia punya benang sendiri, menenun sendiri. Tidak perlu
lokomotif, tidak perlu ini itu. Rakyat harus hidup dalam satu suasana tenteram.
Nah, ini yang saya namakan kolotnya gerakan swadesi. Tetapi pada hakekatnya gerakan swadesi
ini adalah satu penentangan terhadap kepada imperialisme, sebab di dalam praktiknya gerakan
swadesi bukan sekadar positif dari segi positifnya menanam kapas sendiri, memintal benang,
menenun sendiri. Tidak! Tetapi juga mempunyai bidang negatifnya, yaitu tidak mau membeli
barang bikinan Inggris. Yang dinamakan boycot action. Tidak boleh rakyat ter-utama sekali
anggota-anggota dari Indian National Conggress membeli barang-barang buatan Inggris. Bahkan
eksesnya barang-barang buatan Inggris kadang-kadang diserbu, dibawa ke luar, ditumpuk,
ditimbun, dibakar. Seperti yang terjadi di Chouri Chora. Dengan gerakan swadesi ini maka
handels imperialisme Inggris menjadi lumpuh. Karena seluruh rakyat tidak mau membeli barang-
barang buatan Inggris itu, padahal doel daripada handels imperialisme Inggris ialah agar supaya
rakyat India membeli barang-barangnya. Ditentang oleh gerakan swadesi, diboikot barang-
barang Inggris, dan rakyat India mengadakan gerakan swadesi positif, membikin barang sendiri.
Tetapi di dalam bidang kaum pertengahan dan kaum borjuasinya ia memakai mesin-mesin pula.
Saudara-saudara kalau datang di Bombay misalnya, sekarang, di Calcuta, saudara akan melihat
pabrik-pabrik tenun yang hebat. Tata yang begitu membantu dengan uang kepada gerakan
Gandhi, ia adalah industriil besi yang besarnya hanya dikalahkan oleh industriil Jepang Yawata
Kaisha.
Dus, saudara-saudara, jelas, gerakan India adalah satu gerakan yang sebenarnya daripada kaum
pertengahan dan kaum borjuasi yang timbul dengan mempergunakan rakyat jelata. Ada baiknya
saya di sini menerangkan kepada saudara hal kenapa gerakan India itu tidak mempergunakan
kekerasan? Memang saudara-saudara, situasinya lain daripada kita. Kita mempergunakan
kekerasan, mengadakan physical revolution, karena kita pada bulan Agustus menghadapi
imperialisme yang hendak kembali, dan pada waktu itu ada kesempatan baik sekali untuk
merampas senjata dari tangan Jepang. Bahkan di waktu pendudukan Jepang, dan tidak boleh
saudara-saudara lupakan, kita tiga setengah tahun mendapat mendapat kesempatan baik untuk

ci
melatih kita punya diri mempergunakan senjata. Di India tidak. Kesempatan yang sedemikian itu
tidak ada, bahkan sekali lagi Gandhi keluar dengan ia punya falsafah, yang bukan saja
menentang devils-work yang berupa mesin, berupa segala hal yang modern, tetapi juga
menentang penggunaan kekerasan. Ia punya falsafah ialah apa yang dinamakan Ahimsya, tidak
boleh mempergunakan kekerasan dan bikin saja kekerasan pisik. Bahkan mempergunakan
kekerasan batin juga tidak boleh. Jangan menyakiti hati orang lain, begitu pula jangan menyakiti
badan orang lain. Ahimsya! Yang di dalam pemunculan bidang politiknya, berupa gerakan
Satyagraha, ekonomis bikin barang sendiri, jangan beli barang Inggris, ekonomis. Bidang
politik-nya, yang keluar daripada falsafah Ahimsya ini, ialah Satyagraha. Satyagraha artinya
setia kepada kebenaran. Bagaimana setia kepada kebenaran? Tidak mau ikut atau membantu
kepada yang salah. Tidak mau ikut tidak mau membantu kepada yang salah, dus, di dalam
bidang politiknya jangan kerjasama dengan pihak Inggris, sebab pihak Inggris itu salah.
Dus, non cooperation. Lha ini perkataan yang termasyhur, non cooperation. Jangan kerjasama
dengan pihak yang salah. Mau jadi ambtenar Inggris keluarlah, letakkan kau punya jabatan. Dan
kalau engkau tetap jadi ambtenar Inggris, engkau ikut juga punya kesalahan. Jangan menjadi
hakim di kehakiman Inggris, jangan menjadi guru di sekolahan Inggris, jangan menjadi anggota
dari sesuatu dewan yang dibikin oleh Inggris. Satyagraha dan sekalikali jangan memperguna-kan
kekerasan, membandellah, hambalela. Membandel, jangan ikut, jangan mau dan jikalau kau
ditangkap, ya sudah. Biarlah, masuk di dalam penjara, biarlah, jangan melawan. Dipukuli polisi-
polisi di sana itu, pada zaman itu sama dengan polisi Belanda di sini, mem-punyai pentung, yang
namanya lathi, meskipun engkau punya kepala hampir pecah kena pukulan lathi, jangan
membantah, membandellah, hambalela. Beribu-ribu, berpuluh-puluh ribu, pada satu saat, 76.000
kaum gerakan Satyagraha ini dimasukkan di dalam penjara. Itu adalah bidang politiknya, non
cooperation. Bidang ekonomisnya, swadesi.
Nah, begitulah asal mulanya gerakan India, oleh karena menghadapi handels-imperialisme. Kita
bagaimana? Kita sekarang mulai menguraikan kita sendiri. Persatuan daripada tiap golongan,
sedang di India kaum pertengahan dan kaum borjuis yang merasa mendapat saingan dan pukulan
hebat daripada impor handelsimperialisme, yang menentang kepada handels- imperialisme Ing-
gris ini, dengan mempergunakan rakyat India agar rakyat India tidak mau membeli barang-
barang bikinan Inggris, swadesi, satyagraha, memang akhirnya berhasil. Pihak imperialisme
Inggris kewalahan dan pada tahun 1947, India diberi kemerdekaan yang mempunyai Dominion-

cii
Status dan di dalam tahun 1950 tanggal 26 Januari oleh rakyat India Dominion Status ini diganti
dengan Republik India, tetapi masih di dalam Commonwealth. Indonesia bagaimana? Indonesia
tidak menghadapi hanya handels-imperialisme. Apa sebabnya? Sebabnya ialah negeri Belanda
adalah satu negeri yang miskin, yang kekurangan basis grondstoffen. Saudara saudara tahu
sejarah daripada imperialisme Belanda di Indonesia. Mula-mula, dan kalau saudara membaca
“Indonesia Menggugat”, mula-mula orang Belanda itu datang di sini sekadar untuk membeli
barang-barang seperti cengkeh, pala, beli ini beli itu, hasil-hasil pertanian di sini. Kalau ditinjau
sejarah yang lebih tua, begini: dulu, di abad XV, XVI, orang Eropa sudah mengenal cengkeh,
pala, sutera bikinan Tiongkok dan sebagainya. Tetapi barangbarang ini pala, cengkeh, sutera
bikinan Tiongkok ada juga cat merah dan lain-lain sebagainya, didatangkan ke Eropa ini tidak
seperti sekarang. Jalannya dulu ialah barang-barang dari Indonesia, pala, cengkeh, barang-barang
dari India, barang-barang dari Tiongkok dan lain-lain sebagainya, semuanya boleh dikatakan
dikumpulkan di Tiongkok lebih dulu. Dari Tiongkok lalu melalui ialan jalan karavan, kafilah-
kafilah, melalui Sentral Asia, Asia Tengah, padang pasir Gobi, muncul di Midden Oosten,
Middle East, yaitu di Libanon. Dari situ di bawa ke kota di sebelah laut Adriatic, Venesia. Dari
kota Venesia diambil oleh perahu-perahu, kapal-kapal pedagang dari Inggris, dari Belanda, dari
negerinegeri lain-lain, dus, pada waktu itu, Venesia adalah satu kota transito. Barang-barang dari
Tiongkok melalui Sentral Asia, pergi ke Libanon ke Venesia, dari Venesia disebarkan ke Eropa
Barat. Pada waktu itulah Venesia naik dia punya kedudukan. Pada waktu itu Istana-istana di
Venesia yang indah, yang sampai sekarang menjadi kekaguman orang, dibuat. Kalau saudara
datang ke Venesia sekarang, saudara melihat Istana dari marmer, itu buatan zaman itu. Gereja
San Marco buatan dari zaman itu. Istana Togen, buatan dari zaman itu. Abad XIV, XV, XVI, dan
belakangan ini tukang mengambil cengkeh, pala dan lain-lainnya itu, mempunyai hasrat untuk
mencari sendiri jalan pengambilan barang-barang ini. Lantas dikirimlah orang-orang untuk
mencari jalan. Saudara tahu sejarah Vasco de Gama, Bartolomeus Diaz, sejarahnya Cornelis de
Houtman dan lain-lain itu, mereka itu mencari jalan ke tempat cengkeh, pala, merica, sutera ini.
Mencarinya jalan ada yang ke Barat terus dan dia terdampar di Amerika yaitu Columbus, dan dia
bertepuk dada, merasa menemukan Amerika. Padahal tidak. Lebih dulu daripada Columbus ialah
Amerigo Vesvucci yang menemukan Amerika, – kalau boleh memakai perkataan menemukan, –
sebagian ke Barat, sebagian dari negeri Belanda dan Spanyol, mengelilingi Tanjung Harapan,
ujung paling selatan dari Afrika, masuk Lautan Hindia, ketemulah tempat-tempat merica dan

ciii
cengkeh itu. Nah, dus, bisa ketemu jalan ini, saudara-saudara, – belum ada terusan Suez, –
datanglah apa yang di dalam kitab saya, saya namakan imperialisme Belanda kuna.
Dus, sekadar mengambil bahan-bahan ini tadi, mengambil cengkeh, merica, pala dan lain-lain
sebagainya, dibawa ke Eropa, melewati Tanjung Harapan, dibawa ke Eropa, dijual di Eropa
dengan banyak laba. Di situ negeri Belanda mulai naik, sehingga pada abad XVII negeri Belanda
mengalami abad keemasan. Orang Belanda sendiri menamakan abad XVII itu de gouden eeuw.
Yaitu laba daripada pengambilan sini, pulang dijual, berangkat lagi, pulang, jual. Nah, uang laba
ini, saudara-saudara, sebetulnya bertumpuk-tumpuk. Dibawa kemana uang laba ini? Apakah op
potten, dicelengi terus, di negeri Belanda? Tidak. Terutama sekali kelihatan di Inggeris
kapitalisme timbul, di Jerman kapitalisme timbul, uang ini dibawa ke Indonesia kembali, dan
ditanamkan di Indonesia. Inilah asal mula daripada imperialisme Belanda modern di Indonesia.
Uang ditanamkan di Indonesia dalam pelbagai obyek. Ada yang dijadikan pabrik gula, ada yang
kebun-kebun teh, ada yang kebun-kebun karet, ada yang dijadikan tempat pertambangan dan
sebagainya. Dus, imperialisme modern di Indonesia adalah imperialisme penanaman uang. Di
dalam ilmu ekonomi uang yang demikian ini dinamakan finanz kapital. Dus imperialisme
Belanda di Indonesia adalah imperialismenya finanz kapital. Indonesia oleh imperialisme finanz
kapital ini dijadikan tempat pengambilan basis grondstoffen untuk kapitalisme di negeri Belanda.
Uang ditanamkan di sini, misalnya di dalam kebun karet atau dalam kebun kelapa sawit dan
sebagainya. Ini kelapa sawit atau karet, ini menjadi basis grondstoffen. Misalnya minyak kelapa
sawit dibawa ke negeri Belanda, minyak ini menjadi salah satu basis grondstof untuk pabrik
sabun dan lain-lain sebagainya. Hasil daripada produksi ini dengan bahan kelapa sawit, dibawa
lagi ke Indonesia, dijual di Indonesia. Jadi akhirnya menjadi tempat pengambilan bahan-bahan
untuk kapitalisme di negeri Belanda, juga menjadi tempat-tempat penjualan produksi di negeri
Belanda itu. Tetapi yang paling mendalam di dalam peri-kehidupan kita, ialah terutama sekali
penanaman modal. Di sini dibangunkan perkebunan, industri-industri tetapi semuanya
perkebunan-perkebunan dan industri-industri imperialisme, dengan uang ini tadi, finanz kapital.
Nah, agar supaya perkebun-an atau industri-industri itu tadi bisa berjalan dengan sebaik-baiknya,
harus dipenuhi beberapa hal yang berbeda sekali daripada syarat-syarat berkembangnya handels-
imperialisme.
Handels-imperialisme, saya ulangi lagi, bisa berkembangbiak kalau rakyatnya mempunyai
koopwil dan koopkracht. Handels-imperialisme dengan sendirinya mampus, kalau rakyatnya

civ
tidak bisa dan tidak mau beli. Tetapi finanz kapital mempunyai eisen lain. Mau menanamkan
modal di sini, dijadikan onderneming. Onderneming pegunungankah atau onderneming di tanah
datarkah. Mau tanam tembakau di daerah Yogyakarta atau Solo. Mau tanam tebu di lembah
sungai Berantas misalnya. Bagaimana bisa tanam tebu di lembah sungai Berantas? Atau bisa
tanam tembakau di lembah Bengawan Solo? Sekitar Solo dan Yogyakarta dan sebagainya.) harus
menyewa tanah, sebab tanah milik daripada rakyat. Agar supaya sewa tanah ini dimungkinkan,
diadakannya ordonansi yang dinamakan grondhuurordonnantie, pada pertengahan abad ke-19,
yang memberi kesempatan kepada pengusaha asing menyewa tanah daripada rakyat untuk
ditanami tebu, untuk ditanami tembakau, untuk ditanami apapun, agar supaya laba bisa tinggi,
sewa tanahnya jangan mahal. Agar supaya sewa tanah tidak mahal, levensstandaard daripada
rakyat ditekan, handels-imperialisme malahan agak menaikkan levens-standaard, artinya dipiara,
koopwil en koopkracht. Finanz kapital imperialisme malahan menekan supaya sewa tanah tidak
terlalu tinggi. Sewa tanah itu ditentukan oleh levensstandaard, standar hidup daripada rakyat.
Rakyat yang standar hidupnya rendah akan sudah senang menerima sewa yang murah. Kecuali
sewa tanah, finanz kapital yang menanamkan modalnya di sini itu memerlukan kaum buruh.
Juga kaum buruh ini harus kaum buruh yang upahnya rendah. Kalau kaum buruh itu upahnya
tinggi, labanya kurang bagi kaum imperialis.
Dus, diusahakan dengan segala macam agar supaya kaum buruh upahnya rendah. Sampai kita
pernah mengalami satu waktu, upah kaum buruh 8 sen, satu orang sehari. Dihitung-hitung hidup-
nya rakyat Indonesia bahkan pernah segobang seorang sehari. Tetapi upah buruh pernah di suatu
tempat itu 8 sen sehari, 12 sen seorang sehari. Paling-paling 25 sen seorang sehari. Minimum-
loon, rakyat Indonesia dijadikan minimum-leidster, ini istilah daripada seorang Belanda sendiri,
daripada orang yang selalu saya sitir yaitu Dr. Uwender, yang mengata-kan bahwa rakyat
Indonesia itu adalah minimum-leidster, segalanya itu minimum, kebutuhan-kebutuhannya ya
minimum, kebutuhan makanannya minimum, pakaian minimum, segala-nya minimum,
upahnyapun minimum sehingga konklusinya ialah yang sering saya katakan rakyat Indonesia
adalah een volk van koelies en een koelie onder de natie. Inilah efek dan usaha daripada finanz
kapital imperialis. Jangan diajarkan kepada rakyat kebutuhan-kebutuhan yang bukan-bukan.
Sekolah-sekolah jangan lekas-lekas diberi, paling-paling sekolah yang sudah paling minimum.
Di India tidak, kata saya tadi, pada tahun 1865 kalau tidak salah, Universitas yang pertama
dibuka. Kita, saudara-saudara, sampai permulaan abad sekarang ini, tidak mengenal akan

cv
universitas. Sekolahnya sekolah rendah semuanya, sekolah menengah hanya untuk orang
Belanda sendiri atau puteraputera daripada pegawai Indonesia. Dan sistemnya nyata, sistem
membikin kita menjadi kaum buruh. Saya pernah duduk di dalam sekolah rendah.
Permulaan abad sekarang ini, padahal waktu itu sudah tahun 1915, sebagai murid daripada
sekolah rendah itu saya masih diajar ilmu ukur dengan meetketting, rante ukur itu, kita murid-
murid harus bisa mengukur halaman, mengukur sebidang tanah, tak lain tak bukan agar supaya
nanti bisa menjadi mandor ukur. Jadi standar hidup direndahkan sekali, saudara-saudara. Bahkan
demikian jauhnya usaha merendahkan levenstandaard kita ini, sehingga dulu, kelas pertengahan
kita dan kelas borjuasi dulu sama sekali akhirnya juga padam. Dulu misalnya kita membikin
bahan pakaian kita sendiri.
Saudara kalau baca di dalam kitab-kitab yang ditulis oleh komisi minderwelvaarkomisi atau
kitab yang ditulis oleh Kroevaart, saudara masih bisa membaca bahwa di dalam abad ke-18, kita
ini masih selfsupporting di dalam lapangan tekstil. Ya bukan tekstil mesin, tetapi tekstil tenunan.
Sebagaimana saudara lihat di pulau-pulau Indonesia Timur sekarang, masih ada di sana selfsup-
porting barang tenun sendiri, misalnya di Sumba, di pulau Kisan dan lain-lain. Itu masih
selfsupporting, tetapi sebagai tadi saya katakan sebagian daripada laba finanz kapital ini,
dijadikan industri di negeri Belanda antara lain industri tenun Twente, oleh industri tenun ini
saudara-saudara, matilah sama sekali minddenstand kita yang tadinya bisa membuat tekstil. Jadi
meskipun di satu pihak finanz kapital ini merendahkan standar hidup rakyat, oleh karena
memang demikianlah eisen daripada finanz kapital tetapi sebaliknya handels kapital Belanda
yang datang di sini membawa tekstil daripada Twente mematikan kelas pertengahan kita dan
kelas borjuis. Bisa mematikan oleh karena impor yang dibawa ke sini adalah impor yang amat
murah sekali tidak sebagai impor Inggris di India. Impor di India itu mengenali kwaliteiten, ada
kualitet yang hebat-hebat, sebagaimana sampai sekarang saudara mengetahui wol daripada
Inggris kualitet tinggi, untuk menjual barang kualitet tinggi ini memerlukan koopwil dan
koopkrahct daripada rakyat. Impor tekstil dari negeri Belanda ke sini bukanlah tekstil kualitet
tinggi bukan tekstil untuk kaum wanita yang berupa bembergzijde, bukan kain wol yang hebat-
hebat seperti bikinan Leincheser. Tidak! Impor kebanyakannya berupa blaco, kain mori, paling-
paling kain hitam, kain merah, cita-cita yang murah. Saya mengalami saudara-saudara, dulu kain
cita yang saya pakai enam sen satu elo.

cvi
Dulu ukurannya itu elo, 70 cm. Jadi laage kwaliteiten, dan itu tidak memerlukan satu bangsa
yang levensstandaard-nya harus dinaikkan. Cukup dengan satu bangsa yang levens-standaard-
nya memenuhi eisen daripada finanz kapital imperialisme itu. Sehingga saudara-saudara,
akhirnya kita ini menjadi satu bangsa kelas kecil. Kita tidak mempunyai orang-orang yang kaya,
seperti di India. Di India mempunyai Burla, mempunyai Tata, mempunyai famili Nehru,
Mothilal Nehru, bapaknya Jawaharlal Nehru itu bukan main dia milyunernya, – orang bilang, –
dia cucikan dia setrikakan baju-bajunya itu di London. Tidak mau cucian di Alahabat, meskipun
dia diam di Alahabat. Pakaian kotor-kotor dikirim ke London, cuci di London, disetrika di
London. Orang kaya di Indonesia tidak ada, semuanya kelas kecil.
Pegawai, kelas kecil, tidak ada pegawai tinggi. Paling-paling yang paling tinggi vaitu Bupati atau
Adipati. Tetapi yang lain-lain ialah klerk-klerk, paling-paling opseter-opseter. Dalam tentara
KNIL, berapa orang yang jadi kapten? Tidak ada. Satu orang atau dua orang Mayor. Yang lain
itu paling-paling sersan. Pendek segala hal yang besar ialah Belanda, yang kecil-kecil Indonesia
sampai kepada rakyat jelatanya merupakan minimum leidster. Kaum buruh ada yang mendapat 8
sen sehari, tani ya tani kecil, tidak ada tani besar. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus
mempunyai grootbezit, tidak, tetapi saya hanya mengatakan bahwa rakyat Indonesia itu hanyalah
rakyat kecil.
Berhubung dengan itu saudara-saudara, maka aksi untuk meruntuhkan imperialisme itu haruslah
terdiri dari gabungan semuanya yang kecil ini. Di India bisa dipergunakan kekuatan dari kaum
borjuis dan middenstand. Di Amerika kekuatan dari borjuis dan middenstand, yang bisa
mengadakan satu Angkatan Perang. Saudara tahu bagaimana di Amerika permulaan revolusi itu?
Yaitu di waktu beberapa orang pedagang teh melemparkan tehnya di dalam laut oleh karena
impor teh harus membayar pajak. Itulah meletusnya revolusi di Amerika, ialah membuang teh di
dalam laut, yang dimulai oleh kaum pengusaha. Di India gerakan nasional bertulang punggung
kepada kaum borjuasi nasional. Kita tidak. Kita tidak mempunyai borjuasi nasional. Sudah tidak
mempunyai. Dulu di dalam abad ke-16, 17, 18 kita mempunyai borjuasi nasional yang bisa
selfsupporting di atas lapangan tekstil misalnya, tetapi di dalam abad ke-20 akhir 19 tidak ada
kelas borjuasi nasional ini.
Dus gerakan melawan imperialisme itu adalah gerakan daripada segala golongan yang kecil.
Sifatnya sudah lain, saudarasaudara. Di sana borjuasi nasional yang menunggangi rakyat jelata,
di Indonesia tidak bisa berjalan yang demikian itu. Di Indonesia gerakan nasionalnya ialah

cvii
gerakan daripada rakyat jelata tok. di dalam segala macam. Ambtenar-ambtenar kecil duduk di
dalamnya. Dari pihak pengusaha-pengusaha ada duduk di dalamnya, tapi kecil. Semuanya kecil.
Gerakan Sarikat Islam misalnya, Sarikat Dagang Islam yang diadakan mula-mula oleh Kiai
Samanhudi, di dalam tahun 1910 begitu setelah Budi Utomo, yah, Sarikat Dagang Islam ya
pedagang-pedagang yang kecil bukan pedagang-pedagang seperti Tata, seperti Birla, seperti
Nehru. Bapaknya Nehru itu bukan pedagang tetapi advokat besar yang mempunyai andil di
dalam beberapa perusahaan. Sarikat Dagang Islarn pun, saudara-saudara, gerakan daripada
pedagang kecil bahkan yang kemudian diubah menjadi Sarikat Islam yang bukan saja pedagang
yang masuk di dalamnya tetapi tani kecil, buruh kecil, semuanya yang kecil masuk di dalamnya.
Ini yang menjadi kekuatan kita, siap di seluruh Indonesia, golongan kecil, ya buruh, ya tani, ya
pegawai, ya daripada pihak pedagang, ya nelayan, ya kusir, ya tukang bengkel, ya semuanya,
kita himpun kekuatannya. Dus, kita perlukan bagi menangnya gerakan kita satu hikmat
persatuan. Kita menghadapi soal ini, saudara-saudara, bagai-mana bisa menumbangkan
imperialisme. Yah, kita harus bisa bersatu, mempersatukan tenaganya yang kecil ini, ya
tenaganya kaum buruh, ya tenaganya kaum tani, tenaga kaum buruh untuk menghadapi industri-
industri daripada finanz-kapital itu, tenaga-tenaga kaum tani kita butuhkan untuk menentang
perkebunan-perkebunan baik di tanah datar maupun di pegunungan, kita butuh- kan segenap
tenaga daripada rakyat Indonesia.
Pada satu waktu saya sampai kepada satu saat yang saya memerlukan satu nama umum bagi
sernua yang kecil-kecil ini. Ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya nelayan dan lain-lainnya ini, se-
muanya tidak ada yang besar, melainkan kecil-kecil semua-nya, lantas saya beri nama kepada
semuanya ini Marhaen. Tidak bisa disebutkan proletar, kataku. Sebab apa yang dinama-kan
proletar? Barangkali saudara-saudara sudah mendengar uraian ini, tetapi baiklah sava uraikan
sekali lagi. Apa yang dinamakan proletar? Pak, proletar itu kaum buruh. Tidak jelas! Marilah
kita tanya kepada Karl Marx sendiri, dia yang mengadakan perkataan, terkenalnya perkataan
proletar, menurut Marx proletar adalah orang yang menjualkan tenaganya kepada orang lain
dengan tidak ikut memiliki alat produksi, ini defenisi Marx. Proletar adalah orang yang
menjualkan tenaganya kepada orang lain dengan tidak memiliki alat produksi. Sekadar menjual
tenaga tok. Tidak ikut memiliki alat produksi. Apa alat produksi? Kereta api adalah alat
produksi. Bahkan gergaji, palu dan lain-lain sebagainya adalah alat-alat produksi. Jikalau engkau
menjualkan tenagamu di dalam sesuatu perusahaan tetapi engkau tidak ikut memiliki alat pro-

cviii
duksi, tidak ikut memiliki pabrik, tidak ikut memiliki mesin, tidak ikut memiliki martil-martil,
palu-palu, gergaji-gergaji di dalam pabrik itu, kamu cuma menjual tenagamu saja, engkau adalah
proletar. Dan ini definisi mengenai semua yang menjual tenaga. Kaum intelektuil pun, insinyur
yang menjualkan tenaganya kepada satu perusahaan besar, perusahaan Philips, Unilever apapun,
engkau hanya menjual tenagamu sebagai insinyur, dengan tidak ikut memiliki pabrik Unilever,
atau pabrik Krupp, engkau adalah proletar, tetapi namanya intelektuil proletar, proletar
intelektuil. Padahal, ya rumah, gedung, rumah yang didiami, engkau pergi ke pekerjaan dengan
mobil yang mengkilap, engkau adalah insinyur, engkau adalah doktor, engkau adalah ahli kimia,
oto yang mengkilap, tidak miskin, tetapi yang engkau jual hanya tenagamu, pikiranmu, tidak ikut
memiliki alat produksi, engkau adalah proletar.
Dus, si insinyur proletar, si doktor ilmu kimia yang bekerja kepada Bayer misalnya, proletar,
cuma ya intelektuil proletar. Saya memerlukan satu istilah buat ini, si kecil-kecil semuanya itu
tadi. Buruh kecil ya proletar, dia masuk di dalam golongan yang saya carikan istilah tani kecil
yang perlu juga istilah bagi si tani kecil ini tetapi si tani kecil ini bukan proletar. sebab ia punya
alat produksi milik sendiri, si nelayan kecil masuk di dalam golongan yang saya carikan istilah
tetapi dia bukan proletar, alat produksi milik dia sendiri. Si tukang gerobak kecil, gaji, ya tidak
punya gaji, gerobaknya dia punya sendiri, kudanya yang kurus itu dia punya sendiri. Lha ini
namamya apa, saya carikan pada suatu ketika, untuk semua rakyat Indonesia yang kecil-kecil ini,
Ceriteranya ialah pada suatu hari saya berjalan di sebelah selatan kota Bandung, kalau saudara
mau tahu desanya, nama desanya Cigereleng. Di Cigereleng saya berjalan jalan di sawah. Pada
waktu itu saya memimpin Partai, saya jalan jalan di sana, saya melihat seorang laki-laki sedang
menggarap sebidang tanah. Saya tanya: bung, ini tanah siapa?
Gaduh abdi. Pacul ini siapa punya, Gaduh abdi, artinya gaduh abdi itu, saya punya. Gubuk ini
siapa punya? Gaduh abdi. Engkau kalau sudah tanam padi ini, hasil padi ini untuk siapa? Buat
abdi. Wah engkau kaya? Tidak. Miskin. Maklum cuma begini, dan meskipun tanah punya saya
sendiri, pacul saya punya sendiri, hasilnyapun saya punya sendiri, tetapi saya miskin, paling
miskin. Coba lihat gubuk itu sudah reyot. Orang ini bukan proletar. Miskin, tetapi proletar, sebab
alat produksi milik dia sendiri. Sebaliknya sebagai tadi saya katakan meski-pun mobil mengkilat
kalau alat produksi tidak dimilikinya dan dia cuma menjual tenaganya saja, adalah proletar.
Orang ini bukan proletar, tetapi miskin, seperti 95% daripada rakyat Indonesia adalah miskin.
Saya tanya kepadanya: nama bung siapa? Marhaen, jawab dia. Timbul ilham, kalau begitu semua

cix
rakyat Indonesia yang miskin ini saya namakan Marhaen, ya, yang proletar ya yang bukan
proletar, ya yang buruh, ya yang tani, ya yang nelayan, ya tukang gerobak, ya yang pegawai,
pendeknya yang kecil-kecil ini semua, Marhaen.
Ini bahan kita untuk digerakkan bersama untuk menumbangkan imperialis, tidak memiliki
borjuasi nasional, tidak memiliki tenaga Angkatan Perang seperti sekarang.
Dulu tidak ada Angkatan Perang kita, revolusi Amcrika segera setelah Thomas Jefferson,
Thomas Paine, George Washington dan Paul Rellier mengatakan: hayo kita melepas-kan diri dari
Inggris, terus dibentuknya Angkatan Perang bahkan George Washington menjadi Panglima
Besar daripada Angkatan Perang yang kemudian dipilih menjadi Presiden.
Kita tidak mempunyai Angkatan Perang, kita tidak mempunyai borjuasi nasional, kita harus dan
mutlak harus hanya bisa mempergunakan tenaga daripada rakyat jelata sebagai satu ver-
zamelnaam yang saya namakan Marhaen, dus, sejak daripada mulanya atau lebih tegas sejak fase
revolusioner, daripada gerakan nasional kita, kita harus bisa memegang panji persatuan. Sejak
daripada fase revolusioner, jangan kira, tadi sudah saya peringatkan bukan, perkataan
revolusioner jangan dihubung-hubungkan dengan kekerasan senjata. Sejak dari fase
revolusioner, jikalau saya boleh mempergunakan istilah yang saya ucapkan pada pidato 20 Mei,
sejak angkatan penegas yang dengan tegas berkata: Indonesia merdeka, itulah satu umgestaltung
von grundauf, sejak daripada fase itu kita meng-hadapi persoalan mempersatukan semua
revolutionnaire krachten, semua tenaga-tenaga revolusioner, yaitu tenaga-tenaga dari segenap
Marhaen, Marhaen di dalam arti, sebagai tadi saya katakan ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya
tukang gerobak, ya tukang nelayan, ya tukang pedagang, semua rakyat Indonesia yang 95%
Marhaen.
Jadi alat kita hanyalah persatuan, jikalau kita tidak berdiri di atas dasar ini, mungkin gerakan kita
tidak berhasil. Di Sovyet Uni lain saudara-saudara, di sana ada kelas kapitalis, kelas proletar dan
tani, bersama-sama proletar dan tani ini menumbangkan kelas kapitalis. Kita terdiri daripada
macam-macam golongan tetapi kecil semuanya, ini harus kita gabung, yaitu menentang imperial-
isme yang pada hakekatnya ialah finanz-kapital imperialisme, tetapi saudara-saudara. untuk
mempersatukan segenap golongangolongan Marhaen ini, yang terdiri dari elemen buruh, elemen
tani. elemen pedagang, elemen tukang gerobak, elemen nelayan dan sebagainya itu, kita tentu
menghadapi beberapa persoalan. Persoalan kepentingan daripada golongan, persoalan rasa
daerah, kepentingan rasa agama, kepentingan lain-lain. Karena itu sejak mulanya di dalam ide

cx
mempersatukan marhaen sudah dimasukkan terutama sekali elemen keaslian Indonesia ialah
gotong royong. Gotong royong yang memang salah satu sendi daripada masyarakat Indonesia
sejak zaman dahulu, dan dianjurkan kepada semua golongan ini bahwa kita hanyalah bisa
menumbangkan imperialisme itu kalau kita bersatu dan berdiri di atas dasar revolusioner.
Diterangkan kepada kaum marhaen terutama sekali kepada kaum marhaen yang menjadi anggota
partai saya, sebab kaum marhaen ini di mana-mana, saya bicara secara wetenschappelijk, jangan
mengira Bung Karno memakai perkataan marhaen itu karena mengingat PNI dahulu, tidak.
Saya tadi ‘kan berkata, marhaen itu meliputi semua, dus, di dalam partai-partai yang sekarang ini
dinamakan PKI ya ada Marhaen, di dalam partai Masyumi ya ada Marhaen, di dalam partai
Nahdlatul ‘Ulama ya ada Marhaen, di dalam Gerwani ya ada Marhaen, Marhaen di dalam arti
rakyat Indonesia dari segala golongan yang kecil itu tadi, yang tidak bisa diberikan nama
kepadanya proletar.
Saya mencari satu istilah baru untuk menggambarkan kekecilan daripada rakyat Indonesia ini,
meskipun jumlahnya jutaan tetapi ekonominya kecil, saya carikan satu perkataan, satu istilah
yaitu istilah Marhaen. Di dalam arti yang demikian itu, saya pakai perkataan marhaen itu tidak
dengan ingatan kepada sesuatu partai. Marhaen daripada semua golongan ini harus dipersatu-
padukan, karena itu sejak daripada semula Angkatan penegas berkata: harus berdiri di platform
revolusioner. Apa yang dinamakan revolusioner, revohsioner di dalam arti umgestaltung von
grund auf, perubahan radikal revolusioner di dalam arti cukup dengan kehendak zaman yang
cepat revolusioner di dalam arti menentang kepada imperialisme. Semua golongan yang ikut
aliran zaman yang cepat semua golongan yang hendak menumbangkan imperialisme, semua
golongan itu adalah revolusioner. Ya dari buruh, ya dari tani, ya dari golongan apapun.
Dus istilah revolusioner saudara-saudara, jangan saudara campurkan kepada, misalnya
revolusioner harus proletar, atau revolusioner harus orang yang berdiri di atas taraf, di atas
platform demokrasi formil, atau revolusioner harus orang sosialis. Sosialis di dalam arti, bukan
PSI, tetapi di dalam arti menghendaki masyarakat sama rata sama rasa tanpa kapital-isme.
Jangan dihubungkan dengan tiga hal ini. Revolusioner tidak harus hanya orang proletar saja,
tidak harus hanya orang sosialis saja, tidak harus hanya orang yang berdiri di atas dasar
demokrasi formil. Revolusioner adalah tiap-tiap orang yang menentang imperialisme,
revolusioner adalah dus tiap-tiap orang yang mengikuti kehendaknya zaman yang cepat.
Misalnya kalau saudara-saudara berkata: tidak, revolusioner harus proletar. Tidak klop, saudara-

cxi
saudara, sebab ada juga golongan-golongan proletar yang tidak revolusioner, misalnya gerakan
kaun buruh di Inggris yang telah saya ceriterakan, gerakan kaum buruh di Inggris yang terdiri
dari proletar-proletar, saudarasaudara.
Sejak daripada pemimpinnya entah yang namanya Mac Donald, sebutlah pemimpin Labourparty
Inggris Atlee, sampai kepada anggotanya, taxi driver, atau machineworker atau dockworker,
semuanya proletar. Atlee dahulu kaum proletar, Mac Donald adalah kaum buruh pertambangan
batubara, proletar. Begitu pula anggota-anggotanya, semuanya proletar tetapi sama sekali tidak
revolusioner, sebab misalnya menentang kepada kemerdekaan penuh daripada bangsa-bangsa,
menentang kepada gerakan anti kolonialisme 100%, menentang kepada memberi kemerdekaan
penuh pada India. Atlee memberi kemerdekaan kepada India, kalau boleh dipakai perkataan
memberi, sebab kemerdekaan India adalah hasil keringat rakyat India sendiri, di dalam bentuk
dominion status, belakangan kataku tadi wet 1947 dominion status, tahun 1950 oleh perjuangan
rakyat India sendiri, dirubah menjadi Republik masih di dalam gabungan commonwealth. Dus
proletar Inggris saudara-saudara, tidak revolusioner, dus tidak klop bahwa perkataan
revolusioner harus proletar. Demikian pula saudara-saudara akan berkata: revo-lusioner itu harus
sosialis, di dalam arti tadi masyarakat sama rasa sama rata tanpa kapitalisme. Tidak klop lagi.
Misalnya gerakan dari rakyat Mesir, revolusioner yang sekarang memun-cak kepada gerakan di
bawah pimpinan Gamal Abdul Nasser, revolusioner tetapi mereka tidak terdiri dari kaum
sosialis.
Bahkan aku pernah membaca satu uraian yang menamakan gerakan Amanullah Khan dari
Afganistan itu revolusioner, Amanullah Khan adalah seorang raja Afganistan yang di dalam
tahun 1926 mencoba menumbangkan imperialisme Inggris. Tetapi gagal. Amanullah Khan sama
sekali bukan proletar, sama sekali bukan sosialis, bahkan namanya Khan, kalau bahasa Indonesia
Khan itu barangkali Raden Mas Panji Ario. Amanullah Khan di dalam tulisan ini yang ditulis
oleh seorang pemimpin besar revolusi. Dus tidak klop kalau kita berkata: revolusioner harus
sosialis. Demikian pula tidak klop kalau dikatakan revolusioner harus orang yang berdiri di atas
platform demokrasi formil. Apa demokrasi formil itu? Demokrasi yang menghendaki parlemen,
pungut suara, stem-steman itulah yang dinamakan formele democratie. Dengan cara Parlemen
yang begini, jangan berkata bahwa orang revolusioner hanyalah orang yang berdiri di atas
platform parlemen-parlemenan, pungutan suara, demokrasi formil, tidak. Seperti Amanullah
Khan itu tadi, yang bukan seorang demokrat formil, dia bahkan orang Khan, orang raja yeng me-

cxii
merintah tidak dengan parlemen tetapi toh oleh seorang penulis revolusioner ini dinamakan
revolusioner. Nah ini saudara, masukkan di dalam gerakan rakyat, bahwa semua harus
revolusioner, artinya semuanya harus menentang imperialisme, sebab siapa menentang
imperialisme, buruhkah, tanikah, pegawaikah, orang dari golongan agamakah, sosialis-kah,
proletarkah, demokrasi formilkah, bukan proletarkah, bukan sosialiskah, bukan demokrasi
formilkah, siapa yang menentang imperialisme ada-lah revolusioner. Ini adalah satu slogan
mempersatu daripada segenap kaum kecil Indonesia yang tadi kuterangkan.
Dus, gerakan rakyat Indonesia ialah yang akhirnya bisa berhasil menggerakkan 17 Agustus 1945,
sebagai yang sudah saya gambarkan pada pidato 20 Mei, demikian pula sejak 17 Agustus 1945
sampai pengakuan kedaulatan tahun 1950 ternyata satu gerakan persatuan.
Berlainan sekali dengan gerakan India yang pada hakekat-nya ialah gerakan kaum pertengahan
dan borjuis menunggangi kaum proletar, berlainan sekali dengan gerakan revolusi Perancis, ber-
lainan dengan gerakan revolusi Amerika. Kita adalah satu gerakan dari seluruh rakyat dengan
dasar persatuan dan revolusioner. Nah, saudara-saudara mengerti sekarang background daripada
pahampaham ini, dengan background inilah saudara-saudara dicarikan kemudian formulering
sebagai weltanschauung agar supaya kita dapat meletakkan negara yang akan kita proklamirkan
pada tanggal 17 Agustus 1945 itu di atasnya, yaitu Pancasila, Pancasila kecuali satu
weltanschauung adalah alat pemersatu, dan siapa tidak mengerti perlunya persatuan, siapa tidak
mengerti bahwa kita hanyalah dapat merdeka dan berdiri tegak merdeka, jikalau kita bersatu,
siapa yang tidak mengerti itu, tidak akan mengerti Pancasila.
Kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini, saudara-saudara, membuktikan sejeias-jelasnya bahwa
jikalau tidak di atas dasar Pancasila kita terpecah belah, membuktikan dengan jelas bahwa hanya
Pancasilalah yang dapat tetap mengutuhkan Negara kita, tetap dapat menyelamatkan Negara kita.
Oleh karena itu saya harap saudara-saudara nanti kalau saya sudah menguraikan Pancasila ini
selalu ingat kepada background yang pada malam ini saya berikan kepada saudara-saudara,
bahwa kita membutuhkan persatuan dan bahwa Pancasila adalah kecuali satu weltanschauung
adalah satu alat pemersatu daripada rakyat Indonesia yang aneka warna ini.
Sekarang saudara-saudara telah pukul 10 lebih 3 menit, saya kira sudah cukuplah sebagai
inleiding. Insya Allah dua pekan lagi akan saya mulai mengupas Pancasila, sila per sila.
Sekian.
 

cxiii
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
II Kursus Presiden Soekarno Tentang Pancasila di Istana Negara, Tanggal 16 Juni 1958.
 
Saudara-saudara sekalian,
Di dalam kursus saya yang pertama sebagai pendahuluan, saya terangkan kepada saudara-
saudara bahwa perjuangan rakyat Indonesia untuk menumbangkan imperialisme tidak boleh lain
daripada bersifat mempersatukan segenap tenaga-tenaga revolusioner yang ada di masyarakat
kita. Saya jelaskan pada waktu itu sebabnya. Sebabnya ialah bahwa kita berhadapan dengan
imperialisme Belanda yang imperialisme Belanda itu berlainan sifat daripada misalnya
imperialisme Inggeris. Manakala imperialisme Inggris adalah terutama sekali satu imperialisme
perdagangan, – yang saya maksudkan ialah imperialisme Inggris yang datang di India -, maka
imperialisme Belanda yang datang di Indonesia, terutama sekali adalah satu imperialisme
daripada Finanz-kapital. Finanz-kapital yaitu kapital yang ditanamkan di sesuatu tempat berupa
perusahaan-perusahaan.
Oleh karena Finanz-kapital Belanda ini membutuhkan buruh murah, sewa tanah murah, maka
akibat daripada Finanz-kapital di Indonesia ialah pauverisering daripada rakyat Indonesia. Dan
oleh karena rakyat Indonesia sesudah berjalan-nya Finanz-kapital ini berpuluh-puluh tahun
menjadi satu rakyat yang di segala lapangan verpauveriseerd. Tadi saya terangkan kepada
saudara-saudara, untuk mencakup begrip “semua rakyat yang verpauveriseerd” ini saya telah
mempergunakan istilah marhaen. Saya ulangi: oleh karena akibat daripada Finanz-kapital ini
ialah bahwa rakyat Indonesia ini di segala lapangan verpauveriseerd menjadi rakyat marhaen, di
segala lapangan, baik lapangan proletar maupun lapangan yang tidak proletar, maka untuk
menumbangkan imperialisme Belanda itu kita harus memakai jalan lain daripada misalnya
rakyat India memperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat India masih memiliki satu nationale
bourgeoisie, bahkan pada pertengahan atau bagian kedua daripada abad ke-19 borjuasi nasional
India ini hendak naik benar-benar sehingga nationale bourgeoisie India inilah sebenarnya yang
menjadi tenaga motoris daripada gerakan rakyat India menentang imperialisme Inggris itu,
berwujud gerakan Swadeshi di lapangan ekonomi dan di lapangan politik gerakan satyagraha.
Kita yang segenap zaman pre- atau pra-imperialis memiliki bibit-bibit nationale bourgeoisie,
tetapi yang oleh proses imperialis di segala lapangan verpauveriseerd sehingga menjadi rakyat
marhaen, kita tak dapat menjalankan cara perjuangan sebagai yang dijalankan oleh rakyat India

cxiv
itu. Maka boodschap kepada kita ialah mempersatukan segenap tenaga revolusioner yang ada di
dalam rakyat Indonesia yang verpauveriseerd itu. Baik yang proletar maupun yang bukan
proletar. Sehingga boodschap perjuangan kita di Indonesia ialah boodschap persatuan. Hal itu
sudah saya terangkan kepada saudara-saudara pada kursus saya yang pertama. Dan memang
dengan menyelenggarakan persatuan daripada segenap tenaga revolusioner itulah akhirnya kita
pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat mengadakan proklamasi kita dan juga dengan persatuan itu
kita dapat mempertahankan proklamasi itu. Hanya di waktu-waktu yang sekarang ini persatuan
itu terganggu sehingga sewajibnya kita berikhtiar lagi untuk memperbaiki lagi keretakan-
keretakan di dalam tubuhnya bangsa Indonesia itu.
Mempersatukan segenap tenaga revolusioner, – dan arti perkataan revolusioner pun di dalam
kursus yang pertama sudah saya jelaskan kepada saudara-saudara -. Saya ulangi dengan singkat:
untuk bersifat revolusioner tak perlu dari golongan proletar, tak perlu dari golongan demokrasi
formil, tak perlu dari golongan sosialis, -sosialis dalam arti yang luas, – revolusioner adalah tiap-
tiap orang yang progresif menghantam kepada imperialisme. Revolusioner adalah tiap-tiap orang
yang hendak mengakhiri kolonialisme dan hendak mengadakan kemerdekaan nasional. Oleh
karena itu adalah progresinya sejarah. Tidak perlu seorang proletar, sebab yang bukan proletar
bisa juga revolusioner. Sebaliknya ada contoh proletar tidak revolusioner. Tidak perlu demokrasi
formil, sebab orang yang tidak berdemokrasi formil bisa revolusioner. Tidak perlu berangan-
angan atau dari golongan sosialis, dalam arti yang luas, sebab ada yang sosialis tetapi tidak
revolusioner. Ada yang bukan sosialis tetapi revolusioner, sosialis dalam arti yang luas.
Di dalam kursus saya yang pertama, hal ini tidak saya kemukakan kepada saudara-saudara. Tapi
sosialis, seperti waktu saya membuat kuliah di Yogyakarta saya terangkan bahwa perkataan
sosialisme saya ambil dalam arti nama kumpulan, verzamelnaam, dari semua aliran-aliran yang
menghendaki masyarakat sama rasa sama rata. Dus ya sosialis demokrat, ya anarchist, ya
komunis, ya utopist sosialis, ya religieus socialist. Semuanya saya cakup dengan satu perkataan:
sosialis.
Saudara-saudara, konklusi daripada kursus saya yang perta tadi, sudah saya katakan: boodschap
yang diberikan sejarah kepada kita ialah persatuan, mempersatukan segenap tenaga. Bukan saja
untuk menumbangkan imperialisme, tetapi juga untuk mempertahankan negara yang kita dirikan
dan yang hendak ditumbangkan kembali oleh imperialisme itu.

cxv
Maka berhubung dengan itulah, timbul pertanyaan kepada segenap rakyat Indonesia, tatkala
rakyat Indonesia hendak mengadakan kemerdekaan nasional, apakah negara yang hendak didiri-
kan itu harus diberi satu dasar yang di atas dasar itu segenap rakyat Indonesia dipersatupadukan,
apa tidak. Dan jawabnya ialah: ya, perlu dasar yang demikian itu, dasar pemersatu daripada
segenap rakyat Indonesia. Sehingga sebagai saudara-saudara ketahui, soal dasar ini menjadi
pembicaraan di dalam sidang-sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang bersidang sebelum kita
mengadakan proklamasi, jadi pertengahan tahun 1945. Dan di dalam salah satu sidang Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai itulah dianjurkan oleh onder getekende untuk memakai Pancasila sebagai
dasar negara yang akan kita adakan. Dan kemudian Pancasila ini diterima di dalam Jakarta
Charter. Kemudian sesudah kita mengadakan proklamasi diterima oleh sidang daripada
pemimpin pertama daripada negara yang telah kita proklamirkan. Dasar negara yang kita
butuhkan ialah pertama: harus satu dasar yang dapat mempersatukan. Kedua: satu dasar yang
memberi arah bagi perikehidupan negara kita itu. Katakanlah dasar statis, di atas mana kita bisa
hidup bersatu dan dasar dinamis ke arah mana kita harus berjalan, juga sebagai negara. Sebab
apa yang dinamakan negara saudarasaudara? Negara adalah tak lebih dan tak kurang daripada
satu organisasi, satu organisasi kekuasaan, satu machtorganisatie. Tentang hal negara ini banyak
sekali teori-teori, apa negara itu. Ada teori yang mengatakan negara adalah satu hal sudah
semestinya terjadi. Sonder maksud ini atau maksud itu, dengan sendirinya sesuatu bangsa
mencapai negara. Teori ini di dalam sejarah manusia nyata telah dibantah. Sebab di dalam
sejarah manusia sering sekali tampak bangsa-bangsa atau gerombolan-gerombolan manusia yang
berjumlah banyak hidup tanpa negara. Ambillah misalnya kafilah-kafilah di Sentral Afrika.
Mereka itu hidup, mencari makan, membuat perumahan, hidup bersuami isteri, tetapi tiada ikatan
yang dinamakan negara. Ada juga yang berkata bahwa negara adalah penjelmaan daripada ide
yang luhur sekali. Ya, ini masih harus ditanya, ide itu ide apa.
Hegel misalnya, salah seorang ahli falsafah yang besar, berkata: de staat of een staat is de tot
werkelijkheid geworden idee. Ya boleh kita terima ini. Tetapi apa yang dinamakan idee, de tot
werkelijkheid geworden idee, ide yang terjelma? Ini masih diminta jawaban lagi apa yang
dinamakan idee Hegel.
Saya sendiri berpendirian bahwa negara itu tak lain tak bukan ialah sebenarnya satu organisasi.
Dan tegasnya satu organisasi kekuasaan. Satu machts-organisatie. Kita bisa mengadakan organi-
sasi partai. Dan partai itu dipmpin oleh segolongan manusia yang dinamakan dewan pimpinan.

cxvi
Demikian pula kita bisa mengadakan organisasi daripada seluruh manusia di dalam lingkungan
bangsa yang bernama negara. Dan negara ini dipimpin oleh segolongan manusia yang
dinamakan pemerintah. Pada hakekatnya tiada perbedaan antara dua hal ini. Partai dengan ia
punya dewan pimpinan, negara dengan ia punya pemerintah. Pada hakekatnya partai mempunyai
statuten, negara memakai Undang Undang Dasar. Partai mempunyai peraturan-peraturan rumah
tangga, negara mempunyai organieke wetten, hukum-hukum organik. Pada hakekat-nya,
basically, kata orang Inggris, tidak ada perbedaan di antara dua ini.
Keterangan Karl Marx lebih lanjut lagi daripada ini. Negara adalah satu organisasi kekuasaan,
kata Karl Marx, macht-organisatie. Bahkan satu machtorganisatie daripada sesuatu kelas untuk
mempertahankan dirinya terhadap lain kelas. Karl Marx berkata, bahwa di dalam sejarah dunia
ini selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sama lain. Di dalam sejarah manusia, selalu ada
dua kelas yang bertentangan satu sama lain. Ada kelas feodal yang bertentangan dengan kelas
horigen, yaitu rakyat jelata yang ditindas oleh feodalisme itu. Sekarang ada kelas kapitalis dan
kelas proletar. Selalu ada dua kelas. Maka kata Marx, negara adalah satu machts-organisatie di
dalam tangannya salah satu kelas ini untuk menindas kelas yang lain. Di dalam zaman feodal
negara adalah satu machts-organisatie di dalam tangannya kaum bangsawan untuk menindas
kaum horigen. Di dalam zaman kapitalisme negara adalah machts-organisatie di dalam
tangannya kaum kapitalis untuk menindas kaum proletar. Ditindas artinya untuk menjalankan
sesuatu yang cocok dengan kepentingan kelas kapitalis ini, tetapi tidak cocok dengan
kepentingan kaum proletar.
Teori ini ditarik terus oleh Marx. dalam arti jikalau nanti ada revolusi, kapitalis ini dengan alat
kekuasaannya yang bernama negara, dengan kaum proletar yang karena mereka itu mengorga-
nisasikan dirinya dengan semboyannya: “Proletaries aller landen, verenigt U”,
mengorganisasikan dirinya, akhirnya dapat merebut negara atau alat kekuasaan yang tadinya di
dalam tangan kaum kapitalis ini, -jikalau revolusi demikian itu telah terjadi, maka alat kekuasaan
yang tadinya di dalam tangan kaum kapitalis, yaitu negara yang tadinya di dalam tangan kaum
kapitalis terebut oleh kelas proletar dan kelas proletarlah yang memegang alat kekuasaan yang
dinamakan negara ini.
Sesudah sesuatu revolusi sosial ini terjadi, alat kekuasaan yang dinamakan negara jatuh di dalam
negara kaum proletar. Maka berhubung dengan itulah apa yang dinamakan dictatuurproletariaat
berjalan dan bukan berjalan secara insidentil, tetapi berjalan secara historis, sebab negara adalah

cxvii
pada hakekatnya alat kekuasaan di dalam tangan sesuatu kelas. Tadi di dalam tangan kaum
kapitalis, sesudah revolusi proletar di dalam tangan kaum proletar. Dan alat kekuasaan ini
dipergunakan oleh kaum proletar untuk menindas kaum kapitalis. Dus, sifat daripada praktik alat
kekuasaan yang sekarang ini adalah dictatuur-proletaar.
Nah, saya teruskan uraian mengenai Marx ini. Sesudah demikian bagaimana? Sesudah demikian
kelas kapitalis ini karena dialatkuasai oleh dictatuur proletaar ini, makin lama makin lemah,
makin lama makin surut, akhirnya hilanglah kelas yang dinamakan kelas kapitalis. Tinggal kelas
proletar itu. Dan oleh karena tinggal hanya satu kelas sebenarnya sudah tidak ada kelas lagi.
Orang bisa bicara tentang kelas jikalau masih ada perbedaan. Kelas I, kelas 11, kelas 111, kelas
VIII, kelas IX, karena ada perbedaan. Kalau tinggal cuma satu, itu bukan kelas lagi. Nah, kalau
tinggal proletar saja, rakyat jelata saja, tidak ada kelas kapitalisnya, itulah oleh Marx yang
dinamakan satu masyarakat tanpa kelas, satu klasseloze maatschappij. Manusianya tetap ada,
bahkan berkembang biak banyak. Tetapi masyarakat itu tidak mempunyai kelas, klasseloos. Dan
oleh karena klasseloos, maka masyarakat itu menjadi staatloos, sebab, – saya ulangi lagi -,
menurut teori Karl Marx, negara adalah machts-organisatie di dalam tangan sesuatu kelas.
Jikalau kelas itu juga tidak ada, maka machtsorganisatie sebagai machts-organisatie tidak ada
lagi. Maka menjadi satu masyarakat yang staatloos. Ini saya beri tahu kepada saudarasaudara,
agar supaya saudara-saudara mengerti istilah-istilah di dalam ilmu Marxisme; klasseloze
maatschappij dan staatloze maatschappij. Dus tidak ada lagi sesuatu golongan yang harus di-
onderdruk, yang harus ditindaso Kalau ada dua kelas, ada satu golongan yang berkuasa dan satu
golongan yang harus ditindas. Kalau sudah staatloos dan klasseloos, tidak ada lagi golongan
yang harus ditindas. Fungsi negara hilang. Fungsi negara sebagai alat kekuasaan hilang. Yang
tinggal ialah fungsi administratif daripada manusia-manusia. Ada fungsi opseter, ada fungsi
insinyur, ada fungsi guru dan lain-lain sebagainya, tetapi fungsi negara sebagai negara, tidak ada
lagi.
Saya beri penjelasan kepada saudara-saudara tentang hal ini untuk mengerti bahwa kita tatkala
kita concipieren, membentuk negara kita, sebagai negara kita harus mengerti bahwa negara itu
adalah suatu hal yang dinamis. Kalau Marx berkata: ini adalah alat kekuasaan, maka tadi saya
berkata: kita dalam mengadakan negara itu harus dapat meletakkan negara itu atas suatu meja
yang statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus
mempunyai tuntutan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini.

cxviii
Saya beri uraian itu tadi agar saudara-saudara mengerti bahwa bagi Republik Indonesia, kita
memerlukan satu dasar yang bisa menjadi dasar statis dan yang bisa menjadi Leitstar dinamis.
Leitstar, bintang pimpinan.
Nah, ini yang menjadi pertimbangan daripada pemimpin-pemimpin kita dalam tahun 1945, dan
sebagai tadi saya katakan, sesudah bicara, bicara, akhirnya pada satu hari saya mengusulkan
Pancasila, dan Pancasila itu diterima masuk dalam Jakarta Charter, masuk dalam sidang pertama
sesudah proklamasi. Jadi kalau saudara ingin mengerti Pancasila, lebih dulu harus mengerti ini:
meja statis, Leitstar dinamis.
Kecuali itu kita sekarang lantas masuk kepada persoalan elemen-elemen apa yang harus
dimasukkan di dalam meja statis atau Leitstar dinamis ini. Kenapa Pancasila? Mungkin Dasasila,
atau Catursila, atau Trisila atau Saptasila. Kenapa justru lima ini? Bukan kok lima jumlahnya,
tetapi justru Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat dan
Keadilan Sosial. Kenapa tidak tambah lagi, atau dikurangi lagi beberapa. Kenapa justru kok lima
macam ini.
Saudara-saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat
mengumpulkan semua, dan jikalau kita mencari suatu Leitstar dinamis yang dapat menjadi arah
perjalanan, kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri. Sudah
jelas kalau kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu harus terdiri
daripada elemen-elemen yang ada pada jiwa Indonesia. Kalau kita mau masukkan elemen-
elemen yang tidak ada dalam jiwa Indonesia, tak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di
atasnya.
Misalnya kalau kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika. Itu
adalah elemen asing bagi kita, yang tidak in concordantie dengan jiwa kita sendiri, tak akan bisa
menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus mempersatukan. Demikian pula elemen-
elemen untuk dijadikan Leitstar dinamis harus elemen-elemen yang betul-betul menghikmati
jiwa kita. Yang betul-betul, bahasa Inggrisnya appeal kepada jiwa kita. Kalau kita kasih Leitstar
yang tidak appeal kepada jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak berakar kepada jiwa kita
sendiri, ya tidak bisa menjadi Leitstar dinamis yang menarik kepada kita.
Ini adalah satu soal yang susah, saudara-saudara. Apalagi bagi saudara-saudara, pemimpin-
pemimpin yang salah satu tugas daripada pemimpin itu harus bisa menggerakkan rakyat. Tiap-
tiap saudara-saudara yang ada di sini ingin bisa meng-gerakkan rakyat, bisa menarik pengikut-

cxix
pengikut, tidak pandang saudara dari partai apa, yang duduk di sini, semuanya sebagai pemimpin
ingin memimpin, ingin mempunyai golongan yang dipimpin yang bisa mengikuti dia, yang bisa
diajak berjalan. Untuk memenuhi ini saja sudah susah, saudara-saudara. Banyak pemimpin yang
kandas, tidak bisa menggerak-kan rakyat, tidak bisa mendapat pengikut banyak, oleh karena ia
tidak bisa mengadakan appeal. Appeal yaitu ajakan, tarikan yang membuat si rakyat itu
mengikuti dia, pada panggilannya.
Jikalau saudara baca mengenai hal ini, saya ini sedang mengupas hal Leitstar, baca mengenai hal
ini, bagaimana cara kita menggerakkan rakyat. Dan bukan saja menggerakkan rakyat, tetapi
kadang-kadang minta supaya mau berkorban, mau berjuang, mau membanting tulang, pendek
mau menggerakkan kemauan dalam hati rakyat, bukan sekadar satu keinginan, tetapi kemauan
untuk berjuang.
Syarat-syaratnya ini apa? Kalau saudara baca kitab-kitab yang ditulis pemimpin-pemimpin yang
berpengalaman tentang hal ini, saudara akan melihat bahwa hal ini tidak gampang. Baru sekadar
hendak membangunkan di dalam hati rakyat keinginan, itu gampang sekali. Keinginan kepada
masyarakat yang kenyang makan, keinginan pada satu masyarakat yang manis, tiap-tiap orang
bisa. Asal bisa mengiming-imingi (membayang-bayangkan). Tetapi untuk meng-gumpalkan
keinginan ini menjadi kemauan, menjadi tekad, bahkan menjadi keredlaan berkorban, that is
another matter, lain hal. Kalau saudara baca kitab-kitab yang menganalisa hal ini, maka saudara
akan menemui tiga syarat:
Pertama, memang saudara harus bisa menggambarkan, mengiming-iming: Mari kita capai itu!
Lihat itu bagus, lihat itu indah, lihat itu lezat. Di situlah kebahagiaan. Pemimpin yang tidak bisa
menggambarkan, melukiskan cita-cita, tidak akan mendapat hasil. Itu syarat yang pertama. la
harus bisa melukiskan cita-cita.
Di dalam sejarah dunia saudara akan melihat bahwa pemimpin-pemimpin besar yang bisa
menggerakkan massa, semuanya adalah pemimpin-pemimpin yang bisa melukiskan citacita.
Bukan saja di dalam lapangan politik, tetapi di dalam segala lapangan.
Ambil contoh Nabi-nabi, yaitu pemimpin-pemimpin besar sekali. Semua Nabi-nabi itu pandai
benar melukiskan cita-cita. Katakanlah mengiming-iming. Misalnya Nabi Muhammad: Kalau
engkau berbuat baik, engkau masuk di sana. Malah digambarkan secara plastis, dilukis betul
indahnya sorga, nyamannya sorga, nikmatnya sorga. Bahkan ditulis di dalam firman Allah,
Quran sendiri, di sorga itu betapa amannya, indahnya, tidak ada terik matahari, semuanya enak,

cxx
ada sungai-sungai, dan airnya itu jernih cemerlang, atau air susu, atau air madu, dan berkeliaran
bidadaribidadari di situ. Sehingga betul teriming-iming umat Islam itu ingin masuk di sana
dengan melalui jalan kebajikan. Untuk mencapai itu, jalannya ialah kebajikan. Yang ada di dunia
ini, bagaimanapun bagusnya kalah indahnya daripada itu.
Ambil Nabi Isa: Kerajaan di dunia ini, bagaimanapun bagusnya, kalah bagus dengan kerajaan
Langit, het Koninkrijk der Hemelen. Kerajaan Langit dilukiskan di dalam ciptaan kita sebagai
lawan daripada kerajaan yang ada di bumi ini.
Ambil pemimpin-pemimpin lain, bukan di lapangan agama, tetapi di lapangan politik, bahkan
yang fasis, atau yang sosialis. Fasis, Hitler misalnya. Hitler itu kok bisa sampai mendapat
pengikut juta-jutaan dan pengikut yang fanatik-fanatik. Oleh karena ia pandai memasangkan
Leitstar-nya.
Hitler berkata: jikalau kau ingin satu kerajaan yang lebihhebat daripada sekarang, jangan
kerajaan sekarang ini kau terima. Bongkar! Kita harus meng-adakan kerajaan yang ketiga, das
dritte Reich. Reich yang pertama masih kurang baik bagi kita, yaitu zaman Germanentum.
Zaman baheula, zaman ceriteranya Nibelungen yang di dalam puisi Jerman digambar-kan
sebagai zaman keemasan daripada Germanentum. Dengan pahlawanpahlawannya, misalnya
Brunhilde, Kriemhilde, Siegfried. Siegfried jago yang tidak tedas senjata, kecuali ada satu tempat
di punggungnya yang tidak kebal, karena pada waktu ia mandi di air kebal, ada daun jatuh di atas
punggung-nya, sehingga bagian daun itu tidak terkena air kebal; yang lain-lain kena air kebal.
Zaman itu digambarkan oleh Hitler, belum, kurang besar, kurang bagus. Kerajaan yang kedua, di
bawah pimpinan Kaisar Frederick de Grote, zaman itu ya besar, tetapi kurang besar bagi kita.
Tidak, kita menghendaki kerajaan yang ketiga, yang di dalam kerajaan ketiga ini, hanya orang-
orang yang berambut jagung, mata biru yang akan hidup, tidak dicemarkan dengan darah
Yahudi, atau darah Roman dari Selatan. Tetapi hanya orang-orang yang murni Ariers. Kerajaan
ketiga inilah, yang di dalamnya tidak ada kemiskinan dan tidak ada kehinaan. Itu kita punya cita-
cita. Dengan jalan demikian ia mengiming-iming kepada rakyat Jerman.
Ambil Marx, tadi saya ceriterakan kepada saudara-saudara, ia dapat betul menggambarkan satu,
bukan saja klasseloze maatschappij, tetapi satu staatloze maatschappij, yang di situ tidak ada
penindasan. Sebaliknya semua manusia hidup di dalam suasana kekeluargaan. Satu staatloze dan
klasseloze dan klasseloze maatschappij yang hanya ada kebahagiaan dan kesejahteraan.

cxxi
Demikianlah saudara-saudara maka salah satu syarat untuk bisa menjadi pemimpin ialah harus
dapat mengiming-iming, tetapi jangan mengiming-iming barang yang bohong. Itulah salah satu
syarat. Perkataan saya saja mengiming-iming, tetapi sebenarnya ialah dapat membentangkan
Leitstar kepada rakyat.
Nomor dua, harus bisa memberi kepada rakyat. Demikian-lah, menganalisa hidup, cara
bekerjanya pemimpin-pemimpin besar, bisa memberi kepada rakyat rasa mampu mencapai apa
yang diinginkan itu. Merasa mampu, membangunkan rasa mampu. Meskipun engkau bisa
mengiming-iming, tetapi jikalau engkau tidak bisa mem-bangunkan rasa mampu di dalam rakyat
bahwa rakyat bisa mencapai apa yang engkau iming-imingkan, ya, maka di dalam kalbu rakyat
akan hanya hidup kepingin, ingin, tetapi belum menggumpal menjadi satu kehendak, kemauan,
satu wil. Sebab sebelumnya sudah terhambat oleh rasa, toh tidak mampu. Ibaratnya engkau bisa
mengiming-imingi seseorang yang badannya lemah. Lihat itu, di puncak pohon itu ada buah
merah, buah itu paling enak. Si dahaga kepingin buah itu, tetapi ia merasa dirinya lemah, dus,
tinggal kepingin saja, tidak ia mempunyai kehendak, kemauan, wil untuk mencapai buah itu.
Atau engkau bisa ambil seorang pemuda, anak orang biasa. Engkau imingiming dia dengan
seorang gadis cantik, entah anak bangsawan tinggi, entah milyuner. Bung lihat, bukan main
cantiknya. Tetapi ia tidak mempunyai rasa mampu untuk mengambil hati si gadis itu. Malahan ia
merasa dirinya lemah sekali. Aku anak orang miskin. Ia anak orang kaya. Mana bisa kawin sama
dia. Tidak akan timbul kehendak, wil untuk mengawini gadis itu. Itu syarat nomor dua.
Syarat nomor tiga, bukan saja menanamkan keyakinan, atau rasa mampu, tetapi menanamkan
kemampuan yang sebenarbenarnya. Menanamkan kemauan memberi kepada rakyat de
werkelijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu. Jadi tadinya sekadar keinginan oleh
karena teriming-iming, keinginan ini timbul, naik lagi setingkat menjadi kemauan, oleh karena
saudara bisa memberi kepada rakyat itu rasa mampu, krachtsgevoel. Krachtsgevoel ini dinaikkan
setingkat lagi rnenjadi de werkilijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu. Kalau tiga ini
saudara-saudara sudah bisa dijadikan trimurti, artinya dipersatukan di dalam tindakanmu sebagai
pemimpin, saudara akan bisa menggerakkan massa. Dus, Leitstar yang dinamis saudarasaudara,
harus memberi kemungkinan kepada tiga hal ini. Rakyat tertarik, satu. Rakyat mempunyai rasa,
aku atau kita bisa mencapai, dua. Tiga, bukan saja rasa mampu, tetapi memang mampu untuk
mencapai itu. Kalau sekadar dua, dapat mengiming-iming, dapat memberi krachtsgevoel, tetapi
saudara tidak bisa memberi tenaga, buah di atas pohon itu tidak bisa terpetik. Saudara bisa

cxxii
berkata, he, buah itu enak betul, kepingin apa tidak? Kepingin. Mau apa tidak? Mau. Tetapi
saudara lupa melatih dia untuk manjat pohon itu. Meskipun ia mempunyai kemauan tetapi ia
tidak bisa memetik oleh karena baru naik 2, 3 meter sudah jatuh lagi. Tiga syarat ini harus
dipenuhi.
Leitstar daripada negara harus bisa realiseren tiga syarat ini. Dus, dasar negara pertama harus
bisa menjadi meja statis yang mempersatukan segenap elemen bangsa Indonesia dan dasar
negara itu harus bisa merealisir tiga syarat yang saya sebutkan itu agar supaya rakyat dengan alat
yang dinamakan negara dapat benar-benar mencapai apa yang dileitstarkan itu. Maka berhubung
dengan itu, elemen-elemen daripada dasar ini harus elemen yang tidak asing bagi bangsa
Indonesia sendiri. Kalau kita mengambil elemen yang asing, tidak bisa elemen itu menjadi dasar
statis. Demikian pula tidak bisa menjadi dasar Leitstar dinamis.
Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kira seperti kursi-kursi yang dijajarkan. Bangsa atau
rakyat mempunyai jiwa sendiri. Ernest Renan berkata: une nation est une ame, een natie is een
ziel. Bangsa itu satu jiwa. Jangan kira bangsa itu adalah jumlah daripada manusia itu dengan
manusia itu, seperti kursi-kursi dijajar. Bcnar bangsa itu terdiri dari manusia-manusia yang
berjiwa, malahan apalagi bangsa-bangsa itu terdiri dari manusia-manusia yang berjiwa, tetapi
kecuali daripada itu, bangsa itu mempunyai jiwa sendiri pula. Ada misalnya kitab Gustave Le
Bon yang mengatakan, bahwa bangsa itu mempunyai jiwa sendiri yang tidak het algemeen totaal
daripada si Polan, si Polan dan seterusnya. Mempunyai jiwa sendiri. Satu bangsa adalah satu
jiwa.
Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu kita memikirkan
dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu
sendiri. Kalau kita mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri, kandas. Ya bisa menghikmati
satu dua, seratus dua ratus orang, tetapi tidak bisa menghikmati sebagai jiwa tersendiri. Kita
harus tinggal di dalam lingkungan dan lingkaran jiwa kita sendiri. Itulah kepribadian. Tiap-tiap
bangsa mempunyai kepribadian sendiri, sebagai bangsa. Tidak bisa opleggen dari luar. Itu harus
latent telah hidup di dalam jiwa rakyat itu sendiri. Susah mencarinya, mana ini elemen-elemen
yang harus nanti total menjadi dasar statis dan total menjadi Leitstar dinamis. Dicari-cari,
berkristalisir di dalam lima hal ini: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan,
Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, ini yang nyata

cxxiii
selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia. Satu waktu ini lebih timbul, lain waktu itu
yang lebih kuat, tetapi selalu schakering itu lima ini.
Ada orang berkata: pada waktu Bung Karno mempropagir-kan Pancasila, pada waktu ia
menggali, ia menggalinya kurang dalam. Terang-terangan yang berkata demikian dari pihak
Islam. Dan saya tegaskan, saya ini orang Islam, tetapi saya menolak perkataan bahwa pada
waktu saya menggali di dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam
menggalinya. Sebab dari pihak Islam dikatakan, jikalau Bung Karno menggali dalam sekali, ia
akan mendapat dari galiannya itu Islam. Kenapa kok Pancasila? Kalau ia menggali dalam sekali,
ia akan mendapat hasil dari penggaliannya itu, Islam. Saya ulangi, saya adalah orang yang cinta
kepada agama Islam. Saya beragama Islam. Saya tidak berkata saya ini orang Islam yang
sempurna. Tidak. Tetapi saya Islam. Dan saya menolak tuduhan bahwa saya menggali ini kurang
dalam. Sebaliknya saya berkata: penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama Islam.
Saya gali sampai zaman Hindu dan pra-Hindu. Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan
dengan saf-safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam-macam saf.
Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu kita telah bangsa yang berkultur dan bercita-cita. Berkultur
sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita-cita sudah. Jangan
kira bahwa kita pada zaman pra-Hindu adalah bangsa yang biadab. Baca kitab misalnya dari
Professor Dr. Brandes. Di dalam tulisan itu ia buktikan bahwa Indonesia sebelum kedatangan
orang Hindu di sini sudah mahir di dalam sepuluh hal. Apa misalnya? Tanam padi secara sawah
sekarang ini, jangan kira itu pembawaan orang Hindu. Tidak. Pra-Hindu. Tatkala Eropa masih
hutan belukar, belum ada Germanentum, di sini sudah ada cocok tanam secara sawah. Ini
dibuktikan oleh professor Dr. Brandes. Alfabet ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la, jangan kira itu
pembawaan orang Hindu. Wayang kulit dibuktikan oleh Professor Brandes bukan pembawaan
orang Hindu. Orang Hindu memperkaya wayang kulit, membawa tambahan lakone Lakon
terutama sekali Mahabarata dan Ramayana. Tetapi dulu kita sudah punya wayang kulit, tetapi
belum dengan Mahabarata dan Ramayananya. Sebagian daripada restan wayang kulit kita dari
zaman pra-Hindu, yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Dawala, Cepot dan lain-lain itu. Itu pra-
Hindu. Kita dulu mempunyai wayang kulit yang menceriterakan kepahlawanankepahlawanan
kita, sejarah para leluhur. Kemudian datang orang Hindu membawa lakon Mahabarata dan
Ramayana. Karena kita ini satu bangsa yang bisa menerima segala hal yang baik, lakonlakon itu
kita masukkan di dalam wayang sebagai perkayaan daripada wayang kulit kita.

cxxiv
Jadi saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf pra-Hindu.
Datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara Taruma, negara Kalingga,
negara Mataram kesatu, negaranya Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutei, berupa
Sriwijaya dan lain sebagainya. Datang saf lagi, saf zaman kita mengenal agama Islam, yang di
dalam bidang politik berupa negara Demak Bintaro, negara Pajang, negara Mataram kedua, dan
seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan Eropa, yaitu saf imperialisme, yang di
dalam bidang politiknya zaman hancur-leburnya negara kita, hancur-leburnya perekonomian
kita, bahkan kita menjadi rakyat yang verpauveriseerd. Jadi empat saf, saf pra-Hindu, saf Hindu,
saf Islam, saf imperialis. Saya lantas gogo (gogo itu seperti orang mencari ikan, di lubang
kepiting) sedalam-dalamnya sampai menembus zaman imperialis, menembus zaman Islam,
menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman pra-Hindu.
Jadi saya menolak perkataan bahwa kurang dalam penggalian saya. Dalam pada saya menggali-
gali, menyelami saf-saf ini, saban-saban saya bertemu dengan: kali ini, ini yang menonjol, lain
kali itu yang lebih menonjol. Lima hal inilah: Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan,
Kedaulatan Rakyat, Keadilan sosial. Saya lantas berkata: kalau ini saya pakai sebagai dasar statis
dan Leitstar dinamis, Insya Allah, seluruh rakyat Indonesia bisa menerima, dan di atas dasar
meja statis dan Leitstar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya bisa bersatu padu. Ambil
misalnya hal sila yang pertama, Ketuhanan. Salah satu karaktertrek bangsa kita, corak, jiwa kita
baik di zaman saf keempat, maupun saf ketiga, saf kedua, saf kesatu, bahwa bangsa Indonesia
selalu hidup di dalam alam pemujaan daripada sesuatu hal yang kepada hal itu ia menaruhkan
segenap harapannya, kepercayaannya. Bangsa Indonesia pada umumnya, saya ulang-ulangi pada
umumnya, sebab sila-sila ini adalah grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud. Jadi
jangan kira tiap-tiap manusia Indonesia itu merasa ber-Ketuhanan, bahwa tiap-tiap orang
Indonesia berkobar-kobar rasa kebangsaannya, bahwa tiap-tiap orang Indonesia menyala-nyala
kalbunya dengan rasa kemanusiaan, tiap orang Indonesia berkedaulatan rakyat, berkeadilan
soaial. Tidak! Tetapi sebagai keseluruhan, grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud,
saya menemukan lima corak ini. Ambillah kleinste gemene veelvoud, grootste gemene deler
itulah. Het kan niet anders daripada itu, kalau kita secara sosiologis sekarang ini meningkat ke
taraf masyarakat Indonesia di dalam pertumbuhan.
Saya dengan tegas mengatakan, ini kupasan sosiaologis yang akan saya berikan. Nanti saya akan
tambahkan bukan hal-hal yang sosiologis, tetapi kenyataan. Sosiologisnya bagaimana? Het kan

cxxv
niet anders, tidak bisa lain. Daripada bangsa Indonesia ini hidup di dalam alam Ketuhanan. Di
sana ada tempat permohonannnya, tempat kepercayaan.
Mari lebih dahulu saya kupas secara sosiologis pertumbuhan masyarakat manusia dari zaman
dulu sampai zaman sekarang. Manusia zaman dulu tidak sama dengan manusia zaman sekarang.
Sekarang ada lampu listrik, ada sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata, ada kapal
udara. Dulu tidak. Dulu manusia hidup di hutan-hutan, di gua-gua. Saya namakan itu fase
pertama dari kehidupan manusia di dunia ini. Fase daripada kehidupan manusia sebagai manusia.
Sebab, dan ini tidak saya bicarakan lebih lanjut, apakah manusia itu berada di dunia itu sudah
menjadi manusia, apakah manusia itu hasil daripada evolusi. Saya cuma menceriterakan saja
bahwa ada satu cabang ilmu pengetahuan bahwa manusia itu adalah hasil daripada evolusi.
Bahwa tidak manusia itu begitu dilahirkan sudah satu manusia bernama Adam dan satu manusia
bernama Eva, kemudian dari dua ini tumbuh manusiamanusia lain, tetapi manusia itu adalah
hasil daripada pertumbuhan. Mungkin juga dulu berupa een cellige wezens, sel yang satu.
Kemudian evolusi, menjadi ongewervelde dieren. Evolusi, menjadi semacam ikan-ikan. Evolusi
lagi, binatang yang merayap tetapi mempunyai kaki. Evolusi lagi, menjadi binatang yang me-
manjat di atas pohon. Lama-lama timbul yang dinamakan sayap. Lama-lama menjadi binatang
yang bisa lari yang meloncat seperti kera. Kera yang merangkak dengan empat kaki menjadi
berdiri di atas dua kaki. Evolusi lagi, menjadi manusia yang seperti kita kenal sekarang ini.
Mula-muia hidup di dalam hutan dan gua. Evolusi-evolusi, menjadi manusia sekarang. Proses ini
makan waktu beratus-ratus ribu tahun. Di tanah air kita sendiri pada satu ketika terdapat salah
satu bukti daripada teori ini. Yaitu di dekat kota Ngawi di desa Trinil terdapat tulang-tulang
daripada makhluk yang demikian ini. Nyata makhluk manusia, tetapi bentuk masih setengah
gorila, tetapi ia sudah berjalan dengan dua kaki. Setengah monyet tetapi sudah berrjalan dengan
dua kaki. Maka karena itu dinamakan pithecanthropus erectus. Pithecus itu artinya monyet,
anthropus artinya manusia. Tetapi ia berjalan dengan dua kaki, erectus. Pithecanthropus erectus
yang ditaksir menurut ilmu biologi, batu yang membungkus tulang-tulang itu, – sebab tulang itu
pada suatu hari mungkin terbenam, entah kena lahar, entah kena banjir, entah kena apa -,
katakanlah dalam lumpur. Lumpur ini makin lama makin keras, makin membatu, sehingga
akhirnya tulang ini terbungkus di dalam batu. Nah, ilmu biologi, ilmu batu, menentukan umur
batu ini 550 ribu tahun. Jadi lebih daripada setengah j uta tahun. Dus tulang yang di dalam batu
ini asal dari zaman paling sedikit setengah juta tahun yang lalu.

cxxvi
Saya tinggalkan pertikaian dalam hal ini, dan saya mulai dengan cerita bahwa pada satu zaman
manusia itu sudah sampai kepada tingkat berupa manusia. Bukan lagi pithecanthropus, tetapi
sudah anthropus yang penuh. Cuma hidupnya dalam gua. Itu fase pertama hidup dalam gua,
mencari penghidupan dengan memburu dan mencari ikan. Memburunya bukan dengan senj ata
Mauser atau Lee & Field. Tidak! Tetapi zaman dahulu dengan batu dan sepotong kayu. Cara
hidupnya ini adalah penting sekali. Alam pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi oleh
cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum. Pegang ini, dan jangan lupa akan stelling
ini: cara manusia mencari makan dan minum, mencari hidup, mem-pertahankan hidup,
memelihara hidupnya, ini adalah penting sekali. Ia mem-pengaruhi alam pikirannya. Tingkat
yang pertama ini adalah tingkat demikian. Hidup dalam gua-gua, di bawah pohon-pohon,
mencari makan dengan memburu dan mencari ikan.
Evolusi, pertumbuhan. Datanglah lambat laun tingkat yang kedua. Jangan kira, tingkat yang
kedua ini datangnya sekonyongkonyong. Tidak. Ini adalah satu pertumbuhan yang evolusioner.
Tingkat yang kedua ialah bahwa si manusia yang tadinya hidup dari pemburuan dan mencari
ikan, mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara. Tadinya ia memburu, memburu kijang, sapi
hutan, kambing hutan dan lain sebagainya. Lambat laun timbul pengetahuan bahwa binatang-
binatang itu bisa ditangkap, diikat, dikurung, anaknya dipelihara, bisa ber-kembang biak. Tingkat
yang kedua ialah tingkat cara hidup manusia dengan terutama sekali, – garis besarnya saja:
grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud -, hidup dari peternakan, memelihara
binatang.
Lambat laun, dengan pemeliharaan binatang ini, setelah ia meninggalkan adat kebiasaannya
memburu dan kemudian menjadi peternak, ia agak lebih terikat kepada tempat, kepada ternak-
nya. Ia harus memberi makan kepada ternak itu. Bukan saja memberi makan kepada diri sendiri
yang berupa daging, tapi ia juga harus memberi makan kepada ternaknya. Lama-lama ia tahu
bahwa makanan vang ia perlukan sendiri dan yang ia berikan kepada binatang itu, bisa pula
dicocoktanamkan, bisa ditanam. Dulu, kalau ia perlu buah-buahan, ia pergi ambil di hutan.
Ketemu jagung di hutan, ambil jagung. Baginya biasa, tanaman begini ini buahnya bisa dimakan.
Berjumpa padi di rawa-rawa, tapi padi liar. Ia mengetahui, biasa baginya, bahwa buahnya dapat
dimakan dan dapat pula diberikan kepada ternaknya. tetapi lambat-laun ia berpengalaman bahwa
tanamanpun bisa ditanam. Tumbuh-tumbuhan yang berupa jagung, padi, gandum, buah-buahan
bisa ditanam.

cxxvii
Dan terutama sekali, saudara-saudara, ini adalah tingkat yang ketiga, cara hidup dari pertanian
terutama sekali. Di sini kita pantas memberi saluut kepada wanita. Wanitalah makhluk pertama
yang mengusahakan tanaman ini. Bukan karena menganggurnya, tetapi merasa harus. Ia melihat
bahwa biji jagung yang tidak termakan, tumbuh, dan ia melihat kalau biji jagung ini ditanam
lebih dalam, dan tanahnya dikorek-korek menjadi lebih subur dan bisa berbuah. Demikian biji
padi dan juga tanam-tanaman yang lain. Salah satu jasa daripada wanita ialah: dialah yang
pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Sebagaimana juga sebenarnya wanita yang pertama
kali mendapatkan ilmu menjahit, membikin pakaian. Wanita yang di rumah, melihat anaknya
kedinginan, ditutup badan anaknya itu dengan kulit binatang. Lama-lama ia berpikir: kalau kulit
binatang yang satu ini disambung dengan kulit binatang yang lain, barangkali dengan tulang ikan
yang tajam dan serat atau akar, dan begitulah timbul ilmu menjahit oleh wanita. Susu ternak,
darah, – zaman dahulu itu orang masih makan darah, – harus dikumpulkan. Wanitalah yang
pertama-tama menemukan tempat untuk susu atau darah itu, dari buah labu yang tua dikorek-
korek. Atau untuk tempat biji-biji yang dikumpulkan dari hutan-hutan. Wanitalah yang pertama
kali mempunyai begrip wadah. Bahkan, karena barangkali tidak ada buah labu, wanita yang
menggali tanah liat, dibentuknya dengan cara yang amat premitif, akhirnya menjadi semacam
periuk.
Wanita vang pertama kali membuat apa yang kita namakan rumah. Belurn rumah seperti
sekarang, meskipun rumah desapun. Sangat sederhana. Wanita yang ditinggalkan suaminya ke
hutan atau menggembala, tinggal dengan anaknya. Hujan. Kemudian timbul pikiran menyusun
daun-daun pisang atau lainnya untuk bernaung di bawahnya. Begrip pertama daripada atap. Jadi
wanita adalah makhluk yang pertama yang mendapat-kan apa yang dinamakan civilization,
peradaban.
Wanita yang membuat periuk, wanita yang menjahit kulit, wanita yang menganyam serat
menjadi tenunan kasar. Wanita yang bercocok tanam mula-mula.
Ini tingkat yang ketiga, cocok tanam. Si laki lama-lama melihat bahwa jagung, padi bisa
ditanam. Lama-lama si laki pun meninggalkan cara hidup beternak, cape selalu mencari tempat
penggembalaan. Lantas ia menetap juga. Perkataan menetap. Dulu tatkala ia masih hidup
memburu, tidak menetap, selalu berpindahpindah, nomade. Tatkala ia beternakpun, tingkat yang
kedua, tidak menetap, berpindah-pindah, mencari makanan untuk ternaknya. Nomade. Tetapi
ketika pertanian diterima oleh wanita dan juga oleh lelaki, dus manusia cara hidupnya terutama

cxxviii
sekali dari pertanian, manusia lantas meninggalkan cara hidup nomadisch menjadi orang-orang
yang menetap. Tingkat keempat, juga saudara harus membayangkan evolusi. Pertanian, lama-
lama timbul pikiran: tanah ini kalau dicokel-cokel dengan suatu alat, lebih subur. Lama-lama
timbul pikiran akan semacam bajak. Timbul pikiran untuk memotong. Timbul pikiran untuk
membuat alat. Lama-lama timbul satu kelas: aku tidak ikut bercocok tanam; aku membuat alat,
aku membuat bajak, aku membuat cangkul, aku membuat semacam linggis dari kayu. Timbul
juga satu pikiran, bahwa untuk mengangkut barang dari satu ke lain tempat harus ada alat yang
bisa mengelinding. Lama-lama menjadi begrip gerobak. Gerobak yang sederhana. Wanita yang
bikin periuk, timbul pikiran: bikin periuk saja, sehari-hari bikin periuk. Wanita yang bikin
tenunan, timbul pikiran mengumpulkan serat-serat untuk menenun. Lantas timbul satu kelas
yang sehari-hari mengumpulkan serat-serat untuk menenun. Kelas penenun. Demikianlah
seterusnya timbul golongan-golongan manusia yang cara hidupnya membuat alat yang kemudian
ditukarkan kepada orang yang bercocok tanam. Aku membuat periuk, aku perlu makan; ambillah
periukku dan berilah aku jagungmu atau gandummu, atau padimu. Begrip ruilhandel, tukar-
menukar timbul.
Di dalam tingkat keempat ini, akhirnya tumbuh kelas yang terutama sekali hidup daripada apa
yang dinamakan nijverheid, kerajinan. Membuat alat, membuat gerobak, membuat pacul,
membuat bajak, membuat pedang dan lain-lain. Hidup hanya membuat alat, yang hasilnya
ditukarkan dengan hasil pertanian. Ruilhandel.
Evolusi lagi. Akhirnya meningkat menjadi zaman yang sekarang ini, yang dididik di dalam alam
yang dinamakan alam industrialisme. Pertumbuhan daripada nijverheid ini, membuat produksi,
lantas timbul cara mendidik orang lain dengan perburuhan, dengan terdapatnya mesin uap dan
lain-lain. Industrial-isme. Itu adalah sifat yang kita hidup sekarang ini atau kita mengalami,
melihat sekarang ini terutama sekali terjadi di dunia barat, di Amerika dan di Eropa. Saya ulangi,
dus manusia ini pertumbuhannya melalui lima tingkat, sesudah ia berbentuk dan berupa manusia.
Saya tidak bicarakan hal pithecanthropus. Memburu dan mencari ikan, satu. Berternak, dua.
Cocok tanam, tiga. Kerajinan, empat. Industrialisme, lima.
Sekali lagi saya ulangi, ini adalah de grootste gemene deler dan de kleinste gemene veelvoud,
corak umum daripada masyarakat manusia. Tadi saya menandaskan kepada saudara-saudara,
cara hidup manusia mempengaruhi alam pikirannya. Juga mempengaruhi alam persembahannya,
kalau boleh saya pakai perkataan ini. Tatkala ia masih hidup di dalam hutan, di dalam guagua,

cxxix
apa yang ia sembah? Pada waktu malam gelap gulita di dalam hutan, ia hidup di dalam alam
yang gelap, penuh dengan ketakutan. Ia melihat bulan dan bintang-bintang. Ia sembah bulan dan
bintang-bintang itu. Pada waktu hujan lebat, ia takut kepada petir, laksana petir itu
menyambarnya. Ia menyembah pada petir. Ia menyembah kepada sungai, yang memberi ikan
kepadanyaa la menyembah kepada pohon yang rindang yang ia bisa bernaung di bawahnya. Ia
menyembah kepada awan yang berarak. Ia menyembah kepada matahari yang memberi cahaya
cemerlang pada siang hari. Ia menyembah kepada barang-barang yang demikian itu. Itulah
Tuhannya pada waktu itu. Berupa gunung yang mengeluarkan api, berupa bulan, berupa bintang,
berupa matahari. Ia punya Tuhan. Saya tidak mengatakan itu Tuhan yang tepat, tetapi ia punya
Tuhan pada waktu itu. Dan ini zaman tidak sebentar, lama sekali. Tuhannya yang berupa guntur
dan petir, ia materialisir, ia materikan. Ia mendengar guntur yang menggeludug. Apa itu? O, itu
Thor, yang turun dari satu mega ke lain mega. Tiap-tiap kaki mengenai satu mega, keluar suara.
Kalau ia mendengar guntur menggeledek itu: Thor sedang berjalan. Thor sedang naik kuda, yang
berlompat dari satu awan ke lain awan. la menyembah sungai yang memberi makan kepadanya.
Sebagai di alam India yang dahulu, orang masih mengagungkan sungai. Sungai Gangga mi-
salnya.
Sungai Gangga misalnya, bengawan Silugangga kata orang Jawa. Sungai Gangga itu asalnya dari
zaman baheula.
Yang menyembah sungai, menyembah petir, menyembah batu yang di dalam Bagawad Gita
diceriterakan, pada hakekat-nya yang harus kita kenal dan kita hormati bukan batunya itu, tetapi
dia punya jiwa yang menyembah. Di dalam Bagawad Gita Kresna berkata kepada Arjuna: Kau
kenal aku. Aku is Ik. Aku adalah hidup, aku adalah angin. Aku tiada mula tiada akhir, aku adalah
di dalam geloranya air samudra yang membanting di pantai. Itu juga disembah.
Sang manusia zaman dulu, fase pertama itu, kalau samudra sedang menggelora, membanting di
pantai, menekukkan lutut-nya menyembah sebagaimana orang Jawa pantai selatan dulu, kalau
mendengarkan Iautan kidul sedang menggelora, berkata: lampor, lampor. Manusia Jawa zaman
dahulu, menyembah Iautan Selatan.
Saya kembali kepada Bagawad Gita, Bagawad Gita berkata: aku adalah di dalam geloranya air
laut yang membanting di pantai, aku adalah di dalam sepoinya angin yang sedang meniup. Aku
adalah di dalam batu yang engkau sembah. Aku ada di dalam awan yang berarak. Aku ada di
dalam api, aku di dalam panasnya api. Aku ada di dalam bulan, aku ada di dalam sinarnya bulan.

cxxx
Aku di dalam senyumnya sang gadis yang cantik. Aku yang tiada mula tiada akhir. Bagawad
Gita menegaskan bahwa jiwa manusia sejak dari zaman dulu itu ada yang disembah. Tapi yang
disembah itulah yang berubah-ubah. Zat yang ia sembah, yang ia tidak kenal, di dalam zaman
fase pertama berupa pohon, berupa petir, berupa air laut, berupa sungai sampai dimaterialisir,
Thor, dewa daripada donder. Notabene, saudara-saudara, kita punya perkataan guntur. Nama
Guntur itu universil, saudara-saudara. Di daerah Skandinavia dewa langit dinamakan Thor,
Geluduk, guruh, petir itu, orang Skandinavia zaman dulu mengatakan Kung Thor, King Thor,
raja Thor. Perkataan Kung Thor itu sama dengan kita punya perkataan guntur. Ini adalah oleh
karena pada hakekatnya manusia di dunia itu adalah satu, mandkind is one. Manusia itu satu
sebetulnya. Yang berbeda-beda itu warna kulitnya. The same under the skin kata orang Amerika.
Di bawah kulit sama saja. Kalimat itu pernah diucapkan pula, disitir oleh Presiden Eisenhouwer.
Fase pertama itu, Tuhan manusia. Saya ulangi, bukan Tuhan yang sebenarnya, yang tepat. Dia
punya begrip itu manusia mengira Tuhan guntur, Tuhan air sungai, Tuhan angin. Contoh dari
restan-restan kepercayaan ini tadi saya sebutkan. Di India orang masih menyembah sungai
Gangga. Di Jawa lampor. Zaman dulu orang Yogyakarta kalau ada angin dari selatan meniup:
lampor, lampor, lampor. Bahkan di kota Yogyakarta orang pasang lentera di luar rumah.
Fase kedua, manusia hidup dari peternakan. Pindah bentuknya ia punya Tuhan, terutama sekali
berupa binatang. Oleh karena binatanglah yang memberi susu, daging, kulit kepadanya, oleh
karena hidupnya sebagian besar tergantung kepada binatang. Ia punya Tuhan lantas dirupakan
binatang. Ia malahan mengatakan kepada orang yang masih menyembah batu: masak batu
disembah, pohon disembah, sungai disembah. Ini Tuhan yang betul, berupa binatang. Bangsa
Mesir zaman dulu menyembah binatang, sapi yang bernama Apis, atau burung yang bernama
Osiris. Bahkan di India sampai sekarang masih ada restan penyembahan binatang. Di daerah
yang masih memegang adat kuno, jika saudara mengganggu seekor sapi, saudara dibunuh. Sapi
adalah binatang keramat. Begitu keramatnya sampai tahi sapi dikeramatkan. Bukan saja sapi
boleh masuk toko, masuk di mana-mana. Orang India yang masih kolot, sakit misalnya, minta
tahi sapi yang masih hangat dicampur air, dan airnya dipercikkan kepada orang yang sakit.
Wanita India yang masih kolot, tiap pagi sebelum membuat api untuk membuat roti bakar,
sekeliling dapurnya disiram dengan air tahi sapi. Yah, oleh karena dia anggap ini keramat. Pagar
menolak segala bahaya. Ini adalah restan dari zaman manusia yang masih hidup terutama sekali
di alam peternakan.

cxxxi
Tingkat ketiga, manusia hidup dari pertanian. Pindah, saudara-saudara, dia punya begrip
daripada Tuhan itu, kepada sesuatu zat yang menguasai pertanian. Timbul Dewi Laksmi, timbul
Dewi Sri, timbul Saripohaci di tanah Pasundan. Dewi-dewi yang memberkati pertanian. Sebab
pertanian adalah satu onzekere factor, tergantung dari iklim, tergantung kepada kering atau
hujan, tergantung dari banyak hal. Kalau orang tani sudah menanam tanamannya, tidak lain ia
lantas memohon. Ini adalah salah satu corak dari tiap bangsa agraris. Tentu ia hidup di dalam
alam kata kanlah keagamaan, ketuhanan, religieus, tiap-tiap bangsa agraris, oleh karena segala
sesuatu tergantung kepada onzekere factoren, yang mengenai iklim. Sesudah ditanam padinya,
kalau untung, bisa memiliki hasilnya. Kalau kebanyakan hujan, mati tanamannya. Oleh karena
itu ia memohon. Nah, Tuhannya itu lantas dibentukkan sesuatu yang berhubungan dengan
pertanian, Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci, godinnen van de landbouw. Malahan dibentukkan
manusia. Tetapi di dalam alam pertama, tidak selalu dibentuk-kan manusia, pohon ya pohon,
kayu ya kayu yang disembah. Sungai ya sungai yang disembah, belum dibentukkan manusia. Di
dalam alam kedua, peternakan juga belum dibentukkan manusia. Sapi ya sapi. Buaya ya buaya.
Buaya disembah di alam Mesir yang dulu. Coba lihat lukisan-lukisan Mesir dulu.
Pelanduk ya pelanduk, ular ya ular. Tetapi di dalam alam ketiga, bentuk “Tuhan”, yang manusia
sembah, dibentukkan manusia. Dalam ilmu pengetahuan dinamakan anthropromorph. Anthropus
adalah manusia, morph adalah bentuk. Berbentuk manusia. Berbentuk Dewi Laksmi, manis.
Coba lihat patung Sri, Dewi Laksmi, manis. Di dalam pikiran, dewi-dewi ini, manis.
Anthropromorph. Demikianlah perpindahan begrip manusia daripada Tuhannya. Batu pindah
kepada sapi, sapi pindah kepada anthropus, dewi.
Di dalam alam keempat, yang orang buat alat, siapa yang menjadi penentu daripada alam
pembuatan alam itu. Penentunya ialah terutama sekali akal. Akal, akallah yang melahirkan sabit,
bajak, jarum. Uitvindingen yang waktu itu masih sangat primitif, tapi toh uitvinding daripada
akal.
Tuhan manusia di dalam taraf keempat ini, adalah terutama bcrsarang di sini, di akal. Yang
tadinya berupa batu pindah berupa sapi, berupa dewi, di dalam alam keempat itu menjadi gaib.
Gaib artinya tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Tadinya masih bisa diraba, batu bisa diraba,
sungai bisa, sapi bisa. Dewi bisa diraba. Malahan di zaman Yunani, diadakan kontes, tiap tahun,
siapa yang dijadikan dewi. Dan si manusia itu yang disembah. Seorang gadis cantik didewikan,
diadakan satu pemilihan di kalangan alimulama zaman itu, ini dewi. Salah satu contoh yang

cxxxii
sampai sekarang masih ada yaitu patung Aphrodite buatan Praxiteles. Praxiteles seorang
pembuat patung yang pandai sekali, membuat patung wanita Aphrodite, Dewi Asmara yang
sampai sekarang kalau orang melihat patungnya itu, bukan main. Tetapi ia membuat patung itu
dari apa, modelnya apa, apakah ciptaan? Tidak. Betul-betulan. Pada satu hari di tempatnya itu
ada pemilihan dewi Asmara, seorang wanita yang cantik, dikeramatkan menjadi dewi Asmara.
Dan ahli seniman ini membuat patung, modelnya, dus, benar-benar wanita itu, materi, zuiver
mens, dan ia namakan patung ini Aphrodite.
Alam keempat gaib. Tuhan dimasukkan di dalam alam gaib. Tuhan di mana? Tidak kelihatan
tidak bisa mata melihatnya. Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib. Oleh karena akallah
menjadi penentu daripada hidup manusia.
Fase yang terakhir, industrialisme. Di situ malahan lebih daripada digaibkan. Karena di situ
manusia merasa dirinya atau sebagian daripada manusia merasa dirinya Tuhan. Di dalam alam
industrialisme itu apa yang tidak bisa dibikin oleh manusia. Mau petir, aku bisa bikin petir. Aku,
aku, aku bisa bikin petir. Menara yang tinggi, aku isi electrisiteit sekian milyun volt, aku buka
dia punya stroom, petir. Aku bisa membuat petir.
Mau apa? Mau suara dikirim ke Amerika? Aku bisa mem-buatnya. Mau hujan? Sekarang ada
pesawat-pesawat pembikin hujan. Mau outer space, keluar daripada alam ini? Aku bisa, aku akan
menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa! Tuhan, persetan, tidak ada Tuhan itu. Lucunya di situ!
Sebagian daripada manusia berkata: Tuhan, tidak ada. Saudara-saudara bisa mengikuti analisa
ini? Batu atau pohon, pindah binatang, pindah dewi atau dewa, pindah ada Tuhan tetapi tidak
bisa dilihat, gaib.
Nomor lima, sebagian daripada manusia, de heersers van de industrie, de geleerden, banyak yang
berkata: tidak ada Tuhan. Hilang sama sekali begrip itu.
Nah, ini bagaimana? Saya menyelami masyarakat Indonesia, dan pada garis besarnya, grootste
gemene deler dan kleinste gemene veelvoud, saya melihat, bahwa bangsa Indonesia percaya pada
adanya satu zat yang baik, yaitu Tuhan. Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan tetapi
sebagai grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud, bangsa Indonesia percaya kepada
Tuhan. Dan tadi saya berkata het kan niet anders, oleh karena masyarakat Indonesia pada dewasa
ini sampai kepada penggalianpenggalian ke dalam, terutama sekali masih hidup di dalam alam
perpindahan keempat, tiga keempat, dan empat kelima, sebagian besar masih agraris, dan tiap-
tiap bangsa yang agraris, mempunyai kepercayaan. Sebagian hidup di dalam alam kerajinan.

cxxxiii
Tadipun saya terangkan, rakyat yang hidup di dalam alam nijverheid, pada garis besarnya
percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan yang gaib. Sebagian kecil yang telah hidup di dalam alam
industrialisme itu. Tetapi itu bukan lagi corak daripada keseluruhan tingkat masyarakat kita.
Tingkat masyarakat kita pada saat sekarang ini, terutama sekali ialah sebagian agraris, sebagian
nijverheid, dan baru kita melangkah sedikit ke alam industrialisme.
Mengingat ini semua, het kan niet anders of kita ini harus satu rakyat yang mempunyai
kepercayaan. Dus, kalau aku memakai Ketuhanan sebagai satu pengikat keseluruhan, tentu bisa
diterima. Sebaliknya kalau saya tidak memakai Ketuhanan ini sebagai satu alat pengikat salah
satu elemen, daripada meja statis dan Leitstar dinamis itu, maka saya akan menghilangkan atau
membuang satu elemen yang bindend, bahkan masuk betul-betul di dalam jiwanya bangsa
Indonesia. Kalau saudara tanya kepada saya persoonlijk, apakah Bung Karno percaya kepada
Tuhan. Ya, saya ini percaya dan tadi saya sudah berkata saya ini orang Islam. Bahkan saya betul-
betul percaya kepada agama Islam. Saya percaya dengan adanya Tuhan. Lho la kok manusia itu
dulu menyembah patung, sapi, dewa atau dewi, kemudian gaib. Apa Tuhan itu berubahubah?
Tidak! Bukan Tuhannya yang berubah-ubah. Zat ini tidak berubah-ubah, tetapi yang berubah-
ubah ialah begrip manusia. Begrip manusia itu yang berubah-ubah, tergantung kepada fase
hidupnya, cara hidupnya. Tuhannya tetap ada, cuma dikira oleh manusia zaman itu, Tuhan itu
beledek, atau air laut yang bergelora. Atau suara burung di dalam malam gelap gelita, itu dikira
suara Tuhan. Demikian pula orang di dalam alam peternakan mengira bahwa Tuhan berupa sapi.
Atau orang di dalam alam pertanian mengira Tuhan berupa Dewi Sri. Di dalam alam nijverheid,
orang memberikan mahligai kepada akal, ya Tuhan ada, tetapi tidak bisa bilang, di mana. Dan
orang yang sudah bisa memecahkan atom, ada yang berkata: nonsens Tuhan, aku bisa membuat
atom, aku bisa menguasai langit. Pengiraan manusia yang berubah, Tuhannya tetap.
Aku pernah memberi satu gambaran seekor gajah di dalam kuliah saya di Candradimuka. Ada
lima orang, kelima-limanya buta dan belum pernah melihat gajah, karena butanya. Mereka
datang pada seseorang yang mempunyai gajah. He, kami lima orang kepingin tahu gajah. Boleh.
Gajahnya besar, dikeluarkan dari kandangnya. Nah ini gajah yang berdiri di muka saudara-
saudara. Coba saudara A, kalau mau tahu gajah, peganglah gajah itu. Si A maju ke muka,
dipegangnya dan mendapat belalai gajah. Ditanya oleh yang punya gajah: Bung, bagaimana
bentuk gajah? Jawabnya, gajah itu seperti ular. Padahal dia hanya mendapat belalai. B maju ke
muka dan ia meraba-raba mendapat kaki gajah. Gajah itu kok begini, empuk, tetapi seperti pohon

cxxxiv
kelapa. C maju ke muka, orangnya tinggi, pegang-pegang, dapat telinga gajah. Ya, gajah itu
seperti daun keladi, pak. Keempat, seorang agak kerdil, pegang-pegang, dapat ekor gajah. Seperti
pecut, cemeti. Nomor lima yang paling kerdil, maju ke muka, di bawahnya gajah. Tidak dapat
pegang apa-apa. Mana gajahnya? Itu gajahnya, di atas Bung itu gajah. O, gajah itu seperti hawa.
Begrip manusia kepada Tuhan juga demikian. Tadi seorang mengira gajah seperti belalai, satu
mengira tidak ada. Tetapi gajah, ada. Cuma begrip manusia yang berbeda-beda.
Nah, saudara-saudara, demikian pula kalau saudara tanya kepada saya, Tuhan bagi saya ada.
Malahan bagi saya Tuhan adalah suatu reeel iets. Di dalam tiap-tiap saya sembahyang, saya
bicara kepada Tuhan, dan saya sering minta apa-apa kepada Tuhan dan Tuhan kasih kepada saya.
Dan itu memperkuat kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu ada. Ini cerita persoonlijk: saya sering
mendapat peringatan dari Tuhan berupa impian. Kalau saya mimpi, dan mimpi itu saya rasa, ini
mimpi-mimpi betul, biasanya keesokan harinya terjadi. Bagi lain orang, lain, barangkali terjadi-
nya itu lain bulan dan sebagainya. Bagi saya, praktik saya, kalau saya sudah mimpi dan saya
merasa betul ini bukan impi-impian, kontan keesokan harinya terjadi. Hal-hal yang semacam itu
memberi keyakinan kepada saya bahwa Tuhan ada.
Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis besarnya, telah saya
gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah saya lihat dari sejarah keagamaan, pada
garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita
kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh
semua golongan agama di Indonesia ini. Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita
membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara
yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu
Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi
Leitstar kita yang utama, untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang
mengejar kebaikan. Bukan saja meja statis, tetapi juga Leitstar dinamis menuntut kepada kita
supaya elemen Ketuhanan ini dimasuk-kan. Dan itulah sebabnya maka di dalam Pancasila
elemen Ketuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan tegas.
 

cxxxv
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
III. Kursus Presiden Soekarno Tentang Pancasila di Istana Negara, Tanggal 5 Juli 1958.
 
Saudara-saudara sekalian, saya ikut bergembira bahwa Saudara-saudara meski malam ini adalah
malam Minggu dan di beberapa tempat di Jakarta hujan, Saudara-saudara toh memerlukan
datang dalam kursus ini.
Malam ini hendak saya kupas sila Kebangsaan.
Urut-urutan yang biasa saya pakai untuk menyebut kelima sila daripada Pancasila itu ialah:
Ketuhanan Yang Maha Esa; Kebangsaan nomor dua; Perikemanusiaan nomor tiga; Kedaulatan
Rakyat nomor empat; Keadilan Sosial nomor lima. Ini sekadar urut-urutan kebiasaan saya.
Ada kawan-kawan yang mengambil urut-urutan lain yaitu meletakkan sila Perikemanusiaan
sebagai sila yang kedua dan sila Kebangsaan sebagai sila ketiga. Bagi saya prinsipiil tidak ada
keberatan untuk mengambil urutan-urutan itu. Saya sendiri biasa menyebut sila Kebangsaan itu
sebagai sila yang kedua dan Perikemanusiaan sebagai sila yang ketiga.
Saudara-saudara, saya ulangi bahwa Pancasila adalah dasar negara. Hal ini saya tandaskan oleh
karena kadang-kadang justru mengenai Kebangsaan ada pihak-pihak yang berkata: “Kami tidak
memerlukan paham atau pendirian kebangsaan”. Misalnya di kalangan kaum internasionalis
Marxis, yang menurut anggapan saya; yang kurang mengerti betul tentang Marxixme. Saya
ulangi, di kalangan internasionalis Marxis yang menurut anggapan saya kurang mengerti betul
akan Marxisme, ada yang berkata: “Kebangsaan atau paham kebangsaan adalah salah, adalah
bertentangan dengan internasional-isme, bertentangan dengan idee persaudaraan umat manusia
sedunia. Kebangsaan, paham kebangsaan adalah satu paham yang salah, paham yang telah
membangunkan pertentangan-pertentangan dalam dunia umat manusia, paham yang kadang-
kadang sampai menjadi sebab daripada peperangan-peperangan”. Demikianlah maka mereka
yang belum dalam di dalam pengertian tentang Marxisme itu ada yang menentang hal
kebangsaan itu.
Ada pula golongan-golongan daripada pihak agama, misalnya, kadang-kadang dari pihak agama
ada orang-orang berkata: “Agama tidak mau menerima paham kebangsaan. Apalagi agama
Islam, tidak mau menerima paham kebangsaan. Agama Islam hanya mengenal umat manusia.
Maka karena itu agama Islam menolak paham kebangsaan. Di dalam agama Islam, siapapun, dari
bangsa apapaun, asal dia taat taqwa kepada Tuhan, itulah kita punya saudara. Meski kulitnya

cxxxvi
hitam, meski kulitnya putih, meski kulitnya kuning, meski kulitnya merah-sawo, kami tidak
membuat perbedaan antara bangsa dengan bangsa. Kami hanya membuat perbedaan antara taqwa
kepada Tuhan atau tidak taqwa kepada Tuhan”.
Saudara-saudara, itulah sebabnya maka tadi saya dengan segera menandaskan kepada Saudara-
saudara bahwa Pancasila, dus kebangsaan, paham kebangsaan adalah dasar Negara. Dus ada
perbedaan yang tegas antara “keperluan Negara sebagai Negara” dan “urusan Agama”.
Saya terangkan sebagai berikut: Saudara melihat di dalam jumlah umat manusia di dunia ini
yang jumlahnya 2.600 atau 2.700 juta manusia. Saudara melihat 2.600 atau 2.700 juta manusia
itu terbagi dalam golongan-golongan, golongan-golongan yang besar yang berwarna-warna
kulitnya. Ada golongan besar yang berkulit putih, ada golongan besar yang berkulit hitam, ada
golongan besar yang berkulit kuning, ada golongan besar yang berkulit merahsawo dan lain
sebagainya. Bahkan ada golongan-golongan yang lebih kecil yang dinama-kan oleh kita suku-
suku.
Ini adalah satu fact. satu kenyataan yang tidak bisa dibantah oleh siapapun juga. Di atas dasar
fact ini kita tidak boleh tidak harus mengakui adanya bangsa dan kebangsaan. Ditinjau dari sudut
apapun. Baik ditinjau dari sudut politik, maupun ditinjau dari sudut agama, fact ialah bahwa
umat manusia ini bergolong-golong dalam beberapa macam bangsa, bahkan bergolong-golong
dalam beberapa macam suku. Agama boleh, dan factnyapun begitu. Agama bercita-citakan
persaudaraan seluruh manusia, bercita-citakan persaudaraan antara si kulit hitam dengan si kulit
putih, dengan si kulit kuning, dengan si kulit merah-sawo. Demikian pula persaudaraan antara
golongan besar si kulit putih dengan golongan besar si kulit hitam atau golongan besar si kulit
kuning dan merah-sawo. Tetapi dalam pada itu agama itu juga mengakui fact bahwa ada orang
kulit hitam, bahwa ada orang kulit putih, bahwa ada orang kulit kuning, bahwa ada orang kulit
merah-sawo. Demikian pula agama tak dapat memungkiri adanya fact golongan-golongan itu
tadi.
Negara, Saudara-saudara, adalah lain urusan. Negara sebagai tempo hari saya terangkan: Negara
adalah satu machts-organisatie, satu organisasi kekuasaan; atau sebagai yang saya sebutkan di
dalam amanat saya kemarin dulu pada waktu PNI memperingati usia 3 1 tahunnya: Negara
adalah satu alat, alat perjuangan. Alat atau alat perjuangan organisasi. Machts-organisatie yang
diorganisirkan di atas satu wilayah, yang di atas wilayah itu ada manusiamanusianya.

cxxxvii
Negara tidak bisa diorganisirkan di langit. Negara tidak bisa diorganisirkan tidak di atas satu
wilayah, tidak dengan manusiamanusia yang berdiam di atasnya. Karena itu bagi tiap-tiap stu-
dent, mahasiswa-mahasiswa dalam Ilmu Negara sudah bukan satu teka-teki lagi, bahwa syarat
mutlak daripada negara antara lain ialah wilayah, territoor yang tegas nyata batas-batasnya.
Demikian pula syarat mutlak daripada negara antara lain adalah rakyat yang berdiam di atas
wilayah itu. Negara yang tidak mempunyai wilayah yang tegas batas-batasnya, pada hakekatnya
bukan ncgara, meskipun di atas wilayahnya itu ada rakyat. Misalnya di padang pasir, Saudara-
saudara menemukan juga manusiamanusia, tetapi manusia-manusia itu hidupnya nomadis, tidak
tentu tempatnya. Daripada nomaden-nomaden yang hidupnya tidak tentu tempatnya itu tak
mungkin disusun satu Negara.
Karena itu ilmu kenegaraan, saya ulangi lagi: syarat mutlak pertama ialah territoor yang dapat
tegas digambarkan di atas peta. Nomor dua rakyat; bahkan jikalau hendak sempurna rakyatnya
itu harus satu bangsa, satu volk-nation. Ini dua syarat.
Syarat yang ketiga mutlak pula untuk bernama negara ialah pemerintah. Pemerintahan pusat, satu
pemerintahan yang ditaati oleh seluruh rakyat yang berdiam di atas territoor yang jelas terbatas
itu. Ini adalah tiga syarat mutlak daripada negara. Ditambah dalam ilmu negara modern sebagai
tempo hari pun diterangkan oleh Saudara Prof. Muhammad Yamin: negara modern harus
mempunyai syarat yang keempat pula, yaitu tujuan. Kita mempunyai Negara memenuhi akan
yang keempat ini, yaitu yang kita namakan Pancasila.
Tujuan kita ialah realisasi daripada Pancasila. Karena itu saya ulangi lagi berkata: Pancasila
adalah dasar Negara.
Agama boleh berkata tidak mengenal Kebangsaan. Tetapi negara, jikalau ia hendak sempurna
harus berdasarkan atas volknation sebagai tadi saya katakan. Demikian pula di dalam pengertian
Marxisme. Memang tujuan daripada perjuangan sosialisme ialah kesejahteraan semua manusia,
persaudaraan sernua manusia atau dengan istilah tertentu dinamakan internasionalisme. Tetapi
justri Marxisme yang sejati, artinya Marxisme yang sebenarbenarnya, berdiri di atas analisa-
analisa yang obyektif dan dalam analisa yang obyektif ini Marxisme mengakui adanya bangsa-
bangsa. Maka oleh karena itu di dalam realisasi daripada masyarakat sosialis. sebagai yang di
dalam zaman sekarang dijalankan oleh beberapa negara, fakta adanya bangsa-bangsa initidak
pernah dipungkiri bahkan diterima sebagai satu realiteit objectief.

cxxxviii
Saudara-saudara, saya ulangi, apalagi kita, yang kita ini mendirikan satu negara yang modern,
satu negara yang sempurna – hendaknya sempurna -, bagi kita yang bercita-citakan negara yang
sempurna itu tidak boleh tidak kita harus mempergunakan sebagai dasar salah satu daripada lima
ini, yaitu Kebangsaan.
Terutama sekali bagi satu golongan manusia yang berabadabad mengalami persamaan
penderitaan dan pengalaman, bagi golongan manusia yang demikian itu, in casu yaitu rakyat kita,
rasa kebangsaan bukan lagi satu cita-cita, tetapi satu fakta obyektif.
Segerombolan manusia yang, bagi kita, jumlahnya 82 juta – 85 juta, yang mengalami
penderitaan-penderitaan bersama, pengalaman-pengalaman bersama, gerombolan manusia yang
banyak ini laksana mempunyai jiwa yang sama. Jiwa yang sama itu antara lain berupa rasa
kebangsaan.
Saya sudah beberapa kali di dalam kuliah-kuliah atau ceramah-ceramah mensitir ucapan Ernest
Renan, mahaguru dari Universitas Sorbonne di Paris yang berkata, bahwa bangsa adalah satu
jiwa une nation est un ame. Artinya: bangsa adalah jiwa. Di lain tempat Renan berkata: une
nation est un grand solidarite, satu bangsa adatlah satu solidariteit yang besar. Menurut teori
Renan, bangsa atau kebangsaan tidak bergantung daripada persamaan bahasa. Tidak usah sesuatu
bangsa itu bahasanya satu.
Kalau bahasanya satu, lebih kuat rasa kebangsaannya. Tetapi bahasa satu itu bukan mutlak bagi
bangsa. Saya ulangi: kalau bahasanya satu lebih hebat rasa kebangsaannya, seperti kita ini. Kita
ini amat berbahagia bahwa kita itu mempunyai bahasa satu.
Di India sulit sekali hal bahasa ini. Sampai sekarang ada pertikaian hebat di kalangan pemimpin-
pemimpin India, apa yang harus dijadikan bahasa satu ini di India.
Shri Jawaharlal Nehru berkata: “Marilah kita angkat bahasa Hindustani menjadi bahasa yang
satu ini”. Tetapi banyak sekali daerah-daerah yang rakyatnya tidak paham bahasa Hindustani.
Ada lagi lain golongan yang berkata: “Marilah kita angkat bahasa Urdu sebagai bahasa satu
daripada Negara India”. Tetapi ditentang oleh banyak daerah-daerah yang tidak mengerti bahasa
Urdu, melainkan berbahasa Hindu. Urdu itu adalah satu modifikasi daripada bahasa Arab. Soal
bahasa satu ini demikian sulitnya di India. Saudara-saudara, sampai salah seorang pemimpin
besar India yaitu Raja Gopalachari, yang dahulu tatkala India menjadi dominion, tahun 1947,
India, Benua India pecah menjadi dua: India dan Pakistan.

cxxxix
Dua-duanya dominion status, dua-duanya dikepalai oleh Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal
yang pertama daripada India ialah Shri Raja Gopalachari. Dan dia memang seorang pemimpin
yang sudah tua, lama di dalam pergerakan kebangsaan, pengikut mati-matian dari Mahatma
Gandhi – Raja Gopalachari sekarang ini sedang di dalam perjuangan hebat berhadap-hadapan
dengan Shri Jawaharlal Nehru tentang bahasa. Nehru menghendaki bahasa Hindustani sebagai
bahasa yang satu.
Raja Gopalachari berkata: “Tidak mungkin, tidak mungkin Hindustani dijadikan bahasa satu,
tidak mungkin Urdu dijadikan bahasa yang satu bagi bangsa India”. Raja Gopalachari berkata:
“Satu-satunya bahasa yang bisa dipakai sebagai bahasa yang satu itu ialah bahasa Inggris.
Perjuangan ini adalah perjuangan hebat yang mulai pecah sejak tahun 1956 – 1957, sekarang ini
sedang berkobar dengan hebatnya. En toh, meskipun soal bahasa belum terpecahkan, artinya
orang India ada yang bicara Urdu, ada yang bicara Hindustani, ada yang bicara Tamil, ada kaum
intelligensia yang hanya memakai bahasa Inggris, en toh kebangsaan India ada, ialah oleh karena
itu tadi, une nation est un ame, bangsa adalah jiwa.
Atau ambil Swis. Swis adalah satu bangsa. bahasanya tiga kalau tidak empat. Ada satu golongan
Swis bicara Perancis, satu golongan lagi bicara Jcrman, satu golongan lagi bicara Italia. Amerika
yang terdiri daripada imigran-imigran tadinya, imigranimigran ada yang berasal dari daerah
Jerman, ada yang berasal dari daerah Inggris. ada yang berasal dari daerah Italia, ada yang
berasal dari daerah Perancis, ada yang berasal dari daerah Skandinavia. Bahasa yang dipakai di
Amerika, ya sebagian besar sudah lnggris, tetapi saya sendiri sering berjumpa dengan orang
Arnerika, waktu saya di Amerika, tidak bisa bicara Inggris. Masih memakai bahasa asalnya dari
Eropa. Jadi sudah nyata, bahwa natie, bangsa tidak tergantung daripada persatuan bahasa.
Demikian pula tidak tergantung daripada persatuan agama. Lihat saja kita. Kita ada yang
beragama Islam, ada yang beragama Kristen. Lihat di Mesir. Di Mesir ada yang beragama Islam,
ada yang beragama Kristen. Lihat di RRC, ada yang beragama Islam, ada yang beragama Budha.
Lihat di negeri lain-lain. Jadi menurut Ernest Renan, mutlak bangsa tidak memerlukan persatuan
bahasa, tidak memerlukan persatuan agama, bahkan tidak memerlukan persatuan turunan.
Contoh baik Amerika, kataku Amerika itu terjadi daripada macam-macam imigran-imigran.
Turunan daripada beberapa bangsa pergi ke situ, tetapi menjadi satu bangsa. Dus bangsa adalah
satu jiwa.

cxl
Apakah yang mengikat manusia itu menjadi satu jiwa? Kalau rnenurut Ernest Renan, yang
menjadi pengikat itu ialah kehendak untuk hidup bersama. Dalam bahasa Perancisnya: Le desir
d’ etre ensemble. Le desir yaitu kehendak, d’ etre ensemble, berkumpul. Le desir d’ etre
ensemble, artinya kehendak supaya berkumpul bersama, kehendak untuk hidup bersama. Jadi
gerombolan manusia meskipun agamanya berwarna macam-macam, meskipun bahasanya
bermacam-macam, meskipun asal turunannya bermacam-macam, asal gerombolan manusia itu
mempunyai kehendak untuk hidup bersama. itu adalah bangsa. Itu kata Ernest Renan.
Di dalam pidato-pidato, kuliah-kuliah saya mengenai hal natic, saya scring juga mensitir seorang
ahli ilmu lain, yaitu teoritikus marxis. Di dalam ilmunya, ia marxis, tetapi di dalam sepak
terjangnya ia adalah haluan kanan. Yaitu marxis dari Austria. Saya ceriterakan menyimpang
sedikit. Marxis Austria itu di dalarn istilah gerakan buruh di Eropa dikatakan: “kaum inter-
nasional dua setengah”. Dahulu kaum buruh Eropa Barat tergabung di dalam Internasionale 11.
Mula-mula Internasionale I, yang dibangunkan oleh Marx, Engels dan pemimpin-pemimpin tua.
Internasionale I pada suatu ketika surut, bubar. Dibangunkan lagi Internasionale baru, yaitu
ikatan-ikatan daripada gerakangerakan kaum buruh daripada beberapa negara. Ini dinamakan
Internasionale 11. Kemudian sesudah di Sovyet Unie berdiri Sovyet Unie, didirikanlah
Internasionale III yang haluannya terkenal sebagai haluan bolsjewik atau komunis. Kaum marxis
Austria berdiri di tengah-tengah antara kaum sosialis internasionale 11 dan kaum internasionale
111. Maka oleh karena itu dicemooh oleh kedua pihak dan dikatakan: “Kamu adalah kaum
Internasionale dua setengah”.
Pemimpin-pemimpin daripada kaum “Internasionale dua setengah” ini banyak yang teoritis.
Kupasan-kupasannya secara akademis mendalam, tetapi di dalam tindakan-tindakannya sering
sekarang di sini, sekarang di situ. Oleh karena itulah dia berdiri di tengah-tengah Internasionale
II dan Internasionale III. Pemimpinpemimpin mereka, theoretisi daripada “Internasionale dua
setengah” ini antara lain ialah Fritz Adler, antara lain pula Otto Bauer. Adler terkenal dengan
kupasannya tentang demokrasi, yang malahan sering saya tirukan ucapan Adler ini: “Demokrasi
yang kita kejar janganlah hanya demokrasi politik saja, tetapi kita harus mengejar pula
demokrasi ekonomi”. Dan Adler lah yang memberi istilah kepada demokrasi politik ekonomi ini,
yang saya pakai di dalarn kuliah saya di Yogyakarta di hadapan para mahasiswa. yaitu sociale
democratie. Dus Adler berkata sociale democratie adalah politiek economische democratie, sama
rata sama rasa di dalam lapangan politik dan dalam lapangan ekonomi. Ucapan Adler yang

cxli
sering saya sitir ialah bahwa demokrasi politik saja tidaklah cukup. “Men kan de honger van een
bedelaar niet stillen door henl een grondwet in de hand te stoppen”. Orang tidak bisa
menghilangkan rasa laparnya seorang pengemis dengan hanya memberikan padanya Undang-
Undang Dasar. Undang-Undang Dasar itu adalah politieke democratie. Menurut UUD engkau
sama dengan engkau. Menurut UUD engkau sama-sama mempunyai hak memilih. Menurut
UUD engkau sama-sama mempunyai hak dipilih. Menurut UUD engkau boleh sama-sama
mengeluarkan engkau punya pikiran. Menurut UUD engkau boleh menjadi menteri, engkau
boleh menjadi hakim, engkau boleh menjadi apapun. Sama rata sama rasa menurut UUD.
Ini adalah demokrasi politik. Dalam kenyataannya, ondanks Undang-Undang Dasar ini, si kaya
tetap mengeksploitir si miskin. Dalam kenyataannya tidak ada demokrasi ekonomi, tidak ada
sama rasa sama rata di lapangan ekonomi. Karena itu Adler berkata: “Men kan de honger van
een bedelaar niet stillen door hem een grondwet in de hand te stoppen”. Orang tidak bisa
menghilangkan laparnya seorang pengemis dengan memberi Undang-Undang Dasar di dalam
tangannya. Maka ia berkata: harus ada demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dan
demokrasi politik dan demokrasi ekonomi ini dicakup di dalam satu perkataan “sociale
democratie”. Perbedaan dengan arti “sosial demokrasi” yang tempo hari di dalam kuliah di
Yogyakarta saya terangkan, sosial demokrasi adalah satu aliran dalam sosialisme. Sosialisme itu
bermacam-macam corak: ada relegieus sosialisme, kataku, ada utopistis sosialisme, ada
bolsjewisme atau komunisme, ada sosial demokrasi.
Di kuliah saya di Yogyakarta sudah saya tegaskan. sosial demokrasi bcrpendapat bisa
menggugurkan kapitalisme dengan “uithollingstactiek”. Pihak kiri berkata: “neen, kapitalisme
tidak bisa gugur dengan uithollingstactiek, tetapi harus digugurkan pada suatu ketika dengan
aksi, directe actie, greep naar de macht dari pada kaum buruh”.
Ini menyimpang sebentar menceritakan hal Adler. Adler itu dalam teorinya baik, tetapi di dalam
aksinya selalu satu kali di sana, lain kali di situ, satu kali di sini lain kali di situ.
Lain teoretikus ialah Otto Bauer. Otto Bauer di dalam kupasannya terutama sekali mengenai
persoalan bangsa. Adler mengenai persoalan demokrasi. Otto Bauer, persoalan bangsa ia kupas
di dalam kitabnya yang termasyhur: Die Nationalitaten Frage und die sociale Demokratie. Ia
kupas apa yang dinamakan bangsa sebagaimana juga Ernest Renan mengupas apa yang di-
namakan bangsa itu. Bauer berkata, – saya sitir dulu ucapannya: “Eine Nation ist eine aus
schicksal Gemeinshaft erwachsene charakter Gemeinschaft”. Bahasa Belandanya dulu: wat is

cxlii
een natie? Een natie is een karakter-gemeenschap dat geboren is uit een natie? Een natie is een
karakter-gemeenschap dat geboren is uit een gemeenschap van lotgevallen. Natie adalah satu
karaktergemeenschap dat goberon is uit een gemeenschap van lotgevallen. Eine aus Schicsal
Gemeinschaft erwachsene charakter Gemeinschaft. Bahasa Indonesianya: “Bangsa adalah satu
persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir,
terjadi karena persatuan pengalaman”. Een karakter-gemeenschap sama karakternya, dat goberon
is uit een gemeenschap van lotgevallen. Karakter-gemeenschap geboren daripada Schicksal-
Gemeinschaft, – Schicksal itu artinya lotgeval, nasib, pengalaman. Satu persatuan, persamaan
watak atau karakter yang timbul, tumbuh, terjadi daripada persatuan pengalaman, persatuan
nasib. Ini definisi daripada Otto Bauer. Dus sesuai dengan Ernest Renan. la membantah mutlak
perlunya persatuan bahasa, membantah mutlak perlunya persatuan agama, membantah mutlak
perlunya pcrsatuan warna kulit, membantah mutlak perlunya persatuan keturunan. Tidak,
meskipun agamanya berlain-lainan, meskipun warna kulitnya berlain-lainan, meskipun
bahasanya berlain-lainan asal ia tadinya, yaitu gerombolan manusia itu, mengalami bertahun-
tahun, berpuluh-puluh, beratusratus tahun rnungkin mengalami nasib yang sama, maka karena
rnengalami nasib yang sama itu akan tumbuh persatuan watak dan persatuan watak inilah yang
menentukan sifat bangsa.
Memang sebagai yang saya sering sudah di dalam pidato-pidato saya katakan, bangsa itu adalah
satu individualiteit. Sebagaimana individu mempunyai karakter sendiri-sendiri. Bung Akhmadi
mempunyai karakter sendiri, Overste Pamu mempunyai karakter sendiri, Pak Ahem Erningpradja
mem-punyai karakter sendiri, Saudara Widarbo mempunyai karakter sendiri, Rochmuljati
mempunyai karakter sendiri, Saudara Gontha mempunyai karakter sendiri, tiap-tiap manusia
mem-punyai watak sendiri-sendiri. Demikian pula bangsa mem-punyai watak sendirisendiri.
Tempo hari sudah saya katakan hal itu di dalam kursus saya, – kalau tidak salah – bangsa Italia,
karakternya artistik, corak jiwanya itu artistik. Bangsa India, karakternya, wataknya, corak
jiwanya religieus. Ini bangsa Italia dan India. Bangsa Inggris karakternya haus kepada
kekuasaan. Ya, power, power, bahkan ia mempunyai ik-heid selalu di atas. Orang Inggris tidak
mau menulis I (ik) dengan, leter i (kecil), tapi leter I (besar). Bangsa Perancis tenlpo hari saya
katakan karakternya suka pada pakaian ginding. Sampai kepada salam dan lain-lain – di sini,
entah rapat apa tempo hari itu – saya katakan kalau orang Inggris berkata, bertanya: “Hoe are
you?” Bagaimanakah engkau? Individualiteitmu? Orang Belanda berkata: “Hoe vaart u?” Oleh

cxliii
karena karakternva suka belajar. Orang Perancis berkata. dalam bahasa Pcrancis: “Comment
vous portcz vous?” Bagaimana pakaian Tuan? Orang Tionghoa yang selalu menderita bahaya
kelaparan, – zaman dulu selalu lapar saja, – bertanya selalu: “Ni hau?” Itu engkau bagaimana,
selamatkah apa tidak engkau itu? Bangsa Indonesia yang selalu hidup tidak ada komunikasi:
“Apa kabar bung?” Tanya kabar!
Dus, saya ulangi lagi, bangsa adalah satu individualiteit. Mempunyai watak sendiri, mempunyai
karakter sendiri. Dan ini yang ditekankan oleh Otto Bauer. Charakter Gemeinschaft, persarnaan
watak itu yang menetapkan, menentukan corak bangsa. Itu yang menentukan bangsa atau bukan
bangsa.
Saya pernah memikirkan hal ini. Ya, sebagai salah satu usaha penggalian, penggalian mutiara
daripada bangsa Indonesia. Bukankah saya selalu berkata: Pancasila itu bukan bikinan saya. Saya
gali sudah bertahun-tahun, bahkan mulai tahun 1925, 1926 saya menggalinya. Saya pikirkan, ini
teori Renan, teori Otto Bauer, itu betul apa tidak. Dan saya sampai kepada konklusi kurang
lengkap! Renan berkata segerombolan manusia yang mempunyai keinginan bersatu, hidup
bersama itu bangsa. Tidak kena! Tidak lengkap. Bawa misalnya ke Indonesia. Di Indonesia
banyak itu gerombolan manusia, yang bukan main ia punya rasa ingin bersatu, ingin bersama,
tetapi bukan itu bangsa. Ambillah misalnya Saudara-saudara, dari Minangkabau. Suku
Minangkabau itu bukan main rasa bersatunya. Le desir d’etre ensemble yang dimaksudkan oleh
Ernest Renan keinginan, kehendak untuk bersatu bersama, sangat kuat di alam Minangkabau.
Tetapi rakyat Minangkabau bukan satu bangsa. Ambil lain daerah. Misalnya daerah Solo sama
Yogya. Itu masing-masing mempunyai rasa sendirisendiri. Tetapi saya tidak mau menerima
rakyat Solo itu bangsa, rakyat Yogya itu bangsa. Ambil Bugis, rakyat Bugis itupun keras ia
punya le desir d’etre ensemble. Atau Minahasa, keras ia punya le desir d’etre ensemble.
Kawamia dengan kawanua. wah. kuat itu! Tetapi sayapun tidak mau menerima bahwa rakyat
Minahasa itu satu bangsa.
Demikian pula kalau saya rnembawa Otto Bauer yang berkata persatuan, persamaan watak yang
dilahirkan karena persamaan nasib. Persamaan watak. Ya Minangkabau wataknya sama, bukan
bangsa. Sunda keras persatuan wataknya, tetapi bukan bangsa. Bugis keras ia punya persatuan
watak, bukan bangsa. Alam kawanua-kawanua keras ia punya persatuan watak, bukan bangsa.
Apa, menurut pendapatan saya, yang dinamakan bangsa itu? Saya lantas menjawab: baik saya
menerima, Renan saya menerima, Otto Bauer saya terima. Tetapi saya tambah dengan satu

cxliv
syarat! “Bangsa adalah segerombolan manusia yang – kalau mengambil Renan – keras ia punya
le desir d’etre ensemble, – kalau mengambil Otto Bauer – keras ia punya charakter
Gemeinschaft, tetapi yang berdiam di atas satu wilayah geopolitik yang nyata satu persatuan.
Apa wilayah geopolitik yang nyata satu persatuan, satu kesatuan, itu apa?
Nah, saudara-saudara, geo dari perkataan geografi, peta, gambarnya. Geopolitik ialah hubungan
antara letaknya tanah dan air, petanya itu, dengan rasa-rasa dan kehidupan politik.
Kalau Saudara melihat letaknya tanah dan air dari peta, Saudara-saudara sudah melihat dengan
gampang sekali kesatuankesatuan. Gampang sekali Saudara melihat unit-unit yaitu kesatuan-
kesatuan. Anak kecil bisa mengerti bahwa misalnya kepulauan Indonesia adalah satu kesatuan,
yang selalu dalam pidato-pidato saya katakan: “Lihat kesatuan kepulauan Indonesia, meskipun
jumlahnya 3.000 yang didiami manusia, 10.000 kalau dihitung yang tidak didiami manusia.
Meskipun berjumlah beriburibu, tetapi tiap-tiap anak kecil mengerti, ini adalah satu unit yang
terletak antara dua sarnudera, dua benua!”
Lihat kepulauan Jepang, tiap-tiap anak kecil bisa mengerti itu adalah satu unit. Lihat bumi India.
di utara gunung Himalava. scbelah barat dan timur lautan Hindia, ini adalah satu unit. A1-
marhum Sarojini Naidu dengan perkataan yang indah berkata – Sarojini Naidu pernimpin wanita
India, pemimpin bangsa, ia berkata: “Pergilah, datanglah ke rumahku yang atapnya terbuat dari
salju, dan yang temboknya terbuat daripada samudera. Come to my home with a roof made of
snow and wall made of the mighty ocean”. Seorang ahli syair yang katanya atapnya, gunung
Himalaya, terbuat dari salju, tembok-tembok, dinding-dindingnya terbuat dari samudera. Tiap
anak kecil bisa mengerti bahwa ini adalah satu unit.
Benua yang terletak di selatan dari gunung Himalaya dan kanan kirinya dekelilingi oleh
samudera Hindia ini. Dengan ini saya sebenarnya membantah bahwa India dan Pakistan itu dua
bangsa. Sebenarnya adalah satu bangsa. Kebetulan agamanya itu berbeda. Tetapi lantas secara
politis oleh Inggris diadakan partition, pembagian: negara Pakistan, negara India. Tetapi ditinjau
dari sudut kebangsaan, Pakistan dan India itu rakyatnya adalah satu bangsa. Demikian pula anak
kecil bisa melihat bahwa Italia itu adalah satu unit. Di utara gunung Alpen, kanan kirinya lautan.
Kepulauan Inggris satu unit, kepulauan yang terletak di sebelah barat daripada benua Eropa. Dus,
bagi saya bangsa adalah segerombolan manusia yang besar, keras ia punya keinginan bersatu, le
desir d’etre ensemble, keras ia punya charakter Gemeinschaft, persamaan watak, tetapi yang
hidup di atas satu wilayah yang nyata satu unit. Kalau sekadar bagian daripada unit, bukan

cxlv
bangsa. Minangkabau bukan bangsa. Sunda bukan bangsa. Solo bukan bangsa. Yogya bukan
bangsa. Bugis bukan bangsa. Madura bukan bangsa. Bali bukan bangsa. Lonlbok bukan bangsa.
Nah, saya tadi berkata bahwa negara jikalau didasarkan antara lain atas rasa kebangsaan, negara
demikian itulah kuat. Maka oleh karena itu kita dengan sengaja memasukkan sila Kebangsaan di
dalam Pancasila kita. meskipun dari sudut agama orang memungkiri hal kebangsaan; meskipun
daripada golongan Marais yang dangkal memungkiri kcbangsaan. Tetapi jelas untuk ncgara yang
kuat kita mesti mendasarkan negara itu atas kebangsaan. Memang garis sejarah menuju ke situ.
Pernah saya ceritakan bahwa di abad ke-20 ini berisi satu historis-paradox. Paradox ialah hal-hal
yang bertentangan satu sama lain. Historis-paradox ialah hal yang tampaknya bertentangan di
dalam sejarah. Abad ke-20 berisi satu historis -paradox, kataku. Apa paradox di abad ke-20?
Paradox-nya ialah, di satu piliak abad ke-20 ini mendekatkan manusia dengan manusia, dengan
perlalulintasan kapal laut, kapal udara, telpon, telegram, radio dan lain-lain sebagainya. Di satu
pihak manusia sedunia ini oleh abad ke-20 itu laksana dikocok menjadi satu famili besar. Di lain
pihak, bangsa-bangsa atau umat-umat manusia ini malahan memisahkan dirinya dalam
gerombolan-gerombolan besar, gerombolan-gerombolan yang mempunyai batas-batas tertentu
dengan berdirinya negara-negara nasional. Rakyat Indonesia menggabungkan dirinya dengan
dalam satu negara nasional Indonesia. Rakyat Mesir menggabungkan dirinya dalam satu
gabungan Negara nasional Mesir. Rakyat RRC demikian, rakyat Philipina demikian, rakyat
Jepang demikian, rakyat India demikian. Dus, paradox ini Saudara-saudara, di satu pihak
menghilangkan batas, di lain pihak malahan membuat batas. Tetapi membuat batas ini Saudara-
saudara, adalah keharusan yang berdiri di atas fakta-fakta obyektif. Apa sebab saya berkata ini
keharusan. Keharusan yang ditentukan oleh susunan masyarakat manusia sekarang, susunan
caranya manusia sekarang memproduksi. Dulu tatkala belum ada industrialisme, tatkala belum
ada susunan ekonomi sebagai sekarang ini, masih bisa manusia-manusia di dunia ini tidak ter-
gabung di dalam negara-negara nasional. Dulu malahan ada negara kecil-kecil, Saudara-saudara.
Oleh karena ekonomi pada waktu itu. dan politik adalah sekadar pencerminan daripada ekonomi;
oleh karena ekonomi pada waktu itu bisa berjalan dengan adanya negara-negara kecil. Saya
punya contoh yang klasik ialah Jennan abad ke-17, abad ke-18; ekonominya masih ekonomi
yang belum industriil-ekonomi seperti di dalam abad ke-19 dan ke-20.
Pada waktu itu Jerman penuh dengan negara-negara kecil. Saksen negara, Beieren negara,
Mecklenburg negara, negara kecil-kecil. Pruisen yang terbesar, tetapi masih kecil pula. Ada

cxlvi
negara Pruisen, ada negara Beiren, ada negara Saksen, ada negara Mecklenburg, ada negara lain-
lain. Kemudian datanglah pertumbuhan daripada ekonomisch-leven, yang hidup ekonomi ini
tidak bisa lagi subwdi atas dasar negara-negara yang kecil. Maka datanglah proses pemersatuan
daripada negara-negara kecil ini menjadi satu negara nasional.
Saudara-saudara lama-lama nanti juga mengerti bahwa misalnya perang adalah sekadar akibat
desakan-desakan politik dan ekonomi. Kaum militer apa lagi kalau berkata tentang perang, tentu
menyebutkan Clausewitz, yang berkata: “Perang itu apa. Perang itu sebetulnya adalah kelanjutan
saja daripada diplomasi dengan cara lain. Tadinya diplomasi dengan lidah, kemudian diplomasi
dengan peluru. Itu perang”.
Nah, Saudara-saudara tahu perang Jerman dengan Perancis (1870), itu apa sebabnya? Sebabnya
ialah desakan ekonomi, saingmenyaing meledak menjadi peperangan. Tetapi apa akibat daripada
peperangan ini? Desakan ekonomi di Jermania sendiri mengharuskan, memerlukan, melahirkan,
pernersatuan daripada negara-negara kecil ini. Tatkala pihak Jerman memaksa pihak Perancis
menandatangani peace treaty di Versailles, tatkala itu malahan sama sekali kejadian
menandatangani peace treaty dengan Perancis sesudah Perancis kalah perang digabungkan
dengan satu upacara besar terjadinya negara nasional Jermania. Titel daripada kepala negara
dijadikan Kaisar. Tadinya cuma: konig. Konig von Pruisen. konig von Saksen. Tetapi digabung
dengan negara-negara kecil ini menjadi satu negara besar Jermania, dikepalai oleh Kaisar
Wilhelm I. dengan ia punya Perdana Menteri Graaf Otto Von Bismarck yang terkenal namanya.
Ini adalah satu proses sejarah, Saudara-saudara. Proses sejarah yang terutama sekali terdorong
oleh keharusan-keharusan ekonomi, industrialisme dan perdagangan.
Proses demikian ini pula terjadi di Italia; bahkan juga pertengahan abad ke-19, tatkala
kapitalisme di Italia mulai tumbuh, tatkala kapitalisme di Italia memerlukan bahan-bahan dari
seluruh semenanjung Italia daii bukan sekadar sesuatu negara kecil seperti Lombardia atau
Venetia, tetapi seluruh bahan-bahan Italia diperlukan. Pasarnyapun pasar dalarn negeri, tidak
bisa tahan lagi dengan adanya pagar-pagar, tetapi minta luas mengenai seluruh semenanjung.
Pada waktu itu proses terjadinya negara nasional Italia di bawah pimpinan Mazini, di bawah
pimpinan Garibaldi, dan di bawah pimpinan Cavour. Mazini dikatakan bapak Italia. Ya, memang
dia yang memberi ideologi kebangsaan, Garibaldi dikatakan bapak Italia. Ya Garibaldi lah yang
menjalankan politik pemersatuan ini dengan senjata. Cavour dinamakan bapak Italia. Ya, dialah

cxlvii
tatkala negara-negara ini sudah tergabung dalarn satu negara nasional Italia, memegang tampuk
pimpinan pemerintahan. Proses sejarah, proses pemersatu menjadi negara nasional.
Kita, langsung terjun ke dalam fase ini. Proklamasi 17 Agustus 1945, langsung menuju kepada
negara nasional, tidak menuju kepada negara kecil-kecil, negara Jawa, negara Sumatera, negara
Sulawesi. Tidak. Langsung kepada negara nasional yang berwilayah dari Sabang sampai ke
Merauke. Oleh karena bukan saja secara ideologi kebangsaan, tetapi juga secara ekonomis kita
tidak bisa berdiri sendiri-sendiri sebagai yang beberapa kali saya katakan. Lihat Jepang. Jepang
itu juga dulu negara-negara kecil. Negara-negara kecil yang dikepalai oleh daimijo-daimijo. Di
Jernian dikepalai oleh Konig-konig. Tahun 1860 lebih sedikit. Meiji Tenno bertindak, dan dia
mempersatu-kan segcnap negara-negara kecil ini menjadi satu negara nasional Jepang. Itu yang
termasyhur sekali di zaman Meiji oleh karena Meiji Tenno dialah yang mempersatukan negara-
negara kecil ini daripada tanah air Jepang. Saya pernah waktu saya di Kyoto masuk ke tempat
balairung di mana Meiji Tenno berdiri dan di situ dia menerima, menerima dari daimijo-daimijo
ini negara-negaranya. Daimijo A mempersembahkan negaranya kepada Tenno, daimijo B
mempersembahkan negaranya, daimijo C mempersembahkan negaranya, demikian seterusnya.
Tidak ada daimijo-daimijo, cuma ada satu Emperor, Tenno Heika yaitu Meiji, yang kemudian
diikuti oleh kaisar-kaisar yang lain. Ini sekadar satu upacara, Saudara-saudara. Tetapi apa yang
menjadi pendorong daripada hal ini. Tak lain tak bukan ialah lagi-lagi hal keharusan, keharusan
terutama sekali di lapangan ekonomi. Jadi, Saudara-saudara, kita melihat verschijnsel,
phenomeen di dalam abad ke-19, terjadinya beberapa negara nasional Jerman, Italia, Oostenrijk-
Hongaria, dua dijadikan satu pula. Di Timur kita melihat terjadinya Dai Nippon Tai Koku.
Taikoku itu empire.
Kemudian datanglah abad ke-20. Abad ke-20 yang berisi beberapa phenomeen. Phenomeen,
yaitu kejadian yang besar. Pertama, saya sudah pernah katakan dalam abad ke-20, salah satu
phenomeennya ialah jadi merdekanya bangsa-bangsa di Asia. Satu. Nomor dua timbulnya
negara-negara sosialis. Tempo hari pernah di dalam balairung ini saya katakan: 16 negara
sosialis terjadi di abad 20 ini dengan jumlah rakyat 1.300 juta kalau tidak salah, RRC 660.
kemudian Sovyet Unie 200 ditambah lagi dengan yang lain-lain. Perhitungan saya begitu, entah.
Tetapi sejumlah umat manusia tergabung dalam 16 negara sosialis. Abad ke-20 punya
phenomeen, terjadinya negara-negara merdeka di Asia. Phenomeen yang ke-2, Phenomeen yang
ke-3 ialah terjadinya atomic revolution, revolusi atom. Phenomeen yang ke-4. tetapi ini adalah

cxlviii
akibat daripada paradox historis yang tadi saya ceritakan. Di satu pihak umat manusia oleh
teknik yang maju sekali menjadi satu, di lain pihak dipisah-pisahkan menjadi bangsa-bangsa
yang merdeka dengan pagar sendiri-sendiri.
Kita, Saudara-saudara, sebagai tadi saya katakan, kita langsung terjun di dalam phase negara
nasional ini. Maka oleh karena itu di dalam perdebatan saya dengan beberapa pihak, saya
berkata: “Republik Indonesia bukan negara agama, tetapi adalah negara nasional, di dalarn arti
meliputi seluruh badannya natie Indonesia”. Dan apa yang dinamakan natie? Sebagai tadi saya
katakan, ialah segerombolan manusia dengan jiwa “le desir d’etre ensemble”, dengan jiwa, sifat,
corak yang sama, hidup di atas satu wilayah yang nyata-nyata satu unit atau satu kesatuan.
Inilah arti daripada negara nasional Indonesia. Maka oleh karena itu, Saudara-saudara, jikalau
kita menghendaki negara kita ini kuat, dan sudah barang tentu kita menghendaki negara kita ini
kuat, oleh karena kita memerlukan negara ini sebagai suatu alat perjuangan untuk merealisasikan
satu masyarakat adil dan makmur, kita harus dasarkan negara ini antara lain di atas paham
kebangsaan. Dan sebagai tadi saya katakan ini sebenar-nya adalah satu akibat obyektif pula
daripada keadaan, bukan saja sebagai phenomeen abad ke-20, tetapi oleh karena kita beratus-
ratus tahun mengalami penderitaan yang sama sesuai dengan yang dikatakan oleh Otto Bauer:
eine aus Schicsal Gemeinschaft erwachsene Charakter Gemeinschaft. Mau tidak mau kita berasa
satu dan mau tidak mau kita harus bersatu, oleh karena sebagai tadi saya katakan, susunan
ekonomi Indonesia, susunan – saya tambah sekarang – pertahanan Indonesia dan lain-lain
sebagainya – mengharuskan kita bersatu. Maka jikalau kita membantah anggapan, baik daripada
pihak agama maupun dari pihak Marxis yang dangkal bahwa kita harus berdiri di atas
kebangsaan dan mereka berkata tidak, pada hakekatnya ialah oleh karena ada salah paham
tentang apa yang dinamakan kebangsaan. Pihak agama kadang-kadang tidak bisa mengadakan
batas yang tegas antara ini adalah agama, ini adalah kenegaraan. Negara tidak boleh tidak harus
mempunyai wilayah, agama tidak. Adakah negara tanpa wilayah? Tidak ada!
Negara harus mempunyai wilayah. Syarat mutlak daripada negara yaitu territoor yang terbatas.
Dan agar supaya negara kuat maka wilayah itu harus satu unit. Dan bangsa yang hidup di dalam
satu unit itu akanlah menjadi bangsa yang kuat, jikalau ia mempunyai rasa kebangsaan bukan
bikin-bikinan, tetapi yang timbul daripada objectieve verhoudingen.
Agama tidak memerlukan territoor, agama cuma mengenai manusia. Tapi lihat, orang yang
beragamapun, – aku beragama, engkau beragama, orang Kristen di Roma beragama, orang

cxlix
Kristen di negeri Belanda beragama, orang Inggeris yang duduk di London beragama -,
pendeknya orang yang beragama yang dalam agarnanya tidak mengenal territoor, kalau ia
memindah-kan pikirannya kepada keperluan negara, ia tidak boleh tidak harus berdiri di atas
territoor, di atas wilayah. Tidak ada satu negara, meskipun negara itu dinamakan negara Islam,
tanpa territoor.
Pakistan yang menamakan dirinya Negara Islam, Republik Islam Pakistan, toh mengakui
territoor. Bahkan pendiri daripada Republik Pakistan, yaitu Mohammad Ali Jinnah, ia berkata –
historis ucapannya ini -: “We are a nation”. Ini salah satu argumen daripada Mohammad Ali
Jinnah tatkala ia mendirikan Pakistan. Bukan saja ia berkata “we are a religion”, kita satu agama,
ia ber- kata “we are a nation”, kita satu bangsa.
Baca pidatonya tatkala ia mencapai umur 70 tahun. Dalam ia punya birthday speech tatkala ia
mencapai 70 tahun, ia berkata “we are a nation”. Nah kalau ia berkata “we are a nation” ialah
oleh karena ia berdiri di atas platform negara. Kalau ia berdiri di atas platform agama ia
barangkali berkata: kita tidak mengenal sesuatu warna kulit. kita tidak mengenal sesuatu bangsa,
kita cuma mengenal taqwa kepada Tuhan atau tidak taqwa kepada Tuhan.
Jadi, Saudara-saudara, saya ulangi, salah paham letaknya di situ. Tidak bisa membedakan antara
apa yang diartikan dengan agama, apa yang diartikan dengan negara. Itulah sebabnya maka
selalu hal ini menjadi persimpangsiuran di dalam pembicaraan-pembicaraan. Ditambah juga
dengan adanya keruncingan-keruncingan sebagai akibat daripada desakan-desakan ekonomi
yang bersifat chauvinisme. Misalnya saja rasa kebangsaan Jermanian dan rasa kebangsaan
Perancis di dalam masa perang, sudah mengatasi rasa yang normal, sudah menjadi rasa benci-
membenci satu sama lain, yaitu chauvinisme. Kita dari Republik Indonesia dengan tegas
menolak chauvinisme itu. Maka oleh karena itu di samping sila Kebangsaan dengan lekas kita
taruhkan sila Perikemanusiaan.
Memang, kebangsaan di dalam alam kapitalisme, Saudara-saudara, selalu menderita resiko akan
meruncing menjadi chauvinisme. Di dalam alam kapitalisme! Oleh karena itu kita pada
hakekatnya menentang kepada kapitalisme pula. Kapitalisme bersaing satu sama lain.
Kapitalisme Jerman, kapitalisme Jepang, ingin mengalahkan kapitalisme Perancis. Kapitalisme
Jerman ingin me-reh seluruh Eropa Barat.
Salah satu alat untuk bisa merealisasikan hal ini ialah meruncing-runcingkan rasa kebangsaan,
meluap-luapkan rasa kebangsaan, menjadi chauvinisme. Dan ini harus kita jaga, jangan kita

cl
punya rasa kebangsaan meluap-luap menjadi rasa chauvinisme. Oleh karena itu tadi saya katakan
pula, adanya rasa kebangsaan meluap-luap menjadi rasa chauvinisme itu di banyak hal ialah oleh
karena desakan-desakan daripada kapitalisme.
Saya kira, Saudara-saudara, jikalau hal ini sudah jelas bagi kita, bahwa kita tidak bisa hidup
bernegara secara kuat dan sehat jikalau kita tidak dasarkan atas rasa kebangsaan, saya kira maka
sila yang kedua daripada Pancasila ini sudah bisa kita terima dcngan seyakin-yakinnya. Kalau
umpamanya sila Kebangsaan dibuang, umpama, apa yang menjadi pangikat rakyat Indonesia
yang 82 juta sekarang – nantinya lebih. Apa? Ketuhanan Yang Maha esa? Ya, bisa! Cita-cita
untuk meng-adakan keadilan sosial? Ya, bisa! Tapi dalam realisasinya, Saudara-saudara,
realisasi yang segi negatif menentang imperialisme, realisasi yang segi positif menyelenggarakan
masyarakat yang adil dan makmur itu, kalau tidak ada binding kebangsaan itu, kita tidak akan
bisa kuat. Menentang imperialisme sebagai segi negatif – penentangan ialah negatif-hanya bisa
dengan cara yang kuat kalau segenap bangsa Indonesia menentang, dengan rasa itu tadi: Kami
ingin merdeka, kami adalah satu bangsa, kami adalah satu rakyat yang menderita bersama-sama
akibat daripada penjajahanmu. Jikalau rasa kebangsaan ini tidak ada, barangkali kita belum bisa
sampai sekarang ini mendirikan negara yang merdeka. Barangkali paling-palingnya menjadi
negara-negara yang kecil, kruimel staten.
Dan negara-negara kecil tadi saya katakan tidak bisa berdiri, oleh karena kita ekonomis
membutuhkan satu sama lain. Jadi dari sudut perjuangan menentang imperialisme kita harus
mempergunakan kawat persatuan yang di dalam kursus saya yang pertama sudah saya kupas.
Kita tidak bisa menjalankan perjuangan anti imperialisme ini dengan hasil baik, jikalau kita tidak
menggabungkan, mempersatukan segenap tenaga marhaenis di seluruh Indonesia. Marhaen di
dalam arti kecil.
Tempo hari telah saya terangkan, jelas kita tidak bisa melalui jalan swadesi, kita tidak bisa
melalui jalan kekuatan daripada nationale bourgeoisie, tenaga yang bisa kita himpun, satu-
satunya tenaga ialah menggabungkan segenap tenaga orang-orang kecil Indonesia ini, baik dari
Sumatera, maupun dari Jawa, maupun dari Sulawesi, maupun dari pulau-pulau lain.
Kalau tidak ada paham atau rasa kebangsaan, bagaimana Saudara-saudara. kita bisa menjalankan
perjuangan ini. Maka oleh karena itu dari segi negatif harus paham kebangsaan ini kita
masukkan di dalam sila Pancasila. Dari sudut positif, kita tidak bisa mem-bangunkan kultur
kepribadian kita dengan sebaikbaiknya kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat. Kita ingin

cli
menjadi satu bangsa yang hidup bersaudara dengan bangsa-bangsa yang lain yang mempunyai
kepribadian sendiri, yang mempunyai kultur setinggi-tingginya. Bagaimana kita bisa realiseren
kehendak ini kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat antara rakyat Indonesia dari Sabang
sampai ke Merauke ini.
Maka oleh karena itu dengan keyakinan yang seteguh-teguhnya, kita memasukkan sila yang
kedua, Kebangsaan, di dalam rangkaian Pancasila.
Dan sebagai tadi saya katakan, dari sudut apapun, baik daripada sudut Marxisme yang tidak
dangkal maupun dari sudut historis, kebangsaan harus ada. Kita harus memupuk rasa itu dengan
cara yang sebaik-baiknya.
Tadi ada yang minta kepada saya supaya dijelaskan sedikit, bahwa negara adalah alat. Hal apa
negara itu, sudah saya terangkan kepada Saudara-saudara di dalam kursus yang pertama. Kita
menghendaki satu masyarakat adil dan makmur, masyarakat yang tidak ada hisap-menghisap
satu sama lain. Itu adalah doel daripada pergerakan kita, daripada perjuangan kita. Alat kita
untuk merealisasikan hal ini ialah Negara.
Gambarkan begini, Saudara-saudara: Ini Negara. Di dalam Negara itu ada masyarakat. Ada
beberapa pihak yang berkata, biarlah negara ini overkoepeling saja, atap. Di bawah atap inilah
kita hendak merealisasikan masyarakat adil dan makmur. Pendapat yang demikian ini, adalah
sama salahnya dengan pendapat pihak Sosial Demokrat atau Demokratis Sosialisme yang mau
mengadakan satu masyarakat adil dan makmur, hilangnya kapitalisme, dengan cara uithollings-
politiek, yang sudah saya kuliahkan di Yogyakarta dengan panjang lebar.
Scbaliknya adalah pendirian lain, yaitu pendirian yang saya anut bahwa kita mempergunakan
negara ini sebagai satu alat untuk merubah susunan masyarakat, untuk merealisaikan satu masya-
rakat yang adil dan makmur. Jadi gambar saya bukan begini: Ini negara overkoepeling, lantas
kita di sini itu dengan reform, artinya yaitu perubahan kecil-kecil, akhirnya mencapai masyarakat
adil dan makmur.
Tapi begini: Ini negara. Ini idee, idee masyarakat adil dan makmur. Ini gerakan rakyat, ini
perjuangan. Nah, negara kita gerakkan sebagai alat untuk merealisasikan apa yang hendak
dicapai oleh perjuangan itu. Apa yang hendak dicapai oleh perj uangan? Masyarakat yang adil
dan makmur!
Siapa membaca tulisan saya ini dari tahun 1933 yang kemarin dulu dan tadi dimuat lagi di
dalam, misalnya, surat kabar Sin Po. Bacalah tulisan saya dalam surat kabar Sin Po kemarin dulu

clii
dan hari ini. Tulisan itu sudah 25 tahun umurnya, saya tulis dalam tahun 1933. Kita tidak boleh
hanya puas dengan reform saja. Reform, yaitu perubahan kecil-kecil. Sebagai tempo hari di
Yogyakarta saya katakan kaum Sosial Demokrat berkata, dengan reform sebanyak-banyaknya
akhirnya kapitalisme itu uitgehold, digerogoti dan akhirnya gugur! Apa reform itu? Yaitu
perubahan kecil-kecil: Gaji dinaikkan, mencapai jam kerja kurang, mencapai perbaikan dalam
urusan perumahan, mencapai perbaikan dalam urusan onderwijs. Ini semuanya reform.
Kaum Sosial Demokrat berkata, dengan mencapai reform-reform ini akhirnya lama-lama
kapitalisme itu uitgehold, tergerogoti, akhirnya gugur. Pikiran yang demikian itu adalah sama
salahnya dengan pikiran ini. Ini negara. Jangan negara ini diusikusik, jangan negara ini dipakai
sebagai alat, jangan, ini adalah satu hal keramat. Di bawah itulah kita harus menjalankan
perbaikanperbaikan sehingga akhirnya tercapai satu masyarakat yang adil dan makmur. Salah!
Mestinya begini: Ini negara, alat perjuangan kita. Dulu alat perjuangan kita ialah partai, protest
meetingen, staking dan lainlain. Itu alat perjuangan kita zaman dulu tatkala kita belum mem-
punyai negara. Sekarang alat perjuangan kita meningkat satu tingkat lagi, yaitu negara. Negara
adalah satu machts-organisatie, negara adalah satu alat. Nah, alat ini kita gerakkan. Ke luar,
untuk menentang musuh yang hendak menyerang kita, menentang intervensi, menentang
peperangan, menentang apa saja dari luar. Ke dalam, negara ini kita juga pakai untuk
memberantas segala penyakit-penyakit di dalam pagar, tapi juga untuk merealisasikan cita-cita
kita akan masyarakat adil dan makmur.
Dus, duduknya begini: Ini idee, kataku. Idee, cita-cita kita, idee yang terselenggara di dalam
masyarakat. Mari kita gerakkan sekarang uegara ini sebagai alat agar supaya kita bisa mencapai
masyarakat yang adil dan makmur.
Itulah keterangan yang saya berikan sebagai tambahan kepada kursus saya ini malam, atas
pertanyaan seorang Saudara yang minta dijelaskan sedikit mengenai perkataan bahwa negara
adalah satu alat, alat perjuangan. Jikalau diperlukan nanti saya bersedia, Insya Allah untuk
spesial mengupas hal ini di dalam satu kursus yang lengkap.
Sekian.

cliii
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
IV. Kursus Presiden Soekarno Tentang Pancasila di Istana Negara, Tanggal 22 Juli 1958.
 
Saudara-saudara sekalian, ini malam hendak saya kupas – Insya Allah – di hadapan Saudara-
saudara Sila Perikemanusiaan sebagai salah satu sila yang tidak boleh dipisahkan daripada sila
yang lain-lain. Sebagaimana yang telah berulang-ulang saya katakan, maka Pancasila kelima-
lima silanya adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisah-pisahkan satu sarna lain atau diambil
sekadar sebagian daripadanya.
Saudara-saudara, lihatlah lambang Negara kita di belakang ini. Alangkah megahnya, alangkah
hebat dan cantiknya. Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar
17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai
yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis slogan buatan Empu
Tantular “Bhinneka Tunggal Tka”, Bhina Ika Tunggal Ika, “berjenisjenis tetapi tunggal”.
Pancasila yang tergambar dengan di pusat bintang cemer-lang atas dasar hitam, sinar cermerlang
abadi daripada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pohon beringin lambang Kebangsaan. Rantai yang
terdiri daripada gelang-gelangan persegi dan bundar, persegi dan bundar yang bersambung satu
sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, Peri-kemanusiaan. Banteng Indonesia lambang
Kedaulatan Rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang pangan, Keadilan Sosial.
Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya
lambang Negara Republik Indonesia ini adalah lambang yang terindah dan terhebat daripada
seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari
lambang-lambang negara yang lain-lain, tapi tidak ada satu yang sehebat, seindah, scharmonis
seperti lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh rakyat kita
sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai ke pelosok-pelosok yang paling jauh dari dunia
ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di tembok-tembok, di gerbang-
gerbang, yang orang dirikan, jikalau hendak menyatakan sesuatu ucapan selamat datang kepada
seseorang tamu.
Lambang yang dernikian telah terpaku di dalam kalbunya rakyat Indonesia, sehingga lambang
ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada Republik, sehingga
bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu diubah jikalau Dasar Negara itu
tidak ditetapkan dan dilanggengkan: Pancasila. Sebab, lambang negara sekarang yang telah

cliv
dicintai oleh rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu adalah lambang yang
bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perubahan daripada Dasar Negara membawa perubahan
daripada lambang negara.
Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini diubah, sebagian terbesar daripada rakyat
Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku sedalam-
dalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar daripada rakyat Indonesia kepada
Pancasila.
Ini malam saya hendak menguraikan kepada Saudara-saudara akan sila Perikemanusiaan.
Lihatlah betapa dalamnya cara kita menggambarkan sila Perikemanusiaan itu di atas perisai yang
dikalungkan kepada lehernya Garuda Indonesia. Rantai yang pergelang-gelangannya tiada putus-
putusnya, persegi bundar, persegi bundar, persegi bundar terus tiada putus-putusnya, sebagai
lambang daripada tiada putus-putusnya perhubungan antara laki dan perempuan. Persegi
lambang wanita, bundar lambang pria. Wanita pria, wanita pria, tiada putus-putusnya, de
onverbreekbare keten der mensheib, rantai yang tiada terputus-putus daripada kemanusiaan dan
perikemanusiaan. Bahkan sudah pernah saya uraikan di hadapan khalayak ramai bahwa bendera
kitapun merah putih sebenarnya melukiskan pula hal terjadinya manusia itu, wanita dan laki-laki.
Merah Putih dasar bendera kita bukan saja sekadar merah lambang keberanian, putih kesucian.
Bukan pula pengertian yang kita miliki beribu-ribu tahun yang lalu tatkala kita masih meng-
agungkan matahari dan bulan, surya dan candera yang pada waktu itu kita kira bahwa matahari
adalah sumber sekalian hal, demikian pula isteri matahari juga sumber sekalian hal, sehingga
termasuk di dalam pengagungan kita kepada matahari dan bulan itu yang matahari kita
lambangkan dengan warna merah, bulan kita lambangkan dengan warna putih, sehingga sejak
daripada zaman dahulu kita telah memuliakan warna merah dan putih, meskipun belum
berbentuk bendera, tetapi telah dalam ingatan kita, perlambangan kita, merah putih surya dan
candera asal daripada sekalian alam. Demikianlah pengertian kita beribu-ribu tahun yang lalu.
Bukan sekadar itu Saudara-saudara, demikian saya katakan di muka umum beberapa kali, bukan
hanya surya dan candera, bukan hanya merah adalah keberanian, putih adalah kesucian, tetapi
merah putih adalah pula lambang terjadinya manusia. Maaf, jikalau boleh saya katakan: merah
lambang wanita, putih lambang pria.
Sekali lagi saya mengundang Saudara-saudara melihat akan indahnya perlambangan kita
daripada sila Perikemanusiaan di atas perisai itu. Laki perempuan, laki perempuan, dalam satu

clv
rantai yang tidak putus-putus. Tetapi ini rantai Saudara-saudara, persegi bundar, persegi bundar,
yang tiada putusnya bukan pula hanya melambangkan, melukiskan tiada putusnya hubungan
laki-laki dan perempuan, dus tiada putus-putusnya rantai kemanusiaan; manusia beranak, anak
beranak lagi, sang anak ini beranak lagi, sang anak ini beranak lagi atau kalau dikembalikan –
saudarasaudara – sampai jutaan tahun yang lalu, keten inipun tidak terputus-putus. Orang
beranak kemudian bercucu, kemudian berbuyut, kemudian bercanggah, kernudian berwareng,
kemudian bergantung siwur, kemudian berudeg-udeg, tiada putusnya, ini keten ini rantai. Bukan
sekadar demikian, tetapi rantai yang kita lukiskan di atas perisai sang Garuda Indonesia ini juga
melukiskan hubungan antara bangsa dengan bangsa.
Kita maksudkan bahwa kita daripada Republik Indonesia merasakan bahwa kita ini bukanlah
satu bangsa yang berdiri sendiri, tetapi adalah satu bangsa dalam keluarga bangsa-bangsa. Bahwa
memang umat manusia sekarang ini yang terdiri daripada pelbagai bangsa-bangsa pada
hakekatnyapun adalah satu rantai yang tiada terputus-putusnya. Terutama sekali di dalam abad
keduapuluh ini tak dapat kita membayangkan adanya sesuatu bangsa yang dapat hidup dengan
tiada hubungan dengan bangsabangsa yang lain. Tak dapat kita bayangkan mungkin hidupnya
suatu bangsa yang sama sekali terasing daripada bangsa-bangsa lain.
Saudara-saudara, saya tadi berkata keadaan di dalam abad keduapuluh adalah demikian.
Demikian pula di dalam beberapa abad yang terdahulu, apalagi di dalam abad-abad yang akan
datang. Tiada manusia dapat berdiri sendiri, manusia adalah satu makhluk masyarakat, manusia
adalah suatu homo socius. Demikian pula bangsa tak dapat hidup sendiri, bangsa hanyalah dapat
hidup di dalam masyarakat umat manusia, di dalam masyarakatnya bangsa-bangsa.
Pada mulanya memang tidak ada yang dinamakan bangsa itu, Saudara-saudara. Bangsa adalah
hasil daripada satu pertumbuhan. Zaman dahulu, dahulu sekali tidak ada bangsa, tidak ada yang
dinamakan bangsa Indonesia, tidak ada yang dinamakan bangsa Jerman, tidak ada yang
dinamakan bangsa Jepang, tidak ada yang dinamakan bangsa Inggris. tidak ada yang dinamakan
bangsa Perancis, tidak ada yang dinamakan bangsa Amerika dan demikian seterusnya. Bahkan di
dalam kursus saya yang lalu, saya telah uraikan kepada Saudara-saudara bahwa misalnya bangsa
Amerika itulah baru berdiri beberapa abad saja yang dahulu tiada ada bangsa Amerika itu, yang
dahulu benua Amerika itu didiami oleh suku-suku yang sekarang dinamakan suku Indian; ada
suku Sioux, ada suku Apache. Macam-maeam suku Indian yang belum berbentuk bangsa. Tetapi
kemudian Amerika diserbu dimasuki oleh emigran-emigran dari Eropa, emigran-emigran dari

clvi
Jerman, emigran-emigran dari Hongaria, emigran-emigran dari Italia, dari Norwegia, dari
Irlandia dan lain-lain negeri. Kemudian emigranemigran ini menjadi satu konglomerat,
percampuran manusiamanusia, yang dinamakan bangsa Amerika. Meskipun sebagai yang saya
uraikan di dalam kursus saya yang lalu, bahasanyapun sampai kepada saat sekarang ini belum
benar-benar terkonglomeratkan menjadi satu bahasa Inggris. Tempo hari saya ceritakan kepada
Saudara-saudara bahwa di Amerika masih ada orangorang yang tak dapat berbahasa Inggris,
melainkan masih memakai bahasa aslinya, Jerman, Italia, Hongaria dan lain-lain. Dus, Saudara-
saudara melihat bahwa begrip, paham bangsa adalah hasil daripada satu pertumbuhan. Apa
maksud saya menguraikan hal ini? Maksud saya menguraikan hal ini ialah untuk menerangkan
kepada saudara-saudara bahwa walaupun ada satu rantai yang tak putus-putus antara laki
perempuan, laki perempuan, walaupun ada satu rantai yang tak terputus dalam hal kemanusiaan,
dalam hal de wording van de mens, bangsa-bangsa adalah hasil daripada pertumbuhan kemudian.
Labih dulu saya mau menerangkan kepada Saudara-saudara bahwa dengan sengaja kita selalu
memakai perkataan kemanusiaan dan perikemanusiaan. Kemanusiaan adalah alam manusia ini,
de mensheid. Perikemanusiaan adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia dengan lain
manusia adalah hubungannya, jiwa yang hendak mengangkat membedakan jiwa manusia itu
lebih tinggi daripada jiwa binatang.
Kalau saya memakai perkataan asing, kemanusiaan adalah mensheid, perikemanusiaan adalah
menselijkheid. Kemanusia-an adalah alam manusia, sehingga kita boleh berkata dunia ini berke-
manusiaan 2700 juta jiwa, perikemanusiaan adalah lain. Jikalau kita berbuat sesuatu yang rendah
yang membikin celaka kepada manusia lain, kita berkata kita melanggar peri-kemanusiaan, kita
melanggar hukum menselijkheid.
Saudara-saudara, mensheid, kemanusiaan itu memang dari dulu ada. Rasa perikemanusiaan
adalah hasil daripada pertumbuhan rohani, hasil daripada pertumbuhan kebudayaan, hasil dari-
pada pertumbuhan dari alam tingkat rendah ke taraf yang lebih tinggi. Perikemanusiaan adalah
hasil daripada evolusi di dalam kalbunya manusia. Kemanusiaan ada sejak zaman dulu. Zaman
dulu sekali Peri-kemanusiaan belum seperti yang kita kenal sekarang, bahkan tadi saya berkata
perikemanusiaan hasil daripada evolusi. Dulu manusia hidup dalam alam yang masih tingkat
rendah, juga bukan saja tingkat rendah materiilnya tapi juga tingkat rendah batinnya. Bahkan di
dalam pertumbuhan rasa perikemanusiaan itu adalah sebagai tiap-tiap pertumbuhan apa yang
dinamakan pada sesuatu saat ini adalah sesuai dengan perikemanusiaan, di lain waktu sudah

clvii
tidak dikatakan lagi ini adalah sesuai dengan perikemanusiaan. Apa yang pada satu saat di-
katakan baik, di lain waktu dikatakan jahat. Apa yang pada sesuatu saat dikatakan jahat mungkin
di lain waktu dikatakan baik. Rasa ini mengalami evolusi. Perikemanusiaan mengalami evolusi,
tapi kemanusiaan sejak zaman dulu ada. Jumlahnya kemanusiaan itu sudah barang tentu dulu
jauh lebih kecil daripada sekarang.
Sekarang kemanusiaan berjumlah 2.700 juta manusia. Dahulu kalau mengambil daripada
pendirian beberapa orang agama yang kolot. dikatakan berasal dari dua manusia: Adam dan
Hawa. Adam dan I Iawa ini lantas mulai de onverbreekbare keten der mensheid itu tadi, laki
perempuan, laki perempuan, laki perempuan, makin lama jumlahnya makin banyak. Tapi
meskipun tidak mengambil pandangan daripada pendapat beberapa orang agama yang kolot,
melainkan mengambil pandangan daripada pendapat ilmu pengetahuan, kemanusiaan pada
mulanya berjumlah kecil, tidak sekonyong-konyong dunia ini didiami oleh 2.700 juta manusia.
Mula-mula jumlah yang kecil sekali. Jikalau kita mengambil teori evolusi, saya tidak akan kupas
lebih dalam – artinya tidak saya ketengahkan, benar atau tidaknya teori evolusi ini, bahwa
manusia adalah hasil daripada pertumbuhan makhluk yang mula-mula eencellige wezens,
makhluk-makhluk yang hanya terdiri daripada sel-sel tunggal. Kemudian evolusi menjadi
binatang; evolusi lagi menjadi semacam kera; evolusi lagi menjadi manusiasebagai yang kita
kenal manusia sekarang ini, yang ilmu ini sebagai tiap-tiap ilmu pengetahuan tentu sedapat
mungkin mengeluarkan buktibukti penyokong pendapatnya, bukti-bukti yang berupa fosil-fosil.
Fosil yaitu entah tanaman, entah binatang, entah tulang yang telah menjadi batu. Bukti-bukti
fosil-fosil yang membuktikan: lihat iizi bukan kera, tetapi inipin belum manusia sempurna; dus
ini fosil menunjukkan satu langkah antara kera dan manusia sempurna yang kita kenal sekarang
ini. Misalnya kalau mengenai tanah air kita fosil yang tempo hari diketemukan oleh Prof Du Bois
di desa Trinil dekat Ngawi sebelah utara dari Madiun, di lembahnya Bengawan Solo, fosil yang
dengan tegas menunjukkan makhluk ini setengah kera setengah manusia dan ia sudah berdiri,
melihat susunan tulangnya, sehingga oleh Du Bois disebutkan makhluk ini adalah – tempo hari
sudah saya sebutkan – Pithecanthropus erectus. Pithecus = kera; anthropus = manusia.
Pithecanthropus = kera manusia atau manusia kera, tetapi ia sudah erectus, sudah berdiri tegak.
Pithecanthropus erectus ini terdapat di dalam zat geologis yang ditaksir umurnya 1 /2 juta tahun.
Dus oleh karena fosil ini terdapat di dalam zat geologis, material geologis yang menurut ilmu
geologi ilmu batu, usianya ditentukan 1 /2 juta tahun. Du Bois mengambil konklusi,

clviii
pithecanthropus erectus hidupnya 1/2 juta tahun yang lalu. Mula-mula barangkali
pithecanthropus erectus itu mati terbenam di dalam lumpurnya Bengawan Solo. Sang lumpur ini
makin lama makin keras makin lama makin membeku, akhirnya menjadi batu. Nah, batu ini oleh
ilmu geologi ditetapkan umurnya 1 /2 juta tahun. Dus makhluk pithecanthropus erectus ini
hidupnya 1/2 juta tahun yang lalu.
Saya ulangi: kemanusiaan, baik ditinjau dari sudut agama yang berkata atau sudut beberapa
orang agama yang berkata, bahwa kemanusiaan berasal daripada dua manusia Adam dan Hawa
yang beranak bercucu berbuyut seterusnya, maupun ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, pada
mulanya kemanusiaan ini berjumlah kecil.
Dan memang demikian, berjumlah kecil, hidupnya belum berhukum, belum beraturan. Hal ini
sudah saya terangkan kepada Saudara-saudara tatkala saya menggambarkan pertumbuhan dari-
pada cara manusia mencari makan, yang berhubungan dengan itu pertumbuhan daripada ia
punya cara berpikir dan cara percaya. Fase pertama hidup daripada memburu, mencari ikan
hidup dalam goa. Fase kedua dari peternakan. Fase ketiga daripada pertanian. Fase keempat
daripada kerajinan tangan. Fase kelima daripada industrialisme yang pertumbuhan alam
pikirannya adalah sesuai dengan itu. Fase pertama menyembah bulan, angin, batu, sungai. Fase
kedua menyembah binatang. Fase ketiga menyembah dewidewi yang membawa hasil pertanian:
Dewi Sri, Saripohaci dan lain-lain. Fase keempat Tuhannya telah digaibkan. Akal yang membuat
adat-adat daripada kerajinan itu, akal itu berkata: Tuhan gaib, oleh karena akal adalah gaib, tidak
bisa dipegang, tidak bisa dilihat. Akhirnya di dalam alam industrialisme ada orang-orang yang
tidak percaya kepada Tuhan, meniadakan adanya Tuhan. Ini sudah saya terangkan kepada
Saudara-saudara.
Tetapi ditinjau daripada sudut hidup bebrayan, hidup socius, hidup berkemanusiaan di dalam
masyarakat, ada juga pertumbuhan-pertumbuhan. Dahulu, saya tadi berkata: jumlah kecil, zonder
hukum, seperti binatang liar yaitu zaman goa, zaman hidup di pohon-pohon. Bahkan rantai laki
perempuan, laki perempuan, laki perempuan yang kita lukiskan dengan demikian indahnya,
terwujudkan dalam cara hidup promiscuiteit. Belum ada yang dinamakan perkawinan, belum ada
yang dinamakan paringshuwelijk, hidup suami isteri seperti sekarang. Hidup dalam alam
promiscuiteit, campur aduk. Hubungan antara persegi dan bundar itu tadi campur aduk, laki
dengan perempuan semaumaunya; perempuan dengan laki semau-maunya, sama dengan
binatang di dalam rimba. Ada, waktu-waktu sebentar pasangan, itu ada, sebagaimana juga anjing

clix
serigala di dalam waktu ia birahi sebentar selalu anjing laki A sebentar selalu dengan anjing
perempuan B, tapi beberapa hari beberapa pekan putus, nanti sudah berhubungan lagi dengan
anjing lain. Sebentar berpasangan, tapi kemudian putus hubungan itu, pindah kepada wanita
anjing lain atau pindah kepada pria anjing lain.
Manusia di dalam tingkatan yang pertama juga demikian. Ini yang dinamakan hidup
promiscuiteit, belum ada hukum.
Tetapi sebagai tempo hari saya katakan di dalam salah satu kursus, kita pantas mendirikan
patung kepada wanita, oleh karena wanita inilah yang pertama-tama, kataku, mendapatkan ilmu.
Ilmu membuat barang untuk menutup badan. Sudah saya jelaskan dulu, wanita de eerste
ontdekster van cultuur. Kultur yang berupa pakaian yang amat sederhana, terbuat dari kulit-kulit
binatang yang disambung satu sama lain. Wanitalah, yang pertama-tama membuat alat seperti
periuk terbuat daripada tanah. Wanita yang ditinggalkan oleh sang laki promiscue ini tadi untuk
mencari binatang, makanan. Tetapi wanita yang karena hamil atau mempunyai anak kecil
terpaksa terpaku di satu tempat. Wanita ini yang pertama-tama mendapat pikiran: biji benih
sesuatu tanaman kalau dimasukkan dalam tanah, tumbuh menjadi tanaman dan kemudian bisa
berbuah. Wanita de eerste ontdekster van de landbouw.
Demikian pula wanita adalah makhluk pertama yang membuat hukum, wanita de eerste
wetgeefster. Hukum apa? Hukum keturunan! Hidup promiscuiteit itu tadi persegi bundar, persegi
bundar yang tiada putusnya; sebagai tadi saya katakan dari persegi bundar datang anak. Nanti
anak ini, juga persegi bundar, datang cucu. Itulah rantai yang tidak putus-putusnya. Tapi tadinya
zonder hukum. Tidak bisa dikatakan dia itu anak siapa. Bagaimana bisa dikatakan dia anak si itu,
kalau hidupnya tadinya promiscuiteit. Tapi wanita, Saudara-saudara, yang telah mendapatkan
ilmu pertanian, wanita yang telah mendapatkan ilmu membuat gubuk untuk melindungi anaknya
yang kecil, sebagai tempo hari saya katakan, ia mula-mula membuat gubuk terbuat daripada
daundaunan, kemudian daripada bahan-bahan yang lebih baik, wanita ini makin lama makin
menjadi orang yang penting. Wanita ini makin lama makin menjadi produsen. Produksi makin
lama makin di dalam tangannya. Orang laki pergi berburu, mendapatkan binatang, entah
menjangan, entah rusa, entah apa, tapi wanita yang dengan ia punya ontdekking yang bernama
pertanian misalnya, wanita ini makin lama makin penting kedudukannya di dalam alam produksi.
Ia makin lama makin penting kedudukannya di dalam masyarakat yang masih liar itu. Dia
menjadi pusat daripada manusia, dialah yang memberi makan kepada anak-anak kecil dari ia

clx
punya hasil tanaman. Dialah yang bisa conserveren, menyimpan, ikan-ikan di dalam periuk, dia
yang membagi-bagikan ikanikan itu kepada anak-anak. Dia menjadi manusia penting. Dan oleh
karena dia ekonomis penting. maka akhirnya dia menjadi wetgeefster. dia yang mengadakan
aturan. Dia, manusia itu anakku. dia, manusia itu anak dia, dia manusia itu ana, dia, dia anak dia.
Dan selalu yang ditunjuk dia itu, dia sekarang yang berbaju hijau, dia yang sekarang berbaju
biru, dia sekarang yang berbaju jambrut, dia sekarang yang berbaju merah, dia sekarang yang
berbaju merah muda, dia sekarang yang berbaju hijau pupus yang ditunjuk itu selalu wanita.
Manusia disebutkan anak si Fulan dan si Fulan itu selalu wanita. Oleh karena memang yang bisa
dibuktikan dengan tegas dan jelas dan exact ialah ibunya. Ibu mengeluarkan anak. Tiap manusia
bisa melihat: O ya, si A keluar dari itu dia, keluar dari wanita itulah, si B keluar dari wanita
itulah, si C keluar dari wanita itulah. Bapaknya siapa? Duka teuing, tidak tahu! Yang jelas ialah
ibunya. Sampai sekarang Saudara-saudara, tentang soal siapa bapaknya itu ‘kan duka teuing?
Ada seorang ahli masyarakat yang berkata hal siapa bapak itu sebetulnya cuma bersandar atas
“goeten Glauben”. Artinya ik geloof ‘t wel, percayalah, si Anu itu bapaknya si Anu. Tapi kalau
disuruh membuktikan dengan exact?
Tapi ibunya jelas siapa.
Nah, wanita mengadakan hukum. Hukurn yang kemudian dinamakan hukum matrilineaal,
hukum peribuan. Manusia anak si Fulan dan si Fulan itu wanita, yaitu ibunya. Saya menyimpang
sebentar, sebagai ilustrasi, bahwa hukum matrilineaal diambil garis dari ibu itu, memang hukum
dari zaman dahulu ternyata dari cerita-cerita kuno yang restannya sampai sekarang masih ada di
beberapa daerah. Di India, suku Nair, masih hidup sekarang ini memakai hukum matrilineaal.
Sedikit menyimpang dari hukum matrilineaal yang exact yaitu kita masih mendapatkan juga di
Minangkabau yang dinamakan matriarchaat, restan daripada zaman dahulu. Ada juga orang yang
berkata – ini sekadar saya sitir daripada sesuatu tulisan di dalam suatu kitab ilmu pengetahuan –
kalau di dalam Agama Islam Isa dinamakan Isa ibnu Maryam, Nabi Isa anaknya Maryam. itu,
kata sebagian daripada orang agama, tidak membuktikan bahwa Isa tidak mempunyai bapak,
sebab sebagian lagi daripada kaum agama berkata: Isa tidak mempunyai bapak.
Manusia itu ada yang tidak mempunyai bapak, seperti Isa; ada yang tidak mempunyai ibu. Di
dalam mythologie Yunani ada misalnya Adonis dikatakan tidak mempunyai ibu; dia keluar dari-
pada sang bapak. Ya, di dalam mythologie itu macam-macam. Seperti Karna, Adipati Basukarna
di dalam cerita wayang, maka ia dinamakan Karna ialah oleh karena menurut mythologie ia itu

clxi
mempunyai ibu, tetapi tidak keluar dari jalan yang biasa; keluarnya daripada telinga. Ibunya
namanya Kunti. Keluar daripada telinga, maka itu dinamakan Karna; karna adalah telinga.
Saya tadi ceritakan hal Isa. Kalau – ini kata sebagian daripada pihak agama -, kalau Isa
disebutkan di dalam kitab agama Al Qur’an Isa Ibnu Maryam, itu bukan satu bukti bahwa Isa
tidak mempunyai bapak, melainkan bahwa Isa dilahirkan di dalam zaman matrilineaal. Di dalam
zaman matrilineaal memang yang disebutkan itu ibunya. Jadi, kalau saya umpamanya hidup di
dalam zaman matrilineaal, ibu saya namanya Ida Nyoman Rai, ya Sukarno ibnu Ida Nyoman
Rai, bukan Soekarno ibnu Sosrodiharjo, tapi Sukarno ibnu Ida Nyoman Rai.
Nah, saya kembali lagi kepada kemanusiaan. Hidup promiscuiteit dengan tiada hukum, tapi
wanita akhirnya mengadakan hukum peribuan. Pada waktu itu belum ada bangsa, manusia hidup
dalam gerombolan dengan wanita sebagai pusat, wanita yang berkuasa. Sociologis ialah oleh
karena wanitalah produsen, oleh karena hidup manusia di dalam tangan wanitalah. Manusia men-
dapat makan dari wanita, wanita yang bercocoktanam, wanita yang menghasilkan padi dan
gandum, wanita yang menjadi wetgeefster, wanita berkedudukan penting, mengepalai satu famili
besar sekali. Pada waktu itu belum ada yang dinamakan suku, belum ada yang dinamakan
bangsa. Pada waktu itu manusia hidup di dalam satu famili yang di dalam ilmu pengetahuan
disebut: verwantschapsfamilie.
Vcrwantschapsfamilie ini mula-mula hidup di dalam satu rumah yang panjang sekali, besar;
anaknya, cucunya, segalanya hidup di situ dengan berpusatkan seorang wanita. Kemudian ber-
tambah besar, bertambah besar menjadi suku, yang dus pada asalnya suku itu adalah
pertumbuhan daripada verwantschapsfamilie. Kemudian beberapa suku manusia, berhubung
dengan pencarian hidup, datang berkumpul di dalarn satu daerah, hidup di satu daerah. Nah,
jikalau manusia-manusia yang banyak yang tadinya verwantschapsfamilie, lebih
menggabungkan lagi di dalam eenheden yang lebih besar: suku, suku, suku, jikalau jumlah
manusiamanusia yang banyak ini mengalami pengalaman-pengalaman yang sama sehingga dia
punya karakter-trekken menjadi sama pula – ingat definisi Otto Bauer: Eine Nation ist eine aus
Schicksal Gemeinschaft erwachsene Charakter Gemeinschaft, bangsa adalah satu persatuan
watak yang tumbuh daripada persatuan pengalaman-pengalaman, – jikalau manusia-manusia
yang banyak, gerombolan-gerombolan manusia yang terdiri mula-mula daripada
verwantschapsfamilie kemudian suku-suku, sudah mencapai persatuan watak yang demikian itu,
mempunyai rasa ingin hidup bersatu, Ernest Renan, “le desir d’etre ensemble”, baru pada saat

clxii
itulah lahir apa yang dinamakan bangsa; bangsa yang kemudian di mana-manapun terjadi:
bangsa, bangsa.
Tapi dus sudah nyata bahwa adanya bangsa Indonesia, adanya bangsa India, adanya bangsa
Jepang, adanya bangsa yang lain-lain itu, pada mulanya adalah berasal daripada kemanusiaan
yang kecil jurnlahnya, tapi berkembang biak via verwantschapsfamilie, via suku-suku, via
pertumbuhan seterus-nya. Dan kita menginjak abadabad yang kita kenal sebagai abad-abad yang
bersejarah. Kita mengenal pertumbuhan daripada apa yang dinamakan bangsabangsa ini, yang
dulu sudah saya katakan, dulu tidak ada bangsa Jermania, dulu cuma ada bangsa kecil Pruisen,
bangsa kecil Beieren, bangsa kccil Saksen, bangsa kecil Mecklenburg dan lain-lain tumbuh
berkembang menjadi bangsa besar Jermania.
Uulu di Italiapun demikian, tumbuh menjadi satu bangsa besar Italia, di Jepang demikian pula
tumbuh, akhirnya menjadi satu bangsa besar. Maka duniapun yang sekarang terdiri daripada
bangsa-bangsa itu di dalam pertumbuhan selanjutnya akan makin Iama makin menghilangkan
batas-batas tajam antara bangsa dan bangsa. Inilah yang saya namakan tempo hari di dalam salah
satu kursus saya paradok historis daripada abad yang kita alami. Historis paradok daripada abad
yang kita alami ialah, politik: kita melihat terjadinya bangsa-bangsa, terjadinya negara-negara
nasional, terjadinya batas-batas yang melingkari bangsa-bangsa dan negara-negara nasional,
tetapi sebagai paradok daripada itu pertumbuhan sebagai akibat daripada perkembangan teknik
terutama sekali, justru menghapuskan setapak demi setapak adanya batas-batas bangsa itu. Di
satu pihak terjadinya negara-negara nasional dan bangsa-bangsa, di lain pihak perhubungan yang
makin rapat antara manusia dan manusia dan antara bangsa dan bangsa.
Saudara-saudara, sehingga jikalau kita mau berdiri sendiri sebagai bangsa tak rnungkinlah, dunia
telah menjadi demikian. Maka oleh karena itu kitapun di dalam Republik Indonesia ini yakin di
dalam tekad kita bahwa kita ini tidak hanya ingin mengadakan satu bangsa Indonesia yang hidup
dalam masyarakat yang adil dan makmur. Tidak. Tapi kita di samping itu bekerja keras pula
untuk kebahagiaan seluruh umat manusia.
Tergambar jelas di dalam Pancasila, misalnya kalau kita menyebut keadilan sosial. Keadilan
sosial yang nanti akan kita adakan bukan sekadar keadilan sosial di dalam lingkungan bangsa
Indonesia, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Maka oleh karena itulah misalnya, kita
mengadakan politik bebas dan aktif. Bahkan kita vakin masyarakat adil dan makmur tak
mungkin kita dirikan hanya di dalam lingkungan bangsa Indonesia saja. Masyarakat adil dan

clxiii
makmur pada hakekatnya adalah sebagian daripada rnasyarakat adil dan makmur yang mengenai
seluruh kemanusiaan. Tentang hal ini, Saudara-saudara, saya mau menceritakan kepada Saudara-
saudara sebagai satu contoh untuk mempertajam Saudara punya pengertian, sebagai satu
ilustrasi:
Perjuangan yang hebat atau katakanlah gedachtestrijd yang hebat di Sovyet Uni beberapa puluh
tahun yang lalu, yaitu gedachtestrijd yang hebat sekali antara golongan yang dikepalai oleh
Trotsky dan golongan yang dikepalai oleh Stalin. Dua golongan ini hebat memperdebatkan soal
ini, sehingga akhirnya menjadi pertikaian politik, bahkan menjadi pertikaian kekuasaan, yang
akhirnya Trotsky dikalahkan oleh Stalin.
Bagaimana, Saudara-saudara, duduknya perkara?
Baik Trotsky maupun Stalin menghendaki satu masyarakat adil dan makmur ala Rusia. Kita
selalu mengatakan kita menghendaki masyarakat adil dan makmur ala Indonesia. Merekapun
mempunyai cita-cita satu masyarakat yang adil dan makmur, katakanlah komunisme. Dua-
duanya menghendaki komunisme, dua-duanya menghendaki hilangnya stelsel kapitalisme, dua-
duanya menghendaki manusia tidak dihisap oleh manusia yang lain, dua-duanya mau
meniadakan exploitation de 1’homme par 1’homme, dua-duanya ingin mengadakan masyarakat
sama rata sama rasa tanpa kapitalisme. Tapi toh ada perdebatan, bentrokan kemudian yang hebat
sekali.
Apa kata Trotsky? Trotsky berkata: “musuh kita, kapital-isme, tidak bersarang di Rusland saja.
Musuh kita kapitalisme adalah sudah mencapai tingkatan internasional kapitalisme. Musuh kita
telah mencapai internasional imperialisme, yang dus tidak bercokol di sesuatu negeri saja, tapi
bercokol di seluruh dunia. Kita telah berhasil mengadakan revolusi di tanah air kita, yaitu di
Rusland. Kita tak dapat mendirikan satu masyarakat sosialis atau komunis di Rusland saja,
jikalau kita tidak pula menumbangkan kapitalisme di lain-lain negeri”. Oleh karena itu Trotsky
minta dan menuntut supaya revolusi yang diadakan di Sovyet Uni itu diteruskan di negeri-negeri
yang lain, dijadikan satu revolusi internasional. Dan bukan saja dijadikan satu revolusi
internasional, tapi Trotsky berkata bahwa penumbangan kapitalisme, bahwa perjuangan
menghilangkan stelsel kapital-isme itu bukanlah satu perjuangan daripada setahun dua tahun,
sedetik dua detik.

clxiv
Perjuangan menumbangkan kapitalisme adalah perjuangan terus-menerus, perjuangan tiap hari.
Perjuangan menentang segala sifat-sifat, perjuangan menentang segala uitingen daripada stelsel
kapitalisme itu, adalah perjuangan tiap hari terus-menerus dengan tiada berhenti.
Tidak cukup perjuangan sekadar pada satu saat merebut politieke macht, tampuk pimpinan
Pemerintah direbut oleh kaum proletariat. Tidak cukup. Tapi perjuangan tiap hari, sekarang
merebut tampuk pimpinan pemerintahan, besok merebut kekuasaan di dalam alam itu, besok lusa
merebut kekuasaan di dalam alam itu, besok lusa lagi di alam itu, plus, bukan hanya di Sovyet
Rusia, tapi di seluruh muka bumi.
Oleh karena itu Trotsky berkata: “Kita punya revolusi haruslah satu revolusi permanen, revolusi
terus-menerus dan memusatkan perhatian kepada revolusi terus-menerus itu. Jangan sebentarpun
mengadakan satu adem pauze, jangan sebentarpun mengadakan pemusatan pikiran kita kepada
apa yang dinamakan pembangunan. Tidak! Terus gempur, gempur, di segala lapangan, di segala
hari, di segala negeri. Revolusi sosialis adalah satu revolusi permanen, kalau sosialisme hendak
tercapai”. Revolusi ini oleh Trotsky dinamakan permanente revolutie. Trotsky mengeluarkan ia
punya teori: permanente revolutie. De theorie van de permanente revolutie, teori yang amat
dikenal oleh barisan kaum sosialis-komunis beberapa puluh tahun yang lalu.
Stalin, Saudara-saudara, berpendapat lain. Stalin dan Trotsky itu dua nama pedengan. Trotsky
sebenarnya ia punya nama asli ialah Leon Bronstein. la adalah orang Yahudi. Di dalam gerakan
revolusioner ia memakai nama pedengan: Trotsky atau Leon Trotsky.
Stalin dia punya nama asli ialah Jugas Villi. Dia ambil nama pedengan Stalin, orang yang terbuat
dari baja. Ia adalah orang dari Georgia, dilahirkan di kota Tbilisi (Tiflis); namanya Jugas Villi.
Masuk di dalam gerakan pada umur sangat muda dan terus memakai nama pedengan Stalin.
Stalin berpendapat lain. Ia berkata: “Kalau kita mau terus-terusan menjalankan teori permanente
revolutie, Revolution in permanent, tidak akan bisa kita mencapai sosialisme di dalam jangka
waktu umur beberapa generasi. Tapi marilah kita lebih dahulu menyusun satu benteng
proletariat. Benteng itu sudah di dalam tangan kita, yaitu Rusland atau lebih tegas lagi yang
dinamakan Sovyet Uni. Buatlah Sovyet Uni menjadi satu citadel daripada perjuangan seluruh
proletariat dunia nanti untuk menjalankan sosialisme.
Tapi perkuatlah citadel ini lebih dahulu. Jangan terlalu engkau memikirkan revolusi di negeri-
negeri lain, jangan terlalu engkau membuang energi 100% kepada revolusi di Inggris, revolusi di
Italia, revolusi di Jerman, revolusi di Perancis, revolusi di Amerika Selatan, revolusi di Amerika

clxv
Utara, revolusi di Kanada”. Tidak, kata Stalin. “Pusatkan engkau punya perhatian lebih dulu
kepada pemerkuatan benteng yang telah di dalam tangan kita. Jadikan Sovyet Uni citadel van het
wereld proletariaat. Dan agar supaya bisa membuat Sovyet Uni ini citadel daripada wereld
proletariaat, bangunkanlah Sovyet Uni sehebat-hebatnya”. Malahan Stalin berkata: “Mungkin,
het is mogelijk mendirikan satu masyarakat adil dan makmur di dalam satu negeri”.
Trotsky berkata: “Tidak bisa mendirikan sosialisme di dalam satu negeri sebelum kapitalisme di
seluruh dunia gugur. Sosialisme hanyalah bisa berdiri di semua negeri bersama. Tidak bisa satu
negeri sosialistis”. Stalin berkata: “Neen, mogelijk, bisa mengadakan sosialisme di satu negeri,
yaitu di sovyet Uni. Oleh karena Sovyet Uni cukup bahan-bahannya, cukup mineralen, cukup
luasnya tanah, cukup penduduk, cukup ini cukup itu, cukup material. baik material pisik maupun
material yang berupa benda, maupun material batin”.
Saya sendiri selalu berkata, bahwa kita misalnya harus mengadakan mental investment.
Stalin berkata: “Cukup material di Sovyet Uni ini untuk merealisir sosialisme hanya di Sovyet
Uni dahulu, dan perkuat-kan Sovyet Uni menjadi citadel daripada seluruh proletariat sedunia”.
Dan oleh karena dia berkata: cukup Sovyet Uni saja, mungkin, mogelijk untuk mendirikan
sosialisme di dalam satu negeri saja, maka ia menjalankan politik isolationist. Ia tutup batas
Sovyet Uni itu sampai dunia luaran mengatakan bahwa Sovyet Uni adalah seperti di belakang
tembok besi Tiada ada orang bisa melihat apa yang terjadi di belakang tembok besi itu, hermetis
ditutupnya.
Dua paham ini bentrokan satu sama lain. hebat perdebatan-nya, sampai menjadi de strijd om de
macht pula. Bukan strijd om de idee, tapi juga strijd om de macht, yang akhirnya Trotsky kalah.
la dibuang oleh Stalin ke Alma Ata, kemudian diper-bolehkan ke luar negeri, cari tempat exil di
luar negeri.
Akhirnya mendapat exil di Mexico. Tapi di Mexico iapun masih terus mengajarkan ia punya
teori permanente revolusi dan terus ia menyerang pada Stalin. Pada suatu hari orang pengikut
Stalin atau alat Stalin menghabisi ia punya jiwa dengan membacok ia punya kepala dari
belakang.
Saudara-saudara, dua idee yang bertentangan satu sama lain, bertempur satu sama lain, berebutan
kekuasaan satu sama lain, yang akhirnya satu kalah. Sesudah kalah satu ini, maka Sovyet Uni
memasuki periode yang dikenal oleh dunia luar: periode Stalinisme, periodc penutupan, periode
isolasi, periode mem-perkuat benteng di dalarn lingkungan pagar besi itu. Periode pemerkuatan

clxvi
benteng ini melalui fase-fase pembersihan, fase-fase penangkapan, fase-fase kalau perlu
pendrelan dan pembunuhan.
Datanglah akhirnya reaksi terhadap kepada periode ini.
Reaksinya ialah periode yang kita alami sekarang, yang Sovyet Uni sekarang mulai membuka ia
punya pintu, yang Sovyet Uni sekarang sendirinya menginguk ke luar negeri dan membolehkan
orang luar negeri menginguk pula ke dalam, yang Sovyet Uni mencari hubungan sebanyak-
banyaknya dengan luar negeri.
Kita bagaimana Saudara-saudara? Sebagai tadi pada permulaan telah saya katakan, kita tidak
dapat menyelenggarakan satu masyarakat adil dan makmur di dalam negeri kita ini jikalau kita
menjalankan politik isolationisme pula. Kita harus mencari hubungan dengan bangsa-bangsa atas
dasar persamaan, atas dasar daulat sama daulat, atas dasar mutual benefit, menguntungkan dan
diuntungkan. Ini adalah satu politik yang tegas kita jalankan, yang pada inti jiwanya ialah politik
yang berdiri atas beginsel kebangsaan, tapi juga atas beginsel perikemanusiaan. Apalagi kita
yang masih di dalam periode nationale revolutie menumbangkan imperialisme yang kita
mengetahui bahwa imperialisme adalah imperialisme inter-nasional yang di dalam waktu yang
akhir-akhir ini berhubung dengan adanya subversi asing dan intervensi asing kita aan den lijve
ondervinden bahwa imperialisme yang harus kita tumbangkan bukan hanya imperialisme
Belanda, tapi antek-antek dan kawan-kawan daripada imperialisme Belanda itu pula, artinya
yang kita aan den lijve ondervinden bahwa kita menghadapi pula internasional imperialisme, tak
dapat kita melepaskan diri kita daripada bekerja sama dengan bangsa-bangsa yang juga menen-
tang imperialisme itu.
Oleh karena itulah Indonesia menjadi salah satu sponsor daripada Konferensi Asia Afrika. Oleh
karena itulah pula maka Indonesia dengan terang-terangan memberi bantuan kepada perjuangan
bangsa-bangsa yang lain. Oleh karena itulah Indonesia pula mencari bantuan dari bangsa-bangsa
yang lain.
Hal yang saya ceritakan ini adalah mengenai bidang politik, bidang perjuangan. Tapi sila
Perikemanusiaan bisa juga kita terangkan daripada bidang-bidang yang lain. Bukan sekadar bi-
dang politik, perjuangan politik menuntut kita bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain -bukan
saja itu -bukan saja keyakinan bahwa kita tak mungkin mengadakan satu masyarakat sosialisme
ala Indonesia, sosialisme Pancasila, jikalau kita mengadakan isolasionisme, tidak mau
berhubungan dengan bangsa-bangsa yang lain, tapi juga dari sudut apapun, rnaka nasionalisme

clxvii
Indonesia harus disegari pula oleh Peri-kemanusiaan. Tatkala saya mengusulkan Pancasila
sebagai dasar negara dalam bulan Juni 1945, saya telah berkata: “Nasionalisme hanyalah dapat
hidup subur di dalam taman sarinya internasionalisme. Internasionalisme hanyalah dapat hidup
subur jikalau berakar di buminya nasionalisme. Dua ini harus wahyu-mewahyui satu sama lain”.
Apalagi jikalau kita, sebagai tempo hari telah saya katakan kepada Saudara-saudara, ingat,
bahwa kita ini adalah satu bangsa yang tidak boleh tidak harus religius. Saya berkata tidak boleh
tidak, oleh karena sosiologis kita ini adalah satu bangsa yang buat sebagian besar masih hidup di
dalam alam agraris dan tempo hari saya terangkan kepada Saudara-saudara bahwa tiap-tiap
bangsa yang masih hidup dalam alam agraris, tidak boleh tidak adalah religius.
Saya ulangi apa yang saya katakan tempo hari, bangsa agraris selalu mencantumkan ia punya
harapan juga kepada faktor-faktor gaib. Bangsa agraris yang sudah menyangkul ia punya tanah
sudah mendeder ia punya bibit, menunggu sang bibit ini tumbuh dan kemudian berkembang dan
kemudian berbuah sambil mohon. mengharap-harap hujan jangan terlalu banyak, kering jangan
kering, memohon ibaratnya daripada bintang-bintang dan Tuhan agar supaya tumbuhnya ia
punya tanaman ini diberkati oleh hujan, diberkati oleh sinar matahari dan lain-lainnya. Bangsa
yang agraris tidak boleh tidak mesti hidup di dalam religiositet. Apalagi jikalau kita ingat akan
hal itu, maka faktor perikernanusiaan amat menonjol kepada kita. Tiap-tiap bangsa yang agraris
tebal ia punya rasa Peri-kemanusiaan.
Agama, Saudara-saudara, agarna apapun, semuanya menghendaki rasa perikemanusiaan. Kalau
saya kupas agama yang besar-besar, mulai dengan agama yang disebarkan oleh Nabi Musa, de
Godsdienst van Israel, hanya agama Musa itulah yang masih tebal ia punya kebangsaan.
Namanya juga sudah Godsdienst van Israel. Coba baca sejarah daripada agama Israel, katakanlah
agama Yahudi. Tampak benar ini adalah satu nationale religie, satu agama untuk menyelamatkan
bangsa Israel. Sifat kebangsaan, sifat nasionaliteit masih tebal di Agama Musa ini. Ia memimpin
ia punya bangsa, bangsa Israel keluar daripada penindasan di Mesir di bawah pemerintahan
Firaun. Musa berjalan di hadapan puluhan mungkin ratusan ribu rakyat Yahudi ini sebagai
pemimpin bangsa Yahudi, mencoba membawa mereka kepada satu daerah yang dinamakan Het
beloofde land, tanah yang telah dijanjikan oleh Tuhannya ialah tanah Israel, tanah yang akan
memberikan kebahagiaan kepada mereka.
Saudara-saudara kenal akan cerita dia dikejar-kejar oleh laskar Firaun. Kenal bahwa ia
menyeberangi laut yang menurut ceritera agama ialah dengan ia punya tongkat, laut itu

clxviii
dipecahkan airnya sehingga satu bagian kering dan dia dengan ia punya rakyat Israel itu tadi
melalui bagian kering itu. Pihak Wetenschap berkata: Bagian laut itu memang kadang-kadang
mengalami pasang surut yang sangat rendah sekali sehingga memang kebetulan pada waktu itu
pasang surutnya demikian rendahnya dan lamanya, lautan itu memang lautan kering dan Musa
bisa mclewati dasar lautan itu.
Bagaimanapun juga Saudara-saudara, agama Musa masih menunjukkan corak nasional yang
tebal, Godsdienst van Israel untuk memberi kebahagiaan kepada rakyat Israel, yang dasar inilah
sampai sekarang dipakai oleh partai agama di Negara Israel yang didirikan beberapa tahun yang
lalu. Di Israel itu ada partai Sosialis, ada partai Komunis yang kecil, ada juga partai yang
dinamakan partai ortodox yang sama sekali berdiri di atas ajaran ini “dit land van Israel is ons
beloofde land” dan menurut kitab-kitab, kita akan mengalami kebahagiaan di tanah ini.
Agama Musa jelas mempunyai sifat-sifat yang tebal kebangsaan. Tidak demikian agama-agama
yang lain. Ambil kronologis agama Budha sebagai yang diajarkan oleh Budha Sakya Muni.
Sidarta namanya pada waktu ia masih muda, anak Raja Kapilawastu Sidarta. Sidarta akhirnya
bertapa, berjuang mencari kebenaran. Akhirnya ia dinamakan Budha Sakya Muni. Agama
daripada Budha Sakya Muni ini dengan tegas tidak berdiri atas dasar kebangsaan, hanya berdiri
di atas pembersihan kalbu, begeerteloosheid. Agama Israel tidak, istimewa untuk orang Israel,
untuk bangsa Israel, berdiam di tanah di kanan-kirinya sungai Yordan. Budha tidak. Setengah
manusia bisa mencapai kebahagiaan. “Aku”, kata Budha, “tidak akan membawamu kepada
sesuatu tanah sebagai Musa. Aku tidak berhadapan dengan bangsa India, aku berhadapan dengan
tiap-tiap manusia yang ingin mencapai kebahagiaan dan jalannya ialah membunuh begeerte,
membunuh nafsu. Bunuhlah engkau punya nafsu, dengan sendirinya engkau masuk Nirwana.
Bunuhlah engkau punya nafsu-nafsu, dengan sendirinya engkau akan mencapai kebahagiaan”.
Oleh karena itu tempo hari saya berkata di dalam salah satu pidato: agama budha tidak mengenal
begrip Tuhan. Agama lain mempunyai begrip Tuhan: Ya Allah atau Ya Tuhan atau Ya God atau
Yehova, mohon, mohon; ada tempat permohonan. Budha berkata tidak ada, tidak perlu engkau
mohon-mohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu daripada nafsu dan dia sebut
delapan nafsu. Bunuhpadamkan delapan nafsu ini, dengan sendirinya engkau masuk di dalam
Sorga; artinya engkau akan mencapai kebahagiaan, engkau akan masuk Nirwana. Agama Budha
pada orisinilnya Saudara-saudara, inilah, dan ini yang dinamakan Budhisme Hinayana. Tiap-tiap

clxix
manusia bisa langsung masuk ke dalam alam Nirwana. Engkau bisa, engkau bisa, asal engkau
bisa membunuh delapan macam nafsu itu.
Delapan nafsu ini bunuhlah, oleh karena nafsu itulah sumber daripada semua ketidakbahagiaan.
Jikalau engkau bisa membunuh delapan nafsu ini, sekaligus dengan langsung engkau bisa masuk
dalam Nirwana. Agama Budha asli ini dinamakan Hinayana. Hina artinya kecil, Yana artinya
kereta; kereta kecil. Naiklah kereta kecil ini, engkau masuk dalam nirwana. Kereta kecil ini apa?
Pernbunuhan nafsu yang delapan.
Di samping itu Saudara-saudara, sesudah Budha Sakya Muni meninggal dunia, sebagaimana
tiap-tiap agama, pengikut-nya lantas diperdalam, diperlebar, diperdalam, diperlebar, timbul
pahampaham yang lebih daripada itu. Lihat agama Kristen, lihat agama Islam. Pada mulanya lsa
menghendaki satu, bukan? Tetapi pengikutnya kemudian mengadakan bermacam-macam ini-itu,
ini-itu. Bertengkar ini dan itu, timbullah cabang-cabang. Ada cabang agama Kristen ini ada
cabang agama Kristen itu. Islam juga begitu. Muhammad menghendaki satu agama, tapi
belakangan pengikut-pengikutnya sesudah ia meninggal, debat ini-debat itu, tambah ini-tambah
itu, sampai terjadi macam-macam aliran, sampai pada satu saat sudah tidak bisa diperdebatkan
lagi saking sama-sama pinternya. Sampai lantas diadakan permufakatan: sudah, jangan debat-
debat diteruskan, kita akui saja semuanya ini benar. Engkau Malik benar, engkau Hanafi benar,
engkau Syafii benar, engkau Hambali benar; akui semua mazhab. Mazhah itu tidak ada zaman
Muhammad, Saudara-saudara! Belakangan, demikian, ada mazhab Maliki, Syafii, Hambali,
Hanafie; bahkan belakangan ada macam-macam aliran lagi, ada Akhmadiah Qadian, Akhmadiah
Lahore. Ada macam-macam tarikah: tarikah Tijaniyah, Kadiriyah, Subandiyah, ini dan itu.
Demikian pula agama Budha, ditambah-tambah, lantas menjadi manusia itu tidak bisa satu
kaligus dalam satu hidup. Sekarang hidup lantas disucikan batin daripada 8 nafsu, masuk
Nirwana. Tidak bisa! Manusia itu harus melalui siklus bersambung-sambung, dilahirkan – mati –
inkarnasi di dalam makhluk lain. Hidup – mati – inkarnasi lagi di dalam makhluk yang lain. Nah,
makin lama kalau untung makin lama makin tinggi, kalau celaka makin lama makin turun.
Manusia kalau dia bisa mengekang ia punya nafsu, bisa berbuat bijak dan bajik, mati -inkarnasi
dalam satu makhluk manusia yang lebih tinggi. Hidup berpuluh-puluh tahun, mati, inkarnasi
dalam makhluk yang lebih tinggi ia punya taraf kej iwaan. Demikian sambung-bersambung,
sambung-bersambung melalui siklus berpuluh-puluh beratus-ratus, beribu-ribu, akhirnya tercapai
tingkat yang tertinggi-sempurna, masuklah ia dalam Nirwana. Tapi kalau kita tidak bisa

clxx
mempersucikan kita punya diri, siklus ini garisnya menurun. Lebih dulu manusia, kemudian bisa
menjadi kerbau, kemudian menjadi babi, kemudian menjadi ini, kemudian menjadi itu.
Budhisme yang ini dinamakan Budhisme berkereta besar. Tadi dinamakan Budhisme kereta
kecil, Budhisme Hinayana. Tapi Budhisme yang siklus-siklus itu dinamakan Budhisme
Mahajana. Hinayana dan Mahayana. Tapi baik Hinayana mau-pun Mahayana tidak berdiri di atas
dasar kebangsaan, langsung menuju kepada manusia-manusia dan manusia satu sama lain harus
hidup seperti saudara dengan saudara.
Kronologis, masuk ke alam Isa. Juga Nabi Isa tidak terutama sekali berdiri di atas kebangsaan. ia
punya ajaran ditujukan kepada semua manusia. Malah dcngan tegas ia menganjurkan: cintailah
sesama manusia. Tuhan di atas segala hal, tapi sesama manusia seperti engkau mencintai diri
sendiri. Heb God lief boven alles en Uw naasten gelijk U zelf. Cintailah Tuhan di atas segala hal
dan cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri. Isa membasirkan ia punya
ajaran bukan kepada kebahagiaan bangsa, tetapi kepada cinta dan kasih, liefde. Liefde terhadap
Tuhan, liefde terhadap sesama manusia.
Kronologis: masuk di dalam alam – kronologis sebetulnya agama Hindu lebih dulu, bahkan lebih
dulu daripada Budha Sakya Muni, Prins Sidarta – agama Hindupun tidak terutama sekali
ditujukan kepada bangsa, tetapi kepada perikemanusiaan, yang ini di dalam tiap-tiap pidato saya
tandaskan salah satu adagium daripada Hinduisme ialah Tat Twam Asi. Tat Twam Asi yang
berarti: aku adalah dia, dia adalah aku. Yang dus pada hakekatnya tidak ada perbedaan dan
pemisahan antara dia dan aku, bahkan tidak ada perbedaan dan perpisahan antara manusia dan
alam semesta ini, bahwa segala isi alam semesta itu pada hakeka.tnya satu, berhubungan satu
sama lain, rapat.
Rasa kesatuan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sernesta ini, segala
yang kumelip di dalam alam semesta ini, rasa kesatuan itu dinamakan Advaita. Aku ada hu-
bungan dengan Saudara Ahem, Saudara Ahem ada hubungan dengan aku, aku ada hubungan
dengan gunung, ada hubungan dengan awan, ada hubungan dengan laut, ada hubungan dengan
udara, ada hubungan dengan burung yang sekarang sedang bercicit, ada hubungan dengan cecak
yang saya lihat di sana, ada hubungan dengan isi kumelip daripada alam semesta ini.
Itu adalah Advaita dan inilah Advaita itu yang digambarkan oleh Krishna di dalam ucapannya
terhadap pada Arjuna di dalam kitab Baghawad Gita sebagai yang di dalam pidato Kongres
Kebatinan saya sentil sedikit. Tatkala Krishna diminta oleh Arjuna “Aku ingin mengetahui

clxxi
engkau itu di mana dan siapa, engkau melihat dirimu – badanmu Krishna, tapi sebenarnya
engkau itu di mana, sebenarnya engkau itu siapa”. Lantas Krishna menjawab: “Aku, aku adalah
di dalam tumbuh-tumbuhan, aku adalah di dalammu, aku adalah di dalam gunung yang membiru,
aku adalah di dalam samudera, aku adalah di dalam geloranya samudera, aku adalah api, aku
adalah panasnya api, aku adalah di dalam bulan, aku adalah di dalam sinarnya bulan. Aku adalah
di dalam angin yang meniup sepoi-sepoi, aku adalah di dalam awan yang bergerak, bahkan aku
adalah di dalam batu yang disembah oleh orang yang masih biadab, aku di dalam perkataan
keramat Om – Sembahyangan orang Hindu atau orang Budha dimulai dengan perkataan Om. Om
itu kalau Islamnya salam, peace atau vrede. “Aku adalah di dalam perkataan Orn, aku adalah di
dalam rasa manusia, aku tidak dilahirkan, aku tidak akan mati, aku adalah awal daripada segala
hal, aku adalah akhir daripada segala hal, aku adalah di dalam ganda harumnya bunga-bunga,
aku adalah di dalam senyumnya gadis yang cantik, aku adalah tak dapat dikatakan kata”. Lantas
Arjuna menanya: “Bolehkah aku melihat engkau di dalam sifatmu yang sebenarnya ini?”
“Arjuna! Aku akan membuat engkau lebih dahulu kuat melihat aku. Sebab engkau jikalau
melihat aku di dalam zatku yang sebenarnya, engkau tidak akan kuat, tidak akan tahan jikalau
aku tidak membuat engkau lebih dahulu kuat dan tahan”.
Sesudah Arjuna dibuat tahan melihat, Krishna lantas berubah dia punya jirim. “Lihat, ini aku!”
Arjuna melihat Krishna. Apa yang dia lihat? Bukan gambar manusia Krishna atau Nayarana. Dia
laksana melihat sejuta matahari bersinar, dia melihat sernua setan dan jin berkumpul, dia melihat
api menyala-nyala di Utara, di Barat, di Timur, di atas, di bawah. Dia melihat angin taufan
meniup bergelora, dia melihat pepohonan mengadakan nyanyian, dia melihat lautan di mana-
mana, dia melihat mata seperti mata manusia tetapi di mana-mana kelihatan mata. Lantas
sesudah demikian, Krishna berkata: “Nah, demikianlah aku. Oleh karena itu. bertindaklah. Aku
meliputi segala hal, berjuanglah. Aku ada di dalam perbuatan, aku bukan saja satu zat, tetapi aku
ada juga di dalam rasa, di dalam pikiran, di dalam perbuatan manusia. Maka oleh karena itu
sudah, kerjakan, kerjakan apa yang saya perintahkan kepadamu, sebab sebenarnya kerjamu dan
perbuatanmu itu adalah perbuatanku”. “Kerjakan kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitung
akan untung dan rugi dan akan akibat, sebab sebenarnya akulah yang berbuat”. “Engkau tidak
mau membunuh sang Karna, tidak mau membunuh sang Drona, oleh karena sang Drona adalah
guruku, sang Karna adalah Saudaraku, dia keluar dari telinga, aku keluar dari goa garba. Jangan
ayal, bunuh engkau punya musuh, sebab pembunuhanmu itu sebetulnya perbuatanku. Sebelum

clxxii
engkau membunuh dia, aku sebenarnya telah membunuh dia, engkau sekadar seperti membunuh
dia; pada hakekatnya akulah yang membunuh”.
Nah, advaita ini Saudara-saudara, persatuan dan kesatuan daripada segala hal yang kumelip di
dunia ini, bahkan sampai masuk dalam persatuan segala hal yang dipikirkan orang, segala hal
yang dirasakan orang, segala hal yang diperbuat oleh orang. Ini adalah advaita, ajaran daripada
agama Hindu. Orang yang mempraktikkan yoga daripada advaita ini, pada suatu saat mencapai
tingkat persatuan dan kesatuan itu. Ambillah misalnya guru daripada Pahlawan Viveca Nanda.
Saya selalu mensitir Viveca Nanda. Viveca Nanda itu mempunyai guru namanya Rama Krishna.
Bukan Krishna dari Baghawad Gita. Tidak. Gurunya Viveca Nanda, namanya Rama Krishna.
Rama Krishna duduk di rumahnya di serambi muka. Sedang hujan, duduk di dalam rumahnya
tidak akan kena air hujan. Dia melihat orang berjalan kehujanan. Rama Krishna yang menggigil
kedinginan. Orang lain yang kena air hujan. dia yang menggigil kedinginan. Persatuan antara si
yang berjalan dan Rama Krishna, advaita. Oleh karena itu advaita berkata, paham kesatuan
berkata: “Tat Twam Asi, dia adalah aku, aku adalah dia. Dan Tat Twam Asi ini tidak mengenal
manusia dengan manusia saja, anjingpun Tat Twam Asi”. Saya ceriterakan satu hadis Nabi
Muhammad s.a.w. Pada suatu hari ada seorang wanita melihat seekor anjing melet-melet ia
punya lidah karena dahaga. Wanita ini menaruhkan rasa belas kasihan kepada anjing itu sehingga
memberikan sebagian daripada ia punya air kepada anjing itu. Air di negeri Arab, Iho Saudara-
saudara! Sebagian daripada airnya oleh wanita ini diberikan kepada anjing yang sedang melet-
melet dahaga. Nabi berkata: “Masya Allah, saya melihat wanita ini masuk Sorga, oleh karena dia
merasakan benar bahwa ada hubungan antara dua makhluk ini”
Dus, Saudara-saudara, baik agama Hindu maupun agama Budha maupun agama Islam berdiri
kuat di atas dasar perikemanusiaan. Memberi air kepada anjing adalah juga perikemanusiaan.
Jangan kira Perikemanusiaan hanya kepada sesama manusia saja, kepada tiap-tiap makhluk yang
hidup kita jalankan kebaikan, itu adalah pula perikemanusiaan. Oleh karena itu pula diwajibkan
oleh orang Islam untuk memikirkan nasibnya kawankawan Islam yang lain yang sebagai di
dalam Kongres Kebatinan saya katakan: ingat kepada ajaran fardhu kifayah di dalam Islam.
Ajaran fardhu kifayah di dalam Islam tak lain tak bukan ialah realisasi daripada dasar peri-
kemanusiaan.
Saudara-saudara, dus kita di dalam Pancasila dengan tegas mengadakan sila Perikemanusiaan ini
dan bolehlah kita bangga bahwa sila Perikemanusiaan ini tidak kita lupakan. Bahwa kita

clxxiii
cantumkan sila Perikemanusiaan ini dengan cara yang indah sekali di dalam Pancasila dan
dengan cara yang indah sekali di dalam lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika. Nasionalisme
yang tidak dihikmati pula oleh Perikemanusiaan mengekses menjadi chauvinisme, mcngekses
menjadi rasialisme.
Hitler membuat ia punya nasionalisme, nasionalisme yang tidak berperikemanusiaan. Ia punya
nasionalisme adalah nasionalisme chauvinis. Dia berkata hanya manusia-manusia turunan Aria-
lah manusia sejati, hanya manusia-manusia yang kulitnya putih, rambutnya merah-kuning
jagung, matanya biru, hanya manusia yang tegas daripada turunan ini, turunan Nordisch, dari
Utara, hanya manusia-manusia itulah manusia yang sejati. Yang tidak daripada turunan Nordisch
ini, yang tidak daripada turunan Aria ini, yang tidak rambutnya jagung, matanya biru, bukan
manusia sejati. Bahkan manusia yang demikian itu harus dimusnahkan dari muka bumi. Hitler
berdiri di atas dasar rasialisme, het nordisch ras, het Arische ras, itu dikatakan ras yang sejati,
yang baik; lain-lain ras adalah ras yang rendah derajatnya. Ia membuat ia punya nasionalisme,
nasionalisme yang membenci kepada bangsa lain. Ia membuat ia punya nasionalisme,
nasionalisme yang gila. Ia membuat ia punya nasionalisme menjadi nasionalisme yang
membunuh bangsa Yahudi.
Semua orang Yahudi di negara Hitler dibinasakan, dimasukkan dalam konsentrasi-kamp,
dibunuh dengan drelnya mitraliyur atau dibunuh lebih cepat lagi di dalam kamar gas. Bukan
seribu, dua ribu, tiga ribu, bukan sepuluh ribu, bukan seratus ribu, satu setengah juta orang
Yahudi dibunuh oleh karena rasa rasialisme ini. Dan Hitler bukan saja benci kepada orang
Yahudi yang tidak rambutnya jagung, yang tidak matanya biru, yang tidak daripada asal
Nordisch. Hitler j uga benci kepada orang Asia. Baca ia punya kitab Mein Kampf. Apa ia
sebutkan Tiongkok? Chinese koeli! Ia berkata apakah kita ini turunan orang Nordisch, turunan
orang Aria, sama dengan Chinese vuile koeli? Nah, Saudara-saudara, nasionalisme yang
demikian ini adalah nasionalisme yang jahat, dan kita Indonesia tidak mau nasionalisme yang
demikian. Meskipun kita berpendirian bahwa kebangsaan adalah satu sila yang essensiil untuk
membuat bangsa kita ini kuat dan negara kita ini kuat dan untuk menyelenggarakan masyarakat
adil dan makmur nanti, kita tidak menghendaki supaya nasionalisme kita menjadi nasionalisme
yang chauvinis, tapi nasionalisme yang hidup di dalam suasana perikemanusiaan, nasionalisme
yang mencari usaha agar segala umat manusia ini akhirnya nanti hidup dalam satu keluarga besar
yang sama bahagianya.

clxxiv
Sekian, Saudara-saudara, saya kira sudah cukup kursus saya pada malam ini. lnsya’Allah lain
kali kursus mengenai sila Kedaulatan Rakyat.
 
 

clxxv
P A N C A S I L A S E BAGAI DASAR N EGARA
V. Kursus Presiden Soekarno Tentang Pancasila di Istana Negara, Tanggal 3 September
1958.
 
Saudara-saudara sekalian.
Ini malam diminta kepada saya untuk memberi kursus tentang Sila ke-4; Kedaulatan Rakyat. Di
dalam beberapa pidato saya, telah pernah saya katakan bahwa teknis kedaulatan rakyat atau
dalam bahasa asing democratie, sekadar adalah satu alat, alat untuk mencapai sesuatu tujuan.
Teknis tujuannya ialah satu masyarakat yang berbentuk sesuatu hal, entah masyarakat kapitalis,
entah masyarakat sosialistis, entah masyarakat apa.
Kemudian jikalau tujuan ini telah ditentukan, maka salah satu alat untuk mencapai masyarakat
itu adalah demokrasi. Jangan lupa, saya sekali lagi berkata teknis secara alat. Perkataan teknis
berarti penggunaan alat-alat. Bahwa demokrasi teknis adalah alat untuk mencapai sesuatu tujuan,
hal itu pernah saya katakan di dalam beberapa pidato saya.
Alat untuk mencapai sesuatu tujuan bentuk masyarakat tidak selalu demokrasi; misalnya kaum
Hitleris, kaum nasional-sosialis berpendapat bahwa untuk mencapai masyarakat yang mereka
idam-idamkan, alatnya bukanlah demokrasi, tetapi nasionalsosialisme. National Sozialismus –
kata orang Jerman – yang pada hakekatnya adalah fasisme diktatur. Atau jikalau kita ambil
contoh dari pihak komunis, maka dalam taraf pertama cara bekerja mereka, alat yang mereka
pakai untuk mencapai masyarakat yang bentuknya mereka cita-citakan, pada tingkat pertama
ialah diktatur proletariat.
Jadi, baik demokrasi maupun fasisme atau nasional-sosialisme – nasional-sosialisme itu satu
perkataan bikinan Hitler -, tidak menggambarkan sosialisme dan nasional, tetapi Hitler me-
ngatakan ia punya fasisme: nasional-sosialisme.
Baik demokrasi maupun nasional-sosialisme, maupun diktatur proletariat adalah alat-alat untuk
mencapai sesuatu bentuk masyarakat yang dicita-citakan. Tetapi di dalam cara pemikiran kita
atau lebih tegas lagi di dalam cara keyakinan dan kepercayaan kita, kedaulatan rakyat bukan
sekadar alat saja. Kita berpikir dan berasa bukan sekadar hanya secara teknis, tetapi juga secara
kejiwaan, secara psychologis nasional, secara kekeluargaan.

clxxvi
Didalam alam pikiran dan perasaan yang demikian itu maka demokrasi dus, bagi kita bukan
sekadar salu alai teknis saja, tetapi satu “geloof’, sutu kepercayaan dalam usaha mencapai bentuk
masyarakat sebagai yang kita cita-citakan.
Bahkan dalam segala perbuatan-perbuatan kita yang mengenai hidup bersama, dalam istilah
bahasa Jawa hidup “bebrayan” kita selalu hendak berdiri di atas dasar kekeluargaan, di atas dasar
musyawarah, di atas dasar demokrasi, di atas dasar yang kita namakan kedaulatan rakyat.
Kita mempunyai kepercayaan bahwa hidup kekeluargaan tak mungkin bisa berjalan dengan
sempurna, bilamana tidak dengan menjalankan dasar kedaulatan rakyat atau demokrasi atau
musyawarah. Sebagaimana di dalam alam keluarga, tak dapat urusanurusan di dalam keluarga itu
dijalankan atau ditentukan secara perintah diktatur, tetapi harus berjalan dengan apa yang kita
kenal semuanya yaitu kekeluargaan.
Maka di dalam masyarakat atau kenegaraanpun kita mempunyai keyakinan, bahwa segala
sesuatu yang mengenai hidup “bebrayan” itu harus kita dasarkan atas dasar kekeluargaan, demo-
krasi, kedaulatan rakyat etc. etc., sehingga bagi kita, di dalam alam pikiran kita, didalam alam
perasaan kita, di dalam alam kejiwaan kita, demokrasi bukan sekadar satu alat teknis, tetapi
adalah pula sesuatu kepercayaan, satu “geloof’.
Maka oleh karena itulah bagi kita bangsa Indonesia, demokrasi atau kedaulatan rakyat
mempunyai corak nasional. satu corak kepribadian kita, satu corak yang dus tidak perlu sama
dengan corak demokrasi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa lain sebagai alat teknis. Artinya,
demokrasi kita adalah demokrasi Indonesia, demokrasi yang disebutkan sebagai Sila ke-4 itu
adalah demokrasi Indonesia yang membawa corak kepribadian bangsa lndonesia sendiri. Tidak
perlu “identiek”, artinya sama dengan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa-bangsa lain.
Berhubung dengan inilah maka di dalam waktu yang akhirakhir ini saya dengan hati yang tetap
dan yakin, berani mengatakan: janganlah demokrasi kita itu demokrasi jiplakan. Janganlah
demokrasi yang kita jalankan itu demokrasi jiplakan dari entah Eropa Barat, entah Amerika,
entah negara lain. Bahkan saya dalam waktu yang akhir-akhir ini berani menegaskan, demokrasi
Indonesia adalah demokrasi terpimpin.
Orang yang alam pikirannya masih alam pikiran yang tersangkut dengan dunia Barat, artinya
orang yang di dalam alam pikirannya belum berdiri di atas kepribadian Indonesia sendiri, atau
belum hendak mengembalikan segala sesuatu kepada kepribadian bangsa Indonesia sendiri,
orang yang demikian itu tidak akan dapat menangkap “essentie” daripada demokrasi terpimpin,

clxxvii
sebagaimana dalam waktu yang akhir-akhir ini saya anjur-anjurkan. Bahkan orang yang
demikian itu tidak mengerti bahwa demokrasi ala Barat yang mereka mau jiplak itu, di dalam
bidang sejarah perekonomian dan kemasyarakatan dan politik Barat, sekadar adalah satu
ideologie daripada sesuatu masa, – masa dengan “s” satu, bukan dengan “s” dua -, saya ulangi,
demokrasi Barat yang mereka hendak jiplak itu di dalam bidang sejarah, jalannya sejarah
daripada ekonomi, kemasyarakatan dan hidup politik di dunia Barat adalah sekadar satu
ideologie daripada sesuatu masa, – masa dengan “s” satu, – daripada satu periode. Artinya bahwa
di Eropa Barat, demokrasi, apalagi yang dikenal oleh kita dengan “parlementaire democratie”.
itu adalah ideologie daripada satu periode saja. Eropa Barat mcngenal periodc-periode yang tidak
beridcologie parlemcntaire democratie, malahan pernah bahwa di Eropa Barat itu berjalan satu
periode yang parlementaire democratie itu dibuang dengan tegas.
Lihatlah Hitler di Jermania, lihatlah Mussolini di ltalia, lihatlah Franco di Spanyol. Dengan
terang-terangan dan tegas-tegasan parlementaire democratie dibuang. Dijalankanlah di zaman
Hitler nasional-sosialisme, dijalankanlah di zaman Mussolini fasisme, dijalankan di zaman
Franco, sebenarnya, fasisme.
Dan sebelum Eropa Barat atau Amerika mengenal atau mempergunakan parlementaire
democratie, sebelum itu jelas-jelas di Eropa Barat atau Amerika itu tidak ada dikenal
parlementaire democratie itu. Berjalanlah di sana satu sistem pemerintahan feodal, artinya satu
sistem pemerintahan yang tidak didasarkan atas demokrasi, melainkan melulu ditentukan oleh
Sang Raja.
Pernah di dalam pidato tatkala saya menghadiri perayaan 30 tahun usianya PNI di Bandung saya
katakan, “parlementaire democratie a.dalah ideologi politik daripada kapitalisme yang sedang
naik”. Saya ulangi, parlementaire democratie adalah ideologi politik daripada kapitalisme yang
sedang naik. Parlementaire democratie adalah ideologie politik daripada “Kapitalismus im
aufstieg”. Kebalikan daripada “Aufstieg” ialah “Niedergang”.
Kapitalisme ada zamannya, periode naik, ada periodenya menurun. Naik dikatakan “Aufstieg”
menurun dikatakan “Niedergang”. “Kapitalismus im Aufstieg” dan “Kapitalismus im Nieder-
gang .
Nah, parlementaire democratie adalah ideologi politik daripada kapitalisme yang sedang naik. Itu
pernah saya katakan tatkala saya mengadakan pidato menyambut hari ulang tahun PNI yang ke-
30.

clxxviii
Lantas saya tarik kongklusi, dus, kita tidak menghendaki Kapitalismus, tetapi kita menghendaki
sesuai dengan Sila ke-5 daripada Pancasila, satu masyarakat keadilan sosial, kita dus sehenarnya
tidak boleh memakai parlementaire democratie itu, dan tidak bisu mempergunakan parlemenlaire
democratie itu sebagui sutu alai menyelenggarakan masyarakat keadilan sosial. Saudara-saudara
hendak saya terangkan ini perkataan kapitalisme yang sedang naik, kapitalisme yang sedang
menurun, dan ideologi politik daripada kapitalisme naik adalah parlementaire democratie. Dan
apakah ideologi politik daripada kapitalisme yang sedang menurun “im Niedergang?”
Ideologi politik daripada “Kapitalismus im Nierdergang” adalah fasisme. Fasisme menurut
perkataan seorang ahli kemasyarakatan “socioloog” yang bernama Karl Steuerman, fasisme
adalah usaha yang terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme. “Facisme is een laatste
reddingspoging van het kapitalisme”, untuk menyelamatkan kapitalisme.
Dengan ini dilukiskan bahwa kapitalisme yang hendak mati, yang hendak gugur, kapitalisme
yang menurun, Kapitalismus im Niedergang, sebagai satu “laatste reddingspoging” mengadakan
fasisme itu. Fasisme adalah ideologi politik daripada kapitalisme yang sedang inenurun, yang
sedang megap-megap, yang sedang hampir mati, yang sedang hampir gugur.
Lebih dulu saya terangkan apa yang tadi dikatakan: Dulu itu tidak ada parlementaire democratie.
Di Eropa Barat dan Amerika berjalanlah hukum-hukum feodalisme. Maka pada satu ketika
adalah satu perobahan di dalam alam pernikiran, alam penghidupan dan kehidupan masyarakat di
Eropa itu. Dan perobahan ini membawa pula perobahan di dalam alam ideologi. Nota bene
menyimpang sebentar. Inilah historis materialisme yang pernah saya terangkan, bahwa historis
materialisme itu mengatakan bahwa alam pikiran dalam masyarakat itu ditentukan oleh
kebutuhankebutuhan sosial ekonomis, cara produksi di dalam masyarakat dan tidak sebaliknva.
Satu minggu yang lalu saya mengucapkan satu perkataan yang membikin geger sebagian
daripada orang-orang, tatkala saya di Bogor didatangi satu rombongan kaum marhaenis. Di situ
saya berkata marhaenisme itu sekarang menjadi rebut-rebutan. Hak tiap-tiap manusia untuk
memeluk suatu isme, hak tiap-tiap manusia untuk berkata: “Inilah ismeku”. Dan marhaenisme
sekarang ini menjadi rebutan, saya katakan hak tiap-tiap manusia.
Tetapi kalau ada orang yang mau mengatakan: inilah marhaenisme tulen yang dipahami oleh
Bung Karno; saya menjawab: “nanti dulu”. Kalau dihubungkan dengan nama Bung Karno, saya
minta supaya marhaenismenya itu seperti marhaenismenya Bung Karno. Jangnlah kok sekadar
isme-isme lantas dikatakan inilah marhaenisme tulen. Nanti dulu, tanya dulu sama Bung Karno.

clxxix
Sebab, katakanlah yang menciptakan marhaenisme Bung Karno; dus tanya dulu apa yang
dimaksud-kan oleh Bung Karno dengan marhaenismenya. Kalau tidak cocok dengan
marhaenisme Bung Karno itu, kasilah nama lain; jangan dikatakan marhaenisme. Nah, di Bogor
tatkala didatangi rombongan itu saya berkata: marhaenisme adalah marxisme yang
diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Marhaenisme, ini bahasa asingnya, “is
het in Indonesia toegepaste marxisme”.
Apa ini memang demikian, marhaenisme adalah marxisme yang diselenggarakan, dilaksanakan
di Indonesia, “het in Indonesia toegepaste marxisme?” Maka saya berkata kepada saudarasaudara
yang datang di situ: Kalau dus ingin memahami betul marhaenisme, – ini saya menyimpang
sebentar -, harus memahami dua hal. Lebih dulu memahami marxisme, apakah marxisme itu,
salu. Dan kedua memahami keadaan-keadaan di Indonesia. Sebab marhaenisme, saya ulangi lagi,
ialah marxisme yang diselenggarakan di Indonesia, yang dicocokkan dengan keadaan Indonesia,
“het in Indonesia toegepaste marxisme”. Dus dua hal ini harus dipelajari betul-betul. Yang
mengenai Indonesia misalnya. antara lain-lain keadaan-keadaan seperti yang tempo hari dalam
kursus pertama saya terangkan kepada saudara-saudara, bahwa jika kita di Indonesia harus
mengadakan politik persatuan daripada seluruh rakyat.
Saya sudah terangkan tempo hari bahwa di Indonesia, kita tidak bisa mengadakan aksi melawan
imperialisme sebagai yang dijalankan oleh rakyat India terhadap kepada imperialisme Inggris.
Oleh karena keadaan di India lain lagi dengan keadaan di Indonesia dan imperialisme Inggris
lain daripada imperialisme Belanda.
Dulu sudah saya terangkan kepada Saudara-saudara di dalam kursus yang pertama, antara lain
Saudara-saudara yang hendak memahami marhaenisme harus kenal bahwa keadaan di Indonesia
begini-begini-begini, bahwa imperialisme yang mengamuk dan bekerja di Indonesia begini-
begini-begini, bahwa sejarah daripada exploitasi di Indonesia adalah begini-begini-begini.
Dus, orang yang tidak mempelajari keadaan-keadaan di Indonesia, tindak-tanduk imperialisme
Belanda di Indonesia, orang yang tidak mengerti betul-betul keadaan Indonesia, orang yang
demikian itu sebenarnya juga tidak bisa mengerti marhaenisme, oleh karena marhaenisme adalah
“marxisme toegepast in Indonesia”, mempunyai syarat-syarat sendiri, yang tidak sama sebagai
rakyat di India, rakyat RRC, rakyat di Mesir, rakyat di Pakistan dan rakyat apapun.

clxxx
Maka itu saya berkata: kenal dulu segala keadaan-keadaan di Indonesia, baru mengerti nanti
marhaenisme. Di pihak yang lain harus mengerti apa marxisme itu. Jangan mengira bahwa mar-
xisme itu harus dus komunisme. Tidak! Jangan mengira bahwa marxisme itu dus Soska. Tidak!
Marxisme itu adalah satu “denkmethode”, satu cara pemikiran. Cara pemikiran untuk mengerti
perkembangan bagaimana perjuangan harus di_jalankan, agar supaya bisa tercapai masyarakat
yang adil.
Ada orang yang dengan gampang berkata: O, marxisme itu adalah materialisme. Marxisme
adalah historis materialisme. Selalu dilupakan perkataan “historis”. Marxisme adalah dus anti
Tuhan. Mana kitab marxisme yang berkata bahwa marxisme itu anti Tuhan?
Marxisme adalah historis materialisme. Materialisme itu adalah macam-macam, ada yang anti
Tuhan, tetapi bukan historis materialisme. Yang anti Tuhan itu materialisme lain, yaitu misalnya
materialismenya Feuerbach, filosofis material-isme, wijsgerig materialisme. Itu yang
mengatakan bahwa segala pikiran, dus juga alam gaib yang bernama Tuhan itu, bahwa itu adalah
“incretie”, adalah perasaan daripada materie.
Feuerbach pernah berkata: tidak ada pikiran kalau tidak ada fosfor. Pikiran itu adalah hasil
daripada otak bekerja. Otak itu terdiri sebagian daripada fosfor; kalau tidak ada dus fosfor di sini,
tidak ada pikiran. Maka Feuerbach berkata: tidak ada pikiran sonder fosfor.
Maka benar perkataan ini dari sudut filosofis materialisme, wijsgerig materialisme. Tetapi
marxisme bukan wijsgerig materialisme.
Nah, historis materialisme itu apa? Itu adalah satu cara pengertian, bahwa sejarah itu telah
membuktikan, bahwa alamalam pikiran yang berjalan di dalam masyarakat itu adalah terbawa
oleh bentuk daripada economishe verhoudingen, productie-wijze di dalam masyarakat. Itu adalah
historis materialisme, jadi bukan wijsgerig materialisme.
Marx pernah berkata: “Es ist nicht das Bewuztsein des Menschen dasz sein Gesellschafft
liebensein, aber sein Gesellschafft liebensein das sein Bewusztsein bestimmt”.
Bukan bewustzijn, kesadaran manusia, alam pikiran manusia itu yang menentukan corak segala
materiil masyarakat itu. cara produksi, cara mencari makan dan lain-lain, akan tetapi sebaliknya
cara produksi, cara ekonomi, cara mencari makan dan lain-lain, dari masyarakat itulah yang
menentukan bagaimana corak alam pikiran, kesadaran manusia. Ini adalah marxisme. Kalau mau
mengerti marhaenisme harus mengerti ini dulu dan mengerti keadaan di Indonesia. Dua-duanya
ini kalau sudah dimengerti, baru bisa mengerti marhaenisme, sebagai yang saya maksudkan.

clxxxi
Saudara-saudara, maka berhubung dengan kursus yang sekarang mengenai demokrasi atau
kedaulatan rakyat, hendak saya gambarkan kepasa Saudara-saudara hal ini tadi, bahwa
demokrasi adalah satu ideologi politik daripada salah satu periode, satu bukti bahwa kesadaran
manusia, sebab demokrasi adalah satu alam pikiran, alam pikiran politik, bahwa alam pikiran ini
adalah terbuat oleh sesuatu cara produksi di dalam sesuatu periode.
Artinya bahwa di dalam sesuatu periode yang cara produksinya belum membutuhkan
parlementaire democratie, belum timbul pikiran parlementaire democratie itu. Tegasnya: dulu,
tatkala cara produksi belum sebagai yang tadi saya katakan: belum “Kapitalismus im Aufstieg”,
orang belum membutuhkan demokrasi-demokrasian, orang senang dengan cara feodal yang tidak
ada parlemen-parlemenan. Cuma “sabda pandita ratu”, terserah kepada Sang Nata, terserah
kepada raja. Raja yang membuat hukum, raja yang menentukan segala sesuatu.
Orang di masyarakat pada waktu itu semuanya percaya kepada raja. Raja di dunia Timur
dianggap malahan sebagai “titisan Batara kang linuwih”. Apa yang ditentukan oleh raja, pasti
benar. Di dunia Barat ada raja yang pernah menepuk ia punya dada dan berkata: “L’etat c’est
moi! Le lois e’est moi!” “De staat ben ik! De wet ben ik!” “Negara akulah! Hukum akulah!”
Ini bukan kecongkakan daripada raja itu saja, tapi diterima oleh rakyat.
Di dunia Timur malahan betul-betul ludahnya ditelan oleh rakyat. Air cucian tangannya diterima
oleh rakyat, air mandinya diterima oleh rakyat. Saya pernah ngobrol dengan Sri Jawaharlal
Nehru, ngobrol tentang Aga Khan almarhum yang tua, yang suka main kuda balap.
Dia itu pada suatu waktu nonton baller di London, waktu pauze Nehru bersama Aga Khan pergi
ke buffet, minum-minum sedikit; sesudah itu lantas pergi ke kamar cuci tangan. Aga Khan cuci
tangan, Nehru cuci tangan. Sarnbil cuci tangan itu apa kata Aga Khan? “Do you know Nehru,
I’m wasting thousand pounds”. “He, Nehru, tahukah engkau, sebetulnya aku ini membuang uang
seribu pound”. Maksudnya air yang terbuang ini. “Coba air ini kujual kepada orang-orang
pengikutku, laku seribu pound”. Nehru cerita sama saya begitu.
Di dalam alam feodalisme rakyat itu bukan saja menerima perintah daripada sang Raja atau sang
Agung, tetapi membenar-kan segala perkataan-perkataan dan tindakan-tindakan sang Agung itu.
Cara produksi di Eropa Barat di abad ke-18 dan sampai pertengahan abad ke- 18, memang satu
cara produksi yang cukup diurus oleh sistem yang demikian ini.
Saudara-saudara yang memperlajari sejarah daripada revolusi Perancis, – orang Perancis sendiri
menyebutkan revolusinya itu “La grande revolution”, revolusi yang agung, de grote revolutie”, –

clxxxii
akan mengerti bahwa revolusi Perancis ini adalah revolusi penyelenggaraan daripada
parlementaire demoratie. Dulu sebelum revolusi itu pecah, alam pikiran manusia di Perancis,
sudah puas dengan sistem politik feodal, puas dengan segala kekuasaan ditentukan oleh sang
raja.
Tetapi pada satu ketika, – dan ambillah perkataan “ketika” ini tidak sebagai satu moment, satu
hari, satu detik, tetapi satu ketika sejarah yang memakan waktu berpuluh-puluh tahun, – pada
satu ketika cara hidup, mencari makan, cara produksi di Perancis itu berobah. Dan karena
probahan cara hidup dan cara produksi ini, maka rakyat tidak puas lagi dengan sistem yang
tadinya memuaskan hati mereka. Kemudian jadilah revolusi.
Dulu “economische huishouding”, perumahtanggaan ekonomi sebelum pertengahan abad ke-18,
adalah satu huishouding yang tertutup, gesloten. Tiap-tiap kota mempunyai perumah-tanggaan
sendiri. Di sekeliling kota itu ada kaum tani yang memberi bahan makan kepada kota itu. Di
dalarn kota itu ada golongan kecil yang membuat alat-alat, golongan kecil yang
memperdagangkan ini dan itu, semuanya gesloten.
Di dalam alam yang demikian itu kekuasaan itu sama sekali di dalam tangan kaum feodal,
dengan dibantu oleh kaum yang di dalam revolusi Perancis dinamakan klas ke-2; kaum
bangsawan dinamakan klas ke-1, eerste stand.
Kaum gereja, – bukan agama, – organisasi daripada gereja, di masa itu kuat betul. Organisasi
daripada gereja itu menjadi kekuasaan di samping kekuasaan kaum bangsawan, dan mereka ini
dinamakan klas ke-2, tweede stand. Stand ke-1 dan ke-2 inilah yang memegang tampuk
pimpinan pemerintahan.
Tetapi masyarakat yang tadinya tertutup di dalam “gesloten huishoudingen” makin lama makin
memecah. “Gesloten-heidnya” itu pecah. Kebutuhan hidup makin lama makin bertambah, tidak
bisa lagi kebutuhan hidup itu dicukupi dengan tukar-menukar dengan bapak tani; tidak, tetapi
ingin perkembangan. Pengusahapengusaha ingin berusaha di lapangan ekonomi.
Gampangnya bicara: apa yang dinamakan kapitalisme ingin tumbuh, ingin mendapatkan
kesempatan untuk berkembang biak. Pernah saya bicarakan pokok daripada kapitalisme, ialah
cara produksi mempergunakan tanaga buruh, yang buruh ini membuat daripada sesuatu barang
lain yang lebih berharga daripada tadinya. “Theorie meerwaarde”, pernah saya terangkan di sini.
Meerwaarde ini pokok daripada kapitalisme. entahlah berupa apa. Tepung sama gula itu barang;
oleh tenaga buruh tepung dan gula ini dikerjakan jadi “jladren”. Jladren olch tenaga buruh

clxxxiii
dicetak-cetak dimasukkan dalam “oven”. Pendeknya oleh tenaga daripada buruh ini, tepung dan
gula ini, yang katakanlah tadinya harganya 100, menjadi kueh. Kueh ini tidak lagi seharga 100,
tetapi seharga 200, sesudah tenaga buruh ditanamkan di situ. Dari 100 menjadi 200, tambahnya
100.
Tambah inilah yang dinamakan di dalam ilmu marxisme ialah “meerwaarde”. Tetapi keringat
buruh yang menghasilkan “meerwaarde” 100 ini tidak dibayar dengan 100 pula; yang diberikan
kepada buruh 50. “Meerwaarde”-nya 100, tetapi yang diberikan kepada buruh cuma 50. Yang 50
lagi masuk dalam kantongnya kapitalis. lni gampangnya bicara saja.
Sumber daripada kapitalisme ini ialah satu cara produksi yang “meerwaarde”-nya tidak
dihonoreerkan-kan 100% kepada sipembuat “meerwaarde” ini, tapi hanya sebagian saja kepada
si buruh dan sebagian lagi masuk di kantongnya si kapitalis.
Nah, Saudara-saudara mengerti bahwa cara begini ini, jikalau dikerjakan dengan banyak buruh di
banyak lapangan, berhari-hari, bahwa ini yang menjadi “bron”, sumber daripada kekayaan-
kekayaan, yang akhirnya kita kenal sebagai kekayaan-kekayaan besar dalam kekayaan-kekayaan
alam kapitalisme yang dimiliki beberapa orang saja.
Nah, keadaan Perancis pada satu ketika, – ketika dalam arti historis periode, – berobah demikian.
Inilah kaum pengusaha-pengusaha, manusia yang ingin kaya, ingin mencari untung, ingin
mengadakan buruh, ingin mengadakan perusahaan, pendeknya apa yang saya gambarkan tadi,
“productie wijze” dengan menghasilkan “meerwaarde”, dengan sebagian hasil “meerwaarde”,
saja diberikan kepada buruh dan yang lain masuk kantongnya pengusaha. “Productie wijze” yang
demikian ini semakin lama semakin menjadi-jadi. Nah, agar supaya “productie wijze” yang
demikian ini bisa berjalan dengan selancar-lancarnya, timbullah “bewustzijn-bewustzijn”, ke-
sadaran-kesadaran, alam-alam pikiran baru. Cara produksi yang berobah membawa perobahan di
dalam alam pikiran. Inilah historis materialisme.
Apa alam-alam pikiran baru itu? Macam-macam. Misalnya di dalarn lapangan ekonomi yang
kita kenal dengan “liberalisme”. Oleh karena itu kita menentang kepada “liberalisme”. Oleh
karena “liberalisme” adalah alam-alarn pikiran yang pengusaha si Polansi Polan semuanya ingin
men-jadi kaya. Diperkenankanlah apa saja semaumu, di lapangan ekonomi, jangan negara ikut-
ikut.
Feodalisme ‘kan boleh dikatakan negara atau raja yang menentukan segala sesuatu ini. Sang Raja
yang berkata di dalam alam feodalisme: “Engkau hanya boleh membikin palu seperlunya saja.

clxxxiv
Engkau hanya boleh menanam gandum seperlunya saja. Aku menghendaki supaya bidang tanah
yang beriku-ribu kilometer persegi itu harus ditanami dengan itu saja. L’etat c’est moi! Le lois
c’est moi! Aku, Raja yang menentukan segala sesuatu!” Di dalam alam yang baru ini pengusaha-
pengusaha segala sesuatunya ditentukan oleh raja.
Tidak, kami ingin berusaha, biarkanlah kami berusaha, j angan raja atau negara ikut-ikut. Kami
ingin kemerdekaan, kebebasan berusaha. Kami ini ahli bikin kueh, biarkanlah kami membikin
kueh sebanyak-banyaknya, rugi ya biar kami, untung ya biar kami. Orang lain berkata: kami ini
ahli membikin meja kursi; biarkanlah kami membuatnya, untung adalah keuntungan kami, rugi
adalah “risiko” kami, janganlah raja ikut-ikut. Semua ingin bebas berusaha. Ini yang namanya
“liberalisme”; dari perkataan “liberty”, alam kebebasan yang mereka kehendaki.
Timbulnya alam “liberalisme” ini, kuatnya angin “liberalisme” ini, di periode ini. Di lapangan
ekonomi demikian, di lapangan politikpun demikian. Di lapangan politik berjalanlah alam
pemikiran baru yang dinamakan “politik liberalisme”.
Berpikir politik: jangan raja ikut-ikut, biar kami berpikir politik, biar kami mempunyai
keyakinan pikiran sendiri, mempropagandakan pikiran kami sendiri. Politik “liberalisme”. Kami
mau mengadakan partai-partai, biar partai corak A, biar partai corak B, biar partai corak C dan
seterusnya: politik “liberalisme”.
Maka terjadilah desakan dari klas yang ke-3. Tadinya ini klas bangsawan dengan raja sebagai
pimpinannya. Nomor dua klas gereja, tweede stand. Ada klas baru yang menyebutkan dirinya
klas ke-3, ialah klas pengusaha, yang di dalam kursus saya pertama, saya namakan “bourgeois”,
tatkala saya berkata India mempunyai “National bourgeois” atau lebih tegas “National
bourgeois” yang ada di India tidak dihancurbinasakan oleh imperialisme Inggris. Maka
pergerakan Nasional India sebagian daripada dia punya “motorische kracht”, ialah kekuatan
daripada kekuatan “Nasional bourgeois” di India.
Klas ke-3 ini yang sebenarnya yang menjadi peniup daripada revolusi Perancis. Rebut kekuasaan
daripada tangannya raja! Rebut kekuasaan daripada tangannya kaum feodal! Rebut kekuasaan
daripada tangannya stand ke-2!
Tetapi klas ke-3 ini juga merasa kalau harus merebut kekuasaan itu dengan tenaga sendiri tidak
bisa. Kekuasaan feodal dan kekuasaan gereja ini terlalu kuat. Kaum pengusaha sendiri tidak kuat.
Karena itu lantas kaum klas ke-3 ini, pengusaha, mempergiatkan tenaga rakyat jelata, yang oleh
mereka dinamakan klas ke-4, Eerste stand feoctal, tweede stand gereja, derde stand

clxxxv
opkomende hougeois, vierde stand rakyal.
Vierde stand ini yang dipergiatkan. Vierde stand ini yang dibakar hatinya dengan semboyan-
semboyan. Vierde stand ini yang dibakar hatinya dengan revolusi Perancis yang termasyhur.
Liberte! Egalite! Fraternite! Kemerdekaan! Persamaan! Persaudaraan!
Pada waktu pertama kita memang melihat pengusaha itu berpeluk-pelukan di jalan di Paris,
dansa-dansa di muka gereja indah Notre Dame. Di lapangan itu diadakan musik. Kita melihat
pengusaha-pengusaha itu berdansa-dansa dengan yang dinamakan rakyat jembel. Liberte!
Egalite! Fraternite!
Rakyat yang terbakar ini menjadi kuda daripada tenaga revolusi Perancis, yang pada hakekatnya
ialah revolusi untuk merebut kekuasaan dari tangannya stand ke-1 dan stand ke-2 ke dalarn
tangannya stand ke-3. “Leuze”, semboyan Liberte, Egalite, Fraternite, di dalam bidang politik
diselenggarakan sebagai “parlementaire democratie”. Semua orang boleh masuk dalam parle-
men. Semua orang boleh bicara. Sekarang kita tidak lagi mengadakan hukum secara feodal oleh
satu orang manusia.
Semua harus ikut, sekarang harus dengan bermusyawarah.
Dan “liberale politiek” boleh tiap-tiap orang mengusulkan, boleh tiap-tiap orang pidato, boleh
tiap-tiap orang dipilih.
Kelanjutan daripada revolusi Perancis, rakyat jelata terpukul. Saudara-saudara akan bertanya:
kalau begitu bagaimana, pengusaha-pengusaha itu ‘kan kalah dengan rakyat jelata? ‘Kan mak-
sudnya pengusaha-pengusaha ini mau mengadakan hukumhukum, peraturan-peraturan, wet-wet,
yang cocok dengan kepentingan pengusaha, mau mengadakan hukum-hukum, peraturan--
peraturan, wet-wet, untuk menjadi bumi bumi subur bagi “Kapitalismus im aufstieg”. Tapi kalau
rakyat jelata semuanya diperbolehkan masuk parlemen, boleh memilih dan dipilih, ‘kan kalah
“stem” kaum pengusaha?
Tidak Saudara-saudara, di dalam praktiknya mereka telah mengetahui lebih dulu, bahwa
pemilihan parlemen itu selalu dengan “campagne”, dengan “propaganda”, dan mereka sudah
tahu: kami yang mernegang alat-alat propaganda, kami yang bisa membiayai surat-surat kabar,
kami yang bisa membiayai segala alat-alat yang lain. Bahkan kami kaum pengusaha itu
membiayai sekolahsekolah, universitas-universitas.
Kaum pengusaha, terutama sekali kaum pengusaha yang sedang timbul ini, adalah satu golongan
kaum yang betul-betul mempunyai rasa percaya kepada diri sendiri yang amat kuat; “zelf

clxxxvi
vertrouwen” yang amat besar sekali. Tidak takut mengadakan parlementaire democratie. Tokh
nanti lihat utusan-utusan di dalam parlemen itu sebagian besar antek-antek kami. Sebagian besar
akan berpikir secara kami, oleh karena kamilah yang membiayai universitas-universitas,
membiayai sekolah-sekolah menengah. Oleh karena kamilah yang mencetak buku-buku, oleh
karena kamilah yang mengeluarkan surat-surat kabar dan majalah. Kami kaum pengusaha, kami
menguasai “beheersen het politieke en het intellectuele leven van het volk”.
Dan di dalam praktiknya demikian Saudara-saudara, semua parlemen-parlemen yang baru lahir,
yaitu di pertengahan abad ke-19 revolusi Perancis, sebentar diikuti oleh satu periode yang
menentang, tetapi kemudian dalam tahun 1848 datang lagi satu revolusi. Malahan yang lebih
tegas “met parlementaire rechten” di Eropa, sebagian lain ada yang 1852 ada yang tahun 1856.
Tetapi pertentangan di abad ke-19 itulah terselenggara apa yang dinamakan “parlementaire
democratie”. Dan atas dasar hasil daripada parlementaire democratie ini kapitalisme di Eropa
Barat berkembang biak benar.
Jadi jelaslah bahwa parlementaire democratie adalah ideologi politik daripada “Kapitalisme im
Aufstieg”.
Tatkala kita mengadakan pergerakan nasional, dengan sekaligus kita berkata bahwa kita
menghendaki demokrasi pula. Tetapi kita mengetahui bahwa parlementaire democratie atau
politik demokrasi saja bukan membawa kebahagiaan kepada rakyat, tetapi sebaliknya tumbuhnya
kapitalisme sebagaimana yang kita lihat di Eropa, yang kendati berjalannya parlementaire
democratie, sejak pertengahan abad ke-19, kita melihat kapital-isme menjadi kuat. Kita melihat
“: kartel-kartel” dan “trust-trust” makin lama makin hebat. Sebaliknya kita melihat rakyat jelata
menjadi kaum “proletar” yang papa sengsara.
Dengan sekaligus kita berkata pada waktu kita mengadakan Gerak Nasional, kita tidak
menghendaki hanya demokrasi politik, tetapi kita menghendaki pula demokrasi ekonomi.
Parlementaire demokrasi adalah hanya demokrasi politik, parlementaire demokrasi memberikan
“kans” yang sarna secara demokratis kepada semua orang di bidang politik, itupun “zogenaamd”.
Sebab dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa merbiayai surat kabar, membiayai
propaganda etc. etc. Tetapi pada teorinya, sernuanya di bidang politik sama: engkau boleh
dipilih, engkau boleh memilih, semua orang boleh memilih, semua orang boleh berpaham,
berpendapat sendiri dan sernua boleh mengutarakan pikirannya itu, sama tidak ada perbedaan.
Tetapi di bidang ekonomi, tidak! Tidak ada kesamarataan di bidang ekonomi! Kita melihat si

clxxxvii
kaya, si miskin, si milyuner, si proletar – dalam arti si jembel, bukan dalam arti marxis yang
tulen, yang tempo hari sudah dikatakan proletar adalah orang yang menjual tenaganya, dengan
tidak ikut memiliki alat produksi, itu “definisi proletar”. Jadi di bidang ekonomi tidak ada sama
rata sama rasa. Ini yang pernah digugat oleh pemimpin-pemimpin kaum buruh di Eropa, yang
juga dengan tegas mengatakan: kami ini tidak mau cuma demokrasi politik tok. Di dalam tahun
1870 lebih hebat lagi dan pada permulaan abad ke-20 digembar-gemborkan oleh pimpinan kaum
buruh di Eropa Barat.
Kita baru sekarang berani mencela: hanya demokrasi politik tok. Kita baru sekarang berani
berkata: verrekt met parlementaire democratie tok. Kita terbelakang, paling sedikit 50 tahun!
Di alam Eropa, tadi saya berkata sudah mulai tahun 1860, ’70, ‘ 80, permulaan abad ke-20,
orang-orang seperti Adler, Liebknecht menjatuhkan vonnis yang sama sekali vernietigend
terhadap parlementaire demokrasi tok.
Orang-orang seperti Juarcz. Liebknecht, seperti Adler, menghendaki apa yang mereka namakan
politik ekonomische dmokrasi. Dus bukan hanya demokrasi politik tetapi juga demokrasi
ekonomi. Sama rasa di dalam lapangan politik, tetapi juga sama rasa di dalam lapangan ekonomi.
Dan politiek economische democratie inilah yang sebagai saya katakan di dalam kuliah terhadap
mahasiswa-mahasiswa di Yogyakarta, oleh Adler dinarnakan sosial demokrasi.
Sosialisme itu mempunyai macam-macam aliran. Ada aliran sosial demokrasi, ada aliran
religieus socialisme, ada aliran “anarkhisme Bakunin”, ada aliran komunisme daripada lenin.
Salah satu aliran dalam sosialisme bernama sosial demokrasi. Adler yang menghendaki politik
ekonomische demokrasi ini
dalam satu perkataan sociale democratie; bahasa Indonesia-nya demokrasi sosial. Juarez juga
begitu, malahan Juarez, – saya
selalu gemar sekali kalau menyebutkan dia punya nama, – di dalam parlemen di Perancis itu
pidatonya selalu dengan perkataanperkataan yang indah. Ia berkata: “Di dalam parlementaire de-
mocratie tiap-tiap orang bisa menjadi raja. Tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang boleh
dipilih. Tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari sing-
gasananya”. Dan memang, di dalam parlementaire democratie, menteri yang sudah kuasa itu, di
dalam parlementaire democratie bisa dijatuhkan oleh si jembel, wakil-wakilnya yang duduk
dalam parlemen itu. Menteri yang berkuasa dijatuhkan oleh anggota-anggota parlemen.

clxxxviii
Di bidang politik tiap-tiap kita adalah laksana raja. Tetapi di bidang ekonomi tidak demikian. Si
kaum buruh yang pada hari ini di dalam parlemen adalah seorang raja, besok pagi di dalam
pabriknya ia bisa dilempar keluar dari pabriknya itu menjadi menjadi orang yang tiada kerja. Si
kaum buruh vang menjadi anggota parlemen ini hari bisa menjatuhkan menteri, tetapi kembali di
dalam pabrik dia adalah buruh di bawah kekuasaan sang majikan, bisa dilepas bisa dijadikan
orang yang “op de keuen”, hidup sengsara. Oleh karena itu, Juarez pada permulaan abad ke-20
itu, tahun 1903, dia sudah menjatuhkan “vonnis” kepada demokrasi parlementer. Ia menghendaki
politiek economische democratie; demikian pula Liebknecht, demikian pula banyak pemimpin-
pemimpin lain.
Kalau kita pada hari sekarang ini tahun 1958 juga mengeritik parlementaire democratie, ada yang
mengatakan: “Dia itu kominis! Dia itu mau memblinerkan kita kepada satu alam yang salah”.
Saya dikatakan demikian pula: “Lihat Bung Karno dengan demokrasi terpimpin. Kapan dia
keluarkan perkataan demokrasi terpimpin itu sesudah Bung Karno pulang dari Sovyet Uni, se-
sudah Bung Karno pulang dari RRC.
Marilah saya terangkan sekarang sedikit tentang fasisme. Begini: Di dalam alam kapitalisme,
kapitalisme itu kecuali hidupnya seperti yang sudah saya gambarkan, juga mempunyai penyakit.
Dan penyakitnya itu saban-saban datang, yaitu penyakit yang dinamakan krisis. Kapitalisme
Amerika sekarang ini sedang mengalami krisis sedikit. Krisis sejak tahun yang lalu mulai
berjalan, malah Saudara-saudara tahu pabrik-pabrik mobil sekarang sedang distop.
Tahun 1929 tempo hari krisis hebat, – yang kita kenal di sini dengan perkataan malaise.
Kapitalisme itu mempunyai satu penyakit yang “inhaerent”; artinya sudah pembawaan daripada
kapitalisme sendiri. Selalu kapitalisme itu diganggu krisis, periodiek mesti ada krisisnya.
Nah, saat kapitalisme banyak untung, datanglah saat krisis. Pada saat kapitalisme hidup lagi,
datanglah lagi krisis. Hidup lagi, banyak untungnya, krisis lagi. Periodeiek up and down. “Up”-
nya ini dinamakan dalam ilmu ekonomi periode conjuncture. Conjuncture artinya krisis.
Sekarang saya hendak menggambarkan bagaimana rupanya kapitalisme yang sedang naik yang
melalui beberapa conjuncture-conjuncture. Krisis itu terjadi beberapa puluh tahun sekali, tetapi
yang dinamakan “im aufstieg” itu adalah meliputi periode yang lama dari abad ke-18 sampai
abad ke-20.
Jadi selama “Aufstieg” itu ada conjuncturekrisis – conjuncturekrisis. Tetapi garis besarnya pada
pokoknya terus naik. Kemudian di situ saat kapitalisme menurun, “Niedergang”. Inilah beberapa

clxxxix
garis yang saya tarik. Garis ini pada saat-saat krisis. Krisis naik, conjuncture naik; daripada satu
ketika krisis lagi, naik lagi, diatasi lagi krisis itu, conjuncture lagi, diatasi lagi, krisis lagi,
conjuncture krisis, conjuncture krisis.
Bagaimana caranya mengatasi zaman conjuncture? Apa coraknya?
Barang produksi banyak dan juga laku, sehingga meerwaarde yang masuk di dalam kantong sang
pengusaha banyak sekali. Produksi tinggi dan selalu bisa habis terjual, ini namanya conjuncture.
Memang kapitalisme membuat barang untuk dijual, kapitalisme tidak membuat barang untuk
individuele consumptie. Sang kapitalis membuat barang itu tidak untuk dirinya.
Kapitalis pembikin kueh-mari misalnya, membikin itu bukan untuk dimakan sendiri; tidak, tetapi
untuk dijual dengan untung. Untung itu ialah sebagian daripada meerwaarde yang masuk di
dalam kantongnya. Ini adalah sifat daripada kapitalisme: produceren untuk dijual dengan untung.
Nah, pada satu saat produksi-produksi laku, tetapi sampai kepada satu tingkat yang tidak bisa
habis dijual, itu dinamakan overproductie. Itu adalah satu paham relatif, artinya asal barang tidak
bisa dijual dinamakan overproductie. Di sini tercapai satu ketika yang barang tidak bisa dijual
lagi, produksi mandeg atau terpaksa diperkecil. dikurangi. Datanglah krisis, banyak kaum buruh
di-ontslag enz. enz.
Tetapi pada satu ketika krisis ini yang sudah mencapai dasarnya yang paling rendah, dengan
beberapa usaha bisa naik lagi. Usahanya itu apa, kok bisa naik lagi? Perbaikan daripada sistem
produksi: perbaikan mesin-mesin; cara kerja yang lebih efisien; propaganda daripada
produksinya yang lebih menarik kepada rakyat; penekanan daripada tenaga kaum buruh yang
georganiseerd di dalam serikat-serikat sekerja, etc. etc.. Naik lagi. Produksi bisa bertambah laku
pula. Conjuncture pada satu saat tercapai lagi, maximum. Di situ krisis, yaitu tidak terjual, dus
kalau terus produksi rugi nanti, tidak terjual. Tetapi dengan caraperbaikan lagi, disempurnakan
cara produksi etc. etc.; naik lagi, krisis, naik lagi.
Tetapi pada satu ketika timbullah puncak maksimum, puncak maksimum daripada kecakapan
manusia untuk mem-perbaiki alatalat. Mesin-mesin sudah tidak bisa dipergunakan lagi. Sistem
bedrijf sudah geperfectioneerd. Di balik itu tenaga daripada kaum buruh makin lama makin
sempurna diorganisir. Di sini gerakan kaum buruh mulai tumbuh dan makin lama makin kuat.
Jadi meskipun sistem produksi, sistem bedrijf diperbaiki, sampai pada satu saat tidak bisa
diperbaiki lagi, maksimum capasiteit toh tidak bisa terus conjuncture, oleh karena tuntutan dari

cxc
kaum buruh kekuasaan kaum buruh juga makin naik. Meerwaarde yang masuk di dalam kantong
si kapitalis makin lama makin kecil dan ditentang oleh kaum buruhnya itu.
Tadi dengan saya punya contoh kueh, tepung dengan gula 100 menjadi kueh 200,
meerwaardenya 100. Ini 50 masuk kantongnya kaum buruh sebagai upah, 50 masuk kantongnya
sang kapitalis. Itu pada fase permulaan tatkala kaum buruh belum diorganisir secara kuat.
Tetapi Saudara-saudara mengetahui organisasi kaum buruh makin lama makin sempurna. makin
lama makin kuasa.
Dari 100 meerwaarde ini yang tadinya diberikan kaum buruh hanya 50, belakangan menjadi 60
buat kaum buruh, dituntut 60. Sudah 60 dituntut lagi 70. Hanya 30 masuk di kantong si kapitalis.
Tuntut lagi 80 masuk di kantong kaum buruh, tinggal 20 buat si kapitalis. Tuntutan lagi 90
masuk dalam kantong kaum buruh, tinggal 10 masuk kantong si kapitalis.
Dus “marge” keuntungan pengusaha makin lama makin kecil. Seperti Saudara-saudara lihat di
Amerika sekarang ini, pabrikpabrik Mobil Detroit misalnya sekarang ini mandeg, Royter
pemimpin kaum buruh, dia yang “voorschrijven”: sekarang engkau pengusaha mobil, aku yang
menentukan berapa mobil yang harus diprodusir, berapa yang tidak. Chrysler sementara tutup.
Bagian Ford Continental tutup. Krisis.
Nah, demikian pula ini Saudara-saudara. Pada satu ketika tercapailah “het absolute maximum”,
krisis, coba lagi, conjuncture-conjuncture, krisis lagi, coba dengan macam-macam lagi. Bahkan
nanti tenaga atom dikerjakan juga yang dipakai untuk menjalankan pabrik, untuk menjalankan
mesin-mesin. Tenaga atom itu sudah geperfectioneerd, tetapi sistemnya salah, yaitu sistem
meerwaarde. Dan sebagian daripada meerwaarde itu masuk kantong daripada pengusaha. Itu
sistem kapitalis.
Meskipun, dus, mesin-mesin, bedrijf dan lain-lain sebagainya, geperfectioneerd secara teknis,
oleh karena sistemnya salah maka selalu hukum krisis itu datang pula. Di-perfectioneer, krisis
lagi. Saudara lihat garis umum ini naik, garis umum ini menurun, inilah “Niedergang”.
“Kapitalismus im Aufstieg”, “Kapitalismus im Niedergang”.
Secara alam pikiran politik, di sini parlementaire democratie akan membahayakan kepada
Kapitalismus im Niedergang. Parlementaire democratie yang memberikan kesempatan kepada
semua orang untuk ikut bermusyawarah, meskipun alat propaganda, alat surat kabar, alat sekolah
etc. etc. sebelumnya sudah di tangan mcrcka. Toh, tadinya, di alam ini, tatkala tenaga kaurn

cxci
buruh belum terorganisir seperti sekarang, mereka masih selalu bisa “beheersen” parlemen.
Tetapi di sini tidak bisa lagi, sebab alam parlementaire democratie tidak bisa lagi.
Nah, di sinilah kapitalisme lantas berkata: Tidak berjalan parlementaire democratie. Di sinilah
kapitalisme memperguna-kan “luuisle reddingspoging van het kapitalisme “, yaitu fasisme.
Tidak diberi kesempatan kepada semua orang untuk menjalankan dernokrasi; tidak diberi
kesempatan kepada si kaum buruh untuk mengirimkan wakihlya, di dalam parlemen; tetapi
kekuasaan di dalam tangannya si diktator. Entah diktator namanya Hitler, entah diktator
namanya Mussolini, Franco atau apapun, tetapi itu adalah corak daripada kapitalisme im
Niedergang.
Historis materialisme ini jelas bahwa dus alam pikiran manusia, alam pikiran politik juga
ditentukan oleh sociaal economische factoren. Alam pikiran fasisme ditentukan oleh sociaal
economische factoren. Pada satu ketika seluruh rakyat Jerman itu cinta kepada Hitler. Pada satu
ketika, umpamanya terjadi di Timur, juga ludah Hitler dijilat oleh rakyat. Coba terjadi di dunia
Timur, pada satu ketika juga air cucian tangan Hitler juga akan berharga 1.000 pound. Alam
pikiran daripada rakyat pada waktu itu sama sekali ditentukan oleh sociaal econornische
verhoudingen. Historis materialisme.
Nah, dus Saudara-saudara, kita yang melihat segala cacat-cacat daripada productiewijze daripada
kapitalisme, melihat daripada cacat-cacat parlementaire democratie, kitalah yang sebaliknya,
sebagai amanat penderitaan daripada bangsa Indonesia, memikul kewajiban untuk
menyelenggarakan satu masyarakat yang bukan masyarakat kapitalisme, tetapi masyarakat yang
adil dan makmur. Sekarang ini saya mengundang untuk berpikir sesuai dengan amanat
penderitaan itu. Saya mengundang agar supaya meninggalkan alam demokrasi liberal. Saya
mengundang agar supaya meninggalkan cara berpikir ala parlementaire democratie yang politik
demokrasi tok. Saya mengundang agar supaya rakyat Indonesia itu dalam menyusun ia punya
demokrasi menaruhkan segala sesuatu di atas kepribadian bangsa Indonesia sendiri.
Maka oleh karena itu saya berkata: Demokrasi yang harus kita jalankan adalah demokrasi
Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jikalau kita tidak bisa berpikir demikian itu,
kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan daripada rakyat
itu.
Saya ulangi lagi: Demokrasi bagi kita bukan sekadar alat teknis; memang benar bahwa
demokrasi adalah alat teknis untuk mencapai sesuatu hal, sebagaimana nasional sosialisme

cxcii
adalah satu alat teknis, sebagaimana diktatur proletariaat adalah satu alat teknis. Demokrasi bagi
kita sebenarnya bukan sekadar satu alat teknis, tetapi satu alam jiwa pemikiran dan perasaan kita.
Tetapi kita harus bisa meletakkan alam jiwa dan pemikiran kita itu di atas kepribadian kita
sendiri, di atas penyelenggaraan cita-cita satu masyarakat yang adil dan makmur, yang sudah
jelas tidak bisa dengan demokrasi secara ini.
Oleh karena itulah, di waktu yang akhir-akhir ini saya menganjurkan dijalankannya demokrasi
terpimpin.
 
Sekian.
 

cxciii
KULIAH UMUM TENTANG PANCASILA DI DEPAN PARA PESERTA SEMINAR
PANCASILA DAN PARA MAHASISWA
Pada Tanggal 21 Februari 1959 di Yogyakarta
 
Saudara-saudara sekalian.
Belum pernah saya begitu gembira, gembira karena setuju seratus persen. Setuju seratus persen
dengan apa? Dengan apa yang dikemukakan oleh ananda mahasiswa itu tadi. Ya Saudarasaudara
tadi tertawa tebahak-bahak. Dan sekarangpun juga. Tetapi ananda mahasiswi, – yang namanya
saya tidak tahu -, kepada mahasiswa-mahasiswa, pemuda-pemuda mahasiswa, saya beritahukan,
bahwa namanya mahasiswi itu tadi ialah Lina. Ananda Lina berkata: “Marilah kita
mengenangkan arwah-arwah kita”.
Nah, itu tepat betul. Ananda Lina tidak berkata, marilah kita mengenangkan arwah-arwah
pahlawan-pahlawan kita yang telah mendahului kita ke alam baka. Tidak! Ananda Lina berkata:
“Marilah kita mengenangkan arwah-arwah kita”, dan sebagai tadi saya katakan itu tepat sekali.
Artinya, saudara harus mengenangkan arwahmu, Pak Karno harus mengenangkan arwahnya.
Tepat sekali. Barangkali ananda Lina tadi malam mendengar pidato Bapak Presiden. Pada waktu
menguji pidato, Bapak Presiden tadi malam berkata, tiap-tiap manusia nanti di akhirat akan
ditanya oleh Tuhan akan pimpinannya. Dikatakan di dalam Kitab Suci, bahwa kita ini semua
adalah pemimpin atau penggembala. Dan nanti di akhirat kita semuanya ditanya tentang
pimpinan kita. Kita ini semua pemimpin, semua penggembala. Misalnya Pak Roeslan Abdulgani,
di rumah beliau adalah pemimpin atau penggembala keluarganya, dan dia nanti di akhirat akan
ditanya: “Hai Roeslan Abdulgani, bagaimana engkau menjalankan pimpinan di dalam keluarga?”
Kecuali itu, Pak Roeslan Abdulgani adalah pemimpin di dalam masyarakat. Tiap-tiap kita ini
pemimpin dalam masyarakat. Tukang dokar, pemimpin di dalam kedokarannya. Tukang beca,
pemimpin di dalam pembecaannya. Opsir, perwira, pemimpin di dalam ketentaraannya. Ditanya
kita semua ini. Bahkan saudari juga pemimpin. Sekarang ini pemimpin di dalam masyarakat, –
barangkali ada adik-adik – dan lain-lain ditanya: “Engkau memimpin bagaimana?”. Juga
pemimpin-pemimpin di kalangan mahasiswa dan mahasiswi ditanya.
Ananda Lina berkata: “Marilah kita semuanya ingat, bahwa kita nanti ditanya tentang
pemimpin”.

cxciv
Kita semuanya, tidak terkecuali, bukan saja yang sudah gugur; yang masih hidup sekarang ini
nanti ditanya akan kepemimpinannya. Pokoknya akan ditanya antara lain: “Engkau di dalam
masyarakat tatkala engkau hidup, apa yang engkau telah perbuat; apakah engkau berbuat
kebajikan untuk masyarakat, ataukah telah membuat jahat untuk masyarakat?” Oleh karena itu,
maka ucapan saudara Lina itu tepat sekali. Dan kok kebenaran Gajah Mada yang punya
mahasiswi begitu itu.
Kemudian, waktu saya melihat ananda Lina memimpin Indonesia Raya, – meskipun ada selipnya
sedikit, oleh karena ulangannya cuma satu kali, – tatkala saya melihat caranya memimpin, saya
ingat kepada Demokrasi Terpimpin yang harus saya kuliahkan. Sebab pernah ditanya kepada
saya: “Pak, Demokrasi Terpimpin itu apa toh Pak?” Saya bicara satu jam dua jam. Terang?
Belum! Wah, bagaimana menerangkan ini. Lantas saya menerangkan hal satu konsert dengan ia
punya dirigent yang konsert itu terdiri daripada banyak orang, Yang satu memegang biola, yang
satu memegang gitar, yang satu memegang trombone, yang satu memegang trompet, yang satu
memegang ting – ting – ting, yang satu memegang jidor, dan lain-lain sebagainya.
Meskipun bermacam-macam alat, tetapi oleh karena ada pimpinan, pertama pimpinan daripada
satu lembaran kertas, – apa namanya itu noot, bahasa Indonesianya noot. Misalnya, lagu
“RlauweDonau” oleh Johann Strauss, sudah nyata lagunya itu dari noot ini. Kemudian dirigent,
pemimpin, memimpin orkes itu yang terdiri daripada puluhan bahkan ratusan orang; keluarlah
satu suara yang merdu yang berirama, yang harmonis, melukiskan lagu waltz “Blauwe Donau”
buatan Strauss.
Kertas noot ini, di dalam Demokrasi Terpimpin inilah blueprint, pola, pola pembangunan yang
dibuat oleh Dewan Perancang Nasional, disingkat DPN, tetapi yang oleh Bapak Prof. Mr. Dr.
Haji Muhammad Yamin disingkatkan, dengan cara yang romantis sekali, disebutkan
DEPERNAS. Pola yang dibuat oleh Depernas ini, itulah kertas nootnya. Penyelenggara dari-pada
pola ini, masyarakat ini tadi, yang terutama sekali terdiri daripada tenagatenaga fungsionil,
menyelenggarakan pola ini bersama-sama di dalam satu irama yang merdu sehingga
terselenggaralah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagai yang tertulis di
dalam Undang-undang pembentukan Depernas.
Lha, ananda Lina tadi, juga begitu Saudara-saudara, dengan sangat mahirnya memimpin.
Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur semua memberikan tenaganya.
Insinyur-insinyur memberi tenaganya, dokter-dokter memberi tenaganya, tukang-tukang gerobak

cxcv
memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi memberi tenaga-nya, ahliahli dagang memberi tenaganya,
ahli-ahli pertahanan memberi tenaganya, semua memberi tenaganya. Bercorak macam, tetapi toh
menjadi satu harmoni, menyusun satu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Tadi juga demikian, macam-macam suara saya dengar. Tetapi di bawah pimpinan ananda Lina,
bukan main merdunya. Saya dengar ada suara bas; saya dengar ada suara laki-laki tetapi sopraan,
seperti burung sikatan suara itu. Saya mendengar ada suara yang gemetar, ada suara yang betul-
betul bergelora, tetapi semuanya bersama-sama memperdengarkan satu lagu “Indonesia Raya”
yang membangkitkan keharuan hati.
Inilah gambar daripada demokrasi terpimpin di dalam esensinya. Contoh ini saya berikan kepada
kawan yang bertanya kepada saya: “Apa Bung, demokrasi terpimpin itu? Dan yang sesudah dua
jam saya bicara sampai meniren saya punya mulut ini, saya tanya: “Sudah mengerti?” “Belum”.
Kemudian saya beri contoh hal konsert dengan ia punya kertas noot dan dirigent, sekaligus ia
mengerti.
Saudara-saudara, saya di sini diminta memberi kuliah tentang keadilan sosial dan demokrasi
terpimpin. Mulai dengan pertanyaan: “Apa toh Bung, keadilan sosial itu?” Kok perlu-perlunya
ditanyakan apakah keadilan sosial itu; padahal semua orang sebenarnya di dalam kalbunya sudah
mengerti. Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur,
berbahagia buat semua orang, tidak ada peng-hinaan, tidak ada penindasan, tidak ada
penghisapan. Tidak ada – sebagai yang saya katakan di dalam kuliah umum beberapa bulan yang
lalu – exploitation de l’homme par 1’homme. Semuanya berbahagia, cukup sandang, cukup
pangan, “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Jelas, nggak perlu diterangkan lagi.
Di dalam ilmu ilmiah, di dalam bidang ilmiah timbul pertanyaan, bagaimana mencapai atau
terjadinya masyarakat yang demikian itu.
Nah, di sini ada bermacam-macam pendapat. Ada orang yang berkata – dan orang ini
mendasarkan kepada teori yang biasa dinamakan teori evolusi, evolutie theorie – yang menurut
evolutie theorie ini, masyarakat keadilan sosial atau katakanlah masyarakat sosialis datang
lambat laun dengan sendirinya. Dalam bahasa Jermannya “Sozialismus ist eine historische Not-
wendigkeit”.
Suatu keharusan historis, historische Notwendigkeit. Mau tidak mau dengan sendirinya
masyarakat bertumbuh, ber-kembang, berbangkit berevolusi ke arah sosialisme.

cxcvi
Oleh karena itu, dikatakan “Sozialismus ist eine historische Notwendigkeit”. Garis besar
daripada evolutie theorie adalah sebagai berikut: bahwa dunia manusia ini tidak selamanya
begini. Bahwa dunia manusia itu bertumbuh, berevolusi, bahwa manusia zaman sekarang lain
sekali daripada manusia zaman dulu. Bahwa zaman dahulu manusia itu masih biadab, berdiam di
hutan, di rimba-rimba, kemudian lambat laun, bertumbuh, bertumbuh kecerdasannya, berevolusi
kecerdasannya, hingga akhirnya tercapainya ujung kecerdasan dan puncak evolusi itu yang
berupa satu masyarakat sosialisme. Dikatakan: fase pertama daripada evolutie theorie ini,
manusia hidup di dalam gua-gua dan rimba-rimba. Cara pencaharian hidupnya ialah dengan
memburu, mencari ikan di sungai atau di laut. Cara yang boleh dikatakan sangat terbelakang,
prehistoris, cara amat terbelakang. Dan nanti saya terangkan di dalam pertumbuhan inipun
berubah akal pikiran, pandangan-pandangan daripada manusia itu. Akal pikiran adalah
pencerminan, refleksi daripada cara manusia mencari makan dan minum.
Mula-mula mencari makan dan minum dengan memburu dan mencari ikan, berdiam di gua-gua,
di rimba-rimba, akal pikirannya sesuai dengan keadaan yang demikian itu. Pernah saya
kuliahkan mengenai cara religi, bahkan bentuk religinya sesuai dengan cara hidup yang demikian
itu. Bagi manusia di tingkat evolusi yang demikian, yaitu orang yang hidup dalam rimba raya, di
dalam gua-gua, mencari ikan, berburu, maka ia punya tempat persembahan lain daripada tempat
persembahan kita sekarang. Manakala kita sekarang mengenal apa yang dinamakan Tuhan, atau
Allah atau Yehovah, atau God, dulu dalam tingkat evolusi sedemikian itu, yang disembah ialah
petir, ialah awan yang berarak, ialah sungai yang dahsyat mengalir, ialah angin taufan, ialah
pohon rindang yang memberi perlindungan, ialah batu besar yang di belakangnya ia ber-
sembunyi. Ini mereka punya Tuhan. Tuhannya berupa petir, gcledek, hujan, angin, awan, pohon,
lautan sungai dan lain-lain sebagainya. Di dalam tingkat kehidupan demikian itu misalnya rakyat
Skandinavia zaman dahulu, – ini pernah saya ceritakan di dalam pidato saya tatkala
memperingati Isyra Mi’radj di Surabaya, – tatkala mereka masih hidup di dalam hutan dan
rimba-rimba, zamannya Germanen tijd, yang mereka sembah antara lain ialah Wodan atau
Geledek dan Guntur yang mereka beri nama Thor.
Jikalau rnereka mendengar geluduk yang gemeluduk, di dalam angan-angan mereka, mereka
melihat raja Thor mengendarai ia punya kendaraan di langit. Rodanya terbuat daripada sinar
yang bercahaya dan tiap-tiap kali roda itu mengenai awan melompat dari satu puncak awan ke
puncak awan yang lain, keluariah suara geluduk yang dahsyat. Orang Skandinavia zaman

cxcvii
dahulu, jikalau mendengar akan geluduk dengan mata yang dahsyat, mereka berkata satu sama
lain: “Thor lewat. Thor lewat”. Sama dengan orang Yogya. Orang Yogya itu kalau mendengar
angin ribut: “lampor, lampor”. Tahu nggak lampor? Ya, ada kereta di langit lewat. Malah ada
yang keluar dengan lampu, lampunya dicantelkan di muka rumah. “Mas, kok pasang lampu”.
“Lampor lewat”.
Ini adalah tingkat kehidupan manusia menurut evolutie theorie yang pertama. Kemudian manusia
berevolusi, akan pikirannya makin lama makin cerdas, meningkat ke tingkat yang kedua,
terutama sekali di tanah-tanah, di negeri-negeri yang banyak perumputan. Manusia lantas pindah
kepada kehidupan berternak. Evolusioner sangat logis, bahwa daripada memburu di hutan lambat
laun menternak, misalnya memburu rusa, memburu kambing, memburu sapi, – sapi zaman
dahulu itu di hutan, kerbau zaman dahulu itu di hutan, seperti rusa zaman sekarang di hutan.
Memburu kerbau, memburu sapi, akhirnya menangkap juga anak sapi, atau anak kambing.
Mereka belajar: ini bisa dipelihara. Lambat laun lantas timbul pikiran: daripada memburu
menghadapi bahaya yang begitu banyak, mungkin disambar oleh Thor ini, atau kelelep di dalam
sungai, lebih baik ini saja: mengumpulkan anak kambing atau anak sapi. Dipelihara, berkembang
biak, menjadi apa yang dinamakan ternak. Berevolusilah ia punya hidup ke arah peternakan. Dan
dengan itu berevolusi pula ia punya alam pikiran, bahkan berevolusi ia punya pengertian akan
Tuhan.
Tadi yang ditakuti ialah Thor atau menyembah pohon, atau menyembah batu, seperti tersebut di
dalam Baghawat Gita. Baghawat Gita itu ajarannya Sri Kresna kepada Arjuna di dalam
peperangan Bratayuda. Esensi daripada baghawat Gita ialah bahwa Kresna menceritakan hal ini:
Tuhan itu rupa-rupa macammnya.
Nah ini tadi berupa Thor, kemudian lagi berpindah, berpindah rupa. Kresna berkata kepada
arjuna: Aku, yaitu Tuhan yang dimaksud dengan perkataan Aku, Aku adalah di dalam geloranya
lautan yang membanting di pantai.
Fase pertama Aku adalah di dalam sepoinya angin yang meniup; fase pertama Aku adalah di
dalam rindangnya pohon yang memberi perlindungan padamu; Aku adalah di dalam batu di
muka mana si – orang – biadab menekukkan lutut; Aku adalah di dalam harumnya bunga; Aku
adalah di dalam api; Aku adalah di dalam panasnya api, Aku adalah di dalam bulan pernama;
Aku adalah di dalam sinarnya bulan purnama; Aku adalah di senyumnya gadis yang manis. Aku
memenuhi semesta alam ini.

cxcviii
Demikian pula manusia sebagai tadi saya katakan yang disembah itu selalu berubah-ubah. Thor,
beringin, batu, lautan, sungai dan lain-lain di dalam tingkat pertama menjadi tempat
persembahan. Tatkala manusia hidup dari peternakan berpindahlah ia punya “image of worship”,
Inggerisnya “image of worship” daripada pohon dan petir, angin ribut dan lautan dan sungai
kepada binatang-binatang. Oleh karena ia hidup dari binatang, ia mengagungkan, memuliakan,
bahkan menyembah binatang. menyembah sapi, yang restannya masih ada kita lihat di Indonesia
sekarang. Menyembah gajah, menyembah buaya, menyembah rusa dan lain-lain sebagainya.
Berpindahlah lambat laun manusia ini kepada fase evolusi yang ketiga. Fase evolusi ketiga ialah:
dari peternakan manusia hidup, belajar hidup dari pertanian. Juga logis. Manusia dari asal
mulanya sudah omnivoor; omnivoor artinya hidup dari segala macam makanan. Herbovoor
hanya hidup dari tumbuh-tumbuhan, seperti sapi. Carnovoor hanya hidup dari daging-daging,
seperti harimau. Manusia adalah omnivoor; makan segala; makan daging, makan ikan tetapi juga
makan tumbuh-tumbuhan. Pada waktu di dalam fase pertama dia sudah makan tumbuh-
tumbuhan. Juga oleh karena ia adalah omnivoor. Di samping makan daging, ia melihat ada
jagung, ia makan jagung. Ia melihat ada padi, ia makan padi, ia melihat ada jipang, ia makan
jipang, ia melihat ada labu, ia makan labu. Ia melihat ada buah-buahan di pohon, ia makan buah-
buahan di pohon. Ia melihat ada lembayung, ia makan lembayung.
Lambat laun di dalam fase yang kedua itu, ia harus memberi isi perut, bukan saja hanya perutnya
sendiri, tetapi isi perut ternaknya, dan ia memberi isi perut ternak itu, rumput. Tetapi juga
mencarikan rumput atau daun-daunan untuk ternak itu, sebagaimana orang zaman sekarang juga
masih mencari makanan bagi ternaknya. Lambat laun ia belajar, bahwa rumbuh-tumbuhan ini
bisa ditanam. Padi bisa ditanam, jagung bisa ditanam dan selalu hasilnya lebih baik daripada
hidup liar. Akhirnya ia belajar, lha, tidak perlu ternak-ternakan dan lain sebagainya itu; ini lebih
penting. Lebih gampang dan lebih memuaskan hidup daripada jagung, hidup daripada padi.
Oleh karena itu: Ayo sekarang tanam padi, tanam padi, tanam jagung, tanam jagung.
Fase ketiga daripada perikehidupannya ialah ke bidang pertanian. Dan pernah saya tuliskan di
dalam kitab saya “Sarinah”, di sini kita wajib memberi hormat kepada wanita. Wanitalah “de
ontdekster van de landbouw” yang pertama. Wanitalah yang pertama kali menemukan ilmu
pertanian ini. Bukanlah laki-laki. Tetapi Wanita! Sebab tatkala laki-laki berburu, tatkala laki-laki
mencari ikan di laut atau di sungai, tatkala laki-laki menggembalakan ia punya ternak di dalam
fase yang kedua, sebagian daripada wanita itu tinggal di tempat kediamannya yang belum berupa

cxcix
rumah, masih berupa hutan, gua. Tetapi wanita tinggal di situ, oleh karena ia tidak bisa ikut
selalu memburu tidak bisa selalu ikut mencari ikan, tidak bisa selalu ikut menggembala oleh
karena wanita kadang-kadang hamil dan lain-lain sebagainya. Wanita harus memelihara anak,
menggendong anak meskipun belum dengan selendang seperti zaman sekarang. Dengan anak
merah ini ia tidak bisa ikut memburu, tidak bisa ikut menangkap ikan, tidak bisa ikut
menggembala ternaknya jauh daripada tempat yang menj adi perlin- dungan baginya. Dia tinggal
di tempat. Dan tatkala oleh karena ia tinggal di tempat itulah, ia pada waktu menganggur
bercocok tanam. Anaknva dibaringkan somewhere. Ditutupi daun-daun dan di atas daun-daun
yang lunak, somewhere, ia cokel-cokel tanah, dan ia melihat; he, butiran pada kalau ditanamkan
tumbuh, kemudian bisa berbuah. He, butiran jagung kalau ditanamkan tumbuh, kemudian bisa
berbuah. Ia lantas semacam zich specialiseren, specialized herself, di dalam hal ini, sehingga
dialah yang menjadi promotor daripada pertanian. Oleh karena itu saya katakan: wanita adalah
“de eerste ontdekster van de landbouw”, pendapat pertanian yang pertama. Kalau tidak salah ini
pernah saya kuliahkan pula di sini.
Demikian pula wanitalah yang membuat kebudayaan yang pertama. “De ontdekster van cultuur”,
wanita. Bukan laki-laki! Wanita yang pertama-tama harus memberi perlindungan kepada
babynya. Timbul pikirannya: aduh, kasihan anakku ini; kalau hujan basah, kalau ada matahari ia
kering. kasihan. Dengan ranting-ranting ia membuat semacam atap di atas baby itu, ditutup
dengan daun-daunan asal permulaan daripada pengertian rumah. Wanita pertama-tama membuat
rumah. Wanita yang melihat: “kasihan babynya, dingin kedinginan, hujan basah” timbul pikiran:
Kalau kulit binatang, ia sambungkan satu sama lain, dengan dikasih lubang, dengan akar kasih
lubang manjahit. Pertama kali saudara-saudara. Satu bagian kulit binatang dengan lain bagian
kulit binatang, dihubungkan satu sama lain; dengan duri ia bikin lubang, dan dengan serat
ataukah dengan akar yang halus ia sambungkan dua hal ini. Ini sudah permulaan daripada kultur.
Permulaan daripada kebudayaan. Kultur berpakaian wanita; de eerste ontdekster, ontdekster van
cultuur. Wanita pula yang dari ternak itu harus mengumpulkan air susu. Bukan saja makan
dagingnya, susupun berharga sekali buat ia minum, buat ia persembahkan kepada suami, –
sekarang ini wanita kadangkadang tidak mau persembahkan apa-apa kepada suaminya -, buat
diberikan kepada babynya. Bagaimana ia mengumpulkan susu? Sapinya banyak susunya atau
kerbaunya banyak susunya, kambingnya banyak susunya. Ini persetujuan barang kali. Ia timbul
pikiran di dalam otaknya untuk membikin wadah buat susu, ia buatnya dari tanah liat. Dari tanah

cc
liat ia bikin buat pertama kali periuk. Ia tahu tanah liat itu kok bisa, kalau dibegitu-begitukan
menjadi wadah dan wadah yang basah ini dikering-kan. Apalagi kalau dibakar. Kemudian ini
penjadi periuk, bisa menjadi tempat susu. Jadi jelas benarlah perkataan saya, bahwa wanita
adalah “de eerste ontdekster van cultuur”.
Di dalam tingkat hidup yang ketiga ini yang manusia hidup daripada pertanian, terutama sekali,
pindah lagi ia punya Godheid, pindah lagi ia punya tempat persembahan, – tadinya guntur,
geledek, pohon, air dan lain-lain, pindah kepada binatang-binatang, – sekarang pindah kepada
suatu tempat permohonan. Padi di tanam. tetapi kalau hujan. Kalau tidak hujan, kering. Ia
mempunyai tempat pemohonan: mohon supaya sang padi ini tumbuh dengan selamat dan baik. Ia
mulai memberi bentuk antropomorf kepada ia punya Tuhan. Antropomorf artinya berbentuk
manusia. Tadinya berbentuk, terutama sekali, sebagai Thor itu manusia, tetapi kebanyakan masih
berbentuk pohon, berbentuk batu, laut dan lain-lain sebagainya. Berbentuk binatang, jelas.
Sekarang antropomorf sekali. Dewanya atau dewinya manusia. Di sini timbul begrip Uewi Sri,
kataku tempo hari. Antropomorf.. puteri cantik yang bernama Dewi Sri, yang memberi
perlindungan kepada pertanian itu. Di tanah Pasundan Saripohaci. Saripohacipun – kalau ditanya
bagaimana rupanya Saripohaci? Masya Allah, masya Allah, cantiknya bukan main! Malam-
malam di dalam sinar bulan purnama ia turun dari kayangan. Melewati sinar bulan itu. Ia lantas
melihat sawah-sawah dan ladang-ladang ini. Ia memberi restu kepada sawah-sawah dan ladang-
ladang ini. Antropomorf. Tetapi pusat ia punya persembahan manusia itu, kesitulah.
Pindah lagi evolusinya.
Evolusi yang keempat, ialah manusia, oleh karena bercocok tanam, memerlukan alat. Bercocok
tanam tidak bisa dengan tangan saja dikorek-korek. Memerlukan alat-alat untuk garap tanah. Pi-
kiran manusia lantas membuat alat. Membuat semacam linggis, dari batu atau dari kayu.
Membuat semacam pacul, membuat semacam garu. Membuat semacam alat pengangkutan, yang
mengangkut padi-padi yang banyak itu dari sini ke sana. Mula-mula diseret saja, tetapi lambat
laun, lambat laun, timbul ia punya pengalaman: kalau bukan diseret, tetapi dengan barang yang
gemelinding, bunder, lebih mudah. Timbullah akal manusia untuk membuat alat. Alat pertanian,
alat membuat periuk-periuk, alat membuat rumah-rumah. Rumah itu banyak sekali
keperluannya. Membuat tatah untuk mengerjakan kayunya, harus tali-temali. Malahan timbul
pikiran: harus dibor, harus dengan pantek, harus dengan ini. harus dengan itu. Alat untuk
membuat pakaian yang tadinya dari kulit binatang yang satu dihubungkan dengan kulit binatang

cci
yang lain. Lambat laun timbul pikiran, pikiran membuat alat, membuat alat. Akhirnya timbul
fase yang keempat, yaitu fase manusia hidup di sampingnya bercocok tanam dengan yang di-
namakan kerajinan tangan, nijverheid, industri. Belum industri besar, tetapi huis-industrie,
industri kecil, industri rumah. Dan di dalam alam yang demikian ini pikirannyapun lain, tempat
persembahannyapun lain. Tadi di dalam fase yang ketiga antropomorf, jelas dikata-kan puterinya
cantiknya bukan main! Malahan bisa digambar-kan; rambutnya “ngandan-andan kaya kembang
bakung”. Ciptaannya itu jelas kelihatan, Antropomorf. Kulitnya mingir-mingir, bibirnya seperti
gambir sinigar, lehernya seperti lungnya jagung mantul-mentul, lambehannya seperti macan
luwe. Jelas kelihatan. Tetapi di dalam fase yang keempat, lmbat laun hilang gambar antropomorf
ini. Lambat laun ia punya Tuhan menjadi Tuhan yang gaib. Gaib artinya tidak bisadilihat, tidak
bisa diraba, tidak bisa dicium, tidak bisa dikenali dengan panca indera. Dilihat tidak kelihatan,
didengar tidak kedengaran, dijilat tidak terasa dipegang tidak bisa, dicium tidak ada baunya.
Hilang ia punya sifat antropomorf. Ia lantas menggaib, hilang, ialah terutama sekali oleh karena
manusia di sini cara hidupnya tergantung dari ia punya akal, ketajaman ia punya otak, akalnya,
akal memikir mencari alat, alat, alat. Bagaimana bisa membikin alat supaya membuat kain
selekas-lekasnya; ini harus ada alat pemintal kapas, Sesudah kapas ini dipintal menjadi benang,
harus ada alat untuk menenun; alat membikin gerobak, alat membikin lobang di dalam kayu,
yaitu bor.
Alat ini, alat itu. Alat, alat, pikir, pikir. Akal pikiran manusialah menduduki tempat yang pertama
di dalam ia punya hidup. Ia punya Tuhan juga menjadi gaib. Kalau ditanya bagaimana
Tuhanmu? Kelihatankah? Tidak. Bisa engkau bau? Tidak. Bisa engkau raha? Tidak. Bisa engkau
lihat? Tidak. Bisa engkau dengar? Tidak. Di mana Tuhanmu? Tidak kclihatan. Gaib,
sebagaimana juga akal manusia adalah gaib. Saudara Roeslan Abdulgani tempo hari berkata di
dalam salah satu prasaran, ada yang me ngatakan manusia itu fosfor. Ini ucapan dari Feurbach. la
berkata:
“Zonder fosfor, geen mens, geen gedachte, zonder fosfor geen gedachte”. Tanpa fosfor tidak ada
pikiran. Oleh karena ia berpendapat, pikiran itu timbulnya daripada otak yang makanannya
terutama sekali fosfor. Jadi kalau tidak ada fosfor, tidak ada pikiran, tidak ada ini, tidak ada itu.
Fosfor pokok daripada segala hidup, terutama sekali hidup mental, hidup spirituil, hidup pikiran,
hidup yang di luar daripada kepanca-inderaan.

ccii
Oleh karena manusia di dalam fase keempat, terutama sekali tergantung daripada kecerdasan
otaknya, ia punya Ketuhanan menjadi gaib, abstrak, tidak lagi riil.
Ini di dalam fase keempat, demikian.
Fase keempat bertambah maju lagi menurut hukum evolusi, menjadi fase kelima, yaitu fase yang
kita namakan fase industrialisme sekarang ini. Kerajinan di rumah membuat alat-alat, bertum-
buh, ontwikkelt zich, developed itself, ke dalam satu kesempurnaan teknologi, ke dalam satu
kesempurnaan ilmu teknik, sehingga jadilah apa yang dinamakan industrialisme, yang di dalam
zaman dekat ini dikuasai oleh paham-paham kapitalisme. Industrialisme yang membuat alat-alat
dan kebutuhan hidup manusia dengan mesin. Industrialisme yang mengenal lokomotif.
Industrialisme yang mengenal kapal-kapal udara. Industrialisme yang mengenal kapal-kapal laut.
Industrialisme yang mengenal pesawat listrik. Industrialisme yang mengenal radio. Industrial-
isme yang mengenal alat-alat peperangan yang di luar kekuasaan manusia. Industrialisme yang
boleh dikatakan menjadi alat hidup manusia sama sekali.
Di dalam fase yang demikian ini, apa yang tadi dinamakan Tuhan, yang abstrak, – di dalam fase
keernpat orang masih bcrkata, adakah Tuhan? Ada. Rupanya bagaimana? Tidak tahu. Rupanya
saya tidak bisa mengatakan. Dilihat tidak bisa, dicium tidak ada, didengar tidak ada, diraba tidak
ada, dijilat tidak rasa. Di luar panca indera, tetapi Dia ada. Ini fase keempat.
Fase kelima. Oleh karena manusia sudah hidup di dalam alam industrialisme yang ia kuasa
membikin segala hal, membikin apa saja yang ia tidak bisa, lha mbok membikin pesawat yang
bisa mengirimkan suara dari sini ke Amerika, ia bisa. Alam yang demikian itu, yang merasa
dirinya kuasa, kuasa atas segala hal; yang di sini “de ikheid”, ego, aku, -ego dengan aku
etymologis sama – aku yang berkuasa, aku bercakrawarti. Aku kuasa membuat suara. Aku kuasa
membuat sinar yang terang. Aku berkuasa membuat petir. Tempo hari saya ceritakan bahwa
Nocolai Tesla bisa membuat petir, dengan mengadakan dua pool yang ia isi voltage bertrilyun-
trilyun volt. Kemudian ia lepaskan. Di antara dua pool ini mencetus, menggeledeklah petir. Ia
berkata: “Aku bisa membuat petir!”
Orang bertanya mana Tuhanmu? He, Tuhan, tidak ada. Tuhan di sini tidak ada. Tuhan ialah aku.
Aku bisa membuat suara, aku bisa membuat petir, aku bisa membuat cahaya, aku bisa membuat
segala hal yang diperlukan. Aku, aku, aku! Di sinilah timbul, apa yang orang namakan atheisme,
sebagai Feuerbach berkata: “Akh, nonsens dengan agama. Nonsens dengan Tuhan. Fosfor adalah
pokok daripada segala gedachte”.

cciii
Saya ulangi tekanan kata: Alam industrialisme yang di dalam saat-saat belakang kita yang dekat
ini, dikuasai oleh paham kapitalisme. Itu merupakan satu kuliah tersendiri. Faham kapitalisme
menguasai industrialisme ini. Mempergunakan industrialisme ini untuk membuat kayanya satu
bagian daripada manusia, dan membuat sengsaranya sebagian besar daripada manusia. Sistem
exploitasi daripada kapitalisme mem-pergunakan industrialisme ini. Di dalam alam keadilan
sosial, alam isdustrialisme ini juga dipergunakan. Jangan mengira bahwa keadilan sosial itu
mempergunakan alat-alat yang usang dan kuno, bahwa kita dengan alam keadilan sosial ini
kembali kepada hidup di dalam rimba atau di dalam gua, bahwa kita di dalam alam keadilan
sosial itu kembali kepada hidup hanya daripada ternak saja, atau hanya pada pertanian saja. Atau
di dalam alam keadilan sosial itu hanya duduk di rumah, membuat kikir, membuat palu,
membuat ini, membuat itu, membuat industri kecil perumahan. Tidak.
Sudah pernah saya katakan bahwa cita-cita kita dengan keadilan sosial ialah satu masyarakat
yang adil dan makrnur. Saya tekankan adil dan makmur, makmur dan adil, dengan mempergu-
nakan alat-alat industri, alat teknologi yang sangat modern. Yang membuat celaka manusia
bukan mesinnya. Yang membuat celaka manusia ialah caranya kita mempergunakan mesin.
Mesin yang tempo hari saya katakan oleh Mahatnla Gandhi dikatakan “devils work”, ia tidak
senang kepada mesin, benci kepada mesin. Benci kepada kapal udara. Benci kepada lokomotif.
Benci kepada derunya mesin-mesin yang dahsyat. Mahatma Gandhi lebih senang kepada hidup
“tentrem, adem ayem, adil, siniram banyu wayu sewindu lawase”. Mahatma gandhi tidak
menyenangi industrialisme modern. Sebaliknya kita senang kepada industrialisme mnodern, asal
tidak dikuasai oleh sistem kapitalisme. Tetapi industrialisme modern itu kita pergunakan untuk
kepentingan umum. Mesin kita pergunakan untuk kepentingan umum. Segala alat-alat modern
kita pergunakan untuk kepentingan umum.
Menurut evolutie-theorie, maka sebagai tadi saya katakan, “Sozialismus ist eine historische
Norwendigkeit”. Menurut sebagian daripada evolutie-theorie ini, sudah dengan sendirinya
manusia itu hidup daripada berburu dan mencari ikan, ke perternakan, ke pertanian, ke
perindustrian rumah, ke industrieel kapitalisme, atau kapitalistis industrialisme; nanti dengan
sendirinya tumbuh daripada kapitalis industrialisme atau industrieel kapitalisme ini, sosialisme,
tumbuh masyarakat adil dan makmur. Malahan orang daripada pihak ini mengatakan: “Tidak
hisa engkau lewati fase ini, fase industrieel kapitalisme, fase kapitalistis industrialisme ini; tidak
bisa engkau lewati. Malahan ia berkata fase industrieel kapitalisme atau kapitalistie

cciv
industrialisme ini adalah tempat latihan, tempat pengalaman. Manusia tidak bisa sekonyong-
konyong menjadi sosialis, katanya. Manusia tidak bisa sekonyong-konyong mem-pergunakan
industrialisme itu untuk kebahagiaan sernuanya. Manusia tidak sekonyong-konyong bisa
mempergunakan industrialisme itu sebagai socialistis industrialisme. Tetapi manusia itu harus
mendapat latihan berpuluh-puluh tahun. Cara mempergunakan mesin-mesin, menjalankan
pesawatpesawat, cara mengetahui management. Ini terutama sekali dikatakan: “Management ini,
wah, ini yang paling penting”. Tidak bisa orang sekonyong-konyong tahu management,
sekonyongkonyong bisa. Meskipun diberi mesin seribu, dua ribu, empat ribu, lima ribu, sepuluh
ribu, sekonyong-konyong ia bisa membikin satu masyarakat adil dan makmur, sosialistis. Satu
pendirian Saudara-saudara, ia katakan: “Ya, ini dengan sendirinya tumbuh. Reaksi daripada
kaum yang di dalam sistem kapitalisme ditindas”.
Ingat tempo hari saya memberi kuliah di sini, bahwa di seluruh sejarah manusia itu selalu ada
pertentangan. Selalu ada klassenstrijd. Selalu ada pertentangan kelas. Dulu di dalam zaman
feodal, pertentangan kelas antara tuan feodal dengan rakyat yang difeodali. Di dalam alam
kapitalisme juga ada pertentangan kelas antara kelas kapitalis dengan kelas proletar.
Dengan sendirinya maka kesadaran kelas, klassebewustzijn, kesadaran kelas, makin lama makin
tumbuh, makin lama makin tumbuh, sehingga makin bertumbuhnya klassebewustijn daripada
kelas proletar ini lama-lama zich organiseren di dalam kekuatankekuatan yang berupa
vakvereniging, kumpulan-kumpulan, serikat-serikat, sekerja dan lain-lain sebagainya. Sehingga
kekuasaan daripada kaum kapitalis ini lambat laun dirckoti, dikrikiti, digrogoti. Tempo hari saya
sebutkan, ini adalah uithollingstheorie. Dengan sendirinya kapitalisme itu uitgehold. Lama-lama
dengan sendirinya kapitalisme ini yang uitgehold, tergerogoti, makin lama makin mengkerut,
makin lama makin mengkeret. Dengan sendirinya timbullah satu masyarakat sosialisme.
Ini yang dinamakan evolutie-theorie di dalam uiterste konsekwentie. Tanpa perjuangan, boleh
dikatakan. Dengan sendirinya “est ist eind historische Notwendigkeit”. Sudah, kerja saja biasa,
ambillah pengalaman. Dengan sendirinya nanti, nanti, nanti. Dengan sendirinya nanti toh datang
alam sosialisme.
Di dalam kuliah saya yang akhir di Yogyakarta, saya sudah katakan bahwa ada teori lain, yang
menentang uithollings-theorie ini. Teori yang berkata: kapitalisme tidak bisa mengkeret dengan
sendirinya, kapitalisme tidak bisa gugur dengan sendirinya; tidak bisa. Tetapi pada satu saat
kapitalisme ini hanya dapat digugurkan. Digugurkan dengan tenaganya kaum proletar yang

ccv
terhimpun di dalam satu massa-aksi yang hebat. Digugurkan dengan tenaganya kaurn proletar
yang merebut kekuasaan daripada tangannya kaum kapitalisme itu. Kemudian diadakan satu
sistem oleh kaum proletar sendiri untuk mempergunakan alat-alat industrialisme yang rnodern
ini bagi kepentingan kaum proletar.
Inilah yang tenlpo hari saya katakan kepada Saudara-saudara, yang dinamakan “revolutionaire
theorie van de directe actie”. Teori revolusioner daripada aksi direk, aksi langsung. Bukan
menunggu terjadinya sosialisme sebagai satu “historische Nolwendigkeit”. Tidak! Tetapi
menyusun tenaga, menggempur, menggempur kapitalisme ini. Akhirnya kapitalisme ini gugur,
dan hanya kaum proletar yang berkuasa. Siapa yang tidak proletar tidak boleh ikut campur di
dalam urusan ketatanegaraan. Di dalam tata ekonomipun, hanya kaum proletar yang mengurus,
mengatur, agar supaya alat produksi yang modern ini dipergunakan untuk kepentingan buruh,
kaum proletar, tanpa exploitation de 1’homme par l’homme.
Ini dinamakan “theorie van directe actie”. Di dalam penyeleng-garaannya ialah diktatur proletar
“dictatuur van het proletariaat”. Kuasa kaum proletar sendiri menggunakan alat-alat yang
modern untuk kepentingan seluruh kaum proletar. Sosialisme proletar “het proletarisch
socialisme”.
Berhadapan dengan theorie ini lambat laun di dalam abad ke-20 atau lebih tegas permulaan abad
ke-20, timbullah suarasuara: “Nee, nee, sosialisme adalah benar suatu unsur Notwendigkeit”.
Tetapi itu tidak berarti bahwa dus sosialisme itu jatuh dari langit seperti air embun jatuh dari
langit di waktu malam. Sosialisme harus diperjuangkan, meskipun ia seribu kali Notwendigkeit,
meskipun ia seribu kali “historische Notwendig-keit”. Ia hanyalah menjadi satu realiteit dengan
perjuangan; satu. Nomer dua, tidak perlu manusia itu, fase pertama dulu, fase kedua dulu, fase
ketiga dulu, fase keempat dulu, fase kelima dulu, baru sosialisme. Tidak perlu.
Ini adalah teori baru yang timbul pada permulaan abad ke-20. Pada permulaan abad ke-20
sebetulnya gerakan kaum buruh di Eropa, yang saudara-saudara mengerti bahwa teori-teori ini
terutama sekali timbul di dalam gerakan kaum buruh, orang belum mempunyai pengalaman.
Pada permulaan abad ke-20 atau akhir abad ke-19 belum ada contoh, bahwa sesuatu bangsa
mencoba menyelenggarakan sosialisme. Belum ada. Saudara mengetahui, bahwa negara sosialis
yang pertama terjadi di dalam tahun 1917 si Sovyet Uni yang sebagai tempo hari saya katakan,
tidak disangka-sangka oleh ahli sejarah, terutama sekali ahli sejarah peperangan dunia pertama.
Peperangan dunia pertama mempunyai war-aim, mengalahkan satu pihak, ini mesti kalah, ini

ccvi
mesti menang. Jebul yang timbul dari peperangan dunia yang pertama, bukan menangnya ini.
bukan gugurnya ini, tetapi timbul suatu hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka, yaitu
timbul berdirinya negara sosialis di Rusia yang bernama Sovyet Uni. flingga tempo hari saya
sitirkan salah seorang sosialis yang berkata: “War is strange alchemist”. Apa yang sebenarnya
hendak dibuat tidak jadi.
Tetapi muncullah suatu hal yang sama sekali tidak tersangkasangka. Perang dunia pertama
menghasilkan barang yang tidak tersangka-sangka yaitu terjadinya negara sosialis di Sovyet Uni.
Pada permulaan abad ke-20 dan akhir abad ke-19 manusia belum melihat contoh
penyelenggaraan sosialisme, sebagai sekarang orang melihat contoh penyelenggaraan sosialisme.
“in al zijn schakeringen”. Saudara-saudara mengetahui, bahwa sesudah peperangan dunia yang
kedua juga timbul hal yang tidak tersangka-sangka.
Peperangan dunia kedua yang kancah-kancahnya berkobarkobar, bernyala-nyala, berapi-api di
seluruh dunia, dimaksud-kan untuk menimbulkan kemenangan bagi “Allied Forces”, negara-
negara sekutu. Hancur leburnya negara-negara yang tergabung di dalam fasisme, Jerman, Italia,
Jepang. Apa yang terjadi sebagai peneloran dari peperangan dunia yang kedua ini? Juga, sekali
lagi “War is a strange alchemist”. Dengan tidak tersangka-sangka timbul negara-negara sosialis
yang baru. Sampai sekarang kalau tidak salah terjadi 15 negara sosialis baru di dunia ini, sebagai
akibat peperangan dunia yang kedua, sehingga manusia sekarang, lain daripada manusia dulu.
Manusia sekarang lain daripada manusia pada permulaan abad ke-20, lain daripada manusia di
dalam akhir abad ke-19. Manusia sekarang melihat beberapa contoh “in al zijn schakeringen”,
ada extreem, ada yang setengah extreem, ada yang lunak, tetapi contoh penyeleng-garaan sosial-
isme, di dalam segala bentuk, “in al zijn schakeringen”. Pada akhir abad ke-19, permulaan abad
ke-20 belum ada sesuatu contoh, sehingga pada waktu itu terutama sekali, sebagian besar dari
kaum sosialis, mengikuti teori evolusi, “in al zijn konskwenties” itu tadi, “Sozialismus ist eine
historische Notwendigkeit”, Sosialisme nanti datang sendiri. Ya, biarlah kita mengalami alam
kapital-isme ini, sebagai alam latihan, alam pengalaman, alam peng-alaman mempergunakan
alat-alat modern. Alam pengalaman hal management, alam untuk mendidik social bewustzijn
sedalam-dalamnya di dalam kalangan kaum proletar. Ini adalah satu fase yang perlu. Dikatakan:
Perlu! Juga satu fase historisch Notwendegkeit.
Tanpa fase lima ini, tidak bisa engkau mengadakan sosialisme. Tidak bisa engkau “ujung-ujung”
dari kelas tiga naik kelas tujuh. Mesti mengalami kelas empat, kelas Iima, kelas enam dulu. Teori

ccvii
ini pada permulaan abad ke-20 mulai ada yang menentang, yaitu yang dinamakan kaum sosialis
revolusioner. Antara lain seorang wanita lagi, namanya Rosa Luxemburg, yang berkata: Nee,
tidak perlu fase satu dulu, fase dua, fase tiga, fase empat, fase lima kemudian baru sosialisme.
Tidak perlu! Boleh dilompati fase kapitalisme ini. Dari fase keempat kita bisa melompat ke fase
enam. Luxemburg mengatakan, teorinya itu teori, dalam bahasa asing, Belandanya
“fasensprong”, pelompat-an fase. “Theorie der Fasensprung”, bahasa Jermannya.
Penting sekali teori Rosa Luxemburg ini “theorie der Fasensprung”, melompat. Dan teori ini
ternyata benar, ternyata benar di dalam alam sekarang, di mana orang mempunyai penglihatan
pengalaman-pengalaman. Saudara melihat beberapa negara yang tadinya bobrok sama sekali
yang sama sekali lebih mesum daripada kita. Karena ada contoh melihat, sebab ia hidup di dalam
alam abad ke-20, melihat contoh di Sovyet Uni begitu, di RRC, begitu, di negara lain begitu: “O,
sekonyong-konyong kok bisa dari sini ke sini”. Ia bisa presideren Fasensprung ini. Misalnya
saya ambil satu contoh: Uzbekistan itu 34 tahun yang lalu, masya Allah, perkara terbelakangnya
bukan main! Atau Mongolia yang pernah saya datangi, – Uzbekistan pun pernah saya datangi -,
Mongolia dengan ibukotanya Ulanbator tiga puluh tahun yang lalu, masya Allah,
terbelakangnya! Maaf, tempo hari saya berkata di Mongolia itu 30 tahun yang lalu wanita-wanita
ganti celana satu kali setahun. Tidak ada wanita bisa membaca, bisa menulis, orang laki-lakipun
95% tidak bisa membaca dan menulis. Orang di sana cuma bisa menggembala, menggembala
kuda, menggembala sapi, menggembala kambing, Gembal, gembala, gembala. Lha kok
sekarang, di dalam tahun 1956 saya datang di Ulanbator, yang di dalam kitabnya Sven Hedin di
dalam permulaan abad ke-20 Ulanbator dilukiskan sebagai suatu kota, yang bukan kota, yang
rumah-rumahnya tidak ada; cuma tenda, “jurk” namanya, tenda terbuat dari pada kulit onta, kulit
kuda atau kulit sapi. Kotor sama sekali. Datang di Ulanbator itu berbulan-bulan melewati padang
pasir. Di Ulanbator sendiri sangat terbelakang, tidak ada orang bisa membaca dan menulis.
Kemudian didatangi pula oleh Dr Hanina W. Halle, yang menulis buku. Bukunya itu ada
barangkali di perpustakaan sini: “De vrouw ini Sovyet Rusland atau ada kitab nomor dua: “De
vrouw in het Sovyet Oosten”. Mengenai wanita “De vrouw in Sovyet Rusland” atau buku lain
“De vrouw in het Sovyet Oosten” Dr Hanina W. Halle mengatakan, pada waktu ia datang di situ
keadaan masih mesum sekali. Saya datang di Ulanbator, melihat jalan jalan terbuat daripada
aspal, melihat ada pabrik besar, canning industry, membikin makanan dalam blek. Hasil daripada

ccviii
ternak, daging sapi, daging kuda, daging ini, daging itu, dimasak di dalam pabrik itu; keluar dari
pabrik itu blek-blek, blek, rasanya nyaman.
Saya melihat Universitas, – yang, waduh, kalau saya melihat Gajah Mada ini! Saya melihat
gedung Parlemen bertingkat empat. Saya melihat museum geologi yang masya Allah penuhnya
ia punya koleksi daripada batu-batu yang terdapat di Mongolia, ini ada besinya, itu ada
tembaganya, itu ada mangaannya, itu ada batunya, ini ada batunya. Di sana ada minyak tanah, ini
ada, itu ada, bahkan batu-batu yang berisi fosil-fosil beberapa ratus ribu tahun yang lalu ada juga.
Kemajuan bukan main. Dan kemajuan ini berkat penyeleng-garaan teori Fasensprung, teori
melompati.
Mongolia tidak perlu mengalami kapitalisme, walaupun dulu masih hidup di dalam fase yang
kedua peternakan sekonyong-konyong melompati fase tiga, fase empat, fase lima, menjadi suatu
bangsa yang menyelenggarakan Sozialismus.
Kita bangsa Indonesia ini sebenarnya juga di dalam keadaan yang demikian. Kita mengadakan
revolusi sudah empat belas tahun. Dan sekarang datanglah saatnya kita menyelenggarakan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagai tertulis dalam Undang-undang
pembuatan Depernas.
Apakah perlu kita juga mengalami lebih dahulu fase Kapitalismus? Saudara-saudara barangkali
mengatakan: “Ya, kita sudah mengalami kapitalisme, belum 100%”. Kita meng-alami imperial-
isme. Kita mengalami Imperialisme di dalam segala ketidakenakannya. Tetapi kita belum
mengalami industri-alisme, industrieel kapitalisme atau kapitalistis industrialisme; belum kita
alami. Belum kita alami sebagai rakyat Perancis mengalaminya, rakyat Inggris mengalaminya,
rakyat Jerman mengalaminya. Belum! Kita masih sebagian besar hidup dalam fase agraris,
ditambah sebagian hidup di dalam fase keempat huisindustrie. Tetapi apakah kita harus
mengalami fase industrieel kapitalisme, kapitalistis industrialisme agar supaya kita bisa
mengalami atau menyelenggarakan, membina, mengadakan satu masyarakat adil dan makmur,
keadilan sosial? Tidak, sama sekali tidak. Pertama, pengalaman bangsa-bangsa lain bisa kita
pergunakan. Dan demikianlah yang dipergunakan pula oleh bangsa-bangsa yang setaraf dengan
kita. Dipergunakan oleh rakyat India, melihat di negeri-negeri lain. Dipergunakan oleh rakyat
Mesir, melihat keadaan di negeri-negeri lain, melihat Yugoslavia, yang dulu juga masih separo-
separo hidup di dalam fase keempat. Melihat pengalaman dari mana-mana, sekarang, mereka

ccix
mencoba dengan hasil yang agak memuaskan, mengadakan sosialisme itu. Kita tidak perlu
mengalami fase kapitalisme “in zijn volle konskwenties”.
Maka sebagai tadi saya katakan, untuk menyelenggarakan sosialisme ala Indonesia atau
sosialisme yang berdasarkan Pancasila itu, kita adalah demokrasi terpimpin, yang essensinya
sudah saya gambarkan kepada saudara-saudara, dengan caranya ananda Lina memimpin lagu
Indonesia Raya. Semua menyumbangkan ia punya tenaga, baik ahli ini, ahli itu, semuanya
menyumbangkan ia punya tenaga, di bawah pimpinan satu blue-print, kitab nootnya, kertas
nootnya, di bawah pimpinan seorang dirigent. Dan tidak perlu itu, tidak harus itu bernama
Soekarno. Seorang dirigent yang bisa memimpin irama ini. Tetapi dirigent itu sebetulnya juga
cuma satu, ya, satu, teknis sebenarnya yang menjadi pemimpin ini, nootnya ini. Apakah
dirigentnya itu Torcanini, apakah dirigentnya itu Pak Abdulkarim, apakah dirigentnya itu Raden
Ajeng Siti Soemiati, apakah dirigentnya itu seorang lain-lain; yang penting ialah blue printnya
ini!
Walta “Die Blaue Donau” dari Johann Strauss, atau “Uben den Rellen” dari Ivanovichi, atau lagi
lain-lain. Yang penting: blue print yang dibuat oleh DPN ini.
Maka di dalam hal ini, sebagai saya katakan, semua harus menyumbang tenaganya, terutama
sekali daripada engkau sekalian, Engkau sekalian yang beberapa kali, tiap kali saya katakan: “He
pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau diharapkan menjadi kader pembangunan, kader
pernbangunan. Tetapi di dalam melatih dirimu menjadi kader, menyusun dirimu, menyiapkan
dirimu menjadi kader, bukan sekadar engkau punya otak itu harus diisi dengan pengetahuan; o,
teknik harus mengetahui hukum Torki, teknik harus mengetahui hukum Newton, teknik harus
mengetahui hukurn Farraday, teknik harus mengetahui moment, teknik harus mengetahui
gewapend beton, atau ahli hukum harus mengetahui teori ini, teori itu, atau dokter harus
mengetahui virologi atau bacteriologi, atau urologi atau chirugie atau anatomi. Bukan sekadar itu
yang diperlukan. Saudara harus mengisi saudara punya otak dengan “technisce vaardigheid”
yang secukup-cukupnya. Tetapi di samping itu saudara-saudara harus mengerti blue print ini.
Jiwamu harus jiwa blue print ini. Jiwamu harus jiwa ingin menyumbangkan tenagamu di dalam
orkes maha besar rakyat Indonesia 85 juta, agar supaya menurut blue print ini di Indonesia
terselenggara satu masyarakat adil dan makmur ala Pancasila. Dadamu harus berkobar-kobar
dengan hal itu. Ya, barangkali orang-orang tua ada yang tidak mengerti blue print tadi. Ya mak-
lumlahorang tua. Engkau dihidupkan tahun ’55, ‘ 56, ’57, ’58, ‘ 59. Engkau barangkali belum

ccx
berumur 22 tahun. Engkau bibit muda, hidup di dalam alam sekarang. tetapi orangtua-orangtua
itu ada dapurnya itu, dapur pendidikannya itu: alam dulu, alam Belanda, alam Hollands denken.
Yang diketuai cuma kitab-kitab bahasa Belanda: Profesor Kan berkata demikian, profesor
Kranenburg berkata demikian, bahkan tentang trias politica, Montsque berkata demikian, max
Weber berkata demikian, profesor Jung berkata demikian. Dengan bekal hasil dari dapur ini ia
pindah ke dalam alam sekarang. Kadang-kadang ia tidak mengerti alam sekarang ini. Maka oleh
karena itu saya berkata kepadamu sekalian: He pemuda dan pemudi, engkau punya kewajiban
sebagai mahasiswa bukan hanya engkau terima segala apa yang diajarkan, tetapi engkau juga
mesti belajar berpikir bebas, berpikir bebas mengalami – bukan liberalisme – berpikir bebas, in
zich opnemen, mengertikan suasana baru, ini blue print, ini kitab noot. Berpikir bebas:
Bagaimana aku bisa menyumbang. Ini begini sebabnya, begini sebabnya. Maaf, saya tidak
mengeritik profesor-profesor; tidak. tetapi, – bukan di Yogyakarta, di Yogyakarta tidak ada -,
tetapi di lain tempat ada profesor-profesor yang masih menderita penyakit Hollands denken”.
Ada profesor-profesor yang menderita penyakit snobisten. Snobisten itu, yaitu “ya-ya-o”, wah,
tiap-tiap hal ia tanya kepada mahasiswa, apa, quotetionnya apa, sifatnya apa? Ya pak, ini begini,
ini begini. Dari kitab mana? Lantas engkau harus bisa quote, dari kitab Jung, pagina sekian.
Wah pinter engkau. Atau sang profesor sendiri kalau memberi kuliah, o, sebentar nama-nama
sesuatu kitab ia sebutkan; Kitab Kranenburg, kitab ini, kitab itu yang pernah saya di dalam
kuliah di Bandung, saya sinyalir ini ke-Kranenburg-an.
Apa yang saya katakan di Bandung? Saya katakan di Bandung begini, dan saya ulangi pada
waktu saya berpidato di hadapan Dies Natalis Universitas Indonesia beberapa hari yang lalu,
kenyataan dunia ini, dunia manusia yang 2.800 j uta manusia ini, bukan hanya ribuan, bukan
hanya puluhan ribu, bukan hanya ratusan ribu, bukan hanya jutaan, tetapi 2.800 juta manusia,
nyata dunia ini terpecah belah menjadi beberapa golongan. Satu golongan besar yang
pengikutnya 1.000 juta, pengikut daripada Marx dan Engels, pengikut daripada komunistis
manifest. Ada lagi satu golongan besar yang pengikutnya juga hampir 1.000 juta
manusia,pengikut daripada falsafah Thomas Jefferson yang telah menulis “Declaration of
Independence America”. Dikatakan oleh Bertrand Russel, ahli falsafah Inggeris yang kenamaan,
bahwa dunia ini terpecah menjadi dua golongan: yang satu golongan pengikut daripada
Declaration of falsafah Thomas Jefferson, di satu pihak pengikut daripada komunistis manifest.

ccxi
Di dalam pidato saya 17 Agustus 1958, saya berkata ada golongan yang ketiga, yaitu
golongannya bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang tidak ikut ini tidak ikut itu, tetapi golongan
yang hendak mendirikan tanah airnya sendiri menurut kepribadian sendiri-sendiri. Tetapi nyata
ini dua golongan yang besar, pengikut komunistis manifest, pengikut falsafah Thomas Jefferson,
yang – sedikitnya profesor-profesor itu harus mengetahui ini, mengetahui itu. Ya apa tidak? –
pengikutnya itu bukan puluhan manusia, tetapi ribuan, j uta manusia. Saya tanya kepada profesor
di sana itu, bukan di Gajah Mada: “Saudara apa sudah pernah baca komunistis manifest? Belum!
Masya Allah! Belum pernah membaca komunistis manifest yang telah membelah dunia menjadi
satu golongan yang besar. Tetapi ia menjawab: “Ya, saya belum membaca komunistis manifest,
tetapi saya membaca Kranenburg”. Aduh, babak bunyar saya.
Nah, kepada mahasiswa di Bandung dan sekarang juga kepada mahasiswa di Yogyakarta, saya
menganjurkan: jangan-lah mau kepada snobisten; jangan! Berpikirlah bebas, mencari cara
menyumbang kepada penyelenggaraan daripada blue print ini. Oleh karena blue print ini
memang amanat daripada penderitaan Bangsa Indonesia yang telah berpuluh-puluh tahun,
amanat yang sepedih-pedihnya. Tujuan yang satu-satunya daripada revolusi kita yaitu suatu
masyarakat adil dan makmur, berdasarkan keadilan sosial.
Engkau, di dalam mengisi engkau punya otak, mengisi engkau punya pengalaman, kataku di
Bandung, jangan menderita penyakit purbasangka, jangan prejudice, jangan berpenyakit
prejudice. Sebab ada purbasangka itu. Purbasangka kepada satu golongan wetenschap, pada satu
golongan ilmu. Dikatakan bahwa semua ilmu yang dari Timur, yaitu dari golongan Sovyet, tabu,
tidak baik. Dibilang juga, ilmu yang dari Amerika cs, tidak baik. Dua-duanya menderita penyakit
purbasangka. Padahal kita yang hendak membangun, yang hendak menyelenggarakan blue print
ini, kita membutuhkan pengalaman-pengalaman, kita membutuhkan, membutuhkan kepandaian,
membutuhkan keprigelan, human skill, material investment, mental investment, technical and
managerial know-how, kataku, kita membutuhkan segala hal ini. Dan menurut teori Fasensprung
kita harus melihat, mengambil oper pengalaman-pengalaman daripada bangsa-bangsa lain yang
berguna bagi kita. Pergilah melihat bangsa-bangsa lain itu, tanpa prejudice, tanpa purbasangka.
Tidak perduli darimana, ambil oper mana yang baik. Yang dari Amerika, baik, ambil oper, yang
dari Sovyet uni baik, ambil oper.
Kita yang di dalam zaman yang sekarang ini, harus dengan lekas bekerja, harus dengan lekas
menyusun masyarakat adil dan makmur itu, bahkan di Bandung dan di Jakarta sata katakan. di

ccxii
dalam dua tiga tahun ini, dua tiga tahun ini, kita harus sudah mencapai suatu momentum konkret,
meskipun minimal di atas lapangan pembangunan ekonomi. Entah momentum konkret di
lapangan produksi padi yang sekarang kita masih selalu harus mengimport, entah momentum
konkret di lapangan membuat bahan pakaian, entah momentum konkret di dalam lapangan mem-
buat bahan-bahan keperluan hidup yang kecil-kecil sehingga saya di Jakarta tempo hari memberi
semboyan baru kepada bangsa Indonesia, agar supaya kita di dalam dua tiga tahun ini mencapai
satu momentum konkret meskipun minimal.
Di atas lapangan ekonomi saya beri semboyan: tiap-tiap keluarga satu produksi aparat, tiap-tiap
keluarga sekarang ini harus menjadi salu produksi aparat. Sebab banyak sekali keluarga-keluarga
kita ini yang tidak menjadi produksi aparat. Di daerah Garut, padahal nyata kita ini
membutuhkan misalnya tutup botol, kataku di Jakarta. Kita beli tutup botol itu dari luar, kurk,
gabus dari luar, dari Yunani. Devisen kita habis. Banyak sekali membeli tutup botol dari Yunani
yang berupa gabus. Kita ini rakyat karet! Apa tidak bisa bikin tutup botol dari karet. Lho, itu
mesti ada paberik yang besar! Tidak perlu membikin tutup botol dan karet dengan pabrik yang
besar. Tiap-tiap rumah tangga itu sebetulnya itu bisa dengan lattex membuat tutup botol.
Hendaknya tiap-tiap keluarga di daerah karet menjadi produksi aparat membuat tutup botol.
Hak-hak sepatu ini, 60% dari hak-hak sepatu ini kita beli dari luar. padahal kita ini bangsa karet!
Maka oleh karena itu semboyan saya: tiap-tiap keluarga hendaknya menjadi satu produksi aparat.
Dengan demikian di dalarn tempo dua tiga tahun kita sudah bisa mencapai satu momentum
konkret meskipun minimal di atas lapangan pembangunan ekonomi.
Saudara-saudara kalau engkau mengerti keharusan masyarakat keadilan sosial, jikalau engkau
mengerti bahwa masyarakat keadilan sosial itu adalah amanat daripada leluhurmu yang telah
menderita, amanat daripada semua pejuang-pejuang yang telah mangkat lebih dahulu termasuk
di dalam doa daripada ananda Lina, – yang tadi mengatakan: arwahnya harus kita peringati,
-jikalau engkau mengerti bahwa segenap rakyat Indonesia sekarang ini gandrung kepada
masyarakat adil dan makmur sebagai yang kita ajarkan kepada mereka berpuluh-puluh tahun,
jikalau engkau hidup di dalam suasana yang demikian itu: Aku, aku, aku ingin menyumbang-kan
tenagaku kepada penyelenggaraan masyarakat yang demikian ini, alangkah nyamannya engkau
punya hidup zaman sekarang ini. Tidak seperti zaman dulu, tatkala pemuda dan pemudi tidak
mempunyai cita-cita. Lho saya ini tadinya kecil sekali; habis sekolah itu apa? Urut galengan,

ccxiii
mencari jangkrik. Yang diperdebatkan dengan kawan-kawan cuma hal jangkrik: jangkrik itu
kalau sutangnya begini, bukan main, menangan!
Tapi kamu sekarang, coba bandingkan: zamanmu dengan zamanku tatkala aku masih kanak-
kanak.
O, lain sekali! Engkau sekarang ini: blue print cita-cita keadilan sosial, terasa engkau
bertanggung jawan kepada hari kemudian, bertanggung jawab kepada Tuhan sevagai
dianatankan oleh Saudara Lina: Nanti engkau punya arwah akan ditanya akan kepemimpinanmu:
merasa bertanggung jawab, bukan saja merasa bertanggung jawab sebagai satu beban, tetapi
merasa bertanggung jawab sebagai satu tugas yang mulia, a glorious task, a glorious historical
task, daripada pemuda-pemudi zaman sekarang; jikalau bisa semangat hidup di dalam kalbumu,
yang demikian itu, tidak ada istilah: E, hari kemudian kita gelap gulita. Tidak! Engkau akan
selalu melihat hari kemudian tanah air kita dan bangsa kita itu cemerlang; di tepi langit engkau
melihat suryanya kebesaran, suryanya masyarakat adil dan makmur makin lama makin naik!
Tatkala saya melantik Duta Laili Rusyad, wanita yang pertama saya lantik menjadi wakil kita di
luar negeri, saya telah mensitir ucapan seorang pemimpin besar bangsa lain yang berkata kepada
pemuda dan pemudi: “He, pemuda dan pemudi, engkau pembina hari kemudian. Orang katakan
bahwa engkau itu adalah pupuk hari kemudian”. Jangan mau terima sebutan sekadar pupuk hari
kemudian! Jangan terima! Kita ini bukan sekadar pupuk, sekadar pupuk hari kemudian tok.
Tidak! Kami lebih daripada pupuk! Sebab di dalam kami tumbuh pula bibit. Di dalam bahasa
asingnya: “Wij zijn niet enkel mest; ook in ons ontkiemt het aar; kami bukan sekadar pupuk,
pupuk mati yang dimasukkan di dalam tanah, kemudian tanah itu yang menjadi subur untuk
membangkitkan tanam-tanaman. Kami bukan sekadar pupuk, di dalam kalbu kami, dada kami,
rokh kami, jiwa kami bergelora: di dalam jiwa kami tumbuh pula masyarakat yang baru itu; di
dalam jiwa kami tumbuh segala apa yang menjadi cita-cita bangsa kita. Ook in ons ontkiemt het
aar             
Ini adalah saya punya permintaan kepada mahasiswa-mahasiswa, seluruh mahasiswa-mahasiswa
Indonesia, seluruh cendekiawan Indonesia, seluruh pemuda-pemudi Indonesia, supaya kita
bersama-sama maju ke muka, membawa sumbang-an, berupa apa saja kepada sanggul konde Ibu
Pratiwi yang kita cinta. Engkau dapat menyum-bangkan bunga menur, berikan bunga menur
kepada ibu Pratiwi. Engkau bisa menyumbangkan bunga melati, berikan bunga melati kepada
Ibu Pratiwi. Engkau bisa menyumbang bunga mawar, berikan bunga mawar kepada Ibu Pratiwi.

ccxiv
Engkau bisa menyumbang bunga cempaka.. berikan bunga cempaka kepada Ibu Pratiwi. Tetapi
marilah kita semuanya memberikan kepada Ibu Pratiwi barang kita masing-masing dan di bawah
pimpinan blue print, kita bersama-sama mengagungkan lbu Pratiwi itu.
Kita bersama-sama mengeluarkan satu lagu yang merdu, yang di Surakarta ada orang tanya
kepadaku: Bagaimana bunyinya lagu itu? Bunyinya lagu itu adalah di bawah pimpinan blue print
ini, di bawah pimpinan dirigent itu dengan permainan daripada segenap rakyat Indonesia yang
menyumbang, lagu itu berbunyi: Sosialisme Indonesia, sosialisme Indonesia, sosialisme,
sosialisme, adil makmur, adil makmur. Lagu yang merdu, yang memang menjadi cita-cita bangsa
kita, sejak berpuluh-puluh bahkan ratusan tahun.
Inilah harapanku kepadamu sekalian.
 Sampai sekian saja.
 Terima kasih.
 
 
 

ccxv
REVOLUSI KITA BERDASARKAN PANCASILA
Amanat Presiden Soekarno Pada Penutupan Seminar Pancasila di Gedung Negara
Yogyakarta Tanggal 20 Februari 1959
 
Saudara-saudara hadirin dan hadirat sekalian,
Salut kehormatan saya berikan kepada penyelenggara seminar Pancasila pertama. Salut
kehormatan saya berikan kepada seminar itu seluruhnya. Salut kehormatan saya berikan kepada
kota Yogyakarta, yang telah memberi tempat sebaik-baiknya, dukungan sebaik-baiknya,
sumbangan sebaik-baiknya kepada berhasilnya seminar yang pertama ini.
Tadinya saya menyetujui benar, dan sekarangpun tetap menyetujui benar akan adanya seminar
ini, oleh karena pihak penyelenggara, pihak pengambil inisiatif telah menekankan kepada saya
bahwa di dalam sesuatu seminar tidak diperdebat-kan lagi apa yang diseminarkan. Memang
demikianlah, sesuatu seminar tidak memperdebatkan lagi apa yang diseminarkan, melainkan
sekadar memperdalarn dan memperkaya apa yang diseminarkan itu.
Maka ternyata di dalam seminar Pancasila yang telah terjadi di kota Yogyakarta ini, sebagai tadi
telah dibacakan rumusan-nya: Pancasila tidak diperdebatkan lagi. Itu membuat hati saya amat
gembira oleh karena saya sendiri telah berulang-ulang berkata bahwa revolusi kita dapat berjalan
dengan sebaik-baiknya terutama sekali ialah oleh karena revolusi kita ini berdasarkan atas
Pancasila. Dan bahwa Pancasila itu memang mutiara lima buah yang telah lama terpendam di
dalam kalbu bangsa Indonesia sendiri.
Tidak saya sangka-sangka, bahwa dalam seminar ini bukan saja secara terbatas Pancasila
diperdalam dan diperkaya, tetapi dibawa-bawa pula serta sebagai satu bagian inhaerent daripada
Pancasila: persoalan demokrasi terpimpin. Bahkan seminar ini memberi dukungan yang kuat
kepada ide demokrasi terpimpin, memberi petunjuk-petunjuk pula yang berharga kepada pelak-
sanaan daripada demokrasi terpimpin itu. Oleh karena itu baiklah saya di samping saya
mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada seminar ini, pada ini malam hendak
menceritakan sedikit akan beberapa hal mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin itu.
Kebetulan sekali tadi tengah hari Perdana Menteri Juanda telah mengumumkan bahwa Presiden/
Panglima Tertinggi di Yogyakarta nanti, yaitu sekarang, akan mengumumkan beberapa
keputusan beliau yang penting. Inilah tempat yang baik untuk saya mengumumkan beberapa
keputus-an saya yang menurut anggapan saya memang keputusan-keputusan yang amat penting.

ccxvi
Marilah saya mendongeng lebih dahulu asal mulanya kita sampai kepada persoalan
penyelenggaraan demokrasi terpimpin. Saudara-saudara mengetahui bahwa saya di dalam
pidato-pidato saya selalu mengemukakan bahwa revolusi kita ini bermuka dua, – bukan bermuka
dua secara palsu, tetapi bermuka dua laksana sebuah uang-: muka sini dan muka sini, yang dua
muka itu tak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Muka dua yaitu muka politik dan muka sosial.
Muka politik ialah untuk mencapai satu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah
kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke, berdaulat penuh seratus persen. Muka sosial untuk di
dalam Republik itu mengadakan satu masyarakat adil dan makmur.
Malahan pernah saya katakan bahwa justeru oleh karena revolusi kita ini bermuka dua, maka
saya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu telah ikut-ikut dengan pemimpin-pemimpin lain
pertama memberikan pimpinan politik kepada rakyat, politieke leiderschap, kedua memberi
pimpinan ekonomi kepada rakyat, vaitu economisch leiderschap. Politieke leiderschap yang saya
ikut-ikut sumbangkan mulai hampir 40 tahun yang lalu, kemudian menegas kira-kira 30 tahun
yang lalu – lebih daripada 30 tahun yang lalu, – tatkala kami pemimpin-pemimpin muda pada
waktu itu dengan tegas mengatakan bahwa syarat mutlak untuk memperbaiki keadaan kita,
keadaan yang telah dirusak oleh imperialisme dan kolonialisme, tak lain tak bukan ialah
Indonesia merdeka penuh. Satu pendirian yang pada waktu itu amat menggoncangkan kepada
khalayak yang belum mengerti, oleh karena sebagian daripada pemimpin-pemimpin kita pada
waktu itu berpendapat lebih dahulu mengangkat kecerdasan rakyat, dan kalau kecerdasan rakyat
sudah terangkat, dengan sendirinya akan datang Indonesia merdeka. Kami sebaliknya berkata:
Indonesia merdeka sebagai syarat mutlak untuk memperbaiki keadaan rakyat di segala bidang.
Politieke leiderschap ini, demikianlah saya katakan di dalam beberapa pidato, diterima dengan
gembira oleh rakyat, bahkan membakar hatinya rakyat, membakar hati rakyat untuk berjuang
secara masal dan revolusioner. Sehingga akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 kita dapat
memproklamirkan kemerdekaan kita. Maka politieke leiderschap ini diteruskan, diteruskan
sehingga pada waktu yang belakangan-belakangan ini, menjelmalah ide demokrasi terpimpin.
Demokrasi terpimpin yang kami anggap perlu mutlak untuk melaksanakan masyarakat adil dan
makmur. Masyarakat adil dan makmur, cita-cita asli dan murni daripada rakyat Indonesia yang
telah berjuang dan berkorban berpuluh-puluh tahun. Masyarakat adil dan makmur tujuan yang
terakhir daripada revolusi kita. Masyarakat adil dan makmur yang untuk itu, sebagai yang telah
saya katakan berulang-ulang, berpuluh-puluh ribu pemimpin-pemimpin kita menderita.

ccxvii
Berpuluh-puluh ribu pemimpin-pemimpin kita meringkuk di dalam penjara. Berpuluhpuluh ribu
pemimpin-pemimpin kita meninggalkan kebahagiaan hidupnya. Beratus-ratus ribu, mungkin
jutaan rakyat kita menderita. tak lain tak bukan ialah mengejar cita-cita terselenggaranya satu
masyarakat adil dan makmur yang di situ segenap manusia Indonesia dari Sabang sampai
Merauke mengecap kebahagiaan. Satu masyarakat adil dan makmur karena segala syarat-syarat
badaniyah dan syarat-syarat rokhaniyah, syarat-syarat materiil dan spirituil mental ada di dalam
bumi Indonesia, di dalam kalbu rakyat Indonesia. Masyarakat adil dan makmur yang telah berko-
bar-kobar sebenarnya di dalam dada keyakinan bangsa Indonesia sejak beratus-ratus tahun.
Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Demikian saya katakan berulang-ulang,
sehingga tiap anak kecil di desa-desa mengatakan cita-citanya adalah itu, satu masyarakat oleh
karena gemah ripah loh jinawi, masyarakat tata tentrern kerta raharja, yang sebagai dikatakan
oleh Pak Dalang: “para kawula iyeg rumagang ing gawe, tebih saking cecengilan, adoh saking
laku juti: wong kang lumaku dagang rinten dalu tan wonten pedote, labet saking tan wonten
sangsajaning margi; bebek ayam rajakaya, enjang medal ing pangonan surup bali ing kandange
dewe-dewe.”
Masyarakat yang demikian ini yang kita cita-citakan. Dan untuk mencapai masyarakat yang
demikian ini, tegas, sebagai salah satu bagian daripada politieke leiderschap, karni pemimpin-
pemimpin berkata: harus diselenggarakan demokrasi stijl baru, yaitu demokrasi terpimpin. Dan
saya bergembira sekali bahwa seminar Pancasila di Yogyakarta ini ternyata mendukung bulat
kepada demokrasi terpimpin itu.
Di dalam pidato-pidato saya di waktu yang akhir-akhir ini ditekankan perlunya satu Dewan
Perancang Nasional dan persoalan Dewan Perancang Nasional inipun dibicarakan masakmasak
di dalam Dewan Nasional sehingga Dewan Nasionalpun telah dapat memberi usul kepada
Dewan Menteri untuk membangunkan Dewan Perancang Nasional. Bahkan memberi usul ten-
tang hal penyelenggaraan demokrasi terpimpin itu.
Maka oleh karena usul Dewan Nasional ini masuk ke dalam sidang Kabinet, pada akhirnya
Kabinet mengadakan apa yang dinamakan “open talk”, pembicaraan blak-blakan antara Kabinet
dengan saya sebagai Presiden/Ketua Dewan Nasional dibantu oleh wakil Ketua Dewan Nasional
Saudara Roeslan Abdulgani. “Open talk” yang pertama dijalankan di Bogor. Di dalam “open
talk” yang pertama ini syukur alhamdulillah Kabinet dengan seiasekata menyetujui masuknya
golongan fungsionil di dalam DPR. Prinsip masuknya golongan fungsionil sebagai salah satu

ccxviii
bagian mutlak dari demokrasi terpimpin diterima bulat oleh Kabinet. Bahkan Kabinet
menyatakan pula dengan sebulat-bulatnya mendukung ide demokrasi terpimpin. Tetapi di dalam
“open talk” di Bogor – open talk yang pertama itu, – masih harus disesuaikan lagi pikiran
mengenai caranya memasukkan golongan fungsionil di dalam DPR, dus di dalam membicarakan
caranya memasukkan golongan fungsionil di dalam DPR, prinsip demokrasi terpimpin telah
diterima; prinsip memasuk-kan golongan fungsionil di dalam Parlemen telah diterima. Caranya
masih menjadi pembicaraan, perlu dibahas lebih dalam.
Maka diadakanlah “open talk” yang kedua. “Open talk” yang kedua ini diadakan di Jakarta, di
Istana Negara. Di dalarn “open talk” kedua ini segala pikiran dan pandangan-pandangan dengan
cara yang mendalam dan dengan cara yang sesuai dengan geweten Menteri masing-masing
dikemukakan. Tetapi dalam “open talk” yang kedua ini belum sampai kami, yaitu Dewan
Menteri di satu pihak, Ketua dan Wakil Ketua Dewan Nasional sebagai utusan daripada Dewan
Nasional di lain pihak, kepada sesuatu persesuaian yang mutlak.
Maka diadakanlah “open talk” yang ketiga dan open talk yang ketiga ini diadakan lagi di Istana
Bogor. Di dalam “open talk” yang ketiga inilah dicapai persesuaian paham antara para menteri
yang hadir di situ dengan Presiden/Panglima Tertinggi/ Ketua Dewan Nasional dan Wakil Ketua
Dewan Nasional. Dan persesuaian ini garis besarnya telah “dibocorkan” oleh Saudara Roeslan
Abdulgani di dalam prasarannya di hadapan Seminar. Sehingga tidak perlu saya katakan lagi apa
isi perumusan Bogor itu. Perumusan Bogor ialah persesuaian paham antara Menteri-Menteri
yang duduk di dalam Dewan Menteri dan saya sebagai Presiden/Panglima tertinggi/Ketua
Dewan Nasional dan Saudara Roeslan Abdulgani, Wakil Ketua Dewan Nasional. Perumusan
Bogor ini meskipun telah disetuj ui oleh hadirin yang ada di situ, para Menteri dan saya dan
Saudara Roeslan Abdulgani, – sayang belum ada hadirat-nya -, masih harus dibicarakan lagi,
dibahas lagi, dibawa ke muka sidang partai-partai pendukung daripada Kabinet Karya sekarang.
Tetapi di dalam perumusan Bogor atau di dalam rapat “open talk” yang ketiga itu, telah kami
putuskan sesudah “open talk” yang ketiga ini tidak ada lagi diadakan talk-talk-an lagi.
“Open talk” ketiga adalah talk yang terakhir. Tinggal sekarang ini perumusan Bogor itu dibawa
ke sidangnya Dewan Pimpinan Partai-partai pendukung Kabinet, incasu dibawa kehadapan
pemimpin-pemimpin tertinggi daripada Partai Nasional Indonesia, dan Partai Nahdlatul Ulama
sebagai pendukung utama daripada Kabinet Karya sekarang ini. Tidak perlu diadakan talk-talk-
an lagi. Kami mempersilahkan kepada Kabinet mengambil putusan sekarang ini.

ccxix
Usul Dewan Nasional tegas: ini rupanya! Perumusan Bogor, tegas: ini rupanya! Sekarang up to
the Cabinet, terserah kepada Kabinet membicarakan rumusan Bogor ini dengan pimpinan Partai
Nasional Indonesia dan Nahdlatul Ulama, dan terserah kepada Kabinet untuk mengambil sesuatu
keputusan. Dalam pada itu, kami yang telah berkata tidak akan mengadakan talk-talk-an lagi,
tidak duduk diam. Saudara-saudara telah menge-tahui bahwa dewan Menteri di dalam pekan ini,
hari Rabu dan hari Kamis, akan mengadakan sidang lagi untuk mengambil keputusan yang ter-
akhir.. mengambil satu final decision. mengenai persoalan penyelenggaraan demokrasi
terpimpin. Berhubung Dewan Menteri pada hari Rabu dan Kamis akan mengadakan sidang
untuk mengambil final decision, maka berhubung dengan itu, pada satu hari, beberapa hari
sebelumnya, saya mengadakan pertemuan dengan pucuknya pucuk daripada Partai Nasional
Indonesia yaitu Saudara Suwiryo, dan dengan pucuknya pucuk daripada Partai Nahdlatul Ulama
yaitu Saudara Rois Aam. KH. Abdul Wahab. Pucuknya pucuk saya aturi rawuh di Istana
Merdeka dan di dalam salah satu interpiu atau pertanyaan yang diajukan oleh wartawan, –
wartawan-wartawan tanya kepada pihak Nahdlatul Ulama: “Tadi itu Presiden atau Saudara-
saudara dengan Presiden bicarakan apa?” -, Saudara Zainul Arifin yang menyertai Rois Aam,
KH. Abdul Wahab berkata: “Kami tidak bicara apa-apa, kami cuma omong-omong”. Sehingga di
dalam pers dijadikan artikel yang penting. Sekarang ini kami menunggu keputusan, menunggu
decision, bukan sekadar omong-omong saja tetapi harus lekas kita sampai kepada sesuatu
keputusan yang tegas. Memang sebenarnya tidak omong-omong, tetapi betul-betul pembicaraan
yang mendalam, di satu pihak dengan pucuknya pucuk pimpinan Partai Nahdlatul Ulama, di lain
pihak dengan pucuknya pucuk pimpinan Partai Nasional Indonesia. Sesudah pembicaraan
dengan pucuknya pucuk daripada kedua partai ini, maka barangkali pucuknya pucuk partai ini
lantas membicarakan pembicaraan di Istana Merdeka itu dengan kalangan Dewan Pimpinan
Partainya masing-masing sehingga masuk ke dalam kalangan Menteri-Menteri daripada Partai-
partai itu.
Bagaimanapun juga, dengan gembira saya tadi pagi mendapat kunjungan daripada Perdana
Menteri Juanda yang melaporkan kepada saya bahwa sidang Dewan Menteri hari Rabu dan hari
Kamis telah sampai kepada satu keputusan. Dan bahwa keputusan itu rupanya begini: manakala
saya sesudah perumusan Bogor berkata “I1p to the Cabinet untuk mengambil sesuatu final deci-
sion”, sekarang Pak Juanda berkata: “Up to the Presiden untuk mengambil final decision”.

ccxx
Sementara itu Pak Juanda telah membocorkan sedikit, – membocorkan dalam arti yang baik -,
kepada khalayak ramai, rupa-rupanya Presiden nanti akan menyetujuinya, katanya. Dan sekarang
akan saya beritahu garis besar daripada putusan yang telah diambil oleh Presiden/Panglima
Tertinggi pada ini hari mengenai penyelenggaraan demokrasi terpimpin itu. Sebagai tadi telah
dikatakan oleh Pak Juanda kepada Pers: pasang telinga, nanti malam Presiden akan
mengumumkan beberapa keputusan yang telah diambil oleh beliau: beberapa putusan yang
penting.
Apa keputusan itu? Keputusan itu ialah sebagai berikut: pertama: Mengingat bahwa revolusi kita
ini berjalan baik karena revolusi kita ini membawa dengannya 1945, maka saya telah mengambil
keputusan Insya Allah swt., sebelum saya nanti pergi ke luar negeri, – saudara-saudara
mengetahui bahwa saya jikalau diijinkan oleh Allah swt., nanti akan melawat ke luar negeri -,
maka sebelum saya melawat ke luar negeri, Insya Allah swt saya akan masuk ke gedung
Konstituante. Lebih dahulu saya akan minta kepada Ketua Konstituante untuk mengadakan
sidang Konstituante pleno. Insya Allah saya akan masuk melalui pintu muka, tidak masuk
melalui pintu belakang. Dan di dalam Sidang Pleno Konstituante itu akan saya anjurkan kepada
ketua Konstituante bahkan akan saya minta kepada Ketua Konstituante dan akan saya
peringatkan kepada Konstituante akan pidato yang saya ucapkan pada waktu saya membuka
resmi Konstituante bahwa kewajiban Konstituante ialah membuat UUD bagi Republik Indonesia
yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bukan buat sesuatu negara baru, bukan
buat sesuatu negara lain. Saya akan minta nanti kepada Sidang Konstituante, oleh karena tokh
Republik yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu sudah membawa dengannya
satu Ui1D yaitu UUD ’45, agar supaya Konstituante kembali saja kepada UUD ’45 itu.
Jikalau Konstituante suka menerima anjuran saya ini yaitu mengembalikan kita kepada UUD ’45
atau di dalam istilah yang lebih tegas menetapkan UUD ’45, jikalau Konstituante menyetujui hal
ini maka hendaknya Insya Allah swt. sesudah kembali daripada perjalanan saya keluar negeri
diadakanlah satu hari luhur di mana Presiden dengan segenap para Menteri dan segenap anggota
Konstituante menandatangani satu piagam yang boleh dinamakan Piagam Bandung, dan Piagam
Bandung ini berbunyi bahwa Republik Indonesia sekarang berundang-undang dasarkan UUD
’45. Piagam Bandung sedapat mungkin telah ditandatangani oleh Presiden, para Menteri,
Anggota-anggota Konstituante sebelum 17 Agustus 1959. Supaya hendaknya pada tanggal 17
Agustus 1959 saya atas nama segenap rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke dapat

ccxxi
berkata: sejak tanggal 17 Agustus 1959 ini Republik kita kembali utuh kepada Republik yang
kita proklamirkan pada 17 Agustus ’45.
Ini mengenai UUD ’45
UUD ’45 itu, sebagai tadi juga diutarakan di dalam beberapa perumusan adalah satu tempat yang
sebaik-baiknya untuk menyelenggarakan demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin yang oleh
Seminar telah diakui mutlak perlunya untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur.
Demokrasi terpimpin yang oleh Dewan Menteripun telah diterima dengan bulat bahwa de-
mokrasi terpimpin itu perlu. UUD ’45 adalah tempat yang sebaikbaiknya untuk
menyelenggarakan demokrasi terpimpin itu. Pertama di dalam DPR, kedua di dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat, ketiga di dalam Dewan Pertimbangan Agung. Para wartawan dengan
ingatannya yang cemerlang tentu masih ingat dan mengetahui bahwa di dalam UUD ’45
disebutkan 3 hal: pertama, harus ada Dewan Perwakilan Rakyat, nomor dua, harus ada Majelis
Permusyawaratan Rakyat, yang anggota-anggotanya terdiri dari anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat ditambah dengan wakil-wakil dari daerah ditambah dengan wakil-wakil dari
golongan-golongan yaitu golongan-golongan yang sekarang di namakan golongan fungsionil.
Dus DPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat ini adalah
kekuasaan yang tertinggi yang bersidang sedikitnya sekali dalam 5 tahun. Di samping itu ada
lagi badan nomor tiga yang dinamakan Dewan Pertimbang-an Agung. Dewan Pertimbangan
Agung yang selalu bisa diminta oleh Presiden akan pertimbangan-pertimbangan.
Di dalam 3 badan yang disebutkan di dalam UUD ‘ 45, golongan fungsionil bisa mendapat
tempat sebaik-baiknya. Baik di dalam DPR-nya dimasukkan golongan fungsionil, maupun di
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyatnya dimasukkan golongan fungsionil maupun di dalam
Dewan Pertimbangan Agungnya masuk golongan fungsionil, sehingga UUD ’45 akan menjadi
saran yang sebaik-baiknya bagi Perwakilan fungsionil, yang arti Perwakilan fungsionil itu telah
saudara mengerti bahkan telah Saudara kupas di dalam Seminar yang lalu.
Saudara-saudara barangkali bertanya: “Ya akur, DPR masuk fungsionilnya, Majelis
Permusyawaratan Rakyat masuk fungsionilnya, Dewan Pertimbangan Agung masuk
fungsionilnya. Tetapi yang masuk dalam DPR itu berapa?” Sebab ini yang menjadi pertikaian,
bukan pertikaian, tetapi pembicaraan pembahasan mendalam di dalam open talk yang kesatu dan
yang kedua. Berapa daripada anggota DPR itu akan berupa wakil-wakil daripada golongan-
golongan fungsionil?

ccxxii
Saudara Roeslan Abdulgani telah “membocorkan” bahwa Angkatan Bersenjata akan mendapat
35 kursi, 35 kursi DPR. Dan 35 kursi itu diberikan kepada Angkatan Bersenjata: yaitu Angkatan
Darat. Angkatan Laut, Angkatan Udara. Polisi. OKD. OPR; 35 tanpa pemilihan. Diangkat oleh
Presiden/Panglima Tertinggi 35 orang dari kalangan Angkatan Bersenjata untuk mewakili
Angkatan Bersenjata itu di dalam DPR yang dari fungsionil-fungsionil lain berapa? Saudara
Roeslan Abdulgani telah membocorkan jumlah Perwakilan fungsionil yaitu Angkat-an
Bersenjata maupun golongan-golongan fungsionil yang lain maupun golongan fungsionil yang
lain lagi, jumlahnya 50%.
Bagaimana putusan Presiden/Panglima tertinggi hari ini sesudah tadi pagi mendapat laporan
daripada sidang Dewan Menteri hari Rabu dan kamis, kernarin dulu dan kemarin? Pada garis
besarnya saya katakan begini, ada sedikit perbedaan. Perbedaan cara memasukkan golongan
fungsionil di dalam DPR. Manakala menurut perumusan Bogor akan dilakukan sistem dwita-
pilih dalam ai ti dwita-toj os, sebagai tadi atau kemarin atau kernarin dulu dikatakan oleh
Saudara Roeslan Abdulgani manakala rumusan Bogor menghendaki dwita-tojos dengan hasil
seluruhnya golongan fungsionil 50%, maka di dalam laporan yang dikemukakan kepada saya
oleh Perdana Menteri tadi pagi dan yang sekarang saya ambil keputusan tidak dijalankan dwita-
tojos tetapi eka-tojos, satu kali tusuk. Tetapi hasilnya, malahan lebih daripada 50% yang tadinya
di dalam perumusan Bogor dengan sistem dwita-tojos itu total jenderal golongan fungsionil akan
mendapat 50% kursi. Tetapi dengan sistem yang saya ambil keputusan sekarang ini yaitu operan
daripada usul Dewan Menteri malahan meskipun sistemnya bukan dwita-tojos tetapi eka-tojos,
DPR yang baru ini akan mempunyai anggota golongan fungsionil lebih dari 5O%. Ini adalah satu
kabar yang menggembirakan.
Bagaimana caranya menyelenggarakan hal ini?
Saya tadi berkata Insya Allah swt saya akan melawat ke luar negeri, dan sebelum melawat ke
luar negeri Insya Allah swt saya masuk ke sidang pleno Konstituante dan menganjurkan kepada
sidang pleno Konstituante untuk kembali saja kepada UUD ’45.
Demikian pula, sebelum saya pergi ke luar negeri Insya Allah akan saya minta kepada Kabinet
menyelesaikan rancangan UU dua hal: pertama rancangan UU penyederhanaan kepartaian.
Saudara-saudara mengetahui bahwa ini sudah lama menjadi unekunek saya. Begitu saya munek-
munek karena banyaknya partai yang saya namakan multi partai sistem sehingga beberapa kali
saya bongkar, beberapa kali saya tunjukkan kepada masyarakat tidak baiknya multi partai sistem,

ccxxiii
saya bongkar habis-habisan di dalam pidato saya 17 Agustus tahun yang lalu, bahkan pernah
saking munek-muneknya saya menganjurkan: sudah, bubarkan saja semua partai-partai ini.
Tetapi kenyataan tidak memungkinkan.
Di dalam segala keadaan adalah persoalan yang saya di dalanl Dewan Nasional selalu
menamakan persoalan das Sein dan das Sollen. Apa yang namanya das Sollen? Das Sollen itu:
bagaimana harusnya, bagaimana kita cita-citakan, bagaimana yang kita angan-angankan. Itu das
sollen. Yang dinamakan das Sein yaitu kenyataannya. Jadi kadang-kadang tidak sama dengan
das Sollen. Misalnya das Sollen ialah kita ini harus mempunyai rumah kamar enam, tetapi das
Sein-nya berhubung dengan kantong kita kempes kita hanya bisa membuat rumah yang
kamarnya tiga. Itu bedanya das Sein dan das Sollen.
Mengingat akan adanya perbedaan das Sein dan das Sollen ini, kernudian sesudah dengan
berkobar-kobar pada satu waktu yaitu Hari Pemuda saya anjurkan agar supaya partai-partai
dibubarkan, saya keluar dengan apa yang dinamakan konsepsi Presiden. Konsepsi Presiden tidak
menganjurkan pembubaran partai-partai. Tetapi kensepsi Presiden menganjurkan diadakan
Kabinet stijl baru yaitu Kabinet gotong royong, kabinet kuda kaki empat, kabinet yang
mempersatukan semua partai-partai gembong yang ada di tanah air kita ini. Di sampingnya
Kabinet gotong royong ini, kaki empat, hendaknya dibangunkan satu Dewan Nasional yang
anggota-anggotanya terutama sekali ialah anggotaanggota daripada golongan-golongan
fungsionil. Inipun adalah hukum das Sein dan das Sollen. Kabinet gotong royong adalah das Sol
len; das Sein-nya tidak mengij inkan. Saya putar lagi. Tidak bisa Kabinet gotong royong, apa
boleh buat, saya bangunkan Kabinet yang sekarang termasyhur dengan nama Kabinet Karya. I ni
das Sein-nya, Kabinet Karya di satu pihak, Dewan Nasional di lain pihak. Dan sebagai saudara-
saudara mengetahui alhamdulillah Kabinet Karya dengan Dewan Nasional ini sejak
dilahirkannya berjalan dengan baik. Kadang-kadang ada geronjalan-geronjalan sedikit-sedikit.
Tetapi di manakah di dalam sesuatu kehidupan politik daripada sesuatu bangsa yang hidup
kalbunya, bangsa yang jiwanya jiwa revolusioner, bangsa yang tidak mati kutunya, tidak ada
geronjalan-geronjalan? Adanya selalu geronjalan-geronjalan itu tidak jadi apa. Tetapi Kabinet
Karya berjalan dengan Dewan Nasional dengan cara yang sebaik-baiknya.
Nah, saya kembali kepada apa yang hendak saya kerjakan Insya Allah swt sebelum saya melawat
ke luar negeri saya akan minta kepada Kabinet Karya ini untuk menyelesaikan 2 rancangan
Undang-undang. Pertama rancangan Undang-undang  penyederhanaan partai-partai.Jumlah

ccxxiv
partai-partai yang sekarang ini terlalu banyak itu, harus dijadikan sekecil-kecilnya. Jangan
sampai ada partai gurem mempunyai wakil di dalam DPR. Dan saya akan minta Insya Allah
kepada Kabinet Karya agar supaya sebelum saya melawat ke luar negeri menyelesaikan pula
rancangan UU merubah UU Pemilihan Umum Tahun 1953. UU Pemilihan Umum 1953 harus
dirubah dernikian rupa sehingga golongan fungsionil bisa masuk di dalam Parlemen. Berapa?
Tadi sudah saya katakan; menurut rancangan yang ini hari saya putuskan penerimaannya akan
termasuklah lebih daripada 50% DPR dari itu golongan fungsionil. Kalau rancangan UU dua ini,
satu: penyederhanaan kepartaian. dua: UU Pemilihan Umum baru, sudah sclcsai, maka
rancangan UU ini akan saya amanatkan kepada Parlemen, saya kirim kepada Parlemen dengan
amanat saya agar supaya Parlemen lekas membicarakan hal ini agar supaya lekas bisa diadakan
penye-derhanaan kepartaian, agar supaya lekas bisa diadakan UU Pemilihan Umum yang baru,
agar supaya lekas bisa diadakan Pernilihan Umum baru bagi Parlemen baru yang di dalamnya
golongan fungsionil masuk.
Dus, sebelum saya melawat ke luar negeri, Insya Allah swt saya akan mengadakan amanat dua
hal: amanat dengan lisan kepada sidang Pleno Konstituante, amanat mana akan berbunyi:
kembali kepada UUD ’45; amanat dengan tulisan kepada DPR agar supaya rencana UU
Pemilihan Umum dan rencana UU Penyederhanaan Kepartaian lekas dibicarakan dan lekas dapat
dijadikan UU nanti dengan tanda tangan Kepala Negara.
Maka dengan demikian kita akan mencapai satu keadaan yang menurut anggapan saya
menyenangkan. Dalam pada itu nanti Dewan Perancang Nasional sudah terbentuk; juga
amanatnya Insya Allah akan saya berikan. Menurut Undang-undang DPN maka harus Kepala
Negara setiap waktu ia mau mengadakan amanat kepada DPN dan pada pelantikan daripada
DPN ini Insya Allah akan saya berikan amanat pula yang penting. Dengan demikian DPN bisa
lekas bekerja, DPN bisa lekas menyusun blueprint, blauw-druk, pola daripada masya-rakat adil
dan makmur. DPR-nya, saya punya kehendak, selekas mungkin diperbarui atas dasar pemilihan
umum yang baru. Konstitusinya, yaitu Undang-Undang Dasarnya, lekas di-kembalikan kepada
Undang-Undang Dasar ‘ 45. Maka dengan demikian saya yakinlah, Republik kita akan dapat
berjalan lancar.
Saya tadi berkata tentang hal politieke leiderschap, hal eco-nomisch leiderschap. Economisch
leiderschap pokoknya ialah susunlah blue-print yang menyelenggarakan masyarakat adil dan

ccxxv
makmur. Polanya dijalankan oleh segenap rakyat kita dengan alat demokrasi terpimpin. Politieke
leiderschap. economisch leiderschap kami, pemimpin-pemimpin, berikan kepada rakyat.
Ini suatu perubahan yang besar sekali, demokrasi terpimpin itu. Tetapi sebagai pernah saya
katakan di dalam salah satu pidato saya, kalau tidak salah di Madiun, tatkala buat pertama kali
saya mencetuskan dengan jelas akan perlunya demokrasi kita ini kita bongkar dan kita adakan
demokrasi baru, stijl baru: demokrasi terpimpin. Pada waktu itu saya dengan tegas berkata, saya
bersedia bersama-sama dengan lain-lainnya, tetapi saya sendiri bersedia pula memikul segala
tanggung jawab atas hal ini. Saya tidak mengusulkan sesuatu hal yang buta, saya tidak
mengusulkan sesuatu hal yang bertentangan dengan hati nurani saya. Saya tidak mengusulkan
sesuatu hal yang bertentangan dengan geweten saya. Saya tidak mengusulkan sesuatu hal yang
menurut pendapat saya dapat mencelakakan bangsa dan negara. Tidak! Saya hanya mengusulkan
sesuatu hal yang menurut keyakinan saya adalah baik, lebih daripada baik, mutlak, perlu bagi
pergerakan kita, bagi negara kita, bagi perjuangan kita, bagi revolusi kita. Dan saya bersedia
memikul tanggung jawab tentang hal ini terhadap bukan saja bangsa Indonesia, tetapi juga
terhadap kepada Tuhan.
Saya membaca di dalam salah satu surat kabar, saya lupa lagi surat kabar mana, kepalanya
“Gembala”. Saudara barang-kali ingat, surat kabar mana; tetapi editorialnya berkepala
“Gembala”. Di dalam editorial itu diperingatkan bahwa menurut firman Tuhan tiap-tiap manusia
adalah gembala, dan ia di akhirat nanti akan ditanya tentang hal penggembalaanya. Tiap-tiap
manusia adalah pemimpin. Saudara adalah pemimpin dari rumah tangga saudara; saudara j uga
pemimpin dari Swatantra tingkat satu; saudara adalah pemimpin dari rumah tangga sau-dara;
saudara juga pemimpin dari seluruh Divisi Deponegoro; akupun pemimpin. Tiap-tiap manusia
ada-lah pemimpin di dalam lingkungan sendiri-sendiri dan menurut firman Allah swt tiap-tiap
manusia nanti akan ditanya tentang pimpinannya. Tiap-tiap manusia nanti akan ditanya tentang
gembalaannya: Dan saya berkata, Insya Allah swt saya akan memberi pertanggungan jawab
tentang hal demokrasi terpimpin ini kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan kita sekalian.
Maka oleh karena itu, dengan gembira saya telah menyaksikan bahwa Kabinet Karya menyetujui
dengan bulat demokrasi terpimpin dan bahwa sekarang antara Kabinet Karya dengan Presi-
den/Panglima Tertinggi/Ketua Dewan Nasional sudah tercapai seia-sekata yang bulat tentang hal
penyelenggaraan demokrasi terpimpin. Bahkan sekarang, manakala antara Kabinet Karya dan
Presiden telah juga dicapai satu persesuaian paham bahwa kita mutlak perlu harus kembali

ccxxvi
kepada UUD ’45, maka tidak ada manusia pada malam ini sebenarnya yang lebih berbahagia
daripada saya. Saya akan pergi ke Konstituante. Saya akan memberi amanat tertulis kepada
Parlemen. Dalam kedua-dua hal akan saya curahkan segenap keyakinan saya dan akan saya
curahkan segenap kesetiaan saya bertanggung jawab atas perubahan maha besar di dalam
perikehidupan kenegaraan kita sekarang ini dan saya bergembira bahwa seminar Pancasila dalam
garis besarnya telah pula membenarkan tindakan yang akan dan telah saya ambil sekarang ini.
Terima kasih. Sekian.
 

ccxxvii
MEMBANGUN DUNIA KEMBALI (TO BUILD THE WORLD A NEW)
Terjemahan Dari Bahasa Inggris
Teks Pidato Presiden Soekarno di Muka Sidang Umum PBB ke-15 Pada Tanggal 30
September 1960
 
 
Tuan Ketua,
Para Yang Mulia,
Para utusan dan Wakil yang terhormat,
 
Hari ini, dalam mengucapkan pidato kepada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa,
saya merasa tertekan oleh suatu rasa tanggung jawab yang besar. Saya merasa rendah hati
berbicara di hadapan rapat agung daripada negarawan-negarawan yang bijaksana dan
berpengalaman dari Timur dan Barat, dari Utara dan Selatan, dari bangsa-bangsa tua dan dari
bangsa-bangsa muda dan dari bangsa-bangsa yang baru bangkit kembali dari tidur yang lama.
Saya telah memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar lidah saya dapat menemukan
kata-kata yang tepat untuk menyatakan perasaan hati saya, dan saya juga telah ber-doa agar kata-
kata ini akan bergema dalam hati sanubari mereka yang mendengarnya.
Saya merasa gembira sekali dapat mengucapkan selamat kepada Tuan Ketua atas
pengangkatannya dalam jabatannya yang tinggi dan konstruktif. Saya juga merasa gembira sekali
untuk menyampaikan, atas nama bangsa saya, ucapkan selamat datang yang sangat mesra kepada
keenambelas anggota baru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kitab Suci Islam mengamanatkan sesuatu kepada kita pada saat ini. Qur’an berkata: “Hai,
sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan
seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu sekalian
kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu sekalian, ialah
siapa yang lebih taqwa kepada-Ku”.
Dan juga Kitab Suci Injil agama Nasrani beramanat pada kita: “Segala kemuliaan bagi Allah di
tempat yang Mahatinggi, dan sejahtera di atas bumi di antara orang yang diperkenan-Nya”.
Saya sungguh-sungguh merasa sangat terharu melepas-kan pandangan saya atas Majelis ini. Di
sinilah buktinya akan kebenaran perjuangan yang berjalan bergenerasi. Di sinilah buktinya,

ccxxviii
bahwa pengorbanan dan penderitaan telah mencapai tujuannya. Di sinilah buktinya, bahwa
keadilan mulai berlaku, dan bahwa beberapa kejahatan besar sudah dapat disingkirkan.
Selanjutnya, sambil melepaskan pandangan saya kepada Majelis ini, hati saya diliputi dengan
suatu kegirangan yang besar dan hebat. Dengan jelas tampak di mata saya menying-singnya
suatu hari yang baru, dan bahwa matahari kemerdekaan dan emansipasi, matahari yang sudah
lama kita impikan, sudah terbit di Asia dan Afrika.
Sekarang, hari ini, saya berbicara di hadapan para pemimpin bangsa-bangsa dan para pembangun
bangsa-bangsa. Namun, secara tidak langsung, saya juga berbicara kepada mereka yang tuan-
tuan wakili, kepada mereka yang telah mengutus tuan-tuan kemari, kepada mereka yang telah
mem-percayakan hari depan mereka di tangan tuan-tuan. Saya sangat menginginkan agar kata--
kata saya akan bergema juga di dalam hati mereka itu, di dalam hati nurani umat manusia, di
dalam hati besar yang telah mencetuskan demikian banyak teriakan kegembiraan, demikian
banyak jeritan penderitaan dan putus harapan, dan demikian banyak cinta kasih dan tawa.
Hari ini, Presiden Soekarno lah yang berbicara di hadapan tuan-tuan. Namun lebih dari itu, ia
adalah seorang manusia, Soekarno, seorang Indonesia, seorang suami, seorang bapak, seorang
anggota keluarga umat manusia. Saya berbicara kepada tuan-tuan atas nama rakyat saya, mereka
yang 92 juta banyak-nya di suatu nusantara yang jauh dan luas, 92 juta jiwa yang telah
mengalami hidup penuh dengan perjuangan dan pengor-banan, 92 juta jiwa yang telah
membangun suatu negara di atas reruntuhan suatu Imperium.
Mereka itu, dan rakyat Asia dan Afrika, rakyat-rakyat benua Amerika dan benua Eropa serta
rakyat benua Australia, sedang memperhatikan dan mendengarkan serta mengharap-harap. Or-
ganisasi Perserikatan Bangsa Bangsa ini bagi mereka merupakan suatu harapan akan masa depan
dan suatu kemung-kinan baik bagi zaman sekarang ini.
Keputusan untuk menghadiri Sidang Majelis Umum ini bukanlah merupakan suatu keputusan
yang mudah bagi saya. Bangsa saya sendiri menghadapi banyak masalah, sedangkan waktu
untuk memecahkan masalah-masalah itu selalu sangat terbatas. Akan tetapi sidang ini mungkin
merupakan sidang Majelis yang terpenting yang pernah dilangsungkan dan kita semuanya
mempunyai suatu tanggung jawab kepada dunia seluruhnya, di samping kepada bangsa-bangsa
kita masing-masing.
Tak seorangpun di antara kita dapat menghindari tanggung jawab itu, dan pasti tak seorangpun
ingin menghindarinya. Saya sangat yakin bahwa pemimpin-pemimpin dari negara-negara yang

ccxxix
lebih muda dan negara-negara yang lahir kembali dapat memberikan sumbangannya yang sangat
positif untuk pemecah-an demikian banyak masalah-masalah yang dihadapi Organisasi ini dan
dunia pada umumnya. Memang, saya percaya bahwa orang akan mengatakan sekali lagi bahwa:
“Dunia yang baru itu diminta untuk memperbaiki keseimbangan dunia yang lama”.
Jelaslah bahwa pada dewasa ini segala masalah dunia kita saling berhubungan. Kolonialisme
mempunyai hubungan dengan keamanan; keamanan mempunyai hubungan dengan persoalan
perdamaian dan perlucutan senjata; perlucutan senjata berhubungan dengan perkembangan
secara damai dari negara-negara yang belum maju. Ya, segala itu saling bersangkut-paut. Jika
kita pada akhirnya berhasil memecahkan satu masalah, maka terbukalah jalan untuk penyelesaian
masalah-masalah lainnya. Jika kita berhasil memecahkan, misalnya masalah perlucutan senjata,
maka akan tersedialah dana-dana yang diperlukan untuk membantu bangsa-bangsa yang sangat
memerlukan bantuan itu.
Akan tetapi, yang sangat diperlukan ialah bahwa masalahmasalah semuanya itu harus
dipecahkan dengan penggunaan prinsip-prinsip yang telah disetujui. Setiap usaha untuk
memecahkannya dengan mempergunakan kekerasan, atau dengan ancaman kekerasan, atau
dengan pemilikan kekuasaan, tentu akan gagal, bahkan akan mengakibatkan masalah-masalah
yang lebih buruk lagi. Dengan singkat, prinsip yang harus diikuti ialah prinsip persamaan
kedaulatan bagi semua bangsa, hal mana tentunya tidak lain dan tidak bukan, merupakan
penggunaan hak-hak azasi manusia dan hak-hak azasi nasional. Bagi semua bangsa-bangsa harus
ada satu dasar, dan semua bangsa harus menerima dasar itu, demi perlindungan dirinya dan demi
keselamatan umat manusia.
Bila saya boleh mengatakannya, kami dari Indonesia menaruh perhatian yang khusus sekali atas
Perserikatan Bangsa Bangsa. Kami mempunyai keinginan yang sangat khusus agar Organisasi
ini berkembang dan berhasil baik. Karena tindakan-tindakannya, perjuangan untuk kemerdekaan
dan kehidupan nasional kami sendiri telah dipersingkat. Dengan berkepercaya-an penuh saya
mengatakan, bahwa perjuangan kami, bagaimana pun juga, akan berhasil baik, namun tindakan-
tindakan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu telah mempersingkat perjuang-an dan telah mencegah
banyak pengorbanan dan penderitaan serta kehancuran, baik di pihak kami maupun di pihak
lawan-lawan kami.
Apakah sebabnya saya percaya bahwa perjuangan kami akan berhasil baik, dengan atau tanpa
kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa? Saya yakin akan hal itu karena dua sebab. Pertama, saya

ccxxx
mengenal rakyat saya; saya mengetahui kehausan mereka yang tiada terhingga akan
kemerdekaan nasional, dan saya mengetahui akan tekadnya. Kedua, saya yakin akan hal itu
karena jalannya sejarah. Kita semua, di manapun di dunia ini, hidup di dalam zaman
pembangunan bangsa-bangsa dan runtuh-nya imperium-imperium. Inilah zaman bangkitnya
bangsa-bangsa dan bergolaknya nasionalisme.
Menutup mata akan kenyataan ini adalah membuta ter-hadap sejarah, tidak meggindahkan takdir
dan menolak kenyataan. Sekali lagi saya katakan, kita hidup di zaman pembangunan bangsa-
bangsa.
Proses ini tidak dapat dielakkan dan merupakan sesuatu yang pasti; kadang-kadang lambat dan
tidak dapat dielakkan, bagaikan lahar menuruni lereng sebuah gunung berapi di Indonesia;
kadangkadang cepat dan tidak terelakkan, bagaikan dobrakan air-bah dari balik sebuah
bendungan yang dibangun tidak sempurna. Lambat dan tak terelakkan, atau cepat dan tak
terelakkan, kemenangan perjuangan nasional adalah suatu kepastian.
Bila perjalanan menuju ke kebebasan itu sudah selesai di seluruh dunia, maka dunia kita akan
menjadi suatu tempat yang lebih baik; akan merupakan suatu tempat yang lebih bersih dan jauh
lebih sehat. Kita tidak boleh berhenti berjuang pada saat ini, manakala kemenangan telah
menampakkan diri, sebaliknya kita harus melipatgandakan usaha kita. Kita telah berjanji kepada
masa depan dan janji itu harus dipenuhi. Dalam hal ini kita tidak hanya berjuang untuk
kepentingan kita sendiri, melainkan kita berjuang untuk kepentingan umat manusia seluruhnya,
ya, perjuangan kita bahkan untuk kepentingan mereka yang kita tentang.
Lima tahun yang lalu, dua puluh sembilan bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah mengirimkan
utusannya ke kota Bandung di Indonesia. Dua puluh sembilan bangsa Asia dan Afrika. Kini,
bcrapakah jumlah bangsa yang merdeka di sana. Saya tidak akan menghitungnya, tetapi silahkan
melihat di sekeliling Majelis ini sekarang! Dan katakanlah apakah saya benar, bila saya berkata,
bahwa kinilah saatnya pembangunan bangsa, dan saat bangkitnya bangsa-bangsa. Kemarin Asia,
dan itu merupa-kan suatu proses yang belum selesai. Kini Afrika, itupun merupakan suatu proses
yang belum selesai.
Lagi pula, belum semua bangsa-bangsa Asia dan Afrika diwakili di sini. Organisasi bangsa-
bangsa ini telah dilemahkan selama ia masih menolak perwakilan sesuatu bangsa, dan teris-
timewa suatu bangsa yang tua dan bijaksana serta kuat.

ccxxxi
Saya maksudkan Tiongkok. Saya maksudkan yang sering disebut Tiongkok Komunis, yang bagi
kami adalah satu-satunya Tiongkok yang sebenarnya. Organisasi bangsa-bangsa ini sangat
dilemahkan, justru karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di dunia.
Setiap tahun kami menyokong diterimanya Tiongkok ke dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagai anggota. Kami akan terus melakukannya. Kami tidak memberikan sokongan itu semata-
mata karena kami mempunyai hubungan baik dengan negara tersebut. Dan pasti sokongan itu
tidak kami berikan karena sesuatu alasan partisan. Tidak, pendirian kami mengenai persoalan ini
dibimbing oleh realisme politik. Dengan secara picik mengecualikan sesuatu bangsa yang besar,
bangsa agung dan kuat dalam arti kwantitet, kebudayaan, ciri-ciri suatu peradaban kuno, suatu
bangsa yang penuh dengan kekuatan dan daya ekonomi, dengan mengecualikan bangsa itu, kita
lebih melemahkan organisasi internasional ini, dan dengan demikian, menjauhkannya dari kebu-
tuhan dan cita-cita kita.
Kita bertekad untuk menjadikan Perserikatan Bangsa- Bangsa kuat dan universil serta mampu
untuk memenuhi fungsinya yang layak. Itulah sebabnya, mengapa kami senanti-asa memberikan
sokongan atas ikut sertanya Tiongkok dalam lingkungan kita. Lagi pula, perlucutan senjata
merupakan suatu keperluan yang mendesak dalam dunia ini. Persoalan yang terpenting dari
semua masalah ini harus dirundingkan dan dipecahkan dalam rangka organisasi ini. Namun
bagaimana dapat tercapai suatu persetujuan realistis mengenai perlucutan senjata, bila Tiongkok
yang merupakan salah satu negara terkuat dalam dunia ini, tidak diturutsertakan dalam
musyawarah-musyawarah ini?
Diwakilinya Tiongkok dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengikutsertakan negara itu
dalam masalah dunia yang konstruktif dan dengan demikian akan betul-betul memperkuat
lembaga ini.
Di tahun sembilan belas enam puluh ini, Majelis Umum kembali berkumpul dalam sidang
tahunannya. Namun Majelis Umum ini janganlah hanya dianggap sebagai suatu sidang rutin
lainnya, dan bila dianggap demikian, bila dianggap sebagai suatu sidang rutin, maka
kemungkinan besar organisasi internasional seluruhnya ini akan terancam dengan kehancuran.
Camkanlah kata-kata saya, itulah permohonan saya! Janganlah memperlakukan masalah-masalah
yang akan tuan-tuan perbincangkan sebagai masalah rutin. Bila diperlakukan demikian, maka
organisasi ini, yang telah memberikan kita suatu harapan untuk masa depan, suatu kemungkinan
baik akan adanya persesuaian internasional, mungkin akan pecah. Ia mungkin akan lenyap per-

ccxxxii
lahan-lahan di bawah gelombang pertikaian, sebagaimana dialami oleh organisasi yang diganti-
kannya. Bila hal itu terjadi maka umat manusia sebagai keseluruhan akan menderita, dan suatu
impian yang agung, suatu cita-cita yang agung, akan hancur. Ingatlah: bukanlah hanya kata-kata
yang tuan-tuan hadapi. Bukanlah pion-pion di atas papan catur yang tuan-tuan hadapi. Yang
tuan-tuan hadapi adalah manusia, impian-impian manusia, cita-cita manusia, dan hari depan
semua manusia.
Dengan segala kesungguhan, saya katakan: kami bangsabangsa yang beru merdeka bermaksud
berjuang untuk kepen-tingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami bermaksud mem-perjuangkan
suksesnya dan menjadikannya efektif. Badan itu dapat dijadikan efektif, dan akan dijadikan
efektif, hanya bila anggota-anggota seluruhnya mengakui tiada terelakkannya jalan sejarah.
Badan itu hanya dapat menjadi efektif, bila badan tersebut mengikuti jalannya sejarah, dan tidak
mencoba untuk membendung atau mengalihkan ataupun menghambat jalannya itu.
Telah saya katakan, bahwa inilah saat pembangunan bangsa-bangsa dan runtuhnya imperium-
imperium. Itulah kebenaran yang sesunguhhnya. Berapa banyaknya bangsa-bangsa yang telah
memperoleh kemerdekaannya sejak tercipta-nya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa? Berapa
banyaknya bangsa-bangsa telah melemparkan rantai penindasan yang membelenggunya? Berapa
banyaknya imperium-imperium yang dibangun atas penindasan manusia telah hancur-lebur?
Kami yang tadinya tiada bersuara, tidak membisu lagi. Kami yang tadinya membisu di alam
kesengsaraan imperialisme, tidak membisu lagi. Kami yang perjuangan hidupnya tertutup di
bawah selubung kolonialisme, tidak tersembunyikan lagi.
Sejak hari bersejarah di tahun sembilan belas empat puluh lima dunia telah berubah, dan dia
telah berubah ke arah perbaikan. Dari zaman pembangunan bangsa-bangsa ini telah muncul ke-
mungkinan – ya, keharusan – akan suatu dunia yang bebas dari ketakutan, bebas dari
kekurangan, bebas dari penindasan-penindasan nasional. Kini, saat ini juga, di Majelis Umum
ini, kita dapat mempersiapkan diri untuk menempatkan diri kita di dunia masa depan itu, dunia
yang telah kita pikirkan dan impikan serta bayangkan.
Hal itu dapat kita lakukan, tetapi hanya bila kita tidak memperlakukan sidang ini sebagai suatu
sidang rutin. Kita harus mengakui, bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa meng-hadapi suatu
penimbunan masalah-masalah, masing-masing mendesak, masing-masing mengandung
kemungkinan ancaman terhadap perdamaian dan kemajuan secara damai.

ccxxxiii
Kita bertekad, bahwa nasib dunia, dunia kita, tidak akan ditentukan tanpa kita. Nasib itu akan
ditentukan dengan ikut serta dan kerjasama kita. Keputusan-keputusan yang penting bagi per-
damaian dan masa depan dunia dapat ditentukan di sini dan sekarang ini juga. Di sini berkumpul
Kepala-kepala Negara dan Kepala-kepala Pemerintahan. Itulah rangka organisasi kita. Saya
sangat mengharapkan agar soal-soal protokol yang kaku serta perasaan sakit hati yang picik, –
perasaan-perasaan per-orangan mapun nasional, – tidak akan menghalangi diper-gunakannya
kesempatan ini sebaik-baiknya. Kesempatan seperti ini tak akan sering ada. Hal itu harus
dipergunakan sebaik-baiknya. Kita pada saat ini mempunyai kesempatan unik untuk
menggabungkan diplomasi perseorangan dengan diplomasi umum. Marilah kita pergunakan
kesempatan itu. Kesempatan itu mungkin tak akan kembali lagi!
Saya menyadari sedalam-dalamnya bahwa hadirnya demikian banyak Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan, menjauhi harapan berjuta-juta orang. Mereka itu dapat meng-ambil keputusan-
keputusan yang vital untuk menentukan wajah baru bagi dunia kita ini, dengan sendirinya juga
wajah baru Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Layaklah pada saat ini untuk mempertimbangkan ke-dudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa
dalam hubungan dengan zaman pembangunan bangsa dan bangkitnya bangsa-bangsa baru ini.
Ini saya kemukakan: bagi suatu bangsa yang baru lahir atau suatu bangsa yang baru lahir
kembali, milik yang paling ber-harga adalah kemerdekaan dan kedaulatan.
Mungkin – saya tidak tahu, tapi mungkin – bahwa rasa untuk memegang teguh permata
kedaulatan dan kemerdekaan yang berharga ini, hanya terdapat di lingkungan bangsa-bangsa
yang baru bangkit kembali. Mungkin setelah berlalunya be-berapa generasi, perasaan
kebanggaan dan tercapainya cita-cita itu menjadi pudar. Mungkin demikian, tetapi saya rasa
tidak.
Bahkan sekarang ini, dua ratus tahun kemudian, adakah seorang Amerika yang tak tergetar
jiwanya mendengarkan kata-kata Declaration of Independence? Adakah seorang Italia yang kini
tidak menyambut panggilan Mazzini? Adakah seorang warga Amerika Latin yang tidak lagi
mendengar gemanya suara San Martin?
Benar, adakah seseorang warga dunia yang tidak menyam-but panggilan dan suara-suara itu?
Kita semua tergetar, kita semua menyambut, karena suara-suara itu adalah universil, baik
mengenai waktu maupun tempatnya. Suara-suara itu adalah suara umat manusia yang menderita,
suara masa depan, dan kita masih mendengarnya, mendengung sepanjang zaman.

ccxxxiv
Tidak, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa di dalam kedaulatan dan kemerdekaan nasional ada
sesuatu yang kekal, sesuatu yang sekeras dan secemerlang permata dan jauh lebih berharga.
Banyak bangsa-bangsa di dunia ini telah lama memiliki permata ini. Mereka telah biasa
memilikinya, tetapi saya yakin, bahwa mereka masih tetap menganggapnya yang paling dicintai
di antara milik-miliknya, dan mereka akan lebih baik mati daripada melepaskannya.
Bukankah begitu? Apakah bangsa saudara sendiri akan pernah bersedia melepaskan
kemerdekaannya? Setiap bangsa yang patut dinamakan bangsa, akan memilih mati! Setiap
pemimpin yang patut disebut pemimpin dari bangsa manapun, juga akan memilih mati.
Betapa lebih berharga hal itu bagi kami, yang pernah suatu waktu memiliki permata
kemerdekaan dan kedaulatan nasional itu, dan kemudian merasakan dirampasnya dari tangan
kami oleh bandit-bandit yang bersenjata lengkap, dan yang kini telah kami rebut kembah!
Perserikatan Bangsa-Bangsa ini adalah suatu organisasi dari Negara-negara Bangsa yang
masing-masing menggenggam permata itu kuat-kuat sebagai sesuatu yang berharga. Kita
semuanya telah berhimpun dengan sukarela, sebagai saudara dan sederajat dalam Organisasi ini,
sebagai saudara dan sederajat, karena kita semuanya memiliki kedaulatan yang sederajat, dan
kita semua menganggap kedaulatan yang sederajat ini sama-sama berharga.
Ini adalah suatu dalam badan internasional. Badan ini belumlah supernasional ataupun
supranasional. Badan ini merupakan suatu organisasi Negara-negara Bangsa, dan hanya dapat
bekerja sepanjang Negara-negara Bangsa menghendaki-nya.
Apakah kita semuanya dengan suara bulat telah menyetujui untuk menyerahkan suatu bagian
dari kedaulatan kita kepada badan ini? Tidak, tidak pernah. Kita telah menerima baik Piagam,
dan Piagam itu telah ditandatangani oleh Negara-negara Bangsa yang berdaulat penuh dan
sederajat penuh.
Ada kemungkinan, bahwa badan ini harus mempertimbangkan, apakah anggota-anggotanya
harus menyerahkan se-suatu bagian dari kedaulatan mereka kepada badan internasional ini.
Tetapi jika keputusan yang semacam itu diambil, keputusan itu harus diambil secara bebas, dan
dengan suara bulat, dan sederajat. Harus diputuskan sederajat oleh semua bangsa, yang kuno dan
yang baru, bangsa yang baru muncul dan yang sudah lama ada, yang sudah maju dan yang belum
maju.
Hal ini bukannya sesuatu yang dapat dipaksakan pada bangsa manapun juga. Selanjutnya, dasar
satu-satunya yang mungkin bagi badan semacam ini, itu ialah persamaan yang sejati. Kedaulatan

ccxxxv
dari bangsa yang paling baru atau bangsa yang paling kecil sama berharganya, sama tidak dapat
dilanggarnya, seperti kedaulatan bangsa yang paling besar atau bangsa yang paling tua. Dan
selain daripada itu, sesuatu pelanggaran terhadap kedaulatan sesuatu bangsa merupakan suatu
ancaman potensial terhadap kedaulatan semua bangsa.
Dalam gambaran dunia inilah, kita harus melihat dunia sekarang ini. Dunia kita yang satu ini
terdiri dari Negara-negara Bangsa, masing-masing sama berdaulat dan masing-masing
berketetapan hati menjaga kedaulatan itu, dan masing-masing berhak untuk menjaga kedaulatan
itu. Dan sekali lagi saya katakan – dan saya ulangi ini karena merupakan dasar dari pengertian
terhadap dunia dewasa ini – kita hidup dalam zaman pembangunan bangsa.
Kenyataan ini jauh lebih penting daripada adanya senjata-senjata nuklir, lebih eksplosif daripada
bom-bom hidrogen, dan mempunyai harga potensial yang lebih besar untuk dunia daripada
memecahkan bom atom.
Keseimbangan dunia telah berubah sejak hari itu bulan Juni, lima belas tahun yang lalu, ketika
Piagam ditandatangani di kota San Fransisco di Amerika, pada saat manusia sedang bangkit
kembali dari neraka peperangan.
Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat. Juga kami,
bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang lebih kecil,
kami pun berhak bersuara dan suara itu pasti akan berkumandang di sepanjang zaman.
Yah, kami insyaf akan pertanggungan jawab kami terhadap
masa depan semua bangsa, dan kami dengan gembira menerima
pertanggungan jawab itu. Bangsa saya berjanji kepada diri sendiri untuk bekerja mencapai suatu
dunia yang lebih baik, suatu dunia yang bebas dari sengketa dan ketegangan, suatu dunia di
mana anak-anak kita dapat tumbuh dengan bangga dan bebas, suatu dunia di mana keadilan dan
kesejahteraan berlaku untuk semua orang. Adakah sesuatu bangsa akan menolak janji semacam
itu? Beberapa bulan yang lalu, sesaat sebelum pemimpin pemimpin Negara-negara Besar
bertemu sesingkat itu di Yaris, tuan Khrushchov menjadi tamu kami di Indonesia. Saya jelaskan
padanya sejelas-jelasnya, bahwa kami menyam-but baik Konferensi Tingkat Tertinggi, yang
kami skeptis.
Empat Negara Besar itu saja, tidak dapat menentukan masalah perang dan damai. Lebih tepat,
barangkali, mereka mempunyai kekuatan untuk merusak perdamaian, tetapi mereka tidak mem-

ccxxxvi
punyai hak moril, baik secara sendirian maupun bersama-sama, untuk mencoba menentukan hari
depan dunia.
Selama lima belas tahun ini Barat telah mengenal per-damaian, atau sekurang-kurangnya
ketiadaan perang. Tentu saja ada ketegangan-ketegangan. Memang, ada bahaya. Tetapi tetap
merupakan kenyataan, bahwa di tengah-tengah suatu revolusi yang meliputi tiga per empat
bagian dunia, Barat tetap dalam keadaan damai. Kedua blok besar, sebetulnya, telah berhasil
mempraktekkan koeksistensi selama tahun-tahun itu, sehingga dengan demikian membantah
mereka yang menyangkal ke-mungkinan adanya koeksistensi.
Kami di Asia tidak pernah mengenal keadaan damai! Setelah perdamaian datang untuk Eropa,
kami merasai akibat bom atom. Kami merasai revolusi nasional kami sendiri di Indonesia. Kami
merasai penyiksaan Vietnam. Kami menderita penganiayaan Korea. Kami masih senantiasa
menderita ke-pedihan Aljazair. Apakah sekarang ini seharusnya giliran saudara-saudara kita di
Afrika? Apakah mereka harus disiksa sedangkan luka-luka kami masih belum sembuh?
Toh masih saja Barat dalam keadaan damai. Herankah tuan-tuan bahwa kami sekarang menuntut,
ya, menuntut, batalnya siksaan terhadap kami? Herankah tuan-tuan, bahwa kini suara saya
diperdengarkan sebagai protes?
Kami, yang dulu tidak bersuara, mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan; kami
berhak untuk didengar. Kami bukannya barang perdagangan, tetapi adalah bangsa-bangsa yang
hidup dan yang perkasa, yang mempunyai peranan di dunia ini, dan yang harus memberikan
sumbang-annya. Saya pergunakan kata-kata yang keras, dan saya pergunakan kata-kata itu
dengan sengaja, karena saya ber-pendirian yang tegas mengenai soal ini. Dengan sengaja saya
pergunakan kata-kata keras, karena saya berbicara untuk bangsa saya dan karena saya berbicara
di muka pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa.
Selain daripada itu, saya tahu bahwa saudara-saudara saya di Asia dan Afrika mempunyai
pendirian yang sama tegasnya, walaupun saya tidak berani berbicara atas nama mereka.
Majelis Umum ini tentunya akan menghadapi banyak hal-hal yang penting. Tetapi tidaklah ada
hal yang lebih penting daripada perdamaian. Mengenai ini, saya pada saat ini tidak
membicarakan soal-soal yang timbul antara Negara-negara Besar di dunia. Soal-soal sedemikian
sangat vital bagi kami, dan saya nanti akan kembali pada soal-soal tersebut. Tetapi tengoklah
sekeliling dunia kita ini. Di banyak tempat terdapat ketegangan-ketegangan dan sumber-sumber
sengketa potensial. Perhatikanlah tempat-tempat itu dan tuan akan jumpai, bahwa tanpa

ccxxxvii
perkecualian, imperialisme, dan kolonialisme di dalam salah satu dari banyak manifestasinya
adalah sumber ketegang-an atau sengketa itu. Imperialisme dan kolonialisme dan pemisahan
terus-menerus secara paksa dari bangsa-bangsa merupakan sumber dari hampir semua kejahatan
internasional yang mengancam di dunia kita ini.
Imperialisme, dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang terbesar di
dunia kita ini. Banyak di antara tuan-tuan dalam sidang ini tidak pernah mengenal imperialisme.
Banyak di antara tuan-tuan lahir merdeka dan akan mati merdeka. Beberapa di antara tuan-tuan
lahir dari bangsa-bangsa yang telah menjalankan imperialisme terhadap yang lain, tetapi tidak
pernah menderitainya scndiri. Akan tctapi saudara-saudara saya di Asia dan Atrika telah
mengenal cambuk imperialisme. Mereka telah menderitainya. Mereka mengenal bahayanya dan
kelicikannya serta keuletannya. Kami di Indonesia mengenalnya juga. Kami adalah ahli-ahli
dalam soal ini! Berdasarkan pengetahuan itu dan berdasarkan pengalaman itu, saya katakan pada
tuan-tuan bahwa berlanjut-nya imperialisme dalam segala bentuknya merupakan suatu bahaya
yang besar dan yang berlarut-larut.
Imperialisme belum lagi mati. Ya, sedang dalam keadaan sekarat; ya, arus sejarah melanda
bentengnya dan menggerogoti pondamen-pondamennya; ya, kemenangan kemerdekaan dan
nasionalisme sudah pasti. Akan tetapi – dan camkanlah per-kataan saya ini – imperialisme yang
sedang sekarat itu ber-bahaya, sama berbahayanya dengan seekor harimau yang luka di dalam
rimba raya tropik.
Ini saya tegaskan kepada tuan-tuan – dan saya sadar bahwa saya sekarang berbicara untuk
saudara-saudara saya di Asia dan Afrika – perjuangan untuk kemerdekaan senantiasa dibenarkan
dan senantiasa benar. Mereka yang menentang gerak maju yang tidak terelakkan dari
kemerdekaan nasional dan hak untuk menentukan nasib sendiri, adalah buta; mereka yang
berusaha untuk mengembalikan apa yang tidak dapat dikembalikan merupakan bahaya bagi
mereka sendiri dan bagi dunia.
Sebelum kenyataan-kenyataan ini – dan ini memang kenyataan-kenyataan – diakui, tidak akan
ada perdamaian di dunia ini, dan tidak akan lenyaplah ketegangan. Saya serukan kepada tuan-
tuan; tempatkanlah kewibawaan dan kekuatan moril dari Organisasi Negara-negara ini di
belakang mereka yang berjuang untuk kemerdekaan. Lakukanlah itu secara jelas dan tegas.
Lakukanlah itu sekarang! Lakukanlah dan tuan-tuan akan memperoleh dukungan bulat dan tulus-
ikhlas dari semua orang yang berkemauan baik. Lakukanlah sekarang, dan generasi-generasi

ccxxxviii
yang akan datang akan menghargai tuan-tuan. Saya serukan kepada tuan-tuan, kepada semua
anggota Perserikatan Bangsa Bangsa: bergeraklah bersama arusnya sejarah; jangan-lah mencoba
membendung arus itu.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sekarang ini juga ber-kesempatan untuk membangun bagi dirinya
sendiri reputasi dan gengsi yang besar. Mereka yang berjuang untuk kemerdekaan akan mencari
sokongan dan sekutu-sekutu di mana saja dapat diperolehnya; alangkah baiknya bilamana
mereka berpaling kepada badan ini dan kepada Piagam kita daripada kepada sesuatu kelompok
atau bagian dari badan ini.
Lenyapkanlah sebab-sebab peperangan, dan kita akan merasa damai. Lenyapkanlah sebab-sebab
ketegangan dan kita akan merasa tenang. Jangan ditunda-tunda. Waktunya singkat. Bahayanya
besar.
Umat manusia di seluruh dunia berteriak minta perdamaian dan ketenangan, dan hal-hal itu
adalah dalam kekuasaan kita. Jangan mencegahnya, karena nanti badan ini akan dicemarkan
namanya dan ditinggalkan. Tugas kita bukannya untuk mempertahankan dunia ini, akan tetapi
untuk membangun dunia kembali! Hari depan – andaikata ada hari depan – akan menilai kita
berdasarkan berhasilnya tugas kita ini.
Saya minta kepada bangsa-bangsa yang sudah lama berdiri,
janganlah menganggap remeh kekuatan nasionalisme. Jika tuan
menyangsikan kekuatannya, tengoklah di sekitar Majelis ini dan
bandingkanlah dengan San Fransisco lima belas tahun yang lalu. Nasionalisme, nasionalisme
yang mencapai kemenangan
dengan gemilang, telah menyebabkan perubahan ini, dan ini
adalah baik. Dewasa ini dunia diperkaya dan dimuliakan oleh
kebijaksanaan dari para pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa berdaulat yang baru dibentuk.
Untuk menyebut enam dari banyak contoh-contoh, yakni seorang Norodom Sihanouk, seorang
Nasser, seorang Nehru, seorang Sekou Toure, seorang Mao Tse Tung dan seorang Nkrumah.
Bukankah dunia menjadi lebih baik, jika mereka berada di sini daripada mereka mem-
pergunakan seluruh hidupnya dan seluruh kekuatannya untuk menggulingkan imperialisme yang
membelenggu mereka? Dan bangsa-bangsa mereka pun sudah merdeka, dan bangsa saya
merdeka, dan lebih banyak lagi bangsa yang merdeka. Bukankah dengan demikian dunia
menjadi suatu tempat yang lebih baik dan lebih kaya?

ccxxxix
Memang, saya tidak perlu membentangkan kepada tuan-tuan, bahwa kami dari Asia dan Afrika
menentang kolonialisme dan imperialisme. Lebih daripada itu, siapakah dalam dunia sekarang
ini masih akan membela hal-hal itu? Secara universal hal-hal itu telah dikutuk, dan sudah
sepantasnya, dan alasan-alasan sinis yang usang itu tidak terdengar lagi. Pertentangan sekarang
berpusat pada persoalan kapankah daerah-daerah jajahan akan merdeka, dan bukan pada
persoalan apakah mereka akan merdeka.
Tetapi saya hendak menegaskan soal ini. Oposisi kami terhadap kolonialisme dan imperialisme
timbul baik dari hati maupun dari kepala kami. Kami menentangnya atas dasar kemanusiaan, dan
kami menentangnya pula dengan alasan bahwa hal ini merupakan suatu ancaman yang besar dan
makin besar lagi terhadap perdamaian.
Tiadanya persesuaian pendapat dengan kekuatan-kekuatan kolonial berkisar pada soal-soal
waktu dan keamanan, karena sekarang setidak-tidaknya mereka beromong-kosong tentang cita-
cita kemerdekaan nasional.
Oleh karena itu renungkanlah dalam-dalam mengenai nasionalisme dan kemerdekaan, mengenai
patriotisme dan mengenai imperialisme. Renungkanlah dalam-dalam, demikian permohonan
saya, jangan sampai arus sejarah melanda tuan-tuan.
Dewasa ini, kita banyak mendengar dan membaca mengenai perlucutan senjata. Pcrkataan itu
biasanya dipakai dalam hubungan perlucutan senjata nuklir dan atom. Maatkanlah saya. Saya
seorang sederhana dan seorang yang cinta damai. Saya tidak dapat berbicara mengenai detail-
detail perlucutan senjata. Saya tidak dapat memberikan penilaian mengenai pendapat-pendapat
yang bersaingan tentang pengawasan, mengenai percobaan-percobaan di bawah tanah dan
mengenai catatan-catatan seismografik.
Mengenai persoalan-persoalan imperialisme dan nasionalisme saya seorang ahli, sesudah seumur
hidup mempelajarinya dan berjuang, dan mengenai soal-soal ini saya bicara dengan kewibawaan.
Tetapi mengenai persoalan-persoalan peperangan nuklir, saya hanya seorang biasa saja, mungkin
seperti tetangga tuan atau seperti saudara tuan atau bahkan seperti ayah tuan. Saya ikut
merasakan ketakutan mereka.
Saya ikut merasakan kengerian dan ketakutan itu, karena saya adalah bagian dari dunia ini. Saya
punya anak-anak, dan hari depan mereka terancam bahaya. Saya seorang Indonesia, dan bangsa
itu terancam bahaya.

ccxl
Mereka yang mempergunakan senjata penghancuran masal itu sekarang harus menghadapi hati
nurani mereka sendiri, dan akhirnya, mungkin dalam keadaan hangus menjadi debu radioaktif,
mereka harus menghadapi Al Khaliknya. Saya tidak iri terhadap mereka.
Mereka yang mempersoalkan perlucutan senjata nuklir jangan lupa bahwa kami, yang dalam hal
ini sebelumnya tidak dapat bersuara, sedang memperhatikan dan mengharap-harap.
Kami sedang memperhatikan dan mengharap-harap, toh kami diliputi oleh kecemasan, karena
jika perang nuklir meng-hancurkan dunia kita ini, kami juga ikut menderita.
Tidak seorang makhluk pun berhak untuk menggunakan hak-hak prerogatif dari Tuhan Yang
Maha Kuasa. Tidak seorang pun berhak menggunakan bom-bom hidrogen. Tidak satu bangsa
pun berhak untuk menyebabkan kemungkinan hancurnya semua bangsa-bangsa.
Tiada suatu sistem politik, tiada suatu organisasi ekonomi yang layak untuk menyebabkan
musnahnya dunia, termasuk sistem maupun organisasi itu sendiri.
Jika hanya negara-negara yang bersenjata hidrogen yang tersangkut dalam persoalan ini, maka
kami bangsa-bangsa Asia dan Afrika tidak akan menghiraukannya. Kami hanya akan melihat
saja sambil menjauhkan diri, dengan perasaan heran mengapa negara-negara, dari mana kami
belajar demikian banyaknya itu, serta yang sangat kami kagumi itu, pada dewasa ini harus teng-
gelam dalam rawa immoralitet. Kami akan dapat berseru: “Terkutuklah kalian! “, dan kami dapat
kembali ke dalam dunia kami sendiri yang lebih berimbang dan damai.
Tetapi kami tidak dapat berbuat demikian. Kami bangsa Asia telah menderita akibat bom atom.
Kami bangsa Asia terancam lagi, dan selain itu kami merasa sebagai suatu kewajiban moral
untuk memberikan bantuan di mana mungkin. Kami bukanlah musuh Timur maupun Barat.
Kami merupakan suatu bagian dari dunia ini dan kami ingin membantu.
Ini adalah suatu jeritan dari hati sanubari Asia. Biarkanlah kami membantu memecahkan
masalah-masalah ini. Mungkin tuan-tuan memperhatikannya terlampau lama, dan tidak melihat-
nya lagi secara jelas. Biarkanlah kami membantu tuan-tuan, dan dalam membantu tuan-tuan,
kami bantu diri kami sendiri, dan semua generasi yang akan datang di seluruh dunia ini.
Jelaslah, bahwa masalah perlucutan senjata bukan hanya perselisihan pendapat tentang dasar-
dasar teknis yang sempit. Ini adalah pula persoalan saling mempercayai. Sebetulnya telah jelas,
bahwa dalam bidang teknik dan dalam cara-cara berunding dan berdiplomasi, sesunguhhnya
antara kami dari Asia-Afrika dan kedua blok itu tidaklah banyak berbeda. Soalnya sebenarnya
lebih merupakan soal saling tidak mempercayai. Ini adalah suatu masalah yang dapat dipecahkan

ccxli
dengan cara-cara itu. Negara-negara lain yang tidak tergabung dalam suatu blok, bisa memberi
bantuan dalam hal ini! Kami tidak kurang pengalaman dan kepandaian untuk mengadakan
pembicaraan-pembicaraan. Mungkin perantara kami dapat juga berharga. Mungkin kami dapat
pula memberikan bantuan dalam mencari suatu penyelesaian. Mungkin – siapa tahu kami dapat
memperlihatkan kepada tuantuan jalannya menuju ke arah satu-satunya perlucutan senjata yang
sesunguhhnya, yaitu perlucutan senjata di dalam hati manusia, perlucutan ketidakpercayaan dan
kebencian manusia.
Tidak sesuatupun lebih mendesak daripada hal ini. Dan persoalan ini adalah demikian vital bagi
seluruh umat manusia, sehingga seluruh umat manusia harus diikutsertakan dalam
pemecahannya. Saya kira pada saat ini kita boleh berkata bahwa sebenarnya hanyalah desakan
dan usaha dari negara-negara nonblok akan memberikan hasil yang diperlukan seluruh dunia.
Pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang perlucutan senjata, di dalam rangka organisasi ini,
dan didasarkan pada suatu harapan yang sungguh-sungguh akan suksesnya, adalah yang esensiil
sekarang ini.
Saya tekankan “dalam rangka organisasi ini”, karena hanya Majelis inilah yang mulai mendekati
suatu cerminan yang sebenarnya dari dunia di mana kita hidup.
Renungkan, renungkan sejenak, apa yang mungkin terjadi jika kita dapat meletakkan suatu dasar
bagi perlucutan senjata yang sejati. Ingatlah akan dana-dana yang sangat besar yang dapat
digunakan untuk perbaikan dunia di mana kita hidup ini. Ingatlah akan daya gerak yang maha
hebat yang dapat diberikan kepada perkembangan mereka yang kurang maju, sekalipun hanya
sebagian saja dari anggaran belanja pertahanan dari negara-negara besar disalurkan ke arah itu.
Ingatlah akan ber-tambahnya secara hebat kebahagiaan manusia, produktivitet manusia dan
kesejahteraan manusia, jika hal ini diselenggara-kan.
Perlu saya tambahkan sesuatu lagi pada hal ini. Jika ada suatu immoralitet yang lebih besar
daripada memperagakan senjata-senjata hidrogen, maka hal itu adalah melakukan percobaan-
percobaan dengan senjata-senjata tersebut. Saya tahu bahwa ada suatu perbedaan pendapat
ilmiah tentang akibat genetik daripada percobaan-percobaan itu. Akan tetapi per-bedaan ini
hanya mengenai jumlah korban-korban. Tentang adanya akibat genetik yang buruk terdapat
perseuaian pendapat. Pernahkah mereka yang mensyahkan percobaan-percobaan itu
membayangkan akibat-akibat perbuatan mereka? Pernahkan mereka melihat kepada anak-anak
mereka sendiri dan me-renungkan akibat-akibat itu? Pada dewasa ini percobaan-percobaan

ccxlii
dengan senjata-senjata nuklir ditangguhkan, - perhatikan – tidak dilarang, tetapi hanya
ditangguhkan. Maka, marilah kita pergunakan kenyataan ini sebagai permulaan. Marilah kita
pergunakan kenyataan ini sebagai dasar untuk melarang percobaan dan kemudian untuk
perlucutan senjata yang sungguh-sungguh.
Sebelum meninggalkan persoalan perlucutan senjata, saya hendak memberikan suatu ulasan lagi.
Berbicara tentang per-lucutan senjata memang baik. Tapi berusaha dengan sungguh-sungguh
menyusun suatu persetujuan perlucutan senjata akan lebih baik. Dan yang terbaik adalah
pelaksanaan daripada persetujuan perlucutan senjata itu.
Akan tetapi marilah kita realistis. Bahkan pelaksanaan daripada suatu persetujuan perlucutan
senjata pun tidak akan merupakan jaminan bagi perdamaian di dunia yang dalam kesengsaraan
dan kesukaran. Perdamaian hanya akan datang, jika sebab-sebab ketegangan dan bentrokan
disingkirkan.
Jika ada suatu sebab untuk bentrokan, maka manusia akan berjuang dengan bambu runcing, jika
tidak terdapat senjata lain. Saya tahu oleh karena bangsa saya sendiri melakukannya dalam
perjuangan kami untuk kemerdekaan. Kami telah berjuang menggunakan pisau dan bambu
runcing. Untuk mencapai perdamaian, kita harus menyingkirkan sebab-sebab ketegangan dan
sebab-sebab bentrokan itu. Itulah sebabnya saya berbicara dari lubuk hati saya mengenai
perlunya bekerja sama untuk menyebabkan matinya yang hina dari imperialisme.
Di mana terdapat imperialisme, dan di mana terdapat penyusunan kekuatan bersenjata yang
serentak, maka keadaan memang berbahaya. Sekali lagi saya berbicara berdasarkan pengalaman.
Begitulah keadaannya di Irian Barat. Begitulah keadaannya di seperlima wilayah nasional kami
yang pada dewasa ini masih tetap membungkuk di bawah belenggu imperialisme.
Di sanalah kami menghadapi imperialisme dan kekuatan bersenjata imperialisme. Di perbatasan
daerah itu tentara kami berjaga di darat maupun di lautan. Kedua kekuatan bersenjata itu
merupakan suatu keadaan yang eksplosif. Belum lama berselang tentara di Irian Barat yang
masih muda serta tersesat itu dan yang membela suatu faham yang telah ketinggalan zaman,
diperkuat dengan datangnya kapal induk Karel Doorman dari tanah airnya yang jauh itu. Maka
saat itulah keadaan menjadi betul-betul berbahaya.
Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia duduk dalam Delegasi saya ini. Namanya Jenderal
Nasution. Ia adalah prajurit profesional dan seorang prajurit yang ulung. Seperti halnya dengan
anak buah yang dipimpinnya, dan seperti juga halnya dengan bangsa yang dibelanya, ia pertama-

ccxliii
tama adalah seorang yang cinta damai. Tetapi lebih daripada itu, ia dan anak buahnya serta
bangsa saya mengabdi untuk mempertahankan tanah air kami.
Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan
sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami
telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral. Kami telah berusaha
dengan sungguh-sungguh dan bertahun-tahun. Kami telah berusaha dan tetap berusaha. Kami
telah berusaha menggunakan alat-alat Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kekuatan pendapat dunia
yang dinyatakan di sini. Kami telah berusaha, dan dalam hal ini pun kami tetap berusaha.
Harapan lenyap; kesabaran hilang; bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini
telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.
Jika mereka gagal untuk secara tepat menilai arus sejarah, maka kita tidaklah dapat
dipersalahkan. Akan tetapi akibat daripada kegagalan mereka ialah timbulnya ancaman terhadap
perdamaian dan, sekali lagi, hal ini menyangkut pula Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Irian Barat merupakan pedang kolonial yang diancamkan terhadap Indonesia. Pedang itu
diarahkan pada jantung kami, akan tetapi di samping itu mengancam pula perdamaian dunia.
Usaha-usaha kami dewasa ini yang sungguh-sungguh untuk mencapai penyelesaian dengan cara-
cara kami sendiri, adalah bagian dari sumbangan kami ke arah terjaminnya perdamaian dunia ini.
Ini adalah bagian dari usaha kami untuk mengakhiri masalah dunia ini yang merupakan
kejahatan yang usang. Usaha kami adalah usaha pembedahan yang sungguh-sungguh untuk
menyingkirkan kanker imperialisme dari daerah di dunia, di mana kami hidup dan berada.
Saya katakan dengan segala kesungguhan bahwa keadaan di Irian Barat adalah keadaan yang
berbahaya, suatu keadaan yang eksplosif; suatu hal yang merupakan sebab ketegangan dan suatu
ancaman bagi perdamaian. Jenderal Nasution tidak bertanggung jawab atas hal itu. Tentara kami
tidak bertanggung jawab atas hal itu. Soekarno tidak bertanggung jawab atas hal itu. Indonesia
tidak bertanggung jawab atas hal itu. Tidak! Ancaman terhadap perdamaian berasal langsung
dari adanya imperialisme dan kolonialisme itulah.
Singkirkan pengekangan terhadap kemerdekaan dan emansipasi, dan ancaman terhadap
perdamaian akan lenyap. Tumbangkan imperialisme, dan segera dengan sendirinya dunia akan
menjadi suatu tempat yang lebih bersih, suatu tempat yang lebih baik dan suatu tempat yang
lebih aman.

ccxliv
Saya tahu bahwa jika saya kemukakan hal ini, banyak pikiran akan beralih kepada keadaan di
Kongo. Tuan-tuan mungkin bertanya, bukankah imperialisme telah diusir dari Kongo dengan
akibat bahwa di daerah itu sekarang terjadi persengketaan dan pertumpahan darah? Tidak
demikian halnya! Keadaan di Kongo yang sangat disesalkan adalah langsung disebabkan oleh
imperialisme, dan tidak disebabkan oleh berakhirnya imperialisme itu. Imperialisme berusaha
untuk mempertahankan kedudukannya di Kongo, berusaha untuk dapat memutungkan dan
melumpuhkan Negara baru itu. Itulah sebabnya Kongo berkobar.
Ya, di Kongo terdapat penderitaan. Akan tetapi penderitaan itu merupakan kesakitan kelahiran
dari kemajuan dan kemajuan yang eksplosif senantiasa membawa kesakitan. Mencabut sampai
ke akar-akarnya kepentingan nasional dan internasional yang sudah bercokol selalu
menyebabkan kesakitan dan kogoncangan.
Kami mengetahuinya. Kami mengetahui pula dari pengalaman-pengalaman kami sendiri bahwa
perkembangan itu sendiri menimbulkan pergolakan. Suatu bangsa yang sedang bergolak
membutuhkan pimpinan dan bimbingan, dan akhirnya akan menghasilkan pimpinan serta
bimbingannya sendiri.
Kami bangsa Indonesia berbicara berdasarkan pengalamanpengalaman yang pahit. Masalah
Kongo, yang merupakan masalah kolonialisme dan imperialisme, harus diselesaikan dengan
menggunakan prinsip-prinsip yang telah saya uraikan tadi. Kongo adalah Negara yang berdaulat.
Hendaknya ke-daulatan itu dihormati. Ingatlah: kedaulatan Kongo tidak kurang daripada
kedaulatan setiap bangsa yang diwakili dalam Majelis ini, dan kedaulatan ini harus dihormati
secara sama.
Dalam soal-soal dalam negeri Kongo tidak boleh ada campur tangan dan sama sekali tidak boleh
ada bantuan, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi, untuk meng-hancurkan
negara ini.
Ya, memang bangsa itu akan membuat kesalahan-kesalahan, kita semua membuat kesalahan-
kesalahan, dan kita semua belajar dari kesalahan-kesalahan. Ya, pergolakan akan timbul, akan
tetapi itu pun biarlah berlangsung, karena ini merupakan tanda bagi pertumbuhan dan
perkembangan yang tepat. Sampai mana pergolakan itu adalah soalnya bangsa itu sendiri.
Marilah kita, baik secara perseorangan, maupun secara bersama-sama, membantu di sana apabila
kita diminta oleh pemerintah yang sah dari bangsa itu. Akan tetapi tiap-tiap bantuan semacam itu
harus jelas didasarkan atas kedaulatan Kongo yang tidak boleh diganggu gugat.

ccxlv
Akhirnya taruhlah kepercayaan pada bangsa itu! Mereka sedang mengalami masa percobaan
yang besar dan sedang sangat menderita. Taruhlah kepercayaan pada mereka sebagai bangsa
yang batu merdeka, dan mereka akan menemukan jalannya sendiri ke arah penyelesaiannya
sendiri daripada masalah-masalahnya sendiri.
Di sini hendak saya kemukakan peringatan yang sangat serius. Banyak anggota organisasi ini
dan banyak pejabat organisasi ini, mungkin tak begitu menyadari perbuatan-perbuatan
imperialisme dan kolonialisme.
Mereka tak pernah mengalaminya; mereka tak mengenal keuletannya dan kebengisannya, dan
banyaknya mukanya, dan kejahatannya.
Kami dari Asia dan Afrika mengenalnya. Saya katakan pada tuan-tuan: Janganlah bertindak
sebagai alat yang tak tahu apa-apa dari imperialisme. Jika tuan bertindak demikian, maka tuan
pasti akan membunuh Organisasi Perserikatan Bangsa -Bangsa ini dan dengan begitu tuan akan
membunuh harapan dari berjuta-juta manusia yang tiada terhitung itu dan mungkin tuan akan
menyebabkan hari depan mati dalam kandungan.
Sebelum meninggalkan persoalan-persoalan ini, saya hendak menyinggung pula suatu persoalan
besar lain yang kira-kira sama sifatnya. Yang saya maksud ialah Aljazair. Di sini terdapat suatu
gambaran yang menyedihkan, di mana kedua belah pihak sedang berlumuran darah dan
dihancurkan karena ketiadaan penyelesaian. Itu merupakan suatu tragedi!
Sudah jelas sekali bahwa rakyat Aljazair menghendaki kemerdekaan. Hal ini tidak dapat
dibantah lagi. Andaikata tidak demikian, maka perjuangan yang lama dan pahit dan berdarah itu
sudah akan berakhir bertahun-tahun yang lalu. Kehausan akan kemerdekaan serta ketabahan
untuk memperoleh ke-merdekaan itu merupakan faktor-faktor pokok dalam situasi ini.
Apa yang belum ditentukan, hanyalah betapa akrab dan selaras suatu kerjasama di hari depan
dengan Perancis seharus-nya. Kerjasama yang sangat akrab dan selaras tidak akan sukar dicapai,
bahkan pada taraf sekarang ini, meskipun barangkali akan bertambah sukar dicapainya dengan
terus berlangsungnya perjuangan itu.
Maka, adakanlah suatu plebisit di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Aljazair
untuk menentukan kehendak rakyat akan betapa akrab dan selaras hubungan-hubungan itu
seharusnya. Plebisit itu hendaknya jangan mengenai soal kemerdekaan. Kemerdekaan itu sudah
ditentukan dengan darah dan air mata, dan pastilah akan berdiri suatu Aljazair yang Merdeka.

ccxlvi
Plebisit seperti yang saya sarankan, jika diselenggarakan dalam waktu singkat, akan merupakan
jaminan yang terbaik bahwa Aljazair merdeka dan Perancis akan terdapat suatu kerjasama yang
akrab dan baik untuk keuntungan bersama. Sekali lagi saya berbicara berdasarkan pengalaman.
Indonesia tadinya tidak mengandung niat untuk merusak hubungan-hubungan yang erat dan
selaras dengan Belanda. Akan tetapi, rupa-rupanya bahkan dewasa ini, seperti generasi-generasi
yang sudah-sudah, pemerintah bangsa itu berpegang teguh pada “memberi terlalu sedikit dan
meminta terlampau banyak”. Baru ketika hal itu tak tertahankan lagi, hubungan-hubungan
tersebut diputuskan.
Ijinkanlah saya sekarang beralih ke masalah yang lebih luas tentang perang dan damai di dunia
kita ini. Yang pasti adalah bahwa negara-negara yang baru lahir dan yang dilahirkan kembali
tidak merupakan ancaman terhadap perdamaian dunia. Kami tidak mempunyai ambisi-ambisi
teritorial; kami pun tidak mempunyai tujuan-tujuan ekonomi yang tidak bisa disesuaikan.
Ancaman terhadap perdamaian tidak datang dari kami, tetapi malahan dari pihak negara-negara
yang lebih tua, yang telah lama berdiri dan stabil itu.
O, ya, di negara-negara kami terdapat pergolakan. Sebenarnya, pergolakan itu seakan-akan
merupakan suatu fungi dari jangka waktu pertama daripada kemerdekaan. Apakah itu
mengherankan? Coba, marilah saya ambil contoh dari sejarah Amerika. Dalam satu generasi
harus dialami Perang Kemer-dekaan dan Perang Saudara antara Negara-negara Bagian.
Selanjutnya dalam generasi itu juga harus dialami timbulnya perserikatan-perserikatan buruh
yang militan, – masa dari Internasional Workers of the World (I.W.W), “Wobblies”. Harus pula
dialami hijrah ke Barat. Harus pula dialami Revolusi Industri dan, ya, bahkan masa “pedagang-
pedagang aktentas”. Harus pula diderita akibat orang-orang ala Benedict Arnold. Dan seperti
sering saya katakan, kami desakkan banyak revolusi dalam satu revolusi dan banyak generasi
dalam satu generasi.
Maka herankah tuan-tuan jika terdapat pergolakan pada kami? Bagi kami hal itu adalah biasa dan
kami telah menjadi biasa untuk menunggang angin pusar. Saya mengerti benar bahwa untuk
orang luaran hal itu seringkali tampak seperti gambaran kekacauan dan kerusuhan dan rebut-
merebut kekuasaan. Bagaimanapun juga pergolakan itu adalah merupa-kan urusan kami sendiri
dan tidak merupakan suatu ancaman bagi siapapun, meskipun hal itu sering memberi
kesempatan-kesempatan untuk mencapuri urusan kami.

ccxlvii
Meskipun demikian, kepentingan-kepentingan yang bertentangan dari Negara-negara Besar
adalah soal lain. Dalam hal ini masalah-masalah dikaburkan oleh ancaman-ancaman dengan
bom-bom hidrogen dan diulang-ulanginya slogan-slogan lama yang telah usang.
Kami tak mengabaikannya karena masalah-masalah itu mengancam kami. Toh, terlalu sering
masalah-masalah itu mengancam kami. Toh, terlalu sering masalah-masalah tersebut nampak
seakan-akan tidak sungguh. Dengan terus-terang dan tanpa ragu-ragu hendak saya katan kepada
tuan-tuan, bahwa kami menempatkan hari depan kami sendiri jauh di atas percekcokan-
percekcokan di Eropa.
Ya, kami banyak belajar dari Eropa dan Amerika. Kami telah mempelajari sejarah tuan-tuan dan
penghidupan orang-orang besar dari bangsa tuan. Kami telah mengikuti contoh dari tuan-tuan;
bahkan kami telah berusaha melebihi tuan-tuan. Kami berbicara dalam bahasa tuan-tuan dan
membaca buku-buku tuan-tuan. Kami telah diilhami oleh Lincoln dan Lenin, oleh Cromwell dan
Garibaldi. Dan memang masih banyak yang harus kami pelajari dari tuan-tuan di banyak bidang.
Tetapi pada dewasa ini bidang-bidang yang kami harus pelajari lebih banyak lagi dari tuan-tuan,
adalah bidang teknik dan ilmiah, dan bukan faham-faham atau gerakan yang didiktekan oleh
ideologi.
Di Asia dan Afrika pada dewasa ini masih hidup, masih berpikir, masih bertindak, mereka yang
memimpin bangsanya kearah kemerdekaan, mereka yang mengembangkan teori-teori ekonomi
yang agung dan membebaskan, mereka yang menumbangkan kelaliman, mereka yang
mempersatukan bangsanya dan mereka yang menaklukkan perpecahan bangsanya. Oleh karena
itu dan memang selayaknya, kami dari Asia-Afrika saling mendekati untuk memperoleh
bimbingan dan inspirasi dan kami mencari pada diri sendiri pengalaman dan kebijak-sanaan yang
telah terhimpun pada bangsa-bangsa kami.
Apakah tuan-tuan tidak berpendapat bahwa Asia dan Afrika mungkin mempunyai suatu amanat
dan suatu cara untuk seluruh dunia?
Ahli filsafat Inggris Bertrand Russell yang ulung itulah yang pernah berkata bahwa umat
manusia sekarang terbagi dalam dua golongan. Yang satu menganut ajaran Declaration of
American Independence dari Thomas Jeffreson. Golongan lainnya menganut ajaran Manifesto
Komunis.
Maafkan, Lord Russell, akan tetapi saya kira tuan melupakan sesuatu. Saya kira tuan melupakan
adanya lebih daripada seribu juta rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat

ccxlviii
Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis maupun Declaration of
Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar
dari keduanya dan kami telah diilhami oleh keduanya itu.
Siapakah yang tidak akan dapat ilham dari kata-kata dan semangat Declaration of Independence
itu! “Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sebagai suatu yang tidak dapat di-sangkal lagi:
”bahwa manusia diciptakan dengan hak yang sama, bahwa mereka diberikan oleh Al Khalik
hak-hak tertentu yang tak dapat diganggu gugat, dan bahwa di antara hak-hak itu terdapat hak
untuk hidup, hak kemerdekaan dan hak mengejar kebahagiaan”. Siapakah yang terlibat dalam
per-juangan untuk kehidupan dan kemerdekaan nasional, tak akan diilhami! Dan sekali lagi, sia-
pakah di antara kita, yang berjuang menegakkan suatu masyarakat yang adil dan makmur di atas
puing-puing kolonialisme, tak akan diilhami oleh bayangan kerjasama dan perkembangan
ekonomi yang dicetuskan oleh Marx dan Engels! Sekarang telah terjadi suatu konfrontasi di
antara kedua pandangan itu, dan konfrontasi itu membahaya-kan, tidak hanya untuk mereka yang
saling berhadapan tetapi juga untuk bagian dunia lainnya.
Saya tidak dapat berbicara atas nama negara-negara Asia dan Afrika lainnya – saya tidak diberi
kuasa untuk itu, dan bagai-manapun juga mereka sendiri cakap untuk mengemuka-kan pan-
dangannya masing-masing. Akan tetapi saya diberi kuasa – bahkan ditugaskan – untuk berbicara
atas nama bangsa saya yang berjumlah sembilan puluh juta itu.
Seperti saya katakan, kami telah membaca dan mempelajari kedua dokumen yang pokok itu.
Dari masing-masing dokumen itu banyak yang telah kami ambil dan kami buang apa saja yang
tak berguna bagi kami, kami yang hidup di benua lain dan beberapa generasi kemudian. Kami
telah mensintesiskan apa yang kami perlukan dari kedua dokumen itu, dan ditinjau dari
pengalaman serta pengetahuan kami sendiri, sentese itu telah kami saring dan kami sesuaikan.
Jadi dengan minta maaf kepada Lord Russell yang saya hormati sekali, dunia ini tidaklah
seluruhnya terbagi dalam dua pihak seperti dikiranya.
Meskipun kami telah mengambil sarinya, dan meskipun kami telah mencoba mensintesiskan
kedua dokumen yang penting itu, kami tidak dipimpin oleh keduanya itu saja. Kami tidak
mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman kami
sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai,
sesuatu yang lebih cocok.

ccxlix
Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi
dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan
usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya. Sejarah Indonesia kami sendiri
memperlihatkannya dengan jelas dan demikian pula halnya dengan sejarah seluruh dunia.
“Sesuatu” itu kami namakan “Pancasila”. Ya, Pancasila atau Lima Sendi Negara kami. Lima
sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis atapun Declaration of Inde-
pendence. Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu mungkin sudah ada sejak berabad-abad,
telah terkandung dalam bangsa kami. Dan memang tidak mengherankan bahwa faham-faham
mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami selama dua
ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme me-
nenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.
Jadi, berbicara tentang Pancasila di hadapan tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari
peradaban kami selama dua ribu tahun.
Apakah Lima Sendi itu? Ia sangat sederhana: pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua
Nasionalisme, ketiga Internasionalisme, keempat Demokrasi, kelima Keadilan Sosial.
Perkenankanlah saya sekarang menguraikan sekedarnya tentang kelima pokok itu.
Pertama: Ketuhan Yang Maha Esa.
Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam, ada
yang Kristen, dan ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun
demikian untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa
Indonesia terdiri dari pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan
berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempat-kan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya
kepada Tuhan pun, karena toleransinya yang menjadi pem-bawaan, mengakui bahwa
kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga
mereka menerima Sila pertama ini.
Kemudian sebagai nomor dua adalah Nasionalisme. Kekuatan yang membakar nasionalisme dan
hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup kami dan memberi kekuatan kepada kami
sepanjang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama berkobarnya perjuangan kemerdekaan.
Dewasa ini kekuatan yang membakar itu masih tetap menyala-nyala di dada kami dan tetap
memberikan kekuatan hidup kepada kami! Akan tetapi nasionalisme kami sekali-kali bukanlah

ccl
Chauvinisme. Kami sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul dari bangsa-bangsa
lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak kami kepada bangsa-
bangsa lain. Saya mengetahui benar-benar, bahwa istilah “nasionalisme” dicurigai, bahkan tidak
dipercayai di negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat telah memperkosa dan
memutarbalikkan nasionalisme. Padahal nasionalisme yang sejati masih tetap berkobar-kobar di
negara-negara Barat. Jika tidak demikian, maka Barat tidak akan menantang dengan senjata
chauvinisme Hitler yang agresif.
Tidakkah nasionalisme – sebutlah jika mau, patriotisme –  mempertahankan kelangsungan hidup
semua bangsa? Siapa yang berani menyangkal bangsa, yang melahirkan dia? Siapa yang berani
berpaling dari bangsa, yang menjadikan dia? Nasionalisme adalah mesin besar yang
menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita; nasionalisme adalah sumber
besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan.
Nasionalisme kami di Asia dan Afrika tidaklah sama dengan yang terdapat pada sistem Negara-
negara Barat. Di Barat, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang mencari
ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya. Nasionalisme di Barat adalah kakek dari
imperial-isme, yang bapaknya adalah kapitalisme. Di Asia dan Afrika, dan saya kira juga di
Amerika Latin, nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes terhadap
imperial-isme dan kolonialisme, dan suatu jawaban terhadap penindasan nasionalisme-chauvinis
yang bersumber di Eropa. Nasionalisme Asia dan Afrika serta nasionalisme Amerika Latin tidak
dapat ditinjau tanpa memperhatikan inti sosialnya.
Di Indonesia kami menganggap inti sosial itu sebagai pen-dorong untuk mencapai keadilan dan
kemakmuran. Bukankah itu tujuan baik yang dapat diterima oleh semua orang? Saya tidak
berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak hanya tentang saudara-saudara saya
di Asia dan Afrika serta Amerika Latin. Saya berbicara tentang seluruh dunia. Masyarakat yang
adil dan makmur dapat merupakan cita-cita dan tujuan semua orang.
Mahatma Gandhi pernah berkata: “Saya seorang nasionalis, akan tetapi nasionalisme saya adalah
perikemanusiaan”. Kami pun berkata demikian. Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami
dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami percaya bahwa bangsa-bangsa adalah
sangat penting bagi dunia di masa sekarang ini, dan kami akan tetap demikian, sejauh mata dapat
memandang ke masa depan. Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan
nasional-isme, di mana saja kami jumpainya.

ccli
Sila ketiga kami adalah Internasionalisme.
Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisih-an atau pertentangan. Memang
benar, bahwa internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain di atas tanah
yang subur dari nasionalisme. Bukankah Organisasi Perserikat-an Bangsa-Bangsa itu merupakan
bukti yang nyata dari hal ini? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukkan bahwa kedua-duanya tidak akan bisa berdiri tanpa
adanya bangsa-bangsa dan nasionalisme. Justru adanya kedua organisasi itu menunjukkan bahwa
bangsa-bangsa mengingini dan mem-butuhkan suatu badan intemasional, di mana setiap bangsa
mempunyai kedudukan yang sederajat. Internasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanisme,
yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti-nasional dan memang ber-
tentangan dengan kenyataan.
Sebetulnya internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, di
mana setiap bangsa meng-hargai dan menjaga hak-hak semua bangsa, baik yang besar mau pun
yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme yang sejati adalah tanda, bahwa
suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggung jawab, telah meninggal-kan sifat kekanak-
kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial, telah meninggalkan penyakit kekanak-
kanakan tentang chauvinisme dan kosmopolitanisme.
Sila keempat adalah Demokrasi.
Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Lebih tegas, demokrasi
tampaknya merupakan keadaan asli dari manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan
kondisi-kondisi sosial yang khusus.
Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan bentuk-bentuk
demokrasi Indonesia. Kami percaya, bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian dan arti
internasional. Ini adalah soal yang akan saya bicarakan kemudian.
Akhirnya, Sila yang penghabisan dan yang terutama ialah Keadilan Sosial. Pada Keadilan Sosial
ini kami rangkaikan kemakmuran sosial, karena kami menganggap kedua hal ini tidak dapat
dipisah-pisahkan. Benar, hanya suatu masyarakat yang makmur dapat merupakan masyarakat
yang adil, meski-pun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam ketidakadilan sosial.
Demikian Pancasila kami. Ketuhanan Yang Maha Esa, Nasionalisme, Internasionalisme,
Demokrasi dan Keadilan Sosial.

cclii
Itulah dasar-dasar yang telah diterima sepenuhnya oleh bangsa saya dan yang dipergunakannya
sebagai pedoman bagi segala kegiatan politik, ekonomi dan sosial.
Tidaklah termasuk tugas saya hari ini untuk menguraikan bagaimana kami berusaha dalam
kehidupan dan urusan nasional kami, menggunakan dan melaksanakan Pancasila. Jika saya
menguraikan hal ini, maka ini akan mengganggu keramah-tamahan badan internasional ini.
Akan tetapi saya sungguh-sungguh percaya, bahwa Pancasila mengandung lebih banyak
daripada arti nasional saja. Pancasila mempunyai arti universil dan dapat digunakan secara inter-
nasional.
Tidak seorang pun akan membantah unsur kebenaran dalam pandangan yang dikemukakan oleh
Bertrand Russell itu. Sebagian besar dari dunia telah terbagi menjadi golongan yang menerima
gagasan dan prisnsip-prinsip Declaration of American Independence dan golongan yang
menerima gagasan dan prinsip-prinsip Manifesto Komunis. Mereka yang me-nerima gagasan
yang satu menolak gagasan yang lain, dan terdapatlah bentrokan atas dasar ideologis maupun
praktis.
Kita semuanya terancam oleh bentrokan ini dan kita merasa khawatir karena bentrokan ini.
Apakah tidak ada sesuatu tindakan yang dapat diambil terhadap ancaman ini? Apakah hal ini
harus berlangsung terus dari generasi ke generasi, dengan kemungkinan pada akhirnya akan
meletus menjadi lautan api yang akan menelan kita semuanya? Apakah tidak ada suatu jalan
keluar?
Jalan keluar harus ada. Jika tidak ada, maka semua musyawarah kita, semua harapan kita, semua
perjuangan kita akan sia-sia belaka.
Kami bangsa Indonesia tidak bersedia bertopang dagu, sedangkan dunia menuju ke jurang
keruntuhannya. Kami tidak bersedia bahwa fajar cerah dari kemerdekaan kami diliputi oleh awan
radioaktif. Tidak satu pun di antara bangsa-bangsa Asia atau Afrika akan bersedia menerima hal
itu. Kami memikul pertanggungan jawab terhadap dunia, dan kami siap menerima serta
memenuhi pertanggungan jawab itu. Jika itu berarti turut campur dalam apa yang tadinya
merupakan urusan-urusan Negara-negara Besar yang dijauhkan dari kami, maka kami akan
bersedia melakukannya. Tidak ada bangsa Asia dan Afrika manapun juga yang akan
menyingkirkan tugas itu.
Bukankah jelas, bahwa bentrokan itu timbul terutama karena ketidakadilan? Di dalam suatu
bangsa, adanya yang kaya dan yang miskin, yang dihisap dan yang menghisap, menimbul-kan

ccliii
bentrokan. Hilangkan penghisapan, dan bentrokan itu akan lenyap, karena sebab yang
menimbulkan bentrokan itu telah tidak ada.
Di antara bangsa-bangsa, jika ada yang kaya dan yang miskin, yang menghisap dan yang dihisap,
akan pula ada bentrokan. Hilangkan sebab yang menimbulkan bentrokan, dan bentrokan itu akan
lenyap. Hal ini berlaku, baik internasional maupun di dalam suatu bangsa. Dilenyapkannya
imperialisme dan kolonialisme meniadakan penghisapan demikian dari bangsa oleh bangsa.
Saya percaya, bahwa ada jalan keluar daripada konfrontasi ideologi-ideologi ini. Saya percaya
bahwa jalan keluar itu terletak pada dipakainya Pancasila secara universil!
Siapakah di antara tuan-tuan menolak Pancasila? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari
bangsa Amerika yang besar yang menolaknya? Apakah wakil-wakil dari bangsa Rusia yang
besar yang menolaknya? Ataukah wakil-wakil yang terhormat dari Inggris atau Polandia, atau
Perancis atau Cekoslovakia? Ataukah mamang ada di antara mereka yang agaknya telah
mengambil posisi yang statis dalam Perang Dingin antara gagasan-gagasan dan praktek-praktek,
dan yang berusaha tetap berakar sedalam-dalamnya sedangkan dunia menghadapi kekacauan-
kekacauan?
Lihat, lihatlah delegasi yang mendukung saya! Delegasi itu bukan terdiri dari pegawai-pegawai
negeri atau politikus-politikus profesional. Delegasi ini mewakili bangsa Indonesia. Dalam Dele-
gasi ini ada prajurit-prajurit. Mereka menerima Pancasila, ada seorang ulama Islam yang besar,
yang merupa-kan soko guru bagi agamanya. la menerima Pancasila. Selanjutnya ada pemimpin
Partai Komunis Indonesia yang kuat. Ia menerima Pancasila. Seterusnya ada wakil-wakil dari
Golongan-golongan Katolik dan Protestan, dari Partai Nasionalis dan organisasi-organisasi buruh
dan tani, ada pula wanita-wanita, kaum cendekiawan dan pejabat-pejabat pemerintahan.
Semuanya, ya semuanya, menerima Pancasila.
Mereka bukannya menerima Pancasila semata-mata sebagai konsepsi ideologi belaka, melainkan
sebagai suatu pedoman yang praktis sekali untuk bertindak. Mereka, di antara bangsa saya yang
berusaha menjadi pemimpin tetapi menolak Pancasila, ditolak pula oleh bangsa Indonesia.
Bagaimanakah penggunaan secara internasional daripada Pancasila? Bagaimana Pancasila itu
dapat dipraktekkan? Marilah kita tinjau kelima pokok itu satu demi satu.
Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tidak seorang pun yang menerima Declaration of American Independence sebagai pedoman
untuk hidup dan bertindak, akan menyangkalnya. Begitu pula tidak ada seorang pengikut pun

ccliv
dari Manifesto Komunis, dalam forum internasional ini kini akan menyangkal hak untuk percaya
kepada Yang Maha Kuasa. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, saya persilah-kan
tuan-tuan yang terhormat bertanya kepada tuan Aidit, ketau Partai Komunis Indonesia, yang
duduk dalam Delegasi saya dan yang menerima sepenuhnya baik Manifesto Komunis maupun
Pancasila.
Kedua: Nasionalisme.
Kita semua adalah wakil-wakil bangsa-bangsa. Bagaimana kita akan dapat menolak
nasionalisme? Jika kita menolak nasional-isme, maka kita harus menolak kebangsaan kita sendiri
dan menolak pengorbanan-pengorbanan yang telah diberikan oleh generasi-generasi. Akan tetapi
saya peringatkan tuan-tuan: jika tuan-tuan menerima prinsip-prinsip nasionalisme, maka tuan-
tuan harus menolak imperialisme. Tetapi pada peringatan itu saya ingin menambahkan
peringatan lagi: jika tuan-tuan menolak imperialisme, maka secara otomatis dan dengan segera
tuan-tuan lenyapkan dari dunia yang dalam kesukaran ini sebab terbesar yang menimbulkan
ketegangan dan bentrokan.
Ketiga: Internasionalisme.
Apakah perlu untuk berbicara dengan panjang lebar mengenai internasionalisme dalam badan in-
ternasional ini? Tentu tidak! Jika bangsa-bangsa kita tidak “international minded”, maka bangsa-
bangsa itu tidak akan menjadi anggota organisasi ini. Akan tetapi, internasionalisme yang sejati
tidak selalu terdapat di sini. Saya menyesal harus mengatakan demikian, akan tetapi hal ini
adalah suatu kenyataan. Terlalu sering Perserikatan Bangsa-Bangsa digunakan sebagai forum un-
tuk tujuan-tujuan nasional yang sempit atau tujuan-tujuan golongan saja. Terlalu sering pula
tujuan-tujuan yang agung dan cita-cita yang luhur dari piagam kita dikaburkan oleh usaha untuk
mencari keuntungan nasional atau prestige nasional. Internasionalisme yang sejati harus
didasarkan atas kenyataan persamaan nasional. Internasionalisme yang sejati harus didasarkan
atas persamaan kehormatan, persamaan penghargaan dan atas dasar penggunaan secara praktis
daripada kebenaran, bahwa semua orang adalah saudara. Untuk mengutip piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa dokumen yang seringkali dilupakan orang itu – internasional-isme itu harus
“meneguhkan kembali keyakinan berdasarkan hak hak yang sama bagi bangsa-bangsa, baik
besar maupun kecil”.
Akhirnya, dan sekali lagi, internasionalisme akan berarti berakhirnya imperislisme dan
kolonialisme, sehingga dengan demikian berakhirnya banyak bahaya dan ketegangan.

cclv
Keempat: demokrasi.
Bagi kami bangsa Indonesia, demokrasi mengandung tiga unsur yang pokok. Demokrasi
mengandung pertama-tama prinsip yang kami sebut Mufakat yakni: kebulatan pendapat.
Kedua, demokrasi mengandung prinsip Perwakilan.
Akhirnya demokrasi mengandung, bagi kami prinsip Musyawarah. Ya, demokrasi Indonesia
mengandung ketiga prinsip itu, yakni mufakat, perwakilan dan musyawarah antar wakil-wakil.
Prinsip-prinsip daripada cara kehidupan demokrasi kami ini dikandung sedalam-dalamnya oleh
rakyat kami dan sudah ada sejak berabad-abad lamanya. Prinsip ini menguasai kehidupan
demokrasi kami ketika suku-suku yang liar dan biadab masih mengembara di Eropa. Prinsip-
prinsip ini membimbing kami ketika feodalisme menjadikan dirinya kekuatan yang progresif
yang memang revolusioner di Eropa. Prinsip-prinsip ini memberikan kekuatan kepada kami,
ketika feodalisme melahir-kan kapitalisme, dan ketika kapitalisme menjadi bapak imperialisme
yang memperbudak kami. Prinsip-prinsip ini memberikan kekuatan kepada kami selama gerhana
kegelapan penjajahan dan selama tahun-tahun yang berjalan lambat, ketika bentuk-bentuk lain
dan berbeda-beda dari praktek-praktek demokrasi timbul secara perlahan-lahan di Eropa dan
Amerika.
Demokrasi kami tua, tetapi jaya dan kuat, sama jayanya dan kuatnya seperti bangsa Indonesia
yang menjadi sumbernya.
Perhatikanlah. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini adalah organisasi dari bangsa-bangsa
yang sederajat, organisasi dari negara-negara yang mempunyai kedaulatan yang sederajat,
kemerdekaan yang sederajat dan rasa bangsa yang sederajat tentang kedaulatan serta
kemerdekaan. Satu-satunya cara bagi organisasi ini untuk dapat menjalankan fungsinya secara
memuaskan, ialah dengan jalan mufakat yang diperoleh dalam musyawarah. Musyawarah harus
dilakukan sedemikian rupa, sehingga tidak ada saingan antara pendapat-pendapat yang
bertentangan, tidak ada resolusi-resolusi dan resolusi-resolusi balasan, tidak ada pemihakan-
pemihakan, melainkan hanya usaha yang teguh untuk mencari dasar umum dalam memecah-kan
suatu masalah. Dari musyawarah semacam ini timbullah permufakatan, suatu kebulatan
pendapat, yang lebih kuat daripada suatu resolusi yang dipaksakan melalui jumlah suara
mayoritet, suatu resolusi yang mungkin tidak diterima, atau yang mungkin tidak disukai oleh
minoritet.
Apakah saya berbicara idealistis? Apakah saya memimpi-kan dunia yang ideal dan romantis?

cclvi
Tidak! Kedua kaki saya dengan teguh berpijak di tanah! Betul saya menengadah ke langit untuk
mendapatkan inspirasi, akan tetapi pikiran saya tidak berada di awang-awang. Saya tegaskan
bahwa cara-cara musyawarah demikian ini dapat dilaksanakan. Cara-cara itu bagi kami dapat
dijalankan. Cara-cara itu dapat dijalankan dalam Dewan Perwakilan Rakyat kami, cara-cara itu
dapat dijalankan dalam Dewan Pertimbangan Agung kami, cara-cara itu dapat dijalankan dalam
Kabinet kami.
Cara musyawarah ini dapat dijalankan, karena wakil-wakil bangsa kami berkeinginan agar cara-
cara itu dapat berjalan. Kaurn Komunis menginginkannya, kaum nasionalis mengingin-kannya,
golongan Islam menginginkannya, dan golongan Kristen menginginkannya. Tentara
menginginkannya, baik warga kota maupun rakyat di desa-desa yang terpencil meng-
inginkannya, kaum cendekiawan menginginkannya dan orang yang berusaha sekuat tenaga
memberantas buta huruf meng-inginkannya. Semua menginginkannya, karena semua meng-
inginkan tercapainya tujuan jelas dari Pancasila, dan tujuan yang jelas itu ialah masyarakat adil
dan makmur.
Tuan-tuan boleh berkata: “Ya, kita akan menerima kata-kata Presiden Soekarno dan kita akan
menerima bukti-bukti yang kita lihat dalam susunan delegasinya di Perserikatan Bangsa Bangsa
pada hari ini, akan tetapi kita adalah kaum realis dalam dunia yang kejam. Cara satu-satunya
untuk menyelenggarakan pertemuan internasional ialah cara yang dipergunakan dalam
menyelenggarakan Perserikatan Bangsa Bangsa, yaitu dengan resolusi-resolusi, amandemen-
amandemen, suara-suara mayo-ritet dan minoritet”.
Perkenankanlah saya menegaskan sesuatu. Kami tahu dari pengalaman yang sama pahitnya,
sama praktisnya dan sama realistisnya, bahwa cara-cara musyawarah kami dapat pula diseleng-
garakan di bidang internasional. Di sidang ini cara-cara itu berjalan sama baiknya seperti bidang
nasional.
Seperti tuan-tuan ketahui, belum begitu lama berselang wakil-wakil dari dua puluh sembilan
bangsa-bangsa dari Asia dan Afrika berkumpul di Bandung. Pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa
itu bukan pemimpin pengelamun yang tidak praktis. Jauh dari itu! Mereka adalah pemimpin-
pemimpin yang keras dan realistis dari rakyat dan bangsa-bangsa, sebagian besar di antara
mereka lulus dari perjuangan kemerdekaan nasional, semuanya mengetahui benar akan realitet-
realitet daripada kehidupan serta kepemimpinan baik politik maupun internasional.

cclvii
Mereka mempunyai pandangan politik yang berbeda-beda, dari ekstrim kanan sampai ekstrim
kiri.
Banyak orang di negara-negara Barat tidak dapat dipercaya bahwa konferensi semacam itu dapat
menghasilkan sesuatu yang berguna. Banyak orang bahkan berpendapat bahwa konferensi itu
akan bubar dalam keadaan kacau dan saling tuduh-menuduh, terpecah-belah di atas karang
perbedaan faham politik.
Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan dengan cara-cara musyawarah.
Dalam konferensi itu tidak terdapat mayoritet dan minoritet. Tidak pula diadakan pemungutan
suara. Dalam konferensi itu hanya terdapat musyawarah dan keinginan umum untuk mencapai
persetujuan. Konferensi itu menghasilkan komunike yang dibuat dengan suara bulat, komunike
yang merupakan salah suatu yang terpenting dalam windu ini atau mungkin salah satu dokumen
yang terpenting dalam sejarah.
Apakah tuan-tuan masih sangsi terhadap faedah dan efisiensi daripada cara musyawarah
semacam itu?
Saya yakin bahwa pemakaian dengan tulus ikhlas dari caracara musyawarah demikian ini akan
mempermudah pekerjaan organisasi internasional ini. Ya, barangkali cara ini akan
memungkinkan pekerjaan yang sederhana dari organisasi ini. Cara musyawarah ini akan
menunjukkan jalan untuk menye-lesaikan banyak masalah-masalah yang mungkin bertumpuk
bertahun-tahun. Cara musyawarah ini akan memungkinkan terselesaikannya masalah-masalah
yang tampaknya tidak ter-pecahkan.
Dan saya minta dengan hormat, hendaknya tuan-tuan ingat bahwa sejarah memperlakukan
mereka yang gagal tanpa mengenal ampun.
Siapakah yang sekarang ini ingat kepada mereka yang membanting tulang dalam Liga Bangsa-
Bangsa? Kita hanya ingat kepada mereka yang telah menghancurkan badan internasional itu!
Akan tetapi mereka hanya menghancurkan suatu organisasi negara-negara dari sebagian dunia
saja. Kita tidak bersedia bertopang dagu dan melihat organisasi ini, organisasi kita sendiri,
dihancurkan karena tidak fleksibel, atau karena lambat menyambut keadaan dunia yang berubah.
Apakah tidak patut dicoba? Jika tuan-tuan berpendapat tidak, maka tuan-tuan harus bersedia
untuk mempertanggung-jawabkan keputusan tuan-tuan di hadapan mahkamah sejarah.

cclviii
Akhirnya, dalam Pancasila terkandung Keadilan Sosial. Untuk dapat dilaksanakan di bidang
internasional, mungkin hal ini akan menjadi keadilan sosial internasional. Sekali lagi, menerima
prinsip ini akan berarti menolak kolonialisme dan imperialisme.
Selanjutnya, diterimanya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa keadilan sosial sebagai suatu tujuan,
akan berarti diterimanya pertanggungan jawab dan kewajiban-kewajiban tertentu.
Ini akan berarti usaha yang tegas dan berpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatan-kejahatan
sosial, yang menyusah-kan dunia kita. Ini akan berarti bahwa bantuan kepada negara-negara
yang belum maju dan bangsa-bangsa yang kurang beruntung akan disingkirkan dari suasana
Perang Dingin. Ini akan berarti pula pengakuan yang praktis bahwa semua orang adalah saudara
dan bahwa semua orang mempunyai tanggung jawab terhadap saudaranya.
Apakah ini bukan tujuan mulia? Apakah ada yang berani menyangkal kemuliaan dan keadilan
daripada tujuan ini? Jika ada yang berani menyangkalnya, maka suruhlah ia menghadapi ke-
nyataan! Suruh ia menghadapi si lapar, suruh ia menghadapi si buta huruf, suruh ia menghadapi
si sakit dan suruhlah ia kemudian membenarkan sangkalannya!
Perkanankanlah saya sekali lagi mengulangi lima sila itu. Ketuhanan Yang Maha Esa;
Nasionalisme; Internasionalisme; Demokrasi; Keadilan Sosial.
Marilah kita selidiki apakah hal-hal itu sebenamya merupa-kan suatu sintese yang dapat diterima
oleh kita semua. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri, apakah penerimaan prinsip-prinsip itu
akan memberikan suatu pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh organisasi ini.
Benar, Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak hanya terdiri dari pada piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa saja. Meskipun demikian dokumen yang bersejarah itu tetap merupakan bintang
pembimbing dalam ilham organisasi ini.
Dalam banyak hal piagam mencerminkan konstelasi politik dan kekuatan pada saat
dilahirkannya. Dalam banyak hal piagam itu tidak mencerminkan kenyataan-kenyataan masa
sekarang.
Oleh karena itu marilah kita pertimbangkan apakah Lima Sila yang telah saya kemukakan, dapat
memperkuat dan memperbaiki piagam kita.
Saya yakin, ya, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan
dicantumkannya dalam piagam, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya
yakin, bahwa Pancasila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejajar dengan
perkembangan terakhir dari dunia. Saya yakin bahwa Pancasila akan memungkinkan

cclix
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghadapi hari kemudian dengan kesegaran dan
kepercayaan. Akhimya, saya yakin bahwa diterimanya Pancasila sebagai dasar piagam, akan
menyebabkan piagam ini akan diterima lebih ikhlas oleh semua anggota, baik yang lama maupun
yang baru.
Saya akan ajukan satu soal lagi dalam hubungan ini. Adalah suatu kehormatan besar bagi suatu
negara bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa berkedudukan di dalam wilayah-nya. Kita semua
benar-benar bersyukur bahwa Amerika Serikat telah memberi tempat yang tetap bagi Organisasi
kita. Tetapi, mungkin dapat dipersoalkan apakah itu memang tepat.
Dengan segala hormat, saya kemukakan bahwa itu mungkin tidak tepat. Bahwasanya kedudukan
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam wilayah salah satu negara yang ter-kemuka dalam Perang
Dingin, berarti Perang Dingin telah merembes bahkan sampai ke pekerjaan dan administrasi
serta rumah tangga Organisasi kita ini. Sedemikian luasnya perembesan itu, sehingga hadirnya
pemimpin suatu bangsa yang besar dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa ini saja sudah
menjadi persoalan Perang Dingin dan senjata perang Dingin, serta alat untuk mempertajam cara
kehidupan yang berbahaya serta sia-sia itu.
Marilah kita tinjau apakah tempat kedudukan Organisasi kita tidak perlu dipindahkan dari
suasana Perang Dingin. Marilah kita tinjau apakah Asia atau Afrika atau Jenewa akan dapat
memberi tempat yang permanen kepada kita, yang jauh dari Perang Dingin, tidak terikat pada
salah satu block dan di mana para Delegasi dapat bergerak dengan leluasa dan bebas sekehendak
mereka. Dengan demikian, mungkin akan diperoleh pengertian yang lebih luas tentang dunia dan
masalah-masahnya.
Saya yakin, bahwa suatu negara Asia atau Afrika, mengingat akan keyakinan dan
kepercayaannya, dengan senang akan menunjukkan kemurahan hatinya kepada Perserikatan
Bangsa-Bangsa, mungkin dengan menyediakan suatu daerah yang cukup luas, di mana
Organisasi itu sendiri akan berdaulat dan di mana perundingan-perundingan yang penting bagi
pekerjaan vital itu dapat dilaksanakan secara aman dan dalam suasana persaudaraan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak lagi merupakan badan seperti yang menandatangai Piagam
lima belas tahun yang lalu. Dunia ini pun tidak sama dengan yang dahulu. Mereka yang dengan
kebijaksanaan berjerih payah untuk menghasilkan Piagam Organisasi ini, tidak dapat menyangka
akan terjelmanya bentuk yang sekarang ini. Di antara orang-orang yang bijaksana dan jauh
pandangannya itu, hanya beberapa yang sadar, bahwa akhir imperialisme sudah tampak dan

cclx
bahwa bila Organisasi ini harus hidup terus, maka ia mesti memberi kemungkinan kepada
bangsa-bangsa baru dan bangsa-bangsa yang lahir kembali untuk masuk beramai-ramai,
berduyun-duyun dan bersemangat.
Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa seharusnya ialah me-mecahkan masalah-masalah. Untuk
menggunakannya sebagai forum perdebatan belaka, atau sebagai saluran propaganda, atau
sebagai sambungan dari politik dalam negeri, berarti memutar-balikkan cita-cita mulia yang
seharusnya meresap di dalam badan ini.
Pergolakan-pergolakan kolonial, perkembangan yang cepat dari daerah-daerah yang belum maju
di lapangan teknis, dan masalah perlucutan senjata, semuanya merupakan masalahmasalah yang
tepat dan mendesak untuk kita pertimbangkan dan musyawarahkan. Akan tetapi, telah menjadi
jelas, bahwa masalah-masalah yang vital ini tidak dapat dibicarakan secara memuaskan oleh
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sekarang ini. Sejarah badan ini menunjukkan
kebenaran yang menyedihkan dan yang jelas daripada apa yang telah saya katakan.
Sungguh tidak mengherankan bahwa demikianlah jadinya. Kenyataannya ialah bahwa Organisasi
kita mencerminkan dunia tahun Sembilanbelas Empatpuluh Lima, dan bukan dunia zaman
sekarang. Demikianlah halnya dengan semua badan-badannya kecuali satu-satunya Majelis yang
agung ini – dan dengan semua Lembaga-lembaganya.
Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan – badan yang terpenting itu – mencerminkan peta
ekonomi, militer dan kekuatan daripada dunia tahun Sembilanbelas Empatpuluh Lima, ketika
Organisasi ini dilahirkan dari inspirasi dan angan-angan yang besar. Demikian pula halnya
dengan sebagian besar daripada Lembaga-lembaga lainnya. Mereka itu tidak men-cerminkan
bangkitnya negara-negara Sosialis ataupun ber-kembangnya dengan cepat kemerdekaan Asia dan
Afrika.
Untuk memodrnisir dan membuat efisien Organisasi kita, barangkali juga Sekretariat di bawah
pimpinan Sekretariat Jenderalnya, mungkin membutuhkan peninjauan kembali. Dengan me-
ngatakan demikian, saya tidak – sama sekali tidak – mengkritik atau mencela dengan cara
apapun Sekretaris Jenderal yang sekarang, yang senantiasa berusaha, dalam keadaan-keadaan
yang tak dapat diterima lagi, melakukan tugasnya dengan baik, yang kadang-kadang tampaknya
tidak mungkin dilaksanakan.
Jadi, bagaimanakah mereka bisa efisien? Bagaimanakah anggota-anggota kedua golongan dalam
dunia ini – yakni golongan-golongan yang merupakan suatu kenyataan dan yang harus diterima –

cclxi
bagaimanakah anggota-anggota kedua golongan itu bisa merasa tenang di dalam Organisasi ini
dan mempunyai kepercayaan penuh yang diperlukan terhadapnya.
Sejak perang kita telah menyaksikan tiga gejala-gejala besar yang permanen.
Pertama ialah bangkitnya negara-negara Sosialis. Hal ini tidak disangka dalam tahun
Sembilanbelas Empatpuluh Lima. Kedua ialah gelombang besar daripada pembebasan nasional
dan emansipasi ekonomi yang melanda Asia dan Afrika serta saudara-saudara kita di Amerika
Latin. Saya kira bahwa hanya kita, yang langsung terlibat di dalamnya dapat menduganya.
Ketiga ialah kemajuan ilmiah besar, yang semua bergerak di lapangan persenjataan dan
peperangan, akan tetapi yang dewasa ini berpindah ke lapangan rintangan dan perbatasan ruang
angkasa. Siapakah yang dapat meramalkannya ketika itu?
Benar, Piagam kita dapat dirubah. Saya menyadari, bahwa ada prosedur untuk melakukan hal ini
dan akan tiba waktunya ini dapat dilakukan. Akan tetapi persoalan ini mendesak.
Hal ini mungkin merupakan persoalan mati atau hidup bagi Perseriakatn Bangsa-Bangsa.
Janganlah sampai pandangan legalistik yang picik dapat menghalangi dikerjakannya usaha itu
dengan segera.
Adalah sama pentingnya bahwa pembagian kursi dalam Dewan Keamanan dan badan-badan
serta lembaga-lembaga lainnya harus dirubah. Dalam hal ini saya tidak berpikir dalam istilah
blok-blokan, tetapi saya memikirkan betapa sangat perlunya Piagam dari Perserikatan Bangsa
Bangsa, dari badan-badan Perseriakatan Bangsa-Bangsa dan Sekretariat Perserikatan Bangsa-
Bangsa, semuanya itu mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari dunia kita sekarang ini.
Kami dari Indonesia memandang Organisasi ini dengan harapan yang besar, tetapi juga dengan
kekhawatiran yang besar. Kami memandangnya dengan harapan besar, karena pernah berfaedah
bagi kami dalam perjuangan untuk kehidupan nasional kami. Kami memandangnya dengan
harapan besar, karena kami percaya bahwa hanya organisasi semacam inilah dapat memberikan
rangka bagi dunia yang sehat dan aman sebagaimana kami rindukan.
Kami memandangnya dengan kekhawatiran besar, karena kami telah mengajukan suatu masalah
nasional yang besar, masalah Irian Barat, ke hadapan Majelis ini, dan tiada suatu penyelesaian
dapat dicapai. Kami memandangnya dengan kekhawatiran, karena Negara-negara Besar di dunia
telah memasukkan permainan Perang Dingin mereka yang berbahaya itu ke dalam ruangan-
ruangannya.

cclxii
Kami memandangnya dengan kekhawatiran, kalau-kalau Majelis ini akan menemui kegagalan
dan akan mengikuti jejak organisasi yang digantikannya, dan dengan demikian melenyap-kan
dari pandangan mata umat manusia suatu gambaran daripada suatu masa depan yang aman dan
bersatu.
Marilah kita hadapi kenyataan bahwa Organisasi ini, dengan cara-cara yang dipergunakannya
sekarang ini dan dalam bentuknya sekarang, adalah suatu hasil sistem Negara Barat. Maafkan
saya, tetapi saya tidak menjunjung tinggi sistem itu. Bahkan saya tidak dapat memandangnya
dengan rasa kasih, meskipun saya sangat menghargainya.
Imperialisme dan kolonialisme adalah buah dari sistem Negara Barat itu, dan seperasaan dengan
mayoritet yang luas daripada Organisasi ini, saya benci imperialisme, saya jijik pada
kolonialisme, dan saya khawatir akan akibat-akibat perjuangan hidupnya yang terakhir yang
dilakukan dengan sengitnya. Dua kali di dalam masa hidup saya sendiri, sistem Negara Barat itu
telah merobek-robek dirinya sendiri dan pernah hampir saja menghancurkan dunia dalam suatu
bentrokan yang sengit.
Herankah tuan-tuan, bahwa hanya di antara kami me-mandang Organisasi yang juga merupakan
hasil sistem negara Barat itu dengan penuh pertanyaan? Janganlah tuan-tuan salah mengerti.
Kami menghormati, dan mengagumi sistem itu. Kami telah diilhami oleh kata-kata Lincoln dan
Lenin, oleh perbuatan-perbuatan Washington dan oleh perbuatan-perbuatan Garibaldi. Bahkan,
mungkin, kami melihat dengan irihati kepada beberapa di antara hasil-hasil fisik yang dicapai
oleh Barat. Tetapi kami bertekad bahwa bangsa-bangsa kami, dan dunia sebagai keseluruhan,
tidak akan menjadi permainan dari suatu bagian kecil dari dunia.
Kami tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal; kami berusaha membangun suatu
dunia yang baru, yang lebih baik!
Kami berusaha membangun suatu dunia yang sehat dan aman. Kami berusaha membangun suatu
dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha membangun suatu
dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang. Kami berusaha
membangun suatu dunia, di mana kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya yang penuh.
Telah dikatakan bahwa kita hidup di tengah-tengah suatu Revolusi Harapan Yang Meningkat. Ini
tidak benar! Kita hidup di tengah-tengah Revolusi Tuntutan Yang Meningkat. Mereka yang
dahulunya tanpa kemerdekaan, kini menuntut kemerdeka-an. Mereka yang dahulunya tanpa
suara, kini menuntut, agar suaranya didengar.

cclxiii
Mereka yang dahulunya kelaparan, kini menuntut beras, banyak-banyak dan setiap hari. Mereka
yang dahulunya buta huruf, kini menuntut pendidikan.
Seluruh dunia ini merupakan suatu sumber-sumber tenaga Revolusi yang besar, suatu gudang
mesiu revolusioner yang besar.
Tidak kurang dari tiga per empat umat manusia terlibat di dalam revolusi Tuntutan Yang
Meningkat, dan ini adalah Revolusi Mahahebat sejak manusia untuk pertama kalinya berjalan
dengan tegak di suatu dunia yang murni dan menyenangkan.
Berhasil atau gagalnya Organisasi ini akan dinilai dari hubungannya dengan Revolusi Tuntutan
Yang Meningkat itu. Generasi-generasi yang akan datang akan memuji atau mengutuk kita atas
jawaban kita terhadap tantangan ini.
Kita tidak berani gagal. Kita tidak berani membelakangi sejarah. Jika kita berani, kita sungguh
tidak akan tertolong lagi. Bangsa saya bertekad tidak akan gagal. Saya tidak berbicara kepada
tuan-tuan karena lemah; saya berbicara karena kuat. Saya sampaikan kepada tuan-tuan salam
dari sembilan puluh juta rakyat dan saya sampaikan kepada tuan-tuan tuntutan bangsa itu. Kita
mempunyai kesempatan untuk bersama-sama membangun suatu dunia yang lebih baik, suatu
dunia yang lebih aman. Kesempatan ini mungkin tidak akan ada lagi. Maka peganglah,
genggamlah kuat-kuat dan pergunakanlah kesempat-an itu.
Tidak seorang pun yang mempunyai kemauan baik dan kepribadian, akan menolak harapan-
harapan dan keyakinankeyakinan yang telah saya kemukakan atas nama bangsa saya, dan
sesungguhnya atas nama seluruh umat manusia. Maka marilah kita berusaha, sekarang juga
dengan tidak menunda lagi, mewujudkan harapan-harapan itu menjadi kenyataan.
Sebagai suatu langkah praktis ke arah ini, maka merupakan kehormatan dan tugas bagi saya
untuk menyampaikan suatu Rancangan Resolusi kepada Majelis Umum ini.
Atas nama Delegasi-delegasi Ghana, India, Republik Persatuan Arab, Yugoslavia dan Indonesia,
saya sampaikan dengan ini resolusi sebagai berikut.
 
“MAJELIS UMUM,
“MERASA SANGAT CEMAS berkenaan dengan memburuknya hubungan-hubungan
internasional akhir-akhir ini, yang mengancam dunia dengan konsekuensi-konsekuensi berat;
“MENYADARI harapan besar dari dunia ini bahwa Majelis ini akan membantu dalam menolong
mempersiapkan jalan ke arah keredaan ketegangan dunia;

cclxiv
“MENYADARI tanggung jawab yang berat dan mendesak yang terletak di atas bahu
Perserikatan Bangsa Bangsa, untuk mengambil inisiatif dalam usaha-usaha yang dapat
membantu;
“Minta sebagai langkah pertama yang mendesak, agar Presiden Amerika Serikat dan Ketua
Dewan Menteri Uni Republik Republik Sovyet Sosialis memenuhi kembali kontak-kontak
mereka yang telah terputus baru-baru ini, sehingga kesediaan yang telah mereka nyatakan untuk
mencari dengan perundingan-perundingan pemecahan masalah-masalah yang terkatung-katung,
dapat dilaksanakan secara progresif’.
Tuan Ketua, perkenankan saya memohon, atas nama delegasi-delegasi ke lima negara tersebut di
atas, supaya Resolusi ini mendapat pertimbangan Tuan yang segera. Sepucuk surat dengan
maksud itu, ditandatangani oleh para Ketua delegasi-delegasi dari Ghana, India, Republik
Persatuan Arab, Yugoslavia dan Indonesia, telah disampaikan kepada Sekretariat.
Saya sampaikan Rancangan Resolusi ini atas nama ke lima Delegasi itu dan atas nama jutaan
rakyat yang hidup di negaranegara itu.
Menerima Resolusi ini merupakan suatu langkah yang mungkin dan langsung dapat
diselenggarakan. Maka hendaknya Majelis Umum ini menerima Resolusi ini secepat-cepatnya.
Marilah kita mengambil langkah praktis itu ke arah peredaan ketegangan dunia yang
membahayakan. Marilah kita menerima Resolusi ini dengan suara bulat, sehingga segenap
tekanan dari kepentingan dunia dapat dirasakan. Marilah kita mengambil langkah pertama ini,
dan marilah kita bertekad untuk melanjut-kan kagiatan dan desakan kita sampai tercapainya
dunia yang lebih baik dan lebih aman seperti yang kita bayangkan.
lngatlah apa yang terjadi sebelumnya. Ingatlah akan perjuangan dan pengorbanan yang dialami
oleh kami, anggota-anggota baru dari Organisasi ini. Ingatlah bahwa usaha keras kita telah
disebabkan dan diperpanjang oleh penolakan dasar-dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami
bertekad agar hal itu tidak akan terjadi lagi.
Bangunlah dunia ini kembali! Bangunlah dunia ini kokoh dan kuat dan sehat! Bangunlah suatu
dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan. Bangunlah dunia yang sesuai
dengan impian dan cita-cita umat manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau,
karena fajar sedang menyingsing. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, sehingga
kita bisa mempertanggungjawabkan diri terhadap masa depan.

cclxv
Saya memanjatkan do’a hendaknya Yang Maha Kuasa memberi Rahmat dan Bimbingan kepada
Permusyawaratan Majelis ini.
 
Terima kasih!
 

cclxvi
DI ATAS DASAR PANCASILA RAKYAT INDONESIA TETAP BERSATU PADU
Amanat Presiden Soekarno
Pada Peringatan Hari Lahirnya Pancasila
Di Gedung Departemen Luar Negeri
Tanggal 1 Juni 1964
 
Saudara-saudara sekalian,
Pada saat sekarang ini saya berdiri di sini di hadapan saudara-saudara sekalian, di tengah-tengah
hiasan-hiasan yang amat  mengagumkan  dalam suasana, yang bagi saya sendiri amat
mengharukan. Malahan sesudah saya mendengar pidato-pidato tadi – terutama sekali pidato dari
Saudara Subandrio – saya menanya kepada diri saya sendiri. Ada apa dengan diriku sekarang ini.
What is the matter with me? Sebab sebenarnya segala sesuatu yang terjadi sekarang mengenai
diri saya, tidak saya duga-duga lebih dahulu.
Saudara Subandrio tadi pagi saya tanya, apa sebab saudara mengadakan peringatan Lahirnya
Pancasila, sesudah Pancasila itu berumur 19 tahun? Pertanyaan itu tadi telah dijawab pula oleh
Saudara Subandrio saat membuka peringatan pada malam ini. Diakui oleh beliau, bahwa angka
19 adalah angka yang aneh, katakanlah angka sembarangan. Sehingga saudara-saudara mengerti
bahwa saya sendiri tatkala diberi tahu oleh saudara Subandrio, bahwa akan diadakan satu
peringatan besar-besaran Lahirnya Pancasila, saya agak keheran-heranan.
Malahan tatkala saya mendengar pidato-pidato tadi, saya menanya kepada diri saya sendiri what
is the matter with me? Sebab pembicara-pembicara tadi semuanya menyatakan terima kasih
kepada saya. Bahkan nada yang terkandung di dalam ucapan-ucapan pembicara tadi ialah nada
mengagungkan kepada saya. What is the matter with me? Kenapa diucapkan terima kasih kepada
saya? Kenapa saya diagung-agungkan?
Padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar
penggali Pancasila dari bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya
gali itu saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan,
bahwa sebenarnya hasil – atau lebih tegas penggalian dari Pancasila ini – adalah pemberian
Tuhan kepada saya.
Tadi Bapak Suroso memakai perkataan ’wahyu’. Dikatakan bahwa saya mendapat wahyu, yang
dengan wahyu itu saya kemukakan Pancasila. Saudara Suroso, lebih dahulu saya dengan

cclxvii
kerendahan hati mau mengatakan kepada Saudara, bahwa saya tidak pernah mendapat wahyu.
Wahyu hanyalah Nabi-nabi yang memperolehnya. Saya bukan Nabi, saya seorang manusia biasa.
Tetapi syukur alhamdulillah. Ada lagi pembicara tadi memakai perkataan ilham. Ya, benar, saya
memang mendapat ilham dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagaimana tiap-tiap manusia jikalau
ia benar-benar memohon kepada Allah s.w.t. diberi ilham oleh Allah s.w.t. itu.
Di dalam salah satu pidato di Senayan tempo hari, pernah saya ceritakan, pada suatu malam yang
sunyi-senyap, yang keesokan harinya saya diharuskan pidato dalam Dokuritsu  Zyunbi
Tyoosakai – yaitu Badan Penyelidik Kemerdekaan – di gedung yang di belakang saya ini.
Sesudah Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu bersidang beberapa hari lamanya, sesudah berpuluh-
puluh anggota dari Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu berpidato, akhirnya datanglah giliran saya.
Ditentukan oleh Ketua dari Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu, bahwa saya ke-esokan harinya akan
mendapat giliran berbicara. Berbicara memberi jawaban atas pertanyaan, apakah dasar yang
hendak kita pergunakan untuk meletakkan negara Indonesia Merdeka di atasnya.
Di dalam pidato beberapa waktu lalu di Senayan itu, saya telah ceritakan, pada satu malam –
tengah-tengah malam yang keesokan harinya saya diharuskan mengucapkan pidato – saya keluar
dari rumah Pegangsaan Timur 56  yang sekarang tempat dari Gedung Pola. Saya ke luar di
malam yang sunyi itu dan saya menengadahkan wajah saya ke langit, dan saya melihat bintang
gemerlapan ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu. Dan di situlah saya merasa kecilnya manusia,
disitulah saya merasa-kan daifnya  aku ini, di situlah aku merasa pertanggungan jawab yang
amat berat dan besar diletakkan di atas pundak saya, oleh karena keesokan harinya saya harus
mengemukakan usul saya tentang hal dasar apa negara Indonesia Merdeka harus memakai.
Pada saat itu dengan segenap kerendahan hati saya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, –
“Ya Allah, ya Robbi, berikanlah petunjuk kepadaku. Berikanlah petumjuk apa yang besok pagi
akan kukatakan, sebab Engkaulah ya Tuhanku, mengeri bahwa apa yang ditanyakan kepadaku
oleh Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu bukan barang yang remeh, yaitu dasar daripada
Indonesia Merdeka. Dasar daripada satu negara yang telah diperjuangkan oleh seluruh Rakyat
Indonesia berpuluh-puluh tahun dengan segenap penderitaannya, yang penderitaan-penderitaan
itu aku sendiri telah melihatnya. Dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang menjadi salah
satu unsur daripada Amanat Penderitaan Rakyat. Aku, ya Tuhan telah Engkau beri kesempatan
melihat penderitaan-penderitaan rakyat untuk mendatangkan Negara Indonesia yang merdeka itu.
Aku melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara. Aku

cclxviii
melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia punya harta benda untuk
tercapainya cita-cita itu. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang
penggantungan. Bahkan pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan
harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan kepada saya
sebagai berikut: ’Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan
kita ini’. Ya Tuhan, ya Allah, ya Robbi, berilah petunjuk kepadaku, sebab besok pagi aku harus
memberi jawaban atas pertanyaan yang maha penting ini!”
Saudara-saudara, setelah aku mengucapkan doa kepada Tuhan ini, saya merasa mendapat
petunjuk. Saya merasa mendapat ilham. Ilham yang berkata, ”Galilah apa yang hendak engkau
jawabkan itu dari bumi Indonesia sendiri.” Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam
ingatanku, menggali di dalam ciptaanku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di
dalam bumi Indonesia ini, agar supaya hasil dari penggalian itu dapat dipakainya sebagai dasar
daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan datang. Sebab, bahwa akan datang Indonesia
Merdeka, tidak ada seorangpun bisa mem-bantahnya. Tidak ada seorangpun yang mengetahui
jalannya sejarah. Tidak dapat dibantah, bahwa suatu hari akan datang yang Indonesia akan
menjadi merdeka.
Berulang-ulang kukatakan di dalam pidato-pidatoku sebelum saat ini, bahwa kedatangan
Indonesia Merdeka adalah pasti, pasti, sebagaimana matahari terbit pada tiap pagi. Dan aku telah
berkata, siapa yang bisa menahan jalannya matahari, dialah akan bisa menahan datangnya
Indonesia Merdeka.
Malah, saudara-saudara, keyakinana ini sudah saya ucap-kan dalam tahun 1929. Malah ucapan
inilah yang menjadi sebab saya ditangkap oleh pihak Belanda, dilemparkan ke dalam penjara,
ucapan yang berbunyi: ”Nanti tidak lama lagi – tidak lama lagi sepanjang sejarah – akan pecah
satu peperangan besar yang dinamakan Perang Pasifik. Dan di dalam perang Pasifik itu
Indonesia akan merdeka.” Itu saya ucapkan dalam tahun 1929, saudara-saudara. Dan oleh
karena ucapan inilah saya ditangkap, dituntut di muka pengadilan, dijatuhi vonis, dilemparkan ke
dalam penjara, sehingga, sebagai saya katakan tadi, adalah satu keyakinan bagi saya, yakin ilmul
yakin, ainul yakin, hakkul yakin, bahwa Indonesia pasti akan merdeka.
Nah, saudara-saudara, pada waktu itu memang, saudara-saudara, fajar telah menyingsing. Itu pun
telah kukatakan pada waktu bulan Mei tahun 1945, bulan Mei saudara-saudara, fajar telah
menyingsing. Tidak lama lagi matahari Indonesia Merdeka akan terbit. Sudah, malam sebelum 1

cclxix
Juni, saudara-saudara, saya menekukkan lutut ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’allah di kebun
Pegangsaan Timur 56, di belakang gedung yang sekarang bernama Gedung Pola, memohon
petunjuk daripada Tuhan. Dan Tuhan memberi ilham: Galilah sendiri di dalam bumi Indonesia,
di dalam kalbunya rakyat Indonesia, dan engkau akan mendapat apa yang harus dijadikan dasar
bagi Negara merdeka yang akan datang.
Keesokan harinya, saudara-saudara, saya ucapkan pidato di gedung belakang ini, di gedung yang
bagi saudara-saudara adalah di hadapan saudara-saudara – disaksikan oleh banyak anggota-
anggota lain daripada Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, disaksikan oleh opsir-opsir balatentara
Jepang, dijaga oleh serdadu-serdadu Jepang yang bersenjatakan bayonet. Saya sadar, saudara-
saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya
bagi diriku, sebab ini adalah jaman perang, kita pada waktu itu di bawah ke-kuasaan imperialis
Jepang, tetapi juga pada waktu itu, saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang
pemimpin. Kerja-kanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan
akibatnya.
Kemudian di Bogor, saudara-saudara, tatkala saya memberi amanat kepada perwira-perwira
sarjana hukum daripada empat Angkatan Bersenjata kita, Angkatan Darat, Angkatan Udara,
Angkatan Laut, Angkatan Kepolisian – dan perwira-perwira sarjana hukum yang menghadap
saya di Bogor dan mereka minta amanat, kemarin saya ucapkan, kemarin juga saya ucapkan
kembali apa yang saya ucapkan kepada diriku sendiri pada pagi hari tanggal 1 Juni 1945, yaitu
ajaran yang diberikan oleh Sri Krisna kepada Arjuna yang terulis di dalam Bhagawat Gita. Sri
Krisna berkata kepada Arjuna, “Kerjakan kewajibanmu, jalankan tugasmu, tanpa mengjiting-
hitung akan akibatnya. Karmanye fadikaraste temapalesyu kadattjhana, artinya, kerja-kanlah
kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akan akibatnya. Saya pada waktu itu berkata pula kepada
diriku sendiri, pagi-pagi nian 1 Juni 1945: Soekarno, karmanye fadikaraste temafalesyu
kadattjhana, kerjakan kewajibanmu tanpa meng-hitung-hitung akan akibatnya. Dan kira-kira
pukul 10 pagi, saudara-saudara, pada waktu itu saya mengucapkan pidato yang saudara-saudara
semuanya kenal dengan nama, judul ”Lahirnya Pancasila”.
Sekarang, saudara-saudara mengadakan peringatan ini dan pada saat saya berhadapan dengan
saudara-saudara, saya menanya kepada diriku sendiri, what happens with me? What is the matter
wiht me? Karena orang menyatakan terima kasih kepadaku, orang mengagung-agungkan akan
daku, pada hal aku bukan pencipta dari Pancasila, pada hal aku mengeluarkan galian Pancasila

cclxx
itu karena malamnya aku memohon kerpada Allah Subhanahu wa ta’allah. Bukan Soekarno yang
mengada-kan Pancasila, tetapi ialah sebenarnya pemberian daripada Allah Subhanahu wa ta’alla
sebagai ilham kepada Soekarno. Marilah kita semuanya mengucapkan terima kasih kepada Allah
Subhanahu wa ta’alla.
Saudara-saudara, kedua kalinya, what is the matter with me, kok sekarang ini saya diagung-
agungkan, bukan hanya pada hari Lahirnya Pancasila, notabene yang kesembilanbelas, meng-
agung-agungkan  kepada saya, tetapi juga tahun ini, nanti Insya Allah  tanggal 6 Juni yang
terkenal sebagai hari lahirnya Soekarno, orang mau mengadakan perayaan-perayaan yang maha
hebat. Dari kanan, dari kiri, dari muka, dari belakang, dari mana-mana saya mendapat
permintaan agar supaya saya suka menerima persembahan-persembahan pada hari nanti 6 Juni
1964, persembahan yang berupa macam-macam hal. Ada yang berupa tari-tarian, ada yang akan
berupa nyanyian-nyanyian kanak-kanak, ada yang akan berupa hadiah-hadiah yang amat
berharga. What is the matter with me? Kenapa tahun-tahun yang dulu tidak? Bukan saya minta
tahun-tahun yang dulu itu, tidak, tetapi kenapa sekonyong-konyong tahun ini orang hendak
mengadakan peringatan hari ulang tahun Bung Karno dengan cara yang demikian hebatnya?
Kenapa tahun ini orang mem-peringati hari Lahirnya Pancasila, kenapa tahun ini orang
mengagung-agungkan namanya Soekarno sebagai pencipta daripada Pancasila. What is the
matter with me?
Mengenai hari ulang tahun saya yang akan datang, jikalau dikaruniai Tuhan, saudara-saudara –
sebab mati-hidup manusia ada di tangan Tuhan – saya hendak berkata sebagai berikut: Saya
terima segala pernyataan cinta kepada saya yang akan berupa hadiah atau nyanyian-nyanyian
atau kesenian-kesenian yang hendak dipersembahkan kepada saya pada nanti hari 6 Juni 1964.
Saya mengucap terima kasih dan saya mengatakan Insya Allah akan saya terima. Tetapi saudara-
saudara, Insya Allah pula, pada tanggal 6 Juni yang akan datang itu saya tidak ada di Jakarta.
Saudara-saudara barangkali mengetahui, bahwa telah tercapai persetujuan antara Tengku Abdul
Rahman dengan Presiden Soekarno untuk bertemu satu sama lain, mengadakan perundingan satu
dengan yang lain. Dan itu adalah satu hal yang sangat penting, saudara-saudara. Maka menurut
rancangan, saya Insya Allah akan meninggalkan tanah air nanti pada tanggal 5 Juni, sehingga
pada tanggal 6 Juni itu saya tidak ada ditengah-tengah saudara-saudara. Saya akan meninggalkan
tanah air untuk membela tanah air Indonesia. Saya akan meninggalkan tanah air untuk berjuang

cclxxi
mati-matian untuk membela Indonesia. Saya akan meninggalkan tanah air untuk mengemban
Amanat Penderitaan Rakyat.
Dalam pada saya mengucap terima kasih atas maksud dan niat yang baik daripada banyak
golongan untuk merayakan hari ulang tahunku pada tanggal 6 Juni yang akan datang ini dengan
cara yang sehebat-hebatnya, dalam mengucapkan terima kasih itu, saya mohon kepada seluruh
rakyat Indonesia doa restu, supaya saya di luar negeri di dalam berhadapan muka dengan wakil-
wakil daripada neo-kolonialis ”Malaysia” bisa memper-tegakkan kemerdekaan dan kepentingan
Republik Indonesia dengan cara yang sebaik-baiknya. Nanti jikalau dikehendaki Tuhan, saya
kembali lagi ke tanah air dengan membawa hasil yang baik, pada waktu itulah segala
persembahan-persembahan, entah yang berupa kesenian, entah yang berupa apapun akan bisa
saya terima. Saudara-saudara, maka kita sekarang ini berjalan terus, berjalan terus dengan
semboyan yang saudara-saudara sudah kenal satu sama lain: Onward, ever onward, no retreat.
Dan saya bisa mengatakan semboyan ini: Onward, ever onward, never retreat, oleh karena saya
tahu bahwa seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke berdiri di belakang saya,
saudara-saudara. Sudah terbukti bahwa Pancasila yang saya gali dan saya persembahkan kepada
rakyat Indonesia, bahwa Pancasila itu adalah benar-benar satu dasar yang dinamis, satu dasar
yang benar-benar dapat meghimpun segenap tenaga rakyat Indonesia, satu dasar yang benar-
benar dapat memper-satukan rakyat Indonesia itu untuk bukan saja mencetuskan revolusi, tetapi
juga menegakkan revolusi ini dengan hasil yang baik.
Jikalau aku pergi keluar negeri untuk mengadakan pem-bicaraan dengan Tengku Abdul Rahman
Putra, maka aku adalah sebenarnya utusan, wakil daripada revolusi Indonesia. Dan Tengku boleh
tahu, revolusi Indonesia itu bukan revolusinya Soekarno, tetapi revolusi daripada seluruh Rakyat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Ever onward, no retreat! Sejak tahun 1929 saya berkata, matahari akan terbit. Mei 1945 saya
telah berkata, fajar telah menyingsing. Demikian pula saya sekarang berkata, matahari telah
tinggi dan matahari telah mencapai puncak kejayaan dan kebahagiaan daripada rakyat Indonesia.
Mari kita berjalan terus.
Saya mengucap beribu-ribu terima kasih kepada segenap rakyat Indonesia atas peringatan
Lahirnya Pancasila ini. Peringatan ini, saudara-saudara, saya terima dan lebih-lebih saya terima
peringatan ini sebagai pernyataan daripada seluruh rakyat Indonesia, bahwa di atas dasar
Pancasila itu rakyat Indonesia akan tetap bersatu padu, tetap berjalan sebagai satu laskar, satu

cclxxii
barisan yang maha kuat, satu banjir yang maha sakti, banjir daripada revolusi Indonesia yang
sebenarnya adalah sebagian daripada Revolution of Mankind.
Mari kita berjalan terus, terus! Onward, ever onward, never retreat.
 
Insya Allah, kita pasti menang!

cclxxiii

Anda mungkin juga menyukai