Anda di halaman 1dari 213

Pancasila Bung Karno

Pancasila
Bung Karno

HIMPUNAN PIDATO, CERAMAH,


KURSUS DAN KULIAH

THE SOEKARNO FOUNDATION

DAFTAR ISI

1. Lahirnya Pancasila
2. Anjuranku Kepada Segenap Bangsa Indonesia
3. Apa Sebab Revolusi Kita Berdasar Pancasila
4. Tidak Ada Kontra Revolusi Bisa Bertahan
5. Pancasila Dasar Negara 1
6. Pancasila Dasar Negara 2
7. Pancasila Dasar Negara 3
8. Pancasila Dasar Negara 4
9. Pancasila Dasar Negara 5
10. Pancasila Membuktikan Dapat Mempersatukan Bangsa Indonesia
11. Revolusi Kita Berdasarkan Pancasila
12. Kuliah Umum Presiden Soekarno di Depan Mahasiswa dan Peserta Seminar Pancasila
13. Membangun Dunia Kembali (To Build The World Anew)
14. Diatas Dasar Pancasila Rakyat Indonesia Tetap Bersatu

Keterangan:
Topik-topik kami susun berdasar urutan waktu, sebab dalam memberikan uraian dan
penjelasannya, Bung Karno hampir selalu mengkaitkannya dengan konteks atau situasi dan
kondisi tanah air dan dunia pada saat itu.

P E N G A N T A R

BUKU
PANCASILA BUNG KARNO

Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasific, penjajah Jepang berusaha menarik simpati
dan dukungan rakyat Indonesia dengan janji akan memberikan kemerdekaan di kelak
kemudian hari. Dan untuk itu dibentuk dan kemudian disyahkan berdirinya BPUPKI ( Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) atau Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai pada tanggal 28 Mei 1945.
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) itu mengadakan
sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei s/d 1 Juni 1945, dengan acara tunggal menjawab
pertanyaan ketua badan tersebut Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat :
Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti,

d a s a r n y a a p a ? .

Menjawab pertanyaan itu hampir separo dari anggota BPUPKI sekitar 30 orang ,
menyampaikan pandangan-pandangan dan pendapatnya. Namun belum ada satu pun yang
mengutarakan pandangan yang memenuhi syarat suatu sistem filsafat dasar untuk di atasnya
dibangun Indonesia Merdeka.
Jam 10.00 pagi tanggal 1 Juni 1945, barulah Bung Karno mendapatkan gilirannya.
Disampaikannya gagasannya dalam suatu pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis
terlebih dahulu tentang Dasar Negara Indonesia Merdeka, yang dinama-kannya Pancasila.
Pidato Pancasila Bung Karno yang ditawarkannya sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka
itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai dengan tepuk
tangan riuh-rendah yang panjang di akhir pidato itu.
Dan selanjutnya BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia ) membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang
Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dari Panitia Kecil yang semula
terdiri dari 8 orang, dengan beberapa perubahan dan penambahan, akhirnya menjadi Panitia
Sembilan yang terdiri dari :

Ir. Soekarno,
Drs. Mohammad Hatta,
Mr. A. A. Maramis,
Abikusno Tjokrosujoso,
Abdulkahar Muzakir.
H. A. Salim,

Mr. Achmad Subardjo,


Wachid Hasjim,
Mr. Muhammad Yamin.

Panitia Sembilan ini bertugas: Merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara
berdasar pidato yang diucap-kan Bung Karno pada tanggal 1 J u n i 1 9 4 5 , dan
menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasi-kan kemerdekaan Indonesia.
Hasilnya adalah P i a g a m J a k a r t a
atau J a k a r t a C h a r t e r
yang ditandatangani di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Dengan membuang tujuh kata dalam Mukadimah yang berbunyi dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya , dalam sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945,
dokumen itu dijadikan Preambule atau Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang sekaligus berlaku sebagai Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.
Pada pokoknya, akhirnya Pancasila hasil galian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan
secara padat dan indah dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan yang pada tanggal 18 Agustus 1945 disyahkan dan
sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka
Bangsa Indonesia patut bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa pidato Bung
Karno itu ada catatan stenografisnya secara lengkap, dan bahwa catatan itu bisa tetap selamat
dan aman, meskipun keadaan di akhir pendudukan Jepang dan permulaan perang
kemerdekaan menghadapi usaha kembalinya kolonialis Belanda itu sangatlah sulit dan berat.
Catatan stenografis pidato Lahirnya Pancasila tersebut, pada tahun 1947 diterbitkan oleh
Oesaha Penerbitan Goentoer, Jogyakarta, dengan kata pengantar dari orang yang mengikuti
dan mendengar sendiri diucapkannya pidato itu, yaitu Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai: Dr.
K. R. T. Radjiman Wedyo-diningrat.
Setelah Proklamasi dan dicapai kemerdekaan, Bung Karno terpilih menjadi Presiden Repulik
Indonesia, dan Pancasila yang dicetuskannya itu ditetapkan sebagai Falsafah Bangsa dan
Dasar Negara Republik Indonesia dengan mengabadikannya dalam Pembukaan (Preambule)
Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai presiden dari suatu negara baru yang lahir ditengah-tengah kancahnya api
peperangan yang dahsyat kala itu, Bung karno masih harus terus memimpin perjuangan untuk
mewujudkan dan menyempurnakan kemerdekaan bangsanya yang telah lama dicitacitakannya.
Dalam kedudukan sebagai pemimpin perjuangan bangsa-nya, baik dalam perjuangan tahap
phisik tahun 1945 s/d 1949, sebagai presiden negara federal Republik Indonesia Serikat dari
bulan Januari s/d Agustus tahun 1950, maupun sebagai presiden stempel Negara Kesatuan
Republik Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar Sementara dari tanggal 17 Agustus

1950 s/d 5 Juli 1959, Bung Karno tidak pernah melepaskan kesempatan untuk tetap
memperjuangkan Dasar Negara dan Filsafat Bangsa Pancasila itu.
Lewat sambutan sambutan, pidato pidato, ceramah -ceramah, kursus kursus, dan kuliah
kuliah, selalu dijelas-jelaskannya asal-usul dan perkembangan historis masyarakat dan
bangsanya, situasi dan kondisi yang melingkupinya, serta pemikiran-pemikiran dan filosofi
yang menjadi dasar dan latar belakang lahirnya Pancasila itu; selalu diyakin-yakinkannya
tentang benarnya Pancasila itu sebagai satu-satunya dasar yang bisa dijadikan landasan
membangun Indonesia Raya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berwilayah dari Sabang sampai Merauke, yang merdeka dan berdaulat penuh, demokratis,
adil-makmur, rukun bersatu, aman dan damai untuk selama-lamanya; selalu ditekantekankannya pentingnya de Mensch (manusia Indonesia) yang harus terus
memperjuangkannya agar menjadi kenyataan.
Meskipun telah menjadi Dasar Negara dan Filsafat Bangsa, pada sidang-sidang badan
pembentuk Undang-Undang Dasar
(Konstituante) yang berlangsung antara tahun 1957 s/d
1959, Pancasila itu mendapat ujian yang cukup berat. Dalam pembahasan-pembahasan
pada sidang-sidang Konstituante itu, Dasar Negara dan Falsafah Bangsa itu mendapat
tantangan Dasar Negara Islam, yang mengakibatkan macetnya lembaga penting tersebut. Dan
berkat kuatnya dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Pancasila tetap tegak sebagai Dasar Negara dan Falsafah Bangsa Indonesia.
Namun kemudian ujian dan tantangan terhadap dasar negara dan falsafah bangsa
Pancasila bagi Indonesia itu masih muncul lagi dalam bentuk yang lebih dahsyat dan lebih
canggih lagi dengan bangkit dan berkuasanya Orde Baru.
Sebagai rangkaian usaha neo-kolonisasi Indonesia, bukan hanya Soekarno harus diselesaikan
dan d i p e n d h e m
j e r o (dikubur dalam-dalam), bukan hanya Republik
Proklamasi harus diberi warna dan kualitas lain dan diperlemah, tetapi juga roch
bangsa itu sendiri yang namanya Pancasila itu harus secara halus dan pelan-pelan
ditiadakan dari bumi Indonesia.
Dimulai dengan adanya tuduhan penyelewengan terhadap Pancasila oleh penguasa
sebelumnya yang dicapnya Orde Lama, penguasa Orde Baru menyatakan tekadnya untuk
melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dan berpangkal dari posisi strategis itu
serangkaian langkah dan serangan gencar segera dilancarkannya.
Ofensif ideologis itu diawali dengan otak-atik tentang naskah proklamasi yang autentik dan
yang hanya konsep atau klad saja. Dinyatakannya, bahwa naskah proklamasi yang autentik
yaitu yang diketik oleh Sayuti Melik dan ditanda-tangani oleh Soekarno Hatta, serta
kemudian dibaca oleh
Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedang yang tulisan
tangan Bung Karno, sebagaimana yang terdokumentasi dan banyak dikenal masyarakat
selama itu hanyalah konsep atau klad belaka.
Dari situ meningkat ke analisa tentang Pancasila yang autentik, dan yang hanya konsep
belaka. Menurut penelitian dan kesimpulan penguasa Orde Baru, .
Pancasila yang autentik adalah yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan
(Preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di luar itu
hanya konsep-konsep belaka. Dan kalau berbicara masalah konsep, maka yang utama

adalah yang berasal dari Mr. Muh. Yamin, sebab yang paling dekat atau mirip dengan
rumusan yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sedang Pancasila
itu sendiri telah ribuan tahun berada dalam kandungan Ibu Pertiwi. Oleh karena itu adalah
tidak benar kalau dinyatakan bahwa hari lahir Pancasila adalah tanggal 1 Juni. Kalau ada
yang perlu dianggap hari lahir Pancasila, maka itu adalah tanggal 18 Agustus, yaitu hari
ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945, yang dalam Pembukaannya termaktub rumusan
Pancasila. Dan sekiranya ada hari yang perlu dirayakan atau diperingati dalam kaitannya
dengan Pancasila, maka itu adalah tanggal 1 Oktober yaitu : Hari Kesaktian Pancasila .
Setelah berhasil dikacaukan sejarah kelahiran dan perkem-bangannya semacam itu, dan
kemudian dilanjutkan dengan dikaburkan pengertian-pengertiannya, serta dilepaskan
keterkait-annya dengan penggalinya, maka sebagai bentuk kulminasinya ditariklah
kesimpulan-kesimpulan yang bersifat menghabisi Bung Karno, tetapi yang pada hakekatnya
adalah menamatkan Pancasila itu sendiri.
Pada pokoknya serangkaian serangan terhadap Pancasila dan penggalinya itu adalah sebagai
berikut:
1. Ir Soekarno bukan orang pertama dan satu satunya yang menyampaikan konsep Dasar
Negara Indonesia Merdeka, sebab :
1. Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muh. Yamin telah ber-pidato di depan sidang
BPUPKI, yang disusul dengan bahan tertulis yang dilengkapi dengan Rancangan
Undang-Undang Dasar yang disampaikannya pada tanggal 31 Mei 1945 yang berisi
lima prinsip dasar negara.
2. b. Pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Mr. Soepomo telah berpidato menyampaikan 5
prinsip dasar negara di depan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
3. c. Sedang Soekarno baru pidato di depan sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni
1945, menyampaikan 5 prinsip dasar negara, yang diberinya nama Pancasila, yang
itupun kata sila nya berasal dari seorang temannya seorang ahli bahasa.
4. d. Yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 hanyalah istilah Pancasila, bersama
denagn istilah Trisila dan Ekasila
5. 2.
Kalau dibandingkan 5 prinsip yang
disampaikan masing-masing pembicara yang 3 orang itu, maka yang paling dekat
atau mirip dengan Pancasila dasar negara yang autentik sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
adalah rumusan Mr. Muh. Yamin. Sedang kosepsi Soekarno yang paling memberi
peluang penunggangan oleh komunis, karena ada istilah internasionalisme dalam
rumusannya.
6. 3.
Panitia Sembilan dalam merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 menggunakan seluruh bahan yang disampaikan semua pembicara dalam
persidangan yang dihimpun oleh Sekretariat BPUPKI, dan bukan hanya mengacu
pada pidato Bung Karno saja .
Bersamaan dengan kampanye menghabisi Bung Karno dan menamatkan Pancasila itu,
penguasa Orde Baru juga tetap terus dengan gencar dan tiada henti-hentinya mempro-

pagandakan tekadnya untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun di
balik itu kebijaksanaan dan praktek-praktek yang dilaksanakannya justru penuh dengan
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekejaman, penindasan dan penginjak-injakan hak
asasi manusia; penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); penuh dengan
kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang anti demokrasi dan a nasional.
Dan kesemuanya itu akhirnya membawa bangsa ini serba terpuruk dan mengalami krisis di
segala bidang (krisis multi-dimensional) yang menyengsarakan rakyat dan mengancam
kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri. Kebijaksanaankebijaksanaan dan praktek-praktek se-macam itu berserta segala akibat buruk yang
dihasilkannya, telah menimbulkan gambaran dan citra yang sangat jelek, bahwa yang salah
selama ini adalah dasar negara dan falsafah bangsa Pancasila, dan bukannya kesalahan
pelaksana atau pelaksanaan-nya.
Sebagai akibat akumulatif dari semua itu, akhirnya rakyat menjadi skeptis terhadap Pancasila,
kabur pemahaman dan pengertian-pengertiannya, dan menjadi tidak yakin lagi akan
kebenarannya. Dan sekarang ini Pancasila semakin hari semakin redup, semakin sayup, tak
terdengar lagi gaung dan geloranya.
Seiring dengan ditinggalkan dan disisihkannya Pancasila secara halus dan pelan-pelan itu,
bukan hanya sebagian rakyat Indonesia menjadi jatuh miskin, kekayaan berlimpah bangsa ini
menjadi terkuras habis, tanggungan hutang dalam dan luar negeri menjadi bertimbun,
kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara ini menjadi meredup, tetapi juga terjadi
disintegrasi sosial dan disintegrasi teritorial serta politik yang mengancam kelangsungan
hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyadari akan semua itu, maka dirasa sangat perlu untuk segera menyebarluaskan kembali
Pancasila Ajaran Bung Karno ke segenap lapisan masyarakat dan terutama generasi muda
Indonesia, agar kita semua bisa memahaminya secara utuh, meyakini akan kebenarannya, dan
siap untuk memperjuangkan dan melaksanakannya.
Kami yakin, bahwa kehadiran sebuah buku yang berisi himpunan pidato-pidato, sambutansambutan, ceramah-ceramah, kursus-kursus, dan kuliah-kuliah tentang Pancasila, yang
berasal langsung dari Bung Karno ini akan merupakan sumber primer yang sangat penting
bagi segenap putera tanah air yang terus berusaha menjaga dan mengisi kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Semoga bermanfaat.

Jakarta, 10 Januari 2005

Penghimpun,

( Drs. Soewarno )

KATA PENGANTAR

Lahirnya Pancasila

Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai


Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat

Dengan perasaan gembira saya terima permintaan penerbit buku ini untuk memberikan
sepatah dua patah kata pengantar, serta dengan segala senang hati saya penuhi permintaan
tersebut.
Sebagai Kaityoo ( ketua ) dari Dokuritu Zyunbi Tyoo-sakai ( Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan ) saya mengikuti dan mendengar sendiri diucap-kannya pidato
ini oleh Bung Karno, sekarang Presiden Negara kita.
Oleh karena itu sungguh menggembirakan sekali maksud penerbit, untuk mencetak pidato
Bung Karno ini, yang berisi Lahirnya Panca Sila, dalam sebuah buku kecil.
Badan Dokuritu Zyunbi Tyoosakai itu telah mengadakan sidangnya yang pertama dari
tanggal 29 Mei tahun 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 dan yang kedua dari tanggal
10 Juli 1945 sampai dengan tanggal 17 Juli 1945.
Lahirnya Panca Sila ini adalah buah stenografisch verslag dari pidato Bung Karno yang
diucapkan dengan tidak tertulis dahulu ( voor de vuist ) dalam sidang yang pertama pada
tanggal 1 Juni 1945 ketika sidang membicarakan Dasar ( Beginsel ) Negara kita , sebagai
penjelmaan daripada angan-angannya. Sudah barang tentu kalimat-kalimat sesuatu pidato
yang tidak tertulis dahulu, kurang sempurna tersusunnya. Tetapi yang penting ialah ISINYA !

Bila kita pelajari dan selidiki sungguh-sungguh Lahirnya Panca Sila ini, akan ternyata
bahwa ini adalah suatu Demo-kratisch Beginsel, suatu Beginsel yang menjadi Dasar
Negara
kita, yang menjadi Rechtsideologie Negara kita; suatu Beginsel yang telah meresap dan
berurat-berakar dalam jiwa Bung Karno, dan yang telah keluar dari jiwanya secara spontan,
meskipun sidang ada di bawah penilikan yang keras dari Pemerintah Balatentara Jepang.
Memang jiwa yang berhasrat merdeka, tak mungkin dikekang-kekang !
Selama Fascisme Jepang berkuasa di negeri kita, Demo-kratisch Idee tersebut tak pernah
dilepaskan oleh Bung Karno, selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya
jalan untuk mewujudkannya.
Mudah-mudahan Lahirnya Panca Sila ini dapat dijadikan pegangan, dijadikan pedoman
oleh Nusa dan Bangsa kita se-luruhnya, dalam usaha memperjoangkan dan menyempurnakan
Kemerdekaan Negara.

Walikukun, tertanggal 1 Juli 1947

Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat

LAHIRNYA PANCASILA

Pidato pertama Pancasila diucapkan Bung Karno


di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
tanggal 1 Juni 1945

Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!

Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan


pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua
yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka
tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia? Paduka tuan
Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan
dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Maaf, beribu maaf. Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan
hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan
dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua
yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: Philosofische-grondslag daripada Indonesia
Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalamdalamya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung
Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan

Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan
kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan merdeka.
Merdeka buat saya ialah: political independence

politieke onafhankelijkheid.

Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?


Tuan-tuan sekalian! Dengan terus terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau
banyak anggota yang saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini
zwaarwichtig akan perkara yang kecil-kecil. Zwaar-wichtig sampai kata orang Jawa
jelimet. Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka
berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia
itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi banding-kanlah kemerdekaan negaranegara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka
itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon
merdeka, Amerika merdeka, Inggeris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka.
Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus
lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai jelimet!, maka saya bertanya kepada
tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri dari
kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti akan hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa
tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum
mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih
makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toh Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat Sovyet Rusia! Pada
masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima
puluh milyun rakyat Rusia adalah rakyat Musyik yang lebih daripada 80% tidak dapat
membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop
Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin
mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia
Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan
punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu
dahulu semuanya! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet,
maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mengalami Indonesia
Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, sampai di lubang
kubur!
(Tepuk tangan riuh).

Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 33 saya telah menulis
satu risalah. Risalah yang bernama Mencapai Indonesia Merdeka. Maka di dalam risalah
tahun 33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political
independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya
katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita
punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, in one night only! -, kata
Amstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam
sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! Sesudah jembatan itu diletakkan oleh Ibn
Saud, maka di seberang jembatan, artinya kemudian dari pada itu, Ibn Saud berulah
memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar
membaca, orang yang tadinya bergelandang-an sebagai nomade yaitu orang Badui, diberi
pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok tanam.
Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, semuanya di seberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka, telah mempunyai
Jnepprprostoff, dam yang maha besar di sungai Jneppr? Apa ia telah mempunyai radiostation, yang menyundul ke angkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk
meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan
Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat!
Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radiostation, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru meng-adakan
Jnepprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuantuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai
dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya
tuan-tuan punya semangat, jikalau tuan-tuan demikian, dengan semangat pemuda-pemuda
kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2
milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!
(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi
zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja
kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia
Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan
INDONESIA MERDEKA SEKARANG. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia
Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!
(Tepuk tangan riuh).
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, kok lantas
kita zwaarwichtig dan gentar hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia
Merdeka, political independence, politieke onafhan-kelijkheid, tidak lain dan tidak bukan
ialah satu jembatan! Jangan gentar!
Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk
merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro
Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau
umpamanya Butyoo-Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia pada sekarang ini,

sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhan-kelijkheid, in one


night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semua-nya bersemboyan: Indonesia
Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon sekarang menyerahkan
urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata:
mangke rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima
urusan negara Indonesia Merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak!)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon
menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak,
sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia
yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Sovyet-Rusia, Saudi Arabia,
Inggeris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang s a m a, yaitu rakyat Saudi Arabia
sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan
negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggeris sanggup
mem-pertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada
kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup
mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu
bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan
bambu runcing, saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita
Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusiapun
demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan.
Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah,
saya belum berani kawin, tunggu dulu gajih f. 500. Kalau saya sudah mempunyai rumah
gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempu-nyai tempat tidur yang
mentul-mentul, sudah mempunyai meja-kursi yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai
sendok garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai
kinder-uitzet, barulah saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja
satu, kursi empat, yaitu meja makan, lantas satu zitye, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara saudara Marhaen! Kalau dia sudah
mempunyai gubug saja dengan satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan
satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitye, satu
tempat tidur: kawin.
Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, electrischekookplaat, tempat tidur, uang
bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig. belum tentu mana yang

lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan
Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
(Tepuk tangan, dan tertawa)
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan
hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset plus
kinder-uitzet, buat 3 tahun lamanya! (Tertawa).
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka atau tidak ? Inilah,
saudara-saudara sekalian, Paduka tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya
kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang
merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala
men-jawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di
dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap tiap orang
Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat
mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat
Indonesia Merdeka! (Tepuk tangan riuh)
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di da1am Indonesia
Merdeka itulah kita me-merdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka,
Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Sovyet-Rusia Merdeka Stalin
memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak
sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak dysenterie, banyak penyakit honge-rudeem,
banyak ini banyak itu. Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka.
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka.
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak
dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit
malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih
pemuda kita agar supaya menjadi kuat, d i d a l a m Indonesia Merdeka kita menyehatkan
rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan jembatan. Di seberang
jembatan, jembatan emas, inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka
yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita
mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationaalrecht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk
menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat yang
neko-neko, yang menjelimet, tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh!
Ini sudah cukup untuk internationaal-recht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada
rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang
merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak perduli rakyat dapat baca atau tidak,
tidak perduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal
menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada
rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya, sudahlah ia merdeka.

Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menye-lesaikan lebih dulu 1001 soal yang
bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak?
(Jawab hadirin : Mau!)
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal merdeka, maka sekarang saya
bicarakan tentang hal d a s a r.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka tuan Ketua kehendaki!
Paduka tuan Ketua minta
d a s a r, minta philosophische grondslag, atau, jikalau kita
boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu
Weltanschauung, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di
antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu Weltanschauung.
Hitler mendirikan Jermania di atas national-sozialistische Welt-anschauung, filsafat
nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu.
Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu Weltan-schauung, yaitu Marxistische, Historisch Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas
satu Weltan-schauung, yaitu yang dinamakan Tennoo Koodoo Seishin. Di atas Tennoo
Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, men-dirikan
negara Arabia di atas satu Weltanschauung, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam.
Demikian itulah yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita
dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia
bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam Weltanschauung, bekerja matimatian untuk me realiteitkan Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu,
sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata,
bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut
keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: Sovyet-Rusia
didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s., John Reed, di dalam kitabnya: Ten days that
shook the world, sepuluh hari yang menggoncangkan dunia -, walaupun Lenin mendirikan
Sovyet Rusia di dalam 10 hari, tetapi Weltan-schauung nya telah tersedia berpuluh-puluh
tahun. Terlebih dulu telah tersedia Weltanschauung- nya, dan di dalam 10 hari itu hanya
sekadar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas Weltanschauung yang
sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolutie 1905,
Weltanschauung itu dicobakan, di generale-repetitie kan.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri
generale-repetitie daripada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, Weltanschauung itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari,
sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut
kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh
tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler manaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di
atas National-Sozialistische- Weltanschauung.

Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya Weltanschauung itu? Bukan di
dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian
mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, Weltan-schauung ini, dapat menjelma
dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya
yang beliau dapat merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang telah dipropa-gandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan
Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita, untuk mendirikan negara
Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historischmaterialime? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doktor Sun Yan Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi
Weltanschauung nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan,
dirancangkan. Di dalam buku The three peoples principles San Min Chu I, -Mintsu,
Minchuan, Min Sheng, nasionalisme, demokrasi, sosialisme, telah digambarkan oleh
doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau men-dirikan
negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu
berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas Weltanschauung apa? Nasionalsosialisme kah, Marxisme kah, San Min Chu I kah, atau Weltanschauung apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah
dikemukakan, macam-macam -, tetapi alangkah benarnya perkataan dr.Soekiman,
perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari
persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag,
mencari satu Weltan-schauung yang k i t a s e m u a setuju. Saya katakan lagi
setu
j u ! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang saudara
Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Liem Koen Hian setujui,
pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita
bersama-sama mencari satu hal yang kita b e r s a m a s a m a setujui. Apakah itu?
Pertama-tama, saudara-saudara saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia
Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia
Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk
mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk
memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum
kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semua-nya
telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak
mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat
semua. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu
mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar
pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Kita mendirikan satu negara k e b a n g s a a n Indonesia.

Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah
saya memakai perkataan kebangsaan ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta ke-pada
saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar
pertama buat Indonesia ialah dasar k e b a n g s a a n. Itu bukan berarti satu kebangsaan
dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu
N a t i o n a l e S t a a t,
seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu
Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes
Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun
adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek moyang
tuanpun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan
oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
S a t u N a t i o n a l e S t a a t ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di
dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya
urai-kan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa?
Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah kehendak akan bersatu. Perlu orang-orangnya merasa
diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa:
le desir detre ensemble,
yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa,
yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya Die
Nationalitatenfrage, di situ ditanyakan: Was ist eine Nation? dan dijawabnya ialah:
Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft.
Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul
karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Profesor Soepomo mensitir Ernest Renan,
maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata: verouderd, sudah tua. Memang tuantuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah verouderd, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun
sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer
mengada-kan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru,
yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoe-soemo, atau tuan Moenandar,
mengatakan tentang Persatuan antara orang dan tempat. Persatuan antara orang dan tempat,
tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada
di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekadar melihat orangnya. Mereka
hanya memikirkan Gemeinschaft nya dan perasaan orangnya, 1ame et le desir. Mereka
hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang

didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu t a n a h a i r. Tanah air itu adalah
satu kesatuan. Allah swt membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta
dunia, kita dapat menunjukkan di mana kesatuan-kesatuan di situ. Seorang anak kecilpun,
jikalau ia melihat peta dunia ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan
satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di
antara 2 lautan yang besar, lautan Pacific dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu
benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengata-kan, bahwa pulau-pulau
Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain
pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat
melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur
benua Asia sebagai golfbreker atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu
kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan,
dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat
mengata-kan, bahwa kepulauan Inggeris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh
Allah swt demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi
Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan
Yunani. adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita. tanah air kita? Menurut geopolitik,
maka Indonesia lah tanah air kita. Indonesia yang bulat. bukan Jawa saja, bukan Sumatera
saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap
kepulauan yang ditunjuk oleh Allah swt menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua
samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya,
maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak
cukup le desir detre ensemble, tidak cukup definisi Otto Bauer, aus
Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charakter-gemeinschaft itu.
Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minang-kabau. Di antara bangsa di Indonesia,
yang paling ada le desir detre ensemble, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya
kira-kira 2 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu
kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan! Penduduk Yogya pun
adalah merasa le desir detre ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil
daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir detre
ensemble, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan orang yang
hidup dengan le desir detre ensemble di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau
Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah s e l u r u h
manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah swt, tinggal di
kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! S e 1 u
r u h n y a ! , karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada le desir detre ensemble,
sudah terjadi Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia
jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi s a t u , s a t u ,
sekali lagi s a t u !

(Tepuk langan hebat).


Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi
Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara
tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan golongan
kebangsaan.
Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu
nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Saksen adalah nationale staat, tetapi
seluruh Jermania lah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan
Lombardia, tetapi seluruh Italia lah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di Utara
di-batasi oleh pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab,
bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India ah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu,
adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sriwijaya
dan di jaman Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata
dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu
hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka,
bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya
berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu
Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka,
bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanoedin di Sulawesi
yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu
bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia s e 1 u r u h n y a, yang telah berdiri di jaman Sriwijaya dan
Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan
terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan
Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan
Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan
Indonesia, yang bernama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Liem Koen
Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh
Paduka Tuan Fuku Kaityoo, Tuan menjawab: Saya tidak mau akan kebangsaan.
TUAN LIEM KOEN HIAN:
Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
TUAN SOEKARNO:
Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Liem Koen Hian pun
menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang
tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitisme, yang
mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang
kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa,
tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya
menschheid, perikemanusiaan. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran
kepada rakyat Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu
saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh

seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, katanya:
jangan ber-paham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan
mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918,
alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam
tulisannya San Min Chu I atau The Three Peoples Principles, saya mendapat pelajaran
yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu
tertanamlah rasa kebangsan, oleh pengaruh The Three Peoples Principles itu. Maka oleh
karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai
penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan
hormat-sehormat-hormatnya merasa berterimakasih kepada Dr. Sunn Yat Sen, sampai
masuk ke lobang kubur.
(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara. Tetapi, tetapi, memang prinsip ke-bangsaan ini ada bahayanya!
Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berpaham Indonesia uber Alles. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu,
merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia
hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsa-an saya adalah perikemanusiaan.
My nationalism is humanity.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme,
sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan Deutschland uber Alles, tidak
ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata
biru, bangsa Aria, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain tidak ada
harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa
Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju
persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula
kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saya
usulkan kepada Tuan-Tuan, yang boleh saya namakan i n t e r n a s i o n a l i s m e .
Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud k o s m o p o l i t i s
m e, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada
Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggeris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya
nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman
sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang
pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama
lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar
permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara
untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua buat

semua, satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk
kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk me-melihara agama. Kita, sayapun,
adalah orang Islam, maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, tetapi
kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan
akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela
Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala
hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di
dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan
perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita
usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan.
Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya
sebagian yang ter-besar daripada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan,
diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian
terbesarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar
di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat
itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan
perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita
bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam
perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum
yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.
Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan
bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90%
utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata,
baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, h i d u p l a h Islam Indonesia, dan bukan Islam
yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah
di dalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf,
saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehiduphidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara
sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini,
yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup
betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak
mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di
dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah
prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat
saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau
misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara
Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar daripada
utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair
play! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di
dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak
ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Taala memberi pikiran kepada kita, agar supaya
dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk
membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi

Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara prinsip nomor 3, yaitu prinsip


permusyawaratan!
Prinsip No. 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip
itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia
Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min
Sheng: nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau
Indonesia Merdeka yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya
sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan,
merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Mana
yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat
sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di
negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi
tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidak-kah di Amerika kaum kapitalis
merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan
perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan
rakyat yang diadakan di sana itu, sekadar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak
bukan adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah p o l i t i e k e d e m o c r a
t i e saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, takada keadilan sosial, tidak ada
e k o n o m i s c h e d e m o c r a t i e sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan
kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke
democratie.Di dalam Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire
Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang
boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlemen. Tetapi adakah Sociale
rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?
Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi:
Wakil kaum buruh yang mempunyai hak p o l i t i k itu, di dalam Parlemen dapat
menjatuhkan minister. la seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di kalangan
paberik, sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar ke jalan raya,
dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa.
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi
barat, tetapi permusya-waratan yang memberi hidup, yakni politieke economische
democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama
bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu-Adil? Yang dimaksud dengan
paham Ratu-Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya
merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya a d
a keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betulbetul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale
rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan p o 1 i t i k, saudara-saudara, tetapi pun di
atas lapangan e k o n o m i kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama
yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan
permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang b e r s a m a d e n g a n
m a s y a r a k a t dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan
sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudarasaudara, di dalam badan
permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam
urusan kepala negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab?
Oleh karena monarchie vooronderstelt erfelijkheid, turun-temurun. Saya orang Islam,
saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya
tiap-tiap kepala negarapun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala
negara, baik kalif, maupun Amirul muminin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita
mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo
misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anak-nya
Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo.
Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5?
Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme, atau perikemanusiaan
3. Mufakat, atau demokrasi.
4. Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip K e t u h a n a n ! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan
menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad
saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya
ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama.
Dan hendaknya N e g a r a Indonesia satu N e g a r a yang

ber-Tuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang b e r k
e a d a b a n. Apakah cara yang berkeadaban itu?
Ialah hormat-menghormati satu sama lain.
(Tepuk tangan sebagian hadirin).

Nabi Muhammad saw telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang
menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu.
Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan:
bahwa prinsip kelima daripada Negara kita, ialah K e t u h a n a n y a n g b e r k e b u d
a y a a n, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormatmenghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui
bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Di sinilah, dalam pengkuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang
ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita
akan ber-Tuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita
mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu
dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca
Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang
kita membicarakan d a s a r. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun
Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apa lagi yang
lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa Lima).
Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan dan ke-Tuhanan, lima pula bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman
akhli bahasa namanya ialah P a n c a s i l a.
Sila artinya a z a s atau d a s a r, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara
Indonesia, kekal dan abadi.
(Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh
peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah perasan yang tiga
itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasardasarnya Indonesia Merdeka,
Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme,
kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan
socio-nasionalisme.
Dan Demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiekeconomische democratie, yaitu
politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi d e n g a n kesejahteraan,
saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio democratie.
Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan keTuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali

tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah
saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus
mendukungnya. S e m u a b u a t s e m u a ! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan
golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat
Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia,
semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu,
maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong.
Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya!
Negara Gotong Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah).
Gotong Royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan, saudarasaudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan
satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo
satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini,
bersama sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat
bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat
semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah
Gotong Royong!
(Tepuk tangan riuh-rendah).
Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang
Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa
Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana
yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada
saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara
ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah
menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa
peperangan, saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara
Indonesia, di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah
kepada Allah Subhanahu wa taala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam
sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api
peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka
yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah
negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena
itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubungan dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi,
barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara. Tetapi
dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah
Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah
saudara-saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945
sekarang ini untuk Weltan-schauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk
kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan;

untuk permufakatan; untuk sosiale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhanan. Pancasila, itulah


yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, saudara-saudara,
diterima atau tidak, terserah kepada saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyafinsyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendiri-nya,
menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi
kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan!
Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, janganpun yang diadakan oleh
Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
De Mensch, manusia! , harus perjuangkan itu. Zonder perjuangan itu tidakkah ia akan
menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat
Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa,
saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia,
tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit.
Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Quran,
zwart op wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder
perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang
tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder
perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu,
menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit
yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang mer-deka, yang penuh dengan
perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan
sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang
luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah
perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.
Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah
berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus
berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita
bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang t e r u s menyelenggarakan apa
yang kita cita-citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini,
yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka
tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko, tidak berani terjun
menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia
tidak bersatu dan tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah
kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya,
sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang
jiwanya berkobar-kobar dengan tekad Merdeka, merdeka atau mati !
(Tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka tuan Ketua. Saya
minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang
sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan
Zimukyokutyoo yang saya anggap verschrikkelijk zwaarwichtig itu.

Terima kasih!

(Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin.)


Lampiran 1

PEMBUKAAN
(Preambule)

UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pimtu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam sauatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu


keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lampiran 2

DEKRIT PRESIDEN

Dengan Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/


PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

Dengan ini menyatakan dengan khidmat:

Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945,
yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal
22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar Anggota-anggota Sidang Pembuat


Undang Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi
menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh Rakyat kepadanya;

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan


persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta
untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur;

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan
kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara
Proklamasi;

Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UndangUndang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi
tersebut;

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas.

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/


PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

Menetapkan pembubaran Konstituante;

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak
berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas Anggotaanggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan
diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Juli 1959

Atas nama Rakyat Indonesia,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/


PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

SOEKARNO

A N J U R A N KU
KEPADA SEGENAP BANGSA INDONESIA

Ceramah Presiden
Pada Pertemuan Gerakan Pembela Pancasila
di Istana Pada Tanggal 17 Juni 1954

Saudara-saudara sekalian
Lebih dahulu saya mengucap banyak-banyak terima kasih kepada Saudara-saudara sekalian,
bahwa Saudara-saudara pada malam ini memerlukan datang di sini untuk bersilaturahmi
dengan kepala negara serta Ibu Soekarno.
Sekarang saya diminta untuk membuat ceramah. Ceramah yang terutama sekali mengenai hal
Pancasila dasar dan azas negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945. Kadang-kadang saya mendengar sebutan Gerakan Pembela Pancasila.
Sebenarnya sebutan yang demikian itu kurang lengkap. Harusnya, ialah Gerakan Pembela
Pancasila Sebagai Dasar Negara. Kalau sekadar dinamakan Pembela Pancasila, maka
berarti bahwa Pancasila itu harus dibela. Dan dengan sendirinya timbullah pertanyaan:
Apakah Pancasila itu harus dibela? Pertanyaan ini ada hubungannya dengan paham atau
pendapat yang pernah dikemukakan oleh salah seorang Saudara bangsa kita, bahwa Pancasila
adalah buatan manusia.

Saudara-saudara
Dalam hubungan ini buat kesekian kalinya saya katakan, bahwa saya bukanlah pencipta
Pancasila, saya bukanlah pembuat Pancasila. Apa yang saya kerjakan tempo hari, ialah
sekadar memformulir perasaan-perasaan yang ada di dalam kalangan rakyat dengan beberapa
kata-kata, yang saya namakan Pancasila. Saya tidak merasa membuat Pancasila. Dan salah
sekali jika ada orang mengatakan bahwa Pancasila itu buatan Soekarno, bahwa Pancasila itu
buatan manusia. Saya tidak membuatnya, saya tidak menciptakannya. Jadi apakah Pancasila
buatan Tuhan, itu lain pertanyaan.
Aku bertanya. Aku melihat daun daripada pohon itu hijau. Nyata hijau itu bukan buatanku,
bukan buatan manusia. Apakah warna hijau daripada daun itu dus buatan Tuhan? Terserah
kepada Saudara-saudara untuk menjawabnya. Aku sekadar konstateren, menetapkan dengan
kata-kata satu keadaan.
Di dalam salah satu amanat yang saya ucapkan di hadapan resepsi para penderita cacat
beberapa pekan yang lalu, saya berkata bahwa saya sekadar menggali di dalam bumi
Indonesia dan mendapatkan lima berlian, dan lima berlian inilah saya anggap dapat
menghiasi tanah air kita ini dengan cara yang seindah-indahnya. Aku bukan pembuat berlian
ini; aku bukan pencipta dari berlian ini, sebagaimana aku bukan pembuat daun yang hijau itu.
Padahal aku menemukan itu ada daun hijau. Jikalau ada seseorang Saudara berkata bahwa
Pancasila adalah buatan manusia, aku sekadar menjawab: Aku tidak merasa membuat
Pancasila itu; tidak merasa mencipta Pancasila itu.
Aku memang manusia. Manusia dengan segala kedaifan daripada manusia. Malahan manusia
yang tidak lebih daripada Saudara-saudara yang kumaksudkan itu tadi. Tetapi aku bukan
pembuat Pancasila; aku bukan pencipta Pancasila. Aku sekadar memformulirkan adanya
beberapa perasaan di dalam kalangan rakyat yang kunamakan Pancasila. Aku menggali di
dalam buminya rakyat Indonesia, dan aku melihat di dalam kalbunya bangsa Indonesia itu
ada hidup lima perasaan. Lima perasaan ini dapat dipakai sebagai mempersatu daripada
bangsa Indonesia yang 80 juta ini. Dan tekanan kata memang kuletak-kan kepada daya
pemersatu daripada Pancasila itu.
Di belakangku terbentang peta Indonesia, yang terdiri dari berpuluh-puluh pulau yang besarbesar, beratus-ratus, beribu-ribu bahkan berpuluh-puluh ribu pulau-pulau yang kecil-kecil. Di
atas kepulauan yang berpuluh-puluh ribu ini adalah hidup satu bangsa 80 juta jumlahnya.
Satu bangsa yang mempunyai aneka warna adat-istiadat. Satu bangsa yang mempunyai aneka
warna cara berpikir. Satu bangsa yang mempunyai aneka warna cara mencari hidup. Satu
bangsa yang beraneka warna agama-nya.
Bangsa yang berdiam di atas puluhan ribu pulau antara Sabang dan Merauke ini, harus kita
persatukan bilamana bangsa ini ingin tergabung di dalam satu negara yang kuat. Maksud kita
yang pertama sejak daripada zaman kita melahirkan gerakan nasional ialah mempersatukan
bangsa yang 80 juta ini, dan kemudian memerdekakan. Menggabungkan bangsa yang 80 juta
ini di dalam satu negara yang kuat. Kuat, karena berdiri di atas kesatuan geografi, kuat pula
oleh karena berdiri di atas kesatuan tekad.
Pada saat kita menghadapi kemungkinan untuk mengadakan proklamasi kemerdekaan, dan
alhamdulillah bagi saya pada saat itu bukan lagi kemungkinan tetapi kepastian -, kita menghadapi soal bagaimanakah negara yang hendak datang ini, kita letakkan di atas dasar apa.

Maka di dalam sidang daripada para pemimpin Indonesia seluruh Indonesia, dipikir-pikirkan
soal ini dengan cara yang sedalam-dalamnya. Di dalam sidang inilah buat pertama kali sayan
formuleren apa yang kita kenal sekarang dengan perkataan Pancasila. Sekadar formuleren,
oleh karena lima perasaan ini telah hidup berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun di
dalam kalbu kita. Siapa yang memberi bangsa Indonesia akan perasaan-perasaan ini? Saya
sebagai orang yang percaya kepada Allah swa. berkata: Sudah barang tentu yang
memberikan perasaan-perasaan ini kepada bangsa Indonesia ialah Allah swa. pula.
Lima perasaan yang Saudara-saudara kenal dengan perkataan-perkataan:
Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kebangsaan Indonesia yang Bulat,
Perikemanusiaan,
Kedaulatan Rakyat,
Keadilan Sosial,
Kelima perasaan ini hidup di dalam kalangan bangsa Indonesia. Hidup di dalam kalangan
bangsa Indonesia sebelum aku dan engkau ada. Lima perasaan ini hanyalah belum pernah
diformulir. Aku mempunyai keyakinan, bahwa kalau negara kita didasarkan di atas lima
perasaan ini, maka negara kita dapatlah mempunyai territour (wilayah) dari Sabang sampai
ke Merauke.
Saudara-saudara mengetahui bahwa tiap-tiap negara barulah boleh disebut negara, jika negara
itu memenuhi syarat paling sedikit tiga buah.
Syarat perianza, ialah bahwa negara itu tegas harus mempunyai wilayah. Tegas harus
mempunyai territour. Tegas harus orang dapat melihat, bahwa ini wilayah negara itu. Sesuatu
gerombolan manusia yang tidak tegas akan territournya, yang tidak tegas akan wilayahnya,
dan tidak tegas akan batas-batas wilayahnya, gerombolan manusia yang demikian itu tidak
dapat dinamakan rakyat daripada suatu negara. Syarat yang pertama ini adalah syarat yang
mutlak.
Syarat yang kedua, ialah di atas territour tadi, harus ada rakyatnya. Dan rakyatnya ini harus
berasa sebagai satu bangsa. Satu bangsa yang di dalam bahasa Jerman dinamakan satu Staat
Nation. Meskipun territournya tegas, tetapi jika di atas territour itu rakyatnya hidup tidak
karuan, tidak mempunyai hubungan batin satu sama lain, tidak merasakan dirinya sebagai
satu Staat Nation, maka bangsa yang demikian itu tidak dapat disebutkan bangsa daripada
satu negara. Sebaliknya, walaupun bahasanya beruparupa, seperti bangsa Swis, ada yang
berbahasa Perancis, ada yang berbahasa Jerman, ada yang berbahasa Italia. tetapi karena
mereka merasakan dirinya scbagai satu Staat Nation, dan mempunyai territour yang tegas
nyata wilayahnya, maka bangsa yang demikian itu dapat menjadi satu negara.
Svuraf yang ketiga, ialah adanya Pemerintah yang ditaati oleh segenap Staat Nation itu tadi.
Bagi sesuatu bangsa yang telah mempunyai wilayah yang tegas, dan rasa Staat Nation yang
tegas, tetapi bilamana tidak ada Pemerintah di puncaknya yang mengereh segenap Staat

Nation ini di atas segenap wilayah ini, dan kalau Pemerintah ini tidak ditaati oleh segenap
Staat Nation itu tadi, niaka di sini perkataan negara pun tidak boleh dipakai.
Maka untuk memenuhi tiga syarat inilah kami tempo hari menggali-gali di dalam bumi
Indonesia ini untuk mendapatkan berlian-berlian yang indah, berlian untuk dijadikan hiasan
daripada negara. Tegasnya untuk mendapat dasar agar supaya negara ini bisa teguh dan
selamat. Lebih daripada siapapun juga di kalangan bangsa Indonesia ini, aku yang dikaruniai
Allah swa. di dalam beberapa tahun ini menjadi Presiden Republik Indonesia, hingga aku
telah banyak mengunjungi daerah-daerah daripada tanah air kita ini, mengenal rakyat
Indonesia ini di pelbagai daerah itu. Lebih daripada siapapun juga, aku melihat bahwa bangsa
Indonesia ini adalah bangsa yang terdiri daripada aneka warna adat-istiadat, aneka warna cara
hidup, aneka warna paham keseniannya, aneka warna agamanya. Dan bangsa yang demikian
ini memerlukan satu dasar negara yang dapal menipersatukannya.
Dan alhamdulllah sebagai tadi kukatakan ternyata dasar Pancasila ini dapat dipakai untuk
mempersatukan segenap bangsa Indonesia yang 80 juta dan beraneka warna itu. Di wilayahwilayah yang,jauh-jauh, orang-orang dengan tegas mengatakan baliwa Pancasila adalah satusatunya dasar yang dapat dipakai untuk mempersatukan bangsa Indonesia ini. Dan oleh
karena kita tidak ingin mempunyai negara dua atau tiga, tetapi kita ingin negara satu (negara
kesatuan), niaka marilah kitcr perinhankun Pcrnccrsila ittr sebcrgai duscu negara. Sebagai
dasar negara. kita liarus bela Pancasila ini. Jika kita tidak mart menghadapi kemungkinun
bangsa Indonesicr ini terpecuh-helah herantakan.
Beberapa minggu yang lalu, aku telah mengunjungi daerah Maluku dan Nusa Tenggara. Aku
melihat, sebagian besar dari rakyat di Maluku dan Nusa Tenggara itu menghendaki dasar
Pancasila tetap sebagai dasarnya Republik Indonesia kelak kemudian hari. Tadi aku katakan
bahwa aku hanya sekadar penggali, kemudian sekadar memformuleer, karena kelima
perasaan itu memang telah ada di kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluhpuluh bahkan
beratus-ratus tahun.

Ketuhanan Yang Maha Esa


Aku hendak menceritakan kepada Saudara-saudara lebih dahulu asalnya istilah Ketuhanan
Yang Maha Esa ini. Tatkala pemimpin-pemimpinmu pada pertengahan tahun 45 mempikirpikirkan dasar apakah yang pantas dipakai untuk menjadi dasar dari Republik Indonesia yang
akan datang, maka mula-mula aku menganjurkan sebagai sila yang pertama, Ketuhanan.
Kemudian datanglah perbincangan yang hebat, terutama sekali daripada saudara-saudara
pihak Islam yang menghendaki dengan tegas jangan sekadar dinamakan Ketuhanan saja
tetapi ditambah dengan perkataan Yang Maha Esa. Dan usul daripada saudarasaudara dari
pihak Islam ini, diterima oleh kami semua. Jadi perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa,
adalah hasil daripada perundingan. Hasil daripada usul dari saudara-saudara pihak Islam yang
memang usul itu kami terima dengan segala senang hati. Dari ini saja sudah nyata bahwa
Pancasila bukan kuberikan kepada bangsa Indonesia sebagai aku ini diktator. Tidak!!!
Dirundingkan. dibicarakan bersama. Dan spesial yang mengenai sila yang pertama malahan
diper-sempurnakan oleh saudara-saudara dari piliak Islam dengan perkataan Yang Maha
Esa itu tadi.

Ketuhanan, (Ketuhanan di sini saya pakai di dalam arti religieusiteit) itu memang sudah
hidup di dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh, beratus-ratus dan beriburibu tahun. Aku menggali di dalam buminya rakyat Indonesia, dan pertama-tama hal yang
aku lihat ialah religieusiteit. Apa sebab? Ialah karena bangsa Indonesia ini adalah bangsa
yang hidup di atas tarafiiya agraria, taraf pertanian. Semua bangsa yang masih hidup di atas
taraf agraria, tentu religius. (Saya belum memakai perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa)
tetapi baru saya me-makai perkataan religieusiteit atau kepercayaan kepada suatu hal yang
gaib yang menguasai hidup kita ini semua. Perasaan atau kepercayaan yang demikian itu
hidup di dalam kalbunya bangsa-bangsa yang masih hidup di dalam taraf agraria.
Betapa tidak?
Orang yang masih bercocok tanam, bertani, merasa bahwa segenap ikhtiarnya untuk mencari
makan ini sama sekali tergantung daripadaa satu hal yang gaib. Orang yang bertani memohon
supaya turun hujan misalnya. Dari mana hujan harus diminta? Kita mempunyai sawah dan
ladang, sawah dan ladang ini ditanami dengan padi atau jagung. Padi akan mati, jika tidak
dapat air hujan. Bangsa yang bertani tidak boleh tidak, lantas: ah, ada satu hal yang gaib,
kepada Nya aku mohon supaya diturunkan hujan. Demikian pula jikalau buah padinya telah
hampir tua, sebaliknya dia mohon kering jangan ada hujan yang terlalu lebat. Lagi dia
berhadapan dengan satu hal yang gaib. Mungkin dia belum dapat mengatakan bahwa itu yang
dinamakan Allah. Atau Tuhan pun mungkin belum ada perkataan itu padanya. Tetapi sekadar
kalbunya penuh dengan permohonan kepada satu zat yang gaib: Ya gaib, ya gaib, jangan
diturunkan hujan, lagi aku sekarang membutuhkan kering. Hujan dan kering tidak dapat
dibuat oleh manusia. Hujan clan kering dimohonkan oleh bangsa yang demikian itu kepada
sesuatu zat vang gaib.
Belum aku menceritakan hal hama. Hama tikuskah. hama belalangkah, hama baksilbaksilkah. Sama sekali itu di hiar perhitungan manusia. Lagi dia mohon kepada satu hal yang
gaib: Ya, gaib berilah jangan sampai tanamanku ini diganggu oleh hama. tikus. Ya,
barangkali dia belum tahu hal-hal kuman-kuman kecil yang dapat membikin sakitnya padi
atau jagungnya itu.
Bangsa yang demikian, yang masih di atas taraf agraria, tidak boleh tidak mesti religieus.
Sebaliknya bangsa yang sudah hidup di dalam alam industrialisme, banyak sekali yang
meninggalkan religieusiteit itu. Aku tidak berkata bahwa itu adalah baik, meninggalkan
religieusiteit. Tidak! Lagi-lagi aku sekadar konstateren. Bangsa yang sudah hidup di dalam
alam industrialisme, banyak yang meninggalkan religieusiteit. Apa sebab? Sebabnya ialah
karena ia berhadapan banyak sekali dengan kepastiankepastian. Perlu litrik, tidak perlu
oh ya gaib, oh ya gaib, dengan tekan knop saja, terang menyala. Ingin tenaga, tidak perlu
dia memohon ya gaib ya gaib aku ingin tenaga. Dia punya mesin; mesin dia gerakkan, mesin
itu bergerak. Di dalam tangannya dia merasa bahwa dia menggenggam kepastian. Ingin
perang aku dapat mengadakan perang. Ingin tenaga aku bisa menggerakkan ini mesin. Oleh
karena itulah rakyat yang sudah hidup di dalam alam industrialisme banyak yang
meninggalkan religieusiteit itu tadi.
Memang pernah kukupas di dalam satu ceramah yang mengenai religieusiteit ini, bahwa
religieusiteit ini melewati beberapa fase pula. Sebab memang masyarakat manusia adalah
dinamis. Dinamis di dalam arti selalu bergerak. Masyarakat nianusia tidak berhenti pada satu
taraf (tidak statis). Masyarakat manusia berjalan (berevolusi). Masyarakat manusia dinamis.
Cara hidup manusia berganti-ganti. Dengan pergantian cara hidup ini, dia punya religieusiteit

pun berganti-ganti warna. Tatkala dia masih hidup di dalam hutan rimba-raya, belum dia
bertani. Dia hidup di rimba-raya tidak mempunyai rumah. Sekadar dia hidup di dalam guagua, di bawah pohon-pohon. Sekadar mencari makan dengan memburu atau mencari ikan. la
sudah religieus, tetapi apa yang dia sembah? Dia menyembah petir. Oleh karena dia mengetahui, kalau memerlukan api: itu dia, petir itu bisa menyembar pohon dan dia memberi api
kepadaku. Dia menyembah sungai, oleh karena sungailah memberi ikan kepadanya. Bahkan
dia menyembah batu, karena batu itulah yang memberi perlindungan kepadanya. Dia
menyembah geledek, dalam pikirnya geledek inilah satu zat yang gaib. Pikirannya ada satu
zat yang gaib yang turun dari satu mega ke lain mega, dengan mengeluarkan suara gernuruh.
Dia adalah religieus, dengan cara dia sendiri.
Tatkala manusia kemudian dari itu tidak lagi hidup di dalam rimba-raya, di dalam gua-gua
tetapi hidup dengan beternak, pada waktu itu dia religieus, tetapi ciptaan daripada zat gaib ini
lain lagi. Bukan lagi geledek, bukan lagi sungai atau pohon-pohon besar yang rindangrindang dia sembah, tetapi dia menyembah zat yang berupa binatang-binatang sebagai yang
sekarang ini masih ada sisa-sisanya di beberapa bangsa yang menyembah sapi atau binatang
ternak.
Tatkala manusia hidup di atas taraf pertanian, makin religieus dia tetapi ciptaannya juga
berubah daripada bangsa yang masih hidup di rimba-raya dengan memburu dan mencari ikan
daripada bangsa yang hidup dengan berternak saja. Tetapi nyata bangsa yang di atas taraf
agraria, bangsa yang demikian itu adalah religieus. Terutama sekali karena tanarntanamannya tergantung sarna sekali dari gerak-gerik iklim.
Demikian pula bangsa yang sudah meninggalkan taraf agraria dan sudah masuk taraf
industrialisme, banyak yang meninggalkan religieusiteit seperti kukatakan tadi, oleh karena
dia hidup di dalam alam kepastian. Malah di dalam taraf inilah timbul aliran-aliran yang tidak
mengakui adanya Tuhan. Di dalam taraf inilah timbul apa yang dinamakan atheisme. Tetapi
_jikalau Saudara-saudara bertanya kepada Bung Karno persoonlijk apakah Bung Karno
percaya kepada Tuhan, Bung Karno berkata: Ya aku percaya kepada Tuhan. Malahan aku
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bukan dua bukan tiga. Tuhan yang satu. Tuhan
yang menguasai segala hidup. Ciptaan manusia yang berubah-ubah. Pikiran manusia yang
berubah-ubah.
Dulu tatkala manusia hidup di dalam rimba-raya di bawah pohon-pohon dan di gua-gua, dia
mengira bahwa Tuhan adalah berupa pohon, petir atau sungai. Dulu tatkala manusia hidup
dalam alam peternakan, dia mengira bahwa Tuhan berupa binatang. Sampai sekarang masih
ada sisa-sisa bangsa-bangsa yang menyembah kepada binatang. Dulu tatkala manusia hidup
di dalam taraf agraria, terutama sekali dulu, diapun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan
itu. Dan tatkala manusia masuk di dalam alam industrialisme, banyak yang sudah tidak
mengakui kepada Tuhan lagi. Tetapi bagiku sebagai Bung Karno, Tuhan ada. Aku sering
menceritakan tentang hal orang buta yang ingin melihat rupanya gajah. Ada empat orang
buta, semuanya belum pernah melihat rupanya gajah. Datanglah seorang kawan yang hendak
menunjukkan kepada mereka itu apa gajah itu. Si Buta yang pertama disuruh maju ke muka,
dia meraba-raba dan dia mendapat belalai gajah. Dia berkata: Oh aku sekarang sudah tahu
rupanya gajah, rupanya sebagai ular besar yang bisa dibengkok-bengkokkan.
Si Buta nornor dua disuruh tampil ke muka dan dia mencaricari gajah dan mendapat ekor
daripada gajah itu. Lalu dia berkata: Oh aku sudah tahu rupanya gajah itu seperti cambuk.

Si nomor tiga lagi maju ke muka. Cari-cari gajah, lalu memegang kaki gajah. Katanya: Oh
aku sudah tahu gajah rupanya seperti pohon kelapa. Si nomor empat tampil ke muka (dia
cebol) pendek sekali dia punya badan. datang di bawah gajah itu, pegangpegang tak dapat
apa-apa. Katanya: O aku sudah tahu, gajah rupanya seperti hawa. Gajah tidak ada. Gajah itu
seperti hawa ini.
Seperti orang di dalarn dunia industrialisme mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Padahal
gajah ada. Demikian pula, padahal Tuhan ada. Tetapi ciptaan manusia berganti-ganti.
Saudara-saudara.
Aku menceritakan hal ini, untuk mengatakan bahwa bangsa kita yang terutama sekali hidup
di atas taraf agraria ini, bahwa bangsa Indonesia itu reliegius. Oleh karena itulah maka sila
yang pertama tergalilah olehku hal perasaan ini: Ketuhanan di dalam arti relegieusiteit. Tetapi
oleh Saudara-saudara pihak Islam diusulkan supaya ditambah dengan perkataan: Yang Maha
Esa. Dan itu kami terima dengan segala senang hati.
Maka oleh karena itulah sila yang pertama sekarang itu, berbunyi: Ketuhanan Yang Maha
Esa.

Kebangsaan
Sudah barang tentu kita yang ingin menjadi bangsa yang satu, harus mengemukakan sila
kebangsaan itu. Dan sudah barang tentu rasa kebangsaan itu hidup berkobar-kobar di dalam
dada kita. Ialah oleh karena kita sudah 350 tahun dijajah oleh bangsa lain. Sosiologis, sernua
bangsa yang lama dijajah oleh bangsa asing, mesti kalbunya itu berkobar-kobar dengan rasa
kebangsaan. Ini boleh dinamakan adalah satu perasaan negatif, reaksi kepada imperialisme
atau kolonialisme. Tetapi rasa kebangsaan ada di dalarn kalbunya tiap-tiap bangsa yang telah
lama dijajah oleh bangsa lain. Tetapi seperti Saudara-saudara mengetahui, kebangsaan yang
kita kemukakan bukan sekadar kebangsaan negatif. Tetapi juga kebangsaan positif.
Kebangsa-an yang ingin mengemukakan segala rasa-rasa yang mulia dan luhur yang ada di
dalam kalbunya bangsa kita.
Bahkan aku berkata, di dalam hal ini bangsa Indonesia telah memberi contoh yang sebaikbaiknya. Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa di dunia ini vang belum pernah menjajah
bangsa lain. Bangsa Iain pcrnah menjajah Indonesia. Tctapi bukalah kitab sejarah. Dari
zaman dahulu sampai zaman sekarang engkau tidak akan mendapat sesuatu bukti bahwa
bangsa Indonesia itu pernah menjajah bangsa lain. Tidak! Kita bangsa Indonesia di dalam
rasa nasionalismne kita suci murni sebagai satu bangsa yang bukan saja menjunjung tinggi
kepada nasionalisme atau kebangsaan, tetapi juga sebagai satu bangsa yang hidup di dalam
alam perikemanusiaan sebagai yang terlukiskan di dalam sila ketiga daripada Pancasila itu.
Seluruh bangsa di Asia sekarang masih hidup di dalam rasa kebangsaan itu. Nasionalisme
adalah salah satu faktor mental yang penting sekali di dalam segenap dunia dari Magribi
(daerah paling Barat dari Afrika) sampai ke daerah Pasifik. Apa sebab? Ialah karena bangsabangsa yang dinamakan bangsa Afrika dan Asia ini tidak berselang lama masih hidup di
dalam alam penjajahan, dijajah oleh kolonialisme, diperintah oleh bangsa lain, ditindas oleh
bangsa asing, dihisap oleh kekuasaan-kekuasaan dari luar. Bangsa-bangsa yang demikian itu
tidak boleh tidak tentu kalbunya itu hidup dengan keinginan kembali kepada pribadi sendiri,

yaitu yang dinamakan kebangsaan. Tetapi bangsa Indonesia adalah istimewa. Ialah oleh
karena bangsa Indonesia ini terutama sekali hidupnya di persimpangan jalan. Persimpangan
jalan dari Asia ke Australia, dari lautan Teduh ke lautan Hindia. Bangsa yang dari zaman
purbakala sudah belajar kenal dengan bangsa-bangsa yang lain. Bangsa yang tidak pernah
hidup eksklusif. Bangsa yang tidak pernah hidup isolationistis. Bangsa yang tidak pernah
hidup menyen-diri. Bangsa yang merasa dirinya tertindas benar. Bangsa yang merasa dirinya
terjajah benar. Bangsa yang ingin merdeka benar. Bangsa yang ingin bersatu benar. Bangsa
yang dus bernasionalisme benar. Tetapi nasionalismenya tidak pernah sekadar negatif, tetapi
positif. Ialah karena bangsa Indonesia itu sebagai tadi kukatakan tidak pernah terpencil
daripada bangsa -bangsa yang lain.

Perikemanusiaan
Rasa perikemanusiaan antara lain-lain bisa diterangkan daripada inilah yang bangsa
Indonesia tidak pernah hidup isolationistis, yang bangsa Indonesia seperti hidup di dalam satu
gedung yang pintu-pintunya terbuka, jendela-jendelanya terbuka. Hawa segar dapat masuk ke
dalam gedung bangsa Indonesia itu. (Dengan demikian, bangsa Indonesia itu tidak pernah di
dalam kalbunya pula, isolationistis). Selalu mem-punyai rasa manusia dengan manusia
dengan manusia dengan bangsa apapun. Apalagi kita sejak daripada zaman dulu mendapat
didikan-didikan perikemanusiaan yang beraneka warna.
Ambil misalnya agarna Hindu, yang sudah ribuan tahun yang lalu datang di Indonesia. Apa
ajaran agarna Hindu, yang dulu itu boleh dikaakan agarna dari sebagian besar daripada
bangsa Indonesia ini? Apa ajaran agarna Hindu yang telah memasuki jiwa Indonesia beratusratus tahun lamanya. Di dalam agama Hindu ada satu ajaran dalam bahasa Sanskritnya
berbunyi: Tat Twam Asi. Apa artinya Tat Twam Asi? Sering di zarnan Hindu orang menunjuk
dirinya dan diri orang lain Tat Twam Asi. Apa artinya Tat Twam Asi? Dia adalah aku, aku
adalah dia. Itulah artinya Tat Twam Asi. Aku adalah dia, dia adalah aku, ini adalah rasa perikemanusiaan. Yang sudah di-cekokkan ke dalam jiwa kita beratusratus tahun bahkan beriburibu tahun yang lalu.
Kemudian kita mendapat pula didikan agama Islam. Tidak-kah agama Islanl itu justru satu
agama perikemanusiaan? Tidak-kah agama Islam itu sejak dari dahulu memberi pengajaran
kepada kita hal kifayah, hal kemasyarakatan, sampai misalnya diadakan fardhu kifayah.
Jangan sekadar memikirkan saja kepada diri sendiri, tetapi ingat kepada kifayah, fardhu
kifayah. Masyarakat, masyarakat. Dan tidakkah ajaran daripada Islam ini telah menyerak pula
di dalarn darah-daging bangsa Indonesia?
Engkau menghendaki agama Kristen, tidakkah agama Kristen pula mengajarkan hal
perikemanusiaan itu? Tidakkah agama Kristcn pula mengajarkan het God lccft bovcn alles,
en Uw naasten ggelijk U zelven.
Sesama manusia harus dicintai, seperti mencintai diri kita sendiri. Jadi jikalau aku menggali
rasa perikemanusiaan di dalam bumi Indonesia, itu adalah satu hal yang tidak mengherankan. Sebagaimana juga tidak mengherankan jikalau aku menggali rasa Ketuhanan di
dalam bumi Indonesia. Sebagai-mana juga tidak mengherankan jikalau aku menggali rasa
kebangsaan di dalam kalbunya bangsa Indonesia.

Kedaulatan Rakyat
Demikian pula kalau aku menggali kecintaan kepada Kedaulatan Rakyat di dalam kalangan
bangsa Indonesia. Itupun tidak mengherankan, bahwa bangsa Indonesia ini memang beriburibu tahun hidup di dalam alam demokrasi itu, walaupun demokrasi kita tidak sebagai apa
yang dinamakan parlementaire atau Westerse democratie sekarang ini. Sejak zaman dahulu
kita ini adalah bangsa yang demokratis. Sejak zaman dahulu kita memusyawaratkan segala
sesuatu yang mengenai masyarakat kita. Sebelum ada teori-teori Montesqieu, Voltaire,
Rousseau, sebelum teori trias-politica, sebelum ada parlemen-parlemen di dunia barat, kita
sudah menjalankan demokrasi di dalam bentuk secara kuno. Tetapi demokrasi telah ada. Oleh
karena itu rasa demokrasi ini tidak asing lagi bagi kita.
Sebelum ada parlemen-parlemen, kita telah mempunyai cara berpernerintah di desa-desa, dan
di negara-negara yang demokrasi, walaupun demokrasinya itu adalah demokrasi yang sesuai
dengan zaman itu.

Keadilan Sosial
Demikian pula kalau aku menggali di dalarn bumi Indonesia ini perasaan Keadilan Sosial.
Tidaklah mengherankan pula, terutama sekali di dalam alam imperialisme kita gandrung
kepada keadilan sosial. Kita gandrung kepada satu keadaan yang memberikan nyaman hidup
kepada kita. Kita gandrung kepada cukup makan, cukup pakaian, cukup perumahan yang
layak. Tidak perlu kuceritakan kepada Saudara-saudara betapa akibatnya imperialisme,
kolonialisme, penjajahan kepada kehidupan dan perikehidupan kita. Kita bangsa Indonesia
yang dahulu hidup di dalam alam kemakmuran, kita menjadi satu bangsa yang miskin di
dalam alam imperialisme itu. Tidakkah dulu Saudara mengenal ucapan bahwa bangsa
Indonesia dapat hidup dari uang 2 sen atau sebenggol seorang sehari karena isapan daripada
kaum imperialisme itu. Padahal kalau kita melihat kitab-kitab zaman kuno yang mengingatkan kita akan zaman yang makmur itu: gemah ripah loh jinawi, toto tentrem
kartoraharjo. Diceritakan masyarakat kita di zaman dahulu sampai poezie kita membawa
alam yang seindahindahnya mengenai keadilan sosial itu. Kadang-kadang aku menyuruhkan
dalang, jika dalang telah menceritakan kemakmuran bangsa kita di zaman dahulu, toto
tentrem kartoraharjo katanya, gemah ripah loh jinawi, poro kawulo ijeg rumagang ing gawe,
tebih saking cecengilan, adoh saking laku juti, bebek ayam rajokoyo enjang medal ing
pangonan surup bali ing kandange dewedewe.
Sampai bebek dan ayam dikatakan pagi-pagi keluar sendiri ke tempat penggembalaan. Pada
waktu magrib ternak ayam bebek ini pulang ke kandangnya masing-masing.
Kemudian datang imperialisme hidup di dalam alam kemiskinan. hidup dari sebenggol
seorang sehari. Sebagai Dr Huender mengatakan een natie van loontrekkers en een koelie
onder de naties. llidup dalam alam kesederhanaan, hidup di dalam alam kepapaan,
kekurangan. Herankah kita bahwa kita lantas hidup di dalam alam idealisme ini ingin kepada
keadilan sosial? Bahwa bangsa Indonesia gandrung kepada keadilan sosial itu? Heran-kah
kita bahwa bangsa Indonesia itu mengenang-ngenangkan akan datangnya seseorang ratu adil
yang bisa memberi sandang pangan yang layak kepada bangsa Indonesia itu? Dan herankah
kita kalau aku menggali sila kelima ini dari buminya bangsa Indonesia yang hidup papa
sengsara dan gandrung kepada keadilan sosial itu? Tidak!

Maka sekali lagi Saudara-saudara dan adik-adikku aku sekadar menggali keadaan-keadaan
yang nyata, kemudian aku formuleer dan formuleer inilah dinamakan Pancasila. Kemudian
tatkala aku menjadi Presiden Republik Indonesia dan mengunjungi daerah-daerah di seluruh
Indonesia dari Sabang sampai hampir ke Merauke makin teguh perasaanku bahwa hanya Pancasila inilah harus kita pertahankan sebagai dasar negara. Aku melihat bahaya yang besar
mengancam keruntuhan negara kita ini jikalau dasar Pancasila tidak kita pertahankan untuk
dasar negara kita. Jangan Pancasila diaku oleh sesuatu partai! Jangan ada sesuatu partai
berkata: Pancasila adalah azasku.
PNI tetaplah kepada azas Marhaenisme. Dan PNI boleh berkata justru karena PNI berazas
Marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.
Tetapi jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab jikalau dikatakan Pancasila adalah
ideologi satu partai, lalu partai-partai lain tidak mau.
Oleh karena itu aku ulangi lagi. Pancasila adalah dasar negara dan harus kita pertahankan
sebagai dasar negara jika kita tidak mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini.
Saudara-saudara.
Hal negara, jagalah negara jangan sampai negara ini pecah. Untuk apa kita bcrjuang
bcrpuluh-puluh tahun, tidakkah untuk negara ini? Dan tadi sebagai kuterangkan tidakkah kita
telah gandrung kepada kesatuan dari Sabang sampai ke Merauke? Menggandrwngi satu
negara yang meliputi satu territour dari Sabang sampai ke Merauke itu? Tidakkah itu tujuan
perjuangan kita, hal yang baginya kita telah rela berkorban? Tidakkah untuk itu pemudapemuda kita rela mati di medan pertempuran? Tidakkah untuk itu kita mempunyai bangsa
berkorban sampai sudah tidak bisa dinamakan pengorbanan lagi, karena pedihnya sudah tiada
hingga lagi? Tidakkah untuk negara yang satu ini kita berjuang berpuluh-puluh tahun dan
kemudian kita bertempur di dalam revolusi bertahun-tahun pula?
Negara adalah wadah. Dari territour Sabang sampai ke Merauke ini adalah harus
terbentang satu wadah yang besar. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Dan kalau
Saudara-saudara atau siapapun, ingin masukkan ideologi, masukkanlah di dalam masyarakat
ini! Ini tegas kukatakan beda antara wadah dengan masyarakat yang di dalam wadah ini.
Yang harus di sini itu, masyarakatnya. Wadahnya ini, jangan sampai retak. Engkau
mempunyai wadah yang berupa piring, berupa gelas ataupun berupa bejana. Di dalam wadah
itu dapat engkau isikan air, bier, stroop, kecap, segala apa yang dapat. Tetapi janganlah wadah
ini retak. Negara menurut teori populer, adalah wadah. Menurut teori lain-lain, macammacam. Misalnya salah satu teori yang amat terkenal, ialah teori daripada Marx. Karl Marx
berkata bahwa negara adalah sekadar satu organisasi. Organisasi kekuasaan (macht
organisatie) kata Marx. Apa sebab katanya, karena di dalam masyarakat selalu ada dua kelas
yang bertentangan satu sarna lain. Kelas yang satu menundukkan kelas yang lain dan ingin
mengekalkan penundukannya ini dan untuk menundukkan itu, kata Marx, maka kelas yang
menang ini mengadakan macht-organisatie yang dinamakan negara. Ini teori Marx tentang
negara.
Lenin. komunis yang terkenal malahan lebih populer Iagi mcngatakan. Pernah orang bertanya
kepada Tovarich Lenin, apa negara itu? Lenin menjawab de staat is een knuppel (negara
adalah pentung). Di dalam cara berpikir kaum Marxist memang iiegara adalah satu pentung.
Negara adalah macht organisatie kata Marx sendiri. (organisasi kekuasaan daripada satu kelas
yang berkuasa). Organisasi kekuasaan ini bisa dipakai untuk mementung ke Iuar, dapat

dipakai untuk mementung ke dalam. Mementung ke luar, yaitu kalau ada musuh dari Iuar
datang hendak menyerbu. Maka dihadapi dengan organisasi negara ini, dihadapi dengan alatalat kekuasaan daripada macht organisatie ini. Dan alat kekuasaan itu berupa tentara, armada
dan lain-lain sebagainya. Negara adalah macht organisatie yang mempunyai alat-alat
kekuasaan untuk menahan musuh yang datang dari luar. Tetapi negara juga macht organisatie
yang mempunyai alat-alat kekuasaan untuk mementung memukul musuh-musuh dari dalam.
Yang dari dalam itu apa, pencuri-pencuri dan lain-lain sebagainya. Alat-alatnya ke dalam
yang berupa hakim-hakim, penjara-penjara dan lain-lain.
Dia membantah pendapatnya kaum idealis yang mengata-kan bahwa negara adalah: de tot
werkelijkheid van geworden idee. Kaum idealis, kaum yang disebut oleh Marx tidak berdiri
di atas realiteit. Kaum idealis itu berkata bahwa negara adalah de tot werkelij kheid geworden
idee. Jadi seperti satu pengelamunan, satu cita-cita kernudian terselenggara. Marx
membantah akan hal itu, dan mengatakan akan hal itu, dan mengatakan negara adalah satu
macht-organisatie, yang bukan timbul sebenarnya daripada idee, tetapi daripada
verhoudingen, daripada klassen-strijd, perbandingan-perbandingan di dalarn masyarakat yang
bertabrakan satu sama lain ini memaksa kepada keadaan terbentuknya macht-organisatie
sebai:,ai kelas yang menang.
Dan olch karcna negara mcnurut anggapan Marx adalah macht organisatie daripada kelas
yang menang, maka Marx berkata: di kclak kemudian hari jika telah tercapai satu masyarakat
yang tidak berkelas (sekarang ini masih ada kelas kapitalis, kelas proletar), tetapi di kelak
kemudian hari jikalau kelas kapitalis sudah hilang, tinggal satu masyarakat yang tidak
berkelas katanya, semuanya itu satu golongan saja tidak ada kapitalis, proletar, tidak ada
feodal tidak ada horige, di dalam masyarakat yang tidak ada berkelas lagi, kata Marx, dengan
sendirinyapun negaranya lenyap. Satu maatschappij yang klassenloos akan menjelmakan juga
satu maatschappij yang staatloos. Itu anggapan Marx.
Tetapi bagi kami, terutama sekali untuk menyelamatkan kita punya Republik Indonesia ini,
kami menggambarkan negara ini dengan cara yang populer, yaitu menggambarkan gambaran
wadah, agar supaya bangsa Indonesia mengerti bahwa wadah inilah yang harus dijaga jangan
sampai retak. Dan wadah ini hanyalah bisa selamat tidak retak, jikalau wadah ini didasarkan
di atas dasar yang kunamakan Pancasila. Dan jikalau ini wadah dibuatnya daripada elemenelemen yang tersusun daripada Pancasila. Gelas terbuat dari gelas, cangkir terbuat dari
porselen, keranjang terbuat dari anyaman bambu, periuk terbuat daripada tanah, belanga
terbuat daripada tanah atau tembaga.
Wadah kita yang bernama negara ini, terbuatlah hendaknya daripada elemen-elemen yang
tersusun dari Pancasila. Sebab hanya jikalau wadah ini terbuat daripada elemen-elemen itu
saja, dan hanya kalau wadah ini ditaruhkan di atas dasar Pancasila itu maka wadah ini tidak
retak, tidak pecah.
Aku berani mengatakan ini karena aku telah melihat sendiri di beberapa daerah daripada
tanah air kita ini manakala sesuatu ide saja dipakai sebagai dasar, datanglah perpecahan. Ada
daerah yang dengan tegas menyatakan moh tidak mau ikut itu aku hanya mau Pancasila.
Pancasila itu saialah yang bisa mempersatukan kami scmuanva.
Oleh karena itu aku masih yakin baiknya Pancasila sebagai dasar negara. Ini wadah bisa diisi,
dan mcmang wadah ini telah terisi masyarakat. Masyarakat ini yang harus diisi. Orang Islam
isilah masyarakat ini dengan Islam. Orang komunis, masukkan-lah atau isilah masyarakat ini

dengan komunisme. Orang Kristen, masukkanlah kekristenan di dalam masyarakat ini. PNI
yang berdasar di atas marhaenisme, isilah masyarakat ini dengan marhaenisme, dengan satu
masyarakat yang berdasar dengan marhaenisme. Masyarakatnya yang harus diisi. Tempo hari
aku menggambarkan dengan tamzil lain, ini wadah diisi air, engkau mau apa, airnya diisi
dengan warna apa, warna hijau, ya isilah dengan hijau air ini. Engkau senang warna merah,
isilah dengan warna merah. Engkau senang dengan warna kuning, isilah air ini dengan warna
kuning. Engkau senang kepada warna hitam, isilah air ini dengan warna hitam. Airnya yang
harus diisi, bukan wadahnya. Wadahnya biar tetap dengan berdasarkan Pancasila, tetap
terbuat daripada elemen-elemen Pancasila ini. Sebab bilamana tidak, maka wadahnya retak.
Kalau retak, bocor. Bisakah kita mengisikan air di dalam beker yang retak? Tidak! Bisakah
kita mengisikan susu di dalam beker yang retak? Tidak! Oleh karena itu kita harus jaga
jangan sampai wadah ini retak.
Saudara-saudara
Inilah pokok daripada anjuranku kepada segenap bangsa Indonesia supaya mengerti betulbetul akan hal ini. Orang berkata aku diktator katanya memaksakan orang memakan
Pancasila. Tidak! Aku tidak berdiktator. Pertama aku sekadar menjaga jangan sampai negara
ini pecah. Dan sebagai telah kukatakan di satu tempat aku berbicara sebagai Presiden
Republik Indonesia dan tatkala aku dijadikan Presiden Republik Indonesia aku harus mengucapkan sumpah. sumpah mem-pertahankan dan setia kepada UUD. Dan di dalain UUD ini
Mukaddimahnya dengan tegas mengatakan hal Pancasila itu. Kita telah mengalami beberapa
UUD Sementara. Bahkan sebelum ada UUD Senientara itu kita telah mengalami apa yang
dinamakan Jakarta Charter. Di dalam Jakarta Charter telah disebutkan lima sila itu. Kemudian
di dalam UUD daripada Negara Republik Indonesia yang pertama, Pancasila sebagai
Mukaddimah, kemudian di dalam UUD RIS. Mukaddimah-nyapun berisikan Pancasila.
Kernudian di dalam UUD Sementara yang sekarang ini, lagi-lagi Pancasila. Di atas UUD ini
aku harus mengadakan surnpah. Tidakkah sudah sebaiknya sepantasnya seyogyanya
seharusnya semestinya aku tidak berhenti-henti membela kepada Pancasila ini sebagai dasar
negara. Dasar negara yang UUD-nya telah kusumpah. Dan bukan saja oleh karena aku telah
bersumpah, tidak! Lebih daripada sumpah itu, ialah keyakinan di dalam dadaku bahwa
Pancasila ini adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan Negara Republik Indonesia ini.
Oleh karena itu aku dengan yakin pula berkata kepada semua orang harap Pancasila ini
dipertahankan. Sebab jikalau Pancasila tidak dipertahankan sebagai dasar negara kita, kita
nanti mengalami bencana. Bolehkah kita mempropaganda-kan ideologi kami? Boleh semerdeka-merdekanya. Tetapi negara, tetaplah letakkan di atas Pancasila.
Beberapa kali di dalam waktu yang akhir-akhir ini malahan aku berkata kita hendak
mengadakan konstituante, hendak mengadakan pemilihan umum untuk konstituante dan
DPR. Aku dengan tegas selalu berkata pemilihan umum buat apa, untuk memilih
konstituante. Konstituante untuk apa, untuk menyusun UUD tetap. Apa sebab tetap, oleh
karena UUD kita sekarang ini masih sementara. UUD tetap untuk apa, kataku untuk negara
yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tidak untuk negara lain, negara baru.
Tegas kataku, adakah orang yang hendak mau diajak membikin ULID baru bagi sesuatu
negara lain sesuatu negara baru yang bukan negara 17 Agustus 1945?
Mungkin ada orang-orang yang demikian itu. Tetapi aku yakin Saudara-saudara tidak mau.
Sebab itu aku berkata dan menganjurkan kalau diajak oleh seseorang mengadakan UUD tetap
untuk sesuatu negara lain. negara baru, bukan negara yang kita proklamirkan bersama pada
tanggal 17 Agustus 1945, dengan tegas aku berkata jangan mau!

Tidakkah kita untuk itu kita berjuang untuk negara yang kita proklamirkan 17 Agustus 1945?
Kalau kita tidak berjuang lagi untuk negara yang 17 Agustus 1945, kalau tidak sekarang ini
masih kita membanting tulang mengulur kita punya tenaga, memeras kita punya keringat
untuk negara 17 Agustus ini lebih baik kita tidur, jangan bekerja jangan berjuang. Sebab
negara ini yang kita cita-citakan sejak dari dahulu. Negara ini penluda-pemuda kita telah
mengorbankan dia punya jiwa dan raga. Untuk negara ini bapak kita telah membakar dia
punya rumah. Untuk negara ini kita punya pelayan-pelayan ikut berjuang menderita sehebathebatnya. Untuk negara ini kita pegawai-pegawai mengungsi ke gunung-gunung. Untuk
negara ini kita punya gerilya kita punya TNI hancur habis-habisan. Untuk negara ini kita
punya bumi hangus. Untuk negara ini kita punya pemimpin-pemimpin beriburibu masuk
penjara ada yang digantung oleh Belanda. Tidakkah benar kataku ini?
Apa sebab sekarang kita mau membuat Undang-Undang Dasar tetap bagi sesuatu negara lain
atau negara baru. Jangan! Jangan!
Adakah yang mengadakan negara lain? Ya ada, antara lain, Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar,
Daud Beureueh. Dan ada orang-orang yang simpati kepada Kartosuwiryo, Kahar Muzakkar,
Daud Beureueh. Tetapi kita tidak mau dan kita mohon kepada Allah swa ya Allah ya Rabbih,
semoga kita tetap kepada tekad yang semula yaitu setia kepada Republik Indonesia 17
Agustus 1945.
Saudara-saudara
Sekarang kita menghadapai soal ini: Pancasila tetap sebagai dasar negara atau tidak. Aku
sebagai Presiden Republik Indonesia dan lebih-lebih pula sebagai Bung Karno. aku tetap
menganjurkan pakailah Pancasila ini tetap sebagai dasar negara kalau kita tidak ingin negara
ini menjadi pecah.
Ini satu perjuangan yang mengenai dasar. Ini menjadi satu perjuangan untuk meyakinkan
Saudara-saudara kita yang lain-lain yang belum yakin. Dan perjuangan yang demikian ini
tidak bisa kita jalankan dengan diam-diam. Perjuangan yang demikian ini merninta kita
mencurahkan segenap kita punya tenaga segenap kita punya daya penarik, segenap kita
punya daya meyakinkan kepada orang lain. Kita harus bekerja keras sekeras-kerasnya.
Tatkala dulu pemimpin-pemimpin menyebar-kan paham entah paham ke Islaman, entah
paham kesatuan Indonesia, entah paham sosialisme, entah paham komunisme, entah paham
Markhaenisme, mereka tidak duduk memeluk lutut. Mereka bergerak, meninggalkan kursi
yang empuk-empuk, mereka masuk kampung keluar kampung, masuk desa keluar desa.
Mereka menjalankan darma baktinya dengan memberikan tenaga yang 100%.
Kita sekarang menghadapi konstituante, pemilihan umum. Segenap jiwa ragaku ingin agar
dasar Pancasila ini tetap dipakai oleh bangsa Indonesia. Aku sebagai Presiden Republik
Indonesia tidak sering bisa meninggalkan Istana Negara atau Istana Merdeka ini. Kalau
umpamanya aku manusia biasa bukan Presiden, insya Allah swa. tiap hari aku akan masuk
kampung dan desa. Tiap hari suaraku kugunturkan dan isinya suaraku tak lain tak bukan, hai
bangsa Indonesia jangan negara kita ini sampai retak. Jangan negara Republik Indonesia ini
sampai terpecah belah. Marilah kita selamatkan negara ini, dan selamatnya hanya bisa di atas
dasar Pancasila.
Aku minta kepadamu sekalian. untuk betul-betul menganjurkan hal Pancasila ini kepada
segcnap rakyat agar supava selamatlah negara kita ini.

Sekian, terima kasih.

APA SEBAB NEGARA REPUBLIK INDONESIA


BERDASARKANPANCASILA?

Amanat PJM Presiden Soekarno


pada tanggal 24 September 1955
di Surabaya

Saudara-saudaraku sekalian,
Saya adalah orang Islam, dan saya adalah keluarga Negara Republik Indonesia.
Sebagai orang Islam saya menyampaikan salam Islam kepada saudara-saudara sekalian
assalamualaikum wr. wb!
Sebagai warga negara Republik Indonesia saya menyampaikan kepada saudara-saudara
sekalian, baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu Bali, baik yang beragama
lain, kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional merdeka!
Tahukah saudara-saudara arti perkataan salam sebagai bagian daripada perkataan
assalamualaikum wr. wb? Salam arti-nya damai, sejahtera. Jikalau kita menyebutkan
assalamu alaikum wr. wb, berarti damai dan sejahteralah sampai kepadamu. Dan mogamoga rakhmat dan berkat Allah jatuh kepadamu. Salam berarti damai, sejahtera. Maka oleh
karena itu saya minta kepada kita sekalian untuk merenungkan benar-benar akan arti
perkataan assalamu alaikum.
Salam damai sejahtera! Marilah kita bangsa Indonesia terutama sekalian yang beragama
Islam hidup damai dan sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai
membahayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan-gerombolan yang
menyebutkan assalamu-alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat.
Salam damai! Damai sejahtera! Rukun bersatu! Terutama sekali di dalam revolusi
nasional kita yang belum selesai ini.
Dan sebagai warga negara merdeka saya tadi memekikkan pekik merdeka bersama-sama
dengan kamu. Kamu yang beragama Islam, kamu yang beragama Kristen, kamu yang beragama Syiwa Budha, Hindu Bali atau agama lain. Pekik merdeka adalah pekik yang
membuat rakyat Indonesia itu, walaupun jumlahnya 80 juta, menjadi bersatu tekad,
memenuhi sumpahnya Sekali merdeka, tetap merdeka!
Pekik merdeka, saudara-saudara adalah pekik pengikat. Dan bukan saja pekik pengikat,
melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan
imperialisme, dengan tiada ikatan penjajahan sedikitpun. Maka oleh karena itu saudarasaudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini, fase revolusi nasional yang
belum selesai, jangan 1 upa kepada pekik merdeka! Tiap-tiap kali kita berj umpa satu sama
lain, pekikkanlah pekik merdeka!
Tatkala aku mengadakan perjalanan ke Tanah Suci beberapa pekan yang lalu, aku telah
diminta oleh khalayak Indonesia di kota Singapura untuk mengadakan amanat terhadap
kepada mereka. Ketahuilah, bahwa di Singapura itu berpuluh-puluh ribu orang Indonesia
berdiam. Mereka bergembira, bahwa Presiden Republik-nya lewat di Singapura. Mereka
mcnyambut kedatangan Presiden Republik Indonesia itu dengan gegap-gernpita, dan minta
kepada Presiden Republik Indonesia Umtuk memberikan amanat kepadanya. Di dalam
amanat itu beberapa kali dipekikkan pekik kepadamu salam assalamualaikum! Sebagai
warga negara Republik Indonesia aku menyampaikan kepadamu merdeka!
Saudara-saudara aku pulang dari Bali, beristirahat beberapa hari di sana. Diminta oleh
Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada ini malam memberikan sedikit ceramah, wejangan,

amanat, terutama sekali yang mengenai hal apa sebab Negara Republik Indonesia
berdasarkan kepada Pancasila? Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.
Tadi, tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas? Apa sebab? Terlalu
jauh jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka oleh karena itulah saudara-saudaraku dan anakanakku sekalian, maka Bapak minta kepada pimpinan agar supaya saudara-saudara diberi izin
lebih dekat. Sebab saudara-saudara tahu isi hati Bapak ini, isi hati Presiden, isi hati Bung
Karno, kalau jauh daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan
rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.
Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada saudara-saudara, Insya Allah
saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato di sini bukan sekadar sebagai Soekarno.
Bukan sekadar sebagai Bung Karno. Bukan sekadar sebagai Pak Karno. Aku berpidato di
sini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta
untuk memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia
didasarkan atas Pancasila?
Dan diminta memberi penjelasan akan Panca Dharma, sebagai yang telah kuanjurkan dengan
resmi pula di dalam pidato Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus yang lalu.
Dan pcrmintaan itu, Insya Allah kukabulkan pula sebagai Presiden Republik lndonesiau
justru oleh karena pada saat sekarang ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia, maka
dengan gembira dan senang hati saya memenuhi permintaan wltuk memberi penjelasan
merdeka.
Apa lacur? Sesudah Bapak meneruskan perjalanan ke Bangkok, ke Rangoon, ke New Delhi,
Karachi, ke Bagdad, ke Mesir, ke Negara Saudi Arabia. sesudah Bapak meninggalkan kota
Singapura, geger pers imperialisme Singapura, saudarasaudara. Mereka berkata: Presiden
Sukarno kurang ajar. Presiden Sukarno menjalankan ill-behaviour katanya. I11-behaviour
itu artinya tidak tahu kesopanan. Apa sebab pers imperialisme mengatakan Bapak
menjalankan ill-behaviour, kurang ajar? Kata mereka, toh tahu Singapura ini bukan negeri
merdeka? Toh tahu, bahwa di sini masih di dalam kekuasaan asing, kok memekikkan pekik
merdeka?
Tatkala Bapak kembali dari Tanah Suci, singgah lagi di Singapura, Bapak dikeroyok oleh
korenponden-koresponden dan wartawan-wartawan. Mereka menanyakan kepada Bapak:
Tahukah PJM Presiden, bahwa tatkala PJM Presiden meninggalkan kota Singapura di dalam
perjalanan ke Mesir dan Tanah Suci, PJM dituduh kurang ajar, kurang sopan, ill-behaviour,
oleh karena PJM memekikkan pekik merdeka dan mengajarkan kepada bangsa Indonesia di
sini memekikkan pekik merdeka? Apa jawab Paduka Yang Mulia atas tuduhan itu?
Bapak menjawab: Jikalau orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia, warga negara
Republik Indonesia, berjumpa dengan warga negara Republik Indonesia, pendek kata
jikalau orang Indonesia bertemu dengan orang Indonesia, selalu memekikkan pekik
merdeka! Jangankan di sorga, di dalarn nerakapun!
Nah saudara-saudara dan anak-anakku sekalian. jangan lupa akan pekik merdeka itu. Gcgapgempitakan tiap-tiap kali pekik merdeka itu. Apalagi sebagai Bapak katakan tadi dalam fase
revolusi nasional kita yang belum selesai. Dus kuulangi lagi, sebagai manusia yang beragama
Islam aku menyampaikan kepadamu salam assalamualaikum! Sebagai warga negara
Republik Indonesia aku menyampaikan kepadamu merdeka!

Saudara-saudara aku pulang dari Bali, beristirahat beberapa hari di sana. Diminta oleh
Kongres Rakyat Jawa Timur untuk pada ini malam memberikan sedikit ceramah, wejangan,
amanat, terutama sekali yang mengenai hal apa sebab Negara Republik Indonesia
berdasarkan kepada Pancasila? Dan memberikan penerangan tentang hal Panca Dharma.
Tadi, tatkala aku baru masuk gedung Gubernuran ini, hati kurang puas? Apa sebab? Terlalu
jauh jarak rakyat dengan Bung Karno. Maka oleh karena itulah saudara-saudaraku dan anakanakku sekalian, maka Bapak minta kepada pimpinan agar supaya saudara-saudara diberi izin
lebih dekat. Sebab saudara-saudara tahu isi hati Bapak ini, isi hati Presiden, isi hati Bung
Karno, kalau jauh daripada rakyat rasanya seperti siksaan. Tetapi kalau dekat dengan
rakyat, rasanya laksana Kokrosono turun dari pertapaannya.
Permintaan Kongres Rakyat untuk memberikan amanat kepada saudara-saudara, Insya Allah
saya kabulkan. Dan dengarkan benar, aku berpidato di sini bukan sekadar sebagai Soekarno.
Bukan sekadar sebagai Bung Karno. Bukan sekadar sebagai Pak Karno. Aku berpidato di
sini sebagai Presiden Republik Indonesia! Sebagai Presiden Republik Indonesia aku diminta
untuk memberi penjelasan tentang Pancasila. Apa sebabnya negara Republik Indonesia
didasarkan atas Pancasila?
Dan diminta memberi penjelasan akan Panca Dharma, sebagai yang telah kuanjurkan dengan
resmi pula di dalam pidato Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus vang lalu.
Dan permintaan itu. Insya Allah kukabulkan pula sebagai Presiden Republik Indonesia, justru
oleh karena pada saat sekarang ini saya sebagai Presiden Republik Indonesia, maka dengan
gembira dan senang hati saya memenuhi permintaan untuk memberi penjelasan tentang
Pancasila.
Apa sebab? Tak lain dan tak bukan ialah oleh karena aku ini Presiden Republik Indonesia
disumpah atas Undang-Undang Dasar kita. Saya tadi berkata, bahwa saya memenuhi
perminta-an Kongres Rakyat Jawa Timur dengan penuh kesenangan hati, ialah oleh karena
saya ini sebagai Presiden Republik disumpah atas dasar Undang-Undang Dasar kita.
Disumpah harus setia kepada Undang-Undang Dasar kita. Di dalam Undang-Undang Dasar
kita, dicantumkan satu Mukaddimah, kata pendahuluan. Dan di dalam kata pendahuluan itu
dengan tegas disebutkan Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan Indonesia yang
bulat, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Malahan bukan satu kali ini
Pancasila itu disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar kita. Sejak kita di dalam tahun 1945
telah berkemas-kemas untuk menjadi satu bangsa yang merdeka, sejak itu kita telah
mengalami empat kali naskah.
Sebelum mengadakan Proklamasi 17 Agustus, sudah ada satu naskah. Kemudian pada 17
Agustus satu naskah lagi. Kemudian tatkala RIS dibentuk satu naskah lagi. Kemudian
sesudah itu tatkala kita kembali kepada zaman Republik Indonesia Kesatuan satu naskah lagi.
Empat kali naskah saudara-saudara. Dan di dalam keempat naskah itu dengan tegas
disebutkan Pancasila.
Pertarna tatkala kita di dalam zaman Jepang, kita telah berkemas-kemas di dalam tahun 1945
itu untuk menjadi bangsa yang merdeka. Pada waktu itu telah disusunlah satu naskah yang dinarnakan Charter Jakarta. Di dalam Jakarta Charter itu telah disebutkan dengan tegas lima
azas yang hendak kita pakai sebagai pegangan untuk negara vang akan datang. Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial.

Demikian pula tatkala kita telah memproklamirkan kemerdekaan kita pada 17 Agustus 1945,
dengan tegas pula keesokan harinya saudara-saudara kukatakan Undang-Undang Dasar yang
kita pakai ini, yaitu Undang-Undang Dasar yang kita rencanakan pada waktu caman.lepang di
bawah ancaman bayonet Jepang, kita rencanakan satu Undang-Undang Dasar daripada
Negara Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan di
dalam Undang-Undang Dasar itu dengan tegas dikatakan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial.
Tatkala berhubung dengan jalannya politik, Negara republik Indonesia Serikat dibentuk
(RIS), pada waktu itu dibuatlah Undang-Undang Dasar RIS. Dan di dalam Mukaddimah
Undang-Undang Dasar RIS ini disebutkan lagi dengan tegas Pancasila.
Kita tidak senang akan federal-federalan. Segenap rakyat memprotes akan adanya susunan
federal ini. Delapan bulan susunan federal ini. Delapan bulan susunan RIS berdiri hancur
lebur RIS, berdirilah Negara Republik Indonesia Indonesia Kesatuan. Dan Undang-tlndang
Dasar yang dipakai RIS ini diubah lagi menjadi Undang-Undang Dasar Sementara daripada
Negara Republik Indonesia Kesatuan. Tetapi tidak diubah isi Mukaddimah yang mengandung
Pancasila.
Jadi dengan tegas saudara-saudara, jelas! Empat kali di dalam sepuluh tahun ini kita
melewati empat naskah. Tiap-tiap naskah menyebutkan Pancasila. Dan tatkala aku dengan
karunia Allah s.w.t. dinobatkan menjadi Presiden, aku disumpah. Dan isi sumpah itu antara
lain ialah setia kepada Undang-Undang Dasar. Maka oleh karena itulah saudara-saudara, rasa
sebagai kewajiban jikalau diminta oleh sesuatu grolongan akan keterangan tentang Pancasila.
mcmcnuhi pcrmintaan itu. Dan pada ini malam dengan mengucap suka-syukur ke hadirat
Allah s.w.t. aku berdiri di hadapan saudara-saudara. Berhadap-hadapan muka dengan kaurn
buruh, dengan pegawai. rakyat jelata, dengan pihak Angkatan Laut Republik Indonesia dan
pihak Tentara, dengan pihak Mobrig, pihak Polisi, Pihak Perintis, dengan Pemuda, dengan
Pemudi, berdiri di hadapan saudara-saudara dan anakanak sekalian, yang telah datang
membanjiri lapangan yang besar ini Iaksana air hujan, aku mengucap banyak terima kasih
kepadamu. Dan Insya Allah saudara-saudara aku akan terangkan kepadamu tentang apa sebab
Negara Republik didasarkan atas dasar Pancasila.
Saudara-saudara,
Ada yang berkata Pancasila ini hanya sementara!
Yah jikalau diambil di dalam arti itu, memang Pancasila adalah sementara. Tetapi bukan saja
Pancasila adalah sementara, bahkan misalnya ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar kita,
bahwa Sang Merah Putih, bendera kita, itupun sementara! Segala Undang-Undang Dasar
kita sekarang ini adalah sementara.
Tidakkah tadi telah kukatakan, bahwa Undang-Undang Dasar yang kita pakai sekarang ini,
malahan disebutkan Undang-Undang Dasar Sementara daripada Negara Republik Indonesia?
Apa sebab sementara? Yah oleh karena akhirnya nanti yang akan menentukan segala sesuatu
ialah konstituante. Maka itu Saudarasaudara kita akan mengadakan pernilihan umurn 2 kali.
Pertama pada tanggal 29 September nanti, Insya Allah s.w.t. untuk memilih DPR.
Kemudian pada tanggal 15 Desember untuk memilih Konstituantcadalah Badan Pembentuk
Undang-Undang Dasar. t JndanuUndang Dasar yang tetap. Konstituante adalah pembentuk

konstitusi. Konstitusi berarti Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tetap bagi


Negara Republik Indonesia, vang sampai sekarang ini segala-galanya masih sementara.
Tetapi saudara-saudara, jikalau ditanya kepadaku apa yang berisi kalbu Bapak ini akan
permohonan kepada Allah s.w.t.?
Terus terang aku berkata, jikalau saudara-saudara membelah dada Bung Karno ini,
permohonanku kepada Allah s.w.t. ialah saudara-saudara bisa membaca di dalam dada Bung
Karno memohon kepada Allah s.w.t. supaya Negara Republik Indonesia tetap berdasarkan
Pancasila.
Yah benar, bahwa segala sesuatunya adalah sementara. Tetapi aku berkata, bahwa Sang
Merah Putih adalah sementara, adalah bendera Republik Indonesia-pun sementara. Dan
jikalau nanti konstituante bersidang, Insya Allah s.w.t. saudara-saudaraku, siang dan malam
Bapak akan memohon kepada Allah s.w.t. agar supaya konstituante tetap menetapkan
Bendera Sang Merah Putih sebagai bendera Negara republik Indonesia.
Aku minta kepadamu sekalian, janganlah memperdebatkan Sang Merah Putih ini. Jangan ada
satu pihak yang mengusulkan warna lain sebagai bendera Republik Indonesia.
Tahukah saudara-saudara, bahwa warna Merah Putih ini bukan buatan Republik Indonesia?
Bukan buatan kita dari zaman pergerakan nasional. Apa lagi bukan buatan Bung Karno,
bukan buatan Bung Hatta! Enam ribu tahun sudah kita mengenal akan warna Merah Putih ini.
Bukan seribu tahun. bukan dua ribu tahun. bukaii tiga ribu tahun, bukan empat ribu tahun,
bukan lima ribu tahun! Enam ribu tahun kita telah mengenal warna Merah Putih!
Tatkala di sini belum ada agama Kristen, belum ada agama Islanl, belum ada agama Hindu,
bangsa Indonesia telah mengagungkan warna Merah Putih. Pada waktu itu kita belum
mengenai Tuhan dalam cara mcngcnal sebagai sckarang ini. Pada waktu itu vang kita sembah
adalah Matahari daii Bulan. Pada waktu itu kita hanya mengira, bahwa yang memberi hidup
itu Mataharai.
Siang Matahari malam Bulan. Matahari merah Bulan putih. Pada waktu itu kita telah
mengagungkan warna Merah Putih. Kemudian bertambah kecerdasan kita. Kita lebih dalam
menyelami akan hidup di dalam alam ini.
Kita memperhatikan segala sesuatu di dalam alam ini dan kita melihat O, alam ini ada yang
hidup bergerak, ada yang tidak bergerak. Ada manusia dan binatang, makhluk-makhluk yang
bergerak. Ada tumbuh-tumbuhan yang tidak bisa bergerak. Manusia dan binatang itu
darahnya merah. Tumbuh-tumbuhan darahnya putih. Getih Getah.
Coba dengarkan hampir sama dua perkataan ini: Getih Getah.
Cuma i diganti dengan a Dulu kita mengagungkan Matahari dan Bulan yang di dalarn alam
Hindu dinamakan Surya Candra. Kemudian kita mengagungkan Getih-Getah. Merah-Putih.
Saudara-saudara, itu adalah fase kedua.
Fase ketiga, manusia mengerti akan kejadian manusia.
Mengerti, bahwa kejadian manusia ini adalah daripada perhubungan laki dan perempuan,
perempuan dan laki. Orang mengerti perempuan adalah merah, laki adalah putih.

Dan itulah sebabnya maka kita turun-temurun mengagung-kan Merah Putih. Apa yang
dinamakan gula-kelapa, meng-agungkan bubur bang putih. Itulah sebabnya maka kita
kemudian tatkala kita, mempunyai Negara-Negara setelah mempunyai kerajaan-kerajaan,
memakai warna Merah Putih itu sebagai bendera Negara. Tatkala kita mempunyai kerajaan
Singosari, Merah Putih telah berkibar terus dirampas oleh imperialisme asing. Tetapi di
dalam dada kita tetap hidup kecintaan kepada Merah Putih.
Dan tatkala kita mengadakan pcrgcrakan nasional sejak tahun 1908, dengan lahirnya Budi
Utomo dan diikuti oleh Serikat Islam, oleh NIP (National lndische Party), oleh ISDP, oleh
PKI. oleh Sarikat Rakyat, oleh PPPK, oleh PBI, oleh Parindra, dan lain-lain, maka rakyat
Indonesia tetap mencintai Merah Putih sebagai warna benderanya.
Uan tatkala kita pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan itu dengan
resmi kita menyatakan Sang Merah Putih adalah bendera kemerdekaan kita.
Itu semua jika dikatakan sementara, yaaah sementara! Sebab konstituante belum bersidang.
Konstituante mau merubah warna ini??? Lho, kalau menurut haknya, boleh saja. Sebab
konstituante itu adalah kekuasaan kita yang tertinggi. Penyusun, pembentuk Konstitusi. Jadi
kalau konstituante misalnya hendak menentukan warna Bendera Republik Indonesia bukan
Merah Putih yaah mau dikatakan apa?
Tetapi Bapak berkata, Bapak memohon kepada Allah s.w.t. agar supaya warna merah-putih
tetap menjadi warna Bendera Negara Republik Indonesia.
Kembali kepada Pancasila. Jika dikatakan sementara, yaaaaaa sementara!
Lagi-lagi Bapak ini berkata Allah s.w.t., Allah s.w.t. Dan Bapakpun bersyukur ke hadirat
Allah s.w.t., bahwa cita-cita Bapak yang sudah bertahun-tahun untuk naik Haji dikabulkan
oleh Allah s.w.t. Lagi-lagi Allah s.w.t.
Saudara-saudara, jikalau aku meninggal dunia nanti ini hanya Tuhan yang mengetahui, dan
tidak bisa dielakkan semua orang jikalau ditanya oleh Malaikat: Hai Soekarno, tatkala
engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan apa yang
paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang engkau
paling ucapkan syukur kepada Allah s.w.t.?
Moga-moga saudara-saudara aku bisa menjawab. -ya
bisa menjawab demikian atau tidaknya itupun tergantung dari pada Allah s.w.t.: Tatkala aku
hidup di dunia ini, aku telah ikut membentuk Negara republik Indonesia. Aku telah ikut
membentuk satu wadah bagi masyarakat Indonesia.
Sebagai sering kukatakan saudara-saudara, negara adalah wadah. Jikalau diberi karunia oleh
Allah s.w.t. mengerjakan pekerjaan satu ini saja, Allahuakbar aku akan berterima kasih
setinggi langit. Yaitu untuk pekerjaan ini saja, ikut membentuk wadah. Wadahnya, wadahnya
saja yang bernama Negara ini. Di dalam wadah ini adalah masyarakat. Wadah yang
dinamakan negara ini adalah wadah untuk masyarakat.
Membentuk wadah adalah lebih mudah daripada mem-bentuk masyarakat.

Membentuk wadah adalah bisa dijalankan di dalam satu hari sebenarnya, wadah yang
bernama Negara itu.
Tidakkah saudara-saudara dari sejarah dunia kadang-kadang mendengar, bahwa oleh suatu
konferensi kecil sekonyong-konyong diputuskan dibentuk Negara ini, dibentuk Negara itu.
Misalnya dahulu sesudah peperangan dunia yang pertama, tidakkah Negara Cekoslovakia
sekadar dengan coretan pena dari suatu konferensi kecil. Membentuk negara gampang! Dulu
di sini juga pernah dibentuk Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, hanya dengan
decreet Van Mook saudara-saudara! Tetapi coba membentuk masyarakat, susah!
Membentuk masyarakat, kita harus bekerja siang dan malam, bertahun-tahun, berpuluh-puluh
tahun, kadang-kadang berwinduwindu, berabad-abad. Masyarakat apapun tidak gampang
dibentuknya. Itu meminta pekerjaan kita terus-menerus. Baik masyarakat Islam, maupun
masyarakat Kristen, maupun masyarakat Sosialis. Bukan bisa dibentuk dengan satu dekret
saudara-saudara, dengan satu tulisan. dengan satu unjau napas manusia. Memhentuk
masyarakat makan waktu! Yah aku bermohon kepada Tuhan, dibolehkanlah hendaknya ikut
membentuk masyarakat pula.
Masyarakat di dalam wadah itu. Tetapi aku telah syukur seribu syukur kepada Tuhan, jikalau
aku nanti bisa menjawab kepada Malaikat itu, bahwa hidupku di dunia ini ialah antara lainlain telah ikut membentuk wadah ini saja. Membentuk wadah yang bernama Negara dan
wadah ini buat satu masyarakat yang besar. Walaupun rapat ini lebih daripada satu juta
manusia saudara-saudara, wadah itu bukan kok cuma buat satu juta manusia ini saja. Tidak!
Wadah yang bernama Negara, Negara yang bernama Republik Indonesia itu adalah wadah
untuk masyarakat Indonesia yang 80 juta, dari Sabang sampai ke Merauke! Dan masyarakat
Indonesia ini adalah beraneka agama, beraneka adat-istiadat, beraneka suku. Bertahuntahun
aku ikut memikirkan ini. Nanti jikalau Allah s.w.t. memberikan kemerdekaan kepada kita,
dulu berpikiran yang demikianlah Bapak, -jikalau Negara Republik Indonesiatelah bisa
berdiri, negara ini agar supaya selamat, agar bisa menjadi wadah bagi segenap rakyat
Indonesia yang 80 juta, Negara harus didasarkan apa?
Tatkala aku masih berumur 25 tahun, aku telah memikirkan hal ini. Tatkala aku aktif di dalam
pergerakan, aku lebih-lebih lagi memikirkan hal ini. Tatkala di dalam zaman Jepang, tetapi
oleh karena tekad kita sendiri, usaha kita sendiri, pembantingan tulang sendiri, korbanan kita
sendiri, tatkala fajar telah menyingsing, lebih-lebih lagi kupikirkan hal ini. Wadah ini
hendaknya jangan retak. Wadah ini hendaknya utuh sekuat-kuatnya. Wadah untuk segenap
rakyat Indonesia, dari Sabang sampai ke Merauke yang beraneka agama, beraneka suku
beraneka adat-istiadat.
Sekarang aku menjadi Presiden Republik Indonesia adalah karunia Tuhan. Aku tidak
menyesal, bahwa aku dulu bertahun-tahun memikirkan hal ini. Dan aku tidak menyesal.
bahwa aku telah memformulir Pancasila. Apa sebab? Barangkali lebih daripada siapapun di
Indonesia ini, aku mengetahui akan keanekaaan bangsa Indonesia ini. Sebagai Presiden
Republik Indonesia aku berkesempatan sering-sering untuk melawat ke daerah-daerah.
Sering-sering aku naik kapal udara. Malahan jikalau di dalam kapal udara aku sering-sering,
katakanlah main gila dengan pilot. Pilot terbang tinggi, aku tanya kepadanya:
Saudara pilot, berapa tinggi?
12.000 kaki Paduka Yang Mulia.

Kurang tinggi, naikkan lagi.


13.000 kaki.
Hahaa kurang tinggi Bung!. 14.000 kaki.
Kurang tinggi!.
15.000 kaki.
Kurang tinggi!.
16.000 kaki!.
Kurang tinggi!.
17.000 kaki!
Kurang tinggi!.
Sudah tidak bisa lagi. Paduka Yang Mulia. Kapal udara kita sudah mencapai plafon.
Plafon itu ialah tempat yang setinggi-tingginya bagi kapal udara itu. Aku terbang dari Barat
ke Timur, dari Timur ke Barat. Dari Utara ke Selatan, dari Selatan ke Utara. Aku melihat
tanah air kita. Allahuakbar, cantiknya bukan main! Dan bukan saja cantik, sehingga benarlah
apa yang diucapkan oleh Multatuli di dalam kitab Max Havelaar, bahwa Indonesia ini
adalah demikian cantiknya, sehingga ia sebutkan Insulinde de zich daar slingert om den
evenaar als een gordel van smaragd. Indonesia yang laksana ikat pinggang terbuat daripada
zamrud berlilit-lilit sekeliling khatulistiwa! Indahnva demikian. Ya memang saudara-saudara.
jikalau engkau terbang 17.000 kaki di angkasa dan melihat ke bawah. kelihatan betul-betul
Indonesia ini adalah sebagai ikat pinggang yang terbuat daripada zamrud, melilit mengelilingi
khatulistiwa. Berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu ribu pulau saudara melihat. Dan tiap-tiap
pulau itu berwarnawarna. Ada yang hijau kehijauan, ada yang kuning kekuningan. Indah
permai tanah air kita ini saudara-saudara. Lebih daripada 3000 pulau. Bahkan kalau dihitung
dengan yang kecil-kecil, 10.000 pulau-pulau.
Terbanglah kapal udaraku datang di daerah Aceh. Rakyat Aceh menyambut kedatangan
Presiden, rakyat beragama Islam. Terbang lagi kapal udaraku, turun di Siborong-borong
daerah Batak. Rakyat Batak menyambut dengan gegap-gempita kedatangan Presiden
Republik Indonesia, agamanya Kristen.
Terbang lagi saudara-saudara dekat Sibolga, agama Kristen. Terbang lagi ke Selatan ke
Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan, agama Islam. Demikianlah pula di Jawa.
Kebanyakan beragama Islam, di sana Kristen, sini Kristen. Terbang lagi kapal udaraku ke
Banjarmasin, kebanyakan Islam. Tetapi di Banjarmasin itu aku berjumpa utusan-utusan dari
suku Dayak saudarasaudara. Malahan di Samarinda aku berjumpa dengan utusanutusan,
bahkan rakyat Dayak yang 9 hari 9 malam turun dari gunung-gunung untuk menjumpai
Presiden Republik Indonesia. Mereka tidak beragama Islam, tetapi beragama agamanya
sendiri.

Aku ber-ibu orang Bali. Ida Ayu Nyoman Rai nama Ibuku. Malahaii aku jikalau beristirahat
di Tampaksiring, desa kecil di Bali, rakyat Bali menyebutkan aku, kecuali Bung Karno, Pak
Karno menyebutkan Ida Bagus Made Karno. Aku melihat masyarakat Bali yang dua juta
manusia itu beragama Hindu Bali. Di Singaraja ada masyarakat Islam sedikit. Di Denpasar
ada masyarakat Islam sedikit. Terbang lagi kapal udaraku ke Sumbawa Islam. Terbang
kapal udaraku ke Sumbawa Kristen Protcstan. Tcrhang kapal udaraku ke Florcs -pulau di
mana aku dulu diinternir. rakyat Flores kenal akaii Bung Karno, Bung Karno kenal akaii
rakyat Flores sebagian besar rakyat Flores itu beragama Rooms Katholik (Kristen). Terbang
lagi kapal udaraku ke Timor sebagian besar rakyatnya Protestan Kristen. Terbang lagi kapal
udaraku ke Ambon Kristen. Sekitar Ambon itu adalah masyarakat kristen. Terbang lagi ke
Utara ke Ternate Islam di Ternate. Dari Ternate trbang ke Manado, Minahasa sekelingnya,
Kristen, ke Selatan Makasar Islam. Di Tengah Sulawesi, Toraja sebagian besar Kristen,
sebagian belum beragama.
Benar apa tidak perkataanku, saudara-saudara, bahwa bangsa Indonesia adalah beraneka
agama? Demikian pula aku berkata, bahwa bangsa Indonesia ini beraneka adat-istiadat,
beraneka suku pula. Beraneka suku, beraneka agarna, beraneka adat-istiadat. Ini yang
menjadi pikiran Bapak berpuluh-puluh tahun.
Sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, aku
ingin bernama-sama dengan pejuang-pejuang lain membentuk satu wadah. Wadah yang
bernama Negara. Wadah untuk masyarakat, bagi masyarakat yang beraneka agama, beraneka
suku, beraneka adat-istiadat!
Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua
masyarakat Indonesia yang beraneka-aneka itu dan yang masyarakat Indonesia mau duduk
pula di dalamnya, yang diterima oleh saudara-saudara yang beragama Islam, yang beragama
Kristen Katolik, yang beragama Kristen Protestan, yang beragama Hindu-Bali, dan oleh
saudarasaudara yang beragama lain, yang bisa diterima oleh saudarasaudara yang adatistiadatnya begitu, dan yang bisa diterima sekalian saudara.
Aku tidak mencipta Pancasila saudara-saudara. Sebab sesuatu dasar negara ciptaan tidak akan
tahan lama. Ini adalah satu ajaran yang dari mula-nulanya kupegang teguh. Jikalau engkau
hendak mengadakan dasar untuk sesuatu negara, dasar untuk sesuatu wadah jangan bikin
sendiri, jangan anggit sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah sedalam-dalamnya lautan
daripada sejarah! Gali sedalam-dalamnya bumi daripada sejarah!
Aku melihat masyarakat Indonesia, sejarah rakyat Indonesia. Dan aku menggali lima mutiara
yang terbenam di dalamnya, yang tadinya lima mutiara itu cernerlang tetapi oleh karena
penjajahan asing yang 350 tahun lamanya, terbenam kembali di dalam bumi bangsa
Indonesia ini.
Aku oleh sekolah Tinggi Universitas Gajah Mada di-anugerahi titel Doktor Honoris (titel
Doktor kehormatan) dalam ilmu ketatanegaraan. Tatkala promotor Prof. Mr. Notonegoro
mengucapkan pidatonya pada upacara pemberian titel Doktor Honoris Causa, pada waktu itu
beliau berkata: Saudara Soekarno, kami menghadiahkan kepada saudara titel kehormatan
Doktor Honoris Causa dalam ilmu ketatanegaraan, oleh karena saudara pencipta Pancasila.

Di dalam jawaban itu aku berkata: Dengan terharu aku menerima titel Doktor Honoris
Causa yang dihadiahkan kepadaku oleh Universitas Gajah Mada, tetapi aku tolak dengan
tegas ucapan Profesor Notonegoro, bahwa aku adalah pencipta Pancasila.
Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku
hanya menggali Pancasila daripada burninya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalarn
bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya, -aku gali kembali dan aku sembahkan Pancasila
ini di atas persada bangsa Indonesia kembali.
Tidak benar saudara-saudara, bahwa kita sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik
Indonesia sebenarnya telah mengenal akan Pancasila? Tidakkah benar kita dari dahulu
mula, telah mengenal Tuhan. hidup di dalam alarn Ketuhanan Yang Maha Esa? Kita dahulu
pernah mengUu-aikan hal ini panjang lebar. Bukan anggitan baru. bukan -karangan baru.
Tetapi sudah sejak dari dahulu mula bangsa Indonesia adalah satu bangsa yang cinta kepada
Ketuhanan. Yah kemudian Ketuhanannya itu disempurnakan oleh agarna-agarna.
Disempurnakan oleh Agama Islam, disempurnakan oleh agama Kristen. Tetapi dari dahulu
mula kita memang adalah satu bangsa yang berketuhanan. Demikian pula, tidakkah benar
bahwa kita ini dari dahulu mula telah cinta kepada Tanah Air dan Bangsa? IJidup di dalam
alam kebangsaan? Dan bukan saja kebangsaan kecil, tetapi kebangsaan Indonesia. Hai
engkau pemuda-pemuda, pernah engkau mendengar nama kerajaan Mataram? Kerajaan
Mataram yang membuat candi-candi Prambanan, candi Borobudur? Kerajaan Mataram ke-2
di waktu itu di bawah pimpinan Sultan Agung Hanjokrokusurno? Tahukah saudara-saudara
akan arti perkataan Mataram? Jikalau tidak tahu, maka aku akan berkata kepadamu Mataram
berarti Ibu. Masih ada perkmaan perkataan Mataram itu misalnya perkataan Mutter di dalam
bahasa Jerman Ibu. Mother dalam bahasa Inggeris Ibu. Moeder dalam bahasa Belanda
Ibu. Mater dalam bahasa Latin Ibu. Mataram berarti Ibu.
Demikian kita cinta kepada Bangsa dan Tanah air dari zaman dulu mula, sehingga negeri kita,
negara kita, kita putuskan Mataram.
Rasa kebangsaan, bukan rasa baru bagi kita. Mungkinkah kita mempunyai kerajaan seperti
kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dahulu, jikalau kita tidak mempunyai rasa kebangsa-an
yang berkobar-kobar di dalam dada kita?
Yaah kata pemimpin besar yang bernama Gajah Mada, Sang Maha Patih Ihino Gajah Mada.
Benar kita mempunyai pemimpin besar itu. Benar pemimpin besar itu telah bersumpah satu
kali tidak akan makan kclapa. jikalau bclum scgcnap kepulauan Indonesia tergabung di
dalam satu negara yang besar. Benar kita mempunyai pemimpin yang besar itu. Tetapi
apakah pemimpin inikah yang sebenarnya pencipta daripada kesatuan kerajaan Majapahit?
Tidak!
Pernimpin besar sekadar adalah sambungan lidah daripada rasanya rakyat jelata. Tidak ada
satu orang pemimpin besar, walaupun besarnya bagaimanapun juga, bisa lnembentuk satu
negara yang sebesar Majapahit ialah satu negara yang besar, yang wilayahnya dari Sabang
sampai ke Merauke, Bahkan sampai ke daerah Philipina sekarang.
Katakanlah Bung Karno pemimpin besar atau pemimpin kecil pernimpin gurem atau
pemimpin yang bagaimanapun, Tetapi jikalau ada orang yang berkata: Bung Karno yang
mengadakan negara Republik Indonesia. Tidak benar! ! ! Janganpun satu Soekarno sepuluh

Soekarno, seratus Soekarno, seribu Soekarno tidak akan bisa membentuk negara Republik
Indonesia, jikalau segenap rakyat jelata Republik Indonesia tidak berjuang mati-matian!
Kemerdekaan adalah hasil daripada perjuangan segenap rakyat. Maka itu pula menjadi
pikiran Bapak, Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik
sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi
milik kita semua dari Sabang sampai ke Merauke! Perjuangan untuk merebut kemerdekaan
ini dijalan-kan oleh semua bangsa Indonesia.
Aku melihat di dalam daerah-daerah yang kukunjungi, di manapwn aku datang, aku melihat
Taman-taman Pahlawan. Bukan saja di bagian-bagian yang beragama Islam, tetapi juga di
bagianbagian yang beragama Kristen. Aku melihat Taman-taman Pahlawan di mana-mana. Di
sini di Surabaya, pada tanggal 10 November tahun 1945 -siapa yang berjuang di sini?
Scgcnap pcmuda-pcmudi. kiai. kawli buruh. kaum tani, segenap rakyat Surabaya berjuang
dengan tiada perbedaan agama, adat-istiadat. oulongan atau suku.
Rasa kebangsaan kita sudah dari sejak zaman dahulu.. demikian pula rasa perikemanusiaan.
Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia ini satu-satunya
bangsa yang tidak pernah menjajah bangsa lain adalah bangsa Indonesia. Aku tentang orangorang ahli sejarah yang bisa membuktikan bahwa bangsa Indonesia pernah menjajah kepada
bangsa lain.
Apa sebab? Oleh karena bangsa Indonesia berdiri di atas dasar perikemanusiaan sejak dari
zaman dahulu. Dari zaman Hindu, kita sudah mengenal perikemanusiaan. Disempurnakan
lagi rasa perikemanusiaan itu dengan agama-agama yang kemudian.
Di dalam zaman Hindu kita telah mengenal ucapan: Tattvamasi. Apa artinya Tattvamasi?
Tat tvam asi berarti Aku adalah dia, dia adalah aku. Dia pakai, aku ikut pakai. Dia senang,
aku ikut senang. Aku senang, dia ikut senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tattvamasi
perikemanusiaan.
Kemudian datanglah di sini agama Islam, mengajarkan kepada perikemanusiaan pula. Malah
lebih sempurna. Diajarkan kepada kita akan ajaran-ajaran fardhu kifayah, kewajiban-kewajiban yang dipikulkan kepada seluruh masyarakat. Misalnya jikalau ada orang mati di
kampungmu, dan kalau orang mati itu tidak terkubur, siapa yang dianggap berdosa, siapa
yang dikatakan berdosa, siapa yang akan mendapat siksaan daripada dosa itu? Bukan sekadar
kerabat famili daripada sang mati itu. Tidak! Segenap masyarakat di situ ikut tanggung
jawab.
Demikian pula bagi agama Kristen. Tidakkah di dalam agama Kristen itu kita diajarkan cinta
kepada Tuhan, lebih daripada segala sesuatu dan cinta kepada sesama manusia, sama dengan
cinta kepada diri kita sendiri? Hebs U naasten lief gelijk U zelve. God boven alles. Jadi
rasa kemanusiaan, bukan barang baru bagi kita.
Demikianlah pula rasa kedaulatan rakyat. Apa sebab pergerakan Nasional Indonesia laksana
api mencetus dan meledak-kan segenap rasa kebangsaan Indonesia? Oleh karena pergerak-an
nasional Indonesia itu berdiri di atas dasar kedaulatan rakyat. Engkau ikut berjuang! Dari
dahulu mula kita gandrung kepada kedaulatan rakyat. Apa sebab engkau ikut berjuang? Oleh
karena engkau merasa memperjuangkan dasar kedaulatan rakyat.

Bangsa Indonesia dari dahulu mula telah mengenal kedaulatan rakyat, hidup di dalam alam
kedaulatan rakyat. Demokrasi bukan barang baru bagi kita. Demikian pula cita-cita keadilan
sosial. bukan cita-cita baru bagi kita. Jangan kira, bahwa cita-cita keadilan sosial itu buatan
Bung Karno, Bung Hatta, atau komunis, atau kaum serikat rakyat, kaum sosialis. Tidak!
Dari dahulu mula bangsa Indonesia ini cinta kepada keadilan sosial. Kalau zaman dahulu,
kalau ada pemberontakan, saudara-saudara berhadapan dengan pemerintah Belanda, semboyannya selalu Ratu Adil Ratu adil para marta. Sama rata, sama rasa. Adil, adil, itulah
yang menjadi gandrungnya jiwa bangsa Indonesia. Bukan saja di dalam alam pergerakan
sekarang atau di dalam pergerakan alam nasional tetapi dari dulu mula. Maka oleh karena
itulah aku berkata, baik Ketuhanan Yang Maha Esa maupun Kebangsaan, maupun
Perikemanusia-an, maupun Kedaulatan Rakyat, maupun Keadilan Sosial, bukan aku yang
menciptakan. Aku sekadar menggali sila-sila itu. Dan sila-sila ini aku persembahkan kembali
kepada bangsa Indonesia untuk dipakai sebagai dasar daripada wadah yang berisi masyarakat
yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat. Inilah saudarasaudara, maka di
dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyousakai di dalarn zaman Jepang, pertengah-an tahun 1945
telah diadakan satu sidang daripada pemimpin-pemimpin Indonesia, dan di dalam sidang
Dokuritu Zyunbi Tyoosakai itu dibicarakan hal-hal ini.
Pertama apakah negara yang akan datang itu harus berdasar satu falsafah ataukah tidak?
Semua berkata harus berdasarkan satu falsafah. Harus memakai dasar. Sebab kita melihat
di dalam sejarah Dunia ini banyak sekali negara-negara yang tidak berdasar, lantas berbuat
jahat, oleh karena tidak mempunyai ancer-ancer hidup bagi rakyatnya.
Kita melihat negara-negara yang besar. Tetapi oleh karena tidak mempunyai ancer-ancer
hidup, tidak mempunyai dasar hidup dengan sedih kita melihat bahwa negara-negara itu
berbuat sesuatu yang sebenarnya melanggar kepada kedaulatan dan perikemanusiaan.
Di dalam sidang Dokuritzu Zunbi Tyousakai itu memutus-kan akan memberi dasar kepada
negara. Akhirnya saya mem-persembahkan Pancasila. Dan syukur Alhamdulillah sidang
menerimanya. Dan tatkala kita memproklamirkan kemerdekaankemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, dasar ini yang dipakai. Dan aku berkata oleh karena dasar ini
segenap rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke menyambut-nya proklamasi itu
dengan gegap-gempita. Disambut oleh kaum alim ulama, disambut oleh kaum buruh,
disambut oleh kaum tani, disambut oleh saudara-saudara yang berdiam di Aceh, disambut
oleh saudara-saudara yang berdiam di Minangkabau, disambut oleh saudara-saudara yang
berdiam di Flores, disambut oleh saudara-saudara yang berdiam di Kalimantan, disambut
oleh saudara-saudara yang berdiam di Bali, disambut oleh segenap rakyat Indonesia.
Aku baru pulang dari Bali tahukah penyambutan rakyat Bali yang beragama Hindu Bali itu
terhadap kepada proklamasi kemerdekaan Indonesia? Rakyat Bali, hidup di dalam alam perjuangan yang hebat. Ada satu tempat kecil di Bali, misalnya namanva Tabanan. Yah kalau
dibandingkan dengan di sini
Tabanan itu barangkali hanya sebesar Waru, atau sebesar Tulangan, sebesar Prambon. Di
Tabanan itu saja di dalam tahun 1951 diresmikan satu Taman Pahlawan, vang di dalam
Taman Pahlawan itu 680 jenazah.
Demikian pula di ternpat yang lain-lain. Memang rakyat Bali menyambut proklamasi ini
dengan gegap-gempita. Agamanya adalah Hindu Bali. Tetapi mereka menyambut

proklamasi ini ialah oleh karena proklamasi ini didasarkan kepada Pancasila. Pendek kata
tatkala usul saya kepada Dokuritzu Zunbi Tyousakai itu diterima oleh sidang dan kemudian
dipakai sebagai dasar negara Republik Indonesia, tak putus-putus aku mengucapkan syukur
kepada Tuhan. Inilah dasar yang menjamin keutuhan bangsa kita yang beraneka agama, yang
beraneka adat-istiadat, yang beraneka suku.
Maka oleh karena itu, jikalau dikatakan Pancasila adalah sementara? Ya Konstituante nanti
yang akan menentukan. Tetapi aku memohon kepada Tuhan agar supaya Negara Republik
Indonesia tetap berdasarkan Pancasila!
Aku hidup gandrung dalam suasana persatuan. Aku masuk di dalam gelanggang perjuangan,
tatkala aku berumur 18 tahun. Dulu sebelum 18 tahun tidak boleh masuk partai politik. Umur
18 tahun aku kintil (ikut) Rama Tjokroaminoto. Ikut berjuang. Sejak daripada itu tetap aku
gandrung kepada persatuan, sekali lagi persatuan. Perkataan gandrung ini keluar dari mulutku
dari tahun 1918 sampai sekarang. 37 tahun lamanya aku gandrung persatuan. Memang aku
gandrung persatuan. Oleh karena aku mengetahui, bahwa hanya persatuanlah bisa mencapai
kemerdekaan. Hanya persatuan bisa menetapkan kemerdekaan. Hanya persatuan inilah yang
bisa membawa kita kepada cita-cita kita sekalian!
Di dalam kongres Rakyat Indonesia kuanjurkan persatuan ini. Di dalam Kongres Partai
Nasional Indonesia di Randwlg, 10 bulan yang lalu kuanjurkan pcrsatuan ini. Oleh karcna
aku mclihat gejala-gejala perpecahan makin lama makin meningkat, makin lama makin
menampak. Bersatulah kembali saudara-saudara, bersatulah rakyat Indonesia bersatu
kembali di dalam persatuan nasional revolusioner yang sebulat-bulatnya. Sebab kita duduk di
dalam alam revolusi nasional. Kalau kita mengadakan persatuan yang bukan persatuan
nasional revolusioner tidak bisa kita menyelesaikan revolusi nasional kita itu. Aku hidup di
dalam alam persatuan ini, aku gandrung kepada persatuan ini, maka oleh karena itulah,
jikalau aku sekarang sebagai Presiden Republik Indonesia berbicara di hadapan saudarasaudara, resmi sebagai Presiden Republik Indonesia yang membentangkan kepada saudarasaudara dasar negara, yang akan sumpah di atasnya sebagai Presiden.
Di samping itu aku bergembira hati diberi kesempatan oleh Allah s.w.t. sebagai warga negara
biasa membicarakan hal dasardasar negara ini.
Di dalam pidato 17 Agustus 1955 aku menganjurkan pula Panca Dharma. Apa inti dari Panca
Dharma? Tak lain dan tak bukan ialah inti itu keluar daripada j iwa Pancasila. Tidakkah
Panca Dharma lima? Pertama persatuan. Kedua yang merusak persatuan yaitu yang
mengacau-ngacau keamanan ini harus kita lenyapkan. Nomor tiga pembangunan,
pembangun-an, pembangunan! Keempat Irian Barat. Kelima pemilihan umum. Pernilihan
umum pada intinya ialah persatuan. Segenap bangsa Indonesia yang 80 juta ini, yang sudah
dewasa 43 juta, -diminta mengeluarkan suaranya dengan cara bebas -dalam alam suasana
persaudaraan. Mari kita sekarang dengan tenang dalam suasana persaudaraan bangsa
mengemukakan suara kita. Jiwa daripada pemilihan umum adalah persatuan!
Pembangunan juga tidak bisa selesai zonder persatuan. Dapatkah engkau membangun
ekonomi Indonesia dengan tidak pcrsatuan? Tahukah engkau bahwa Indonesia ini ekonomi
yang sebenarnya satu Unit. satu kesatuan yang besar. yang jikalau satu daerah dikeluarkan
kocar-kacir ekonomi kita itu. Dan kita menyusun satu ekonomi yang bukan ekonorni
kolonial, ekonomi imperialis? Tidak! Di dalam Undang-Undang Dasar kita sebutkan dengan
tegas bukan ekonomi untuk membikin gendutnya perutnya satu dua orang. Tetapi ekonomi

yang membikin sejahteranya segenap rakyat. Inilah dasar, inti jiwa daripada Undang-Undang
Dasar kita, meskipun Undang-Undang Dasar yang dinamakan sementara.
Satu ekonomi nasional yang menjamin semua bangsa Indonesia, hidup sejahtera, layak,
makmur. Bukan ekonomi yang membikin gendut orang satu tetapi ekonomi sama rata sama
rasa.
Satu ekonomi yang mengandung jaminan kehidupan yang baik buat semua, di dalam suasana
kesatuan dan persatuan.
Pengacau keamanan bahwa itu memecah kepada persatuan merugikan kepada rakyat
perlukan masih kuuraikan? Tidak!
Irian Barat. Sebab apa saudara-saudara menuntut Irian Barat? Mungkin saudara beragama
Islam? Di sana rakyatnya bukan Islam lho! Kenapa saudara menuntut Irian Barat supaya
masuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia? Saudara beragama Islam mereka
tidak beragama Islam! Saudara akan menjawab: Aku menuntut Irian Barat kembali ke dalam
wilayah Republik Indonesia oleh karena Irian Barat adalah sebagian daripada tanah air
Indonesia, oleh karena suku Irian Barat adalah sebagian daripada bangsa Indonesia
seluruhnya.
Lho kenapa saudara menuntut Irian Barat kembali kepada kekuasaan Republik?
Saudara akan menjawab: Aku menuntut Irian Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan
Republik Indonesia oleh karena bangsa kita adalah satu dari Sabang sampai ke Merauke.
Jadi dasarnva ialah persatuan bangsa. Maka oleh karena itu. -aku sckali lagi mcnganjurkan
kcpada segenap rakyat Indonesia, terutama sekali di hadapan pemilihan umum ini. ingat
kepada persatuan. Ingat kepada persatuan! Bangsa Indonesia adalah selalu kukatakan bukan
bangsa yang kecil jumlahnya 80 juta. Lebih besar daripada bangsa yang lain-lainnya.
Aku telah, alhamdulillah, melawat ke Mesir, ke Arabia, ke India, ke Karachi, ke Pakistan, ke
Sailan, ke Rangoon dan sebagainya, kecual1 ke Eropa dan Amerika, aku melihat bangsa
kita potensinya hebat-hebat. Tidak ada satu tanah air daripada sesuatu bangsa yang lebih
hebat daripada tanah air Indonesia.
Tidak ada satu bangsa yang lebih seragam, sebenarnya jikalau mau, daripada bangsa
Indonesia. Tidak ada satu tanah air yang lebih indah daripada bangsa Indonesia.
Jumlahnyapun tidak sedikit 80 juta. Lebih daripada bangsa yang lain!
Yaah kita kalah dengan Amerika Serikat jumlah bangsa kita ini. Kalah dengan USSR (Sovyet
Unie) jumlahnya bangsa kita ini. Kalah dengan Tiongkok jumlah bangsa kita. Kalah dengan
India jumlah bangsa kita. Tetapi di samping yang empat ini saudara-saudara, tidak ada lagi
yang mengalahkan kita. Ada yang memadai kita jumlah rakyatnya yaitu Jepang tetapi yang
lain-lain, sernuanya kurang daripada kita.
Mesir yang Bapak tempo hari kunjungi dan yang Bapak melihat semangatnya meluap-luap,
berapa jumlah mereka? Mereka yang Bapak melihat mereka membangun. Membuat damdam
yang besar, membuat jalan-jalan yang besar. Jumlah mereka berapa? Yang mereka
membangun pula Tentara, Tentara yang hebat. Yang mereka membangun angkatan Udara

yang aku melihat pesawat-pesawat udara yang terbang di angkasa saudarasaudara, berapa
jumlah rakyat Saudi Arabia? 6 juta kita 80 juta!
Aku datang di Bangkok, disambut oleh P.M. Phibul Songoram. Tahukah engkau rakyat
Thailand jumlahnya? 20 juta. kita 80 juta. Kita bangsa yang 80 juta bukan bangsa yang
kecil. kalau kita bersatu kataku berkali-kali, jikalau kita 80 juta bersatu padu di dalam
kesatuan nasional revolusioner. tidak ada satu cita-cita yang tidak terlaksana oleh kita.
Sekian sajalah, amanat Bapak.

TIDAK ADA KONTRA REVOLUSI


BISA BERTAHAN

Amanat Presiden Soekarno


Pada Rapat Pancasila di Bandung
Tanggal 16 Maret 1958

Saudara-saudara

Baru sekarang sesudah saya datang kembali dari luar negeri, saya berjumpa lagi dengan
saudara-saudara Rakyat Bandung dan sekitarnya. Saya mengucap terima kasih kepada
saudara-saudara sekalian bahwa saudara-saudara telah datang di sini berbondongbondong
dengan jumlah lebih dari 1 juta manusia untuk bersamasama menyatakan isi hati saudarasaudara. Isi hati bersatu padu sebagai satu Bangsa yang cinta pada kemerdekaan. Isi hati
bersatu padu setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945. Dan saya amat bergembira pula pada
ini hari, datang di Bandung bersama-sama dengan Ibu Rasuna Said yang oleh pemimpin rapat
dengan tepat telah dikatakan Srikandi Indonesia. Saudara-saudara, tahukah engkau sekalian
bahwa Ibu Rasuna Said telah berpuluh-puluh tahun lamanya berjuang untuk kemerdekaan
Indonesia, berjuang untuk utuhnya negara, yang kita proklamirkan 17 Agustus 1945. Bahkan
waktu beliau masih muda, beliau telah berjuang sekuatkuat tenaga untuk mernerdekakan
tanah air kita. Beliau adalah pernimpin wanita Indonesia yang pertama yang dijebloskan oleh
imperialis asing ke dalam penjara. Saya bergembira ini hari datang di Bandung bersama-sama
dengan beliau. Bergembira oleh karena dengan adanya beliau di Bandung ini, ternyata
sebagai tadi dinyatakan oleh beliau bahwa apa yang telah diperbuat oleh Achmad IIusein c.s.,
oleh Sjafruddin Prawiranegara c.s. sama sekali pada hakekatnya bukan kehendak daripada
rakyat Minangkabau, tetapi hanyalah perbuatan petualang-petualang belaka.
Saudara-saudara, Ibu Rasuna Said tadi berkata bahwa beliau tiap-tiap kali beliau
meninggalkan Tanjung Priuk untuk pergi ke luar negeri, beliau adalah dipandang oleh orang
sebagai orang Indonesia. Benar ucapan Ibu Rasuna Said itu. Uemikian pula sava, saudarasaudara, yang berulang-ulang pula meninggalkan tanah air menjajah desa hamilang kori,
datang ke mana-mana, tiap-tiap kali saya di luar negeri, bukan saja orang luar negeri
memandang kepada saya sebagai orang Indonesia, tetapi j ustru di luar negeri itulah saudarasaudara, saya merasa diri saya orang Indonesia yang benar-benar cinta kepada Indonesia, dan
malahan saya bisa berkata kepada saudara-saudara, tiap-tiap kali saya melihat bendera Sang
Merah Putih berkibar, bukan saja di Washington, tetapi juga di Moskow, di London, di Paris,
di Cairo, di New Delhi, di Peking dan tempat-tempat yang lain-lain, hati saya lebih besar
daripada gunung Malabar yang ada di Selatan kita ini, saudarasaudara.
Saya sudah melihat tiga-per-empat daripada dunia. Melihat Amerika Serikat, melihat Kanada,
melihat Switserland, melihat Jermania, melihat Italia, melihat Austria, melihat Sovyet Unie,
melihat Mongolia, melihat RRC., melihat Jepang, melihat Vietnam, melihat Philipina,
melihat Thailand, melihat Burma, melihat India, melihat Selandia, melihat Pakistan, melihat
Mesir, melihat Libanon, melihat Siria, melihat negara-negara lain, negeri-negeri lain, dan
tanah air orang lain. Tetapi dengan bangga dan tegas saya bisa berkata: tidak ada satu negeri
di dunia ini yang secantik, semolek, sekaya Indonesia. Oleh karena itu, maka tiap-tiap kali
saya di luar negeri, makin cintalah saya kepada Indonesia. Apalagi jikalau saya duduk di
kapal terbang, terbang di angkasa, menengok ke bawah, misalnya di daerah-daerah padang
pasir, baik daripada Sentral Asia maupun di tempat yang lain-lain, rindu pada tanah air,
melihat negeri orang lain: pasir, batu, pasir, batu, pasir, batu. Ingatlah saya kepada tanah air
saya. Hijau, molek, cantik, kata orang Jawa: ijo royo-royo kadia penganten anyar. Cinta
kepada tanah air. Maka oleh karena itu. saya vang juga sebagai Saudara Rasuna Said tadi
katakan. juga orang Islam, sayapun merasa nasional di dalam arti saya sehebat-hebatnya.
Tentang perjalanan ke tanah-tanah orang lain. belakangan ini saya mengadakan perjalanan ke
negeri Asia dan Afrika. Dulu saya mengadakan perjalanan ke Amerika, dan dunia yang
dinamakan dunia barat. Saya hendak ceritera kepada saudara-saudara, bahwa pada satu hari
saya diminta untuk memberi jawaban atas beberapa pertanyaan yang diajukan kepada saya
oleh pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi Amerika. Diadakan satu rapat kecil, wakil-wakil

pemuda dan wakil-wakil pemudi berkumpul di situ. Saya diundang di dalam rapat itu dan
mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pertanyaan-pertanyaan itu harus saya jawab
di dalam rapat yang saya hadiri. Dipotret, difilm, disiarkan dengan radio dan diadakan televisi
pula. Rapat yang demikian ini, tanya jawab dengan pemuda dan pemudi adalah satu bagian
daripada siaran televisi yang bernama Youth want to know pemuda dan pemudi ingin
tahu. Saya diundang untuk hadir di dalam rapat Youth want to know itu, dan saya datang.
Salah satu pertanyaan yang diajukan kepada saya adalah sebagai berikut: -baik sekali
saudara-saudara ketahui -ditanyakan kepada saya: Presiden Soekarno, kenapa Presiden
Soekarno mengadakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945?
Sekali lagi: Kenapa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu Excellentie adakan pada tanggal
17 Agustus 1945? Yaitu beberapa hari sesudah Jepang menekuk lutut di dalam peperangan
dunia yang kedua. Artinya pertanyaan ini, saudarasaudara, ialah apa sebab Proklamasi
Kemerdekaan itu tidak diucapkan oleh Bung Karno, Bung Hatta, pada tahun 1940, atau tahun
19 )0 atau tahun 1929, kenapa 17 Agustus 1945. Saya merasa, ini adalah satu pertanyaan
untuk memancing satu pengakuan. Sebab katanya, Kemerdekaan Indonesia ini pemberian
dari Jepang. Bahwa tatkala Jepang telah menekuk lutut, kemerdekaan ini diberikan kepada
bangsa Indonesia.
Saya kira inilah maksud daripada pertanyaan itu. Dan saya beri pcnjelasan yang tegas: kami,
kataku, mengadakan Proklamasi Kernerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh
karena pada waktu itu imperialisme sedang lemah. retak, hancur lebur. Inilah sebabnya kami
mengadakan Proklamasi itu tidak pada tahun 1940, pada waktu imperialisme sedang kuat
sentosa, pun tidak pada tahun 1930 pada waktu imperialisme sedang kuat. Maka itu kita
mengadakan proklarnasi pada saat imperialisme lemah, pada saat imperial-isme tiada
bertenaga. Nah, sesudah peperangan dunia yang kedua Belanda berantakan, imperialisme
Belanda hancur lebur, Jepang lemah pula, oleh karena telah mendapat pukulan. Saat itulah
saat yang terbaik untuk mengadakan proklamasi.
Ini adalah siasat politik yang hebat sekali, saudara-saudara, dan memang kita bicarakan
terlebih dahulu dengan pemimpinpemimpin, bahkan di dalam tahun 1929 telah saya katakan,
tahun 1929 tatkala saya masih menjadi penduduk Bandung, pada waktu itu, di dalam tahun
1929 saya berkata: Awas, imperialisme! Awas, jikalau nanti pecah perang pasifik, jikalau
nanti pecah perang dunia yang kedua, jikalau nanti Lautan Teduh merah dengan darah
manusia, jikalau nanti tanah-tanah di sekeliling Lautan Teduh menyala-nyala dengan api
peperangan, pada saat itulah Indonesia menjadi merdeka. Ini saya ucapkan dalam tahun 1929.
Dan kawankawan saya dari Bandung mengetahui bahwa justru karena ucapan inilah, saya
ditangkap, dimasukkan ke dalam kandang.
Saudara-saudara, memang siasat politik harus dernikian. Jikalau hendak mengadakan
proklamasi kemerdekaan, carilah saat yang imperialisme itu lemah berantakan. Ini terjadi
dalam tahun 1945. Tegasnya, bulan Agustus 1945. Tetapi kecuali daripada itu, saudarasaudara, lama sebelum itu telah menjadi pemikiran kami, pemimpin-pemimpin. bahwa
jikalau kami hendak memproklamirkan satu negara merdeka, lebih dahulu harus dipcnuhi
beberapa syarat wntuk negara. 1idak bisa, kita mengadakan proklamasi itu meskipun
imperialisme berantakan. Tidak bisa kita mengadakan satu negara jika tidak sudah dipenuhi
syarat-syarat untuk negara. Apa syarat untuk negara, saudara-saudara? Syaratnya adalah tiga.
Negara, pertama syaratnya ialah harus mempunyai wilayah. Wilayah yang tegas dapat ditaruh
di atas kaart. Bisa dipetakan. Wilayah yang di dalam bahasa asing dinamakan territoor. Dan
cita-cita kami, sebagai bangsa Indonesia, cita-cita kita, juga bukan suatu negara sembarangan,

saudara-saudara, tetapi suatu negara yang besar, yang kuat, sentosa, modern, up to date, dan
satu negara yang bisa mendatangkan kebahagiaan kepada rakyat. Satu negara yang bisa di
dalamnya diisikan satu masyarakat yang adil dan makmur. Bukan satu negara kapitalis.
Bukan satu negara kemiskinan. Bukan satu negara yang rakyatnya tidak bisa makan dengan
cukup. Bukan satu negara yang rakyatnya tidak hidup dengan bahagia. Tetapi satu negara
besar dan masyarakat adil dan makmur di dalamnya.
Ini kami pikirkan mengenai wilayah itu tadi. Dan kami, pemimpin-pemimpin, sampai kepada
satu kesimpulan, bahwa jikalau kita ingin mempunyai satu negara yang di dalamnya satu
masyarakat yang adil dan makmur, haruslah negara itu berwilayah seluruh Indonesia dari
Sabang sampai ke Merauke. Apa artinya saudara-saudara? Tidak bisa kita mengadakan satu
negara yang bisa memberi masyarakat adil dan makmur jikalau wilayahnya tidak dari Sabang
sampai ke Merauke. Artinya, misalnya negara Jawa sendiri, umpamanya, tidak bisa
menyelenggarakan satu masyarakat yang adil dan makmur. Demikian pula Sumatera umpamanya berdiri sendiri sebagai negara, tidak bisa menyelenggarakan satu masyarakat yang
adil dan makmur. Kalimantan tidak bisa menjadi satu negara yang adil dan makmur
masyarakatnya. Sulawesi tidak bisa menjadi satu negara yang adil dan makmur
masyarakatnya. Bali tidak bisa menjadi satu negara yang adil dan makmur masyarakatnya.
Sumbawa tidak bisa menjadi satu negara yang adil dan makmur masyarakatnya. Priangan
tidak bisa menjadi satu negara yang adil dan makmur masyarakatnya. Madura tidak bisa
menjadi satu negara yang adil dan makmur masyarakatnya. Hanya negara yang berwilayah
dari Sabang sampai ke Meraukelah bisa menyelenggarakan masyarakat yang adil dan
rnakmur, oleh karena daerah-daerah ini daerah Jawa, daerah Sumatera, daerah Kalimantan,
daerah Sulawesi, daerah Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, yaitu kepulauan
Sunda Kecil yang dulu dinamakan demikian, sekarang dinamakan Nusa Tenggara, daerah
Halmahera, daerah Maluku Tengah, Ambon, Saparua, Nusa Laut, daerah Irian Barat dan lainlain sebagainya harus isi-mengisi satu sarna lain. Jikalau sesuatu daerah berdiri sendiri,
saudara-saudara, tak mungkin menyelenggara-kan masyarakat yang adil dan makmur itu.
Nah, jadi ditinjau oleh pemimpin-pemimpin kita: bisakah kita nanti mengadakan satu negara
besar, modern, up to date, yang wilayahnya dari Sabang sampai ke Merauke? Kami pikir,
kami tinjau, dan jawab kami: Ya! Kami dapat, kita dapat mengadakan negara yang demikian
itu, berwilayah dari Sabang sampai ke Merauke. Ialah oleh karena di dalam sejarah
Indonesia, dahulu kitapun pernah mempunyai negara yang demikian itu, malahan wilayahnya
lebih besar daripada apa yang dinamakan Hindia Belanda. Pernah pula mempunyai negara
lain, yaitu Sriwijaya, yang wi layahnya hampir sama dengan apa yang dinamakan Hindia
Belanda. Jadi menurut sejarah, negara yang berwilayah dari Sabang sampai ke Merauke, bisa
diadakan. Demikian pula, saudara-saudara, sejarah pergerakan Indonesia menunjukkan bahwa daerah-daerah ini memang makin lama makin kembali ke dalam rasa persatuan
Indonesia. Jadi tentang hal persoalan yang pertama, vaitu apakah bisa diadakan satu wilayah.
satu territoor bagi negara, jawahnya ialah tegas: ya, kita bisa mengadakan wilavah atau
territoor itu.
Syarat yang kedua daripada sesuatu negara, saudara-saudara, ialah bahwa di atas territoor itu
harus ada rakyatnya. Kalau tidak ada rakyatnya tidak bisa menjadi negara. Coba umpamanya
saudara mengadakan satu proklamasi di padang pasir, hendak mengadakan negara di padang
pasir, walaupun wilayahnya ada, yaitu padang pasir, tetapi tidak ada rakyat di atasnya,
saudarasaudara, tidak mungkin menjadi satu negara. Dan bukan rakyat sembarang rakyat,
tetapi rakyat yang merasa dirinya bersatu padu, rakyat yang merasa dirinya telah menjadi satu
bangsa, bukan dua, bukan tiga, bukan empat, satu bangsa. Inipun diselidiki oleh kami,

pemimpin-pemimpin, dipikir, di-tinjau, bahkan di dalam tahun 1945, saudara-saudara,


dikumpul-kan pemimpin-pemimpin, bersama meninjau soal ini dan ternyata: rakyat Indonesia
yang terserak di pulau-pulau Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke, yang berdiam di atas
3.000 pulau, jumlah pulau di Indonesia lebih dari 10.000, saudara-saudara, tetapi rakyat
yang berdiam di atas 3.000 pulau, rakyat Indonesia yang berpuluh-puluh juta ini, walaupun
diam terserak-serak atas 3.000 pulau, sehingga sebagai tempo hari saya katakan, pernah
seorang wartawan berkata bahwa Indonesia adalah the most broken up nation in the world,
satu negeri, satu bangsa yang paling terserak-serak rakyatnya saudarasaudara. Meskipun
rakyat Indonesia berdiam di atas 3.000 pulau, ternyatalah bahwa Indonesia telah mempunyai
rasa satu bangsa. Bahkan pada tanggal 28 Oktober 1928 oleh pemuda-pemudi kita diikrarkan
rasa ini, sebagai ikrar pemuda yang termasyhur: satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa.
Dengan keyakinan inilah saudara-saudara, maka pertanyaan yang kedua dijawab oleh kami:
Ya! kami telah menjadi satu bangsa.
Syarat ketiga bagi negara ialah apakah bisa diadakan Pemerintah Pusat apa tidak? Pernerintah
Pusat vang satu. Bukan dua. bukan tiga. bukan empat. Jawab kamipun: bisa diadakan Pemerintah Pusat yang satu. Iatkala kami berkumpul, pemimpinpemimpin dari seluruh Indonesia,
di dalam bulan Agustus saudarasaudara. sebelum mengadakan proklamasi, spesial soal ini
ditinjau antara kita dengan kita. Dapatkah kita memenuhi syarat ketiga daripada sesuatu
negara? Yaitu adanya satu Peinerintah Pusat. Dan jawab daripada sidang itu ialah: dapat
Indonesia mengadakan satu Pemerintah Pusat. Sehingga pada tanggal 17 Agustus 1945 itu,
saudara-saudara, atau lebih tegas, pada tanggal 16 Agustus, pemimpin-pemimpin yang
berkumpul di Jakarta itu, semuanya berkeyakinan, tiga syarat daripada negara bisa dipenuhi,
territoor ya, bangsa ya, Pemerintah Pusat ya. Maka pada malam 16 malam 17
ditandatanganilah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan pada tanggal 17 Agustus 1945
dibacakan di muka umum: -Kami Bangsa Indonesia sejak saat sekarang ini merdeka,
mendirikan satu negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nah, saudara-saudara, tiga syarat ini berjalan, territoor, wilayah Republik Indonesia dari
Sabang sampai ke Merauke. Hanya sebagian daripada territoor ini, saudara-saudara, sekarang
diduduki oleh Belanda. Belum dikembalikan oleh Belanda kepada kita. Maka oleh karena itu
saya selalu berkata kepada rakyat Indonesia, janganlah berkata, mengembalikan Irian Barat
ke dalam wilayah Republik, tetapi katakanlah mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah
kekuasaan Republik, sebab Irian Barat sudah masuk di dalam wilayah Republik. Irian Barat
sudah masuk di dalam territoor Republik. Sudah saya terangkan kepadamu sekalian di dalam
rapat raksasa yang lalu, saudara-saudara, bahwa di dalam Undang-Undang Dasar kita ditulis
dengan tegas, bahwa wilayah Republik Indonesia ialah: Indonesia. Dan apa yang dinamakan
Indonesia? Yang dinamakan Indonesia ialah Tanah Air Indonesia yang terserak kepulauannya
dari Sabang sampai ke Merauke. Dus Irian Barat masuk di dalam wilayah Republik. Yang
bclum ialah kekuasaan Republik dikembalikan oleh Bclanda kepada kita. Uan saya tahu
tekad saudara-saudara, taliu tekad pemuda dan pemudi, tahu tekad prajurit-prajurit, tahu
tekad bintara-bintara, tahu tekad perwira-perwira, tahu tekadmu hai rakyat jelata, tahu
tekadnya bapak Marhaen, tahu tekadnya bapak Madroi, tahu tekadnya seluruh rakyat
Indonesia, ialah: berjuang terus agar supaya Irian Barat masuk ke dalam wilayah kekuasaan
Republik.
Saudara-saudara, territoor sudah ada. Bangsa sudah ada. Pemerintah Pusat sudah berfungsi,
saudara-saudara, sejak 17 Agustus 1945 hingga kini. Tetapi apa yang terjadi, apa yang
terjadi? Achmad Husein c.s., Sjafruddin Prawiranegara c.s., justru melanggar semuanya ini,
saudara-saudara. Mereka mengadakan Pemerintah lain, melanggar syarat yang nomor tiga ini

tadi, ialah bahwa Republik Indonesia berwujud satu negara. Saudara-saudara hanya mengenal
satu Pemerintah Pusat. Dus, jikalau mereka mengadakan satu pemerintah pusat lain,
sebenarnya mereka itu mengkhianati Proklamasi 17 Agustus 1945. Dan bukan saja
mengkhianati Proklamasi 17 Agustus 1945, saudara-saudara, mengkhianati kepadamu, hai
Marhaen, mengkhianati kepadamu hai pemuda dan pemudi, mengkhianati kepada pahlawanpahlawan kita yang telah gugur, mengkhianati kepada perjuangan rakyat Indonesia yang
sudah berpuluh-puluh tahun. Mengkhianati kepada jiwa Indonesia sendiri. Khianat perbuatan
ini, saudarasaudara. Maka oleh karena itu segenap rakyat Indonesia, saya yakin, -semuanya
akan menghukum perbuatan Achmad Husein dan Sjafruddin Prawiranegara c.s. itu.
Tetapi, sebagai dikatakan oleh ibu Rasuna Said tadi, kami, kita penuh dengan kepercayaan,
penuh, asal rakyat jelata, sekali lagi saya ulangi, asal rakyat jelata setia kepada Proklamasi 17
Agustus 1945. Meskipun ada petualang-petualang, seratus, seribu, sepuluh ribu saudarasaudara. mereka akan lenvap dari rnuka bumi ini olch tcnaga daripada rakyat jelata itu.
Rakyat jelata kckuatan Republik. rakyat jelata kekuatan negara. rakyat jelata sandaran
daripada cita-cita. Saudara-saudara, rakyat inilah modal kita. Rakyat jelata yang ingin bebas
merdeka. Rakyat jelata yang dengan tenaganya kita rnengadakan proklamasi dan
mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945 itu. Apa, saudara-saudara, sebenarnya yang
terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945? Kataku di tempat lain. pada tanggal 17 Agustus 1945,
kita tidak hanya memproklamirkan Negara, tidak, bukan hanya memproklamirkan negara,
kataku. Pada tanggal 17 Agustus 1945 itu kita juga memproklamirkan kepribadian kita.
Kepribadian Indonesia. Apa kepribadian Indonesia, kataku, di lain tempat. Dan jawabku
ialah: pertama, cinta merdeka. Cinta merdeka, tidak mau dijadikan budak orang lain. Tetapi
juga menghormati kemerdekaan orang lain. Cinta kepada kemerdekaan, tetapi juga
menghormati kemerdekaan orang lain. Ingin bersahabat dengan semua manusia di dunia ini,
ingin bersahabat dengan semua bangsa di dunia ini. Ingin bersahabat dengan semua negara di
dunia ini. Saya berkata di lain tempat, saudara-saudara, bahwa kepribadian bangsa Indonesia
terjelma di dalam dasar Pancasila.
Tadi diuraikan oleh Ibu Rasuna Said, memang Pancasila ini adalah pengutaraan daripada jiwa
Indonesia. Aku ini, saudarasaudara, pernah diberi titel doktor, oleh karena katanya, aku ini
adalah pembuat Pancasila. Aku menjawab, aku bukan pembuat Pancasila. Pancasila terbenam
di dalam jiwanya Bangsa Indonesia. Apa yang kuperbuat hanyalah menggali lagi mutiara
lima dari bwni Indonesia itu, dan mutiara lima ini aku persembahkan kepada bangsa
Indonesia yang berupa lima dasar daripada Pancasila.
Aku diberi titel doktor mau aku terima, tetapi janganlah berkata bahwa aku ini adalah
pembuat daripada Pancasila. Aku menggali kembali lima kebenaran daripada bangsa
Indonesia itu, satu: Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai tadi telah diuraikan panjang lebar
oleh Ibu Rasuna said. Dua: Kebangsaan Indonesia yang bulat, yang kita ini bukan orang
Cigereleng, bangsa Cigereleng, bangsa Sukajati, bangsa Bandung, bangsa Periyangan, bangsa
Jawa. Tidak! Kita ini adalah Bangsa Indonesia seluruhnya, satu Bangsa sebagai diucapkan
oleh pemuda-pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Ketiga, dasar Pancasila:
Perikemanusiaan. Menjehnanya di dalam politik sekarang ini, sebagai satu politik behas dan
aktif, satu politik ingin bersahabat dengan semua baiigsa, balikan aktif berikhtiar agar sernua
bangsa di dunia ini bersatu, jangan menjadi dua blok sebagai yang sekarang, ancammengancam satu sama lain, laksana dua raksasa yang telah mengintai di cakrawala, yang
nanti pada satu hari akan menerkam satu sama lain, membakar seluruh manusia di dunia ini
menjadi hangus.

Yah, saudara-saudara, bangsa Indonesia tidak mau ikut salah satu blok. Tidak mau ikut blok
itu, tidak mau ikut blok ini. Bangsa Indonesia ingin menjadi sahabat dari sernua manusia.
Dan bangsa Indonesia berikhtiar agar supaya semua manusia di dunia ini, 2.600 juta manusia
di dunia ini, bersatu padu di dalam satu rasa perikemanusiaan. Dasar dari Pancasila yang
ketiga: kita menjalankan politik bebas. Di luar negeri ada yang mengatakan ini politik netral,
katanya. Saya tolak perkataan netral. Kita bangsa Indonesia tidak netral. Kita menjalankan
politik bebas. Gamal Nasser dari Mesir berkata: Bung Karno menyebutkan politiknya politik
bebas. Kami dari Mesir menyebutkan politik kami ini politik of non-alignment. Artinya
politik tidak mau mengikatkan diri ke dalam salah satu blok. Pada hakekatnya sama. Cara
Mesir mengatakan ialah non alignment policy, cara Indonesia menyebutnya ialah politik
bebas. Tetapi aktif, aktif berikhtiar agar semua nianusia dipersahabatkan satu sama lain. Kami
menolak perkataan netral. Kami tidak netral. Apa arti netral? Netral itu artinya: diam. Iiii
politik iietral. Kita tidak netral. Kita aktif. Apalagi terhadap kcpada kolonialisme, kita tidak
mau netral. Yah, kita mcnganjurkan supaya antara dua blok ini adalah hidup berdampingdampingan satu sama lain. Yah sudahlah. kalau sudah terlanjur menjadi blok-blokan, sini satu
blok, situ satu blok. Tapi dua blok ini bisa hidup berdamping-dampingan satu sama lain.
llalam bahasa Inggerisnya: co-existence, malahan dikatakan peaceful co-existence. Hidup
berdamping-dampingan satu sama lain dalam suasana perdamaian. Peaceful co-existence.
Dan ini ternyata bisa, mungkin, bukan saja mungkin, bisa. Yaitu kalau sudah terlanjur blokblokan, ya sudahlah, satu blok sini, satu blok situ, tapi dalam suasana perdamaian, tidak
cakar-cakaran satu sama lain, tidak bertempur satu sama lain. Ini ternyata bisa. Sudah
berpuluh-puluh tahun, sejak pecahnya perang dunia kedua, dua blok ini, saudara-saudara, ada
dan bisa hidup berdamping-dampingan satu sama lain. Tetapi di antara kolonialisme dan
bangsabangsa yang dikolonisir, antara penjajah-penjajah dan rakyatrakyat yang terjajah tidak
bisa hidup berdamping-dampingan satu sama lain. Antara kolonial-isme dan rakyat-rakyat
yang dikolonisir tidak bisa ada co-existence. Tidak! Apa sebabnya? Saya terangkan di lain
tempat, oleh karena yang menjajah yaitu si kolonialis, tangannya masuk kantongnya rakyat
yang dikolonisir. Kalau blok dengan blok tidak, saudara-saudara. Seperti di antara dua blok
itu ada gang. Tetapi di antara kolonialis dan rakyat yang dikolonisir tidak ada gang itu,
saudara-saudara. Ialah oleh karena tangannya si kolonialis masuk di dalam kantongnya rakyat
yang dikolonisir. Maka oleh karena itu Bangsa Indonesiaberkata: Tidak! Kami tidak netral.
Terutama sekali terhadap kepada kolonialisme. Kami tidak netral. Tidak! Kami berjuang
terus, melawan kolonialisme. Kami berjuang terus melawan penjajahan. Bukan saja
penjajahan di dalam negeri, tetapi penjajahan di luar negeripun kami berjuang kepadanya.
Malahan kami tempo hari memanggil 29 negaranegara dan Bangsa-Bangsa Asia Afi-ika.
berkumpul di kota molek Bandung ini. mengadakan konferensi Asia Afrika. Dan konferensi
Asia Afrika itu telah menghukum kolonialisme dan segala bentuk dan tindakannya. hlilah
tekad Bangsa Indonesia. saudara-saudara. Sebagai hasil daripada dasar ketiga daripada
pancasila: Perikemanusiaan.
Dasar kita keempat: Kedaulatan Rakyat. Ya memang kita ini, saudara-saudara, ingin
menjalankan demokrasi, dan memang dasar kita ini ialah demokrasi. Sebagai dikatakan oleh
Ibu Rasuna Said tadi, kita ini bangsa menjalankan demokrasi. Sudah mempunyai DPR hasil
pemilihan umum, sudah mempunyai Konstituante dengan pemilihan umum. Kalau sesuatu
golongan daripada bangsa Indonesia, tegasnya kalau Sjafruddin tidak senang dengan Pemerintah sekarang ini, kalau Achmad Husein tidak senang dengan Pemerintah sekarang ini,
kalau Simbolon tidak senang dengan Pemerintah sekarang ini, kalau Sumitro tidak senang
dengan Pemerintah sekarang ini, kalau Dahlan Dj ambek tidak senang dengan Pemerintah
sekarang ini, gerakkanlah DPR, Parlemen itu, supaya mengadakan mosi tidak percaya kepada

Pemerintah sekarang ini, supaya menjatuhkan Pemerintah sekarang ini. Ini jalan yang demokratis, saudara-saudara, melalui Parlemen. Tetapi mereka tidak melalui Parlemen. Mereka
mengadakan ultimatum, mereka mengadakan proklamasi PRRI. Ini adalah peng-khianatan!
Pengkhianatan daripada Proklamasi! Bahkan aku berkata, pengkhianatan kepada jiwa
Indonesia yang demokratis! Pengkhianatan kepada Marhaen, kepada rakyat jelata, kepada
pemuda yang telah bertempur mati-matian unluk mengadakan negara demokratis ini,
saudara-saudara. Ibu Rasuna Said berkata: PRRI bukan pemerintah revolusioner Republik
Indonesia, tetapi pemerintah reaksioner Republik Indonesia. Sebenarnya lebih daripada
reaksioner. Ini bukan reaksioner saja, ini adalah kontra-revolusioner!
Yah, di dalam tiap-tiap revolusi ada kontra-revolusi. Kita mengalami kontra-revolusi
beberapa kali. revolusi Sovyet mengalami kontra-revolusi beberapa kali. revolusi RRC mengalami kontra-revolusi. revolusi Perancis mengalami kontra-revolusi. Revolusi Mesir
mengalami kontra-revolusi, saudara-saudara. Tiap-tiap revolusi mengalami kontra-revolusi.
Tetapi jikalau rcvolusi itu benar-benar revolusi, artinya benar-benar tindakan daripada rakyat
jelata yang ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, jutaan-jutaan. Jikalau revolusi itu benar-benar
massal, saudarasaudara. Tidak ada satu kontra-revolusi bisa bertahan. Tidak ada. Maka oleh
karena itu saya berkata, jikalau rakyat Indonesia ini seluruhnya, rakyat jelata setia kepada
Proklamasi 17 Agustus 1945, kontra-revolusi akan lenyap dari muka bumi ini. Dan kita akan
menghadapi zaman yang gilang-gemilang. Kita, saudarasaudara, bangsa di dalam revolusi
yang berjalan terus, yang sebagai kukatakan, for a fighting nation there is no journeys end,
buat bangsa yang berjuang tidak ada yang dinamakan berhenti. Tidak! Kita berjalan terus.
Yah, kita sekarang mengalami kontra-revolusi. Kita berjalan terus. Dan Insyaallah s.w.t.,
dengan semangat rakyat jelata sebagai yang saya lihat di Bandung sekarang ini, Insyaallah
kita akan mencapai apa yang hendak kita capai. Kita hendak capai satu Negara Republik
Indonesia dengan di dalamnya satu masyarakat yang adil dan makmur yang memberi
kebahagiaan kepada seluruh rakyat Indonesia yang 82.000.000 ini. Kita menjalankan politik
bebas.
Aku di luar negeri, 40 hari lamanya, melihat dengan mata kepala sendiri, saudara-saudara,
Sumual c.s. itu sakunya penuh dengan uang. Nah inilah katanya barter, barter katanya. Dijual
kopra dari Minahasa itu untuk rakyat Minahasa. Omong kosong! Uang dari hasil penjualan
kopra ini masuk dalam kantongnya petualang-petualang itu, saudara-saudara. Dan saya
membaca sendiri di dalam surat kabar, petualang-petualang itu tiap-tiap sore pergi. per`gi ke
tempat-tempat kesenangan, nightclubs, traktir mereka, bclikan mobil mereka. Kantong
mereka penuh dengan uang saudara-saudara. Dan aku melihat sendiri, saudara-saudara.
bahwa ada petualang-petualang asing menunggangi mereka itu. Malah ketika aku
menjalankan perjalanan ke India, ke Mesir, ke Yugoslavia, ke Ceylon, ke Pakistan, ke Burma,
ke tempat-tempat lain, aku mendapat pengertian, diberi mengerti oleh beberapa kawankawan, bahwa ada petualang-petualang asing yang sudah tidak senang lagi dengan apa yang
dinamakan oleh mereka netralisme kita, -saya tadi berkata, politik kita dinamakan politik
netral kita ini dikatakan menjalankan politik netralisme, policy of neutralism dikatakan
oleh mereka itu, saudara-saudara, yaitu kawan-kawan kita itu, sekarang ini sudah ada
golongan petualangpetualang asing yang tidak senang lagi dengan politik netral kita. Dulu
mereka itu senang, cukup senang, kalau Indonesia netral. Cukup senang kalau India netral.
Cukup senang kalau Burma netral. Cukup senang kalau Mesir netral. Cukup senang kalau
Siria netral. Cukup senang kalau Langka netral. Asal tidak ikut blok itu. tetapi sekarang
timbul petualang-petualang yang sudah tidak senang lagi kepada netralisme kita. Mereka

hendak menyeret kita, memasukkan kita, atau sebagian daripada kita ke dalam salah satu
blok.
Oleh karena itu, di dalam amanat saya pada tanggal 21 Februari, tatkala saya menerima
kembali jabatan Presiden dari tangannya Bapak Sartono, saya berkata: perbuatan Akhrnad
Husein c.s. ini, adalah satu penyelewengan daripada Proklamasi dan bukan saja itu, tetapi
adalah anasir-anasir asing, usaha-usaha asing mau memasukkan Indonesia atau sebagian
daripada Indonesia itu ke dalarn salah satu blok. Dan ini aku lihat dengan mata kepala
sendiri, saudara-saudara, tatkala aku di luar negeri, bagaimana Surnual, bagaimana Pantouw,
bagaimana Walandouw dan konco-konconya itu ditunggangi sama sekali oleh petualangpetualang ini. Dibesar-besarkan hatinva. dihasut-hasut. bahkan diberi apa-apa, saudarasaudara. Tentang hal Sumual. ketika aku di Tokio. dia sudah ada di Tokio. Aku lihat dengan
jelas dengan bukti, dia di Tokio itu bukan sekadar untuk mengadakan kampanye hasutan
terhadap Republik, hasutan terhadap Pernerintah Pusat di Jakarta, hasutan terhadap Presiden
Sukarno. Bukan saja itu, di Tokio ia mengadakan kontak dengan seorang petualang Jepang
jangan salah mengerti petualang Jepang, pada umumnya rakyat Jepang, saudara-saudara,
ramah-tamah, cinta kepada Republik Indonesia, tetapi di dalam tiap-tiap bangsa ada
petualng-petualangnya, tiap-tiap bangsa. Lha ini petualang Jepang kontak dengan Sumual.
Sumual dengan petualang Jepang ini mengadakan pembicaraan, perundingan. Sumual hendak
membeli senjata, dibayarnya dengan kopra barter. Senjata ini untuk apa? Untuk menggempur
Republik, saudara-saudara!
Apa terjadi? Bicara sudah matang, di dalam bahasa asing tempo hari saya katakan,
pembicaraan ini sudah in kannen en kruiken. Tinggal lagi ditandatangani kontraknya ini,
sekian ribu senjata, saya bayar dengan sekian ribu karung kopra. Sudah hampir
ditandatangani, ada petualang dari bangsa lain berkata kepada Sumual buat apa beli senjata
dari Jepang, Jepang itu jauh dari Indonesia. Kamu bisa dapat senjata dari satu tempat yang
lebih dekat dari Indonesia. Batalkan engkau punya perjanjian dengan .lepang ini. Ambillah
senjata yang dari kami, dekat dari Indonesia. Sumual, saudara-saudara, lantas batalkan
perundingannya dengan pihak petualang Jepang ini. Apa terjadi? Petualang Jepang ini
menjadi marah, surat-suratnya diberikan kepada orang Jepang lain, dengan permintaan
supaya diteruskan kepada Presiden Soekarno. Nah, kawan Jepang ini memberikan sernua
surat Sumual itu kepada Presiden Soekarno, sehingga terbukti hitam di atas putih, saudarasaudara. Bukan saja satu surat, beberapa surat dengan fotokopi-fotokopinya sama sekali,
bahwa Sumual di Tokio hendak membel i senjata untuk menggempur Republik. tetapi ganti
dengan usaha mcndapat senjata dari tempat yang lebih dckat daripada Indonesia untuk
menggempur Republik.
Coba, pengkhianatan atau tidak ini, saudara-saudara. Maka oleh karena itu saya tadi berkata:
kita berjalan terus, berjalan terus. Asal rakyat Indonesia bersatu padu, asal rakyat jelata
Indonesia bersatu padu, biar mereka mengadakan usaha yang demikian itu, saudara-saudara,
akhirnya toh Insyaallah s.w.t. digiling mereka itu oleh rakyat jelata, oleh karena memang
rakyat jelatalah tenaga daripada revolusi.
Kita ini, saudara-saudara, di dalam cobaan. Tetapi sebagai berulang-ulang saya katakan, yang
sudah diulangi oleh Ibu Rasuna Said tadi, kalau kita, saudara-saudara, tetap kompak, tetap
bersatu padu, kita Insyaallah kuat menghadapi segala cobaan. Dan memang cita-cita kita,
saudara-saudara, belum tercapai. Bukan saja memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah
kekuasaan Republik, tetapi juga mengadakan pembangunan demikian rupa, sehingga

terselenggaralah satu masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang dicita-citakan oleh
seluruh rakyat Indonesia.
Yah, kita mengetahui, kami daripada pihak Pemerintah mengetahui bahwa cita-cita sosial
kita, masyarakat adil dan makmur itu belum tercapai. Tetapi janganlah kita lupa saudarasaudara, bahwa masyarakat adil dan makmur hanyalah bisa diselenggarakan oleh satu bangsa
yang kompak dengan satu Pemerintah Pusat yang kuat. Jangan kira, saudara-saudara, bahwa
masyarakat adil dan makmur itu bisa diselenggarakan, kalau kita selalu terpecah belah, kalau
kita antara partai dengan partai selalu bertempur, jikalau kita di dalam masa merdeka yang 12
tahun ini, melalui 17 kali Kabinet, tiap kali ganti kabinet. Tak mungkin masyarakat adil dan
makmur bisa diselenggarakan dengan keadaan yang demikian itu. Maka oleh karena itu saya,
saudarasaudara, minta kepada semua partai-partai untuk bersatu padu. Kita menghadapi
zaman yang sulit dan zaman vang sulit ini hanya bisa kita atasi kalau kita bcrsatu padu. kalau
kita berdiri bulat di helakang Pemerintah yang sekarang ini. Kalau nanti, saudarasaudara, kita
sudah mengatasi kesulitan-kesulitan ini, pembangunan bisa betjalan dengan sehebathebatnya, agar supaya cita-cita sosial kita tercapai, agar supaya engkau bisa hidup dalam
suasana yang engkau cita-citakan: perumahan layak, makan cukup, sandang cukup, anakanak bersekolah, pendek rakyat Indonesia, saudara-saudara, menjadi satu rakyat yang benar
hidup di dalam kesejahteraan dan kemakmuran. Janganlah sampai kita mengalami sebagai
yang sekarang ini, sebagai dikatakan oleh Ibu Rasunah Said. Malu kita, saudara-saudara,
kalau di luar negeri digambarkan Indonesia terpecah-belah, Indonesia lemah, Indonesia
cakarcakaran satu sama lain, bahkan di kalangan bangsa Indonesia ada pengkhianatpengkhianat, petualang-petualang. Aku di luar negeri, saudara-saudara, merasa terharu benarbenar, dan sebagai kukatakan di dalam pidato 16 Februari yang lalu, tatkala aku baru turun
dari kapal udara, aku telah berkata: Semua bangsa yang kukunjungi ikut-ikut mendoa agar
supaya Indonesia lekas kuat, lekas kompak, lekas bersatu padu, lekas mempunyai Pemerintah
Pusat yang tenaganya bisa menyeleng-garakan rakyat bekerja keras untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur. Tetapi tidak cukup dengan doanya kawan-kawan. Tidak cukup
dengan doanya Nehru, tidak cukup dengan doanya Gamal Nasser. Tidak cukup dengan
doanya Tito, dengan doanya Kuatly, dengan doanya Bandaranaike, dengan doanya U Nu,
dengan doanya pemimpin-pemimpin di luar negeri. Tidak cukup! Kita sendiri, saudarasaudara, harus menyingsingkan lengan baju kita. Di sini saya selalu mensitir firman Allah
s.w.t.: Tuhan Allah tidak merubah nasib sesuatu bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak
merubah nasibnya. Seperti didoakan oleh Nehru seribu kali satu hari, seperti didoakan oleh
Gamal Nasser seribu kali satu hari, meskipun didoakan oleh Soukrv el Kuatly dari Siria
seribu kali satu hari, nieskipun didoakan oleh Marsekal Tito seribu kali sehari, meskipun
didoakan olell Bandaranaike dari Kolombo seribu kali satu hari, meskipun didoakan oleh U
Nu dari Rangoon seribu kali satu hari, meskipun didoakan oleh Presiden Eisenhower seribu
kali satu hari, meskipun didoakan oleh Worosilov seribu kali satu hari, saudara-saudara, agar
supaya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat, kalau bangsa Indonesia sendiri tidak
menyelenggarakan, berikhtiar, mernbanting tulang, mengulurkan tenaganya, memeras
keringatnya, agar menjadi bangsa yang kuat, bangsa Indonsia tidak bisa menjadi bangsa yang
kuat.
Inilah amanat saya kepada saudara-saudara.
Mari, hai, rakyat Indonesia, mari hai rakyat Bandung, kita bekerja terus, berjalan terus,
dengan dasar Proklamasi 17 Agustus 1945, Proklamasi keramat dan kita tidak mengakui
proklamasi lain daripada proklamasi yang satu ini, Proklamasi 17 Agustus 1945.

Sekian.

(Diambil secara stenografis)

PANCASILA MEMBUKTIKAN
DAPAT MEMPERSATUKAN BANGSA INDONESIA

Pidato Presiden Soekarno Pada Peringatan


Lahirnya Pancasila di Istana Negara
Tanggal 5 Juni 1958

Saudara-saudara sekalian,
Barangkali dalam kalangan kita sekarang ini, tidak ada seseorang yang lebih terharu hatinya
daripada saya. Terharu karena ingat kepada perjuangan dan penderitaan rakyat berpuluhpuluh tahun, yang akhirnya melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan
Pancasila. Terharu oleh karena pada ini malam di Istana Negara berkumpul beribu-ribu
saudara-saudara, handai taulan untuk memperingati lahirnya Pancasila, sedang di halaman di
muka Istana negara, berkumpul berpuluh-puluh ribu rakyat yang mendengarkan pidato-pidato

dari sini, sedangkan pula seluruh rakyat Indonesia yang memiliki radio atau berdiri di muka
radio umum men-dengarkan pidato-pidato itu pula. Terharu oleh karena pada ini malam
dengan tidak terduga-duga dan tersangkasangka, diucap-kan oleh pembicara-pembicara,
perkataanperkataan pujian terhadap kepada diri saya, yang atas perkataanperkataan, pujian itu
saya mengucap banyak-banyak terima kasih, sambil meng-ulangi ucapan saya di Yogyakarta
tatkala saya mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Gajahmada, sebagai tadi
disitir oleh saudara Prof. Mr. H. Muh. Yamin, bahwa saya bukan pembentuk atau pencipta
Pancasila, melainkan sekadar salah seorang penggali daripada Pancasila itu.
Terharu pula, oleh karena pada ini malam, dengan tidak terduga-duga dan tersangka-sangka
dibacakan pernyataan oleh pemuda-pemuda dari barisan Baladika Wirapati, Bala Andika
Wirapati. Malahan dibacakan pernyataan setia kepada Pancasila itu, sebagai tanda mata
kepada saya, oleh karena besok Insya Allah swt., saya akan merayakan, atau memperingati
hari ulang tahun saya. Demikian pula barisan penyanyi-penyanyi dari Liga Pancasila
membawa-bawa perkataan, bahwa nyanyian itu dinyanyikan sebagai tanda hadiah kepada
saya yang Insya Allah besok pagi akan memperingati hari ulang tahun saya. Tidakkah pada
tempatnya saya terharu dan merasa amat berterima kasih?
Pada permulaan kata saya berkata: terharunya hati saya itu, terutama sekali ialah oleh karena
saya ingat kepada perjuangan rakyat Indonesia yang telah berpuluh-puluh tahun, tetapi yang
akhirnya dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai yang kita miliki sekarang ini. Yah, perjuangan dan penderitaan bangsa
Indonsia yang berpuluh-puluh tahun, dianugerahi oleh Allah swt. dengan Negara Kesatuan
republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Benar sekali dikatakan oleh saudara Menteri
Penerangan Sudibyo bahwa Pancasila tak dapat dipisahkan daripada Proklamasi dan daripada
negara Republik Indonesia. Tetapi jikalau saya ingat kepada perjuangan dan penderitaan
rakyat Indonesia yang berpuluh-puluh tahun itu, saya ingin menambah pula perkataan
saudara Sudibyo, bahwa Pancasila bukan saja tidak dapat dipisahkan daripada proklamasi dan
tidak bisa dipisahkan daripada negara, tetapi juga tidak bisa dipisah-kan dari perjuangan
rakyat Indonesia yang telah berpuluh-puluh tahun. Keterangannya bagaimana, saudarasaudara? Rakyat Indonesia berjuang dengan melalui beberapa pengalaman dan pengajaranpengajaran. Banyak perjuang-an bangsa Indonesia yang gagal. Tetapi akhirnya perjuangan
bangsa Indonesia itu berhasil. Apa sebab gagal? Apa sebab berhasil? Marilah kita tinjau hal
itu sejenak waktu. Gagal oleh karena tak mampu mempersatukan rakyat Indonesia dari
Sabang sampai ke Merauke. Berhasil tatkala mampu mempersatukan rakyat dari Sabang
sampai ke Merauke. Ingat perjuangan Diponegoro, betapa hebatnya, betapa penuhnya dengan
heroisme dan kepahlawanan. Toh tak dapat mencapai apa yang hendak dicapainya, yaitu
Negara Merdeka. Ingat perjuangan Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Negara Mataram
yang kedua. Tak kurang heroisme, tak kurang kepahlawanan, tetapi toh gagal oleh karena
perjuangan itu hanya dijalankan oleh sebagian daripada rakyat Indonesia, sebagaimana
perjuangan Diponegoro pun hanya dijalankan oleh sebagian rakyat Indonesia. Ingatlah
kepada perjuangan Sultan Hassanudin. Kata Speelman: de jonge haan, ayam yang muda,
gagal oleh karena perjuangan Sultan Hassanudin hanya dijalankan oleh sebagian daripada
rakyat Indonesia. Ingat kepada perjuangan Teuku Umar, atau Cikdi Tiro di Aceh; gagal, oleh
karena hanya dijalankan oleh sebagian daripada rakyat Indonesia. Ingat pada perjuangan
Surapati, gagal oleh karena perjuangan Surapati itu hanya dijalankan oleh sebagian daripada
rakyat Indonesia. Tetapi tatkala bangsa Indonesia dapat mernpersatukan segenap rakyat
Indonesia dari Sabang smpai ke Merauke, gugurlah imperialisme dan berkibar-lah Sang
Merah Putih di angkasa dengan cara yang amat megah.

Memang, saudara-saudara, perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan, untuk


menggugurkan imperialisme harus didasarkan atas persatuan. Berbeda dengan perjuangan
bangsa lain. Beberapa pekan yang lalu di Istana Negara ini, saya memberi kursus kepada
pemuda-pemuda Liga Pancasila dan di dalam kursus yang pertama itu, saya uraikan salah
satu perbeda-an antara rakyat Indonesia dan misalnya perjuangan rakyat India. Rakyat India
dapat mengalahkan imperialisme Inggeris, yang pada hakekatnya satu imperialisme dagang,
satu handels imperialisme, dengan memobilisir kekuatan daripada satu natonale bourgeoisie
yang sedang timbul. Nationale bourgeoisie India ini, saudarasaudara, merekalah yang pada
hakekatnya menggerakkan gerakan swadesi. memboikot barang-barang bikinan Inggeris.
membuat barang-barang bikinan India sendiri, sehingga imperialisme Inggeris yang
membawa barang dagang-an Inggeris ke India itu, akhirnya tidak mendapat pasaran di India.
Oleh karena menderita saingan yang hebat daripada rakyat India sendiri yang dengan gerakan
swadesi dapat me-menuhi kebutuhan-kebutuhannya akan barang-barang pakaian dan
komsumsi. Dus, India mempergunakan antara lain saudara-saudara, tenaga daripada satu
nationale bougeoisie yang sedang timbul. Kita, saudara-saudara, tidak mempunyai nationale
bougeoisie, apalagi tidak mempunyai nationale bougeoisie revolusioner. Borjuasi nasional
yang progressif, oleh karena memang tidak ada borjuasi nasional ini dalam arti yang besar.
Kita mempunyai restan daripada borjuasi nasional. Maka oleh karena itulah perjuangan
bangsa Indonesia, mau tidak mau, harus mempergunakan tenaga daripada rakyat j elata.
Rakyat j elata bukan saja dari tanah Jawa, bukan saja dari Sumatera, bukan saja dari
Sulawesi, bukan saja dari Kalimantan, bukan saja dari Nusa Tenggara, bukan saja dari
Maluku, tetapi rakyat jelata dari Sabang sampai ke Merauke, bersatu padu, dan akhirnya
gugurlah imperialisme.
Persatuan inilah, saudara-saudara, kita punya senjata. Persatuan ini akhirnya sebagai tadi saya
katakan, oleh karena perjuangan persatuan ini adalah perjuangan yang gigih, akhirnya
dikaruniai oleh Allah swt. dengan Negara Proklamasi.
Saudara-saudara, dus, manakala perjuangan kita harus tidak boleh tidak, harus didasarkan
kepada persatuan bangsa, maka demikian pula Negara kita, saudara-saudara, hanyalah bisa
berdiri tegak, Insya Allah kekal dan abadi, bilamana berdasar-kan atas dukungan daripada
seluruh rakyat dari Sabang sampai ke Merauke. Sebagai tadi diterangkan oleh saudara
Sarjana Agung Mahaputera Profesor Mr. H. Muh Yamin, saudara-saudara sekalian, sehingga
opgave kita sekarang ini saudara-saudara, membentuk atau mengekalkan persatuan itu agar
supaya persatuan ini dapat dij adikan sebagai dasar pondamen yang kuat kekal dan abadi
daripada negara.
Pondamen yang kuat dan kekal dan abadi, sebab hanya atas pondamen ini Negara bisa kekal
dan abadi. Sulit sekali saudara saudara, pemersatuan rakyat Indonesia itu jikalau tidak
didasarkan atas Pancasila. Tadi telah dikatakan oleh saudara Muh. Yamin, alangkah banyak
macam agama di sini, alangkah banyak aliran pikiran di sini, alangkah banyak macam
golongan di sini, alngkah banyak macam suku di sini, bagaimana mempersatukan aliran,
suku-suku, agama-agama dan lain-lain sebagainya itu, jikalau tidak diberikan satu dasar yang
mereka bersama-sama bisa berpijak di atasnya. Dan itulah saudara-saudara. Pancasila.
Ada satu ucapan dari seorang pemimpin besar asing, dia berkata: national unity can only be
preserved upon a basic which is larger than the nation itself. Persatuan nasional hanya dapat
dipelihara kekal dan abadi jikalau persatuan nasional itu didasarkan di atas satu dasar yang
lebih luas daripada bangsa. Lebih luas daripada apa yang dinamakan Indonesia, dus, national
unity itu, saudara-saudara, menurut anggapan kita hanya bisa dikekalabadikan di atas satu

dasar, yang menurut saudara Prof. Muh. Yamin, satu dasar falsafah Pancasila: Ketuhanan
Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan Indonesia yang bulat, Kedaulatan Rakyat,
Keadilan Sosial, sebagai satu geloof, sebagai satu arah pikiran, sebagai satu arah
kepercayaan, bukan kepercayaan agama, tetapi satu arah kepercayaan daripada satu bangsa.
Saya melihat saudara Siauw Giok Tjhan di sana. Barangkali saudara Siauw Giok Tjhan bisa
membenarkan Saya jikalau saya mensitir Kon Fu Tsu. Pada satu hari datanglah seorang
kepada Kon Fu Tsu: Ya, guru besar, apa-kah syarat-syarat agar sesuatu bangsa bisa menjadi
kuat? Jawab Kon Fu Tsu: Syaratnya ialah tiga. Satu, tentara yang kuat. Dua, makanan dan
pakaian rakyat yang cukup. Tiga, kepercayaan di dalam kalbunva rakyat itu. Tiga ini
disebutkan oleh Kon Fu Tsu sebagai syarat mutlak untuk menjadikan bangsa menjadi kuat:
tentara yang kuat, makanan dan pakaian rakyat yang cukup. kepercayaan, geloof. Sang siswa
menanya kepada guru besar Kon Fu Tsu: Jikalau daripada tiga syarat ini satu harus dibuang,
harus tuanku tanggalkan, mana yang harus tuanku tanggalkan lebih dulu? Jawab Kon Fu Tsu:
Yang boleh ditanggalkan lebih dahulu ialah tentara yang kuat. Tinggal makanan dan pakaian
rakyat yang cukup, dan kepercayaan.
Sang siswa tanya lagi: Ya, tuanku, jikalau daripada dua syarat ini satu harus tuanku
tanggalkan, mana yang tuanku akan tanggalkan? Jawab Kon Fu Tsu: makanan dan pakaian
rakyat bisa ditanggalkan, artinya makanan san pakaian rakyat yang cukup bisa ditanggalkan.
Makanan kurang sedikit, pakaian kurang sedikit, tidak jadi apa. Tetapi syarat yang ketiga,
geloof, kepercayaan, belief tidak dapat ditanggalkan. A nation without faith can not stand.
Bangsa yang tidak mempunyai geloof, bangsa yang tidak mempunyai kepercayaan, tidak
mempunyai belief, bangsa itu tidak bisa berdiri.
Maka bangsa Indonesiapun harus mempunyai belief, mempunyai geloof, mempunyai
kepercayaan. Dan geloof bangsa Indonesia harus larger than the nation itself, lebih luas
daripada bangsa Indonesia sendiri, berupa Pancasila, saudara-saudara. Pancasila
pengutamaan daripada rasa kebangsaan, keinginan daripada bangsa Indonesia untuk menjadi
Negara yang kuat, bangsa yang kuat, mengadakan satu masyarakat yang adil dan makmur.
Saya membenarkan perkataan saudara Kiai Haji Masykur, kawan saya yang tercinta, bahwa
kita mengharap kepada Konstituante lekas dapat menentukan Undang Undang Dasar yang
tetap bagi Negara Republik Indonesia dan memang di dalam pidato pembukaan daripada
Konstituante, saya minta kepada Konstituante agar supaya lekaslah selesai dengan
pekerjaannya. Tetapi sava persoonlijk ada mempunvai doa kepada Allah swt., mogamoga
Konstituante menerima pula Pancasila sebagai dasar kekal dan abadi daripada Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sebab saudara-saudara, sebagai tadi saya katakan, saya tidak
melihat jalan yang lain untuk mempersatukan bangsa Indonesia ini di atas dasar lain daripada
dasar Pancasila.
Ya, saudara-saudara, kita adalah satu bangsa yang menghadapi beberapa challenge sebagai
yang sering saya katakan kepada mahasiswa-mahasiswa, tetapi dalam pada menghadapi
beberapa challenge itu tadi, tantangan-tantangan, baik tantangan internasional maupun
tantangan nasional, maupun tantangan pribadi; internasional kataku ialah: internasional
cooperation atau total destruction, global social justice atau exploition de 1homme par
1homme; nasional, tetap setia kepada proklamasi Negara Kesatuan Indonesia 17 Agustus
1945, atau tidak, dan diselenggarakan di tanah air kita satu masyarakat adil dan makmur, atau
tidak. Challenge pribadi, kepada pemuda dan pemudi, hendak menjadi pemuda dan pemudi
yang bergunakah bagi diri sendiri, bagi masyarakat dan bagi Negara Republik Indonesia, atau
hendak menjadi crossboy atau crossgirl?

Kita bangsa Indonesia seluruhnya dalam menghadapi tantangan yang dahsyat ini, keinginan
saya, saudara-saudara, supaya dalam beberapa hal jangan kita pertikaikan lagi. Antara lain janganlah dipertaikaikan lagi warna bendera kita, merah-putih, yang megah. Jangan
dipertikaikan lagi, jangan di-perdebatkan lagi, jangan pula diperdebatkan di Konstituante,
sebab sebagai dikatakan oleh Prof. Mr. Muh. Yamin, ini adalah warisan daripada orangorang
karuhun, leluhur kita sejak beribu-ribu tahun. Jangan diperdebatkan lagi. Jangan ada
golongan yang ingin mengganti merah putih dengan merah! Tetapi jangan ada pula golongan
yang ingin merobah merah putih menjadi hijau! Tetap merah putih! Marilah kita terima hal
itu semuanya, sonder pertikaian-pertikaian lagi. Demikian pula misalnva. saya minta. jangan
dipertikaian lagi. hal lagu Indonesia Raya. Sudah-lah, marilah kita terima lagu Indonesia
Raya itu sebagai cetusan daripada jiwa kita yang cinta kepada tanah air dan bangsa. Jangan
dipertikaikan, demikianlah kata saya kepada dewan Nasional tadi pagi, hal cita-cita kita
mengenai masyarakat adil dan makmur. Sebab masyarakat adil dan makmur ini adalah citacita bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh tahun, bahkan dibeli oleh bangsa Indonesia citacita ini dengan penderitaan yang berpuluh-puluh tahun pula. Jangan ada orang Indonesia
seorangpun yang menghendaki masyarakat yang tidak adil dan tidak makmur. Jangan ada
seorang Indonesia pula, satupun jangan, yang menghendaki satu masyarakat yang
berdasarkan atas sistem penindasan, penghisapan, exploitation de 1homme par 1homme.
Jangan kita perdebatkan hal itu lagi. Demikian pula doaku kepada Allah swt. sebenarnya,
saudara-saudara, janganlah Pancasila ini diperdebatkan lagi. Sebab Pancasila ini telah
memberi bukti kepada kita, dapat mempersatukan bangsa Indonesia sehingga bangsa
Indonesia ini bisa merebut kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan sebagai
sering saya katakan, justeru oleh karena sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengemukakan
Pancasila. Justeru oleh karena Pancasila ini masuk di dalam Jakarta Charter, justeru oleh
karena Pancasila ini menghidupi segenap Proklamasi 17 Agustus 1945. Justeru oleh karena
Pancasila ini satu dua hari sesudah Proklamasi, dimasukkan di dalam Undang Undang Dasar
Sementara daripada Republik Indonesia. Justeru oleh karena itulah maka Proklamasi ini
disambut oleh segenap rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke. Jikalau tidak
berdasarkan atas Pancasila, Proklamasi kita itu, atau tidak berjiwakan Pancasila, saya kira
sambutan yang dahsyat daripada segenap golongan lapisan yang kita alami pada tahun 46,
47, 48,49, tidak akan terjadi.
Oleh karena itu, saudara-saudara, ini permintaan persoonlijk hatin saya. permohonan
persoonlijk batin sava. sebenarnya Pancasila ini sudahlah, jangan diperdebatkan lagi. Het
heeft zijn nut bewezcn, telah terbuktilah guna tepatnya Pancasila!
Bung Yamin mengemukakan beberapa bantahan. Sayapun ingin mengemukakan beberapa
bantahan, antara lain bantahan: Pancasila adalah satu agama, katanya, agama baru. Bukan!
Bukan! Pancasila bukan agama baru! Pancasila adalah Weltan-schauung, falsafah Negara
Republik Indonesia, bukan satu agama baru. Bukan! Ada yang berkata: Pancasila itu
sebetulnya adalah perasan daripada agama Budhisme. Bagaimana bisa mengatakan bahwa
Pancasila itu adalah perasaan daripada agama Budhisme? Orang yang berkata begitu
sebetulnya tidak tahu apa yang dinamakan Budhisme itu. Misalnya saja, saudara-saudara,
Ketuhanan Yang Maha esa; Budhisme tidak kenal Ketuhanan. Coba tanya kepada prof. Muh.
Yamin, tanya kepada prof. Hazairin; tanya kepada sarjana-sarjana yang duduk di sini.
Budhisme tidak mengenal apa yang dinamakan Tuhan. Budhisme adalah satu levens beschouwing, satu pandangan hidup, cara hidup agar supaya nanti bisa mencapai kesempurna-an
nirwana. Budhisme tidak mengenal Allah. Budhisme tidak mengenal God, Budhisme tidak
mengenal Jehovah. Budhisme tidak mengenal apa yang seperti kita artikan sebagai Tuhan.
Jikalau engkau ingin hidup dikemudian hari, sempurna, j ikalau engkau ingin masuk nirwana,

lakukanlah ini, lakukanlah ini. Delapan marga daripada Budha, jalan delapan macam,
saudara-saudara. Jadi Budhisme adalah satu pandangan hidup, satu cara hidup, satu
levensbeschouwing, bukan sebenarnya satu godsdienst.
Kok lantas ada orang berkata: Pancasila yang dengan tegas mengatakanpada sila yang
pertama Ketuhanan Yang Maha esa, bahwa Pancasila itu adalah perasaan daripada Budhisme.
Tidak kena ini, saudara-saudara. Sama sekali tidak! Saya minta janganlah menaruhkan
Pancasila ini secara antagonistis terhadap kepada misalnya agama Islam. dan janganlah pula
meletakkan Pancasila ini secara congruentie yang sama dengan misalnya Agama Budha,
janganlah ditaruhkan secara antagonistis kepada Agama Islam. jangan ditaruh secara
congruent terhadap kepada Agama Budha. Jangan! Sebab Pancasila adalah falsafah bagi
Negara Republik Indonesia, sebab Pancasila adalah satu dasar daripada Negara Republik
Indonesia ini. Kita ingin kekal dan abadikan dan sebagai tadi sudah saya katakan, syarat
mutlak bagi mengkekalabadikan Negara republik Indonesia, adalah persatuan daripada
bangsa Indonesia.
Saudara-saudara, sekarang telah jam sepuluh lebih seperempat. Sebenarnya telah melewati
waktu siaran radio. Maka oleh karena itu marilah saya singkatkan pidato saya ini. Kita
saudarasaudara, benar-benar sekarang ini mengalami saat-saat yang genting. Saat yang
crucial. Pada saat-saat yang demikian itu, baiklah bangsa Indonesia ini merenungkan sejenak
bagaimana dulu memperjuangkan kemerdekaan, bagaimana dulu memper-tahankan kemerdekaan. Dulu kita memperjuangkan kemerdeka-an dengan penggabungan daripada tenaga
rakyat jelata dari Sabang sampai ke Merauke. Tidak oleh satu kekuatan saja, tetapi kita
gabungkan seluruh kekuatan kita, baik kaum buruh maupun kaum tani, maupun nelayan,
maupun kaum pegawai, maupun kaum pemuda, maupun kaum pemudi, maupun alim ulama,
maupun segala golongan-golongan yang ada di Indonesia ini, kita gabungkan di dalam satu
barisan yang mahasakti berdasarkan atas Pancasila itu dan kita pertahankan Negara
Proklamasi yang digempur kembali atau hendak digempur kembali oleh imperialisme dengan
sukses, dengan Pancasila pula. Dengan gabungan mutlak daripada segenap tenaga
revolusioner, marilah kita renungkan hal itu, saudara-saudara. Mempertahankan dengan
persatuan, memperjuangkan dengan persatuan, mempertahankan dengan Pancasila,
memperjuang-kan dengan Pancasila.
Marilah. saudara-saudara. sebagai diharapkan oleh saudara Mr. Muh. Yamin, drie maal is
scheeps-recht. Tiga kali kita mempunyai Negara Kesatuan meliputi seluruh nusantara
Indonesia, Sriwijaya, Majapahit, sekarang Republik Indonesia. Didoakan oleh saudara Mr.
Muh. Yamin agar supaya, ya, dulu boleh Sriwijaya tenggelam, ya, dulu Majapahit boleh
tenggelam, tetapi hendaklah Republik Indonesia tetap kekal dan abadi menurut keyakinan
saya di atas yang kita kenal semuanya dan kita cintai, Pancasila.

Terima kasih.

(Diambil secara strnografis)

CATATAN
tentang

KURSUS PANCASILA BUNG KARNO

Sejak Pidato Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945, dan seterusnya Bung Karno tidak
pernah berhenti-henti menjelaskan, menguraikan dan memperjuangkannya menjadi dasar
negara dan filsafat hidup bagi bangsanya.

Waktu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, sudah dikenal adanya Rangkaian
Kursus tentang Pancasila dari Bung Karno yang diselenggarakan di Istana Negara Jakarta,
yang kemudian dibukukan dengan judul Pancasila sebagai Dasar Negara. Dijelaskannya
secara komprehensif dan mendalam masing-masing sila itu satu demi satu langsung dari
sumber primernya penggali Pancasila itu sendiri, yaitu Bung Karno.

Karena menyangkut Pancasila yang terdiri dari 5 sila, maka kemudian timbul pemahaman
dalam masyarakat, bahwa kursus Pancasila Bung Karno itu hanya diadakan 5 kali, dan
semuanya diselenggarakan di Istana Negara Jakarta.

Akibatnya, buku-buku yang terbit tentang rangkaian Kursus Pancasila Presiden Soekarno itu,
khususnya yang terbit pasca Orde Baru, ya hanya memuat 5 kali kursus yang diadakan di
Istana Negara saja tanpa melengkapkannya dengan uraian ke 6 yang diselenggarakan di
Universitas Gajah Mada Jogyakarta yang mengupas Keadilan Sosial, atau yang 4 kali diambil
dari kursus di istana, dan yang 1 kali dari kuliah umum di depan mahasiswa Universitas
Gajah Mada Jogyakarta.

Sebenarnya rangkaian kursus Pancasila Presiden Soekarno yang dikenal dengan judul
Pancasila sebagai Dasar Negara itu diadakan 6 kali, 5 kali di Istana Negara, dan 1 kali
diadakan di depan mahasiswa Universitas Gajah Mada Jogyakarta.

Rinciannya adalah sebagai berikut :

1. Kursus ke 1, tanggal 26 Mei 1958, berupa Pendahuluan, bertempat di Istana Negara


Jakarta
2. Kursus ke 2, tanggal 16 Juni 1958, membahas sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
bertempat di Istana Negara Jakarta
3. Kursus ke 3, tanggal 05 Juli 1958, membahas sila Kebangsaan, bertempat di Istana
Negara Jakarta
4. Kursus ke 4, tanggal 22 Juli 1958, membahas sila Perikemanusiaan, bertempat di
Istana Negara Jakarta
5. Kursus ke 5, tanggal 03 September 1958, membahas sila Kedaulatan Rakyat,
bertempat di Istana Negara Jakarta
6. Kursus ke 6, tanggal 21 Februari 1959, membahas sila Keadilan Sosial, berupa
kuliah umum di depan mahasiswa Universitas Gajah Mada Jogyakarta

Mudah-mudahan di antara sesama pendukung Pancasila Ajaran Bung Karno, bisa saling
koreksi dan melengkapi, demi benar dan sempurnanya dokumentasi.

Jakarta, 31 Mei 2012

PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
I
Kursus Presiden Soekarno
Tentang Pancasila di Istana Negara,
Tanggal 26 Mei 1958.

Saudara-saudara,
Saya diminta untuk memberi kursus mengenai Pancasila. Dan sebagai dikatakan oleh saudara
Pamuraharjo tadi, kursus tak dapat selesai dalarn satu uraian. Karena itu, akan diadakan
kursus Pancasila ini beberapa kali, dan malam ini akan saya mulai dengan memberikan
kepada saudara-saudara satu kursus pendahuluan, inleiding. Jadi pada malam ini belum saya
kupas sila-sila daripada Pancasila itu. Belum saya kupas Ketuhanan Yang Maha Esa. Belum
saya kupas Perikemanusiaan. Belum saya kupas Kebangsaan. Belum saya kupas Kedaulatan
Rakyat. Belum saya kupas Keadilan Sosial. Melainkan saya akan memberi kata pembukaan
lebih dahulu. Saudara mengerti dan mengetahui, bahwa Pancasila adalah saya anggap sebagai
Dasar daripada negara Republik indonesia. Atau dengan bahasa Jerman: satu weltanschauung
di atas mana kita meletakkan Negara Republik Indonesia itu. Tetapi kecuali Pancasila adalah
satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya
yakin seyakinyakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat
bersatu-padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya
kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu
dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakitpenyakit yang telah kita lawan berpuluhpuluh tahun yaitu penyakit terutarna sekali, Imperialisme. Perjuangan sesuatu bangsa,
perjuangan melawan Imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu
bangsa yang membawa corak sendirisendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya
sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri.
Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mernpunyai kepribadian sendiri.
Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya.
Tadi saya katakan, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai
sifat-sifat perjuangan sendiri. Coba saudara-saudara bandingkan, misalnya caranya bangsa
Amerika dulu memerdekakan negerinya daripada kolonialisme Inggris, dengan caranya
bangsa India memerdekakan dirinya daripada kolonialisme Inggris. Dengan caranya bangsa
Indonesia memerdekakan dirinya dari kolonialisme Belanda. Atau dengan caranya rakyat
Rusia menggugurkan Kapitalisme. Jikalau saudara-saudara bandingkan caranya rakyat atau
bangsa-bangsa atau golongangolongan ini berjuang, saudara-saudara akan melihat perbedaan-

perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang ditentukan oleh keadaankeadaan obyektif. Dus bukan


perbedaan-perbedaan bikinan seseorang pemimpin. Tidak! Tetapi perbedaan-perbedaan
karena sebab-sebab obyektif yang berbeda. Saya akan kemukakan perbedaan-perbedaan itu
sebagai contoh, menguraikan kepada saudarasaudara beberapa perbeda-an antara cara
berjuangnya orang Amerika melawan kolonial-isme Inggris, cara berjuangnya rakyat India
melawan kolonial-isme Inggris, cara berjuangnya rakyat Indonesia melawan kolonialisme
Belanda, cara berjuangnya Rusia menggugurkan kapitalisme. Dari uraian ini nanti saudarasaudara akan mengerti perlunya, sekali lagi perlunya bagi kita persatuan itu. Dari uraian ini
saudara-saudara akan mendapat pengertian bahwa perjuang-an bangsa Indonesia hanyalah
dapat berhasil, jikalau seluruh rakyat Indonesia masuk di dalam satu kancah perjuangan.
Perjuangan bangsa Indonesia, saudara-saudara, yang sudah kita alami berpuluh-puluh tahun
ini, berbeda daripada misalnya perjuangan rakyat India. Oleh karena imperialisme yang kita
tentang adalah pula lain daripada imperialisme yang ditentang oleh bangsa India.
Imperialisme itu bermacam-macam, mem-punyai corak-corak sendiri, sifat-sifat sendiri,
terutama sekali pada waktu ia lahir. Pada saat sesuatu imperialisme lahir, pada saat sesuatu
imperialisme tumbuh, imperialisme itu membawa corak sendiri. Tergantung daripada ibunya.
Dan ibu imperial-isme ialah Kapitalisme. Sebagaimana anak bayi manusia pada waktu
lahirnya telah membawa sifat watak sendiri, tergantung daripada sifat watak orang tuanya
maka demikian pula imperialisme pada waktu lahirnya membawa corak watak sendiri
tergantung daripada induknya, yaitu Kapitalisme.
Nanti di dalam pertumbuhannya, dalam bahasa asingnya: di dalam uitgroei, sifat dan watak
imperialisme-imperialisme itu lantas mendekati satu sama lain, bahkan kadang-kadang menjadi satu konglomerat daripada imperialisme-imperialisme yang tak mudah lagi kita bisa
membedakan sifat wataknya satu daripada yang lain. Kalau kita melihat perjuangan rakyat
atau lebih tegas, orang Amerika, menentang kolonialisme Inggris sehingga akhirnya bisa
mengadakan declaration of indepen-dence sebagai yang saya ucapkan di dalam pidato 20 Mei
yang lalu, pada tahun 1776, dan kita selidiki siapa yang sebenarnya berjuang, saudara akan
melihat bahwa terutama sekali kaum atasan yang berjuang. Revolusi Amerika bukan revolusi
rakyat. Tetapi revolusi daripada kaum atasan di bawah pimpinan Thomas Jefferson, Thomas
Paine, George Washington dan lain-lain. Revolusi mereka berhasil membentuk satu tentara
yang tentara ini bertempur dengan tentara Inggris di Amerika dan yang akhirnya dapat
mengalahkan tentara Inggris itu, sehingga tentara Amerika ini bisa menang. Dus revolusi
Amerika terhadap kepada kolonialisme Inggris, adalah satu revolusi yang tidak meliputi
seluruh rakyat. Bagaimana revolusi India? Saya memakai perkataan revolusi di dalam arti
yang luas. Jangan mengira bahwa revolusi adalah selalu disertai dengan peng-gunaan senjata,
dalam arti yang luas revolusi adalah satu perubahan yang hebat sekali. Cepat. Di dalam
pidato pembelaan diri saya, tatkala saya diperiksa di muka hakim Hindia Belanda, saya telah
mensitir ucapan seorang profesor yang termasyhur bahwa revolusi adalah eine umgestaltung
von grundauf, artinya perubahan dari bawah sama sekali. Di dalam arti itu saya memakai
perkataan revolusi India terhadap kepada kolonialisme Inggris. Revolusi India ini dilakukan
oleh siapa? Pada hakekatnya revolusi India dilakukan oleh satu kelas middenstand dan
bordjuasi India. Kelas menengah dan kelas borjuis India. Dengan mempergunakan tenaga
daripada rakyat. Berbeda dengan Amerika, Amerika boleh dikatakan revolusinya tidak
mempergunakan seluruh tenaga rakyat, tetapi sekadar satu kelas, kelasnya George
Washington, kelasnya Thomas Jefferson, kelasnya Thomas Paine, kelasnya Paul Rellier dan
lain-lain sebagainya, yang berhasil membentuk tentara dan tentara ini bertempur dengan
tentara Inggris. Revolusi India adalah revolusi daripada kaum pertengahan, middenstand dan
borjuasi, dengan memperguna-kan tenaga daripada rakyat. Nanti akan saya jelaskan lebih

luas. Revolusi Indonesia dan di sinipun saya pakai perkataan revolusi itu dalam arti yang
seluas-luasnya, dus, jangan hanya berpikir dalam istilah 17 Agustus 45, tetapi berpikirlah
dalam istilah sebagai yang saya uraikan dalam pidato 20 Mei yang lalu, istilah gerakan
nasional seluruhnya, revolusi Indonesia adalah revolusi seluruh rakyat. Maka revolusi
Indonesia bisa berhasil, ini nanti saya terangkan, ialah oleh karena revolusi Indonesia,
revolusi seluruh rakyat. Ya kelas buruh, ya kelas tani, ya kelas borjuis kecil, ya kelas
pertengahan kecil, ya kelas ambtenaren-bond, ya kelas pemuda-pemuda seluruh rakyat.
Berbeda dengan di India, rakyat ikut sebagai kuda tunggangan. Saya tadi berkata: India
revolusinya ialah revolusi daripada kaum per-tengahan dan kaum borjuis yang naik. dengan
mempergunakan atau menunggangi rakyat jelata.
Satu contoh lain daripada revolusi demikian ini ialah revolusi Perancis, revolusi Perancis
yang mulai meledak pada tahun 1789, mulai meledaknya, tetapi dalam persiapannya terutama
sekali persiapan pikiran, sudah lebih dahulu daripada tahun 1789, revolusi Perancis ini juga
satu revolusi daripada kelas borjuis, kelas pertengahan yang tadinya tidak mendapat alam,
karena alam perusahaan di dalam tangannya kaum feodal, kaum gereja, tetapi yang sekarang
merebut alam yaitu kelas pertengahan dan kelas borjuis, merebut alam dari tangannya kaum
feodal dan kaum gereja dengan mempergunakan tenaga rakyat jelata. Seperti pada
hakekatnya revolusi India. Revolusi Indonesia kataku adalah revolusi daripada seluruh
rakyat.
Revolusi Sovyet, saya lebih setuju memakai perkataan revolusi Sovyet dan janganlah
memakai perkataan revolusi Rusia, sebab tatkala saya di Sovyet Uni saya mengucapkan
Sovyet Rusia, saya diprotes oleh orang-orang yang berasal misalnya daripada Usbekistan dari
Giorgia, mereka memprotes, kami bukan Rusia, kami dari selatan bukan bangsa Rusia. Kami
ini orang Usbekistan. Kami orang Giorgia. Jadi negara kami namanya bukan Sovyet Rusia,
sebab Sovyet Rusia cuma lor, utara saja. Negara kami yang besar yang terdiri dari sekian
banyak Republik-republik Sosialis, negara kami ini adalah Sovyet Uni. Bukan Sovyet Rusia.
Saya, dus, lebih senang memakai perkataan Sovyet Uni. Nah revolusi Sovyet, bukan revolusi
Rusia, tetapi revolusi Sovyet adalah revolusi daripada kelas proletar dan tani menggugurkan
kapitalisme.
Dus di dalam revolusi Sovyet ini apa yang dinamakan bordjuasi bukan saya tidak ikut,
malahan menjadi objek penggempuran. Dari beberapa contoh ini, saudara-saudara merasakan
dan melihat perbedaan-perbedaan. Saya tadi berkata bahwa tiap-tiap revolusi membawa sifat
dan watak sendiri yang ditentukan oleh keadaan-keadaan objektif. Objektif imperial-ismenya,
objektif induk daripada imperialisme itu, juga objektif keadaan daripada rakyat yang
berrevolusi.
Jadi sifat corak sesuatu revolusi ditentukan oleh keadaan objektif daripada apa yang dihantam
oleh revolusi dan daripada apa yang menghantam. Keadaan yang dihantam, yaitu imperialisme, itu berbeda-beda saudara-saudara, membawa corak-corak sendiri dan corak-corak ini
ditentukan oleh induknya, kataku tadi. Kalau kita melihat imperialisme-imperialisme di dunia
ini dan sebagai tadi saya katakan, terutama sekali saya melihat, pada waktu ia lahir, bukan
terutama sekali pada waktu sedang uitgroei, pada waktu ia lahir, tegas dan jelas ada
perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan, saya ulangi, daripada induk-induknya pula.
Kapitalisme-kapitalisme, saudara-saudara, mempunyai corak objektif tergantung daripada
keadaan-keadaan bahan-bahan bagi kapitalisme itu. Sesuatu negeri misalnya, saudarasaudara, yang penuh dengan bahan-bahan untuk kapitalisme, terutama bahan-bahan yang
dinamakan bahan-bahan dasar, basis grondstoffen, sesuatu negeri yang banyak basis

grondstoffen, kapitalisme misalnya berbeda dengan sesuatu negeri yang kekurangan basis
grondstoffen. Ada negeri yang kekurangan basis grondstoffen en toh mempunyai kapitalisme
yang basis grondstoffennya itu, yah terutama sekali, ambil dari negeri lain, beli dari negeri
lain. Negeri yang demikian itu mempunyai Kapitalisme lain daripada negeri yang basis
grondstoffennya banyak. Amerika, saudara-saudara, Inggris, negeri Belanda, Spanyol dan
lain-lain negara adalah beberapa negara yang mempunyai kapitalisme, dan oleh karena-nya
menjalankan imperialisme. Saya ambil contoh Amerika, Inggris, negeri Belanda, Spayol,
sebagai klassieke voorbeelden oleh contoh-contoh klasiek daripada kolonialisme dan
imperial-isme. Amerika dulu mempunyai koloni, Inggris mempunyai kolonikoloni, malahan
Inggris mempunyai empire yang di situ matahari tak pernah terbenam karena luasnya
empirenya, di mana matahari terbenam lantas terbit lagi. Di sana terbenam, sudah terbit lagi
di sini. Negeri Belanda mempunyai koloni, Spanyol dulu banyak koloninya, sekarang tinggal
beberapa restan. Masing-masing kok mempunyai sifat corak sendiri-sendiri. Apa sebabnya?
Sebabnya ialah sebagai saya katakan, induknya, kapitalismenya, mempunyai corak sifat-sifat
sendiri-sendiri, dan apa sebab induknya mempunyai corak sifat sendiri ini? Oleh karena
negerinya mempunyai sifat corak sendiri-sendiri terutama sekali mengenai bahan-bahan
grondstoffen untuk kapitalisme itu. Amerika adalah satu negeri yang mempunyai banyak
basis grondstoffen, satu negeri yang boleh dikatakan lengkap dengan segala hal. Apa toh
basis grondstoffen kapitalisme itu? Yah, terutama sekali biji besi, arang batu, metal-metal
logam-logam lain, dan lain sebagainya. Itu adalah basis grondstof bagi kapitalisme. Amerika
adalah satu negeri yang penuh dengan basis grondstoffen. Inggris demikian pula, tetapi lebih
kurang dari Amerika. Arang batu punya, biji besi punya tetapi takk begitu banyak, sehingga
banyak membeli biii besi dari Ruhr. Bahkan pada tahun 14 - 18, ada peperangan besar yang
dinamakan peperangan dunia pertama, tak lain tak bukan ialah rebutan biji besi Ruhr, Ruhrgebied. Negeri Belanda adalah satu negeri yang basis grondstoffennya lebih kurang lagi. Biji
besi tak ada, harus beli dari Ruhr-gebied, arang batu yang sedikit di Limburg, Spanyol adalah
satu negeri yang basis grondstoffennya juga sedikit sekali. Biji besi tidak ada, arang batu
tidak ada, sedikit sekali.
Karena basis grondstoffen Amerika berbeda banyaknya daripada basis grondstoffen Inggris,
Belanda, Spanyol, maka kapitalisme di empat negeri ini berbeda-beda. Karakteristiknya
boleh dikatakan kapitalisme Amerika, saya ulangi lagi, saya meninjau pada lahirnya
imperialisme, tidak di dalam uitgroei-nya yang sekarang ini. sekarang ini sudah kita
menghadapi imperialisme internasional yang roman mukanya boleh dikata-kan hampir sama
semua. Tetapi pada permulaannya imperial-isme lahir, dilahirkan oleh kapitalisme Amerika
yang lebih kaya basis grondstoffen daripada imperialisme Inggris yang dilahir-kan oleh
kapitalisme Inggris yang kurang sedikit basis grondstoffen; imperialisme Belanda dilahirkan
oleh kapitalisme Belanda yang kurang lagi basis grondstoffen, imperialisme Spanyol
dilahirkan oleh kapitalisme Spanyol yang sama sekali miskin grondstoffennya. Kalau saya
bandingkan empat kapital-isme ini, empat kapitalisme dengan imperialisme, maka berhubung
dengan perbedaan banyaknya grondstoffen itu, boleh saya katakan Amerika adalah
kapitalisme royal. Inggeris kapitalisme setengah royal. Belanda kapitalisme setengah kikir.
Spanyol kapitalisme kikir. Imperialisme, ialah anak daripada kapitalisme itu, tabiatnya ya
lain-lain. Yang anak daripada kapitalisme royal tabiatnya liberal. Liberal imperialisme.
Sekali lagi saya peringatkan, ialah pada saat lahirnya liberal imperialisme. Yang dianakkan
oleh kapitalisme setengah royal, ialah Inggris, adalah imperialisme semi liberal. Semi artinya
setengah. Yang diperanakkan oleh kapitalisme setengah kikir, adalah imperialisme semi
ortodoks. Yang dilahirkan oleh kapitalisme kikir adalah imperialisme ortodoks. Dus, pada
mulanya imperialisme Amerika adalah imperialisme liberal. Imperialisme Inggris adalah

imperialisme semi liberal, imperial-isme Belanda adalah imperialisme semi ortodoks,


imperialisme Spanyol adalah imperialis ortodoks. Di dalam segala tindak-tanduknya saudara
melihat perbedaannya. Imperialisme yang liberal terhadap kepada rakyat yang dikolonisir,
luas dada, liberal, ini boleh, itu boleh, lapang dada. Yang ortodoks sangat menindas kepada
rakyat yang dikolonisir. Yang semi liberal, setengah menindas setengah lapang dada. Yang
semi ortodoks adalah setengah ya kasih jalan sedikit-sedikit, untuk boleh berpikir, boleh ini
boleh itu. Tetapipun menindas.
Apa sebab saudara-saudara? Kok imperialisme Inggris semi liberal? Imperialisme Belanda
semi ortodoks, imperialisme Amerika liberal? Imperialisme Spanyol ortodoks? Sebabnya,
saya buat perbandingan sekarang, supaya lebih terang bagi saudarasaudara, ialah
imperialisme Inggris di India dan imperialisme Belanda di Indonesia. Nanti saudara mengerti:
O, Bung Karno itu ke situlah maunya. Mau menerangkan kepada saudara-saudara bahwa
reaksi kepada imperialisme Belanda ini tak boleh lain daripada seluruh rakyat bersatu padu,
yang nantinya sampai menjadi dasar uraian Pancasila. Imperialisme Inggris di India, sudah
saya tidak bicarakan imperialisme Amerika di Filipina, saudarasaudara sudah tahu, memang
tadinya itu liberal sekali. Tatkala Filipina jatuh di dalam tangan imperialisme Amerika, lekas
mereka buka sekolah ini, buka sekolah itu, buka ini buka itu, kesan pada rakyat Filipina
laksana: bolehlah bolehlah, sehingga di dalam tempo 1904 sampai 1947, kurang daripada 50
tahun, Filipina boleh menjadi satu bangsa yang merdeka tetapi ya dengan beberapa injeksiinjeksi dari Amerika. Sebaliknya kita melihat di India sampai ada perjuangan rakyat yang
hebat, di Indonesia pun ada perjuangan yang hebat.
Di Filipina dulu ada perjuangan rakyat Filipina yang hebat menentang imperialisme Spanyol
yang ortodoks itu tadi. Imperialisme Spanyol itu sama dengan imperialisme Portugis
sekarang yang di Timor, wah ortodoks-nya bukan main. Di pulau Timor itu, misalnya, salah
sedikit, masuk penjara dengan rantai dibelenggu, sampai sekarang. Coba kalau saudara
datang di bagian Timor, di Atamboa yang hanya beberapa kilometer dari daerah kolonisasi
Portugis. Saudara mendengar keluhan rakyat di sana, bukan main caranya rakyat ditindas,
tidak diberi banyak sekolahan, cuma beberapa sekolah. Main penjara, main penjara. Persis
seperti imperialisme Spanyol di Filipina dahulu itu, ortodoks. Saudara mengetahui sejarah
daripada pemimpin-pemimpin Filipina yang termasyhur! Itu semuanya pemimpin-pemimpin
Filipina yang menentang Spanyol. Namanya Dr. Rizal, misalnya, yang ditembak zonder
banyak proses oleh orang Spanyol. Namanya harum di ingatan kita. Dia adalah pemimpinpemimpin besar rakyat Filipina menentang imperial-isme Spanyol yang ortodoks. Saudara
mendengar nama pemim-pin Apollomario Mabini, juga pemimpin Filipina menen-tang
imperialisme Spanyol. Saudara mendengar nama Aquinaldo, juga Aquinaldo adalah
pemimpin Filipina menen-tang imperialisme Spanyol. Memang perjuangan rakyat Filipina
menentang imperialisme, di waktu imperialisme Spanyol Ortodoks. Sebaliknya, rakyat
Filipina yang berjuang terhadap imperialisme Amerika tidak sehebat perjuangan yang telah
dilakukan di bawah pimpinan Rizal, atau Aquinaldo, atau Mabini. Sebabnya ialah perbedaan
antara sifat corak imperial-isme ini.
Sekarang saya mau jelaskan kepada saudara-saudara lebih jelas, imperialisme Inggris di
India, imperialisme Belanda di Indonesia. Saya tadi telah berkata kepada saudara, bahwa
Inggris adalah negeri yang basis grondstoffennya boleh dikatakan agak cukup. Biji besi ada,
batu bara ada, keperluan-keperluan untuk membangunkan kapitalisme ada. Boleh dikatakan
Inggris bisa membangunkan kapitalisme tanpa bantuan basis grondstoffen negeri lain. Karena
itu pagi-pagi, saudara-saudara, kapitalisme Inggris sudah berkembang biak. Pagi-pagi
kapitalisme Inggris sudah memproduksi barang-barang hasil produksi yang banyak sekali.

Pagi-pagi kapitalisme Inggris itu sudah menderita overproductie. Di negeri Inggris sendiri
saudara melihat pagi-pagi reaksi kaum buruh terhadap kepada kapitalisme Inggris itu
meledak. Gerakan kaum buruh yang paling dulu ialah justru di Inggris. Oleh karena memang
kapitalisme di Inggris pagi-pagi sudah tumbuh. Penindasan kaum buruh mendirikan bulu
roma kita. Anak-anak kecil umur 8, 9 tahun sudah dikerjakan 13, 14 jam. Gerakan kaum
buruh dimulailah di Inggris, bukan gerakan kaum buruh revolusioner, tetapi gerakan kaum
buruh yang dipimpin oleh Robert Owen, dipimpin kemudian oleh orang-orang seperti Kale
Hardy, Sidney Webb, Beatrice Webb. Dan kemudian gerakan ini bertumbuh menjadi labour
party di dalam bidang politiknya. Gerakan kaum buruh di Inggris pagi-pagi telah bangkit
sebagai reaksi terhadap kepada kapitalisme Inggris yang pagi-pagi sudah tumbuh itu tadi.
Bahkan kapitalisme Inggris ini pagi-pagi sudah menderita penyakit overproductie.
Terlalu banyak produksi yang tidak bisa dijual di Inggris sendiri. Tiap made in England, dulu
sangat termasyhur, made in England. Belakangan baru timbul made in Germania, belakangan
timbul lagi made in Japan, made in England, made in Germania. Semuanya itu kemudian
menjadi asal sebab dari peperangan dunia yang pertama. Saingannya begitu hebat sampai
meledak menjadi peperangan. Tapi pagi-pagi sudah kita melihat made in England. Produksi
yang banyak sekali dan yang tidak bisa dijual habis di tanah Inggris. Made in England kita
bisa baca di segala barangbarang terutama sekali barang-barang terbuat dari besi, martil made
in England, gunting made in England, pisau made in England, mesin penjahit made in
England, yah segala barang-barang made in England. Demikian pula barang-barang hasil
tenun, saudara-saudara mengetahui sendiri bahwa mesin uap dan mesin tenun mula-mula di
Inggrislah didapatkan orang. Sebagai pemunculan daripada aktivitetkapitalisme itu, mesin
uap, mesin pintal, mesin tenun, made in Inggris semuanya. Hasil daripada pemintalan dan
penenunan ini menjadi barang-barang yang terbaik, seperti barang-barang wol, mengalami
juga overproductie. Tak bisa habis dijual di Inggris, dicarikan pasar di luar Inggris, sampai
sekarang saudara-saudara mengetahui bahwa wol Inggris paling jempol. Nah, kapitalisme di
situ saudara-saudara pagi-pagi subur, tetapi pagi-pagi pula menghadapi persoalan overproductie, pagipagi dus terpaksa mencari pasaran untuk over- productie itu di luar negeri.
Dan ini yang bernama imperialisme. Imperialisme dalam arti yang modern. Dus, barangbarang ini dibawa ke negeri orang lain untuk dijual di negeri orang lain itu, terutama sekali
dibawa ke India.
Nah, sekarang yang penting yang saudara harus pegang betul betul, dus, imperialisme Inggris
yang datang ke India seperti diketahui, rakyat India 300, pada waktu itu belum 300, tapi 230
juta, toh sudah menjadi pasar yang hebat. 230 juta manusia yang harus membeli
overproductie ini. Dus, imperial-isme Inggris ke India itu terutama sekali adalah imperialisme
dagang. Handels-imperialisme. Membawa barang ke India untuk dijual di India. Nah agar
supaya rakyat India, saudara-saudara, membeli barangbarang overproductie ini yang berupa
gunting, berupa pisau, berupa sepeda, berupa mesin jahit, berupa bahan pakaian, agar supaya
rakyat India ini bisa membeli, suka membeli, ingin membeli, maka politik daripada
imperialisme Inggris di India itu adalah politik yang lain daripada imperialisme Belanda di
Indonesia.
Agar supaya sesuatu bangsa, rakyat suka membeli, koopwil dan koopkracht bangsa itu tidak
boleh dimatikan sama sekali. Kemauan membeli dan kemampuan membeli. Rakyat India
dibuat, dijadikan satu bangsa tidak mati kutunya sama sekali, sebab kalau mati kutunya sama
sekali tidak bisa membeli. Karena itulah imperialisme Inggris di India pagi-pagi sudah
mengadakan sekolahan, bahkan pagi-pagi telah mengadakan University. Saudara-saudara
dapat membaca di dalam kitab sejarah India, bahwa waktu kita di sini belum mendengar

nama sekolah tinggi dan nama university, di India, Inggris sudah buka beberapa university.
Koopkracht dan Koopwil daripada rakyat India tidak dimatikan sama sekali, tetapi saudarasaudara, India adalah satu bangsa yang telah mempunyai satu kelas pertengahan dan kelas
borjuis yang hendak tumbuh. Kelas pertengahan dan kelas borjuis yang hendak tumbuh
ditimpa oleh barang-barang hasil daripada overproductie Inggris. Padahal kelas pertengahan
dan kelas borjuis India ini ingin mencari laba, membikin uang, cari uang daripada penjualan
barang-barang bikinan kelas pertengahan dan kelas borjuis India sendiri. Jadi yang paling
merasa mendapat saingan dari handels-imperialisme Inggris itu, ialah justru kelas
pertengahan dan kelas borjuis, yang opkomend dari India ini. Oleh karena itu gerakan
menentang imperialisme Inggris ini, mula-mula terutama sekali keluarnya dari kelas inilah.
Yang kemudian membentuk di India itu Indian National Conggress tahun 1885. Pemimpinpemimpinnya ialah kaum kapital. Saya tidak bicara tentang Gandhi, itu belakangan, tetapi
pemimpin-pemimpin India yang mula-mula itu, ya semuanya kapitalis-kapitalis. Semuanya
pengusaha-pengusaha. Orang-orang kaya dari gerakan ini dibantu oleh milyuner-milyuner,
misalnya Tata. Tata yaitu satu pengusaha milyuner, membantu keras kepada gerakan ini, oleh
karena Tatapun merasa mendapat saingan hebat daripada produksi besi dari Inggris. Tata ialah
pengusaha besi. Pabriknya besar di Jamsithpoor. Dia membikin barang besi, membikin
gunting, membikin pisau, membikin meja dari besi, bikin ini bikin itu. Lhoo ini impor dari
Inggris, terutama sekali dari Birmingham. Wah, dus Tata ya sangat merasa mendapat saingan.
Tata membantu kepada gerakan ini. Begitu pula milyuner Birla, membantu keras kepada
gerakan ini, bahkan Birla itu sahabat karib daripada Mahatma Gandhi. Bahkan Mahatma
Gandhi ini ditembak orang di rumahnya Birla. Saya tadi menceriterakan bahwa gerakan
daripada kaum pertengahan dan borjuis India ini menunggangi rakyat India. Coba saudarasaudara lihat, semboyan daripada gerakan di sana itu, terutama sekali apa? Semboyan
ekonomisnya, ialah Swadesi. Yah, tentu gerakan swadesi itu mempunyai harga-harga moril
yang tinggi sekali bagi bangsa.
Ya, tentu gerakan Swadesi itu adalah baik bagi bangsa. Sebab dianjurkan kepada bangsa
untuk membuat sendiri keperluan hidupnya. Swa artinya sendiri, desi dari perkataan desa;
desa yaitu negeri sendiri. Swadesi artinya dari desa sendiri, dari negeri sendiri. Sebagai
slogan memang baik sekali. Tetapi tidak baiknya gerakan Swadesi ini ialah ia punya
kekolotan. Artinya kekolotan, tidak mau kepada kemodernan. Memang keadaan rakyat India
yang hendak dipergunakan oleh kaum pertengahan dan kaum bordjuasi ini tidak bisa diajak
kepada kemodernan, tidak bisa menggerakkan rakyat berpuluh-puluh, beratus-ratus milyun:
ayo kita bersama-sama mengada-kan pabrik modern. Ayo kita bersama-sama mengadakan
listrik. Tidak! Tidak bisa usaha mengadakan pabrik modern, mengadakan listrik, mengadakan
kereta api, mengadakan kapal udara, segala modern. Hanya bisa oleh sekelompok orang yang
banyak uang, yaitu kapitalisten atau oleh organisasi negara. tetapi mengajak rakyat jelata
untuk modernisme, tidak bisa.
Nah, inilah salah satu cacat daripada gerakan Swadesi. Oleh karena gerakan swadesi itu di
bawah pimpinan Mahatma Gandhi yang tidak mau kepada kemodernan. Bahkan Gandhi
memberi kepada rakyat satu falsafah anti mesin. Dikatakan bahwa mesin itu bikinan setan.
Ya, ini perkataan Gandhi, devilswork. Gandhi tidak mau kepada mesin, sebab dia melihat
mesin di Eropa Barat menjadi alat penindasan manusia. Memang dipergunakan oleh kapitalisten di Eropa Barat sebagai alat penindasan. Maka oleh karena itu Iantas Gandhi berkata:
jangan pakai mesin, mesin adalah devilswork. Buatan Setan. Dia anti kepada segala
kemodernan. Ia punya cita-cita adalah satu cita-cita sosial yang kolot. Gandhi tidak
mempunyai politik ideologi, tidak punya cita-cita politik yang jelas. Kalau ditanya kepada
Gandhi: Gandhi ji, apakah cita-cita politik daripada tuan? Apakah Republik, apakah monarki,

apakah Negara Kesatuan, apakah Federalisme? Gandhi tidak bisa menjelaskan dengan tegas.
Paling-paling ia menjawab: Swa radj, Swa artinya sendiri, radj artinya raja, pemerintah. Swa
radj artinya pemerintah sendiri. Paling-paling itu, kita mesti mengejar swa radj, swa radj.
Cita-cita politiknya tidak tegas. entah Republik entah monarki, entah Negara Kesatuan, entah
negara Federal entah dominan status, tidak tegas. Swa radj, segala swa radj, sebaliknya ia
mempunyai cita-cita sosial. Jadi cita-cita kemasyarakatan. Dan apa yang ia cita-citakan yaitu
satu masyarakat yang di situ tidak ada penindasan, yang di situ tidak ada pengisapan, tetapi
juga yang di situ tidak ada mesin-mesin, tidak ada pabrik-pabrik. Ia punya cita-cita sosial
yaitu manusia dengan manusia hidup tenteram, rukun, tiap-tiap orang mempunyai sebidang
tanah kecil, tanam makanan rakyatnya sendiri, tanam pohon kapasnya sendiri, memintal ia
punya benang sendiri, menenun sendiri. Tidak perlu lokomotif, tidak perlu ini itu. Rakyat
harus hidup dalam satu suasana tenteram.
Nah, ini yang saya namakan kolotnya gerakan swadesi. Tetapi pada hakekatnya gerakan
swadesi ini adalah satu penentangan terhadap kepada imperialisme, sebab di dalam
praktiknya gerakan swadesi bukan sekadar positif dari segi positifnya menanam kapas
sendiri, memintal benang, menenun sendiri. Tidak! Tetapi juga mempunyai bidang
negatifnya, yaitu tidak mau membeli barang bikinan Inggris. Yang dinamakan boycot action.
Tidak boleh rakyat ter-utama sekali anggota-anggota dari Indian National Conggress membeli
barang-barang buatan Inggris. Bahkan eksesnya barang-barang buatan Inggris kadang-kadang
diserbu, dibawa ke luar, ditumpuk, ditimbun, dibakar. Seperti yang terjadi di Chouri Chora.
Dengan gerakan swadesi ini maka handels imperialisme Inggris menjadi lumpuh. Karena
seluruh rakyat tidak mau membeli barang-barang buatan Inggris itu, padahal doel daripada
handels imperialisme Inggris ialah agar supaya rakyat India membeli barang-barangnya.
Ditentang oleh gerakan swadesi, diboikot barang-barang Inggris, dan rakyat India
mengadakan gerakan swadesi positif, membikin barang sendiri. Tetapi di dalam bidang kaum
pertengahan dan kaum borjuasinya ia memakai mesin-mesin pula. Saudara-saudara kalau
datang di Bombay misalnya, sekarang, di Calcuta, saudara akan melihat pabrik-pabrik tenun
yang hebat. Tata yang begitu membantu dengan uang kepada gerakan Gandhi, ia adalah
industriil besi yang besarnya hanya dikalahkan oleh industriil Jepang Yawata Kaisha.
Dus, saudara-saudara, jelas, gerakan India adalah satu gerakan yang sebenarnya daripada
kaum pertengahan dan kaum borjuasi yang timbul dengan mempergunakan rakyat jelata. Ada
baiknya saya di sini menerangkan kepada saudara hal kenapa gerakan India itu tidak
mempergunakan kekerasan? Memang saudara-saudara, situasinya lain daripada kita. Kita
mempergunakan kekerasan, mengadakan physical revolution, karena kita pada bulan Agustus
menghadapi imperialisme yang hendak kembali, dan pada waktu itu ada kesempatan baik
sekali untuk merampas senjata dari tangan Jepang. Bahkan di waktu pendudukan Jepang, dan
tidak boleh saudara-saudara lupakan, kita tiga setengah tahun mendapat mendapat
kesempatan baik untuk melatih kita punya diri mempergunakan senjata. Di India tidak.
Kesempatan yang sedemikian itu tidak ada, bahkan sekali lagi Gandhi keluar dengan ia punya
falsafah, yang bukan saja menentang devils-work yang berupa mesin, berupa segala hal yang
modern, tetapi juga menentang penggunaan kekerasan. Ia punya falsafah ialah apa yang
dinamakan Ahimsya, tidak boleh mempergunakan kekerasan dan bikin saja kekerasan pisik.
Bahkan mempergunakan kekerasan batin juga tidak boleh. Jangan menyakiti hati orang lain,
begitu pula jangan menyakiti badan orang lain. Ahimsya! Yang di dalam pemunculan bidang
politiknya, berupa gerakan Satyagraha, ekonomis bikin barang sendiri, jangan beli barang
Inggris, ekonomis. Bidang politik-nya, yang keluar daripada falsafah Ahimsya ini, ialah
Satyagraha. Satyagraha artinya setia kepada kebenaran. Bagaimana setia kepada kebenaran?
Tidak mau ikut atau membantu kepada yang salah. Tidak mau ikut tidak mau membantu

kepada yang salah, dus, di dalam bidang politiknya jangan kerjasama dengan pihak Inggris,
sebab pihak Inggris itu salah.
Dus, non cooperation. Lha ini perkataan yang termasyhur, non cooperation. Jangan kerjasama
dengan pihak yang salah. Mau jadi ambtenar Inggris keluarlah, letakkan kau punya jabatan.
Dan kalau engkau tetap jadi ambtenar Inggris, engkau ikut juga punya kesalahan. Jangan
menjadi hakim di kehakiman Inggris, jangan menjadi guru di sekolahan Inggris, jangan
menjadi anggota dari sesuatu dewan yang dibikin oleh Inggris. Satyagraha dan sekalikali
jangan memperguna-kan kekerasan, membandellah, hambalela. Membandel, jangan ikut,
jangan mau dan jikalau kau ditangkap, ya sudah. Biarlah, masuk di dalam penjara, biarlah,
jangan melawan. Dipukuli polisi-polisi di sana itu, pada zaman itu sama dengan polisi
Belanda di sini, mem-punyai pentung, yang namanya lathi, meskipun engkau punya kepala
hampir pecah kena pukulan lathi, jangan membantah, membandellah, hambalela. Beribu-ribu,
berpuluh-puluh ribu, pada satu saat, 76.000 kaum gerakan Satyagraha ini dimasukkan di
dalam penjara. Itu adalah bidang politiknya, non cooperation. Bidang ekonomisnya, swadesi.
Nah, begitulah asal mulanya gerakan India, oleh karena menghadapi handels-imperialisme.
Kita bagaimana? Kita sekarang mulai menguraikan kita sendiri. Persatuan daripada tiap
golongan, sedang di India kaum pertengahan dan kaum borjuis yang merasa mendapat
saingan dan pukulan hebat daripada impor handelsimperialisme, yang menentang kepada
handels- imperialisme Inggris ini, dengan mempergunakan rakyat India agar rakyat India
tidak mau membeli barang-barang bikinan Inggris, swadesi, satyagraha, memang akhirnya
berhasil. Pihak imperialisme Inggris kewalahan dan pada tahun 1947, India diberi
kemerdekaan yang mempunyai Dominion-Status dan di dalam tahun 1950 tanggal 26 Januari
oleh rakyat India Dominion Status ini diganti dengan Republik India, tetapi masih di dalam
Commonwealth. Indonesia bagaimana? Indonesia tidak menghadapi hanya handels-imperialisme. Apa sebabnya? Sebabnya ialah negeri Belanda adalah satu negeri yang miskin, yang
kekurangan basis grondstoffen. Saudara saudara tahu sejarah daripada imperialisme Belanda
di Indonesia. Mula-mula, dan kalau saudara membaca Indonesia Menggugat, mula-mula
orang Belanda itu datang di sini sekadar untuk membeli barang-barang seperti cengkeh, pala,
beli ini beli itu, hasil-hasil pertanian di sini. Kalau ditinjau sejarah yang lebih tua, begini:
dulu, di abad XV, XVI, orang Eropa sudah mengenal cengkeh, pala, sutera bikinan Tiongkok
dan sebagainya. Tetapi barangbarang ini pala, cengkeh, sutera bikinan Tiongkok ada juga cat
merah dan lain-lain sebagainya, didatangkan ke Eropa ini tidak seperti sekarang. Jalannya
dulu ialah barang-barang dari Indonesia, pala, cengkeh, barang-barang dari India, barangbarang dari Tiongkok dan lain-lain sebagainya, semuanya boleh dikatakan dikumpulkan di
Tiongkok lebih dulu. Dari Tiongkok lalu melalui ialan jalan karavan, kafilah-kafilah, melalui
Sentral Asia, Asia Tengah, padang pasir Gobi, muncul di Midden Oosten, Middle East, yaitu
di Libanon. Dari situ di bawa ke kota di sebelah laut Adriatic, Venesia. Dari kota Venesia
diambil oleh perahu-perahu, kapal-kapal pedagang dari Inggris, dari Belanda, dari negerinegeri lain-lain, dus, pada waktu itu, Venesia adalah satu kota transito. Barang-barang dari
Tiongkok melalui Sentral Asia, pergi ke Libanon ke Venesia, dari Venesia disebarkan ke
Eropa Barat. Pada waktu itulah Venesia naik dia punya kedudukan. Pada waktu itu Istanaistana di Venesia yang indah, yang sampai sekarang menjadi kekaguman orang, dibuat. Kalau
saudara datang ke Venesia sekarang, saudara melihat Istana dari marmer, itu buatan zaman
itu. Gereja San Marco buatan dari zaman itu. Istana Togen, buatan dari zaman itu. Abad XIV,
XV, XVI, dan belakangan ini tukang mengambil cengkeh, pala dan lain-lainnya itu,
mempunyai hasrat untuk mencari sendiri jalan pengambilan barang-barang ini. Lantas
dikirimlah orang-orang untuk mencari jalan. Saudara tahu sejarah Vasco de Gama,
Bartolomeus Diaz, sejarahnya Cornelis de Houtman dan lain-lain itu, mereka itu mencari

jalan ke tempat cengkeh, pala, merica, sutera ini. Mencarinya jalan ada yang ke Barat terus
dan dia terdampar di Amerika yaitu Columbus, dan dia bertepuk dada, merasa menemukan
Amerika. Padahal tidak. Lebih dulu daripada Columbus ialah Amerigo Vesvucci yang menemukan Amerika, kalau boleh memakai perkataan menemukan, sebagian ke Barat,
sebagian dari negeri Belanda dan Spanyol, mengelilingi Tanjung Harapan, ujung paling
selatan dari Afrika, masuk Lautan Hindia, ketemulah tempat-tempat merica dan cengkeh itu.
Nah, dus, bisa ketemu jalan ini, saudara-saudara, belum ada terusan Suez, datanglah apa
yang di dalam kitab saya, saya namakan imperialisme Belanda kuna.
Dus, sekadar mengambil bahan-bahan ini tadi, mengambil cengkeh, merica, pala dan lain-lain
sebagainya, dibawa ke Eropa, melewati Tanjung Harapan, dibawa ke Eropa, dijual di Eropa
dengan banyak laba. Di situ negeri Belanda mulai naik, sehingga pada abad XVII negeri
Belanda mengalami abad keemasan. Orang Belanda sendiri menamakan abad XVII itu de
gouden eeuw. Yaitu laba daripada pengambilan sini, pulang dijual, berangkat lagi, pulang,
jual. Nah, uang laba ini, saudara-saudara, sebetulnya bertumpuk-tumpuk. Dibawa kemana
uang laba ini? Apakah op potten, dicelengi terus, di negeri Belanda? Tidak. Terutama sekali
kelihatan di Inggeris kapitalisme timbul, di Jerman kapitalisme timbul, uang ini dibawa ke
Indonesia kembali, dan ditanamkan di Indonesia. Inilah asal mula daripada imperialisme
Belanda modern di Indonesia. Uang ditanamkan di Indonesia dalam pelbagai obyek. Ada
yang dijadikan pabrik gula, ada yang kebun-kebun teh, ada yang kebun-kebun karet, ada yang
dijadikan tempat pertambangan dan sebagainya. Dus, imperialisme modern di Indonesia
adalah imperialisme penanaman uang. Di dalam ilmu ekonomi uang yang demikian ini
dinamakan finanz kapital. Dus imperialisme Belanda di Indonesia adalah imperialismenya
finanz kapital. Indonesia oleh imperialisme finanz kapital ini dijadikan tempat pengambilan
basis grondstoffen untuk kapitalisme di negeri Belanda. Uang ditanamkan di sini, misalnya di
dalam kebun karet atau dalam kebun kelapa sawit dan sebagainya. Ini kelapa sawit atau karet,
ini menjadi basis grondstoffen. Misalnya minyak kelapa sawit dibawa ke negeri Belanda,
minyak ini menjadi salah satu basis grondstof untuk pabrik sabun dan lain-lain sebagainya.
Hasil daripada produksi ini dengan bahan kelapa sawit, dibawa lagi ke Indonesia, dijual di
Indonesia. Jadi akhirnya menjadi tempat pengambilan bahan-bahan untuk kapitalisme di
negeri Belanda, juga menjadi tempat-tempat penjualan produksi di negeri Belanda itu. Tetapi
yang paling mendalam di dalam peri-kehidupan kita, ialah terutama sekali penanaman modal.
Di sini dibangunkan perkebunan, industri-industri tetapi semuanya perkebunan-perkebunan
dan industri-industri imperialisme, dengan uang ini tadi, finanz kapital. Nah, agar supaya
perkebun-an atau industri-industri itu tadi bisa berjalan dengan sebaik-baiknya, harus
dipenuhi beberapa hal yang berbeda sekali daripada syarat-syarat berkembangnya handelsimperialisme.
Handels-imperialisme, saya ulangi lagi, bisa berkembangbiak kalau rakyatnya mempunyai
koopwil dan koopkracht. Handels-imperialisme dengan sendirinya mampus, kalau rakyatnya
tidak bisa dan tidak mau beli. Tetapi finanz kapital mempunyai eisen lain. Mau menanamkan
modal di sini, dijadikan onderneming. Onderneming pegunungankah atau onderneming di
tanah datarkah. Mau tanam tembakau di daerah Yogyakarta atau Solo. Mau tanam tebu di
lembah sungai Berantas misalnya. Bagaimana bisa tanam tebu di lembah sungai Berantas?
Atau bisa tanam tembakau di lembah Bengawan Solo? Sekitar Solo dan Yogyakarta dan
sebagainya.) harus menyewa tanah, sebab tanah milik daripada rakyat. Agar supaya sewa
tanah ini dimungkinkan, diadakannya ordonansi yang dinamakan grondhuurordonnantie,
pada pertengahan abad ke-19, yang memberi kesempatan kepada pengusaha asing menyewa
tanah daripada rakyat untuk ditanami tebu, untuk ditanami tembakau, untuk ditanami apapun,
agar supaya laba bisa tinggi, sewa tanahnya jangan mahal. Agar supaya sewa tanah tidak

mahal, levensstandaard daripada rakyat ditekan, handels-imperialisme malahan agak


menaikkan levens-standaard, artinya dipiara, koopwil en koopkracht. Finanz kapital
imperialisme malahan menekan supaya sewa tanah tidak terlalu tinggi. Sewa tanah itu
ditentukan oleh levensstandaard, standar hidup daripada rakyat. Rakyat yang standar
hidupnya rendah akan sudah senang menerima sewa yang murah. Kecuali sewa tanah, finanz
kapital yang menanamkan modalnya di sini itu memerlukan kaum buruh. Juga kaum buruh
ini harus kaum buruh yang upahnya rendah. Kalau kaum buruh itu upahnya tinggi, labanya
kurang bagi kaum imperialis.
Dus, diusahakan dengan segala macam agar supaya kaum buruh upahnya rendah. Sampai kita
pernah mengalami satu waktu, upah kaum buruh 8 sen, satu orang sehari. Dihitung-hitung
hidupnya rakyat Indonesia bahkan pernah segobang seorang sehari. Tetapi upah buruh pernah
di suatu tempat itu 8 sen sehari, 12 sen seorang sehari. Paling-paling 25 sen seorang sehari.
Minimumloon, rakyat Indonesia dijadikan minimum-leidster, ini istilah daripada seorang
Belanda sendiri, daripada orang yang selalu saya sitir yaitu Dr. Uwender, yang mengata-kan
bahwa rakyat Indonesia itu adalah minimum-leidster, segalanya itu minimum, kebutuhankebutuhannya ya minimum, kebutuhan makanannya minimum, pakaian minimum, segala-nya
minimum, upahnyapun minimum sehingga konklusinya ialah yang sering saya katakan rakyat
Indonesia adalah een volk van koelies en een koelie onder de natie. Inilah efek dan usaha
daripada finanz kapital imperialis. Jangan diajarkan kepada rakyat kebutuhan-kebutuhan yang
bukan-bukan. Sekolah-sekolah jangan lekas-lekas diberi, paling-paling sekolah yang sudah
paling minimum. Di India tidak, kata saya tadi, pada tahun 1865 kalau tidak salah,
Universitas yang pertama dibuka. Kita, saudara-saudara, sampai permulaan abad sekarang
ini, tidak mengenal akan universitas. Sekolahnya sekolah rendah semuanya, sekolah
menengah hanya untuk orang Belanda sendiri atau puteraputera daripada pegawai Indonesia.
Dan sistemnya nyata, sistem membikin kita menjadi kaum buruh. Saya pernah duduk di
dalam sekolah rendah.
Permulaan abad sekarang ini, padahal waktu itu sudah tahun 1915, sebagai murid daripada
sekolah rendah itu saya masih diajar ilmu ukur dengan meetketting, rante ukur itu, kita
murid-murid harus bisa mengukur halaman, mengukur sebidang tanah, tak lain tak bukan
agar supaya nanti bisa menjadi mandor ukur. Jadi standar hidup direndahkan sekali, saudarasaudara. Bahkan demikian jauhnya usaha merendahkan levenstandaard kita ini, sehingga
dulu, kelas pertengahan kita dan kelas borjuasi dulu sama sekali akhirnya juga padam. Dulu
misalnya kita membikin bahan pakaian kita sendiri.
Saudara kalau baca di dalam kitab-kitab yang ditulis oleh komisi minderwelvaarkomisi atau
kitab yang ditulis oleh Kroevaart, saudara masih bisa membaca bahwa di dalam abad ke-18,
kita ini masih selfsupporting di dalam lapangan tekstil. Ya bukan tekstil mesin, tetapi tekstil
tenunan. Sebagaimana saudara lihat di pulau-pulau Indonesia Timur sekarang, masih ada di
sana selfsupporting barang tenun sendiri, misalnya di Sumba, di pulau Kisan dan lain-lain. Itu
masih selfsupporting, tetapi sebagai tadi saya katakan sebagian daripada laba finanz kapital
ini, dijadikan industri di negeri Belanda antara lain industri tenun Twente, oleh industri tenun
ini saudara-saudara, matilah sama sekali minddenstand kita yang tadinya bisa membuat
tekstil. Jadi meskipun di satu pihak finanz kapital ini merendahkan standar hidup rakyat, oleh
karena memang demikianlah eisen daripada finanz kapital tetapi sebaliknya handels kapital
Belanda yang datang di sini membawa tekstil daripada Twente mematikan kelas pertengahan
kita dan kelas borjuis. Bisa mematikan oleh karena impor yang dibawa ke sini adalah impor
yang amat murah sekali tidak sebagai impor Inggris di India. Impor di India itu mengenali
kwaliteiten, ada kualitet yang hebat-hebat, sebagaimana sampai sekarang saudara mengetahui

wol daripada Inggris kualitet tinggi, untuk menjual barang kualitet tinggi ini memerlukan
koopwil dan koopkrahct daripada rakyat. Impor tekstil dari negeri Belanda ke sini bukanlah
tekstil kualitet tinggi bukan tekstil untuk kaum wanita yang berupa bembergzijde, bukan kain
wol yang hebat-hebat seperti bikinan Leincheser. Tidak! Impor kebanyakannya berupa blaco,
kain mori, paling-paling kain hitam, kain merah, cita-cita yang murah. Saya mengalami
saudara-saudara, dulu kain cita yang saya pakai enam sen satu elo.
Dulu ukurannya itu elo, 70 cm. Jadi laage kwaliteiten, dan itu tidak memerlukan satu bangsa
yang levensstandaard-nya harus dinaikkan. Cukup dengan satu bangsa yang levensstandaard-nya memenuhi eisen daripada finanz kapital imperialisme itu. Sehingga saudarasaudara, akhirnya kita ini menjadi satu bangsa kelas kecil. Kita tidak mempunyai orang-orang
yang kaya, seperti di India. Di India mempunyai Burla, mempunyai Tata, mempunyai famili
Nehru, Mothilal Nehru, bapaknya Jawaharlal Nehru itu bukan main dia milyunernya, orang
bilang, dia cucikan dia setrikakan baju-bajunya itu di London. Tidak mau cucian di Alahabat, meskipun dia diam di Alahabat. Pakaian kotor-kotor dikirim ke London, cuci di
London, disetrika di London. Orang kaya di Indonesia tidak ada, semuanya kelas kecil.
Pegawai, kelas kecil, tidak ada pegawai tinggi. Paling-paling yang paling tinggi vaitu Bupati
atau Adipati. Tetapi yang lain-lain ialah klerk-klerk, paling-paling opseter-opseter. Dalam
tentara KNIL, berapa orang yang jadi kapten? Tidak ada. Satu orang atau dua orang Mayor.
Yang lain itu paling-paling sersan. Pendek segala hal yang besar ialah Belanda, yang kecilkecil Indonesia sampai kepada rakyat jelatanya merupakan minimum leidster. Kaum buruh
ada yang mendapat 8 sen sehari, tani ya tani kecil, tidak ada tani besar. Saya tidak
mengatakan bahwa kita harus mempunyai grootbezit, tidak, tetapi saya hanya mengatakan
bahwa rakyat Indonesia itu hanyalah rakyat kecil.
Berhubung dengan itu saudara-saudara, maka aksi untuk meruntuhkan imperialisme itu
haruslah terdiri dari gabungan semuanya yang kecil ini. Di India bisa dipergunakan kekuatan
dari kaum borjuis dan middenstand. Di Amerika kekuatan dari borjuis dan middenstand, yang
bisa mengadakan satu Angkatan Perang. Saudara tahu bagaimana di Amerika permulaan
revolusi itu? Yaitu di waktu beberapa orang pedagang teh melemparkan tehnya di dalam laut
oleh karena impor teh harus membayar pajak. Itulah meletusnya revolusi di Amerika, ialah
membuang teh di dalam laut, yang dimulai oleh kaum pengusaha. Di India gerakan nasional
bertulang punggung kepada kaum borjuasi nasional. Kita tidak. Kita tidak mempunyai
borjuasi nasional. Sudah tidak mempunyai. Dulu di dalam abad ke-16, 17, 18 kita
mempunyai borjuasi nasional yang bisa selfsupporting di atas lapangan tekstil misalnya,
tetapi di dalam abad ke-20 akhir 19 tidak ada kelas borjuasi nasional ini.
Dus gerakan melawan imperialisme itu adalah gerakan daripada segala golongan yang kecil.
Sifatnya sudah lain, saudarasaudara. Di sana borjuasi nasional yang menunggangi rakyat
jelata, di Indonesia tidak bisa berjalan yang demikian itu. Di Indonesia gerakan nasionalnya
ialah gerakan daripada rakyat jelata tok. di dalam segala macam. Ambtenar-ambtenar kecil
duduk di dalamnya. Dari pihak pengusaha-pengusaha ada duduk di dalamnya, tapi kecil.
Semuanya kecil. Gerakan Sarikat Islam misalnya, Sarikat Dagang Islam yang diadakan mulamula oleh Kiai Samanhudi, di dalam tahun 1910 begitu setelah Budi Utomo, yah, Sarikat
Dagang Islam ya pedagang-pedagang yang kecil bukan pedagang-pedagang seperti Tata,
seperti Birla, seperti Nehru. Bapaknya Nehru itu bukan pedagang tetapi advokat besar yang
mempunyai andil di dalam beberapa perusahaan. Sarikat Dagang Islarn pun, saudara-saudara,
gerakan daripada pedagang kecil bahkan yang kemudian diubah menjadi Sarikat Islam yang
bukan saja pedagang yang masuk di dalamnya tetapi tani kecil, buruh kecil, semuanya yang

kecil masuk di dalamnya. Ini yang menjadi kekuatan kita, siap di seluruh Indonesia, golongan
kecil, ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya daripada pihak pedagang, ya nelayan, ya kusir, ya
tukang bengkel, ya semuanya, kita himpun kekuatannya. Dus, kita perlukan bagi menangnya
gerakan kita satu hikmat persatuan. Kita menghadapi soal ini, saudara-saudara, bagai-mana
bisa menumbangkan imperialisme. Yah, kita harus bisa bersatu, mempersatukan tenaganya
yang kecil ini, ya tenaganya kaum buruh, ya tenaganya kaum tani, tenaga kaum buruh untuk
menghadapi industri-industri daripada finanz-kapital itu, tenaga-tenaga kaum tani kita
butuhkan untuk menentang perkebunan-perkebunan baik di tanah datar maupun di
pegunungan, kita butuh- kan segenap tenaga daripada rakyat Indonesia.
Pada satu waktu saya sampai kepada satu saat yang saya memerlukan satu nama umum bagi
sernua yang kecil-kecil ini. Ya buruh, ya tani, ya pegawai, ya nelayan dan lain-lainnya ini, semuanya tidak ada yang besar, melainkan kecil-kecil semua-nya, lantas saya beri nama kepada
semuanya ini Marhaen. Tidak bisa disebutkan proletar, kataku. Sebab apa yang dinama-kan
proletar? Barangkali saudara-saudara sudah mendengar uraian ini, tetapi baiklah sava uraikan
sekali lagi. Apa yang dinamakan proletar? Pak, proletar itu kaum buruh. Tidak jelas! Marilah
kita tanya kepada Karl Marx sendiri, dia yang mengadakan perkataan, terkenalnya perkataan
proletar, menurut Marx proletar adalah orang yang menjualkan tenaganya kepada orang lain
dengan tidak ikut memiliki alat produksi, ini defenisi Marx. Proletar adalah orang yang
menjualkan tenaganya kepada orang lain dengan tidak memiliki alat produksi. Sekadar
menjual tenaga tok. Tidak ikut memiliki alat produksi. Apa alat produksi? Kereta api adalah
alat produksi. Bahkan gergaji, palu dan lain-lain sebagainya adalah alat-alat produksi. Jikalau
engkau menjualkan tenagamu di dalam sesuatu perusahaan tetapi engkau tidak ikut memiliki
alat produksi, tidak ikut memiliki pabrik, tidak ikut memiliki mesin, tidak ikut memiliki
martil-martil, palu-palu, gergaji-gergaji di dalam pabrik itu, kamu cuma menjual tenagamu
saja, engkau adalah proletar. Dan ini definisi mengenai semua yang menjual tenaga. Kaum
intelektuil pun, insinyur yang menjualkan tenaganya kepada satu perusahaan besar,
perusahaan Philips, Unilever apapun, engkau hanya menjual tenagamu sebagai insinyur,
dengan tidak ikut memiliki pabrik Unilever, atau pabrik Krupp, engkau adalah proletar, tetapi
namanya intelektuil proletar, proletar intelektuil. Padahal, ya rumah, gedung, rumah yang
didiami, engkau pergi ke pekerjaan dengan mobil yang mengkilap, engkau adalah insinyur,
engkau adalah doktor, engkau adalah ahli kimia, oto yang mengkilap, tidak miskin, tetapi
yang engkau jual hanya tenagamu, pikiranmu, tidak ikut memiliki alat produksi, engkau
adalah proletar.
Dus, si insinyur proletar, si doktor ilmu kimia yang bekerja kepada Bayer misalnya, proletar,
cuma ya intelektuil proletar. Saya memerlukan satu istilah buat ini, si kecil-kecil semuanya
itu tadi. Buruh kecil ya proletar, dia masuk di dalam golongan yang saya carikan istilah tani
kecil yang perlu juga istilah bagi si tani kecil ini tetapi si tani kecil ini bukan proletar. sebab
ia punya alat produksi milik sendiri, si nelayan kecil masuk di dalam golongan yang saya
carikan istilah tetapi dia bukan proletar, alat produksi milik dia sendiri. Si tukang gerobak
kecil, gaji, ya tidak punya gaji, gerobaknya dia punya sendiri, kudanya yang kurus itu dia
punya sendiri. Lha ini namamya apa, saya carikan pada suatu ketika, untuk semua rakyat
Indonesia yang kecil-kecil ini, Ceriteranya ialah pada suatu hari saya berjalan di sebelah
selatan kota Bandung, kalau saudara mau tahu desanya, nama desanya Cigereleng. Di
Cigereleng saya berjalan jalan di sawah. Pada waktu itu saya memimpin Partai, saya jalan
jalan di sana, saya melihat seorang laki-laki sedang menggarap sebidang tanah. Saya tanya:
bung, ini tanah siapa?

Gaduh abdi. Pacul ini siapa punya, Gaduh abdi, artinya gaduh abdi itu, saya punya. Gubuk ini
siapa punya? Gaduh abdi. Engkau kalau sudah tanam padi ini, hasil padi ini untuk siapa?
Buat abdi. Wah engkau kaya? Tidak. Miskin. Maklum cuma begini, dan meskipun tanah
punya saya sendiri, pacul saya punya sendiri, hasilnyapun saya punya sendiri, tetapi saya
miskin, paling miskin. Coba lihat gubuk itu sudah reyot. Orang ini bukan proletar. Miskin,
tetapi proletar, sebab alat produksi milik dia sendiri. Sebaliknya sebagai tadi saya katakan
meski-pun mobil mengkilat kalau alat produksi tidak dimilikinya dan dia cuma menjual
tenaganya saja, adalah proletar. Orang ini bukan proletar, tetapi miskin, seperti 95% daripada
rakyat Indonesia adalah miskin. Saya tanya kepadanya: nama bung siapa? Marhaen, jawab
dia. Timbul ilham, kalau begitu semua rakyat Indonesia yang miskin ini saya namakan
Marhaen, ya, yang proletar ya yang bukan proletar, ya yang buruh, ya yang tani, ya yang
nelayan, ya tukang gerobak, ya yang pegawai, pendeknya yang kecil-kecil ini semua,
Marhaen.
Ini bahan kita untuk digerakkan bersama untuk menumbangkan imperialis, tidak memiliki
borjuasi nasional, tidak memiliki tenaga Angkatan Perang seperti sekarang.
Dulu tidak ada Angkatan Perang kita, revolusi Amcrika segera setelah Thomas Jefferson,
Thomas Paine, George Washington dan Paul Rellier mengatakan: hayo kita melepas-kan diri
dari Inggris, terus dibentuknya Angkatan Perang bahkan George Washington menjadi
Panglima Besar daripada Angkatan Perang yang kemudian dipilih menjadi Presiden.
Kita tidak mempunyai Angkatan Perang, kita tidak mempunyai borjuasi nasional, kita harus
dan mutlak harus hanya bisa mempergunakan tenaga daripada rakyat jelata sebagai satu verzamelnaam yang saya namakan Marhaen, dus, sejak daripada mulanya atau lebih tegas sejak
fase revolusioner, daripada gerakan nasional kita, kita harus bisa memegang panji persatuan.
Sejak daripada fase revolusioner, jangan kira, tadi sudah saya peringatkan bukan, perkataan
revolusioner jangan dihubung-hubungkan dengan kekerasan senjata. Sejak dari fase
revolusioner, jikalau saya boleh mempergunakan istilah yang saya ucapkan pada pidato 20
Mei, sejak angkatan penegas yang dengan tegas berkata: Indonesia merdeka, itulah satu
umgestaltung von grundauf, sejak daripada fase itu kita meng-hadapi persoalan
mempersatukan semua revolutionnaire krachten, semua tenaga-tenaga revolusioner, yaitu
tenaga-tenaga dari segenap Marhaen, Marhaen di dalam arti, sebagai tadi saya katakan ya
buruh, ya tani, ya pegawai, ya tukang gerobak, ya tukang nelayan, ya tukang pedagang,
semua rakyat Indonesia yang 95% Marhaen.
Jadi alat kita hanyalah persatuan, jikalau kita tidak berdiri di atas dasar ini, mungkin gerakan
kita tidak berhasil. Di Sovyet Uni lain saudara-saudara, di sana ada kelas kapitalis, kelas
proletar dan tani, bersama-sama proletar dan tani ini menumbangkan kelas kapitalis. Kita
terdiri daripada macam-macam golongan tetapi kecil semuanya, ini harus kita gabung, yaitu
menentang imperialisme yang pada hakekatnya ialah finanz-kapital imperialisme, tetapi
saudara-saudara. untuk mempersatukan segenap golongangolongan Marhaen ini, yang terdiri
dari elemen buruh, elemen tani. elemen pedagang, elemen tukang gerobak, elemen nelayan
dan sebagainya itu, kita tentu menghadapi beberapa persoalan. Persoalan kepentingan
daripada golongan, persoalan rasa daerah, kepentingan rasa agama, kepentingan lain-lain.
Karena itu sejak mulanya di dalam ide mempersatukan marhaen sudah dimasukkan terutama
sekali elemen keaslian Indonesia ialah gotong royong. Gotong royong yang memang salah
satu sendi daripada masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu, dan dianjurkan kepada semua
golongan ini bahwa kita hanyalah bisa menumbangkan imperialisme itu kalau kita bersatu
dan berdiri di atas dasar revolusioner. Diterangkan kepada kaum marhaen terutama sekali

kepada kaum marhaen yang menjadi anggota partai saya, sebab kaum marhaen ini di manamana, saya bicara secara wetenschappelijk, jangan mengira Bung Karno memakai perkataan
marhaen itu karena mengingat PNI dahulu, tidak.
Saya tadi kan berkata, marhaen itu meliputi semua, dus, di dalam partai-partai yang sekarang
ini dinamakan PKI ya ada Marhaen, di dalam partai Masyumi ya ada Marhaen, di dalam
partai Nahdlatul Ulama ya ada Marhaen, di dalam Gerwani ya ada Marhaen, Marhaen di
dalam arti rakyat Indonesia dari segala golongan yang kecil itu tadi, yang tidak bisa diberikan
nama kepadanya proletar.
Saya mencari satu istilah baru untuk menggambarkan kekecilan daripada rakyat Indonesia
ini, meskipun jumlahnya jutaan tetapi ekonominya kecil, saya carikan satu perkataan, satu
istilah yaitu istilah Marhaen. Di dalam arti yang demikian itu, saya pakai perkataan marhaen
itu tidak dengan ingatan kepada sesuatu partai. Marhaen daripada semua golongan ini harus
dipersatupadukan, karena itu sejak daripada semula Angkatan penegas berkata: harus berdiri
di platform revolusioner. Apa yang dinamakan revolusioner, revohsioner di dalam arti
umgestaltung von grund auf, perubahan radikal revolusioner di dalam arti cukup dengan
kehendak zaman yang cepat revolusioner di dalam arti menentang kepada imperialisme.
Semua golongan yang ikut aliran zaman yang cepat semua golongan yang hendak
menumbangkan imperialisme, semua golongan itu adalah revolusioner. Ya dari buruh, ya dari
tani, ya dari golongan apapun.
Dus istilah revolusioner saudara-saudara, jangan saudara campurkan kepada, misalnya
revolusioner harus proletar, atau revolusioner harus orang yang berdiri di atas taraf, di atas
platform demokrasi formil, atau revolusioner harus orang sosialis. Sosialis di dalam arti,
bukan PSI, tetapi di dalam arti menghendaki masyarakat sama rata sama rasa tanpa kapitalisme. Jangan dihubungkan dengan tiga hal ini. Revolusioner tidak harus hanya orang proletar
saja, tidak harus hanya orang sosialis saja, tidak harus hanya orang yang berdiri di atas dasar
demokrasi formil. Revolusioner adalah tiap-tiap orang yang menentang imperialisme,
revolusioner adalah dus tiap-tiap orang yang mengikuti kehendaknya zaman yang cepat.
Misalnya kalau saudara-saudara berkata: tidak, revolusioner harus proletar. Tidak klop,
saudara-saudara, sebab ada juga golongan-golongan proletar yang tidak revolusioner,
misalnya gerakan kaun buruh di Inggris yang telah saya ceriterakan, gerakan kaum buruh di
Inggris yang terdiri dari proletar-proletar, saudarasaudara.
Sejak daripada pemimpinnya entah yang namanya Mac Donald, sebutlah pemimpin
Labourparty Inggris Atlee, sampai kepada anggotanya, taxi driver, atau machineworker atau
dockworker, semuanya proletar. Atlee dahulu kaum proletar, Mac Donald adalah kaum buruh
pertambangan batubara, proletar. Begitu pula anggota-anggotanya, semuanya proletar tetapi
sama sekali tidak revolusioner, sebab misalnya menentang kepada kemerdekaan penuh
daripada bangsa-bangsa, menentang kepada gerakan anti kolonialisme 100%, menentang
kepada memberi kemerdekaan penuh pada India. Atlee memberi kemerdekaan kepada India,
kalau boleh dipakai perkataan memberi, sebab kemerdekaan India adalah hasil keringat
rakyat India sendiri, di dalam bentuk dominion status, belakangan kataku tadi wet 1947
dominion status, tahun 1950 oleh perjuangan rakyat India sendiri, dirubah menjadi Republik
masih di dalam gabungan commonwealth. Dus proletar Inggris saudara-saudara, tidak
revolusioner, dus tidak klop bahwa perkataan revolusioner harus proletar. Demikian pula
saudara-saudara akan berkata: revo-lusioner itu harus sosialis, di dalam arti tadi masyarakat
sama rasa sama rata tanpa kapitalisme. Tidak klop lagi. Misalnya gerakan dari rakyat Mesir,

revolusioner yang sekarang memun-cak kepada gerakan di bawah pimpinan Gamal Abdul
Nasser, revolusioner tetapi mereka tidak terdiri dari kaum sosialis.
Bahkan aku pernah membaca satu uraian yang menamakan gerakan Amanullah Khan dari
Afganistan itu revolusioner, Amanullah Khan adalah seorang raja Afganistan yang di dalam
tahun 1926 mencoba menumbangkan imperialisme Inggris. Tetapi gagal. Amanullah Khan
sama sekali bukan proletar, sama sekali bukan sosialis, bahkan namanya Khan, kalau bahasa
Indonesia Khan itu barangkali Raden Mas Panji Ario. Amanullah Khan di dalam tulisan ini
yang ditulis oleh seorang pemimpin besar revolusi. Dus tidak klop kalau kita berkata:
revolusioner harus sosialis. Demikian pula tidak klop kalau dikatakan revolusioner harus
orang yang berdiri di atas platform demokrasi formil. Apa demokrasi formil itu? Demokrasi
yang menghendaki parlemen, pungut suara, stem-steman itulah yang dinamakan formele democratie. Dengan cara Parlemen yang begini, jangan berkata bahwa orang revolusioner
hanyalah orang yang berdiri di atas platform parlemen-parlemenan, pungutan suara,
demokrasi formil, tidak. Seperti Amanullah Khan itu tadi, yang bukan seorang demokrat
formil, dia bahkan orang Khan, orang raja yeng memerintah tidak dengan parlemen tetapi toh
oleh seorang penulis revolusioner ini dinamakan revolusioner. Nah ini saudara, masukkan di
dalam gerakan rakyat, bahwa semua harus revolusioner, artinya semuanya harus menentang
imperialisme, sebab siapa menentang imperialisme, buruhkah, tanikah, pegawaikah, orang
dari golongan agamakah, sosialis-kah, proletarkah, demokrasi formilkah, bukan proletarkah,
bukan sosialiskah, bukan demokrasi formilkah, siapa yang menentang imperialisme ada-lah
revolusioner. Ini adalah satu slogan mempersatu daripada segenap kaum kecil Indonesia yang
tadi kuterangkan.
Dus, gerakan rakyat Indonesia ialah yang akhirnya bisa berhasil menggerakkan 17 Agustus
1945, sebagai yang sudah saya gambarkan pada pidato 20 Mei, demikian pula sejak 17
Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan tahun 1950 ternyata satu gerakan persatuan.
Berlainan sekali dengan gerakan India yang pada hakekat-nya ialah gerakan kaum
pertengahan dan borjuis menunggangi kaum proletar, berlainan sekali dengan gerakan
revolusi Perancis, berlainan dengan gerakan revolusi Amerika. Kita adalah satu gerakan dari
seluruh rakyat dengan dasar persatuan dan revolusioner. Nah, saudara-saudara mengerti
sekarang background daripada pahampaham ini, dengan background inilah saudara-saudara
dicarikan kemudian formulering sebagai weltanschauung agar supaya kita dapat meletakkan
negara yang akan kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu di atasnya, yaitu
Pancasila, Pancasila kecuali satu weltanschauung adalah alat pemersatu, dan siapa tidak
mengerti perlunya persatuan, siapa tidak mengerti bahwa kita hanyalah dapat merdeka dan
berdiri tegak merdeka, jikalau kita bersatu, siapa yang tidak mengerti itu, tidak akan mengerti
Pancasila.
Kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini, saudara-saudara, membuktikan sejeias-jelasnya
bahwa jikalau tidak di atas dasar Pancasila kita terpecah belah, membuktikan dengan jelas
bahwa hanya Pancasilalah yang dapat tetap mengutuhkan Negara kita, tetap dapat
menyelamatkan Negara kita. Oleh karena itu saya harap saudara-saudara nanti kalau saya
sudah menguraikan Pancasila ini selalu ingat kepada background yang pada malam ini saya
berikan kepada saudara-saudara, bahwa kita membutuhkan persatuan dan bahwa Pancasila
adalah kecuali satu weltanschauung adalah satu alat pemersatu daripada rakyat Indonesia
yang aneka warna ini.

Sekarang saudara-saudara telah pukul 10 lebih 3 menit, saya kira sudah cukuplah sebagai
inleiding. Insya Allah dua pekan lagi akan saya mulai mengupas Pancasila, sila per sila.

Sekian.

PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
II
Kursus Presiden Soekarno
Tentang Pancasila
di Istana Negara, Tanggal 16 Juni 1958.

Saudara-saudara sekalian,
Di dalam kursus saya yang pertama sebagai pendahuluan, saya terangkan kepada saudarasaudara bahwa perjuangan rakyat Indonesia untuk menumbangkan imperialisme tidak boleh
lain daripada bersifat mempersatukan segenap tenaga-tenaga revolusioner yang ada di
masyarakat kita. Saya jelaskan pada waktu itu sebabnya. Sebabnya ialah bahwa kita
berhadapan dengan imperialisme Belanda yang imperialisme Belanda itu berlainan sifat
daripada misalnya imperialisme Inggeris. Manakala imperialisme Inggris adalah terutama
sekali satu imperialisme perdagangan, yang saya maksudkan ialah imperialisme Inggris
yang datang di India -, maka imperialisme Belanda yang datang di Indonesia, terutama sekali
adalah satu imperialisme daripada Finanz-kapital. Finanz-kapital yaitu kapital yang
ditanamkan di sesuatu tempat berupa perusahaan-perusahaan.
Oleh karena Finanz-kapital Belanda ini membutuhkan buruh murah, sewa tanah murah, maka
akibat daripada Finanz-kapital di Indonesia ialah pauverisering daripada rakyat Indonesia.
Dan oleh karena rakyat Indonesia sesudah berjalan-nya Finanz-kapital ini berpuluh-puluh
tahun menjadi satu rakyat yang di segala lapangan verpauveriseerd. Tadi saya terangkan
kepada saudara-saudara, untuk mencakup begrip semua rakyat yang verpauveriseerd ini
saya telah mempergunakan istilah marhaen. Saya ulangi: oleh karena akibat daripada Finanzkapital ini ialah bahwa rakyat Indonesia ini di segala lapangan verpauveriseerd menjadi
rakyat marhaen, di segala lapangan, baik lapangan proletar maupun lapangan yang tidak
proletar, maka untuk menumbangkan imperialisme Belanda itu kita harus memakai jalan lain
daripada misalnya rakyat India memperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat India masih
memiliki satu nationale bourgeoisie, bahkan pada pertengahan atau bagian kedua daripada
abad ke-19 borjuasi nasional India ini hendak naik benar-benar sehingga nationale
bourgeoisie India inilah sebenarnya yang menjadi tenaga motoris daripada gerakan rakyat
India menentang imperialisme Inggris itu, berwujud gerakan Swadeshi di lapangan ekonomi
dan di lapangan politik gerakan satyagraha.

Kita yang segenap zaman pre- atau pra-imperialis memiliki bibit-bibit nationale bourgeoisie,
tetapi yang oleh proses imperialis di segala lapangan verpauveriseerd sehingga menjadi
rakyat marhaen, kita tak dapat menjalankan cara perjuangan sebagai yang dijalankan oleh
rakyat India itu. Maka boodschap kepada kita ialah mempersatukan segenap tenaga
revolusioner yang ada di dalam rakyat Indonesia yang verpauveriseerd itu. Baik yang proletar
maupun yang bukan proletar. Sehingga boodschap perjuangan kita di Indonesia ialah
boodschap persatuan. Hal itu sudah saya terangkan kepada saudara-saudara pada kursus saya
yang pertama. Dan memang dengan menyelenggarakan persatuan daripada segenap tenaga
revolusioner itulah akhirnya kita pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat mengadakan
proklamasi kita dan juga dengan persatuan itu kita dapat mempertahankan proklamasi itu.
Hanya di waktu-waktu yang sekarang ini persatuan itu terganggu sehingga sewajibnya kita
berikhtiar lagi untuk memperbaiki lagi keretakan-keretakan di dalam tubuhnya bangsa
Indonesia itu.
Mempersatukan segenap tenaga revolusioner, dan arti perkataan revolusioner pun di dalam
kursus yang pertama sudah saya jelaskan kepada saudara-saudara -. Saya ulangi dengan
singkat: untuk bersifat revolusioner tak perlu dari golongan proletar, tak perlu dari golongan
demokrasi formil, tak perlu dari golongan sosialis, -sosialis dalam arti yang luas,
revolusioner adalah tiap-tiap orang yang progresif menghantam kepada imperialisme.
Revolusioner adalah tiap-tiap orang yang hendak mengakhiri kolonialisme dan hendak
mengadakan kemerdekaan nasional. Oleh karena itu adalah progresinya sejarah. Tidak perlu
seorang proletar, sebab yang bukan proletar bisa juga revolusioner. Sebaliknya ada contoh
proletar tidak revolusioner. Tidak perlu demokrasi formil, sebab orang yang tidak
berdemokrasi formil bisa revolusioner. Tidak perlu berangan-angan atau dari golongan
sosialis, dalam arti yang luas, sebab ada yang sosialis tetapi tidak revolusioner. Ada yang
bukan sosialis tetapi revolusioner, sosialis dalam arti yang luas.
Di dalam kursus saya yang pertama, hal ini tidak saya kemukakan kepada saudara-saudara.
Tapi sosialis, seperti waktu saya membuat kuliah di Yogyakarta saya terangkan bahwa
perkataan sosialisme saya ambil dalam arti nama kumpulan, verzamelnaam, dari semua
aliran-aliran yang menghendaki masyarakat sama rasa sama rata. Dus ya sosialis demokrat,
ya anarchist, ya komunis, ya utopist sosialis, ya religieus socialist. Semuanya saya cakup
dengan satu perkataan: sosialis.
Saudara-saudara, konklusi daripada kursus saya yang perta tadi, sudah saya katakan:
boodschap yang diberikan sejarah kepada kita ialah persatuan, mempersatukan segenap
tenaga. Bukan saja untuk menumbangkan imperialisme, tetapi juga untuk mempertahankan
negara yang kita dirikan dan yang hendak ditumbangkan kembali oleh imperialisme itu.
Maka berhubung dengan itulah, timbul pertanyaan kepada segenap rakyat Indonesia, tatkala
rakyat Indonesia hendak mengadakan kemerdekaan nasional, apakah negara yang hendak
didirikan itu harus diberi satu dasar yang di atas dasar itu segenap rakyat Indonesia
dipersatupadukan, apa tidak. Dan jawabnya ialah: ya, perlu dasar yang demikian itu, dasar
pemersatu daripada segenap rakyat Indonesia. Sehingga sebagai saudara-saudara ketahui,
soal dasar ini menjadi pembicaraan di dalam sidang-sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang
bersidang sebelum kita mengadakan proklamasi, jadi pertengahan tahun 1945. Dan di dalam
salah satu sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itulah dianjurkan oleh onder getekende untuk
memakai Pancasila sebagai dasar negara yang akan kita adakan. Dan kemudian Pancasila ini
diterima di dalam Jakarta Charter. Kemudian sesudah kita mengadakan proklamasi diterima
oleh sidang daripada pemimpin pertama daripada negara yang telah kita proklamirkan. Dasar

negara yang kita butuhkan ialah pertama: harus satu dasar yang dapat mempersatukan.
Kedua: satu dasar yang memberi arah bagi perikehidupan negara kita itu. Katakanlah dasar
statis, di atas mana kita bisa hidup bersatu dan dasar dinamis ke arah mana kita harus
berjalan, juga sebagai negara. Sebab apa yang dinamakan negara saudarasaudara? Negara
adalah tak lebih dan tak kurang daripada satu organisasi, satu organisasi kekuasaan, satu
machtorganisatie. Tentang hal negara ini banyak sekali teori-teori, apa negara itu. Ada teori
yang mengatakan negara adalah satu hal sudah semestinya terjadi. Sonder maksud ini atau
maksud itu, dengan sendirinya sesuatu bangsa mencapai negara. Teori ini di dalam sejarah
manusia nyata telah dibantah. Sebab di dalam sejarah manusia sering sekali tampak bangsabangsa atau gerombolan-gerombolan manusia yang berjumlah banyak hidup tanpa negara.
Ambillah misalnya kafilah-kafilah di Sentral Afrika. Mereka itu hidup, mencari makan,
membuat perumahan, hidup bersuami isteri, tetapi tiada ikatan yang dinamakan negara. Ada
juga yang berkata bahwa negara adalah penjelmaan daripada ide yang luhur sekali. Ya, ini
masih harus ditanya, ide itu ide apa.
Hegel misalnya, salah seorang ahli falsafah yang besar, berkata: de staat of een staat is de tot
werkelijkheid geworden idee. Ya boleh kita terima ini. Tetapi apa yang dinamakan idee, de tot
werkelijkheid geworden idee, ide yang terjelma? Ini masih diminta jawaban lagi apa yang
dinamakan idee Hegel.
Saya sendiri berpendirian bahwa negara itu tak lain tak bukan ialah sebenarnya satu
organisasi. Dan tegasnya satu organisasi kekuasaan. Satu machts-organisatie. Kita bisa
mengadakan organisasi partai. Dan partai itu dipmpin oleh segolongan manusia yang
dinamakan dewan pimpinan. Demikian pula kita bisa mengadakan organisasi daripada
seluruh manusia di dalam lingkungan bangsa yang bernama negara. Dan negara ini dipimpin
oleh segolongan manusia yang dinamakan pemerintah. Pada hakekatnya tiada perbedaan
antara dua hal ini. Partai dengan ia punya dewan pimpinan, negara dengan ia punya
pemerintah. Pada hakekatnya partai mempunyai statuten, negara memakai Undang Undang
Dasar. Partai mempunyai peraturan-peraturan rumah tangga, negara mempunyai organieke
wetten, hukum-hukum organik. Pada hakekat-nya, basically, kata orang Inggris, tidak ada
perbedaan di antara dua ini.
Keterangan Karl Marx lebih lanjut lagi daripada ini. Negara adalah satu organisasi
kekuasaan, kata Karl Marx, macht-organisatie. Bahkan satu machtorganisatie daripada
sesuatu kelas untuk mempertahankan dirinya terhadap lain kelas. Karl Marx berkata, bahwa
di dalam sejarah dunia ini selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sama lain. Di dalam
sejarah manusia, selalu ada dua kelas yang bertentangan satu sama lain. Ada kelas feodal
yang bertentangan dengan kelas horigen, yaitu rakyat jelata yang ditindas oleh feodalisme itu.
Sekarang ada kelas kapitalis dan kelas proletar. Selalu ada dua kelas. Maka kata Marx, negara
adalah satu machts-organisatie di dalam tangannya salah satu kelas ini untuk menindas kelas
yang lain. Di dalam zaman feodal negara adalah satu machts-organisatie di dalam tangannya
kaum bangsawan untuk menindas kaum horigen. Di dalam zaman kapitalisme negara adalah
machts-organisatie di dalam tangannya kaum kapitalis untuk menindas kaum proletar.
Ditindas artinya untuk menjalankan sesuatu yang cocok dengan kepentingan kelas kapitalis
ini, tetapi tidak cocok dengan kepentingan kaum proletar.
Teori ini ditarik terus oleh Marx. dalam arti jikalau nanti ada revolusi, kapitalis ini dengan
alat kekuasaannya yang bernama negara, dengan kaum proletar yang karena mereka itu
mengorganisasikan dirinya dengan semboyannya: Proletaries aller landen, verenigt U,
mengorganisasikan dirinya, akhirnya dapat merebut negara atau alat kekuasaan yang tadinya

di dalam tangan kaum kapitalis ini, -jikalau revolusi demikian itu telah terjadi, maka alat
kekuasaan yang tadinya di dalam tangan kaum kapitalis, yaitu negara yang tadinya di dalam
tangan kaum kapitalis terebut oleh kelas proletar dan kelas proletarlah yang memegang alat
kekuasaan yang dinamakan negara ini.
Sesudah sesuatu revolusi sosial ini terjadi, alat kekuasaan yang dinamakan negara jatuh di
dalam negara kaum proletar. Maka berhubung dengan itulah apa yang dinamakan dictatuurproletariaat berjalan dan bukan berjalan secara insidentil, tetapi berjalan secara historis, sebab
negara adalah pada hakekatnya alat kekuasaan di dalam tangan sesuatu kelas. Tadi di dalam
tangan kaum kapitalis, sesudah revolusi proletar di dalam tangan kaum proletar. Dan alat
kekuasaan ini dipergunakan oleh kaum proletar untuk menindas kaum kapitalis. Dus, sifat
daripada praktik alat kekuasaan yang sekarang ini adalah dictatuur-proletaar.
Nah, saya teruskan uraian mengenai Marx ini. Sesudah demikian bagaimana? Sesudah
demikian kelas kapitalis ini karena dialatkuasai oleh dictatuur proletaar ini, makin lama
makin lemah, makin lama makin surut, akhirnya hilanglah kelas yang dinamakan kelas
kapitalis. Tinggal kelas proletar itu. Dan oleh karena tinggal hanya satu kelas sebenarnya
sudah tidak ada kelas lagi. Orang bisa bicara tentang kelas jikalau masih ada perbedaan.
Kelas I, kelas 11, kelas 111, kelas VIII, kelas IX, karena ada perbedaan. Kalau tinggal cuma
satu, itu bukan kelas lagi. Nah, kalau tinggal proletar saja, rakyat jelata saja, tidak ada kelas
kapitalisnya, itulah oleh Marx yang dinamakan satu masyarakat tanpa kelas, satu klasseloze
maatschappij. Manusianya tetap ada, bahkan berkembang biak banyak. Tetapi masyarakat itu
tidak mempunyai kelas, klasseloos. Dan oleh karena klasseloos, maka masyarakat itu menjadi
staatloos, sebab, saya ulangi lagi -, menurut teori Karl Marx, negara adalah machtsorganisatie di dalam tangan sesuatu kelas.
Jikalau kelas itu juga tidak ada, maka machtsorganisatie sebagai machts-organisatie tidak ada
lagi. Maka menjadi satu masyarakat yang staatloos. Ini saya beri tahu kepada saudarasaudara,
agar supaya saudara-saudara mengerti istilah-istilah di dalam ilmu Marxisme; klasseloze
maatschappij dan staatloze maatschappij. Dus tidak ada lagi sesuatu golongan yang harus dionderdruk, yang harus ditindaso Kalau ada dua kelas, ada satu golongan yang berkuasa dan
satu golongan yang harus ditindas. Kalau sudah staatloos dan klasseloos, tidak ada lagi
golongan yang harus ditindas. Fungsi negara hilang. Fungsi negara sebagai alat kekuasaan
hilang. Yang tinggal ialah fungsi administratif daripada manusia-manusia. Ada fungsi opseter,
ada fungsi insinyur, ada fungsi guru dan lain-lain sebagainya, tetapi fungsi negara sebagai
negara, tidak ada lagi.
Saya beri penjelasan kepada saudara-saudara tentang hal ini untuk mengerti bahwa kita
tatkala kita concipieren, membentuk negara kita, sebagai negara kita harus mengerti bahwa
negara itu adalah suatu hal yang dinamis. Kalau Marx berkata: ini adalah alat kekuasaan,
maka tadi saya berkata: kita dalam mengadakan negara itu harus dapat meletakkan negara itu
atas suatu meja yang statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu,
tetapi juga harus mempunyai tuntutan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan
negara ini.
Saya beri uraian itu tadi agar saudara-saudara mengerti bahwa bagi Republik Indonesia, kita
memerlukan satu dasar yang bisa menjadi dasar statis dan yang bisa menjadi Leitstar dinamis.
Leitstar, bintang pimpinan.

Nah, ini yang menjadi pertimbangan daripada pemimpin-pemimpin kita dalam tahun 1945,
dan sebagai tadi saya katakan, sesudah bicara, bicara, akhirnya pada satu hari saya
mengusulkan Pancasila, dan Pancasila itu diterima masuk dalam Jakarta Charter, masuk
dalam sidang pertama sesudah proklamasi. Jadi kalau saudara ingin mengerti Pancasila, lebih
dulu harus mengerti ini: meja statis, Leitstar dinamis.
Kecuali itu kita sekarang lantas masuk kepada persoalan elemen-elemen apa yang harus
dimasukkan di dalam meja statis atau Leitstar dinamis ini. Kenapa Pancasila? Mungkin
Dasasila, atau Catursila, atau Trisila atau Saptasila. Kenapa justru lima ini? Bukan kok lima
jumlahnya, tetapi justru Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan,
Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial. Kenapa tidak tambah lagi, atau dikurangi lagi
beberapa. Kenapa justru kok lima macam ini.
Saudara-saudara, jawabannya ialah, kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat
mengumpulkan semua, dan jikalau kita mencari suatu Leitstar dinamis yang dapat menjadi
arah perjalanan, kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita
sendiri. Sudah jelas kalau kita mau mencari satu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu
harus terdiri daripada elemen-elemen yang ada pada jiwa Indonesia. Kalau kita mau
masukkan elemen-elemen yang tidak ada dalam jiwa Indonesia, tak mungkin dijadikan dasar
untuk duduk di atasnya.
Misalnya kalau kita ambil elemen-elemen dari alam pikiran Eropa atau alam pikiran Afrika.
Itu adalah elemen asing bagi kita, yang tidak in concordantie dengan jiwa kita sendiri, tak
akan bisa menjadi dasar yang sehat, apalagi dasar yang harus mempersatukan. Demikian pula
elemen-elemen untuk dijadikan Leitstar dinamis harus elemen-elemen yang betul-betul
menghikmati jiwa kita. Yang betul-betul, bahasa Inggrisnya appeal kepada jiwa kita. Kalau
kita kasih Leitstar yang tidak appeal kepada jiwa kita, oleh karena pada hakekatnya tidak
berakar kepada jiwa kita sendiri, ya tidak bisa menjadi Leitstar dinamis yang menarik kepada
kita.
Ini adalah satu soal yang susah, saudara-saudara. Apalagi bagi saudara-saudara, pemimpinpemimpin yang salah satu tugas daripada pemimpin itu harus bisa menggerakkan rakyat.
Tiap-tiap saudara-saudara yang ada di sini ingin bisa meng-gerakkan rakyat, bisa menarik
pengikut-pengikut, tidak pandang saudara dari partai apa, yang duduk di sini, semuanya
sebagai pemimpin ingin memimpin, ingin mempunyai golongan yang dipimpin yang bisa
mengikuti dia, yang bisa diajak berjalan. Untuk memenuhi ini saja sudah susah, saudarasaudara. Banyak pemimpin yang kandas, tidak bisa menggerak-kan rakyat, tidak bisa
mendapat pengikut banyak, oleh karena ia tidak bisa mengadakan appeal. Appeal yaitu
ajakan, tarikan yang membuat si rakyat itu mengikuti dia, pada panggilannya.
Jikalau saudara baca mengenai hal ini, saya ini sedang mengupas hal Leitstar, baca mengenai
hal ini, bagaimana cara kita menggerakkan rakyat. Dan bukan saja menggerakkan rakyat,
tetapi kadang-kadang minta supaya mau berkorban, mau berjuang, mau membanting tulang,
pendek mau menggerakkan kemauan dalam hati rakyat, bukan sekadar satu keinginan, tetapi
kemauan untuk berjuang.
Syarat-syaratnya ini apa? Kalau saudara baca kitab-kitab yang ditulis pemimpin-pemimpin
yang berpengalaman tentang hal ini, saudara akan melihat bahwa hal ini tidak gampang. Baru
sekadar hendak membangunkan di dalam hati rakyat keinginan, itu gampang sekali.
Keinginan kepada masyarakat yang kenyang makan, keinginan pada satu masyarakat yang

manis, tiap-tiap orang bisa. Asal bisa mengiming-imingi (membayang-bayangkan). Tetapi


untuk meng-gumpalkan keinginan ini menjadi kemauan, menjadi tekad, bahkan menjadi
keredlaan berkorban, that is another matter, lain hal. Kalau saudara baca kitab-kitab yang
menganalisa hal ini, maka saudara akan menemui tiga syarat:
Pertama, memang saudara harus bisa menggambarkan, mengiming-iming: Mari kita capai
itu! Lihat itu bagus, lihat itu indah, lihat itu lezat. Di situlah kebahagiaan. Pemimpin yang
tidak bisa menggambarkan, melukiskan cita-cita, tidak akan mendapat hasil. Itu syarat yang
pertama. la harus bisa melukiskan cita-cita.
Di dalam sejarah dunia saudara akan melihat bahwa pemimpin-pemimpin besar yang bisa
menggerakkan massa, semuanya adalah pemimpin-pemimpin yang bisa melukiskan citacita.
Bukan saja di dalam lapangan politik, tetapi di dalam segala lapangan.
Ambil contoh Nabi-nabi, yaitu pemimpin-pemimpin besar sekali. Semua Nabi-nabi itu pandai
benar melukiskan cita-cita. Katakanlah mengiming-iming. Misalnya Nabi Muhammad: Kalau
engkau berbuat baik, engkau masuk di sana. Malah digambarkan secara plastis, dilukis betul
indahnya sorga, nyamannya sorga, nikmatnya sorga. Bahkan ditulis di dalam firman Allah,
Quran sendiri, di sorga itu betapa amannya, indahnya, tidak ada terik matahari, semuanya
enak, ada sungai-sungai, dan airnya itu jernih cemerlang, atau air susu, atau air madu, dan
berkeliaran bidadaribidadari di situ. Sehingga betul teriming-iming umat Islam itu ingin
masuk di sana dengan melalui jalan kebajikan. Untuk mencapai itu, jalannya ialah kebajikan.
Yang ada di dunia ini, bagaimanapun bagusnya kalah indahnya daripada itu.
Ambil Nabi Isa: Kerajaan di dunia ini, bagaimanapun bagusnya, kalah bagus dengan kerajaan
Langit, het Koninkrijk der Hemelen. Kerajaan Langit dilukiskan di dalam ciptaan kita sebagai
lawan daripada kerajaan yang ada di bumi ini.
Ambil pemimpin-pemimpin lain, bukan di lapangan agama, tetapi di lapangan politik, bahkan
yang fasis, atau yang sosialis. Fasis, Hitler misalnya. Hitler itu kok bisa sampai mendapat
pengikut juta-jutaan dan pengikut yang fanatik-fanatik. Oleh karena ia pandai memasangkan
Leitstar-nya.
Hitler berkata: jikalau kau ingin satu kerajaan yang lebihhebat daripada sekarang, jangan
kerajaan sekarang ini kau terima. Bongkar! Kita harus meng-adakan kerajaan yang ketiga,
das dritte Reich. Reich yang pertama masih kurang baik bagi kita, yaitu zaman
Germanentum. Zaman baheula, zaman ceriteranya Nibelungen yang di dalam puisi Jerman
digambar-kan sebagai zaman keemasan daripada Germanentum. Dengan pahlawanpahlawannya, misalnya Brunhilde, Kriemhilde, Siegfried. Siegfried jago yang tidak tedas
senjata, kecuali ada satu tempat di punggungnya yang tidak kebal, karena pada waktu ia
mandi di air kebal, ada daun jatuh di atas punggung-nya, sehingga bagian daun itu tidak
terkena air kebal; yang lain-lain kena air kebal. Zaman itu digambarkan oleh Hitler, belum,
kurang besar, kurang bagus. Kerajaan yang kedua, di bawah pimpinan Kaisar Frederick de
Grote, zaman itu ya besar, tetapi kurang besar bagi kita. Tidak, kita menghendaki kerajaan
yang ketiga, yang di dalam kerajaan ketiga ini, hanya orang-orang yang berambut jagung,
mata biru yang akan hidup, tidak dicemarkan dengan darah Yahudi, atau darah Roman dari
Selatan. Tetapi hanya orang-orang yang murni Ariers. Kerajaan ketiga inilah, yang di
dalamnya tidak ada kemiskinan dan tidak ada kehinaan. Itu kita punya cita-cita. Dengan jalan
demikian ia mengiming-iming kepada rakyat Jerman.

Ambil Marx, tadi saya ceriterakan kepada saudara-saudara, ia dapat betul menggambarkan
satu, bukan saja klasseloze maatschappij, tetapi satu staatloze maatschappij, yang di situ tidak
ada penindasan. Sebaliknya semua manusia hidup di dalam suasana kekeluargaan. Satu
staatloze dan klasseloze dan klasseloze maatschappij yang hanya ada kebahagiaan dan
kesejahteraan.
Demikianlah saudara-saudara maka salah satu syarat untuk bisa menjadi pemimpin ialah
harus dapat mengiming-iming, tetapi jangan mengiming-iming barang yang bohong. Itulah
salah satu syarat. Perkataan saya saja mengiming-iming, tetapi sebenarnya ialah dapat
membentangkan Leitstar kepada rakyat.
Nomor dua, harus bisa memberi kepada rakyat. Demikian-lah, menganalisa hidup, cara
bekerjanya pemimpin-pemimpin besar, bisa memberi kepada rakyat rasa mampu mencapai
apa yang diinginkan itu. Merasa mampu, membangunkan rasa mampu. Meskipun engkau bisa
mengiming-iming, tetapi jikalau engkau tidak bisa mem-bangunkan rasa mampu di dalam
rakyat bahwa rakyat bisa mencapai apa yang engkau iming-imingkan, ya, maka di dalam
kalbu rakyat akan hanya hidup kepingin, ingin, tetapi belum menggumpal menjadi satu
kehendak, kemauan, satu wil. Sebab sebelumnya sudah terhambat oleh rasa, toh tidak
mampu. Ibaratnya engkau bisa mengiming-imingi seseorang yang badannya lemah. Lihat itu,
di puncak pohon itu ada buah merah, buah itu paling enak. Si dahaga kepingin buah itu, tetapi
ia merasa dirinya lemah, dus, tinggal kepingin saja, tidak ia mempunyai kehendak, kemauan,
wil untuk mencapai buah itu. Atau engkau bisa ambil seorang pemuda, anak orang biasa.
Engkau imingiming dia dengan seorang gadis cantik, entah anak bangsawan tinggi, entah
milyuner. Bung lihat, bukan main cantiknya. Tetapi ia tidak mempunyai rasa mampu untuk
mengambil hati si gadis itu. Malahan ia merasa dirinya lemah sekali. Aku anak orang miskin.
Ia anak orang kaya. Mana bisa kawin sama dia. Tidak akan timbul kehendak, wil untuk
mengawini gadis itu. Itu syarat nomor dua.
Syarat nomor tiga, bukan saja menanamkan keyakinan, atau rasa mampu, tetapi menanamkan
kemampuan yang sebenarbenarnya. Menanamkan kemauan memberi kepada rakyat de
werkelijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu. Jadi tadinya sekadar keinginan oleh
karena teriming-iming, keinginan ini timbul, naik lagi setingkat menjadi kemauan, oleh
karena saudara bisa memberi kepada rakyat itu rasa mampu, krachtsgevoel. Krachtsgevoel ini
dinaikkan setingkat lagi rnenjadi de werkilijke kracht, dengan cara mengorganisir rakyat itu.
Kalau tiga ini saudara-saudara sudah bisa dijadikan trimurti, artinya dipersatukan di dalam
tindakanmu sebagai pemimpin, saudara akan bisa menggerakkan massa. Dus, Leitstar yang
dinamis saudarasaudara, harus memberi kemungkinan kepada tiga hal ini. Rakyat tertarik,
satu. Rakyat mempunyai rasa, aku atau kita bisa mencapai, dua. Tiga, bukan saja rasa
mampu, tetapi memang mampu untuk mencapai itu. Kalau sekadar dua, dapat mengimingiming, dapat memberi krachtsgevoel, tetapi saudara tidak bisa memberi tenaga, buah di atas
pohon itu tidak bisa terpetik. Saudara bisa berkata, he, buah itu enak betul, kepingin apa
tidak? Kepingin. Mau apa tidak? Mau. Tetapi saudara lupa melatih dia untuk manjat pohon
itu. Meskipun ia mempunyai kemauan tetapi ia tidak bisa memetik oleh karena baru naik 2, 3
meter sudah jatuh lagi. Tiga syarat ini harus dipenuhi.
Leitstar daripada negara harus bisa realiseren tiga syarat ini. Dus, dasar negara pertama harus
bisa menjadi meja statis yang mempersatukan segenap elemen bangsa Indonesia dan dasar
negara itu harus bisa merealisir tiga syarat yang saya sebutkan itu agar supaya rakyat dengan
alat yang dinamakan negara dapat benar-benar mencapai apa yang dileitstarkan itu. Maka
berhubung dengan itu, elemen-elemen daripada dasar ini harus elemen yang tidak asing bagi

bangsa Indonesia sendiri. Kalau kita mengambil elemen yang asing, tidak bisa elemen itu
menjadi dasar statis. Demikian pula tidak bisa menjadi dasar Leitstar dinamis.
Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kira seperti kursi-kursi yang dijajarkan. Bangsa
atau rakyat mempunyai jiwa sendiri. Ernest Renan berkata: une nation est une ame, een natie
is een ziel. Bangsa itu satu jiwa. Jangan kira bangsa itu adalah jumlah daripada manusia itu
dengan manusia itu, seperti kursi-kursi dijajar. Bcnar bangsa itu terdiri dari manusia-manusia
yang berjiwa, malahan apalagi bangsa-bangsa itu terdiri dari manusia-manusia yang berjiwa,
tetapi kecuali daripada itu, bangsa itu mempunyai jiwa sendiri pula. Ada misalnya kitab
Gustave Le Bon yang mengatakan, bahwa bangsa itu mempunyai jiwa sendiri yang tidak het
algemeen totaal daripada si Polan, si Polan dan seterusnya. Mempunyai jiwa sendiri. Satu
bangsa adalah satu jiwa.
Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu kita memikirkan
dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu
sendiri. Kalau kita mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu sendiri, kandas. Ya bisa
menghikmati satu dua, seratus dua ratus orang, tetapi tidak bisa menghikmati sebagai jiwa
tersendiri. Kita harus tinggal di dalam lingkungan dan lingkaran jiwa kita sendiri. Itulah
kepribadian. Tiap-tiap bangsa mempunyai kepribadian sendiri, sebagai bangsa. Tidak bisa
opleggen dari luar. Itu harus latent telah hidup di dalam jiwa rakyat itu sendiri. Susah
mencarinya, mana ini elemen-elemen yang harus nanti total menjadi dasar statis dan total
menjadi Leitstar dinamis. Dicari-cari, berkristalisir di dalam lima hal ini: Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Dari zaman
dahulu sampai zaman sekarang, ini yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa
Indonesia. Satu waktu ini lebih timbul, lain waktu itu yang lebih kuat, tetapi selalu schakering
itu lima ini.
Ada orang berkata: pada waktu Bung Karno mempropagir-kan Pancasila, pada waktu ia
menggali, ia menggalinya kurang dalam. Terang-terangan yang berkata demikian dari pihak
Islam. Dan saya tegaskan, saya ini orang Islam, tetapi saya menolak perkataan bahwa pada
waktu saya menggali di dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam
menggalinya. Sebab dari pihak Islam dikatakan, jikalau Bung Karno menggali dalam sekali,
ia akan mendapat dari galiannya itu Islam. Kenapa kok Pancasila? Kalau ia menggali dalam
sekali, ia akan mendapat hasil dari penggaliannya itu, Islam. Saya ulangi, saya adalah orang
yang cinta kepada agama Islam. Saya beragama Islam. Saya tidak berkata saya ini orang
Islam yang sempurna. Tidak. Tetapi saya Islam. Dan saya menolak tuduhan bahwa saya
menggali ini kurang dalam. Sebaliknya saya berkata: penggalian saya itu sampai zaman
sebelum ada agama Islam. Saya gali sampai zaman Hindu dan pra-Hindu. Masyarakat
Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf-safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu saf
lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu kita telah bangsa
yang berkultur dan bercita-cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain
dengan agama sekarang, bercita-cita sudah. Jangan kira bahwa kita pada zaman pra-Hindu
adalah bangsa yang biadab. Baca kitab misalnya dari Professor Dr. Brandes. Di dalam tulisan
itu ia buktikan bahwa Indonesia sebelum kedatangan orang Hindu di sini sudah mahir di
dalam sepuluh hal. Apa misalnya? Tanam padi secara sawah sekarang ini, jangan kira itu
pembawaan orang Hindu. Tidak. Pra-Hindu. Tatkala Eropa masih hutan belukar, belum ada
Germanentum, di sini sudah ada cocok tanam secara sawah. Ini dibuktikan oleh professor Dr.
Brandes. Alfabet ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la, jangan kira itu pembawaan orang Hindu.
Wayang kulit dibuktikan oleh Professor Brandes bukan pembawaan orang Hindu. Orang
Hindu memperkaya wayang kulit, membawa tambahan lakone Lakon terutama sekali

Mahabarata dan Ramayana. Tetapi dulu kita sudah punya wayang kulit, tetapi belum dengan
Mahabarata dan Ramayananya. Sebagian daripada restan wayang kulit kita dari zaman praHindu, yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Dawala, Cepot dan lain-lain itu. Itu pra-Hindu.
Kita dulu mempunyai wayang kulit yang menceriterakan kepahlawanankepahlawanan kita,
sejarah para leluhur. Kemudian datang orang Hindu membawa lakon Mahabarata dan
Ramayana. Karena kita ini satu bangsa yang bisa menerima segala hal yang baik, lakonlakon
itu kita masukkan di dalam wayang sebagai perkayaan daripada wayang kulit kita.
Jadi saya menggali itu dalam sekali, sampai ke saf pra-Hindu.
Datang saf zaman Hindu, yang di dalam bidang politik berupa negara Taruma, negara
Kalingga, negara Mataram kesatu, negaranya Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutei,
berupa Sriwijaya dan lain sebagainya. Datang saf lagi, saf zaman kita mengenal agama Islam,
yang di dalam bidang politik berupa negara Demak Bintaro, negara Pajang, negara Mataram
kedua, dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan Eropa, yaitu saf
imperialisme, yang di dalam bidang politiknya zaman hancur-leburnya negara kita, hancurleburnya perekonomian kita, bahkan kita menjadi rakyat yang verpauveriseerd. Jadi empat
saf, saf pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis. Saya lantas gogo (gogo itu seperti
orang mencari ikan, di lubang kepiting) sedalam-dalamnya sampai menembus zaman
imperialis, menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman praHindu.
Jadi saya menolak perkataan bahwa kurang dalam penggalian saya. Dalam pada saya
menggali-gali, menyelami saf-saf ini, saban-saban saya bertemu dengan: kali ini, ini yang
menonjol, lain kali itu yang lebih menonjol. Lima hal inilah: Ketuhanan, Kebangsaan,
Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan sosial. Saya lantas berkata: kalau ini saya
pakai sebagai dasar statis dan Leitstar dinamis, Insya Allah, seluruh rakyat Indonesia bisa
menerima, dan di atas dasar meja statis dan Leitstar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya
bisa bersatu padu. Ambil misalnya hal sila yang pertama, Ketuhanan. Salah satu karaktertrek
bangsa kita, corak, jiwa kita baik di zaman saf keempat, maupun saf ketiga, saf kedua, saf
kesatu, bahwa bangsa Indonesia selalu hidup di dalam alam pemujaan daripada sesuatu hal
yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya. Bangsa Indonesia
pada umumnya, saya ulang-ulangi pada umumnya, sebab sila-sila ini adalah grootste gemene
deler dan kleinste gemene veelvoud. Jadi jangan kira tiap-tiap manusia Indonesia itu merasa
ber-Ketuhanan, bahwa tiap-tiap orang Indonesia berkobar-kobar rasa kebangsaannya, bahwa
tiap-tiap orang Indonesia menyala-nyala kalbunya dengan rasa kemanusiaan, tiap orang
Indonesia berkedaulatan rakyat, berkeadilan soaial. Tidak! Tetapi sebagai keseluruhan,
grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud, saya menemukan lima corak ini. Ambillah
kleinste gemene veelvoud, grootste gemene deler itulah. Het kan niet anders daripada itu,
kalau kita secara sosiologis sekarang ini meningkat ke taraf masyarakat Indonesia di dalam
pertumbuhan.
Saya dengan tegas mengatakan, ini kupasan sosiaologis yang akan saya berikan. Nanti saya
akan tambahkan bukan hal-hal yang sosiologis, tetapi kenyataan. Sosiologisnya bagaimana?
Het kan niet anders, tidak bisa lain. Daripada bangsa Indonesia ini hidup di dalam alam
Ketuhanan. Di sana ada tempat permohonannnya, tempat kepercayaan.
Mari lebih dahulu saya kupas secara sosiologis pertumbuhan masyarakat manusia dari zaman
dulu sampai zaman sekarang. Manusia zaman dulu tidak sama dengan manusia zaman
sekarang. Sekarang ada lampu listrik, ada sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata,

ada kapal udara. Dulu tidak. Dulu manusia hidup di hutan-hutan, di gua-gua. Saya namakan
itu fase pertama dari kehidupan manusia di dunia ini. Fase daripada kehidupan manusia
sebagai manusia. Sebab, dan ini tidak saya bicarakan lebih lanjut, apakah manusia itu berada
di dunia itu sudah menjadi manusia, apakah manusia itu hasil daripada evolusi. Saya cuma
menceriterakan saja bahwa ada satu cabang ilmu pengetahuan bahwa manusia itu adalah hasil
daripada evolusi. Bahwa tidak manusia itu begitu dilahirkan sudah satu manusia bernama
Adam dan satu manusia bernama Eva, kemudian dari dua ini tumbuh manusiamanusia lain,
tetapi manusia itu adalah hasil daripada pertumbuhan. Mungkin juga dulu berupa een cellige
wezens, sel yang satu. Kemudian evolusi, menjadi ongewervelde dieren. Evolusi, menjadi
semacam ikan-ikan. Evolusi lagi, binatang yang merayap tetapi mempunyai kaki. Evolusi
lagi, menjadi binatang yang memanjat di atas pohon. Lama-lama timbul yang dinamakan
sayap. Lama-lama menjadi binatang yang bisa lari yang meloncat seperti kera. Kera yang
merangkak dengan empat kaki menjadi berdiri di atas dua kaki. Evolusi lagi, menjadi
manusia yang seperti kita kenal sekarang ini. Mula-muia hidup di dalam hutan dan gua.
Evolusi-evolusi, menjadi manusia sekarang. Proses ini makan waktu beratus-ratus ribu tahun.
Di tanah air kita sendiri pada satu ketika terdapat salah satu bukti daripada teori ini. Yaitu di
dekat kota Ngawi di desa Trinil terdapat tulang-tulang daripada makhluk yang demikian ini.
Nyata makhluk manusia, tetapi bentuk masih setengah gorila, tetapi ia sudah berjalan dengan
dua kaki. Setengah monyet tetapi sudah berrjalan dengan dua kaki. Maka karena itu
dinamakan pithecanthropus erectus. Pithecus itu artinya monyet, anthropus artinya manusia.
Tetapi ia berjalan dengan dua kaki, erectus. Pithecanthropus erectus yang ditaksir menurut
ilmu biologi, batu yang membungkus tulang-tulang itu, sebab tulang itu pada suatu hari
mungkin terbenam, entah kena lahar, entah kena banjir, entah kena apa -, katakanlah dalam
lumpur. Lumpur ini makin lama makin keras, makin membatu, sehingga akhirnya tulang ini
terbungkus di dalam batu. Nah, ilmu biologi, ilmu batu, menentukan umur batu ini 550 ribu
tahun. Jadi lebih daripada setengah j uta tahun. Dus tulang yang di dalam batu ini asal dari
zaman paling sedikit setengah juta tahun yang lalu.
Saya tinggalkan pertikaian dalam hal ini, dan saya mulai dengan cerita bahwa pada satu
zaman manusia itu sudah sampai kepada tingkat berupa manusia. Bukan lagi pithecanthropus,
tetapi sudah anthropus yang penuh. Cuma hidupnya dalam gua. Itu fase pertama hidup dalam
gua, mencari penghidupan dengan memburu dan mencari ikan. Memburunya bukan dengan
senj ata Mauser atau Lee & Field. Tidak! Tetapi zaman dahulu dengan batu dan sepotong
kayu. Cara hidupnya ini adalah penting sekali. Alam pikiran manusia di segala zaman itu
dipengaruhi oleh cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum. Pegang ini, dan
jangan lupa akan stelling ini: cara manusia mencari makan dan minum, mencari hidup, mempertahankan hidup, memelihara hidupnya, ini adalah penting sekali. Ia mem-pengaruhi alam
pikirannya. Tingkat yang pertama ini adalah tingkat demikian. Hidup dalam gua-gua, di
bawah pohon-pohon, mencari makan dengan memburu dan mencari ikan.
Evolusi, pertumbuhan. Datanglah lambat laun tingkat yang kedua. Jangan kira, tingkat yang
kedua ini datangnya sekonyongkonyong. Tidak. Ini adalah satu pertumbuhan yang
evolusioner. Tingkat yang kedua ialah bahwa si manusia yang tadinya hidup dari pemburuan
dan mencari ikan, mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara. Tadinya ia memburu,
memburu kijang, sapi hutan, kambing hutan dan lain sebagainya. Lambat laun timbul
pengetahuan bahwa binatang-binatang itu bisa ditangkap, diikat, dikurung, anaknya
dipelihara, bisa ber-kembang biak. Tingkat yang kedua ialah tingkat cara hidup manusia
dengan terutama sekali, garis besarnya saja: grootste gemene deler dan kleinste gemene
veelvoud -, hidup dari peternakan, memelihara binatang.

Lambat laun, dengan pemeliharaan binatang ini, setelah ia meninggalkan adat kebiasaannya
memburu dan kemudian menjadi peternak, ia agak lebih terikat kepada tempat, kepada
ternaknya. Ia harus memberi makan kepada ternak itu. Bukan saja memberi makan kepada
diri sendiri yang berupa daging, tapi ia juga harus memberi makan kepada ternaknya. Lamalama ia tahu bahwa makanan vang ia perlukan sendiri dan yang ia berikan kepada binatang
itu, bisa pula dicocoktanamkan, bisa ditanam. Dulu, kalau ia perlu buah-buahan, ia pergi
ambil di hutan. Ketemu jagung di hutan, ambil jagung. Baginya biasa, tanaman begini ini
buahnya bisa dimakan. Berjumpa padi di rawa-rawa, tapi padi liar. Ia mengetahui, biasa
baginya, bahwa buahnya dapat dimakan dan dapat pula diberikan kepada ternaknya. tetapi
lambat-laun ia berpengalaman bahwa tanamanpun bisa ditanam. Tumbuh-tumbuhan yang
berupa jagung, padi, gandum, buah-buahan bisa ditanam.
Dan terutama sekali, saudara-saudara, ini adalah tingkat yang ketiga, cara hidup dari
pertanian terutama sekali. Di sini kita pantas memberi saluut kepada wanita. Wanitalah
makhluk pertama yang mengusahakan tanaman ini. Bukan karena menganggurnya, tetapi
merasa harus. Ia melihat bahwa biji jagung yang tidak termakan, tumbuh, dan ia melihat
kalau biji jagung ini ditanam lebih dalam, dan tanahnya dikorek-korek menjadi lebih subur
dan bisa berbuah. Demikian biji padi dan juga tanam-tanaman yang lain. Salah satu jasa
daripada wanita ialah: dialah yang pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Sebagaimana
juga sebenarnya wanita yang pertama kali mendapatkan ilmu menjahit, membikin pakaian.
Wanita yang di rumah, melihat anaknya kedinginan, ditutup badan anaknya itu dengan kulit
binatang. Lama-lama ia berpikir: kalau kulit binatang yang satu ini disambung dengan kulit
binatang yang lain, barangkali dengan tulang ikan yang tajam dan serat atau akar, dan
begitulah timbul ilmu menjahit oleh wanita. Susu ternak, darah, zaman dahulu itu orang
masih makan darah, harus dikumpulkan. Wanitalah yang pertama-tama menemukan tempat
untuk susu atau darah itu, dari buah labu yang tua dikorek-korek. Atau untuk tempat biji-biji
yang dikumpulkan dari hutan-hutan. Wanitalah yang pertama kali mempunyai begrip wadah.
Bahkan, karena barangkali tidak ada buah labu, wanita yang menggali tanah liat, dibentuknya
dengan cara yang amat premitif, akhirnya menjadi semacam periuk.
Wanita vang pertama kali membuat apa yang kita namakan rumah. Belurn rumah seperti
sekarang, meskipun rumah desapun. Sangat sederhana. Wanita yang ditinggalkan suaminya
ke hutan atau menggembala, tinggal dengan anaknya. Hujan. Kemudian timbul pikiran
menyusun daun-daun pisang atau lainnya untuk bernaung di bawahnya. Begrip pertama
daripada atap. Jadi wanita adalah makhluk yang pertama yang mendapat-kan apa yang dinamakan civilization, peradaban.
Wanita yang membuat periuk, wanita yang menjahit kulit, wanita yang menganyam serat
menjadi tenunan kasar. Wanita yang bercocok tanam mula-mula.
Ini tingkat yang ketiga, cocok tanam. Si laki lama-lama melihat bahwa jagung, padi bisa
ditanam. Lama-lama si laki pun meninggalkan cara hidup beternak, cape selalu mencari
tempat penggembalaan. Lantas ia menetap juga. Perkataan menetap. Dulu tatkala ia masih
hidup memburu, tidak menetap, selalu berpindahpindah, nomade. Tatkala ia beternakpun,
tingkat yang kedua, tidak menetap, berpindah-pindah, mencari makanan untuk ternaknya.
Nomade. Tetapi ketika pertanian diterima oleh wanita dan juga oleh lelaki, dus manusia cara
hidupnya terutama sekali dari pertanian, manusia lantas meninggalkan cara hidup nomadisch
menjadi orang-orang yang menetap. Tingkat keempat, juga saudara harus membayangkan
evolusi. Pertanian, lama-lama timbul pikiran: tanah ini kalau dicokel-cokel dengan suatu alat,
lebih subur. Lama-lama timbul pikiran akan semacam bajak. Timbul pikiran untuk

memotong. Timbul pikiran untuk membuat alat. Lama-lama timbul satu kelas: aku tidak ikut
bercocok tanam; aku membuat alat, aku membuat bajak, aku membuat cangkul, aku membuat
semacam linggis dari kayu. Timbul juga satu pikiran, bahwa untuk mengangkut barang dari
satu ke lain tempat harus ada alat yang bisa mengelinding. Lama-lama menjadi begrip
gerobak. Gerobak yang sederhana. Wanita yang bikin periuk, timbul pikiran: bikin periuk
saja, sehari-hari bikin periuk. Wanita yang bikin tenunan, timbul pikiran mengumpulkan
serat-serat untuk menenun. Lantas timbul satu kelas yang sehari-hari mengumpulkan seratserat untuk menenun. Kelas penenun. Demikianlah seterusnya timbul golongan-golongan
manusia yang cara hidupnya membuat alat yang kemudian ditukarkan kepada orang yang
bercocok tanam. Aku membuat periuk, aku perlu makan; ambillah periukku dan berilah aku
jagungmu atau gandummu, atau padimu. Begrip ruilhandel, tukar-menukar timbul.
Di dalam tingkat keempat ini, akhirnya tumbuh kelas yang terutama sekali hidup daripada
apa yang dinamakan nijverheid, kerajinan. Membuat alat, membuat gerobak, membuat pacul,
membuat bajak, membuat pedang dan lain-lain. Hidup hanya membuat alat, yang hasilnya
ditukarkan dengan hasil pertanian. Ruilhandel.
Evolusi lagi. Akhirnya meningkat menjadi zaman yang sekarang ini, yang dididik di dalam
alam yang dinamakan alam industrialisme. Pertumbuhan daripada nijverheid ini, membuat
produksi, lantas timbul cara mendidik orang lain dengan perburuhan, dengan terdapatnya
mesin uap dan lain-lain. Industrial-isme. Itu adalah sifat yang kita hidup sekarang ini atau kita
mengalami, melihat sekarang ini terutama sekali terjadi di dunia barat, di Amerika dan di
Eropa. Saya ulangi, dus manusia ini pertumbuhannya melalui lima tingkat, sesudah ia
berbentuk dan berupa manusia. Saya tidak bicarakan hal pithecanthropus. Memburu dan
mencari ikan, satu. Berternak, dua. Cocok tanam, tiga. Kerajinan, empat. Industrialisme,
lima.
Sekali lagi saya ulangi, ini adalah de grootste gemene deler dan de kleinste gemene veelvoud,
corak umum daripada masyarakat manusia. Tadi saya menandaskan kepada saudara-saudara,
cara hidup manusia mempengaruhi alam pikirannya. Juga mempengaruhi alam
persembahannya, kalau boleh saya pakai perkataan ini. Tatkala ia masih hidup di dalam
hutan, di dalam guagua, apa yang ia sembah? Pada waktu malam gelap gulita di dalam hutan,
ia hidup di dalam alam yang gelap, penuh dengan ketakutan. Ia melihat bulan dan bintangbintang. Ia sembah bulan dan bintang-bintang itu. Pada waktu hujan lebat, ia takut kepada
petir, laksana petir itu menyambarnya. Ia menyembah pada petir. Ia menyembah kepada
sungai, yang memberi ikan kepadanyaa la menyembah kepada pohon yang rindang yang ia
bisa bernaung di bawahnya. Ia menyembah kepada awan yang berarak. Ia menyembah
kepada matahari yang memberi cahaya cemerlang pada siang hari. Ia menyembah kepada
barang-barang yang demikian itu. Itulah Tuhannya pada waktu itu. Berupa gunung yang
mengeluarkan api, berupa bulan, berupa bintang, berupa matahari. Ia punya Tuhan. Saya
tidak mengatakan itu Tuhan yang tepat, tetapi ia punya Tuhan pada waktu itu. Dan ini zaman
tidak sebentar, lama sekali. Tuhannya yang berupa guntur dan petir, ia materialisir, ia
materikan. Ia mendengar guntur yang menggeludug. Apa itu? O, itu Thor, yang turun dari
satu mega ke lain mega. Tiap-tiap kaki mengenai satu mega, keluar suara. Kalau ia
mendengar guntur menggeledek itu: Thor sedang berjalan. Thor sedang naik kuda, yang
berlompat dari satu awan ke lain awan. la menyembah sungai yang memberi makan
kepadanya. Sebagai di alam India yang dahulu, orang masih mengagungkan sungai. Sungai
Gangga misalnya.

Sungai Gangga misalnya, bengawan Silugangga kata orang Jawa. Sungai Gangga itu asalnya
dari zaman baheula.
Yang menyembah sungai, menyembah petir, menyembah batu yang di dalam Bagawad Gita
diceriterakan, pada hakekat-nya yang harus kita kenal dan kita hormati bukan batunya itu,
tetapi dia punya jiwa yang menyembah. Di dalam Bagawad Gita Kresna berkata kepada
Arjuna: Kau kenal aku. Aku is Ik. Aku adalah hidup, aku adalah angin. Aku tiada mula tiada
akhir, aku adalah di dalam geloranya air samudra yang membanting di pantai. Itu juga
disembah.
Sang manusia zaman dulu, fase pertama itu, kalau samudra sedang menggelora, membanting
di pantai, menekukkan lutut-nya menyembah sebagaimana orang Jawa pantai selatan dulu,
kalau mendengarkan Iautan kidul sedang menggelora, berkata: lampor, lampor. Manusia Jawa
zaman dahulu, menyembah Iautan Selatan.
Saya kembali kepada Bagawad Gita, Bagawad Gita berkata: aku adalah di dalam geloranya
air laut yang membanting di pantai, aku adalah di dalam sepoinya angin yang sedang meniup.
Aku adalah di dalam batu yang engkau sembah. Aku ada di dalam awan yang berarak. Aku
ada di dalam api, aku di dalam panasnya api. Aku ada di dalam bulan, aku ada di dalam
sinarnya bulan. Aku di dalam senyumnya sang gadis yang cantik. Aku yang tiada mula tiada
akhir. Bagawad Gita menegaskan bahwa jiwa manusia sejak dari zaman dulu itu ada yang
disembah. Tapi yang disembah itulah yang berubah-ubah. Zat yang ia sembah, yang ia tidak
kenal, di dalam zaman fase pertama berupa pohon, berupa petir, berupa air laut, berupa
sungai sampai dimaterialisir, Thor, dewa daripada donder. Notabene, saudara-saudara, kita
punya perkataan guntur. Nama Guntur itu universil, saudara-saudara. Di daerah Skandinavia
dewa langit dinamakan Thor, Geluduk, guruh, petir itu, orang Skandinavia zaman dulu
mengatakan Kung Thor, King Thor, raja Thor. Perkataan Kung Thor itu sama dengan kita
punya perkataan guntur. Ini adalah oleh karena pada hakekatnya manusia di dunia itu adalah
satu, mandkind is one. Manusia itu satu sebetulnya. Yang berbeda-beda itu warna kulitnya.
The same under the skin kata orang Amerika. Di bawah kulit sama saja. Kalimat itu pernah
diucapkan pula, disitir oleh Presiden Eisenhouwer.
Fase pertama itu, Tuhan manusia. Saya ulangi, bukan Tuhan yang sebenarnya, yang tepat. Dia
punya begrip itu manusia mengira Tuhan guntur, Tuhan air sungai, Tuhan angin. Contoh dari
restan-restan kepercayaan ini tadi saya sebutkan. Di India orang masih menyembah sungai
Gangga. Di Jawa lampor. Zaman dulu orang Yogyakarta kalau ada angin dari selatan meniup:
lampor, lampor, lampor. Bahkan di kota Yogyakarta orang pasang lentera di luar rumah.
Fase kedua, manusia hidup dari peternakan. Pindah bentuknya ia punya Tuhan, terutama
sekali berupa binatang. Oleh karena binatanglah yang memberi susu, daging, kulit
kepadanya, oleh karena hidupnya sebagian besar tergantung kepada binatang. Ia punya Tuhan
lantas dirupakan binatang. Ia malahan mengatakan kepada orang yang masih menyembah
batu: masak batu disembah, pohon disembah, sungai disembah. Ini Tuhan yang betul, berupa
binatang. Bangsa Mesir zaman dulu menyembah binatang, sapi yang bernama Apis, atau
burung yang bernama Osiris. Bahkan di India sampai sekarang masih ada restan
penyembahan binatang. Di daerah yang masih memegang adat kuno, jika saudara mengganggu seekor sapi, saudara dibunuh. Sapi adalah binatang keramat. Begitu keramatnya
sampai tahi sapi dikeramatkan. Bukan saja sapi boleh masuk toko, masuk di mana-mana.
Orang India yang masih kolot, sakit misalnya, minta tahi sapi yang masih hangat dicampur
air, dan airnya dipercikkan kepada orang yang sakit. Wanita India yang masih kolot, tiap pagi

sebelum membuat api untuk membuat roti bakar, sekeliling dapurnya disiram dengan air tahi
sapi. Yah, oleh karena dia anggap ini keramat. Pagar menolak segala bahaya. Ini adalah restan
dari zaman manusia yang masih hidup terutama sekali di alam peternakan.
Tingkat ketiga, manusia hidup dari pertanian. Pindah, saudara-saudara, dia punya begrip
daripada Tuhan itu, kepada sesuatu zat yang menguasai pertanian. Timbul Dewi Laksmi,
timbul Dewi Sri, timbul Saripohaci di tanah Pasundan. Dewi-dewi yang memberkati
pertanian. Sebab pertanian adalah satu onzekere factor, tergantung dari iklim, tergantung
kepada kering atau hujan, tergantung dari banyak hal. Kalau orang tani sudah menanam
tanamannya, tidak lain ia lantas memohon. Ini adalah salah satu corak dari tiap bangsa
agraris. Tentu ia hidup di dalam alam kata kanlah keagamaan, ketuhanan, religieus, tiap-tiap
bangsa agraris, oleh karena segala sesuatu tergantung kepada onzekere factoren, yang
mengenai iklim. Sesudah ditanam padinya, kalau untung, bisa memiliki hasilnya. Kalau
kebanyakan hujan, mati tanamannya. Oleh karena itu ia memohon. Nah, Tuhannya itu lantas
dibentukkan sesuatu yang berhubungan dengan pertanian, Dewi Sri, Dewi Laksmi,
Saripohaci, godinnen van de landbouw. Malahan dibentukkan manusia. Tetapi di dalam alam
pertama, tidak selalu dibentuk-kan manusia, pohon ya pohon, kayu ya kayu yang disembah.
Sungai ya sungai yang disembah, belum dibentukkan manusia. Di dalam alam kedua,
peternakan juga belum dibentukkan manusia. Sapi ya sapi. Buaya ya buaya. Buaya disembah
di alam Mesir yang dulu. Coba lihat lukisan-lukisan Mesir dulu.
Pelanduk ya pelanduk, ular ya ular. Tetapi di dalam alam ketiga, bentuk Tuhan, yang
manusia sembah, dibentukkan manusia. Dalam ilmu pengetahuan dinamakan
anthropromorph. Anthropus adalah manusia, morph adalah bentuk. Berbentuk manusia.
Berbentuk Dewi Laksmi, manis. Coba lihat patung Sri, Dewi Laksmi, manis. Di dalam
pikiran, dewi-dewi ini, manis. Anthropromorph. Demikianlah perpindahan begrip manusia
daripada Tuhannya. Batu pindah kepada sapi, sapi pindah kepada anthropus, dewi.
Di dalam alam keempat, yang orang buat alat, siapa yang menjadi penentu daripada alam
pembuatan alam itu. Penentunya ialah terutama sekali akal. Akal, akallah yang melahirkan
sabit, bajak, jarum. Uitvindingen yang waktu itu masih sangat primitif, tapi toh uitvinding
daripada akal.
Tuhan manusia di dalam taraf keempat ini, adalah terutama bcrsarang di sini, di akal. Yang
tadinya berupa batu pindah berupa sapi, berupa dewi, di dalam alam keempat itu menjadi
gaib. Gaib artinya tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Tadinya masih bisa diraba, batu bisa
diraba, sungai bisa, sapi bisa. Dewi bisa diraba. Malahan di zaman Yunani, diadakan kontes,
tiap tahun, siapa yang dijadikan dewi. Dan si manusia itu yang disembah. Seorang gadis
cantik didewikan, diadakan satu pemilihan di kalangan alimulama zaman itu, ini dewi. Salah
satu contoh yang sampai sekarang masih ada yaitu patung Aphrodite buatan Praxiteles.
Praxiteles seorang pembuat patung yang pandai sekali, membuat patung wanita Aphrodite,
Dewi Asmara yang sampai sekarang kalau orang melihat patungnya itu, bukan main. Tetapi ia
membuat patung itu dari apa, modelnya apa, apakah ciptaan? Tidak. Betul-betulan. Pada satu
hari di tempatnya itu ada pemilihan dewi Asmara, seorang wanita yang cantik, dikeramatkan
menjadi dewi Asmara. Dan ahli seniman ini membuat patung, modelnya, dus, benar-benar
wanita itu, materi, zuiver mens, dan ia namakan patung ini Aphrodite.
Alam keempat gaib. Tuhan dimasukkan di dalam alam gaib. Tuhan di mana? Tidak kelihatan
tidak bisa mata melihatnya. Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib. Oleh karena akallah
menjadi penentu daripada hidup manusia.

Fase yang terakhir, industrialisme. Di situ malahan lebih daripada digaibkan. Karena di situ
manusia merasa dirinya atau sebagian daripada manusia merasa dirinya Tuhan. Di dalam
alam industrialisme itu apa yang tidak bisa dibikin oleh manusia. Mau petir, aku bisa bikin
petir. Aku, aku, aku bisa bikin petir. Menara yang tinggi, aku isi electrisiteit sekian milyun
volt, aku buka dia punya stroom, petir. Aku bisa membuat petir.
Mau apa? Mau suara dikirim ke Amerika? Aku bisa mem-buatnya. Mau hujan? Sekarang ada
pesawat-pesawat pembikin hujan. Mau outer space, keluar daripada alam ini? Aku bisa, aku
akan menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa! Tuhan, persetan, tidak ada Tuhan itu. Lucunya di
situ! Sebagian daripada manusia berkata: Tuhan, tidak ada. Saudara-saudara bisa mengikuti
analisa ini? Batu atau pohon, pindah binatang, pindah dewi atau dewa, pindah ada Tuhan
tetapi tidak bisa dilihat, gaib.
Nomor lima, sebagian daripada manusia, de heersers van de industrie, de geleerden, banyak
yang berkata: tidak ada Tuhan. Hilang sama sekali begrip itu.
Nah, ini bagaimana? Saya menyelami masyarakat Indonesia, dan pada garis besarnya,
grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud, saya melihat, bahwa bangsa Indonesia
percaya pada adanya satu zat yang baik, yaitu Tuhan. Ada juga orang yang tidak percaya
kepada Tuhan tetapi sebagai grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud, bangsa
Indonesia percaya kepada Tuhan. Dan tadi saya berkata het kan niet anders, oleh karena
masyarakat Indonesia pada dewasa ini sampai kepada penggalianpenggalian ke dalam,
terutama sekali masih hidup di dalam alam perpindahan keempat, tiga keempat, dan empat
kelima, sebagian besar masih agraris, dan tiap-tiap bangsa yang agraris, mempunyai
kepercayaan. Sebagian hidup di dalam alam kerajinan. Tadipun saya terangkan, rakyat yang
hidup di dalam alam nijverheid, pada garis besarnya percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan
yang gaib. Sebagian kecil yang telah hidup di dalam alam industrialisme itu. Tetapi itu bukan
lagi corak daripada keseluruhan tingkat masyarakat kita. Tingkat masyarakat kita pada saat
sekarang ini, terutama sekali ialah sebagian agraris, sebagian nijverheid, dan baru kita
melangkah sedikit ke alam industrialisme.
Mengingat ini semua, het kan niet anders of kita ini harus satu rakyat yang mempunyai
kepercayaan. Dus, kalau aku memakai Ketuhanan sebagai satu pengikat keseluruhan, tentu
bisa diterima. Sebaliknya kalau saya tidak memakai Ketuhanan ini sebagai satu alat pengikat
salah satu elemen, daripada meja statis dan Leitstar dinamis itu, maka saya akan
menghilangkan atau membuang satu elemen yang bindend, bahkan masuk betul-betul di
dalam jiwanya bangsa Indonesia. Kalau saudara tanya kepada saya persoonlijk, apakah Bung
Karno percaya kepada Tuhan. Ya, saya ini percaya dan tadi saya sudah berkata saya ini orang
Islam. Bahkan saya betul-betul percaya kepada agama Islam. Saya percaya dengan adanya
Tuhan. Lho la kok manusia itu dulu menyembah patung, sapi, dewa atau dewi, kemudian
gaib. Apa Tuhan itu berubahubah? Tidak! Bukan Tuhannya yang berubah-ubah. Zat ini tidak
berubah-ubah, tetapi yang berubah-ubah ialah begrip manusia. Begrip manusia itu yang
berubah-ubah, tergantung kepada fase hidupnya, cara hidupnya. Tuhannya tetap ada, cuma
dikira oleh manusia zaman itu, Tuhan itu beledek, atau air laut yang bergelora. Atau suara
burung di dalam malam gelap gelita, itu dikira suara Tuhan. Demikian pula orang di dalam
alam peternakan mengira bahwa Tuhan berupa sapi. Atau orang di dalam alam pertanian
mengira Tuhan berupa Dewi Sri. Di dalam alam nijverheid, orang memberikan mahligai
kepada akal, ya Tuhan ada, tetapi tidak bisa bilang, di mana. Dan orang yang sudah bisa
memecahkan atom, ada yang berkata: nonsens Tuhan, aku bisa membuat atom, aku bisa
menguasai langit. Pengiraan manusia yang berubah, Tuhannya tetap.

Aku pernah memberi satu gambaran seekor gajah di dalam kuliah saya di Candradimuka. Ada
lima orang, kelima-limanya buta dan belum pernah melihat gajah, karena butanya. Mereka
datang pada seseorang yang mempunyai gajah. He, kami lima orang kepingin tahu gajah.
Boleh. Gajahnya besar, dikeluarkan dari kandangnya. Nah ini gajah yang berdiri di muka
saudarasaudara. Coba saudara A, kalau mau tahu gajah, peganglah gajah itu. Si A maju ke
muka, dipegangnya dan mendapat belalai gajah. Ditanya oleh yang punya gajah: Bung,
bagaimana bentuk gajah? Jawabnya, gajah itu seperti ular. Padahal dia hanya mendapat
belalai. B maju ke muka dan ia meraba-raba mendapat kaki gajah. Gajah itu kok begini,
empuk, tetapi seperti pohon kelapa. C maju ke muka, orangnya tinggi, pegang-pegang, dapat
telinga gajah. Ya, gajah itu seperti daun keladi, pak. Keempat, seorang agak kerdil, pegangpegang, dapat ekor gajah. Seperti pecut, cemeti. Nomor lima yang paling kerdil, maju ke
muka, di bawahnya gajah. Tidak dapat pegang apa-apa. Mana gajahnya? Itu gajahnya, di atas
Bung itu gajah. O, gajah itu seperti hawa.
Begrip manusia kepada Tuhan juga demikian. Tadi seorang mengira gajah seperti belalai, satu
mengira tidak ada. Tetapi gajah, ada. Cuma begrip manusia yang berbeda-beda.
Nah, saudara-saudara, demikian pula kalau saudara tanya kepada saya, Tuhan bagi saya ada.
Malahan bagi saya Tuhan adalah suatu reeel iets. Di dalam tiap-tiap saya sembahyang, saya
bicara kepada Tuhan, dan saya sering minta apa-apa kepada Tuhan dan Tuhan kasih kepada
saya. Dan itu memperkuat kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu ada. Ini cerita persoonlijk:
saya sering mendapat peringatan dari Tuhan berupa impian. Kalau saya mimpi, dan mimpi itu
saya rasa, ini mimpi-mimpi betul, biasanya keesokan harinya terjadi. Bagi lain orang, lain,
barangkali terjadinya itu lain bulan dan sebagainya. Bagi saya, praktik saya, kalau saya sudah
mimpi dan saya merasa betul ini bukan impi-impian, kontan keesokan harinya terjadi. Hal-hal
yang semacam itu memberi keyakinan kepada saya bahwa Tuhan ada.
Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis besarnya, telah
saya gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah saya lihat dari sejarah
keagamaan, pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan
yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang
Maha Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini. Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin
bangsa Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini,
kita kehilangan salah satu Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini
bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama, untuk menjadi satu bangsa yang
mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. Bukan saja meja statis, tetapi juga
Leitstar dinamis menuntut kepada kita supaya elemen Ketuhanan ini dimasuk-kan. Dan itulah
sebabnya maka di dalam Pancasila elemen Ketuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan
tegas.

PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
III
Kursus Presiden Soekarno
Tentang Pancasila
di Istana Negara, Tanggal 5 Juli 1958.

Saudara-saudara sekalian, saya ikut bergembira bahwa Saudara-saudara meski malam ini
adalah malam Minggu dan di beberapa tempat di Jakarta hujan, Saudara-saudara toh memerlukan datang dalam kursus ini.
Malam ini hendak saya kupas sila Kebangsaan.
Urut-urutan yang biasa saya pakai untuk menyebut kelima sila daripada Pancasila itu ialah:
Ketuhanan Yang Maha Esa; Kebangsaan nomor dua; Perikemanusiaan nomor tiga;
Kedaulatan Rakyat nomor empat; Keadilan Sosial nomor lima. Ini sekadar urut-urutan
kebiasaan saya.
Ada kawan-kawan yang mengambil urut-urutan lain yaitu meletakkan sila Perikemanusiaan
sebagai sila yang kedua dan sila Kebangsaan sebagai sila ketiga. Bagi saya prinsipiil tidak
ada keberatan untuk mengambil urutan-urutan itu. Saya sendiri biasa menyebut sila
Kebangsaan itu sebagai sila yang kedua dan Perikemanusiaan sebagai sila yang ketiga.
Saudara-saudara, saya ulangi bahwa Pancasila adalah dasar negara. Hal ini saya tandaskan
oleh karena kadang-kadang justru mengenai Kebangsaan ada pihak-pihak yang berkata:
Kami tidak memerlukan paham atau pendirian kebangsaan. Misalnya di kalangan kaum
internasionalis Marxis, yang menurut anggapan saya; yang kurang mengerti betul tentang
Marxixme. Saya ulangi, di kalangan internasionalis Marxis yang menurut anggapan saya
kurang mengerti betul akan Marxisme, ada yang berkata: Kebangsaan atau paham
kebangsaan adalah salah, adalah bertentangan dengan internasional-isme, bertentangan
dengan idee persaudaraan umat manusia sedunia. Kebangsaan, paham kebangsaan adalah
satu paham yang salah, paham yang telah membangunkan pertentangan-pertentangan dalam
dunia umat manusia, paham yang kadang-kadang sampai menjadi sebab daripada
peperangan-peperangan. Demikianlah maka mereka yang belum dalam di dalam pengertian
tentang Marxisme itu ada yang menentang hal kebangsaan itu.
Ada pula golongan-golongan daripada pihak agama, misalnya, kadang-kadang dari pihak
agama ada orang-orang berkata: Agama tidak mau menerima paham kebangsaan. Apalagi
agama Islam, tidak mau menerima paham kebangsaan. Agama Islam hanya mengenal umat
manusia. Maka karena itu agama Islam menolak paham kebangsaan. Di dalam agama Islam,
siapapun, dari bangsa apapaun, asal dia taat taqwa kepada Tuhan, itulah kita punya saudara.
Meski kulitnya hitam, meski kulitnya putih, meski kulitnya kuning, meski kulitnya merahsawo, kami tidak membuat perbedaan antara bangsa dengan bangsa. Kami hanya membuat
perbedaan antara taqwa kepada Tuhan atau tidak taqwa kepada Tuhan.
Saudara-saudara, itulah sebabnya maka tadi saya dengan segera menandaskan kepada
Saudara-saudara bahwa Pancasila, dus kebangsaan, paham kebangsaan adalah dasar Negara.
Dus ada perbedaan yang tegas antara keperluan Negara sebagai Negara dan urusan
Agama.
Saya terangkan sebagai berikut: Saudara melihat di dalam jumlah umat manusia di dunia ini
yang jumlahnya 2.600 atau 2.700 juta manusia. Saudara melihat 2.600 atau 2.700 juta
manusia itu terbagi dalam golongan-golongan, golongan-golongan yang besar yang
berwarna-warna kulitnya. Ada golongan besar yang berkulit putih, ada golongan besar yang
berkulit hitam, ada golongan besar yang berkulit kuning, ada golongan besar yang berkulit

merahsawo dan lain sebagainya. Bahkan ada golongan-golongan yang lebih kecil yang
dinama-kan oleh kita suku-suku.
Ini adalah satu fact. satu kenyataan yang tidak bisa dibantah oleh siapapun juga. Di atas dasar
fact ini kita tidak boleh tidak harus mengakui adanya bangsa dan kebangsaan. Ditinjau dari
sudut apapun. Baik ditinjau dari sudut politik, maupun ditinjau dari sudut agama, fact ialah
bahwa umat manusia ini bergolong-golong dalam beberapa macam bangsa, bahkan
bergolong-golong dalam beberapa macam suku. Agama boleh, dan factnyapun begitu. Agama
bercita-citakan persaudaraan seluruh manusia, bercita-citakan persaudaraan antara si kulit
hitam dengan si kulit putih, dengan si kulit kuning, dengan si kulit merah-sawo. Demikian
pula persaudaraan antara golongan besar si kulit putih dengan golongan besar si kulit hitam
atau golongan besar si kulit kuning dan merah-sawo. Tetapi dalam pada itu agama itu juga
mengakui fact bahwa ada orang kulit hitam, bahwa ada orang kulit putih, bahwa ada orang
kulit kuning, bahwa ada orang kulit merah-sawo. Demikian pula agama tak dapat
memungkiri adanya fact golongan-golongan itu tadi.
Negara, Saudara-saudara, adalah lain urusan. Negara sebagai tempo hari saya terangkan:
Negara adalah satu machts-organisatie, satu organisasi kekuasaan; atau sebagai yang saya
sebutkan di dalam amanat saya kemarin dulu pada waktu PNI memperingati usia 3 1
tahunnya: Negara adalah satu alat, alat perjuangan. Alat atau alat perjuangan organisasi.
Machts-organisatie yang diorganisirkan di atas satu wilayah, yang di atas wilayah itu ada
manusiamanusianya.
Negara tidak bisa diorganisirkan di langit. Negara tidak bisa diorganisirkan tidak di atas satu
wilayah, tidak dengan manusiamanusia yang berdiam di atasnya. Karena itu bagi tiap-tiap
student, mahasiswa-mahasiswa dalam Ilmu Negara sudah bukan satu teka-teki lagi, bahwa
syarat mutlak daripada negara antara lain ialah wilayah, territoor yang tegas nyata batasbatasnya. Demikian pula syarat mutlak daripada negara antara lain adalah rakyat yang
berdiam di atas wilayah itu. Negara yang tidak mempunyai wilayah yang tegas batasbatasnya, pada hakekatnya bukan ncgara, meskipun di atas wilayahnya itu ada rakyat.
Misalnya di padang pasir, Saudara-saudara menemukan juga manusiamanusia, tetapi
manusia-manusia itu hidupnya nomadis, tidak tentu tempatnya. Daripada nomaden-nomaden
yang hidupnya tidak tentu tempatnya itu tak mungkin disusun satu Negara.
Karena itu ilmu kenegaraan, saya ulangi lagi: syarat mutlak pertama ialah territoor yang dapat
tegas digambarkan di atas peta. Nomor dua rakyat; bahkan jikalau hendak sempurna
rakyatnya itu harus satu bangsa, satu volk-nation. Ini dua syarat.
Syarat yang ketiga mutlak pula untuk bernama negara ialah pemerintah. Pemerintahan pusat,
satu pemerintahan yang ditaati oleh seluruh rakyat yang berdiam di atas territoor yang jelas
terbatas itu. Ini adalah tiga syarat mutlak daripada negara. Ditambah dalam ilmu negara
modern sebagai tempo hari pun diterangkan oleh Saudara Prof. Muhammad Yamin: negara
modern harus mempunyai syarat yang keempat pula, yaitu tujuan. Kita mempunyai Negara
memenuhi akan yang keempat ini, yaitu yang kita namakan Pancasila.
Tujuan kita ialah realisasi daripada Pancasila. Karena itu saya ulangi lagi berkata: Pancasila
adalah dasar Negara.
Agama boleh berkata tidak mengenal Kebangsaan. Tetapi negara, jikalau ia hendak sempurna
harus berdasarkan atas volknation sebagai tadi saya katakan. Demikian pula di dalam penger-

tian Marxisme. Memang tujuan daripada perjuangan sosialisme ialah kesejahteraan semua
manusia, persaudaraan sernua manusia atau dengan istilah tertentu dinamakan
internasionalisme. Tetapi justri Marxisme yang sejati, artinya Marxisme yang sebenarbenarnya, berdiri di atas analisa-analisa yang obyektif dan dalam analisa yang obyektif ini
Marxisme mengakui adanya bangsabangsa. Maka oleh karena itu di dalam realisasi daripada
masyarakat sosialis. sebagai yang di dalam zaman sekarang dijalankan oleh beberapa negara,
fakta adanya bangsa-bangsa initidak pernah dipungkiri bahkan diterima sebagai satu realiteit
objectief.
Saudara-saudara, saya ulangi, apalagi kita, yang kita ini mendirikan satu negara yang modern,
satu negara yang sempurna hendaknya sempurna -, bagi kita yang bercita-citakan negara
yang sempurna itu tidak boleh tidak kita harus mempergunakan sebagai dasar salah satu
daripada lima ini, yaitu Kebangsaan.
Terutama sekali bagi satu golongan manusia yang berabadabad mengalami persamaan
penderitaan dan pengalaman, bagi golongan manusia yang demikian itu, in casu yaitu rakyat
kita, rasa kebangsaan bukan lagi satu cita-cita, tetapi satu fakta obyektif.
Segerombolan manusia yang, bagi kita, jumlahnya 82 juta 85 juta, yang mengalami
penderitaan-penderitaan bersama, pengalaman-pengalaman bersama, gerombolan manusia
yang banyak ini laksana mempunyai jiwa yang sama. Jiwa yang sama itu antara lain berupa
rasa kebangsaan.
Saya sudah beberapa kali di dalam kuliah-kuliah atau ceramah-ceramah mensitir ucapan
Ernest Renan, mahaguru dari Universitas Sorbonne di Paris yang berkata, bahwa bangsa
adalah satu jiwa une nation est un ame. Artinya: bangsa adalah jiwa. Di lain tempat Renan
berkata: une nation est un grand solidarite, satu bangsa adatlah satu solidariteit yang besar.
Menurut teori Renan, bangsa atau kebangsaan tidak bergantung daripada persamaan bahasa.
Tidak usah sesuatu bangsa itu bahasanya satu.
Kalau bahasanya satu, lebih kuat rasa kebangsaannya. Tetapi bahasa satu itu bukan mutlak
bagi bangsa. Saya ulangi: kalau bahasanya satu lebih hebat rasa kebangsaannya, seperti kita
ini. Kita ini amat berbahagia bahwa kita itu mempunyai bahasa satu.
Di India sulit sekali hal bahasa ini. Sampai sekarang ada pertikaian hebat di kalangan
pemimpin-pemimpin India, apa yang harus dijadikan bahasa satu ini di India.
Shri Jawaharlal Nehru berkata: Marilah kita angkat bahasa Hindustani menjadi bahasa yang
satu ini. Tetapi banyak sekali daerah-daerah yang rakyatnya tidak paham bahasa Hindustani.
Ada lagi lain golongan yang berkata: Marilah kita angkat bahasa Urdu sebagai bahasa satu
daripada Negara India. Tetapi ditentang oleh banyak daerah-daerah yang tidak mengerti
bahasa Urdu, melainkan berbahasa Hindu. Urdu itu adalah satu modifikasi daripada bahasa
Arab. Soal bahasa satu ini demikian sulitnya di India. Saudara-saudara, sampai salah seorang
pemimpin besar India yaitu Raja Gopalachari, yang dahulu tatkala India menjadi dominion,
tahun 1947, India, Benua India pecah menjadi dua: India dan Pakistan.
Dua-duanya dominion status, dua-duanya dikepalai oleh Gubernur Jenderal. Gubernur
Jenderal yang pertama daripada India ialah Shri Raja Gopalachari. Dan dia memang seorang
pemimpin yang sudah tua, lama di dalam pergerakan kebangsaan, pengikut mati-matian dari
Mahatma Gandhi Raja Gopalachari sekarang ini sedang di dalam perjuangan hebat

berhadap-hadapan dengan Shri Jawaharlal Nehru tentang bahasa. Nehru menghendaki bahasa
Hindustani sebagai bahasa yang satu.
Raja Gopalachari berkata: Tidak mungkin, tidak mungkin Hindustani dijadikan bahasa satu,
tidak mungkin Urdu dijadikan bahasa yang satu bagi bangsa India. Raja Gopalachari
berkata: Satu-satunya bahasa yang bisa dipakai sebagai bahasa yang satu itu ialah bahasa
Inggris. Perjuangan ini adalah perjuangan hebat yang mulai pecah sejak tahun 1956 1957,
sekarang ini sedang berkobar dengan hebatnya. En toh, meskipun soal bahasa belum
terpecahkan, artinya orang India ada yang bicara Urdu, ada yang bicara Hindustani, ada yang
bicara Tamil, ada kaum intelligensia yang hanya memakai bahasa Inggris, en toh kebangsaan
India ada, ialah oleh karena itu tadi, une nation est un ame, bangsa adalah jiwa.
Atau ambil Swis. Swis adalah satu bangsa. bahasanya tiga kalau tidak empat. Ada satu
golongan Swis bicara Perancis, satu golongan lagi bicara Jcrman, satu golongan lagi bicara
Italia. Amerika yang terdiri daripada imigran-imigran tadinya, imigranimigran ada yang
berasal dari daerah Jerman, ada yang berasal dari daerah Inggris. ada yang berasal dari daerah
Italia, ada yang berasal dari daerah Perancis, ada yang berasal dari daerah Skandinavia.
Bahasa yang dipakai di Amerika, ya sebagian besar sudah lnggris, tetapi saya sendiri sering
berjumpa dengan orang Arnerika, waktu saya di Amerika, tidak bisa bicara Inggris. Masih
memakai bahasa asalnya dari Eropa. Jadi sudah nyata, bahwa natie, bangsa tidak tergantung
daripada persatuan bahasa. Demikian pula tidak tergantung daripada persatuan agama. Lihat
saja kita. Kita ada yang beragama Islam, ada yang beragama Kristen. Lihat di Mesir. Di
Mesir ada yang beragama Islam, ada yang beragama Kristen. Lihat di RRC, ada yang
beragama Islam, ada yang beragama Budha. Lihat di negeri lain-lain. Jadi menurut Ernest
Renan, mutlak bangsa tidak memerlukan persatuan bahasa, tidak memerlukan persatuan
agama, bahkan tidak memerlukan persatuan turunan. Contoh baik Amerika, kataku Amerika
itu terjadi daripada macam-macam imigran-imigran. Turunan daripada beberapa bangsa pergi
ke situ, tetapi menjadi satu bangsa. Dus bangsa adalah satu jiwa.
Apakah yang mengikat manusia itu menjadi satu jiwa? Kalau rnenurut Ernest Renan, yang
menjadi pengikat itu ialah kehendak untuk hidup bersama. Dalam bahasa Perancisnya: Le
desir d etre ensemble. Le desir yaitu kehendak, d etre ensemble, berkumpul. Le desir d etre
ensemble, artinya kehendak supaya berkumpul bersama, kehendak untuk hidup bersama. Jadi
gerombolan manusia meskipun agamanya berwarna macam-macam, meskipun bahasanya
bermacam-macam, meskipun asal turunannya bermacam-macam, asal gerombolan manusia
itu mempunyai kehendak untuk hidup bersama. itu adalah bangsa. Itu kata Ernest Renan.
Di dalam pidato-pidato, kuliah-kuliah saya mengenai hal natic, saya scring juga mensitir
seorang ahli ilmu lain, yaitu teoritikus marxis. Di dalam ilmunya, ia marxis, tetapi di dalam
sepak terjangnya ia adalah haluan kanan. Yaitu marxis dari Austria. Saya ceriterakan
menyimpang sedikit. Marxis Austria itu di dalarn istilah gerakan buruh di Eropa dikatakan:
kaum internasional dua setengah. Dahulu kaum buruh Eropa Barat tergabung di dalam
Internasionale 11. Mula-mula Internasionale I, yang dibangunkan oleh Marx, Engels dan
pemimpin-pemimpin tua. Internasionale I pada suatu ketika surut, bubar. Dibangunkan lagi
Internasionale baru, yaitu ikatan-ikatan daripada gerakangerakan kaum buruh daripada
beberapa negara. Ini dinamakan Internasionale 11. Kemudian sesudah di Sovyet Unie berdiri
Sovyet Unie, didirikanlah Internasionale III yang haluannya terkenal sebagai haluan
bolsjewik atau komunis. Kaum marxis Austria berdiri di tengah-tengah antara kaum sosialis
internasionale 11 dan kaum internasionale 111. Maka oleh karena itu dicemooh oleh kedua
pihak dan dikatakan: Kamu adalah kaum Internasionale dua setengah.

Pemimpin-pemimpin daripada kaum Internasionale dua setengah ini banyak yang teoritis.
Kupasan-kupasannya secara akademis mendalam, tetapi di dalam tindakan-tindakannya
sering sekarang di sini, sekarang di situ. Oleh karena itulah dia berdiri di tengah-tengah
Internasionale II dan Internasionale III. Pemimpinpemimpin mereka, theoretisi daripada
Internasionale dua setengah ini antara lain ialah Fritz Adler, antara lain pula Otto Bauer.
Adler terkenal dengan kupasannya tentang demokrasi, yang malahan sering saya tirukan
ucapan Adler ini: Demokrasi yang kita kejar janganlah hanya demokrasi politik saja, tetapi
kita harus mengejar pula demokrasi ekonomi. Dan Adler lah yang memberi istilah kepada
demokrasi politik ekonomi ini, yang saya pakai di dalarn kuliah saya di Yogyakarta di
hadapan para mahasiswa. yaitu sociale democratie. Dus Adler berkata sociale democratie
adalah politiek economische democratie, sama rata sama rasa di dalam lapangan politik dan
dalam lapangan ekonomi. Ucapan Adler yang sering saya sitir ialah bahwa demokrasi politik
saja tidaklah cukup. Men kan de honger van een bedelaar niet stillen door henl een grondwet
in de hand te stoppen. Orang tidak bisa menghilangkan rasa laparnya seorang pengemis
dengan hanya memberikan padanya Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar itu
adalah politieke democratie. Menurut UUD engkau sama dengan engkau. Menurut UUD
engkau sama-sama mempunyai hak memilih. Menurut UUD engkau sama-sama mempunyai
hak dipilih. Menurut UUD engkau boleh sama-sama mengeluarkan engkau punya pikiran.
Menurut UUD engkau boleh menjadi menteri, engkau boleh menjadi hakim, engkau boleh
menjadi apapun. Sama rata sama rasa menurut UUD.
Ini adalah demokrasi politik. Dalam kenyataannya, ondanks Undang-Undang Dasar ini, si
kaya tetap mengeksploitir si miskin. Dalam kenyataannya tidak ada demokrasi ekonomi,
tidak ada sama rasa sama rata di lapangan ekonomi. Karena itu Adler berkata: Men kan de
honger van een bedelaar niet stillen door hem een grondwet in de hand te stoppen. Orang
tidak bisa menghilangkan laparnya seorang pengemis dengan memberi Undang-Undang
Dasar di dalam tangannya. Maka ia berkata: harus ada demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi. Dan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi ini dicakup di dalam satu perkataan
sociale democratie. Perbedaan dengan arti sosial demokrasi yang tempo hari di dalam
kuliah di Yogyakarta saya terangkan, sosial demokrasi adalah satu aliran dalam sosialisme.
Sosialisme itu bermacam-macam corak: ada relegieus sosialisme, kataku, ada utopistis
sosialisme, ada bolsjewisme atau komunisme, ada sosial demokrasi.
Di kuliah saya di Yogyakarta sudah saya tegaskan. sosial demokrasi bcrpendapat bisa
menggugurkan kapitalisme dengan uithollingstactiek. Pihak kiri berkata: neen,
kapitalisme tidak bisa gugur dengan uithollingstactiek, tetapi harus digugurkan pada suatu
ketika dengan aksi, directe actie, greep naar de macht dari pada kaum buruh.
Ini menyimpang sebentar menceritakan hal Adler. Adler itu dalam teorinya baik, tetapi di
dalam aksinya selalu satu kali di sana, lain kali di situ, satu kali di sini lain kali di situ.
Lain teoretikus ialah Otto Bauer. Otto Bauer di dalam kupasannya terutama sekali mengenai
persoalan bangsa. Adler mengenai persoalan demokrasi. Otto Bauer, persoalan bangsa ia
kupas di dalam kitabnya yang termasyhur: Die Nationalitaten Frage und die sociale
Demokratie. Ia kupas apa yang dinamakan bangsa sebagaimana juga Ernest Renan mengupas
apa yang dinamakan bangsa itu. Bauer berkata, saya sitir dulu ucapannya: Eine Nation ist
eine aus schicksal Gemeinshaft erwachsene charakter Gemeinschaft. Bahasa Belandanya
dulu: wat is een natie? Een natie is een karakter-gemeenschap dat geboren is uit een natie?
Een natie is een karakter-gemeenschap dat geboren is uit een gemeenschap van lotgevallen.
Natie adalah satu karaktergemeenschap dat goberon is uit een gemeenschap van lotgevallen.

Eine aus Schicsal Gemeinschaft erwachsene charakter Gemeinschaft. Bahasa Indonesianya:


Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau
watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman. Een karakter-gemeenschap
sama karakternya, dat goberon is uit een gemeenschap van lotgevallen. Karaktergemeenschap geboren daripada Schicksal-Gemeinschaft, Schicksal itu artinya lotgeval,
nasib, pengalaman. Satu persatuan, persamaan watak atau karakter yang timbul, tumbuh,
terjadi daripada persatuan pengalaman, persatuan nasib. Ini definisi daripada Otto Bauer. Dus
sesuai dengan Ernest Renan. la membantah mutlak perlunya persatuan bahasa, membantah
mutlak perlunya persatuan agama, membantah mutlak perlunya pcrsatuan warna kulit,
membantah mutlak perlunya persatuan keturunan. Tidak, meskipun agamanya berlain-lainan,
meskipun warna kulitnya berlain-lainan, meskipun bahasanya berlain-lainan asal ia tadinya,
yaitu gerombolan manusia itu, mengalami bertahun-tahun, berpuluh-puluh, beratusratus
tahun rnungkin mengalami nasib yang sama, maka karena rnengalami nasib yang sama itu
akan tumbuh persatuan watak dan persatuan watak inilah yang menentukan sifat bangsa.
Memang sebagai yang saya sering sudah di dalam pidato-pidato saya katakan, bangsa itu
adalah satu individualiteit. Sebagaimana individu mempunyai karakter sendiri-sendiri. Bung
Akhmadi mempunyai karakter sendiri, Overste Pamu mempunyai karakter sendiri, Pak Ahem
Erningpradja mem-punyai karakter sendiri, Saudara Widarbo mempunyai karakter sendiri,
Rochmuljati mempunyai karakter sendiri, Saudara Gontha mempunyai karakter sendiri, tiaptiap manusia mem-punyai watak sendiri-sendiri. Demikian pula bangsa mem-punyai watak
sendirisendiri.
Tempo hari sudah saya katakan hal itu di dalam kursus saya, kalau tidak salah bangsa
Italia, karakternya artistik, corak jiwanya itu artistik. Bangsa India, karakternya, wataknya,
corak jiwanya religieus. Ini bangsa Italia dan India. Bangsa Inggris karakternya haus kepada
kekuasaan. Ya, power, power, bahkan ia mempunyai ik-heid selalu di atas. Orang Inggris
tidak mau menulis I (ik) dengan, leter i (kecil), tapi leter I (besar). Bangsa Perancis tenlpo
hari saya katakan karakternya suka pada pakaian ginding. Sampai kepada salam dan lain-lain
di sini, entah rapat apa tempo hari itu saya katakan kalau orang Inggris berkata, bertanya:
Hoe are you? Bagaimanakah engkau? Individualiteitmu? Orang Belanda berkata: Hoe
vaart u? Oleh karena karakternva suka belajar. Orang Perancis berkata. dalam bahasa
Pcrancis: Comment vous portcz vous? Bagaimana pakaian Tuan? Orang Tionghoa yang
selalu menderita bahaya kelaparan, zaman dulu selalu lapar saja, bertanya selalu: Ni
hau? Itu engkau bagaimana, selamatkah apa tidak engkau itu? Bangsa Indonesia yang selalu
hidup tidak ada komunikasi: Apa kabar bung? Tanya kabar!
Dus, saya ulangi lagi, bangsa adalah satu individualiteit. Mempunyai watak sendiri,
mempunyai karakter sendiri. Dan ini yang ditekankan oleh Otto Bauer. Charakter
Gemeinschaft, persarnaan watak itu yang menetapkan, menentukan corak bangsa. Itu yang
menentukan bangsa atau bukan bangsa.
Saya pernah memikirkan hal ini. Ya, sebagai salah satu usaha penggalian, penggalian mutiara
daripada bangsa Indonesia. Bukankah saya selalu berkata: Pancasila itu bukan bikinan saya.
Saya gali sudah bertahun-tahun, bahkan mulai tahun 1925, 1926 saya menggalinya. Saya
pikirkan, ini teori Renan, teori Otto Bauer, itu betul apa tidak. Dan saya sampai kepada
konklusi kurang lengkap! Renan berkata segerombolan manusia yang mempunyai keinginan
bersatu, hidup bersama itu bangsa. Tidak kena! Tidak lengkap. Bawa misalnya ke Indonesia.
Di Indonesia banyak itu gerombolan manusia, yang bukan main ia punya rasa ingin bersatu,
ingin bersama, tetapi bukan itu bangsa. Ambillah misalnya Saudara-saudara, dari

Minangkabau. Suku Minangkabau itu bukan main rasa bersatunya. Le desir detre ensemble
yang dimaksudkan oleh Ernest Renan keinginan, kehendak untuk bersatu bersama, sangat
kuat di alam Minangkabau. Tetapi rakyat Minangkabau bukan satu bangsa. Ambil lain
daerah. Misalnya daerah Solo sama Yogya. Itu masing-masing mempunyai rasa sendirisendiri. Tetapi saya tidak mau menerima rakyat Solo itu bangsa, rakyat Yogya itu bangsa.
Ambil Bugis, rakyat Bugis itupun keras ia punya le desir detre ensemble. Atau Minahasa,
keras ia punya le desir detre ensemble. Kawamia dengan kawanua. wah. kuat itu! Tetapi
sayapun tidak mau menerima bahwa rakyat Minahasa itu satu bangsa.
Demikian pula kalau saya rnembawa Otto Bauer yang berkata persatuan, persamaan watak
yang dilahirkan karena persamaan nasib. Persamaan watak. Ya Minangkabau wataknya sama,
bukan bangsa. Sunda keras persatuan wataknya, tetapi bukan bangsa. Bugis keras ia punya
persatuan watak, bukan bangsa. Alam kawanua-kawanua keras ia punya persatuan watak,
bukan bangsa. Apa, menurut pendapatan saya, yang dinamakan bangsa itu? Saya lantas
menjawab: baik saya menerima, Renan saya menerima, Otto Bauer saya terima. Tetapi saya
tambah dengan satu syarat! Bangsa adalah segerombolan manusia yang kalau mengambil
Renan keras ia punya le desir detre ensemble, kalau mengambil Otto Bauer keras ia
punya charakter Gemeinschaft, tetapi yang berdiam di atas satu wilayah geopolitik yang
nyata satu persatuan. Apa wilayah geopolitik yang nyata satu persatuan, satu kesatuan, itu
apa?
Nah, saudara-saudara, geo dari perkataan geografi, peta, gambarnya. Geopolitik ialah
hubungan antara letaknya tanah dan air, petanya itu, dengan rasa-rasa dan kehidupan politik.
Kalau Saudara melihat letaknya tanah dan air dari peta, Saudara-saudara sudah melihat
dengan gampang sekali kesatuankesatuan. Gampang sekali Saudara melihat unit-unit yaitu
kesatuan-kesatuan. Anak kecil bisa mengerti bahwa misalnya kepulauan Indonesia adalah
satu kesatuan, yang selalu dalam pidato-pidato saya katakan: Lihat kesatuan kepulauan
Indonesia, meskipun jumlahnya 3.000 yang didiami manusia, 10.000 kalau dihitung yang
tidak didiami manusia. Meskipun berjumlah beriburibu, tetapi tiap-tiap anak kecil mengerti,
ini adalah satu unit yang terletak antara dua sarnudera, dua benua!
Lihat kepulauan Jepang, tiap-tiap anak kecil bisa mengerti itu adalah satu unit. Lihat bumi
India. di utara gunung Himalava. scbelah barat dan timur lautan Hindia, ini adalah satu unit.
A1marhum Sarojini Naidu dengan perkataan yang indah berkata Sarojini Naidu pernimpin
wanita India, pemimpin bangsa, ia berkata: Pergilah, datanglah ke rumahku yang atapnya
terbuat dari salju, dan yang temboknya terbuat daripada samudera. Come to my home with a
roof made of snow and wall made of the mighty ocean. Seorang ahli syair yang katanya
atapnya, gunung Himalaya, terbuat dari salju, tembok-tembok, dinding-dindingnya terbuat
dari samudera. Tiap anak kecil bisa mengerti bahwa ini adalah satu unit.
Benua yang terletak di selatan dari gunung Himalaya dan kanan kirinya dekelilingi oleh
samudera Hindia ini. Dengan ini saya sebenarnya membantah bahwa India dan Pakistan itu
dua bangsa. Sebenarnya adalah satu bangsa. Kebetulan agamanya itu berbeda. Tetapi lantas
secara politis oleh Inggris diadakan partition, pembagian: negara Pakistan, negara India.
Tetapi ditinjau dari sudut kebangsaan, Pakistan dan India itu rakyatnya adalah satu bangsa.
Demikian pula anak kecil bisa melihat bahwa Italia itu adalah satu unit. Di utara gunung
Alpen, kanan kirinya lautan. Kepulauan Inggris satu unit, kepulauan yang terletak di sebelah
barat daripada benua Eropa. Dus, bagi saya bangsa adalah segerombolan manusia yang besar,
keras ia punya keinginan bersatu, le desir detre ensemble, keras ia punya charakter

Gemeinschaft, persamaan watak, tetapi yang hidup di atas satu wilayah yang nyata satu unit.
Kalau sekadar bagian daripada unit, bukan bangsa. Minangkabau bukan bangsa. Sunda bukan
bangsa. Solo bukan bangsa. Yogya bukan bangsa. Bugis bukan bangsa. Madura bukan
bangsa. Bali bukan bangsa. Lonlbok bukan bangsa.
Nah, saya tadi berkata bahwa negara jikalau didasarkan antara lain atas rasa kebangsaan,
negara demikian itulah kuat. Maka oleh karena itu kita dengan sengaja memasukkan sila
Kebangsaan di dalam Pancasila kita. meskipun dari sudut agama orang memungkiri hal
kebangsaan; meskipun daripada golongan Marais yang dangkal memungkiri kcbangsaan.
Tetapi jelas untuk ncgara yang kuat kita mesti mendasarkan negara itu atas kebangsaan.
Memang garis sejarah menuju ke situ.
Pernah saya ceritakan bahwa di abad ke-20 ini berisi satu historis-paradox. Paradox ialah halhal yang bertentangan satu sama lain. Historis-paradox ialah hal yang tampaknya bertentangan di dalam sejarah. Abad ke-20 berisi satu historis -paradox, kataku. Apa paradox di
abad ke-20? Paradox-nya ialah, di satu piliak abad ke-20 ini mendekatkan manusia dengan
manusia, dengan perlalulintasan kapal laut, kapal udara, telpon, telegram, radio dan lain-lain
sebagainya. Di satu pihak manusia sedunia ini oleh abad ke-20 itu laksana dikocok menjadi
satu famili besar. Di lain pihak, bangsa-bangsa atau umat-umat manusia ini malahan
memisahkan dirinya dalam gerombolan-gerombolan besar, gerombolan-gerombolan yang
mempunyai batas-batas tertentu dengan berdirinya negara-negara nasional. Rakyat Indonesia
menggabungkan dirinya dengan dalam satu negara nasional Indonesia. Rakyat Mesir
menggabungkan dirinya dalam satu gabungan Negara nasional Mesir. Rakyat RRC demikian,
rakyat Philipina demikian, rakyat Jepang demikian, rakyat India demikian. Dus, paradox ini
Saudara-saudara, di satu pihak menghilangkan batas, di lain pihak malahan membuat batas.
Tetapi membuat batas ini Saudara-saudara, adalah keharusan yang berdiri di atas fakta-fakta
obyektif. Apa sebab saya berkata ini keharusan. Keharusan yang ditentukan oleh susunan
masyarakat manusia sekarang, susunan caranya manusia sekarang memproduksi. Dulu tatkala
belum ada industrialisme, tatkala belum ada susunan ekonomi sebagai sekarang ini, masih
bisa manusia-manusia di dunia ini tidak tergabung di dalam negara-negara nasional. Dulu
malahan ada negara kecil-kecil, Saudara-saudara. Oleh karena ekonomi pada waktu itu. dan
politik adalah sekadar pencerminan daripada ekonomi; oleh karena ekonomi pada waktu itu
bisa berjalan dengan adanya negara-negara kecil. Saya punya contoh yang klasik ialah Jennan
abad ke-17, abad ke-18; ekonominya masih ekonomi yang belum industriil-ekonomi seperti
di dalam abad ke-19 dan ke-20.
Pada waktu itu Jerman penuh dengan negara-negara kecil. Saksen negara, Beieren negara,
Mecklenburg negara, negara kecil-kecil. Pruisen yang terbesar, tetapi masih kecil pula. Ada
negara Pruisen, ada negara Beiren, ada negara Saksen, ada negara Mecklenburg, ada negara
lain-lain. Kemudian datanglah pertumbuhan daripada ekonomisch-leven, yang hidup
ekonomi ini tidak bisa lagi subwdi atas dasar negara-negara yang kecil. Maka datanglah
proses pemersatuan daripada negara-negara kecil ini menjadi satu negara nasional.
Saudara-saudara lama-lama nanti juga mengerti bahwa misalnya perang adalah sekadar
akibat desakan-desakan politik dan ekonomi. Kaum militer apa lagi kalau berkata tentang
perang, tentu menyebutkan Clausewitz, yang berkata: Perang itu apa. Perang itu sebetulnya
adalah kelanjutan saja daripada diplomasi dengan cara lain. Tadinya diplomasi dengan lidah,
kemudian diplomasi dengan peluru. Itu perang.

Nah, Saudara-saudara tahu perang Jerman dengan Perancis (1870), itu apa sebabnya?
Sebabnya ialah desakan ekonomi, saingmenyaing meledak menjadi peperangan. Tetapi apa
akibat daripada peperangan ini? Desakan ekonomi di Jermania sendiri mengharuskan,
memerlukan, melahirkan, pernersatuan daripada negara-negara kecil ini. Tatkala pihak
Jerman memaksa pihak Perancis menandatangani peace treaty di Versailles, tatkala itu
malahan sama sekali kejadian menandatangani peace treaty dengan Perancis sesudah Perancis
kalah perang digabungkan dengan satu upacara besar terjadinya negara nasional Jermania.
Titel daripada kepala negara dijadikan Kaisar. Tadinya cuma: konig. Konig von Pruisen.
konig von Saksen. Tetapi digabung dengan negara-negara kecil ini menjadi satu negara besar
Jermania, dikepalai oleh Kaisar Wilhelm I. dengan ia punya Perdana Menteri Graaf Otto Von
Bismarck yang terkenal namanya. Ini adalah satu proses sejarah, Saudara-saudara. Proses
sejarah yang terutama sekali terdorong oleh keharusan-keharusan ekonomi, industrialisme
dan perdagangan.
Proses demikian ini pula terjadi di Italia; bahkan juga pertengahan abad ke-19, tatkala
kapitalisme di Italia mulai tumbuh, tatkala kapitalisme di Italia memerlukan bahan-bahan dari
seluruh semenanjung Italia daii bukan sekadar sesuatu negara kecil seperti Lombardia atau
Venetia, tetapi seluruh bahan-bahan Italia diperlukan. Pasarnyapun pasar dalarn negeri, tidak
bisa tahan lagi dengan adanya pagar-pagar, tetapi minta luas mengenai seluruh semenanjung.
Pada waktu itu proses terjadinya negara nasional Italia di bawah pimpinan Mazini, di bawah
pimpinan Garibaldi, dan di bawah pimpinan Cavour. Mazini dikatakan bapak Italia. Ya,
memang dia yang memberi ideologi kebangsaan, Garibaldi dikatakan bapak Italia. Ya
Garibaldi lah yang menjalankan politik pemersatuan ini dengan senjata. Cavour dinamakan
bapak Italia. Ya, dialah tatkala negara-negara ini sudah tergabung dalarn satu negara nasional
Italia, memegang tampuk pimpinan pemerintahan. Proses sejarah, proses pemersatu menjadi
negara nasional.
Kita, langsung terjun ke dalam fase ini. Proklamasi 17 Agustus 1945, langsung menuju
kepada negara nasional, tidak menuju kepada negara kecil-kecil, negara Jawa, negara
Sumatera, negara Sulawesi. Tidak. Langsung kepada negara nasional yang berwilayah dari
Sabang sampai ke Merauke. Oleh karena bukan saja secara ideologi kebangsaan, tetapi juga
secara ekonomis kita tidak bisa berdiri sendiri-sendiri sebagai yang beberapa kali saya
katakan. Lihat Jepang. Jepang itu juga dulu negara-negara kecil. Negara-negara kecil yang
dikepalai oleh daimijo-daimijo. Di Jernian dikepalai oleh Konig-konig. Tahun 1860 lebih
sedikit. Meiji Tenno bertindak, dan dia mempersatu-kan segcnap negara-negara kecil ini
menjadi satu negara nasional Jepang. Itu yang termasyhur sekali di zaman Meiji oleh karena
Meiji Tenno dialah yang mempersatukan negara-negara kecil ini daripada tanah air Jepang.
Saya pernah waktu saya di Kyoto masuk ke tempat balairung di mana Meiji Tenno berdiri
dan di situ dia menerima, menerima dari daimijo-daimijo ini negara-negaranya. Daimijo A
mempersembahkan negaranya kepada Tenno, daimijo B mempersembahkan negaranya,
daimijo C mempersembahkan negaranya, demikian seterusnya. Tidak ada daimijo-daimijo,
cuma ada satu Emperor, Tenno Heika yaitu Meiji, yang kemudian diikuti oleh kaisar-kaisar
yang lain. Ini sekadar satu upacara, Saudara-saudara. Tetapi apa yang menjadi pendorong
daripada hal ini. Tak lain tak bukan ialah lagi-lagi hal keharusan, keharusan terutama sekali di
lapangan ekonomi. Jadi, Saudara-saudara, kita melihat verschijnsel, phenomeen di dalam
abad ke-19, terjadinya beberapa negara nasional Jerman, Italia, Oostenrijk-Hongaria, dua
dijadikan satu pula. Di Timur kita melihat terjadinya Dai Nippon Tai Koku. Taikoku itu
empire.

Kemudian datanglah abad ke-20. Abad ke-20 yang berisi beberapa phenomeen. Phenomeen,
yaitu kejadian yang besar. Pertama, saya sudah pernah katakan dalam abad ke-20, salah satu
phenomeennya ialah jadi merdekanya bangsa-bangsa di Asia. Satu. Nomor dua timbulnya
negara-negara sosialis. Tempo hari pernah di dalam balairung ini saya katakan: 16 negara
sosialis terjadi di abad 20 ini dengan jumlah rakyat 1.300 juta kalau tidak salah, RRC 660.
kemudian Sovyet Unie 200 ditambah lagi dengan yang lain-lain. Perhitungan saya begitu,
entah. Tetapi sejumlah umat manusia tergabung dalam 16 negara sosialis. Abad ke-20 punya
phenomeen, terjadinya negara-negara merdeka di Asia. Phenomeen yang ke-2, Phenomeen
yang ke-3 ialah terjadinya atomic revolution, revolusi atom. Phenomeen yang ke-4. tetapi ini
adalah akibat daripada paradox historis yang tadi saya ceritakan. Di satu pihak umat manusia
oleh teknik yang maju sekali menjadi satu, di lain pihak dipisah-pisahkan menjadi bangsabangsa yang merdeka dengan pagar sendiri-sendiri.
Kita, Saudara-saudara, sebagai tadi saya katakan, kita langsung terjun di dalam phase negara
nasional ini. Maka oleh karena itu di dalam perdebatan saya dengan beberapa pihak, saya
berkata: Republik Indonesia bukan negara agama, tetapi adalah negara nasional, di dalarn
arti meliputi seluruh badannya natie Indonesia. Dan apa yang dinamakan natie? Sebagai tadi
saya katakan, ialah segerombolan manusia dengan jiwa le desir detre ensemble, dengan
jiwa, sifat, corak yang sama, hidup di atas satu wilayah yang nyata-nyata satu unit atau satu
kesatuan.
Inilah arti daripada negara nasional Indonesia. Maka oleh karena itu, Saudara-saudara, jikalau
kita menghendaki negara kita ini kuat, dan sudah barang tentu kita menghendaki negara kita
ini kuat, oleh karena kita memerlukan negara ini sebagai suatu alat perjuangan untuk
merealisasikan satu masyarakat adil dan makmur, kita harus dasarkan negara ini antara lain di
atas paham kebangsaan. Dan sebagai tadi saya katakan ini sebenar-nya adalah satu akibat
obyektif pula daripada keadaan, bukan saja sebagai phenomeen abad ke-20, tetapi oleh
karena kita beratus-ratus tahun mengalami penderitaan yang sama sesuai dengan yang
dikatakan oleh Otto Bauer: eine aus Schicsal Gemeinschaft erwachsene Charakter
Gemeinschaft. Mau tidak mau kita berasa satu dan mau tidak mau kita harus bersatu, oleh
karena sebagai tadi saya katakan, susunan ekonomi Indonesia, susunan saya tambah
sekarang pertahanan Indonesia dan lain-lain sebagainya mengharuskan kita bersatu. Maka
jikalau kita membantah anggapan, baik daripada pihak agama maupun dari pihak Marxis
yang dangkal bahwa kita harus berdiri di atas kebangsaan dan mereka berkata tidak, pada
hakekatnya ialah oleh karena ada salah paham tentang apa yang dinamakan kebangsaan.
Pihak agama kadang-kadang tidak bisa mengadakan batas yang tegas antara ini adalah
agama, ini adalah kenegaraan. Negara tidak boleh tidak harus mempunyai wilayah, agama
tidak. Adakah negara tanpa wilayah? Tidak ada!
Negara harus mempunyai wilayah. Syarat mutlak daripada negara yaitu territoor yang
terbatas. Dan agar supaya negara kuat maka wilayah itu harus satu unit. Dan bangsa yang
hidup di dalam satu unit itu akanlah menjadi bangsa yang kuat, jikalau ia mempunyai rasa
kebangsaan bukan bikin-bikinan, tetapi yang timbul daripada objectieve verhoudingen.
Agama tidak memerlukan territoor, agama cuma mengenai manusia. Tapi lihat, orang yang
beragamapun, aku beragama, engkau beragama, orang Kristen di Roma beragama, orang
Kristen di negeri Belanda beragama, orang Inggeris yang duduk di London beragama -,
pendeknya orang yang beragama yang dalam agarnanya tidak mengenal territoor, kalau ia
memindah-kan pikirannya kepada keperluan negara, ia tidak boleh tidak harus berdiri di atas

territoor, di atas wilayah. Tidak ada satu negara, meskipun negara itu dinamakan negara
Islam, tanpa territoor.
Pakistan yang menamakan dirinya Negara Islam, Republik Islam Pakistan, toh mengakui
territoor. Bahkan pendiri daripada Republik Pakistan, yaitu Mohammad Ali Jinnah, ia berkata
historis ucapannya ini -: We are a nation. Ini salah satu argumen daripada Mohammad Ali
Jinnah tatkala ia mendirikan Pakistan. Bukan saja ia berkata we are a religion, kita satu
agama, ia ber- kata we are a nation, kita satu bangsa.
Baca pidatonya tatkala ia mencapai umur 70 tahun. Dalam ia punya birthday speech tatkala ia
mencapai 70 tahun, ia berkata we are a nation. Nah kalau ia berkata we are a nation ialah
oleh karena ia berdiri di atas platform negara. Kalau ia berdiri di atas platform agama ia
barangkali berkata: kita tidak mengenal sesuatu warna kulit. kita tidak mengenal sesuatu
bangsa, kita cuma mengenal taqwa kepada Tuhan atau tidak taqwa kepada Tuhan.
Jadi, Saudara-saudara, saya ulangi, salah paham letaknya di situ. Tidak bisa membedakan
antara apa yang diartikan dengan agama, apa yang diartikan dengan negara. Itulah sebabnya
maka selalu hal ini menjadi persimpangsiuran di dalam pembicaraan-pembicaraan. Ditambah
juga dengan adanya keruncingan-keruncingan sebagai akibat daripada desakan-desakan
ekonomi yang bersifat chauvinisme. Misalnya saja rasa kebangsaan Jermanian dan rasa
kebangsaan Perancis di dalam masa perang, sudah mengatasi rasa yang normal, sudah
menjadi rasa benci-membenci satu sama lain, yaitu chauvinisme. Kita dari Republik
Indonesia dengan tegas menolak chauvinisme itu. Maka oleh karena itu di samping sila
Kebangsaan dengan lekas kita taruhkan sila Perikemanusiaan.
Memang, kebangsaan di dalam alam kapitalisme, Saudara-saudara, selalu menderita resiko
akan meruncing menjadi chauvinisme. Di dalam alam kapitalisme! Oleh karena itu kita pada
hakekatnya menentang kepada kapitalisme pula. Kapitalisme bersaing satu sama lain.
Kapitalisme Jerman, kapitalisme Jepang, ingin mengalahkan kapitalisme Perancis.
Kapitalisme Jerman ingin me-reh seluruh Eropa Barat.
Salah satu alat untuk bisa merealisasikan hal ini ialah meruncing-runcingkan rasa
kebangsaan, meluap-luapkan rasa kebangsaan, menjadi chauvinisme. Dan ini harus kita jaga,
jangan kita punya rasa kebangsaan meluap-luap menjadi rasa chauvinisme. Oleh karena itu
tadi saya katakan pula, adanya rasa kebangsaan meluap-luap menjadi rasa chauvinisme itu di
banyak hal ialah oleh karena desakan-desakan daripada kapitalisme.
Saya kira, Saudara-saudara, jikalau hal ini sudah jelas bagi kita, bahwa kita tidak bisa hidup
bernegara secara kuat dan sehat jikalau kita tidak dasarkan atas rasa kebangsaan, saya kira
maka sila yang kedua daripada Pancasila ini sudah bisa kita terima dcngan seyakin-yakinnya.
Kalau umpamanya sila Kebangsaan dibuang, umpama, apa yang menjadi pangikat rakyat
Indonesia yang 82 juta sekarang nantinya lebih. Apa? Ketuhanan Yang Maha esa? Ya, bisa!
Cita-cita untuk meng-adakan keadilan sosial? Ya, bisa! Tapi dalam realisasinya, Saudarasaudara, realisasi yang segi negatif menentang imperialisme, realisasi yang segi positif
menyelenggarakan masyarakat yang adil dan makmur itu, kalau tidak ada binding
kebangsaan itu, kita tidak akan bisa kuat. Menentang imperialisme sebagai segi negatif
penentangan ialah negatif-hanya bisa dengan cara yang kuat kalau segenap bangsa Indonesia
menentang, dengan rasa itu tadi: Kami ingin merdeka, kami adalah satu bangsa, kami adalah
satu rakyat yang menderita bersama-sama akibat daripada penjajahanmu. Jikalau rasa
kebangsaan ini tidak ada, barangkali kita belum bisa sampai sekarang ini mendirikan negara

yang merdeka. Barangkali paling-palingnya menjadi negara-negara yang kecil, kruimel


staten.
Dan negara-negara kecil tadi saya katakan tidak bisa berdiri, oleh karena kita ekonomis
membutuhkan satu sama lain. Jadi dari sudut perjuangan menentang imperialisme kita harus
mempergunakan kawat persatuan yang di dalam kursus saya yang pertama sudah saya kupas.
Kita tidak bisa menjalankan perjuangan anti imperialisme ini dengan hasil baik, jikalau kita
tidak menggabungkan, mempersatukan segenap tenaga marhaenis di seluruh Indonesia.
Marhaen di dalam arti kecil.
Tempo hari telah saya terangkan, jelas kita tidak bisa melalui jalan swadesi, kita tidak bisa
melalui jalan kekuatan daripada nationale bourgeoisie, tenaga yang bisa kita himpun, satusatunya tenaga ialah menggabungkan segenap tenaga orang-orang kecil Indonesia ini, baik
dari Sumatera, maupun dari Jawa, maupun dari Sulawesi, maupun dari pulau-pulau lain.
Kalau tidak ada paham atau rasa kebangsaan, bagaimana Saudara-saudara. kita bisa
menjalankan perjuangan ini. Maka oleh karena itu dari segi negatif harus paham kebangsaan
ini kita masukkan di dalam sila Pancasila. Dari sudut positif, kita tidak bisa mem-bangunkan
kultur kepribadian kita dengan sebaikbaiknya kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat.
Kita ingin menjadi satu bangsa yang hidup bersaudara dengan bangsa-bangsa yang lain yang
mempunyai kepribadian sendiri, yang mempunyai kultur setinggi-tingginya. Bagaimana kita
bisa realiseren kehendak ini kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat antara rakyat
Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke ini.
Maka oleh karena itu dengan keyakinan yang seteguh-teguhnya, kita memasukkan sila yang
kedua, Kebangsaan, di dalam rangkaian Pancasila.
Dan sebagai tadi saya katakan, dari sudut apapun, baik daripada sudut Marxisme yang tidak
dangkal maupun dari sudut historis, kebangsaan harus ada. Kita harus memupuk rasa itu
dengan cara yang sebaik-baiknya.
Tadi ada yang minta kepada saya supaya dijelaskan sedikit, bahwa negara adalah alat. Hal
apa negara itu, sudah saya terangkan kepada Saudara-saudara di dalam kursus yang pertama.
Kita menghendaki satu masyarakat adil dan makmur, masyarakat yang tidak ada hisapmenghisap satu sama lain. Itu adalah doel daripada pergerakan kita, daripada perjuangan kita.
Alat kita untuk merealisasikan hal ini ialah Negara.
Gambarkan begini, Saudara-saudara: Ini Negara. Di dalam Negara itu ada masyarakat. Ada
beberapa pihak yang berkata, biarlah negara ini overkoepeling saja, atap. Di bawah atap
inilah kita hendak merealisasikan masyarakat adil dan makmur. Pendapat yang demikian ini,
adalah sama salahnya dengan pendapat pihak Sosial Demokrat atau Demokratis Sosialisme
yang mau mengadakan satu masyarakat adil dan makmur, hilangnya kapitalisme, dengan cara
uithollings-politiek, yang sudah saya kuliahkan di Yogyakarta dengan panjang lebar.
Scbaliknya adalah pendirian lain, yaitu pendirian yang saya anut bahwa kita mempergunakan
negara ini sebagai satu alat untuk merubah susunan masyarakat, untuk merealisaikan satu
masyarakat yang adil dan makmur. Jadi gambar saya bukan begini: Ini negara overkoepeling,
lantas kita di sini itu dengan reform, artinya yaitu perubahan kecil-kecil, akhirnya mencapai
masyarakat adil dan makmur.

Tapi begini: Ini negara. Ini idee, idee masyarakat adil dan makmur. Ini gerakan rakyat, ini
perjuangan. Nah, negara kita gerakkan sebagai alat untuk merealisasikan apa yang hendak
dicapai oleh perjuangan itu. Apa yang hendak dicapai oleh perj uangan? Masyarakat yang
adil dan makmur!
Siapa membaca tulisan saya ini dari tahun 1933 yang kemarin dulu dan tadi dimuat lagi di
dalam, misalnya, surat kabar Sin Po. Bacalah tulisan saya dalam surat kabar Sin Po kemarin
dulu dan hari ini. Tulisan itu sudah 25 tahun umurnya, saya tulis dalam tahun 1933. Kita tidak
boleh hanya puas dengan reform saja. Reform, yaitu perubahan kecil-kecil. Sebagai tempo
hari di Yogyakarta saya katakan kaum Sosial Demokrat berkata, dengan reform sebanyakbanyaknya akhirnya kapitalisme itu uitgehold, digerogoti dan akhirnya gugur! Apa reform
itu? Yaitu perubahan kecil-kecil: Gaji dinaikkan, mencapai jam kerja kurang, mencapai
perbaikan dalam urusan perumahan, mencapai perbaikan dalam urusan onderwijs. Ini
semuanya reform.
Kaum Sosial Demokrat berkata, dengan mencapai reform-reform ini akhirnya lama-lama
kapitalisme itu uitgehold, tergerogoti, akhirnya gugur. Pikiran yang demikian itu adalah sama
salahnya dengan pikiran ini. Ini negara. Jangan negara ini diusikusik, jangan negara ini
dipakai sebagai alat, jangan, ini adalah satu hal keramat. Di bawah itulah kita harus
menjalankan perbaikanperbaikan sehingga akhirnya tercapai satu masyarakat yang adil dan
makmur. Salah!
Mestinya begini: Ini negara, alat perjuangan kita. Dulu alat perjuangan kita ialah partai,
protest meetingen, staking dan lainlain. Itu alat perjuangan kita zaman dulu tatkala kita belum
mempunyai negara. Sekarang alat perjuangan kita meningkat satu tingkat lagi, yaitu negara.
Negara adalah satu machts-organisatie, negara adalah satu alat. Nah, alat ini kita gerakkan.
Ke luar, untuk menentang musuh yang hendak menyerang kita, menentang intervensi,
menentang peperangan, menentang apa saja dari luar. Ke dalam, negara ini kita juga pakai
untuk memberantas segala penyakit-penyakit di dalam pagar, tapi juga untuk merealisasikan
cita-cita kita akan masyarakat adil dan makmur.
Dus, duduknya begini: Ini idee, kataku. Idee, cita-cita kita, idee yang terselenggara di dalam
masyarakat. Mari kita gerakkan sekarang uegara ini sebagai alat agar supaya kita bisa
mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Itulah keterangan yang saya berikan sebagai tambahan kepada kursus saya ini malam, atas
pertanyaan seorang Saudara yang minta dijelaskan sedikit mengenai perkataan bahwa negara
adalah satu alat, alat perjuangan. Jikalau diperlukan nanti saya bersedia, Insya Allah untuk
spesial mengupas hal ini di dalam satu kursus yang lengkap.

Sekian.

PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
IV
Kursus Presiden Soekarno
Tentang Pancasila
di Istana Negara, Tanggal 22 Juli 1958.

Saudara-saudara sekalian, ini malam hendak saya kupas Insya Allah di hadapan Saudarasaudara Sila Perikemanusiaan sebagai salah satu sila yang tidak boleh dipisahkan daripada
sila yang lain-lain. Sebagaimana yang telah berulang-ulang saya katakan, maka Pancasila
kelima-lima silanya adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisah-pisahkan satu sarna lain atau
diambil sekadar sebagian daripadanya.
Saudara-saudara, lihatlah lambang Negara kita di belakang ini. Alangkah megahnya,
alangkah hebat dan cantiknya. Burung Elang Rajawali, garuda yang sayap kanan dan sayap
kirinya berelar 17 buah, dengan ekor yang berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang
berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila. Yang di bawahnya tertulis
slogan buatan Empu Tantular Bhinneka Tunggal Tka, Bhina Ika Tunggal Ika, berjenisjenis
tetapi tunggal.
Pancasila yang tergambar dengan di pusat bintang cemer-lang atas dasar hitam, sinar
cermerlang abadi daripada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pohon beringin lambang Kebangsaan.
Rantai yang terdiri daripada gelang-gelangan persegi dan bundar, persegi dan bundar yang
bersambung satu sama lain dalam sambungan yang tiada putusnya, Peri-kemanusiaan.
Banteng Indonesia lambang Kedaulatan Rakyat. Kapas dan padi lambang kecukupan sandang
pangan, Keadilan Sosial.
Lihatlah sekali lagi, aku berkata indahnya lambang Negara ini, yang menurut pendapat saya
lambang Negara Republik Indonesia ini adalah lambang yang terindah dan terhebat daripada
seluruh lambang-lambang Negara di muka bumi ini. Saya telah melihat dan mempelajari
lambang-lambang negara yang lain-lain, tapi tidak ada satu yang sehebat, seindah,
scharmonis seperti lambang Negara Republik Indonesia. Lambang yang telah dicintai oleh
rakyat kita sehingga jikalau kita masuk ke desa-desa sampai ke pelosok-pelosok yang paling
jauh dari dunia ramai, lambang ini sering dicoretkan orang di gardu-gardu, di temboktembok, di gerbang-gerbang, yang orang dirikan, jikalau hendak menyatakan sesuatu ucapan
selamat datang kepada seseorang tamu.
Lambang yang dernikian telah terpaku di dalam kalbunya rakyat Indonesia, sehingga
lambang ini telah menjadi darah daging rakyat Indonesia dalam kecintaannya kepada
Republik, sehingga bencana batin akan amat besarlah jikalau dasar negara kita itu diubah
jikalau Dasar Negara itu tidak ditetapkan dan dilanggengkan: Pancasila. Sebab, lambang
negara sekarang yang telah dicintai oleh rakyat Indonesia sampai ke pelosok-pelosok desa itu

adalah lambang yang bersendikan kepada Pancasila. Sesuatu perubahan daripada Dasar
Negara membawa perubahan daripada lambang negara.
Saya mengetahui bahwa jikalau lambang negara ini diubah, sebagian terbesar daripada rakyat
Indonesia akan menolaknya. Cinta rakyat Indonesia kepada lambang ini telah terpaku
sedalamdalamnya di dalam jiwanya, berarti cinta sebagian terbesar daripada rakyat Indonesia
kepada Pancasila.
Ini malam saya hendak menguraikan kepada Saudara-saudara akan sila Perikemanusiaan.
Lihatlah betapa dalamnya cara kita menggambarkan sila Perikemanusiaan itu di atas perisai
yang dikalungkan kepada lehernya Garuda Indonesia. Rantai yang pergelang-gelangannya
tiada putus-putusnya, persegi bundar, persegi bundar, persegi bundar terus tiada putusputusnya, sebagai lambang daripada tiada putus-putusnya perhubungan antara laki dan
perempuan. Persegi lambang wanita, bundar lambang pria. Wanita pria, wanita pria, tiada
putus-putusnya, de onverbreekbare keten der mensheib, rantai yang tiada terputus-putus
daripada kemanusiaan dan perikemanusiaan. Bahkan sudah pernah saya uraikan di hadapan
khalayak ramai bahwa bendera kitapun merah putih sebenarnya melukiskan pula hal
terjadinya manusia itu, wanita dan laki-laki. Merah Putih dasar bendera kita bukan saja
sekadar merah lambang keberanian, putih kesucian. Bukan pula pengertian yang kita miliki
beribu-ribu tahun yang lalu tatkala kita masih mengagungkan matahari dan bulan, surya dan
candera yang pada waktu itu kita kira bahwa matahari adalah sumber sekalian hal, demikian
pula isteri matahari juga sumber sekalian hal, sehingga termasuk di dalam pengagungan kita
kepada matahari dan bulan itu yang matahari kita lambangkan dengan warna merah, bulan
kita lambangkan dengan warna putih, sehingga sejak daripada zaman dahulu kita telah
memuliakan warna merah dan putih, meskipun belum berbentuk bendera, tetapi telah dalam
ingatan kita, perlambangan kita, merah putih surya dan candera asal daripada sekalian alam.
Demikianlah pengertian kita beribu-ribu tahun yang lalu. Bukan sekadar itu Saudara-saudara,
demikian saya katakan di muka umum beberapa kali, bukan hanya surya dan candera, bukan
hanya merah adalah keberanian, putih adalah kesucian, tetapi merah putih adalah pula
lambang terjadinya manusia. Maaf, jikalau boleh saya katakan: merah lambang wanita, putih
lambang pria.
Sekali lagi saya mengundang Saudara-saudara melihat akan indahnya perlambangan kita
daripada sila Perikemanusiaan di atas perisai itu. Laki perempuan, laki perempuan, dalam
satu rantai yang tidak putus-putus. Tetapi ini rantai Saudara-saudara, persegi bundar, persegi
bundar, yang tiada putusnya bukan pula hanya melambangkan, melukiskan tiada putusnya
hubungan laki-laki dan perempuan, dus tiada putus-putusnya rantai kemanusiaan; manusia
beranak, anak beranak lagi, sang anak ini beranak lagi, sang anak ini beranak lagi atau kalau
dikembalikan saudarasaudara sampai jutaan tahun yang lalu, keten inipun tidak terputusputus. Orang beranak kemudian bercucu, kemudian berbuyut, kemudian bercanggah,
kernudian berwareng, kemudian bergantung siwur, kemudian berudeg-udeg, tiada putusnya,
ini keten ini rantai. Bukan sekadar demikian, tetapi rantai yang kita lukiskan di atas perisai
sang Garuda Indonesia ini juga melukiskan hubungan antara bangsa dengan bangsa.
Kita maksudkan bahwa kita daripada Republik Indonesia merasakan bahwa kita ini bukanlah
satu bangsa yang berdiri sendiri, tetapi adalah satu bangsa dalam keluarga bangsa-bangsa.
Bahwa memang umat manusia sekarang ini yang terdiri daripada pelbagai bangsa-bangsa
pada hakekatnyapun adalah satu rantai yang tiada terputus-putusnya. Terutama sekali di
dalam abad keduapuluh ini tak dapat kita membayangkan adanya sesuatu bangsa yang dapat

hidup dengan tiada hubungan dengan bangsabangsa yang lain. Tak dapat kita bayangkan
mungkin hidupnya suatu bangsa yang sama sekali terasing daripada bangsa-bangsa lain.
Saudara-saudara, saya tadi berkata keadaan di dalam abad keduapuluh adalah demikian.
Demikian pula di dalam beberapa abad yang terdahulu, apalagi di dalam abad-abad yang
akan datang. Tiada manusia dapat berdiri sendiri, manusia adalah satu makhluk masyarakat,
manusia adalah suatu homo socius. Demikian pula bangsa tak dapat hidup sendiri, bangsa
hanyalah dapat hidup di dalam masyarakat umat manusia, di dalam masyarakatnya bangsabangsa.
Pada mulanya memang tidak ada yang dinamakan bangsa itu, Saudara-saudara. Bangsa
adalah hasil daripada satu pertumbuhan. Zaman dahulu, dahulu sekali tidak ada bangsa, tidak
ada yang dinamakan bangsa Indonesia, tidak ada yang dinamakan bangsa Jerman, tidak ada
yang dinamakan bangsa Jepang, tidak ada yang dinamakan bangsa Inggris. tidak ada yang
dinamakan bangsa Perancis, tidak ada yang dinamakan bangsa Amerika dan demikian
seterusnya. Bahkan di dalam kursus saya yang lalu, saya telah uraikan kepada Saudarasaudara bahwa misalnya bangsa Amerika itulah baru berdiri beberapa abad saja yang dahulu
tiada ada bangsa Amerika itu, yang dahulu benua Amerika itu didiami oleh suku-suku yang
sekarang dinamakan suku Indian; ada suku Sioux, ada suku Apache. Macam-maeam suku
Indian yang belum berbentuk bangsa. Tetapi kemudian Amerika diserbu dimasuki oleh
emigran-emigran dari Eropa, emigran-emigran dari Jerman, emigran-emigran dari Hongaria,
emigran-emigran dari Italia, dari Norwegia, dari Irlandia dan lain-lain negeri. Kemudian
emigranemigran ini menjadi satu konglomerat, percampuran manusiamanusia, yang
dinamakan bangsa Amerika. Meskipun sebagai yang saya uraikan di dalam kursus saya yang
lalu, bahasanyapun sampai kepada saat sekarang ini belum benar-benar terkonglomeratkan
menjadi satu bahasa Inggris. Tempo hari saya ceritakan kepada Saudara-saudara bahwa di
Amerika masih ada orangorang yang tak dapat berbahasa Inggris, melainkan masih memakai
bahasa aslinya, Jerman, Italia, Hongaria dan lain-lain. Dus, Saudara-saudara melihat bahwa
begrip, paham bangsa adalah hasil daripada satu pertumbuhan. Apa maksud saya
menguraikan hal ini? Maksud saya menguraikan hal ini ialah untuk menerangkan kepada
saudara-saudara bahwa walaupun ada satu rantai yang tak putus-putus antara laki perempuan,
laki perempuan, walaupun ada satu rantai yang tak terputus dalam hal kemanusiaan, dalam
hal de wording van de mens, bangsa-bangsa adalah hasil daripada pertumbuhan kemudian.
Labih dulu saya mau menerangkan kepada Saudara-saudara bahwa dengan sengaja kita selalu
memakai perkataan kemanusiaan dan perikemanusiaan. Kemanusiaan adalah alam manusia
ini, de mensheid. Perikemanusiaan adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia
dengan lain manusia adalah hubungannya, jiwa yang hendak mengangkat membedakan jiwa
manusia itu lebih tinggi daripada jiwa binatang.
Kalau saya memakai perkataan asing, kemanusiaan adalah mensheid, perikemanusiaan
adalah menselijkheid. Kemanusia-an adalah alam manusia, sehingga kita boleh berkata dunia
ini berkemanusiaan 2700 juta jiwa, perikemanusiaan adalah lain. Jikalau kita berbuat sesuatu
yang rendah yang membikin celaka kepada manusia lain, kita berkata kita melanggar perikemanusiaan, kita melanggar hukum menselijkheid.
Saudara-saudara, mensheid, kemanusiaan itu memang dari dulu ada. Rasa perikemanusiaan
adalah hasil daripada pertumbuhan rohani, hasil daripada pertumbuhan kebudayaan, hasil
daripada pertumbuhan dari alam tingkat rendah ke taraf yang lebih tinggi. Perikemanusiaan
adalah hasil daripada evolusi di dalam kalbunya manusia. Kemanusiaan ada sejak zaman

dulu. Zaman dulu sekali Peri-kemanusiaan belum seperti yang kita kenal sekarang, bahkan
tadi saya berkata perikemanusiaan hasil daripada evolusi. Dulu manusia hidup dalam alam
yang masih tingkat rendah, juga bukan saja tingkat rendah materiilnya tapi juga tingkat
rendah batinnya. Bahkan di dalam pertumbuhan rasa perikemanusiaan itu adalah sebagai tiaptiap pertumbuhan apa yang dinamakan pada sesuatu saat ini adalah sesuai dengan perikemanusiaan, di lain waktu sudah tidak dikatakan lagi ini adalah sesuai dengan
perikemanusiaan. Apa yang pada satu saat dikatakan baik, di lain waktu dikatakan jahat. Apa
yang pada sesuatu saat dikatakan jahat mungkin di lain waktu dikatakan baik. Rasa ini
mengalami evolusi. Perikemanusiaan mengalami evolusi, tapi kemanusiaan sejak zaman dulu
ada. Jumlahnya kemanusiaan itu sudah barang tentu dulu jauh lebih kecil daripada sekarang.
Sekarang kemanusiaan berjumlah 2.700 juta manusia. Dahulu kalau mengambil daripada
pendirian beberapa orang agama yang kolot. dikatakan berasal dari dua manusia: Adam dan
Hawa. Adam dan I Iawa ini lantas mulai de onverbreekbare keten der mensheid itu tadi, laki
perempuan, laki perempuan, laki perempuan, makin lama jumlahnya makin banyak. Tapi
meskipun tidak mengambil pandangan daripada pendapat beberapa orang agama yang kolot,
melainkan mengambil pandangan daripada pendapat ilmu pengetahuan, kemanusiaan pada
mulanya berjumlah kecil, tidak sekonyong-konyong dunia ini didiami oleh 2.700 juta
manusia. Mula-mula jumlah yang kecil sekali. Jikalau kita mengambil teori evolusi, saya
tidak akan kupas lebih dalam artinya tidak saya ketengahkan, benar atau tidaknya teori
evolusi ini, bahwa manusia adalah hasil daripada pertumbuhan makhluk yang mula-mula
eencellige wezens, makhluk-makhluk yang hanya terdiri daripada sel-sel tunggal. Kemudian
evolusi menjadi binatang; evolusi lagi menjadi semacam kera; evolusi lagi menjadi
manusiasebagai yang kita kenal manusia sekarang ini, yang ilmu ini sebagai tiap-tiap ilmu
pengetahuan tentu sedapat mungkin mengeluarkan buktibukti penyokong pendapatnya, buktibukti yang berupa fosil-fosil. Fosil yaitu entah tanaman, entah binatang, entah tulang yang
telah menjadi batu. Bukti-bukti fosil-fosil yang membuktikan: lihat iizi bukan kera, tetapi
inipin belum manusia sempurna; dus ini fosil menunjukkan satu langkah antara kera dan
manusia sempurna yang kita kenal sekarang ini. Misalnya kalau mengenai tanah air kita fosil
yang tempo hari diketemukan oleh Prof Du Bois di desa Trinil dekat Ngawi sebelah utara dari
Madiun, di lembahnya Bengawan Solo, fosil yang dengan tegas menunjukkan makhluk ini
setengah kera setengah manusia dan ia sudah berdiri, melihat susunan tulangnya, sehingga
oleh Du Bois disebutkan makhluk ini adalah tempo hari sudah saya sebutkan
Pithecanthropus erectus. Pithecus = kera; anthropus = manusia. Pithecanthropus = kera
manusia atau manusia kera, tetapi ia sudah erectus, sudah berdiri tegak. Pithecanthropus
erectus ini terdapat di dalam zat geologis yang ditaksir umurnya 1 /2 juta tahun. Dus oleh
karena fosil ini terdapat di dalam zat geologis, material geologis yang menurut ilmu geologi
ilmu batu, usianya ditentukan 1 /2 juta tahun. Du Bois mengambil konklusi, pithecanthropus
erectus hidupnya 1/2 juta tahun yang lalu. Mula-mula barangkali pithecanthropus erectus itu
mati terbenam di dalam lumpurnya Bengawan Solo. Sang lumpur ini makin lama makin keras
makin lama makin membeku, akhirnya menjadi batu. Nah, batu ini oleh ilmu geologi
ditetapkan umurnya 1 /2 juta tahun. Dus makhluk pithecanthropus erectus ini hidupnya 1/2
juta tahun yang lalu.
Saya ulangi: kemanusiaan, baik ditinjau dari sudut agama yang berkata atau sudut beberapa
orang agama yang berkata, bahwa kemanusiaan berasal daripada dua manusia Adam dan
Hawa yang beranak bercucu berbuyut seterusnya, maupun ditinjau dari sudut ilmu
pengetahuan, pada mulanya kemanusiaan ini berjumlah kecil.

Dan memang demikian, berjumlah kecil, hidupnya belum berhukum, belum beraturan. Hal
ini sudah saya terangkan kepada Saudara-saudara tatkala saya menggambarkan pertumbuhan
daripada cara manusia mencari makan, yang berhubungan dengan itu pertumbuhan daripada
ia punya cara berpikir dan cara percaya. Fase pertama hidup daripada memburu, mencari ikan
hidup dalam goa. Fase kedua dari peternakan. Fase ketiga daripada pertanian. Fase keempat
daripada kerajinan tangan. Fase kelima daripada industrialisme yang pertumbuhan alam
pikirannya adalah sesuai dengan itu. Fase pertama menyembah bulan, angin, batu, sungai.
Fase kedua menyembah binatang. Fase ketiga menyembah dewidewi yang membawa hasil
pertanian: Dewi Sri, Saripohaci dan lain-lain. Fase keempat Tuhannya telah digaibkan. Akal
yang membuat adat-adat daripada kerajinan itu, akal itu berkata: Tuhan gaib, oleh karena akal
adalah gaib, tidak bisa dipegang, tidak bisa dilihat. Akhirnya di dalam alam industrialisme
ada orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan, meniadakan adanya Tuhan. Ini sudah saya
terangkan kepada Saudara-saudara.
Tetapi ditinjau daripada sudut hidup bebrayan, hidup socius, hidup berkemanusiaan di dalam
masyarakat, ada juga pertumbuhan-pertumbuhan. Dahulu, saya tadi berkata: jumlah kecil,
zonder hukum, seperti binatang liar yaitu zaman goa, zaman hidup di pohon-pohon. Bahkan
rantai laki perempuan, laki perempuan, laki perempuan yang kita lukiskan dengan demikian
indahnya, terwujudkan dalam cara hidup promiscuiteit. Belum ada yang dinamakan
perkawinan, belum ada yang dinamakan paringshuwelijk, hidup suami isteri seperti sekarang.
Hidup dalam alam promiscuiteit, campur aduk. Hubungan antara persegi dan bundar itu tadi
campur aduk, laki dengan perempuan semaumaunya; perempuan dengan laki semau-maunya,
sama dengan binatang di dalam rimba. Ada, waktu-waktu sebentar pasangan, itu ada,
sebagaimana juga anjing serigala di dalam waktu ia birahi sebentar selalu anjing laki A
sebentar selalu dengan anjing perempuan B, tapi beberapa hari beberapa pekan putus, nanti
sudah berhubungan lagi dengan anjing lain. Sebentar berpasangan, tapi kemudian putus
hubungan itu, pindah kepada wanita anjing lain atau pindah kepada pria anjing lain.
Manusia di dalam tingkatan yang pertama juga demikian. Ini yang dinamakan hidup
promiscuiteit, belum ada hukum.
Tetapi sebagai tempo hari saya katakan di dalam salah satu kursus, kita pantas mendirikan
patung kepada wanita, oleh karena wanita inilah yang pertama-tama, kataku, mendapatkan
ilmu. Ilmu membuat barang untuk menutup badan. Sudah saya jelaskan dulu, wanita de eerste
ontdekster van cultuur. Kultur yang berupa pakaian yang amat sederhana, terbuat dari kulitkulit binatang yang disambung satu sama lain. Wanitalah, yang pertama-tama membuat alat
seperti periuk terbuat daripada tanah. Wanita yang ditinggalkan oleh sang laki promiscue ini
tadi untuk mencari binatang, makanan. Tetapi wanita yang karena hamil atau mempunyai
anak kecil terpaksa terpaku di satu tempat. Wanita ini yang pertama-tama mendapat pikiran:
biji benih sesuatu tanaman kalau dimasukkan dalam tanah, tumbuh menjadi tanaman dan
kemudian bisa berbuah. Wanita de eerste ontdekster van de landbouw.
Demikian pula wanita adalah makhluk pertama yang membuat hukum, wanita de eerste
wetgeefster. Hukum apa? Hukum keturunan! Hidup promiscuiteit itu tadi persegi bundar,
persegi bundar yang tiada putusnya; sebagai tadi saya katakan dari persegi bundar datang
anak. Nanti anak ini, juga persegi bundar, datang cucu. Itulah rantai yang tidak putusputusnya. Tapi tadinya zonder hukum. Tidak bisa dikatakan dia itu anak siapa. Bagaimana
bisa dikatakan dia anak si itu, kalau hidupnya tadinya promiscuiteit. Tapi wanita, Saudarasaudara, yang telah mendapatkan ilmu pertanian, wanita yang telah mendapatkan ilmu
membuat gubuk untuk melindungi anaknya yang kecil, sebagai tempo hari saya katakan, ia

mula-mula membuat gubuk terbuat daripada daundaunan, kemudian daripada bahan-bahan


yang lebih baik, wanita ini makin lama makin menjadi orang yang penting. Wanita ini makin
lama makin menjadi produsen. Produksi makin lama makin di dalam tangannya. Orang laki
pergi berburu, mendapatkan binatang, entah menjangan, entah rusa, entah apa, tapi wanita
yang dengan ia punya ontdekking yang bernama pertanian misalnya, wanita ini makin lama
makin penting kedudukannya di dalam alam produksi. Ia makin lama makin penting
kedudukannya di dalam masyarakat yang masih liar itu. Dia menjadi pusat daripada manusia,
dialah yang memberi makan kepada anak-anak kecil dari ia punya hasil tanaman. Dialah yang
bisa conserveren, menyimpan, ikan-ikan di dalam periuk, dia yang membagi-bagikan ikanikan itu kepada anak-anak. Dia menjadi manusia penting. Dan oleh karena dia ekonomis
penting. maka akhirnya dia menjadi wetgeefster. dia yang mengadakan aturan. Dia, manusia
itu anakku. dia, manusia itu anak dia, dia manusia itu ana, dia, dia anak dia. Dan selalu yang
ditunjuk dia itu, dia sekarang yang berbaju hijau, dia yang sekarang berbaju biru, dia
sekarang yang berbaju jambrut, dia sekarang yang berbaju merah, dia sekarang yang berbaju
merah muda, dia sekarang yang berbaju hijau pupus yang ditunjuk itu selalu wanita. Manusia
disebutkan anak si Fulan dan si Fulan itu selalu wanita. Oleh karena memang yang bisa
dibuktikan dengan tegas dan jelas dan exact ialah ibunya. Ibu mengeluarkan anak. Tiap
manusia bisa melihat: O ya, si A keluar dari itu dia, keluar dari wanita itulah, si B keluar dari
wanita itulah, si C keluar dari wanita itulah. Bapaknya siapa? Duka teuing, tidak tahu! Yang
jelas ialah ibunya. Sampai sekarang Saudara-saudara, tentang soal siapa bapaknya itu kan
duka teuing? Ada seorang ahli masyarakat yang berkata hal siapa bapak itu sebetulnya cuma
bersandar atas goeten Glauben. Artinya ik geloof t wel, percayalah, si Anu itu bapaknya si
Anu. Tapi kalau disuruh membuktikan dengan exact?
Tapi ibunya jelas siapa.
Nah, wanita mengadakan hukum. Hukurn yang kemudian dinamakan hukum matrilineaal,
hukum peribuan. Manusia anak si Fulan dan si Fulan itu wanita, yaitu ibunya. Saya
menyimpang sebentar, sebagai ilustrasi, bahwa hukum matrilineaal diambil garis dari ibu itu,
memang hukum dari zaman dahulu ternyata dari cerita-cerita kuno yang restannya sampai
sekarang masih ada di beberapa daerah. Di India, suku Nair, masih hidup sekarang ini
memakai hukum matrilineaal.
Sedikit menyimpang dari hukum matrilineaal yang exact yaitu kita masih mendapatkan juga
di Minangkabau yang dinamakan matriarchaat, restan daripada zaman dahulu. Ada juga
orang yang berkata ini sekadar saya sitir daripada sesuatu tulisan di dalam suatu kitab ilmu
pengetahuan kalau di dalam Agama Islam Isa dinamakan Isa ibnu Maryam, Nabi Isa
anaknya Maryam. itu, kata sebagian daripada orang agama, tidak membuktikan bahwa Isa
tidak mempunyai bapak, sebab sebagian lagi daripada kaum agama berkata: Isa tidak
mempunyai bapak.
Manusia itu ada yang tidak mempunyai bapak, seperti Isa; ada yang tidak mempunyai ibu. Di
dalam mythologie Yunani ada misalnya Adonis dikatakan tidak mempunyai ibu; dia keluar
daripada sang bapak. Ya, di dalam mythologie itu macam-macam. Seperti Karna, Adipati
Basukarna di dalam cerita wayang, maka ia dinamakan Karna ialah oleh karena menurut
mythologie ia itu mempunyai ibu, tetapi tidak keluar dari jalan yang biasa; keluarnya
daripada telinga. Ibunya namanya Kunti. Keluar daripada telinga, maka itu dinamakan Karna;
karna adalah telinga.

Saya tadi ceritakan hal Isa. Kalau ini kata sebagian daripada pihak agama -, kalau Isa
disebutkan di dalam kitab agama Al Quran Isa Ibnu Maryam, itu bukan satu bukti bahwa Isa
tidak mempunyai bapak, melainkan bahwa Isa dilahirkan di dalam zaman matrilineaal. Di
dalam zaman matrilineaal memang yang disebutkan itu ibunya. Jadi, kalau saya umpamanya
hidup di dalam zaman matrilineaal, ibu saya namanya Ida Nyoman Rai, ya Sukarno ibnu Ida
Nyoman Rai, bukan Soekarno ibnu Sosrodiharjo, tapi Sukarno ibnu Ida Nyoman Rai.
Nah, saya kembali lagi kepada kemanusiaan. Hidup promiscuiteit dengan tiada hukum, tapi
wanita akhirnya mengadakan hukum peribuan. Pada waktu itu belum ada bangsa, manusia
hidup dalam gerombolan dengan wanita sebagai pusat, wanita yang berkuasa. Sociologis
ialah oleh karena wanitalah produsen, oleh karena hidup manusia di dalam tangan wanitalah.
Manusia mendapat makan dari wanita, wanita yang bercocoktanam, wanita yang
menghasilkan padi dan gandum, wanita yang menjadi wetgeefster, wanita berkedudukan
penting, mengepalai satu famili besar sekali. Pada waktu itu belum ada yang dinamakan suku,
belum ada yang dinamakan bangsa. Pada waktu itu manusia hidup di dalam satu famili yang
di dalam ilmu pengetahuan disebut: verwantschapsfamilie.
Vcrwantschapsfamilie ini mula-mula hidup di dalam satu rumah yang panjang sekali, besar;
anaknya, cucunya, segalanya hidup di situ dengan berpusatkan seorang wanita. Kemudian
bertambah besar, bertambah besar menjadi suku, yang dus pada asalnya suku itu adalah
pertumbuhan daripada verwantschapsfamilie. Kemudian beberapa suku manusia, berhubung
dengan pencarian hidup, datang berkumpul di dalarn satu daerah, hidup di satu daerah. Nah,
jikalau manusia-manusia yang banyak yang tadinya verwantschapsfamilie, lebih
menggabungkan lagi di dalam eenheden yang lebih besar: suku, suku, suku, jikalau jumlah
manusiamanusia yang banyak ini mengalami pengalaman-pengalaman yang sama sehingga
dia punya karakter-trekken menjadi sama pula ingat definisi Otto Bauer: Eine Nation ist
eine aus Schicksal Gemeinschaft erwachsene Charakter Gemeinschaft, bangsa adalah satu
persatuan watak yang tumbuh daripada persatuan pengalaman-pengalaman, jikalau
manusia-manusia yang banyak, gerombolan-gerombolan manusia yang terdiri mula-mula
daripada verwantschapsfamilie kemudian suku-suku, sudah mencapai persatuan watak yang
demikian itu, mempunyai rasa ingin hidup bersatu, Ernest Renan, le desir detre ensemble,
baru pada saat itulah lahir apa yang dinamakan bangsa; bangsa yang kemudian di manamanapun terjadi: bangsa, bangsa.
Tapi dus sudah nyata bahwa adanya bangsa Indonesia, adanya bangsa India, adanya bangsa
Jepang, adanya bangsa yang lain-lain itu, pada mulanya adalah berasal daripada kemanusiaan
yang kecil jurnlahnya, tapi berkembang biak via verwantschapsfamilie, via suku-suku, via
pertumbuhan seterus-nya. Dan kita menginjak abadabad yang kita kenal sebagai abad-abad
yang bersejarah. Kita mengenal pertumbuhan daripada apa yang dinamakan bangsabangsa
ini, yang dulu sudah saya katakan, dulu tidak ada bangsa Jermania, dulu cuma ada bangsa
kecil Pruisen, bangsa kecil Beieren, bangsa kccil Saksen, bangsa kecil Mecklenburg dan lainlain tumbuh berkembang menjadi bangsa besar Jermania.
Uulu di Italiapun demikian, tumbuh menjadi satu bangsa besar Italia, di Jepang demikian
pula tumbuh, akhirnya menjadi satu bangsa besar. Maka duniapun yang sekarang terdiri
daripada bangsa-bangsa itu di dalam pertumbuhan selanjutnya akan makin Iama makin
menghilangkan batas-batas tajam antara bangsa dan bangsa. Inilah yang saya namakan tempo
hari di dalam salah satu kursus saya paradok historis daripada abad yang kita alami. Historis
paradok daripada abad yang kita alami ialah, politik: kita melihat terjadinya bangsa-bangsa,
terjadinya negara-negara nasional, terjadinya batas-batas yang melingkari bangsa-bangsa dan

negara-negara nasional, tetapi sebagai paradok daripada itu pertumbuhan sebagai akibat
daripada perkembangan teknik terutama sekali, justru menghapuskan setapak demi setapak
adanya batas-batas bangsa itu. Di satu pihak terjadinya negara-negara nasional dan bangsabangsa, di lain pihak perhubungan yang makin rapat antara manusia dan manusia dan antara
bangsa dan bangsa.
Saudara-saudara, sehingga jikalau kita mau berdiri sendiri sebagai bangsa tak rnungkinlah,
dunia telah menjadi demikian. Maka oleh karena itu kitapun di dalam Republik Indonesia ini
yakin di dalam tekad kita bahwa kita ini tidak hanya ingin mengadakan satu bangsa Indonesia
yang hidup dalam masyarakat yang adil dan makmur. Tidak. Tapi kita di samping itu bekerja
keras pula untuk kebahagiaan seluruh umat manusia.
Tergambar jelas di dalam Pancasila, misalnya kalau kita menyebut keadilan sosial. Keadilan
sosial yang nanti akan kita adakan bukan sekadar keadilan sosial di dalam lingkungan bangsa
Indonesia, tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Maka oleh karena itulah misalnya, kita
mengadakan politik bebas dan aktif. Bahkan kita vakin masyarakat adil dan makmur tak
mungkin kita dirikan hanya di dalam lingkungan bangsa Indonesia saja. Masyarakat adil dan
makmur pada hakekatnya adalah sebagian daripada rnasyarakat adil dan makmur yang
mengenai seluruh kemanusiaan. Tentang hal ini, Saudara-saudara, saya mau menceritakan
kepada Saudara-saudara sebagai satu contoh untuk mempertajam Saudara punya pengertian,
sebagai satu ilustrasi:
Perjuangan yang hebat atau katakanlah gedachtestrijd yang hebat di Sovyet Uni beberapa
puluh tahun yang lalu, yaitu gedachtestrijd yang hebat sekali antara golongan yang dikepalai
oleh Trotsky dan golongan yang dikepalai oleh Stalin. Dua golongan ini hebat
memperdebatkan soal ini, sehingga akhirnya menjadi pertikaian politik, bahkan menjadi
pertikaian kekuasaan, yang akhirnya Trotsky dikalahkan oleh Stalin.
Bagaimana, Saudara-saudara, duduknya perkara?
Baik Trotsky maupun Stalin menghendaki satu masyarakat adil dan makmur ala Rusia. Kita
selalu mengatakan kita menghendaki masyarakat adil dan makmur ala Indonesia. Merekapun
mempunyai cita-cita satu masyarakat yang adil dan makmur, katakanlah komunisme. Duaduanya menghendaki komunisme, dua-duanya menghendaki hilangnya stelsel kapitalisme,
duaduanya menghendaki manusia tidak dihisap oleh manusia yang lain, dua-duanya mau
meniadakan exploitation de 1homme par 1homme, dua-duanya ingin mengadakan
masyarakat sama rata sama rasa tanpa kapitalisme. Tapi toh ada perdebatan, bentrokan
kemudian yang hebat sekali.
Apa kata Trotsky? Trotsky berkata: musuh kita, kapital-isme, tidak bersarang di Rusland
saja. Musuh kita kapitalisme adalah sudah mencapai tingkatan internasional kapitalisme.
Musuh kita telah mencapai internasional imperialisme, yang dus tidak bercokol di sesuatu
negeri saja, tapi bercokol di seluruh dunia. Kita telah berhasil mengadakan revolusi di tanah
air kita, yaitu di Rusland. Kita tak dapat mendirikan satu masyarakat sosialis atau komunis di
Rusland saja, jikalau kita tidak pula menumbangkan kapitalisme di lain-lain negeri. Oleh
karena itu Trotsky minta dan menuntut supaya revolusi yang diadakan di Sovyet Uni itu diteruskan di negeri-negeri yang lain, dijadikan satu revolusi internasional. Dan bukan saja
dijadikan satu revolusi internasional, tapi Trotsky berkata bahwa penumbangan kapitalisme,
bahwa perjuangan menghilangkan stelsel kapital-isme itu bukanlah satu perjuangan daripada
setahun dua tahun, sedetik dua detik.

Perjuangan menumbangkan kapitalisme adalah perjuangan terus-menerus, perjuangan tiap


hari. Perjuangan menentang segala sifat-sifat, perjuangan menentang segala uitingen daripada
stelsel kapitalisme itu, adalah perjuangan tiap hari terus-menerus dengan tiada berhenti.
Tidak cukup perjuangan sekadar pada satu saat merebut politieke macht, tampuk pimpinan
Pemerintah direbut oleh kaum proletariat. Tidak cukup. Tapi perjuangan tiap hari, sekarang
merebut tampuk pimpinan pemerintahan, besok merebut kekuasaan di dalam alam itu, besok
lusa merebut kekuasaan di dalam alam itu, besok lusa lagi di alam itu, plus, bukan hanya di
Sovyet Rusia, tapi di seluruh muka bumi.
Oleh karena itu Trotsky berkata: Kita punya revolusi haruslah satu revolusi permanen,
revolusi terus-menerus dan memusatkan perhatian kepada revolusi terus-menerus itu. Jangan
sebentarpun mengadakan satu adem pauze, jangan sebentarpun mengadakan pemusatan
pikiran kita kepada apa yang dinamakan pembangunan. Tidak! Terus gempur, gempur, di
segala lapangan, di segala hari, di segala negeri. Revolusi sosialis adalah satu revolusi
permanen, kalau sosialisme hendak tercapai. Revolusi ini oleh Trotsky dinamakan
permanente revolutie. Trotsky mengeluarkan ia punya teori: permanente revolutie. De theorie
van de permanente revolutie, teori yang amat dikenal oleh barisan kaum sosialis-komunis
beberapa puluh tahun yang lalu.
Stalin, Saudara-saudara, berpendapat lain. Stalin dan Trotsky itu dua nama pedengan. Trotsky
sebenarnya ia punya nama asli ialah Leon Bronstein. la adalah orang Yahudi. Di dalam
gerakan revolusioner ia memakai nama pedengan: Trotsky atau Leon Trotsky.
Stalin dia punya nama asli ialah Jugas Villi. Dia ambil nama pedengan Stalin, orang yang
terbuat dari baja. Ia adalah orang dari Georgia, dilahirkan di kota Tbilisi (Tiflis); namanya
Jugas Villi. Masuk di dalam gerakan pada umur sangat muda dan terus memakai nama
pedengan Stalin.
Stalin berpendapat lain. Ia berkata: Kalau kita mau terus-terusan menjalankan teori
permanente revolutie, Revolution in permanent, tidak akan bisa kita mencapai sosialisme di
dalam jangka waktu umur beberapa generasi. Tapi marilah kita lebih dahulu menyusun satu
benteng proletariat. Benteng itu sudah di dalam tangan kita, yaitu Rusland atau lebih tegas
lagi yang dinamakan Sovyet Uni. Buatlah Sovyet Uni menjadi satu citadel daripada
perjuangan seluruh proletariat dunia nanti untuk menjalankan sosialisme.
Tapi perkuatlah citadel ini lebih dahulu. Jangan terlalu engkau memikirkan revolusi di negerinegeri lain, jangan terlalu engkau membuang energi 100% kepada revolusi di Inggris,
revolusi di Italia, revolusi di Jerman, revolusi di Perancis, revolusi di Amerika Selatan,
revolusi di Amerika Utara, revolusi di Kanada. Tidak, kata Stalin. Pusatkan engkau punya
perhatian lebih dulu kepada pemerkuatan benteng yang telah di dalam tangan kita. Jadikan
Sovyet Uni citadel van het wereld proletariaat. Dan agar supaya bisa membuat Sovyet Uni ini
citadel daripada wereld proletariaat, bangunkanlah Sovyet Uni sehebat-hebatnya. Malahan
Stalin berkata: Mungkin, het is mogelijk mendirikan satu masyarakat adil dan makmur di
dalam satu negeri.
Trotsky berkata: Tidak bisa mendirikan sosialisme di dalam satu negeri sebelum kapitalisme
di seluruh dunia gugur. Sosialisme hanyalah bisa berdiri di semua negeri bersama. Tidak bisa
satu negeri sosialistis. Stalin berkata: Neen, mogelijk, bisa mengadakan sosialisme di satu
negeri, yaitu di sovyet Uni. Oleh karena Sovyet Uni cukup bahan-bahannya, cukup

mineralen, cukup luasnya tanah, cukup penduduk, cukup ini cukup itu, cukup material. baik
material pisik maupun material yang berupa benda, maupun material batin.
Saya sendiri selalu berkata, bahwa kita misalnya harus mengadakan mental investment.
Stalin berkata: Cukup material di Sovyet Uni ini untuk merealisir sosialisme hanya di
Sovyet Uni dahulu, dan perkuat-kan Sovyet Uni menjadi citadel daripada seluruh proletariat
sedunia.
Dan oleh karena dia berkata: cukup Sovyet Uni saja, mungkin, mogelijk untuk mendirikan
sosialisme di dalam satu negeri saja, maka ia menjalankan politik isolationist. Ia tutup batas
Sovyet Uni itu sampai dunia luaran mengatakan bahwa Sovyet Uni adalah seperti di belakang
tembok besi Tiada ada orang bisa melihat apa yang terjadi di belakang tembok besi itu,
hermetis ditutupnya.
Dua paham ini bentrokan satu sama lain. hebat perdebatan-nya, sampai menjadi de strijd om
de macht pula. Bukan strijd om de idee, tapi juga strijd om de macht, yang akhirnya Trotsky
kalah. la dibuang oleh Stalin ke Alma Ata, kemudian diper-bolehkan ke luar negeri, cari
tempat exil di luar negeri.
Akhirnya mendapat exil di Mexico. Tapi di Mexico iapun masih terus mengajarkan ia punya
teori permanente revolusi dan terus ia menyerang pada Stalin. Pada suatu hari orang pengikut
Stalin atau alat Stalin menghabisi ia punya jiwa dengan membacok ia punya kepala dari
belakang.
Saudara-saudara, dua idee yang bertentangan satu sama lain, bertempur satu sama lain,
berebutan kekuasaan satu sama lain, yang akhirnya satu kalah. Sesudah kalah satu ini, maka
Sovyet Uni memasuki periode yang dikenal oleh dunia luar: periode Stalinisme, periodc
penutupan, periode isolasi, periode mem-perkuat benteng di dalarn lingkungan pagar besi itu.
Periode pemerkuatan benteng ini melalui fase-fase pembersihan, fase-fase penangkapan,
fase-fase kalau perlu pendrelan dan pembunuhan.
Datanglah akhirnya reaksi terhadap kepada periode ini.
Reaksinya ialah periode yang kita alami sekarang, yang Sovyet Uni sekarang mulai membuka
ia punya pintu, yang Sovyet Uni sekarang sendirinya menginguk ke luar negeri dan
membolehkan orang luar negeri menginguk pula ke dalam, yang Sovyet Uni mencari
hubungan sebanyak-banyaknya dengan luar negeri.
Kita bagaimana Saudara-saudara? Sebagai tadi pada permulaan telah saya katakan, kita tidak
dapat menyelenggarakan satu masyarakat adil dan makmur di dalam negeri kita ini jikalau
kita menjalankan politik isolationisme pula. Kita harus mencari hubungan dengan bangsabangsa atas dasar persamaan, atas dasar daulat sama daulat, atas dasar mutual benefit,
menguntungkan dan diuntungkan. Ini adalah satu politik yang tegas kita jalankan, yang pada
inti jiwanya ialah politik yang berdiri atas beginsel kebangsaan, tapi juga atas beginsel
perikemanusiaan. Apalagi kita yang masih di dalam periode nationale revolutie
menumbangkan imperialisme yang kita mengetahui bahwa imperialisme adalah imperialisme
inter-nasional yang di dalam waktu yang akhir-akhir ini berhubung dengan adanya subversi
asing dan intervensi asing kita aan den lijve ondervinden bahwa imperialisme yang harus kita
tumbangkan bukan hanya imperialisme Belanda, tapi antek-antek dan kawan-kawan daripada

imperialisme Belanda itu pula, artinya yang kita aan den lijve ondervinden bahwa kita
menghadapi pula internasional imperialisme, tak dapat kita melepaskan diri kita daripada
bekerja sama dengan bangsa-bangsa yang juga menentang imperialisme itu.
Oleh karena itulah Indonesia menjadi salah satu sponsor daripada Konferensi Asia Afrika.
Oleh karena itulah pula maka Indonesia dengan terang-terangan memberi bantuan kepada
perjuangan bangsa-bangsa yang lain. Oleh karena itulah Indonesia pula mencari bantuan dari
bangsa-bangsa yang lain.
Hal yang saya ceritakan ini adalah mengenai bidang politik, bidang perjuangan. Tapi sila
Perikemanusiaan bisa juga kita terangkan daripada bidang-bidang yang lain. Bukan sekadar
bidang politik, perjuangan politik menuntut kita bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain
-bukan saja itu -bukan saja keyakinan bahwa kita tak mungkin mengadakan satu masyarakat
sosialisme ala Indonesia, sosialisme Pancasila, jikalau kita mengadakan isolasionisme, tidak
mau berhubungan dengan bangsa-bangsa yang lain, tapi juga dari sudut apapun, rnaka
nasionalisme Indonesia harus disegari pula oleh Peri-kemanusiaan. Tatkala saya mengusulkan
Pancasila sebagai dasar negara dalam bulan Juni 1945, saya telah berkata: Nasionalisme
hanyalah dapat hidup subur di dalam taman sarinya internasionalisme. Internasionalisme
hanyalah dapat hidup subur jikalau berakar di buminya nasionalisme. Dua ini harus wahyumewahyui satu sama lain.
Apalagi jikalau kita, sebagai tempo hari telah saya katakan kepada Saudara-saudara, ingat,
bahwa kita ini adalah satu bangsa yang tidak boleh tidak harus religius. Saya berkata tidak
boleh tidak, oleh karena sosiologis kita ini adalah satu bangsa yang buat sebagian besar masih
hidup di dalam alam agraris dan tempo hari saya terangkan kepada Saudara-saudara bahwa
tiap-tiap bangsa yang masih hidup dalam alam agraris, tidak boleh tidak adalah religius.
Saya ulangi apa yang saya katakan tempo hari, bangsa agraris selalu mencantumkan ia punya
harapan juga kepada faktor-faktor gaib. Bangsa agraris yang sudah menyangkul ia punya
tanah sudah mendeder ia punya bibit, menunggu sang bibit ini tumbuh dan kemudian
berkembang dan kemudian berbuah sambil mohon. mengharap-harap hujan jangan terlalu
banyak, kering jangan kering, memohon ibaratnya daripada bintang-bintang dan Tuhan agar
supaya tumbuhnya ia punya tanaman ini diberkati oleh hujan, diberkati oleh sinar matahari
dan lain-lainnya. Bangsa yang agraris tidak boleh tidak mesti hidup di dalam religiositet.
Apalagi jikalau kita ingat akan hal itu, maka faktor perikernanusiaan amat menonjol kepada
kita. Tiap-tiap bangsa yang agraris tebal ia punya rasa Peri-kemanusiaan.
Agama, Saudara-saudara, agarna apapun, semuanya menghendaki rasa perikemanusiaan.
Kalau saya kupas agama yang besar-besar, mulai dengan agama yang disebarkan oleh Nabi
Musa, de Godsdienst van Israel, hanya agama Musa itulah yang masih tebal ia punya
kebangsaan. Namanya juga sudah Godsdienst van Israel. Coba baca sejarah daripada agama
Israel, katakanlah agama Yahudi. Tampak benar ini adalah satu nationale religie, satu agama
untuk menyelamatkan bangsa Israel. Sifat kebangsaan, sifat nasionaliteit masih tebal di
Agama Musa ini. Ia memimpin ia punya bangsa, bangsa Israel keluar daripada penindasan di
Mesir di bawah pemerintahan Firaun. Musa berjalan di hadapan puluhan mungkin ratusan
ribu rakyat Yahudi ini sebagai pemimpin bangsa Yahudi, mencoba membawa mereka kepada
satu daerah yang dinamakan Het beloofde land, tanah yang telah dijanjikan oleh Tuhannya
ialah tanah Israel, tanah yang akan memberikan kebahagiaan kepada mereka.

Saudara-saudara kenal akan cerita dia dikejar-kejar oleh laskar Firaun. Kenal bahwa ia
menyeberangi laut yang menurut ceritera agama ialah dengan ia punya tongkat, laut itu
dipecahkan airnya sehingga satu bagian kering dan dia dengan ia punya rakyat Israel itu tadi
melalui bagian kering itu. Pihak Wetenschap berkata: Bagian laut itu memang kadang-kadang
mengalami pasang surut yang sangat rendah sekali sehingga memang kebetulan pada waktu
itu pasang surutnya demikian rendahnya dan lamanya, lautan itu memang lautan kering dan
Musa bisa mclewati dasar lautan itu.
Bagaimanapun juga Saudara-saudara, agama Musa masih menunjukkan corak nasional yang
tebal, Godsdienst van Israel untuk memberi kebahagiaan kepada rakyat Israel, yang dasar
inilah sampai sekarang dipakai oleh partai agama di Negara Israel yang didirikan beberapa
tahun yang lalu. Di Israel itu ada partai Sosialis, ada partai Komunis yang kecil, ada juga
partai yang dinamakan partai ortodox yang sama sekali berdiri di atas ajaran ini dit land van
Israel is ons beloofde land dan menurut kitab-kitab, kita akan mengalami kebahagiaan di
tanah ini.
Agama Musa jelas mempunyai sifat-sifat yang tebal kebangsaan. Tidak demikian agamaagama yang lain. Ambil kronologis agama Budha sebagai yang diajarkan oleh Budha Sakya
Muni. Sidarta namanya pada waktu ia masih muda, anak Raja Kapilawastu Sidarta. Sidarta
akhirnya bertapa, berjuang mencari kebenaran. Akhirnya ia dinamakan Budha Sakya Muni.
Agama daripada Budha Sakya Muni ini dengan tegas tidak berdiri atas dasar kebangsaan,
hanya berdiri di atas pembersihan kalbu, begeerteloosheid. Agama Israel tidak, istimewa
untuk orang Israel, untuk bangsa Israel, berdiam di tanah di kanan-kirinya sungai Yordan.
Budha tidak. Setengah manusia bisa mencapai kebahagiaan. Aku, kata Budha, tidak akan
membawamu kepada sesuatu tanah sebagai Musa. Aku tidak berhadapan dengan bangsa
India, aku berhadapan dengan tiap-tiap manusia yang ingin mencapai kebahagiaan dan
jalannya ialah membunuh begeerte, membunuh nafsu. Bunuhlah engkau punya nafsu, dengan
sendirinya engkau masuk Nirwana. Bunuhlah engkau punya nafsu-nafsu, dengan sendirinya
engkau akan mencapai kebahagiaan.
Oleh karena itu tempo hari saya berkata di dalam salah satu pidato: agama budha tidak
mengenal begrip Tuhan. Agama lain mempunyai begrip Tuhan: Ya Allah atau Ya Tuhan atau
Ya God atau Yehova, mohon, mohon; ada tempat permohonan. Budha berkata tidak ada, tidak
perlu engkau mohon-mohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu daripada nafsu
dan dia sebut delapan nafsu. Bunuhpadamkan delapan nafsu ini, dengan sendirinya engkau
masuk di dalam Sorga; artinya engkau akan mencapai kebahagiaan, engkau akan masuk
Nirwana. Agama Budha pada orisinilnya Saudara-saudara, inilah, dan ini yang dinamakan
Budhisme Hinayana. Tiap-tiap manusia bisa langsung masuk ke dalam alam Nirwana.
Engkau bisa, engkau bisa, asal engkau bisa membunuh delapan macam nafsu itu.
Delapan nafsu ini bunuhlah, oleh karena nafsu itulah sumber daripada semua
ketidakbahagiaan. Jikalau engkau bisa membunuh delapan nafsu ini, sekaligus dengan
langsung engkau bisa masuk dalam Nirwana. Agama Budha asli ini dinamakan Hinayana.
Hina artinya kecil, Yana artinya kereta; kereta kecil. Naiklah kereta kecil ini, engkau masuk
dalam nirwana. Kereta kecil ini apa? Pernbunuhan nafsu yang delapan.
Di samping itu Saudara-saudara, sesudah Budha Sakya Muni meninggal dunia, sebagaimana
tiap-tiap agama, pengikut-nya lantas diperdalam, diperlebar, diperdalam, diperlebar, timbul
pahampaham yang lebih daripada itu. Lihat agama Kristen, lihat agama Islam. Pada mulanya
lsa menghendaki satu, bukan? Tetapi pengikutnya kemudian mengadakan bermacam-macam

ini-itu, ini-itu. Bertengkar ini dan itu, timbullah cabang-cabang. Ada cabang agama Kristen
ini ada cabang agama Kristen itu. Islam juga begitu. Muhammad menghendaki satu agama,
tapi belakangan pengikut-pengikutnya sesudah ia meninggal, debat ini-debat itu, tambah initambah itu, sampai terjadi macam-macam aliran, sampai pada satu saat sudah tidak bisa
diperdebatkan lagi saking sama-sama pinternya. Sampai lantas diadakan permufakatan:
sudah, jangan debat-debat diteruskan, kita akui saja semuanya ini benar. Engkau Malik benar,
engkau Hanafi benar, engkau Syafii benar, engkau Hambali benar; akui semua mazhab.
Mazhah itu tidak ada zaman Muhammad, Saudara-saudara! Belakangan, demikian, ada
mazhab Maliki, Syafii, Hambali, Hanafie; bahkan belakangan ada macam-macam aliran lagi,
ada Akhmadiah Qadian, Akhmadiah Lahore. Ada macam-macam tarikah: tarikah Tijaniyah,
Kadiriyah, Subandiyah, ini dan itu.
Demikian pula agama Budha, ditambah-tambah, lantas menjadi manusia itu tidak bisa satu
kaligus dalam satu hidup. Sekarang hidup lantas disucikan batin daripada 8 nafsu, masuk
Nirwana. Tidak bisa! Manusia itu harus melalui siklus bersambung-sambung, dilahirkan
mati inkarnasi di dalam makhluk lain. Hidup mati inkarnasi lagi di dalam makhluk yang
lain. Nah, makin lama kalau untung makin lama makin tinggi, kalau celaka makin lama
makin turun. Manusia kalau dia bisa mengekang ia punya nafsu, bisa berbuat bijak dan bajik,
mati -inkarnasi dalam satu makhluk manusia yang lebih tinggi. Hidup berpuluh-puluh tahun,
mati, inkarnasi dalam makhluk yang lebih tinggi ia punya taraf kej iwaan. Demikian
sambung-bersambung, sambung-bersambung melalui siklus berpuluh-puluh beratus-ratus,
beribu-ribu, akhirnya tercapai tingkat yang tertinggi-sempurna, masuklah ia dalam Nirwana.
Tapi kalau kita tidak bisa mempersucikan kita punya diri, siklus ini garisnya menurun. Lebih
dulu manusia, kemudian bisa menjadi kerbau, kemudian menjadi babi, kemudian menjadi ini,
kemudian menjadi itu.
Budhisme yang ini dinamakan Budhisme berkereta besar. Tadi dinamakan Budhisme kereta
kecil, Budhisme Hinayana. Tapi Budhisme yang siklus-siklus itu dinamakan Budhisme
Mahajana. Hinayana dan Mahayana. Tapi baik Hinayana mau-pun Mahayana tidak berdiri di
atas dasar kebangsaan, langsung menuju kepada manusia-manusia dan manusia satu sama
lain harus hidup seperti saudara dengan saudara.
Kronologis, masuk ke alam Isa. Juga Nabi Isa tidak terutama sekali berdiri di atas
kebangsaan. ia punya ajaran ditujukan kepada semua manusia. Malah dcngan tegas ia
menganjurkan: cintailah sesama manusia. Tuhan di atas segala hal, tapi sesama manusia
seperti engkau mencintai diri sendiri. Heb God lief boven alles en Uw naasten gelijk U zelf.
Cintailah Tuhan di atas segala hal dan cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu
sendiri. Isa membasirkan ia punya ajaran bukan kepada kebahagiaan bangsa, tetapi kepada
cinta dan kasih, liefde. Liefde terhadap Tuhan, liefde terhadap sesama manusia.
Kronologis: masuk di dalam alam kronologis sebetulnya agama Hindu lebih dulu, bahkan
lebih dulu daripada Budha Sakya Muni, Prins Sidarta agama Hindupun tidak terutama
sekali ditujukan kepada bangsa, tetapi kepada perikemanusiaan, yang ini di dalam tiap-tiap
pidato saya tandaskan salah satu adagium daripada Hinduisme ialah Tat Twam Asi. Tat Twam
Asi yang berarti: aku adalah dia, dia adalah aku. Yang dus pada hakekatnya tidak ada
perbedaan dan pemisahan antara dia dan aku, bahkan tidak ada perbedaan dan perpisahan
antara manusia dan alam semesta ini, bahwa segala isi alam semesta itu pada hakeka.tnya
satu, berhubungan satu sama lain, rapat.

Rasa kesatuan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sernesta ini, segala
yang kumelip di dalam alam semesta ini, rasa kesatuan itu dinamakan Advaita. Aku ada hubungan dengan Saudara Ahem, Saudara Ahem ada hubungan dengan aku, aku ada hubungan
dengan gunung, ada hubungan dengan awan, ada hubungan dengan laut, ada hubungan
dengan udara, ada hubungan dengan burung yang sekarang sedang bercicit, ada hubungan
dengan cecak yang saya lihat di sana, ada hubungan dengan isi kumelip daripada alam
semesta ini.
Itu adalah Advaita dan inilah Advaita itu yang digambarkan oleh Krishna di dalam ucapannya
terhadap pada Arjuna di dalam kitab Baghawad Gita sebagai yang di dalam pidato Kongres
Kebatinan saya sentil sedikit. Tatkala Krishna diminta oleh Arjuna Aku ingin mengetahui
engkau itu di mana dan siapa, engkau melihat dirimu badanmu Krishna, tapi sebenarnya
engkau itu di mana, sebenarnya engkau itu siapa. Lantas Krishna menjawab: Aku, aku
adalah di dalam tumbuh-tumbuhan, aku adalah di dalammu, aku adalah di dalam gunung
yang membiru, aku adalah di dalam samudera, aku adalah di dalam geloranya samudera, aku
adalah api, aku adalah panasnya api, aku adalah di dalam bulan, aku adalah di dalam sinarnya
bulan. Aku adalah di dalam angin yang meniup sepoi-sepoi, aku adalah di dalam awan yang
bergerak, bahkan aku adalah di dalam batu yang disembah oleh orang yang masih biadab, aku
di dalam perkataan keramat Om Sembahyangan orang Hindu atau orang Budha dimulai
dengan perkataan Om. Om itu kalau Islamnya salam, peace atau vrede. Aku adalah di dalam
perkataan Orn, aku adalah di dalam rasa manusia, aku tidak dilahirkan, aku tidak akan mati,
aku adalah awal daripada segala hal, aku adalah akhir daripada segala hal, aku adalah di
dalam ganda harumnya bunga-bunga, aku adalah di dalam senyumnya gadis yang cantik, aku
adalah tak dapat dikatakan kata. Lantas Arjuna menanya: Bolehkah aku melihat engkau di
dalam sifatmu yang sebenarnya ini? Arjuna! Aku akan membuat engkau lebih dahulu kuat
melihat aku. Sebab engkau jikalau melihat aku di dalam zatku yang sebenarnya, engkau tidak
akan kuat, tidak akan tahan jikalau aku tidak membuat engkau lebih dahulu kuat dan tahan.
Sesudah Arjuna dibuat tahan melihat, Krishna lantas berubah dia punya jirim. Lihat, ini
aku! Arjuna melihat Krishna. Apa yang dia lihat? Bukan gambar manusia Krishna atau
Nayarana. Dia laksana melihat sejuta matahari bersinar, dia melihat sernua setan dan jin
berkumpul, dia melihat api menyala-nyala di Utara, di Barat, di Timur, di atas, di bawah. Dia
melihat angin taufan meniup bergelora, dia melihat pepohonan mengadakan nyanyian, dia
melihat lautan di mana-mana, dia melihat mata seperti mata manusia tetapi di mana-mana
kelihatan mata. Lantas sesudah demikian, Krishna berkata: Nah, demikianlah aku. Oleh
karena itu. bertindaklah. Aku meliputi segala hal, berjuanglah. Aku ada di dalam perbuatan,
aku bukan saja satu zat, tetapi aku ada juga di dalam rasa, di dalam pikiran, di dalam
perbuatan manusia. Maka oleh karena itu sudah, kerjakan, kerjakan apa yang saya perintahkan kepadamu, sebab sebenarnya kerjamu dan perbuatanmu itu adalah perbuatanku.
Kerjakan kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitung akan untung dan rugi dan akan
akibat, sebab sebenarnya akulah yang berbuat. Engkau tidak mau membunuh sang Karna,
tidak mau membunuh sang Drona, oleh karena sang Drona adalah guruku, sang Karna adalah
Saudaraku, dia keluar dari telinga, aku keluar dari goa garba. Jangan ayal, bunuh engkau
punya musuh, sebab pembunuhanmu itu sebetulnya perbuatanku. Sebelum engkau
membunuh dia, aku sebenarnya telah membunuh dia, engkau sekadar seperti membunuh dia;
pada hakekatnya akulah yang membunuh.
Nah, advaita ini Saudara-saudara, persatuan dan kesatuan daripada segala hal yang kumelip
di dunia ini, bahkan sampai masuk dalam persatuan segala hal yang dipikirkan orang, segala
hal yang dirasakan orang, segala hal yang diperbuat oleh orang. Ini adalah advaita, ajaran

daripada agama Hindu. Orang yang mempraktikkan yoga daripada advaita ini, pada suatu
saat mencapai tingkat persatuan dan kesatuan itu. Ambillah misalnya guru daripada Pahlawan
Viveca Nanda. Saya selalu mensitir Viveca Nanda. Viveca Nanda itu mempunyai guru
namanya Rama Krishna. Bukan Krishna dari Baghawad Gita. Tidak. Gurunya Viveca Nanda,
namanya Rama Krishna. Rama Krishna duduk di rumahnya di serambi muka. Sedang hujan,
duduk di dalam rumahnya tidak akan kena air hujan. Dia melihat orang berjalan kehujanan.
Rama Krishna yang menggigil kedinginan. Orang lain yang kena air hujan. dia yang
menggigil kedinginan. Persatuan antara si yang berjalan dan Rama Krishna, advaita. Oleh
karena itu advaita berkata, paham kesatuan berkata: Tat Twam Asi, dia adalah aku, aku
adalah dia. Dan Tat Twam Asi ini tidak mengenal manusia dengan manusia saja, anjingpun
Tat Twam Asi. Saya ceriterakan satu hadis Nabi Muhammad s.a.w. Pada suatu hari ada
seorang wanita melihat seekor anjing melet-melet ia punya lidah karena dahaga. Wanita ini
menaruhkan rasa belas kasihan kepada anjing itu sehingga memberikan sebagian daripada ia
punya air kepada anjing itu. Air di negeri Arab, Iho Saudarasaudara! Sebagian daripada
airnya oleh wanita ini diberikan kepada anjing yang sedang melet-melet dahaga. Nabi
berkata: Masya Allah, saya melihat wanita ini masuk Sorga, oleh karena dia merasakan
benar bahwa ada hubungan antara dua makhluk ini
Dus, Saudara-saudara, baik agama Hindu maupun agama Budha maupun agama Islam berdiri
kuat di atas dasar perikemanusiaan. Memberi air kepada anjing adalah juga perikemanusiaan.
Jangan kira Perikemanusiaan hanya kepada sesama manusia saja, kepada tiap-tiap makhluk
yang hidup kita jalankan kebaikan, itu adalah pula perikemanusiaan. Oleh karena itu pula
diwajibkan oleh orang Islam untuk memikirkan nasibnya kawankawan Islam yang lain yang
sebagai di dalam Kongres Kebatinan saya katakan: ingat kepada ajaran fardhu kifayah di
dalam Islam. Ajaran fardhu kifayah di dalam Islam tak lain tak bukan ialah realisasi daripada
dasar peri-kemanusiaan.
Saudara-saudara, dus kita di dalam Pancasila dengan tegas mengadakan sila Perikemanusiaan
ini dan bolehlah kita bangga bahwa sila Perikemanusiaan ini tidak kita lupakan. Bahwa kita
cantumkan sila Perikemanusiaan ini dengan cara yang indah sekali di dalam Pancasila dan
dengan cara yang indah sekali di dalam lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika.
Nasionalisme yang tidak dihikmati pula oleh Perikemanusiaan mengekses menjadi chauvinisme, mcngekses menjadi rasialisme.
Hitler membuat ia punya nasionalisme, nasionalisme yang tidak berperikemanusiaan. Ia
punya nasionalisme adalah nasionalisme chauvinis. Dia berkata hanya manusia-manusia
turunan Aria-lah manusia sejati, hanya manusia-manusia yang kulitnya putih, rambutnya
merah-kuning jagung, matanya biru, hanya manusia yang tegas daripada turunan ini, turunan
Nordisch, dari Utara, hanya manusia-manusia itulah manusia yang sejati. Yang tidak daripada
turunan Nordisch ini, yang tidak daripada turunan Aria ini, yang tidak rambutnya jagung,
matanya biru, bukan manusia sejati. Bahkan manusia yang demikian itu harus dimusnahkan
dari muka bumi. Hitler berdiri di atas dasar rasialisme, het nordisch ras, het Arische ras, itu
dikatakan ras yang sejati, yang baik; lain-lain ras adalah ras yang rendah derajatnya. Ia
membuat ia punya nasionalisme, nasionalisme yang membenci kepada bangsa lain. Ia
membuat ia punya nasionalisme, nasionalisme yang gila. Ia membuat ia punya nasionalisme
menjadi nasionalisme yang membunuh bangsa Yahudi.
Semua orang Yahudi di negara Hitler dibinasakan, dimasukkan dalam konsentrasi-kamp,
dibunuh dengan drelnya mitraliyur atau dibunuh lebih cepat lagi di dalam kamar gas. Bukan
seribu, dua ribu, tiga ribu, bukan sepuluh ribu, bukan seratus ribu, satu setengah juta orang

Yahudi dibunuh oleh karena rasa rasialisme ini. Dan Hitler bukan saja benci kepada orang
Yahudi yang tidak rambutnya jagung, yang tidak matanya biru, yang tidak daripada asal
Nordisch. Hitler j uga benci kepada orang Asia. Baca ia punya kitab Mein Kampf. Apa ia
sebutkan Tiongkok? Chinese koeli! Ia berkata apakah kita ini turunan orang Nordisch,
turunan orang Aria, sama dengan Chinese vuile koeli? Nah, Saudara-saudara, nasionalisme
yang demikian ini adalah nasionalisme yang jahat, dan kita Indonesia tidak mau nasionalisme
yang demikian. Meskipun kita berpendirian bahwa kebangsaan adalah satu sila yang essensiil
untuk membuat bangsa kita ini kuat dan negara kita ini kuat dan untuk menyelenggarakan
masyarakat adil dan makmur nanti, kita tidak menghendaki supaya nasionalisme kita menjadi
nasionalisme yang chauvinis, tapi nasionalisme yang hidup di dalam suasana
perikemanusiaan, nasionalisme yang mencari usaha agar segala umat manusia ini akhirnya
nanti hidup dalam satu keluarga besar yang sama bahagianya.
Sekian, Saudara-saudara, saya kira sudah cukup kursus saya pada malam ini. lnsyaAllah lain
kali kursus mengenai sila Kedaulatan Rakyat.

PAN CAS I LA
S E BAGAI DASAR N EGARA
V
Kursus Presiden Soekarno
Tentang Pancasila
di Istana Negara, Tanggal 3 September 1958.

Saudara-saudara sekalian.
Ini malam diminta kepada saya untuk memberi kursus tentang Sila ke-4; Kedaulatan Rakyat.
Di dalam beberapa pidato saya, telah pernah saya katakan bahwa teknis kedaulatan rakyat
atau dalam bahasa asing democratie, sekadar adalah satu alat, alat untuk mencapai sesuatu
tujuan. Teknis tujuannya ialah satu masyarakat yang berbentuk sesuatu hal, entah masyarakat
kapitalis, entah masyarakat sosialistis, entah masyarakat apa.
Kemudian jikalau tujuan ini telah ditentukan, maka salah satu alat untuk mencapai
masyarakat itu adalah demokrasi. Jangan lupa, saya sekali lagi berkata teknis secara alat.
Perkataan teknis berarti penggunaan alat-alat. Bahwa demokrasi teknis adalah alat untuk
mencapai sesuatu tujuan, hal itu pernah saya katakan di dalam beberapa pidato saya.
Alat untuk mencapai sesuatu tujuan bentuk masyarakat tidak selalu demokrasi; misalnya
kaum Hitleris, kaum nasional-sosialis berpendapat bahwa untuk mencapai masyarakat yang
mereka idam-idamkan, alatnya bukanlah demokrasi, tetapi nasionalsosialisme. National
Sozialismus kata orang Jerman yang pada hakekatnya adalah fasisme diktatur. Atau
jikalau kita ambil contoh dari pihak komunis, maka dalam taraf pertama cara bekerja mereka,
alat yang mereka pakai untuk mencapai masyarakat yang bentuknya mereka cita-citakan,
pada tingkat pertama ialah diktatur proletariat.
Jadi, baik demokrasi maupun fasisme atau nasional-sosialisme nasional-sosialisme itu satu
perkataan bikinan Hitler -, tidak menggambarkan sosialisme dan nasional, tetapi Hitler mengatakan ia punya fasisme: nasional-sosialisme.
Baik demokrasi maupun nasional-sosialisme, maupun diktatur proletariat adalah alat-alat
untuk mencapai sesuatu bentuk masyarakat yang dicita-citakan. Tetapi di dalam cara
pemikiran kita atau lebih tegas lagi di dalam cara keyakinan dan kepercayaan kita, kedaulatan
rakyat bukan sekadar alat saja. Kita berpikir dan berasa bukan sekadar hanya secara teknis,
tetapi juga secara kejiwaan, secara psychologis nasional, secara kekeluargaan.

Didalam alam pikiran dan perasaan yang demikian itu maka demokrasi dus, bagi kita bukan
sekadar salu alai teknis saja, tetapi satu geloof, sutu kepercayaan dalam usaha mencapai
bentuk masyarakat sebagai yang kita cita-citakan.
Bahkan dalam segala perbuatan-perbuatan kita yang mengenai hidup bersama, dalam istilah
bahasa Jawa hidup bebrayan kita selalu hendak berdiri di atas dasar kekeluargaan, di atas
dasar musyawarah, di atas dasar demokrasi, di atas dasar yang kita namakan kedaulatan
rakyat.
Kita mempunyai kepercayaan bahwa hidup kekeluargaan tak mungkin bisa berjalan dengan
sempurna, bilamana tidak dengan menjalankan dasar kedaulatan rakyat atau demokrasi atau
musyawarah. Sebagaimana di dalam alam keluarga, tak dapat urusanurusan di dalam keluarga
itu dijalankan atau ditentukan secara perintah diktatur, tetapi harus berjalan dengan apa yang
kita kenal semuanya yaitu kekeluargaan.
Maka di dalam masyarakat atau kenegaraanpun kita mempunyai keyakinan, bahwa segala
sesuatu yang mengenai hidup bebrayan itu harus kita dasarkan atas dasar kekeluargaan,
demokrasi, kedaulatan rakyat etc. etc., sehingga bagi kita, di dalam alam pikiran kita, didalam
alam perasaan kita, di dalam alam kejiwaan kita, demokrasi bukan sekadar satu alat teknis,
tetapi adalah pula sesuatu kepercayaan, satu geloof.
Maka oleh karena itulah bagi kita bangsa Indonesia, demokrasi atau kedaulatan rakyat
mempunyai corak nasional. satu corak kepribadian kita, satu corak yang dus tidak perlu sama
dengan corak demokrasi yang dipergunakan oleh bangsa-bangsa lain sebagai alat teknis.
Artinya, demokrasi kita adalah demokrasi Indonesia, demokrasi yang disebutkan sebagai Sila
ke-4 itu adalah demokrasi Indonesia yang membawa corak kepribadian bangsa lndonesia
sendiri. Tidak perlu identiek, artinya sama dengan demokrasi yang dijalankan oleh bangsabangsa lain.
Berhubung dengan inilah maka di dalam waktu yang akhirakhir ini saya dengan hati yang
tetap dan yakin, berani mengatakan: janganlah demokrasi kita itu demokrasi jiplakan.
Janganlah demokrasi yang kita jalankan itu demokrasi jiplakan dari entah Eropa Barat, entah
Amerika, entah negara lain. Bahkan saya dalam waktu yang akhir-akhir ini berani
menegaskan, demokrasi Indonesia adalah demokrasi terpimpin.
Orang yang alam pikirannya masih alam pikiran yang tersangkut dengan dunia Barat, artinya
orang yang di dalam alam pikirannya belum berdiri di atas kepribadian Indonesia sendiri,
atau belum hendak mengembalikan segala sesuatu kepada kepribadian bangsa Indonesia
sendiri, orang yang demikian itu tidak akan dapat menangkap essentie daripada demokrasi
terpimpin, sebagaimana dalam waktu yang akhir-akhir ini saya anjur-anjurkan. Bahkan orang
yang demikian itu tidak mengerti bahwa demokrasi ala Barat yang mereka mau jiplak itu, di
dalam bidang sejarah perekonomian dan kemasyarakatan dan politik Barat, sekadar adalah
satu ideologie daripada sesuatu masa, masa dengan s satu, bukan dengan s dua -, saya
ulangi, demokrasi Barat yang mereka hendak jiplak itu di dalam bidang sejarah, jalannya
sejarah daripada ekonomi, kemasyarakatan dan hidup politik di dunia Barat adalah sekadar
satu ideologie daripada sesuatu masa, masa dengan s satu, daripada satu periode.
Artinya bahwa di Eropa Barat, demokrasi, apalagi yang dikenal oleh kita dengan
parlementaire democratie. itu adalah ideologie daripada satu periode saja. Eropa Barat
mcngenal periodc-periode yang tidak beridcologie parlemcntaire democratie, malahan pernah

bahwa di Eropa Barat itu berjalan satu periode yang parlementaire democratie itu dibuang
dengan tegas.
Lihatlah Hitler di Jermania, lihatlah Mussolini di ltalia, lihatlah Franco di Spanyol. Dengan
terang-terangan dan tegas-tegasan parlementaire democratie dibuang. Dijalankanlah di zaman
Hitler nasional-sosialisme, dijalankanlah di zaman Mussolini fasisme, dijalankan di zaman
Franco, sebenarnya, fasisme.
Dan sebelum Eropa Barat atau Amerika mengenal atau mempergunakan parlementaire
democratie, sebelum itu jelas-jelas di Eropa Barat atau Amerika itu tidak ada dikenal
parlementaire democratie itu. Berjalanlah di sana satu sistem pemerintahan feodal, artinya
satu sistem pemerintahan yang tidak didasarkan atas demokrasi, melainkan melulu ditentukan
oleh Sang Raja.
Pernah di dalam pidato tatkala saya menghadiri perayaan 30 tahun usianya PNI di Bandung
saya katakan, parlementaire democratie a.dalah ideologi politik daripada kapitalisme yang
sedang naik. Saya ulangi, parlementaire democratie adalah ideologi politik daripada
kapitalisme yang sedang naik. Parlementaire democratie adalah ideologie politik daripada
Kapitalismus im aufstieg. Kebalikan daripada Aufstieg ialah Niedergang.
Kapitalisme ada zamannya, periode naik, ada periodenya menurun. Naik dikatakan
Aufstieg menurun dikatakan Niedergang. Kapitalismus im Aufstieg dan Kapitalismus
im Niedergang .
Nah, parlementaire democratie adalah ideologi politik daripada kapitalisme yang sedang naik.
Itu pernah saya katakan tatkala saya mengadakan pidato menyambut hari ulang tahun PNI
yang ke-30.
Lantas saya tarik kongklusi, dus, kita tidak menghendaki Kapitalismus, tetapi kita
menghendaki sesuai dengan Sila ke-5 daripada Pancasila, satu masyarakat keadilan sosial,
kita dus sehenarnya tidak boleh memakai parlementaire democratie itu, dan tidak bisu
mempergunakan parlemenlaire democratie itu sebagui sutu alai menyelenggarakan
masyarakat keadilan sosial. Saudara-saudara hendak saya terangkan ini perkataan kapitalisme
yang sedang naik, kapitalisme yang sedang menurun, dan ideologi politik daripada
kapitalisme naik adalah parlementaire democratie. Dan apakah ideologi politik daripada
kapitalisme yang sedang menurun im Niedergang?
Ideologi politik daripada Kapitalismus im Nierdergang adalah fasisme. Fasisme menurut
perkataan seorang ahli kemasyarakatan socioloog yang bernama Karl Steuerman, fasisme
adalah usaha yang terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme. Facisme is een laatste
reddingspoging van het kapitalisme, untuk menyelamatkan kapitalisme.
Dengan ini dilukiskan bahwa kapitalisme yang hendak mati, yang hendak gugur, kapitalisme
yang menurun, Kapitalismus im Niedergang, sebagai satu laatste reddingspoging
mengadakan fasisme itu. Fasisme adalah ideologi politik daripada kapitalisme yang sedang
inenurun, yang sedang megap-megap, yang sedang hampir mati, yang sedang hampir gugur.
Lebih dulu saya terangkan apa yang tadi dikatakan: Dulu itu tidak ada parlementaire
democratie. Di Eropa Barat dan Amerika berjalanlah hukum-hukum feodalisme. Maka pada
satu ketika adalah satu perobahan di dalam alam pernikiran, alam penghidupan dan

kehidupan masyarakat di Eropa itu. Dan perobahan ini membawa pula perobahan di dalam
alam ideologi. Nota bene menyimpang sebentar. Inilah historis materialisme yang pernah
saya terangkan, bahwa historis materialisme itu mengatakan bahwa alam pikiran dalam
masyarakat itu ditentukan oleh kebutuhankebutuhan sosial ekonomis, cara produksi di dalam
masyarakat dan tidak sebaliknva.
Satu minggu yang lalu saya mengucapkan satu perkataan yang membikin geger sebagian
daripada orang-orang, tatkala saya di Bogor didatangi satu rombongan kaum marhaenis. Di
situ saya berkata marhaenisme itu sekarang menjadi rebut-rebutan. Hak tiap-tiap manusia
untuk memeluk suatu isme, hak tiap-tiap manusia untuk berkata: Inilah ismeku. Dan
marhaenisme sekarang ini menjadi rebutan, saya katakan hak tiap-tiap manusia.
Tetapi kalau ada orang yang mau mengatakan: inilah marhaenisme tulen yang dipahami oleh
Bung Karno; saya menjawab: nanti dulu. Kalau dihubungkan dengan nama Bung Karno,
saya minta supaya marhaenismenya itu seperti marhaenismenya Bung Karno. Jangnlah kok
sekadar isme-isme lantas dikatakan inilah marhaenisme tulen. Nanti dulu, tanya dulu sama
Bung Karno. Sebab, katakanlah yang menciptakan marhaenisme Bung Karno; dus tanya dulu
apa yang dimaksud-kan oleh Bung Karno dengan marhaenismenya. Kalau tidak cocok
dengan marhaenisme Bung Karno itu, kasilah nama lain; jangan dikatakan marhaenisme.
Nah, di Bogor tatkala didatangi rombongan itu saya berkata: marhaenisme adalah marxisme
yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Marhaenisme, ini bahasa
asingnya, is het in Indonesia toegepaste marxisme.
Apa ini memang demikian, marhaenisme adalah marxisme yang diselenggarakan,
dilaksanakan di Indonesia, het in Indonesia toegepaste marxisme? Maka saya berkata
kepada saudarasaudara yang datang di situ: Kalau dus ingin memahami betul marhaenisme,
ini saya menyimpang sebentar -, harus memahami dua hal. Lebih dulu memahami marxisme,
apakah marxisme itu, salu. Dan kedua memahami keadaan-keadaan di Indonesia. Sebab
marhaenisme, saya ulangi lagi, ialah marxisme yang diselenggarakan di Indonesia, yang
dicocokkan dengan keadaan Indonesia, het in Indonesia toegepaste marxisme. Dus dua hal
ini harus dipelajari betul-betul. Yang mengenai Indonesia misalnya. antara lain-lain keadaankeadaan seperti yang tempo hari dalam kursus pertama saya terangkan kepada saudarasaudara, bahwa jika kita di Indonesia harus mengadakan politik persatuan daripada seluruh
rakyat.
Saya sudah terangkan tempo hari bahwa di Indonesia, kita tidak bisa mengadakan aksi
melawan imperialisme sebagai yang dijalankan oleh rakyat India terhadap kepada
imperialisme Inggris. Oleh karena keadaan di India lain lagi dengan keadaan di Indonesia dan
imperialisme Inggris lain daripada imperialisme Belanda.
Dulu sudah saya terangkan kepada Saudara-saudara di dalam kursus yang pertama, antara
lain Saudara-saudara yang hendak memahami marhaenisme harus kenal bahwa keadaan di
Indonesia begini-begini-begini, bahwa imperialisme yang mengamuk dan bekerja di
Indonesia begini-begini-begini, bahwa sejarah daripada exploitasi di Indonesia adalah beginibegini-begini.
Dus, orang yang tidak mempelajari keadaan-keadaan di Indonesia, tindak-tanduk
imperialisme Belanda di Indonesia, orang yang tidak mengerti betul-betul keadaan Indonesia,
orang yang demikian itu sebenarnya juga tidak bisa mengerti marhaenisme, oleh karena
marhaenisme adalah marxisme toegepast in Indonesia, mempunyai syarat-syarat sendiri,

yang tidak sama sebagai rakyat di India, rakyat RRC, rakyat di Mesir, rakyat di Pakistan dan
rakyat apapun.
Maka itu saya berkata: kenal dulu segala keadaan-keadaan di Indonesia, baru mengerti nanti
marhaenisme. Di pihak yang lain harus mengerti apa marxisme itu. Jangan mengira bahwa
marxisme itu harus dus komunisme. Tidak! Jangan mengira bahwa marxisme itu dus Soska.
Tidak!
Marxisme itu adalah satu denkmethode, satu cara pemikiran. Cara pemikiran untuk
mengerti perkembangan bagaimana perjuangan harus di_jalankan, agar supaya bisa tercapai
masyarakat yang adil.
Ada orang yang dengan gampang berkata: O, marxisme itu adalah materialisme. Marxisme
adalah historis materialisme. Selalu dilupakan perkataan historis. Marxisme adalah dus anti
Tuhan. Mana kitab marxisme yang berkata bahwa marxisme itu anti Tuhan?
Marxisme adalah historis materialisme. Materialisme itu adalah macam-macam, ada yang
anti Tuhan, tetapi bukan historis materialisme. Yang anti Tuhan itu materialisme lain, yaitu
misalnya materialismenya Feuerbach, filosofis material-isme, wijsgerig materialisme. Itu
yang mengatakan bahwa segala pikiran, dus juga alam gaib yang bernama Tuhan itu, bahwa
itu adalah incretie, adalah perasaan daripada materie.
Feuerbach pernah berkata: tidak ada pikiran kalau tidak ada fosfor. Pikiran itu adalah hasil
daripada otak bekerja. Otak itu terdiri sebagian daripada fosfor; kalau tidak ada dus fosfor di
sini, tidak ada pikiran. Maka Feuerbach berkata: tidak ada pikiran sonder fosfor.
Maka benar perkataan ini dari sudut filosofis materialisme, wijsgerig materialisme. Tetapi
marxisme bukan wijsgerig materialisme.
Nah, historis materialisme itu apa? Itu adalah satu cara pengertian, bahwa sejarah itu telah
membuktikan, bahwa alamalam pikiran yang berjalan di dalam masyarakat itu adalah terbawa
oleh bentuk daripada economishe verhoudingen, productie-wijze di dalam masyarakat. Itu
adalah historis materialisme, jadi bukan wijsgerig materialisme.
Marx pernah berkata: Es ist nicht das Bewuztsein des Menschen dasz sein Gesellschafft
liebensein, aber sein Gesellschafft liebensein das sein Bewusztsein bestimmt.
Bukan bewustzijn, kesadaran manusia, alam pikiran manusia itu yang menentukan corak
segala materiil masyarakat itu. cara produksi, cara mencari makan dan lain-lain, akan tetapi
sebaliknya cara produksi, cara ekonomi, cara mencari makan dan lain-lain, dari masyarakat
itulah yang menentukan bagaimana corak alam pikiran, kesadaran manusia. Ini adalah
marxisme. Kalau mau mengerti marhaenisme harus mengerti ini dulu dan mengerti keadaan
di Indonesia. Dua-duanya ini kalau sudah dimengerti, baru bisa mengerti marhaenisme,
sebagai yang saya maksudkan.
Saudara-saudara, maka berhubung dengan kursus yang sekarang mengenai demokrasi atau
kedaulatan rakyat, hendak saya gambarkan kepasa Saudara-saudara hal ini tadi, bahwa
demokrasi adalah satu ideologi politik daripada salah satu periode, satu bukti bahwa
kesadaran manusia, sebab demokrasi adalah satu alam pikiran, alam pikiran politik, bahwa
alam pikiran ini adalah terbuat oleh sesuatu cara produksi di dalam sesuatu periode.

Artinya bahwa di dalam sesuatu periode yang cara produksinya belum membutuhkan
parlementaire democratie, belum timbul pikiran parlementaire democratie itu. Tegasnya:
dulu, tatkala cara produksi belum sebagai yang tadi saya katakan: belum Kapitalismus im
Aufstieg, orang belum membutuhkan demokrasi-demokrasian, orang senang dengan cara
feodal yang tidak ada parlemen-parlemenan. Cuma sabda pandita ratu, terserah kepada
Sang Nata, terserah kepada raja. Raja yang membuat hukum, raja yang menentukan segala
sesuatu.
Orang di masyarakat pada waktu itu semuanya percaya kepada raja. Raja di dunia Timur
dianggap malahan sebagai titisan Batara kang linuwih. Apa yang ditentukan oleh raja, pasti
benar. Di dunia Barat ada raja yang pernah menepuk ia punya dada dan berkata: Letat cest
moi! Le lois eest moi! De staat ben ik! De wet ben ik! Negara akulah! Hukum akulah!
Ini bukan kecongkakan daripada raja itu saja, tapi diterima oleh rakyat.
Di dunia Timur malahan betul-betul ludahnya ditelan oleh rakyat. Air cucian tangannya
diterima oleh rakyat, air mandinya diterima oleh rakyat. Saya pernah ngobrol dengan Sri
Jawaharlal Nehru, ngobrol tentang Aga Khan almarhum yang tua, yang suka main kuda
balap.
Dia itu pada suatu waktu nonton baller di London, waktu pauze Nehru bersama Aga Khan
pergi ke buffet, minum-minum sedikit; sesudah itu lantas pergi ke kamar cuci tangan. Aga
Khan cuci tangan, Nehru cuci tangan. Sarnbil cuci tangan itu apa kata Aga Khan? Do you
know Nehru, Im wasting thousand pounds. He, Nehru, tahukah engkau, sebetulnya aku ini
membuang uang seribu pound. Maksudnya air yang terbuang ini. Coba air ini kujual
kepada orang-orang pengikutku, laku seribu pound. Nehru cerita sama saya begitu.
Di dalam alam feodalisme rakyat itu bukan saja menerima perintah daripada sang Raja atau
sang Agung, tetapi membenar-kan segala perkataan-perkataan dan tindakan-tindakan sang
Agung itu. Cara produksi di Eropa Barat di abad ke-18 dan sampai pertengahan abad ke- 18,
memang satu cara produksi yang cukup diurus oleh sistem yang demikian ini.
Saudara-saudara yang memperlajari sejarah daripada revolusi Perancis, orang Perancis
sendiri menyebutkan revolusinya itu La grande revolution, revolusi yang agung, de grote
revolutie, akan mengerti bahwa revolusi Perancis ini adalah revolusi penyelenggaraan
daripada parlementaire demoratie. Dulu sebelum revolusi itu pecah, alam pikiran manusia di
Perancis, sudah puas dengan sistem politik feodal, puas dengan segala kekuasaan ditentukan
oleh sang raja.
Tetapi pada satu ketika, dan ambillah perkataan ketika ini tidak sebagai satu moment,
satu hari, satu detik, tetapi satu ketika sejarah yang memakan waktu berpuluh-puluh tahun,
pada satu ketika cara hidup, mencari makan, cara produksi di Perancis itu berobah. Dan
karena probahan cara hidup dan cara produksi ini, maka rakyat tidak puas lagi dengan sistem
yang tadinya memuaskan hati mereka. Kemudian jadilah revolusi.
Dulu economische huishouding, perumahtanggaan ekonomi sebelum pertengahan abad ke18, adalah satu huishouding yang tertutup, gesloten. Tiap-tiap kota mempunyai perumahtanggaan sendiri. Di sekeliling kota itu ada kaum tani yang memberi bahan makan kepada
kota itu. Di dalarn kota itu ada golongan kecil yang membuat alat-alat, golongan kecil yang
memperdagangkan ini dan itu, semuanya gesloten.

Di dalam alam yang demikian itu kekuasaan itu sama sekali di dalam tangan kaum feodal,
dengan dibantu oleh kaum yang di dalam revolusi Perancis dinamakan klas ke-2; kaum
bangsawan dinamakan klas ke-1, eerste stand.
Kaum gereja, bukan agama, organisasi daripada gereja, di masa itu kuat betul. Organisasi
daripada gereja itu menjadi kekuasaan di samping kekuasaan kaum bangsawan, dan mereka
ini dinamakan klas ke-2, tweede stand. Stand ke-1 dan ke-2 inilah yang memegang tampuk
pimpinan pemerintahan.
Tetapi masyarakat yang tadinya tertutup di dalam gesloten huishoudingen makin lama
makin memecah. Gesloten-heidnya itu pecah. Kebutuhan hidup makin lama makin
bertambah, tidak bisa lagi kebutuhan hidup itu dicukupi dengan tukar-menukar dengan bapak
tani; tidak, tetapi ingin perkembangan. Pengusahapengusaha ingin berusaha di lapangan
ekonomi.
Gampangnya bicara: apa yang dinamakan kapitalisme ingin tumbuh, ingin mendapatkan
kesempatan untuk berkembang biak. Pernah saya bicarakan pokok daripada kapitalisme, ialah
cara produksi mempergunakan tanaga buruh, yang buruh ini membuat daripada sesuatu
barang lain yang lebih berharga daripada tadinya. Theorie meerwaarde, pernah saya
terangkan di sini.
Meerwaarde ini pokok daripada kapitalisme. entahlah berupa apa. Tepung sama gula itu
barang; oleh tenaga buruh tepung dan gula ini dikerjakan jadi jladren. Jladren olch tenaga
buruh dicetak-cetak dimasukkan dalam oven. Pendeknya oleh tenaga daripada buruh ini,
tepung dan gula ini, yang katakanlah tadinya harganya 100, menjadi kueh. Kueh ini tidak lagi
seharga 100, tetapi seharga 200, sesudah tenaga buruh ditanamkan di situ. Dari 100 menjadi
200, tambahnya 100.
Tambah inilah yang dinamakan di dalam ilmu marxisme ialah meerwaarde. Tetapi keringat
buruh yang menghasilkan meerwaarde 100 ini tidak dibayar dengan 100 pula; yang
diberikan kepada buruh 50. Meerwaarde-nya 100, tetapi yang diberikan kepada buruh
cuma 50. Yang 50 lagi masuk dalam kantongnya kapitalis. lni gampangnya bicara saja.
Sumber daripada kapitalisme ini ialah satu cara produksi yang meerwaarde-nya tidak
dihonoreerkan-kan 100% kepada sipembuat meerwaarde ini, tapi hanya sebagian saja
kepada si buruh dan sebagian lagi masuk di kantongnya si kapitalis.
Nah, Saudara-saudara mengerti bahwa cara begini ini, jikalau dikerjakan dengan banyak
buruh di banyak lapangan, berhari-hari, bahwa ini yang menjadi bron, sumber daripada
kekayaankekayaan, yang akhirnya kita kenal sebagai kekayaan-kekayaan besar dalam
kekayaan-kekayaan alam kapitalisme yang dimiliki beberapa orang saja.
Nah, keadaan Perancis pada satu ketika, ketika dalam arti historis periode, berobah
demikian.
Inilah kaum pengusaha-pengusaha, manusia yang ingin kaya, ingin mencari untung, ingin
mengadakan buruh, ingin mengadakan perusahaan, pendeknya apa yang saya gambarkan
tadi, productie wijze dengan menghasilkan meerwaarde, dengan sebagian hasil
meerwaarde, saja diberikan kepada buruh dan yang lain masuk kantongnya pengusaha.
Productie wijze yang demikian ini semakin lama semakin menjadi-jadi. Nah, agar supaya

productie wijze yang demikian ini bisa berjalan dengan selancar-lancarnya, timbullah
bewustzijn-bewustzijn, kesadaran-kesadaran, alam-alam pikiran baru. Cara produksi yang
berobah membawa perobahan di dalam alam pikiran. Inilah historis materialisme.
Apa alam-alam pikiran baru itu? Macam-macam. Misalnya di dalarn lapangan ekonomi yang
kita kenal dengan liberalisme. Oleh karena itu kita menentang kepada liberalisme. Oleh
karena liberalisme adalah alam-alarn pikiran yang pengusaha si Polansi Polan semuanya
ingin men-jadi kaya. Diperkenankanlah apa saja semaumu, di lapangan ekonomi, jangan
negara ikut-ikut.
Feodalisme kan boleh dikatakan negara atau raja yang menentukan segala sesuatu ini. Sang
Raja yang berkata di dalam alam feodalisme: Engkau hanya boleh membikin palu
seperlunya saja. Engkau hanya boleh menanam gandum seperlunya saja. Aku menghendaki
supaya bidang tanah yang beriku-ribu kilometer persegi itu harus ditanami dengan itu saja.
Letat cest moi! Le lois cest moi! Aku, Raja yang menentukan segala sesuatu! Di dalam
alam yang baru ini pengusaha-pengusaha segala sesuatunya ditentukan oleh raja.
Tidak, kami ingin berusaha, biarkanlah kami berusaha, j angan raja atau negara ikut-ikut.
Kami ingin kemerdekaan, kebebasan berusaha. Kami ini ahli bikin kueh, biarkanlah kami
membikin kueh sebanyak-banyaknya, rugi ya biar kami, untung ya biar kami. Orang lain
berkata: kami ini ahli membikin meja kursi; biarkanlah kami membuatnya, untung adalah
keuntungan kami, rugi adalah risiko kami, janganlah raja ikut-ikut. Semua ingin bebas
berusaha. Ini yang namanya liberalisme; dari perkataan liberty, alam kebebasan yang
mereka kehendaki.
Timbulnya alam liberalisme ini, kuatnya angin liberalisme ini, di periode ini. Di
lapangan ekonomi demikian, di lapangan politikpun demikian. Di lapangan politik
berjalanlah alam pemikiran baru yang dinamakan politik liberalisme.
Berpikir politik: jangan raja ikut-ikut, biar kami berpikir politik, biar kami mempunyai
keyakinan pikiran sendiri, mempropagandakan pikiran kami sendiri. Politik liberalisme.
Kami mau mengadakan partai-partai, biar partai corak A, biar partai corak B, biar partai
corak C dan seterusnya: politik liberalisme.
Maka terjadilah desakan dari klas yang ke-3. Tadinya ini klas bangsawan dengan raja sebagai
pimpinannya. Nomor dua klas gereja, tweede stand. Ada klas baru yang menyebutkan dirinya
klas ke-3, ialah klas pengusaha, yang di dalam kursus saya pertama, saya namakan
bourgeois, tatkala saya berkata India mempunyai National bourgeois atau lebih tegas
National bourgeois yang ada di India tidak dihancurbinasakan oleh imperialisme Inggris.
Maka pergerakan Nasional India sebagian daripada dia punya motorische kracht, ialah
kekuatan daripada kekuatan Nasional bourgeois di India.
Klas ke-3 ini yang sebenarnya yang menjadi peniup daripada revolusi Perancis. Rebut
kekuasaan daripada tangannya raja! Rebut kekuasaan daripada tangannya kaum feodal! Rebut
kekuasaan daripada tangannya stand ke-2!
Tetapi klas ke-3 ini juga merasa kalau harus merebut kekuasaan itu dengan tenaga sendiri
tidak bisa. Kekuasaan feodal dan kekuasaan gereja ini terlalu kuat. Kaum pengusaha sendiri
tidak kuat. Karena itu lantas kaum klas ke-3 ini, pengusaha, mempergiatkan tenaga rakyat

jelata, yang oleh mereka dinamakan klas ke-4, Eerste stand feoctal, tweede stand gereja,
derde stand
opkomende hougeois, vierde stand rakyal.
Vierde stand ini yang dipergiatkan. Vierde stand ini yang dibakar hatinya dengan semboyansemboyan. Vierde stand ini yang dibakar hatinya dengan revolusi Perancis yang termasyhur.
Liberte! Egalite! Fraternite! Kemerdekaan! Persamaan! Persaudaraan!
Pada waktu pertama kita memang melihat pengusaha itu berpeluk-pelukan di jalan di Paris,
dansa-dansa di muka gereja indah Notre Dame. Di lapangan itu diadakan musik. Kita melihat
pengusaha-pengusaha itu berdansa-dansa dengan yang dinamakan rakyat jembel. Liberte!
Egalite! Fraternite!
Rakyat yang terbakar ini menjadi kuda daripada tenaga revolusi Perancis, yang pada
hakekatnya ialah revolusi untuk merebut kekuasaan dari tangannya stand ke-1 dan stand ke-2
ke dalarn tangannya stand ke-3. Leuze, semboyan Liberte, Egalite, Fraternite, di dalam
bidang politik diselenggarakan sebagai parlementaire democratie. Semua orang boleh
masuk dalam parlemen. Semua orang boleh bicara. Sekarang kita tidak lagi mengadakan
hukum secara feodal oleh satu orang manusia.
Semua harus ikut, sekarang harus dengan bermusyawarah.
Dan liberale politiek boleh tiap-tiap orang mengusulkan, boleh tiap-tiap orang pidato, boleh
tiap-tiap orang dipilih.
Kelanjutan daripada revolusi Perancis, rakyat jelata terpukul. Saudara-saudara akan bertanya:
kalau begitu bagaimana, pengusaha-pengusaha itu kan kalah dengan rakyat jelata? Kan
maksudnya pengusaha-pengusaha ini mau mengadakan hukumhukum, peraturan-peraturan,
wet-wet, yang cocok dengan kepentingan pengusaha, mau mengadakan hukum-hukum,
peraturan-peraturan, wet-wet, untuk menjadi bumi bumi subur bagi Kapitalismus im
aufstieg. Tapi kalau rakyat jelata semuanya diperbolehkan masuk parlemen, boleh memilih
dan dipilih, kan kalah stem kaum pengusaha?
Tidak Saudara-saudara, di dalam praktiknya mereka telah mengetahui lebih dulu, bahwa
pemilihan parlemen itu selalu dengan campagne, dengan propaganda, dan mereka sudah
tahu: kami yang mernegang alat-alat propaganda, kami yang bisa membiayai surat-surat
kabar, kami yang bisa membiayai segala alat-alat yang lain. Bahkan kami kaum pengusaha
itu membiayai sekolahsekolah, universitas-universitas.
Kaum pengusaha, terutama sekali kaum pengusaha yang sedang timbul ini, adalah satu
golongan kaum yang betul-betul mempunyai rasa percaya kepada diri sendiri yang amat kuat;
zelf vertrouwen yang amat besar sekali. Tidak takut mengadakan parlementaire democratie.
Tokh nanti lihat utusan-utusan di dalam parlemen itu sebagian besar antek-antek kami.
Sebagian besar akan berpikir secara kami, oleh karena kamilah yang membiayai universitasuniversitas, membiayai sekolah-sekolah menengah. Oleh karena kamilah yang mencetak
buku-buku, oleh karena kamilah yang mengeluarkan surat-surat kabar dan majalah. Kami
kaum pengusaha, kami menguasai beheersen het politieke en het intellectuele leven van het
volk.

Dan di dalam praktiknya demikian Saudara-saudara, semua parlemen-parlemen yang baru


lahir, yaitu di pertengahan abad ke-19 revolusi Perancis, sebentar diikuti oleh satu periode
yang menentang, tetapi kemudian dalam tahun 1848 datang lagi satu revolusi. Malahan yang
lebih tegas met parlementaire rechten di Eropa, sebagian lain ada yang 1852 ada yang
tahun 1856. Tetapi pertentangan di abad ke-19 itulah terselenggara apa yang dinamakan
parlementaire democratie. Dan atas dasar hasil daripada parlementaire democratie ini
kapitalisme di Eropa Barat berkembang biak benar.
Jadi jelaslah bahwa parlementaire democratie adalah ideologi politik daripada Kapitalisme
im Aufstieg.
Tatkala kita mengadakan pergerakan nasional, dengan sekaligus kita berkata bahwa kita
menghendaki demokrasi pula. Tetapi kita mengetahui bahwa parlementaire democratie atau
politik demokrasi saja bukan membawa kebahagiaan kepada rakyat, tetapi sebaliknya
tumbuhnya kapitalisme sebagaimana yang kita lihat di Eropa, yang kendati berjalannya
parlementaire democratie, sejak pertengahan abad ke-19, kita melihat kapital-isme menjadi
kuat. Kita melihat : kartel-kartel dan trust-trust makin lama makin hebat. Sebaliknya kita
melihat rakyat jelata menjadi kaum proletar yang papa sengsara.
Dengan sekaligus kita berkata pada waktu kita mengadakan Gerak Nasional, kita tidak
menghendaki hanya demokrasi politik, tetapi kita menghendaki pula demokrasi ekonomi.
Parlementaire demokrasi adalah hanya demokrasi politik, parlementaire demokrasi
memberikan kans yang sarna secara demokratis kepada semua orang di bidang politik,
itupun zogenaamd. Sebab dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa merbiayai surat
kabar, membiayai propaganda etc. etc. Tetapi pada teorinya, sernuanya di bidang politik
sama: engkau boleh dipilih, engkau boleh memilih, semua orang boleh memilih, semua orang
boleh berpaham, berpendapat sendiri dan sernua boleh mengutarakan pikirannya itu, sama
tidak ada perbedaan. Tetapi di bidang ekonomi, tidak! Tidak ada kesamarataan di bidang
ekonomi! Kita melihat si kaya, si miskin, si milyuner, si proletar dalam arti si jembel,
bukan dalam arti marxis yang tulen, yang tempo hari sudah dikatakan proletar adalah orang
yang menjual tenaganya, dengan tidak ikut memiliki alat produksi, itu definisi proletar.
Jadi di bidang ekonomi tidak ada sama rata sama rasa. Ini yang pernah digugat oleh
pemimpin-pemimpin kaum buruh di Eropa, yang juga dengan tegas mengatakan: kami ini
tidak mau cuma demokrasi politik tok. Di dalam tahun 1870 lebih hebat lagi dan pada
permulaan abad ke-20 digembar-gemborkan oleh pimpinan kaum buruh di Eropa Barat.
Kita baru sekarang berani mencela: hanya demokrasi politik tok. Kita baru sekarang berani
berkata: verrekt met parlementaire democratie tok. Kita terbelakang, paling sedikit 50 tahun!
Di alam Eropa, tadi saya berkata sudah mulai tahun 1860, 70, 80, permulaan abad ke-20,
orang-orang seperti Adler, Liebknecht menjatuhkan vonnis yang sama sekali vernietigend
terhadap parlementaire demokrasi tok.
Orang-orang seperti Juarcz. Liebknecht, seperti Adler, menghendaki apa yang mereka
namakan politik ekonomische dmokrasi. Dus bukan hanya demokrasi politik tetapi juga
demokrasi ekonomi. Sama rasa di dalam lapangan politik, tetapi juga sama rasa di dalam
lapangan ekonomi.
Dan politiek economische democratie inilah yang sebagai saya katakan di dalam kuliah
terhadap mahasiswa-mahasiswa di Yogyakarta, oleh Adler dinarnakan sosial demokrasi.

Sosialisme itu mempunyai macam-macam aliran. Ada aliran sosial demokrasi, ada aliran
religieus socialisme, ada aliran anarkhisme Bakunin, ada aliran komunisme daripada lenin.
Salah satu aliran dalam sosialisme bernama sosial demokrasi. Adler yang menghendaki
politik ekonomische demokrasi ini
dalam satu perkataan sociale democratie; bahasa Indonesia-nya demokrasi sosial. Juarez juga
begitu, malahan Juarez, saya
selalu gemar sekali kalau menyebutkan dia punya nama, di dalam parlemen di Perancis itu
pidatonya selalu dengan perkataanperkataan yang indah. Ia berkata: Di dalam parlementaire
democratie tiap-tiap orang bisa menjadi raja. Tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang
boleh dipilih. Tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri
dari singgasananya. Dan memang, di dalam parlementaire democratie, menteri yang sudah
kuasa itu, di dalam parlementaire democratie bisa dijatuhkan oleh si jembel, wakil-wakilnya
yang duduk dalam parlemen itu. Menteri yang berkuasa dijatuhkan oleh anggota-anggota
parlemen.
Di bidang politik tiap-tiap kita adalah laksana raja. Tetapi di bidang ekonomi tidak demikian.
Si kaum buruh yang pada hari ini di dalam parlemen adalah seorang raja, besok pagi di dalam
pabriknya ia bisa dilempar keluar dari pabriknya itu menjadi menjadi orang yang tiada kerja.
Si kaum buruh vang menjadi anggota parlemen ini hari bisa menjatuhkan menteri, tetapi
kembali di dalam pabrik dia adalah buruh di bawah kekuasaan sang majikan, bisa dilepas bisa
dijadikan orang yang op de keuen, hidup sengsara. Oleh karena itu, Juarez pada permulaan
abad ke-20 itu, tahun 1903, dia sudah menjatuhkan vonnis kepada demokrasi parlementer.
Ia menghendaki politiek economische democratie; demikian pula Liebknecht, demikian pula
banyak pemimpinpemimpin lain.
Kalau kita pada hari sekarang ini tahun 1958 juga mengeritik parlementaire democratie, ada
yang mengatakan: Dia itu kominis! Dia itu mau memblinerkan kita kepada satu alam yang
salah. Saya dikatakan demikian pula: Lihat Bung Karno dengan demokrasi terpimpin.
Kapan dia keluarkan perkataan demokrasi terpimpin itu sesudah Bung Karno pulang dari
Sovyet Uni, sesudah Bung Karno pulang dari RRC.
Marilah saya terangkan sekarang sedikit tentang fasisme. Begini: Di dalam alam kapitalisme,
kapitalisme itu kecuali hidupnya seperti yang sudah saya gambarkan, juga mempunyai penyakit. Dan penyakitnya itu saban-saban datang, yaitu penyakit yang dinamakan krisis.
Kapitalisme Amerika sekarang ini sedang mengalami krisis sedikit. Krisis sejak tahun yang
lalu mulai berjalan, malah Saudara-saudara tahu pabrik-pabrik mobil sekarang sedang distop.
Tahun 1929 tempo hari krisis hebat, yang kita kenal di sini dengan perkataan malaise.
Kapitalisme itu mempunyai satu penyakit yang inhaerent; artinya sudah pembawaan
daripada kapitalisme sendiri. Selalu kapitalisme itu diganggu krisis, periodiek mesti ada
krisisnya.
Nah, saat kapitalisme banyak untung, datanglah saat krisis. Pada saat kapitalisme hidup lagi,
datanglah lagi krisis. Hidup lagi, banyak untungnya, krisis lagi. Periodeiek up and down.
Up-nya ini dinamakan dalam ilmu ekonomi periode conjuncture. Conjuncture artinya
krisis. Sekarang saya hendak menggambarkan bagaimana rupanya kapitalisme yang sedang
naik yang melalui beberapa conjuncture-conjuncture. Krisis itu terjadi beberapa puluh tahun

sekali, tetapi yang dinamakan im aufstieg itu adalah meliputi periode yang lama dari abad
ke-18 sampai abad ke-20.
Jadi selama Aufstieg itu ada conjuncturekrisis conjuncturekrisis. Tetapi garis besarnya
pada pokoknya terus naik. Kemudian di situ saat kapitalisme menurun, Niedergang. Inilah
beberapa garis yang saya tarik. Garis ini pada saat-saat krisis. Krisis naik, conjuncture naik;
daripada satu ketika krisis lagi, naik lagi, diatasi lagi krisis itu, conjuncture lagi, diatasi lagi,
krisis lagi, conjuncture krisis, conjuncture krisis.
Bagaimana caranya mengatasi zaman conjuncture? Apa coraknya?
Barang produksi banyak dan juga laku, sehingga meerwaarde yang masuk di dalam kantong
sang pengusaha banyak sekali. Produksi tinggi dan selalu bisa habis terjual, ini namanya
conjuncture. Memang kapitalisme membuat barang untuk dijual, kapitalisme tidak membuat
barang untuk individuele consumptie. Sang kapitalis membuat barang itu tidak untuk dirinya.
Kapitalis pembikin kueh-mari misalnya, membikin itu bukan untuk dimakan sendiri; tidak,
tetapi untuk dijual dengan untung. Untung itu ialah sebagian daripada meerwaarde yang
masuk di dalam kantongnya. Ini adalah sifat daripada kapitalisme: produceren untuk dijual
dengan untung.
Nah, pada satu saat produksi-produksi laku, tetapi sampai kepada satu tingkat yang tidak bisa
habis dijual, itu dinamakan overproductie. Itu adalah satu paham relatif, artinya asal barang
tidak bisa dijual dinamakan overproductie. Di sini tercapai satu ketika yang barang tidak bisa
dijual lagi, produksi mandeg atau terpaksa diperkecil. dikurangi. Datanglah krisis, banyak
kaum buruh di-ontslag enz. enz.
Tetapi pada satu ketika krisis ini yang sudah mencapai dasarnya yang paling rendah, dengan
beberapa usaha bisa naik lagi. Usahanya itu apa, kok bisa naik lagi? Perbaikan daripada
sistem produksi: perbaikan mesin-mesin; cara kerja yang lebih efisien; propaganda daripada
produksinya yang lebih menarik kepada rakyat; penekanan daripada tenaga kaum buruh yang
georganiseerd di dalam serikat-serikat sekerja, etc. etc.. Naik lagi. Produksi bisa bertambah
laku pula. Conjuncture pada satu saat tercapai lagi, maximum. Di situ krisis, yaitu tidak
terjual, dus kalau terus produksi rugi nanti, tidak terjual. Tetapi dengan caraperbaikan lagi,
disempurnakan cara produksi etc. etc.; naik lagi, krisis, naik lagi.
Tetapi pada satu ketika timbullah puncak maksimum, puncak maksimum daripada kecakapan
manusia untuk mem-perbaiki alatalat. Mesin-mesin sudah tidak bisa dipergunakan lagi.
Sistem bedrijf sudah geperfectioneerd. Di balik itu tenaga daripada kaum buruh makin lama
makin sempurna diorganisir. Di sini gerakan kaum buruh mulai tumbuh dan makin lama
makin kuat.
Jadi meskipun sistem produksi, sistem bedrijf diperbaiki, sampai pada satu saat tidak bisa
diperbaiki lagi, maksimum capasiteit toh tidak bisa terus conjuncture, oleh karena tuntutan
dari kaum buruh kekuasaan kaum buruh juga makin naik. Meerwaarde yang masuk di dalam
kantong si kapitalis makin lama makin kecil dan ditentang oleh kaum buruhnya itu.
Tadi dengan saya punya contoh kueh, tepung dengan gula 100 menjadi kueh 200,
meerwaardenya 100. Ini 50 masuk kantongnya kaum buruh sebagai upah, 50 masuk

kantongnya sang kapitalis. Itu pada fase permulaan tatkala kaum buruh belum diorganisir
secara kuat.
Tetapi Saudara-saudara mengetahui organisasi kaum buruh makin lama makin sempurna.
makin lama makin kuasa.
Dari 100 meerwaarde ini yang tadinya diberikan kaum buruh hanya 50, belakangan menjadi
60 buat kaum buruh, dituntut 60. Sudah 60 dituntut lagi 70. Hanya 30 masuk di kantong si
kapitalis. Tuntut lagi 80 masuk di kantong kaum buruh, tinggal 20 buat si kapitalis. Tuntutan
lagi 90 masuk dalam kantong kaum buruh, tinggal 10 masuk kantong si kapitalis.
Dus marge keuntungan pengusaha makin lama makin kecil. Seperti Saudara-saudara lihat
di Amerika sekarang ini, pabrikpabrik Mobil Detroit misalnya sekarang ini mandeg, Royter
pemimpin kaum buruh, dia yang voorschrijven: sekarang engkau pengusaha mobil, aku
yang menentukan berapa mobil yang harus diprodusir, berapa yang tidak. Chrysler sementara
tutup. Bagian Ford Continental tutup. Krisis.
Nah, demikian pula ini Saudara-saudara. Pada satu ketika tercapailah het absolute
maximum, krisis, coba lagi, conjuncture-conjuncture, krisis lagi, coba dengan macammacam lagi. Bahkan nanti tenaga atom dikerjakan juga yang dipakai untuk menjalankan
pabrik, untuk menjalankan mesin-mesin. Tenaga atom itu sudah geperfectioneerd, tetapi
sistemnya salah, yaitu sistem meerwaarde. Dan sebagian daripada meerwaarde itu masuk
kantong daripada pengusaha. Itu sistem kapitalis.
Meskipun, dus, mesin-mesin, bedrijf dan lain-lain sebagainya, geperfectioneerd secara teknis,
oleh karena sistemnya salah maka selalu hukum krisis itu datang pula. Di-perfectioneer, krisis
lagi. Saudara lihat garis umum ini naik, garis umum ini menurun, inilah Niedergang.
Kapitalismus im Aufstieg, Kapitalismus im Niedergang.
Secara alam pikiran politik, di sini parlementaire democratie akan membahayakan kepada
Kapitalismus im Niedergang. Parlementaire democratie yang memberikan kesempatan
kepada semua orang untuk ikut bermusyawarah, meskipun alat propaganda, alat surat kabar,
alat sekolah etc. etc. sebelumnya sudah di tangan mcrcka. Toh, tadinya, di alam ini, tatkala
tenaga kaurn buruh belum terorganisir seperti sekarang, mereka masih selalu bisa
beheersen parlemen. Tetapi di sini tidak bisa lagi, sebab alam parlementaire democratie
tidak bisa lagi.
Nah, di sinilah kapitalisme lantas berkata: Tidak berjalan parlementaire democratie. Di
sinilah kapitalisme memperguna-kan luuisle reddingspoging van het kapitalisme , yaitu
fasisme.
Tidak diberi kesempatan kepada semua orang untuk menjalankan dernokrasi; tidak diberi
kesempatan kepada si kaum buruh untuk mengirimkan wakihlya, di dalam parlemen; tetapi
kekuasaan di dalam tangannya si diktator. Entah diktator namanya Hitler, entah diktator
namanya Mussolini, Franco atau apapun, tetapi itu adalah corak daripada kapitalisme im
Niedergang.
Historis materialisme ini jelas bahwa dus alam pikiran manusia, alam pikiran politik juga
ditentukan oleh sociaal economische factoren. Alam pikiran fasisme ditentukan oleh sociaal
economische factoren. Pada satu ketika seluruh rakyat Jerman itu cinta kepada Hitler. Pada

satu ketika, umpamanya terjadi di Timur, juga ludah Hitler dijilat oleh rakyat. Coba terjadi di
dunia Timur, pada satu ketika juga air cucian tangan Hitler juga akan berharga 1.000 pound.
Alam pikiran daripada rakyat pada waktu itu sama sekali ditentukan oleh sociaal
econornische verhoudingen. Historis materialisme.
Nah, dus Saudara-saudara, kita yang melihat segala cacat-cacat daripada productiewijze
daripada kapitalisme, melihat daripada cacat-cacat parlementaire democratie, kitalah yang
sebaliknya, sebagai amanat penderitaan daripada bangsa Indonesia, memikul kewajiban
untuk menyelenggarakan satu masyarakat yang bukan masyarakat kapitalisme, tetapi
masyarakat yang adil dan makmur. Sekarang ini saya mengundang untuk berpikir sesuai
dengan amanat penderitaan itu. Saya mengundang agar supaya meninggalkan alam
demokrasi liberal. Saya mengundang agar supaya meninggalkan cara berpikir ala
parlementaire democratie yang politik demokrasi tok. Saya mengundang agar supaya rakyat
Indonesia itu dalam menyusun ia punya demokrasi menaruhkan segala sesuatu di atas
kepribadian bangsa Indonesia sendiri.
Maka oleh karena itu saya berkata: Demokrasi yang harus kita jalankan adalah demokrasi
Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri. Jikalau kita tidak bisa berpikir demikian
itu, kita nanti tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan daripada
rakyat itu.
Saya ulangi lagi: Demokrasi bagi kita bukan sekadar alat teknis; memang benar bahwa
demokrasi adalah alat teknis untuk mencapai sesuatu hal, sebagaimana nasional sosialisme
adalah satu alat teknis, sebagaimana diktatur proletariaat adalah satu alat teknis. Demokrasi
bagi kita sebenarnya bukan sekadar satu alat teknis, tetapi satu alam jiwa pemikiran dan
perasaan kita. Tetapi kita harus bisa meletakkan alam jiwa dan pemikiran kita itu di atas
kepribadian kita sendiri, di atas penyelenggaraan cita-cita satu masyarakat yang adil dan
makmur, yang sudah jelas tidak bisa dengan demokrasi secara ini.
Oleh karena itulah, di waktu yang akhir-akhir ini saya menganjurkan dijalankannya
demokrasi terpimpin.

Sekian.

KULIAH UMUM TENTANG PANCASILA


DI DEPAN PARA PESERTA
SEMINAR PANCASILA DAN PARA MAHASISWA

Pada Tanggal 21 Februari 1959


di Yogyakarta

Saudara-saudara sekalian.
Belum pernah saya begitu gembira, gembira karena setuju seratus persen. Setuju seratus
persen dengan apa? Dengan apa yang dikemukakan oleh ananda mahasiswa itu tadi. Ya
Saudarasaudara tadi tertawa tebahak-bahak. Dan sekarangpun juga. Tetapi ananda mahasiswi,
yang namanya saya tidak tahu -, kepada mahasiswa-mahasiswa, pemuda-pemuda
mahasiswa, saya beritahukan, bahwa namanya mahasiswi itu tadi ialah Lina. Ananda Lina
berkata: Marilah kita mengenangkan arwah-arwah kita.
Nah, itu tepat betul. Ananda Lina tidak berkata, marilah kita mengenangkan arwah-arwah
pahlawan-pahlawan kita yang telah mendahului kita ke alam baka. Tidak! Ananda Lina
berkata: Marilah kita mengenangkan arwah-arwah kita, dan sebagai tadi saya katakan itu
tepat sekali. Artinya, saudara harus mengenangkan arwahmu, Pak Karno harus
mengenangkan arwahnya. Tepat sekali. Barangkali ananda Lina tadi malam mendengar
pidato Bapak Presiden. Pada waktu menguji pidato, Bapak Presiden tadi malam berkata, tiaptiap manusia nanti di akhirat akan ditanya oleh Tuhan akan pimpinannya. Dikatakan di dalam
Kitab Suci, bahwa kita ini semua adalah pemimpin atau penggembala. Dan nanti di akhirat
kita semuanya ditanya tentang pimpinan kita. Kita ini semua pemimpin, semua penggembala.
Misalnya Pak Roeslan Abdulgani, di rumah beliau adalah pemimpin atau penggembala
keluarganya, dan dia nanti di akhirat akan ditanya: Hai Roeslan Abdulgani, bagaimana
engkau menjalankan pimpinan di dalam keluarga? Kecuali itu, Pak Roeslan Abdulgani
adalah pemimpin di dalam masyarakat. Tiap-tiap kita ini pemimpin dalam masyarakat.
Tukang dokar, pemimpin di dalam kedokarannya. Tukang beca, pemimpin di dalam
pembecaannya. Opsir, perwira, pemimpin di dalam ketentaraannya. Ditanya kita semua ini.
Bahkan saudari juga pemimpin. Sekarang ini pemimpin di dalam masyarakat, barangkali
ada adik-adik dan lain-lain ditanya: Engkau memimpin bagaimana?. Juga pemimpinpemimpin di kalangan mahasiswa dan mahasiswi ditanya.
Ananda Lina berkata: Marilah kita semuanya ingat, bahwa kita nanti ditanya tentang
pemimpin.
Kita semuanya, tidak terkecuali, bukan saja yang sudah gugur; yang masih hidup sekarang ini
nanti ditanya akan kepemimpinannya. Pokoknya akan ditanya antara lain: Engkau di dalam
masyarakat tatkala engkau hidup, apa yang engkau telah perbuat; apakah engkau berbuat
kebajikan untuk masyarakat, ataukah telah membuat jahat untuk masyarakat? Oleh karena
itu, maka ucapan saudara Lina itu tepat sekali. Dan kok kebenaran Gajah Mada yang punya
mahasiswi begitu itu.
Kemudian, waktu saya melihat ananda Lina memimpin Indonesia Raya, meskipun ada
selipnya sedikit, oleh karena ulangannya cuma satu kali, tatkala saya melihat caranya
memimpin, saya ingat kepada Demokrasi Terpimpin yang harus saya kuliahkan. Sebab
pernah ditanya kepada saya: Pak, Demokrasi Terpimpin itu apa toh Pak? Saya bicara satu
jam dua jam. Terang? Belum! Wah, bagaimana menerangkan ini. Lantas saya menerangkan
hal satu konsert dengan ia punya dirigent yang konsert itu terdiri daripada banyak orang,
Yang satu memegang biola, yang satu memegang gitar, yang satu memegang trombone, yang

satu memegang trompet, yang satu memegang ting ting ting, yang satu memegang jidor,
dan lain-lain sebagainya.
Meskipun bermacam-macam alat, tetapi oleh karena ada pimpinan, pertama pimpinan
daripada satu lembaran kertas, apa namanya itu noot, bahasa Indonesianya noot. Misalnya,
lagu RlauweDonau oleh Johann Strauss, sudah nyata lagunya itu dari noot ini. Kemudian
dirigent, pemimpin, memimpin orkes itu yang terdiri daripada puluhan bahkan ratusan orang;
keluarlah satu suara yang merdu yang berirama, yang harmonis, melukiskan lagu waltz
Blauwe Donau buatan Strauss.
Kertas noot ini, di dalam Demokrasi Terpimpin inilah blueprint, pola, pola pembangunan
yang dibuat oleh Dewan Perancang Nasional, disingkat DPN, tetapi yang oleh Bapak Prof.
Mr. Dr. Haji Muhammad Yamin disingkatkan, dengan cara yang romantis sekali, disebutkan
DEPERNAS. Pola yang dibuat oleh Depernas ini, itulah kertas nootnya. Penyelenggara daripada pola ini, masyarakat ini tadi, yang terutama sekali terdiri daripada tenagatenaga
fungsionil, menyelenggarakan pola ini bersama-sama di dalam satu irama yang merdu
sehingga terselenggaralah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagai yang
tertulis di dalam Undang-undang pembentukan Depernas.
Lha, ananda Lina tadi, juga begitu Saudara-saudara, dengan sangat mahirnya memimpin.
Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur semua memberikan tenaganya.
Insinyur-insinyur memberi tenaganya, dokter-dokter memberi tenaganya, tukang-tukang
gerobak memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi memberi tenaga-nya, ahliahli dagang
memberi tenaganya, ahli-ahli pertahanan memberi tenaganya, semua memberi tenaganya.
Bercorak macam, tetapi toh menjadi satu harmoni, menyusun satu masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.
Tadi juga demikian, macam-macam suara saya dengar. Tetapi di bawah pimpinan ananda
Lina, bukan main merdunya. Saya dengar ada suara bas; saya dengar ada suara laki-laki tetapi
sopraan, seperti burung sikatan suara itu. Saya mendengar ada suara yang gemetar, ada suara
yang betul-betul bergelora, tetapi semuanya bersama-sama memperdengarkan satu lagu
Indonesia Raya yang membangkitkan keharuan hati.
Inilah gambar daripada demokrasi terpimpin di dalam esensinya. Contoh ini saya berikan
kepada kawan yang bertanya kepada saya: Apa Bung, demokrasi terpimpin itu? Dan yang
sesudah dua jam saya bicara sampai meniren saya punya mulut ini, saya tanya: Sudah
mengerti? Belum. Kemudian saya beri contoh hal konsert dengan ia punya kertas noot dan
dirigent, sekaligus ia mengerti.
Saudara-saudara, saya di sini diminta memberi kuliah tentang keadilan sosial dan demokrasi
terpimpin. Mulai dengan pertanyaan: Apa toh Bung, keadilan sosial itu? Kok perluperlunya ditanyakan apakah keadilan sosial itu; padahal semua orang sebenarnya di dalam
kalbunya sudah mengerti. Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat
adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada peng-hinaan, tidak ada penindasan,
tidak ada penghisapan. Tidak ada sebagai yang saya katakan di dalam kuliah umum
beberapa bulan yang lalu exploitation de lhomme par 1homme. Semuanya berbahagia,
cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Jelas,
nggak perlu diterangkan lagi. Di dalam ilmu ilmiah, di dalam bidang ilmiah timbul
pertanyaan, bagaimana mencapai atau terjadinya masyarakat yang demikian itu.

Nah, di sini ada bermacam-macam pendapat. Ada orang yang berkata dan orang ini
mendasarkan kepada teori yang biasa dinamakan teori evolusi, evolutie theorie yang
menurut evolutie theorie ini, masyarakat keadilan sosial atau katakanlah masyarakat sosialis
datang lambat laun dengan sendirinya. Dalam bahasa Jermannya Sozialismus ist eine
historische Notwendigkeit.
Suatu keharusan historis, historische Notwendigkeit. Mau tidak mau dengan sendirinya
masyarakat bertumbuh, ber-kembang, berbangkit berevolusi ke arah sosialisme.
Oleh karena itu, dikatakan Sozialismus ist eine historische Notwendigkeit. Garis besar
daripada evolutie theorie adalah sebagai berikut: bahwa dunia manusia ini tidak selamanya
begini. Bahwa dunia manusia itu bertumbuh, berevolusi, bahwa manusia zaman sekarang lain
sekali daripada manusia zaman dulu. Bahwa zaman dahulu manusia itu masih biadab,
berdiam di hutan, di rimba-rimba, kemudian lambat laun, bertumbuh, bertumbuh kecerdasannya, berevolusi kecerdasannya, hingga akhirnya tercapainya ujung kecerdasan dan
puncak evolusi itu yang berupa satu masyarakat sosialisme. Dikatakan: fase pertama daripada
evolutie theorie ini, manusia hidup di dalam gua-gua dan rimba-rimba. Cara pencaharian
hidupnya ialah dengan memburu, mencari ikan di sungai atau di laut. Cara yang boleh
dikatakan sangat terbelakang, prehistoris, cara amat terbelakang. Dan nanti saya terangkan di
dalam pertumbuhan inipun berubah akal pikiran, pandangan-pandangan daripada manusia itu.
Akal pikiran adalah pencerminan, refleksi daripada cara manusia mencari makan dan minum.
Mula-mula mencari makan dan minum dengan memburu dan mencari ikan, berdiam di guagua, di rimba-rimba, akal pikirannya sesuai dengan keadaan yang demikian itu. Pernah saya
kuliahkan mengenai cara religi, bahkan bentuk religinya sesuai dengan cara hidup yang
demikian itu. Bagi manusia di tingkat evolusi yang demikian, yaitu orang yang hidup dalam
rimba raya, di dalam gua-gua, mencari ikan, berburu, maka ia punya tempat persembahan
lain daripada tempat persembahan kita sekarang. Manakala kita sekarang mengenal apa yang
dinamakan Tuhan, atau Allah atau Yehovah, atau God, dulu dalam tingkat evolusi sedemikian
itu, yang disembah ialah petir, ialah awan yang berarak, ialah sungai yang dahsyat mengalir,
ialah angin taufan, ialah pohon rindang yang memberi perlindungan, ialah batu besar yang di
belakangnya ia ber-sembunyi. Ini mereka punya Tuhan. Tuhannya berupa petir, gcledek,
hujan, angin, awan, pohon, lautan sungai dan lain-lain sebagainya. Di dalam tingkat
kehidupan demikian itu misalnya rakyat Skandinavia zaman dahulu, ini pernah saya
ceritakan di dalam pidato saya tatkala memperingati Isyra Miradj di Surabaya, tatkala
mereka masih hidup di dalam hutan dan rimba-rimba, zamannya Germanen tijd, yang mereka
sembah antara lain ialah Wodan atau Geledek dan Guntur yang mereka beri nama Thor.
Jikalau rnereka mendengar geluduk yang gemeluduk, di dalam angan-angan mereka, mereka
melihat raja Thor mengendarai ia punya kendaraan di langit. Rodanya terbuat daripada sinar
yang bercahaya dan tiap-tiap kali roda itu mengenai awan melompat dari satu puncak awan
ke puncak awan yang lain, keluariah suara geluduk yang dahsyat. Orang Skandinavia zaman
dahulu, jikalau mendengar akan geluduk dengan mata yang dahsyat, mereka berkata satu
sama lain: Thor lewat. Thor lewat. Sama dengan orang Yogya. Orang Yogya itu kalau
mendengar angin ribut: lampor, lampor. Tahu nggak lampor? Ya, ada kereta di langit lewat.
Malah ada yang keluar dengan lampu, lampunya dicantelkan di muka rumah. Mas, kok
pasang lampu. Lampor lewat.
Ini adalah tingkat kehidupan manusia menurut evolutie theorie yang pertama. Kemudian
manusia berevolusi, akan pikirannya makin lama makin cerdas, meningkat ke tingkat yang

kedua, terutama sekali di tanah-tanah, di negeri-negeri yang banyak perumputan. Manusia


lantas pindah kepada kehidupan berternak. Evolusioner sangat logis, bahwa daripada
memburu di hutan lambat laun menternak, misalnya memburu rusa, memburu kambing,
memburu sapi, sapi zaman dahulu itu di hutan, kerbau zaman dahulu itu di hutan, seperti
rusa zaman sekarang di hutan. Memburu kerbau, memburu sapi, akhirnya menangkap juga
anak sapi, atau anak kambing. Mereka belajar: ini bisa dipelihara. Lambat laun lantas timbul
pikiran: daripada memburu menghadapi bahaya yang begitu banyak, mungkin disambar oleh
Thor ini, atau kelelep di dalam sungai, lebih baik ini saja: mengumpulkan anak kambing atau
anak sapi. Dipelihara, berkembang biak, menjadi apa yang dinamakan ternak. Berevolusilah
ia punya hidup ke arah peternakan. Dan dengan itu berevolusi pula ia punya alam pikiran,
bahkan berevolusi ia punya pengertian akan Tuhan.
Tadi yang ditakuti ialah Thor atau menyembah pohon, atau menyembah batu, seperti tersebut
di dalam Baghawat Gita. Baghawat Gita itu ajarannya Sri Kresna kepada Arjuna di dalam
peperangan Bratayuda. Esensi daripada baghawat Gita ialah bahwa Kresna menceritakan hal
ini: Tuhan itu rupa-rupa macammnya.
Nah ini tadi berupa Thor, kemudian lagi berpindah, berpindah rupa. Kresna berkata kepada
arjuna: Aku, yaitu Tuhan yang dimaksud dengan perkataan Aku, Aku adalah di dalam
geloranya lautan yang membanting di pantai.
Fase pertama Aku adalah di dalam sepoinya angin yang meniup; fase pertama Aku adalah di
dalam rindangnya pohon yang memberi perlindungan padamu; Aku adalah di dalam batu di
muka mana si orang biadab menekukkan lutut; Aku adalah di dalam harumnya bunga;
Aku adalah di dalam api; Aku adalah di dalam panasnya api, Aku adalah di dalam bulan
pernama; Aku adalah di dalam sinarnya bulan purnama; Aku adalah di senyumnya gadis yang
manis. Aku memenuhi semesta alam ini.
Demikian pula manusia sebagai tadi saya katakan yang disembah itu selalu berubah-ubah.
Thor, beringin, batu, lautan, sungai dan lain-lain di dalam tingkat pertama menjadi tempat
persembahan. Tatkala manusia hidup dari peternakan berpindahlah ia punya image of
worship, Inggerisnya image of worship daripada pohon dan petir, angin ribut dan lautan
dan sungai kepada binatang-binatang. Oleh karena ia hidup dari binatang, ia mengagungkan,
memuliakan, bahkan menyembah binatang. menyembah sapi, yang restannya masih ada kita
lihat di Indonesia sekarang. Menyembah gajah, menyembah buaya, menyembah rusa dan
lain-lain sebagainya. Berpindahlah lambat laun manusia ini kepada fase evolusi yang ketiga.
Fase evolusi ketiga ialah: dari peternakan manusia hidup, belajar hidup dari pertanian. Juga
logis. Manusia dari asal mulanya sudah omnivoor; omnivoor artinya hidup dari segala macam
makanan. Herbovoor hanya hidup dari tumbuh-tumbuhan, seperti sapi. Carnovoor hanya
hidup dari daging-daging, seperti harimau. Manusia adalah omnivoor; makan segala; makan
daging, makan ikan tetapi juga makan tumbuh-tumbuhan. Pada waktu di dalam fase pertama
dia sudah makan tumbuh-tumbuhan. Juga oleh karena ia adalah omnivoor. Di samping makan
daging, ia melihat ada jagung, ia makan jagung. Ia melihat ada padi, ia makan padi, ia
melihat ada jipang, ia makan jipang, ia melihat ada labu, ia makan labu. Ia melihat ada buahbuahan di pohon, ia makan buah-buahan di pohon. Ia melihat ada lembayung, ia makan
lembayung.
Lambat laun di dalam fase yang kedua itu, ia harus memberi isi perut, bukan saja hanya
perutnya sendiri, tetapi isi perut ternaknya, dan ia memberi isi perut ternak itu, rumput. Tetapi
juga mencarikan rumput atau daun-daunan untuk ternak itu, sebagaimana orang zaman

sekarang juga masih mencari makanan bagi ternaknya. Lambat laun ia belajar, bahwa
rumbuh-tumbuhan ini bisa ditanam. Padi bisa ditanam, jagung bisa ditanam dan selalu
hasilnya lebih baik daripada hidup liar. Akhirnya ia belajar, lha, tidak perlu ternak-ternakan
dan lain sebagainya itu; ini lebih penting. Lebih gampang dan lebih memuaskan hidup
daripada jagung, hidup daripada padi.
Oleh karena itu: Ayo sekarang tanam padi, tanam padi, tanam jagung, tanam jagung.
Fase ketiga daripada perikehidupannya ialah ke bidang pertanian. Dan pernah saya tuliskan di
dalam kitab saya Sarinah, di sini kita wajib memberi hormat kepada wanita. Wanitalah de
ontdekster van de landbouw yang pertama. Wanitalah yang pertama kali menemukan ilmu
pertanian ini. Bukanlah laki-laki. Tetapi Wanita! Sebab tatkala laki-laki berburu, tatkala lakilaki mencari ikan di laut atau di sungai, tatkala laki-laki menggembalakan ia punya ternak di
dalam fase yang kedua, sebagian daripada wanita itu tinggal di tempat kediamannya yang
belum berupa rumah, masih berupa hutan, gua. Tetapi wanita tinggal di situ, oleh karena ia
tidak bisa ikut selalu memburu tidak bisa selalu ikut mencari ikan, tidak bisa selalu ikut
menggembala oleh karena wanita kadang-kadang hamil dan lain-lain sebagainya. Wanita
harus memelihara anak, menggendong anak meskipun belum dengan selendang seperti
zaman sekarang. Dengan anak merah ini ia tidak bisa ikut memburu, tidak bisa ikut
menangkap ikan, tidak bisa ikut menggembala ternaknya jauh daripada tempat yang menj adi
perlin- dungan baginya. Dia tinggal di tempat. Dan tatkala oleh karena ia tinggal di tempat
itulah, ia pada waktu menganggur bercocok tanam. Anaknva dibaringkan somewhere.
Ditutupi daun-daun dan di atas daun-daun yang lunak, somewhere, ia cokel-cokel tanah, dan
ia melihat; he, butiran pada kalau ditanamkan tumbuh, kemudian bisa berbuah. He, butiran
jagung kalau ditanamkan tumbuh, kemudian bisa berbuah. Ia lantas semacam zich
specialiseren, specialized herself, di dalam hal ini, sehingga dialah yang menjadi promotor
daripada pertanian. Oleh karena itu saya katakan: wanita adalah de eerste ontdekster van de
landbouw, pendapat pertanian yang pertama. Kalau tidak salah ini pernah saya kuliahkan
pula di sini.
Demikian pula wanitalah yang membuat kebudayaan yang pertama. De ontdekster van
cultuur, wanita. Bukan laki-laki! Wanita yang pertama-tama harus memberi perlindungan
kepada babynya. Timbul pikirannya: aduh, kasihan anakku ini; kalau hujan basah, kalau ada
matahari ia kering. kasihan. Dengan ranting-ranting ia membuat semacam atap di atas baby
itu, ditutup dengan daun-daunan asal permulaan daripada pengertian rumah. Wanita pertamatama membuat rumah. Wanita yang melihat: kasihan babynya, dingin kedinginan, hujan
basah timbul pikiran: Kalau kulit binatang, ia sambungkan satu sama lain, dengan dikasih
lubang, dengan akar kasih lubang manjahit. Pertama kali saudara-saudara. Satu bagian kulit
binatang dengan lain bagian kulit binatang, dihubungkan satu sama lain; dengan duri ia bikin
lubang, dan dengan serat ataukah dengan akar yang halus ia sambungkan dua hal ini. Ini
sudah permulaan daripada kultur. Permulaan daripada kebudayaan. Kultur berpakaian wanita;
de eerste ontdekster, ontdekster van cultuur. Wanita pula yang dari ternak itu harus
mengumpulkan air susu. Bukan saja makan dagingnya, susupun berharga sekali buat ia
minum, buat ia persembahkan kepada suami, sekarang ini wanita kadangkadang tidak mau
persembahkan apa-apa kepada suaminya -, buat diberikan kepada babynya. Bagaimana ia
mengumpulkan susu? Sapinya banyak susunya atau kerbaunya banyak susunya, kambingnya
banyak susunya. Ini persetujuan barang kali. Ia timbul pikiran di dalam otaknya untuk
membikin wadah buat susu, ia buatnya dari tanah liat. Dari tanah liat ia bikin buat pertama
kali periuk. Ia tahu tanah liat itu kok bisa, kalau dibegitu-begitukan menjadi wadah dan
wadah yang basah ini dikering-kan. Apalagi kalau dibakar. Kemudian ini penjadi periuk, bisa

menjadi tempat susu. Jadi jelas benarlah perkataan saya, bahwa wanita adalah de eerste
ontdekster van cultuur.
Di dalam tingkat hidup yang ketiga ini yang manusia hidup daripada pertanian, terutama
sekali, pindah lagi ia punya Godheid, pindah lagi ia punya tempat persembahan, tadinya
guntur, geledek, pohon, air dan lain-lain, pindah kepada binatang-binatang, sekarang pindah
kepada suatu tempat permohonan. Padi di tanam. tetapi kalau hujan. Kalau tidak hujan,
kering. Ia mempunyai tempat pemohonan: mohon supaya sang padi ini tumbuh dengan
selamat dan baik. Ia mulai memberi bentuk antropomorf kepada ia punya Tuhan.
Antropomorf artinya berbentuk manusia. Tadinya berbentuk, terutama sekali, sebagai Thor
itu manusia, tetapi kebanyakan masih berbentuk pohon, berbentuk batu, laut dan lain-lain
sebagainya. Berbentuk binatang, jelas. Sekarang antropomorf sekali. Dewanya atau dewinya
manusia. Di sini timbul begrip Uewi Sri, kataku tempo hari. Antropomorf.. puteri cantik yang
bernama Dewi Sri, yang memberi perlindungan kepada pertanian itu. Di tanah Pasundan
Saripohaci. Saripohacipun kalau ditanya bagaimana rupanya Saripohaci? Masya Allah,
masya Allah, cantiknya bukan main! Malam-malam di dalam sinar bulan purnama ia turun
dari kayangan. Melewati sinar bulan itu. Ia lantas melihat sawah-sawah dan ladang-ladang
ini. Ia memberi restu kepada sawah-sawah dan ladang-ladang ini. Antropomorf. Tetapi pusat
ia punya persembahan manusia itu, kesitulah.
Pindah lagi evolusinya.
Evolusi yang keempat, ialah manusia, oleh karena bercocok tanam, memerlukan alat.
Bercocok tanam tidak bisa dengan tangan saja dikorek-korek. Memerlukan alat-alat untuk
garap tanah. Pikiran manusia lantas membuat alat. Membuat semacam linggis, dari batu atau
dari kayu. Membuat semacam pacul, membuat semacam garu. Membuat semacam alat
pengangkutan, yang mengangkut padi-padi yang banyak itu dari sini ke sana. Mula-mula
diseret saja, tetapi lambat laun, lambat laun, timbul ia punya pengalaman: kalau bukan
diseret, tetapi dengan barang yang gemelinding, bunder, lebih mudah. Timbullah akal
manusia untuk membuat alat. Alat pertanian, alat membuat periuk-periuk, alat membuat
rumah-rumah. Rumah itu banyak sekali keperluannya. Membuat tatah untuk mengerjakan
kayunya, harus tali-temali. Malahan timbul pikiran: harus dibor, harus dengan pantek, harus
dengan ini. harus dengan itu. Alat untuk membuat pakaian yang tadinya dari kulit binatang
yang satu dihubungkan dengan kulit binatang yang lain. Lambat laun timbul pikiran, pikiran
membuat alat, membuat alat. Akhirnya timbul fase yang keempat, yaitu fase manusia hidup di
sampingnya bercocok tanam dengan yang dinamakan kerajinan tangan, nijverheid, industri.
Belum industri besar, tetapi huis-industrie, industri kecil, industri rumah. Dan di dalam alam
yang demikian ini pikirannyapun lain, tempat persembahannyapun lain. Tadi di dalam fase
yang ketiga antropomorf, jelas dikata-kan puterinya cantiknya bukan main! Malahan bisa
digambar-kan; rambutnya ngandan-andan kaya kembang bakung. Ciptaannya itu jelas
kelihatan, Antropomorf. Kulitnya mingir-mingir, bibirnya seperti gambir sinigar, lehernya
seperti lungnya jagung mantul-mentul, lambehannya seperti macan luwe. Jelas kelihatan.
Tetapi di dalam fase yang keempat, lmbat laun hilang gambar antropomorf ini. Lambat laun
ia punya Tuhan menjadi Tuhan yang gaib. Gaib artinya tidak bisadilihat, tidak bisa diraba,
tidak bisa dicium, tidak bisa dikenali dengan panca indera. Dilihat tidak kelihatan, didengar
tidak kedengaran, dijilat tidak terasa dipegang tidak bisa, dicium tidak ada baunya. Hilang ia
punya sifat antropomorf. Ia lantas menggaib, hilang, ialah terutama sekali oleh karena
manusia di sini cara hidupnya tergantung dari ia punya akal, ketajaman ia punya otak,
akalnya, akal memikir mencari alat, alat, alat. Bagaimana bisa membikin alat supaya
membuat kain selekas-lekasnya; ini harus ada alat pemintal kapas, Sesudah kapas ini dipintal

menjadi benang, harus ada alat untuk menenun; alat membikin gerobak, alat membikin
lobang di dalam kayu, yaitu bor.
Alat ini, alat itu. Alat, alat, pikir, pikir. Akal pikiran manusialah menduduki tempat yang
pertama di dalam ia punya hidup. Ia punya Tuhan juga menjadi gaib. Kalau ditanya
bagaimana Tuhanmu? Kelihatankah? Tidak. Bisa engkau bau? Tidak. Bisa engkau raha?
Tidak. Bisa engkau lihat? Tidak. Bisa engkau dengar? Tidak. Di mana Tuhanmu? Tidak
kclihatan. Gaib, sebagaimana juga akal manusia adalah gaib. Saudara Roeslan Abdulgani
tempo hari berkata di dalam salah satu prasaran, ada yang me ngatakan manusia itu fosfor. Ini
ucapan dari Feurbach. la berkata:
Zonder fosfor, geen mens, geen gedachte, zonder fosfor geen gedachte. Tanpa fosfor tidak
ada pikiran. Oleh karena ia berpendapat, pikiran itu timbulnya daripada otak yang
makanannya terutama sekali fosfor. Jadi kalau tidak ada fosfor, tidak ada pikiran, tidak ada
ini, tidak ada itu. Fosfor pokok daripada segala hidup, terutama sekali hidup mental, hidup
spirituil, hidup pikiran, hidup yang di luar daripada kepanca-inderaan.
Oleh karena manusia di dalam fase keempat, terutama sekali tergantung daripada kecerdasan
otaknya, ia punya Ketuhanan menjadi gaib, abstrak, tidak lagi riil.
Ini di dalam fase keempat, demikian.
Fase keempat bertambah maju lagi menurut hukum evolusi, menjadi fase kelima, yaitu fase
yang kita namakan fase industrialisme sekarang ini. Kerajinan di rumah membuat alat-alat,
bertumbuh, ontwikkelt zich, developed itself, ke dalam satu kesempurnaan teknologi, ke
dalam satu kesempurnaan ilmu teknik, sehingga jadilah apa yang dinamakan industrialisme,
yang di dalam zaman dekat ini dikuasai oleh paham-paham kapitalisme. Industrialisme yang
membuat alat-alat dan kebutuhan hidup manusia dengan mesin. Industrialisme yang
mengenal lokomotif. Industrialisme yang mengenal kapal-kapal udara. Industrialisme yang
mengenal kapal-kapal laut. Industrialisme yang mengenal pesawat listrik. Industrialisme yang
mengenal radio. Industrialisme yang mengenal alat-alat peperangan yang di luar kekuasaan
manusia. Industrialisme yang boleh dikatakan menjadi alat hidup manusia sama sekali.
Di dalam fase yang demikian ini, apa yang tadi dinamakan Tuhan, yang abstrak, di dalam
fase keernpat orang masih bcrkata, adakah Tuhan? Ada. Rupanya bagaimana? Tidak tahu.
Rupanya saya tidak bisa mengatakan. Dilihat tidak bisa, dicium tidak ada, didengar tidak ada,
diraba tidak ada, dijilat tidak rasa. Di luar panca indera, tetapi Dia ada. Ini fase keempat.
Fase kelima. Oleh karena manusia sudah hidup di dalam alam industrialisme yang ia kuasa
membikin segala hal, membikin apa saja yang ia tidak bisa, lha mbok membikin pesawat
yang bisa mengirimkan suara dari sini ke Amerika, ia bisa. Alam yang demikian itu, yang
merasa dirinya kuasa, kuasa atas segala hal; yang di sini de ikheid, ego, aku, -ego dengan
aku etymologis sama aku yang berkuasa, aku bercakrawarti. Aku kuasa membuat suara.
Aku kuasa membuat sinar yang terang. Aku berkuasa membuat petir. Tempo hari saya
ceritakan bahwa Nocolai Tesla bisa membuat petir, dengan mengadakan dua pool yang ia isi
voltage bertrilyun-trilyun volt. Kemudian ia lepaskan. Di antara dua pool ini mencetus,
menggeledeklah petir. Ia berkata: Aku bisa membuat petir!
Orang bertanya mana Tuhanmu? He, Tuhan, tidak ada. Tuhan di sini tidak ada. Tuhan ialah
aku. Aku bisa membuat suara, aku bisa membuat petir, aku bisa membuat cahaya, aku bisa

membuat segala hal yang diperlukan. Aku, aku, aku! Di sinilah timbul, apa yang orang
namakan atheisme, sebagai Feuerbach berkata: Akh, nonsens dengan agama. Nonsens
dengan Tuhan. Fosfor adalah pokok daripada segala gedachte.
Saya ulangi tekanan kata: Alam industrialisme yang di dalam saat-saat belakang kita yang
dekat ini, dikuasai oleh paham kapitalisme. Itu merupakan satu kuliah tersendiri. Faham
kapitalisme menguasai industrialisme ini. Mempergunakan industrialisme ini untuk membuat
kayanya satu bagian daripada manusia, dan membuat sengsaranya sebagian besar daripada
manusia. Sistem exploitasi daripada kapitalisme mem-pergunakan industrialisme ini. Di
dalam alam keadilan sosial, alam isdustrialisme ini juga dipergunakan. Jangan mengira
bahwa keadilan sosial itu mempergunakan alat-alat yang usang dan kuno, bahwa kita dengan
alam keadilan sosial ini kembali kepada hidup di dalam rimba atau di dalam gua, bahwa kita
di dalam alam keadilan sosial itu kembali kepada hidup hanya daripada ternak saja, atau
hanya pada pertanian saja. Atau di dalam alam keadilan sosial itu hanya duduk di rumah,
membuat kikir, membuat palu, membuat ini, membuat itu, membuat industri kecil
perumahan. Tidak.
Sudah pernah saya katakan bahwa cita-cita kita dengan keadilan sosial ialah satu masyarakat
yang adil dan makrnur. Saya tekankan adil dan makmur, makmur dan adil, dengan
mempergunakan alat-alat industri, alat teknologi yang sangat modern. Yang membuat celaka
manusia bukan mesinnya. Yang membuat celaka manusia ialah caranya kita mempergunakan
mesin. Mesin yang tempo hari saya katakan oleh Mahatnla Gandhi dikatakan devils work,
ia tidak senang kepada mesin, benci kepada mesin. Benci kepada kapal udara. Benci kepada
lokomotif. Benci kepada derunya mesin-mesin yang dahsyat. Mahatma Gandhi lebih senang
kepada hidup tentrem, adem ayem, adil, siniram banyu wayu sewindu lawase. Mahatma
gandhi tidak menyenangi industrialisme modern. Sebaliknya kita senang kepada
industrialisme mnodern, asal tidak dikuasai oleh sistem kapitalisme. Tetapi industrialisme
modern itu kita pergunakan untuk kepentingan umum. Mesin kita pergunakan untuk
kepentingan umum. Segala alat-alat modern kita pergunakan untuk kepentingan umum.
Menurut evolutie-theorie, maka sebagai tadi saya katakan, Sozialismus ist eine historische
Norwendigkeit. Menurut sebagian daripada evolutie-theorie ini, sudah dengan sendirinya
manusia itu hidup daripada berburu dan mencari ikan, ke perternakan, ke pertanian, ke
perindustrian rumah, ke industrieel kapitalisme, atau kapitalistis industrialisme; nanti dengan
sendirinya tumbuh daripada kapitalis industrialisme atau industrieel kapitalisme ini,
sosialisme, tumbuh masyarakat adil dan makmur. Malahan orang daripada pihak ini
mengatakan: Tidak hisa engkau lewati fase ini, fase industrieel kapitalisme, fase kapitalistis
industrialisme ini; tidak bisa engkau lewati. Malahan ia berkata fase industrieel kapitalisme
atau kapitalistie industrialisme ini adalah tempat latihan, tempat pengalaman. Manusia tidak
bisa sekonyong-konyong menjadi sosialis, katanya. Manusia tidak bisa sekonyong-konyong
mem-pergunakan industrialisme itu untuk kebahagiaan sernuanya. Manusia tidak sekonyongkonyong bisa mempergunakan industrialisme itu sebagai socialistis industrialisme. Tetapi
manusia itu harus mendapat latihan berpuluh-puluh tahun. Cara mempergunakan mesinmesin, menjalankan pesawatpesawat, cara mengetahui management. Ini terutama sekali dikatakan: Management ini, wah, ini yang paling penting. Tidak bisa orang sekonyongkonyong tahu management, sekonyongkonyong bisa. Meskipun diberi mesin seribu, dua ribu,
empat ribu, lima ribu, sepuluh ribu, sekonyong-konyong ia bisa membikin satu masyarakat
adil dan makmur, sosialistis. Satu pendirian Saudara-saudara, ia katakan: Ya, ini dengan
sendirinya tumbuh. Reaksi daripada kaum yang di dalam sistem kapitalisme ditindas.

Ingat tempo hari saya memberi kuliah di sini, bahwa di seluruh sejarah manusia itu selalu ada
pertentangan. Selalu ada klassenstrijd. Selalu ada pertentangan kelas. Dulu di dalam zaman
feodal, pertentangan kelas antara tuan feodal dengan rakyat yang difeodali. Di dalam alam
kapitalisme juga ada pertentangan kelas antara kelas kapitalis dengan kelas proletar.
Dengan sendirinya maka kesadaran kelas, klassebewustzijn, kesadaran kelas, makin lama
makin tumbuh, makin lama makin tumbuh, sehingga makin bertumbuhnya klassebewustijn
daripada kelas proletar ini lama-lama zich organiseren di dalam kekuatankekuatan yang
berupa vakvereniging, kumpulan-kumpulan, serikat-serikat, sekerja dan lain-lain sebagainya.
Sehingga kekuasaan daripada kaum kapitalis ini lambat laun dirckoti, dikrikiti, digrogoti.
Tempo hari saya sebutkan, ini adalah uithollingstheorie. Dengan sendirinya kapitalisme itu
uitgehold. Lama-lama dengan sendirinya kapitalisme ini yang uitgehold, tergerogoti, makin
lama makin mengkerut, makin lama makin mengkeret. Dengan sendirinya timbullah satu
masyarakat sosialisme.
Ini yang dinamakan evolutie-theorie di dalam uiterste konsekwentie. Tanpa perjuangan, boleh
dikatakan. Dengan sendirinya est ist eind historische Notwendigkeit. Sudah, kerja saja
biasa, ambillah pengalaman. Dengan sendirinya nanti, nanti, nanti. Dengan sendirinya nanti
toh datang alam sosialisme.
Di dalam kuliah saya yang akhir di Yogyakarta, saya sudah katakan bahwa ada teori lain,
yang menentang uithollings-theorie ini. Teori yang berkata: kapitalisme tidak bisa mengkeret
dengan sendirinya, kapitalisme tidak bisa gugur dengan sendirinya; tidak bisa. Tetapi pada
satu saat kapitalisme ini hanya dapat digugurkan. Digugurkan dengan tenaganya kaum
proletar yang terhimpun di dalam satu massa-aksi yang hebat. Digugurkan dengan tenaganya
kaurn proletar yang merebut kekuasaan daripada tangannya kaum kapitalisme itu. Kemudian
diadakan satu sistem oleh kaum proletar sendiri untuk mempergunakan alat-alat
industrialisme yang rnodern ini bagi kepentingan kaum proletar.
Inilah yang tenlpo hari saya katakan kepada Saudara-saudara, yang dinamakan
revolutionaire theorie van de directe actie. Teori revolusioner daripada aksi direk, aksi
langsung. Bukan menunggu terjadinya sosialisme sebagai satu historische Nolwendigkeit.
Tidak! Tetapi menyusun tenaga, menggempur, menggempur kapitalisme ini. Akhirnya
kapitalisme ini gugur, dan hanya kaum proletar yang berkuasa. Siapa yang tidak proletar
tidak boleh ikut campur di dalam urusan ketatanegaraan. Di dalam tata ekonomipun, hanya
kaum proletar yang mengurus, mengatur, agar supaya alat produksi yang modern ini
dipergunakan untuk kepentingan buruh, kaum proletar, tanpa exploitation de 1homme par
lhomme.
Ini dinamakan theorie van directe actie. Di dalam penyeleng-garaannya ialah diktatur
proletar dictatuur van het proletariaat. Kuasa kaum proletar sendiri menggunakan alat-alat
yang modern untuk kepentingan seluruh kaum proletar. Sosialisme proletar het proletarisch
socialisme.
Berhadapan dengan theorie ini lambat laun di dalam abad ke-20 atau lebih tegas permulaan
abad ke-20, timbullah suarasuara: Nee, nee, sosialisme adalah benar suatu unsur Notwendigkeit. Tetapi itu tidak berarti bahwa dus sosialisme itu jatuh dari langit seperti air
embun jatuh dari langit di waktu malam. Sosialisme harus diperjuangkan, meskipun ia seribu
kali Notwendigkeit, meskipun ia seribu kali historische Notwendig-keit. Ia hanyalah
menjadi satu realiteit dengan perjuangan; satu. Nomer dua, tidak perlu manusia itu, fase

pertama dulu, fase kedua dulu, fase ketiga dulu, fase keempat dulu, fase kelima dulu, baru
sosialisme. Tidak perlu.
Ini adalah teori baru yang timbul pada permulaan abad ke-20. Pada permulaan abad ke-20
sebetulnya gerakan kaum buruh di Eropa, yang saudara-saudara mengerti bahwa teori-teori
ini terutama sekali timbul di dalam gerakan kaum buruh, orang belum mempunyai
pengalaman. Pada permulaan abad ke-20 atau akhir abad ke-19 belum ada contoh, bahwa
sesuatu bangsa mencoba menyelenggarakan sosialisme. Belum ada. Saudara mengetahui,
bahwa negara sosialis yang pertama terjadi di dalam tahun 1917 si Sovyet Uni yang sebagai
tempo hari saya katakan, tidak disangka-sangka oleh ahli sejarah, terutama sekali ahli sejarah
peperangan dunia pertama. Peperangan dunia pertama mempunyai war-aim, mengalahkan
satu pihak, ini mesti kalah, ini mesti menang. Jebul yang timbul dari peperangan dunia yang
pertama, bukan menangnya ini. bukan gugurnya ini, tetapi timbul suatu hal yang sama sekali
tidak tersangka-sangka, yaitu timbul berdirinya negara sosialis di Rusia yang bernama Sovyet
Uni. flingga tempo hari saya sitirkan salah seorang sosialis yang berkata: War is strange
alchemist. Apa yang sebenarnya hendak dibuat tidak jadi.
Tetapi muncullah suatu hal yang sama sekali tidak tersangkasangka. Perang dunia pertama
menghasilkan barang yang tidak tersangka-sangka yaitu terjadinya negara sosialis di Sovyet
Uni.
Pada permulaan abad ke-20 dan akhir abad ke-19 manusia belum melihat contoh
penyelenggaraan sosialisme, sebagai sekarang orang melihat contoh penyelenggaraan
sosialisme. in al zijn schakeringen. Saudara-saudara mengetahui, bahwa sesudah
peperangan dunia yang kedua juga timbul hal yang tidak tersangka-sangka.
Peperangan dunia kedua yang kancah-kancahnya berkobarkobar, bernyala-nyala, berapi-api
di seluruh dunia, dimaksud-kan untuk menimbulkan kemenangan bagi Allied Forces,
negaranegara sekutu. Hancur leburnya negara-negara yang tergabung di dalam fasisme,
Jerman, Italia, Jepang. Apa yang terjadi sebagai peneloran dari peperangan dunia yang kedua
ini? Juga, sekali lagi War is a strange alchemist. Dengan tidak tersangka-sangka timbul
negara-negara sosialis yang baru. Sampai sekarang kalau tidak salah terjadi 15 negara sosialis
baru di dunia ini, sebagai akibat peperangan dunia yang kedua, sehingga manusia sekarang,
lain daripada manusia dulu. Manusia sekarang lain daripada manusia pada permulaan abad
ke-20, lain daripada manusia di dalam akhir abad ke-19. Manusia sekarang melihat beberapa
contoh in al zijn schakeringen, ada extreem, ada yang setengah extreem, ada yang lunak,
tetapi contoh penyeleng-garaan sosialisme, di dalam segala bentuk, in al zijn schakeringen.
Pada akhir abad ke-19, permulaan abad ke-20 belum ada sesuatu contoh, sehingga pada
waktu itu terutama sekali, sebagian besar dari kaum sosialis, mengikuti teori evolusi, in al
zijn konskwenties itu tadi, Sozialismus ist eine historische Notwendigkeit, Sosialisme
nanti datang sendiri. Ya, biarlah kita mengalami alam kapital-isme ini, sebagai alam latihan,
alam pengalaman, alam peng-alaman mempergunakan alat-alat modern. Alam pengalaman
hal management, alam untuk mendidik social bewustzijn sedalam-dalamnya di dalam
kalangan kaum proletar. Ini adalah satu fase yang perlu. Dikatakan: Perlu! Juga satu fase
historisch Notwendegkeit.
Tanpa fase lima ini, tidak bisa engkau mengadakan sosialisme. Tidak bisa engkau ujungujung dari kelas tiga naik kelas tujuh. Mesti mengalami kelas empat, kelas Iima, kelas enam
dulu. Teori ini pada permulaan abad ke-20 mulai ada yang menentang, yaitu yang dinamakan
kaum sosialis revolusioner. Antara lain seorang wanita lagi, namanya Rosa Luxemburg, yang

berkata: Nee, tidak perlu fase satu dulu, fase dua, fase tiga, fase empat, fase lima kemudian
baru sosialisme. Tidak perlu! Boleh dilompati fase kapitalisme ini. Dari fase keempat kita
bisa melompat ke fase enam. Luxemburg mengatakan, teorinya itu teori, dalam bahasa asing,
Belandanya fasensprong, pelompat-an fase. Theorie der Fasensprung, bahasa Jermannya.
Penting sekali teori Rosa Luxemburg ini theorie der Fasensprung, melompat. Dan teori ini
ternyata benar, ternyata benar di dalam alam sekarang, di mana orang mempunyai
penglihatan pengalaman-pengalaman. Saudara melihat beberapa negara yang tadinya bobrok
sama sekali yang sama sekali lebih mesum daripada kita. Karena ada contoh melihat, sebab ia
hidup di dalam alam abad ke-20, melihat contoh di Sovyet Uni begitu, di RRC, begitu, di
negara lain begitu: O, sekonyong-konyong kok bisa dari sini ke sini. Ia bisa presideren
Fasensprung ini. Misalnya saya ambil satu contoh: Uzbekistan itu 34 tahun yang lalu, masya
Allah, perkara terbelakangnya bukan main! Atau Mongolia yang pernah saya datangi,
Uzbekistan pun pernah saya datangi -, Mongolia dengan ibukotanya Ulanbator tiga puluh
tahun yang lalu, masya Allah, terbelakangnya! Maaf, tempo hari saya berkata di Mongolia itu
30 tahun yang lalu wanita-wanita ganti celana satu kali setahun. Tidak ada wanita bisa
membaca, bisa menulis, orang laki-lakipun 95% tidak bisa membaca dan menulis. Orang di
sana cuma bisa menggembala, menggembala kuda, menggembala sapi, menggembala
kambing, Gembal, gembala, gembala. Lha kok sekarang, di dalam tahun 1956 saya datang di
Ulanbator, yang di dalam kitabnya Sven Hedin di dalam permulaan abad ke-20 Ulanbator
dilukiskan sebagai suatu kota, yang bukan kota, yang rumah-rumahnya tidak ada; cuma
tenda, jurk namanya, tenda terbuat dari pada kulit onta, kulit kuda atau kulit sapi. Kotor
sama sekali. Datang di Ulanbator itu berbulan-bulan melewati padang pasir. Di Ulanbator
sendiri sangat terbelakang, tidak ada orang bisa membaca dan menulis. Kemudian didatangi
pula oleh Dr Hanina W. Halle, yang menulis buku. Bukunya itu ada barangkali di perpustakaan sini: De vrouw ini Sovyet Rusland atau ada kitab nomor dua: De vrouw in het
Sovyet Oosten. Mengenai wanita De vrouw in Sovyet Rusland atau buku lain De vrouw
in het Sovyet Oosten Dr Hanina W. Halle mengatakan, pada waktu ia datang di situ keadaan
masih mesum sekali. Saya datang di Ulanbator, melihat jalan jalan terbuat daripada aspal,
melihat ada pabrik besar, canning industry, membikin makanan dalam blek. Hasil daripada
ternak, daging sapi, daging kuda, daging ini, daging itu, dimasak di dalam pabrik itu; keluar
dari pabrik itu blek-blek, blek, rasanya nyaman.
Saya melihat Universitas, yang, waduh, kalau saya melihat Gajah Mada ini! Saya melihat
gedung Parlemen bertingkat empat. Saya melihat museum geologi yang masya Allah
penuhnya ia punya koleksi daripada batu-batu yang terdapat di Mongolia, ini ada besinya, itu
ada tembaganya, itu ada mangaannya, itu ada batunya, ini ada batunya. Di sana ada minyak
tanah, ini ada, itu ada, bahkan batu-batu yang berisi fosil-fosil beberapa ratus ribu tahun yang
lalu ada juga. Kemajuan bukan main. Dan kemajuan ini berkat penyeleng-garaan teori
Fasensprung, teori melompati.
Mongolia tidak perlu mengalami kapitalisme, walaupun dulu masih hidup di dalam fase yang
kedua peternakan sekonyong-konyong melompati fase tiga, fase empat, fase lima, menjadi
suatu bangsa yang menyelenggarakan Sozialismus.
Kita bangsa Indonesia ini sebenarnya juga di dalam keadaan yang demikian. Kita
mengadakan revolusi sudah empat belas tahun. Dan sekarang datanglah saatnya kita
menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagai tertulis dalam
Undang-undang pembuatan Depernas.

Apakah perlu kita juga mengalami lebih dahulu fase Kapitalismus? Saudara-saudara
barangkali mengatakan: Ya, kita sudah mengalami kapitalisme, belum 100%. Kita mengalami imperialisme. Kita mengalami Imperialisme di dalam segala ketidakenakannya. Tetapi
kita belum mengalami industri-alisme, industrieel kapitalisme atau kapitalistis industrialisme;
belum kita alami. Belum kita alami sebagai rakyat Perancis mengalaminya, rakyat Inggris
mengalaminya, rakyat Jerman mengalaminya. Belum! Kita masih sebagian besar hidup dalam
fase agraris, ditambah sebagian hidup di dalam fase keempat huisindustrie. Tetapi apakah kita
harus mengalami fase industrieel kapitalisme, kapitalistis industrialisme agar supaya kita bisa
mengalami atau menyelenggarakan, membina, mengadakan satu masyarakat adil dan
makmur, keadilan sosial? Tidak, sama sekali tidak. Pertama, pengalaman bangsa-bangsa lain
bisa kita pergunakan. Dan demikianlah yang dipergunakan pula oleh bangsa-bangsa yang
setaraf dengan kita. Dipergunakan oleh rakyat India, melihat di negeri-negeri lain.
Dipergunakan oleh rakyat Mesir, melihat keadaan di negeri-negeri lain, melihat Yugoslavia,
yang dulu juga masih separo-separo hidup di dalam fase keempat. Melihat pengalaman dari
mana-mana, sekarang, mereka mencoba dengan hasil yang agak memuaskan, mengadakan
sosialisme itu. Kita tidak perlu mengalami fase kapitalisme in zijn volle konskwenties.
Maka sebagai tadi saya katakan, untuk menyelenggarakan sosialisme ala Indonesia atau
sosialisme yang berdasarkan Pancasila itu, kita adalah demokrasi terpimpin, yang essensinya
sudah saya gambarkan kepada saudara-saudara, dengan caranya ananda Lina memimpin lagu
Indonesia Raya. Semua menyumbangkan ia punya tenaga, baik ahli ini, ahli itu, semuanya
menyumbangkan ia punya tenaga, di bawah pimpinan satu blue-print, kitab nootnya, kertas
nootnya, di bawah pimpinan seorang dirigent. Dan tidak perlu itu, tidak harus itu bernama
Soekarno. Seorang dirigent yang bisa memimpin irama ini. Tetapi dirigent itu sebetulnya juga
cuma satu, ya, satu, teknis sebenarnya yang menjadi pemimpin ini, nootnya ini. Apakah
dirigentnya itu Torcanini, apakah dirigentnya itu Pak Abdulkarim, apakah dirigentnya itu
Raden Ajeng Siti Soemiati, apakah dirigentnya itu seorang lain-lain; yang penting ialah blue
printnya ini!
Walta Die Blaue Donau dari Johann Strauss, atau Uben den Rellen dari Ivanovichi, atau
lagi lain-lain. Yang penting: blue print yang dibuat oleh DPN ini.
Maka di dalam hal ini, sebagai saya katakan, semua harus menyumbang tenaganya, terutama
sekali daripada engkau sekalian, Engkau sekalian yang beberapa kali, tiap kali saya katakan:
He pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau diharapkan menjadi kader pembangunan,
kader pernbangunan. Tetapi di dalam melatih dirimu menjadi kader, menyusun dirimu,
menyiapkan dirimu menjadi kader, bukan sekadar engkau punya otak itu harus diisi dengan
pengetahuan; o, teknik harus mengetahui hukum Torki, teknik harus mengetahui hukum
Newton, teknik harus mengetahui hukurn Farraday, teknik harus mengetahui moment, teknik
harus mengetahui gewapend beton, atau ahli hukum harus mengetahui teori ini, teori itu, atau
dokter harus mengetahui virologi atau bacteriologi, atau urologi atau chirugie atau anatomi.
Bukan sekadar itu yang diperlukan. Saudara harus mengisi saudara punya otak dengan
technisce vaardigheid yang secukup-cukupnya. Tetapi di samping itu saudara-saudara harus
mengerti blue print ini. Jiwamu harus jiwa blue print ini. Jiwamu harus jiwa ingin
menyumbangkan tenagamu di dalam orkes maha besar rakyat Indonesia 85 juta, agar supaya
menurut blue print ini di Indonesia terselenggara satu masyarakat adil dan makmur ala
Pancasila. Dadamu harus berkobar-kobar dengan hal itu. Ya, barangkali orang-orang tua ada
yang tidak mengerti blue print tadi. Ya maklumlahorang tua. Engkau dihidupkan tahun 55,
56, 57, 58, 59. Engkau barangkali belum berumur 22 tahun. Engkau bibit muda, hidup di
dalam alam sekarang. tetapi orangtua-orangtua itu ada dapurnya itu, dapur pendidikannya itu:

alam dulu, alam Belanda, alam Hollands denken. Yang diketuai cuma kitab-kitab bahasa
Belanda: Profesor Kan berkata demikian, profesor Kranenburg berkata demikian, bahkan
tentang trias politica, Montsque berkata demikian, max Weber berkata demikian, profesor
Jung berkata demikian. Dengan bekal hasil dari dapur ini ia pindah ke dalam alam sekarang.
Kadang-kadang ia tidak mengerti alam sekarang ini. Maka oleh karena itu saya berkata
kepadamu sekalian: He pemuda dan pemudi, engkau punya kewajiban sebagai mahasiswa
bukan hanya engkau terima segala apa yang diajarkan, tetapi engkau juga mesti belajar
berpikir bebas, berpikir bebas mengalami bukan liberalisme berpikir bebas, in zich
opnemen, mengertikan suasana baru, ini blue print, ini kitab noot. Berpikir bebas: Bagaimana
aku bisa menyumbang. Ini begini sebabnya, begini sebabnya. Maaf, saya tidak mengeritik
profesor-profesor; tidak. tetapi, bukan di Yogyakarta, di Yogyakarta tidak ada -, tetapi di
lain tempat ada profesor-profesor yang masih menderita penyakit Hollands denken. Ada
profesor-profesor yang menderita penyakit snobisten. Snobisten itu, yaitu ya-ya-o, wah,
tiap-tiap hal ia tanya kepada mahasiswa, apa, quotetionnya apa, sifatnya apa? Ya pak, ini
begini, ini begini. Dari kitab mana? Lantas engkau harus bisa quote, dari kitab Jung, pagina
sekian.
Wah pinter engkau. Atau sang profesor sendiri kalau memberi kuliah, o, sebentar nama-nama
sesuatu kitab ia sebutkan; Kitab Kranenburg, kitab ini, kitab itu yang pernah saya di dalam
kuliah di Bandung, saya sinyalir ini ke-Kranenburg-an.
Apa yang saya katakan di Bandung? Saya katakan di Bandung begini, dan saya ulangi pada
waktu saya berpidato di hadapan Dies Natalis Universitas Indonesia beberapa hari yang lalu,
kenyataan dunia ini, dunia manusia yang 2.800 j uta manusia ini, bukan hanya ribuan, bukan
hanya puluhan ribu, bukan hanya ratusan ribu, bukan hanya jutaan, tetapi 2.800 juta manusia,
nyata dunia ini terpecah belah menjadi beberapa golongan. Satu golongan besar yang
pengikutnya 1.000 juta, pengikut daripada Marx dan Engels, pengikut daripada komunistis
manifest. Ada lagi satu golongan besar yang pengikutnya juga hampir 1.000 juta
manusia,pengikut daripada falsafah Thomas Jefferson yang telah menulis Declaration of
Independence America. Dikatakan oleh Bertrand Russel, ahli falsafah Inggeris yang
kenamaan, bahwa dunia ini terpecah menjadi dua golongan: yang satu golongan pengikut
daripada Declaration of falsafah Thomas Jefferson, di satu pihak pengikut daripada
komunistis manifest.
Di dalam pidato saya 17 Agustus 1958, saya berkata ada golongan yang ketiga, yaitu
golongannya bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang tidak ikut ini tidak ikut itu, tetapi golongan
yang hendak mendirikan tanah airnya sendiri menurut kepribadian sendiri-sendiri. Tetapi
nyata ini dua golongan yang besar, pengikut komunistis manifest, pengikut falsafah Thomas
Jefferson, yang sedikitnya profesor-profesor itu harus mengetahui ini, mengetahui itu. Ya
apa tidak? pengikutnya itu bukan puluhan manusia, tetapi ribuan, j uta manusia. Saya tanya
kepada profesor di sana itu, bukan di Gajah Mada: Saudara apa sudah pernah baca
komunistis manifest? Belum! Masya Allah! Belum pernah membaca komunistis manifest
yang telah membelah dunia menjadi satu golongan yang besar. Tetapi ia menjawab: Ya, saya
belum membaca komunistis manifest, tetapi saya membaca Kranenburg. Aduh, babak
bunyar saya.
Nah, kepada mahasiswa di Bandung dan sekarang juga kepada mahasiswa di Yogyakarta,
saya menganjurkan: jangan-lah mau kepada snobisten; jangan! Berpikirlah bebas, mencari
cara menyumbang kepada penyelenggaraan daripada blue print ini. Oleh karena blue print ini
memang amanat daripada penderitaan Bangsa Indonesia yang telah berpuluh-puluh tahun,

amanat yang sepedih-pedihnya. Tujuan yang satu-satunya daripada revolusi kita yaitu suatu
masyarakat adil dan makmur, berdasarkan keadilan sosial.
Engkau, di dalam mengisi engkau punya otak, mengisi engkau punya pengalaman, kataku di
Bandung, jangan menderita penyakit purbasangka, jangan prejudice, jangan berpenyakit
prejudice. Sebab ada purbasangka itu. Purbasangka kepada satu golongan wetenschap, pada
satu golongan ilmu. Dikatakan bahwa semua ilmu yang dari Timur, yaitu dari golongan
Sovyet, tabu, tidak baik. Dibilang juga, ilmu yang dari Amerika cs, tidak baik. Dua-duanya
menderita penyakit purbasangka. Padahal kita yang hendak membangun, yang hendak
menyelenggarakan blue print ini, kita membutuhkan pengalaman-pengalaman, kita membutuhkan, membutuhkan kepandaian, membutuhkan keprigelan, human skill, material
investment, mental investment, technical and managerial know-how, kataku, kita
membutuhkan segala hal ini. Dan menurut teori Fasensprung kita harus melihat, mengambil
oper pengalaman-pengalaman daripada bangsa-bangsa lain yang berguna bagi kita. Pergilah
melihat bangsa-bangsa lain itu, tanpa prejudice, tanpa purbasangka. Tidak perduli darimana,
ambil oper mana yang baik. Yang dari Amerika, baik, ambil oper, yang dari Sovyet uni baik,
ambil oper.
Kita yang di dalam zaman yang sekarang ini, harus dengan lekas bekerja, harus dengan lekas
menyusun masyarakat adil dan makmur itu, bahkan di Bandung dan di Jakarta sata katakan.
di dalam dua tiga tahun ini, dua tiga tahun ini, kita harus sudah mencapai suatu momentum
konkret, meskipun minimal di atas lapangan pembangunan ekonomi. Entah momentum
konkret di lapangan produksi padi yang sekarang kita masih selalu harus mengimport, entah
momentum konkret di lapangan membuat bahan pakaian, entah momentum konkret di dalam
lapangan membuat bahan-bahan keperluan hidup yang kecil-kecil sehingga saya di Jakarta
tempo hari memberi semboyan baru kepada bangsa Indonesia, agar supaya kita di dalam dua
tiga tahun ini mencapai satu momentum konkret meskipun minimal.
Di atas lapangan ekonomi saya beri semboyan: tiap-tiap keluarga satu produksi aparat, tiaptiap keluarga sekarang ini harus menjadi salu produksi aparat. Sebab banyak sekali keluargakeluarga kita ini yang tidak menjadi produksi aparat. Di daerah Garut, padahal nyata kita ini
membutuhkan misalnya tutup botol, kataku di Jakarta. Kita beli tutup botol itu dari luar, kurk,
gabus dari luar, dari Yunani. Devisen kita habis. Banyak sekali membeli tutup botol dari
Yunani yang berupa gabus. Kita ini rakyat karet! Apa tidak bisa bikin tutup botol dari karet.
Lho, itu mesti ada paberik yang besar! Tidak perlu membikin tutup botol dan karet dengan
pabrik yang besar. Tiap-tiap rumah tangga itu sebetulnya itu bisa dengan lattex membuat
tutup botol. Hendaknya tiap-tiap keluarga di daerah karet menjadi produksi aparat membuat
tutup botol.
Hak-hak sepatu ini, 60% dari hak-hak sepatu ini kita beli dari luar. padahal kita ini bangsa
karet! Maka oleh karena itu semboyan saya: tiap-tiap keluarga hendaknya menjadi satu
produksi aparat. Dengan demikian di dalarn tempo dua tiga tahun kita sudah bisa mencapai
satu momentum konkret meskipun minimal di atas lapangan pembangunan ekonomi.
Saudara-saudara kalau engkau mengerti keharusan masyarakat keadilan sosial, jikalau engkau
mengerti bahwa masyarakat keadilan sosial itu adalah amanat daripada leluhurmu yang telah
menderita, amanat daripada semua pejuang-pejuang yang telah mangkat lebih dahulu
termasuk di dalam doa daripada ananda Lina, yang tadi mengatakan: arwahnya harus kita
peringati, -jikalau engkau mengerti bahwa segenap rakyat Indonesia sekarang ini gandrung
kepada masyarakat adil dan makmur sebagai yang kita ajarkan kepada mereka berpuluh-

puluh tahun, jikalau engkau hidup di dalam suasana yang demikian itu: Aku, aku, aku ingin
menyumbang-kan tenagaku kepada penyelenggaraan masyarakat yang demikian ini, alangkah
nyamannya engkau punya hidup zaman sekarang ini. Tidak seperti zaman dulu, tatkala
pemuda dan pemudi tidak mempunyai cita-cita. Lho saya ini tadinya kecil sekali; habis
sekolah itu apa? Urut galengan, mencari jangkrik. Yang diperdebatkan dengan kawan-kawan
cuma hal jangkrik: jangkrik itu kalau sutangnya begini, bukan main, menangan!
Tapi kamu sekarang, coba bandingkan: zamanmu dengan zamanku tatkala aku masih kanakkanak.
O, lain sekali! Engkau sekarang ini: blue print cita-cita keadilan sosial, terasa engkau
bertanggung jawan kepada hari kemudian, bertanggung jawab kepada Tuhan sevagai
dianatankan oleh Saudara Lina: Nanti engkau punya arwah akan ditanya akan
kepemimpinanmu: merasa bertanggung jawab, bukan saja merasa bertanggung jawab sebagai
satu beban, tetapi merasa bertanggung jawab sebagai satu tugas yang mulia, a glorious task, a
glorious historical task, daripada pemuda-pemudi zaman sekarang; jikalau bisa semangat
hidup di dalam kalbumu, yang demikian itu, tidak ada istilah: E, hari kemudian kita gelap
gulita. Tidak! Engkau akan selalu melihat hari kemudian tanah air kita dan bangsa kita itu
cemerlang; di tepi langit engkau melihat suryanya kebesaran, suryanya masyarakat adil dan
makmur makin lama makin naik! Tatkala saya melantik Duta Laili Rusyad, wanita yang
pertama saya lantik menjadi wakil kita di luar negeri, saya telah mensitir ucapan seorang
pemimpin besar bangsa lain yang berkata kepada pemuda dan pemudi: He, pemuda dan
pemudi, engkau pembina hari kemudian. Orang katakan bahwa engkau itu adalah pupuk hari
kemudian. Jangan mau terima sebutan sekadar pupuk hari kemudian! Jangan terima! Kita ini
bukan sekadar pupuk, sekadar pupuk hari kemudian tok. Tidak! Kami lebih daripada pupuk!
Sebab di dalam kami tumbuh pula bibit. Di dalam bahasa asingnya: Wij zijn niet enkel mest;
ook in ons ontkiemt het aar; kami bukan sekadar pupuk, pupuk mati yang dimasukkan di
dalam tanah, kemudian tanah itu yang menjadi subur untuk membangkitkan tanam-tanaman.
Kami bukan sekadar pupuk, di dalam kalbu kami, dada kami, rokh kami, jiwa kami
bergelora: di dalam jiwa kami tumbuh pula masyarakat yang baru itu; di dalam jiwa kami
tumbuh segala apa yang menjadi cita-cita bangsa kita. Ook in ons ontkiemt het aar
Ini adalah saya punya permintaan kepada mahasiswa-mahasiswa, seluruh mahasiswamahasiswa Indonesia, seluruh cendekiawan Indonesia, seluruh pemuda-pemudi Indonesia,
supaya kita bersama-sama maju ke muka, membawa sumbang-an, berupa apa saja kepada
sanggul konde Ibu Pratiwi yang kita cinta. Engkau dapat menyum-bangkan bunga menur,
berikan bunga menur kepada ibu Pratiwi. Engkau bisa menyumbangkan bunga melati,
berikan bunga melati kepada Ibu Pratiwi. Engkau bisa menyumbang bunga mawar, berikan
bunga mawar kepada Ibu Pratiwi. Engkau bisa menyumbang bunga cempaka.. berikan bunga
cempaka kepada Ibu Pratiwi. Tetapi marilah kita semuanya memberikan kepada Ibu Pratiwi
barang kita masing-masing dan di bawah pimpinan blue print, kita bersama-sama
mengagungkan lbu Pratiwi itu.
Kita bersama-sama mengeluarkan satu lagu yang merdu, yang di Surakarta ada orang tanya
kepadaku: Bagaimana bunyinya lagu itu? Bunyinya lagu itu adalah di bawah pimpinan blue
print ini, di bawah pimpinan dirigent itu dengan permainan daripada segenap rakyat
Indonesia yang menyumbang, lagu itu berbunyi: Sosialisme Indonesia, sosialisme Indonesia,
sosialisme, sosialisme, adil makmur, adil makmur. Lagu yang merdu, yang memang menjadi
cita-cita bangsa kita, sejak berpuluh-puluh bahkan ratusan tahun.

Inilah harapanku kepadamu sekalian.

Sampai sekian saja.

Terima kasih.

REVOLUSI KITA
BERDASARKAN PANCASILA

Amanat Presiden Soekarno


Pada Penutupan Seminar Pancasila
di Gedung Negara Yogyakarta
Tanggal 20 Februari 1959

Saudara-saudara hadirin dan hadirat sekalian,


Salut kehormatan saya berikan kepada penyelenggara seminar Pancasila pertama. Salut
kehormatan saya berikan kepada seminar itu seluruhnya. Salut kehormatan saya berikan
kepada kota Yogyakarta, yang telah memberi tempat sebaik-baiknya, dukungan sebaikbaiknya, sumbangan sebaik-baiknya kepada berhasilnya seminar yang pertama ini.
Tadinya saya menyetujui benar, dan sekarangpun tetap menyetujui benar akan adanya
seminar ini, oleh karena pihak penyelenggara, pihak pengambil inisiatif telah menekankan
kepada saya bahwa di dalam sesuatu seminar tidak diperdebat-kan lagi apa yang
diseminarkan. Memang demikianlah, sesuatu seminar tidak memperdebatkan lagi apa yang
diseminarkan, melainkan sekadar memperdalarn dan memperkaya apa yang diseminarkan itu.
Maka ternyata di dalam seminar Pancasila yang telah terjadi di kota Yogyakarta ini, sebagai
tadi telah dibacakan rumusan-nya: Pancasila tidak diperdebatkan lagi. Itu membuat hati saya
amat gembira oleh karena saya sendiri telah berulang-ulang berkata bahwa revolusi kita dapat
berjalan dengan sebaik-baiknya terutama sekali ialah oleh karena revolusi kita ini
berdasarkan atas Pancasila. Dan bahwa Pancasila itu memang mutiara lima buah yang telah
lama terpendam di dalam kalbu bangsa Indonesia sendiri.
Tidak saya sangka-sangka, bahwa dalam seminar ini bukan saja secara terbatas Pancasila
diperdalam dan diperkaya, tetapi dibawa-bawa pula serta sebagai satu bagian inhaerent
daripada Pancasila: persoalan demokrasi terpimpin. Bahkan seminar ini memberi dukungan
yang kuat kepada ide demokrasi terpimpin, memberi petunjuk-petunjuk pula yang berharga
kepada pelaksanaan daripada demokrasi terpimpin itu. Oleh karena itu baiklah saya di
samping saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada seminar ini, pada ini malam
hendak menceritakan sedikit akan beberapa hal mengenai pelaksanaan demokrasi terpimpin
itu. Kebetulan sekali tadi tengah hari Perdana Menteri Juanda telah mengumumkan bahwa
Presiden/ Panglima Tertinggi di Yogyakarta nanti, yaitu sekarang, akan mengumumkan
beberapa keputusan beliau yang penting. Inilah tempat yang baik untuk saya mengumumkan
beberapa keputus-an saya yang menurut anggapan saya memang keputusan-keputusan yang
amat penting.
Marilah saya mendongeng lebih dahulu asal mulanya kita sampai kepada persoalan
penyelenggaraan demokrasi terpimpin. Saudara-saudara mengetahui bahwa saya di dalam
pidato-pidato saya selalu mengemukakan bahwa revolusi kita ini bermuka dua, bukan
bermuka dua secara palsu, tetapi bermuka dua laksana sebuah uang-: muka sini dan muka
sini, yang dua muka itu tak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Muka dua yaitu muka politik
dan muka sosial. Muka politik ialah untuk mencapai satu Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berwilayah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke, berdaulat penuh
seratus persen. Muka sosial untuk di dalam Republik itu mengadakan satu masyarakat adil
dan makmur.

Malahan pernah saya katakan bahwa justeru oleh karena revolusi kita ini bermuka dua, maka
saya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu telah ikut-ikut dengan pemimpin-pemimpin lain
pertama memberikan pimpinan politik kepada rakyat, politieke leiderschap, kedua memberi
pimpinan ekonomi kepada rakyat, vaitu economisch leiderschap. Politieke leiderschap yang
saya ikut-ikut sumbangkan mulai hampir 40 tahun yang lalu, kemudian menegas kira-kira 30
tahun yang lalu lebih daripada 30 tahun yang lalu, tatkala kami pemimpin-pemimpin
muda pada waktu itu dengan tegas mengatakan bahwa syarat mutlak untuk memperbaiki
keadaan kita, keadaan yang telah dirusak oleh imperialisme dan kolonialisme, tak lain tak
bukan ialah Indonesia merdeka penuh. Satu pendirian yang pada waktu itu amat
menggoncangkan kepada khalayak yang belum mengerti, oleh karena sebagian daripada
pemimpin-pemimpin kita pada waktu itu berpendapat lebih dahulu mengangkat kecerdasan
rakyat, dan kalau kecerdasan rakyat sudah terangkat, dengan sendirinya akan datang
Indonesia merdeka. Kami sebaliknya berkata: Indonesia merdeka sebagai syarat mutlak untuk
memperbaiki keadaan rakyat di segala bidang.
Politieke leiderschap ini, demikianlah saya katakan di dalam beberapa pidato, diterima
dengan gembira oleh rakyat, bahkan membakar hatinya rakyat, membakar hati rakyat untuk
berjuang secara masal dan revolusioner. Sehingga akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945
kita dapat memproklamirkan kemerdekaan kita. Maka politieke leiderschap ini diteruskan,
diteruskan sehingga pada waktu yang belakangan-belakangan ini, menjelmalah ide demokrasi
terpimpin. Demokrasi terpimpin yang kami anggap perlu mutlak untuk melaksanakan
masyarakat adil dan makmur. Masyarakat adil dan makmur, cita-cita asli dan murni daripada
rakyat Indonesia yang telah berjuang dan berkorban berpuluh-puluh tahun. Masyarakat adil
dan makmur tujuan yang terakhir daripada revolusi kita. Masyarakat adil dan makmur yang
untuk itu, sebagai yang telah saya katakan berulang-ulang, berpuluh-puluh ribu pemimpinpemimpin kita menderita. Berpuluh-puluh ribu pemimpin-pemimpin kita meringkuk di dalam
penjara. Berpuluhpuluh ribu pemimpin-pemimpin kita meninggalkan kebahagiaan hidupnya.
Beratus-ratus ribu, mungkin jutaan rakyat kita menderita. tak lain tak bukan ialah mengejar
cita-cita terselenggaranya satu masyarakat adil dan makmur yang di situ segenap manusia
Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengecap kebahagiaan. Satu masyarakat adil dan
makmur karena segala syarat-syarat badaniyah dan syarat-syarat rokhaniyah, syarat-syarat
materiil dan spirituil mental ada di dalam bumi Indonesia, di dalam kalbu rakyat Indonesia.
Masyarakat adil dan makmur yang telah berkobar-kobar sebenarnya di dalam dada keyakinan
bangsa Indonesia sejak beratus-ratus tahun. Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta
raharja. Demikian saya katakan berulang-ulang, sehingga tiap anak kecil di desa-desa
mengatakan cita-citanya adalah itu, satu masyarakat oleh karena gemah ripah loh jinawi,
masyarakat tata tentrern kerta raharja, yang sebagai dikatakan oleh Pak Dalang: para kawula
iyeg rumagang ing gawe, tebih saking cecengilan, adoh saking laku juti: wong kang lumaku
dagang rinten dalu tan wonten pedote, labet saking tan wonten sangsajaning margi; bebek
ayam rajakaya, enjang medal ing pangonan surup bali ing kandange dewe-dewe.
Masyarakat yang demikian ini yang kita cita-citakan. Dan untuk mencapai masyarakat yang
demikian ini, tegas, sebagai salah satu bagian daripada politieke leiderschap, karni pemimpinpemimpin berkata: harus diselenggarakan demokrasi stijl baru, yaitu demokrasi terpimpin.
Dan saya bergembira sekali bahwa seminar Pancasila di Yogyakarta ini ternyata mendukung
bulat kepada demokrasi terpimpin itu.
Di dalam pidato-pidato saya di waktu yang akhir-akhir ini ditekankan perlunya satu Dewan
Perancang Nasional dan persoalan Dewan Perancang Nasional inipun dibicarakan masakmasak di dalam Dewan Nasional sehingga Dewan Nasionalpun telah dapat memberi usul

kepada Dewan Menteri untuk membangunkan Dewan Perancang Nasional. Bahkan memberi
usul tentang hal penyelenggaraan demokrasi terpimpin itu.
Maka oleh karena usul Dewan Nasional ini masuk ke dalam sidang Kabinet, pada akhirnya
Kabinet mengadakan apa yang dinamakan open talk, pembicaraan blak-blakan antara
Kabinet dengan saya sebagai Presiden/Ketua Dewan Nasional dibantu oleh wakil Ketua
Dewan Nasional Saudara Roeslan Abdulgani. Open talk yang pertama dijalankan di Bogor.
Di dalam open talk yang pertama ini syukur alhamdulillah Kabinet dengan seiasekata
menyetujui masuknya golongan fungsionil di dalam DPR. Prinsip masuknya golongan
fungsionil sebagai salah satu bagian mutlak dari demokrasi terpimpin diterima bulat oleh
Kabinet. Bahkan Kabinet menyatakan pula dengan sebulat-bulatnya mendukung ide
demokrasi terpimpin. Tetapi di dalam open talk di Bogor open talk yang pertama itu,
masih harus disesuaikan lagi pikiran mengenai caranya memasukkan golongan fungsionil di
dalam DPR, dus di dalam membicarakan caranya memasukkan golongan fungsionil di dalam
DPR, prinsip demokrasi terpimpin telah diterima; prinsip memasuk-kan golongan fungsionil
di dalam Parlemen telah diterima. Caranya masih menjadi pembicaraan, perlu dibahas lebih
dalam.
Maka diadakanlah open talk yang kedua. Open talk yang kedua ini diadakan di Jakarta,
di Istana Negara. Di dalarn open talk kedua ini segala pikiran dan pandangan-pandangan
dengan cara yang mendalam dan dengan cara yang sesuai dengan geweten Menteri masingmasing dikemukakan. Tetapi dalam open talk yang kedua ini belum sampai kami, yaitu
Dewan Menteri di satu pihak, Ketua dan Wakil Ketua Dewan Nasional sebagai utusan
daripada Dewan Nasional di lain pihak, kepada sesuatu persesuaian yang mutlak.
Maka diadakanlah open talk yang ketiga dan open talk yang ketiga ini diadakan lagi di
Istana Bogor. Di dalam open talk yang ketiga inilah dicapai persesuaian paham antara para
menteri yang hadir di situ dengan Presiden/Panglima Tertinggi/ Ketua Dewan Nasional dan
Wakil Ketua Dewan Nasional. Dan persesuaian ini garis besarnya telah dibocorkan oleh
Saudara Roeslan Abdulgani di dalam prasarannya di hadapan Seminar. Sehingga tidak perlu
saya katakan lagi apa isi perumusan Bogor itu. Perumusan Bogor ialah persesuaian paham
antara Menteri-Menteri yang duduk di dalam Dewan Menteri dan saya sebagai
Presiden/Panglima tertinggi/Ketua Dewan Nasional dan Saudara Roeslan Abdulgani, Wakil
Ketua Dewan Nasional. Perumusan Bogor ini meskipun telah disetuj ui oleh hadirin yang ada
di situ, para Menteri dan saya dan Saudara Roeslan Abdulgani, sayang belum ada hadiratnya -, masih harus dibicarakan lagi, dibahas lagi, dibawa ke muka sidang partai-partai
pendukung daripada Kabinet Karya sekarang. Tetapi di dalam perumusan Bogor atau di
dalam rapat open talk yang ketiga itu, telah kami putuskan sesudah open talk yang ketiga
ini tidak ada lagi diadakan talk-talk-an lagi.
Open talk ketiga adalah talk yang terakhir. Tinggal sekarang ini perumusan Bogor itu
dibawa ke sidangnya Dewan Pimpinan Partai-partai pendukung Kabinet, incasu dibawa
kehadapan pemimpin-pemimpin tertinggi daripada Partai Nasional Indonesia, dan Partai
Nahdlatul Ulama sebagai pendukung utama daripada Kabinet Karya sekarang ini. Tidak perlu
diadakan talk-talk-an lagi. Kami mempersilahkan kepada Kabinet mengambil putusan
sekarang ini.
Usul Dewan Nasional tegas: ini rupanya! Perumusan Bogor, tegas: ini rupanya! Sekarang up
to the Cabinet, terserah kepada Kabinet membicarakan rumusan Bogor ini dengan pimpinan
Partai Nasional Indonesia dan Nahdlatul Ulama, dan terserah kepada Kabinet untuk

mengambil sesuatu keputusan. Dalam pada itu, kami yang telah berkata tidak akan
mengadakan talk-talk-an lagi, tidak duduk diam. Saudara-saudara telah menge-tahui bahwa
dewan Menteri di dalam pekan ini, hari Rabu dan hari Kamis, akan mengadakan sidang lagi
untuk mengambil keputusan yang terakhir.. mengambil satu final decision. mengenai
persoalan penyelenggaraan demokrasi terpimpin. Berhubung Dewan Menteri pada hari Rabu
dan Kamis akan mengadakan sidang untuk mengambil final decision, maka berhubung
dengan itu, pada satu hari, beberapa hari sebelumnya, saya mengadakan pertemuan dengan
pucuknya pucuk daripada Partai Nasional Indonesia yaitu Saudara Suwiryo, dan dengan
pucuknya pucuk daripada Partai Nahdlatul Ulama yaitu Saudara Rois Aam. KH. Abdul
Wahab. Pucuknya pucuk saya aturi rawuh di Istana Merdeka dan di dalam salah satu interpiu
atau pertanyaan yang diajukan oleh wartawan, wartawan-wartawan tanya kepada pihak
Nahdlatul Ulama: Tadi itu Presiden atau Saudara-saudara dengan Presiden bicarakan apa?
-, Saudara Zainul Arifin yang menyertai Rois Aam, KH. Abdul Wahab berkata: Kami tidak
bicara apa-apa, kami cuma omong-omong. Sehingga di dalam pers dijadikan artikel yang
penting. Sekarang ini kami menunggu keputusan, menunggu decision, bukan sekadar omongomong saja tetapi harus lekas kita sampai kepada sesuatu keputusan yang tegas. Memang
sebenarnya tidak omong-omong, tetapi betul-betul pembicaraan yang mendalam, di satu
pihak dengan pucuknya pucuk pimpinan Partai Nahdlatul Ulama, di lain pihak dengan
pucuknya pucuk pimpinan Partai Nasional Indonesia. Sesudah pembicaraan dengan pucuknya
pucuk daripada kedua partai ini, maka barangkali pucuknya pucuk partai ini lantas
membicarakan pembicaraan di Istana Merdeka itu dengan kalangan Dewan Pimpinan
Partainya masing-masing sehingga masuk ke dalam kalangan Menteri-Menteri daripada
Partai-partai itu.
Bagaimanapun juga, dengan gembira saya tadi pagi mendapat kunjungan daripada Perdana
Menteri Juanda yang melaporkan kepada saya bahwa sidang Dewan Menteri hari Rabu dan
hari Kamis telah sampai kepada satu keputusan. Dan bahwa keputusan itu rupanya begini:
manakala saya sesudah perumusan Bogor berkata I1p to the Cabinet untuk mengambil
sesuatu final decision, sekarang Pak Juanda berkata: Up to the Presiden untuk mengambil
final decision.
Sementara itu Pak Juanda telah membocorkan sedikit, membocorkan dalam arti yang baik
-, kepada khalayak ramai, rupa-rupanya Presiden nanti akan menyetujuinya, katanya. Dan
sekarang akan saya beritahu garis besar daripada putusan yang telah diambil oleh
Presiden/Panglima Tertinggi pada ini hari mengenai penyelenggaraan demokrasi terpimpin
itu. Sebagai tadi telah dikatakan oleh Pak Juanda kepada Pers: pasang telinga, nanti malam
Presiden akan mengumumkan beberapa keputusan yang telah diambil oleh beliau: beberapa
putusan yang penting.
Apa keputusan itu? Keputusan itu ialah sebagai berikut: pertama: Mengingat bahwa revolusi
kita ini berjalan baik karena revolusi kita ini membawa dengannya 1945, maka saya telah
mengambil keputusan Insya Allah swt., sebelum saya nanti pergi ke luar negeri, saudarasaudara mengetahui bahwa saya jikalau diijinkan oleh Allah swt., nanti akan melawat ke luar
negeri -, maka sebelum saya melawat ke luar negeri, Insya Allah swt saya akan masuk ke
gedung Konstituante. Lebih dahulu saya akan minta kepada Ketua Konstituante untuk
mengadakan sidang Konstituante pleno. Insya Allah saya akan masuk melalui pintu muka,
tidak masuk melalui pintu belakang. Dan di dalam Sidang Pleno Konstituante itu akan saya
anjurkan kepada ketua Konstituante bahkan akan saya minta kepada Ketua Konstituante dan
akan saya peringatkan kepada Konstituante akan pidato yang saya ucapkan pada waktu saya
membuka resmi Konstituante bahwa kewajiban Konstituante ialah membuat UUD bagi

Republik Indonesia yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Bukan buat
sesuatu negara baru, bukan buat sesuatu negara lain. Saya akan minta nanti kepada Sidang
Konstituante, oleh karena tokh Republik yang kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945 itu sudah membawa dengannya satu Ui1D yaitu UUD 45, agar supaya Konstituante
kembali saja kepada UUD 45 itu.
Jikalau Konstituante suka menerima anjuran saya ini yaitu mengembalikan kita kepada UUD
45 atau di dalam istilah yang lebih tegas menetapkan UUD 45, jikalau Konstituante
menyetujui hal ini maka hendaknya Insya Allah swt. sesudah kembali daripada perjalanan
saya keluar negeri diadakanlah satu hari luhur di mana Presiden dengan segenap para Menteri
dan segenap anggota Konstituante menandatangani satu piagam yang boleh dinamakan
Piagam Bandung, dan Piagam Bandung ini berbunyi bahwa Republik Indonesia sekarang
berundang-undang dasarkan UUD 45. Piagam Bandung sedapat mungkin telah
ditandatangani oleh Presiden, para Menteri, Anggota-anggota Konstituante sebelum 17
Agustus 1959. Supaya hendaknya pada tanggal 17 Agustus 1959 saya atas nama segenap
rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke dapat berkata: sejak tanggal 17 Agustus
1959 ini Republik kita kembali utuh kepada Republik yang kita proklamirkan pada 17
Agustus 45.
Ini mengenai UUD 45
UUD 45 itu, sebagai tadi juga diutarakan di dalam beberapa perumusan adalah satu tempat
yang sebaik-baiknya untuk menyelenggarakan demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin
yang oleh Seminar telah diakui mutlak perlunya untuk menyelenggarakan masyarakat adil
dan makmur. Demokrasi terpimpin yang oleh Dewan Menteripun telah diterima dengan bulat
bahwa demokrasi terpimpin itu perlu. UUD 45 adalah tempat yang sebaikbaiknya untuk
menyelenggarakan demokrasi terpimpin itu. Pertama di dalam DPR, kedua di dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat, ketiga di dalam Dewan Pertimbangan Agung. Para wartawan
dengan ingatannya yang cemerlang tentu masih ingat dan mengetahui bahwa di dalam UUD
45 disebutkan 3 hal: pertama, harus ada Dewan Perwakilan Rakyat, nomor dua, harus ada
Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang anggota-anggotanya terdiri dari anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan wakil-wakil dari daerah ditambah dengan wakilwakil dari golongan-golongan yaitu golongan-golongan yang sekarang di namakan golongan
fungsionil. Dus DPR, Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat ini
adalah kekuasaan yang tertinggi yang bersidang sedikitnya sekali dalam 5 tahun. Di samping
itu ada lagi badan nomor tiga yang dinamakan Dewan Pertimbang-an Agung. Dewan
Pertimbangan Agung yang selalu bisa diminta oleh Presiden akan pertimbangan-pertimbangan.
Di dalam 3 badan yang disebutkan di dalam UUD 45, golongan fungsionil bisa mendapat
tempat sebaik-baiknya. Baik di dalam DPR-nya dimasukkan golongan fungsionil, maupun di
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyatnya dimasukkan golongan fungsionil maupun di
dalam Dewan Pertimbangan Agungnya masuk golongan fungsionil, sehingga UUD 45 akan
menjadi saran yang sebaik-baiknya bagi Perwakilan fungsionil, yang arti Perwakilan
fungsionil itu telah saudara mengerti bahkan telah Saudara kupas di dalam Seminar yang lalu.
Saudara-saudara barangkali bertanya: Ya akur, DPR masuk fungsionilnya, Majelis
Permusyawaratan Rakyat masuk fungsionilnya, Dewan Pertimbangan Agung masuk
fungsionilnya. Tetapi yang masuk dalam DPR itu berapa? Sebab ini yang menjadi
pertikaian, bukan pertikaian, tetapi pembicaraan pembahasan mendalam di dalam open talk

yang kesatu dan yang kedua. Berapa daripada anggota DPR itu akan berupa wakil-wakil daripada golongan-golongan fungsionil?
Saudara Roeslan Abdulgani telah membocorkan bahwa Angkatan Bersenjata akan
mendapat 35 kursi, 35 kursi DPR. Dan 35 kursi itu diberikan kepada Angkatan Bersenjata:
yaitu Angkatan Darat. Angkatan Laut, Angkatan Udara. Polisi. OKD. OPR; 35 tanpa
pemilihan. Diangkat oleh Presiden/Panglima Tertinggi 35 orang dari kalangan Angkatan
Bersenjata untuk mewakili Angkatan Bersenjata itu di dalam DPR yang dari fungsionilfungsionil lain berapa? Saudara Roeslan Abdulgani telah membocorkan jumlah Perwakilan
fungsionil yaitu Angkat-an Bersenjata maupun golongan-golongan fungsionil yang lain maupun golongan fungsionil yang lain lagi, jumlahnya 50%.
Bagaimana putusan Presiden/Panglima tertinggi hari ini sesudah tadi pagi mendapat laporan
daripada sidang Dewan Menteri hari Rabu dan kamis, kernarin dulu dan kemarin? Pada garis
besarnya saya katakan begini, ada sedikit perbedaan. Perbedaan cara memasukkan golongan
fungsionil di dalam DPR. Manakala menurut perumusan Bogor akan dilakukan sistem dwitapilih dalam ai ti dwita-toj os, sebagai tadi atau kemarin atau kernarin dulu dikatakan oleh
Saudara Roeslan Abdulgani manakala rumusan Bogor menghendaki dwita-tojos dengan hasil
seluruhnya golongan fungsionil 50%, maka di dalam laporan yang dikemukakan kepada saya
oleh Perdana Menteri tadi pagi dan yang sekarang saya ambil keputusan tidak dijalankan
dwita-tojos tetapi eka-tojos, satu kali tusuk. Tetapi hasilnya, malahan lebih daripada 50%
yang tadinya di dalam perumusan Bogor dengan sistem dwita-tojos itu total jenderal
golongan fungsionil akan mendapat 50% kursi. Tetapi dengan sistem yang saya ambil
keputusan sekarang ini yaitu operan daripada usul Dewan Menteri malahan meskipun sistemnya bukan dwita-tojos tetapi eka-tojos, DPR yang baru ini akan mempunyai anggota
golongan fungsionil lebih dari 5O%. Ini adalah satu kabar yang menggembirakan.
Bagaimana caranya menyelenggarakan hal ini?
Saya tadi berkata Insya Allah swt saya akan melawat ke luar negeri, dan sebelum melawat ke
luar negeri Insya Allah swt saya masuk ke sidang pleno Konstituante dan menganjurkan
kepada sidang pleno Konstituante untuk kembali saja kepada UUD 45.
Demikian pula, sebelum saya pergi ke luar negeri Insya Allah akan saya minta kepada
Kabinet menyelesaikan rancangan UU dua hal: pertama rancangan UU penyederhanaan
kepartaian. Saudara-saudara mengetahui bahwa ini sudah lama menjadi unekunek saya.
Begitu saya munek-munek karena banyaknya partai yang saya namakan multi partai sistem
sehingga beberapa kali saya bongkar, beberapa kali saya tunjukkan kepada masyarakat tidak
baiknya multi partai sistem, saya bongkar habis-habisan di dalam pidato saya 17 Agustus
tahun yang lalu, bahkan pernah saking munek-muneknya saya menganjurkan: sudah,
bubarkan saja semua partai-partai ini. Tetapi kenyataan tidak memungkinkan.
Di dalam segala keadaan adalah persoalan yang saya di dalanl Dewan Nasional selalu
menamakan persoalan das Sein dan das Sollen. Apa yang namanya das Sollen? Das Sollen
itu: bagaimana harusnya, bagaimana kita cita-citakan, bagaimana yang kita angan-angankan.
Itu das sollen. Yang dinamakan das Sein yaitu kenyataannya. Jadi kadang-kadang tidak sama
dengan das Sollen. Misalnya das Sollen ialah kita ini harus mempunyai rumah kamar enam,
tetapi das Sein-nya berhubung dengan kantong kita kempes kita hanya bisa membuat rumah
yang kamarnya tiga. Itu bedanya das Sein dan das Sollen.

Mengingat akan adanya perbedaan das Sein dan das Sollen ini, kernudian sesudah dengan
berkobar-kobar pada satu waktu yaitu Hari Pemuda saya anjurkan agar supaya partai-partai
dibubarkan, saya keluar dengan apa yang dinamakan konsepsi Presiden. Konsepsi Presiden
tidak menganjurkan pembubaran partai-partai. Tetapi kensepsi Presiden menganjurkan
diadakan Kabinet stijl baru yaitu Kabinet gotong royong, kabinet kuda kaki empat, kabinet
yang mempersatukan semua partai-partai gembong yang ada di tanah air kita ini. Di
sampingnya Kabinet gotong royong ini, kaki empat, hendaknya dibangunkan satu Dewan
Nasional yang anggota-anggotanya terutama sekali ialah anggotaanggota daripada golongangolongan fungsionil. Inipun adalah hukum das Sein dan das Sollen. Kabinet gotong royong
adalah das Sol len; das Sein-nya tidak mengij inkan. Saya putar lagi. Tidak bisa Kabinet
gotong royong, apa boleh buat, saya bangunkan Kabinet yang sekarang termasyhur dengan
nama Kabinet Karya. I ni das Sein-nya, Kabinet Karya di satu pihak, Dewan Nasional di lain
pihak. Dan sebagai saudara-saudara mengetahui alhamdulillah Kabinet Karya dengan Dewan
Nasional ini sejak dilahirkannya berjalan dengan baik. Kadang-kadang ada geronjalangeronjalan sedikit-sedikit. Tetapi di manakah di dalam sesuatu kehidupan politik daripada
sesuatu bangsa yang hidup kalbunya, bangsa yang jiwanya jiwa revolusioner, bangsa yang
tidak mati kutunya, tidak ada geronjalan-geronjalan? Adanya selalu geronjalan-geronjalan itu
tidak jadi apa. Tetapi Kabinet Karya berjalan dengan Dewan Nasional dengan cara yang
sebaik-baiknya.
Nah, saya kembali kepada apa yang hendak saya kerjakan Insya Allah swt sebelum saya
melawat ke luar negeri saya akan minta kepada Kabinet Karya ini untuk menyelesaikan 2
rancangan Undang-undang. Pertama rancangan Undang-undang penyederhanaan partaipartai.Jumlah partai-partai yang sekarang ini terlalu banyak itu, harus dijadikan sekecilkecilnya. Jangan sampai ada partai gurem mempunyai wakil di dalam DPR. Dan saya akan
minta Insya Allah kepada Kabinet Karya agar supaya sebelum saya melawat ke luar negeri
menyelesaikan pula rancangan UU merubah UU Pemilihan Umum Tahun 1953. UU
Pemilihan Umum 1953 harus dirubah dernikian rupa sehingga golongan fungsionil bisa
masuk di dalam Parlemen. Berapa? Tadi sudah saya katakan; menurut rancangan yang ini
hari saya putuskan penerimaannya akan termasuklah lebih daripada 50% DPR dari itu
golongan fungsionil. Kalau rancangan UU dua ini, satu: penyederhanaan kepartaian. dua: UU
Pemilihan Umum baru, sudah sclcsai, maka rancangan UU ini akan saya amanatkan kepada
Parlemen, saya kirim kepada Parlemen dengan amanat saya agar supaya Parlemen lekas
membicarakan hal ini agar supaya lekas bisa diadakan penye-derhanaan kepartaian, agar
supaya lekas bisa diadakan UU Pemilihan Umum yang baru, agar supaya lekas bisa diadakan
Pernilihan Umum baru bagi Parlemen baru yang di dalamnya golongan fungsionil masuk.
Dus, sebelum saya melawat ke luar negeri, Insya Allah swt saya akan mengadakan amanat
dua hal: amanat dengan lisan kepada sidang Pleno Konstituante, amanat mana akan berbunyi:
kembali kepada UUD 45; amanat dengan tulisan kepada DPR agar supaya rencana UU
Pemilihan Umum dan rencana UU Penyederhanaan Kepartaian lekas dibicarakan dan lekas
dapat dijadikan UU nanti dengan tanda tangan Kepala Negara.
Maka dengan demikian kita akan mencapai satu keadaan yang menurut anggapan saya
menyenangkan. Dalam pada itu nanti Dewan Perancang Nasional sudah terbentuk; juga
amanatnya Insya Allah akan saya berikan. Menurut Undang-undang DPN maka harus Kepala
Negara setiap waktu ia mau mengadakan amanat kepada DPN dan pada pelantikan daripada
DPN ini Insya Allah akan saya berikan amanat pula yang penting. Dengan demikian DPN
bisa lekas bekerja, DPN bisa lekas menyusun blueprint, blauw-druk, pola daripada masyarakat adil dan makmur. DPR-nya, saya punya kehendak, selekas mungkin diperbarui atas

dasar pemilihan umum yang baru. Konstitusinya, yaitu Undang-Undang Dasarnya, lekas dikembalikan kepada Undang-Undang Dasar 45. Maka dengan demikian saya yakinlah,
Republik kita akan dapat berjalan lancar.
Saya tadi berkata tentang hal politieke leiderschap, hal eco-nomisch leiderschap. Economisch
leiderschap pokoknya ialah susunlah blue-print yang menyelenggarakan masyarakat adil dan
makmur. Polanya dijalankan oleh segenap rakyat kita dengan alat demokrasi terpimpin.
Politieke leiderschap. economisch leiderschap kami, pemimpin-pemimpin, berikan kepada
rakyat.
Ini suatu perubahan yang besar sekali, demokrasi terpimpin itu. Tetapi sebagai pernah saya
katakan di dalam salah satu pidato saya, kalau tidak salah di Madiun, tatkala buat pertama
kali saya mencetuskan dengan jelas akan perlunya demokrasi kita ini kita bongkar dan kita
adakan demokrasi baru, stijl baru: demokrasi terpimpin. Pada waktu itu saya dengan tegas
berkata, saya bersedia bersama-sama dengan lain-lainnya, tetapi saya sendiri bersedia pula
memikul segala tanggung jawab atas hal ini. Saya tidak mengusulkan sesuatu hal yang buta,
saya tidak mengusulkan sesuatu hal yang bertentangan dengan hati nurani saya. Saya tidak
mengusulkan sesuatu hal yang bertentangan dengan geweten saya. Saya tidak mengusulkan
sesuatu hal yang menurut pendapat saya dapat mencelakakan bangsa dan negara. Tidak! Saya
hanya mengusulkan sesuatu hal yang menurut keyakinan saya adalah baik, lebih daripada
baik, mutlak, perlu bagi pergerakan kita, bagi negara kita, bagi perjuangan kita, bagi revolusi
kita. Dan saya bersedia memikul tanggung jawab tentang hal ini terhadap bukan saja bangsa
Indonesia, tetapi juga terhadap kepada Tuhan.
Saya membaca di dalam salah satu surat kabar, saya lupa lagi surat kabar mana, kepalanya
Gembala. Saudara barang-kali ingat, surat kabar mana; tetapi editorialnya berkepala
Gembala. Di dalam editorial itu diperingatkan bahwa menurut firman Tuhan tiap-tiap
manusia adalah gembala, dan ia di akhirat nanti akan ditanya tentang hal penggembalaanya.
Tiap-tiap manusia adalah pemimpin. Saudara adalah pemimpin dari rumah tangga saudara;
saudara j uga pemimpin dari Swatantra tingkat satu; saudara adalah pemimpin dari rumah
tangga sau-dara; saudara juga pemimpin dari seluruh Divisi Deponegoro; akupun pemimpin.
Tiap-tiap manusia ada-lah pemimpin di dalam lingkungan sendiri-sendiri dan menurut firman
Allah swt tiap-tiap manusia nanti akan ditanya tentang pimpinannya. Tiap-tiap manusia nanti
akan ditanya tentang gembalaannya: Dan saya berkata, Insya Allah swt saya akan memberi
pertanggungan jawab tentang hal demokrasi terpimpin ini kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Tuhan kita sekalian.
Maka oleh karena itu, dengan gembira saya telah menyaksikan bahwa Kabinet Karya
menyetujui dengan bulat demokrasi terpimpin dan bahwa sekarang antara Kabinet Karya
dengan Presiden/Panglima Tertinggi/Ketua Dewan Nasional sudah tercapai seia-sekata yang
bulat tentang hal penyelenggaraan demokrasi terpimpin. Bahkan sekarang, manakala antara
Kabinet Karya dan Presiden telah juga dicapai satu persesuaian paham bahwa kita mutlak
perlu harus kembali kepada UUD 45, maka tidak ada manusia pada malam ini sebenarnya
yang lebih berbahagia daripada saya. Saya akan pergi ke Konstituante. Saya akan memberi
amanat tertulis kepada Parlemen. Dalam kedua-dua hal akan saya curahkan segenap
keyakinan saya dan akan saya curahkan segenap kesetiaan saya bertanggung jawab atas
perubahan maha besar di dalam perikehidupan kenegaraan kita sekarang ini dan saya bergembira bahwa seminar Pancasila dalam garis besarnya telah pula membenarkan tindakan
yang akan dan telah saya ambil sekarang ini. Terima kasih. Sekian.

MEMBANGUN DUNIA KEMBALI


(TO BUILD THE WORLD A NEW)

Terjemahan Dari Bahasa Inggris


Teks Pidato Presiden Soekarno
di Muka Sidang Umum PBB ke-15
Pada Tanggal 30 September 1960

Tuan Ketua,
Para Yang Mulia,
Para utusan dan Wakil yang terhormat,

Hari ini, dalam mengucapkan pidato kepada Sidang Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa, saya merasa tertekan oleh suatu rasa tanggung jawab yang besar. Saya merasa rendah
hati berbicara di hadapan rapat agung daripada negarawan-negarawan yang bijaksana dan
berpengalaman dari Timur dan Barat, dari Utara dan Selatan, dari bangsa-bangsa tua dan dari
bangsa-bangsa muda dan dari bangsa-bangsa yang baru bangkit kembali dari tidur yang lama.
Saya telah memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar lidah saya dapat
menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan perasaan hati saya, dan saya juga telah
ber-doa agar kata-kata ini akan bergema dalam hati sanubari mereka yang mendengarnya.
Saya merasa gembira sekali dapat mengucapkan selamat kepada Tuan Ketua atas
pengangkatannya dalam jabatannya yang tinggi dan konstruktif. Saya juga merasa gembira
sekali untuk menyampaikan, atas nama bangsa saya, ucapkan selamat datang yang sangat
mesra kepada keenambelas anggota baru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kitab Suci Islam mengamanatkan sesuatu kepada kita pada saat ini. Quran berkata: Hai,
sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki
dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu
sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia di antara kamu
sekalian, ialah siapa yang lebih taqwa kepada-Ku.
Dan juga Kitab Suci Injil agama Nasrani beramanat pada kita: Segala kemuliaan bagi Allah
di tempat yang Mahatinggi, dan sejahtera di atas bumi di antara orang yang diperkenan-Nya.
Saya sungguh-sungguh merasa sangat terharu melepas-kan pandangan saya atas Majelis ini.

Di sinilah buktinya akan kebenaran perjuangan yang berjalan bergenerasi. Di sinilah buktinya, bahwa pengorbanan dan penderitaan telah mencapai tujuannya. Di sinilah buktinya,
bahwa keadilan mulai berlaku, dan bahwa beberapa kejahatan besar sudah dapat
disingkirkan.
Selanjutnya, sambil melepaskan pandangan saya kepada Majelis ini, hati saya diliputi dengan
suatu kegirangan yang besar dan hebat. Dengan jelas tampak di mata saya menying-singnya
suatu hari yang baru, dan bahwa matahari kemerdekaan dan emansipasi, matahari yang sudah
lama kita impikan, sudah terbit di Asia dan Afrika.
Sekarang, hari ini, saya berbicara di hadapan para pemimpin bangsa-bangsa dan para
pembangun bangsa-bangsa. Namun, secara tidak langsung, saya juga berbicara kepada
mereka yang tuan-tuan wakili, kepada mereka yang telah mengutus tuan-tuan kemari, kepada
mereka yang telah mem-percayakan hari depan mereka di tangan tuan-tuan. Saya sangat
menginginkan agar kata-kata saya akan bergema juga di dalam hati mereka itu, di dalam hati
nurani umat manusia, di dalam hati besar yang telah mencetuskan demikian banyak teriakan
kegembiraan, demikian banyak jeritan penderitaan dan putus harapan, dan demikian banyak
cinta kasih dan tawa.
Hari ini, Presiden Soekarno lah yang berbicara di hadapan tuan-tuan. Namun lebih dari itu, ia
adalah seorang manusia, Soekarno, seorang Indonesia, seorang suami, seorang bapak,
seorang anggota keluarga umat manusia. Saya berbicara kepada tuan-tuan atas nama rakyat
saya, mereka yang 92 juta banyak-nya di suatu nusantara yang jauh dan luas, 92 juta jiwa
yang telah mengalami hidup penuh dengan perjuangan dan pengor-banan, 92 juta jiwa yang
telah membangun suatu negara di atas reruntuhan suatu Imperium.
Mereka itu, dan rakyat Asia dan Afrika, rakyat-rakyat benua Amerika dan benua Eropa serta
rakyat benua Australia, sedang memperhatikan dan mendengarkan serta mengharap-harap.
Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa ini bagi mereka merupakan suatu harapan akan masa
depan dan suatu kemung-kinan baik bagi zaman sekarang ini.
Keputusan untuk menghadiri Sidang Majelis Umum ini bukanlah merupakan suatu keputusan
yang mudah bagi saya. Bangsa saya sendiri menghadapi banyak masalah, sedangkan waktu
untuk memecahkan masalah-masalah itu selalu sangat terbatas. Akan tetapi sidang ini
mungkin merupakan sidang Majelis yang terpenting yang pernah dilangsungkan dan kita
semuanya mempunyai suatu tanggung jawab kepada dunia seluruhnya, di samping kepada
bangsa-bangsa kita masing-masing.
Tak seorangpun di antara kita dapat menghindari tanggung jawab itu, dan pasti tak
seorangpun ingin menghindarinya. Saya sangat yakin bahwa pemimpin-pemimpin dari
negara-negara yang lebih muda dan negara-negara yang lahir kembali dapat memberikan
sumbangannya yang sangat positif untuk pemecah-an demikian banyak masalah-masalah
yang dihadapi Organisasi ini dan dunia pada umumnya. Memang, saya percaya bahwa orang
akan mengatakan sekali lagi bahwa: Dunia yang baru itu diminta untuk memperbaiki
keseimbangan dunia yang lama.
Jelaslah bahwa pada dewasa ini segala masalah dunia kita saling berhubungan. Kolonialisme
mempunyai hubungan dengan keamanan; keamanan mempunyai hubungan dengan persoalan
perdamaian dan perlucutan senjata; perlucutan senjata berhubungan dengan perkembangan
secara damai dari negara-negara yang belum maju. Ya, segala itu saling bersangkut-paut. Jika

kita pada akhirnya berhasil memecahkan satu masalah, maka terbukalah jalan untuk
penyelesaian masalah-masalah lainnya. Jika kita berhasil memecahkan, misalnya masalah
perlucutan senjata, maka akan tersedialah dana-dana yang diperlukan untuk membantu
bangsa-bangsa yang sangat memerlukan bantuan itu.
Akan tetapi, yang sangat diperlukan ialah bahwa masalahmasalah semuanya itu harus
dipecahkan dengan penggunaan prinsip-prinsip yang telah disetujui. Setiap usaha untuk
memecahkannya dengan mempergunakan kekerasan, atau dengan ancaman kekerasan, atau
dengan pemilikan kekuasaan, tentu akan gagal, bahkan akan mengakibatkan masalahmasalah yang lebih buruk lagi. Dengan singkat, prinsip yang harus diikuti ialah prinsip
persamaan kedaulatan bagi semua bangsa, hal mana tentunya tidak lain dan tidak bukan,
merupakan penggunaan hak-hak azasi manusia dan hak-hak azasi nasional. Bagi semua
bangsa-bangsa harus ada satu dasar, dan semua bangsa harus menerima dasar itu, demi
perlindungan dirinya dan demi keselamatan umat manusia.
Bila saya boleh mengatakannya, kami dari Indonesia menaruh perhatian yang khusus sekali
atas Perserikatan Bangsa Bangsa. Kami mempunyai keinginan yang sangat khusus agar
Organisasi ini berkembang dan berhasil baik. Karena tindakan-tindakannya, perjuangan untuk
kemerdekaan dan kehidupan nasional kami sendiri telah dipersingkat. Dengan berkepercayaan penuh saya mengatakan, bahwa perjuangan kami, bagaimana pun juga, akan berhasil baik,
namun tindakan-tindakan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu telah mempersingkat perjuang-an
dan telah mencegah banyak pengorbanan dan penderitaan serta kehancuran, baik di pihak
kami maupun di pihak lawan-lawan kami.
Apakah sebabnya saya percaya bahwa perjuangan kami akan berhasil baik, dengan atau tanpa
kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa? Saya yakin akan hal itu karena dua sebab. Pertama,
saya mengenal rakyat saya; saya mengetahui kehausan mereka yang tiada terhingga akan
kemerdekaan nasional, dan saya mengetahui akan tekadnya. Kedua, saya yakin akan hal itu
karena jalannya sejarah. Kita semua, di manapun di dunia ini, hidup di dalam zaman
pembangunan bangsa-bangsa dan runtuh-nya imperium-imperium. Inilah zaman bangkitnya
bangsa-bangsa dan bergolaknya nasionalisme.
Menutup mata akan kenyataan ini adalah membuta ter-hadap sejarah, tidak meggindahkan
takdir dan menolak kenyataan. Sekali lagi saya katakan, kita hidup di zaman pembangunan
bangsa-bangsa.
Proses ini tidak dapat dielakkan dan merupakan sesuatu yang pasti; kadang-kadang lambat
dan tidak dapat dielakkan, bagaikan lahar menuruni lereng sebuah gunung berapi di
Indonesia; kadangkadang cepat dan tidak terelakkan, bagaikan dobrakan air-bah dari balik
sebuah bendungan yang dibangun tidak sempurna. Lambat dan tak terelakkan, atau cepat dan
tak terelakkan, kemenangan perjuangan nasional adalah suatu kepastian.
Bila perjalanan menuju ke kebebasan itu sudah selesai di seluruh dunia, maka dunia kita akan
menjadi suatu tempat yang lebih baik; akan merupakan suatu tempat yang lebih bersih dan
jauh lebih sehat. Kita tidak boleh berhenti berjuang pada saat ini, manakala kemenangan telah
menampakkan diri, sebaliknya kita harus melipatgandakan usaha kita. Kita telah berjanji
kepada masa depan dan janji itu harus dipenuhi. Dalam hal ini kita tidak hanya berjuang
untuk kepentingan kita sendiri, melainkan kita berjuang untuk kepentingan umat manusia
seluruhnya, ya, perjuangan kita bahkan untuk kepentingan mereka yang kita tentang.

Lima tahun yang lalu, dua puluh sembilan bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah mengirimkan
utusannya ke kota Bandung di Indonesia. Dua puluh sembilan bangsa Asia dan Afrika. Kini,
bcrapakah jumlah bangsa yang merdeka di sana. Saya tidak akan menghitungnya, tetapi
silahkan melihat di sekeliling Majelis ini sekarang! Dan katakanlah apakah saya benar, bila
saya berkata, bahwa kinilah saatnya pembangunan bangsa, dan saat bangkitnya bangsabangsa. Kemarin Asia, dan itu merupa-kan suatu proses yang belum selesai. Kini Afrika,
itupun merupakan suatu proses yang belum selesai.
Lagi pula, belum semua bangsa-bangsa Asia dan Afrika diwakili di sini. Organisasi bangsabangsa ini telah dilemahkan selama ia masih menolak perwakilan sesuatu bangsa, dan teristimewa suatu bangsa yang tua dan bijaksana serta kuat.
Saya maksudkan Tiongkok. Saya maksudkan yang sering disebut Tiongkok Komunis, yang
bagi kami adalah satu-satunya Tiongkok yang sebenarnya. Organisasi bangsa-bangsa ini
sangat dilemahkan, justru karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di dunia.
Setiap tahun kami menyokong diterimanya Tiongkok ke dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagai anggota. Kami akan terus melakukannya. Kami tidak memberikan sokongan itu
semata-mata karena kami mempunyai hubungan baik dengan negara tersebut. Dan pasti
sokongan itu tidak kami berikan karena sesuatu alasan partisan. Tidak, pendirian kami
mengenai persoalan ini dibimbing oleh realisme politik. Dengan secara picik mengecualikan
sesuatu bangsa yang besar, bangsa agung dan kuat dalam arti kwantitet, kebudayaan, ciri-ciri
suatu peradaban kuno, suatu bangsa yang penuh dengan kekuatan dan daya ekonomi, dengan
mengecualikan bangsa itu, kita lebih melemahkan organisasi internasional ini, dan dengan
demikian, menjauhkannya dari kebutuhan dan cita-cita kita.
Kita bertekad untuk menjadikan Perserikatan Bangsa- Bangsa kuat dan universil serta mampu
untuk memenuhi fungsinya yang layak. Itulah sebabnya, mengapa kami senanti-asa
memberikan sokongan atas ikut sertanya Tiongkok dalam lingkungan kita. Lagi pula,
perlucutan senjata merupakan suatu keperluan yang mendesak dalam dunia ini. Persoalan
yang terpenting dari semua masalah ini harus dirundingkan dan dipecahkan dalam rangka
organisasi ini. Namun bagaimana dapat tercapai suatu persetujuan realistis mengenai
perlucutan senjata, bila Tiongkok yang merupakan salah satu negara terkuat dalam dunia ini,
tidak diturutsertakan dalam musyawarah-musyawarah ini?
Diwakilinya Tiongkok dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengikutsertakan negara itu
dalam masalah dunia yang konstruktif dan dengan demikian akan betul-betul memperkuat
lembaga ini.
Di tahun sembilan belas enam puluh ini, Majelis Umum kembali berkumpul dalam sidang
tahunannya. Namun Majelis Umum ini janganlah hanya dianggap sebagai suatu sidang rutin
lainnya, dan bila dianggap demikian, bila dianggap sebagai suatu sidang rutin, maka
kemungkinan besar organisasi internasional seluruhnya ini akan terancam dengan
kehancuran.
Camkanlah kata-kata saya, itulah permohonan saya! Janganlah memperlakukan masalahmasalah yang akan tuan-tuan perbincangkan sebagai masalah rutin. Bila diperlakukan
demikian, maka organisasi ini, yang telah memberikan kita suatu harapan untuk masa depan,
suatu kemungkinan baik akan adanya persesuaian internasional, mungkin akan pecah. Ia
mungkin akan lenyap perlahan-lahan di bawah gelombang pertikaian, sebagaimana dialami

oleh organisasi yang diganti-kannya. Bila hal itu terjadi maka umat manusia sebagai
keseluruhan akan menderita, dan suatu impian yang agung, suatu cita-cita yang agung, akan
hancur. Ingatlah: bukanlah hanya kata-kata yang tuan-tuan hadapi. Bukanlah pion-pion di
atas papan catur yang tuan-tuan hadapi. Yang tuan-tuan hadapi adalah manusia, impianimpian manusia, cita-cita manusia, dan hari depan semua manusia.
Dengan segala kesungguhan, saya katakan: kami bangsabangsa yang beru merdeka
bermaksud berjuang untuk kepen-tingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami bermaksud
mem-perjuangkan suksesnya dan menjadikannya efektif. Badan itu dapat dijadikan efektif,
dan akan dijadikan efektif, hanya bila anggota-anggota seluruhnya mengakui tiada
terelakkannya jalan sejarah. Badan itu hanya dapat menjadi efektif, bila badan tersebut
mengikuti jalannya sejarah, dan tidak mencoba untuk membendung atau mengalihkan
ataupun menghambat jalannya itu.
Telah saya katakan, bahwa inilah saat pembangunan bangsa-bangsa dan runtuhnya imperiumimperium. Itulah kebenaran yang sesunguhhnya. Berapa banyaknya bangsa-bangsa yang
telah memperoleh kemerdekaannya sejak tercipta-nya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa?
Berapa banyaknya bangsa-bangsa telah melemparkan rantai penindasan yang
membelenggunya? Berapa banyaknya imperium-imperium yang dibangun atas penindasan
manusia telah hancur-lebur? Kami yang tadinya tiada bersuara, tidak membisu lagi. Kami
yang tadinya membisu di alam kesengsaraan imperialisme, tidak membisu lagi. Kami yang
perjuangan hidupnya tertutup di bawah selubung kolonialisme, tidak tersembunyikan lagi.
Sejak hari bersejarah di tahun sembilan belas empat puluh lima dunia telah berubah, dan dia
telah berubah ke arah perbaikan. Dari zaman pembangunan bangsa-bangsa ini telah muncul
kemungkinan ya, keharusan akan suatu dunia yang bebas dari ketakutan, bebas dari
kekurangan, bebas dari penindasan-penindasan nasional. Kini, saat ini juga, di Majelis Umum
ini, kita dapat mempersiapkan diri untuk menempatkan diri kita di dunia masa depan itu,
dunia yang telah kita pikirkan dan impikan serta bayangkan.
Hal itu dapat kita lakukan, tetapi hanya bila kita tidak memperlakukan sidang ini sebagai
suatu sidang rutin. Kita harus mengakui, bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa meng-hadapi
suatu penimbunan masalah-masalah, masing-masing mendesak, masing-masing mengandung
kemungkinan ancaman terhadap perdamaian dan kemajuan secara damai.
Kita bertekad, bahwa nasib dunia, dunia kita, tidak akan ditentukan tanpa kita. Nasib itu akan
ditentukan dengan ikut serta dan kerjasama kita. Keputusan-keputusan yang penting bagi perdamaian dan masa depan dunia dapat ditentukan di sini dan sekarang ini juga. Di sini
berkumpul Kepala-kepala Negara dan Kepala-kepala Pemerintahan. Itulah rangka organisasi
kita. Saya sangat mengharapkan agar soal-soal protokol yang kaku serta perasaan sakit hati
yang picik, perasaan-perasaan per-orangan mapun nasional, tidak akan menghalangi
diper-gunakannya kesempatan ini sebaik-baiknya. Kesempatan seperti ini tak akan sering
ada. Hal itu harus dipergunakan sebaik-baiknya. Kita pada saat ini mempunyai kesempatan
unik untuk menggabungkan diplomasi perseorangan dengan diplomasi umum. Marilah kita
pergunakan kesempatan itu. Kesempatan itu mungkin tak akan kembali lagi!
Saya menyadari sedalam-dalamnya bahwa hadirnya demikian banyak Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan, menjauhi harapan berjuta-juta orang. Mereka itu dapat meng-ambil
keputusan-keputusan yang vital untuk menentukan wajah baru bagi dunia kita ini, dengan
sendirinya juga wajah baru Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Layaklah pada saat ini untuk mempertimbangkan ke-dudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa


dalam hubungan dengan zaman pembangunan bangsa dan bangkitnya bangsa-bangsa baru
ini.
Ini saya kemukakan: bagi suatu bangsa yang baru lahir atau suatu bangsa yang baru lahir
kembali, milik yang paling ber-harga adalah kemerdekaan dan kedaulatan.
Mungkin saya tidak tahu, tapi mungkin bahwa rasa untuk memegang teguh permata
kedaulatan dan kemerdekaan yang berharga ini, hanya terdapat di lingkungan bangsa-bangsa
yang baru bangkit kembali. Mungkin setelah berlalunya be-berapa generasi, perasaan
kebanggaan dan tercapainya cita-cita itu menjadi pudar. Mungkin demikian, tetapi saya rasa
tidak.
Bahkan sekarang ini, dua ratus tahun kemudian, adakah seorang Amerika yang tak tergetar
jiwanya mendengarkan kata-kata Declaration of Independence? Adakah seorang Italia yang
kini tidak menyambut panggilan Mazzini? Adakah seorang warga Amerika Latin yang tidak
lagi mendengar gemanya suara San Martin?
Benar, adakah seseorang warga dunia yang tidak menyam-but panggilan dan suara-suara itu?
Kita semua tergetar, kita semua menyambut, karena suara-suara itu adalah universil, baik
mengenai waktu maupun tempatnya. Suara-suara itu adalah suara umat manusia yang
menderita, suara masa depan, dan kita masih mendengarnya, mendengung sepanjang zaman.
Tidak, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa di dalam kedaulatan dan kemerdekaan nasional
ada sesuatu yang kekal, sesuatu yang sekeras dan secemerlang permata dan jauh lebih
berharga.
Banyak bangsa-bangsa di dunia ini telah lama memiliki permata ini. Mereka telah biasa
memilikinya, tetapi saya yakin, bahwa mereka masih tetap menganggapnya yang paling
dicintai di antara milik-miliknya, dan mereka akan lebih baik mati daripada melepaskannya.
Bukankah begitu? Apakah bangsa saudara sendiri akan pernah bersedia melepaskan
kemerdekaannya? Setiap bangsa yang patut dinamakan bangsa, akan memilih mati! Setiap
pemimpin yang patut disebut pemimpin dari bangsa manapun, juga akan memilih mati.
Betapa lebih berharga hal itu bagi kami, yang pernah suatu waktu memiliki permata
kemerdekaan dan kedaulatan nasional itu, dan kemudian merasakan dirampasnya dari tangan
kami oleh bandit-bandit yang bersenjata lengkap, dan yang kini telah kami rebut kembah!
Perserikatan Bangsa-Bangsa ini adalah suatu organisasi dari Negara-negara Bangsa yang
masing-masing menggenggam permata itu kuat-kuat sebagai sesuatu yang berharga. Kita
semuanya telah berhimpun dengan sukarela, sebagai saudara dan sederajat dalam Organisasi
ini, sebagai saudara dan sederajat, karena kita semuanya memiliki kedaulatan yang sederajat,
dan kita semua menganggap kedaulatan yang sederajat ini sama-sama berharga.
Ini adalah suatu dalam badan internasional. Badan ini belumlah supernasional ataupun
supranasional. Badan ini merupakan suatu organisasi Negara-negara Bangsa, dan hanya dapat
bekerja sepanjang Negara-negara Bangsa menghendaki-nya.

Apakah kita semuanya dengan suara bulat telah menyetujui untuk menyerahkan suatu bagian
dari kedaulatan kita kepada badan ini? Tidak, tidak pernah. Kita telah menerima baik Piagam,
dan Piagam itu telah ditandatangani oleh Negara-negara Bangsa yang berdaulat penuh dan
sederajat penuh.
Ada kemungkinan, bahwa badan ini harus mempertimbangkan, apakah anggota-anggotanya
harus menyerahkan se-suatu bagian dari kedaulatan mereka kepada badan internasional ini.
Tetapi jika keputusan yang semacam itu diambil, keputusan itu harus diambil secara bebas,
dan dengan suara bulat, dan sederajat. Harus diputuskan sederajat oleh semua bangsa, yang
kuno dan yang baru, bangsa yang baru muncul dan yang sudah lama ada, yang sudah maju
dan yang belum maju.
Hal ini bukannya sesuatu yang dapat dipaksakan pada bangsa manapun juga. Selanjutnya,
dasar satu-satunya yang mungkin bagi badan semacam ini, itu ialah persamaan yang sejati.
Kedaulatan dari bangsa yang paling baru atau bangsa yang paling kecil sama berharganya,
sama tidak dapat dilanggarnya, seperti kedaulatan bangsa yang paling besar atau bangsa yang
paling tua. Dan selain daripada itu, sesuatu pelanggaran terhadap kedaulatan sesuatu bangsa
merupakan suatu ancaman potensial terhadap kedaulatan semua bangsa.
Dalam gambaran dunia inilah, kita harus melihat dunia sekarang ini. Dunia kita yang satu ini
terdiri dari Negara-negara Bangsa, masing-masing sama berdaulat dan masing-masing
berketetapan hati menjaga kedaulatan itu, dan masing-masing berhak untuk menjaga
kedaulatan itu. Dan sekali lagi saya katakan dan saya ulangi ini karena merupakan dasar
dari pengertian terhadap dunia dewasa ini kita hidup dalam zaman pembangunan bangsa.
Kenyataan ini jauh lebih penting daripada adanya senjata-senjata nuklir, lebih eksplosif
daripada bom-bom hidrogen, dan mempunyai harga potensial yang lebih besar untuk dunia
daripada memecahkan bom atom.
Keseimbangan dunia telah berubah sejak hari itu bulan Juni, lima belas tahun yang lalu,
ketika Piagam ditandatangani di kota San Fransisco di Amerika, pada saat manusia sedang
bangkit kembali dari neraka peperangan.
Nasib umat manusia tidak dapat lagi ditentukan oleh beberapa bangsa besar dan kuat. Juga
kami, bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa yang sedang bertunas, bangsa-bangsa yang
lebih kecil, kami pun berhak bersuara dan suara itu pasti akan berkumandang di sepanjang
zaman.
Yah, kami insyaf akan pertanggungan jawab kami terhadap
masa depan semua bangsa, dan kami dengan gembira menerima
pertanggungan jawab itu. Bangsa saya berjanji kepada diri sendiri untuk bekerja mencapai
suatu dunia yang lebih baik, suatu dunia yang bebas dari sengketa dan ketegangan, suatu
dunia di mana anak-anak kita dapat tumbuh dengan bangga dan bebas, suatu dunia di mana
keadilan dan kesejahteraan berlaku untuk semua orang. Adakah sesuatu bangsa akan menolak
janji semacam itu? Beberapa bulan yang lalu, sesaat sebelum pemimpin pemimpin Negaranegara Besar bertemu sesingkat itu di Yaris, tuan Khrushchov menjadi tamu kami di
Indonesia. Saya jelaskan padanya sejelas-jelasnya, bahwa kami menyam-but baik Konferensi
Tingkat Tertinggi, yang kami skeptis.

Empat Negara Besar itu saja, tidak dapat menentukan masalah perang dan damai. Lebih tepat,
barangkali, mereka mempunyai kekuatan untuk merusak perdamaian, tetapi mereka tidak
mempunyai hak moril, baik secara sendirian maupun bersama-sama, untuk mencoba
menentukan hari depan dunia.
Selama lima belas tahun ini Barat telah mengenal per-damaian, atau sekurang-kurangnya
ketiadaan perang. Tentu saja ada ketegangan-ketegangan. Memang, ada bahaya. Tetapi tetap
merupakan kenyataan, bahwa di tengah-tengah suatu revolusi yang meliputi tiga per empat
bagian dunia, Barat tetap dalam keadaan damai. Kedua blok besar, sebetulnya, telah berhasil
mempraktekkan koeksistensi selama tahun-tahun itu, sehingga dengan demikian membantah
mereka yang menyangkal ke-mungkinan adanya koeksistensi.
Kami di Asia tidak pernah mengenal keadaan damai! Setelah perdamaian datang untuk
Eropa, kami merasai akibat bom atom. Kami merasai revolusi nasional kami sendiri di
Indonesia. Kami merasai penyiksaan Vietnam. Kami menderita penganiayaan Korea. Kami
masih senantiasa menderita ke-pedihan Aljazair. Apakah sekarang ini seharusnya giliran
saudara-saudara kita di Afrika? Apakah mereka harus disiksa sedangkan luka-luka kami
masih belum sembuh?
Toh masih saja Barat dalam keadaan damai. Herankah tuan-tuan bahwa kami sekarang
menuntut, ya, menuntut, batalnya siksaan terhadap kami? Herankah tuan-tuan, bahwa kini
suara saya diperdengarkan sebagai protes?
Kami, yang dulu tidak bersuara, mempunyai tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan;
kami berhak untuk didengar. Kami bukannya barang perdagangan, tetapi adalah bangsabangsa yang hidup dan yang perkasa, yang mempunyai peranan di dunia ini, dan yang harus
memberikan sumbang-annya. Saya pergunakan kata-kata yang keras, dan saya pergunakan
kata-kata itu dengan sengaja, karena saya ber-pendirian yang tegas mengenai soal ini. Dengan
sengaja saya pergunakan kata-kata keras, karena saya berbicara untuk bangsa saya dan karena
saya berbicara di muka pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa.
Selain daripada itu, saya tahu bahwa saudara-saudara saya di Asia dan Afrika mempunyai
pendirian yang sama tegasnya, walaupun saya tidak berani berbicara atas nama mereka.
Majelis Umum ini tentunya akan menghadapi banyak hal-hal yang penting. Tetapi tidaklah
ada hal yang lebih penting daripada perdamaian. Mengenai ini, saya pada saat ini tidak
membicarakan soal-soal yang timbul antara Negara-negara Besar di dunia. Soal-soal
sedemikian sangat vital bagi kami, dan saya nanti akan kembali pada soal-soal tersebut.
Tetapi tengoklah sekeliling dunia kita ini. Di banyak tempat terdapat ketegangan-ketegangan
dan sumber-sumber sengketa potensial. Perhatikanlah tempat-tempat itu dan tuan akan
jumpai, bahwa tanpa perkecualian, imperialisme, dan kolonialisme di dalam salah satu dari
banyak manifestasinya adalah sumber ketegang-an atau sengketa itu. Imperialisme dan
kolonialisme dan pemisahan terus-menerus secara paksa dari bangsa-bangsa merupakan
sumber dari hampir semua kejahatan internasional yang mengancam di dunia kita ini.
Imperialisme, dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang
terbesar di dunia kita ini. Banyak di antara tuan-tuan dalam sidang ini tidak pernah mengenal
imperialisme. Banyak di antara tuan-tuan lahir merdeka dan akan mati merdeka. Beberapa di
antara tuan-tuan lahir dari bangsa-bangsa yang telah menjalankan imperialisme terhadap yang
lain, tetapi tidak pernah menderitainya scndiri. Akan tctapi saudara-saudara saya di Asia dan

Atrika telah mengenal cambuk imperialisme. Mereka telah menderitainya. Mereka mengenal
bahayanya dan kelicikannya serta keuletannya. Kami di Indonesia mengenalnya juga. Kami
adalah ahli-ahli dalam soal ini! Berdasarkan pengetahuan itu dan berdasarkan pengalaman
itu, saya katakan pada tuan-tuan bahwa berlanjut-nya imperialisme dalam segala bentuknya
merupakan suatu bahaya yang besar dan yang berlarut-larut.
Imperialisme belum lagi mati. Ya, sedang dalam keadaan sekarat; ya, arus sejarah melanda
bentengnya dan menggerogoti pondamen-pondamennya; ya, kemenangan kemerdekaan dan
nasionalisme sudah pasti. Akan tetapi dan camkanlah per-kataan saya ini imperialisme
yang sedang sekarat itu ber-bahaya, sama berbahayanya dengan seekor harimau yang luka di
dalam rimba raya tropik.
Ini saya tegaskan kepada tuan-tuan dan saya sadar bahwa saya sekarang berbicara untuk
saudara-saudara saya di Asia dan Afrika perjuangan untuk kemerdekaan senantiasa
dibenarkan dan senantiasa benar. Mereka yang menentang gerak maju yang tidak terelakkan
dari kemerdekaan nasional dan hak untuk menentukan nasib sendiri, adalah buta; mereka
yang berusaha untuk mengembalikan apa yang tidak dapat dikembalikan merupakan bahaya
bagi mereka sendiri dan bagi dunia.
Sebelum kenyataan-kenyataan ini dan ini memang kenyataan-kenyataan diakui, tidak
akan ada perdamaian di dunia ini, dan tidak akan lenyaplah ketegangan. Saya serukan kepada
tuan-tuan; tempatkanlah kewibawaan dan kekuatan moril dari Organisasi Negara-negara ini
di belakang mereka yang berjuang untuk kemerdekaan. Lakukanlah itu secara jelas dan tegas.
Lakukanlah itu sekarang! Lakukanlah dan tuan-tuan akan memperoleh dukungan bulat dan
tulus-ikhlas dari semua orang yang berkemauan baik. Lakukanlah sekarang, dan generasigenerasi yang akan datang akan menghargai tuan-tuan. Saya serukan kepada tuan-tuan,
kepada semua anggota Perserikatan Bangsa Bangsa: bergeraklah bersama arusnya sejarah;
jangan-lah mencoba membendung arus itu.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sekarang ini juga ber-kesempatan untuk membangun bagi
dirinya sendiri reputasi dan gengsi yang besar. Mereka yang berjuang untuk kemerdekaan
akan mencari sokongan dan sekutu-sekutu di mana saja dapat diperolehnya; alangkah
baiknya bilamana mereka berpaling kepada badan ini dan kepada Piagam kita daripada
kepada sesuatu kelompok atau bagian dari badan ini.
Lenyapkanlah sebab-sebab peperangan, dan kita akan merasa damai. Lenyapkanlah sebabsebab ketegangan dan kita akan merasa tenang. Jangan ditunda-tunda. Waktunya singkat.
Bahayanya besar.
Umat manusia di seluruh dunia berteriak minta perdamaian dan ketenangan, dan hal-hal itu
adalah dalam kekuasaan kita. Jangan mencegahnya, karena nanti badan ini akan dicemarkan
namanya dan ditinggalkan. Tugas kita bukannya untuk mempertahankan dunia ini, akan
tetapi untuk membangun dunia kembali! Hari depan andaikata ada hari depan akan
menilai kita berdasarkan berhasilnya tugas kita ini.
Saya minta kepada bangsa-bangsa yang sudah lama berdiri,
janganlah menganggap remeh kekuatan nasionalisme. Jika tuan
menyangsikan kekuatannya, tengoklah di sekitar Majelis ini dan
bandingkanlah dengan San Fransisco lima belas tahun yang lalu. Nasionalisme, nasionalisme
yang mencapai kemenangan

dengan gemilang, telah menyebabkan perubahan ini, dan ini


adalah baik. Dewasa ini dunia diperkaya dan dimuliakan oleh
kebijaksanaan dari para pemimpin-pemimpin bangsa-bangsa berdaulat yang baru dibentuk.
Untuk menyebut enam dari banyak contoh-contoh, yakni seorang Norodom Sihanouk,
seorang Nasser, seorang Nehru, seorang Sekou Toure, seorang Mao Tse Tung dan seorang
Nkrumah. Bukankah dunia menjadi lebih baik, jika mereka berada di sini daripada mereka
mem-pergunakan seluruh hidupnya dan seluruh kekuatannya untuk menggulingkan imperialisme yang membelenggu mereka? Dan bangsa-bangsa mereka pun sudah merdeka, dan
bangsa saya merdeka, dan lebih banyak lagi bangsa yang merdeka. Bukankah dengan
demikian dunia menjadi suatu tempat yang lebih baik dan lebih kaya?
Memang, saya tidak perlu membentangkan kepada tuan-tuan, bahwa kami dari Asia dan
Afrika menentang kolonialisme dan imperialisme. Lebih daripada itu, siapakah dalam dunia
sekarang ini masih akan membela hal-hal itu? Secara universal hal-hal itu telah dikutuk, dan
sudah sepantasnya, dan alasan-alasan sinis yang usang itu tidak terdengar lagi. Pertentangan
sekarang berpusat pada persoalan kapankah daerah-daerah jajahan akan merdeka, dan bukan
pada persoalan apakah mereka akan merdeka.
Tetapi saya hendak menegaskan soal ini. Oposisi kami terhadap kolonialisme dan
imperialisme timbul baik dari hati maupun dari kepala kami. Kami menentangnya atas dasar
kemanusiaan, dan kami menentangnya pula dengan alasan bahwa hal ini merupakan suatu
ancaman yang besar dan makin besar lagi terhadap perdamaian.
Tiadanya persesuaian pendapat dengan kekuatan-kekuatan kolonial berkisar pada soal-soal
waktu dan keamanan, karena sekarang setidak-tidaknya mereka beromong-kosong tentang
cita-cita kemerdekaan nasional.
Oleh karena itu renungkanlah dalam-dalam mengenai nasionalisme dan kemerdekaan,
mengenai patriotisme dan mengenai imperialisme. Renungkanlah dalam-dalam, demikian
permohonan saya, jangan sampai arus sejarah melanda tuan-tuan.
Dewasa ini, kita banyak mendengar dan membaca mengenai perlucutan senjata. Pcrkataan itu
biasanya dipakai dalam hubungan perlucutan senjata nuklir dan atom. Maatkanlah saya. Saya
seorang sederhana dan seorang yang cinta damai. Saya tidak dapat berbicara mengenai detaildetail perlucutan senjata. Saya tidak dapat memberikan penilaian mengenai pendapatpendapat yang bersaingan tentang pengawasan, mengenai percobaan-percobaan di bawah
tanah dan mengenai catatan-catatan seismografik.
Mengenai persoalan-persoalan imperialisme dan nasionalisme saya seorang ahli, sesudah
seumur hidup mempelajarinya dan berjuang, dan mengenai soal-soal ini saya bicara dengan
kewibawaan. Tetapi mengenai persoalan-persoalan peperangan nuklir, saya hanya seorang
biasa saja, mungkin seperti tetangga tuan atau seperti saudara tuan atau bahkan seperti ayah
tuan. Saya ikut merasakan ketakutan mereka.
Saya ikut merasakan kengerian dan ketakutan itu, karena saya adalah bagian dari dunia ini.
Saya punya anak-anak, dan hari depan mereka terancam bahaya. Saya seorang Indonesia, dan
bangsa itu terancam bahaya.

Mereka yang mempergunakan senjata penghancuran masal itu sekarang harus menghadapi
hati nurani mereka sendiri, dan akhirnya, mungkin dalam keadaan hangus menjadi debu
radioaktif, mereka harus menghadapi Al Khaliknya. Saya tidak iri terhadap mereka.
Mereka yang mempersoalkan perlucutan senjata nuklir jangan lupa bahwa kami, yang dalam
hal ini sebelumnya tidak dapat bersuara, sedang memperhatikan dan mengharap-harap.
Kami sedang memperhatikan dan mengharap-harap, toh kami diliputi oleh kecemasan, karena
jika perang nuklir meng-hancurkan dunia kita ini, kami juga ikut menderita.
Tidak seorang makhluk pun berhak untuk menggunakan hak-hak prerogatif dari Tuhan Yang
Maha Kuasa. Tidak seorang pun berhak menggunakan bom-bom hidrogen. Tidak satu bangsa
pun berhak untuk menyebabkan kemungkinan hancurnya semua bangsa-bangsa.
Tiada suatu sistem politik, tiada suatu organisasi ekonomi yang layak untuk menyebabkan
musnahnya dunia, termasuk sistem maupun organisasi itu sendiri.
Jika hanya negara-negara yang bersenjata hidrogen yang tersangkut dalam persoalan ini,
maka kami bangsa-bangsa Asia dan Afrika tidak akan menghiraukannya. Kami hanya akan
melihat saja sambil menjauhkan diri, dengan perasaan heran mengapa negara-negara, dari
mana kami belajar demikian banyaknya itu, serta yang sangat kami kagumi itu, pada dewasa
ini harus tenggelam dalam rawa immoralitet. Kami akan dapat berseru: Terkutuklah kalian!
, dan kami dapat kembali ke dalam dunia kami sendiri yang lebih berimbang dan damai.
Tetapi kami tidak dapat berbuat demikian. Kami bangsa Asia telah menderita akibat bom
atom. Kami bangsa Asia terancam lagi, dan selain itu kami merasa sebagai suatu kewajiban
moral untuk memberikan bantuan di mana mungkin. Kami bukanlah musuh Timur maupun
Barat. Kami merupakan suatu bagian dari dunia ini dan kami ingin membantu.
Ini adalah suatu jeritan dari hati sanubari Asia. Biarkanlah kami membantu memecahkan
masalah-masalah ini. Mungkin tuan-tuan memperhatikannya terlampau lama, dan tidak
melihatnya lagi secara jelas. Biarkanlah kami membantu tuan-tuan, dan dalam membantu
tuan-tuan, kami bantu diri kami sendiri, dan semua generasi yang akan datang di seluruh
dunia ini.
Jelaslah, bahwa masalah perlucutan senjata bukan hanya perselisihan pendapat tentang dasardasar teknis yang sempit. Ini adalah pula persoalan saling mempercayai. Sebetulnya telah
jelas, bahwa dalam bidang teknik dan dalam cara-cara berunding dan berdiplomasi,
sesunguhhnya antara kami dari Asia-Afrika dan kedua blok itu tidaklah banyak berbeda.
Soalnya sebenarnya lebih merupakan soal saling tidak mempercayai. Ini adalah suatu
masalah yang dapat dipecahkan dengan cara-cara itu. Negara-negara lain yang tidak
tergabung dalam suatu blok, bisa memberi bantuan dalam hal ini! Kami tidak kurang
pengalaman dan kepandaian untuk mengadakan pembicaraan-pembicaraan. Mungkin
perantara kami dapat juga berharga. Mungkin kami dapat pula memberikan bantuan dalam
mencari suatu penyelesaian. Mungkin siapa tahu kami dapat memperlihatkan kepada tuantuan jalannya menuju ke arah satu-satunya perlucutan senjata yang sesunguhhnya, yaitu
perlucutan senjata di dalam hati manusia, perlucutan ketidakpercayaan dan kebencian
manusia.

Tidak sesuatupun lebih mendesak daripada hal ini. Dan persoalan ini adalah demikian vital
bagi seluruh umat manusia, sehingga seluruh umat manusia harus diikutsertakan dalam
pemecahannya. Saya kira pada saat ini kita boleh berkata bahwa sebenarnya hanyalah
desakan dan usaha dari negara-negara nonblok akan memberikan hasil yang diperlukan
seluruh dunia. Pembicaraan yang sungguh-sungguh tentang perlucutan senjata, di dalam
rangka organisasi ini, dan didasarkan pada suatu harapan yang sungguh-sungguh akan
suksesnya, adalah yang esensiil sekarang ini.
Saya tekankan dalam rangka organisasi ini, karena hanya Majelis inilah yang mulai
mendekati suatu cerminan yang sebenarnya dari dunia di mana kita hidup.
Renungkan, renungkan sejenak, apa yang mungkin terjadi jika kita dapat meletakkan suatu
dasar bagi perlucutan senjata yang sejati. Ingatlah akan dana-dana yang sangat besar yang
dapat digunakan untuk perbaikan dunia di mana kita hidup ini. Ingatlah akan daya gerak yang
maha hebat yang dapat diberikan kepada perkembangan mereka yang kurang maju, sekalipun
hanya sebagian saja dari anggaran belanja pertahanan dari negara-negara besar disalurkan ke
arah itu. Ingatlah akan ber-tambahnya secara hebat kebahagiaan manusia, produktivitet
manusia dan kesejahteraan manusia, jika hal ini diselenggara-kan.
Perlu saya tambahkan sesuatu lagi pada hal ini. Jika ada suatu immoralitet yang lebih besar
daripada memperagakan senjata-senjata hidrogen, maka hal itu adalah melakukan percobaanpercobaan dengan senjata-senjata tersebut. Saya tahu bahwa ada suatu perbedaan pendapat
ilmiah tentang akibat genetik daripada percobaan-percobaan itu. Akan tetapi per-bedaan ini
hanya mengenai jumlah korban-korban. Tentang adanya akibat genetik yang buruk terdapat
perseuaian pendapat. Pernahkah mereka yang mensyahkan percobaan-percobaan itu
membayangkan akibat-akibat perbuatan mereka? Pernahkan mereka melihat kepada anakanak mereka sendiri dan me-renungkan akibat-akibat itu? Pada dewasa ini percobaanpercobaan dengan senjata-senjata nuklir ditangguhkan, perhatikan tidak dilarang, tetapi
hanya ditangguhkan. Maka, marilah kita pergunakan kenyataan ini sebagai permulaan.
Marilah kita pergunakan kenyataan ini sebagai dasar untuk melarang percobaan dan
kemudian untuk perlucutan senjata yang sungguh-sungguh.
Sebelum meninggalkan persoalan perlucutan senjata, saya hendak memberikan suatu ulasan
lagi. Berbicara tentang per-lucutan senjata memang baik. Tapi berusaha dengan sungguhsungguh menyusun suatu persetujuan perlucutan senjata akan lebih baik. Dan yang terbaik
adalah pelaksanaan daripada persetujuan perlucutan senjata itu.
Akan tetapi marilah kita realistis. Bahkan pelaksanaan daripada suatu persetujuan perlucutan
senjata pun tidak akan merupakan jaminan bagi perdamaian di dunia yang dalam
kesengsaraan dan kesukaran. Perdamaian hanya akan datang, jika sebab-sebab ketegangan
dan bentrokan disingkirkan.
Jika ada suatu sebab untuk bentrokan, maka manusia akan berjuang dengan bambu runcing,
jika tidak terdapat senjata lain. Saya tahu oleh karena bangsa saya sendiri melakukannya
dalam perjuangan kami untuk kemerdekaan. Kami telah berjuang menggunakan pisau dan
bambu runcing. Untuk mencapai perdamaian, kita harus menyingkirkan sebab-sebab
ketegangan dan sebab-sebab bentrokan itu. Itulah sebabnya saya berbicara dari lubuk hati
saya mengenai perlunya bekerja sama untuk menyebabkan matinya yang hina dari
imperialisme.

Di mana terdapat imperialisme, dan di mana terdapat penyusunan kekuatan bersenjata yang
serentak, maka keadaan memang berbahaya. Sekali lagi saya berbicara berdasarkan pengalaman. Begitulah keadaannya di Irian Barat. Begitulah keadaannya di seperlima wilayah
nasional kami yang pada dewasa ini masih tetap membungkuk di bawah belenggu
imperialisme.
Di sanalah kami menghadapi imperialisme dan kekuatan bersenjata imperialisme. Di
perbatasan daerah itu tentara kami berjaga di darat maupun di lautan. Kedua kekuatan
bersenjata itu merupakan suatu keadaan yang eksplosif. Belum lama berselang tentara di Irian
Barat yang masih muda serta tersesat itu dan yang membela suatu faham yang telah
ketinggalan zaman, diperkuat dengan datangnya kapal induk Karel Doorman dari tanah
airnya yang jauh itu. Maka saat itulah keadaan menjadi betul-betul berbahaya.
Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia duduk dalam Delegasi saya ini. Namanya Jenderal
Nasution. Ia adalah prajurit profesional dan seorang prajurit yang ulung. Seperti halnya
dengan anak buah yang dipimpinnya, dan seperti juga halnya dengan bangsa yang dibelanya,
ia pertama-tama adalah seorang yang cinta damai. Tetapi lebih daripada itu, ia dan anak
buahnya serta bangsa saya mengabdi untuk mempertahankan tanah air kami.
Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha dengan
sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh harapan. Kami
telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral. Kami telah berusaha
dengan sungguh-sungguh dan bertahun-tahun. Kami telah berusaha dan tetap berusaha. Kami
telah berusaha menggunakan alat-alat Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kekuatan pendapat
dunia yang dinyatakan di sini. Kami telah berusaha, dan dalam hal ini pun kami tetap
berusaha.
Harapan lenyap; kesabaran hilang; bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu
kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap
kami. Jika mereka gagal untuk secara tepat menilai arus sejarah, maka kita tidaklah dapat
dipersalahkan. Akan tetapi akibat daripada kegagalan mereka ialah timbulnya ancaman
terhadap perdamaian dan, sekali lagi, hal ini menyangkut pula Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Irian Barat merupakan pedang kolonial yang diancamkan terhadap Indonesia. Pedang itu
diarahkan pada jantung kami, akan tetapi di samping itu mengancam pula perdamaian dunia.
Usaha-usaha kami dewasa ini yang sungguh-sungguh untuk mencapai penyelesaian dengan
cara-cara kami sendiri, adalah bagian dari sumbangan kami ke arah terjaminnya perdamaian
dunia ini. Ini adalah bagian dari usaha kami untuk mengakhiri masalah dunia ini yang
merupakan kejahatan yang usang. Usaha kami adalah usaha pembedahan yang sungguhsungguh untuk menyingkirkan kanker imperialisme dari daerah di dunia, di mana kami hidup
dan berada.
Saya katakan dengan segala kesungguhan bahwa keadaan di Irian Barat adalah keadaan yang
berbahaya, suatu keadaan yang eksplosif; suatu hal yang merupakan sebab ketegangan dan
suatu ancaman bagi perdamaian. Jenderal Nasution tidak bertanggung jawab atas hal itu.
Tentara kami tidak bertanggung jawab atas hal itu. Soekarno tidak bertanggung jawab atas
hal itu. Indonesia tidak bertanggung jawab atas hal itu. Tidak! Ancaman terhadap perdamaian
berasal langsung dari adanya imperialisme dan kolonialisme itulah.

Singkirkan pengekangan terhadap kemerdekaan dan emansipasi, dan ancaman terhadap


perdamaian akan lenyap. Tumbangkan imperialisme, dan segera dengan sendirinya dunia
akan menjadi suatu tempat yang lebih bersih, suatu tempat yang lebih baik dan suatu tempat
yang lebih aman.
Saya tahu bahwa jika saya kemukakan hal ini, banyak pikiran akan beralih kepada keadaan di
Kongo. Tuan-tuan mungkin bertanya, bukankah imperialisme telah diusir dari Kongo dengan
akibat bahwa di daerah itu sekarang terjadi persengketaan dan pertumpahan darah? Tidak
demikian halnya! Keadaan di Kongo yang sangat disesalkan adalah langsung disebabkan oleh
imperialisme, dan tidak disebabkan oleh berakhirnya imperialisme itu. Imperialisme berusaha
untuk mempertahankan kedudukannya di Kongo, berusaha untuk dapat memutungkan dan
melumpuhkan Negara baru itu. Itulah sebabnya Kongo berkobar.
Ya, di Kongo terdapat penderitaan. Akan tetapi penderitaan itu merupakan kesakitan
kelahiran dari kemajuan dan kemajuan yang eksplosif senantiasa membawa kesakitan.
Mencabut sampai ke akar-akarnya kepentingan nasional dan internasional yang sudah
bercokol selalu menyebabkan kesakitan dan kogoncangan.
Kami mengetahuinya. Kami mengetahui pula dari pengalaman-pengalaman kami sendiri
bahwa perkembangan itu sendiri menimbulkan pergolakan. Suatu bangsa yang sedang
bergolak membutuhkan pimpinan dan bimbingan, dan akhirnya akan menghasilkan pimpinan
serta bimbingannya sendiri.
Kami bangsa Indonesia berbicara berdasarkan pengalamanpengalaman yang pahit. Masalah
Kongo, yang merupakan masalah kolonialisme dan imperialisme, harus diselesaikan dengan
menggunakan prinsip-prinsip yang telah saya uraikan tadi. Kongo adalah Negara yang
berdaulat. Hendaknya ke-daulatan itu dihormati. Ingatlah: kedaulatan Kongo tidak kurang
daripada kedaulatan setiap bangsa yang diwakili dalam Majelis ini, dan kedaulatan ini harus
dihormati secara sama.
Dalam soal-soal dalam negeri Kongo tidak boleh ada campur tangan dan sama sekali tidak
boleh ada bantuan, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi, untuk menghancurkan negara ini.
Ya, memang bangsa itu akan membuat kesalahan-kesalahan, kita semua membuat kesalahankesalahan, dan kita semua belajar dari kesalahan-kesalahan. Ya, pergolakan akan timbul, akan
tetapi itu pun biarlah berlangsung, karena ini merupakan tanda bagi pertumbuhan dan
perkembangan yang tepat. Sampai mana pergolakan itu adalah soalnya bangsa itu sendiri.
Marilah kita, baik secara perseorangan, maupun secara bersama-sama, membantu di sana
apabila kita diminta oleh pemerintah yang sah dari bangsa itu. Akan tetapi tiap-tiap bantuan
semacam itu harus jelas didasarkan atas kedaulatan Kongo yang tidak boleh diganggu gugat.
Akhirnya taruhlah kepercayaan pada bangsa itu! Mereka sedang mengalami masa percobaan
yang besar dan sedang sangat menderita. Taruhlah kepercayaan pada mereka sebagai bangsa
yang batu merdeka, dan mereka akan menemukan jalannya sendiri ke arah penyelesaiannya
sendiri daripada masalah-masalahnya sendiri.

Di sini hendak saya kemukakan peringatan yang sangat serius. Banyak anggota organisasi ini
dan banyak pejabat organisasi ini, mungkin tak begitu menyadari perbuatan-perbuatan
imperialisme dan kolonialisme.
Mereka tak pernah mengalaminya; mereka tak mengenal keuletannya dan kebengisannya,
dan banyaknya mukanya, dan kejahatannya.
Kami dari Asia dan Afrika mengenalnya. Saya katakan pada tuan-tuan: Janganlah bertindak
sebagai alat yang tak tahu apa-apa dari imperialisme. Jika tuan bertindak demikian, maka
tuan pasti akan membunuh Organisasi Perserikatan Bangsa -Bangsa ini dan dengan begitu
tuan akan membunuh harapan dari berjuta-juta manusia yang tiada terhitung itu dan mungkin
tuan akan menyebabkan hari depan mati dalam kandungan.
Sebelum meninggalkan persoalan-persoalan ini, saya hendak menyinggung pula suatu
persoalan besar lain yang kira-kira sama sifatnya. Yang saya maksud ialah Aljazair. Di sini
terdapat suatu gambaran yang menyedihkan, di mana kedua belah pihak sedang berlumuran
darah dan dihancurkan karena ketiadaan penyelesaian. Itu merupakan suatu tragedi!
Sudah jelas sekali bahwa rakyat Aljazair menghendaki kemerdekaan. Hal ini tidak dapat
dibantah lagi. Andaikata tidak demikian, maka perjuangan yang lama dan pahit dan berdarah
itu sudah akan berakhir bertahun-tahun yang lalu. Kehausan akan kemerdekaan serta
ketabahan untuk memperoleh ke-merdekaan itu merupakan faktor-faktor pokok dalam situasi
ini.
Apa yang belum ditentukan, hanyalah betapa akrab dan selaras suatu kerjasama di hari depan
dengan Perancis seharus-nya. Kerjasama yang sangat akrab dan selaras tidak akan sukar
dicapai, bahkan pada taraf sekarang ini, meskipun barangkali akan bertambah sukar
dicapainya dengan terus berlangsungnya perjuangan itu.
Maka, adakanlah suatu plebisit di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Aljazair
untuk menentukan kehendak rakyat akan betapa akrab dan selaras hubungan-hubungan itu
seharusnya. Plebisit itu hendaknya jangan mengenai soal kemerdekaan. Kemerdekaan itu
sudah ditentukan dengan darah dan air mata, dan pastilah akan berdiri suatu Aljazair yang
Merdeka.
Plebisit seperti yang saya sarankan, jika diselenggarakan dalam waktu singkat, akan
merupakan jaminan yang terbaik bahwa Aljazair merdeka dan Perancis akan terdapat suatu
kerjasama yang akrab dan baik untuk keuntungan bersama. Sekali lagi saya berbicara
berdasarkan pengalaman. Indonesia tadinya tidak mengandung niat untuk merusak hubunganhubungan yang erat dan selaras dengan Belanda. Akan tetapi, rupa-rupanya bahkan dewasa
ini, seperti generasi-generasi yang sudah-sudah, pemerintah bangsa itu berpegang teguh pada
memberi terlalu sedikit dan meminta terlampau banyak. Baru ketika hal itu tak tertahankan
lagi, hubungan-hubungan tersebut diputuskan.
Ijinkanlah saya sekarang beralih ke masalah yang lebih luas tentang perang dan damai di
dunia kita ini. Yang pasti adalah bahwa negara-negara yang baru lahir dan yang dilahirkan
kembali tidak merupakan ancaman terhadap perdamaian dunia. Kami tidak mempunyai
ambisi-ambisi teritorial; kami pun tidak mempunyai tujuan-tujuan ekonomi yang tidak bisa
disesuaikan. Ancaman terhadap perdamaian tidak datang dari kami, tetapi malahan dari pihak
negara-negara yang lebih tua, yang telah lama berdiri dan stabil itu.

O, ya, di negara-negara kami terdapat pergolakan. Sebenarnya, pergolakan itu seakan-akan


merupakan suatu fungi dari jangka waktu pertama daripada kemerdekaan. Apakah itu
mengherankan? Coba, marilah saya ambil contoh dari sejarah Amerika. Dalam satu generasi
harus dialami Perang Kemer-dekaan dan Perang Saudara antara Negara-negara Bagian.
Selanjutnya dalam generasi itu juga harus dialami timbulnya perserikatan-perserikatan buruh
yang militan, masa dari Internasional Workers of the World (I.W.W), Wobblies. Harus
pula dialami hijrah ke Barat. Harus pula dialami Revolusi Industri dan, ya, bahkan masa
pedagang-pedagang aktentas. Harus pula diderita akibat orang-orang ala Benedict Arnold.
Dan seperti sering saya katakan, kami desakkan banyak revolusi dalam satu revolusi dan
banyak generasi dalam satu generasi.
Maka herankah tuan-tuan jika terdapat pergolakan pada kami? Bagi kami hal itu adalah biasa
dan kami telah menjadi biasa untuk menunggang angin pusar. Saya mengerti benar bahwa
untuk orang luaran hal itu seringkali tampak seperti gambaran kekacauan dan kerusuhan dan
rebut-merebut kekuasaan. Bagaimanapun juga pergolakan itu adalah merupa-kan urusan kami
sendiri dan tidak merupakan suatu ancaman bagi siapapun, meskipun hal itu sering memberi
kesempatan-kesempatan untuk mencapuri urusan kami.
Meskipun demikian, kepentingan-kepentingan yang bertentangan dari Negara-negara Besar
adalah soal lain. Dalam hal ini masalah-masalah dikaburkan oleh ancaman-ancaman dengan
bom-bom hidrogen dan diulang-ulanginya slogan-slogan lama yang telah usang.
Kami tak mengabaikannya karena masalah-masalah itu mengancam kami. Toh, terlalu sering
masalah-masalah itu mengancam kami. Toh, terlalu sering masalah-masalah tersebut nampak
seakan-akan tidak sungguh. Dengan terus-terang dan tanpa ragu-ragu hendak saya katan
kepada tuan-tuan, bahwa kami menempatkan hari depan kami sendiri jauh di atas
percekcokan-percekcokan di Eropa.
Ya, kami banyak belajar dari Eropa dan Amerika. Kami telah mempelajari sejarah tuan-tuan
dan penghidupan orang-orang besar dari bangsa tuan. Kami telah mengikuti contoh dari tuantuan; bahkan kami telah berusaha melebihi tuan-tuan. Kami berbicara dalam bahasa tuan-tuan
dan membaca buku-buku tuan-tuan. Kami telah diilhami oleh Lincoln dan Lenin, oleh
Cromwell dan Garibaldi. Dan memang masih banyak yang harus kami pelajari dari tuan-tuan
di banyak bidang. Tetapi pada dewasa ini bidang-bidang yang kami harus pelajari lebih
banyak lagi dari tuan-tuan, adalah bidang teknik dan ilmiah, dan bukan faham-faham atau
gerakan yang didiktekan oleh ideologi.
Di Asia dan Afrika pada dewasa ini masih hidup, masih berpikir, masih bertindak, mereka
yang memimpin bangsanya kearah kemerdekaan, mereka yang mengembangkan teori-teori
ekonomi yang agung dan membebaskan, mereka yang menumbangkan kelaliman, mereka
yang mempersatukan bangsanya dan mereka yang menaklukkan perpecahan bangsanya. Oleh
karena itu dan memang selayaknya, kami dari Asia-Afrika saling mendekati untuk
memperoleh bimbingan dan inspirasi dan kami mencari pada diri sendiri pengalaman dan
kebijak-sanaan yang telah terhimpun pada bangsa-bangsa kami.
Apakah tuan-tuan tidak berpendapat bahwa Asia dan Afrika mungkin mempunyai suatu
amanat dan suatu cara untuk seluruh dunia?
Ahli filsafat Inggris Bertrand Russell yang ulung itulah yang pernah berkata bahwa umat
manusia sekarang terbagi dalam dua golongan. Yang satu menganut ajaran Declaration of

American Independence dari Thomas Jeffreson. Golongan lainnya menganut ajaran


Manifesto Komunis.
Maafkan, Lord Russell, akan tetapi saya kira tuan melupakan sesuatu. Saya kira tuan
melupakan adanya lebih daripada seribu juta rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula
rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis maupun
Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah
banyak belajar dari keduanya dan kami telah diilhami oleh keduanya itu.
Siapakah yang tidak akan dapat ilham dari kata-kata dan semangat Declaration of
Independence itu! Kami menganggap kebenaran-kebenaran ini sebagai suatu yang tidak
dapat di-sangkal lagi: bahwa manusia diciptakan dengan hak yang sama, bahwa mereka
diberikan oleh Al Khalik hak-hak tertentu yang tak dapat diganggu gugat, dan bahwa di
antara hak-hak itu terdapat hak untuk hidup, hak kemerdekaan dan hak mengejar
kebahagiaan. Siapakah yang terlibat dalam per-juangan untuk kehidupan dan kemerdekaan
nasional, tak akan diilhami! Dan sekali lagi, siapakah di antara kita, yang berjuang
menegakkan suatu masyarakat yang adil dan makmur di atas puing-puing kolonialisme, tak
akan diilhami oleh bayangan kerjasama dan perkembangan ekonomi yang dicetuskan oleh
Marx dan Engels! Sekarang telah terjadi suatu konfrontasi di antara kedua pandangan itu, dan
konfrontasi itu membahaya-kan, tidak hanya untuk mereka yang saling berhadapan tetapi
juga untuk bagian dunia lainnya.
Saya tidak dapat berbicara atas nama negara-negara Asia dan Afrika lainnya saya tidak
diberi kuasa untuk itu, dan bagai-manapun juga mereka sendiri cakap untuk mengemuka-kan
pandangannya masing-masing. Akan tetapi saya diberi kuasa bahkan ditugaskan untuk
berbicara atas nama bangsa saya yang berjumlah sembilan puluh juta itu.
Seperti saya katakan, kami telah membaca dan mempelajari kedua dokumen yang pokok itu.
Dari masing-masing dokumen itu banyak yang telah kami ambil dan kami buang apa saja
yang tak berguna bagi kami, kami yang hidup di benua lain dan beberapa generasi kemudian.
Kami telah mensintesiskan apa yang kami perlukan dari kedua dokumen itu, dan ditinjau dari
pengalaman serta pengetahuan kami sendiri, sentese itu telah kami saring dan kami
sesuaikan.
Jadi dengan minta maaf kepada Lord Russell yang saya hormati sekali, dunia ini tidaklah
seluruhnya terbagi dalam dua pihak seperti dikiranya.
Meskipun kami telah mengambil sarinya, dan meskipun kami telah mencoba mensintesiskan
kedua dokumen yang penting itu, kami tidak dipimpin oleh keduanya itu saja. Kami tidak
mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman kami
sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih
sesuai, sesuatu yang lebih cocok.
Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi
dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur
dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya. Sejarah Indonesia kami sendiri
memperlihatkannya dengan jelas dan demikian pula halnya dengan sejarah seluruh dunia.
Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Ya, Pancasila atau Lima Sendi Negara kami. Lima
sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis atapun Declaration of Inde-

pendence. Memang, gagasan-gagasan dan cita-cita itu mungkin sudah ada sejak berabadabad, telah terkandung dalam bangsa kami. Dan memang tidak mengherankan bahwa fahamfaham mengenai kekuatan yang besar dan kejantanan itu telah timbul dalam bangsa kami
selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum
imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.
Jadi, berbicara tentang Pancasila di hadapan tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari
peradaban kami selama dua ribu tahun.
Apakah Lima Sendi itu? Ia sangat sederhana: pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua
Nasionalisme, ketiga Internasionalisme, keempat Demokrasi, kelima Keadilan Sosial.
Perkenankanlah saya sekarang menguraikan sekedarnya tentang kelima pokok itu.
Pertama: Ketuhan Yang Maha Esa.
Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam,
ada yang Kristen, dan ada yang Budha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama.
Meskipun demikian untuk delapan puluh lima persen dari sembilan puluh dua juta rakyat
kami, bangsa Indonesia terdiri dari pengikut Islam. Berpangkal pada kenyataan ini dan
mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempat-kan Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup kami. Bahkan mereka yang
tidak percaya kepada Tuhan pun, karena toleransinya yang menjadi pem-bawaan, mengakui
bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya,
sehingga mereka menerima Sila pertama ini.
Kemudian sebagai nomor dua adalah Nasionalisme. Kekuatan yang membakar nasionalisme
dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup kami dan memberi kekuatan kepada
kami sepanjang kegelapan penjajahan yang lama, dan selama berkobarnya perjuangan
kemerdekaan. Dewasa ini kekuatan yang membakar itu masih tetap menyala-nyala di dada
kami dan tetap memberikan kekuatan hidup kepada kami! Akan tetapi nasionalisme kami
sekali-kali bukanlah Chauvinisme. Kami sekali-kali tidak menganggap diri kami lebih unggul
dari bangsa-bangsa lain. Kami sekali-kali tidak pula berusaha untuk memaksakan kehendak
kami kepada bangsa-bangsa lain. Saya mengetahui benar-benar, bahwa istilah nasionalisme
dicurigai, bahkan tidak dipercayai di negara-negara Barat. Hal ini disebabkan karena Barat
telah memperkosa dan memutarbalikkan nasionalisme. Padahal nasionalisme yang sejati
masih tetap berkobar-kobar di negara-negara Barat. Jika tidak demikian, maka Barat tidak
akan menantang dengan senjata chauvinisme Hitler yang agresif.
Tidakkah nasionalisme sebutlah jika mau, patriotisme mempertahankan kelangsungan
hidup semua bangsa? Siapa yang berani menyangkal bangsa, yang melahirkan dia? Siapa
yang berani berpaling dari bangsa, yang menjadikan dia? Nasionalisme adalah mesin besar
yang menggerakkan dan mengawasi semua kegiatan internasional kita; nasionalisme adalah
sumber besar dan inspirasi agung dari kemerdekaan.
Nasionalisme kami di Asia dan Afrika tidaklah sama dengan yang terdapat pada sistem
Negara-negara Barat. Di Barat, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang
mencari ekspansi serta keuntungan bagi ekonomi nasionalnya. Nasionalisme di Barat adalah
kakek dari imperial-isme, yang bapaknya adalah kapitalisme. Di Asia dan Afrika, dan saya
kira juga di Amerika Latin, nasionalisme adalah gerakan pembebasan, suatu gerakan protes

terhadap imperial-isme dan kolonialisme, dan suatu jawaban terhadap penindasan


nasionalisme-chauvinis yang bersumber di Eropa. Nasionalisme Asia dan Afrika serta
nasionalisme Amerika Latin tidak dapat ditinjau tanpa memperhatikan inti sosialnya.
Di Indonesia kami menganggap inti sosial itu sebagai pen-dorong untuk mencapai keadilan
dan kemakmuran. Bukankah itu tujuan baik yang dapat diterima oleh semua orang? Saya
tidak berbicara hanya tentang kami sendiri di Indonesia, juga tidak hanya tentang saudarasaudara saya di Asia dan Afrika serta Amerika Latin. Saya berbicara tentang seluruh dunia.
Masyarakat yang adil dan makmur dapat merupakan cita-cita dan tujuan semua orang.
Mahatma Gandhi pernah berkata: Saya seorang nasionalis, akan tetapi nasionalisme saya
adalah perikemanusiaan. Kami pun berkata demikian. Kami nasionalis, kami cinta kepada
bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami percaya bahwa bangsabangsa adalah sangat penting bagi dunia di masa sekarang ini, dan kami akan tetap demikian,
sejauh mata dapat memandang ke masa depan. Karena kami nasionalis, maka kami
mendukung dan menganjurkan nasional-isme, di mana saja kami jumpainya.
Sila ketiga kami adalah Internasionalisme.
Antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisih-an atau pertentangan.
Memang benar, bahwa internasionalisme tidak akan dapat tumbuh dan berkembang selain di
atas tanah yang subur dari nasionalisme. Bukankah Organisasi Perserikat-an Bangsa-Bangsa
itu merupakan bukti yang nyata dari hal ini? Dahulu ada Liga Bangsa-Bangsa. Kini ada
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Nama-nama itu sendiri menunjukkan bahwa kedua-duanya
tidak akan bisa berdiri tanpa adanya bangsa-bangsa dan nasionalisme. Justru adanya kedua
organisasi itu menunjukkan bahwa bangsa-bangsa mengingini dan mem-butuhkan suatu
badan intemasional, di mana setiap bangsa mempunyai kedudukan yang sederajat. Internasionalisme sama sekali bukan kosmopolitanisme, yang merupakan penyangkalan terhadap
nasionalisme, yang anti-nasional dan memang ber-tentangan dengan kenyataan.
Sebetulnya internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, di
mana setiap bangsa meng-hargai dan menjaga hak-hak semua bangsa, baik yang besar mau
pun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme yang sejati adalah tanda,
bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggung jawab, telah meninggal-kan sifat
kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial, telah meninggalkan
penyakit kekanak-kanakan tentang chauvinisme dan kosmopolitanisme.
Sila keempat adalah Demokrasi.
Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat. Lebih tegas, demokrasi tampaknya merupakan keadaan asli dari manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan
dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus.
Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan bentukbentuk demokrasi Indonesia. Kami percaya, bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian
dan arti internasional. Ini adalah soal yang akan saya bicarakan kemudian.
Akhirnya, Sila yang penghabisan dan yang terutama ialah Keadilan Sosial. Pada Keadilan
Sosial ini kami rangkaikan kemakmuran sosial, karena kami menganggap kedua hal ini tidak
dapat dipisah-pisahkan. Benar, hanya suatu masyarakat yang makmur dapat merupakan

masyarakat yang adil, meski-pun kemakmuran itu sendiri bisa bersemayam dalam
ketidakadilan sosial.
Demikian Pancasila kami. Ketuhanan Yang Maha Esa, Nasionalisme, Internasionalisme,
Demokrasi dan Keadilan Sosial.
Itulah dasar-dasar yang telah diterima sepenuhnya oleh bangsa saya dan yang
dipergunakannya sebagai pedoman bagi segala kegiatan politik, ekonomi dan sosial.
Tidaklah termasuk tugas saya hari ini untuk menguraikan bagaimana kami berusaha dalam
kehidupan dan urusan nasional kami, menggunakan dan melaksanakan Pancasila. Jika saya
menguraikan hal ini, maka ini akan mengganggu keramah-tamahan badan internasional ini.
Akan tetapi saya sungguh-sungguh percaya, bahwa Pancasila mengandung lebih banyak
daripada arti nasional saja. Pancasila mempunyai arti universil dan dapat digunakan secara
internasional.
Tidak seorang pun akan membantah unsur kebenaran dalam pandangan yang dikemukakan
oleh Bertrand Russell itu. Sebagian besar dari dunia telah terbagi menjadi golongan yang
menerima gagasan dan prisnsip-prinsip Declaration of American Independence dan golongan
yang menerima gagasan dan prinsip-prinsip Manifesto Komunis. Mereka yang me-nerima
gagasan yang satu menolak gagasan yang lain, dan terdapatlah bentrokan atas dasar ideologis
maupun praktis.
Kita semuanya terancam oleh bentrokan ini dan kita merasa khawatir karena bentrokan ini.
Apakah tidak ada sesuatu tindakan yang dapat diambil terhadap ancaman ini? Apakah hal ini
harus berlangsung terus dari generasi ke generasi, dengan kemungkinan pada akhirnya akan
meletus menjadi lautan api yang akan menelan kita semuanya? Apakah tidak ada suatu jalan
keluar?
Jalan keluar harus ada. Jika tidak ada, maka semua musyawarah kita, semua harapan kita,
semua perjuangan kita akan sia-sia belaka.
Kami bangsa Indonesia tidak bersedia bertopang dagu, sedangkan dunia menuju ke jurang
keruntuhannya. Kami tidak bersedia bahwa fajar cerah dari kemerdekaan kami diliputi oleh
awan radioaktif. Tidak satu pun di antara bangsa-bangsa Asia atau Afrika akan bersedia
menerima hal itu. Kami memikul pertanggungan jawab terhadap dunia, dan kami siap
menerima serta memenuhi pertanggungan jawab itu. Jika itu berarti turut campur dalam apa
yang tadinya merupakan urusan-urusan Negara-negara Besar yang dijauhkan dari kami, maka
kami akan bersedia melakukannya. Tidak ada bangsa Asia dan Afrika manapun juga yang
akan menyingkirkan tugas itu.
Bukankah jelas, bahwa bentrokan itu timbul terutama karena ketidakadilan? Di dalam suatu
bangsa, adanya yang kaya dan yang miskin, yang dihisap dan yang menghisap, menimbulkan bentrokan. Hilangkan penghisapan, dan bentrokan itu akan lenyap, karena sebab yang
menimbulkan bentrokan itu telah tidak ada.
Di antara bangsa-bangsa, jika ada yang kaya dan yang miskin, yang menghisap dan yang
dihisap, akan pula ada bentrokan. Hilangkan sebab yang menimbulkan bentrokan, dan
bentrokan itu akan lenyap. Hal ini berlaku, baik internasional maupun di dalam suatu bangsa.

Dilenyapkannya imperialisme dan kolonialisme meniadakan penghisapan demikian dari


bangsa oleh bangsa.
Saya percaya, bahwa ada jalan keluar daripada konfrontasi ideologi-ideologi ini. Saya
percaya bahwa jalan keluar itu terletak pada dipakainya Pancasila secara universil!
Siapakah di antara tuan-tuan menolak Pancasila? Apakah wakil-wakil yang terhormat dari
bangsa Amerika yang besar yang menolaknya? Apakah wakil-wakil dari bangsa Rusia yang
besar yang menolaknya? Ataukah wakil-wakil yang terhormat dari Inggris atau Polandia, atau
Perancis atau Cekoslovakia? Ataukah mamang ada di antara mereka yang agaknya telah
mengambil posisi yang statis dalam Perang Dingin antara gagasan-gagasan dan praktekpraktek, dan yang berusaha tetap berakar sedalam-dalamnya sedangkan dunia menghadapi
kekacauan-kekacauan?
Lihat, lihatlah delegasi yang mendukung saya! Delegasi itu bukan terdiri dari pegawaipegawai negeri atau politikus-politikus profesional. Delegasi ini mewakili bangsa Indonesia.
Dalam Delegasi ini ada prajurit-prajurit. Mereka menerima Pancasila, ada seorang ulama
Islam yang besar, yang merupa-kan soko guru bagi agamanya. la menerima Pancasila.
Selanjutnya ada pemimpin Partai Komunis Indonesia yang kuat. Ia menerima Pancasila.
Seterusnya ada wakil-wakil dari Golongan-golongan Katolik dan Protestan, dari Partai
Nasionalis dan organisasi-organisasi buruh dan tani, ada pula wanita-wanita, kaum
cendekiawan dan pejabat-pejabat pemerintahan. Semuanya, ya semuanya, menerima Pancasila.
Mereka bukannya menerima Pancasila semata-mata sebagai konsepsi ideologi belaka,
melainkan sebagai suatu pedoman yang praktis sekali untuk bertindak. Mereka, di antara
bangsa saya yang berusaha menjadi pemimpin tetapi menolak Pancasila, ditolak pula oleh
bangsa Indonesia.
Bagaimanakah penggunaan secara internasional daripada Pancasila? Bagaimana Pancasila itu
dapat dipraktekkan? Marilah kita tinjau kelima pokok itu satu demi satu.
Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tidak seorang pun yang menerima Declaration of American Independence sebagai pedoman
untuk hidup dan bertindak, akan menyangkalnya. Begitu pula tidak ada seorang pengikut pun
dari Manifesto Komunis, dalam forum internasional ini kini akan menyangkal hak untuk
percaya kepada Yang Maha Kuasa. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, saya
persilah-kan tuan-tuan yang terhormat bertanya kepada tuan Aidit, ketau Partai Komunis
Indonesia, yang duduk dalam Delegasi saya dan yang menerima sepenuhnya baik Manifesto
Komunis maupun Pancasila.
Kedua: Nasionalisme.
Kita semua adalah wakil-wakil bangsa-bangsa. Bagaimana kita akan dapat menolak
nasionalisme? Jika kita menolak nasional-isme, maka kita harus menolak kebangsaan kita
sendiri dan menolak pengorbanan-pengorbanan yang telah diberikan oleh generasi-generasi.
Akan tetapi saya peringatkan tuan-tuan: jika tuan-tuan menerima prinsip-prinsip
nasionalisme, maka tuan-tuan harus menolak imperialisme. Tetapi pada peringatan itu saya
ingin menambahkan peringatan lagi: jika tuan-tuan menolak imperialisme, maka secara

otomatis dan dengan segera tuan-tuan lenyapkan dari dunia yang dalam kesukaran ini sebab
terbesar yang menimbulkan ketegangan dan bentrokan.
Ketiga: Internasionalisme.
Apakah perlu untuk berbicara dengan panjang lebar mengenai internasionalisme dalam badan
internasional ini? Tentu tidak! Jika bangsa-bangsa kita tidak international minded, maka
bangsa-bangsa itu tidak akan menjadi anggota organisasi ini. Akan tetapi, internasionalisme
yang sejati tidak selalu terdapat di sini. Saya menyesal harus mengatakan demikian, akan
tetapi hal ini adalah suatu kenyataan. Terlalu sering Perserikatan Bangsa-Bangsa digunakan
sebagai forum untuk tujuan-tujuan nasional yang sempit atau tujuan-tujuan golongan saja.
Terlalu sering pula tujuan-tujuan yang agung dan cita-cita yang luhur dari piagam kita
dikaburkan oleh usaha untuk mencari keuntungan nasional atau prestige nasional.
Internasionalisme yang sejati harus didasarkan atas kenyataan persamaan nasional.
Internasionalisme yang sejati harus didasarkan atas persamaan kehormatan, persamaan
penghargaan dan atas dasar penggunaan secara praktis daripada kebenaran, bahwa semua
orang adalah saudara. Untuk mengutip piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dokumen yang
seringkali dilupakan orang itu internasional-isme itu harus meneguhkan kembali
keyakinan berdasarkan hak hak yang sama bagi bangsa-bangsa, baik besar maupun kecil.
Akhirnya, dan sekali lagi, internasionalisme akan berarti berakhirnya imperislisme dan
kolonialisme, sehingga dengan demikian berakhirnya banyak bahaya dan ketegangan.
Keempat: demokrasi.
Bagi kami bangsa Indonesia, demokrasi mengandung tiga unsur yang pokok. Demokrasi
mengandung pertama-tama prinsip yang kami sebut Mufakat yakni: kebulatan pendapat.
Kedua, demokrasi mengandung prinsip Perwakilan.
Akhirnya demokrasi mengandung, bagi kami prinsip Musyawarah. Ya, demokrasi Indonesia
mengandung ketiga prinsip itu, yakni mufakat, perwakilan dan musyawarah antar wakilwakil.
Prinsip-prinsip daripada cara kehidupan demokrasi kami ini dikandung sedalam-dalamnya
oleh rakyat kami dan sudah ada sejak berabad-abad lamanya. Prinsip ini menguasai
kehidupan demokrasi kami ketika suku-suku yang liar dan biadab masih mengembara di
Eropa. Prinsip-prinsip ini membimbing kami ketika feodalisme menjadikan dirinya kekuatan
yang progresif yang memang revolusioner di Eropa. Prinsip-prinsip ini memberikan kekuatan
kepada kami, ketika feodalisme melahir-kan kapitalisme, dan ketika kapitalisme menjadi
bapak imperialisme yang memperbudak kami. Prinsip-prinsip ini memberikan kekuatan
kepada kami selama gerhana kegelapan penjajahan dan selama tahun-tahun yang berjalan
lambat, ketika bentuk-bentuk lain dan berbeda-beda dari praktek-praktek demokrasi timbul
secara perlahan-lahan di Eropa dan Amerika.
Demokrasi kami tua, tetapi jaya dan kuat, sama jayanya dan kuatnya seperti bangsa Indonesia
yang menjadi sumbernya.
Perhatikanlah. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini adalah organisasi dari bangsabangsa yang sederajat, organisasi dari negara-negara yang mempunyai kedaulatan yang

sederajat, kemerdekaan yang sederajat dan rasa bangsa yang sederajat tentang kedaulatan
serta kemerdekaan. Satu-satunya cara bagi organisasi ini untuk dapat menjalankan fungsinya
secara memuaskan, ialah dengan jalan mufakat yang diperoleh dalam musyawarah.
Musyawarah harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga tidak ada saingan antara pendapatpendapat yang bertentangan, tidak ada resolusi-resolusi dan resolusi-resolusi balasan, tidak
ada pemihakan-pemihakan, melainkan hanya usaha yang teguh untuk mencari dasar umum
dalam memecah-kan suatu masalah. Dari musyawarah semacam ini timbullah permufakatan,
suatu kebulatan pendapat, yang lebih kuat daripada suatu resolusi yang dipaksakan melalui
jumlah suara mayoritet, suatu resolusi yang mungkin tidak diterima, atau yang mungkin tidak
disukai oleh minoritet.
Apakah saya berbicara idealistis? Apakah saya memimpi-kan dunia yang ideal dan romantis?
Tidak! Kedua kaki saya dengan teguh berpijak di tanah! Betul saya menengadah ke langit
untuk mendapatkan inspirasi, akan tetapi pikiran saya tidak berada di awang-awang. Saya
tegaskan bahwa cara-cara musyawarah demikian ini dapat dilaksanakan. Cara-cara itu bagi
kami dapat dijalankan. Cara-cara itu dapat dijalankan dalam Dewan Perwakilan Rakyat kami,
cara-cara itu dapat dijalankan dalam Dewan Pertimbangan Agung kami, cara-cara itu dapat
dijalankan dalam Kabinet kami.
Cara musyawarah ini dapat dijalankan, karena wakil-wakil bangsa kami berkeinginan agar
cara-cara itu dapat berjalan. Kaurn Komunis menginginkannya, kaum nasionalis menginginkannya, golongan Islam menginginkannya, dan golongan Kristen menginginkannya. Tentara
menginginkannya, baik warga kota maupun rakyat di desa-desa yang terpencil menginginkannya, kaum cendekiawan menginginkannya dan orang yang berusaha sekuat tenaga
memberantas buta huruf meng-inginkannya. Semua menginginkannya, karena semua menginginkan tercapainya tujuan jelas dari Pancasila, dan tujuan yang jelas itu ialah masyarakat
adil dan makmur.
Tuan-tuan boleh berkata: Ya, kita akan menerima kata-kata Presiden Soekarno dan kita akan
menerima bukti-bukti yang kita lihat dalam susunan delegasinya di Perserikatan Bangsa
Bangsa pada hari ini, akan tetapi kita adalah kaum realis dalam dunia yang kejam. Cara satusatunya untuk menyelenggarakan pertemuan internasional ialah cara yang dipergunakan
dalam menyelenggarakan Perserikatan Bangsa Bangsa, yaitu dengan resolusi-resolusi,
amandemen-amandemen, suara-suara mayo-ritet dan minoritet.
Perkenankanlah saya menegaskan sesuatu. Kami tahu dari pengalaman yang sama pahitnya,
sama praktisnya dan sama realistisnya, bahwa cara-cara musyawarah kami dapat pula
diselenggarakan di bidang internasional. Di sidang ini cara-cara itu berjalan sama baiknya
seperti bidang nasional.
Seperti tuan-tuan ketahui, belum begitu lama berselang wakil-wakil dari dua puluh sembilan
bangsa-bangsa dari Asia dan Afrika berkumpul di Bandung. Pemimpin-pemimpin bangsabangsa itu bukan pemimpin pengelamun yang tidak praktis. Jauh dari itu! Mereka adalah
pemimpin-pemimpin yang keras dan realistis dari rakyat dan bangsa-bangsa, sebagian besar
di antara mereka lulus dari perjuangan kemerdekaan nasional, semuanya mengetahui benar
akan realitet-realitet daripada kehidupan serta kepemimpinan baik politik maupun
internasional.

Mereka mempunyai pandangan politik yang berbeda-beda, dari ekstrim kanan sampai ekstrim
kiri.
Banyak orang di negara-negara Barat tidak dapat dipercaya bahwa konferensi semacam itu
dapat menghasilkan sesuatu yang berguna. Banyak orang bahkan berpendapat bahwa
konferensi itu akan bubar dalam keadaan kacau dan saling tuduh-menuduh, terpecah-belah di
atas karang perbedaan faham politik.
Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan dengan cara-cara musyawarah.
Dalam konferensi itu tidak terdapat mayoritet dan minoritet. Tidak pula diadakan
pemungutan suara. Dalam konferensi itu hanya terdapat musyawarah dan keinginan umum
untuk mencapai persetujuan. Konferensi itu menghasilkan komunike yang dibuat dengan
suara bulat, komunike yang merupakan salah suatu yang terpenting dalam windu ini atau
mungkin salah satu dokumen yang terpenting dalam sejarah.
Apakah tuan-tuan masih sangsi terhadap faedah dan efisiensi daripada cara musyawarah
semacam itu?
Saya yakin bahwa pemakaian dengan tulus ikhlas dari caracara musyawarah demikian ini
akan mempermudah pekerjaan organisasi internasional ini. Ya, barangkali cara ini akan
memungkinkan pekerjaan yang sederhana dari organisasi ini. Cara musyawarah ini akan
menunjukkan jalan untuk menye-lesaikan banyak masalah-masalah yang mungkin bertumpuk
bertahun-tahun. Cara musyawarah ini akan memungkinkan terselesaikannya masalahmasalah yang tampaknya tidak ter-pecahkan.
Dan saya minta dengan hormat, hendaknya tuan-tuan ingat bahwa sejarah memperlakukan
mereka yang gagal tanpa mengenal ampun.
Siapakah yang sekarang ini ingat kepada mereka yang membanting tulang dalam Liga
Bangsa-Bangsa? Kita hanya ingat kepada mereka yang telah menghancurkan badan
internasional itu! Akan tetapi mereka hanya menghancurkan suatu organisasi negara-negara
dari sebagian dunia saja. Kita tidak bersedia bertopang dagu dan melihat organisasi ini,
organisasi kita sendiri, dihancurkan karena tidak fleksibel, atau karena lambat menyambut
keadaan dunia yang berubah.
Apakah tidak patut dicoba? Jika tuan-tuan berpendapat tidak, maka tuan-tuan harus bersedia
untuk mempertanggung-jawabkan keputusan tuan-tuan di hadapan mahkamah sejarah.
Akhirnya, dalam Pancasila terkandung Keadilan Sosial. Untuk dapat dilaksanakan di bidang
internasional, mungkin hal ini akan menjadi keadilan sosial internasional. Sekali lagi,
menerima prinsip ini akan berarti menolak kolonialisme dan imperialisme.
Selanjutnya, diterimanya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa keadilan sosial sebagai suatu
tujuan, akan berarti diterimanya pertanggungan jawab dan kewajiban-kewajiban tertentu.
Ini akan berarti usaha yang tegas dan berpadu untuk mengakhiri banyak dari kejahatankejahatan sosial, yang menyusah-kan dunia kita. Ini akan berarti bahwa bantuan kepada
negara-negara yang belum maju dan bangsa-bangsa yang kurang beruntung akan disingkirkan

dari suasana Perang Dingin. Ini akan berarti pula pengakuan yang praktis bahwa semua orang
adalah saudara dan bahwa semua orang mempunyai tanggung jawab terhadap saudaranya.
Apakah ini bukan tujuan mulia? Apakah ada yang berani menyangkal kemuliaan dan keadilan
daripada tujuan ini? Jika ada yang berani menyangkalnya, maka suruhlah ia menghadapi kenyataan! Suruh ia menghadapi si lapar, suruh ia menghadapi si buta huruf, suruh ia
menghadapi si sakit dan suruhlah ia kemudian membenarkan sangkalannya!
Perkanankanlah saya sekali lagi mengulangi lima sila itu. Ketuhanan Yang Maha Esa;
Nasionalisme; Internasionalisme; Demokrasi; Keadilan Sosial.
Marilah kita selidiki apakah hal-hal itu sebenamya merupa-kan suatu sintese yang dapat
diterima oleh kita semua. Marilah kita bertanya kepada diri sendiri, apakah penerimaan
prinsip-prinsip itu akan memberikan suatu pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh organisasi ini.
Benar, Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak hanya terdiri dari pada piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa saja. Meskipun demikian dokumen yang bersejarah itu tetap merupakan
bintang pembimbing dalam ilham organisasi ini.
Dalam banyak hal piagam mencerminkan konstelasi politik dan kekuatan pada saat
dilahirkannya. Dalam banyak hal piagam itu tidak mencerminkan kenyataan-kenyataan masa
sekarang.
Oleh karena itu marilah kita pertimbangkan apakah Lima Sila yang telah saya kemukakan,
dapat memperkuat dan memperbaiki piagam kita.
Saya yakin, ya, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan
dicantumkannya dalam piagam, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya
yakin, bahwa Pancasila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejajar dengan
perkembangan terakhir dari dunia. Saya yakin bahwa Pancasila akan memungkinkan
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghadapi hari kemudian dengan kesegaran dan
kepercayaan. Akhimya, saya yakin bahwa diterimanya Pancasila sebagai dasar piagam, akan
menyebabkan piagam ini akan diterima lebih ikhlas oleh semua anggota, baik yang lama
maupun yang baru.
Saya akan ajukan satu soal lagi dalam hubungan ini. Adalah suatu kehormatan besar bagi
suatu negara bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa berkedudukan di dalam wilayah-nya. Kita
semua benar-benar bersyukur bahwa Amerika Serikat telah memberi tempat yang tetap bagi
Organisasi kita. Tetapi, mungkin dapat dipersoalkan apakah itu memang tepat.
Dengan segala hormat, saya kemukakan bahwa itu mungkin tidak tepat. Bahwasanya
kedudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam wilayah salah satu negara yang ter-kemuka
dalam Perang Dingin, berarti Perang Dingin telah merembes bahkan sampai ke pekerjaan dan
administrasi serta rumah tangga Organisasi kita ini. Sedemikian luasnya perembesan itu,
sehingga hadirnya pemimpin suatu bangsa yang besar dalam sidang Perserikatan BangsaBangsa ini saja sudah menjadi persoalan Perang Dingin dan senjata perang Dingin, serta alat
untuk mempertajam cara kehidupan yang berbahaya serta sia-sia itu.

Marilah kita tinjau apakah tempat kedudukan Organisasi kita tidak perlu dipindahkan dari
suasana Perang Dingin. Marilah kita tinjau apakah Asia atau Afrika atau Jenewa akan dapat
memberi tempat yang permanen kepada kita, yang jauh dari Perang Dingin, tidak terikat pada
salah satu block dan di mana para Delegasi dapat bergerak dengan leluasa dan bebas
sekehendak mereka. Dengan demikian, mungkin akan diperoleh pengertian yang lebih luas
tentang dunia dan masalah-masahnya.
Saya yakin, bahwa suatu negara Asia atau Afrika, mengingat akan keyakinan dan
kepercayaannya, dengan senang akan menunjukkan kemurahan hatinya kepada Perserikatan
Bangsa-Bangsa, mungkin dengan menyediakan suatu daerah yang cukup luas, di mana
Organisasi itu sendiri akan berdaulat dan di mana perundingan-perundingan yang penting
bagi pekerjaan vital itu dapat dilaksanakan secara aman dan dalam suasana persaudaraan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak lagi merupakan badan seperti yang menandatangai Piagam
lima belas tahun yang lalu. Dunia ini pun tidak sama dengan yang dahulu. Mereka yang
dengan kebijaksanaan berjerih payah untuk menghasilkan Piagam Organisasi ini, tidak dapat
menyangka akan terjelmanya bentuk yang sekarang ini. Di antara orang-orang yang bijaksana
dan jauh pandangannya itu, hanya beberapa yang sadar, bahwa akhir imperialisme sudah
tampak dan bahwa bila Organisasi ini harus hidup terus, maka ia mesti memberi
kemungkinan kepada bangsa-bangsa baru dan bangsa-bangsa yang lahir kembali untuk
masuk beramai-ramai, berduyun-duyun dan bersemangat.
Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa seharusnya ialah me-mecahkan masalah-masalah. Untuk
menggunakannya sebagai forum perdebatan belaka, atau sebagai saluran propaganda, atau
sebagai sambungan dari politik dalam negeri, berarti memutar-balikkan cita-cita mulia yang
seharusnya meresap di dalam badan ini.
Pergolakan-pergolakan kolonial, perkembangan yang cepat dari daerah-daerah yang belum
maju di lapangan teknis, dan masalah perlucutan senjata, semuanya merupakan masalahmasalah yang tepat dan mendesak untuk kita pertimbangkan dan musyawarahkan. Akan
tetapi, telah menjadi jelas, bahwa masalah-masalah yang vital ini tidak dapat dibicarakan
secara memuaskan oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sekarang ini. Sejarah
badan ini menunjukkan kebenaran yang menyedihkan dan yang jelas daripada apa yang telah
saya katakan.
Sungguh tidak mengherankan bahwa demikianlah jadinya. Kenyataannya ialah bahwa
Organisasi kita mencerminkan dunia tahun Sembilanbelas Empatpuluh Lima, dan bukan
dunia zaman sekarang. Demikianlah halnya dengan semua badan-badannya kecuali satusatunya Majelis yang agung ini dan dengan semua Lembaga-lembaganya.
Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan badan yang terpenting itu mencerminkan
peta ekonomi, militer dan kekuatan daripada dunia tahun Sembilanbelas Empatpuluh Lima,
ketika Organisasi ini dilahirkan dari inspirasi dan angan-angan yang besar. Demikian pula
halnya dengan sebagian besar daripada Lembaga-lembaga lainnya. Mereka itu tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara Sosialis ataupun ber-kembangnya dengan cepat
kemerdekaan Asia dan Afrika.
Untuk memodrnisir dan membuat efisien Organisasi kita, barangkali juga Sekretariat di
bawah pimpinan Sekretariat Jenderalnya, mungkin membutuhkan peninjauan kembali.
Dengan mengatakan demikian, saya tidak sama sekali tidak mengkritik atau mencela

dengan cara apapun Sekretaris Jenderal yang sekarang, yang senantiasa berusaha, dalam
keadaan-keadaan yang tak dapat diterima lagi, melakukan tugasnya dengan baik, yang
kadang-kadang tampaknya tidak mungkin dilaksanakan.
Jadi, bagaimanakah mereka bisa efisien? Bagaimanakah anggota-anggota kedua golongan
dalam dunia ini yakni golongan-golongan yang merupakan suatu kenyataan dan yang harus
diterima bagaimanakah anggota-anggota kedua golongan itu bisa merasa tenang di dalam
Organisasi ini dan mempunyai kepercayaan penuh yang diperlukan terhadapnya.
Sejak perang kita telah menyaksikan tiga gejala-gejala besar yang permanen.
Pertama ialah bangkitnya negara-negara Sosialis. Hal ini tidak disangka dalam tahun
Sembilanbelas Empatpuluh Lima. Kedua ialah gelombang besar daripada pembebasan
nasional dan emansipasi ekonomi yang melanda Asia dan Afrika serta saudara-saudara kita di
Amerika Latin. Saya kira bahwa hanya kita, yang langsung terlibat di dalamnya dapat
menduganya. Ketiga ialah kemajuan ilmiah besar, yang semua bergerak di lapangan persenjataan dan peperangan, akan tetapi yang dewasa ini berpindah ke lapangan rintangan dan
perbatasan ruang angkasa. Siapakah yang dapat meramalkannya ketika itu?
Benar, Piagam kita dapat dirubah. Saya menyadari, bahwa ada prosedur untuk melakukan hal
ini dan akan tiba waktunya ini dapat dilakukan. Akan tetapi persoalan ini mendesak.
Hal ini mungkin merupakan persoalan mati atau hidup bagi Perseriakatn Bangsa-Bangsa.
Janganlah sampai pandangan legalistik yang picik dapat menghalangi dikerjakannya usaha itu
dengan segera.
Adalah sama pentingnya bahwa pembagian kursi dalam Dewan Keamanan dan badan-badan
serta lembaga-lembaga lainnya harus dirubah. Dalam hal ini saya tidak berpikir dalam istilah
blok-blokan, tetapi saya memikirkan betapa sangat perlunya Piagam dari Perserikatan Bangsa
Bangsa, dari badan-badan Perseriakatan Bangsa-Bangsa dan Sekretariat Perserikatan BangsaBangsa, semuanya itu mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari dunia kita sekarang ini.
Kami dari Indonesia memandang Organisasi ini dengan harapan yang besar, tetapi juga
dengan kekhawatiran yang besar. Kami memandangnya dengan harapan besar, karena pernah
berfaedah bagi kami dalam perjuangan untuk kehidupan nasional kami. Kami
memandangnya dengan harapan besar, karena kami percaya bahwa hanya organisasi
semacam inilah dapat memberikan rangka bagi dunia yang sehat dan aman sebagaimana kami
rindukan.
Kami memandangnya dengan kekhawatiran besar, karena kami telah mengajukan suatu
masalah nasional yang besar, masalah Irian Barat, ke hadapan Majelis ini, dan tiada suatu
penyelesaian dapat dicapai. Kami memandangnya dengan kekhawatiran, karena Negaranegara Besar di dunia telah memasukkan permainan Perang Dingin mereka yang berbahaya
itu ke dalam ruangan-ruangannya.
Kami memandangnya dengan kekhawatiran, kalau-kalau Majelis ini akan menemui
kegagalan dan akan mengikuti jejak organisasi yang digantikannya, dan dengan demikian
melenyap-kan dari pandangan mata umat manusia suatu gambaran daripada suatu masa
depan yang aman dan bersatu.

Marilah kita hadapi kenyataan bahwa Organisasi ini, dengan cara-cara yang dipergunakannya
sekarang ini dan dalam bentuknya sekarang, adalah suatu hasil sistem Negara Barat. Maafkan
saya, tetapi saya tidak menjunjung tinggi sistem itu. Bahkan saya tidak dapat memandangnya
dengan rasa kasih, meskipun saya sangat menghargainya.
Imperialisme dan kolonialisme adalah buah dari sistem Negara Barat itu, dan seperasaan
dengan mayoritet yang luas daripada Organisasi ini, saya benci imperialisme, saya jijik pada
kolonialisme, dan saya khawatir akan akibat-akibat perjuangan hidupnya yang terakhir yang
dilakukan dengan sengitnya. Dua kali di dalam masa hidup saya sendiri, sistem Negara Barat
itu telah merobek-robek dirinya sendiri dan pernah hampir saja menghancurkan dunia dalam
suatu bentrokan yang sengit.
Herankah tuan-tuan, bahwa hanya di antara kami me-mandang Organisasi yang juga
merupakan hasil sistem negara Barat itu dengan penuh pertanyaan? Janganlah tuan-tuan salah
mengerti. Kami menghormati, dan mengagumi sistem itu. Kami telah diilhami oleh kata-kata
Lincoln dan Lenin, oleh perbuatan-perbuatan Washington dan oleh perbuatan-perbuatan
Garibaldi. Bahkan, mungkin, kami melihat dengan irihati kepada beberapa di antara hasilhasil fisik yang dicapai oleh Barat. Tetapi kami bertekad bahwa bangsa-bangsa kami, dan
dunia sebagai keseluruhan, tidak akan menjadi permainan dari suatu bagian kecil dari dunia.
Kami tidak berusaha mempertahankan dunia yang kami kenal; kami berusaha membangun
suatu dunia yang baru, yang lebih baik!
Kami berusaha membangun suatu dunia yang sehat dan aman. Kami berusaha membangun
suatu dunia, di mana setiap orang dapat hidup dalam suasana damai. Kami berusaha
membangun suatu dunia, di mana terdapat keadilan dan kemakmuran untuk semua orang.
Kami berusaha membangun suatu dunia, di mana kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya
yang penuh.
Telah dikatakan bahwa kita hidup di tengah-tengah suatu Revolusi Harapan Yang Meningkat.
Ini tidak benar! Kita hidup di tengah-tengah Revolusi Tuntutan Yang Meningkat. Mereka
yang dahulunya tanpa kemerdekaan, kini menuntut kemerdeka-an. Mereka yang dahulunya
tanpa suara, kini menuntut, agar suaranya didengar.
Mereka yang dahulunya kelaparan, kini menuntut beras, banyak-banyak dan setiap hari.
Mereka yang dahulunya buta huruf, kini menuntut pendidikan.
Seluruh dunia ini merupakan suatu sumber-sumber tenaga Revolusi yang besar, suatu gudang
mesiu revolusioner yang besar.
Tidak kurang dari tiga per empat umat manusia terlibat di dalam revolusi Tuntutan Yang
Meningkat, dan ini adalah Revolusi Mahahebat sejak manusia untuk pertama kalinya berjalan
dengan tegak di suatu dunia yang murni dan menyenangkan.
Berhasil atau gagalnya Organisasi ini akan dinilai dari hubungannya dengan Revolusi
Tuntutan Yang Meningkat itu. Generasi-generasi yang akan datang akan memuji atau
mengutuk kita atas jawaban kita terhadap tantangan ini.
Kita tidak berani gagal. Kita tidak berani membelakangi sejarah. Jika kita berani, kita
sungguh tidak akan tertolong lagi. Bangsa saya bertekad tidak akan gagal. Saya tidak

berbicara kepada tuan-tuan karena lemah; saya berbicara karena kuat. Saya sampaikan
kepada tuan-tuan salam dari sembilan puluh juta rakyat dan saya sampaikan kepada tuan-tuan
tuntutan bangsa itu. Kita mempunyai kesempatan untuk bersama-sama membangun suatu
dunia yang lebih baik, suatu dunia yang lebih aman. Kesempatan ini mungkin tidak akan ada
lagi. Maka peganglah, genggamlah kuat-kuat dan pergunakanlah kesempat-an itu.
Tidak seorang pun yang mempunyai kemauan baik dan kepribadian, akan menolak harapanharapan dan keyakinankeyakinan yang telah saya kemukakan atas nama bangsa saya, dan
sesungguhnya atas nama seluruh umat manusia. Maka marilah kita berusaha, sekarang juga
dengan tidak menunda lagi, mewujudkan harapan-harapan itu menjadi kenyataan.
Sebagai suatu langkah praktis ke arah ini, maka merupakan kehormatan dan tugas bagi saya
untuk menyampaikan suatu Rancangan Resolusi kepada Majelis Umum ini.
Atas nama Delegasi-delegasi Ghana, India, Republik Persatuan Arab, Yugoslavia dan
Indonesia, saya sampaikan dengan ini resolusi sebagai berikut.

MAJELIS UMUM,
MERASA SANGAT CEMAS berkenaan dengan memburuknya hubungan-hubungan
internasional akhir-akhir ini, yang mengancam dunia dengan konsekuensi-konsekuensi berat;
MENYADARI harapan besar dari dunia ini bahwa Majelis ini akan membantu dalam
menolong mempersiapkan jalan ke arah keredaan ketegangan dunia;
MENYADARI tanggung jawab yang berat dan mendesak yang terletak di atas bahu
Perserikatan Bangsa Bangsa, untuk mengambil inisiatif dalam usaha-usaha yang dapat
membantu;
Minta sebagai langkah pertama yang mendesak, agar Presiden Amerika Serikat dan Ketua
Dewan Menteri Uni Republik Republik Sovyet Sosialis memenuhi kembali kontak-kontak
mereka yang telah terputus baru-baru ini, sehingga kesediaan yang telah mereka nyatakan
untuk mencari dengan perundingan-perundingan pemecahan masalah-masalah yang
terkatung-katung, dapat dilaksanakan secara progresif.
Tuan Ketua, perkenankan saya memohon, atas nama delegasi-delegasi ke lima negara
tersebut di atas, supaya Resolusi ini mendapat pertimbangan Tuan yang segera. Sepucuk surat
dengan maksud itu, ditandatangani oleh para Ketua delegasi-delegasi dari Ghana, India,
Republik Persatuan Arab, Yugoslavia dan Indonesia, telah disampaikan kepada Sekretariat.
Saya sampaikan Rancangan Resolusi ini atas nama ke lima Delegasi itu dan atas nama jutaan
rakyat yang hidup di negaranegara itu.
Menerima Resolusi ini merupakan suatu langkah yang mungkin dan langsung dapat
diselenggarakan. Maka hendaknya Majelis Umum ini menerima Resolusi ini secepatcepatnya. Marilah kita mengambil langkah praktis itu ke arah peredaan ketegangan dunia
yang membahayakan. Marilah kita menerima Resolusi ini dengan suara bulat, sehingga
segenap tekanan dari kepentingan dunia dapat dirasakan. Marilah kita mengambil langkah

pertama ini, dan marilah kita bertekad untuk melanjut-kan kagiatan dan desakan kita sampai
tercapainya dunia yang lebih baik dan lebih aman seperti yang kita bayangkan.
lngatlah apa yang terjadi sebelumnya. Ingatlah akan perjuangan dan pengorbanan yang
dialami oleh kami, anggota-anggota baru dari Organisasi ini. Ingatlah bahwa usaha keras kita
telah disebabkan dan diperpanjang oleh penolakan dasar-dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kami bertekad agar hal itu tidak akan terjadi lagi.
Bangunlah dunia ini kembali! Bangunlah dunia ini kokoh dan kuat dan sehat! Bangunlah
suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan. Bangunlah dunia
yang sesuai dengan impian dan cita-cita umat manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan
masa lampau, karena fajar sedang menyingsing. Putuskan sekarang hubungan dengan masa
lampau, sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan diri terhadap masa depan.
Saya memanjatkan doa hendaknya Yang Maha Kuasa memberi Rahmat dan Bimbingan
kepada Permusyawaratan Majelis ini.

Terima kasih!

DI ATAS DASAR PANCASILA


RAKYAT INDONESIA TETAP BERSATU PADU

Amanat Presiden Soekarno


Pada Peringatan Hari Lahirnya Pancasila
Di Gedung Departemen Luar Negeri
Tanggal 1 Juni 1964

Saudara-saudara sekalian,
Pada saat sekarang ini saya berdiri di sini di hadapan saudara-saudara sekalian, di tengahtengah hiasan-hiasan yang amat mengagumkan dalam suasana, yang bagi saya sendiri amat
mengharukan. Malahan sesudah saya mendengar pidato-pidato tadi terutama sekali pidato
dari Saudara Subandrio saya menanya kepada diri saya sendiri. Ada apa dengan diriku
sekarang ini. What is the matter with me? Sebab sebenarnya segala sesuatu yang terjadi
sekarang mengenai diri saya, tidak saya duga-duga lebih dahulu.
Saudara Subandrio tadi pagi saya tanya, apa sebab saudara mengadakan peringatan Lahirnya
Pancasila, sesudah Pancasila itu berumur 19 tahun? Pertanyaan itu tadi telah dijawab pula
oleh Saudara Subandrio saat membuka peringatan pada malam ini. Diakui oleh beliau, bahwa
angka 19 adalah angka yang aneh, katakanlah angka sembarangan. Sehingga saudara-saudara
mengerti bahwa saya sendiri tatkala diberi tahu oleh saudara Subandrio, bahwa akan
diadakan satu peringatan besar-besaran Lahirnya Pancasila, saya agak keheran-heranan.
Malahan tatkala saya mendengar pidato-pidato tadi, saya menanya kepada diri saya sendiri
what is the matter with me? Sebab pembicara-pembicara tadi semuanya menyatakan terima
kasih kepada saya. Bahkan nada yang terkandung di dalam ucapan-ucapan pembicara tadi
ialah nada mengagungkan kepada saya. What is the matter with me? Kenapa diucapkan
terima kasih kepada saya? Kenapa saya diagung-agungkan?
Padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar
penggali Pancasila dari bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya
gali itu saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan,
bahwa sebenarnya hasil atau lebih tegas penggalian dari Pancasila ini adalah pemberian
Tuhan kepada saya.

Tadi Bapak Suroso memakai perkataan wahyu. Dikatakan bahwa saya mendapat wahyu,
yang dengan wahyu itu saya kemukakan Pancasila. Saudara Suroso, lebih dahulu saya dengan
kerendahan hati mau mengatakan kepada Saudara, bahwa saya tidak pernah mendapat
wahyu. Wahyu hanyalah Nabi-nabi yang memperolehnya. Saya bukan Nabi, saya seorang
manusia biasa. Tetapi syukur alhamdulillah. Ada lagi pembicara tadi memakai perkataan
ilham. Ya, benar, saya memang mendapat ilham dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagaimana
tiap-tiap manusia jikalau ia benar-benar memohon kepada Allah s.w.t. diberi ilham oleh Allah
s.w.t. itu.
Di dalam salah satu pidato di Senayan tempo hari, pernah saya ceritakan, pada suatu malam
yang sunyi-senyap, yang keesokan harinya saya diharuskan pidato dalam Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai yaitu Badan Penyelidik Kemerdekaan di gedung yang di belakang saya ini.
Sesudah Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu bersidang beberapa hari lamanya, sesudah berpuluhpuluh anggota dari Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu berpidato, akhirnya datanglah giliran
saya. Ditentukan oleh Ketua dari Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu, bahwa saya ke-esokan
harinya akan mendapat giliran berbicara. Berbicara memberi jawaban atas pertanyaan,
apakah dasar yang hendak kita pergunakan untuk meletakkan negara Indonesia Merdeka di
atasnya.
Di dalam pidato beberapa waktu lalu di Senayan itu, saya telah ceritakan, pada satu malam
tengah-tengah malam yang keesokan harinya saya diharuskan mengucapkan pidato saya
keluar dari rumah Pegangsaan Timur 56 yang sekarang tempat dari Gedung Pola. Saya ke
luar di malam yang sunyi itu dan saya menengadahkan wajah saya ke langit, dan saya melihat
bintang gemerlapan ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu. Dan di situlah saya merasa
kecilnya manusia, disitulah saya merasa-kan daifnya aku ini, di situlah aku merasa
pertanggungan jawab yang amat berat dan besar diletakkan di atas pundak saya, oleh karena
keesokan harinya saya harus mengemukakan usul saya tentang hal dasar apa negara
Indonesia Merdeka harus memakai.
Pada saat itu dengan segenap kerendahan hati saya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Ya Allah, ya Robbi, berikanlah petunjuk kepadaku. Berikanlah petumjuk apa yang besok
pagi akan kukatakan, sebab Engkaulah ya Tuhanku, mengeri bahwa apa yang ditanyakan
kepadaku oleh Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu bukan barang yang remeh, yaitu dasar
daripada Indonesia Merdeka. Dasar daripada satu negara yang telah diperjuangkan oleh
seluruh Rakyat Indonesia berpuluh-puluh tahun dengan segenap penderitaannya, yang
penderitaan-penderitaan itu aku sendiri telah melihatnya. Dasar daripada Negara Indonesia
Merdeka yang menjadi salah satu unsur daripada Amanat Penderitaan Rakyat. Aku, ya Tuhan
telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan rakyat untuk mendatangkan
Negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu,
meringkuk di dalam penjara. Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang
mengorbankan ia punya harta benda untuk tercapainya cita-cita itu. Aku melihat orang-orang
didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan. Bahkan pernah menerima surat
daripada seorang Indonesia yang keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam
surat itu dia mengamanatkan kepada saya sebagai berikut: Bung Karno, besok aku akan
meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan kita ini. Ya Tuhan, ya Allah, ya Robbi,
berilah petunjuk kepadaku, sebab besok pagi aku harus memberi jawaban atas pertanyaan
yang maha penting ini!
Saudara-saudara, setelah aku mengucapkan doa kepada Tuhan ini, saya merasa mendapat
petunjuk. Saya merasa mendapat ilham. Ilham yang berkata, Galilah apa yang hendak

engkau jawabkan itu dari bumi Indonesia sendiri. Maka malam itu aku menggali, menggali
di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaanku, menggali di dalam khayalku, apa yang
terpendam di dalam bumi Indonesia ini, agar supaya hasil dari penggalian itu dapat
dipakainya sebagai dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan datang. Sebab,
bahwa akan datang Indonesia Merdeka, tidak ada seorangpun bisa mem-bantahnya. Tidak ada
seorangpun yang mengetahui jalannya sejarah. Tidak dapat dibantah, bahwa suatu hari akan
datang yang Indonesia akan menjadi merdeka.
Berulang-ulang kukatakan di dalam pidato-pidatoku sebelum saat ini, bahwa kedatangan
Indonesia Merdeka adalah pasti, pasti, sebagaimana matahari terbit pada tiap pagi. Dan aku
telah berkata, siapa yang bisa menahan jalannya matahari, dialah akan bisa menahan
datangnya Indonesia Merdeka.
Malah, saudara-saudara, keyakinana ini sudah saya ucap-kan dalam tahun 1929. Malah
ucapan inilah yang menjadi sebab saya ditangkap oleh pihak Belanda, dilemparkan ke dalam
penjara, ucapan yang berbunyi: Nanti tidak lama lagi tidak lama lagi sepanjang sejarah
akan pecah satu peperangan besar yang dinamakan Perang Pasifik. Dan di dalam perang
Pasifik itu Indonesia akan merdeka. Itu saya ucapkan dalam tahun 1929, saudara-saudara.
Dan oleh karena ucapan inilah saya ditangkap, dituntut di muka pengadilan, dijatuhi vonis,
dilemparkan ke dalam penjara, sehingga, sebagai saya katakan tadi, adalah satu keyakinan
bagi saya, yakin ilmul yakin, ainul yakin, hakkul yakin, bahwa Indonesia pasti akan merdeka.
Nah, saudara-saudara, pada waktu itu memang, saudara-saudara, fajar telah menyingsing. Itu
pun telah kukatakan pada waktu bulan Mei tahun 1945, bulan Mei saudara-saudara, fajar
telah menyingsing. Tidak lama lagi matahari Indonesia Merdeka akan terbit. Sudah, malam
sebelum 1 Juni, saudara-saudara, saya menekukkan lutut ke hadirat Allah Subhanahu wa
taallah di kebun Pegangsaan Timur 56, di belakang gedung yang sekarang bernama Gedung
Pola, memohon petunjuk daripada Tuhan. Dan Tuhan memberi ilham: Galilah sendiri di
dalam bumi Indonesia, di dalam kalbunya rakyat Indonesia, dan engkau akan mendapat apa
yang harus dijadikan dasar bagi Negara merdeka yang akan datang.
Keesokan harinya, saudara-saudara, saya ucapkan pidato di gedung belakang ini, di gedung
yang bagi saudara-saudara adalah di hadapan saudara-saudara disaksikan oleh banyak
anggota-anggota lain daripada Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, disaksikan oleh opsir-opsir
balatentara Jepang, dijaga oleh serdadu-serdadu Jepang yang bersenjatakan bayonet. Saya
sadar, saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu
ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah jaman perang, kita pada waktu itu di
bawah ke-kuasaan imperialis Jepang, tetapi juga pada waktu itu, saudara-saudara, aku sadar
akan kewajiban seorang pemimpin. Kerja-kanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa
menghitung-hitung akan akibatnya.
Kemudian di Bogor, saudara-saudara, tatkala saya memberi amanat kepada perwira-perwira
sarjana hukum daripada empat Angkatan Bersenjata kita, Angkatan Darat, Angkatan Udara,
Angkatan Laut, Angkatan Kepolisian dan perwira-perwira sarjana hukum yang menghadap
saya di Bogor dan mereka minta amanat, kemarin saya ucapkan, kemarin juga saya ucapkan
kembali apa yang saya ucapkan kepada diriku sendiri pada pagi hari tanggal 1 Juni 1945,
yaitu ajaran yang diberikan oleh Sri Krisna kepada Arjuna yang terulis di dalam Bhagawat
Gita. Sri Krisna berkata kepada Arjuna, Kerjakan kewajibanmu, jalankan tugasmu, tanpa
mengjiting-hitung akan akibatnya. Karmanye fadikaraste temapalesyu kadattjhana, artinya,
kerja-kanlah kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akan akibatnya. Saya pada waktu itu

berkata pula kepada diriku sendiri, pagi-pagi nian 1 Juni 1945: Soekarno, karmanye
fadikaraste temafalesyu kadattjhana, kerjakan kewajibanmu tanpa meng-hitung-hitung akan
akibatnya. Dan kira-kira pukul 10 pagi, saudara-saudara, pada waktu itu saya mengucapkan
pidato yang saudara-saudara semuanya kenal dengan nama, judul Lahirnya Pancasila.
Sekarang, saudara-saudara mengadakan peringatan ini dan pada saat saya berhadapan dengan
saudara-saudara, saya menanya kepada diriku sendiri, what happens with me? What is the
matter wiht me? Karena orang menyatakan terima kasih kepadaku, orang mengagungagungkan akan daku, pada hal aku bukan pencipta dari Pancasila, pada hal aku mengeluarkan
galian Pancasila itu karena malamnya aku memohon kerpada Allah Subhanahu wa taallah.
Bukan Soekarno yang mengada-kan Pancasila, tetapi ialah sebenarnya pemberian daripada
Allah Subhanahu wa taalla sebagai ilham kepada Soekarno. Marilah kita semuanya
mengucapkan terima kasih kepada Allah Subhanahu wa taalla.
Saudara-saudara, kedua kalinya, what is the matter with me, kok sekarang ini saya diagungagungkan, bukan hanya pada hari Lahirnya Pancasila, notabene yang kesembilanbelas, mengagung-agungkan kepada saya, tetapi juga tahun ini, nanti Insya Allah tanggal 6 Juni yang
terkenal sebagai hari lahirnya Soekarno, orang mau mengadakan perayaan-perayaan yang
maha hebat. Dari kanan, dari kiri, dari muka, dari belakang, dari mana-mana saya mendapat
permintaan agar supaya saya suka menerima persembahan-persembahan pada hari nanti 6
Juni 1964, persembahan yang berupa macam-macam hal. Ada yang berupa tari-tarian, ada
yang akan berupa nyanyian-nyanyian kanak-kanak, ada yang akan berupa hadiah-hadiah
yang amat berharga. What is the matter with me? Kenapa tahun-tahun yang dulu tidak?
Bukan saya minta tahun-tahun yang dulu itu, tidak, tetapi kenapa sekonyong-konyong tahun
ini orang hendak mengadakan peringatan hari ulang tahun Bung Karno dengan cara yang
demikian hebatnya? Kenapa tahun ini orang mem-peringati hari Lahirnya Pancasila, kenapa
tahun ini orang mengagung-agungkan namanya Soekarno sebagai pencipta daripada
Pancasila. What is the matter with me?
Mengenai hari ulang tahun saya yang akan datang, jikalau dikaruniai Tuhan, saudara-saudara
sebab mati-hidup manusia ada di tangan Tuhan saya hendak berkata sebagai berikut: Saya
terima segala pernyataan cinta kepada saya yang akan berupa hadiah atau nyanyian-nyanyian
atau kesenian-kesenian yang hendak dipersembahkan kepada saya pada nanti hari 6 Juni
1964. Saya mengucap terima kasih dan saya mengatakan Insya Allah akan saya terima. Tetapi
saudara-saudara, Insya Allah pula, pada tanggal 6 Juni yang akan datang itu saya tidak ada di
Jakarta. Saudara-saudara barangkali mengetahui, bahwa telah tercapai persetujuan antara
Tengku Abdul Rahman dengan Presiden Soekarno untuk bertemu satu sama lain,
mengadakan perundingan satu dengan yang lain. Dan itu adalah satu hal yang sangat penting,
saudara-saudara. Maka menurut rancangan, saya Insya Allah akan meninggalkan tanah air
nanti pada tanggal 5 Juni, sehingga pada tanggal 6 Juni itu saya tidak ada ditengah-tengah
saudara-saudara. Saya akan meninggalkan tanah air untuk membela tanah air Indonesia. Saya
akan meninggalkan tanah air untuk berjuang mati-matian untuk membela Indonesia. Saya
akan meninggalkan tanah air untuk mengemban Amanat Penderitaan Rakyat.
Dalam pada saya mengucap terima kasih atas maksud dan niat yang baik daripada banyak
golongan untuk merayakan hari ulang tahunku pada tanggal 6 Juni yang akan datang ini
dengan cara yang sehebat-hebatnya, dalam mengucapkan terima kasih itu, saya mohon
kepada seluruh rakyat Indonesia doa restu, supaya saya di luar negeri di dalam berhadapan
muka dengan wakil-wakil daripada neo-kolonialis Malaysia bisa memper-tegakkan
kemerdekaan dan kepentingan Republik Indonesia dengan cara yang sebaik-baiknya. Nanti

jikalau dikehendaki Tuhan, saya kembali lagi ke tanah air dengan membawa hasil yang baik,
pada waktu itulah segala persembahan-persembahan, entah yang berupa kesenian, entah yang
berupa apapun akan bisa saya terima. Saudara-saudara, maka kita sekarang ini berjalan terus,
berjalan terus dengan semboyan yang saudara-saudara sudah kenal satu sama lain: Onward,
ever onward, no retreat. Dan saya bisa mengatakan semboyan ini: Onward, ever onward,
never retreat, oleh karena saya tahu bahwa seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai
Merauke berdiri di belakang saya, saudara-saudara. Sudah terbukti bahwa Pancasila yang
saya gali dan saya persembahkan kepada rakyat Indonesia, bahwa Pancasila itu adalah benarbenar satu dasar yang dinamis, satu dasar yang benar-benar dapat meghimpun segenap tenaga
rakyat Indonesia, satu dasar yang benar-benar dapat memper-satukan rakyat Indonesia itu
untuk bukan saja mencetuskan revolusi, tetapi juga menegakkan revolusi ini dengan hasil
yang baik.
Jikalau aku pergi keluar negeri untuk mengadakan pem-bicaraan dengan Tengku Abdul
Rahman Putra, maka aku adalah sebenarnya utusan, wakil daripada revolusi Indonesia. Dan
Tengku boleh tahu, revolusi Indonesia itu bukan revolusinya Soekarno, tetapi revolusi
daripada seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Ever onward, no retreat! Sejak tahun 1929 saya berkata, matahari akan terbit. Mei 1945 saya
telah berkata, fajar telah menyingsing. Demikian pula saya sekarang berkata, matahari telah
tinggi dan matahari telah mencapai puncak kejayaan dan kebahagiaan daripada rakyat
Indonesia. Mari kita berjalan terus.
Saya mengucap beribu-ribu terima kasih kepada segenap rakyat Indonesia atas peringatan
Lahirnya Pancasila ini. Peringatan ini, saudara-saudara, saya terima dan lebih-lebih saya
terima peringatan ini sebagai pernyataan daripada seluruh rakyat Indonesia, bahwa di atas
dasar Pancasila itu rakyat Indonesia akan tetap bersatu padu, tetap berjalan sebagai satu
laskar, satu barisan yang maha kuat, satu banjir yang maha sakti, banjir daripada revolusi
Indonesia yang sebenarnya adalah sebagian daripada Revolution of Mankind.
Mari kita berjalan terus, terus! Onward, ever onward, never retreat.

Insya Allah, kita pasti menang!

Anda mungkin juga menyukai