Oleh: M. Fikri
ُ٘ هللا فقذ فاص اىَتقٛ٘ تتقٜنٌ ّٗفسٞا عثاد هللا أٗصٞف
Dalam menjalankan kehidupan yang singkat ini, marilah kita selalu menjernihkan batin,
meningkatkan tafakkur tentang tujuan hidup yang hakiki, yakni lebih meningkatkan ketakwaan
dan pengabdian kita kepada Allah, baik dalam bentuk kesalehan ritual maupun sosial. Dengan
cara inilah, manusia dapat mengisi kehidupan ini dengan nilai-nilai keislaman yang semestinya.
Akar masalah terjadinya perbedaan tersebut terletak pada pemahaman dan interpretasi
yang bermacam-macam dari hadits-hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan permasalahan
penetapan bulan Qamariah. Janganlah kita terkeoh dengan permasalahan khilafiyah yang
menyebabkan hilang keharmonisan antara keluarga,dan persatuan umat islam, disebabkan karena
masing-masing menganggap benar pendapatnya dan tidak menerima pendapat orang lain.
Mari kita mengenal pendapat para ulama tentang penentuan awal bulan qomariyah, agar
kita mengetahui bahwasannya ada perbedaan diantara para ulama, dan kita tidak serta merta
menyalahi pendapat seseorang yang berbeda paham dengan kita :
Rosululloh shollallohu „alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Jika kalian melihatnya
(hilal bulan Romadhon) maka berpuasalah. Dan jika kalian melihatnya (hilal bulan Syawwal)
maka berhari rayalah, akan tetapi jika ia (hilal) terhalang dari pandangan kalian maka kira-
kirakanlah”, dalam riwayat lain “…maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya‟ban menjadi 30
hari.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Ibnu Hajar menjelaskan makna hadits ini dalam Fathul bari : “Maksud kata „Al-Hisab‟
dalam hadits ini adalah ilmu hisab perbintangan dan peredarannya. Mereka (para shahabat)
dahulu tidak mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Maka (Syari’at)
mengaitkan hukum (kewajiban) shaum dan yang lainnya dengan ru‟yah (al-hilâl), dalam rangka
meniadakan kesulitan dari mereka jika menggunakan ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini
terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun pada masa setelah mereka muncul orang-
orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan konteks hadits di atas
menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum Ramadhan) dengan ilmu hisab.
Madzhab yang kedua : pendapat sebagian ulama bahwa hisab boleh menjadi penentu
awal Ramadhan, seperti Mutharrif bin Abdullah Asy-Syakhir (tabi‟in), Ibnu Suraij (ulama
mazhab Syafii), Ibnu Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain. (Yusuf Al-
Qaradhawi, Fiqh Al-Shiyam, hal. 26; Sami Al-Qudumi, Bayan Hukm Ikhtilaf Al-Mathali` wa
Al-Hisab Al-Falaki, hal. 40; Abdul Majid Al-Yahya, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-
Syar‟iyah, hal. 153).
ُ َش ْه َر فَ ْلي
ُص ْمه َّ ش ِه َد ِمن ُك ُم ٱل
َ فَ َمن
karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, ( Al –Baqoroh : 185 )
Mereka mengartikan makna “ Syahida” dengan “ ‘Alima” mengetahui, dan pengetahuan ini bisa
dicapai dengan berbagai macam cara diantaranya hisab falaky.
Kemudian mereka memaknai hadits Nabi SAW, "Janganlah kamu berpuasa hingga
kamu melihat hilal, dan janganlah kamu berbuka hingga kamu melihat hilal. Jika pandanganmu
terhalang mendung, maka perkirakanlah dia (faqduru lahu)." (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut pendapat kedua, sabda Nabi SAW faqduru lahu (perkirakanlah hilal ketika tidak
terlihat), artinya adalah "perkirakanlah hilal itu dengan ilmu hisab." (faqduru dzalika bi hisab
manazil al-qamar). (Abdul Majid Al-Yahya, Atsar Al-Qamarain fi Al-Ahkam Al-Syar'iyah, hal.
153).
Sebagai hamba yang beriman, kita diperintahkan untuk bisa menerima bahwa adanya
berbagai macam perbedaan pendapat dan paham itu sudah merupakan ketetapan Allah. Dan
Pedoman semua mazhab Islam tersebut pada dasarnya mazhabnya satu, yaitu al-Quran dan as-
Sunnah. Bahkan tidak satu pun di antara mereka mengklaim dirinya, kecuali dengan
menyatakan:
اب
َ َ٘ ص َ ْٛطأ َ َٗ َسأ
َ َخْٛشٞغ
َّ ْحتََو اىَٝ طأ َ َْٜٝسأ
َ ْحتََو ْاى َخَٝ ص َ٘اب
Pendapat saya benar namun berpotensi salah. Sebaliknya, pendapat yang lain itu
salah, namun berpotensi benar.
Sungguh sudah ada perbedaan pendapat sejak zaman Abu Hanifah, Malik,Asy-Syafi‟i,
Ahmad, Ast-Tsauri, Al-„auza‟i, dll, dan salah seorang dari mereka tidak pernah memaksa orang
lain mengikuti pendapatnya. Dan mereka tidak menganggap merekalah yang paling benar dan
selain dari mereka adalah salah, justru inilah yang menimbulkan perpeahan diantara umat islam.
Ada ungkapan yang cukup indah dari Muhammad Rasyid Ridha, “Marilah kita tolong menolong
pada perkara yang kita sepakati, dan mari kita saling menghargai pada perkara yang kita
perselisihkan.”
Bagi siapa yang telebh dahulu berpuasa tidak mengikuti pemerintah hendaknya dilakukan
dengan tidak mempublikasikan agar tidak terjadi permusahan, dan bagi yang berpuasa
belakangan hendaklah menghormati orang lain yang sedang berjama‟ah.
Marilah kita satukan shaf dan barisan, jangan sampai kita terkecoh dengan masalah
perbedaan furu‟iyah yang sudah ada sejak dahulu, yang menyebabkan kita saling bermusuhan,
menyalahkan orang lain dan menyebabkan hilangnya akhlak pada diri kita. Yang sudah berpuasa
terlebih dahulu