DOSEN PEMBIMBING :
Disusun Oleh:
NIM : 1914301052
2. Etiologi
Penyebab kegagalan pernafasan pada neonatus yang terdiri dari faktor ibu, faktor
plasenta, faktor janin dan faktor persalinan.Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia
ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, gravida empat atau lebih, sosial
ekonomi rendah, maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran
gas janin seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, dan lain-lain. Faktor
plasenta meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis,
plasenta tidak menempel pada tempatnya.
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher,
kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir,gemeli, prematur, kelainan kongenital
pada neonatus dan lain-lain. Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan
tindakan dan lain-lain.
Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) etiologi dari RDS yaitu:
a. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
b. Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan pengembangan
kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih
belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan
mengalami sesak nafas.
c. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam
proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh makrofag. d.
Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
d. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru. Kelainan dalam paru yang menunjukan
sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin
(PMH).
e. Bayi prematur atau kurang bulan Diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan.
Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia
kehamilan, maka semakin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
Suriadi dan Yulianni (2006)
3. Tanda dan gejala
Berat atau ringannya gejala klinis pada penyakit RDS (Respiratory Distress Syndrom)
ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan
usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditunjukan. Gejala dapat tampak
beberapa jam setelah kelahiran. Bayi RDS (Respiratory Distress Syndrom)yang mampu
bertahan hidup sampai 96 jam pertama mempunyai prognosis yang lebih baik.
Gejala umum RDS yaitu: takipnea (>60x/menit), pernapasan dangkal, mendengkur,
sianosis, pucat, kelelahan, apnea dan pernapasan tidak teratur, penurunan suhu tubuh,
retraksi suprasternal dan substernal, pernapasan cuping hidung ( Surasmi, dkk 2013)
Menurut ZR and Sari (2009) tanda dan gejala yang timbul pada RDS yaitu :
c. Sianosis
e. Takikardia (170x/menit)
( Surasmi, dkk 2013)
4. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi
sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor utama terjadinya
RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh
kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi
sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat
ekspirasi Hal ini mengakibatkan bayi lebih banyak menghabiskan oksigen untuk
menghasilkan energi daripada menerima sehingga menyebabkan bayi kelelahan. Dengan
meningkatnya kekelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya.
Ketidakmampuan mempertahankan 9 pengembangan paru ini dapat menyebabkan
atelektasis (Asrining Surasmi, Siti Handayani, 2003).
Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan terganggunya ventilasi pulmonal sehingga
terjadi hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi vaskularisasi pulmonal yang
menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menyebabkan metabolisme
anaerobik. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi
asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi ke
organ vital. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan aliran darah paru menurun dan
mengakibatkan berkurangnya pembentukan zat surfaktan (Ngastiyah, 2005).
Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida dari sisa
pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH menyebabkan
vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan perfusi
alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan menurun tajam, serta materi yang
diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli (Asrining Surasmi,
Siti Handayani, 2003). Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi
normal, asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan
hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel
paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh
penatalaksanaan pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut
(Asrining Surasmi, Siti Handayani, 2003).
Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolus yang
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin, selanjutnya
fibrin 10 bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan
yang disebut membran hialin. Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat
pertukaran gas sehingga timbul masalah gangguan pertukaran gas (Ngastiyah, 2005).
( Surasmi, dkk 2013)
5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Cecily & Sowden (2009) pemeriksaan penunjang pada bayi dengan RDS yaitu:
1. Kajian foto thoraks
a. Pola retikulogranular difus bersama udara yang saling tumpang tindih.
b. Tanda paru sentral dan batas jantung sukar dilihat, hipoinflasi paru
c. Kemungkinan terdapat kardiomegali bila sistem lain juga terkena (bayi dari ibu
diabetes, hipoksia atau gagal jantung kongestif)
d. Bayangan timus yang besar
e. Bergranul merata pada bronkogram udara yang menandakan penyakit berat jika
muncuk pada beberapa jam pertama.
2. Gas darah arteri-hipoksia dengan asidosis respiratorik dan atau metabolik
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita RDS dengan gangguan pertukaran
gas (Ngastiyah, 2005):
a. Memberikan lingkungan yang optimal Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar
tetap dalam batas normal (36,5o - 37o c) dengan cara meletakkan bayi dalam
inkubator. Kelembaban ruangan juga harus adekuat (70-80%).
b. Pemberian oksigen.
Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena berpengaruh kompleks
terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasias retrolental) dan lain-
lain. Untuk mencegah terjadinya komplikasi, pemberian O2 sebaiknya diikuti
dengan pemeriksaan analisa gas darah arteri. Bila fasilitas untuk pemeriksaan analisa
gas darah arteri tidak ada, maka O2 diberikan dengan konsentrasi O2 tidak lebih dari
40% sampai gejala sianosis menghilang.
c. Pemberian cairan dan elektrolit
Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan homeostasis
dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5- 10% dengan
jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari.
Asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan
NaHCO3 secara intravena.
d. Pemberian antibiotik
Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin
100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.
e. Pemberian surfaktan eksogen
Menurut Cecily & Sowden (2009) penatalaksanaan medis pada bayi RDS (Respiratory
Distress Syndrom) yaitu:
a. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu, pernafasan mendengkur, retraksi
subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu,
gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas
mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi
parau dan pernapasan dalam. Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan
pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi
kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:
1) Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu
tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi
terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi,
ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik.
Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi,
kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.
3) Warna kulit/ membran mukosa Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit
tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan
teraba dingin
b. Pemeriksaan penunjang
1) Foto rontgen thorak Untuk mengetahui kemungkinan adanya kardiomegali bila
sistim lain bila terkena.
3) Tes fungsi paru Untuk mengetahui keadaan paru kanan dan paru kiri.
8. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan dari RDS yang muncul menurut Suriadi dan Yulianni (2006)
yaitu:
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada atau
kurangnya jumlah cairan surfaktan.
2. Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi atau pemasangan
intubasi trakea yang kurang tepat dan adanya secret pada jalan napas.
3. Tidak efektif pola napas berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, dan posisi bantuan bentilator yang kurang tepat.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan yang tanpa
disadari (IWL).
Daftar Pustaka
Cecily & Sowden (2009). Buku Saku Keperawatan Pedriatik. Edisi 5. Jakarta:EGC
Dinkes Provinsi NTT. (2015). Profil Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Suriadi & Yuliani. 2006. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada
Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto.