Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Persuasif

2.1.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena

pada dasarnya komunikasi melekat pada diri manusia. Sebagai makhluk sosial,

manusia membutuhkan komunikasi sebagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari. Seperti yang dikatakan oleh seorang pakar komunikasi yaitu we

cannot not communicate.

Untuk memahami tentang arti komunikasi, kita perlu mengetahui makna

komunikasi secara etimologis dan terminologis. Hal tersebut dijelaskan Effendy

(1986) sebagai berikut:

a. Secara etimologis, istilah komunikasi (communication) berasal dari

kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang

berarti sama. Sama di sini bermaksud sama makna.

b. Secara terminologis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu

pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk

mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan,

maupun tak langsung melalui media.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa komunikasi tidak

hanya bertujuan untuk memberikan informasi, tetapi juga memiliki tujuan

persuasi, yaitu membentuk pendapat, sikap, dan perilaku penerima pesan, sesuai

8
dengan maksud yang dituju oleh pengirim pesan. Hovland (dikutip dari Soemirat,

2017) memberi batasan komunikasi sebagai proses ketika komunikator

mengoperkan stimulus atau rangsangan untuk mempengaruhi perilaku

komunikan.

2.1.2 Pengertian Komunikasi Persuasif

Secara etimologis, istilah persuasi (persuasion) bersumber dari perkataan

latin, peruasio, yang kata kerjanya adalah persuader, yang berarti membujuk,

mengajak atau merayu (Soemirat, 2017).

Secara terminologis, Larson (1973) menyatakan persuasion defined as the co-

creation of a state of identification or alignment between as source and a receiver

that results from the use of symbols (persuasi sebagai penciptaan bersama dari

suatu pernyataan identifikasi atau kerja sama di antara sumber pesan dengan

penerima pesan yang diakibatkan oleh penggunaan simbol-simbol).

Beberapa ahli lainnya telah mengemukakan definisi persuasi, namun kita

dapat mengambil makna dari persuasi, yaitu melakukan upaya untuk mengubah

sikap, pendapat dan perilaku seseorang melalui cara-cara yang luwes, manusiawi

dan halus, dengan akibatu munculnya kesadaran, kerelaan, dan perasaan senang

serta adanya keinginan untuk bertindak sesuai dengan yang dikatakan

persuader/komunikator (Soemirat, 2017).

Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa hal utama dari komunikasi

persuasi adalah mempengaruhi pendapat dan sikap penerima pesan. Dalam

prosesnya, persuasi dapat dilakukan baik secara rasional maupun emosional.

Dengan cara rasional, komponen kognitif pada diri seorang dapat dipengaruhi.

9
Aspek-aspek yang dipengaruhi dapat berupa ide ataupun konsep, sehingga pada

orang tadi terbentuk keyakinan (belief) (Mar’at, 1982). Secara skematik, proses

secara rasional dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1

Proses Rasional

Perhatian Mengerti Menerima Keyakinan

Sumber: Mar’at, 1982

Persuasi yang dilakukan secara emosional, biasanya menyentuh aspek afeksi,

yaitu hal yang berkaitan dengan kehidupan emosional seseorang. Melalui cara ini,

aspek simpati dam empati seseorang digugah, sehingga muncul proses senang

pada diri orang yang dipersuasi (the liking process) (Mar’at, 1982). Proses

persuasi secara emosional dapat dijelaskan sebagai berikut.

Gambar 2.2

Proses Emosional

Perhatian Empati Menerima Minat

Sumber: Mar’at, 1982

Nothstine (dalam Soemirat, 2017) menjelaskan 3 faktor yang harus

diperhatikan dalam komunikasi persuasif agar persuadee mengubah sikap,

pendapat, dan perilakunya. Fakor-faktor tersebut adalah:

10
a. Kejelasan tujuan

b. Memikirkan secara cermat sasaran komunikasi

c. Memilih strategi-strategi komunikasi yang tepat

Tujuan dari komunikasi persuasif adalah mengubah sikap, perilaku, dan

pendapat seseorang. Pendapat berkaitan dengan aspek kognitif, yakni hal-hal yang

berkaitan dengan kepercayaan, ide dan konsep. Sikap dan perilaku adalah hal

yang berkaitan dengan aspek afektif, yaitu hal yang mencakup emosional

komunikan. Dengan ini, tujuan dari komunikasi persuasif adalah menggerakkan

hati, menimbulkan perasaan tertentu, menyenangi, dan menyetujui terhadap ide

yang disampaikan.

Hal terpenting dalam melakukan komunikasi persuasif adalah melakukan

identifikasi sasaran dengan tepat. Sasaran yang dihadapi komunikator akan

memiliki karakteristik yang beragam. Dari keragaman tersebut, komunikator

harus mencermati sasaran baik dari aspek demografis, pekerjaan, suku bangsa,

gaya hidup, dan lain-lain.

Nothstine (dalam Soemirat, 2017) mengklasifikasikan persuadee kedalam

7 macam sebagai berikut:

1. Persuadee yang tidak bersahabat secara terbuka

Persuadee yang akan selalu menentang dan melawan posisi

persuader. Bentuk perlawanan dapat berupa bicara langsung atau

mengajak orang lain untuk melawan persuader

2. Persuadee yang tidak bersahabat

11
Persuadee yang tidak setuju terhadap posisi persuader. Yang

dilakukan hanya sebatas penolakan-penolakan tanpa ada perlawanan

dan mencari dukungan untuk menentang perusader.

3. Persuadee yang netral

Persuadee yang tidak memihak. Mereka tidak pro maupun kontra

terhadap kita. Mereka tidak peduli dengan sekitarnya.

4. Persuadee yang ragu-ragu

Cenderung peduli terhadap posisi persuader. Memiliki sikap bimbang

antara mempercayai atau menolak persuader. Dalam memiliki

kesulitan dalam membuat keputusan yang jelas.

5. Persuadee yang tidak mengetahui

Tidak memiliki informasi tentang persuader. Mereka tidak mengenal

persuader sehingga keputusan yang mereka buat beragantung kepada

seberapa besar perusader meyakinkan mereka.

6. Persuadee yang mendukung

Persuadee yang memahami dan menyenangi posisi persuader. Mereka

berfikiran positif terhadap persuader walaupun tidak secara terbuka.

7. Persuadee yang mendukung secara terbuka

Persuadee yang mendukung persuader dengan sepenuh hati. Mereka

tidak ragu dalam menerima informasi dari persuader. Mereka mau

melakukan sesuatu sesuai dengan yang diharapkan persuader.

2.1.3 Tujuan Komunikasi Persuasif

Berdasarkan penjelasan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan

dari komunkasi persuasif adalah mengubah sikap dan pendapat. Hal ini diperjelas

12
dalam Soemirat (2017), yakni tujuan komunikasi persuasif adalah untuk

mempengaruhi sikap, pendapat, dan perilaku audiens.

Mengubah pendapat, berkaitan dengan aspek kognitif, yaitu hal-hal yang

berkaitan dengan aspek-aspek kepercayaan (belief), ide dan konsep. Dalam proses

ini, terjadinya perubahan pada diri audiens berkaitan dengan pikirannya. Ia

menjadi tahu bahwa pendapatnya keliru, dan perlu diperbaiki. Jadi dalam hal ini,

intelektualnya menjadi meningkat.

Sedangkan mengubah sikap, berkaitan dengan aspek afektif. Dalam aspek

ini, tercakup kehidupan emosional audiens. Jadi, tujuan komunikasi persuasif

dalam konteks ini adalah menggerakkan hati, menimbulkan perasaan tertentu,

menyenangi. Dan menyetujui terhadap ide yang dikemukakan.

Menurut Simons (1976) tujuan komunikasi persuasif adalah untuk

mempengaruhi sikap, nilai-nilai, pendapat, dan perilaku seseorang. Dengan

demikian, kunci utama dari komunikasi persuasif adalah mempengaruhi seseorang

sesuai dengan tujuan dari komunikator atau persuader.

2.1.4 Fungsi Komunikasi Persuasif

Simons (1976) menyatakan bahwa, berkaitan dengan manfaat studi

komunikasi persuasif, diketahui ada tiga fungsi utama, yaitu:

a. Control function atau fungsi pengawasan

Fungsi pengawasan, yaitu menggunakan komunikasi persuasif

untuk mengkonstruksi pesan dan membangun citra diri (image) agar dapat

mempengaruhi orang lain.

13
b. Consumer protection atau fungsi perlindungan konsumen;

Fungsi perlindungan konsumen adalah salah satu fungsi

komunikasi persuasif melalui pengkajian komunikasi persuasif yang akan

membuat kita lebih cermat dalam menyaring pesan-pesan persuasif yang

banyak “berkeliaran” disekitar kita.

c. Knowledge function atau fungsi pengetahuan.

Komunikasi persuasif berfungsi sebagai ilmu pengetahuan, yaitu

dengan mempelajari komunikasi persuasif, kita akan memperoleh

wawasan tentang peranan persuasi dalam masyarakat dan dinamika

psikologi persuasi.

Berkaitan dengan penelitian ini, komunikasi persuasif berfungsi sebagai

pengawasan. Kader TB Care sebagai persuader mengkonstruksi pesan-pesan dan

perencanaan untuk mempengaruhi pasien TB (persuadee) agar tercapai suatu

tujuan yaitu kesembuhan.

2.1.5 Unsur-Unsur Komunikasi Persuasif

Persuasi adalah bagian yang tidak dapat dihindari dalam setiap proses

komunikasi antar individu. Persuasi adalah sebuah proses komunikasi yang

bertujuan untuk mengubah pendapat, sikap dan perilaku individu secara personal

maupun kelompok. Dalam melihat suatu proses komunikasi persuasi, terdapat

enam unsur penting yang tidak dapat dihilangkan, karena keenam unsur tersebut

berhubungan satu sama lain.

Keenam unsur tersebut dijealskan dalam Soemirat (2017), yakni antara lain:

14
a. Persuader

Persuader adalah orang atau sekelompok orang yang

menyampaikan pesan dengan tujuan untuk mempengaruhi sikap, pendapat,

dan perilaku orang lain, baik secara verbal maupun nonverbal. Dalam hal

ini, persuader adalah pengirim pesan.

b. Persuadee

Persuadee adalah orang atau kelompok orang yang menjadi tujuan

pesan itu disampaikan atau disalurkan oleh persuader baik secara verbal

maupun nonverbal. Dengan demikian, persuadee adalah penerima pesan.

c. Pesan

Menurut Simons (1976), pesan (message) adalah apa yang

diucapkan oleh komunikator melalui kata-kata, gerak tubuh, dan nada

suara. Pesan yang disampaikan kepada komunikan atau persuadee dapat

berupa pesan verbal maupun nonverbal.

d. Saluran

Saluran merupakan perantara atau media yang digunakan oleh

persuader untuk menyampaikan pesan kepada persuadee. Saluran

dipergunakan oleh persuader untuk berkomunikasi dengan berbagai orang,

secara formal maupun nonformal, secara tatap muka ataupun bermedia. .

e. Umpan Balik

Umpan balik merupakan bentuk reaksi atau respon yang datang

dari persuadee setelah menerima pesan dari persuader. Dalam

komunikasi persuasif, umpan balik berperan penting sebagai evaluasi

15
bagi persuader dan untuk mengukur apakah pesan yang disampaikan

dapat diterima atau tidak.

f. Efek Komunikasi Persuasif

Efek komunikasi persuasif adalah perubahan yang terjadi pada diri

persuadee sebagai akibat dan diterimanya pesan melalui proses

komunikasi, efek yang terjadi dapat berbentuk perubahan sikap, pendapat

dan tingkah laku (Maulana, 2013).

Unsur-unsur tersebut tercantum dalam model komunikasi persuasif

yang dibuat oleh Ronald L. Applebaum dan Karl W.E Anatol dalam

bukunya Strategies for Persuassive Commuication. Dalam model tersebut

kita dapat mengilustrasikan unsur-unsur diatas untuk melihat kejadian atau

peristiwa persuasi. (Soemirat, 2017).

Proses Komunikasi Persuasif tidak akan berjalan tanpa adanya keenam

unsur diatas. Semua unsur yang telah dijelaskan, saling berhubungan dan tidak

dapat berdiri sendiri. Unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan dalam

komunikasi persuasif, dimana umpan balik dan efek sangat menentukan apakah

proses komunikasi persuasif berhasil atau tidak. Dan apakah efek yang terjadi

menunjukkan tercapainya tujuan atau tidak.

2.1.6 Proses Komunikasi Persuasif

Untuk memahami proses komunikasi persuasif secara sederhana, dimulai

dengan bagaimana sumber memahami pesan dan menggambarkan laju internal

dalam tahap pararel secara kasar untuk A dan B, sebagai berikut (Soemirat, 2017):

16
a. Tahap Pemahaman

A sebagai pengirim pesan, menyeleksi berbagai alternatif pilian dari

pikiran dan perasaannya untuk disampaikan.

b. Tahap Encoding

Dalam tahap ini pesan dibentuk seccara linguistik lalu dipindahkan ke

dalam stimulus fisikal yang dapat berjalan melalui ruang.

c. Tahap Decoding

B sebagai penerima pesan, memindahkan kembali stimulus fisikal ke

dalam bentuk-bentuk yang disepakati secara semantik.

d. Tahap Evaluasi

B sebagai penerima pesan, memperoleh beberapa ketidakcocokan antara

pesan yang ia terima dengan apa yang ia pikirkan dan rasakan.

2.1.7 Efektivitas Komunikasi Persuasif

Suatu pesan dikatakan efektif jika makna pesan yang dikirim persuader

berkaitan erat dengan makna pesan yang diterima atau ditangkap serta dipahami

oleh sasaran (Soemirat, 2017).

Goyer (dalam Soemirat, 2017) menjelaskan tentang efektivitas pesan

komunikasi persuasif, yakni bila S adalah pengirim atau sumber pesan, dan R

penerima pesan atau sasaran, maka komunikasi disebut mulus dan lengkap apabila

respon yang diinginkan S dan respon yang diberikan R identik, jadi:

17
Gambar 2.3

Efektivitas Pesan Komunikasi Persuasif

R Makna yang ditangkap penerima


: =1
S Makna yang dimaksud pengirim

Sumber: Soemirat, 2017: 5.9

Angka 1 menunjukkan keselarasan penyampaian dan penerimaan pesan.

Namun, tidak hal ini tidak selalu berhasil. Goyer menambahkan bahwa semakin

besar kaitan antara yang kita maksud dengan respon, yang kita terima, maka

semakin efektif komunikasi yang kita lakukan.

Menurut Nothstine dalam Soemirat (2017), pesan persuasif yang efektif

dapat diwujudkan dengan menerapkan 9 hal berikut:

a. Analisis sasaran. Sebelum pesan persuasif disampaikan,

persuader harus terlebih dahulu memahami siapa sasarannya

(persuadee), bagaimana latar belakangnya, posisinya, dan

kondisinya. Dengan demikian, pesan yang disampaikan

persuader akan mudah diterima oleh sasaran.

b. Pesan yang disampaikan persuader harus jelas dan yang

terpenting tetap menghormati perbedaan-perbedaan yang ada.

Persuader harus memahami terlebih dahulu budayanya

bagaimana dan konteks komunikasi seperti apa yang sesuai.

Hal ini untuk menghindari adanya konflik dalam proses

komunikasi.

18
c. Menjaga dan meningkatkan motivasi sasaran. Persuadee yang

setuju maupun persuadee yang tidak setuju perlu diberikan

motivasi. Perlu adanya penegasan agar tumbuh rasa antusiasme

dans semangat dari sasaran.

d. Tujuan yang realistis. Sasaran atau persuadee adalah manusia

atau individu yang memiliki sikap, nilai, kepercayaan yang

sudah lama terbentuk dalam dirinya. Sehingga tidak mudah

untuk merubah aspke-aspek tersebut. Dengan itu, diperlukan

adanya pemahaman antara kedua belah pihak yakni antara

persuader dan persuadee. Proses komunikasi persuasif akan

berjalan efektif apabila kedua pihak tersebut sama-sama

berusaha untuk menerima dan mengerti.

e. Pemahaman atas perbedaan individu. Dalam menilai individu

harus didasari kesadaran bahwa setiap manusia memang

berbeda-beda dan unik. Satu pesan persuasif tidak bisa

digunakan kepada semua sasaran.

f. Pemahaman informasi, maksudnya sasaran akan memahami

pesan yang disampaikan oleh persuader dengan berbeda-beda

pemahaman. Karena tingkat pemahaman dan pengalaman

sasaran pasti berbeda-beda. Oleh karena itu, persuader tidak

cukup melakukan komunikasi persuasif hanya dengan sedikit

data dan fakta.

g. Pemahaman atas kerumitan sasaran dalam menanggapi pesan,

maksudnya sasaran adalah individu yang kompleks, tidak

19
semerta-merta dapat meanggapi pesan sekaligus. Dalam

menanggapi pesan, sasaran akan melibatkan perasaan, selera,

sikap, dan nilai-nilai yang dianutnya. Maka dari itu, persuadeer

harus mampu memahami kondisi sasaran dan memberikan

pemahaman sesuai kondisi sasaran.

h. Pemahaman atas fakta hanyalah dasar bagi berpikir, merasa,

dan berbuat. Maksudnya, dalam komunikasi persuasif, sasaran

tidak cukup dibujuk hanya dengan fakta saja, tetapi harus

benar-benar mengenai dirinnya secara keseluruhan, yaitu fakta

yang didukung dengan faktor-faktor norma, budaya,

kepribadian, dan fakotr-faktor lainnya.

i. Pemahaman atas makna fakta, bahwa fakta tidak hanya sekedar

fakta. Dalam hal ini, persuader harus menyadari bahwa sasaran

juga memiliki hak untuk menginterpretasikan informasi dengan

cara mereka. Agar komunikasi persuasif berjalan efektif,

persuader harus menerima bahwa sasaran dapat menerima,

meragukan, atau bahkan menentang apa yang disampaikannya

meskipun hal tersebut dianggap benar oleh persuader.

Dengan demikian, komunikai persuasif akan berjalan efektif apabila

persuader dapat memahami karakter, sikap, kondisi, posisi, dan latar belakang

sasaran dengan sebaik-baiknya. Dengan itu, pesan yang disampaikan akan terasa

dekat dengan sasaran, misalnya bahasa, budaya, nilai-nilai, dan lain-lain sehingga

pesan akan mudah diterima oleh sasaran. Selain itu, teknik penyampaian pesan

tidak bisa hanya dengan satu cara. Tingkat pemahaman dan pengalaman sasaran

20
yang berbeda-beda, mengharuskan persuader untuk terampil dalam menentukan

cara berkomunikasi secara persuasif.

Maulana dalam bukunya Psikologi Komunikasi dan Persuasi (2013),

menyatakan bahwa terdapat 5 tanda yang akan muncul dalam komunikasi efektif,

yaitu:

a. Pengertian: penerimaan yang diterima komunikan sesuai

dengan yang dimaksudkan komunikator

b. Kesenangan: komunikasi fatis (phatic communication), yaitu

komunikasi yang menimbulkan kesenangan. Komunikasi inilah

yang meimbulkan kehangatan, keakraban, dan menyenangkan.

c. Mempengaruhi sikap: komunikasi persuasif memerlukan

pemahaman tentang faktor-faktor pada diri komunikator, dan

pesan yang menimbulkan efek pada komunikan.

d. Hubungan sosial yang baik: manusia adalah makhluk sosial

yang tidak bisa hidup sendiri. William Schutz merinci

kebutuhan kedalam tiga hal: kebutuhan untuk menumbuhkan

dan mempertahankan hubungan dengan orang lain dalam hal

interaksi dan asosiasi, pengendalian kekuasaan, serta kasih

sayang.

e. Tindakan: persuasi bertujuan untuk menimbulkan tindakan

seperti yang dikehendaki komunikator. Tindakan tersebut

merupakan indikator penting dalam efektivitas komunikasi

persuasif. Maka, untuk menumbuhkan tindakan, perlu

21
menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap, dan

menumbuhkan hubungan yang baik.

Dengan demikian, komunikasi persuasif dapat dikatakan efektif apabila

proses tersebut menumbuhkan efek atau dampak yang positif. Selain itu,

hubungan yang terjalin antara komunikan dan komunikator menjadi lebih dekat

dan tidak ada perselisihan. Tindakan dan perilaku komunikan berubah sesuai

dengan tujuan yang diharapkan oleh komunikan. Kelima tanda tersebut dapat

mengukur seberapa jauh komunikasi persuasif berjalan efektif.

2.2 Strategi dalam Komunikasi Persuasif

2.2.1 Konsep Strategi

Menurut Ilardo (dalam Soemirat, 2017) strategi adalah rencana terpilih

yang bersifat teliti dan hati-hati atau serangkaian manuver yang telah dirancang

untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.

Komunikasi persuasif adalah komunikasi yang memiliki tujuan yang harus

dicapai. Oleh karena itu, dalam mencapai tujuan tersebut, diperlukan adanya

strategi yang tepat untuk mencapai keberhasilan suatu kegiatan persuasif.

Menurut Soemirat (2017), dalam menentukan strategi yang tepat, terdapat

hal-hal yang perlu diperhatikan yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Spesifikasi tujuan persuasi

Komunikasi persuasif merupakan komunikasi yang bertujuan

untuk merubah pendapat, sikap dan perilaku sasaran. Komunikan harus

menetapkan lebih spesifik apa goals dari komunikasi persuasif yang

dilakukan.

22
2. Identifikasi kategori sasaran

Keberhasilan komunikasi persuasif juga dipengaruhi oleh bagaimana

komunikan mengenali sasarannya. Maka diperlukan identifikasi yang tepat

sebelum menentukan strategi.

3. Perumusan strategi persuasi

Dalm hal ini, komunikan menyusun perencanaan-perencanaan yang akan

dilakukan kepada sasaran.

4. Pemilihan metode persuasi yang diterapkan

Dalam memilih metode yang tepat, dapat dilakukan melalui tiga

pendekatan yaitu, berdasarkan media yang digunakan, hubungan antara

komunikator dan komunikan, dan pendekatan psikososial.

2.2.2 Strategi Komunikasi Persuasif

Komunikasi persuasif adalah komunikasi yang mempunyai tujuan yang

jelas dan harus dapat dicapai. Oleh karena itu, setiap kegiatan komunikasi

persuasi perlu dilandasi strategi tertentu agar dapat mencapai tujuan yang

diinginkan.

Melvin L. De Fleur dan Sandra J. Ball-Roceach (dalam Soemirat, 2017)

memberika beberapa strategi komunikasi persuasif sebagai berikut:

a. Strategi Psikodinamika

Strategi komunikasi berdasarkan konsep psikodinamika dipusatkan

pada faktor emosional dan faktor kognitif. Dalam hal ini yang

dilakukan adalah menggunakan pesan persuasi untuk pernyataan

emosional, seperti marah dan takut. Strategi ini juga dapat digunakan

23
untuk menghubungkan pembangkit emosional dengan perilaku

tertentu. Asumsi lain dari strategi ini adalah faktor-faktor kognitif

berpengaruh besar terhadap perilaku manusia, jika faktor-faktor

kognitif dapat dibah, maka faktor-faktor perilaku pun dapat diubah

pula.

b. Strategi Persuasi Sosiokultural

Asumsi dalam strategi ini adalah perilaku manusia dipengaruhi

oleh kekuatan dari luar individu seperti keluarga, teman, pasangan,

tetangga, dan lain sebgainya. Dalam strategi ini, penting untuk

memperhatikan lingkungan atau kelompok yang diikuti oleh

sasarannya. Karena asumsinya, sasaran akan mengikuti perilaku dan

pendapat lingkungannya. Jika keompok mereka mengajak dan

menyarankan hal yang diinginkan peruader, maka dirinnya akn

mengikuti apa yang dikatakan kelompoknya.

c. Strategi The Meaning Construction

Strategi ini dilakukan dengan memanipulasi pengertian. konsep

dari strategi ini adalah apabila pengetahuan seseorang dapat dirubah,

maka perilakunya pun dapat dirubah pula. Tugas persuader yaitu

memberikan banyak informasi dan pengetahuan baru kepada

sasarannya dengan berbagai cara. Dengan demikian, sasaran akan

berfikiran bahwa apa yang disampaikan persuader memang harus

diikuti. Dalam memberikan informasi, persuader tidak harus

menggunakan media massa. Informasi tersebut bisa disampaikan

24
secara tatap muka, bahka informasi tersebut bisa muncul dari mulut ke

mulut.

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa strategi

komunikasi merupakan serangkaian rencana yang digunakan untuk memperkuat,

merubah, dan membentuk sikap perusadee sesuai dengan yang diinginkan

persuader. Untuk menentukan strategi komunikasi persuasif, kita dapa

mempelajari dan menggunakan strategi-strategi seperti yang dijelaskan di atas.

2.3 Hambatan dalam Komunikasi Persuasif

Menurut Fisher dalam Soemirat (2017), kegagalan atau hambatan yang

terjadi dalam proses komunikasi yaitu dikarenakan oleh dua faktor, yakni faktor

mekanistis komunikasi manusia dan faktor psikologis.

Hambatan komunikasi secara mekanistis disebabkan oleh saluran pesan yang

terbatas, terganggu, tercemar, atau dalam kondisi rusak. Hal ini dapat disebabkan

oleh internal atau eksternal persuadee. Internal persuadee misalnya salah dalam

mengartikan dan memahami pesan, dan eksternal persuadee misalnya isu-isu,

gosip, kabar burung tentang isi pesan atau bahkan persuader.

Hambatan komunikasi secara psikologis bersifat internal. Hambatan ini

muncul karena adanya distorsi makna dalam pesan. hal ini dapat disebabkan oleh

kultur, konflik peran, konflik dalam sistem sosial, dan lain-lain. Jadi, hambatan

psikologis ini disebabkan karena adanya ketidakselarasan pemahaman dalam diri

persuader dan persuadee.

Herbert dan Gullet dalam Soemirat (2017) menjelaskan bahwa hambatan

dalam komunikasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

25
a. Dogmatisme

Sikap seseorang dalam mempertahankan pendapat, sikap, dan

perilakunya ketika menerima pesan yang tidak sesuai dan persepsinya

dan dapat merusak posisinya.

b. Stereotipe

Pendapat mengenai sesuatu yang sudah diyakini sebelumnya.

Stereotipe dapat diartikan pula sebagai prasangka yang bersifat objektif.

Apa yang dipahami dan diyakini sulit dirubah, karena selalu mengaitkan

dengan hal-hal lain. Sebagai contoh, stereotipe jika perempuan tidak

menyapu dengan bersih, maka kelak akan mendapatkan jodoh yang

brewok.

c. Pengaruh lingkaran

Seseorang yang melihat pesan persuasi sebatas baik atau buruk,

benar atau salah, hitam atau putih. Seseorang yang demikian, akan

mendengarkan dan terpengaruh oleh orang yang disukainya dan akan

menolak pesan jika yang menyampaikan adalah orang yang tidak

disukainya.

Dengan demikian, hambatan yang muncul dalam proses komunikasi

persuasif dapat datang dari bagaimana cara persuadee memandang atau

menerima pesan persuasif. Dogmatisme, stereotipe dan pengaruh lingkaran

mungkin saja muncul diantara persuadee. Namun, hambatan ini tidak sepenuhnya

akan merusak proses komunikasi, apabila persuader memahami kondisi dan

karakteristik persuadee dengan baik dan tepat.

26
2.4 Komunikasi Kesehatan

Komunikasi kesehatan merupakan bagian dari komunikasi antar manusia

yang berfokus pada bagaimana individu dalam suatu kelompok masyarakat

menghadapi isu-isu yang berkaitan dengan kesehatan dan upaya pemeliharaan

kesehatan (Notoatmodjo, 2015). Dalam komunikasi kesehatan, yang menjadi

fokus utama adalah terjadinya interaksi secara spesifik yang berhubungan dengan

isu-isu kesehatan dn fakto-faktor yang mempengaruhinya. Interaksi yang

berlangsung antara ahli kesehatan dengan pasien, antara pasien dengan keluarga

merupakan perhatian utama dalam komunikasi kesehatan.

Komunikasi kesehatan berusaha untuk mempengaruhi secara positif perilaku

kesehatan individu hingga kelompok masyarakat, dengan menggunakan prinsip

dan metode komunikasi baik komunikasi interpersonal maupun komunikai massa.

Selain itu, komunikasi kesehatan merupakan studi yang mempelajari bagaimana

strategi komunikasi yang tepat untuk menyebarluaskan informasi kesehatan untuk

mempengaruhi sasaran agar membuat keputusan yang tepat sesuai dengan

pengelolaan kesehatan (Liliweri, 2007).

Dengan demikian, komunikasi memiliki peran penting dalam dunia

kesehatan, dimana tujuannya adalah merubah perilaku individu maupun kelompok

masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran tentang isu-isu, resiko, dan

solusi kesehatan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Rahmadiana (2012) yang

menyatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk menyukseskan kesehatan individu

dan masyarakat kecuali dengan memanfaatkan dan mengikutsertakan peranan

komunikas, terutama strategi komunikasi.

27
2.5 Tuberkulosis

2.5.1 Definisi Tuberkulosis

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tuberkulosis adalah

penyakit spesifik yang disebabkan oleh paru-paru (batuk kering, batu darah),

tulang, dan sebagainya. Sedangakan menurut data Kementrian Kesehatan RI

dalam Infodatin (2018), tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kelompok bakteri

Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan

gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than

Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan

pengobatan TBC.

2.5.2 Gejala dan Faktor Penyebab Tuberkulosis

Tuberkulosis dapat diderita oleh siapapun dan usia berapapun. Untuk

mengenali lebih lanjut terkait tuberkulosis, maka yang perlu untuk dipahami

adalah gejala-gejala yang muncul. Misnadiarly (2006) menjelaskan gejala-gejala

yang muncul pada penderita tuberkulosis, yaitu:

a. Batuk disertai dahak lebih dari 3 minggu

b. Sesak nafas dan nyeri dada

c. Badan lemah, kurang enak badan

d. Berkeringat pada malam hari walau tanpa kegiatan

e. Berat badan menurun

Faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya virus penyakit tuberkulosis

dijelaskan oleh Nurhasan (2004), yaitu:

28
a. Sistem imun tubuh yang lemah dan kekurangan gizi

b. Tinggal bersama dengan penderita tuberkulosis

c. Berinteraksi secara langsung dengan penderita tuberkulosis

d. Berada dalam lingkungan yang lembab, kurang pencahayaan, dan minim

ventilasi udara

Apabila hal-hal tersebut terjadi pada penderita tuberkulosis, maka penyakit

yang diderita akan semakin parah.

2.5.3 Penyembuhan Tuberkulosis

Penyakit tuberkulosis dapat disembuhkan secara total dengan meminum obat

anti TBC, namun harus melalui pengobatan yang dilakukan secara rutin dan

konsisten.

Tuberkulosis tidak cukup hanya dengan sekali meminum obat. Menurut

Misnadiarly (2006), lama pengobatan penyakit tuberkulosis adalah sekitar 6-8

bulan dan dilakukan secara teratur. Oleh karena itu, perlu adanya pengawas

minum obat (PMO) bagi setiap penderita. Dengan adanya PMO, pengobatan akan

terkontrol dengan tepat, selain itu PMO membantu dalam pemeriksaan dahak

ulang untuk menentukan kesembuhannya. Obat yang dianjurkan harus diminum

secara teratur sampai dinyatakan sembuh oleh dokter.

Dalam waktu kira-kira dua minggu, pasien akan merasa lebih baik dan

beranggapan bahwa sudah sembuh. Tetapi, keadaan ini justru menjebak dan

membuat penderita gagal dalam pengobatan. Dalam setengah bulan, yang berhasil

diatasi adalah bakteri di luar sel. Sedangkan, penanggulangan bakteri yang

berdiam didalam sel memerlukan waktu paling tidak enam bulan (Nurhasan,

29
2004). Oleh karena itu, penderita harus mengetahui terkait hal ini. Karena tidak

jarang pasien yang sudah merasa sembuh memilih untuk tidak melanjutkan

pengobatan.

Perlu ditekankan bahwa penghentian obat yang tidak sesuai dengan jadwal

akan menyebabkan timbulnya bahaya resistensi. Apabila resistensi muncul, maka

kuman dan bakteri akan semakin sulit untuk diberantas. Hal seperti ini

menyebabkan kondisi penderita tuberkulosis semakin parah. Penderita

tuberkulosis dengan resistensi obat disebut TB MDR atau Multidrug-Resistant

Tuberculosis, yaitu tuberkulosis yang resisten terhadap manfaat dua obat

antituberkulosis yang paling kuat, yaitu isoniazid dan rifampisin (alodokter.com).

Apabila penderita TB telah meningkat menjadi TB MDR, kemungkinan jenis obat

harus diganti dengan yang lain meskipun harapan sembuh tidak berbanding lurus

dengan penggantian obat semacam ini. Oleh karena itu, sikap yang perlu diambil

adalah menjaga konsistensi berobat sesuai jadwal ang ditentukan oleh petugas

kesehatan.

Tidak menutup kemungkinan penyembuhan terganggu karena rasa malu

yang muncul pada diri penderita tuberkulosis. Hal seperti ini hendaknya dihindari,

karena rasa malu hanya semakin memperburuk penyakit. Lebih baik terbuka dan

mengambil tindakan pengobatan secepatnya sebelum terlambat.

2.5.4 Peran Anggota Masyarakat

Nurhasan (2004) menjelaskan bahwa semua anggota masyarakat dapat

berperan dalam menyadarkan dan mengedukasi penderita akan pentingnya

30
berobat dengan teratur dan tertib, menjaga pola makan yang sehat, dan kebersihan

lingkungan.

Sebagai anggota masyarakat, kita harus mendukung program pemerintah

terkait penanggulangan penyakit tuberkulosis. Kita dapat membantu merawat

lingkungan, mengingatkan penderita tuberkulosis disekitar kita, dan menyarankan

untuk pergi ke dokter apabila muncul gejala-gejala tuberkulosis pada orang sekitar

kita. Hal-hal tersebut sangat membantu para kader kesehatan yang bertugas

membagikan pil-pil anti TB kepada penderita, menampung dahak penderita untuk

dibawa ke puskesmas terdekat, memberikan penyuluhan langsung untuk

meningkatkan pengetahuan tentang tuberkulosis dan cara mengatasinya, dan

mendorong penderita tuberkulosis di lingkngannya agar bisa berobat secara

teratur ke puskesmas (Nurhasan, 2017).

Berkaitan dengan penelitian ini, kader TB Care telah berupaya untuk

menjalankan program dalam rangka menanggulangi penyakit tuberkulosis. Para

kader TB care adalah anggota masyarakat yang mendedikasikan dirinya untuk

membantu pengobatan penderita tuberkulosis hingga sembuh. Dengan harapan

penyebaran viru tuberkulosis dapat dihentikan dan penderita tuberkulosis dapat

sembuh total.

2.6 Fokus Penelitian

Peneliti akan menentukan batasan penelitian agar mempermudah peneliti

dalam mendalami permasalahan. Fokus dari penelitian ini adalah strategi

komunikasi persuasif yang diterapkan oleh kader TB Care dalam proses

penyembuhan pasien TB. Strategi yang dimaksud adalah bagaimana kader TB

31
Care merencanakan pesan untuk disampaikan kepada sasaran yakni pasien TB.

Peneliti berfokus kepada identifikasi saasaran yang dilakukan oleh kader TB Care

dan strategi komunikasi persuasif yang dikemukakan oleh Melvin L. De Fleur dan

Sandra J. Ball-Roceach yakni, strategi Psikodinamika, strategi Sosiokultural,

strategi The Meaning Construction. Selain itu, peneliti juga berfokus kepada

hambatan-hambatan yang dialami oleh kader TB Care selama proses pengobatan.

Dalam hal ini, peneliti merujuk pada aspek faktor-faktor penyebab hambatan

dalam komunikasi persuasif yaitu, dogmatisme, stereotipe, dan pengaruh

lingkaran.

32

Anda mungkin juga menyukai