Anda di halaman 1dari 14

BUDAYA KESELAMATAN RUMAH SAKIT

A. LATAR BELAKANG

Semua organisasi mempunyai budaya kerja masing-masing. Biasanya


budaya kerja dalam organisasi ini bisa langsung dirasakan begitu kita masuk
kedalamnya. Misalnya ketika kita masuk ke salah satu unit di rumah sakit,
kita bisa segera menilai apakah petugasnya ramah, siap membantu,
pelayanannya cepat, dll. Ini adalah contoh dari dimensi budaya patient safety
yang bisa dirasakan. Seperti model gunung es, dimensi budaya patient safety
yang bisa langsung dirasakan hanyalah sebagian kecil dari budaya patient
safety. Dimensi lainnya yang sulit untuk langsung diidentifikasi antara lain
nilai (values) dan asumsi-asumsi (assumptions).
Penerapan budaya keselamatan rumah sakit yang adekuat
menghasilkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang
bermutu tidak cukup dinilai dari kelengkapan teknologi, sarana prasarana
yang canggih dan petugas kesehatan yang profesional, namun juga ditinjau
dari proses dan hasil pelayanan yang diberikan (Ilyas, 2009).
Budaya keselamatan yang baik dapat memperkecil insiden yang
berhubungan dengan keselamatan pasien. Penelitian Harvard School of Public
Health (HSPH) (2011) menyebutkan bahwa dari seluruh dunia 43 juta orang
dirugikan setiap tahun akibat perawatan yang tidak aman. Sekitar 70% dari
pasien yang mengalami kesalahan medis menderita cacat ringan atau
sementara, 7% pasien cacat permanen dan 13,6% kasus berakibat fatal
(Collinson, Throne, Dee, Maclntyre, & Pidgeon, 2013).
Menurut Blegen (2006) dalam Hamdani (2007), Budaya Keselamatan
Rumah Sakit adalah persepsi yang dibagikan diantara anggota organisasi
ditujukan untuk melindungi pasien dari kesalahan tata laksana maupun cidera
akibat intervensi. Persepsi ini meliputi kumpulan norma, standar profesi,
kebijakan, komunikasi dan tanggung jawab dalam keselamatan pasien.
Budaya ini kemudian mempengaruhi keyakinan dan tindakan individu dalam
memberikan pelayanan. Budaya Keselamatan Rumah Sakit merupakan

1
bagian penting dalam keseluruhan budaya organisasi yang diperlukan dalam
institusi kesehatan. Budaya keselamatan didefinisikan sebagai seperangkat
keyakinan, norma, prilaku, peran dan praktek sosial maupun teknis dalam
meminimalkan pajanan yang membahayakan atau mencelakakan karyawan,
manajemen, pasien atau anggota masyarakat lainnya.
Menurut Fleming (2006) dalam hamdani (2007), Budaya Keselamatan
Rumah Sakit merupakan suatu hal yang penting karena membangun Budaya
Keselamatan Rumah Sakit merupakan suatu cara untuk membangun program
keselamatan pasien secara keseluruhan, karena apabila kita lebih fokus pada
Budaya Keselamatan Rumah Sakit maka akan lebih menghasilkan
keselamatan yang lebih apabila dibandingkan hanya dengan memfokuskan
programnya saja.
Konsep budaya keselamatan berasal dari luar pelayanan
kesehatan.Rumah sakit merupakan organisasi yang kompleks dan berisiko
terjadi cedera pada pasien, pengunjung maupun staf maka organisasi rumah
sakit perlu menjaga komitmen terhadap keselamatan di semua tingkat, mulai
dari frontline, PPA, staff klinis hingga manajer dan eksekutif.

B. KOMPONEN BUDAYA KESELAMATAN RUMAH SAKIT


Menurut Reason (1997) dalam Hamdani (2007) budaya keselamatan
terdiri dari empat komponen (subculture) yaitu:
1. Informed culture.
Budaya dimana pihak yang mengatur dan mengoperasikan system
memiliki pengetahuan terkini tentang faktor-faktor yang menjelaskan
keselamatan dalam suatu system
2. Reporting culture.
Budaya dimana anggota di dalamnya siap untuk melaporkan kesalahan
(KTD) atau Near Miss. Pada budaya ini organisasi dapat belajar dari
pengalaman sebelumnya. Konsekuensinya makin baik reporting culture
maka laporan kejadian akan semakin meningkat.

2
3. Just culture (budaya yang adil).
Budaya membawa atmosfer trust sehingga anggota bersedia dan
memiliki motivasi untuk memberikan data dan informasi serta sensitif
terhadap prilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Termasuk
di dalamnya lingkungna non punitive (no blame culture) bila staf
melakukan kesalahan. Penting bagi setiap level di organisasi untuk
bersikap jujur dan terbuka.
Prinsip “just culture” / “budaya yang adil”:
a. Kesalahan manusia:
Slip atau lapse/terlewat yang tidak disengaja. Kesalahan manusia bisa
terjadi, jadi sistem harus dirancang untuk membantu orang melakukan
hal yang benar dan menghindari melakukan hal yang salah.
Respons: Pendampingan: Dukung orang yang melakukan kesalahan.
Selidiki bagaimana sistem dapat diubah utk mencegah kesalahan
terjadi lagi.
b. Perilaku yang berisiko:
Sadar memilih tindakan tanpa menyadari tingkat risiko hasil yang
tidak diinginkan: Beri tahu orang tersebut mengapa perilaku itu
berisiko; selidiki alasan mereka memilih perilaku ini, dan lakukan
perbaikan system jika perlu.
Respons: Pelatihan
c. Perilaku yang ceroboh:
Memilih tindakan dengan pengetahuan dan tanpa sadar mengabaikan
risiko bahaya.
Respon: Tindakan disipliner.
4. Flexible culture
Suatu budaya dimana organisasi mampu merubah diri dan wajah mereka
jadi mampu beroperasi dengan tempo tinggi atau berbagai bahaya
tertentu, seringkali beralih dari cara hierarkis konvensional ke cara yang
lebih datar/sederhana

3
5. Learning culture. Budaya dimana setiap anggota mampu dan bersedia
untuk menggali pengetahuan dari pengalaman dan data yang diperoleh
serta kesediaan untuk mengimplementasikan perubahan dan perbaikan
yang berkesinambungan (continuous improvement). Learning culture
merupakan budaya belajar dari insiden dan near miss.

C. PRILAKU/HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI BUDAYA


KESELAMATAN RUMAH SAKIT
Perilaku-perilaku di rumah sakit yang tidak mendukung Budaya
Keselamatan Rumah Sakit adalah:
1. Perilaku yang tidak layak (inappropriate), seperti kata-kata atau bahasa
tubuh yang merendahkan atau menyinggung perasaaan sesama staf,
misalnya mengumpat, memaki
2. Perilaku yang mengganggu (disruptive), perilaku tidak layak yang
dilakukan secara berulang, bentuk tindakan verbal atau non verbal yang
membahayakan atau mengintimidasi staf lain, komentar sembrono di
depan pasien yang berdampak menurunkan kredibilitas staf klinik lain,
melarang perawat untuk membuat laporan tentang KTD, memarahi staf
klinis lainnya di depan pasien, kemarahan yang ditunjukkan dengan
melempar alat bedah di kamar operasi, membuang rekam medis diruang
rawat dll.
3. Perilaku yang melecehkan (harassment) terkait dengan ras, agama, suku
termasuk gender
4. Pelecehan seksual

Hal-hal penting untuk menuju Budaya Keselamatan Rumah Sakit:


1. Staf rumah sakit mengetahui bahwa kegiatan operasional RS berisiko
tinggi dan bertekad untk melaksanakan tugas dengan konsisten dan aman
2. Regulasi dan lingkungan kerja mendorong staf tidak takut mendapatkan
hukuman bila membuat laporan tentang kejadian tidak diharapkan dan
kejadian nyaris cedera

4
3. Direktur rumah sakit mendorong tim keselamatan pasien melaporkan
insiden keselamatan pasien ke tingkat nasional sesuai peraturan
perundang-undangan.
4. Mendorong adanya kolaborasi antar staf klinis dengan pimpinan untuk
mencari penyelesaian masalah keselamatan pasien
5. Komitmen organisasi menyediakan sumber daya, seperti staf, pelatihan,
metode pelaporan yang aman, dan sebagainya untuk menangani masalah
keselamatan.

Asuhan Pasien 4.0


Asuhan Pasien 4.0 adalah asuhan pasien, yang modern, terkini di Rumah Sakit
dan distandarkan dalam SNARS Edisi 1,
1. Berbasis Pelayanan Berfokus Pasien / Patient Centre Care dan Asuhan
Pasien Terintegrasi
2. Dilaksanakan oleh Petugas Pemberi Asuhan sebagai Tim, yang
berkolaborasi interprofessional dengan kompetensi untuk berkolaborasi
3. Dilaksanakan dengan DNA of Care yaitu: Safety, Quality, Culture
4. Asuhan pasiennya didokumentasikan terintegrasi melalui IT dalam
SIRSAK dan SISMADAK

D. BUDAYA KESELAMATAN DALAM ORGANISASI


Berbagai penelitian pada berbagai industri yang membutuhkan
ketepatan tinggi (high reliability organization), seperti industri pesawat
terbang, atau instalasi pembangkit tenaga nuklir menunjukkan bahwa safety
culture merupakan prioritas pertama dalam industri tersebut. Industri-industri
semacam ini mempunyai beberapa karakteristik:
1. Mempunyai otonomi yang tinggi, tetapi tetap ada saling ketergantungan.
Setiap individu dalam organisasi mempunyai otonomi sebagai pekerja
yang independen, tetapi tetap membutuhkan pekerja yang lain untuk
menyelesaikan pekerjaannya.

5
2. Mempunyai beberapa tim dengan budaya kerja yang berbeda-beda yang
juga saling membutuhkan. Misalnya seorang dokter merupakan bagian
dari tim dokter dan seorang perawat merupakan bagian dari tim perawat.
Tetapi dokter membutuhkan perawat dalam prakteknya dan demikian
pula sebaliknya.
3. Selalu waspada terhadap semua resiko yang mengancam keselamatan
(safety). Untuk menciptakan budaya ini biasanya organisasi sudah
mempunyai aturan-aturan dan prosedur formal, tetapi yang lebih penting
adalah adanya perhatian khusus terhadap situasi-situasi yang beresiko
tinggi dan tidak hanya sekedar mematuhi aturan dan prosedur secara
rutin.Untuk itu, biasanya ada satu petugas yang secara rutin melakukan
supervisi dan memonitor respon terhadap situasi yang beresiko.
4. Training mendapatkan prioritas yang tinggi. Kompetensi staf secara rutin
dievaluasi, seringkali dengan melakukan simulasi-simulasi.
5. Untuk situasi beresiko tinggi digunakan pendekatan kolaborasi. Pada
situasi yang beresiko tinggi, garis hirarki formal ditinggalkan dahulu,
semua anggota tim meningkatkan kewaspadaan, dan masing-masing
anggota tim ikut memonitor perkembangan situasi dan aktifitas anggota
tim yang lain. Umpan balik terhadap performa setiap anggota tim
diberikan secara langsung dan bebas. Tujuan utamanya adalah
keselamatan.

E. BUDAYA PATIENT SAFETY


Pentingnya mengembangkan budaya patient safety juga ditekankan dalam
salah satu laporan Institute of Medicine “To Err Is Human” yang
menyebutkan bahwa organisasi pelayanan kesehatan harus mengembangkan
budaya keselamatan sedemikian sehingga organisasi tersebut berfokus pada
peningkatan reliabilitas dan keselamatan pelayanan pasien”. Hal ini
ditekankan lagi oleh Nieva dan Sorra dalam penelitiannya yang menyebutkan
bahwa budaya keselamatan yang buruk merupakan faktor resiko penting yang
bisa mengancam keselamatan pasien. Vincent (2005) dalam bukunya bahkan

6
menyebutkan bahwa ancaman terhadap keselamatan pasien tersebut tidak
dapat diubah, jika budaya patient safety dalam organisasi tidak diubah.
Budaya patient safety adalah produk dari nilai, sikap, kompetensi, dan pola
perilaku individu dan kelompok yang menentukan komitmen, style dan
kemampuan suatu organisasi pelayanan kesehatan terhadap program patient
safety. Jika suatu organisasi pelayanan kesehatan tidak mempunyai budaya
patient safety maka kecelakaan bisa terjadi akibat dari kesalahan laten,
gangguan psikologis dan fisiologis pada staf, penurunan produktifitas,
berkurangnya kepuasan pasien, dan bisa menimbulkan konflik interpersonal.

Tabel 1. Karakteristik dari positive safety culture


1. Komunikasi dibentuk dari keterbukaan dan saling percaya
2. Alur informasi dan prosesing yang baik
3. Persepsi yang sama terhadap pentingnya keselamatan
4. Disadari bahwa kesalahan tidak bisa sepenuhnya dihindari
5. Identifikasi ancaman laten terhadap keselamatan secara proaktif
6. Pembelajaran organisasi
7. Memiliki pemimpin yang komit dan eksekutif yang bertanggung
jawab.
8. Pendekatan untuk tidak menyalahkan dan tidak memberikan hukuman
pada insiden yang dilaporkan.

Pergeseran paradigma dalam patient safety:


Paradigma lama Paradigma baru
Siapa yang melakukannya? Mengapa bisa terjadi?
Berfokus pada bad events Berfokus pada near miss
Top down Bottom up
Yang salah dihukum Memperbaiki sistem supaya tidak
terulang

Tiga strategi penerapan budaya patient safety:

7
1. Strategi 1
a. Lakukan safe practices
b. Rancang sistem pekerjaan yang memudahkan orang lain untuk
melakukan tindakan medik secara benar
c. Mengurangi ketergantungan pada ingatan
d. Membuat protokol dan checklist
e. Menyederhanakan tahapan-tahapan
2. Edukasi
a. Kenali dampak akibat kelelahan dan kinerja
b. Pendidikan dan pelatihan patient safety
c. Melatih kerjasama antar tim
d. Meminimalkan variasi sumber pedoman klinis yang mungkin
membingungkan
3. Akuntabilitas
a. Melaporkan kejadian error
b. Meminta maaf
c. Melakukan remedial care
d. Melakukan root cause analysis
e. Memperbaiki sistem atau mengatasi masalahnya

F. MENGUKUR MATURITAS BUDAYA PATIENT SAFETY


Maturitas budaya patient safety dalam organisasi diklasifikasikan oleh
Ashcroft et.al. (2005) menjadi 5 (lima) tingkat maturitas: patologis, reaktif,
kalkulatif, proaktif dan generatif. Di tingkat patologis, organisasi melihat
keselamatan pasien sebagai masalah, akibatnya informasi-iinformasi terkait
patient safety akan ditekan dan lebih berfokus pada menyalahkan individu
demi menunjukkan kekuasaan pihak tertentu. Di tingkat reaktif, organisasi
sudah menyadari bahwa keselamatan pasien adalah hal penting, tetapi hanya
berespon ketika terjadi insiden yang signifikan. Di tingkat kalkulatif,
organisasi cenderung berpaku pada aturah-aturan dan jabatan dan
kewenangan dalam organisasi. Setelah insiden terjadi, informasi tidak

8
diteruskan atau bahkan diabaikan, kesalahan segera dibenarkan atau
dijelaskan penyebabnya, tanpa analisis yang lebih mendalam lagi. Organisasi
yang proaktif berfokus pada upaya-upaya untuk mengantisipasi masalah-
masalah patient safety dengan melibatkan banyak stakeholders terkait patient
safety. Sementara organisasi yang generatif secara aktif mencari informasi
untuk mengetahui apakah tindakan-tindakan yang dilakukan dalam organisasi
ini sudah aman atan belum.

Tabel 2. Level Kematangan Budaya Patient Safety


Patologis Tidak ada sistem untuk pengembangan budaya patient
safety
Reaktif Sistemnya masih terpecah-pecah, dikembangkan
sebagai bagian dari regulasi atau permintaan akreditasi
atau untuk merespon insiden yang terjadi
Kalkulatif Terdapat pendekatan sistematis terhadap patient safety,
(Birokratik) tetapi implementasinya masih terkotak-kotak, dan
analisis terhadap insiden masih terbatas pada situasi
ketika insiden terjadi.
Proaktif Terdapat pendekatan komprehensif terhadap budaya
patient safety, intervensi yang evidence-based sudah
diimplementasikan.
Generatif Pembentukan dan maintenance budaya patient safety
adalah bagian sentral dari misi organisasi, efektifitas
intervensi selalu dievaluasi, selalu belajar dari
pengalaman yang salah maupun yang berhasil, dan
mengambil tindakan-tindakan yang berarti untuk
memperbaiki situasi.

G. MENILAI BUDAYA PATIENT SAFETY


Saat ini, budaya patient safety biasanya dinilai dengan self-completion
questionnaires. Biasanya dilakukan dengan cara mengirimkan kuesioner

9
kepada semua staff, untuk kemudian dihitung nilai rata-rata respon terhadap
masing-masing item atau faktor. Langkah pertama dalam proses
pengembangan budaya patient safety adalah dengan menilai budaya yang ada.
Tidak banyak alat yang tersedia untuk menilai budaya patient safety, salah
satunya adalah „Manchester Patient safety Framework‟. Biasanya ada jenis
pernyataan yang digunakan untuk menilai dimensi budaya patient safety,
pertama adalah pernyataan-pernyataan untuk mengukur nilai, pemahaman
dan sikap dan kedua adalah pernyataan-pernyataan untuk mengukur aktifitas
atau perilaku yang bertujuan untuk pengembangan budaya patient safety,
seperti kepemimpinan, kebijakan dan prosedur. Beberapa contoh pernyataan
tersebut disajikan dalam table 3.

Tabel 3. Pertanyaan kunci untuk penilaian budaya patient safety


1. Apakah patient safety menjadi prioritas utama dari organisasi pelayanan
kesehatan, termasuk pemimpinnya?
2. Apakah patient safety dipandang sebagai sesuatu yang positive dan
mendapatkan fokus perhatian pada semua aktivitas?
3. Apakah ada sistem „blame free‟ untuk mengidentifikasi ancaman-ancaman
pada patient safety, berbagi informasi dan belajar dari pengalaman?
4. Apakah ada penilaian resiko pada semua aktivitas yang terjadi di dalam
organisasi pelayanan kesehatan?
5. Apakah ada lingkungan kerjasama yang baik sehingga semua anggota
6. tim bisa berbagi informasi mengenai patient safety?
7. Apakah pasien dan keluarga pasien terlibat dalam proses pengembangan
patient safety?

H. PENGEMBANGAN BUDAYA PASIEN SAFETY


Salah satu tantangan dalam pengembangan patient safety adalah
bagaimana mengubah budaya yang ada menuju budaya patient safety.
Langkah penting pertama adalah dengan menempatkan patient safety sebagai
salah satu prioritas utama dalam organisasi pelayanan kesehatan, yang

10
didukung oleh eksekutif, tim klinik, dan staf di semua level organisasi dengan
pertanggungjawaban yang jelas. Beberapa contoh langkah-langkah lainnya
disajikan dalam tabel 4. Perubahan budaya sangat terkait dengan pendapat
dan perasaan individu-individu dalam organisasi. Kesempatan untuk
mengutarakan opini secara terbuka, dan keterbukaan ini harus diakomodasi
oleh sistem sehingga memungkinkan semua individu untuk melaporkan dan
mendiskusikan terjadinya adverse events. Budaya tidak saling menyalahkan
memungkinkan individu untuk melaporkan dan mendiskusikan adverse
events tanpa khawatir akan dihukum. Aspek lain yang penting adalah
memastikan bahwa masing-masing individu bertanggung jawab secara
personal dan kolektif terhadap patient safety dan bahwa keselamatan adalah
kepentingan semua pihak.

Tabel 4. Pengembangan safety culture


1. Mendeklarasikan patient safety sebagai salah satu prioritas
2. Menetapkan tanggung jawab eksekutif dalam program patient safety
3. Memperbaharui ilmu dan keahlian medis
4. Membudayakan sistem pelaporan tanpa menyalahkan pihak-pihak terkait
5. Membangun akuntabilitas
6. Reformasi pendidikan dan membangun organisasi pembelajar
7. Mempercepat perubahan untuk perbaikan

I. Crew Resource Management (CRM)


Investigasi terhadap beberapa kecelakaan pesawat terbang menunjukkan
bahwa cockpit-error masih tetap terjadi meskipun berbagai macam prosedur
keselamatan telah diterapkan, seperti penggunaan checklist. Faktor utama
yang berhubungan dengan cockpit-error ini adalah tidak adekuatnya
komunikasi antara anggota crew, khususnya perhatian atau pemahaman
terhadap situasi. Crew resource management (CRM) adalah salah satu teknik
pelatihan komunikasi yang tidak berfokus pada keahlian teknik, melainkan

11
pada keahlian kognitif dan interpersonal yang dibutuhkan untuk tindakan
yang aman. Aspek utama dari CRM adalah:
1. Perhatian terhadap situasi.
Ini membutuhkan perhatian yang konstan terhadap berbagai macam
faktor, antara lain faktor operasional, teknikal, dan manusia, yang
mempengaruhi safe-operation. Setiap individu harus meningkatkan
perhatiannya, bahwa pada kondisi-kondisi tertentu, error lebih mudah
terjadi, seperti bekerja di lingkungan kerja yang berbeda, ketika beban
kerja meningkat, dll.
2. Perencanaan dan pengambilan keputusan.
Dalam aspek ini, peran dan tanggung jawab masing-masing anggota tim
didefinisikan secara jelas, termasuk potensi situasi beresiko tinggi yang
mungkin dihadapi.
3. Komunikasi.
Komunikasi antara anggota tim yang efektif sangat esensial. Tidak
hanya bertujuan untuk melatih individu menyampaikan pesan dengan
jelas dan tidak ambigu, melainkan juga memahami bahwa cara
menerima dan menyampaikan pesan tersebut tergantung pada kemauan
untuk melakukan tindakan.

Tabel 5. Bagaimana mengetahui bahwa budaya safety didalam organisasi atau


didalam tim telah berubah?
1. Orang akan melihat bahwa manajemen/tim leadership mempunyai
komitmen terhadap safety, dengan cara mencegah terjadi error dan
bukan dengan menghukum pelakunya.
2. Staf yang sehat dan bahagia menjadi bagian esensial di dalam
pelayanan kesehatan yang aman
3. Staf memperhatikan kesehatan dan keselamatan pribadi dan anggota
tim lainnya secara serius dan bisa menyadari ketika ada yang salah.
4. Masalah dan kesalahan diantisipasi oleh sistem secara proaktif.
5. Setiap staf secara konsisten akan menegur staf lain jika melakukan

12
tindakan yang tidak aman, dan mengutamakan keamanan daripada
efisiensi.
6. Staff dan manajemen secara konsisten mengimplementasikan remedial
actions.
7. Keselamatan pasien dipandang sebagai sesuatu hal yang esensial dan
menarik.

13
REFERENSI

1. After Kirk, S., et al., Evaluating safety cultures, in Patient safety -Research
into practice, B. WK, Editor. 2006, Open University Press: Maidenhead.
2. Schein, E.H., Organizational culture and leadership. 2nd ed. ed. 1992, San
Fransisco: Jossey-Bass.
3. Sandars, J. and G. Cook, ABC of patient safety. 2007, Massachusets:
Blackwell Publishing.
4. Institute of Medicine, To Err Is Human: Building a Safer Health System.
2000, Institute of Medicine: Washington DC.
5. Nieva, V. and J. Sorra, Safety Culture Assessment: A Tool for Improving
Patient safety in Healthcare Organizations.Quality and Safety in Health
Care, 2003. 12: p. 7-23.
6. Vincent, C., Patient safety. 2005, Edinburgh: Churchill Livingstone.

14

Anda mungkin juga menyukai