A. LATAR BELAKANG
1
bagian penting dalam keseluruhan budaya organisasi yang diperlukan dalam
institusi kesehatan. Budaya keselamatan didefinisikan sebagai seperangkat
keyakinan, norma, prilaku, peran dan praktek sosial maupun teknis dalam
meminimalkan pajanan yang membahayakan atau mencelakakan karyawan,
manajemen, pasien atau anggota masyarakat lainnya.
Menurut Fleming (2006) dalam hamdani (2007), Budaya Keselamatan
Rumah Sakit merupakan suatu hal yang penting karena membangun Budaya
Keselamatan Rumah Sakit merupakan suatu cara untuk membangun program
keselamatan pasien secara keseluruhan, karena apabila kita lebih fokus pada
Budaya Keselamatan Rumah Sakit maka akan lebih menghasilkan
keselamatan yang lebih apabila dibandingkan hanya dengan memfokuskan
programnya saja.
Konsep budaya keselamatan berasal dari luar pelayanan
kesehatan.Rumah sakit merupakan organisasi yang kompleks dan berisiko
terjadi cedera pada pasien, pengunjung maupun staf maka organisasi rumah
sakit perlu menjaga komitmen terhadap keselamatan di semua tingkat, mulai
dari frontline, PPA, staff klinis hingga manajer dan eksekutif.
2
3. Just culture (budaya yang adil).
Budaya membawa atmosfer trust sehingga anggota bersedia dan
memiliki motivasi untuk memberikan data dan informasi serta sensitif
terhadap prilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Termasuk
di dalamnya lingkungna non punitive (no blame culture) bila staf
melakukan kesalahan. Penting bagi setiap level di organisasi untuk
bersikap jujur dan terbuka.
Prinsip “just culture” / “budaya yang adil”:
a. Kesalahan manusia:
Slip atau lapse/terlewat yang tidak disengaja. Kesalahan manusia bisa
terjadi, jadi sistem harus dirancang untuk membantu orang melakukan
hal yang benar dan menghindari melakukan hal yang salah.
Respons: Pendampingan: Dukung orang yang melakukan kesalahan.
Selidiki bagaimana sistem dapat diubah utk mencegah kesalahan
terjadi lagi.
b. Perilaku yang berisiko:
Sadar memilih tindakan tanpa menyadari tingkat risiko hasil yang
tidak diinginkan: Beri tahu orang tersebut mengapa perilaku itu
berisiko; selidiki alasan mereka memilih perilaku ini, dan lakukan
perbaikan system jika perlu.
Respons: Pelatihan
c. Perilaku yang ceroboh:
Memilih tindakan dengan pengetahuan dan tanpa sadar mengabaikan
risiko bahaya.
Respon: Tindakan disipliner.
4. Flexible culture
Suatu budaya dimana organisasi mampu merubah diri dan wajah mereka
jadi mampu beroperasi dengan tempo tinggi atau berbagai bahaya
tertentu, seringkali beralih dari cara hierarkis konvensional ke cara yang
lebih datar/sederhana
3
5. Learning culture. Budaya dimana setiap anggota mampu dan bersedia
untuk menggali pengetahuan dari pengalaman dan data yang diperoleh
serta kesediaan untuk mengimplementasikan perubahan dan perbaikan
yang berkesinambungan (continuous improvement). Learning culture
merupakan budaya belajar dari insiden dan near miss.
4
3. Direktur rumah sakit mendorong tim keselamatan pasien melaporkan
insiden keselamatan pasien ke tingkat nasional sesuai peraturan
perundang-undangan.
4. Mendorong adanya kolaborasi antar staf klinis dengan pimpinan untuk
mencari penyelesaian masalah keselamatan pasien
5. Komitmen organisasi menyediakan sumber daya, seperti staf, pelatihan,
metode pelaporan yang aman, dan sebagainya untuk menangani masalah
keselamatan.
5
2. Mempunyai beberapa tim dengan budaya kerja yang berbeda-beda yang
juga saling membutuhkan. Misalnya seorang dokter merupakan bagian
dari tim dokter dan seorang perawat merupakan bagian dari tim perawat.
Tetapi dokter membutuhkan perawat dalam prakteknya dan demikian
pula sebaliknya.
3. Selalu waspada terhadap semua resiko yang mengancam keselamatan
(safety). Untuk menciptakan budaya ini biasanya organisasi sudah
mempunyai aturan-aturan dan prosedur formal, tetapi yang lebih penting
adalah adanya perhatian khusus terhadap situasi-situasi yang beresiko
tinggi dan tidak hanya sekedar mematuhi aturan dan prosedur secara
rutin.Untuk itu, biasanya ada satu petugas yang secara rutin melakukan
supervisi dan memonitor respon terhadap situasi yang beresiko.
4. Training mendapatkan prioritas yang tinggi. Kompetensi staf secara rutin
dievaluasi, seringkali dengan melakukan simulasi-simulasi.
5. Untuk situasi beresiko tinggi digunakan pendekatan kolaborasi. Pada
situasi yang beresiko tinggi, garis hirarki formal ditinggalkan dahulu,
semua anggota tim meningkatkan kewaspadaan, dan masing-masing
anggota tim ikut memonitor perkembangan situasi dan aktifitas anggota
tim yang lain. Umpan balik terhadap performa setiap anggota tim
diberikan secara langsung dan bebas. Tujuan utamanya adalah
keselamatan.
6
menyebutkan bahwa ancaman terhadap keselamatan pasien tersebut tidak
dapat diubah, jika budaya patient safety dalam organisasi tidak diubah.
Budaya patient safety adalah produk dari nilai, sikap, kompetensi, dan pola
perilaku individu dan kelompok yang menentukan komitmen, style dan
kemampuan suatu organisasi pelayanan kesehatan terhadap program patient
safety. Jika suatu organisasi pelayanan kesehatan tidak mempunyai budaya
patient safety maka kecelakaan bisa terjadi akibat dari kesalahan laten,
gangguan psikologis dan fisiologis pada staf, penurunan produktifitas,
berkurangnya kepuasan pasien, dan bisa menimbulkan konflik interpersonal.
7
1. Strategi 1
a. Lakukan safe practices
b. Rancang sistem pekerjaan yang memudahkan orang lain untuk
melakukan tindakan medik secara benar
c. Mengurangi ketergantungan pada ingatan
d. Membuat protokol dan checklist
e. Menyederhanakan tahapan-tahapan
2. Edukasi
a. Kenali dampak akibat kelelahan dan kinerja
b. Pendidikan dan pelatihan patient safety
c. Melatih kerjasama antar tim
d. Meminimalkan variasi sumber pedoman klinis yang mungkin
membingungkan
3. Akuntabilitas
a. Melaporkan kejadian error
b. Meminta maaf
c. Melakukan remedial care
d. Melakukan root cause analysis
e. Memperbaiki sistem atau mengatasi masalahnya
8
diteruskan atau bahkan diabaikan, kesalahan segera dibenarkan atau
dijelaskan penyebabnya, tanpa analisis yang lebih mendalam lagi. Organisasi
yang proaktif berfokus pada upaya-upaya untuk mengantisipasi masalah-
masalah patient safety dengan melibatkan banyak stakeholders terkait patient
safety. Sementara organisasi yang generatif secara aktif mencari informasi
untuk mengetahui apakah tindakan-tindakan yang dilakukan dalam organisasi
ini sudah aman atan belum.
9
kepada semua staff, untuk kemudian dihitung nilai rata-rata respon terhadap
masing-masing item atau faktor. Langkah pertama dalam proses
pengembangan budaya patient safety adalah dengan menilai budaya yang ada.
Tidak banyak alat yang tersedia untuk menilai budaya patient safety, salah
satunya adalah „Manchester Patient safety Framework‟. Biasanya ada jenis
pernyataan yang digunakan untuk menilai dimensi budaya patient safety,
pertama adalah pernyataan-pernyataan untuk mengukur nilai, pemahaman
dan sikap dan kedua adalah pernyataan-pernyataan untuk mengukur aktifitas
atau perilaku yang bertujuan untuk pengembangan budaya patient safety,
seperti kepemimpinan, kebijakan dan prosedur. Beberapa contoh pernyataan
tersebut disajikan dalam table 3.
10
didukung oleh eksekutif, tim klinik, dan staf di semua level organisasi dengan
pertanggungjawaban yang jelas. Beberapa contoh langkah-langkah lainnya
disajikan dalam tabel 4. Perubahan budaya sangat terkait dengan pendapat
dan perasaan individu-individu dalam organisasi. Kesempatan untuk
mengutarakan opini secara terbuka, dan keterbukaan ini harus diakomodasi
oleh sistem sehingga memungkinkan semua individu untuk melaporkan dan
mendiskusikan terjadinya adverse events. Budaya tidak saling menyalahkan
memungkinkan individu untuk melaporkan dan mendiskusikan adverse
events tanpa khawatir akan dihukum. Aspek lain yang penting adalah
memastikan bahwa masing-masing individu bertanggung jawab secara
personal dan kolektif terhadap patient safety dan bahwa keselamatan adalah
kepentingan semua pihak.
11
pada keahlian kognitif dan interpersonal yang dibutuhkan untuk tindakan
yang aman. Aspek utama dari CRM adalah:
1. Perhatian terhadap situasi.
Ini membutuhkan perhatian yang konstan terhadap berbagai macam
faktor, antara lain faktor operasional, teknikal, dan manusia, yang
mempengaruhi safe-operation. Setiap individu harus meningkatkan
perhatiannya, bahwa pada kondisi-kondisi tertentu, error lebih mudah
terjadi, seperti bekerja di lingkungan kerja yang berbeda, ketika beban
kerja meningkat, dll.
2. Perencanaan dan pengambilan keputusan.
Dalam aspek ini, peran dan tanggung jawab masing-masing anggota tim
didefinisikan secara jelas, termasuk potensi situasi beresiko tinggi yang
mungkin dihadapi.
3. Komunikasi.
Komunikasi antara anggota tim yang efektif sangat esensial. Tidak
hanya bertujuan untuk melatih individu menyampaikan pesan dengan
jelas dan tidak ambigu, melainkan juga memahami bahwa cara
menerima dan menyampaikan pesan tersebut tergantung pada kemauan
untuk melakukan tindakan.
12
tindakan yang tidak aman, dan mengutamakan keamanan daripada
efisiensi.
6. Staff dan manajemen secara konsisten mengimplementasikan remedial
actions.
7. Keselamatan pasien dipandang sebagai sesuatu hal yang esensial dan
menarik.
13
REFERENSI
1. After Kirk, S., et al., Evaluating safety cultures, in Patient safety -Research
into practice, B. WK, Editor. 2006, Open University Press: Maidenhead.
2. Schein, E.H., Organizational culture and leadership. 2nd ed. ed. 1992, San
Fransisco: Jossey-Bass.
3. Sandars, J. and G. Cook, ABC of patient safety. 2007, Massachusets:
Blackwell Publishing.
4. Institute of Medicine, To Err Is Human: Building a Safer Health System.
2000, Institute of Medicine: Washington DC.
5. Nieva, V. and J. Sorra, Safety Culture Assessment: A Tool for Improving
Patient safety in Healthcare Organizations.Quality and Safety in Health
Care, 2003. 12: p. 7-23.
6. Vincent, C., Patient safety. 2005, Edinburgh: Churchill Livingstone.
14