Anda di halaman 1dari 6

Model Pelatihan Pengendalian Gerak

Pada Anak Yang Mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian Dan Hiperaktif

 Pengendalian Gerak Pada AGPPH


Nigg (2006) mengindikasikan bahwa anak yang mengalami GPPH memiliki kesulitan
dalam pengendalian gerak dan timing. Bentuk masalah pengendalian gerak yang
sering diperlihatkan adalah gerakan tubuh dan anggota tubuh yang berlebihan dan
tidak perlu (restless, fidget, and unnecessary gross body movement). Berdasarkan
hasil studi terbaru yang dilakukan oleh Denckla diketahui bahwa bentuk gerak tubuh
yang diperlihatkan oleh
anak GPPH berhubungan dengan kegagalannya dalam mekanisme inhibisi
(Mostofsky et al, 2003). Mekanisme inhibisi tersebut erat kaitannya dengan executive
function, sebagaimana dinyatakan oleh Fuster (1980,1989) bahwa terdapat 3 hal yang
dapat menggambarkan pengaruh executive function terhadap motor control atau
pengendalian gerak, yaitu 1) informasi yang tersimpan dalam ingatan mengenai
pengalaman dan tindakan yang sudah pernah dilakukan, yang memberikan pengaruh
terhadap tindakan yang akan dilakukan selanjutnya, 2) pengaturan antisipasi dari
premotor dan fungsi motor, dan 3) inhibisi motor impulse. Kekurangan anak GPPH
dalam kontrol inhibisi yang diperlukan untuk menunda respon, menghentikan respon,
dan pengendalian terhadap hal yang dapat mengganggu (interference control)
merupakan alasan mengapa anak dengan GPPH menunjukkan ciri-ciri distracability,
hyperactivity, dan impulsivity (Barkley, 1996). Inatensi pada GPPH bukanlah gejala
utama melainkan gejala kedua, yang merupakan konsekuensi dari bermasalahnya
behavioral inhibition dan interference control. Kurangnya kemampuan sustained
attention pada anak GPPH tampil dalam bentuk masalah di goal/task-directed
persistence akibat kurangnya inhibition (interference control) dan executive function
yang penting bagi pengendalian diri dan ketekunan dalam mengerjakan tugas (task-
persistence) (Barkley, 2006).
 Pendekatan Psikoedukasional Dan Penerapannya Pada Treatment GPPH
tujuan utama dari treatment yang diberikan tidak sekedar untuk melatih keterampilan
atau kemampuan tertentu, namun juga ditujukan untuk menumbuhkan adanya
pengendalian diri melalui kesadaran akan tampilan perilaku aktual dan kemampuan
yang dimilikinya. Upaya penumbuhan self-awareness tidak hanya terbatas pada
pelaksanaan suatu teknik namun selalu disertai dengan diskusi dua arah yang juga
menuntut keterlibatan aktif anak dalam membahas tampilan perilakunya saat ini.
Umpan balik dinilai penting terutama saat anak menampilkan perilaku yang salah.
Umpan balik yang diberikan harus diingat oleh anak untuk membantu perencanaan
tampilan perilaku yang lebih efektif yang selanjutnya akan menghasilkan perubahan
perilaku untuk mencapai kondisi yang diinginkan (Barkley, 1998; dalam Laila
Qodariah, 2010). Dalam proses kognitif, umpan balik yang diperoleh anak ditangkap
sebagai sinyal adanya perilaku yang tidak efektif pada dirinya. Umpan balik
menunjukkan diskrepansi antara tuntutan kondisi aktual dengan kondisi tampilan
perilaku yang dipengaruhi dorongan internal serta ketepatan pencapaian hasil. Dengan
menggunakan informasi yang sudah pernah terjadi, maka akan membantu anak untuk
meregulasi tingkah laku saat ini (present behavior) serta membantu mengantisipasi
terhadap kejadian mendatang (future events). Interaksi antara kejadian dan respon
yang ditampilkan pada masa lalu yang terjadi pada diri anak akan diaktifkan kembali
dan disimpan dalam ingatan jangka panjang untuk mempersiapkan anak di masa
depan dengan arah terus menumbuhkan self-awareness anak. Tujuan ini dapat
menjawab permasalahan bahwa GPPH adalah gangguan dalam tampilan perilaku. Hal
ini berarti kebutuhan penangan pada anak dengan GPPH bukanlah semata-mata pada
keterampilan begaimana suatu perilaku dapat ditampilkan, namun lebih kepada
kesadaran bahwa mereka membutuhkan pengubahan tampilan perilaku yang lebih
efektif, dan juga kesadaran bahwa mereka memiliki kemampuan untuk belajar
mengendalikan tampilan perilaku mereka sendiri. Pendekatan psikoedukasional
termasuk ke dalam bentuk penanganan psychodynamic behavior-management, yaitu
upaya pengubahan perilaku yang memperhatikan keterkaitan antara faktor dalam diri,
faktor lingkungan, dan juga berbagai peristiwa yang terjadi dalam rentang kehidupan
subjek. Dengan demikian, dalam penanganannya, pendekatan ini menitikberatkan
pada pentingnya penanganan secara individual pada tiap individu yang bermasalah.
Pendekatan psikoedukasional memandang pendamping sebagai seorang guru, dan
anak sebagai muridnya. Seperti dalam proses belajar, maka guru hanya mengenalkan
dan membantu jalannya pembelajaran, sedangkan persyaratan utama tercapainya
keberhasilan terletak pada keterlibatan aktif dari murid dalam proses belajar. Dengan
demikian seperti yang dikatakan oleh Valett (1974) terdapat pergeseran pemaknaan
“anak bermasalah”, yaitu dari anak yang mencari pertolongan untuk keluar dari
masalahnya menjadi seorang anak yang dipandang mampu untuk secara aktif terlibat
dalam proses belajar, bahkan mampu mengarahkan proses belajarnya sendiri,
daripada hanya secara pasif menerima perlakuan dari pendamping
 Prinsip Pelatihan Untuk AGPPH
Terdapat 6 prinsip dasar dalam suatu program pelatihan yang ditujukan untuk
individu dengan cognitive impairment, termasuk GPPH, yaitu:
1. Menggunakan model teoritis
Model teoritis digunakan sebagai dasar dan acuan dalam pembuatan suatu
program pelatihan.
2. Program yang digunakan tersusun dengan sistematis
Dalam penyusunan suatu program pelatihan perlu dipertimbangkan tingkat
kesulitan dan peningkatan dari tingkat kesulitan tersebut dengan memperhatikan
kaitannya dengan kondisi yang mungkin ditemui oleh individu sehari-hari.
3. Perlu adanya repetisi
Pemberian kesempatan dan latihan melalui pemberian treatment yang berulang
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan suatu perubahan perilaku yang
diperoleh dari proses belajar.
4. Seri/rangkaian dari program yang diberikan merupakan pemberi/sumber data
Progres yang diperlihatkan individu selama melakukan rangkaian program
merupakan salah satu cara untuk memberikan data mengenai performa individu
selam melakukan treatment.
5. Program yang dilakukan harus dapat digeneralisasikan pada situasi sehari-hari
Kemampuan untuk dapat digeneralisasikan dalam kehidupan sehari-hari
merupakan tujuan utama dari suatu program pelatihan. Hasil yang didapatkan oleh
individu dalam pelatihan tersebut hendaklah dapat digunakan juga dalam situasi
lain.
 Prinsip Belajar Dalam Pelatihan
Dalam proses belajar, menurut Valet (1969) terdapat beberapa prinsip belajar sebagai
berikut:
1. Kesiapan (readiness)
Anak akan belajar jika ia memiliki minat dan keinginan untuk belajar. oleh karena
itu, anak perlu diberitahukan tujuan dari pembelajaran yang akan dilakukan.
Selain itu perlu diketahui pula apa yang menjadi ketertarikan anak
2. Efek
Perlu dibuat suatu rancangan pembelajaran yang terprogram yang disesuaikan
dengan tahapan perkembangan dan kemampuan anak untuk mempertinggi
pengalaman dengan sukse. Dengan demikian, diharapkan efek dari belajar akan
lebih membuatnya bersemangat untuk terus meningkatkan kemampuannya
3. Cue discrimination
Perlu dibuat suatu program sehingga anak diperkenalkan secara jenjang dari
tingkat yang paling mmudah ke tingkat yang paling sulit. Peralatan yang
digunakan sebaiknya tidak asing bagi anak.
4. Adanya penguat (reinforcement)
Yaitu supaya untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan. Penguatan ini tidak
harus selalu dalam bentuk benda. Keterlibatan (involvement) anak dalam kegiatan
belajar, juga merupakan suatu penguat yang dirasakan sendiri oleh anak
5. Latihan dan umpan balik (drill and feedback)
Anak perlu dilibatkan dalam proses latihan dan mengevaluasi tampilan
prestasinya sendiri dan untuk menentukan perbaikan dari kegagalan yang telah
dibuatnya
6. Transfer dan generalisasi (transfer and generalization)
Keterampilan atau kemampuan yang telah dimiliki anak dari suatu pembelajaran
sifatnya menetap dan dapat diterapkan anak pada situasi di luar treatment dalam
setting yang menuntut hal yang sama. Yang penting adalah dengan memberika
gambaran pada situasi apa dan bagaimana keterampilan tersebut diterapkan. Hal
ini terkait dengan prinsip berikutnya insight a& underst.
 Latihan Menggunakan Rocking Chair Untuk AGPPH
Latihan menggunakan rocking chair merupakan salah satu bentuk psikoedukasional
yang bertujuan untuk melatih anak mengendalikan gerakan tubuhnya melalui
kombinasi tugas diam dan bergerak (Valett, 1974). Diam yang dimaksud adalah
duduk diam dan tidak menggerakkan anggota tubuh saat duduk, sedangkan bergerak
yang dimaksud adalah menggerakkan rocking chair ke depan dan ke belakang. Tugas
duduk diam dan tidak menggerakkan anggota tubuh secara langsung melatih anak
untuk dapat mengendalikan gerak tubuhnya melalui menurunan frekuensi gerak
anggota tubuh. Sedangkan pada tugas menggerakkan rocking chair, anak berlatih
mengendalikan gerak tubuhnya melalui proses yang ia lakukan selama mengendalikan
gerakan rocking chair.
Rocking chair sebagai peralatan dalam pelatihan memiliki 2 hal yang dapat
mendukung proses latihan mengendalikan gerak, yaitu:
1. Rocking chair memiliki mekanisme gerak teratur
Gerakan dari rocking chair termasuk gerak linear yang secara konsisten dan
berulang bergerak dengan pola tertentu, yaitu ke depan dan ke belakang. Gerakan
seperti ini disebut juga gerakan ritmik. Ritme merupakan ketetapan waktu dan
aturan yang absolute. Ritme pada gerakan ritmik memberikan stimulasi yang
saling bertukar/bolak-balik (alternating stimulation) pada otak melalui sinyal-
sinyal saraf dari sel-sel sensoris pada indera vestibular, tactile, dan proprioceptive.
Sinyal-sinyal saraf kemudian dipancarkan ke otak melalui zat- zat pemancar
(transmitter) seperti dopamine, glutamate, dan gamma-Aminobuturic acid
(GABA). Stimulasi yang saling bertukar/bolak-balik lebih efisien dibandingkan
stimulasi yang tidak terputus. Otak dengan cepat terbiasa dengan stimulasi yang
cepat dan konstan (Bloomberg, 2011). Gerakan ritmik dan berulang dari rocking
chair tersebut meskipun tidak diketahui seperti apa mekanisme fisiologisnya
secara tepat, berdasarkan penelitian Robert L. Massey (2010), gerakan rocking
chair tersebut dapat meningkatkan kenyamanan dan mengurangi gerak pada
individu yang menggunakannya.
2. Rocking chair memiliki sifat inersia.
Sifat inersia1 pada rocking chair dapat menentukan ritme dari gerakan yang
dihasilkan sehingga ketika ada orang yang menggerakkannya ke depan, ia akan
bergerak juga ke belakang secara otomatis. Individu yang menggunakan rocking
chair tidak mengendalikan arah gerakan namun mengendalikan amplitudo dari
gerakan yang dirasakan nyaman oleh anak. Pada saat mengendalikan amplitodo
dari rocking chair tersebut anak menggunakan keterampilan closed motor-nya,
yaitu setiap gerakan tubuh atau gerakan benda di sekitar tubuh merupakan inisiatif
dan diatur secara sadar oleh anak. Oleh karena itu, keterampilan ini juga dikatakan
self paced. Kemampuan closed motor merupakan kemampuan paling dasar dari
kemampuan motor seseorang (Gentile, 2000). Anak akan mendapatkan langsung
feedback dari gerakan yang dihasilkan oleh rocking chair mengenai performanya
atau usaha pengendalian yang telah ia lakukan. Umpan balik tersebut adalah
gerakan yang dihasilkan oleh rocking chair dianggap nyaman atau tidak nyaman
oleh anak. Ketidaknyamanan anak akan terjadi ketika ia menghasilkan gerakan
kursi yang tidak teratur. Hal ini berarti anak tidak dapat mengendalikan gerakan
kursi. Sebaliknya kenyamanan akan dirasakan oleh anak ketika ia dapat
menghasilkan gerakan kursi yang teratur. Keteraturan akan menimbulkan
kenyamanan pada anak sebagaimana dinyatakan oleh Robert L. Massey (2010).
Keteraturan dari gerakan kursi memperlihatkan bahwa anak dapat mengendalikan
gerakan kursi.

Sumber Rujukan:

http://repository.unp.ac.id/12720/1/Buku%20Gangguan%20Pemusatan%20Perhatian%20dan
%20Hiperaktivitas-ilovepdf-compressed%20ok.pdf

https://adoc.pub/download/pelatihan-pengendalian-gerak-pada-anak-yang-mengalami-
ganggu.html

Anda mungkin juga menyukai