Anda di halaman 1dari 2

Nama : Sauca Arsa Dewanta

Nim : 20010044018

Kelas : 2020 A

SEJARAH BRAILLE

Huruf Braille pertama kali diciptakan oleh seorang prajurit Prancis bernama Charles Barbier.
Saat itu Barbier yang merupakan pasukan Napoleon Bonaparte menciptakan sistem penulisan
unik untuk kepentingan perang. Saat itu, banyak prajurit kurir yang mati ketika mengirim
pesan karena masih menggunakan penerangan. Berangkat dari misi penyelamatan kurir tadi,
Barbier menciptakan sistem penulisan unik di awal 1800. Sistem penulisan itu dinamakan
"Tulisan Malam" yang digunakan para pasukan untuk berkomunikasi di malam hari tanpa
penerangan. Karena itulah, sistem penulisan ini tidak memerlukan penglihatan.

Tulisan yang juga dikenal sebagai Sonografi Barbier ini menggunakan tabel yang terdiri dari
12 sel. Setiap sel terdiri dari 6 lubang berjajar. Sistem penulisan Barbier ini adalah kombinasi
titik timbul yang dibuat berdasarkan letak lubang dalam sel. Berbeda dengan sistem penulisan
Roman yang ditulis serta dibaca dari kiri ke kanan, sistem penulisan Barbier dibaca dari kiri
ke kanan, namun ditulis dari kanan ke kiri. Sebab, titik timbul yang dihasilkan pada tekstur
kertas baru dapat dirasakan ujung jari bila kertas dibalik lebih dulu. Sementara itu, di sebuah
desa kecil di Coupfray, Prancis, tinggal seorang bocah tunanetra berumur 8 tahun, bernama
Louis Braille. Anak ini kemudian berteman dengan Barbier beberapa tahun setelah perang
Prancis usai. Braille kemudian mengadopsi sistem penulisan yang diciptakan Barbier untuk
melakukan komunikasi secara efisien dengan teman tunanetra lainnya.

Demi menyesuaikan kebutuhan para tunanetra, Louis Braille mengadakan uji coba garis dan
titik timbul Barbier kepada beberapa kawan tunanetra. Pada kenyataannya, jari-jari tangan
mereka lebih peka terhadap titik dibandingkan garis sehingga pada akhirnya huruf-huruf
Braille hanya menggunakan kombinasi antara titik dan ruang kosong atau spasi. Sistem tulisan
Braille pertama kali digunakan di L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles, Paris, dalam
rangka mengajar siswa-siswa tunanetra. Kontroversi mengenai kegunaan huruf Braille di
Prancis sempat muncul hingga berujung pada pemecatan Dr. Pignier sebagai kepala lembaga
dan larangan penggunaan tulisan Braille di tempat Louis mengajar. Karena sistem baca dan
penulisan yang tidak lazim, sulit untuk meyakinkan masyarakat mengenai kegunaan dari huruf
Braille bagi kaum tunanetra. Salah satu penentang tulisan Braille adalah Dr. Dufau, asisten
direktur L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles. Dufau kemudian diangkat menjadi
kepala lembaga yang baru. Untuk memperkuat gerakan anti-Braille, semua buku dan salinan
yang ditulis dalam huruf Braille dibakar dan disita. Namun disebabkan perkembangan murid-
murid tunanetra yang begitu cepat sebagai bukti dari kegunaan huruf Braille, menjelang tahun
1847 sistem tulisan tersebut diperbolehkan kembali.

Pada tahun 1851, tulisan Braille diajukan pada pemerintah negara Prancis agar diakui secara
sah oleh pemerintah. Sejak saat itu, penggunaan huruf Braille mulai berkembang luas hingga
mencapai negara-negara lain. Pada akhir abad ke-19, sistem tulisan ini diakui secara universal
dan diberi nama ‘tulisan Braille’. Pada tahun 1956, Dewan Dunia untuk Kesejahteraan
Tunanetra (The World Council for the Welfare of the Blind) menjadikan bekas rumah Louis
Braille sebagai museum. Kediaman tersebut terletak di Coupvray, 40 km sebelah timur Paris.

Sistem penulisan Braille ini pada akhirnya dapat membantu tunanetra menulis dan membaca
lebih cepat. Beratus tahun kemudian, sistem penulisan tersebut menjadi cara berkomunikasi,
satu satunya ketika tunanetra harus membaca atau menulis sebelum akhirnya dunia memasuki
era digital.

Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Braille

Anda mungkin juga menyukai