Anda di halaman 1dari 48

STUDI KOMPARASI ANTARA KH.

HASYIM ASY’ARI DAN


KI HADJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh:

M. FATHUL ARIFIN

NPM: 2086108028

Tesis ditulis untuk memnuhi sebagian persyaratan


Memperoleh gekar Magister dalam bidang
Pendidikan Agama Islam

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................1
B. Identifikasi Masalah......................................................................12
C. Pembatasan Masalah.....................................................................12
D. Rumusan Masalah.........................................................................13
E. Tujuan Penelitian...........................................................................13
F. Manfaat Penelitian.........................................................................13
G. Metode Penelitian..........................................................................14
H. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian......................................14
I. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data...............................14
J. Analisis Data.................................................................................15
K. Teknik Penulisan...........................................................................15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Pendidikan........................................................................16
1. Pengertian Pendidikan.............................................................16
2. Tujuan Pendidikan...................................................................19
3. Pendidik...................................................................................21
4. Peserta Didik...........................................................................23
B. Konsep Karakter............................................................................24
1. Pengertian Karakter................................................................24
2. Nilai-Nilai Pembentukan Karakter.........................................28
C. Konsep Pendidikan Karakter.........................................................31
1. Pengertian Pendidikan Karakter.............................................31
2. Tujuan Pendidikan Karakter...................................................32
3. Fungsi Pendidikan Karakter...................................................34
4. Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan..........35
D. Hasil Penelitian yang Relevan.....................................................37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Biografi KH. Hasyim As’ary.........................................................39
1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari........................................39
2. Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari.....................39
3. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari.............................................41
B. Biografi Ki Hadjar Dewantara.......................................................42
1. Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara.......................................42
2. Latar Belakang Pendidikan Ki Hadjar Dewantara....................43
3. Karya-karya Ki Hadjar Dewantara............................................44
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Saat ini kita memasuki era modern dengan teknologi tinggi, banyak peran alat bantu
mengajar dan belajar lama yang telah tergantikan dengan alat canggih modern seperti saat
ini. Sebut saja alat bantu mengajar berupa papan tulis hitam dan kapur sebagai alat ajar guru
yang telah tergantikan oleh papan tulis digital dan layar sentuh. Meski tidak semua, namun
sudah banyak sekali sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang telah menerapkan cara
ajar modern dengan difasilitasi alat ajar modern. Begitupun dengan murid, saat ini peserta
didik sudah dibekali dengan alat belajar canggih, sebut saja komputer atau laptop, ruangan
ber-AC, papan tulis digital, penyampaian tugas dengan power point, dan masih bannyak lagi
yang lainnya.
Mengacu pada peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan no 21 tahun 2016 tentang
standar pendidikan dasar dan menengah bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3), fasilitas modern berteknologi
tinggi ini belum bisa menjamin 100% suksesnya proses kegiatan belajar mengajar. karena
masih ada peserta didik yang belum memanfaatkan fasilitas modern ini, sebut saja peserta
didik yang memanfaatkan jaringan internet yang disediakan sekolah untuk mengakses hal
yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan belajar, yang dengannya peserta didik lalai akan
tugas atau pelajaran yang seharusnya dikaji, dipelajari, dan diperdalam pemahamannya. Ini
berarti bahwa fasilitas modern berteknologi tinggi belum bisa menjamin peserta didik
menjadi manusia yang berilmu, cakap, dan berakhlak.1
Untuk meningkatkan softskill peserta didik, pendidikan seharusnya mengacu pada proses
dan aktivitas yang bersifat produktif, evaluative, dan agamis. Dan pendidikan hendaknya
ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan ummat, artinya peserta
didik diharapkan mampu menjadi penerus estafet kepemimpinan bangsa dan menjadi pribadi
yang menjunjung tinggi etika dan agama. Semua itu tidak akan lepas daripada pengaruh

1
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no 21 tahun 216 tentang standar pendidikan dasar dan
menengah.

1
sistem Tri pusat pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, yakni, sekolah,
keluarga, masyarakat.2 Maka, peran pendidik bukan hanya ada pada guru formal disekolah,
tapi juga ada pada orang tua, teman, dan tokoh masyarakat sekitar, sehingga mampu
membentuk peserta didik yang berkarakter.
Pendidikan karakter merupakan aspek penting untuk mengintegrasikan karakter dan
kebiasaan positif pada generasi muda yang nantinya akan menjadi penerus estafet
kepemimpinan bangsa. Sayangnya, pendidikan karakter di Indonesia yang ditanamkan sejak
bangku taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi dapat dikatakan kurang berhasil dan
tidak dapat dipungkiri jika pendidikan karakter di negeri ini baru sebatas transfer ilmu
tentang karakter, belum menyentuh pada aspek perilaku.
Namun sejatinya Indonesia adalah bangsa dan negara besar. Indonesia memiliki modal
atau kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan negara yang kuat. Akan tetapi
modal yang besar itu seakan tidak banyak berarti apabila mentalitas dan karakter anak
bangsa ini belum terbangun atau belum berubah ke arah yang lebih baik. Mentalitas karakter
bangsa Indonesia yang kurang bahkan nyaris tidak baik akan menjadi penghambat kejayaan
bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa maju yang berkarakter. Hal ini tercermin dari
banyaknya permasalahan-permasalahan yang muncul di masyarakat seperti korupsi,
kekerasan, pelecehan seksual, perusakan moral, perkelahian massa dan anak sekolah,
kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif dan sportif,
sistem jual beli yang banyak mengandung unsur kecurangan, dan berbagai macam persoalan
lainnya yang tidak mencerminkan kejayaan bangsa.
Yang patut disayangkan juga yakni, baik orang tua dan atau pejabat negeri yang
cenderung tidak dapat menunjukkan contoh tauladan untuk anak-anak dan pemuda-pemudi
bangsa ini yang merupakan cikal bakal generasi masa depan yang akan memegang kendali
pemerintahan negeri ini.
Generasi muda secara tidak sadar terhimpit oleh banyak kepentingan didalam dunia
pendidikan. Sayangnya mereka hanya menjadi obyek desain pendidikan yang ada sekarang
ini. Dominasi kepentingan bisnis didalam pengelolaan pendidikan telah masuk pada ranah
negara dan masyarakat sipil melalui standarisasi yang menjadi nafas globalisme. Akibatnya
karakter manusia Indonesia yang terbentuk adalah market minded. Karakter yang terbentuk
2
Majlis Luhur Taman Siswa, Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, (Yogyakarta,
Percetakan Taman Siswa,1962) 70.

2
ini tidak sesuai dengan agenda bangsa/nasional karena tidak ada keterikatan dengan
masyarakat dan cenderung menjadi profit oriented.3
Sebenarnya, masalah mendesak bangsa ini, di samping berhadapan dengan arus
globalisasi, adalah penuntasan agenda reformasi. Reformasi adalah gerakan sosial yang
menginginkan perubahan total dalam tatanan kehidupan.
Reformasi pada titik ini sebenarnya hal yang tepat dan patut disyukuri. Namun, jika
hanya sekedar nama, reformasi akan mengalah pada arus kekalahan yang tak bisa
menanggapi arus perubahan. Kita tidak bisa memberikan jaminan pada anak-anak masa
depan kita, jika sistem pendidikan kita tidak juga berubah.
Berbagai program telah dibuat, namun program itu malah menimbulkan kebingungan
baru. Gejala ini menunjukkan tidak adanya visi. Visi pendidikan kita memang ada, namun
masyarakat tidak menjadikannya sebagai visi bersama. Rencana Strategis Pendidikan
Nasional menegaskan bahwa pendidikan nasional memiliki visi “Terwujudnya sistem
pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua
warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu
dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Selanjutnya, manusia
Indonesia pada 2025 diarahkan menjadi “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif”.
Menurut Ali Ibrahim Akbar, praktik pendidikan di Indonesia cendrung berorientasi pada
pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis), yang lebih mengembangkan pada ranah
intelegensi. Sedangkan, kemampuan soft skill sangat kurang diperhatikan. Dilihat dari
pembelajaran sekolah hingga perguruan tinggi, lebih menekankan pada perolehan nilai ujian.
Pandangan ini menilai bahwa peserta didik dikatakan baik kompetensinya apabila nilai hasil
ujiannya tinggi.4 Dalam hal ini, pelaksanaan pendidikan belum menyeimbangkan antara
kemampuan soft skill dan hard skill dengan baik dan benar mulai dari pendidikan dasar
hingga ke tingkat pendidikan tinggi.

Pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini. Pendidikan kita kehilangan
nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-
nilai luhur. Pendidikan nasional telah kehilangan rohnya lantaran tunduk terhadap pasar
3
http://kongrespendidikan.web.id/ancaman-globalisasi-terhadap-pembentukan-karakterbangsa.html. di
unggah tgl 28 September 2021.
4
Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Diva
Press, 2013), h. 22

3
bukan pencerahan peserta didik. Pasar tanpa karakter akan hancur dan akan menghilangkan
aspek-aspek manusia dan kemanusiaan, karena telah kehilangan karakter itu sendiri.5
Selain itu, karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan nilai-nilai al-
Qur‟an saat ini telah jauh sebagaimana yang diharapkan. Banyak dari pendidik hanya
menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas belaka (cognitive domain) dan meninggalkan
nilai-nilai etika (affective domain). Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang
diajarkan al-Qur‟an yang mengajarkan keseimbangan dalam segala hal.6
Berbicara mengenai pendidikan nasional, pendidikan Islam menjadi bagian yang tidak
terpisahkan. Meskipun pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia,
ia tidak pernah terpisahkan dalam kaitannya dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Pendidikan Nasional, terutama hal-hal yang substansial. Oleh karena itu, ketika
pemerintah mencanangkan pendidikan karakter bagi perbaikan mutu dan kualitas peradaban
bangsa, pendidikan Islam terlibat dan ikut berpartisipasi secara aktif di dalamnya.7
Beberapa ahli Islam menilai, adanya pergeseran misi dan orientasi pendidikan Islam
dalam institusi pendidikan Islam. Sebagai bagian tak terpisah dari sistem pendidikan
nasional, pendidikan Islam yang semula ditujukan untuk membentuk karakter anak didik
selaku generasi muda yang memiliki tanggung jawab mengemban visi dan masa depan
bangsa, secara metodologis ternyata telah terjebak pada pola pendidikan satu arah bersifat
pengajaran semata.8
Dalam konteks Islam, persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang
berhubungan dengan kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi. Dewasa ini, dapat kita
saksikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa banyak orang yang kehilangan karakternya
sebagaimana manusia. Mereka yang kehilangan karakternya cenderung perilakunya akan
didominasi oleh nafsu dan kepentingan-kepentingan instan. Meningkatnya intensitas
tawuran antar warga, antar pelajar, serta kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan
terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres dalam karakter bangsa.9
5
Ibid., h. 2
6
Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo
Khazanah Ilmu, 2010), h. 55
7
Sumedi, Tahap-tahap Pendidikan Karakter dalam Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dan Relevansinya
dengan Pendidikan Akhlak Islam, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012, h. 185
8
Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001),
h. 1
9
Sholeh Hasan, “Analisis Komparatif Konsep Pendidikan Karakter Perspektif Thomas Lickona dan Al-
Zarnuji serta implikasinya terhdap implikasinya terhadap pendidikan Agama Islam, Makalah ini disampaikan pada

4
Kartadinata menegaskan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari
perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi
cerdas invidual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk
karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, bukan
pribadi.10
Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, BAB I Pasal 1 menyatakan pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.11
BAB II Pasal 3 undang-undang Sisdiknas, bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.12
Sisdiknas telah jelas menguraikan tujuan pendidikan nasional bukan sekedar membentuk
peserta didik cerdas dalam berilmu tetapi lebih dari itu pendidikan juga berfungsi
membangun karakter, watak, serta kepribadian bangsa. Sehingga nantinya akan lahir
generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur
bangsa serta agama. Disadari atau tidak bahwa dengan kondisi pendidikan sekarang ini,
khususnya mengenai pembentukan karakter belum menjadi prioritas utama dalam
implementasinya.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 menjadikan pembentukan karakter sebagai tujuan dari
pendidikan nasional. Namun dalam pelaksanannya, pendidikan karakter justru
dikesampingkan. Dalam pemikiran guru-guru di sekolah yang penting anak cerdas atau
berhasil mencapai kriteria kelulusan di setiap mata pelajaran, soal baik tidaknya sikap dan

Seminar Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016. 30 Maret. Semarang : Universitas Negeri Semarang
2016, h.779
10
Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar & Implementasi, (Jakarta: Prenada Media
Grup, 2014), h. 123
11
Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama,
2004), h. 4
12
Ibid.., h. 7

5
perilaku anak didik tidak menjadi persoalan. Hal ini menggambarkan bahwa mindset guru
harus dirubah.
Pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan Islam sebab roh atau
inti dari pendidikan Islam adalah pendidikan karakter yang semula dikenal dengan
pendidikan akhlak.13 Oleh karena itu, kajian pendidikan karakter dalam Islam tidak bisa
dilepaskan dari kajian pendidikan Islam pada umumnya. Konsep pendidikan karakter
sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, terbukti dari perintah Allah bahwa misi
utama Rasulullah adalah sebagai penyempurna akhlak bagi umatnya. Pembahasan substansi
makna dari karakter sama dengan konsep akhlak dalam Islam, keduanya membahas tentang
perbuatan prilaku manusia.14
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqon.
Yang berarti kelakuan tabiat, perangai, watak, dasar.15 Sedangkan akhlak menurut istilah
yang disampaikan Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Mahjuddin merupakan suatu sifat
yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang
dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut
melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama,
dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak
yang buruk.16
Selain itu, dalam Ensiklopedi al-Qur‟an pengertian akhlak (khuluq) adalah watak yang
diperoleh seseorang dari pergaulannya dengan orang lain atau atas bimbingan orang tua dan
pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan. 17 Al-Qurtuby mengatakan
bahwa “Suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya disebut akhlak,
karena perbuatan itu termasuk bagian dari kejadiannya. Akhlak merupakan bagian dari
kejadian manusia yang dapat mempengaruhi setiap perbuatan manusia”.18
Implementasi akhlak dalam Islam terdapat pada pribadi Rasulullah Saw. Dalam pribadi
Rasul, bersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung. Al-Qur‟an dalam Q.S Al-Ahzab
ayat 21 menyatakan :
13
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 5
14
Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi
Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h. 30
15
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.1
16
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf , (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 4
17
Ensiklopedi Al-Qur‟an Tematis Jilid 3, (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2006 ), h. 11
18
Mahjuddin, op. cit, h. 3

6
‫ُوا ٱهَّلل َ َو ْٱل َي ْو َم ٱ ْل َءاخ َِر َو َذ َك َر ٱهَّلل َ َك ِثيرً ا‬ َ ‫ُول ٱهَّلل ِ أُسْ َوةٌ َح َس َن ٌة لِّ َمن َك‬
۟ ‫ان َيرْ ج‬ َ ‫لَّ َق ْد َك‬
ِ ‫ان لَ ُك ْم فِى َرس‬

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan yang banyak mengingat Allah”.19
Demikian juga misi diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan
akhlak manusia. Rasulullah Saw bersabda:

”Sungguh aku diutus menjadi (Rasul) untuk menyempurnakan akhlak yang baik” (H.R.
Imam Baihaqi).20

Hadis tersebut menggambarkan bahwa yang menjadi tolak ukur dalam pembentukan
karakter mulia adalah kita harus mencontoh atau meneladani karakter Nabi Muhammad Saw
yang memiliki karakter yang sempurna. Karakter atau tabiat manusia merupakan
kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan
tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter biasanya erat hubungannya
dengan personalitas (kepribadian) seseorang.21 Karakter adalah watak, sifat-sifat kejiwaan,
akhlak yang membedakan seseorang dengan orang lain.22

Pendidikan karakter bukan hanya berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan individu
secara akademik dan moral. Pendidikan karakter, jika dilaksanakan dengan baik, akan dapat
membantu individu agar dapat menjalani hidup lebih bahagia dan bermakna. Kebermaknaan
individu akan hidupnya ini dapat meningkatkan perbaikan dan memberikan kemajuan bagi
masyarakat secara keseluruhan.23

19
Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid VII h. 638
20
Aḥmad Ibnu al Ḥusaīn Ibnu „Alī Abū Bakar al Baīhaqī, Sunan al Baīhaqī al-Kubra, Juz 51 bab
Kesempurnaan Akhlak dan Keutamaannya No. Hadis 21301 (Makkah: Maktabah Dār Bāz, 1994 ), h. 472
21
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 52
22
Saliman, Kamus Pendidikan Pengajaran Dan Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 116
23
Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015), h. 24

7
Selain itu, pendidikan karakter tidak sekedar memberikan pengertian atau definisi-
definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak,
kepribadian dan keadaan batin manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan
terpuji.24
Oleh karenanya, melalui pendidikan karakter diharapkan dapat melahirkan manusia yang
memiliki kebebasan menentukan pilihannya tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab.
Yaitu manusia-manusia merdeka, dinamis, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab, baik
terhadap Tuhan, manusia, masyarakat, maupun dirinya sendiri.
Salah satu kelemahan pendidikan karakter saat ini yaitu ada yang belum mengetahui dan
memahami adanya pendidikan karakter, dan belum memiliki karakter yang baik. Contohnya,
cara berpakaian dan sikap kurang sopan kepada guru ketika proses pembelajaran. Contoh
tersebut menunjukkan karakter yang kurang baik. Contoh lain adalah ketika proses
pembelajaran berlangsung, ada yang asyik dengan dunianya sendiri (bermain HP), asyik
bersenda gurai dengan teman lainnya, kuranganya kedisiplinan, kejujuran, dan rasa
tanggung jawab sebagai peserta didik.
Kemudian di tinjau dari peserta didik, masih adanya siswa yang belum sepenuhnya
melaksanakan peraturan sekolah, contohya dalam ranah afektif, mengerjakan sholat dengan
kesadaran masih adanya siswa belum sadar melaksanakan sholat dhuha, hormat dan patuh
kepada Orang Tua dan Guru, Bahkan dalam aktifitas saat didalam kelas masih harus
dibimbing dan setiap kelas mempunyai guru kelas gunanya mengontrol aktifitas peserta
didik didalam kelas dan diluar jam belajar.

Berdasarkan wacana permasalahan tersebut, maka sebagai pendidik harus lebih berperan
aktif dalam membina karakter peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik
dengan menanamkan nilai-nilai sosial keagamaan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Adapun upaya penanaman karakter kepada peserta didik bermula pada kesadaran
(awareness), pemahaman (understanding), kepedulian (concern) dan komitmen
(Commitment), menuju tindakan. Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan karakter di
sekolah sangat bergantung pada ada tidaknya kesadaran, pemahaman, kepedulian, dan

24
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja oleh Grafindo Persada, 2012), h. 165

8
komitment dari semua warga sekolah terhadap penyelenggaraan pendidikan karakter
tersebut”
Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi
pemikiran (spontan) karena sudah tertanam dalam pikiran sehingga melahirkan perbuatan
yang bernilai baik terhadap Tuhan, maupun manusia. Dengan demikian, pendidikan akhlak
bisa dikatakan pendidikan karakter dalam tinjauan pendidikan Islam.
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa “Pendidikan akhlak adalah ruhnya
dalam pendidikan Islam, dimana para ulama Islam telah sepakat bahwa pendidikan akhlak
adalah ruhnya pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak yang sempurna itulah yang
menjadi tujuan yang sebenarnya dari pendidikan”.25
Tujuan tertinggi pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku
manusia. Karakter positif ini bersumber dari penghayatan dan pengamalan ajaran Allah
SWT dalam rutinitas kehidupan manusia. Keduanya membutuhkan tindakan nyata sebagai
ekspresi nilai personal yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai spiritualitas, agama, bahkan
budaya.26
Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi pembentukan karakter
(character building) sehingga melahirkan peserta didik yang dapat berpartisipasi dalam
mengisi pembangunan dan berperan sebagai agent of change di masa sekarang dan masa
yang akan datang tanpa mengabaikan ajaran agama dan meninggalkan karakter mulia.

Konsep pembangunan pendidikan karakter ini pada dasarnya telah jatuh terpikirkan oleh
KH. Hasyim Asy’ari. Menurut beliau bahwa tujuan pendidikan pada setiap manusia adalah
untuk menjadi insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.27 Berdasarkan tujuan di atas, konsep
pendidikan KH. Hasyim Asy’ari pada intinya adalah beribadah kepada Allah SWT. Hal itu
karena dalam kitab Adab al- Alim wa al- Muta’alim KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan nilai
etis moral harus menjadi desain besar orang hidup di dunia. Melalui kitab tersebut, Hasyim
Asy’ari menjelaskan seorang pencari ilmu mengejawantahkan ilmunya dalam kehidupan

25
Musli, Metode Pendidikan Akhlak Bagi Anak, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011, h. 217
26
Mochamad Ziaulhaq, Sekolah Berbasis Nilai, (Bandung: Ihsan Press, 2015), h.18
27
Muhammad Rifai, K. H. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta: Ar- Ruzz Media Group, 2010), hal 85-86

9
kesehariannya dengan perilaku seperti hidup tawakkal, wara’, beramal dengan mengharap
ridha Allah semesta bersyukur dan sebagainya.
Pada akhirnya, jika nilai-nilai itu sudah menyatu dalam jiwa anak didik maka sikap
optimis, serta mampu memaksimalkan seluruh potensi yang ada secara positif, kreatif,
dinamis dan produktif niscaya dapat terwujud. Sehingga dapat dikatakan inti dari pemikiran
pendidikan beliau adalah bagaimana menciptakan ruh manusia yang produktif dan dinamis
pada jalan yang benar.
Dalam kaitannya dengan etika pendidikam, KH. Hasyim Asy’ari seorang tokoh, ahli dam
praktisi pendidikan di Indonesia mengarang sebuah kitab yang berjudul Adab al- Alim wa
al- Muta’alim. Kitab ini secara khusus membahas dengan cukup rinci tentang etika seorang
pendidik (’alim) dan etika seorang anak didik (muta’alim). Kitab ini disusun pada tahun
1923 M/ 1343 H ketika telah mulai tampak perubahan-perubahan yang membawa efek
negative dalam pendidikan terutama dampaknya pada masalah akhlak. Pendidik harus
menyadari bahwa masalah etika menjadi kajian yang cukup serius karena dewasa ini dunia
pendidikan banyak terkotaminasi oleh pembaruan nilai-nilai (akulturasi system nilai dan
budaya) yang semakin terbuka dan sulit dibendung. Karena penguatan etika atau moral
adalah sarana untuk menuju karakter manusia yang diinginkan.
Sejalan dengan konsep pendidikan karakter yang dibangun oleh KH, Hayim Asy’ari
tersebut terdapat pula konsep pendidikan karakter yang di tawarkan oleh bapak bangsa Ki
Hadjar Dewantara. Dimana konsep tersebut ia implementasikan dalam pengajaran di Taman
Siswa. Bahwa perwujudan seseorang yanh dikatakan sebagai manuisa adalah manakala ia
menunjukan kecerdasan budi dan keluhuran akhlak. Manusia yang berkarakter (berbudi
pekerti) senantiasa memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar nilai yang baik dalam
bertindak.28
Secara umum nilai-nilai pendidikan karakter beliau telah menjadi cerminan di berbagai
isi Undang-undang Pendidikan Nasional. Dan terutama tujuan pendidikan nasional yang
tertuang dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003. Meskipun tidak disebutkan secara
spesifik namun ruh dari undang-undang tersebut mengadopsi dari konsep pemikiran
pendidikan karakter Ki Hadjar Dewantara. Sehingga bisa dikatakan konsep pendidikan
karakter kita terinternalisasi dengan konsep yang beliau bangun.
28
Ki Hadjar Dewantara, Karya Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tmana
Siswa, 1977), hal 24

10
Sebagai contoh, salah satu ajaran system among yang dilakukan oleh pendidik dalam
penerapan nilai-nilai pendidikan pada anak didik. Konsep itu populer dikalangan masyarakat
dengan sebutan antara lain; Ing Ngarso Sun Tolodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri
Handayani.
a. Ing Ngarso Sun Tolodo adalah: (Di depan memberikan keteladanan)
Sebagai orang tua, guru atau pemimpin sebuah organisasi macam apapun anak-anak
murid dan para bawahan akan memperhatikan tingkah laku orang tua, guru dan
pimpinanya.
b. Ing Madya Mangun Karso adalah: (Di pertengahan memberi semangat)
Dalam pergaulan sehari-hari ketika melihat anak-anak, murid atau bawahan mulai
mandiri, mejalankan hal yang benar, mereka wajib di beri dorongan, di beri semangat.
Kepedulian terhadap perkembangan anak, murid dan bawahan di wujudkan dengan
memberi dorongan kepada mereka untuk menjalankan hal yang benar, seorang anak,
murid dan bawahan perlu di beri semangat dalam menjalankan kewajibannya.
c. Tut Wuri Handayani adalah: (Dibelakang Memberi Dukungan)
Anak-anak, murid atau bawahan yang mulai percaya diri perlu didorong untuk berada di
depan. Orang tua, guru dan pimpinan perlu memberi dukungan dari belakang.

Berangkat dari latar belakang, problematika yang terjadi itu, maka dalam konteks ini
kiranya muenurut peneliti, dua tokoh ilmuan tersebut sangat menarik untuk dibahas tentang
pemikiran dan konsep pendidikan karakter, yaitu KH. Hasyim Asy’ari yang concern
disbanding pendidikan Islam dan Ki Hadjar Dewantara sebagi tokoh pendidikan yang
beraliran nasionalis. Keduanya bisa dinyatakan sebagai seorang pakar dan sekaligus praktisi
pendidikan di Negeri ini, gagasan-gagasan, analisis, karya, seringkali mendapat respon
positif bagi kemajuan pendidikan, diharapkan konsep pendidikan karakter mereka berdua
mampu membawa perubahan karakter anak didik dan masyarakat pada umumnya untuk
lebih baik lagi. Untuk itu peneliti mengangkat penelitian ini dengan judul “Studi
Komparasi KH. Hasyim Asy’ari dan Ki Hadjar Dewantara Tentang Pendidikan
Karakter”.

11
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, beberapa masalah
mendasar dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Banyaknya guru yang masih hanya menerapkan sistem pengajaran, namun tidak
dibarengi dengan pendidikan
2. Banyaknya guru yang belum mengetahui konsep pendidikan yang dicetuskan oleh tokoh
pendidik dan tokoh agama di Indonesia, seperti KH. Hasyim Asy’ari dan Ki Hajar
Dewantara.
3. Kurangnya peran guru dalam mendidik, karena lebih mengedepankan aspek pengajaran.
4. Integrasi pengetahuan agama dan pengetahuan umum belum memberikan dampak postifif
yang signifikan bagi peserta didik.
5. Minimnya percontohan karakter pendidik bagi peserta didik.
C. Batasan Masalah
Agar permasalahan yang berkenaan dengan judul di atas tidak melebar, maka dalam
pembahasannya penulis membatasi pada hal-hal ini sebagai berikut :
1. Konsep pendidikan karakter yang dimaksud adalah pendidikan karakter menurut KH.
Hasyim Asy’ari san Ki Hadjar Dewantara.
2. Komponen dalam pendidikan karakter KH. Hasyim Asy’ari dan Ki Hadjar Dewantara
meliputi; katakter pendidik, katakter anak didik dan metode pendidikan karakter, dan
strategi pendidik dalam menanamkan nilai-nilai karakter.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, secara sederhana dapat dirumuskan inti
permasalahan yang menjadi dasar pembahasan utama penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan
karakter?
2. Bagamana persamaan dan perbedaan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Ki Hadjar
Dewantara tentang pendidikan karakter?
3. Bagaimana relevansi pemikiran dan konsep pendidikan karakter KH. Hasyim Asy’ari dan
Ki Hadjar Dewantara?
E. Tujuan Penelitian

12
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian atau penulisan karya ilmiah ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Ki Hadjar Dewantara tentang
pendidikan karakter
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Ki
Hadjar Dewantara tentang pendidikan karakter
3. Untuk mengetahui relevansi pemikiran dan konsep pendidikan karakter KH. Hasyim
Asy’ari dan Ki Hadjar Dewantara
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti, menemukan dam menambah pemahaman tentang pemikiran KH. Hasyim
Asy‟ari dan Ki Hadjar Dewantara terkait pendidikan karakter.
2. Bagi civitas akademik, untuk memperluas khazanah keilmuan dalam dunia pendidikan,
terutama dalam pendidikan karakter.
3. Bagi masyarakat, untuk menambah literature dan bahan bacaan, sehingga masyarakat bisa
mengambil pelajaran positif dari pemikiran kedua tokoh ini.

G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian yang tergolong penelitian
kepustakaan atau library research, karena semua data yang penulis ambil atau gali dan di teliti
adalah bersumber dari pustaka.29 Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif,
dan metode yang digunakan Metode Deskriptif. Yaitu penelitian yang bermaksud
menggambarkan tentang suatu variabel, gejala atau keadaan “apa adanya”, dan tidak
dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu.30 Ditunjang oleh data-data yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan (library research). Karena permasalahan yang akan diteliti
29
Masnur Muslich, Bagaimana Menulis Skripsi, (Jakarta: Bumi Aksara), h. 50
30
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), Cet. 10, h. 234

13
mengkaji sejarah maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan
tulisan ini.

H. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian

Penelitian yang berjudul “Studi Komparasi KH. Hasyim Asy’ari dan Ki Hadjar
Dewantara Tentang Pendidikan Karakter”. Penulis melakukan penelitian dari bulan Oktober
2021, dengan melakukan pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh
dari teks book yang ada di perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian,
terutama yang berkaitan dengan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Ki Hadjar Dewantara
tentang pendidikan karakter.

I. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data


1. Teknik pengumpulan data

Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang mengungkapkan dan
menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-
tulisan dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan,
misalnya berupa buku-buku, majalah, naskah, catatan kisah sejarah; surat kabar, internet dan
sumber lain, yang berhubungan dengan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Ki Hadjar
Dewantara. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan
bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder atau sumber
sekunder lainnya

2. Teknik pengolahan data

Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca,
mempelajari, meneliti, menyeleksi, dan mengklasifikasi data-data yang relevan dan yang
mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu
pembahasan yang utuh.

J. Analisis Data

14
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content analysis), dan
dengan menggunakan bentuk deskriptif yaitu berupa catatan informasi faktual yang
menggambarkan segala sesuatu apa adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan
akurat terhadap berbagai deminsi yang terkait dengan semua aspek yang diteliti. Maka, di sini
penulis menggambarkan permasalahan yang dibahas dengan mengambil materi-materi yang
relevan dengan permasalahan, kemudian dianalisis, dipadukan, sehingga dihasilkan suatu
kesimpulan.

K. Teknik Penulisan

Secara teknik, penulisan yang dipakai untuk menyusun tesis ini merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Tesis Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Raden Intan Lampung Tahun 2021

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu, “pedagogia”, atau “peadgogos” yang
berarti pembimbing anak, atau seseorang yang tugasnya membimbing anak dalam
pertumbuhannya ke arah kemandirian dan sikap tanggung jawab.31 Pendidikan berasal dari
kata “didik” yang artinya memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan
kecerdasan pikiran. Mendapat awalan “pen” dan akhiran “an” yang berarti proses

31
Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 3

15
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.32
Dari pengertian di atas, pendidikan pada dasarnya adalah proses membimbing,
mengarahkan dan memberi latihan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam rangka
memelihara dan menumbuhkembangkan kemandirian, kecerdasan pikiran, serta sikap yang
baik dalam pertumbuhan ke arah kedewasaan.
Sedangkan dalam konteks Islam pendidikan dikenal dengan tiga istilah, yaitu al-tarbiyah,
al-ta‟lim, dan al-ta‟dib. Istilah “tarbiyah” (‫ )تربية‬dari kata ( ‫)رب‬
ؐ mengandung arti
mengasuh, memelihara, memperbaiki, dan menumbuh kembangkan dengan penuh kasih
ؐ
sayang. Pengertian “ta‟lim” (‫ )تعليم‬dari kata kerja (‫)علم‬ yang berarti pengajaran,
pengarahan, dan pendidikan. Dan “ta‟dib” (‫ ) تعدب‬dari kata (‫ ) أدب‬yang berarti pendidikan,
kepatuhan, sopan santun.33
Makna al-tarbiyah atau pendidikan adalah istilah yang berkaitan dengan usaha
menumbuhkan atau menggali segenap potensi fisik, psikis, bakat, minat, talenta dan
berbagai kecakapan lainnya yang dimiliki manusia, atau mengaktualisasikan berbagai
potensi manusia yang terpendam, kemudian mengembangkannya dengan cara merawat dan
memupuknya dengan penuh kasih sayang. Yang di dalam proses tersebut terdapat unsur
pendidik, peserta didik, dan unsur caranya.34

Kata al-ta‟lim banyak dijumpai di dalam al-Qur‟an, dan umumnya diartikan dengan
pengajaran atau mengajar. Menurut Quraish Shihab sebagaimana yang dikutip oleh
Abuddin Nata mengartikan kata yu‟allimu dengan artian mengajar yang tidak lain kecuali
hanya mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam
metafisika serta fisik. Kata al-ta‟lim ini termasuk yang paling popular dan banyak
digunakan di Indonesia untuk kegiatan pendidikan non formal, seperti pada kegiatan
majelis ta‟lim

32
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2012), h. 326
33
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2010), h. 8-14
34
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 19 5

16
Sedangkan kata al-ta‟dib merupakan kegiatan pendidikan sebagai sarana tranformasi
nilai-nilai akhlak mulia yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri manusia, serta
menjadi dasar bagi terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan.35
Ketiga istilah tersebut jelas dipahami bahwa pendidikan adalah upaya yang dilakukan
pendidik dalam rangka menumbuhkembangkan potensi peserta didik baik jasmani maupun
rohani melalui serangkaian proses bimbingan dan arahan agar pesera didik menjadi
individu yang lebih baik.
Islam sangat memberikan perhatian yang sangat besar kepada kegiatan pendidikan. Islam
memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi siapa saja yang
menumbuhkembangkan fungsi akal melalui berbagai proses belajar mengajar, mendidik
dan mencerahkan. Bahkan wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah Saw adalah
perintah untuk membaca (iqra’) yang terdapat dalam Q.S. al- Alaq (ayat 1-5).36
Dan Allah akan mengangkat seorang mencapai derajat yang setinggitingginya karena
menguasai ilmu. Bagi mereka yang berilmu dan menggunakan ilmunya untuk menegakkan
kalimat Allah akan mencapai derajat yang paling tinggi di sisi Allah.
۟ ‫وا فَٱن ُش ُز‬
۟ ‫يل ٱن ُش ُز‬ |۟ ‫س فَٱ ْف َسح‬ ۟ ۟ ٓ
‫وا‬ َ ِ‫ح ٱهَّلل ُ لَ ُك ْم ۖ َوإِ َذا ق‬
ِ ‫ُوا يَ ْف َس‬ ِ ِ‫ٰيَأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓوا إِ َذا قِي َل لَ ُك ْم تَفَ َّسحُوا فِى ْٱل َم ٰ َجل‬
۟ ُ‫وا ِمن ُك ْم َوٱلَّ ِذينَ أُوت‬
ٍ ‫وا ْٱل ِع ْل َم َد َر ٰ َج‬
‫ت ۚ َوٱهَّلل ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ خَ بِي ٌر‬ ۟ ُ‫يَرْ فَع ٱهَّلل ُ ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ ِ
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: Berlapanglapanglah
dalam majlis, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu, dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscahaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Mujadilah :
11)37
Selanjutnya pengertian pendidikan menurut Drikarya yang mengungkapkan bahwa
pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf
insani itulah yang disebut mendidik. Ahmad D. Marimba, mengartikan pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.38
35
Ibid., h. 20
36
Shobahussurur, Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka, Jurnal TAQAFAH, vol.5, No.1,
Jumadal ula,1430, h.79
37
Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid X h. 22
38
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.3

17
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan menuntun segala kodrat yang
terdapat dalam diri anak sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat agar dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. 39 Pengertian ketiganya
mengenai pendidikan lebih ditekankan pada proses bimbingan individu menuju pada
pembentukan karakter atau kepribadian menjadi manusia yang seutuhnya.
Pendidikan yang dirumuskan dalam Sistem Pendidikan Nasional merupakan upaya yang
terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar tumbuh
berkembang menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan
berkarakter mulia. Bahwa dalam hal ini, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.40
Dalam buku Higher Education for American Democracy, Education is an institution of
civilized society, but the purpose of education are not the same in all societies. Pendidikan
merupakan suatu lembaga dalam tiaptiap masyarakat yang beradab, tetapi tujuan pendidikan
tidaklah sama dalam setiap masyarakat.41
Oleh karenanya, pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan secara sadar berupa
pembinaan, pengajaran pikiran dan jasmani anak didik berlangsung sepanjang hayat untuk
meningkatkan kepribadiannya, agar dapat menjalankan peranan dalam lingkungan masyarakat
secara tepat sesuai dengan kondisinya.
Pendidikan pada umumnya menghasilkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai-
nilai sikap yang lumrah dapat dikategorikan menjadi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pendidikan yang merupakan proses mendidik, dalam hal ini tidak hanya pada ranah kognitif
(mentransfer pengetahuan), akan tetapi mendidik berarti mempersiapkan sumber daya
manusia yang unggul lahir batin yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
luhur kehidupan sehingga menjalankan peran manusia sebagaimana mestinya.42
Jadi, upaya yang dilakukan secara sadar dalam rangka pengajaran, bimbingan, pelatihan,
dan penanaman nilai-nilai luhur pada diri anak dengan tujuan mempersiapkan mereka sebagai

39
Darwyn Syah, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Gaung Persada Press,
2007), h. 3
40
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 3
41
Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 21
42
Tafsir Al-Qur‟an Tematik Jilid 8, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alqur‟an, 2014), h. 3

18
sumber daya manusia unggul untuk dapat menjalankan kehidupan yang lebih baik di masa
sekarang dan masa yang akan datang. Itulah yang dinamakan dengan pendidikan.
2. Tujuan Pendidikan

Tujuan merupakan komponen utama yang terlebih dahulu harus dirumuskan, peranan
tujuan sangat penting sebab menentukan arah proses pendidikan. Tidak ada tujuan di luar
proses pendidikan yang memberi makna bahwa pendidikan adalah sepanjang hayat.43
John Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah mengembangkan seluruh
potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi secara individual dan
sebagai anggota masyarakat melalui penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang
bersifat aktif.44 Maksudnya dengan pendidikan yang dimiliki oleh peserta didik bertujuan
untuk menjalankan perannya sebagai individual dan anggota masyarakat sesuai yang
diharapkan.
Muhammad al-Toumy al-Syaibany mengatakan bahwa hubungan antara tujuan dan
nilai-nilai amat berkaitan erat, karena tujuan pendidikan merupakan masalah itu sendiri.
Pendidikan mengandung pilihan kemana arah perkembangan murid-murid akan diarahkan.
Nilai-nilai yang dipilih sebagai pengarah dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada
akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina melalui pendidikan.45

Tujuan pendidikan pada umumnya adalah membentuk kepribadian yang utama sesuai
dengan cita-cita dan falsafah hidup suatu bangsa. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.46
Sedangkan tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian anak didik
yang kuat jasmani, rohani dan nafsaninya (jiwa) yakni kepribadian muslim yang dewasa.

43
Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 7
44
Sukardjo, Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Rajawali Press,
2012), h. 14
45
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2001), h.47
46
Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama,
2004), h.4

19
47
Sesuai dengan bimbingan yang dilakukan oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani peserta didik menuju kedewasaan.
Pada hakikatnya pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada penguasaan
kompetensi yang bersifat kognitif, tetapi yang lebih penting adalah pencapaian pada aspek
afektif. Hasil dari pendidikan Islam adalah sikap dan perilaku (karakter) peserta didik sehari-
hari yang sejalan dengan ajaran Islam.48
Abdurrahman Saleh Abdullah dalam buku Educational Theory A Qur‟anic Outlook,
sebagaimana yang dikutip oleh Heri Gunawan, menyatakan bahwa tujuan pendidikan harus
meliputi empat aspek, yang meliputi :
a. Tujuan jasmani (ahdaf al-jismiyah). Bahwa proses pendidikan ditujukan dalam rangka
mempersiapkan diri manusia sebagai pengemban tugas khalifah fi al-ardh, melalui
keterampilan fisik.
b. Tujuan rohani dan agama (ahdaf al-ruhaniyah wa ahdaf aldiniyah). Bahwa proses
pendidikan ditujukkan dalam rangka meningkatkan pribadi manusia dari kesetiaan yang
hanya kepada Allah semata, dan melaksanakan akhlak qurani yang diteladani oleh Nabi
Saw sebagai perwujudan perilaku keagamaan.
c. Tujuan intelektual (ahdaf al-aqliyah). Bahwa proses pendidikan ditujukan dalam rangka
mengarahkan potensi intelektual manusia untuk menemukan kebenaran dan sebab-
sebabnya dengan menelaah ayat-ayat-Nya yang membawa kepada perasaan keimanan
kepada Allah.
d. Tujuan sosial (ahdaf al-ijtimayyah). Proses pendidikan ditujukan dalam rangka
pembentukan kepribadian yang utuh. Pribadi yang tercermin sebagai al-nas yang hidup
pada masyarakat plural.49
Terkait dengan keempat aspek yang harus diperhatikan dalam menyusun tujuan
pendidikan sebagaimana disebut di atas, memiliki artian bahwa pendidikan tidak saja
mengarahkan pada pengembangan potensi intelektual, tetapi lebih dari itu perlu keseimbangan
antara terpenuhinya kebutuhan jasmani, kerohaniaan, dan sosial peserta didik. Dalam hal ini,
pendidikan harus mengacu pada ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik.
3. Pendidik
47
Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana Media Grup, 2014), h. 167
48
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 13
49
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2014), h. 11

20
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan
kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai
kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah.50 Dalam hal ini,
pendidik sebagai pelaksana pendidikan dengan sasarannya adalah peserta didik. Mempunyai
peran dan tanggung jawab dan pada umumnya ditujukan untuk orang tua, guru, dan pelatih.51
Dari uraian di atas, bahwa pendidik adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak, baik jasmani dan rohaninya dalam memberikan bimbingan menuju
kedewasaannya.
Abuddin Nata menyebutkan pendidik secara fungsional menunjukan kepada seseorang
yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, keterampilan, pendidikan,
pengalaman dan sebagainya.52
Sutari Imam Barnadib mengemukakan bahwa pendidik ialah tiap orang yang dengan
sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan, pendidik diantaranya adalah
orang tua, dan orang dewasa lain yang bertanggung jawab tentang kedewasaan anak.53
Menurut Langeveld, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pendidikan
atau kedewasaan seorang anak. Yang disebut pendidik karena adanya peranan dan tanggung
jawab dalam mendidik seorang anak.54
Dari pengertian ketiga ahli tersebut, dipahami bahwa pendidik ialah orang yang
bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai
tingkat kedewasaan sehingga ia mampu melaksanakan tugas-tugas kemanusiaannya. Oleh
karena itu, pendidik bukan saja guru yang bertugas di sekolah, melainkan semua orang yang
terlibat dalam proses pendidikan mulai sejak kecil sampai ia dewasa terutama orang tua.
Dalam perspektif Islam, pendidik menempati posisi penting dalam proses pendidikan.
Dialah yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Potensi kognitif, afektif,
dan psikomotorik yang terdapat pada anak didik harus diperhatikan perkembangannya agar
tujuan pendidikan dapat tercapai seperti yang diharapkan sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam.55

50
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 65
51
Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 25
52
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h.62
53
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 81
54
Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1998), h. 10
55
Abuddin Nata, Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 205

21
Pendidik menurut Islam bukanlah sekedar pembimbing melainkan juga figur teladan
yang memiliki karakteristik baik, sedang hal itu belum tentu terdapat dalam diri pembimbing.
Dengan begitu, pendidik muslim haruslah aktif dari dua arah. Secara eksternal dengan jalan
mengarahkan atau membimbing peserta didik dan secara internal dengan jalan
menginternalisasikan karakteristik akhlak mulia.56
Mendidik yang merupakan peran dari seorang guru mempunyai tugas dan fungsi yang
terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah jalur formal.57
Sejalan dengan tugas yang harus diemban oleh pendidik yang dimaksudkan dalam
undang-undang tersebut, maka yang dinamakan pendidik adalah orang yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan peserta didik baik dalam kegiatan pendidikan, pengajaran dan
menginternalisasikan nilai-nilai luhur atau karakter mulia dari pendidikan anak usia dini
hingga menengah melalui jalur formal maupun informal.

4. Peserta Didik

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan baik pendidikan formal maupun informal,
pada jenjang pendidikan dan jenis pendidikan tertentu. 58 Peserta didik berstatus sebagai subjek
didik karena ia pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya, yang ingin
mengembangkan diri secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah dalam
kehidupannya.59
Dari keterangan tersebut, peserta didik selain sebagai anggota masyarakat juga merupakan
subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain secara

56
Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 112
57
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, h.2
58
Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama,
2004), h. 5
59
Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 25

22
berkesinambungan dalam proses pengembangan potensi diri yang dimiliki, baik pada jalur
pendidikan formal maupun informal.
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa
dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Disini
peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang
belum mencapai taraf kematangan, baik bentuk, ukuran maupun keseimbangan pada bagian
lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan dan pikiran yang
dinamis dan perlu dikembangkan.60
Melalui paradigma di atas, jelas bahwa aktivitas pendidikan tidak akan terlaksana tanpa
keterlibatan peserta didik di dalamnya. Dengan demikian, untuk mengarahkan tujuan
pendidikan dan merancang kurikulum keadaan mereka harus menjadi perhatian utama.
Selanjutnya, menurut Asma Hasan Fahmi yang dikutip oleh Isnawati, bahwa tugas dan
kewajiban peserta didik ialah :
a. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Hal ini
disebabkan karena belajar adalah ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan hati yang
bersih
b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan
c. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat
d. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya
e. Peserta didik hendaknya belajar dengan sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.61
Berdasarkan hal tersebut unsur yang paling penting pada diri peserta didik ialah harus
meluruskan niat terlebih dahulu, karenanya menuntut ilmu adalah sebuah ibadah yang
memerlukan hati yang bersih. Peserta didik diberikan kebebasan untuk mengembangkan
potensi diri dan mencari pengetahuan dari berbagai sumber sesuai dengan kebutuhannya.
B. Konsep Karakter
1. Pengertian Karakter

60
Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 47
61
Isnawati. skripsi, Studi Komparasi Pemikiran Hasan Al-Banna dan Ahmad Dahlan Tentang Konsep
Pendidikan Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h.20

23
Istilah karakter berasal dari charaassein bahasa Latin yang berarti “dipahat atau diukir”. 62
Membentuk karakter diibaratkan mengukir di atas permukaan besi yang keras. Dalam kamus
psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya
kejujuran seseorang, dan biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.63
Kata karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan sifatsifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan sesorang dengan yang lain. 64 Dalam bahasa
Inggris diterjemahkan menjadi character yang berarti, tabiat, budi pekerti, watak.65 Secara
istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya yang bergantung pada faktor
kehidupannya sendiri.66
Dapat dikatakan bahwa karakter adalah nilai-nilai yang baik yang terpatri dalam diri
manusia dan diimplementasikan dalam perilaku keseharian. Karakter dimaknai sebagai cara
berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter tidak diwariskan, tetapi
sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan
perbuatan.67
Character is the sum of all the qualities that make you who you are. It‟s your values,
your thoughts, your words, and your action” (Karakter adalah keseluruhan nilai-nilai,
pemikiran, perkataaan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang).
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.68
Terkait pengertian karakter ada beberapa ahli yang memiliki berbagai pemahaman.
Mereka memberikan pemaknaan karakter sesuai dengan pendekatan yang dilakukan oleh ahli
tersebut. Sudewo menyatakan bahwa karakter merupakan kumpulan dari tingkah laku baik
dari seorang anak manusia. Tingkah laku ini merupakan perwujudan dari kesadaran
62
Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Inrenalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Diva
Press, 2013), h. 27
63
Ibid., h.28
64
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2012) h, 623
65
Jhon M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),
h.107
66
Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta: , Ar-
Ruzz Media, 2012), h. 20
67
Muchlas Samani, Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2011), 41
68
Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), h. 120

24
menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya mengembangkan amanah dan tanggung jawab.69
Adiwimarta mengartikan karakter sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan lainnya.70
Dalam hal ini Sudewo lebih menekankan pengertian karakter pada perwujudan perilaku
baik manusia yang bersumber dari kesadaran menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
dalam kehidupan. Simon Philips mengungkapkan karakter adalah kumpulan tata nilai yang
menuju pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan.
Berbeda dengan Doni Kusuma yang mengartikan karakter adalah kepribadian yang
dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari berbagai bentukan yang diterima dari lingkungan. Misalnya, lingkungan
keluarga.71
Adapun istilah karakter dalam pandangan Islam menurut Quraish Shihab dinamai rusyd.
Ia bukan hanya nalar, tetapi gabungan antara nalar, kesadaran moral, dan kesucian jiwa. Ia
terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang. Karakter dibangun oleh pengetahuan,
pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman tersebut. Karakter terpuji merupakan hasil
internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan
perilaku positif. Karena ia erat kaitannya dengan kalbu.72
Seperti yang diungkapkan oleh Abdul Majid Karakter merupakan sesuatu yang
mengkualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi indentitas yang mengatasi pengalaman
kontigen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi
diukur.73
Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa karakter merupakan tingkah laku
yang dilandasi dengan sifat yang melekat pada diri peserta didik. Karakter dibentuk oleh
pribadi seseorang sesuai dengan perilakunya.
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual
dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam hal ini agar
generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati, memahami, mengamalkan
69
Husaini, Pembinaan Pendidikan Karakter, Jurnal kependidikan dan keIslaman, Vol. XXI, No. 1 Januari-
Juni 2014, h.77
70
Jafar Anwar, Op. cit, h. 21
71
M. Najib, Novan Ardhy Wiyani, Manajemen Strategik Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia Dini,
(Yogyakarta: Gava Media,2016), h. 59
72
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 714
73
Abdul Majid, Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya,
2012), h.8

25
nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman,
pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang melatar belakangi nilai-nilai dan
norma-norma hidup dan kehidupan.74

Seperti yang diungkapkan oleh Hamdani Hamid menyatakan “Bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, tempramen, watak.” Adapun
karakter adalah kepribadian, berprilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak.75
Pendidikan karakter di sekolah secara sederhana bisa didefinisikan sebagai,
“pemahaman, perawatan, dan pelaksanaan keutaman (practice of virtue). Oleh karena itu,
pendidikan karakter di sekolah mengacu pada proses penanaman nilai, berupa
pemahamanpemahaman, tata cara merawat dan menghidupi nilai-nilai itu, serta
bagaimana seorang siswa memiliki kesempatan untuk dapat melatihkan nilai-nilai
tersebut secara nyata.76

Berdasarkan pendapat di atas mengenai pengertian Pendidikan karakter bukan hanya


terletak pada materi pembelajaran melainkan pada aktivitas yang melekat, mengiringi, dan
menyertainya (suasana yang mewarnai, tercermin dan melingkupi proses pembelajaran
pembiasaan sikap dan perilaku yang baik). Pendidikan karakter tidak berbasis hanya pada
materi saja, tetapi pada kegiatan.
Karakater dan akhlaq tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan
sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam
pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat disebut dengan kebiasaan. Apabila peserta
didik berperilaku tidak jujur, tentu orang tersebut telah memanifestasikan perilaku buruk.
Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, tentu orang tersebut memanifestasikan
perilaku mulia. Seseorang yang berkarakterapa bila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Kita
berharap dengan diadakannya pendidikan karakter, semoga pendidikan di indonesia pendidik
dan peserta didik karakter baik, berakhlak mulia, tidak ada lagi korupsi dan tindakan-tindakan
kekerasan yang melawan hukum dan norma-norma yang ada dinegara kita.
Dalam terminologi psikologi, karakter (character) adalah watak, perangai, sifat dasar
yang khas, tetap, dan bisa dijadikan ciri untuk mengidentifikasi seorang pribadi.77 Pada
dasarnya karakter tidak dapat dikembangkan secara cepat dan segera (instan) semuanya harus

74
Masnur Muslich, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Pt Bumi Aksara, 2011), h. 67
75
Hamdani Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Cv. Pustaka
Setia, 2013), h. 30
76
Doni Koesoema Albertus, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Pt Grasindo, 2011), h. 192- 193
77
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 61

26
melewati proses yang panjang, cermat, dan sistematis. Pendidikan karakter harus dilakukan
berdasarkan tahap-tahap perkembangan anak usia dini sampai dewasa.78
Karakter merupakan sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya.
Apa yang seorang pikirkan dan perbuat sebenarnya merupakan dorongan dari karakter yang
ada padanya. Dengan adanya karakter (watak, sifat, tabiat, ataupun perangai) seseorang dapat
memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap fenomena yang muncul dalam diri ataupun
hubungan dengan orang lain, dalam berbagai keadaan serta bagaimana mengendalikannya.79
Ahli pendidikan dasar Marlene Lockheed menjelaskan terdapat empat tahap pendidikan
karakter yang perlu dilakukan, yang meliputi, tahap pembiasaan, sebagai awal perkembangan
karakter anak. tahap pemahaman dan penalaran terhadadap nilai, sikap, perilaku dan karakter
siswa tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan seharihari. Dan
selanjutnya tahap pemaknaan, yaitu suatu tahap refleksi dari para siswa melalui penilaian
terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka pahami dan lakukan dan bagaimana
dampak dan manfaatnya dalam kehidupan.80
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas moral atau budi
pekerti individu yang merupakan ciri khas yang membedakan dengan lainnya dan menjadi
pendorong untuk melakukan sesuatu yang bernilai baik yang diperoleh dari lingkungannya.
Seseorang bisa dikatakan berkarakter apabila telah berhasil menyerap nilai-nilai luhur yang
dikehendaki masyarakat yang dapat digunakan sebagai kekuatan dalam kehidupannya.
2. Nilai-nilai Pembentukan Karakter

Nilai adalah suatu keyakinan, misi, atau filosofi yang penuh makna. Nilai dapat bergerak
dari sesuatu yang umum dan mengandung arti, tujuan dan manfaat yang seimbang.81
Adapun nilai-nilai pendidikan Islam yang dikembangkan dalam pendidikan karakter,
antara lain :
a. Empat karakter utama Rasulullah saw, yaitu:
1) Shiddiq / Honesty (kejujuran) memupuk nilai pembentukan karakter untuk tidak
berbohong atau tidak berdusta kepada diri sendiri dan orang lain

78
Abdul Majid, Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, ( Bandung: PT.Remaja
RosdaKarya, 2011), h. 108
79
Nur Zaini, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, e-Journal Kopertais, Vol. 8, No.1, 2014, h.12
80
Abdul Majid, Op.cit., h. 109
81
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 97

27
2) Amanah / Trustable (bertanggung jawab) memupuk nilai pembentuk karakter keadilan
dan kepemimpinan yang baik, integritas, disiplin dan tanggung jawab yang tinggi
terhadap kepercayaan yang diberikan
3) Tabligh / Reliable (menyampaikan) memupuk nilai-nilai pembentukan karakter pecaya
diri, bijaksana, toleransi, cinta damai dan saling menghargai pendapat orang lain
4) Fathonah / smart (cerdas) memupuk nilai-nilai pembentukan karakter keberanian,
mandiri, kreatif, arif, dan rendah hati.82
b. Nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa, yang bersumber dari agama, pancasila dan
tujuan pendidikan nasional. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan
Nasional, mencanangkan pendidikan karakter bangsa mulai tahun 2010 dengan bertitik
tolak pada empat nilai utama, yaitu kejujuran (jujur), ketangguhan (tangguh), kepedulian
(peduli), dan kecerdasan (cerdas).83
Dari empat nilai utama ini, masing-masing lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang
bisa mengembangkannya menjadi berbagai macam nilai karakter yang diinginkan. Tentu saja
untuk merealisasikannya tidak bisa sekaligus, tetapi harus bertahap. Keempat nilai utama
tersebut menggambarkan peserta didik sangat ditentukan oleh perangainya dari olah hati
(jujur), olah pikir (cerdas), dan olah raga (tangguh) serta olah rasa dan karsa (peduli).

Kemendiknas kemudian mencanangkan 18 nilai-nilai pembentukan karakter yang


dijabarkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 1.1

Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

No Nilai Deskripsi
.
1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh
dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan
hidup rukun dengan pemeluk
agama lain
82
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005),
h.7
83
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 44

28
2. Jujur Perilaku yang dilaksanakan pada
upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya
dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan
3. Toleransi Sikap dan tindakan yang
menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang lain yang berbeda
dari dirinya
4 Disiplin Tindakan yang menunjukan
perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan
5. Kerja Keras Tindakan yang menunjukan
perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
Perilaku yang menunjukan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi
6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu
untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dari sesuatu yang dimiliki
7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak
mudah bergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas
8. Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan
bertindak yang menilai sama hak
dan kewajiban dirinya dan orang
lain
9. Rasa ingin tahu Sikap dan tindakan selalu berupaya
untuk mengetahui lebih mendalam
dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat dan didengar
10. Semangat kebangsaan Cara berfikir, bertindak, dan
berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan
kelompoknya
11. Cinta tanah air Cara berfikir, bersikap dan berbuat
yang menunjukan kesetiaan
penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik
bangsa
12. Menghargai prestasi Sikap dan tindakan yang
mendorong dirinya untuk
mengasilkan sesuatu yang berguna

29
bagi masyaraat, dan mengakui,
serta menghormati keberhasilan
orang lain
13. Bersahabat/komunikatif Tindakan yang mmeperlihatkan
rasa senang berbicara, bergaul, dan
bekerja sama dengan orang lain
14. Cinta damai Sikap, perkataan, dan tindakan
yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas
kehadiran dirinya
15. Gemar membaca Kebiasaan menyediakan waktu
untuk membaca berbagai bacaan
yang memberikan kebajikan bagi
dirinya
16. Peduli lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan
melakukan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang
sudah terjadi
17. Peduli social Sikap dan tindakan yang selalu
ingin memberi bantuan pada orang
lain dan masyarakat yang
membutuhkan
18. Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya
dilakukan terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam,
sosial, budaya), negara dan Tuhan
Yang Maha Esa

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa nilai karakter yang harus
diterapkan kepada peserta didik dalam dilingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-
hari adalah bersikap jujur, religius, saling menghargai, menerapkan kedisiplinan, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial dan mempunyai tanggung jawab. Nilai karakter tersebut apabila bisa diterapkan pada
peserta didik, pendidik dan aspek lainnya maka dapat terwujudlingkungan pendidikan yang
mempunyai karakter yang baik.

C. Konsep Pendidikan Karakter


1. Pengertian Pendidikan Karakter

30
Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi adalah sebuah usaha sadar untuk mendidik
anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan memperhatikannya dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya.84 Menurut Elkind dan Freddy Sweet sebagaimana dikutip oleh Pupuh
Faturahman bahwa “Character education is the deliberate effort to help people understand,
care about, and act upon core ethical values”(Pendidikan karakter adalah usaha yang
sungguh-sungguh untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan inti
nilai etika).85
Sudrajat mengartikan pendidikan karakter sebagai proses pembelajaran penguasaan dan
pemilikan nilai-nilai karakter, atau nilainilai keimanan kepada Allah SWT yang dilakukan
dengan membiasakan kebenaran dan menanamkan nilai akhlak mulia di dalam hati dan
dilaksanakan oleh panca indera.86 Dalam pengertian yang sederhana, pendidikan karakter
adalah hal-hal positif apa saja yang dilakukan oleh guru yang berpengaruh pada karakter anak
yang diajarnya.
Pendidikan karakter dapat didekati dengan menumbuhkan dan menanamkan keyakinan
tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam diri anak. Metodenya antara lain dengan
penyampaian kisah-kisah tentang figur-figur yang kokoh kepribadiannya, membiasakannya,
dan menerapkan reward and punishment.87
Terdapat tiga unsur pokok dalam pembentukan karakter, yaitu mengetahui kebaikan
(knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing
the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dengan sifat-sifat
baik yang diberdayakan melalui proses yang panjang.
Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan upaya untuk membimbing perilaku
manusia menuju standar-standar baku tentang sifatsifat baik. Fokus pendidikan karakter
adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi praktiknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan
penting yang mencakup perkembangan sosial individu.88

84
Dharma Kesuma, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja
RosdaKarya, 2011), h.5
85
Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h.15
86
Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), h. 38
87
Salman Harun, Tafsir Tarbawi, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013), h.30
88
Lanny Octavia, Ibi Syatibi, dkk, Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren, (Jakarta: Yayasan
Rumah Kita Bersama, 2014), h. 18

31
Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah
kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan kebiasaan tentang yang baik sehingga peserta
didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter tidak hanya terjadi pada lingkungan sekolah, akan tetapi setiap elemen
dalam kehidupan mulai dari lingkungan rumah, tempat bermain, dan bermasyarakat perlu
melakukan usaha bersama dalam menumbuhkan nilai-nilai karakter mulia pada diri individu.
Sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
2. Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleransi, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang
dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila.89
Pendidikan karakter bertujuan membentuk dan membangun pola pikir, sikap, dan perilaku
peserta didik agar menjadi pribadi yang berakhlakul karimah, berjiwa luhur, dan bertanggung
jawab.90 Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat juga pernah
ditegaskan oleh Martin Luther King, “Intelligence plus character, that is goal of true
education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).91
Islam selalu memposisikan pembentukan akhlak atau karakter anak pada pilar utama tujuan
pendidikan. Untuk mewujudkan pembentukan akhlak pada anak, Al-Ghazali menawarkan
sebuah konsep pendidikan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Menurutnya
mendekatkan diri kepada Allah merupakan tolak ukur kesempurnaan manusia, dan untuk
menuju kesana ada jembatan yang disebut ilmu pengetahuan. 92 Hal tersebut menjadi fokus
bahwa akhlak atau pembentukan karakter adalah tujuan utama pendidikan dalam Islam.

89
Daryanto, Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Gava Media,
2013), h. 44
90
Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), h. 22
91
Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Diva
Press, 2013), h. 29
92
Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi
Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h.32

32
Tujuan utama pendidikan karakter dalam Islam adalah agar manusia berada dalam
kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan oleh Allah
SWT. inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.93
Menurut Mulyasa pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan
hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta secara
utuh, terpadu dan seimbang sesuai standar kompetensi lulusan pada setiap satuan
pendidikan.94
Kemudian ia menambahkan bahwa pendidikan karakter sebagai proses yang berkelanjutan
tanpa akhir (never ending process), sehingga menghasilkan perbaikan kualitas yang
berkesinambungan (countinous quality improvement), ditunjukkan pada terwujudnya sosok
manusia berkualitas dan memiliki daya saing.
Menurut Kemendiknas, tujuan pendidikan karakter antara lain :
a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga
negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan bangsa
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa.
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia yang mandiri, kreatif,
dan berwawasan kebangsaan
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman,
jujur, penuh kreativitas dan persahabatan serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan
penuh kekuatan.95
Pendidikan karakter idealnya harus diimplementasikan secara utuh agar dapat membantu
siswa dalam hal mengidentifikasi nilai-nilai positif bagi diri sendiri serta orang lain, mampu
berkomuniaksi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, dan mampu berpikir rasional dan
memiliki kesadaran emosional terhadap pola tingkah laku diri sendiri. Dalam hal ini tujuan
pendidikan karakter adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya.96
93
Pupuh Faturrohman, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), h. 98
94
Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), h. 34
95
Agus Zainul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Nilai & Etika di Sekolah, (Jakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), h. 24
96
Jafar Anwar, Op. Cit, h. 34-35

33
3. Fungsi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter berfungsi, mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran
baik, dan berperilaku baik. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur.
Selanjutnya dilakukan perbaikan terhadap perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku
yang sudah baik. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.97
Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, diantaranya ialah:
a. Fungsi pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan karakter membentuk dan
mengembangkan potensi siswa agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku sesuai
yang mencerminkan falsafah pancasila dan karakter bangsa.
b. Fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter memperbaiki dan memperkuat peran
keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan
bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa
menuju bangsa yang maju, mandiri, sejahtera dan bermartabat.
c. Fungsi penyaring. Pendidikan karakter memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring
budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa dan karakter bangsa
yang bermartabat.98

Ketiga fungsi tersebut dilakukan melalui pengukuhan pancasila sebagai falsafah dan
ideologi negara, pengukuhan nilai dan norma agama konstitusional UUD 1945, penguatan
komitmen bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penguatan nilai-nilai
keberagaman sesuai dengan konsep Bhineka Tunggal Ika, serta penguatan keunggulan dan
daya saing bangsa untuk keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Indonesia dalam konteks global.99
4. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam

Pendidikan Islam, khususnya pendidikan agama Islam (PAI) mempunyai posisi yang
penting dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan agama menjadi materi yang wajib
diajarkan pada setiap sekolah. Pendidikan agama Islam pada prinsipnya memberikan
97
Daryanto, Suryatri Darmiatun, Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Gava Media,
2013), h. 45
98
Binti Maunah, Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pembentukan Kepribadian Holistik Siswa,
Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, No. 1, April 2015, h.92
99
Yopi Fajar Suryadi, skripsi, Konsep Pendidikan Karakter Menurut KH. Zainuddin Fananie Dan
Implikasinya Pada Pendidikan Islam,(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 21

34
pembelajaran yang menanamkan nilai-nilai spiritualitas pada peserta didik agar menjadi
manusia yang berakhlak, beretika serta berbudaya sebagai bagian dari tujuan pendidikan
nasional.100
Akhlak merupakan pilar utama dalam pendidikan Islam, hal ini sesuai dengan latar
belakang perlunya diterapkan pendidikan karakter di sekolah sebagaimana tujuan pendidikan
nasional untuk menciptakan generasi bangsa yang bermutu dimulai dengan pembangunan
karakter.
Akhlak Islam menyuguhkan banyak nilai tentang karakter manusia, baik yang bernilai baik
maupun yang bernilai buruk. Pendidikan karakter Islam tetap harus berpijak kepada konsep
dan praktik-praktik berkarakter yang dicontohkan oleh Nabi Saw melalui sikap dan perilaku
sehari-hari yang merupakan cerminan dari akhlak al-Qur‟an.101
Pendidikan karakter secara implementatif telah tertuang secara eksplisit yang merupakan
nilai-nilai utama dalam pendidikan Islam yang diinternalisasikan pada lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat sehingga terbentuklah kepribadian yang Islami.

Sebagaimana diungkapkan M. Arifin, bahwa pendidikan Islam adalah sistem pendidikan


yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan
cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kehidupannya.102
Untuk membangun manusia yang memiliki nilai-nilai karakter mulia, secara umum,
pendidikan Islam mengemban misi utama memanusiakan manusia, yaitu menjadikan manusia
mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki sehingga berfungsi maksimal sesuai
dengan alQur‟an dan hadis Nabi Saw yang pada akhirnya akan terwujud manusia paripurna
(insan kamil).
Dalam al-Qur‟an penjelasan tentang pendidikan karakter mengisyaratkan bahwa manusia
memiliki dua karakter yang berlawanan.
‫ساهَا‬ َ ‫ َو َقدْ َخ‬  ‫ورهَا َو َت ْق َواهَا َقدْ أَ ْفلَ َح َمنْ َز َّكاهَا‬
َّ ‫اب َمنْ َد‬ َ ‫َفأ َ ْل َه َم َها فُ ُج‬

100
Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum (Jurnal Studi
Islam), Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h. 30
101
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 38
102
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Isam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h.10

35
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya”. (Q.S AsySyam: 8-10).103
Berdasarkan ayat tersebut, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki dua
dimensi dalam tabiatnya, potensi-potensi yang telah tercipta sebelumnya dan melekat menjadi
tabiat yang dalam kecendrungan arahnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan memiliki
kadar yang sama akhirnya dijadikan acuan dasar pendidikan karakter.
Pada dasarnya tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk peserta didik yang
berakhlak mulia, sebagai wujud keimanannya kepada Allah SWT dan wujud kepatuhannya
kepada syariat Islam. Pendidikan Islam mengutamakan penanaman budi pekerti dan akhlak
mulia dalam semua komponen kurikulumnya. Melalui pembiasaan dan pemaknaan setiap
nilai-nilai kebaikan, maka pendidikan karakter akan menjadi kokoh dalam pelaksanaan
pendidikan Islam dan menjadi pondasi berbangsa dan bernegara.

D. Hasil Penelitian yang Relevan


1. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Khoiruddin, dengan judul “Pendidikan
Karakter Menurut KH. Hasyim Asy‟ari (Studi Kepustakaan dalam Kitab Adab al „Alim
wa al-Muta‟allim)”. Skripsi ini memfokuskkan pada persoalan-persoalan etika dalam
mencari dan menyebarkan ilmu semata-mata untuk mencari ridho Allah SWT, faktor
pendukung dan penghambat pendidik dan tenaga kependidikan dalam pendidikan, serta
penelitian ini cendrung memaparkan sistem nilai yang dibangun KH. Hasyim Asy‟ari
dalam teori maupun praktik pendidikan.104
2. Penelitian yang dilakukan oleh Roudhatul Jannah, dengan judul “Pemikiran Hamka
tentang Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti”. Skripsi ini membahasakan budi pekerti
sangat luas, tetapi sebenarnya kalau dispesifikan yang dimaksud nilai pendidikan budi

103
Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid X h.676
104
Khoiruddin, tesis, Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy‟ari (Studi Kepustakaan dalam kitab
Adab al-Alim Wal Muta‟allim), (Ponorogo : 2016. tidak dipublikasikan, h.17

36
pekerti terhadap Allah tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan akidah, nilai
pendidikan budi pekerti terhadap diri sendiri tidak lain adalah penanaman nilai pendidikan
tasawuf, nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang tua tidak lain adalah penanaman nilai
pendidikan birrul walidain, dan nilai pendidikan budi pekerti terhadap orang lain tidak lain
adalah penanaman nilai pendidikan sosial.105
3. Penelitian yang dilakukan oleh Rahman Zuhdi dengan judul, “Pendidikan Akhlak KH.
Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy‟ari (Studi: Analisis dan Komparatif)”. Skripsi ini
lebih menekankan studi komparatif mengenai konsep pendidikan akhlak KH. Ahmad
Dahlan dan KH. Hasyim Asy‟ari dilihat dari persamaan dan perbedaan antar kedua tokoh
yang sama-sama memiliki pengaruh yang kuat di tengah masyarakat dalam kurung waktu
yang bersamaan.106

4. Penelitian yang dilakukan oleh Sudin, dengan judul Pemikiran Hamka tentang Moral.
Penelitian ini berkaitan dengan keseluruhan pemikiran Hamka, tidak terkecuali dalam
bidang filsafat moral, dibangun di atas sendi-sendi agama. Ia sangat menekankan
pentingnya memperkuat tauhid. Tauhid bagi Hamka, selain sebagai sumber moral juga
sebagai sumber kekuatan diri untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Baik
buruknya perbuatan menurut Hamka ditentukan oleh sejauh mana seseorang berpegang
teguh pada keimanannya kepada Tuhan, yang tidak lain adalah tauhid itu sendiri.107
Dengan demikian, kajian ini berbeda dari sisi substansi dan signifikansinya, karena lebih
menegaskan perbandingan pendidikan karakter dari KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka dilihat
dari konsep pendidikan secara keseluruhan yang akan memberikan implikasi baik dari aspek
teoritis maupun praktis pendidikannya. Adapun penelitan yang mengkaji tentang
perbandingan pendidikan karakter perspektif dari kedua tokoh tersebut belum ditemukan.

105
Roudathul Jannah, skripsi, Pemikiran Hamka tentang Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti. Salatiga:
STAIN, 2015), h.10
106
Rahman Zuhdi, Skripsi, Studi: Analisis dan Komparatif Pendidikan Akhlak KH. Ahmad Dahlan dan
KH. Hasyim Asy‟ari (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), h. 9
107
Sudin. Pemikiran Hamka Tentang Moral, Jurnal Esensia, Vol. XII, No. 2 ,Juli 2011

37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Biografi KH. Hasyim Asy’ari
1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari adalah pendiri pesantren Tebu Ireng, tokoh ulama
pendiri organisasi NU. Ia lahir di Gedang, desa Tambakrejo 2 km ke arah utara kota Jombang
Jawa Timur, pada hari selasa kliwon, 24 Dzulqaidah 1287 H bertepatan dengan 14 Februari
1871 M. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai
Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Dari jalur ayah, nasab kiai
Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-
Baqir. Sedangkan, dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu
Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah raja Pajang pertama
(1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau pangeran Adiwijaya.108
KH. Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 25 Juli 1947 pukul 03.45 dini hari bertepatan
dengan 7 Ramadhan tahun 1366 H dalam usia 79 tahun. Guru pertamanya adalah ayahnya
sendiri yang mengajarkan ilmu-ilmu alQur’an dan beberapa literatur keagamaaan. Sejak kecil
108
Mubarok Yasin, Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebu Ireng, (Jombang: Pustaka TebuIreng,
2011), h. 38

38
kiai Hasyim sudah dikenal kegemarannya dalam membaca. Boleh jadi inilah yang menurun
pada cucunya KH. Abdurrahman Wahid yang menjadi kutu buku.
Ketokohannya tidak sekedar dalam bidang sosial, pendidikan dan keagamaan melainkan
juga dalam bidang kenegaraan. Kehadirannya di ranah politik memberikan sumbangsih besar
bagi tercapainya kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam hal ini, berdasarkan keputusan
Presiden No. 29/1964 kiai Hasyim Asy’ari yang bergelar Hadrat AsySyaikh diakui sebagai
pahlawan nasional.109
2. Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim As’ari

KH. Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya sendiri. Terutama
pendidikan keagamaan. Ia mula-mula belajar ilmu tauhid, fiqh, tafsir dan bahasa arab. Karena
kecerdasannya, maka dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah menguasai materi pelajaran yang
diajarkan oleh guru dan ayahnya serta mulai membantu ayahnya mengajar para santri senior.
Rasa dahaga akan ilmu pengetahuan, membuat Hasyim menjadi seorang pengelana ilmu.
Ia melanjutkan pendidikannya di berbagai pondok pesantren khususnya di pulau Jawa seperti
pesantren Wonokoyo, Siwalan Buduran, Trenggilis, Langitan, Bangkalan, Demangan dan
Sidoarjo. Selama di pondok pesantren Sidoarjo, kiai Ya’kub selaku pimpinan pondok merasa
sangat tertarik dengan kecerdasan Hasyim dan berfirasat bahwa ia kelak akan menjadi
pemimpin besar dan sangat berpengaruh. Karena itulah ia menjodohkan Hasyim Asy’ari
dengan putrinya, Nafisah. Pada tahun 1892, tepatnya berusia 21 tahun KH. Hasyim Asy’ari
menikah dengan Nafisah putri kiai Ya’kub.110
Setelah menikah, KH. Hasyim Asy’ari bersama istri segera melakukan ibadah haji.
Sekembalinya dari tanah suci, mertua KH. Hasyim menganjurkannya untuk menuntut ilmu di
Makkah. Karena didorong oleh keinginan pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah
dikatakan cukup ilmunya apabila belum belajar di Makkah selama bertahun-tahun.
Pasca menikah, kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya bermukim di Makkah. Ketika
tepatnya tujuh bulan menetap disana, istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan diberi
nama Abdullah. Akan tetapi, beberapa hari setelah melahirkan, istri yang dicintainya
meninggal dunia, disusul putranya selang kurang empat puluh hari. Sungguhpun ia
mendapatkan cobaan bertubi-tubi, hal ini tidak mematahkan semangatnya dalam menuntut
ilmu.111
Dalam perjalanan menuntut ilmu di Makkah, ia bertemu dengan beberapa tokoh terkenal
dan dijadikannya sebagai guru. Diantaranya adalah Syeikh Mahfudz al-Tarmisi seorang putra
KH. Abdullah bin Abdul Manan pemimpin pesantren Tremas yang sama-sama pernah belajar
di pesantren Darat Semarang. Syeikh Mahfudz lebih terkenal sabagai pengajar Shahih
Bukhari.

109
Aguk Irawan MN, Penakluk Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Kalam Nusantara,
2016), pengantar xxiii
110
Salahuddin Hamid, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, (Jakarta:
Intimedia, 2003), h. 2
111
Suwendi, Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari, (Ciputat: LekDis, 2005), h.16-17

39
Dari gurunya ini, KH. Hasyim Asy’ari memperoleh ijazah sebagai pengajar Shahih
Bukhari. Selanjutnya KH. Hasyim Asy’ari berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabawi, seorang hartawan yang mempunyai hubungan baik dengan penguasa Makkah,
serta berguru kepada Syeikh al-Allamah Abdul Hamid al-Darustani dan Syaikh Muhammad
Syuaib al-Maghribi. Dan masih banyak lagi lainnya.
Diantara ilmu agama yang dipelajari oleh KH. Hasyim Asy’ari selama di Makkah antara
lain, fiqh dengan konsentrasi mazhab Syafi’i, tauhid, tafsir, ulumul hadits, tasawuf, dan ilmu
alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, dan lain-lain).
Selama kurang lebih tujuh tahun menuntut ilmu di Makkah, membuat KH. Hasyim
Asyari memiliki kecakapan tersendiri, terutama dalam pengetahuan agama. Ia memutuskan
pulang ke tanah air, dengan membawa bekal keteguhan iman dan kematangan jiwa untuk
berjuang menegakkan agama. Setelah kembalinya ke kampung halaman, ia mulamula
mengajar di pesantren milik kakeknya kiai Usman, tetapi tidak lama kemudian ia mulai
merintis pendirian pesantren sendiri yang diberi nama Tebu Ireng di Jombang.112

Dalam pendidikan pesantren, KH. Hasyim Asy’ari membawa perubahan dan pembaruan
dengan mengenalkan sistem belajar madrasah dan memasukan kurikulum pendidikan umum,
di samping pendidikan keagamaan. Sebelumnya, Tebu Ireng hanya menggunakan sistem
pengajian sorogan dan bandongan atau dikenal dengan sistem halaqah. Patut diketahui bahwa
sistem madrasah merupakan sesuatu yang relatif baru dalam dunia pesantren pada saat itu.113
3. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari
Karya-karya kiai Hasyim banyak merupakan jawaban atas berbagai problematika
kehidupan masyarakat. Beliau merupakan penulis yang produktif disamping aktif mengajar,
berdakwah dan berjuang. Adapun karya-karya kiai Hasyim Asy’ari diantaranya:
a. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al Aqarib wa alIkhwan. Berisi tentang
tata cara menjalin silaturrahim. Bahaya dan pentingnya interaksi sosial. b.
b. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jamu’iyyah Nahdatul Ulama. Pembukaan undang-
undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdatul Ulama. Berisikan ayat-ayat Qur’an
yang berkaitan dengan Nahdatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai dengan
hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan.
c. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al Arba’ah. Risalah untuk memperkuat
pegangan atas madzhab empat. Berisikan tentang perlunya berpegang kepada salah satu
diantara empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat
uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbath al-ahkam), metode ijtihad, serta
respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.
112
Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001),
h. 9
113
Ibid, h.20

40
d. Mawaidz. Beberapa nasihat, berisikan fatwa dan peringatan tentang merajalelanya
kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada alQur’an dan hadis, dan lain sebagainya.
e. Arbain Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jami’Iyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadis yang
terkait dengan dasar-dasar pmbentukan Nahdatul Ulama’.
f. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta
kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman,
menaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad Saw.
g. Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al Munkarat. Peringatan-peringatan
wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran.
h. Risalah Ahli Sunnah Wal-Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat asSa’ah wa Bayan
Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal-Jama’ah berisikan tentang
hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah
dan bid’ah.
i. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin alFasuruani. Catatan
seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim
dan Syeikh Abdullah bin Yasin. Dan di dalamnya terdapat fatwa-fatwa Kiai Hasyim yang
berbahasa Jawa
j. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang
menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i, hukum-hukum,
syarat, rukun dan hak-hak dalam perkawinan.
k. Ad-durrah al-Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam
menerangkan 19 masalah. Berisikan kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya
jawab sebanyak 19 masalah.
l. Al-Risalah fi al-‘Aqaid. Berbahasa Jawa, berisikan kitab kajian tauhid. Jawaban atas
berbagai problematika masyarakat yang belum paham persoalan tauhid atau aqidah.
m. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tasawuf, penjelasan tentang ma’rifat,
syariat, thariqah, dan hakikat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab Al-
Risalah fi al-‘Aqaid
n. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama
Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi
tentang etika bagi para pelajar dan pendidik.114
B. Biografi Ki Hadjar Dewantara
1. Riwayat Hidup Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara bernama asli Suwardi Suryaningrat, dilahirkan pada Kamis Legi 2
Puasa 1818, atau 2 Mei 1889, bertepatan dengan 1303 H di Yogyakarta, dan meninggal pada
26 April 1959 bertepatan dengan 1376 H (berusia 70 tahun).115 Dilihat dari segi leluhurnya, Ki
Hadjar adalah putra dari Kanjeng Pangeran Haryo Suryaningrat, putra Kanjeng Gusti

114
Aguk Irawan MN, Penakluk Badai Novel Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: Kalam Nusantara,
2016), h.672-675
115
Abdurrahman Surjomiharjo,Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern,
(Yogyakarta: Sinar Harapan, 1986), hlm. 9.

41
Pangeran Hadipati Haryo Suryo Sasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III. Sebagai
seorang keluarga ningrat, ia termasuk yang memperoleh keuntungan dalam mendapatkan
pendidikan yang baik. Ia kawin dengan Raden Ajeng Sutartinah, puteri G. P. H. Sasraningrat,
adik G. P. H. Suryaningrat. Dengan demikian Ki Hadjar dan Nyi Hadjar Dewantara adalah
saudara sepupu. Baik Ki Hadjar maupun Nyi Hadjar, keduanya mempunyai saudara yang
banyak jumlahnya.
Ki Hadjar adalah keturunan Sri Paku Alam III. Demikian pula Nyi Hadjar Dewantara.
Keduanya temasuk kerabat Paku Alaman. Setelah umur 5 windu (40 tahun) bilangan
Indonesia (karena 1 windu sama dengan 8 tahun lamanya) tepat pada tanggal 3 Februari 1928,
ia meninggalkan nama turunan bangsawannya berganti nama Ki Hadjar Dewantara. Dari
Satrio Pinandito (kesatria yang berjiwa pendeta) ke PenditoSinatrio (pendeta “guru” yang
juga sedia mengangkat senjata untuk membela bangsa dan rakyatnya). 116 Sedangkan menurut
Theo Riyanto, ”satria pinandita ke pinandita sinatrio berarti dari pahlawan yang berwatak
guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta
didik untuk melindungi Bangsa dan Negara ini.
2. Latar Belakang Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Pendidikan dasarnya ia peroleh dari sekolah rendah Belanda (Euro peesche Lagere School,
ELS) tahun 1904. Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Guru (Kweek School) di Yogyakarta
pada tahun 1905, tetapi sebelum sempat menyelesaikannya, ia pindah ke Stovia (School tot
Opleiding van Indische Arten) di Jakarta pada tahun 1910 dengan beasiswa. Di Stovia sampai
kelas 2 tingkat atas, ia keluar karena dicabut beasiswanya dan tidak naik kelas, disebabkan
sakit selama 4 bulan.117
Dari direktur Stovia, ia mendapat surat keterangan istimewa atas kepandaiannya berbahasa
Belanda. Sekeluarnya dari Stovia, ia belajar sebagai polenter pada laboratorium pabrik gula
Kalibagor Banyumas. Pada tahun 1911 ia menjadi pembantu apoteker di apotek Rath-Camp
Yogjakarta, sambil disampingnya membantu surat-surat kabar antara lain: Sedyo Tomo
(berbahasa Jawa) di Yogjakarta, Midden Java (berbahasa Belanda) di Yogjakarta, De Expres
(berbahasa Belanda) di Bandung.
Pada tahun 1912, ia dipanggil dr. Douwes Dekker (dr. Danudirjo Setyabudi) ke Bandung,
untuk bersama-sama mengasuh surat kabar harian De Expres. Tulisan pertamanya berjudul
“Kemerdekaan Indonesia” yang mengemukakan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia.
Disamping ia mengasuh De Expres, ia juga bertugas sebagai anggota redaksi harian “Kaum
Muda” di Bandung, pimpinan pembantu harian “Utusan Hindia” di Surabaya pimpinan
Cokroaminoto, dan pembantu harian “Cahaya Timur” di Malang yang di pimpin Joyosudiro,
dan menjabat sebagai ketua “Sarikat Islam” cabang Bandung.118

116
Mochammad Tauchid, Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, (Jogjakarta:
Madjelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968), hlm. 19.
117
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2005), hlm. 129.
118
Mochammad Tauchid, Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, (Jogjakarta:
Madjelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968), hlm. 14.

42
Nama Ki Hadjar dapat dikategorikan sebagai tokoh muda yang mendapat perhatian
Cokroaminoto, untuk memperkuat barisan Syarikat Islam cabang Bandung. Oleh karena itu,
ia bersama dengan Wignyadisastra dan Abdul Muis, yang masing-masing diangkat sebagai
ketua dan wakil ketua, Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai sekretaris. Namun
keterlibatannya dalam Syarikat Islam ini terhitung singkat, tidak genap satu tahun. Hal ini
terjadi, karena bersama dengan E.F.E Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, ia
diasingkan ke Belanda (1913) atas dasar orientasi politik mereka yang cukup radikal. Selain
alasan tersebut, ia pun jauh lebih mengaktifkan dirinya pada IndischeParty yang didirikan
pada tanggal 6 September 1912. Dengan alasan ini, maka Ki Hadjar Dewantara tidak
memiliki kesempatan untuk menjadi tokoh penting di lingkungan Syarikat Islam.119

2. Karya-karya Ki Hadjar Dewantara

Sedangkan karya yang ditulis langsung oleh Ki Hadjar Dewantara, yakni buku yang
berjudul: Karya Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama Pendidkan, Yogyakarta: Percetakan
Tamansiswa, 1962; Karya Ki Hadjar Dewantara: Bagian Kedua Kebudayaan, Yogyakarta:
Percetakan Taman Siswa, 1964; Asas-asas dan Dasar-dasar Tamansiswa, Yogyakarta:
Majlis Luhur Tamansiswa, 1961; Pengaruh Keluarga terhadap Moral, Jakarta: Endang,
1951; Taman Indrya (Kindergarten), Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1959;
Demokrasi dan Leiderschap, Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa, 1959; Kenang-
kenangan Ki Hadjar Dewantara: dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi
Kemerdekaan, Jakarta: Penerbit Endang, 1952.
Sedangkan penghargaan dan gelar yang pernah diembannya antara lain: penghargaan gelar
Doctor Honoris Causa, Dr. (HC), dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957, atas jasanya
dalam mempelopori pendidikan di Indonesia. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor
Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta. Selain itu,
ia juga pernah diangkat secara posthum sebagai ketua kehormatan P.W.I, atas jasanya
dikalangan jurnalistik pada tanggal 28 April 1959. Lalu, tanggal 28 November 1959 ia
diangkat pemerintah Indonesia sebagai “Pahlawan Nasional”. Setelah itu, pada tanggal 17
Agustus 1960 ia dianugerahi bintang “Mahaputra” kelas I, atas jasanya yang luar biasa untuk
Nusa dan Bangsa. Kemudian, ia menerima tanda kehormatan Satya Lencana Kemerdekaan
pada tanggal 20 Mei 1961. Selanjutnya, ia mendapat anugerah “Rumah Pahlawan” pada
tanggal 27 November 1961. Kemudian, hari lahirnya yakni tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai
“Hari Pendidikan Nasional”. Hal ini berdasarkan keputusan presiden, tepatnya tanggal 16

119
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2005), hlm. 125

43
Desember 1959, dengan keputusan Presiden No. 316, tanggal 16 Desember 1959.
Demikianlah catatan perjalanan hidup (biografi) Suwardi Suryaningrat atau lebih akrab
dipanggil Ki Hadjar Dewantara dari awal sampai akhir hidupnya.120
Ki Hadjar yang selama ini dijadikan sebagai tokoh pendidikan di Indonesia, ternyata oleh
sebagaian pengamat pendidikan dan aktifis Islam disebut belum memadukan atau
mengintegrasikan antara konsep pendidikan yang ia gagas dengan konsep pendidikan Islam.
Hamka, dalam bukunya berjudul: Perkembangan Kebatinan di Indonesia, yang dikutip
Artawijaya menyatakan: bahwa Tamansiswa adalah gerakan abangan, klenik, dan primbon
Jawa, yang menjalankan ritual shalat daim. Dalam kepercayaan kebatinan, shalat di sini bukan
bermakna ritual seperti yang dijalankan umat Islam, tetapi shalat dalam pengertian kebatinan,
yaitu menjalankan kebaikan terus menerus. Inilah yang dimaksud dengan shalat daim.

Sedangkan Bung Karno menyebut apa yang dilakukan oleh Ki Hadjar adalah berangkat
dari panggilan mistik, sebagaimana ungkapan Bung karno yang dikutip Artawijaya:
”Apa yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah berangkat dari panggilan mistik.
Sebuah small group discussion yang membicarakan tentang kebatinan, yang diselenggarakan
setiap Selasa Kliwon dan dipimpin oleh Pangeran Soeryamataram adalah cikal bakal
berdirinya Taman Siswa. Peserta diskusi kebatinan ini mendapat sebutan ketika itu dengan
“Gerombolan Seloso Kliwon”. Mereka adalah, Ki Hadjar Dewantara, R.M Soetatmo
Soerjokoesoemo, R.M.H Soerjo Poetro, Ki Pronowidigdo, Ki Sutopo Wonoboyo, Ki
Surjodirjo, BRM Subono, dan Pangeran Soeryamataram. Setiap pertemuan, mereka
mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan kebatinan, yaitu usaha untuk “membahagiakan
diri, membahagiakan bangsa, dan umat manusia.” Inilah yang menjadi asas Taman Siswa
yaitu perpaduan antara pendidikan Barat dan kebatinan dalam mewujudkan suatu
kemerdekaan batin, kemerdekaan pikiran dan kemerdekaan tenaga”.121
Selanjutnya berkaitan dengan kebatinan Ki Hadjar sendiri dalam bukunya berjudul Asas-
asas dan Dasar-dasar Taman Siswa, mengungkapkan:
“Maka tiap-tiap pendidikan berkewajiban memelihara dan meneruskan dasar-dasar dan
garis-garis hidup yang terdapat dalam tiap-tiap aliran kebatinan dan kemasyarakatan, untuk
mencapai keluhuran dan kehalusan hidup dan kehidupan menurut masing-masing aliran yang
menuju ke arah adab kemanusiaan. Pendidikan dan pengajaran rakyat sebagai usaha untuk
mempertinggi dan menyempurnakan hidup dan penghidupan rakyat, adalah kewajiban negara
yang oleh pemerintah harus dilakukan sebaik- baiknya dengan mengingati atau
memperhatikan segala kekhususan dan keistimewaan yang bertali dengan hidup kebatinan
dan kemasyarakatan yang sehat dan kuat, serta memberi kesempatan pada tiap-tiap warga

120
Mochammad Tauchid, Ki Hadjar Dewantara: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional, (Jogjakarta:
Madjelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968), hlm. 21-22.
121
http://fkip.uad.ac.id/2011/08/

44
negara untuk menuntut kecerdasan budi, pengetahuan dan kepandaian yang setinggi-tingginya
menurut kesanggupannya masing-masing.”
Meskipun demikian, sebagian tokoh pendidikan juga menganggap bahwa Ki Hadjar adalah
seorang muslim yang taat dan tinggal dalam lingkungan budaya Jawa yang kental,
sebagaimana diungkapkan Abuddin Nata:
”… Sebagai seorang Muslim yang taat dan tinggal dalam lingkungan budaya Jawa yang
kental, maka dapat diduga kuat, bahwa pemikiran Ki Hadjar itu selain dipengaruhi oleh latar
belakang pendidikan, situasi sosial dan perjalanan hidupnya, juga dipengaruhi oleh
pandangannya tentang ajaran Islam”.122

122
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2005), hlm. 128.

45

Anda mungkin juga menyukai