Anda di halaman 1dari 24

Analisis Wacana Kritis

ANALISIS TEKS BERITA MODEL THEO VAN LEEUWEN:


INKLUSI DAN EKSLUSI

DISUSUN OLEH :

Kelompok III – Kelas PB-C

SARI HIDAYATI – 181050101045

SYUAIB S – 181050101051

PUJI ASTUTY IRIANTO - 181050101053

ANDI NURINDAH SARI - 181050101058

ATIKAH NURUL ASDAH – 181050101062

SHAFARIANA – 181050101065

Dosen Pengampu:
Dr. Mahmudah, M.Hum.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada Dr. Mahmudah, M.Hum. selaku dosen
pengampu mata kuliah Analisis Wacana Kritis yang telah membimbing kami dan
terima kasih kepada pihak-pihak lain yang telah mendukung kami dalam
penyusunan makalah ini, baik dari pihak keluarga, teman, bahkan pihak lain yang
tak dapat disebut satu per satu.

Makalah ini disusun dengan tujuan utama sebagai tugas akhir. Tujuan lain
dari makalah ini yakni agar kami khususnya dan pembaca umumnya dapat
memperluas wawasan tentang inklusi dan eksklusi dalam analisis wacana model
Theo van Leeuwen. Makalah ini disusun berdasarkan hasil membaca dan
pemahaman kami dari berbagai sumber, baik dari kami sendiri maupun dari pihak
luar, seperti buku-buku dan internet. Namun, sebagai manusia biasa, makalah
yang kami susun tentunya memiliki kekurangan, baik itu karena faktor kurangnya
pengalaman ataupun faktor ketidaksengajaan.

Semoga makalah yang kami susun ini bermanfaat bagi para pembaca,
khususnya kami sendiri dalam kehidupan sehari-hari dan menambah wawasan
kita. Kami berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran terhadap
makalah ini.

Terima kasih.

Makassar, 30 April 2019

Penulis

TIM PENYUSUN

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. LATAR BELAKANG ................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................2
C. TUJUAN......................................................................................................2
D. MANFAAT .................................................................................................3
BAB II ISI ...............................................................................................................4
A. EKSKLUSI ................................................................................................5
B. INKSLUSI ..................................................................................................8
C. KERANGKA ANALISIS ........................................................................17
BAB III PENUTUP ..............................................................................................20
A. KESIMPULAN .........................................................................................20
B. SARAN ......................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................21
LAMPIRAN TEKS ..............................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Analisis wacana kritis merupakan salah satu analisis yang digunakan dalam
penelitian ilmu komunikasi. Di dalam analisis wacana kritis, wacana bukan
dipaami semata sebagai studi bahasa, bahasa yang dianalisis agak berbeda dengan
studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa bukan hanya
digambarkan dari aspek kebahasaan, akan tetapi juga berhbungan dengan konteks.
Menurut Fairclough dan Wodak (lihat Eriyanto, 2011:7), analisis wacana kritis
melihat wacana-pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari
praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan
sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi,
instituisi, dan struktur sosial yang membentuknya.
Analisis wacana kritis, melihat bahasa sebagai faktor penting yakni bagaimana
bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat.
Analisis wacana kritis ini juga menyelidiki bagaimana bahasa dalam kelompok
sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. adapun
karakteristik terpenting dari analisis wacana kritis yaitu, tindakan, konteks,
historis, kekuasaan dan ideologi.
Amatlah salah anggapan umum yang menganggap analisis wacana hanya
merupakan bidang kajian bagi mereka yang berlatarbelakang ilmu komunikasi.
Analisis wacana bisa menjadi kajian dalam bidang-bidang ilmu lain. Khususnya
dalam lingkup ilmu-ilmu sosial, humaniora dan susastra. Oleh karena itu analisis
wacana merupakan ilmu yang luas cakupannya, yang berarti pula banyak ahli
yang mendalami ilmu tersebut. Salah-satunya adalah Theo van Leuween. Van
Leeuwen memandang wacana sebagai rekontekstualisasi praktik-praktik sosial
melalui teks. Dalam hal ini, sangat mungkin untuk merekonstruksi suatu wacana
berdasarkan teks yang membangunnya.

1
2

Menurut van Leeuwen, ada beberapa unsur pembentuk praktik sosial, yaitu
partisipan (aktor sosial), aksi sosial, modus kinerja, syarat kelayakan partisipan,
gaya presentasi, waktu, lokasi, syarat kelayakan lokasi, alat dan bahan, serta
syarat kelayakan sumber daya.
Aktor sosial, sebagai salah satu elemen penting dari praktik sosial,
direpresentasikan oleh van Leeuwen melalui dua cara, yaitu dengan eksklusi dan
inklusi. Dalam eksklusi, van Leeuwen menggunakan strategi pasivasi untuk
menyembunyikan pelaku, strategi nominalisasi untuk menggeser fokus dari
pelaku ke peristiwa, dan strategi klausa infinitif.
Sedangkan dalam inklusi, van Leeuwen menggunakan banyak strategi
determinasi, indeterminasi, abstraksi objektivasi, diferensiasi, kategorisasi,
fungsionalisasi, identifikasi, asimilasi, individualisasi, sirkumtansialisasi, dan lain
sebagainya untuk membuat aktoraktor sosial yang terlibat dalam wacana menjadi
inklusif. Selanjutnya, dalam makalah ini akan dipaparkan pandangan Theo van
Leeuwen terkait analisis wacana teks media.

B. RUMUSAN MASALAH
Setiap hal memiliki sesuatu yang menjadi permasalahan. Adapun
permasalahan dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah pandangan Theo van Leeuwen terkait analisis wacana teks
media?
2. Bagaimanakah kategori analisis wacana Theo van Leuuwen?

C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang dibuat, maka dapat kita tentukan
tujuan dari makalah ini yakni diharapkan mengetahui hal-hal berikut.
1. Mengetahui pandangan Theo van Leeuwen terkait analisis wacana teks
media.
2. Mengetahui kategori analisis wacana Theo van Leuuwen.
3

D. MANFAAT
Manfaat makalah ini pada umumnya menambah wawasan seputar
analisis wacana kritis. Secara teoretis diharapkan makalah ini dapat dijadikan
acuan atau sumber referensi tentang materi terkait, yang dapat bermanfaat bagi
pembaca atau pihak lainnya.
BAB II
ISI

Theo van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi


dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya
dala suatu wacana. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali
dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain
yang posisinya rendah cenderung untuk terus menerus sebagai objek pemaknaan,
dan digambarkan secara buruk.
Ada kaitan antara wacana dengan kekuasaan. Petani penggarap di perkebunan
bisa diusir ketika terbentuk wacana mereka adalah penggarap yang illegal yang
melakukan tindakan anarkis dan tidak sah. Para perambah hutan ditangkap ketika
terbentuk wacana, merekalah sebagai penyebab penggundulan dan penebangan
hutan secara liar. Komunisme dilarang setelah terbentuk wacana bahwa ideologi
mereka anti Tuhan, mereka anti agama dan pernah melakukan pembantaian
terhadapa umat beragama. Di sini, bagaimana wacana beroperasi untuk
mendefinisikan sesuatu, membenarkan sesuatu, dan menyalahkan sesuatu.
Salah satu agen terpenting dalam mendefinisikan suatu kelompok adalah media.
Lewat pemberitaan terus-menerus disebarkan, media secara tidak langsung
membentuk pemahaman dan kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu.
Wacana yang dibuat oleh media itu bisa jadi melegitimasi suatu hal atau kelompok
dan mendelegitimasi dan memarjinalkan kelompok lain.
Analisis van Leeuwan secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan
aktor (bisa seseorang atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua
pusat perhatian. Pertama, proses pegeluaran (exclusion). Apakah dalam suatu teks
berita, ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan strategi
wacana apa yang dipakai untuk itu.
Apakah wanita dan laki-laki ditampilkan secara utuh, ataukah ada pihak yang
dikeluarkan dari teks, katakanlah kalau, misalnya, laki-laki dikeluakan dari teks
maka pemahaman yang muncul adalah bukan laki-laki yang salah. Perkosaan itu
adalah masalah wanita itu sendiri, merekelah yang menjadi penyebab sehingga

4
5

diperkosa. Kedua, proses pemasukan (inclusion). Kalau exclusion berhubungan


dengan pertanyaan bagaimana proses suatu kelompok dikeluarkan dari teks
pemberitaan, maka inclusion berhubungan dengan pertanyaan bagaimana masing-
masing pihak atau kelompok itu ditampilkan lewat pemberitahuan. Baik proses
exclusion maupun inclusion tersebut menggunakan apa yang disebut sebagai
strategi wacana.
Dengan memakai kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu,
cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan dalam teks.
Berikut akan diuraikan lebih detil persoalan tersebut satu per satu.

A. EKSKLUSI
Ada beberapa strategi bagaimana suatu aktor (seseorang atau kelompok)
dikeluarkan dalam pembicaraan. Di antaranya dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pasivasi
Pasivasi adaah proses bagaimana satu kelompok atau aktor tertentu tidak
dilibatkan dalam suatu pembicaraan atau wacana. Penghilangan aktor sosial
untuk melindungi dirinya, dalam wacana mengenai demonstrasi mahasiswa yang
berakhir dengan bentrokan dengan aparat kepolisian, dan satu orang mahasiswa
tewas.
Menurut Van Leuween, kita perlu mengkritisi bagaimana masing-masing
kelompok itu ditampilkan dalam teks, apakah ada yang pihak atau aktor yan
dengan strategi wacana tertentu hilang dalam teks.
Dalam berita mengenai kematian mahasiswa itu, bisa jadi polisi yang
menembak mahasiswa dalam pemberitaan akibat strategi wacana tertentu. Salah
satu cara klasik adalah dengan membuat kalimat dalam bentuk pasif. Lewat
pemakaian, kalimat pasif, aktor dapat tidak hadir dalam teks, sesuatu yang tidak
mungkin terjadi dalam kalimat yang berstruktur aktif. Contoh:
Aktif Polisi menembak seorang mahasiswa yang demonstrasi
hingga tewas.
Pasif Seorang mahasiswa tewas tertembak saat demonstrasi
Pada kalimat pertama, berita disajikan dalam bentuk kalimat aktif. Di sini
aktor pelaku (polisi) disajikan dalam teks. Sebaliknya, dalam kalimat kedua,
6

aktor tersebut hilang dalam pemberitaan, sebab yang lebih dipentingkan dalam
pemberitaan adalah objek, korban penembakan.
Pada kalimat tersebut, aktor/pelaku hilang dari pemberitaan. Wartawan dan
khalayak pembaca lebih memperhatikan dan tertarik untuk melihat korban
daripada pelaku. Padahal seperti dalam berita penembakan tersebut, pelaku
penembakan adalah hal yang sangat penting yang sebetulnya layak diketahui
oleh pembaca.
Selanjutnya, bentuk kalimat pasif yang menghilangkan pelaku dan kalimat
juga bisa membuat pembaca tidak kritis. Orang hanya berpikir kepada korban
daripada pelaku. Pada titik inilah sebetulnya kritik sering kali dialamatkan pada
media.
2. Nominalisasi
Strategi wacana lain yang sering dipakai untuk menghilangkan kelompok atau
aktor sosial tertentu adalah lewat nominalisasi. Strategi ini berhbungan dengan
mengubah kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina). Umumnya dilakukan
dengan pemberian imbuhan “pe-an”. Kenapa nominalisasi dapat menghilangkan
aktor/subjek dalam pemberitaan? Ini ada hubungannya dengan transformasi dari
bentuk kalimat aktif.
Pada struktur kalimat yang berbentuk aktif, selalu membutuhkan subjek.
Kalimat aktif juga selalu berbentuk kata kerja, yang menunjuk pada apa yang
dilakukan (proses) oleh subjek. Jika menggunakan kata “menembak” selalu
menumbuhkan dua aktor, yakni siapa yang menembak dan siapa yang ditembak.
Kedua hal tersebut harus ada kalimat, agar ia bisa berbunyi mempunyai arti.
Sebaliknya, kata benda tidak membutuhkan subjek, karena ia bisa hadir
mandiri dalam kalimat. Kata “penembakan” tidak membutuhkan kehadiran
subjek, ia bisa hadir untuk menerangkan mahasiswa yang meninggal. Kalimat
kedua, aktor yang menembak (polisi) bisa dihilangkan dalam struktur kalimat
ketika kata kerja diubah ke dalam bentuk kata benda. Nominalisasi bukan hanya
bisa menghilangkan posisi subjek yang melakukan penembakan, bahkan ia dapat
mengubah makna kalimat ketika diterima oleh khalayak. Contoh:
7

Verba Polisi menembak seorang mahasiswa yang demonstrasi


hingga tewas.
Nominalisasi Seorang mahasiswa tewas akibat penembakan saat
demonstrasi
Nominalisasi tidak membutuhkan pelaku, karena nominalisasi pada dasarnya
adalah proses mengubah kata kerja yang bermakna tindakan/kegiatan menjadi
kata benda yang bermakna peristiwa. Tindakan menembak ditransformasikan
menjadi peristiwa penembakan.
Setiap kegiatan/tindakan selalu terkandung unsur pelaku (siapa yang
menembak), tidak demikian halnya dengan peristiwa atau gejala. Karena yang
ditekankan dalam suatu gejala adalah memberitahukan kepada kha;ayak
pembaca bahwa telah berlangsung penembakan dalam demontrasi mahasiswa.
Oleh karena, nominalisasi selalu bisa menghilangkan subjek/tindakan. Contoh:
Verba Direktur PT X menganiaya karyawannya hingga tewas.
Seorang karyawan PT X tewas akibat penganiayaan.
Nominalisasi Penganiayaan karyawan terjadi di PT X
Lagi-lagi terjadi penganiayaan terhadap karyawan.

Dalam kalimat pertama (berbentuk kata kerja), selalu membutuhkan subjek:


siapa yang menganiaya karyawan itu hingga tewas. Sebaliknya, dalam
nominalisasi, kehadiran aktor dapat dihilangkan. Dalam kalimat ini, tindakan
menganiaya telah diubah fungsinya menjadi peristiwa/gejala penganiayaan.
Ketika telah diubah dalam bentuk gejala tersebut, tentu saja sudahterlepas dari
konteks pelaku, waktu, dan tempat.
Konteks semacam ini bisa dihilangkan karena bukankah yang ingin
ditekankan adalah penembakan dalam demonstrasi menjadi gejala umum, atau
penganiayaan terhadap buruh sudah menjadi fenomena di banyak perusahaan?
Oleh karena itu hal tersebut hanya menjadi bagian kecil dari gejala umum yang
terjadi saat ini.
3. Penggantian Anak Kalimat
Penggantian subjek juga dapat dilakukan dengan memakai anak kalimat yang
sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor. Dalam pemberitaan mengenai
demontrasi mahasiswa, dengan memakai anak kalimat “untuk mengendalikan
8

demontrasi mahasiswa”, maka aktor (polisi) bisa disembunyikan atau


dihilangkan dalam teks. Misalnya dalam dua kalimat berikut ini.
Tanpa anak Polisi menembak seorang mahasiswa yang demontrasi
kalimat hingga tewas.
Anak kalimat Untuk mengendalikan demonstrasi mahasiswa, tembakan
dilepaskan. Akibatnya seorang mahasiswa tewas

Pada kalimat pertama, peristiwa penembakan itu ditampilkan tanpa anak


kalimat. Pada kalimat kedua, ditambahkan terutama untuk menjawab pertanyaan
kenapa polisi menembak mahasiswa? Jawabannya, karena menghalau dan
mengendalikan demontrasi mahasiswa dan argumentasi ini yang disajikan dalam
kalimat dengan menempatkannya sebagai anak kalimat.
Akan tetapi, seperti yang tedapat dalam kalimat kedua, penambahan anak
kalimat itu bisa menghilangkan keberadaan subjek pelaku penembakan. Karena,
penulis/wartawan umumnya percaya dan menganggap bahwa khalayak tahu
siapa yang melakukan tembakan. Karena dianggap tahu, dan untuk efisiensi
itulah, polisi sebagai pelaku dihilangkan.

B. INKLUSI
Ada beberapa macam strategi wacana yang dilakukan kekita sesuatu, seseorang
atau kelompok ditampilkan dalam teks. van Leeuwen menjelaskannya demikian,
yang akan diringkas sebagai berikut:
1. Diferensiasi-Indiferiesiasi
Suatu peristiwa atau seorang aktor sosial bisa ditampilkan dalam teks secara
mandiri, sebagai suatu peristiwa yang unik atau khas, tetapi bisa juga dibuat
kontras dengan menampilkan peritiwa atau aktor lain dlaam teks. Hadirnya
(inclusion) peristiwa atau kelompok lain selain yang diberitakan itu, menurut
van Leeuwen, bisa menjadi penanda yang baik bagaimana suatu kelompok atau
peristiwa direpresentasikan dalam teks.
Penghadiran kelompok atau peristiwa lain itu secara tidak langsung ingin
menunjukan bahwa kelompok itu tidak bagus dibandingkan dengan kelompok
lain. Ini merupakan strategi wacana bagaimana suatu kelompok disudutkan
9

dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang dipandang lebih


dominan atau lebih bagus. Misal, dalam pemberitaan mengenai demonstrasi
buru, dapat dibandingkan dua kalimat berikut.
Indiferensiasi Buruh pabrik Maspion sampai kemarin masih melanjutkan
mogok.
Diferensiasi Buruh pabrik Maspion sampai kemarin masih melanjutkan
mogok. Sementara tawaran direksi yang menawarkan
perundingan tidak ditanggapi oleh para buruh.

Dalam kalimat pertama jelas dikatakan, para buruh mogok. Sementara dalam
kalimat kedua ditampilkan fakta mengenai direksi yang menawarkan jalan damai
kepada para buruh. Kalimat yang kedua ini secara tidak langsung membedakan
sikap pekerja dengan para direksi. Teks ini memarjinalkan posisi buruh, dengan
menampilkan seakan para buruh ngotot mogok, di lain pihak ditampilkan direksi
perusahaan yang lebih manusiawi dengan menawarkan perundingan.
Dikatakan memarjinalkan karena teks itu memisahkan sedemikian rupa,
proposisi pertama (buruh yang masih mogok) tidak dianggap sebagai akibat dari
proposisi kedua (direksi yang meminta perundingan). Fakta seperti kenapa
mereka mogok atau apa yang diinginkan oleh direksi tidak ditampilkan,
akibatnya yang tergambar selalu dalam bentuk teks, perbedaan pandangan antara
cara yang dianggap bagus dengan cara yang dipandang tidak bagus.
Diferensiasi ini sering kali menimbulkan prasangka tertentu. Terutama
dengan membuat garis batas antara pihak “kita” dengan pihak “mereka”, kita
baik sementara mereka buruk. Menurut van Leeuwen, penggambaran kita dan
mereka itu adalah strategi wacana untuk menampilkan kenyataan bagaimana
lewat strategi wacana tertentu satu kelompok dikucilkan, dimarjinalkan,
dianggap buruk. Misal,
Indiferensiasi Tentara Interfet yang baru datang di Timtim kemarin
langsung melakukan operasi penahanan, penodongan, dan
penggeladahan trehdap orang dicurigai sebagai milisi.
Diferensiasi Tentara Interfet yang baru datang di Timtim kemarin
langsung melakukan operasi penahanan, penodongan dan
penggeladahan terhadap orang yang dicurigai sebagai
milisi. Hal ini agak berbeda dengan yang bias dilakukan
oleh militer Indonesia yang lebih mengutamakan dialog
10

dan operasi territorial dengan mengajak berunding semua


pihak yang bertikai.

Kedua kalimat tersebut menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh


tentana Interfet ketika sampai di Timor Timus. Penambahan informasi seperti
dalam kalimat kedua, sama sekali tidak menambah informasi mengenai apa yang
dilakukan oleh tentara Interfet. Hanya pemberian informasi mengenai apa yang
biasa dilakukan oleh tentara Indonesia itu sebagai strategi wacana untuk
membandingkan dan mengkontraskan. Karena ada atau tidak ada kalimat
tambahan tidak mengurangi arti yang ingin dikomunikasikan kepada khalayak.
Secara tidak langsung teks ini membuat demarkasi antara “kita” sebagai bagian
dari tentara Indonesia dengan “mereka” tentara Interfet. Apa yang dilakukan
oleh tentara Interfet itu tidak benar karena tidak mengutamakan dialog. Tidak
sesuai dengan adat orang timur.
2. Objektivasi-Abstraksi
Elemen wacana ini berhubungan dengan pertanyaan apakah informasi
mengenai suatu peristiwa atau aktor sosial ditampilkan dengan memberi
petunjuk yang kongkret ataukah yang ditampilkan adalah abstraksi. Perhatikan
contoh berikut!
Objektivasi PKI telah 2 kali melakukan pemberontakan
Abstraksi PKI telah berulang kali melakukan pemberontakan.

Kalimat pertama disebut secara jelas berapa kali PKI melakukan


pemberontakan, sementara dalam kalimat kedua dengan membuat sesuatu yang
abstrak seperti kata “berulang kali”. Khalayak akan mempersepsikan lain antara
yang disebut secara jelas dengan yang dibuat dalam bentuk abstraksi.
Penyebutan dalam bentuk abstraksi ini menurut van Leeuwen sering kali bukan
disebabkan oleh ketidaktahuan wartawan mengenai informasi yang pasti, tetapi
sering kali lebih sebagai strategi wacana wartawan untuk menampilkan sesuatu.
Pada contoh tersebut, bukan berarti wartawan tidak mengetahui berapa kali
PKI melakukan kudeta, tetapi kata “berulang kali” dipakai untuk
11

menggambarkan PKI secara buruk, sebagai kekuataan politik yang opurtunistik


dan harus diwaspadai keberadaannya.
3. Nominasi-Kategorisasi
Pada suatu pemberitaan mengenai aktor (seseorang atau kelompok) atau
mengenai suatu permasalahan, sering kali terjadi pilihan apakah aktor tersebut
ditampilkan apa adanya, ataukah yang disebut adalah kategori dari aktor sosial
tersebut. Kategori ini bisa macam-macam, yang menunjukkan ciri penting dari
seseorang: bisa berupa agama, status, bentuk fisik dan sebagainya. Kategori itu
sebetulnya tidak penting, karena umumnya tidak akan mempengaruhi arti yang
ingin disampaikan kepada khalayak. Bandingkanlah dua kalimat berikut:
Nominasi Seorang laki-laki ditangkap polisi karena kedapatan
membawa obat-obatan terlarang.
Kategorisasi Seorang laki-laki kulit hitam ditangkap polisi karena
kedapatan membawa obat-obatan terlarang.

Kedua kalimat tersebut artinya sama, yakni ada seorang laki-laki yang
membawa obat-obatan terlarang dan ditangkap oleh polisi. Pemberian kategori
“berkulit hitam” sama sekali tidak merupakan tambahan informasi yang berguna
siapa sebetulnya laki-laki itu. Kenapa kategori berupa “kulit” yang ditonjolkan
dalam kalimat itu? Kenapa bukan warga Negara? Barangkali wartawan tidak
secara sengaja menampilkan kategori berupa warna kulit, tetapi secara tidak
langsung berita itu mengasosiasikan ka dalam benak khalayak bahwa warga
yang berkulit hitam memang identik dengan kekerasan dan obat-obatan
terlarang.
Kategori apa yang ingin ditonjolkan dalam pemberitaan, menurut van
Leeuwen sering kali menjadi informasi berharga untuk mengetahui lebih dalam
ideologi dai media bersangkutan. Karena kategori itu menunjukkan representasi
bahwa suatu tindakan tertentu atau kegiatan tertentu menjadi ciri khas atau
atribut yang selalu hadir sesuai dengan kategori bersangkutan.
Nominasi Seorang wanita ditemukan tewas, diduga sebelumnya
diperkosa.
Seorang wanita tak dikenal ditemukan tewas, diduga
Kategorisasi
sebelumnya diperkosa.
12

Seorang wanita berjilbab ditemukan tewas, diduga


sebelumnya diperkosa.
Seorang wanita cantik ditemukan tewas, diduga
sebelumnya diperkosa.
Seorang janda, ditemukan tewas, diduga sebelumnya
diperkosa.

4. Nominasi-Identifikasi
Nominasi-identifikasi merupakan strategi pemberitaan yang penyajiannya
meniadakan pelaku dan menonjolkan sasaran atau tujuan dengan memberikan
identifikasi terhadap aktor pemberitaan sebagai sasaran tersebut. Nominasi
adalah strategi pemberitaan yang penyajiannya menonjolkan aktor pemberitaan
sebagai sasaran ataupun tujuan dan meniadakan pelaku. Identifikasi adalah
strategi pemberitaan yang penyajiannya menonjolkan aktor pemberitaan sebagai
sasaran atau tujuan dengan memberikan identifikasi terhadap aktor pemberitaan
tersebut. Pemberian identifikasi tersebut berbentuk aposisi berupa anak kalimat
yang menggunakan konjungsi “yang”. Identifikasi yang diberikan akan
memengaruhi makna yang hendak disampaikan kepada khalayak.
Menurut Eriyanto (2003, 184), strategi nominasi-identifikasi memuat dua
proposisi. Proposisi pertama yang dimaksud adalah unsur kalimat yang berperan
sebagai sasaran atau tujuan. Proposisi pertama dalam kalimat berita merupakan
unsur kalimat yang menunjukkan aktor pemberitaan. Adapun proposisi kedua
yang dimaksud adalah anak kalimat yang berperan menjelaskan proposisi
pertama dengan bantuan konjungsi “yang”. Proposisi kedua ini berupa
keterangan aposisi dalam kalimat. Misal,
Seorang wanita ditemukan tewas, diduga sebelumnya
Nominasi
diperkosa.
Seorang wanita, yang sering keluar malam, ditemukan
Identifikasi
tewas, diduga sebelumnya diperkosa.
Pada kalimat [1], aktor pemberitaan yakni “seorang wanita” yang
merupakan bentuk nominasi karena “seorang wanita” tersebut merupakan
korban bukan pelaku. Kalimat tersebut hanya memuat satu proposisi yakni
“seorang wanita” karena kalimat tersebut hanya dilakukan strategi nominasi.
Namun, setelah dilakukan pengidentifikasian pada kalimat [2], kalimat tersebut
13

memuat dua proposisi, yakni proposisi pertama “seorang wanita” dan proposisi
kedua “yang sering keluar malam”. Proposisi kedua “yang sering keluar malam
menggunakan konjungsi “yang” dan berperan sebagai keterangan aposisi atau
penjelas proposisi “seorang wanita”.
Eriyanto (2003:184) juga mengatakan bahwa nominasi-identifikasi yang
dilakukan wartawan hanya sekadar bertujuan untuk memberikan penjelasan
siapa aktor pemberitaan itu atau apa tindakan atau peristiwa itu. Namun, model
analisis Theo van Leeuwen (Eriyanto, 2003: 184) mengungkap bahwa strategi
tersebut menyugestikan khalayak untuk memberikan penilaian subjektif pada
aktor pemberitaan. Apabila wartawan mengidentifikasi seseorang, kolompok,
atau tindakan sosial sebagai aktor pemberitaan dengan memberikan penjelasan
yang buruk, khalayak tentu memberikan penilaian yang buruk pula. Selain itu,
pengidentifikasian terhadap aktor pemberitaan dapat membentuk pelabelan oleh
khalayak yang diterima apa adanya. Misal,
Nominasi Seorang wanita ditemukan tewas, diduga sebelumnya
diperkosa.
Seorang wanita, yang sering keluar malam ditemukan
Identifikasi
tewas, diduga sebelumnya diperkosa.

Nominasi PKI harus tetap dilarang di Indonesia.


PKI, yang ajarannya anti-Tuhan, harus tetap dilarang di
Identifikasi
Indonesia.
Pada model kalimat [1], aktor pemberitaan yakni “seorang wanita”
diidentifikasi dengan anak kalimat “yang sering keluar malam”. Namun, setelah
dilakukan pengidentifikasian, penilaian khalayak menjadi subjektif. Wanita
yang dimaksud digambarkan buruk, tidak baik moralnya –wanita tidak baik
keluar malam– sehingga tidak heran jika wanita tersebut mengundang hasrat
laki-laki untuk memperkosanya. Padahal, wanita keluar malam atau tidak bukan
alasan yang sebenarnya wanita yang dimaksud dalam pemeritaan itu diperkosa.
Selain itu, pada model kalimat [2], aktor pemberitaan yakni “PKI”
diidentifikasi dengan anak kalimat “yang ajarannya anti-Tuhan”.
Pengidentifikasian tersebut memberikan label atau cap kepada PKI dan diterima
14

apa adanya oleh khalayak. Pelabelan atau pengecapan yang terbentuk adalah
PKI itu antiagama sehingga harus dilarang tinggal di Indonesia.
5. Determinasi-Indeterminasi
Determinasi-indeterminasi merupakan strategi pemberitaan yang
penyajiannya dengan menganonimkan aktor pemberitaan yang sebenarnya
diketahui oleh wartawan secara spesifik atau secara gambling. Indeterminasi
merupakan strategi pemberitaan yang menyebutkan secara gamblang, langsung
menyebutkan nama, atau secara spesifik seorang, kelompok, atau tindakan aktor
pemberitaan. Sementara itu, determinasi merupakan strategi pemberitaan yang
menganonimkan atau tidak menyebutkan secara gamblang seorang, kelompok,
atau tindakan aktor pemberitaan.
Anonimitas ini (Eriyanto, 2003: 186) dilakukan oleh wartawan karena ingin
lebih aman apabila belum mendapatkan bukti yang cukup untuk menulis berita.
Efek yang ditimbulkan dalam strategi ini yakni adanya generalisasi dan kesan
yang berbeda yang diterima oleh khalayak. Kesan yang timbul pun bersifat
plural. Misal,
Indeterminasi Menlu Alwi Shihab disebut-sebut terlibat skandal Bulog.
Orang dekat Gus Dur disebut-sebut terlibat skandal
Determinasi
Bulog.
Pada kalimat [1], aktor pemberitaan disebutkan secara gamblang. Khalayak
langsung secara spesifik mengecap bahwa hanya satu orang atau hanya Alwi
Shihab yang terlibat skandal Bulog. Hal ini berbeda dengan kalimat [2], aktor
pemberitaan tidak disebutkan secara gambalng, melainkan hanya anonim. Kesan
yang muncul pada khalayak ramai yakni semua orang dekat Gus Dur dicurigai
terlibat skandal Bulog. Entah semua orang yang masuk dalam golongan orang
dekat Gus Dur, hanya beberapa yang terlibat, atau bahkan hanya satu orang.
6. Asimilasi-Individualiasi
Asimilasi-individualisasi merupakan strategi pemberitaan yang
penyajiannya menyebutkan kategori kelompok seorang aktor pemberitaan.
Individualisasi merupakan strategi pemberitaan yang menunjukkan bahwa aktor
pemberitaan seorang individu yang merupakan bagian dari kelompok tertentu.
Penyajiaannya dengan menyebutkan aktor pemberitaan secara gamblang dan
15

memberikan kategori kelompok berupa aposisi yang berbentuk frasa. Kebalikan


dari individualisasi, asimilasi merupakan strategi pemberitaan yang
penyajiannya dengan menyebut kategori kelompok atau komunitas seorang
aktor pemberitaan berasal tanpa menyebut sosok individu aktor pemberitaan
tersebut. Misal,
Adi, mahasiswa Trisakti, tewas ditembak Parman,
Individualisasi
seorang polisi, dalam demosntrasi di Cendana kemarin.
Mahasiswa tewas ditembak polisi dalam demosntrasi di
Asimilasi
Cendana kemarin.

Kalimat [1] menunjukkan aktor pemberitaan yakni Adi dan Parman, yang
keduanya merupakan individu. Kedua aktor pemberitaan tersebut diberikan
kategori berupa masing-masing kelompok kedua individu tersebut berada. Adi
merupakan mahasiswa Trisakti dan Parman merupakan seorang polisi.
Sementara itu, kalimat [2] hanya menyebutkan kelompok individu itu yakni
mahasiswa dan polisi.
Namun, efek dan kesan yang ditimbulkan kedua kalimat tersebut tentu
berbeda jika diterima khalayak (Eriyanto, 2003: 187). Individualisasi hanya
memberikan kesan individu yang dibawa masing-masing aktor pemberitaan,
seperti pada kalimat [1] yakni pribadi Adi dan pribadi Parman. Hal tersebut
berbeda dengan kalimat [2]. Kalimat tersebut memberikan kesan bahwa banyak
yang terlibat sehingga mengakibatkan adanya opini publik dan bentuk
ekstimnya memancing emosi khalayak karena mempengaruhi kesadaran publik
secara tidak langsung yang memicu rasa solidaritas sesama kelompok yang
disebutkan.
Efek yang timbul misal, pada kalimat [2], khalayak menerima bahwa konflik
tersebut terjadi antara dua kelompok, bukan individu. Banyak mahasiswa yang
menjadi korban dan banyak polisi yang melakukan penembakan. Efeknya
adalah rasa solidaritas yang terbentuk pada kelompok mahasiswa di seluruh
dareah, mereka turut merasakan hal yang dialami aktor pemberitaan dalam teks
berita tersebut. Kesan yang diterima tersebut dapat memunculkan aksi baru yang
16

bisa saja mengarah pada hal positif atau mengarah pada hal negatif, seperti
penyerangan mahasiswa terhadap polisi sebagai bentuk balas dendam.
7. Asosiasi-Disosiasi
Asosiasi-disosiasi merupakan strategi pemberitaan yang penyajiannya
mengaitkan kasus yang menimpa seseorang ataupun kelompok, atau kejadian
lingkup kecil dengan kasus seseorang ataupun kelompok, atau kejadian yang
lebih kompleks atau menyeluruh. Disosiasi merupakan strategi pemberitaan
yang menyajikan kasus yang menimpa seseorang atau kelompok, atau kejadian
lingkup kecil. Kasus tersebut hanya dipandang sebagai kasus individu atau
lokal. Asosiasi merupakan strategi pemberitaan yang menyajikan kasus yang
dipaparkan berkaitan dengan kasus lain yang lebih kompleks atau merupakan
bagian dari hal yang kompleks itu. Kasus yang diberitakan dalam penyajian
strategi asosiasi secara imajiner berhubungan.
Efek yang ditimbulkan (Eriyanto, 2003: 191) adalah glorifikasi atau
pemaknaan menjadi besar. Representasi terhadap sesuatu yang terjadi pada aktor
pemberitaan menjadi berbeda karena khalayak yang menerima akan
membayangkan dan menghubungkan secara imajiner dengan hal yang lebih
kompleks. Strategi ini juga menyebabkan adanya rasa solidaritas yang terbangun
antara sesama komunitas atau kelompok dari aktor pemberitaan yang menjadi
korban dalam teks berita yang disajikan. Misal,
Sebanyak 40 orang muslim meninggal dalam kasus
Disosiasi
Tobelo, Galela, dan Jailolo.
Umat Islam di mana-mana selalu menjadi sasaran
pembentaian. Setelah di Bosnia, sekarang di Ambon.
Asosiasi
Sebanyak 40 orang meninggal dalam kasus Tobelo, Galela,
dan Jailolo.

Kalimat [1] menunjukkan aktor pemberitaan yakni orang muslim yang ada
di Tobelo, Galela, dan Jailolo. Dari sekian banyaknya orang muslim di sana, ada
40 orang yang meninggal. Kasus yang menimpa aktor pemberitaan yakni umat
musli di tiga daerah tersebut, hanya kasus lokal, hanya wilayah Ambon. Namun,
jika penyajikan berita seperti pada kalimat [2], aktor pemberitaan yakni umat
muslim yang meninggal itu di hubungkan dengan kasus meninggalnya umat
17

muslim di Bosnia. Kedua kasus yang dihubungkan tersebut ditarik kesimpulan


bahwa kedua kasus tersebut merupakan gambaran yang terjadi pada umat
muslim di seluruh dunia. Padahal, kasus Ambon dan Bosnia merupakan kasus
yang terpisah tetapi dihubungkan secara imajiner. Efek yang ditimbulkan adalah
munculnya rasa solidaritas sesama umat muslim di daerah lain.
C. KERANGKA ANALISIS
Model analisis Theo van Leeuwen (Eriyanto, 2003: 191) memusatkan
penampilan atau penyajian aktor pemberitaan oleh wartawan. Penyajian tersebut
dalam model analisis Theo van Leeuwen berupa inklusi dan eksklusi. Inklusi
merupakan penyajian aktor pemberitaan dengan menampilkan aktor tersebut.
Adapun eksklusi merupakan penyajian aktor pemberitaan dengan menghilangkan
atau menyembunyikan aktor tersebut. Berikut kerangka model analisis Theo van
Leeuwen dalam Eriyanto (2003: 192)
Tingkat Yang ingin Dilihat
Eklusi  Penghilangan atau penyembunyian aktor
pemberitaan
 Strategi yang digunakan untuk menghilangkan
atau menyembunyikan aktor pemberitaan
Inklusi Cara menampilkan aktor pemberitaan dan strategi
yang dilakukan dengan memarjinalkan atau
mengucilkan aktor pemberitaan.

Contoh:
Analisis Teks Berita “Ribuan Hektar Perkebunan di Sumut Dikuasai
Rakyat” Model Theo van Leeuwe: Inklusi dan Ekslusi

Pada teks “Ribuan Hektar Perkebunan di Sumut Dikuasai Rakyat” disebutkan


bahwa petani melakukan penguasaan lahan yang sebelumnya dimiliki oleh PTPN.
Teks berita ini secara umum menggambarkan perilaku petani yang buruk, main
hakim sendiri, dan merugikan negara. Petani dalam teks berita diberitakan tidak
mempunyai hak atas tanah garapannya tetapi menguasai secara paksa tanah-tanah
perkebunan. Tindakan petani tersebut mengakibatkan kerugian besar bagi pihak
PTPN. Pemberitaan berita tersebut memuat inklusi (penampilan) perilaku petani
18

yang buruk dengan melakukan penjarahan lahan PTPN. Selain itu, juga memuat
ekslusi (pengeluaran) perilaku PTPN yang buruk dari pembicaraan. Berikut ini
disajikan strategi pemberitaan model inklusi dan ekslusi Theo van Leeuwen.

1. Eksklusi
Nominalisasi
Itu terutama dilakukan terhadap tanah-tanah bebas, atau yang sedang tidak
dikelola perusahaan karena dalam proses replanting (peremajaan).

Kalimat tersebut mengekslusi peranan PTPN sebagai pihak yang melakukan


peremajaan. Dengan bentuk nominalisasi ini, maka tindakan PTPN yang
memperpanjang hak sewa tanah dapat dihilangkan atau disembunyikan dalam
teks berita.

2. Inklusi
a. Abstraksi
“Ribuan hektar perkebunan di Sumut dikuasai rakyat.”

“Akibatnya, selain ratusan ribu tenaga kerja di PTP terancam kehilangan


pekerjaan ...”

Pada data [2] tersebut, tidak disebut dengan konkret total persis tanah
perkebunan yang sudah dikuasai oleh rakyat, hanya abstraksi yakni “ribuan
hektar”. Penggunaan abstraksi melalui kata tersebut memberikan kesan bahwa
tanah perkebunan yang dikuasai rakyat sangatlah banyak sehingga kesan
khalayak pada rakyat yang dimaksud menjadi buruk. Hal tersebut juga dapat
dilihat pada data [2]. Penggunaan abstraksi “ratusan ribu” itu memberikan kesan
pada khalayak bahwa dampak tindakan petani yang dimaksud dalam teks sangat
besar.
b. Determinasi
“Ribuan hektar perkebunan di Sumut dikuasai rakyat.”

“Ribuan hektar HGU milik PTPN II, PTPN III, dan PTPN IV, kini telah
dikuasai rakyat.”

Pada data [2] dan [4] tersebut, wartawan menggunakan anonim yakni kata
“rakyat” untuk menganonimkan aktor pemberitaan sebenarnya. Kata “rakyat”
menunjukkan makna plural atau jamak, sehingga kesan yang diterima oleh
khalayak adalah semua petani atau sebagian besar petani yang ada
dilingkungan tersebut yang menjadi aktor pemberitaan. Kesan petani dalam
benak khalayak pun semakin buruk. Hal itu dikarenakan kata “rakyat”
menegaskan bahwa tingkat bahaya yang ditimmbulkan dari penjarahan
tersebut sangat besar karena dilakukan secara massal.
19

c. Kategorisasi
“Menghadapi ulah para penggarap, PTPN III sendiri tampaknya tidak bisa
berbuat banyak. ”

“Puluhan hektar tanah yang semestinya siap untuk ditanami kelapa sawit,
kini sudah dikuasai penggarap”

Pada data [5] dan [6] tersebut, terdapat kategorisasi wartawan berupa kata
“penggarap”. Kategori tersebut mengidentifikasi petani yang menjarah tanah
PTPN. Namun, pengkategorian ini mengidentifikasikan mereka yang
dianggap melakukan penjarahan adalah petani penggarap. Secara halus,
mereka dikomunikasikan tidak memiliki hak atas tanah karena statusnya
penggarap bukan pemilik. Selain itu, pada data [6] juga terdapat kaegori
“dikuasai”. Kata tersebut menyugestikan kepada khalayak bahwa yang
dilakukn petani tersebut secara paksa, kasar, dan tanpa kompromi. Tidak
hanya itu, petani juga seakan mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Theo van Leuween. Van Leeuwen memandang wacana sebagai
rekontekstualisasi praktik-praktik sosial melalui teks. Selanjutnya van Leeuwen
mengategorikan analisis wacana kedalam dua sub besar, yaitu Exclusion yang
meliputi pasivasi, nominalisasi, penggantian anak kalimat dan Inclusion yang
meliputi Diferensiasi-Indiferensiasi, Objektivasi-Abstraksi, Nominasi-
Kategorisasi, Nominasi-Identifikasi, Determinasi-Indeterminasi, Asimilasi-
Individualisasi, dan Asosiasi-Disosiasi.
B. SARAN
Analisis wacana dalam teks media yang telah dikemukakan dalam makalah ini
hanya secara garis besar dan belum dikupas secara mendalam. Oleh karena itu,
diperlukan untuk membaca referensi lain terkait dengan materi makalah ini guna
meluaskan cakrawala, dan menghindari penilaian subjektif, serta sebagai studi
banding.

20
DAFTAR PUSTAKA

Eriyanto. 2003. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:


LKiS Yogyakarta.

42

Anda mungkin juga menyukai