Anda di halaman 1dari 9

ATRESIA ANI

A.     Pengertian
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus (Wong, D. L, 2003).

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi
anus, rectum atau keduanya (Betz, C. L and Sowden, L. A, 2002).

Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2001).

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa atresia ani adalah suatu kelainan
bawaan dimana tidak terdapatnya lubang atau saluran anus.

B.     Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan
kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan
anus dari tonjolan embriogenik.  Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:
1.      Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2.      Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3
bulan.
3.      Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus,
rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat
sampai keenam usia kehamilan.
4.      Berkaitan dengan sindrom down.
5.      Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.

C.     Patofisiologi
1.      Proses perjalanan penyakit
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional.  Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung
ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal
genitourinaria dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya
penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia ani karena tidak ada kelengkapan
migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis
sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar
yang keluar melalui anus menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga
intestinal mengalami obstruksi.

Manifestasi klinis  diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala
akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan
diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah
traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang.  Pada keadaan ini biasanya akan
terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan
fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate.
(rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektourethralis).

2.      Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium
setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal, adanya membran anal dan
fistula eksternal pada perineum (Suriadi & Yuliani, R, 2001). Gejala lain yang
nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah
lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen
akan terlihat menonjol. Bayi muntah-muntah pada usia 24-48 jam setelah lahir juga
merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat
berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena
cairan mekonium.

3.      Komplilkasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain:
a.       Asidosis hiperkloremia.
b.      Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c.       Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d.      Komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat
konstriksi jaringan perut dianastomosis).
e.       Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f.       Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi).
g.      Prolaps mukosa anorektal.
h.      Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi).
(Ngastiyah, 2005).

4.      Klasifikasi
a.       Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak
dapat keluar.
b.      Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
c.       Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rektum dengan
anus.
d.      Rektal atresia adalah tidak memiliki rektum.

D.     Penatalaksanaan Medis
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan.
Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan
kolostomi setelah beberapa hari kelahiran lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus
permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan.
Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada
pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga
memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Jenis
tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah:
1.      Aksisi membran anal (membuat anus buatan).
2.      Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan
dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen).

E.     Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Todler (1-3 tahun)


Pertumbuhan merupakan bertambahnya jumlah dan besarnya sel di seluruh tubuh yang secara
kuantitatif dapat di ukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya
fungsi alat tubuh yang dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley & Wong,
2000). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur atau fungsi tubuh yang
lebih kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai  hasil
dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi
(IDAI, 2002). Dengan demikian, aspek perkembangan ini bersifat kualitatif, yaitu
kematangan fungsi dari masing-masing bagian tubuh. Hal ini diawali dengan berfungsinya
jantung untuk memompa darah, kemampuan untuk bernafas, sampai kemampuan anak untuk
tengkurap, duduk, berjalan, bicara, memungut benda–benda disekelilingnya, serta
kematangan emosi dan sosial anak. Tahap perkembangan awal akan menentukan tahap
perkembangan selanjutnya. Pada dasarnya, manusia dalam kehidupannya mengalami
berbagai tahapan tumbuh kembang dan setiap tahap mempunyai ciri tertentu.

Pertumbuhan melambat selama masa todler.  Rata-rata pertambahan berat badan adalah 1,8
sampai 2,7 kg/tahun.  Berat rata-rata pada usia 2 tahun adalah 12 kg. Berat badan menjadi
empat kali berat badan lahir pada usia 2½ tahun.  Kecepatan pertambahan tinggi badan juga
melambat.  Penambahan tinggi yang biasa adalah bertambah 7,5 cm/tahun dan terutama
terjadi dalam perpanjangan tungkai dan bukan batang tubuh.  Tinggi badan rata-rata anak usia
2 tahun adalah 86,6 cm.  Secara umum, tinggi badan orang dewasa sekitar dua kali tinggi
badannya sewaktu berusia 2 tahun.

Kecepatan pertambahan lingkar kepala melambat pada akhir masa bayi, dan lingkar kepala
biasanya sama dengan lingkar dada pada usia 1-2 tahun. Total pertambahan lingkar kepala
umumnya selama tahun kedua adalah 2,5 cm. Kemudian kecepatan pertambahan melambat
sampai usia 5 tahun, pertambahan tinggi badan menjadi kurang dari 1,25
cm/tahun.  Fontanale anterior menutup antara usia 12 sampai 18 bulan.

Keterampilan motorik kasar mayor selama masa todler adalah perkembangan lokomosi.  Pada
usia 12 sampai 13 bulan todler sudah dapat berjalan sendiri dengan jarak kedua kaki melebar
untuk keseimbangan ekstra dan pada 18 bulan mereka berusaha lari tetapi mudah
terjatuh.  Antara usia 2 dan 3 tahun, posisi tegak dengan dua kaki menunjukan peningkatan
koordinasi dan keseimbangan.  Pada usia 2 tahun todler dapat berjalan menaiki dan menuruni
tangga, dan pada usia 2½ tahun mereka dapat melompat, menggunakan kedua kaki, berdiri
pada satu kaki selama satu atau dua detik, dan melakukan beberapa langkah dengan
berjinjit.  Pada akhir tahun kedua mereka dapat berdiri dengan satu kaki, berjalan jinjit, dan
menaiki tangga dengan berganti-ganti kaki.

Perkembangan motorik halus diperlihatkan dengan meningkatnya keterampilan deksteritas


manual.  Misalnya, pada usia 12 bulan todler mampu menggenggam sebuah benda yang
sangat kecil tetapi tidak mampu melepaskan sesuai keinginannya.  Pada 15 bulan mereka
dapat menjatuhkan kelereng ke dalam botol berleher sempit. Menangkap atau melempar
benda dan menangkapnya kembali menjadi aktivitas yang hampir obsesif pada usia sekitar 15
bulan.  Pada usia 18 bulan todler dapat melempar bola dari tangan tanpa kehilangan
keseimbangan.

Todler dihadapkan pada penguasaan beberapa tugas penting. Apabila kebutuhan untuk
membentuk dasar kepercayaan telah terpuaskan, mereka siap meninggalkan
ketergantungannya menjadi memiliki kontrol, mandiri, dan otonomi. Tugas mayor periode
todler adalah diferensiasi diri dari orang lain, terutama ibu. Proses diferensiasi terdiri atas dua
fase: perpisahan, kemunculan anak dari kesatuan simbiosis dengan ibunya, dan
individualisasi, pencapaian tersebut menandai asumsi anak mengenai karakteristik individual
mereka di dalam lingkungan.  Meskipun proses ini dimulai selama paruh waktu masa bayi,
pencapaian terbesar terjadi selama masa todler.
Karakteristik perkembangan bahasa yang paling mengejutkan selama masa kanak-kanak awal
adalah meningkatnya tingkat pemahaman.  Meskipun jumlah kata yang dikuasai sekitar 4
pada usia 1 tahun menjadi 300 pada usia 2 tahun-perlu dicatat, kemampuan untuk memahami
dan mengerti percakapan jauh lebih besar dibandingkan jumlah kata yang dapat diucapkan
anak.  Ini terjadi terutama pada keluarga yang menggunakan dua bahasa, yang
perbendaharaan katanya bisa terlambat dikuasai tetapi kedua bahasa dapat dipahami dengan
tepat (Chiocca, 1998 dikutip dari Wong, D. L, et.al, 2009).

F.      Konsep Hospitalisasi Anak Usia Todler (1-3 Tahun)


Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat,
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai
pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004).  Selama proses tersebut, anak dan orang
tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan
dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stress. Berbagai perasaan yang
sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2000
dikutip dari Supartini, 2004).  Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu
yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman,
perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan.

Apabila anak stress selama dalam perawatan, orang tua menjadi stress pula, dan stress orang
tua akan membuat tingkat stress anak semakin meningkat (Supartini, 2004). Anak adalah
bagian dari kehidupan orang tuanya sehingga apabila ada pengalaman yang mengganggu
kehidupannya maka orang tua pun merasa sangat stress (Brewis, 1995 dikutip dari Supartini,
2004).  Dengan demikian, asuhan keperawatan tidak bisa hanya berfokus pada anak, tetapi
juga pada orang tuanya.

Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stressnya.  Sumber
stress yang utama adalah cemas akibat perpisahan.  Respons perilaku anak sesuai dengan
tahapannya, yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap protes,
perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak
perhatian yang diberikan orang lain.  Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah
menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan,
sedih dan apatis.  Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar
mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat
menyukai lingkungannya.

Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan kehilangan


kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada
lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada kemampuan sebelumnya atau
regresi.  Terhadap perlukaan yang dialami atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan
tindakan invasif, seperti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan menangis, menggigit
bibirnya, dan memukul.  Walaupun demikian, anak dapat menunjukkan lokasi rasa nyeri dan
mengkomunikasikan rasa nyerinya.

G.    Asuhan keperawatan
1.      Pengkajian
a.       Biodata klien.
b.      Riwayat keperawatan.
1)      Riwayat keperawatan/ kesehatan sekarang.
2)      Riwayat kesehatan masa lalu.
c.       Riwayat psikologis.
Koping keluarga dalam menghadapi masalah.
d.      Riwayat tumbuh kembang anak.
1)      BB lahir abnormal.
2)      Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh
kembang pernah mengalami trauma saat sakit.
3)      Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
4)      Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.
e.       Riwayat sosial.
f.       Pemeriksaan fisik.
g.       Pemeriksaan penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut:
1)      Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2)      Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3)      Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor.
4)      CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5)      Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6)      Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.
7)      Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

2.      Diagnosa keperawatan
Diagnosa preoperasi:
a.       Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b.      Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat, muntah.
c.       Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit
dan prosedur perawatan.

Diagnosa postoperasi:
a.       Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
b.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
c.       Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder
terhadap luka kolostomi.
d.      Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
e.       Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

3.      Perencanaan keperawatan
Perencanaan keperawatan pada diagnosa preoperasi:
a.       Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
Tujuan: Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
Kriteria hasil:
1)      Penurunan distensi abdomen.
2)      Meningkatnya kenyamanan.
Intervensi:
1)      Lakukan enema atau irigasi rektal.
2)      Kaji bising usus dan abdomen.
3)      Ukur lingkar abdomen.

b.      Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,


muntah.
Tujuan: Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
Kriteria hasil:
1)      Output urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.
2)      Capillary refill 3-5 detik.
3)      Turgor kulit baik.
4)      Membran mukosa lembab.
Intervensi:
1)      Pantau TTV.
2)      Monitor intake-output cairan.
3)      Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV.

c.       Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit


dan prosedur perawatan.
Tujuan: Kecemasan orang tua dapat berkurang.
Kriteria hasil:
1)      Klien tidak lemas.
Intervensi:
1)      Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi
dan fisiologi saluran pencernaan normal.
2)      Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua.
3)      Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi.

Perencanaan keperawatan pada diagnosa postoperasi:


a.       Nyeri berhubungan dengan teruma pembedahan/ insisi luka.
Tujuan: Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
Kriteria hasil:
1)      Klien tampak tenang dan merasa nyaman.
2)      Klien tidak meringis kesakitan.
Intervensi:
1)      Kaji skala nyeri.
2)      Kaji lokasi, waktu dan intensitas nyeri.
3)      Berikan lingkungan yang tenang.
4)      Atur posisi klien.
5)      Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

b.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari


kolostomi.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
Kriteria hasil:
1)      Penyembuhan luka tepat waktu.
2)      Tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi:
1)      Kaji area stoma.
2)      Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada
area stoma.
3)      Tanyakan apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
4)      Kosongkan kantong kolostomi setelah terisi ¼ atau ⅓ kantong.
5)      Lakukan perawatan luka kolostomi.

c.       Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap


luka kolostomi.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
1)      Tidak ada tanda-tanda infeksi.
2)      TTV normal.
3)      Leukosit normal.
Intervensi:
1)      Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
2)      Pantau TTV.
3)      Pantau hasil laboratorium.
4)      Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
5)      Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

d.      Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.


Tujuan: Gangguan pola eliminasi teratasi.
Kriteria hasil:
1)      BAB normal.
2)      Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari.
Intervensi:
1)      Kaji pola dan kebiasaan buang air besar.
2)      Kaji faktor penyebab konstipasi/ diare.
3)      Anjurkan orang tua klien untuk memberi minum banyak dan
mengandung tinggi serat jika konstipasi.
4)      Lakukan perawatan kolostomi.

e.       Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.


Tujuan: Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah.

Kriteria hasil:
1)      Menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan kolostomi
dirumah.
Intervensi:
1)      Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai
mereka dapat melakukan perawatan.
2)      Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan
perawat.
3)      Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan
dilatasi pada anal secara tepat.
4)      Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
5)      Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.
6)      Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).

4.      Pelaksanaan keperawatan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan dengan
melaksanakann berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencana tindakan keperrawatan. Dalam tahap ini, perawat
harus mengetahui berbagai hal di antaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan
pada klien, tehnik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman
tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat perkembangan pasien.
Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan
jenis mandiri dan tindakan kolaborasi (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008: 122).

5.      Evaluasi keperawatan
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil
yang dibuat pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat
pada tahap ini adalah memahami respon terhadap intervensi keperawatan,
kemampuan mengembalikan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta
kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil.
Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:
a.       Evaluasi formatif menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat
memberikan intervensi dengan respon segera.
b.      Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis
status klien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada
tahap perencanaan. Di samping itu, evaluasi juga sebagai alat ukur suatu
tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah tujuan
tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.
1)      Tujuan tercapai
Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan perubahan dan
kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2)      Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tercapai secara
keseluruhan sehingga masih perlu dicari berbagai masalah atau
penyebabnya, seperti klien dapat makan sendiri tetapi masih merasa mual.
Setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.
3)      Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya perubahan
kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.

Adapun evaluasi akhir yang ingin dicapai dari tiap-tiap diagnosa adalah:


a.       Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
b.      Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
c.       Kecemasan orang tua dapat berkurang.
d.      Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
e.       Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
f.       Tidak terjadi infeksi.
g.       Gangguan pola eliminasi teratasi.
h.      Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah
.

Anda mungkin juga menyukai